ilmu ushul fiqh 3

 



an 

hadis Nabi saw., antara lain ialah firman Allah swt. dalam Q.S. an-

Nisa’ [4]:  5 9:  

 

 ْن َُِْم  ِْمَْلْا ُِتأَت َلمَُ   لا ام ُيَِطأَت َه تلا ام ُيَِطأ امََُمَآ َفِْذ لا اَهُّوَْأ َاْ. 

 

Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah 

Rasul -(Nya) dan ulil amri  di antara kamu sakalian. (Q.S. 

an-Nisa’ [4]:  59 ) 

 

Wajh al - dilalah kata “ al- amr ” dalam ayat di atas merupakan 

sinonim dengan kata “ al- sya’n ” yang berarti urusan atau bidang. Ini 

sifatnya umum, mencakup bidang keagamaan dan bidang keduniaan. 

Dalam bidang keduniaan, yang berwenang mengaturnya yaitu  

kepala pemerintahan seperti raja, kepala negara, atau pemimpin 

lainnya yang sejenis. Adapun dalam bidang keagamaan, yang 

berwenang mengaturnya yaitu  para ulama. Dengan demikian, 

pemahaman hukum yang dapat diambil dari ayat ini  yaitu  

bahwa umat Islam wajib taat kepada ulil amri jika mereka telah 

menyepakati hukum suatu masalah atau telah memproduk ijmak 

berdasar  nas Alquran dan atau Sunah.83  

Ayat lain yang dikemukakan oleh golongan ini ialah firman 

Allah swt. dalam Q.S. al-Nisa’  [4] : 83 sebagai berikut . 

 

 ُُّ ََ ْمَلَت ْنُهْوَِم َُه ُم ِبََْوتْسَْ َفِْذ لا ُهَلِت ََل ْنُه ْوَِم  ِْمَْلْا ُِتأ َلَِإَت ِلمَُ   لا َلَِإ ُهت. 

 

Artinya : bila  mereka menyerahkannya kepada Rasul  dan ulil 

amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang hendak 

mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya 

dari mereka (Rasul  dan ulil amri). (Q.S. an-Nisa’  [4] : 83 ) 

                                                           

Ayat ini  memerintahkan agar umat Islam merujuk 

kepada Alquran dan atau Sunah manakala berselisih pendapat. Oleh 

karena itu, bila  para mujtahid telah bersepakat, maka umat Islam 

diperintahkan untuk mengikuti hasil kesepakatan ini  dan hal 

yang demikian sama artinya dengan kembali atau merujuk kepada 

Alquran dan atau Sunah.84  Dengan merujuk pada hadis Nabi saw., 

Ibnu H azm menafsirkan “ ulil amri ” sebagai para penguasa (uma ra) 

dan para ahli (ulama).85  

Demikian juga firman Allah swt. dalam Q.S. an-Nisa’ [4] : 115 :  

 

هِّلَمُو  َيََِِّمْؤُلْلا ِليِب ََ   َ ْويَغ ْعِب تَوَْت ىَُدْلْا َُهل َ  يََّوبَوت اَم ِد َْوب ْفِم َلمَُ   لا ِقِقاَشُْ ْفَمَت   ِهِتْص َُت  لََمَوت اَم

 َن ََهَج  ْتَءا ََ َتانيرِصَم.  

 

Artinya : Dan, barang siapa yang menentang Rasul  sesudah jelas 

kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan 

orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap 

kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan 

ia ke dalam J ahanam dan, jahanam itu seburuk-buruk 

tempat kembali. (Q.S. an-Nisa’ [4] : 115 ) 

 

Melalui a yat ini , Allah swt. mengingatkan orang-orang 

yang menentang Rasulullah saw. dan mengikuti jalan orang yang 

tidak beriman dengan ancaman siksa di neraka. Bahkan , orang-

orang yang mengikuti jalan orang yang tidak beriman disetarakan 

dengan orang-orang yang menentang Rasul ullah saw. Oleh karena 

itu, hukum mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman yaitu  

sesat dan haram dan mengikut jalan orang-orang beriman yaitu  

wajib. Dengan demikian, maka ijmak yaitu  hujah karena merupakan 

kesepakatan ulama dan jalan orang-orang beriman.86  

Menurut Ibnu H azm, dalam ayat di atas Allah swt. sebenarnya 

tidak hanya mengancam orang-orang yang mengikuti jalan orang-

                                                          

orang yang tidak beriman, tetapi juga mengancam orang-orang yang 

menentang Rasulullah saw. Pengertian jalan orang -orang yang 

beriman (sab il al- mu ’ min in) yaitu  mengikuti Alquran dan Sunah 

Rasul ullah saw. (termasuk ijmak ulama yang tidak didukung oleh 

nas), bukanlah jalan orang-orang yang beriman, melainkan jalan 

orang-orang kafir.87  Penafsiran ini menurutnya lebih tepat dan yang 

sejalan dengan firman Allah swt. dalam ayat sebagai berikut. 

 

 ْويَوب َن ُْحَِيل ِِهلمَُ َََت ِه تلا َلَِإ ام ُُُ  اَذِإ َيَّ

َِِمْؤُلْلا َلْمَوق َناَم َا  نَِّإ َكَِئلُتأَت اََ ََْطأَت اََ ْ َِسَ امُلمُقَوْ َْنأ ْنُهَوَ

 ُنُه   َنمُحِتْفُلْلا. 

 

Artinya : Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka 

dipanggil kepada Allah dan Rasul -Nya agar Rasul 

mengadili di antara mereka, ialah ucapan “kami 

mendengar dan kami patuh”. Mereka itulah orang -orang 

yang beruntung. (Q.S. an-Nur [24]: 51)  

 

Jumhur ulama juga berpendapat bahwa kesepakatan para 

mujtahid M uslim pada dasarnya merupakan representasi pendapat 

umat Islam secara keseluruhan. Telah banyak hadis dan astar 

sahabat yang mengisyaratkan infalibilitas kesepakat-an umat Islam. 

Di antaranya ialah: 

 

 ٍةَلَيَِ  ىَت َ ِتِ م ُأ ُعِلَتَْتَ َلَ.8 8

 

 

Artinya : Umatku tidak akan menyepakati kesalahan atau kesesatan.  

 

                                                         

orang yang tidak beriman, tetapi juga mengancam orang-orang yang 

menentang Rasulullah saw. Pengertian jalan orang -orang yang 

beriman (sab il al- mu ’ min in) yaitu  mengikuti Alquran dan Sunah 

Rasul ullah saw. (termasuk ijmak ulama yang tidak didukung oleh 

nas), bukanlah jalan orang-orang yang beriman, melainkan jalan 

orang-orang kafir.87  Penafsiran ini menurutnya lebih tepat dan yang 

sejalan dengan firman Allah swt. dalam ayat sebagai berikut. 

 

 ْويَوب َن ُْحَِيل ِِهلمَُ َََت ِه تلا َلَِإ ام ُُُ  اَذِإ َيَّ

َِِمْؤُلْلا َلْمَوق َناَم َا  نَِّإ َكَِئلُتأَت اََ ََْطأَت اََ ْ َِسَ امُلمُقَوْ َْنأ ْنُهَوَ

 ُنُه   َنمُحِتْفُلْلا. 

 

Artinya : Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka 

dipanggil kepada Allah dan Rasul -Nya agar Rasul 

mengadili di antara mereka, ialah ucapan “kami 

mendengar dan kami patuh”. Mereka itulah orang -orang 

yang beruntung. (Q.S. an-Nur [24]: 51)  

 

Jumhur ulama juga berpendapat bahwa kesepakatan para 

mujtahid M uslim pada dasarnya merupakan representasi pendapat 

umat Islam secara keseluruhan. Telah banyak hadis dan astar 

sahabat yang mengisyaratkan infalibilitas kesepakat-an umat Islam. 

Di antaranya ialah: 

 

 ٍةَلَيَِ  ىَت َ ِتِ م ُأ ُعِلَتَْتَ َلَ.8 8

 

 

Artinya : Umatku tidak akan menyepakati kesalahan atau kesesatan.  

 

                                                          

 ُة َا سلا َمْمُقوَوت  تَِح ِّقَْلْا ىَت َ َفِْْ ِهَاظ ِتِ ُمأ ْفِم ٌةَِفئَاط ُلَازَوت َلَ.89

 

 

Artinya : Segolongan dari umatku senantiasa akan membela 

kebenaran sampai datang hari kiamat. 

 

 ٌفَسَح ِللها َدَْ ِ َمُهَوْ اَنَسَح َنْمُلِتْسُلْلا ُهآََ اَم.90 

 

Artinya :  Apa yang dianggap baik oleh orang-orang M uslim, maka ia 

baik juga di sisi Allah. 

 

K elompok ini mengemukakan bahwa beberapa hadis Nabi saw. 

yang telah dikemukakan di atas intinya yaitu  menekankan 

infalibilitas ijmak umat Islam. Hadis -hadis ini , meskipun tidak 

sahih dari segi lafal, matan, dan rangkaian sanadnya, namun antara 

hadis yang satu dengan yang lain saling mendukung sehingga dapat 

dikatakan sahih dari segi maknanya. Oleh karena itu, hadis-hadis 

ini  menunjang teori ijmak.91 

Pengertiannya ialah bahwa umat Islam tidak akan pernah 

menyepakati kebatilan dan pasti akan selalu ada yang menegakkan 

kebenaran.  

Dengan kata lain, hadis ini  bukan membolehkan ulama 

berijmak tanpa dukungan nas sebagaimana dipahami oleh sebagian 

ulama ushul yang lain. 

Kelompok ini juga menyatakan bahwa ketika para ulama 

berijmak, ijmak pastilah disandarkan pada dalil. Jika mereka tak 

menemukan sandaran dalil pun, ijtihadnya tetap memperhatikan 

maq ashid al-syari‘ ah yang umum. Para ulama juga memakai  

metode istinb ath tertentu seperti kias, istihsan, dan lain sebagainya. 

Oleh karena produk istinbat h mereka selalu disandarkan pada dalil 

syarak, maka kesepakatan para mujtahid dapat di pertanggung 

jawabkan dan mempunyai kuatan hukum.

berdasar  paparan pendapat jumhur ulama dalam masalah 

otoritas ijmak dapat diketahui bahwa ijmak itu memiliki validitas dan 

otoritas, meskipun tidak independen, masih memerlukan sandaran 

dalil dari Alquran dan atau Sunah. 

 

2) Ijmak Bukanlah Hujah  

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ijmak itu 

bukanlah hujah. Pendapat ini dianut oleh a n-Nizh am (dari golongan 

Mu’tazilah)  serta sebagian Khawarij dan Syi’ah. 93  Kelompok ini 

berpendapat bahwa ijmak bukanlah hujah dengan mengemukakan 

beberapa asalasan dari nas Alquran, Sunah, dan dalil logika. Nas 

Alquran yang dijadikan alasan untuk menolak kehujahan ijmak 

yaitu  Q.S. an-Nisa’ [4] : 59 :  

 

  تلا ام ُيِطَأ امََُمَآ َفِْذلا اَهُّوَْأ اْ َلَِإ ُهتُُّ َُوْ ٍءْيَش  ِ ْنُت َْزاَََوت ْنَِإْ ْن َُِْم  ِْمَْلْا ُِتأَت َلمَُ   لا ام ُيَِطأَت َه

 ِلمَُ   لاَت ِه تلا. 

 

Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah 

Rasul -(Nya) dan ulil amri dari kamu sekalian, dan bila  

kamu sekalian berselisih mengenai suatu masalah, maka 

kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul -Nya.  

Menurut kelompok ini, berdasar  ayat ini, maka bila  

ada  masalah yang diperselisihkan, hendaklah dikembalikan 

kepada kitab Allah dan Sunah Nabi saw., tidak ada perintah untuk 

kembali kepada kesepakatan ulama mujtahid. Ini suatu bukti bahwa 

ijmak kesepakatan mujtahid itu bukan merupakan hujah. Demikian 

juga dialog antara Nabi saw. dengan Mu’adz bin Jabal tentang dasar -

dasar hukum yang akan dijadikan dipedoman dalam pengambilan 

keputusan peradilan, tidak menyebutkan ijmak, dan ini telah 

disetujui Rasul ullah saw.  

Andaikan ijmak termasuk hujah dan boleh dipedomani dalam 

penetapan hukum, pastilah itu akan disebutkan.

berdasar  paparan pendapat jumhur ulama dalam masalah 

otoritas ijmak dapat diketahui bahwa ijmak itu memiliki validitas dan 

otoritas, meskipun tidak independen, masih memerlukan sandaran 

dalil dari Alquran dan atau Sunah. 

 

2) Ijmak Bukanlah Hujah  

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ijmak itu 

bukanlah hujah. Pendapat ini dianut oleh a n-Nizh am (dari golongan 

Mu’tazilah)  serta sebagian Khawarij dan Syi’ah. 93  Kelompok ini 

berpendapat bahwa ijmak bukanlah hujah dengan mengemukakan 

beberapa asalasan dari nas Alquran, Sunah, dan dalil logika. Nas 

Alquran yang dijadikan alasan untuk menolak kehujahan ijmak 

yaitu  Q.S. an-Nisa’ [4] : 59 :  

 

  تلا ام ُيِطَأ امََُمَآ َفِْذلا اَهُّوَْأ اْ َلَِإ ُهتُُّ َُوْ ٍءْيَش  ِ ْنُت َْزاَََوت ْنَِإْ ْن َُِْم  ِْمَْلْا ُِتأَت َلمَُ   لا ام ُيَِطأَت َه

 ِلمَُ   لاَت ِه تلا. 

 

Artinya : Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah 

Rasul -(Nya) dan ulil amri dari kamu sekalian, dan bila  

kamu sekalian berselisih mengenai suatu masalah, maka 

kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul -Nya.  

Menurut kelompok ini, berdasar  ayat ini, maka bila  

ada  masalah yang diperselisihkan, hendaklah dikembalikan 

kepada kitab Allah dan Sunah Nabi saw., tidak ada perintah untuk 

kembali kepada kesepakatan ulama mujtahid. Ini suatu bukti bahwa 

ijmak kesepakatan mujtahid itu bukan merupakan hujah. Demikian 

juga dialog antara Nabi saw. dengan Mu’adz bin Jabal tentang dasar -

dasar hukum yang akan dijadikan dipedoman dalam pengambilan 

keputusan peradilan, tidak menyebutkan ijmak, dan ini telah 

disetujui Rasul ullah saw.  

Andaikan ijmak termasuk hujah dan boleh dipedomani dalam 

penetapan hukum, pastilah itu akan disebutkan.

Mengenai Q.S. an-Nisa’ [4] : 115 :  

 

 َمَتهِّلَمُو  َيََِِّمْؤُلْلا ِليِب ََ   َ ْويَغ ْعِب تَوَْت ىَُدْلْا ُهَل َ  يََّوبَوت اَم ِدو َْوب ْفِم َلمَُ   لا ِقِقاَشُْ ْف  ِهِتْص َُت  لََمَوت اَم

انيرِصَم ْتَءا ََ َت َن ََهَج. 

 

Artinya : Dan, barang siapa yang menentang Rasul  sesudah jelas 

kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan 

orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap 

kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan 

ia ke dalam J ahanam. Dan, Jahanam itu seburuk -buruk 

tempat kembali.  

 

Menurut kelompok yang menolak kehujahan ijma k, ancaman 

dalam ayat ini  ditujukan kepada orang yang tidak patuh 

kepada Nabi saw. dan mengikuti jalan orang yang tidak beriman. 

Antara keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. 

bila  dikatakan, dilarang pertentangan setelah terjadi ijmak, maka 

bagaimana dengan kebolehan setiap ahli hukum untuk mengikuti 

pendapatnya masing-masing, berarti memang perbedaan itu tidak 

dilarang dan tetap ditolerir.

Kelompok ini menolak pemakaian  beberapa hadis yang 

dipakai  sebagai argumentasi untuk mendukung kehujahan ijmak, 

sebab hadis-hadis ini  dinyatakan sebagai hadis ahad, 

sedangkan hadis ahad kualitas kehujahannya tidak kuat. Andaikan 

dianggap mutawatir dari segi makna, tafsirannya yang benar yaitu  

terpeliharanya umat dari kesesatan dan kesalahan, yakni 

menyepakati kekufuran atau menyalahi dalil-dalil qath‘i . Dengan 

kata lain, hadis-hadis ini  menurut kelompok ini tidak mengacu 

pada legimitasi serta infalibilitas hasil ijmak.  

Bahkan, Nabi saw. sendiri telah memprediksi bahwa pada 

suatu saat warga  luas mungkin saja melakukan kesalahan,

sebagaimana dinyatakan dalam beberapa hadis Nabi saw. sebagai 

berikut. 

 

انبْوِْ َغ َأََدب اَلَم ُُْم َُوي ََ َت انبْْو  َِغ ُمَي َْ ِْلا َأََدب. )نتسمَهاَت (97 

 

Artinya : Islam muncul sebagai sesuatu yang asing dan ia akan 

kembali menjadi asing seperti semula, maka berbahagialah 

orang-orang (Islam) yang merasa terasing. (H.R. Muslim)  

 

 ُةَُ اَهَش ُقِبْسَت ٌمْمَوق ُئْيَِيُ  ُثْ ْنُهَو ْمُتَوْ َفْْ ِذ لا  ُثْ ْنُهَو ْمَُتوْ َفْْ ِذ لا  ُثْ ِنِ َْوق ِسا َلا  ُ ْويَخ  َت ُهََ ْوِيَيَ ْنِهِدَحأ

)َى اخبلا هاَت ( .َُهتَُ اَهَش ُهَُ ْوِيَيَ98 

 

Artinya : Sebaik-baik manusia yaitu  (orang yang hidup) pada 

generasiku, kemudian generasi sesudahnya, dan kemudian 

generasi sesudahnya lagi. Sesudah itu akan muncul suatu 

golongan yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan 

sumpahnya mendahului kesaksiannya. (H.R. al-Bukhari)  

 

Kelompok ini juga menolak infalibilitas d an validitas ijmak 

berdasar  logika akal sehat. Menurut kelompok ini, tidak masuk 

akal bahwa sekelompok orang yang secara perorangan tidak 

ma‘shum kemudian akumulasi pendapat orang banyak yang tidak 

ma‘shum  ini  menjadi ma‘shum . Atau sebaliknya, mungkin saja 

karena secara individu seseorang itu tidak ma‘s hum , kemudian akan 

menyepakati sesuatu yang tidak benar. Logika yang membenarkan 

ijmak sama dengan logika yang menyatakan, “ M asing-masing dari 

individu itu berbaju hitam, tetapi sekelompok orang yang terdiri atas 

individu -individu berbaju hitam itu tidaklah hitam. ”  Dengan 

demikian, maka tidak masuk akal pula menganggap ijmak sebagai 

hujah. Tak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali harus mengikuti 

Alquran dan Sunah.

sebagaimana dinyatakan dalam beberapa hadis Nabi saw. sebagai 

berikut. 

 

انبْوِْ َغ َأََدب اَلَم ُُْم َُوي ََ َت انبْْو  َِغ ُمَي َْ ِْلا َأََدب. )نتسمَهاَت (97 

 

Artinya : Islam muncul sebagai sesuatu yang asing dan ia akan 

kembali menjadi asing seperti semula, maka berbahagialah 

orang-orang (Islam) yang merasa terasing. (H.R. Muslim)  

 

 ُةَُ اَهَش ُقِبْسَت ٌمْمَوق ُئْيَِيُ  ُثْ ْنُهَو ْمُتَوْ َفْْ ِذ لا  ُثْ ْنُهَو ْمَُتوْ َفْْ ِذ لا  ُثْ ِنِ َْوق ِسا َلا  ُ ْويَخ  َت ُهََ ْوِيَيَ ْنِهِدَحأ

)َى اخبلا هاَت ( .َُهتَُ اَهَش ُهَُ ْوِيَيَ98 

 

Artinya : Sebaik-baik manusia yaitu  (orang yang hidup) pada 

generasiku, kemudian generasi sesudahnya, dan kemudian 

generasi sesudahnya lagi. Sesudah itu akan muncul suatu 

golongan yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan 

sumpahnya mendahului kesaksiannya. (H.R. al-Bukhari)  

 

Kelompok ini juga menolak infalibilitas d an validitas ijmak 

berdasar  logika akal sehat. Menurut kelompok ini, tidak masuk 

akal bahwa sekelompok orang yang secara perorangan tidak 

ma‘shum kemudian akumulasi pendapat orang banyak yang tidak 

ma‘shum  ini  menjadi ma‘shum . Atau sebaliknya, mungkin saja 

karena secara individu seseorang itu tidak ma‘s hum , kemudian akan 

menyepakati sesuatu yang tidak benar. Logika yang membenarkan 

ijmak sama dengan logika yang menyatakan, “ M asing-masing dari 

individu itu berbaju hitam, tetapi sekelompok orang yang terdiri atas 

individu -individu berbaju hitam itu tidaklah hitam. ”  Dengan 

demikian, maka tidak masuk akal pula menganggap ijmak sebagai 

hujah. Tak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali harus mengikuti 

Alquran dan Sunah.

Di samping itu, bila  keabsahan ijmak harus disandarkan 

pada dalil yang berasal dari Alquran atau Sunah, maka yang menjadi 

hujah yaitu  Alquran atau Sunah itu, bukan dalil ijmak, dan bila  

sandaran dalil ijmak itu bersifat zha nni, maka kecil kemungkinan 

terjadinya kesepakatan pendapat karena metode istinba th yang 

dipakai  para ulama berbesa-beda. Lagi pula, sulit untuk 

mendeteksi telah terjadinya ijmak karena para ulama tersebar di 

berbagai penjuru dunia. 

Anggapan bahwa kaum Syi’ah dan N izh amiyah menolak ijmak 

boleh jadi merupakan suatu penilaian dan anggapan yang under 

estimate . Sebab, polemik yang direkonstruksikan dalam berbagai 

kitab ushul fiqh memang mengesankan “direkayasa” untuk membela 

jumhur ulama. Al-Subuki dan beberapa ulama lainnya menyatakan 

bahwa al-Nizh am sendiri sebenarnya menerima ijmak. Beberapa 

pengikutnyalah yang menolak, namun kemudian dinisbahkan 

kepada-nya.101 Memang jika ditelusuri beberapa ajaran dasar 

golongan Syi’ah sebenarnya menolak prinsip ijmak secara mutlak. 

Mereka memiliki penafsiran tersendiri mengenai hal  ini. Mereka 

memberikan treatment  yang besar pada kepatuhan tanpa syarat 

kepada imam yang menurut keyakinan mereka yaitu  terpelihara 

dari berbuat salah ( ma‘s hum ). Maka , otoritas tasyri‘  sepeninggal Nabi 

saw. berada di tangan imam. Inilah salah satu doktrin dalam aliran 

Syi’ah.  

berdasar  keterangan di atas, dapat diketahui bahwa 

jumhur ulama menganggap ijmak sebagai hujah sekaligus 

menjadikan ijmak sebagai sarana pencegahan kemungkinan salah 

hasil ijtihad individual. Adapun menurut golongan Nizh amiyah dan 

sebagian Khawarij , ijmak bukanlah hujah. Syi’ah tidak menganggap 

ijmak sebagai hujah yang berdiri sendiri, melainkan harus dikaitkan 

dengan pribadi imam yang ma‘shum , sebab mereka menganggap 

imam sebagai penentu final dalam masalah-masalah hukum. Mereka 

tolak teori ijmak jumhur ulama karena tidak mengaitkan ijmak 

                                                           

dengan pribadi imam. Sebaliknya, jika Syi’ah menerima teori jumhur 

ulama, hal ini identik dengan pengingkaran “keimanan” terhadap ke-

ma ‘shu m -an imam.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ijmak telah menjadi 

objek perselisihan pendapat termasuk dalam hal kehujahannya. 

Meskipun ijmak telah dijustifikasi dengan ayat -ayat Alquran, Sunah, 

dan argumentasi-argumentasi rasional, tetapi tetap saja bukti-bukti 

atau dalil-dalil itu tidak dapat secara jelas dan tegas mendukung 

otoritas ijmak. Bahkan , justifikasi itu terkesan di-fait accompli - kan. 

Sebab, para penentang ijmak kemudian juga memakai  ayat-ayat 

Alquran, Sunah, dan rasio untuk meng-counter  pendapat jumhur 

ulama. Menurut hemat penulis , perselisihan pendapat ini 

dikarenakan dalil-dalil yang dipakai  untuk mendukung ijmak 

hanya bersifat “kemungkinan” ( al- ihtim al), tidak secara eskplisit 

untuk ijmak. 

Dalam hubungan ini, penulis kurang sependapat dengan 

golongan yang menolak kuhujahan ijmak (al-Nizh am, Syi’ah , dan 

Khawarij). Terhadap argumentasi yang dikemukakan oleh golongan 

yang menolak otoritas ijmak, terutama yang berkaitan dengan 

lemahnya dasar nas yang dipakai  untuk menjustifikasi ijmak, 

dapat dikemukakan bahwa hadis-hadis itu dapat dikategorikan 

mutawatir ma‘nawi . Tentang argumentasi bahwa generasi pasca-

sahabat akan dilanda kebobrokan moral sebagaimana diisyratkan 

oleh hadis Nabi saw., harus dimaknai bahwa hadis itu hanya 

mempresiksi kemungkinan apa yang akan terjadi pada masa yang 

akan datang, tetapi tidak menutup kemungkinan masih adanya 

orang-orang yang masih akan tetap mempertahankan dan 

menegak-kan kebenaran. Dengan demikian, tidak tertutup 

kemungkinan generasi pasca-sahabat berijmak dalam rangka 

mempertahankan dan menegakkan kebenaran. 

Tentang argumentasi bahwa sekumpulan orang yang tidak 

terjamin dari berbuat salah (tidak ma ‘shu m ) tidak mungkin akan 

melahirkan kesepakatan yang terjamin dari kesalahan ( ma ‘shu m ), 

dengan tamsil bahwa kelompok orang yang berbaju hitam pasti akan 

                           

dengan pribadi imam. Sebaliknya, jika Syi’ah menerima teori jumhur 

ulama, hal ini identik dengan pengingkaran “keimanan” terhadap ke-

ma ‘shu m -an imam.  

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ijmak telah menjadi 

objek perselisihan pendapat termasuk dalam hal kehujahannya. 

Meskipun ijmak telah dijustifikasi dengan ayat -ayat Alquran, Sunah, 

dan argumentasi-argumentasi rasional, tetapi tetap saja bukti-bukti 

atau dalil-dalil itu tidak dapat secara jelas dan tegas mendukung 

otoritas ijmak. Bahkan , justifikasi itu terkesan di-fait accompli - kan. 

Sebab, para penentang ijmak kemudian juga memakai  ayat-ayat 

Alquran, Sunah, dan rasio untuk meng-counter  pendapat jumhur 

ulama. Menurut hemat penulis , perselisihan pendapat ini 

dikarenakan dalil-dalil yang dipakai  untuk mendukung ijmak 

hanya bersifat “kemungkinan” ( al- ihtim al), tidak secara eskplisit 

untuk ijmak. 

Dalam hubungan ini, penulis kurang sependapat dengan 

golongan yang menolak kuhujahan ijmak (al-Nizh am, Syi’ah , dan 

Khawarij). Terhadap argumentasi yang dikemukakan oleh golongan 

yang menolak otoritas ijmak, terutama yang berkaitan dengan 

lemahnya dasar nas yang dipakai  untuk menjustifikasi ijmak, 

dapat dikemukakan bahwa hadis-hadis itu dapat dikategorikan 

mutawatir ma‘nawi . Tentang argumentasi bahwa generasi pasca-

sahabat akan dilanda kebobrokan moral sebagaimana diisyratkan 

oleh hadis Nabi saw., harus dimaknai bahwa hadis itu hanya 

mempresiksi kemungkinan apa yang akan terjadi pada masa yang 

akan datang, tetapi tidak menutup kemungkinan masih adanya 

orang-orang yang masih akan tetap mempertahankan dan 

menegak-kan kebenaran. Dengan demikian, tidak tertutup 

kemungkinan generasi pasca-sahabat berijmak dalam rangka 

mempertahankan dan menegakkan kebenaran. 

Tentang argumentasi bahwa sekumpulan orang yang tidak 

terjamin dari berbuat salah (tidak ma ‘shu m ) tidak mungkin akan 

melahirkan kesepakatan yang terjamin dari kesalahan ( ma ‘shu m ), 

dengan tamsil bahwa kelompok orang yang berbaju hitam pasti akan 

tampak hitam pula, analogi dan tamsil ini tidak bisa diterima. Sebab, 

sesuatu yang immateri (abstrak), seperti pendapat, fungsi, dan lain 

sebagainya, tidak dapat dianalogikan dengan sesuatu yang bersifat 

materi. Sebagai contoh, fungsi setetes air tidak dapat 

menghilangkan rasa haus, tetapi segelas air minum dapat 

menghilangkan rasa dahaga. Demikian juga halnya, seutas kawat 

kecil tidak mempunyai kekuatan, tetapi seikat kawat kecil dapat 

dijadikan tali yang cukup kuat. 

Menurut mereka, karena ijmak itu harus diduku ng oleh dalil 

nas, maka yang menjadi hujah sebenarnya yaitu  dalil nas itu 

sendiri, sehingga ijmak menjadi kehilangan arti dan fungsi. Dalam 

konteks ini, dapat dikemukakan bahwa fungsi ijmak yaitu  untuk 

menguatkan sandaran dalil ijmak yang bersifat zha nni. Adapun 

dalam masalah yang telah ada dalil qa th‘i -nya, maka menurut hemat 

penulis, ijmak memang tidak diperlukan lagi. Tentang pendapat 

golongan Syi’ah yang mengaitkan ajaran ijmak dengan ke - ma ‘su m -

an individu sang ima m, dapat dijawab bahwa tidak ada satu pun nas 

yang menjamin ke- ma ‘shu m -an individu selain Nabi saw. Dengan 

demikian, argumentasi golongan ini kurang dapat di pertanggung 

jawabkan secara syarak. 

Oleh karena itu, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa 

ijmak itu merupakan hujah bagi umat Islam. Sebab, fakta dan 

realitasnya ijmak telah didukung oleh dalil-dalil dari berbagai 

sumber secara kolektif, baik dari Alquran, Sunah, maupun dalil 

logika sebagai suatu kesatuan. Memang dalil -dalil itu berbeda-beda 

objek ataupun pola pendekatannya dan tidak secara langsung 

menunjuk pada kehujahan ijmak. Beberapa hadis yang dipakai  

untuk mendukung kehujahan ijmak juga termasuk lemah karena 

termasuk hadis ahad. Akan tetapi, para ulama mengakui bahwa dalil-

dalil itu memiliki arah dan makna yang sama serta saling mendukung 

sehingga pada gilirannya dapat mendatangkan kepastian.104  

Andaikan secara teoretis ijmak masih diperdebatkan, namun 

fakta sejarah telah membuktikan bahwa ia telah memainkan peranan 

penting dalam mem-persatukan umat dan meminimalkan side effect  

                                                           

dari perselisihan yang ada, baik secara sosiologis105  maupun 

politis. Oleh karena itu, “kepercayaan” kepada otoritas ijmak 

perlu dipertahankan. 

 

c .  Kualitas Otoritas Ijmak  

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa ada  

perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh dalam hal apakah 

kehujahan ijmak itu berdiri sendiri ataukah membutuhkan dalil 

penunjang. Perbedaan pendapat ini kemudian berimplikasi pada 

perbedaan pendapat dalam penentuan kualitas kehujahan ijmak, 

apakah bersifat qa th‘i  ataukah zha nni. Dalam konteks ini, sebagian 

ulama berpendapat, oleh karena teori ijmak bersumber dari Alquran 

dan atau Sunah, maka secara umum dianggap bahwa ijmak yaitu  

suatu hujah yang qath‘i .  

Ulama yang berpendapat demikian di antaranya ialah Shairafi, 

Ibnu Burhan, a d-Dabbusi, dan Ibnu Taimiyah.107  

Al-Bazdawi juga berpendapat bahwa kehujahan ijmak itu 

bersifat qath‘i  dan menyatakan bahwa fungsi ijmak memang 

meningkatkan kualitas suatu peraturan, yang semula bersifat zhanni  

atau masih diperselisihkan, dapat menjadi qath‘ i setelah adanya 

persetujuan atau ijmak. Oleh karena itu, jika telah dicapai kata 

sepakat, pendapat yang menyimpang boleh diabaikan.108  Adapun 

kelompok ulama lainnya, termasuk ar-Razi dan al -Amidi, 

menyatakan bahwa ijmak yaitu  hujah yang bersifat zhanni , sebab 

ijmak ditetapkan dalam masalah-masalah yang didasarkan pada kias 

atau hadis-hadis ahad yang sifatnya juga zhanni. Pendapat yang 

lebih moderat menyatakan bahwa jika ijmak ditetapkan dengan 

                                                           

105 Sebagaimana dinyatakan oleh al-Juwaini, ijmak telah berperan sebagai penjaga 

dan penopang yurisprudensi hukum Islam, terutama pemikiran hukum Islam warisan 

ulama salaf. Lihat Abu al-Ma’ali al - Juwaini, al- Burhan , hlm. 436.  

106Sebagai contoh yaitu  dalam peristiwa pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah. 

Menurut Munawir Syadzali, dalam peristiwa pemilihan dan pengangkatan Abu Bakar 

sebagai khalifah, permusyawaratan dan konsensus ditempuh untuk keperluan yang nyata 

dan sungguh-sungguh mendesak, yakni untuk mengisi kevakuman “kepemimpinan” 

setelah Nabi saw. wafat. 

dari perselisihan yang ada, baik secara sosiologis105  maupun 

politis. Oleh karena itu, “kepercayaan” kepada otoritas ijmak 

perlu dipertahankan. 

 

c .  Kualitas Otoritas Ijmak  

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa ada  

perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh dalam hal apakah 

kehujahan ijmak itu berdiri sendiri ataukah membutuhkan dalil 

penunjang. Perbedaan pendapat ini kemudian berimplikasi pada 

perbedaan pendapat dalam penentuan kualitas kehujahan ijmak, 

apakah bersifat qa th‘i  ataukah zha nni. Dalam konteks ini, sebagian 

ulama berpendapat, oleh karena teori ijmak bersumber dari Alquran 

dan atau Sunah, maka secara umum dianggap bahwa ijmak yaitu  

suatu hujah yang qath‘i .  

Ulama yang berpendapat demikian di antaranya ialah Shairafi, 

Ibnu Burhan, a d-Dabbusi, dan Ibnu Taimiyah.  

Al-Bazdawi juga berpendapat bahwa kehujahan ijmak itu 

bersifat qath‘i  dan menyatakan bahwa fungsi ijmak memang 

meningkatkan kualitas suatu peraturan, yang semula bersifat zhanni  

atau masih diperselisihkan, dapat menjadi qath‘ i setelah adanya 

persetujuan atau ijmak. Oleh karena itu, jika telah dicapai kata 

sepakat, pendapat yang menyimpang boleh diabaikan.  Adapun 

kelompok ulama lainnya, termasuk ar-Razi dan al -Amidi, 

menyatakan bahwa ijmak yaitu  hujah yang bersifat zhanni , sebab 

ijmak ditetapkan dalam masalah-masalah yang didasarkan pada kias 

atau hadis-hadis ahad yang sifatnya juga zhanni. Pendapat yang 

lebih moderat menyatakan bahwa jika ijmak ditetapkan dengan 

                                                           

kesepakatan bulat dari para ahli, maka ia bersifat qath‘i . Tetapi jika ia 

didahului dengan ketidaksepakatan, seperti ijmak sukut i, atau 

mereka yang tidak setuju itu hanyalah minoritas, maka ijmak ini 

yaitu  zhanni .

Menarik apa yang dikemukakan dalam kitab Jam‘u al - Jawa m i‘  

bahwa jika ijmak itu berkenaan dengan hal-hal yang termasuk 

kategori ‘ulima min al - din bi al- dharurah, seperti wajibnya salat lima 

waktu, haji ke Baitullah, puasa bulan Ramadan, maka penentangnya 

diaggap kafīr. Tetapi terhadap materi ijmak yang tidak terkaver oleh 

nas, termasuk ijmak khafi  atau sukut i, seperti rusaknya ibadah haji 

karena jimak sebelum wukuf, maka penentangnya tidak kafir.

Paparan ini  di atas menunjukkan bahwasanya ada  

dua kategori kualitas ijmak, yaitu ijmak qath ‘i  jika didukung oleh nas 

yang qath ‘i  atau berkenaan dengan hal-hal yang termasuk kategori 

‘ulima min al - din bi al - dharurah. Penentang terhadap ijmak yang 

demikian yaitu  kafir. Adapun terhadap ijmak yang berkualitas 

zhanni , yaitu ijmak dalam masalah-masalah yang didukung oleh dalil 

zhanni  atau dalam masalah-masalah yang tidak ada nasnya secara 

eksplisit dalam nas syarak, penentang terhadap ijmak yang termasuk 

kategori demikian tidaklah kafir. 

 

d.  Macam- macam Ijmak.  

berdasar  proses bagaimana kesepakatan atau konsensus 

dari antara para mujtahid itu terjadi, ijmak dapat diklasifikasikan 

menjadi dua macam, yaitu ijmak sharih  dan sukuti . Kedua jenis 

ijmak dan statusnya dalam sistem penetapan hukum Islam akan 

diuraikan  berikut ini.  

1) Ijmak sharih atau ijmak q auli yaitu  kesepakatan para mujtahid 

pada zamannya tentang hukum suatu perkara di mana seluruh 

mujtahid menyatakan pendapat dengan jelas melalui perkataan 

( qaul ) atau perbuatan nyata (fi‘l ). Secara teknis, proses ijmak 

                                                           

sharih ini terbentuk bila  para mujtahid berkumpul melalui 

sebuah forum, kemudian masing-masing mujtahid menyatakan 

pendapat hukumnya dengan jelas mengenai suatu masalah yang 

menjadi objek kajian dan pendapat mereka mengenai hal 

ini  menyatu. Kemungkinan lain, masing -masing para 

mujtahid mempunyai pendapat hukum suatu masalah dan tanpa 

bertemu dalam suatu forum. Setelah pendapat mereka beredar 

di warga , diketahui bahwa ternyata pendapat para mujtahid 

mengenai masalah ini  sama. Menurut Abd al -Wahh ab 

Khall af, ijmak yang demikian inilah yang benar.112 Bagi kelompok 

ulama yang mendukung kehujahan ijmak, status ijmak sharih ini 

dapat dijadikan sebagai hujah dan tidak ada perselisihan di 

antara mereka.

 

2) Ijmak sukuti  atau ijmak rukhs ah yaitu  ijmak yang didasarkan 

pada asumsi karena kesepakatannya terbentuk melalui 

pernyataan atau perbuatan sebagian ulama berkenaan dengan 

hukum suatu masalah, dan setelah informasi ini menyebar di 

warga , sebagian ulama yang lain diam (sukut ) dan tidak 

menyatakan pendapatnya meski telah cukup waktu untuk 

menelaahnya.

 

Berkenaan dengan kehujahan ijmak sukuti , sebagian ulama 

berpendapat bahwa ijmak sukuti  dianggap sebagai ijmak yang sah, 

sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ijmak sukuti  ini 

bukanlah hujah. 

Mayoritas ulama Hanafiyah, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagian 

ulama Syafi’iyah, dan jumhur ulama berpendapat  bahwa ijmak sukuti  

dapat dijadikan sebagai hujah.

sharih ini terbentuk bila  para mujtahid berkumpul melalui 

sebuah forum, kemudian masing-masing mujtahid menyatakan 

pendapat hukumnya dengan jelas mengenai suatu masalah yang 

menjadi objek kajian dan pendapat mereka mengenai hal 

ini  menyatu. Kemungkinan lain, masing -masing para 

mujtahid mempunyai pendapat hukum suatu masalah dan tanpa 

bertemu dalam suatu forum. Setelah pendapat mereka beredar 

di warga , diketahui bahwa ternyata pendapat para mujtahid 

mengenai masalah ini  sama. Menurut Abd al -Wahh ab 

Khall af, ijmak yang demikian inilah yang benar.112  Bagi kelompok 

ulama yang mendukung kehujahan ijmak, status ijmak sharih ini 

dapat dijadikan sebagai hujah dan tidak ada perselisihan di 

antara mereka.

 

2) Ijmak sukuti  atau ijmak rukhs ah yaitu  ijmak yang didasarkan 

pada asumsi karena kesepakatannya terbentuk melalui 

pernyataan atau perbuatan sebagian ulama berkenaan dengan 

hukum suatu masalah, dan setelah informasi ini menyebar di 

warga , sebagian ulama yang lain diam (sukut ) dan tidak 

menyatakan pendapatnya meski telah cukup waktu untuk 

menelaahnya.

 

Berkenaan dengan kehujahan ijmak sukuti , sebagian ulama 

berpendapat bahwa ijmak sukuti  dianggap sebagai ijmak yang sah, 

sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ijmak sukuti  ini 

bukanlah hujah. 

Mayoritas ulama Hanafiyah, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagian 

ulama Syafi’iyah, dan jumhur ulama berpendapat  bahwa ijmak sukuti  

dapat dijadikan sebagai hujah.

Imam Malik juga berpendapat bahwa ijmak sukuti  sebagai 

hujah. Menurut ulama Hanafiyah, ijmak sukuti  menjadi hujah 

bila  ketetapan hukum yang mewarga  dan ada jeda waktu 

bagi para mujtahid untuk mengkajinya, serta tidak ada hal yang 

ditakutkan untuk menyatakan pendapatnya.  

Argumentasi yang dikemukakan oleh ulama pendukung 

kehujahan ijmak sukuti  yaitu : (a) Setiap mujtahid berkewajiban 

untuk menyatakan pendapatnya, terutama ketika ada pendapat yang 

salah. Oleh karena itu, jika seorang mujtahid diam menyikapi 

pendapat hukum yang telah beredar, berarti ia membenarkan dan 

menyetujuinya. (b) Mustahil akan dapat mendeteksi keberadaan dan 

pendapat seluruh mujtahid yang tersebar di berbagai daerah. 

Padahal,  Allah swt. tidak pernah mempersulit hamba-Nya. (c) Pada 

galibnya yang berfatwa yaitu  para tokoh ulama besar saja, 

sedangkan ulama yang lain menerima dan mengikuti pendapat 

tokoh ulama besar tesebut. Artinya, diam itu merupakan persetujuan 

secara tidak langsung. berdasar  alasan ini pula, maka ijmak 

mayoritas juga sah.  (d)  

Para ulama telah sepakat bahwa dalam masalah teologi ijmak 

suku>ti>  dianggap sah, maka dapat dianalogikan bahwa dalam 

masalah fiqh pun seharusnya demikian. 

Sebagian ulama Syafi’iyah , sebagian ulama M alikiyah, dan al-

Baqill ani  berpendapat bahwa ijmak sukuti  bukan ijmak dan bukan 

hujah.  Para ulama yang menolak kehujahan ijmak sukuti  ini 

mengemukakan beberapa alasan, yaitu:  

a.  Bahwasanya dalam teori ijmak disyaratkan adanya kejelasa n dan 

kepastian pendapat seluruh mujtahid tentang suatu masalah dan 

semuanya menyepakatinya. Oleh karena itu, bila  ada 

                                                          

sebagian ulama yang tidak sependapat atau diam, ijmaknya tidak 

sah. Sebab, diamnya seseorang mengandung keraguan. 

Kemungkinan orang di am itu setuju, atau dia belum berijtihad 

tentang kasus ini , atau telah berijtihad tetapi belum 

menghsilkan kesimpulan apapun, atau bisa jadi telah 

menghasilkan keputusan hukum yang berbeda dengan hukum 

yang telah diputuskan ulama lain tetapi takut akan 

menyampaikannya kepada publik, dan lain sebagainya. Dalam 

konteks inilah al-Syafi’i  menyatakan: 

 ٌلْمَوق ٍَ ِما ََ  َلَِإ ُبَسَْووُووْ َلَ.121 

b. ada  beberapa atsar sahabat yang mengindikasikan bahwa 

diamnya  sahabat itu tidak berarti setuju. Sebagai contoh ialah 

kisah Umar yang bermusyawarah dengan para sahabat tentang 

sisa hartanya yang diperoleh dari rampsan perang. Umar 

mengisyaratkan akan menunda pembagian harta ini  dan 

menahannya sambil menunggu waktu yang tepat. Ali bin Abi 

Thalib terlihat diam saja sehingga Umar bertanya, “Bagaimana 

pendapatmu, Ali?” Kemudian Ali menjawab, “Kami tidak 

bermaksud akan membuat keyakinanmu berubah menjadi ragu 

dan ilmumu menjadi hilang. Saya berpendapat Engkau 

membagikan harta ini  kepada kaum Muslimin (sekarang  

juga).” Seraya Ali membaca -kan sebuah hadis tentang pembagian 

sisa harta rampasan.  

c.  Menerima kehujahan ijmak berarti menerima kehujahan ijmak 

mayoritas ulama. Padahal, ijmak mayoritas ulama tidak sah dan 

tidak dapat dijadikan hujah.  

 

Selanjutnya, berkenaan dengan masalah pembatalan ijmak 

(naskh a l- ijma ‘ ), menurut teori klasik, setiap peraturan yang 

ditetapkan melalui ijmak, tidak dapat dibatalkan ijmak yang muncul 

sedudahnya.  Adapun al-Bazdawi menyata -kan bahwa ijmak dapat 

                                                           

sebagian ulama yang tidak sependapat atau diam, ijmaknya tidak 

sah. Sebab, diamnya seseorang mengandung keraguan. 

Kemungkinan orang di am itu setuju, atau dia belum berijtihad 

tentang kasus ini , atau telah berijtihad tetapi belum 

menghsilkan kesimpulan apapun, atau bisa jadi telah 

menghasilkan keputusan hukum yang berbeda dengan hukum 

yang telah diputuskan ulama lain tetapi takut akan 

menyampaikannya kepada publik, dan lain sebagainya. Dalam 

konteks inilah al-Syafi’i  menyatakan: 

 ٌلْمَوق ٍَ ِما ََ  َلَِإ ُبَسَْووُووْ َلَ.121 

b. ada  beberapa atsar sahabat yang mengindikasikan bahwa 

diamnya  sahabat itu tidak berarti setuju. Sebagai contoh ialah 

kisah Umar yang bermusyawarah dengan para sahabat tentang 

sisa hartanya yang diperoleh dari rampsan perang. Umar 

mengisyaratkan akan menunda pembagian harta ini  dan 

menahannya sambil menunggu waktu yang tepat. Ali bin Abi 

Thalib terlihat diam saja sehingga Umar bertanya, “Bagaimana 

pendapatmu, Ali?” Kemudian Ali menjawab, “Kami tidak 

bermaksud akan membuat keyakinanmu berubah menjadi ragu 

dan ilmumu menjadi hilang. Saya berpendapat Engkau 

membagikan harta ini  kepada kaum Muslimin (sekarang  

juga).” Seraya Ali membaca -kan sebuah hadis tentang pembagian 

sisa harta rampasan.   

c.  Menerima kehujahan ijmak berarti menerima kehujahan ijmak 

mayoritas ulama. Padahal, ijmak mayoritas ulama tidak sah dan 

tidak dapat dijadikan hujah.  

 

Selanjutnya, berkenaan dengan masalah pembatalan ijmak 

(naskh a l- ijma ‘ ), menurut teori klasik, setiap peraturan yang 

ditetapkan melalui ijmak, tidak dapat dibatalkan ijmak yang muncul 

sedudahnya.  Adapun al-Bazdawi menyata -kan bahwa ijmak dapat 

                                                           

dibatalkan oleh ijmak sesudahnya dalam generasi yang sama atau 

dalam generasi selanjutnya. Suatu peraturan yang ditetapkan 

melalui ijmak yang terdahulu dapat dibatalkan oleh ijmak sama 

bentuknya yang muncul kemudian dalam generasi yang sama atau 

dalam generasi yang berbeda. Suatu ijmak yang qath‘i  bisa 

dibatalkan oleh ijmak yang qath‘i pula dan tidak oleh ijmak yang 

zhanni .

Al-Bazdawi menyatakan bahwa ketentuan -ketentuan yang 

dibuat melalui ijtihad dan ijmak bisa dibatalkan seiring berlalunya 

waktu penetapan ijmak dan ijmak bisa terjadi setiap saat. Para ulama 

dari generasi berikutnya mungkin akan mengemukakan 

argumentasi, dengan segala kemungkinan, atas dasar suatu hujah 

yang lebih baik daripada para ulama dari generasi sebelumnya. Ijmak 

ini mungkin akan bertentangan dengan ijmak sebelumnya. Ijmak 

yang muncul belakangan mengenai masalah yang sama akan 

berperan sebagai suatu tanda berakhirnya masa berlaku peraturan 

sebelumnya yang didasarkan atas ijmak. 

Menurut Al -Bazdawi, masa berlakunya suatu peraturan hukum 

akan berakhir bila  kepentingan dan manfaat ( mashlahah ) yang 

dikandungnya sudah tidak ditemukan lagi, dan ulama generasi 

berikutnya bisa saja menyepakati suatu peraturan hukum yang 

bertentangan dengan peraturan hukum sebelumnya. Kesepakatan 

ulama atas peraturan hukum yang bertentangan dengan peraturan 

hukum sebelumnya menunjukkan bahwa peraturan ini  telah 

berubah sejalan dengan berubahnya kepentingan dan manfaat yang 

dirasakan oleh warga  dan bahwa masa berlakunya peraturan 

hukum sebelumnya telah berakhir.  

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat 

yang kuat, kualifikasi ijmak yang menjadi objek kajian yang 

sebenarnya dalam   yaitu  zhanni . 

4. Qiyas  

Qiyas menurut bahasa yaitu  mengukur sesuatu dengan 

sesuatu yang lain yang bisa menyamainya.127  Sebagai contoh yaitu  

mengukur kain atau pakaian dengan meteran. Sedangkan pengertian 

secara istilah menurut ulama ushul fiqh, qiyas yaitu  : 

 

 ْـٌـلـُح شـِـػ ٠ك خٔـٜـًحشـظـشلْشـخآ ّٞـِـؼـٓ ٠ك ِّٞـؼـٓ ْـٌـك َـؼـٓ صخزـػا

128 

 

Artinya : menyamakan hukum suatu kejadian yang tidak ada 

nashnya kepada hukum kejadian lain yang ada nashnya 

lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu pada 

illat atau alasan hukumnya.  

 

Sebagai contoh, masalah meminum khamr  merupakan suatu 

perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya 

haram berdasar  QS Al-Maidah : 90 dengan illat hukumnya yaitu   

memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang ada  illat 

memabukkan hukumnya sama dengan khamr  dan haram 

meminumnya. 

 

a. Rukun- Rukun Qiyas  

Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut : 

1) Al - Ashl; yaitu sesuatu yang hukumnya ada  dalam nash. 

Rukun ini biasanya disebut maqis ‘alaih (yang dipakai sebagai 

ukuran). 

2) Al - far’; yaitu sesuatu yamg hukumnya tidak ada  di 

dalam nash dan hukumnya disamakan kepada al- ashl, biasa 

disebut juga al maqis  (yang  

diukur). 

3) Hukm al - ashl;  yaitu hukum syarak yang ada  nashnya 

menurut al- ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al- far’ . 

                                                           

4. Qiyas  

Qiyas menurut bahasa yaitu  mengukur sesuatu dengan 

sesuatu yang lain yang bisa menyamainya.127  Sebagai contoh yaitu  

mengukur kain atau pakaian dengan meteran. Sedangkan pengertian 

secara istilah menurut ulama ushul fiqh, qiyas yaitu  : 

 

 ْـٌـلـُح شـِـػ ٠ك خٔـٜـًحشـظـشلْشـخآ ّٞـِـؼـٓ ٠ك ِّٞـؼـٓ ْـٌـك َـؼـٓ صخزـػا

128 

 

Artinya : menyamakan hukum suatu kejadian yang tidak ada 

nashnya kepada hukum kejadian lain yang ada nashnya 

lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu pada 

illat atau alasan hukumnya.  

 

Sebagai contoh, masalah meminum khamr  merupakan suatu 

perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya 

haram berdasar  QS Al-Maidah : 90 dengan illat hukumnya yaitu   

memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang ada  illat 

memabukkan hukumnya sama dengan khamr  dan haram 

meminumnya. 

 

a. Rukun- Rukun Qiyas  

Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut : 

1) Al - Ashl; yaitu sesuatu yang hukumnya ada  dalam nash. 

Rukun ini biasanya disebut maqis ‘alaih (yang dipakai sebagai 

ukuran). 

2) Al - far’; yaitu sesuatu yamg hukumnya tidak ada  di 

dalam nash dan hukumnya disamakan kepada al- ashl, biasa 

disebut juga al maqis  (yang  

diukur). 

3) Hukm al - ashl;  yaitu hukum syarak yang ada  nashnya 

menurut al- ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al- far’ . 

                                                           

4) Shifat atau ‘illat ; yaitu keadaan tertentu yang dipakai dasar 

bagi hukum ashl, kemudian al- far’  itu disamakan kepada ashl 

dalam hal hukumnya.   

 

b.  Qiyas sebagai sandaran Ijmak  

 Para ulama berbeda pendapat apakah qiyas  dapat dijadikan 

sandaran ijmak. Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa 

qiyas   itu tidak sah dijadikan  dasar ijmak sebab ijmak itu qath’i , 

sedangkan dalil qiyas  yaitu  zhanni . Menurut kaidah, yang qath’i   itu 

tidak sah didasarkan pada yang  zhanni . Pada ulama  yang 

menyatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijmak beragumen 

bahwa hal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama, 

juga dikarenakan qiyas itu termasuk salah satu dalil syarak maka sah 

dijadikan sandaran ijmak.

Dalam   sering dikemukan pembahasan tentang 

dalil-dalil hukum syarak yang tidak sepakati oleh para ulama. 

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa dalil-

dalil hukum yang disepakati para ulama meliputi Alquran, Sunah, 

Ijmak dan Qiyas. Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati 

meliputi Isthisan, istish - hsab, ‘urf , mashlahah mursalah, syar’u man 

qablana, Saddudzdzari’ah dan mazhab Sahabat. S ebagai umat Islam 

kita harus mengetahui dalil-dalil hukum yang tidak disepakati, untuk 

membekali diri dalam menetapkan sebuah hukum, apakah dalam 

kehidupan sehari-hari merujuk kepada dalil-dalil ini  atau 

tidak. Artinya, kita harus menghindarkan diri jangan sampai ada 

keraguan mengenai suatu hukum. 

berdasar  sudut pandang kesepakatan ulama, klasifikasi 

sumber hukum fiqh dibedakan menjadi 3  (tiga) macam yaitu : 

1. Sumber hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dalam 

hal ini yaitu  Alquran dan Sunah. 

2.  Sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama, 

yang menempati kedudukan ini selain Alquran dan Sunah, yaitu  

ijmak dan qiyas. 

3.  Sumber hukum yang menjadi perdepatan para ulama. Yang 

menempati kedudukan ini yaitu  ‘urf  (kebiasaan), istish- hab  

(pemberian hukum berdasar  keberadaannya pada masa 

lampau), istihsan (anggapan baik tentang suatu), mashlahah 

  

Dalam   sering dikemukan pembahasan tentang 

dalil-dalil hukum syarak yang tidak sepakati oleh para ulama. 

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa dalil-

dalil hukum yang disepakati para ulama meliputi Alquran, Sunah, 

Ijmak dan Qiyas. Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati 

meliputi Isthisan, istish - hsab, ‘urf , mashlahah mursalah, syar’u man 

qablana, Saddudzdzari’ah dan mazhab Sahabat. S ebagai umat Islam 

kita harus mengetahui dalil-dalil hukum yang tidak disepakati, untuk 

membekali diri dalam menetapkan sebuah hukum, apakah dalam 

kehidupan sehari-hari merujuk kepada dalil-dalil ini  atau 

tidak. Artinya, kita harus menghindarkan diri jangan sampai ada 

keraguan mengenai suatu hukum. 

berdasar  sudut pandang kesepakatan ulama, klasifikasi 

sumber hukum fiqh dibedakan menjadi 3  (tiga) macam yaitu : 

1. Sumber hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dalam 

hal ini yaitu  Alquran dan Sunah. 

2.  Sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama, 

yang menempati kedudukan ini selain Alquran dan Sunah, yaitu  

ijmak dan qiyas. 

3.  Sumber hukum yang menjadi perdepatan para ulama. Yang 

menempati kedudukan ini yaitu  ‘urf  (kebiasaan), istish- hab  

(pemberian hukum berdasar  keberadaannya pada masa 

lampau), istihsan (anggapan baik tentang suatu), mashlahah 

mursalah (penetapan hukum berdasar  prinsip kemaslahtan 

bersama). 

 Berikut akan diuraikan d alil-dalil hukum syarak yang 

diperselisihkan oleh para ulama. 

 

1.  Istihsan  

Istihsan ini telah menjadi perdebatan serius di antara ulama 

ushul fiqh. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap sesuatu itu 

baik, sedangkan menurut istilah isitihsan yaitu  berpalingnya 

seorang mujtahid dari pemakaian  qiyas yang jaly (nyata) kepada 

qiyas yang khafy  (samar) atau dari hukum kulli  (umum) kepada 

hukum istitsnai (pengecualian) karena ada dalil yang menurut logika 

membenarkannya.131 Menurut ahli ushul fiqh yang lain, istihsan 

yaitu  satu dalil yang keluar dari pemikiran seorang mujtahid yang 

menetapkan kerajihan qiyas khafy  dari pada qiyas jaly, atau 

mendahulukan ketentuan hukum yang khusus (juz’y ) dari ketentuan 

umum (kully )”.    Dengan demikian istihsan ialah berpaling dari 

qiyas khafi atau dari hukum kulli  menuju yang dikecualikan karena 

ada dalil yang lebih kuat.  

 Bentuk -bentuk istihsan berdasar  dalil-dalil yang 

mendukungnya, dapat dibedakan menjadi 6 (enam), yaitu istihsan 

dengan nash, dengan ijmak, dengan dharurah, dengan qiyas khafi , 

dengan ‘urf  atau dengan mashlahah . 

a. Istihsan bil qiyas al khafi;  ialah pencetusan hukum melalui 

perenungan dan penelitian yang mendalam, atas sebuah kasus 

atau peristiwa yang memiliki dua dalil , yakni berupa qiyas jali  

dan qiyas khafi , dan masing-masing dalil ini  memiliki 

konsekuensi hukum sendiri. 

b. Istihsan bin nash ; ial ah diperbolehkannya pelanggaran atas 

hukum yang sudah ditetapkan secara universal dan menjadi 

                                                           

kaidah umum, karena secara spesifik ada  nash dari Alquran 

atau Sunah yang memperbolehkannya hal ini . 

c. Istihsan bil ijma’;  ialah fatwa para mujtahid tentang suatu 

hukum dalam permasalahan  kontemporer yang menyalahi 

aturan-aturan universal yang telah menjadi kaidah umum 

karena sebuah kebiasaan. 

d. Istihsan bi al - dharurah;  ialah  pengecualian atas hukum yamg 

telah ditetapkan, karena kesulitan yang akan gerjadi jika hukum 

atau ketetapan ini  diunakan. 

e. I stihsan bi  al- mas hlahah;  ialah hukum yang bertentangan 

dengan kaidah umum yang telah ditetapkan karena untuk 

kepentingan dan keselamatan bersama 

f. Istihsan bi al - ‘urf;  ialah berpindahnya suatu hukum atau kaidah 

umum yang telah ditetapkan karena adanya tradisi yang 

berlaku. 

 

Sebagai contoh istihsan ialah, bahwa secara prinsip hokum 

sysarak melarang mengadakan perikatan dan memperjualbelikan 

barang-barang yang belum ada pada saat perikatan terjadi. Tetapi 

kemudian syarak memberikan rukhshah, diperkenankan 

menjalankan salam, yaitu jual beli dengan cara pembayaran terlebih 

dahulu (DP), sedangkan barangnya dikirim kemudian. Demikian pula 

hokum syarak memperbolehkan istishna’, yakni memesan untuk 

dibuatkan sesuatu atau jeal beli indent. 

 

2.  Ist ish- hab  

Pengertian istish- hab  menurut bahasa ialah membawa atau 

menemani. Al-Asnawy (w. 772H) berpendapat bahwa pengertian 

istish- hab  yaitu  penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu 

perkara di masa berikutnya atas dasar bahwa hukum itu telah 

berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang 

mengharuskan terjadinya perubahan atas hukum ini . Atau 

menetapkan suatu hukum sebelumnya, sehingga hukumyang baru 

merubahnya.

kaidah umum, karena secara spesifik ada  nash dari Alquran 

atau Sunah yang memperbolehkannya hal ini . 

c. Istihsan bil ijma’;  ialah fatwa para mujtahid tentang suatu 

hukum dalam permasalahan  kontemporer yang menyalahi 

aturan-aturan universal yang telah menjadi kaidah umum 

karena sebuah kebiasaan. 

d. Istihsan bi al - dharurah;  ialah  pengecualian atas hukum yamg 

telah ditetapkan, karena kesulitan yang akan gerjadi jika hukum 

atau ketetapan ini  diunakan. 

e. I stihsan bi  al- mas hlahah;  ialah hukum yang bertentangan 

dengan kaidah umum yang telah ditetapkan karena untuk 

kepentingan dan keselamatan bersama 

f. Istihsan bi al - ‘urf;  ialah berpindahnya suatu hukum atau kaidah 

umum yang telah ditetapkan karena adanya tradisi yang 

berlaku. 

 

Sebagai contoh istihsan ialah, bahwa secara prinsip hokum 

sysarak melarang mengadakan perikatan dan memperjualbelikan 

barang-barang yang belum ada pada saat perikatan terjadi. Tetapi 

kemudian syarak memberikan rukhshah, diperkenankan 

menjalankan salam, yaitu jual beli dengan cara pembayaran terlebih 

dahulu (DP), sedangkan barangnya dikirim kemudian. Demikian pula 

hokum syarak memperbolehkan istishna’, yakni memesan untuk 

dibuatkan sesuatu atau jeal beli indent. 

 

2.  Ist ish- hab  

Pengertian istish- hab  menurut bahasa ialah membawa atau 

menemani. Al-Asnawy (w. 772H) berpendapat bahwa pengertian 

istish- hab  yaitu  penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu 

perkara di masa berikutnya atas dasar bahwa hukum itu telah 

berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang 

mengharuskan terjadinya perubahan atas hukum ini . Atau 

menetapkan suatu hukum sebelumnya, sehingga hukumyang baru 

merubahnya.

Dari definisi di atas melahirkan suatu kaidah : 

 

 َٕ خ ًَ خ َٓ  ٠ََِػ َٕ خ ًَ خ َٓ  ُءَخوَـر َُ َْطَْلْح 

 

Artinya : Pada dasarnya hukum sesuatu yaitu  tetap berlakunya 

hukum yang telah ada sebelumnya. 

 

Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, 

istishhab termasuk dalil atau acuan yang terakhir bagi seorang 

mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari Alquran, Sunah, 

ijmak atau qiyas. Al-Syaukani misalnya mengutip pandangan seorang 

ulama yang mengatakan istishhab  yaitu  menetapkan atau 

memberlakukan hukum yang telah ada, sepanjang tidak ada dalil 

yang merubahnya.   

Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia 

harus mencari hukumnya dalam Alquran, kemudian al-Sunah, lalu 

ijmak, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), 

maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘mena rik 

pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ ( istishhab al - hal). 

Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya 

yaitu  bahwa hukum itu tetap berlaku. 

a. Jenis -jenis Istish - hab :  

Para ulama menyebutkan beberapa jenis istishhab ini dan 

berikut ini akan  

disebutkan yang terpenting di antaranya, yaitu: 

1)  Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil 

lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat 

dan haram jika ia membawa mudharat dengan perbedaan 

pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya, 

yaitu apakah hukum asal sesuatu itu yaitu  mubah atau 

haram. Salah satu contohnya yaitu  jenis makanan dan 

minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan 

hukumnya dalam Alquran dan Sunah, atau dalil lainnya 

seperti ijmak dan qiyas. 

2) Istishhab al - bara’ah al- ashliyah,  atau bahwa hukum asalnya 

seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan 

apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang 

membebankan ia untuk melakukan atau 

mempertanggungjawabkan sesuatu. 

3)  Isti shhab hukum yang ditetapkan oleh ijmak pada saat 

berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.   

 

b.  Kehujahan  Ist ish- hab  

Istish - hab  pada dasarnya bukanlah untuk menetapkan suatu 

hkum yang barumelainkan untuk melanjutkan berlakunya hokum 

yang telah ada sebelumnya.  Dengan kata lain, istish- hab  

merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang 

mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan 

kepadanya.  Oleh karena itu, maka para ahli   

berpendapat bahwa sesungguhnya istishhab  merupakan jalan 

terakhir rujukan fatwa. Ia yaitu  pemberlakuan hukum atas sesuatu 

dengan hukum yang telah ada sebelumnya, sepanjang tidak ada dalil 

yang merubahnya. 

Sebagai contoh yaitu  status hukum oang yang mafqud , yakni 

orang yang bepergian dalam jangka waktu yang lama, tanpa ada 

kabar dan berita, tanpa diketahui rimbanya. Dengan memakai  

dalil istish- hab , maka si mafqud  harus dianggap masih hidup, 

memberlakukan hukum yang telah ada, di mana sewaktu pergi si 

mafqud  masih hdiup dan hingga terakhir waktu tidak ada bukti yang 

sah dan meyakinkan tentang meninggalnya si mafqud  ini . 

Ketetapan hokum yang demikian semata -mata untuk menolak 

status kematiannya dengan segala konsekuensi hukum yang 

menyertainya, seperti membagi waris harta benda miliknya, diputus 

perjanjian sewa menyewanya atau diputus cerai isterinya.  

hukumnya dalam Alquran dan Sunah, atau dalil lainnya 

seperti ijmak dan qiyas. 

2) Istishhab al - bara’ah al- ashliyah,  atau bahwa hukum asalnya 

seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan 

apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang 

membebankan ia untuk melakukan atau 

mempertanggungjawabkan sesuatu. 

3)  Isti shhab hukum yang ditetapkan oleh ijmak pada saat 

berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.

b.  Kehujahan  Ist ish- hab  

Istish - hab  pada dasarnya bukanlah untuk menetapkan suatu 

hkum yang barumelainkan untuk melanjutkan berlakunya hokum 

yang telah ada sebelumnya.  Dengan kata lain, istish- hab  

merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang 

mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan 

kepadanya.  Oleh karena itu, maka para ahli   

berpendapat bahwa sesungguhnya istishhab  merupakan jalan 

terakhir rujukan fatwa. Ia yaitu  pemberlakuan hukum atas sesuatu 

dengan hukum yang telah ada sebelumnya, sepanjang tidak ada dalil 

yang merubahnya. 

Sebagai contoh yaitu  status hukum oang yang mafqud , yakni 

orang yang bepergian dalam jangka waktu yang lama, tanpa ada 

kabar dan berita, tanpa diketahui rimbanya. Dengan memakai  

dalil istish- hab , maka si mafqud  harus dianggap masih hidup, 

memberlakukan hukum yang telah ada, di mana sewaktu pergi si 

mafqud  masih hdiup dan hingga terakhir waktu tidak ada bukti yang 

sah dan meyakinkan tentang meninggalnya si mafqud  ini . 

Ketetapan hokum yang demikian semata -mata untuk menolak 

status kematiannya dengan segala konsekuensi hukum yang 

menyertainya, seperti membagi waris harta benda miliknya, diputus 

perjanjian sewa menyewanya atau diputus cerai isterinya.  

 

 

3.‘ Urf  

‘Urf  menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai 

dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan 

diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan menurut ulama ushul 

fiqh, ‘urf  yaitu  sesuatu yang yang telah dibiasakan  oleh manusia, 

secara terus menerus dikerjakan dalam jangka waktu yang lama, 

atau ada perkataan atau istilah yang disepakati memiliki pengertian 

khusus  dan tidak terdengar asing bagi mereka.139  

Ditinjau dari bentuknya ada 2 ( dua) macam :  

a. Al - ‘u rf al- q aliyah;  yaitu kebiasaan yang berupa perkataan, 

seperti kata lahm  (daging) dalam hal ini tidak termasuk daging 

ikan;  

b. Al - ‘u rf al- fi’ly ;  yaitu kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti 

perbuatan jual beli dalam warga  tanpa mengucapkan akad 

jual-beli.140  

 

Adapun syarat-syarat ‘ urf agar dapat diterima sebagai hukum 

Islam yaitu  meliputi : 

a. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam 

Alquran atau  Sunah. 

b. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at 

termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau 

kesempitan. 

c. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan 

beberapa orang saja.   

 

Selanjutnya berkenaan dengan status atau kualitas ‘urf  di mata 

syarak, ada 2 (dua) macam yaitu ‘urf shahih  (benar) dan ‘urf fasid 

(rusak).142   

a. ‘urf shahih ; ‘urf shahih yaitu  perbuatan yang dilakukan oleh 

orang-orang  yang tidak bertentangan dengan dalil syarak, tidak 

menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. 

                                                           

Sebagai contoh yaitu  bentuk perdagangan dengan cara indent 

atau pesan sebelumnya, model pembayaran mahar dengan cara 

kontan atau terhutang, kebiasaan pemberian hadiah oleh 

mempelai pria kepada mempelai wanita di luar mahar, dan lain 

sebagainya.  

b. ‘urf fasid ; yaitu   adat kebiasaan orang-orang yang bertentangan 

dengan ketentuan syarak. Sebagai contoh ialah kebia