prahara 1965 5

lettu CPM Suparno dari 
keraton yogya 
Unit III Wanayasa, dengan DanUnit Kapt. CPM Daeng Masiga 
dari Jakarta
 Unit IV Sanleko (Savana Jaya) dengan DanUnit Pelda CPM 
Suparman dari Jateng
Mulai akhir tahun 1970 ada tambahan unit-unit baru, yakni:
 Unit V Wanakerta
 Unit VI Wana Wangi
 Unit VII Wana Surya
 Unit VIII Wana Kencana
 Unit IX Wana Mulya
 Unit X Wana Dharma
 Unit XI Wana Asri
 Unit XII Birawa Wanajaya
 Unit XIII Giri Pura
 Unit XIV Bantala Reja
 Unit XV Indra Pura atau Unit Ronggolawe
 Unit XVI Indra Karya 
 Unit XVII Arga Bhakti 
 Unit XVIII Adhi Pura 
Tambahan Unit tahun 1971 sebagai berikut:
 Unit Sawunggalling
 Unit Trunojoyo
 Unit “R” 
 Unit “S”
 Unit “T”
Pemberian nama untuk unit-unit dimulai dari Unit III yang 
waktu itu Komandannya adalah Kapten CPM Daeng Masiga. Oleh 
Sang Komandan Unit III diberi nama Wana Yasa atau Wanayasa. 
Selanjutnya Unit I DanUnit II pun menyusul diberi nama pula. Unit 
I diberi nama Wana Pura oleh DanUnit Lettu CPM Eddy Tuswara, 
Kujang, Siliwangi. Unit II diberi nama Wana Reja dengan DanUnit￾nya Lettu CPM Sumardi, dari Diponegoro. Akan tetapi, sebenarnya 
gagasan permberian nama Wana Yasa untuk Unit III datang dari 
Bapak Pramoedya Ananta Toer dari Blora, Jawa Tengah, yang adalah 
sesama teman korban Tragedi ’65 yang dibuang ke Pulau Buru.
Jumlah warga di Unit III Wana Yasa saat itu baru 500 orang. Tetapi 
kemudian Unit I Wana Pura DanUnit II Wana Rejo mengirimkan 50 
warganya ke Unit III Wana Yasa. sesudah  itu, masih ada tambahan￾tambahan lain. Maka Unit III Wana Yasa jumlah warganya menjadi 
604. Aku tinggal di Unit I Wana Pura kurang lebih 3 bulan. Di Unit 
III aku tinggal di Barak I dengan kepala Bapak Chris Hutabarat dari 
Jakarta. Dia mantan jurnalis Harian Rakyat disingkat H.R. Di barakku 
ini, aku bertemu dengan orang-orang yang lanjut usia seperti Bapak
Anwar Kadir, Bapak Karel Supit, Bapak Drs. Bismo, Bapak Rivai 
Apin, Bapak Hasjim Rachman dari koran Bintang Timur, Bapak Drs. 
Suniadi, Bapak Pramoedya Ananta Toer, Bapak Prof. Dr. Suprapto 
S.H., Bapak Oey Hay Djoen, Bapak Eddy Martalogawa dan Bapak 
Situmeang, serta masih banyak lagi.
 Selama berada di Unit III, aku mendapatkan suatu kebahagiaan 
tersendiri sebab aku dapat menimba ilmu dari para sesepuh ini teruta￾ma, especially, dari Bapak Rivai Apin dan Bapak Samandjaya atau Bapak 
Oey Hay Djoen yang membimbingku ke khasanah kesusasteraan. 
Seakan-akan aku telah dilahirkan kembali. Rasa kebahagiaanku itu 
pernah kutuliskan seperti ini:
Kelahiranku
Setiap insan pasti tahu
 Empedu itu getir
 Tapi, bagiku lain
 Ia lebih manis daripada gula
 Warna-warna indah
 Bermain dalam siksa derita
 Olehnya aku lahir ditempa
Sedangkan Unit IV telah diberi nama Unit IV Sanleko atau Savana 
Jaya, disebabkan letak Unit ini  di sekitar pemukiman orang￾orang suku Buton. Pada tahun 1969-1970 Pulau Buru baru memiliki 
empat unit saja, yakni Unit I sampai IV. Akan tetapi, menjelang akhir 
tahun 1970, kami mendengar informasi bahwa di Buru akan didirikan 
lagi unit-unit yang baru. Tenaganya akan diambilkan dari unit-unit 
yang sudah ada, dan saat  pembangunan Unit I-IV konon kabarnya 
tenaganya diambilkan dari para korban Tragedi ’65 yang bergolongan 
C, yang berada di kota Ambon. Keterangan ini didapat saat  mereka 
telah menyelesaikan tugasnya, di saat akan meninggalkan Pulau Buru. 
Dan benar juga informasi tentang pembuatan unit-unit baru itu. 
Pemerintah pusat atau Jakarta mengirimkan Tim Survey-nya ke Buru 
lebih kurang di awal tahun 1971. Saat rombongan Tim Survey akan 
memulai pekerjaannya, mereka mengambil sejumlah warga dari Unit 
III Wana Yasa. Waktu itu diriku ikut di dalamnya untuk membawakan 
peralatan-peralatan mereka. Tim Survey ini terdiri dari para ahli 
geologi, pertanian, dan Zipur. Pengawal rombongan ini hanya terdiri 
dari dua orang Satuan Tugas Pengawal [ Satgaswal] dari Batalyon 732 
Pattimura. 
Penduduk Asli Pulau Buru
Meskipun pekerjaan ini sangat berat, hatiku merasa senang sebab aku 
dapat menjelajah ke mana-mana serta mengetahui keadaan di luar 
unit.
Misal: 
1. Mengetahui perkampungan-perkampungan penduduk asli 
 Buru.
2. Mengetahui keberadaan sungai-sungai lain selain Sungai 
Wayapo.
3. Mengetahui adat istiadat asli, juga bahasa komunikasinya.
4. Mengetahui cara-cara mengukur tinggi dan rendahnya tanah 
atau theodolit dan lain-lainnya.
Penduduk asli Pulau Buru masih bersifat nomaden yang artinya 
masih berpindah-pindah tempat bermukim. Bila daerah tempat 
mereka bermukim itu tak lagi membuahkan hasil mereka pun lalu 
mencari lahan yang baru. Pada umumnya mereka bermukim selalu 
memilih dekat rawa-rawa, sebab mereka butuh mencari ikan sebagai 
lauk. Mereka bahkan juga sering berburu buaya untuk dibarterkan 
atau dijual kulitnya pada orang-orang Bugis dan lain-lainnya. 
Makanan pokok mereka adalah sagu dan pisang, juga kasbi atau ketela 
pohon, ubi rambat atau betatas. Sebagai mata pencaharian, mereka 
mencari sagu untuk dijual atau dibarterkan dengan barang-barang 
kebutuhan mereka. Selain itu, mereka suka berburu rusa hutan, selain 
mencari ikan dan buaya itu tadi. Dan mereka pun masih menganut 
kepercayaan Animisme. Mereka percaya akan adanya roh-roh halus 
serta roh leluhur mereka. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa 
“Furu”. Sementara itu, mereka yang sudah agak maju pengertiannya 
mengunakan Bahasa Indonesia. Beberapa contoh bahasa pribumi atau 
Furu adalah sebagai berikut:
Bahasa Pribumi Bahasa Indonesia
Mistina Hantu
Yako Saya
Mai Mari
Ka Makan
Hala Nasi atau beras
Tiput Ayam
Niwe Kelapa
Way Air
Wamo Mengerti atau tahu
Inu Minum
Te Tidak
Fuat Pisang
Ngama Bapak 
Ngana atau Ina Ibu
Persenjataan mereka terutama adalah parang atau todo dan tombak 
atau hero. Ke mana pun mereka pergi todo dan hero selalu dibawa, tidak 
pernah ketinggalan. Sampai sekarang pun mereka mengakui adanya 
“Raja” di antara mereka. Bagi mereka pengertian Raja ada dua. Yang 

 pertama adalah “Raja Gunung”. Raja ini menguasai penduduk yang 
tinggal di pegunungan-pegunungan dan pedalaman. Sedangkan yang 
kedua adalah “Raja Darat”, penguasa penduduk di sepanjang lembah 
Sungai Wayapo. Menariknya, Raja Darat ini bermukim di tengah kota 
Namlea. Dengan demikian, di antara penduduk Pulau Buru terdapat 
perbedaan yang jelas. Kalau boleh dikatakan, penduduk pribumi asli 
yang tinggal di pegunungan taraf kebudayaannya masih terbelakang 
sekali, sementara mereka yang tinggal di sepanjang Lembah Wayapo 
bisa dibilang lebih maju.
Keterangan: 
1. Raja adalah segala-galanya bagi penduduk asli; maka pendu￾duk selalu mematuhi, menaati perintahnya.
2. Kepala Adat adalah Tetua dari Kepala Soa atau Ketua 
Kelompok. Kedudukannya di bawah Raja, dan Tetua ini 
sangat berpengaruh sekali di dalam adat istiadat penduduk. 
Dan Kepala Adat itu merupakan penentu segalanya dalam 
urusan adat istiadat, seperti pernikahan, pemakaman, 
perburuan, dan ritual-ritual lainnya. Kini di Pulau Buru 
sudah jarang terjadi peperangan antar soa atau kelompok. 
Namun demikian, saat  rombongan Angkatan Pertama 
korban Tragedi ’65 tahun 1969 masih terdapat peperangan 
antar Ketua Soa. Bahkan pada saat itu mereka yang terluka 
terkena parang ataupun tombak minta tolong untuk diobati 
di Unit III Wana Yasa yang DanUnit-nya adalah Kapten 
CPM Daeng Masiga. Bagi penduduk asli, masalah rawan 
yang bisa menimbulkan peperangan ialah soal perempuan lesbian , 
sebab perempuan lesbian  di Pulau Buru ini sangat minim dan sangat 
mahal. Maharnya (atau dalam bahasa Jawa “Pasok Tukon”-
nya) sangat tinggi. Jadi seakan-akan perempuan lesbian  harus dibe￾li.
3. Prusi atau polisi untuk urusan security.
 Di masyarakat mereka juga ada polisi atau prusi. Seorang 
prusi adalah orang yang benar-benar pilih-tanding. Dia 
dituntut keberaniannya, kepandaiannya dalam mengatur 
strategi perang, dan juga kecakapan dalam menggunakan 
parang maupun tombak. Dengan kata lain, dia harus pandai 
berperang. Oleh karena itu, sampai sekarang pun masih ada 
tarian perang atau yang disebut cakalele. Tarian ini biasanya 
disuguhkan bagi para tamu-tamu terhormat atau penting. 
Iringan musik dari tarian ini hanya berupa tifa atau dalam 
bahasa Jawa disebut kendang. 
Demikianlah berbagai keuntungan buat diriku sewaktu aku ikut 
rombongan Tim Survey. Selanjutnya, kami pulang kembali ke Unit 
III Wana Yasa dengan membawa hasil dari survey ini .
Pembangunan Unit-unit Baru
Kira-kira pada bulan April tahun 1971 pelaksanaan pembangunan 
Unit baru pun dimulai. Untuk itu DanTefaat [Komandan Tempat 
Pemanfaatan, ed.] Mayor Rusno telah memerintahkan pada DanUnit 
I, II, dan III untuk mempersiapkan tenaga yang berasal dari para 
warganya guna pembangunan unit-unit ini . Proyek pembangunan 
unit ini diserahkan sepenuhnya pada Yon Zipur atau Batalyon Zeni 
Tempur. Pembuatan unit-unit baru ini  berjumlah 14 buah, di 
antaranya Unit V sampai dengan Unit XVIII untuk periode pertama 
pada tahun 1971. Dalam Periode Kedua tahun 1972 dibangunlah 
“Unit R” sampai “Unit T” atau Unit Trunojoyo. Pada tahun 1972 
itu, aku sudah berada di Kamp Khusus [Kampsus]. Jadi jumlah unit￾unit yang ada di Pulau Buru secara keseluruhan berjumlah 21 Unit. 
Dengan perincian sebagai berikut ini:
Pada tahun 1969: Unit I s/d Unit IV
Pada tahun 1971: Unit V s/d Unit XVIII
Pada tahun 1972: Unit R, S dan T
Jumlah warga unit atau “Tohpol” (Tokoh Politik) ‘65 yang berada 
di Pulau Buru berkisar kurang lebih 12.000 orang. Namun demikian, 
pemerintah menyatakan hanya ada 10.000 orang tohpol di Pulau 
 Buru. Pemerintah selalu bersifat seperti itu. 
Pertengahan bulan Februari 1970 adalah merupakan hari yang 
paling membahagiakan bagiku. Mengapa? Karena pada saat itulah, 
diriku dibaptis oleh Bapak Matatulla, pendeta dari kota Namlea. 
Pembaptisan itu dilaksanakan di Gereja Maranatha di Unit III 
Wanayasa. Dan sejak itu pula namaku menjadi Yoseph S.
Transito itu Menjadi “Kampsus”
Pada pertengahan tahun 1971, ada pergantian DanTefaat beserta 
segenap DanUnit serta staf-stafnya. DanTefaat Mayor CPM Rusno 
diganti oleh Kolonel Infantri Syamsi dari kesatuan militer Kujang, 
Siliwangi. Sedangkan untuk Unit III Wanayasa DanTefaat Kapten 
CPM Daeng Masiga diganti oleh Lettu CPM Sujoso dari Pangdam 
Brawijaya, Jawa Timur. Bagian intel atau OPS Kasi I dipimpin oleh 
Kapten CPM Imam Suwarso dari Brawijaya juga. Orang ini tampak 
sekali tergolong berdarah dingin. Bahkan dengan jumawa atau 
sombongnya telah berani melontarkan ucapan-ucapan, kata-kata 
yang menyatakan bahwa dirinya yang telah “membasmi” pergerakan gerakan  
 Malang Selatan dan Blitar Selatan pada tahun 1967-an. Ia juga 
mengklaim telah meringkus Bpk Suwandi yang saat itu menjabat 
sebagai Central Daerah Besar [CDB] Malang, Jawa Timur, dan 
membunuhnya. Dengan adanya orang seperti itu suasana di unit-unit 
menjadi tak tenteram lagi. Bahkan dengan adanya aparat seperti itu, 
Si Kapten Suwarso yang penuh ambisi itu, terjadilah penangkapan￾penangkapan kembali atas para tahanan yang selanjutnya dijebloskan 
ke dalam “Kampsus Jiko Kecil”. Penangkapan-penangkapan itu 
kembali terjadi kira-kira pada pertengahan bulan November tahun 
1971. Karena dia, kini Transito Jiko Kecil diubah menjadi “Kampsus” 
atau Kamp Khusus Jiko Kecil.
*Catatan:
Sebenarnya dari awal pemberangkatan ke Pulau Buru Pemerintah 
Pusat Jakarta telah menyusupkan atau menanam tiga orang sebagai 
“informan” ke dalam rombongan kami para korban Tragedi ’65. 
Ketiga informan ini  berbaur dengan kami. Namun demikian, 
ada perbedaan yang sangat mencolok di antara ketiga orang itu 
dengan kami para korban ’65. Kami para korban ’65 semuanya 
telah memiliki nomor foto dan nomor baju. Sedangkan mereka 
tanpa nomor foto dan nomor baju. Ketiga orang ini  adalah 
Dedy, Tedy, dan Tarfi Nasution. Tarfi Nasution ditugaskan atau 
ditempatkan di Unit III Wanayasa. Dedy dan Tedy ditempatkan 
di Unit I Wanapura. Saat pengiriman ke Pulau Buru ketiga orang
ini termasuk pada Gelombang Kedua dalam Kapal ADRI XI 
tahun 1969.
Korban penangkapan dan penahanan pertama ke Kampsus adalah 
warga Unit I dan II, bulan November tahun 1971. Diriku bersama 
empat teman lain, pada tanggal 1 Februari 1972 dimasukkan ke 
Kampsus. Kelima orang yang dimasukkan itu adalah:
1. Kudori
2. Sukardi Maryadi
3. Prof. Dr. Suprapto, S.H.
4. Pramoedya Ananta Toer
5. Diriku
Sampai di Namlea kami diinterogasi di Wisma Anggrek, yakni 
markas DanTefaat beserta staf-nya. Sementara aku dan Saudara Sukardi 
Maryadi dibawa ke Kampsus, yang lainnya dipulangkan kembali ke 
Unit III Wanayasa. Di Kampsus ada tiga barak saja, namun saat diriku 
dan Sdr. Sukardi Maryadi dijebloskan ke situ baru dua barak saja 
yang sudah terisi. Barak-barak ini  berada di dalam pagar kawat 
duri dan masih ada lagi pagar kawat duri yang mengelilingi sebagai 
pembatas.
Sebagai DanKampsus adalah Pelda CPM Munawar dari 
Brawijaya, Jawa Timur. Sebagai Wakil Komandan Kamp Khusus 
[WaDanKampsus] adalah Pelda Infantry Sjamsudin dari Siliwangi. 
Lambat-laun bertambahlah penghuni Kampsus ini. Semula kami 
tidak dipekerjakan, akan tetapi berkat keuletan dari DanKampsus 
untuk membujuk para DanTefaat akhirnya kami dapat dipekerjakan.
Para Penghuni Kampsus Jiko Kecil
Berikut adalah nama-nama para penghuni “Kampsus Jiko Kecil” 
beserta unit-unit dan daerah asal mereka masing-masing sejauh aku 
masih ingat.
Dari Unit Wana Pura:
1. L. Supriyanto dari keraton yogya 
 2. Markum Sukarno dari keraton yogya 
 3. Sudiarto dari keraton yogya 
 4. Rubianto B.A. dari keraton yogya , pada tahun 1972 disusul 
oleh keluarganya
5. Sugiarto dari keraton yogya 
 6. Sukardi alias Semplo dari Semarang
7. Harafanto dari Semarang 
8. Nasoka dari Semarang
9. Dulmuri Sanyoto dari Semarang
10. Arnold Boyoh dari Magelang
11. Usman Djafar dari Jateng ( Jawa Tengah)
12. Sugeng Pardan dari Jateng
13. Tan Hun Swie dari Klaten
14. Suwarno dari keraton yogya , mati ditembak tanggal 3 Oktober 
1972 oleh Satgaswal 
15. Suhardjono Kijang dari keraton yogya , mati ditembak 17 
Oktober 1973
16. Alex Themo dari Semarang, mati ditembak 17 November 
1973 oleh Satgaswal 
17. Kusnadi Hadi dari Jateng
18. Gombig
Dari Unit II Wana Reja:
1. Djuhendi dari Jabar (Jawa Barat), tembus ditembak tapi 
selamat
2. Djuhandi dari Jabar
3. Piin Sudiatna dari Jabar
4. Oyok Sunaryo dari Jabar
5. Suganda dari Jabar
6. Machfud dari Jabar
7. Inan Salyan dari Jabar
8. Usman Salyan dari Jabar
9. Amsyah Romly dari Jabar
10. Suwarta dari Jabar, mati kena duri ikan beracun
11. Machruf Yoes dari Jabar
12. M. Hamid dari Jakarta
 13. M. Hadil dari Jakarta
 14. Supardi dari Jakarta
 15. Anang Suwarno dari Jakarta
 16. J.J. Juwono dari Jakarta
 17. Usman Naan dari Jakarta
 18. Usman Aswadi dari Jakarta
 19. Kusnadi S.A. dari Jakarta
 20. Asman Leman dari Jakarta
 21. Sugimin “Geblek” dari Jakarta
 22. Jadjid Hadi Sutanto dari Jakarta
 23. Rachmad Siregar dari Jakarta
 24. Sutrisno dari keraton yogya , istrinya menyusul tahun 1972
25. Suroso dari keraton yogya 
 26. Djonediono dari keraton yogya 
 27. Sumaryono “Bogel” dari keraton yogya 
 28. M.Suhud dari keraton yogya 
 29. Reo Sunardi dari keraton yogya 
 30. Sumardiono Glatik dari keraton yogya 
 31. Bambang Indiadi dari Klaten, Jateng
32. Bedjo alias “Bejat” dari Jakarta
 33. Subita dari Brebes, Jateng
34. AB Sunarto dari Pemalang, Jateng
35. Sarman Mamons dari Banten
36. Sutrisno B dari Purwokerto
37. Siswo Rahardjo dari Malang, Jatim ( Jawa Timur)
38. Somad Sukoprayitno dari Semarang
39. Abdul Gani dari Jabar, ditembak mati 17 November 1973 di 
depan baraknya
40. Awang Dharmawan dari Jabar, ditembak mati 17 November 
1973 di depan baraknya
41. Nono Sudiono dari keraton yogya , ditembak mati 17 November 
1973 di depan baraknya
42. Gatot Widodo dari keraton yogya , mati ditembak 16 November 
1973 di kebun kelapa di tepi pantai
43. Gatot Sugoto dari keraton yogya 
 44. Heru Sutrisno
Dari Unit III Wana Yasa:85
1. Karel Supit dari Jakarta
 2. Drs. Yacob Pirry dari Jakarta
 3. Drs. Slamet Mulyono dari Jakarta
 4. Rudy Iskandar dari Jakarta
 5. Pramoedya Ananta Toer dari Jakarta, asli Blora, Jateng
6. Prof. Dr. Suprapto SH dari Jakarta
 7. Kudori dari Kediri
8. Eko Sutikno BA dari Semarang, hanya kurang lebih 3 bulan
9. Maryadi Sukardi dari Malang
10. Penulis ( Al Capone) dari keraton yogya 
 11. Rivai Apin dari Jakarta
Dari Unit IV Sanleko (Savana Jaya):
1. Harry Winardi dari keraton yogya 
 2. Kabul dari Magelang
3. Supriyadi dari keraton yogya , pernah coba melarikan diri tahun 
1972
Dari Unit V Wana Kerta:
1. A. Y. Suparno dari Pemalang, Jateng
2. Paryusi dari Pati, Jateng
3. Saphiran dari Rembang, Jateng
4. Suparing dari Rembang
5. Basri dari Rembang
6. Hasan Basri dari Lasem
7. Leo Paidjan dari keraton yogya 
 8. Sukadi dari keraton yogya , tertembus peluru dan mengeram di 
pundak, tapi selamat
Dari Unit VII Wana Surya:
1. Sukamto dari keraton yogya 
 2. Kandam Sutardjo dari Kebumen, Jateng
Dari Unit VIII Wana Kencana:
1. Siman dari Purworejo, Jateng
2. Kemiso dari Purworejo
Dari Unit IX Wana Mulya:
1. Sulfi Rachman dari Malang
2. Suwono dari Malang
3. Pamuji dari Malang
4. Sarmo dari Solo
5. Sjawal Bagong dari Purwokerto
6. Mukidi dari Brebes, bunuh diri minur racun serangga di 
Unit Ancol
Dari Unit X Wana Dharma:
1. Benny Chung alias Swie Chan dari Jakarta, Sastrawan
2. Supratiknyo dari Jakarta
 3. Petrus Paijan dari Jakarta, hanya dua bulan
4. Udjang Umar dari Jabar
5. M. Danafi a S.H. dari Surabaya
Dari Unit XI Wana Asri:
1. Karnapi, seorang pelawak dari Jombang, Jatim
Dari Unit XII Birawa Wanajaya:
1. Machmud Chairun dari Jakarta
 2. Machmud dari Jakarta
 3. Sri Dharmadjo dari Jakarta
 4. J. Sukarno dari Jakarta
 5. Masdur dari Jakarta
 6. Zaenal Arifi n dari Jakarta
 7. Sasmon Pardede dari Jakarta
 8. Thio Bhiechan dari Jakarta
 9. Sumargono dari Jakarta
 10. Salikun dari Jabar
Dari Unit XIV Bantalareja:
1. Heru Santoso
2. Bonar Siregar
Catatan: Keduanya berasal dari Jakarta dan pernah coba melarikan 
diri; saudara Heru Santoso meninggal lantaran penyakit hepa￾titis.
Dari Unit XV Indra Pura:
1. Suwardiono dari Jakarta
Dari Unit XVI Indra Karya:
1. Abas Usman dari Jabar
2. Dirdjo Panular dari Jakarta
Dari Unit XVII Arga Bhakti:
1. Drs. Mustadji Sangit dari Surabaya, gantung diri di Kampsus 
di Barak III, tak tahan atas penyiksaan yang ia alami
2. Supratikno dari Surabaya
3. Ibnu Haryanto dari Surabaya
4. Sukarman dari Surabaya
5. Paidjan dari Surabaya
6. Eddy Suroto dari Surabaya
7. Hartono dari Surabaya
8. Supaat Rachmad B.A dari Surabaya
9. Wiyono B.A. dari Surabaya
10. Sumardiono B.A. dari Surabaya
11. Rusdi dari Pemalang
12. Totok Andang Taruna, sastrawan, dari Surabaya
Catatan: Sejumlah penghuni Kampsus Jiko Kecil ini kemudian 
menjadi (atau lebih tepatnya dijadikan) “coro” atau “kecoak” alias 
informan bagi pihak penguasa.
Jumlah keseluruhan penghuni Kamp Khusus Jiko Kecil ada 
kurang-lebih 123 orang. Dikatakan “kurang-lebih” sebab ada yang 
hanya diinterogasi terus dipulangkan ke Unitnya. Ada juga yang 
tinggal di sana kurang lebih 2 bulan saja.
Pengalaman Kerja di Kota Namlea
Pengalaman pertama kali kami bekerja di luar Kampsus adalah 
mengerjakan pembersihan di sekitar Wisma Anggrek atau tempat 
tinggal DanTefaat Pulau Buru beserta para staffnya. Kemudian kami 
mengerjakan perbaikan jalan dari dermaga Namlea hingga pasar 
Namlea yang kira-kira berjarak kurang lebih 600 meter. Materialnya 
berupa batu yang kami cari di tepi pantai lalu diangkut dengan truk. 
sesudah  melihat kesungguhan kami dalam bekerja DanTefaat pun 
mulai percaya kepada kami. 
Suatu saat  ada permintaan dari pihak Pastoran, yakni bahwa 
pihak Pastoran akan membangun sebuah wisma. Untuk itu dibutuhkan 
tenaga tukang dan pengiriman batu-batu untuk keperluan membantu 
fondasi bagi wisma atau rumah ini . Saat itu pimpinan di Pastoran 
adalah Romo Roovink, SJ dari Jerman yang menggantikan Romo 
 De Blot, SJ dari Belanda. Pembangunan wisma itu berjalan lancar. 
Hubungan kami dengan Romo Roving juga terjalin baik dan akrab. 
Wisma itu pun telah diberi nama “Wisma Kartini”. Alasannya karena 
yang bertempat di wisma ini lebih banyak wanitanya bila dibanding 
dengan penghuni prianya.
“Wisma Kartini” ini dihuni oleh anak-anak dari para korban ’65 
yang menyusul orangtuanya. Penghuni lain adalah anak-anak dari 
sekitar Kota Namlea, yakni orang bebas atau umum yang bersekolah 
di Namlea. Anak-anak ini  lebih kurang berjumlah 70-an or￾ang. Di luar kegiatan sekolah, di Pastoran anak-anak itu dididik 
untuk menguasai berbagai ketrampilan, seperti menjahit, menyulam, 
dan lain-lainnya bagi yang wanita. Bagi yang pria pihak Pastoran 
memberi pendidikan keterampilan lain, seperti pertukangan dan lain 
sebagainya. 
Pernah kami disuruh membongkar muatan dari kapal yang 
jumlahnya lebih kurang atau kira-kira 600 ton. Barang-barang itu 
kiriman dari Jakarta dan berupa pupuk urea, obat-obatan, seng, 
paku, gula, semen, beras, dan lain-lainnya. Barang-barang itu harus 
diselesaikan sesuai jadwal pemberangkatan kapal ini . Padahal 
saat itu penghuni Kampsus baru kurang lebih 60 orang jumlahnya. 
Akibatnya saat itu kami harus bekerja ekstra keras, alias diforsir. 
Syukurlah, kiranya Tuhan masih melindungi kami semua. Sekalipun 
dalam kesusahan yang bagaimanapun Dia selalu menyertai kami. 
Pernah pula kami disuruh membersihkan jalan dari Namlea 
sampai ke Bandara yang jaraknya lebih kurang 6 km. Saat itu keadaan 
sedang musim panas. Seperti diketahui, panasnya wilayah timur 
Indonesia terasa menyengat sekali. Namun demikian, berkat hati riang 
dalam bekerja maka segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar. 
Dusun-dusun yang pernah kami datangi ialah Desa Ubung, 
Sawah, Jiko Morasa, Jiko Besar, juga pantai “Jembatan Australia”. Apa 
yang disebut “Jembatan Australia” ini adalah salah satu dermaga yang 
pada tahun 1942 dibangun secara tersembunyi oleh tentara Nippon 
atau Jepang. Waktu itu, Pulau Buru dijadikan tempat pertahanan 
terakhir bagi Jepang di wilayah Indonesia Timur. Di sana kami 
menemukan banyak bunker-bunker yang dibangun Jepang sekitar 
tahun 1942. Dermaga itu dipakai  untuk pemberangkatan pasukan￾pasukan Nippon guna penyerangan ke Australia. Itulah sebabnya 
oleh penduduk di sekitarnya dermaga ini  dinamakan “Jembatan 
Australia”. Demikianlah pengalamanku saat berada di Kamp Jiko 
Kecil, Namlea Pulau Buru.
Peristiwa Eksekusi
1. Pada tanggal 3 November 1972 Bapak Suwarno dari Prambanan, 
keraton yogya , ditembak mati di depan Pos Penjagaan oleh Satgaswal. 
Beliau lalu dimakamkan di Namlea.
 Para Eksekutor: sebagai Komandan Peleton (DanTon) adalah 
Pelda Mlw, sedang sebagai Komandan Penjaga (DanJaga) adalah 
Koptu Nlh. 
Pelaku Eksekusi:
1. Koptu YK
2. Kopda Ply
3. Pratu Sml
4. Koptu Tjg
 Bapak Suwarno ini dituduh hendak merebut senjata dari 
petugas.
2. Pada tanggal 16 November 1973 Sdr. Gatot Widodo ditembak 
di kebun kelapa di tepi pantai tatkala ia bertugas mencari kayu 
bakar. Sementara itu, teman lainnya yang berjumlah 4 orang 
ditembak di depan baraknya bersama kepala baraknya pada 
tanggal 17 November 1973. Peristiwa ini berlangsung di bawah 
pengawalan dari kesatuan Hsn, Batalyon An dengan DanYon 
Mayor JM. Sedangkan Komandan Kompi (DanKi)-nya adalah 
Kapten Hky. Komandan Peleton (DanTon)-nya adalah Sersan 
Mayor HK.
Pelaku eksekusi antara lain:
1. DanTon Serma HK
2. Serda DB
3. Sertu Sb
4. Kopda AR
5. Kopda Shb
3. Bapak Djuhendi dari Jawa Barat ditembak, namun selamat. Beliau 
ditembak, tetapi pelurunya menembus melalui dada kirinya. 
Peluru itu menyasar pada bahu kiri Sdr. Sukadi dan mengeram 
di tubuhnya. Sampai saat pemulangan peluru ini  belum 
diambil. Bahkan sampai terbawa mati di tahun 2001. Teman ini 
berasal dari keraton yogya . 
a. Teman yang pertama kali meninggal dunia di Kampsus 
lantaran bunuh diri adalah Bapak Drs. Mustadji Sangit dari 
 Jawa Timur, bulan Maret 1972. Ia menggantung diri di 
baraknya menjelang subuh.
b. Yang mati karena sakit antara lain.
1. Suwarta dari Jawa Barat. Seperti kusebut di atas, beliau 
terkena racun duri ikan beracun saat sedang mencari 
batu di pantai.
2. Heru Santoso. Ia meninggal karena penyakit hepatitis 
atau liver di R.S. Mako sebagaimana kusebut di depan. 
Dia berasal dari Jawa Timur.
c. Bapak Mukidi bunuh diri dengan minum racun serangga 
saat  sedang menyemprot tanaman di Unit “Ancol”. Ia 
berasal dari Solo, Jawa Tengah, dan dimakamkan di Unit IV 
Savana Jaya atau Sanleko
Pernah Jadi Aktor
Selama aku berada di Pulau Buru, terjadi sejumlah pergantian berkaitan 
dengan Dan Tefaat, Satgaswal, dan istilah resmi untuk Pulau Buru itu 
sendiri.
1. DanTefaat
Periode I dari tahun 1969 s/d 1971: Mayor Rusno
Periode II dari tahun 1971 s/d 1973: Kolonel Sjamsi
Periode III dari tahun 1973 s/d 1975: Letkol A.S. Rangkuti
Periode IV dari tahun 1975 s/d Saat Pembebasan 1979: Kolonel 
Lewerissa
 Pada tahun 1969 kami mendapat kunjungan dari Jenderal 
Sumitro dan Kejaksaan Agung RI. Rombongan World Health 
Organization [WHO] dan rombongan jurnalis Bur Rasuanto 
berkunjung pada tahun 1973. Dalam kunjungan-kunjungan 
itu yang berperan sebagai “tuan rumah” adalah Pangkobkamtib 
Jenderal Sudomo.
2. Satgaswal
 Pergantian Satgaswal hanya terjadi sekali. Petugas Satgaswal 
dari Kodam Pattimura yang bertugas sejak tahun 1969 baru 
digantikan oleh Satgaswal dari Kodam Hassanudin Batalyon 
Anoa pada akhir Desember 1972.
3. Istilah untuk Pulau Buru
 Sebagaimana aku katakan di depan, semula (dari tahun 1969 
hingga 1970) tempat pengasingan di Pulau Buru disebut 
BAPRERU. Pada tahun 1970 namanya menjadi “ Tefaat Pulau 
 Buru”. Istilah “tefaat” adalah singkatan dari Tempat Pemanfaatan. 
Menjelang tahun 1972, nama itu diubah menjadi “Inrehab Pulau 
 Buru”, atau Instalasi dan Rehabilitasi Pulau Buru. Waktu itu 
Komandan Inrehab [Dan Inrehab]-nya adalah Letkol CPM A.S. 
Rangkuti. Dia ini pernah jadi aktor dalam fi lm Sungai Ular pada 
tahun 1950-an.
Liku-liku Perjalanan Pulang
Dari KampSus, pada tahun 1974 kami dipindah ke Unit Ancol yang 
adalah bekas unit tempat pembuatan garam dengan nama resmi Unit 
XIV Bantala Reja. saat  kami berada di Unit Ancol Komandan 
Unitnya adalah Lettu CPM Sumantha dari Siliwangi. Dia merangkap 
Komandan Unit XIV Bantala Reja. Komandan Peleton Satgaswal￾nya adalah Lettu Giyanti dari Kodam Hassanudin, Batalyon Anoa. 
saat  kami sudah memiliki sawah sendiri oleh DanTefaat Unit Ancol 
secara resmi dinyatakan sebagai unit yang berdiri sendiri dan memiliki 
Komandan Unit sendiri. DanUnit Ancol dipimpin oleh Serma CPM 
Sumadi dari Kodam Diponegoro. Pada pertengahan tahun 1976 
ada pembebasan besar-besaran di Pulau Buru. Hal itu merupakan 
pembebasan Gelombang Pertama.
Beberapa bulan kemudian, pada tahun 1977, kami dipindah lagi ke 
Unit XIII Giri Pura. Sementara itu, Unit Ancol dinyatakan bubar. Unit 
XIII ini letaknya paling ujung DanUnit yang paling tinggi letaknya, 
karena berada di pegunungan. Kami pindah ke Unit XIII saat  para 
warganya sudah bebas semuanya. Sementara itu, di persawahan masih 
tampak padi yang sebentar lagi akan mulai menguning. Di gudang 
padi pun masih banyak timbunan gabah kering
Jadi, selama di Unit XIII ini kami boleh dikata makan dan tidur 
sembari menunggu panggilan untuk pulang ke Jawa. Oleh koordinator, 
kesempatan ini dipakai  untuk berlokakarya. Misalnya: menyuling 
minyak kayu putih, menggergaji papan dan masih banyak lagi. Dan 
semua hasilnya dijual guna menambah uang saku untuk pulang. 
Sekalipun kami masih dalam pengawasan dari Satgaswal, namun 
seolah-olah pengawasan mereka tak berarti lagi. Ke mana-mana kami 
pergi, kami tak perlu lagi surat jalan. Selain itu, tak ada lagi pengawalan. 
Cukup Kepala Barak atau Kepala Kelompok melapor kepada DanUnit 
serta DanJaga. Saat terjadi pembebasan atau pemulangan para Tapol 
Tragedi ’65 ini satuan Satgaswal dikembalikan ke Pangdam Pattimura 
Batalyon 731, 732, dan 733, Ambon, Maluku. 
Lalu, tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu. Pada tanggal 11 
Oktober 1979 ada pengumuman tentang pembebasan Gelombang 
Ketiga. Alangkah bahagianya hatiku. Pada hari yang mendebarkan 
itu namaku tercantum dalam daftar panggilan. Sementara itu, betapa 
sedihnya hati teman-temanku yang namanya belum tercantum. Tak 
ayal lagi tangis haru terdengar riuh, bahkan menggema ke mana￾mana. 
Sebelum kami saling berpisah untuk suatu saat nanti bertemu 
lagi, kami memotong seekor lembu untuk makan bersama. Tak lupa 
pula kami mengadakan selamatan ala kadarnya agar Tuhan selalu 
memberkati dan melindungi kami semua. Selain itu, koordinator 
kami di Unit XIII membagikan uang saku kepada kami yang namanya 
terpanggil. Uang itu merupakan hasil dari lokakarya dan penjualan 
gabah kering di Mako atau Markas Komando. Koordinator kami itu 
juga membagikan baju bercorak batik dan sepatu bagi kami yang 
namanya terpanggil. Pada tanggal 13 Oktober 1979, kami sudah 
berada di Mako guna pengecekan nama, alamat, nama orangtua, 
check- up kesehatan, dan sebagainya.
sesudah  pengecekan itu selesai, keesokan harinya kami tiba di 
Namlea. Selanjutnya kami diangkut dengan perahu landing craft
menuju Kapal Mesin Gunung Jati atau PT Arafat. Kapal ini dahulu 
milik Jerman, tapi lalu dibeli oleh Indonesia. Panjang kapal ini kira￾kira 80 meter dan lebarnya kira-kira 20 meter.Kapasitas muatannya 
kurang lebih 3.000 orang. Kapal itu terdiri dari 7 palka, dari A sampai 
G. Selain itu di atas deck masih ada lagi tempat rekreasi, semacam 
gedung bioskop, dan bar.
Kapal Gunung Jati meninggalkan Pulau Buru pada tanggal 14 
Oktober 1979 kira-kira pukul 17.00 WIT. Diriku sangat gembira 
saat  mendengar peluit kapal berbunyi nyaring, pertanda perjalanan 
panjang akan segera dimulai. Pada saat yang sama, di dalam hati 
kecilku aku merasa bingung sekali, bagaimana nanti bila aku kembali 
berada di tengah masyarakat bebas? Dapatkah aku menempatkan 
masa laluku ini? Atau apakah masa lalu ini hanya boleh diingat dan 
dirasakan sendiri? Padahal masa lalu itu bisa menjadi sebuah cerita 
yang indah dan memilukan. Demikianlah jalan pikiranku waktu 
itu. Yang jelas diriku harus mampu dan pandai menyikapi “realitas” 
kehidupan sehari-hari. 
Ternyata hanya dalam tempo empat hari dan empat malam 
rombongan kami sudah sampai di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. 
Kami turun dari kapal sekitar pukul 16.00 WIB. Selanjutnya, kami 
diangkut dengan truk menuju Stasiun Turi Surabaya dan tak kusangka 
sama sekali di sini kami telah ditunggu-tunggu oleh teman-teman 
yang telah lebih dahulu bebas. Melihat rombongan kami mereka 
bersorak-sorak sambil tangannya diacung-acungkan dengan penuh 
rasa gembira. Namun demikian mereka tak dapat mendekati kami, 
sebab kami telah dikawal aparat dengan ketatnya. Kami langsung 
disuruh menaiki kereta api yang sudah stand by sejak siang tadi. Kira￾kira pukul 19.00 WIB kereta api itu pun mulai bergerak gerak  pelan-pelan 
untuk selanjutnya meninggalkan Stasiun Turi ini . 
Kira-kira pukul 23.00 WIB kereta sampai di Stasiun Semarang. 
Kembali kami diangkut dengan truk menuju salah satu gedung 
instansi pemerintah daerah untuk bermalam di sana. Sayang diriku 
tak ingat tempat ini .
Pagi hari tanggal 20 Oktober 1979 sesudah  kami sarapan, lagi-lagi 
kami dinaikkan ke dalam truk untuk dibawa ke Gedung Olah Raga 
atau GOR Semarang. Di sini sudah banyak anggota keluarga yang 
menunggu, termasuk keluargaku. Oleh karena itu tak mengherankan 
bahwa pada saat itu GOR ini  bagai lautan manusia. Kemudian 
“Upacara Pembebasan” pun dimulai
Waktu itu pukul 07.00 pagi WIB. Pertama-tama kami disuruh 
menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Selanjutnya, kami diminta 
mengucapkan “Sumpah dan Janji” para korban Tragedi ’65 yang 
diwakili oleh tiga orang dari kami. sesudah  puncak acara itu selesai, 
kami semua diberi “Surat Tanda Pembebasan”. Sebagai penutup 
acara, kami semua diperintahkan untuk menyanyikan lagu “Padamu 
Negeri”. sesudah  itu tuntaslah sudah upacara ini  dan kami dapat 
berkumpul kembali dengan keluarga masing-masing. Keadaan di 
dalam GOR pun berubah sesaat  oleh raung tangis haru, bahagia, 
dan suka cita, oleh kerinduan yang teramat mendalam dan yang telah 
mengental bahkan telah membatu. Kini saatnya semua itu mencair 
kembali. Kini saatnya untuk berkumpul lagi. Kiranya semua ini hanya 
kehendak-Nya. Amin...
Kemudian aku dan keluargaku cepat-cepat bergegas meninggalkan 
GOR ini . Kami pun bergegas menuju ke rumah kami, di mana 
Iartikel singkat  dan sanak saudaraku telah lama menungguku. Ya, mereka telah 
menunggu sejak aku baru berusia 19 tahun dulu.

DI BAWAH ini adalah narasi yang dituturkan oleh Budhi Kho, seorang 
korban Tragedi ’65 yang berlatar belakang etnis Tionghoa dan berasal 
dari Magelang, Jawa Tengah. Gara-gara pernah mengikuti “Kaderisasi 
Revolusi” yang digagas oleh Bung Karno, pada tahun 1969 ia ditangkap 
begitu saja. Untuk sementara ia ditahan di Jakarta, tempat ia bekerja 
sebagai wartawan, tetapi pada tahun 1971 ia dibuang ke Pulau Buru. 
Ia berada di sana hingga tahun 1979.
Menurut pengakuan Budhi Kho (nama ini bukan nama 
sesungguhnya) selama di Pulau Buru ini ia belajar banyak hal, tetapi 
sekaligus batinnya merasa tersiksa. Bersama-sama dengan sesama Tahanan 
Politik yang lain, ia disuruh melakukan kerja paksa.
Hingga masa penahanannya berakhir, ia tidak pernah tahu (dan 
memang tidak pernah diberitahu) apa kesalahannya. Semuanya terjadi 
secara tiba-tiba. Tak ada keterangan, tak ada penjelasan. Permintaan 
maaf juga tidak ada. Kata Budhi Kho,“Saya itu juga bingung: ditahan 
tiba-tiba, tanpa diperiksa dan diadili, terus dibebaskan juga tiba-tiba.” 
Ia melihat Jenderal Soeharto sebagai seorang pendendam dan menurutnya 
apa yang terjadi pada tahun 1965 itu tidak lepas dari sikap pendendam 
Soeharto itu, meskipun penting juga melihat keterlibatan pihak asing. 
Bertolak dari pengalamannya di seputar Tragedi ’65, Budhi Kho 
mengatakan bahwa pada berpolitik itu sendiri bukan merupakan suatu 
hal yang keliru. Namun demikian, menurutnya setiap orang yang terjun 
ke dunia politik perlu sadar akan konsekuensinya, termasuk konsekuensi 
dalam bentuk kekerasan fi sik. Di matanya, belajar sejarah itu penting.
Wawancara dengan Budhi Kho dilakukan oleh anggota Komisi 
Sejarah PUSdEP Chandra Halim, lulusan jurusan Sejarah Universitas 
Sanata Dharma yang sedang menempuh studi sejarah di Program 
Magister Universitas Gadjah Mada, keraton yogya . 
***
NAMA saya Budhi Kho, dan sekarang saya berdomisili di kota 
Magelang, Jawa Tengah. Saya adalah mantan wartawan koran Sin 
Min di Semarang, dan berasal dari daerah Blabak, tak jauh dari kota 
Magelang.
Tanpa Mau Berbaur
Saya lahir tahun 1940 dari marga Kho. Pada saat kelas 5 SD [Sekolah 
Dasar] saya pindah ke kota Magelang. Dari SD sampai SMA [Sekolah 
Menengah Atas] saya bersekolah di Magelang. Baru saat  tahun 
1960, waktu umur saya 20 tahun, saya studi banding  di keraton yogya . saat  
tahun 1963 terjadi kerusuhan rasial di Cirebon dan sebagian besar 
wilayah Jawa Barat, di keraton yogya  tidak terjadi apa-apa. Saya menikah 
dengan salah seorang keturunan dari Tan Djin Sing dan keluarga 
kami mengadakan pertemuan Trah [Keluarga Besar] sebulan sekali. 
Tan Djin Sing itu bukan asli orang Tionghoa. Dia ini adalah anak 
seorang priyayi Jawa yang diasuh oleh orang Tionghoa. Tan Djin 
Sing ini merupakan seorang tokoh Tionghoa yang membantu Sultan 
Hamengku Buwono III. Karena jasanya itu, HB III memberinya gelar 
KRT. Setjodiningrat. 
Istri saya itu satu generasi dengan Werdoyo, penulis artikel singkat  Tan 
Djin Sing: Dari Kapiten China sampai Bupati keraton yogya . Kalau pas
ikut pertemuan Trah,
87 mereka pasti ketemu, bahkan sering ngobrol. 
Ini lho yang namanya Werdoyo [ Budhi Kho mengatakan demikian 
sambil menunjukkan foto anggota Trah Setjodiningrat, ed.]. Ini 
adalah bukti bahwa waktu itu hubungan antara orang-orang Tionghoa 
dengan orang Jawa tidak ada masalah. 
Memang ada orang Tionghoa yang merasa “alergi” terhadap 
orang-orang Jawa. Tetapi hal itu mungkin disebabkan oleh pengala￾man mereka saat  bergaul dengan Jawa. Tetapi tidak semua orang 
Jawa itu jelek, dan tidak semua orang Tionghoa itu bagus. Murid￾murid saya yang datang kemari untuk les bahasa Mandarin juga tidak 
semuanya berasal dari keturunan Tionghoa. Semua itu tergantung 
dari bagaimana kita bersikap di masyarakat.
Waktu itu kota Magelang itu warga Tionghoanya banyak yang 
Singkek,88 sehingga mereka lebih suka memilih masuk ke dalam 
golongan mereka sendiri tanpa mau berbaur dengan warga masyarakat 
Jawa. Namun mereka yang sudah Kristen atau banyak dari golongan 
Peranakan akan cenderung memilih proses “asimilasi”, asalkan dengan 
yang sesama Kristen.
Kekerasan Selalu Terjadi
Tahun 1963 Bung Karno meminta Oei Tjoe Tat menjadi Menteri, 
dan membentuk penataran untuk mengantisipasi permasalahan rasial. 
saat  itu saya sudah bergelar BA [Sarjana Muda]. Sekitar bulan 
Agustus tahun 1964 sampai awal tahun 1965, saya diajak untuk ikut 
masuk kaderisasi revolusi yang dibentuk Bung Karno atas anjuran dari 
beberapa stafnya, dan di Jakarta saya bertemu dan berkenalan dengan 
Prof. Dr. Tjan Tjoe Som [dosen di Fakultas Sastra UI]. Kaderisasi itu 
tujuannya untuk menghindari ketegangan rasial seperti yang terjadi 
tahun 1963. Nah, waktu itu akhirnya saya berangkat juga. Saya itu kan
studi banding  di Fakultas Sastra di IKIP keraton yogya , dan kebetulan mendapat 
tawaran kaderisasi dan dapat bertemu dengan Pak Tjan Tjoe Som. Ya, 
saya berangkat saja. Prof. Dr. Tjan Tjoe Som itu kakak dari Prof. Dr. 
Tjan Tjoe Siem, seorang ahli Javanologi. Waktu itu yang seangkatan 
saya ada Tan Lip Nio, S.H., ada Lay Oen Kwie dari PSMTI,89 trus saya 
sendiri. Tokoh penting lho si Lay Oen Kwie itu. Dia itu kalau tidak 
salah pendiri PSMTI. 
Nama kaderisasi itu adalah “Kaderisasi Revolusi”. Kalau lulus 
peserta mendapat gelar Manggala MANIPOL USDEK.90 Waktu 
itu yang ikut kaderisasi bersama-sama saya di Jakarta ada 600 orang 
muda Tionghoa. Kaderisasi ini tidak ada kaitannya dengan organisasi pergerakan gerakan   
Baperki. Semua diambil dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. 
 Bung Karno berharap, dengan 600 orang ini, ia bisa menciptakan 
iklim kondusif dan memperkenalkan ideologi yang dicetuskan 
olehnya. Iklim kondusif di sini dimaksudkan untuk menghindari 
kejadian seperti tahun 1963 itu. Masa pendidikan saya di situ hanya 
sekitar 5-6 bulan saja. Nah, di situ saya bisa berkenalan dengan Pak 
Nas [AH. Nasution], Pak Yani [A. Yani], dan Pak Ali Sastro [ Ali 
Sastroamidjojo]. Mereka itu kebetulan adalah guru yang mengajar 
kami para kader revolusi. sesudah  lulus dari kaderisasi ini , saya 
dan kawan-kawan seperjuangan mengajar di organisasi pergerakan gerakan  -organisasi pergerakan gerakan   
massa di seluruh Indonesia. Kami disebar, dikembalikan ke daerah 
kami masing-masing. Nah, kalau di zamannya Soeharto, hal itu mirip 
dengan Penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila [P4].
Saya sempat kembali ke keraton yogya  waktu itu, dan ke Magelang. 
Waktu terjadi Peristiwa Oktober 1965 dan pembersihan terhadap 
anggota dan simpatisan PKI , sebenarnya saya tidak kena. Lalu saya 
bekerja di Jakarta sebagai wartawan. Waktu itu tahun 1967. Sampai 
pada akhirnya suatu sore tahun 1969—saya tidak tahu siapa yang 
memberi informasi tentang keberadaan saya di Jakarta— saya ditangkap 
paksa oleh aparat kepolisian. Waktu itu saya baru pulang dari kerja. 
Saya lalu dimasukkan ke penjara di Salemba, Jakarta. Kekerasan selalu 
terjadi di dalam penahanan saya. Nah, tahun 1971, saya dipindah ke 
 Pulau Buru bersama rombongan kedua. Di pulau ini saya mendapatkan 
pengalaman yang berharga yang sekaligus menyiksa batin. Saya dan 
kawan-kawan tahanan politik [ Tapol] lainnya disuruh kerja paksa. 
Ada yang memperbaiki kursi, meja, lemari, ada yang berkebun, dan 
macam-macam. Tahun 1979 saya baru dibebaskan dari Pulau Buru. 
Saya itu juga bingung, ditahan tiba-tiba, tanpa diperiksa, dan diadili, 
terus dibebaskan juga tiba-tiba. 
“3-B”
Oh iya, kalau saya tidak salah ingat, waktu itu tahun 1968. Sekolah￾sekolah berbahasa mandarin di keraton yogya  juga ditutup. Kalau di 
Jakarta tahun 1971, Universitas Res Publica [Ureca] milik Baperki, 
ditutup. Orang-orang seperti Hari Tjan Silalahi, Wanandi Bersaudara, 
Junus Yahya, yang mayoritas pendukung LPKB, merekalah yang 
menganjurkan pemerintahan waktu itu untuk menutup Ureca. Lalu 
Ureca di-nasionalisasi dan diganti nama menjadi Universitas Trisakti. 
Banyak teman-teman saya dari keraton yogya  yang dulu sekolah di 
Ureca. Di keraton yogya  pun cabang Ureca yang bergedung di Gedung 
KONI keraton yogya  juga menjadi korban penutupan. Gedung KONI 
keraton yogya  itu pertama kali dipakai sebagai gedung Societet Tionghoa 
pada zaman Belanda, lalu dipakai Chung Hua Tjung Hui [ CHTH], 
bersama dengan Baperki, sementara Ureca menempati bangunan 
belakang. Yang mengelola gedung ini  dulu bernama Teh Hong 
Oe. Di Surabaya juga sudah dibuka Ureca Fakultas Farmasi waktu 
itu.
Soeharto itu ‘kan orang yang pendendam. Dia itu sakit hati 
waktu dimutasi dari Divisi Diponegoro Semarang ke Sekolah Staf dan 
Komando Angkatan Darat [SESKOAD] di Bandung. Kebetulan di 
SESKOAD itu dia mendapatkan bimbingan dosen bernama Kolonel 
Soewarto [dikabarkan, dia ini adalah agen CIA]. Soeharto waktu di 
SESKOAD itu teman satu kelas dengan D.I. Panjaitan dan Abdul 
Latief. Salah seorang kakak tingkatnya adalah Untung. Sewaktu 
Kolonel Soewarto meminta Soeharto menjadi ketua kelas, Panjaitan 
menolak. Tetapi Soewarto memaksa. Akhirnya Soeharto dipilih 
menjadi ketua kelas. Penolakan Panjaitan ini yang kelak menjadikan 
dia korban gerakan gerakan  30 September 1965 [ G30S]. Misi Central 
Intelligence Agency [ CIA] untuk menggulingkan Bung Karno itu 
rupanya berhasil dan yang dipakai sebagai alat penggulingnya adalah 
Soeharto. 
Mengenai Soeharto memaksa dan menekan golongan Tionghoa, 
itu bukan inisiatif dia sendiri. Di belakang dia ada banyak orang
orang Tionghoa yang mendukung penekanan terhadap Tionghoa 
lain. Kan kala itu di kalangan Tionghoa ada dua golongan politik, 
yakni golongan pro-Baperki dan golongan pro-Lembaga Pembinaan 
Kesatuan Bangsa [ LPKB].91 Kalau Soeharto sendiri sebenarnya dekat 
dengan kalangan Tionghoa. Lha wong sewaktu di Semarang itu saja 
Soeharto punya beberapa sahabat kental dari golongan Tionghoa 
kok. Misalnya saja itu Liem Sioe Liong, Bob Hasan, dan Oei Tik 
Kiong. Nama yang terakhir ini [Oei Tik Kiong] adalah yang sangat 
disegani oleh Soeharto. Suaranya selalu didengar oleh Soeharto. Oei 
ini penghubung antara Soeharto dengan Tionghoa-tionghoa kaya 
dan sebaliknya. Kalau ada masalah yang menimpa para konglomerat 
 Tionghoa yang ada kaitan dengan kebijakan pemerintah, Oei ini yang 
berperan penting dalam membantu mereka. Soeharto itu takut sekali 
sama Oei Tik Kiong. Saya kurang tahu karena apa takutnya. Mungkin 
Oei ini seperti ketua “Mafi a dari Macao” [semacam Triad kalau di 
 Jepang] atau mungkin ada rahasia tertentu antara mereka berdua.92
Kalau harus merefl eksikan tentang Tragedi ’65, saya katakan 
bahwa berpolitik bukanlah merupakan suatu hal yang salah. Tetapi ada 
konsekuensi dari berpolitik itu, yakni “3 B” (Buron, Buang, Bunuh). 
Oleh karena itu, belajarlah dari sejarah dengan bijak

NARASUMBER kita di bagian ini bukan merupakan korban langsung 
dari para penguasa terkait dengan Tragedi ’65. Namun demikian, ia 
banyak menderita karena tragedi itu. Yong Witono, demikian nama 
samarannya, berasal dari Solo, Jawa Tengah. Ia berdarah campuran 
antara Tionghoa dan Jawa, meskipun tetap kuat perasaannya sebagai 
seorang keturunan “ Tionghoa Babah”. Ayahnya seorang pedagang garam 
dan hasil bumi di Karanganyar, dekat Solo. saat  Tragedi ’65 terjadi ia 
belum lama lulus sebagai siswa sekolah lanjutan tingkat atas.
Tanpa alasan yang dapat ia pahami, pada bulan November 1965 
Ayah Yong Witono ditangkap dan dibawa ke sebuah markas militer 
di Karanganyar. Semula Ayahnya ditahan di tahanan Kandang Sapi, 
tetapi lalu dipindahkan ke tempat tahanan lain di dekat Pabrik Gula 
Tasikmadu.”Di sana Papa disiksa dan tidak diberi makan bersama 
puluhan tahanan dari Karanganyar,” kata Yong Witono. Bahkan dijenguk 
oleh anggota keluarganya saja tidak boleh. Kadang-kadang diperbolehkan, 
tetapi harus dengan menyogok petugas di situ. Sebagai Tahanan Politik 
Ayah Yong Witono dimasukkan dalam Kategori C. Sempat akan dibuang 
ke Pulau Buru, tetapi karena dukungan seseorang akhirnya Ayah Yong 
Witono tidak jadi dibuang. Secara tidak sengaja Yong Witono pernah 
menyaksikan bagaimana para tahanan dieksekusi secara keji di tempat 
terbuka di tepian Sungai Bengawan Solo.
Bagi Yong Witono, Tragedi 65 merupakan “pelajaran yang berharga”, 
khususnya bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia. Kalau tidak hati-hati, 
menurutnya, orang-orang Tionghoa akan selalu menjadi korban rezim 
yang berkuasa. Oleh karena itu, menurut dia orang-orang Tionghoa perlu 
lebih banyak terlibat dalam kehidupan bermasyarakat supaya mereka 
tidak mudah dikorbankan, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1965. 
saat  melihat kembali Tragedi ’65, ia berucap,“Memang peristiwa itu 
merupakan sebuah pukulan dahsyat bagi kita, tetapi janganlah hal itu 
menjadi sumber dendam buat kita terhadap penguasa atau siapa pun 
yang membenci kita.” Tak ada sedikit pun siratan rasa dendam. 
Wawancara dengan Yong Witono dilakukan oleh anggota Komisi 
Sejarah PUSdEP Chandra Halim, seorang alumnus Jurusan Sejarah 
 Universitas Sanata Dharma yang sedang menempuh studi sejarah di 
program magister Universitas Gadjah Mada, keraton yogya .
 ***
NAMA saya Yong Witono, dan saya tinggal di Solo. Saya adalah 
seorang Ketua Rukun Tetangga [RT]. Semasa kecil sampai kelas 6 SD, 
saya belajar di Sekolah Rakyat. Saya menghabiskan waktu kecil saya 
sebagai anak seorang pedagang garam dan hasil bumi dari Karanganyar 
[dekat Solo]. Saya kemudian pindah ke Solo untuk bersekolah di SMP 
Negeri 1 Solo dan melanjutkan ke SMAN 5 Solo. Tahun 1963, saya 
lulus dari SMA.
Memperjuangkan Aspirasi Masyarakat
Saya ini seorang Tionghoa Babah [ Tionghoa Peranakan].93 Papa saya 
seorang Tionghoa Totok [asli] sedang Mama saya seorang Jawa. Papa 
suka memakai baju model Tiongkok, sedang Mama saya senang 
memakai jarik dan kebaya.94 Saya sendiri merupakan anak pertama 
dari lima bersaudara. Kulit saya hitam karena menuruni darah dari 
Mama yang Jawa. Oleh karena itu, saat  saya bersekolah di SMP dan 
SMA Negeri, yang rata-rata orang-orang Jawa, saya tidak merasa kaget. 
Sebagai seorang pedagang garam dan hasil bumi di Karanganyar, Papa 
saya tidak terlalu memperhatikan kebutuhan sekolah anak-anaknya. 
Hubungan saya dengan sesama kawan di sekolah atau di 
lingkungan saya tinggal biasa saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. 
Dengan mereka, saya sering bermain, sering berbicara akrab. Dengan 
anak-anak dari golongan Tionghoa Totok saya tidak banyak bergaul. 
Satu-satunya adik Papa saya juga menikah dengan orang Jawa, sehingga 
saya makin sedikit berbaur dengan orang-orang Tionghoa Totok.
Bahasa saya pun merupakan basa Jawa campuran [bahasa Jawa 
bercampur bahasa Indonesia]. Dari pihak Papa, saya hanya tahu 
bagaimana menjalankan ritual hari-hari raya China, seperti Sincia, 
Cap Go Meh, Sembahyang Leluhur, atau Sembahyang Wedang Ronde.95
Kadangkala Papa mengajari saya bahasa aslinya dia, yakni bahasa 
Hokkian [bahasa daerah Hokkian, China], tapi karena saya wong 
ndablek [orang bandel], saya tidak pernah mau mengikuti bimbingan 
Papa. Tahun 1970 saya menikah dengan orang Jawa.
Di Karanganyar Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan 
Indonesia [Baperki] mampu menarik minat orang-orang Tionghoa 
untuk menjadi anggota ataupun simpatisannya. Lha organisasi pergerakan gerakan   ini 
memang sedikit mengarah ke kiri. Deket banget [sangat dekat] sama 
Partai Komunis Indonesia [PKI ]. Waktu itu PKI di Karanganyar juga 
besar lho. Pengaruhnya sangat dominan. Waktu itu di Karanganyar 
ada banyak sekali keluarga Tionghoa . Sepanjang Jalan Lawu di Kota 
Karanganyar itu dulu banyak dihuni keluarga-keluarga Tionghoa , 
termasuk keluarga Papa saya. Papa saya itu namanya Lauw Siauk 
Tjwan. Dia itu ya hanya bisa berdagang saja. Papa ikut Baperki, 
tetapi itu bukan karena inisiatifnya. Ia ikut karena diajak oleh seorang 
temannya dari Solo.
 Waktu itu di Baperki, Papa hanya merupakan simpatisan saja, 
bukan anggota tetap. Lha wong pekerjaan Papa sebagai pedagang 
garam dan hasil bumi saja sudah repot, kok mau jadi anggota, apalagi 
pengurus. Tentu tidak ada waktu. Alasan lain Papa ikut Baperki adalah 
karena Baperki dianggap Papa mampu memperjuangkan aspirasi 
masyarakat Tionghoa di Karanganyar dan Solo. Biasanya kalau ada 
acara yang diadakan Baperki, Papa selalu diundang. Dengan sejumlah 
pengurus Baperki, Papa memiliki kedekatan, tapi saya lupa nama￾nama mereka.
Ditangkap Tanpa Alasan
Papa saya namanya Liauw Siauk Tjwan. Sebenarnya dia itu bukan 
anggota Baperki, tapi sering diundang di kegiatan Baperki. Papa itu, 
saya pikir ya, cuma simpatisan saja. Alasannya karena Baperki itu 
tergolong mampu memberikan apa yang orang Tionghoa inginkan. 
Sekali lagi, menurut Papa, Baperki itu merupakan suatu organisasi pergerakan gerakan   
yang bisa memperjuangkan aspirasi atau suara masyarakat Tionghoa 
supaya dengan mudah diterima dalam masyarakat pada umumnya. 
Tahun 1963 saya lulus dari Sekolah Menengah Atas [SMA] di 
Solo, dan saya kembali ke Karanganyar. Saya bekerja membantu Papa, 
ya jualan garam, ya bumbu dapur dan hasil bumi lainnya. Waktu itu 
sehari sekali ada andong yang mengangkut barang kulakan dari Solo 
ke Karanganyar. Papa biasanya selalu memakai jasa andong untuk 
mengangkut barang-barang belanjaan dari Solo untuk dijual ke 
Karanganyar. Jadi komunikasi kami dengan orang-orang di Solo tidak 
terputus. Sejak awal September 1965, selama hampir 3,5 bulan, saya 
sakit dan dirawat di Rumah Sakit Kandang Sapi [RS. Dr. Oen Solo]. 
Waktu itu banyak sakitnya. Salah satunya adalah sakit typhus. Jadi saya 
harus dirawat di rumah sakit. Biasanya yang sering menjaga saya di 
rumah sakit kalau tidak Mama ya Encik [adik laki-laki ayah] saya. 
Sekitar akhir November 1965 saya mendapatkan kabar dari Encik 
kalau Papa ditangkap oleh orang-orang dari Kodim Karanganyar. 
Terus dia ditahan di tahanan milik Kodim. Dulu tempat tahanannya 
di belakang Gedung BNI 46 Karanganyar yang sekarang ini, depannya 
Foto Fujifi lm “Nirwana”. Encik bilang, Papa ditangkap tanpa alasan 
yang jelas. Tahu-tahu, dia ditahan di Kodim. Lewat 3 bulan, waktu 
itu saya masih di Kandang Sapi, Papa dipindah ke tahanan model base 
camp, di daerah Pabrik Gula Tasikmadu. Sekarang tempat itu dipakai 
Kantor Polsek Tasikmadu. Di sana Papa disiksa dan tidak diberi ma￾kan bersama puluhan tahanan dari Karanganyar. Pada awal-awal 
penahanan, Papa tidak boleh dijenguk oleh keluarga, bahkan oleh 
Mama saya sekalipun. 
Sekitar bulan Desember awal, saya keluar dari rumah sakit. 
Dalam perjalanan dari Solo ke rumah di Karanganyar, saat  melewati 
Sungai Bengawan Solo, saya melihat banyak sekali orang-orang yang 
diikat, trus dijajar di pinggiran Bengawan Solo. Saya pikir, ada apa ini. 
Saya sendiri waktu itu bingung. Lalu, sesudah  ada sedikit percakapan 
antara para tahanan dengan tentara-tentara yang ada—tentara Kostrad 
kalau tidak salah, soalnya memakai baju warna loreng hijau seperti 
daun dikombinasi dengan warna tahi ayam—tahu-tahu orang-orang 
yang merupakan tahanan itu ditembak. Begitu ditembak, tubuh 
mereka langsung nyemplung [tercebur] ke Sungai Bengawan Solo itu. 
Lokasinya di sekitar bawah jembatan rel kereta api. Begitu sampai 
di rumah, saya langsung bicara tentang apa yang saya lihat itu pada 
Mama dan anggota keluarga yang lain. 
Sejak saya sudah keluar dari rumah sakit itu, saya diajak menjenguk 
Papa. Itu pun tidak setiap hari diperbolehkan, melainkan tergantung 
seberapa besar jumlah sogokannya. Papa ditahan di Camp Tasikmadu 
itu selama 1 tahun lebih 1,5 bulan. Papa masuk dalam kategori tahanan 
Golongan C. Sebetulnya Papa sudah mau diangkut ke Pulau Buru, 
tapi waktu itu saya sendiri tidak tahu, mengapa bisa bebas. Ternyata 
belakangan saya ketahui ada sedikit backing-an (bantuan) dari oknum 
tentara yang berpangkat waktu itu, yakni seorang saudara jauh dari 
Mama saya.
Tetap Bersikap Tegar
Menurut saya, Peristiwa ’65 itu merupakan suatu pelajaran yang 
berharga buat orang-orang Tionghoa . Meskipun terkadang kita—
orang-orang Tionghoa —ini tidak pernah ikut-ikut dengan urusan 
politik baik di dalam ataupun di luar negeri, tetapi kerapkali kita yang 
selalu menjadi korban dari kebijakan rezim yang berkuasa. Boleh saja 
kita ini berpolitik, boleh saja kita ini memiliki nasionalisme yang 
tinggi, dan boleh saja kita ini menghimpun banyak kekayaan, tapi kita 
harus selalu ingat, dalam hidup ini kita perlu bermasyarakat, harus 
mau bersikap rendah hati dan harus selalu siap menolong sesama, 
siapa pun orangnya, dari golongan apa pun dia. Yang sudah terjadi 
biarlah berlalu, dan sekarang kita mencoba bersikap lebih baik dari 
masa lalu. Memang peristiwa itu merupakan sebuah pukulan dahsyat 
bagi kita, tetapi janganlah hal itu menjadi sumber dendam buat kita 
terhadap penguasa atau siapa pun yang membenci kita. 
Meskipun terkadang pilu rasanya jika mengingat peristiwa itu, 
saya tetap bersikap tegar, dan saya selalu berhati-hati dalam berkata 
dan bertingkah laku. Saya tidak mau peristiwa itu terulang kembali, 
karena dampak dari peristiwa seperti itu sangat besar. Seperti saya 
dan keluarga saya ini sampai sekarang dicap sebagai anak Eks- Tapol 
[bekas Tahanan Politik], dan dikucilkan dalam lingkungan sekitar saya 
tinggal. Padahal kita ini hanyalah sebagai korban permainan politik 
tingkat tinggi waktu itu. Orang dulu saja di Solo itu banyak guru, 
teknisi, dan wiraswastawan dari kalangan Tionghoa yang juga diciduk
[ditangkap] dengan tuduhan PKI. Apakah itu bukan merupakan 
permainan politik tingkat tinggi dengan mengorbankan golongan 
lemah?
NARASUMBER yang telah menyumbangkan narasi berikut ini kita 
beri nama samaran Ch. Mujilah. Ia berasal dari daerah Prambanan, 
keraton yogya . Seperti dikatakannya, ia berasal dari sebuah keluarga miskin 
yang bertahan dengan cara menjual gulai dan makanan kecil.
Sebagaimana kita singgung di bagian Pendahuluan artikel singkat  ini, usia 
 Mujilah baru 14 tahun saat  Tragedi ’65 terjadi. Namun demikian, 
ia ditangkap dan dipenjara. Hal itu terjadi karena ada orang yang 
bernama-sama dengan dia yang mau ditangkap, tetapi orang yang mau 
ditangkap itu sedang tidak berada di tempat. Malang bagi Mujilah kita, 
tanpa melakukan kesalahan apa-apa, ia harus menanggung derita secara 
paksa dan mendekam di penjara selama 14 tahun. saat  ia bebas, tak 
ada permintaan maaf resmi sedikit pun datang dari para penguasa yang 
telah secara keliru menangkap dan memenjarakannya.
Terhadap ketidakadilan yang ia alami itu ia hanya bersyukur bahwa 
akhirnya ia bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Baginya hidup 
sesudah  pembebasan dari penjara ternyata tidak mudah. Ia menikah 
dengan sesama mantan Tahanan Politik, yang juga menjadi salah seorang 
narasumber kita di artikel singkat  ini. Ia bertahan hidup dengan berjualan gulai 
dan makanan kecil sebagaimana yang dilakukan oleh Ibunya dulu. 
Secara apa adanya, ia bertutur tentang penderitaannya—termasuk 
gempa tahun 2006 yang menimpa rumahnya—dan berharap akan ada 
orang yang rela membantunya.
Tuturan lebih lengkap tentang narasumber kita ini bisa dibaca dalam 
artikel singkat  berjudul Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965
yang disusun oleh HD. Haryo Sasongko dan disunting oleh Dr. Melani 
 Budianta. artikel singkat  itu diterbitkan di Jakarta oleh Penerbit Amanah-Lontar 
tahun 2003.
*** 
SAYA lahir di Prambanan, keraton yogya , dengan tiga saudara kandung 
yang diasuh oleh kedua orangtua kami yang miskin. Untuk bisa 
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kami menghadapi kesulitan 
yang luar biasa. Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan oleh orangtua 
saya hanyalah berjualan gulai kecil-kecilan. Juga dengan menitipkan 
makanan di warung orang supaya turut dijualkan dengan imbalan 
tertentu. 
Tanpa saya sangka sebelumnya, pada tahun 1965 nasib buruk 
menimpa diri saya. saat  itu saya baru berusia 14 tahun dan tiba-tiba 
saya diciduk (digaruk) untuk kemudian dimasukkan ke dalam Penjara 
 Wirogunan, keraton yogya .97 Di penjara itu jatah makannya tidak layak. 
Kami diberi makan jagung sama gereh [ikan asin] yang sudah busuk. 
sesudah  itu jagung diganti gaplek, tetapi lauknya tetap gereh busuk. 
Itu pun cuma sedikit.
Enam bulan kemudian saya dipindah ke Penjara Bulu, Semarang. 
Di Penjara Bulu, saya tinggal cukup lama. Tahun 1971 saya dipindah 
ke Blatungan , di dekat Semarang. Di sini aku merasa lebih longgar, 
bisa keluar masuk, sekalipun harus selalu diantar oleh petugas. Tiap 
hari ada kegiatan bercocok tanam seperti menanam singkong, sayur￾sayuran dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk sekadar tambahan 
makan.
Pada bulan Oktober 1979 saya dibebaskan dari penjara 
 Blatungan . Saya bisa berkumpul kembali dengan keluarga, sekaligus 
menghirup udara bebas. Untuk memperpanjang sejarah hidup saya, 
pada tahun 1982 saya menikah dan dianugerahi 2 orang anak. Yang 
seorang putri, yang seorang lagi putra. Untuk memenuhi kebutuhan 
hidup sehari-hari saya berjualan gulai, sementara suamiku bekerja 
sebagai pekerja bangunan. Kemudian musibah menimpa keluarga
kami lagi. Pada tanggal 27 Mei 2006, sebuah gempa bumi yang 
cukup besar menimpah daerah keraton yogya  dan sekitarnya. Rumah 
kami hancur porak-poranda, rata dengan tanah. Berbulan-bulan 
kami tidur di lapangan, di bawah tenda, sambil menunggu bantuan 
dari pemerintah. sesudah  lama menunggu akhirnya datang bantuan 
dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [ P2KP].
Dengan bantuan itu kami bisa membangun rumah dengan ukuran 
4x6 meter.
Begitulah nasib kami, hidup dalam kemiskinan. Segala sesuatu 
serba kurang. Saat ini kami tidak punya kegiatan apa-apa, kebutuhan 
hidup sehari-hari dibantu anak. Bila mana ada uluran tangan dari 
siapa saja atau dari mana saja kami akan berterima kasih sekali
F.X. Abdul Rochim, nama pengganti untuk narasumber kita berikut 
ini, adalah suami dari Ibu Ch. Mujilah, yang narasi singkatnya baru 
saja kita baca. Abdul Rochim berasal dari sebuah keluarga miskin dengan 
delapan orang anak di Magelang, Jawa Tengah. 
Tanpa alasan yang jelas, pada tahun 1965 ia ditangkap dan 
dipenjara. sesudah  ditahan di keraton yogya , ia kemudian dibawa ke Pulau 
 Nusa Kambangan, Jawa Tengah, dan mendekam di sana selama 14 
tahun, hingga saat pembebasannya tahun 1979.
Tidak banyak yang Abdul Rochim bisa ceritakan untuk kita di sini. Ia 
hanya bertutur bagaimana sulitnya ia berjuang untuk sekedar hidup dari 
hari ke hari bersama keluarganya yang sangat sederhana. Sebagaimana 
diceritakan oleh istrinya di muka, pada tahun 2006 rumahnya runtuh 
karena gempa dan sejak itu hidup menjadi lebih sulit. Namun demikian, 
ia tidak putus asa. Ia masih terus berharap sebisanya.
***
SAYA dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, dan hidup bersama 8 
(delapan) orang saudara kandung. Kami dibesarkan oleh Ayah dan 
Ibu dalam situasi rumah tangga yang miskin. Kakak pertama saya 
telah meninggal setahun yang lalu.98 Saya masih ingat, sewaktu saya 
ma sih kecil, sawah Ayahku cuma sedikit. Sawah itu ditanami kapas 
atas perintah pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Akibatnya 
kebutuhan untuk sehari-hari semakin tidak cukup, bahkan makin 
parah.
Karena adanya tekanan ekonomi Ayah-Ibu tidak bisa menye￾kolahkan kami anak-anaknya. Hanya saya dan dua adik saya yang bisa 
tamat SD. Kemudian saya bekerja di bangunan bagian kayu. 
Lalu nasib malang menimpa diriku. Pada tahun 1965 saya 
dimasukkan ke dalam penjara di keraton yogya  sini. Tiga bulan kemudian, 
saya dipindahkan ke Pulau Nusa Kambangan. Di sana jatah makan 
sangat tidak layak. Kadang tiga kali sehari kami diberi makan jagung, 
dengan jumlah 150 butir mata jagung. saat  jagung habis makanan 
kami diganti gaplek, dan saat  gaplek habis makanan kami diganti 
bulgur. Begitulah yang terjadi selama bertahun-tahun. Guna menjaga 
kondisi fi sik agar tetap sehat, setiap hari saya berusaha keluar dari 
penjara untuk bekerja dan mencari tambahan makanan, khususnya 
dengan bekerja sebagai tukang kayu. sesudah  1971 baru ada perubahan 
jatah makan yang wajar.
Empat belas tahun lamanya saya mendekam di dalam penjara. 
Pada tanggal 8 Desember 1979 saya dibebaskan. Waktu itu yang 
dibebaskan dari Nusa Kambangan bersama saya ada 220 orang, 
ditambah mereka yang dibebaskan dari penjara Pekalongan dan 
penjara-perempuan lesbian  Blatungan , Jawa Tengah. Upacara pembebasan 
berlangsung di Gedung Kridosono, keraton yogya .
 sesudah  bebas, untuk menyambung sejarah hidup, pada tahun 
1982 saya menikah. Kami dikaruniai dua orang anak, satu putri dan 
satu putra. Demi kebutuhan hidup sehari-hari saya bekerja di proyek￾proyek bangunan. Nasib malang menimpa diriku lagi. Tanggal 27 
Mei 2006 di keraton yogya  terjadi gempa bumi hebat. Rumah kami 
hancur, rata dengan tanah. Beberapa bulan kami tidur di lapangan, di 
bawah tenda. Kemudian ada bantuan dari Program Penanggulangan 
Kemiskinan di Perkotaan [ P2KP]. Berkat bantuan dari P2KP itu kami 
bisa membuat rumah dengan ukuran 4x6 meter. 
Begitulah nasib rumah tangga miskin. Umur terus bertambah dan 
keadaan fi sik makin melemah. Sementara itu saya tidak mempunyai 
kegiatan apa-apa yang bisa mendatangkan penghasilan. Tambahan 
lagi, sekarang ini saya selalu sakit-sakitan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, saya dan istri 
saya dibantu oleh anak kami. Bantuan dari pemerintah yang kami 
harapkan sampai sekarang tak kunjung tiba. Oleh karena itu, kalau 
ada uluran tangan dari siapa saja, atau dari mana saja, yang sudi atau 
mau membantu keluarga kami, kami akan dengan penuh rasa terima 
kasih menerimanya. Kami hanya ingin agar supaya sisa-sisa kehidupan 
kami bisa sedikit lebih layak dan sejahtera. Atas perhatiannya, saya 
mengucapkan banyak terima kasih






ANAK keempat dari enam bersaudara, Rahardjo adalah narasumber kita 
selanjutnya. Ia lahir di desa Gatak, keraton yogya . Waktu kecil pekerjaan 
sehari-harinya sebagai anak desa adalah menggembalakan kerbau milik 
keluarga, meskipun ia pernah mengenyam pendidikan guru hingga pada 
tingkat sekolah menengah.
Pada bulan November 1965 tiba-tiba saja ia mendapat panggilan 
ke Kelurahan. Rahardjo (sekadar nama samaran saja) diberitahu 
bahwa ia akan diberi surat keterangan dari sebuah satuan militer. 
Ternyata pemberitahuan itu bohong belaka. Ia justru ditangkap 
dan dipenjarakan dengan tuduhan sebagai anggota Pemuda Rakyat, 
sebuah organisasi pergerakan gerakan   remaja muda   yang berafi liasi dengan Partai Komunis 
Indonesia. Tanpa diberi kesempatan untuk menerangkan diri, Rahardjo 
langsung dimasukkan ke dalam truk dan diangkut ke penjara. Semula 
ia dipenjarakan di keraton yogya , tetapi lalu dipindah ke Pulau Nusa 
Kambangan, kemudian ke Ambarawa (keduanya di Jawa Tengah), dan 
selanjutnya kembali ke Nusa Kambangan. Akhirnya ia dibuang ke Pulau 
 Buru, di Maluku. Sebagaimana para tahanan politik yang lain, banyak 
sekali duka derita yang ia alami di Pulau Buru, termasuk pengalaman 
kerja paksa. Tahun 1979 ia dibebaskan.
saat  kembali dari Pulau Buru, ia merasa sedih karena kedua 
orangtuanya tidak menyambutnya. Mereka telah lebih dulu meninggal. 
sesudah  itu ia tidak bisa berbuat banyak. Kesulitan dan derita hidup 
terus menderanya, termasuk gempa yang menghantam keraton yogya  dan 
sekitarnya pada tahun 2006. Ia hanya bisa menggantungkan hidupnya 
pada uluran tangan orang lain, termasuk pemerintah. Rahardjo mengakui 
bahwa hidup tidak mudah baginya. Meskipun demikian, ia berusaha 
untuk terus bertahan. Karena adanya sejumlah keterbatasan, narasi yang 
ia sampaikan pada kita di sini tidak banyak. Padahal menurutnya kalau 
diceritakan semuanya narasi itu bisa panjang sekali.
***
SAYA dilahirkan dari keluarga Kartorejo di Gatak, keraton yogya , sebagai 
anak keempat dari enam bersaudara. Sejak kecil saya ikut orangtua 
yang bekerja sebagai buruh tani. Saya membantu orangtua sejak saya 
masih menjadi seorang anak kecil penggembala kerbau hingga saya 
berumur 20 tahun.
Pada tahun 1952 saya masuk Sekolah Rakyat (SR) sekarang 
disebut SD atau Sekolah Dasar. Tahun 1958 saya melanjutkan ke 
jenjang SMP. Tahun 1962 saya masuk S.G.C. atau Sekolah Guru 
“C”. 
Pada tahun 1965 saya mendapat surat panggilan dari kantor 
kelurahan. Katanya untuk mendapatkan surat keterangan dari sebuah 
satuan militer pada tanggal 19 November 1965. Kenyataannya di 
kantor kelurahan, saya disuruh naik truk yang dikawal oleh tentara. 
Akhirnya saya dimasukkan ke dalam penjara sebagai tahanan perang 
[sic.] G30S. Saya dimasukan ke dalam penjara, tetapi saya tidak tahu 
masalahnya apa, kok saya dimasukkan penjara.
Di dalam penjara, untuk makan kami harus antri, dilayani 
oleh orang hukuman atau napi (narapidana) dengan makanan yang
sebetulnya tidak layak untuk dimakan. Tetapi demi mempertahankan 
hidup akhirnya saya mau makan juga. Waktu malam saya dipanggil 
untuk diperiksa, disuruh mengaku sebagai anggota Pemuda Rakyat 
(PR). Kalau tidak mengaku, saya akan dianiaya dengan cara yang tidak 
berperikemanusiaan. 
Pada suatu tengah malam saya dipanggil. Saya diminta berkumpul 
di ruangan yang telah disediakan. Selanjutnya, saya dibuang ke Pulau 
 Nusa Kambangan dengan naik kereta api yang jendelanya tidak bisa 
dibuka. Waktu itu bulan Februari 1966. Setiba di Nusa Kambangan 
kami dilayani cadong (jatah) makan jagung oleh para napi yang 
kejam-kejam. Mereka berlaku sangat kejam kalau menghadapi teman￾teman saya. Di sana (di Nusa Kambangan) saya dan teman-teman 
dipekerjakan dengan jatah makan jagung yang amat sedikit. Banyak 
teman-teman yang di Nusa Kambangan mati kelaparan. Banyak juga 
yang disiksa oleh para napi lain. 
Pertengahan tahun 1966 saya dipindah lagi ke penjara Ambarawa, 
 Jawa Tengah. Jatah makan tetap jatah makan penjara seperti yang 
sudah-sudah. Untungnya ada tambahan makanan dari keluarga 
tahanan yang mampu dan bisa membesuk. Dari mereka, kami 
mendapatkan tambahan makanan maupun pakaian
Tahun 1969 saya dibuang lagi ke Nusa Kambangan, lalu dite￾ruskan ke Pulau Buru. Di Pulau Buru tidak ada napi, tapi kami dikawal 
oleh tentara. Di Pulau Buru kami dipekerjakan untuk membuka atau 
membabat hutan guna ditanami padi gogo, sayuran, ketela pohon 
(singkong) atau palawija. Kami juga disuruh membuat bendungan, 
sawah, jalan, dan rumah. Di tengah itu semua, jatah makan tetap 
minim.
Tahun 1979 saya dibebaskan pulang ke masyarakat. Waktu saya 
dibebaskan, kedua orangtuaku tidak tampak menyambut. Mereka 
sudah tidak ada. Haru rasanya hati ini merindukan mereka. Waktu 
itu yang ada hanya saudara-saudaraku saja disertai sanak saudara dan 
tetangga. sesudah  bebas saya diberi KTP yang diberi ciri “ ET” yang 
berarti “Eks Tapol
Tahun 1982 saya menikah dan membentuk keluarga baru. 
Kami diberi dua orang momongan (anak). Setapak demi setapak saya 
menghidupi keluarga. Saya bisa bikin rumah yang waton eyup (asal bisa 
untuk berteduh). Tahun 2006 rumah itu kena gempa bumi sehingga 
roboh. Kami lalu dibuatkan rumah oleh Program Penanggulangan 
Kemiskinan di Perkotaan [ P2KP], dengan prinsip yang sama yakni 
asal bisa untuk berteduh. Sekarang ini saya tinggal di rumah itu 
sambil mencari nafkah semampunya karena sudah usia lanjut alias 
sudah tua. Kadang-kadang, ada anggota keluarga saya yang sakit. 
Dalam situasi demikian, saya sering menjadi bingung bagaimana 
harus memeriksakan atau mencarikan obat. 
Dulu saya bisa mendapatkan “Raskin” (jatah beras untuk or￾ang miskin dari pemerintah), “Jamkesmas” (Jaminan Kesehatan 
Masyarakat) dan “Jamkesos” (Jaminan Kesehatan Sosial), tetapi 
sekarang semua itu tiba-tiba dicabut oleh kader-kader masyarakat. 
Saya lalu bertanya-tanya, apakah hal itu mereka lakukan karena saya 
bekas Tapol (tahanan politik) ya? Atau bagaimana? Saya tidak tahu. 
Saya cuma bisa menerima. Tapi akibatnya kalau ada anggota keluarga 
sakit ya saya cuma bisa menyerah. Biaya pengobatan itu sangat mahal, 
sementara untuk biaya makan sehari-hari saja belum cukup.
Demikianlah kisah saya dalam menghadapi kehidupan sehari￾hari. Penderitaan yang saya alami sejak lahir sampai sekarang tidak 
ada hentinya. Mudah-mudahan Tuhan memberikan berkah kepada 
orang-orang atau lembaga-lembaga kemanusiaan agar bisa berbaik 
hati memberikan bantuan bagi kehidupan saya.
Kisah ini hanya sebagian saja yang saya tulis. Sebab kalau harus 
saya tulis semuanya mungkin tidak akan selesai dalam waktu yang tak 
terhingg
BERBEDA dengan kebanyakan narasumber lain, penutur narasi kita 
kali ini bukanlah korban langsung para penguasa dalam kaitannya 
dengan Tragedi ‘65. Mirip dengan Yong Witono di depan, ia tidak pernah 
dipenjarakan, diinterogasi atau disiksa karena dituduh terlibat dengan 
apa yang terjadi pada tahun 1965. Meskipun demikian, ia menderita 
banyak sebagai akibat dari peristiwa itu.
saat  Tragedi ’65 berlangsung usianya masih terlalu muda untuk 
bisa memahaminya. Dengan alasan yang kurang masuk akal, Ayahnya 
ditangkap dan dipenjarakan selama 13 tahun. Di luar kemauannya, 
ia dijodohkan dengan seorang mantan Tahanan Politik ‘65. Karena 
itu semua, M.M. Sutini, begitu nama samaran yang kita pilihkan 
untuknya, harus mengalami penderitaan beruntun. Bahkan saat  ia 
telah membentuk keluarganya sendiri, penderitaan itu seakan tidak 
pernah berakhir.
Gara-gara Ayahnya ditangkap dan dipenjarakan, hidup keluarga 
 Sutini menjadi kacau balau penuh dengan penderitaan. Ia harus bekerja 
keras untuk bisa tetap bertahan hidup. Tutur Sutini,“Waktu itu usiaku 
12 tahun. Aku harus ikut cari makan bersama Iartikel singkat . Adikku yang 
nomor empat bertugas mengurusi adik yang masih kecil di rumah. Tiap 
hari aku ikut Ibu mencari daun bambu untuk dijual kepada orang-orang 
yang membuat tempe gembus. Setiap hari aku harus berjalan jauh.”
Sebagai anak kecil, berjalan jauh setiap hari untuk mencari makan 
tentu sangat melelahkan. Namun demikian, tidak kalah melelahkan 
adalah perjalanan hidup selanjutnya berupa cap yang ia dapatkan 
sebagai anak Tahanan Politik yang sekaligus istri seorang Tahanan Politik. 
Tekanan dari tetangga sekitar amat berat, dan hal ini tidak hanya dia 
yang mengalaminya, melainkan juga dua orang anaknya. Lebih dari 
itu, di tengah penderitaan ini  terjadi pula konfl ik internal dalam 
keluarga yang tentu saja menambah beratnya beban hidup. “Walau aku 
dan anak-anakku hidup di luar penjara, tetapi siksaan lahir dan batin, 
siksaan jiwa dan raga yang kami alami sama rasanya dengan yang berada 
di dalam penjara,” ujar Sutini. Syukurlah, ia memiliki iman yang kuat, 
dan dengan iman itu, ia terus berusaha bertahan dari hari ke hari.
saat  harus berefl eksi atas apa yang ia alami sebagai anak dan istri 
mantan Tahanan Politik, Sutini mengatakan bahwa dia sering merasa 
gelisah dan termenung sendiri. Meskipun demikian, ia tidak putus asa. 
Ia tetap bersyukur karena di sekitarnya selalu saja muncul orang-orang 
atau kelompok yang bersedia membantunya. Berkat orang-orang ini, 
 Sutini kembali memiliki harga dirinya. Sebagaimana bisa kita lihat 
dalam narasi di bawah, ia bersaksi,“Oleh mereka aku merasa masih 
dianggap sebagai orang seperti orang-orang lainnya. Aku pun merasa 
masih berguna bagi orang lain.”
Ada sedikit catatan tambahan tentang narasi Sutini. Pertama, nama￾nama yang ada dalam narasinya sengaja disamarkan dengan maksud 
menghormati privasi para pemiliknya. Kedua, Sutini dan keluarganya 
menjadi salah satu narasumber untuk fi lm “40 Years of Silence: An 
Indonesian Tragedy.” Film karya Dr. Robert Lemelson dari University of 
California-Los Angeles ini  selesai diproduksi pada tahun 2009 dan 
sejak itu telah diputar di Los Angeles, Sarajevo, keraton yogya , Jakarta, New 
York, serta sejumlah kota besar lain di dunia.
***
WAKTU itu bulan Agustus tahun 1966. Di kampungku akan diadakan 
perayaan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI. Waktu 
malam hari Bapak Ketua RK yakni Rukun Kampung—kalau sekarang 
RW atau Rukun Warga—datang ke rumah bermaksud menyuruh 
Bapakku untuk menabuh gamelan sebagai iringan pertunjukan 
kethoprak. Bapakku menolak karena tanggal itu ia ada tugas lain ke 
luar kota. Lalu Pak RK marah-marah dan pergi tanpa pamit. Dua jam 
kemudian ia datang lagi, tapi kali ini sambil mengajak polisi yang 
tinggalnya di kampung sebelah.
Polisi itu bernama Pak Ilyas dan sebetulnya ia adalah juga teman 
Bapak saya sendiri. Anehnya, Pak Ilyas ini memaksa Bapakku supaya 
mematuhi perintah Pak RK dan menantang sambil mengatakan,“Kalau 
kamu tidak mau berarti kamu Partai Komunis Indonesia [PKI ]. Lihat 
saja nanti.” sesudah  itu, selang dua minggu kemudian Bapakku diciduk
(ditangkap) di kantornya. Ia lalu dipenjarakan di Penjara Wirogunan, 
keraton yogya , selama 4 tahun sebelum kemudian dibuang ke Pulau 
 Nusa Kambangan, Jawa Tengah. Ia ditahan di pulau ini  selama 9 
tahun, sehingga total ia dipenjara selama 13 tahun. 
Karena Aku Miskin
Sebelum di penjara, Bapakku adalah Ketua RT (Rukun Tetangga) 
yang bijaksana. Setiap ada pemilihan RT Bapakku selalu dipilih lagi. 
Waktu membuat gedung SMP Negeri 7 pengorbanan Bapakku sangat 
besar. Setiap bulan gaji Bapakku dari kantor disumbangkan untuk 
membayar tukang-tukang guna membangun sekolah ini . Kebun 
Bapakku digali untuk pembuatan batu bata yang jumlahnya mencapai 
10.000 buah biji. Bapak juga membantu proses pembakarannya. 
Semua disumbangkan oleh Bapak, dengan perjanjian bahwa besuk 
kalau anak-anaknya Bapak masuk sekolah di SMP Negeri 7 mereka 
tidak perlu bayar. Apa boleh buat, sesudah  Bapakku dipenjara, bahkan 
kakakku yang sudah sekolah di situ dan baru kelas II justru dikeluarkan. 
Dia tidak boleh sekolah dengan alasan ia adalah “anak PKI ”.
sesudah  Bapak dipenjara keluargaku menjadi sangat menderita. 
Ibu yang masih punya bayi berumur 6 bulan tidak bisa bekerja. Harta 
benda yang ada dijual untuk makan dan untuk mengirim makanan 
buat Bapak di penjara. Itu pun setiap kali Ibu harus setor beras sebanyak 
10 kilogram ke petugas. Kalau tidak Ibu tidak boleh kirim makanan 
ke Bapak. Kalau Ibu mengirim nasi satu besek penuh disertai telur 
10 butir, yang sampai ke Bapak biasanya hanyalah nasi sebanyak tiga 
suap, sedang telurnya sama sekali tidak sampai karena sudah dirampas 
para penghuni penjara yang lain.
sesudah  Ibu tidak punya apa-apa, kakakku yang nomor satu ikut 
tinggal bersama seorang saudara di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, 
dekat Sumatera. Kakak nomor dua ikut tinggal bersama saudara dari 
Bapak di Jakarta. Sementara itu, aku sebagai anak ketiga tinggal bersama 
Ibu dan menjadi anak yang paling besar di rumah. Waktu itu usiaku 
12 tahun. Aku harus ikut cari makan bersama Iartikel singkat . Adikku yang 
nomor empat bertugas mengurusi adik yang masih kecil di rumah. 
Tiap hari aku ikut Ibu mencari daun bambu untuk dijual kepada 
orang-orang yang membuat tempe gembus. Setiap hari aku harus 
berjalan jauh. Kalau ke arah selatan, aku berjalan sampai mencapai 
Pasar Bantul, keraton yogya . Kalau haus aku hanya bisa minum air sumur. 
Tak sempat aku merasa kelelahan. saat  daun bambu sudah terjual, 
uangnya tidak banyak. Bahkan tidak cukup untuk membeli setengah 
kilogram beras. Yang bisa dibeli hanyalah setengah kilogram gaplek, 
untuk ditumbuk dan kemudian dibuat bubur. 
Kehidupan seperti itu kami jalani bertahun-tahun hingga adikku 
yang nomor 6 jatuh sakit. Badannya kurus, kakinya bengkak-bengkak. 
Mungkin itu yang dinamakan penyakit busung lapar. Melihat 
keluargaku seperti itu saudara-saudara Ibu tidak mau membantu. 
Padahal waktu keluargaku masih makmur mereka selalu dibantu Bapak 
dan Ibu. Sekarang ini mereka malah menghina keluargaku. Syukurlah 
suatu saat saat  aku dan Ibu pagi-pagi mau berangkat mencari 
daun bambu, kami bertemu dengan Bu Daryo yang suaminya juga 
dipenjara. Bu Daryo menyuruh Ibu sowan atau menghadap Romo 
Pastor di Gereja Katolik Kumetiran, keraton yogya , untuk menceritakan 
nasib kami.
Di Gereja, Ibu dan kami, anak-anaknya, diterima oleh Romo 
Lim. Lalu kami semua dibawa ke Poliklinik untuk diperiksa. Kami 
diberi obat seminggu sekali tanpa harus membayar. Kami juga diberi 
susu secukupnya, sampai adikku yang busung lapar akhirnya bisa 
sembuh. Romo Lim memberi alamat dan menganjurkan kami supaya 
menemui Romo De Blot di Sekolahan di Jl. Trenggono, keraton yogya , 
 dan menyerahkan kepadanya surat dari Romo Lim. Waktu aku dan 
Ibu mau mencari Romo De Blot, saudara-saudara Iartikel singkat  mengatakan 
bahwa kami membuat malu saudara-saudara kami, karena hal itu kan 
berarti mengemis. 
Akan tetapi, sesudah  aku dan Ibu sudah bertemu Romo, dan 
mendapat bantuan dari Rumah Sakit Panti Rapih berupa dua kilogram 
susu per bulan, dan setiap dua minggu sekali mendapat bulgur, tepung, 
dan pakaian dari bruder-bruder di Sekolah Pangudi Luhur, saudara￾saudara kami itu lalu berubah. Setiap kami datang dari mengambil 
jatah, mereka langsung berebutan minta diberi bagian dari jatah itu.
Sejak usia 14 tahun, aku sudah bekerja menjadi pembantu 
rumah tangga [PRT] di sebuah keluarga. Kalau besok pagi waktunya 
gajian, hari ini Ibu sudah mendatangi keluarga ini  untuk minta 
uang guna memberi makan adik-adikku serta biaya sekolah mereka. 
sesudah  dewasa, oleh Ibu aku dijodohkan dengan orang yang belum 
aku kenal. sesudah  menikah aku baru tahu bahwa ternyata suamiku 
juga bekas Tapol (tahanan politik). Jadi Bapak dan suamiku sama￾sama bekas Tapol. Hati yang sudah sakit menanggung derita menjadi 
semakin sakit sesudah  mengetahui itu semua. Belum lagi ternyata 
suamiku pernah menghamili adik kandungnya sendiri sampai punya 
anak satu laki-laki. Hatiku benar-benar hancur! Lebih dari itu, kalau 
suamiku punya masalah dengan saudara-saudaranya, yang menjadi 
sasaran amarah mereka adalah aku dan anak-anakku. Suamiku itu 
orangnya kejam. Kalau menyiksa aku dan anak-anak, ia seperti sedang 
menyiksa seekor binatang. Apa yang dipegangnya selalu dipakai  
untuk memukulku. Banyak teman-teman yang menyuruh supaya 
aku bercerai saja, tetapi aku sadar hal itu tidak mungkin karena aku 
menikah di Gereja. Oleh karena itu, walau sepahit apa pun aku harus 
tetap bertahan.
Melihat kehidupanku yang seperti itu, adik-adikku yang dulu aku 
carikan makan dan biaya sekolah bukannya merasa kasihan melainkan 
malah membenci aku. Alasan mereka karena aku miskin. Adik yang 
ditinggal Bapak ke penjara saat  ia berusia 6 bulan dan sekarang 
sudah menjadi orang berhasil tidak terlalu mau tahu tentang hidupku. 
Adik yang lain juga kurang bersahabat. Anaknya sering memusuhi 
anak-anakku.
Tak Punya Tempat Tinggal
Tahun 1988 aku mulai tinggal di daerah Kalasan, di bagian timur 
keraton yogya . Anakku baru berumur 5 tahun dan aku sedang 
mengandung anak yang kedua yang usianya baru 4 bulan dalam 
kandungan. Waktu anakku yang kedua lahir dan berumur 3 bulan 
ada tetangga yang sengaja membuang sarang ayam (petarangan) yang 
sedang dipakai  induk ayam untuk mengerami anak-anaknya dan 
banyak sekali kutunya. Sarang itu sengaja dibuang ke dinding rumah 
kami yang terbuat dari bambu sehingga semua kutunya masuk ke 
dalam rumah, persis di tempat kami tidur.
Kami sekeluarga pun dimakan kutu. Yang paling parah adalah 
tubuh anakku si kecil. Dari kepala sampai ujung kaki tubuhnya banyak 
dimakan kutu. Hal ini tidak hanya berlangsung sebentar, melainkan 
dari usia 3 bulan hingga usia 1,5 tahun. Baru sesudah  berusia 1,5 tahun 
itu dia bisa sembuh. Setiap hari anakku yang besar selalu disakiti oleh 
tetangga. Waktu anakku yang besar kelas 3 SD, ia ditenggelamkan 
di sumber air di desa itu oleh orang-orang dewasa. Semula mereka 
berpura-pura melatih renang. Yang seorang memegang tubuh anakku, 
yang seorang lagi menenggelamkan kepalanya sampai pingsan karena 
perutnya penuh air. Untunglah saat  terjadi, hal itu segera diketahui 
oleh orang yang baik sama aku meskipun dia sendiri pura-pura tak 
mengenalku dan tak pernah mau menyapaku. Setiap kali ada orang 
yang merencanakan suatu kejahatan kepada keluargaku, dia selalu 
memberi tahu melalui temanku di kampung sebelah.
Hampir setiap hari anakku selalu ada yang menyakiti. Suatu 
saat  sesudah  anakku yang kecil sekolah Taman Kanak-kanak, pulang 
sekolah dia pergi bermain dengan empat orang anak lain. Begitu datang, 
oleh anak-anak yang lain itu anakku ditendang. Dia pun jatuh, lalu 
diinjak-injak oleh empat orang anak ini . saat  Ibu Gurunya 
lewat dan melihat hal itu, anakku lalu disuruh pulang. saat  anakku 
yang besar kelas 2 SMP dan pagi-pagi pukul 6 menunggu bus mau 
berangkat sekolah sambil jongkok di pinggir jalan, tiba-tiba anaknya 
Pak Lurah lewat naik motor mau sekolah juga. Sekonyong-konyong 
dia berhenti di dekat anakku dan berulang kali melayangkan kakinya 
di kepala anakku. Beberapa hari kemudian hal itu diulangi lagi.
Pada suatu hari Minggu pagi aku pergi ke pasar. Sepulang dari 
pasar, aku ketahui bahwa anakku yang besar baru saja disiksa oleh 
orang-orang desa. Ia dituduh telah mencuri sepeda dan dipaksa untuk 
mengakui bahwa sepeda, ayam, lampu neon, dan barang-barang 
lain yang hilang di desa itu anakkulah yang mencurinya. Padahal 
sebenarnya malingnya ya mereka-mereka itu sendiri. Lalu anakku 
ditelanjangi, disuruh jalan pakai tangan sementara kakinya di atas, 
sambil dicambuk, dan dipukuli. Ia harus menjalani semua itu dari 
pos ronda hingga ke desa sebelah, yang jaraknya kira-kira 200 meter. 
Setiap kali anakku jatuh, ia lalu diinjak-injak pakai sepatu tentara. 
Kemudian, ia disuruh jalan lagi sambil dicambuki dan diinjak-injak 
sampai di desa sebelah. Yang menyiksa tetangga-tetangga, tapi mereka 
sebenarnya adalah seorang Brimob, seorang Polisi, seorang anggota 
AURI, dan seorang tentara. Ada juga yang namanya Gombloh. Si 
Gom bloh ini sebenarnya pencurinya yang asli. 
Sepulang dari pasar itu, aku melihat punggung dan wajah anakku 
penuh luka. Hatiku benar-benar hancur. Meskipun demikian, aku 
tetap berusaha sabar menerima semua ini. sesudah  anakku sembuh, 
ada pemuda yang pura-pura baik sama anakku. Ia mengajak anakku 
mencari pasir di sungai. Katanya nanti kalau sudah mendapat banyak 
pasir, pasir itu akan dijual dan uangnya akan dibagi dua. Anakku 
dipaksa bekerja terus sementara dia hanya tiduran di pinggir sungai. 
sesudah  mendapat 2 rit pasir, pasir itu benar dijual. Satu rit pasir
harganya Rp 13.000,- . Dua rit pasir berarti harganya Rp 26.000,-. 
Anehnya, anakku hanya diberi uang Rp 2.000,-. Mengetahui hal itu, 
aku lalu melarang anakku untuk mencari pasir di sungai itu. Ia pun 
men cari pasir di sungai lain dekat rumah, dan bisa mendapatkan 2 rit 
pasir sendiri. 
Suatu saat , sekitar pukul 8 pagi anaknya Pak Mkr, salah seorang 
tetanggaku, datang membawa mobil Kijang. Dia bilang padaku mau 
ambil pasir karena katanya sudah ia beli. Aku mengizinkannya, karena 
aku mengira bahwa anakku telah menjual pasir kepadanya. Ternyata 
anakku tak menjualnya. Aku pun lalu mengurus masalah ini ke rumah 
Pak Mkr. Di rumah itu, anaknya Pak Mkr berkilah bahwa yang menjual 
pasir kepadanya adalah pemuda yang namanya aku sebut di atas dan 
uangnya sudah diberikan kepadanya. Anakku pun menangis. Aku 
hanya bisa menghibur anakku dan bilang,“Begini nak, sudah diterima 
saja. Barangkali pasir itu mau dibawa bekal mati.” 
Entah kebetulan entah tidak, siang itu sekitar pukul13.00 saat  
aku mau mengantar anakku yang kecil Sekolah Minggu, aku lihat 
di depan rumah pemuda itu orang-orang desa pada berkumpul. Ada 
banyak yang menangis. Lalu aku bertanya, ada apa kok orang-orang 
pada berkumpul di situ. Orang-orang yang aku tanya menjawab 
bahwa pemuda yang mengambil pasir anakku itu memanjat pohon 
sengon guna mengambil daunnya untuk memberi makan sapinya. Di 
pohon itu ia kesetrum listrik, jatuh, dan mati. Sekitar pukul 8.00 pagi 
aku mengucapkan kata-kata di atas, sekitar pukul 13.00, kata-kata itu 
menjadi kenyataan. 
Peristiwa itu tidak pernah kulupakan dan menjadi pelajaran. 
Keluargaku selalu disakiti, tetapi aku selalu sabar dan mengalah. 
Dan ternyata ucapanku sering menjadi kenyataan. Aku yakin kalau 
Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Adil. Tuhan tidak akan membiarkan 
hambaNya. Tuhan menyuruhku memanggul “Salib” yang kecil, tetapi 
karena aku kuat, aku pun disuruh memanggul Salib yang agak besar, 
dan yang lebih besar lagi, dan seterusnya, dan ternyata aku kuat. 
Tetapi kekuatanku itu semua datang dari Tuhan. Semua masalah dan 
penderitaan dalam keluargaku, aku serahkan pada Tuhan, dan Tuhan 
selalu memberikan aku kekuatan. Hinaan, fi tnah, siksaan, dan caci 
maki, semua aku terima dengan hati sabar dan sikap mengalah.
Perlu aku jelaskan pemuda yang mati kena setrum listrik itu 
namanya Msd. sesudah  Msd mati seharusnya kematian itu menjadi 
pelajaran bagi yang lain. Tetapi ternyata tidak ada yang menyadari 
hal itu. Malah anakku tetap disiksa. Kepalanya di-plintheng (ditembak 
dengan ketapel) pakai kelereng. Mlintheng-nya (cara mengetapelnya) 
adalah dengan menempelkan ketapel itu di kepala. Akibatnya, kepala 
anakku “bocor” dan berdarah di tiga tempat. sesudah  anakku tidak 
sekolah karena anakku sering sakit kepala akibat siksaan, anakku 
mencari pasir untuk membuat batako. Saat pasirnya sudah banyak 
dan mulai menggunung tiba-tiba Mbah Kaum datang membawa sapi 
untuk dimandikan di sungai. Sebelum dimandikan sapi itu dibawa 
berputar-putar di tumpukan pasir sampai pasir itu menjadi rata. Oleh 
anakku pasir itu dikumpulkan kembali. Tetapi oleh Mbah Kaum sapi 
dibawa berputar-putar lagi. akibatnya anakku marah, dan sapi dilempar 
batu. Mbah Kaum balik marah-marah, tetapi waktu itu pertengkaran 
bisa diselesaikan. Perlu diketahui Mbah Kaum ini adalah kakek dari si 
anggota AURI di atas. 
Seminggu sesudah  pertengkaran dengan Mbah Kaum, saat  
anakku sedang bermain di rumah temannya di desa lain, anakku 
dicari si AURI-nya. Ia datang berdua dengan seorang anak tentara. 
Anakku diajak pergi. Karena merasa tidak punya masalah anakku 
tidak menaruh rasa curiga apa pun. Ternyata ia dibawa ke tengah 
sawah, jauh dari penduduk. Di sana anakku disiksa oleh dua orang 
itu. Ia diinjak-injak. Kepalanya dihantam pakai batu besar. sesudah  
anakku pingsan mereka pergi. Untunglah ada orang yang lewat dan 
menolong. 
Anakku pun pulang. Sesampai di rumah ia menceritakan kejadian 
itu padaku. Aku bertanya pada anakku, apakah dia bersalah atau tidak. 
Kukatakan bahwa kalau dia bersalah aku tidak akan membelanya; 
tetapi kalau dia tidak bersalah sampai di mana pun aku akan mengurus 
dan membelanya. Anakku mengatakan,“Kalau Mamak (Ibu) tidak 
percaya, lebih baik aku dibunuh saja Mak”. Berkat kata-kata itu 
aku yakin kalau anakku tidak bersalah. Oleh karena itu aku pergi ke 
kantornya AURI. Di sana aku menuju ke Penjagaan I. Dari Penjagaan 
I aku diberi pengantar ke Penjagaan II dari penjagaan II aku diberi 
pengantar ke Penjagaan III. Di Penjagaan III aku didamaikan, tetapi 
aku tidak mau. Masalah pun diproses sampai ke Detasemen Polisi 
Militer [Denpom]. Di Denpom, aku didampingi tiga orang pengacara. 
Di ruang sidang, aku dikeroyok orang-orang satu desa yang jenisnya 
laki-laki semua. Mereka datang ke Denpom. Tetapi alangkah malunya, 
karena mereka semua diusir dari ruang sidang. Yang tinggal ya hanya 
si AURI itu sendiri.
Esok harinya aku meninggalkan desa itu untuk pulang ke tempat 
orangtuaku atas perintah dari Denpom. sesudah  aku naik bus, Pak 
Dukuh dan semua warga marah-marah. Mereka dendam padaku. 
Lalu rumahku dirusak. Barang-barang seisi rumah dijarah. Batakonya 
dicongkeli. Kayu-kayu, tiang, genteng semuanya habis. Kalau seperti 
itu yang terjadi, siapa sebenarnya yang maling, anakku atau warga 
desa? Sekarang aku tidak punya tempat tinggal. Anakku yang besar 
stress, sedang yang kecil jadi trauma karena sering sekali kakaknya 
disiksa di depan matanya dan dia sendiri juga jadi bulan-bulanan 
mereka.
Dalam Lindungan Tuhan
Suatu waktu, anakku disuruh Bu Dukuh untuk menggilingkan padi, 
tetapi lalu anakku difi tnah. Ada tetangga yang namanya Arjo Mblonot 
mengatakan kepada Bu Dukuh bahwa saat  menggilingkan padi itu 
anakku mengurangi berasnya untuk dijual sendiri. Bu Dukuh percaya 
dan melaporkan padaku bahwa anakku disuruh menggilingkan padi 
tetapi malah mengurangi berasnya untuk dijual. Aku lalu bertanya 
kepada Bu Dukuh, berapa kilo anakku mengurangi berasnya, kepada 
siapa anakku menjualnya, dan apakah yang membeli beras itu yang 
punya gilingan ataukah seorang bakul (penjual). Kalau yang membeli 
itu seorang bakul, siapa nama bakul itu, rumahnya di mana, dan 
dibelinya berapa rupiah. Bu Dukuh mengatakan bahwa dia tidak 
tahu, dan hanya diberitahu. Lalu Bu Dukuh aku tanya yang bilang 
siapa. Dia katakan, ya pokoknya ada. Lalu aku katakan,“Semua orang 
punya nama. Kalau Ibu tidak mau menyebutkan namanya berarti 
yang menuduh Ibu sendiri.” Akhirnya Bu Dukuh mengatakan bahwa 
yang bilang padanya itu Arjo Mblonot. Aku pun pergi mencari Ar jo 
Mblonot dan ketemu. Ia sedang memanen cabai di sawah. Awal nya 
ia tidak mengaku, tetapi sesudah  aku tanya apakah dia berani kuper￾temukan dengan Ibu Dukuh, dia mengaku.
Sebenarnya anakku sudah menurut saat  disuruh oleh Bu 
Dukuh untuk menggilingkan padi itu tanpa diberi upah, tetapi 
anakku itu justru difi tnah. Karena anakku tidak bersalah maka aku 
mengurus masalah itu ke tempat Pak Dukuh. Pak Dukuh menyuruh 
aku menunjukkan siapa yang memfi tnah, tapi sesudah  aku bilang yang 
memfi tnah Bu Dukuh, Pak Dukuh marah-marah dan mengatakan 
bahwa aku yang kelakuannya buruk. Lalu aku bilang, waktu Bu Dukuh 
bilang hal itu ada saksinya. Pak Dukuh membentak dan menanyakan 
siapa saksinya. Aku pun menarik orang disebelahku, namanya Minten. 
Aku suruh Minten menirukan kata-kata Bu Dukuh. sesudah  saksi 
Minten selesai bicara, Pak Dukuh mukanya menjadi merah padam. Ia 
pun pergi tanpa pamit.
sesudah  aku meninggalkan desa Kalasan dan kembali ke kampung 
halamanku, aku mengontrak rumah pamanku yang ditempati Iartikel singkat . 
Di rumah itu yang memasang listrik adalah Iartikel singkat . Tiap bulan aku 
juga ikut membayar pajak listrik. Tetapi entah mengapa, sesudah  
Iartikel singkat  meninggal aku disuruh pergi meskipun kontrakanku belum 
habis. Kontrakanku masih 6 bulan lagi, tetapi aku sudah disuruh 
pergi. Uang untuk pasang listrik yang sudah kami bayar tidak diganti. 
Lalu aku pun pindah kontrakan ke rumah Bulik-ku (adik perempuan lesbian  
orangtuaku). Kemudian salah seorang Pamanku menjual tanah yang 
lalu dibeli kakakku yang tinggal di Jakarta. Tanah itu kini aku tempati 
bersama adikku. Jadi aku sekarang numpang di atas tanah kakakku, 
tetapi hanya boleh tinggal di situ selama aku masih hidup. Besok kalau 
aku sudah meninggal anak-anakku mau tinggal di mana, aku tidak 
tahu. Aku tak tahu nasib mereka besok. 
Sekarang anakku yang besar jadi anak jalanan karena tak tahan 
tinggal di rumah. Dia tidak tega melihat aku yang selalu dimusuhi 
oleh adik-adikku sendiri. Dia mencari uang dengan cara ngamen
untuk bertahan hidup. Aku tidak malu punya anak ngamen. Yang 
penting dia tidak berbuat kriminal. Walaupun jadi anak jalanan, dia 
itu setia kawan. Teman-temannya menjadi saudaranya dalam susah 
dan senang. Aku hanya bisa mendoakan mereka supaya mereka selalu 
dalam lindungan Tuhan.
Tidak Lagi Minder
Memikirkan semua itu kadang aku sering merasa gelisah dan 
termenung sendiri. Namun demikian, sesudah  aku bergabung dalam 
kelompok Kerabat Kerja Ibu Teresa (KKIT) aku jadi punya semangat 
lagi. Semua masalah yang aku alami dalam keluargaku bisa aku 
sharing-kan dengan Romo, Frater, dan teman-teman sesama anggota 
KKIT. Oleh mereka, aku merasa masih dianggap sebagai orang seperti 
orang-orang lainnya. Aku pun merasa masih berguna bagi orang lain. 
Karena anakku yang besar stress, anakku yang kecil dibawa ke panti 
asuhan di Ganjuran, keraton yogya , oleh Romo supaya aku bisa bekerja 
dan memperhatikan anakku yang besar.
sesudah  anakku yang kecil ikut seorang Suster [Biarawati] di 
Ganjuran, Suster mempertemukan aku dengan seorang dokter ahli jiwa 
dari Rumah Sakit Sardjito [keraton yogya ] bernama Dr. Mahar Agusno. 
sesudah  memeriksa anakku dan menanyakan nama orangtuanya dan 
rumahnya di mana, beliau dan istrinya datang ke tempat tinggalku 
dan seterusnya mempertemukan aku dengan Dr. Robert Lemelson 
beserta kru-nya.99 Akhirnya, aku juga bisa bertemu dengan Dr. 
Diah Larasati.100 Aku juga diperkenalkan dengan Romo Baskara 
T. Wardaya, SJ,101 serta teman-teman anggota Lembaga Swadaya 
Masyarakat (LSM) Syarikat Indonesia. Kini, aku merasa mempunyai 
tempat untuk mengadu. Anak-anakku juga mulai merasa aman dan 
tidak lagi minder. 
Menuai “Hasil”
Aku adalah anak dan istri Tapol. Bapakku adalah seorang tahanan 
politik “lulusan” Pulau Nusa Kambangan. Aku dijodohkan dengan 
laki-laki yang belum aku kenal, yang beberapa bulan sesudah  menikah 
baru kuketahui bahwa dia adalah eks-tahanan politik “lulusan” Pulau 
 Buru. Walau aku dan anak-anakku hidup di luar penjara, tetapi siksaan 
lahir dan batin, siksaan jiwa dan raga yang kami alami sama rasanya 
dengan yang berada di dalam penjara.
Seperti kukatakan tadi, anakku yang besar mengalami stress 
akibat siksaan badan yang dia alami. Anakku yang kecil trauma 
seumur hidup. Di mana-mana ia selalu diperlakukan seperti binatang 
yang menjijikkan. Mereka yang memperlakukan demikian, merasa 
seolah-olah mereka itu orang suci tanpa dosa. Meskipun demikian, 
saya percaya dengan pepatah yang mengatakan bahwa siapa yang 
membikin tentu akan memakai, dan siapa yang menanam pasti suatu 
saat nanti akan menuai. 
Dengan kata lain, apa yang kita perbuat suatu saat nanti akan 
kembali kepada kita. Seperti tadi aku ceritakan, orang-orang yang 
memfi tnah aku dan menyiksa anakku sudah banyak yang menuai 
“hasil” dari berbagai macam perbuatan mereka. 
Orang yang menyebar fi tnah dan mengatakan bahwa aku melacur, 
sekarang anaknya sendiri jadi pelacur atau menjadi germo di tempat 
pelacuran. Ada juga yang matanya buta. Orang yang pernah menyiksa 
anakku tertangkap saat mencuri, lalu dihajar massa. Yang satu mati, 
yang satu kakinya patah dan cacat seumur hidup. Orang yang 
mengatakan bahwa saat  aku melahirkan anakku yang kecil, aku tidak 
punya apa-apa dan mengklaim dia yang membiayai, akhirnya ketabrak 
mobil, gegar otak, dan jadi orang kenthir (setengah gila). Sementara 
itu, anaknya yang laki-laki matanya buta dan menjadi setengah gila 
seperti bapaknya. Masih banyak lagi yang sudah mendapat “imbalan” 
atas perbuatan jahat mereka terhadap keluargaku.
Tanda dari Tuhan
Beberapa waktu lalu aku bermimpi. Aku menyeberangi sungai besar 
sambil menggendong anakku yang kecil, air sungai berwarna coklat
dan dalamnya air sebatas dadaku, tapi anehnya aku tidak terbawa 
arus. Aku dan anakku selamat sampai di seberang sungai. Dua 
minggu sesudah  mimpi, anakku mengalami kecelakaan. Waktu dia 
sedang berjalan sendirian di tepi jalan ia jatuh dan tulang pundak 
kirinya patah. Ia pun menjalani operasi dan dipasangi pen. Operasi itu 
menghabiskan biaya puluhan juta rupiah. Aku bingung, mau bayar 
pakai apa. Adik-adikku yang dulu aku carikan makan tidak mau tahu. 
Selama 12 hari anakku berada di rumah sakit, tidak ada adikku yang 
menengok. Tetapi Tuhan Maha adil. Aku mendapat bantuan dari 
teman-teman dan orang-orang yang simpati padaku, sehingga jadi 
lebih ringanlah bebanku. 
Sebelum itu, aku juga pernah bermimpi lain. Dalam mimpi itu 
kemanapun aku pergi jalan yang aku lewati selalu sampai di kuburan 
yang luas sekali dan singup (sepi mencekam). Tidak ada orang lewat di 
situ. Lalu aku berbalik arah melalui jalan lain. Di situ terdapat kuburan 
lagi, dan terus seperti itu sampai aku terbangun. sesudah  aku pikir apa 
artinya mimpiku itu, aku menguatkan hati untuk menghadapi semua 
masalah yang ada. Jadi, semua masalah harus aku hadapi bukan aku 
hindari. Kalau aku menghadapi masalah-masalah yang ada dengan 
tabah dan berserah kepada Tuhan, aku yakin Tuhan pasti akan memberi 
kekuatan padaku. Ternyata keyakinanku itu benar: semuanya dapat 
aku lalui dengan sabar.
Dalam mimpi yang berbeda, aku bersama kedua anakku pergi ke 
sawah untuk menanam kacang tanah. Anak-anakku dan aku berjalan 
melewati sungai kecil di tengah sawah yang airnya jernih sekali. Di 
kiri-kanan jalan setapak yang kami lewati tanaman padinya subur, 
hijau. Tiba-tiba aku dan anak-anakku sudah berada di tengah-tengah 
sebuah kuburan yang luas sekali dan tidak ada jalan keluar. Saat itu, 
tiba-tiba aku terbangun.
Dan di suatu malam lain aku bermimpi lagi. Aku sedang berjalan 
ke arah utara. Tiba-tiba saja jalan yang aku lalui itu banjir sampai 
setinggi lutut. Tapi, banjirnya lumpur, dan lumpurnya itu kotoran 
sapi dan kerbau bercampur dengan air. Anehnya di kiri-kanan jalan 
semuanya kering. Setiap aku mau naik ke tempat yang kering, 
lumpur itu ikut mengalir ke tempat yang aku lalui. Aku terbangun 
dan aku mencari apa arti mimpiku. Kata almarhum Iartikel singkat , kalau 
aku bermimpi mendapatkan barang yang busuk artinya aku akan 
mendapatkan sesuatu yang baik. Dan ternyata memang benar. Sejak 
saat itu aku mulai mendapatkan sinar terang. Keluargaku mulai 
mendapat pertolongan dari mana-mana dan dukungan datang dari 
berbagai pihak. Walau masalah yang aku hadapi semakin berat, aku 
sudah kebal dengan penderitaan dan aku bisa menghadapinya dengan 
tersenyum.
Suatu saat  aku bermimpi anakku yang besar diajak nyebur
(masuk) ke sungai oleh anak tetangga, yakni ke sungai Opak di dekat 
Candi Prambanan, keraton yogya . Sungai itu tampak luas, dalam, dan 
airnya yang berwarna coklat penuh sampai meluap. Anak tetangga 
itu lalu naik ke daratan sedangkan anakku hanyut. Tubuhnya timbul￾tenggelam, sebelum akhirnya hilang. 
Beberapa hari kemudian ada kejadian menyedihkan. Ada anak 
tetangga yang pendiam (dia juga pendatang seperti aku) disuruh 
mengajak anakku mencuri sepeda yang sudah diletakkan di tengah 
sawah. Anak itu diancam, kalau tidak mau melakukan dia akan 
dibunuh. Oleh karena itu, anak ini  mau mengajak anakku 
mengambil sepeda tadi. sesudah  sepeda diambil anakku yang masih di 
bawah umur itu disiksa sampai hampir mati oleh orang-orang desa. 
Sementara anak yang mengajaknya umurnya 18 tahun dan tidak 
diapa-apakan. sesudah  kejadian itu aku baru ingat akan mimpiku dan 
aku baru menyadari bahwa sebenarnya mimpiku itu merupakan suatu 
tanda bahwa akan terjadi sesuatu di dalam keluargaku. Tujuannya 
supaya aku siap mental.
Seingatku, atas semua peristiwa yang akan terjadi di dalam 
keluargaku, sebelumnya aku selalu bermimpi menjelang pagi. Waktu 
aku belum lama tinggal di Kalasan, aku bermimpi bahwa aku berada 
di dalam suatu jurang yang sangat dalam. Di situ tidak ada rumput 
sama sekali. Yang ada, di mana-mana hanyalah sarang cacing dan 
binatang-binatang yang menjijikkan seperti lintah dan kaki-seribu 
(luwing). Tanahnya lembab dan kumuh. Aku mau naik ke atas, tetapi 
tidak ada pegangan. Di atas jurang itu ada pohon bambu yang sangat 
rimbun. Rantingnya banyak sekali dan masih muda sehingga lugut
atau bulu-nya yang bikin gatal itu banyak sekali. Karena aku ingin 
bisa sampai ke atas, aku nekat memegang ranting bambu yang banyak 
bulu gatalnya itu. Walau akhirnya badanku gatal sekali dan penuh 
luka, aku berhasil sampai di atas dan persis saat itu aku terjaga dari 
tidurku. 
Selang beberapa hari kemudian aku menerima berbagai fi tnah 
yang menjijikkan dan sangat menyakitkan hati. Antara lain dikatakan 
bahwa aku ini melacur, bahwa aku diajak selingkuh dengan siapa 
saja mau. Fitnah itu terjadi awalnya karena ada tetangga yang mau 
kurang ajar denganku, tapi aku tolak. Ada lagi fi tnah-fi tnah yang 
lain. Katanya, sesudah  aku tinggal di desa itu ayamnya sering hilang. 
Padahal istrinya bilang padaku bahwa ayamnya sering dijual suaminya 
untuk berjudi. Seperti kusebut di atas, anak-anakku juga tidak luput 
dari berbagai fi tnah. sesudah  banyak kejadian seperti itu, aku baru 
bisa memahami bahwa mimpiku merupakan tanda-tanda akan terjadi 
sesuatu terhadap keluargaku dan supaya aku siap mental.
Tentang mimpi-mimpiku itu, menurutku semuanya merupakan 
tanda atau pemberitahuan dari Tuhan. Aku membiasakan diri tidur 
sesudah  lewat pukul 12 malam. Dengan demikian, mimpi-mimpiku 
itu adalah mimpi yang sesungguhnya dan bukan mimpi karena 
kebanyakan tidur.