prahara 1965 5
By tuna at November 29, 2023
prahara 1965 5
lettu CPM Suparno dari
keraton yogya
Unit III Wanayasa, dengan DanUnit Kapt. CPM Daeng Masiga
dari Jakarta
Unit IV Sanleko (Savana Jaya) dengan DanUnit Pelda CPM
Suparman dari Jateng
Mulai akhir tahun 1970 ada tambahan unit-unit baru, yakni:
Unit V Wanakerta
Unit VI Wana Wangi
Unit VII Wana Surya
Unit VIII Wana Kencana
Unit IX Wana Mulya
Unit X Wana Dharma
Unit XI Wana Asri
Unit XII Birawa Wanajaya
Unit XIII Giri Pura
Unit XIV Bantala Reja
Unit XV Indra Pura atau Unit Ronggolawe
Unit XVI Indra Karya
Unit XVII Arga Bhakti
Unit XVIII Adhi Pura
Tambahan Unit tahun 1971 sebagai berikut:
Unit Sawunggalling
Unit Trunojoyo
Unit “R”
Unit “S”
Unit “T”
Pemberian nama untuk unit-unit dimulai dari Unit III yang
waktu itu Komandannya adalah Kapten CPM Daeng Masiga. Oleh
Sang Komandan Unit III diberi nama Wana Yasa atau Wanayasa.
Selanjutnya Unit I DanUnit II pun menyusul diberi nama pula. Unit
I diberi nama Wana Pura oleh DanUnit Lettu CPM Eddy Tuswara,
Kujang, Siliwangi. Unit II diberi nama Wana Reja dengan DanUnitnya Lettu CPM Sumardi, dari Diponegoro. Akan tetapi, sebenarnya
gagasan permberian nama Wana Yasa untuk Unit III datang dari
Bapak Pramoedya Ananta Toer dari Blora, Jawa Tengah, yang adalah
sesama teman korban Tragedi ’65 yang dibuang ke Pulau Buru.
Jumlah warga di Unit III Wana Yasa saat itu baru 500 orang. Tetapi
kemudian Unit I Wana Pura DanUnit II Wana Rejo mengirimkan 50
warganya ke Unit III Wana Yasa. sesudah itu, masih ada tambahantambahan lain. Maka Unit III Wana Yasa jumlah warganya menjadi
604. Aku tinggal di Unit I Wana Pura kurang lebih 3 bulan. Di Unit
III aku tinggal di Barak I dengan kepala Bapak Chris Hutabarat dari
Jakarta. Dia mantan jurnalis Harian Rakyat disingkat H.R. Di barakku
ini, aku bertemu dengan orang-orang yang lanjut usia seperti Bapak
Anwar Kadir, Bapak Karel Supit, Bapak Drs. Bismo, Bapak Rivai
Apin, Bapak Hasjim Rachman dari koran Bintang Timur, Bapak Drs.
Suniadi, Bapak Pramoedya Ananta Toer, Bapak Prof. Dr. Suprapto
S.H., Bapak Oey Hay Djoen, Bapak Eddy Martalogawa dan Bapak
Situmeang, serta masih banyak lagi.
Selama berada di Unit III, aku mendapatkan suatu kebahagiaan
tersendiri sebab aku dapat menimba ilmu dari para sesepuh ini terutama, especially, dari Bapak Rivai Apin dan Bapak Samandjaya atau Bapak
Oey Hay Djoen yang membimbingku ke khasanah kesusasteraan.
Seakan-akan aku telah dilahirkan kembali. Rasa kebahagiaanku itu
pernah kutuliskan seperti ini:
Kelahiranku
Setiap insan pasti tahu
Empedu itu getir
Tapi, bagiku lain
Ia lebih manis daripada gula
Warna-warna indah
Bermain dalam siksa derita
Olehnya aku lahir ditempa
Sedangkan Unit IV telah diberi nama Unit IV Sanleko atau Savana
Jaya, disebabkan letak Unit ini di sekitar pemukiman orangorang suku Buton. Pada tahun 1969-1970 Pulau Buru baru memiliki
empat unit saja, yakni Unit I sampai IV. Akan tetapi, menjelang akhir
tahun 1970, kami mendengar informasi bahwa di Buru akan didirikan
lagi unit-unit yang baru. Tenaganya akan diambilkan dari unit-unit
yang sudah ada, dan saat pembangunan Unit I-IV konon kabarnya
tenaganya diambilkan dari para korban Tragedi ’65 yang bergolongan
C, yang berada di kota Ambon. Keterangan ini didapat saat mereka
telah menyelesaikan tugasnya, di saat akan meninggalkan Pulau Buru.
Dan benar juga informasi tentang pembuatan unit-unit baru itu.
Pemerintah pusat atau Jakarta mengirimkan Tim Survey-nya ke Buru
lebih kurang di awal tahun 1971. Saat rombongan Tim Survey akan
memulai pekerjaannya, mereka mengambil sejumlah warga dari Unit
III Wana Yasa. Waktu itu diriku ikut di dalamnya untuk membawakan
peralatan-peralatan mereka. Tim Survey ini terdiri dari para ahli
geologi, pertanian, dan Zipur. Pengawal rombongan ini hanya terdiri
dari dua orang Satuan Tugas Pengawal [ Satgaswal] dari Batalyon 732
Pattimura.
Penduduk Asli Pulau Buru
Meskipun pekerjaan ini sangat berat, hatiku merasa senang sebab aku
dapat menjelajah ke mana-mana serta mengetahui keadaan di luar
unit.
Misal:
1. Mengetahui perkampungan-perkampungan penduduk asli
Buru.
2. Mengetahui keberadaan sungai-sungai lain selain Sungai
Wayapo.
3. Mengetahui adat istiadat asli, juga bahasa komunikasinya.
4. Mengetahui cara-cara mengukur tinggi dan rendahnya tanah
atau theodolit dan lain-lainnya.
Penduduk asli Pulau Buru masih bersifat nomaden yang artinya
masih berpindah-pindah tempat bermukim. Bila daerah tempat
mereka bermukim itu tak lagi membuahkan hasil mereka pun lalu
mencari lahan yang baru. Pada umumnya mereka bermukim selalu
memilih dekat rawa-rawa, sebab mereka butuh mencari ikan sebagai
lauk. Mereka bahkan juga sering berburu buaya untuk dibarterkan
atau dijual kulitnya pada orang-orang Bugis dan lain-lainnya.
Makanan pokok mereka adalah sagu dan pisang, juga kasbi atau ketela
pohon, ubi rambat atau betatas. Sebagai mata pencaharian, mereka
mencari sagu untuk dijual atau dibarterkan dengan barang-barang
kebutuhan mereka. Selain itu, mereka suka berburu rusa hutan, selain
mencari ikan dan buaya itu tadi. Dan mereka pun masih menganut
kepercayaan Animisme. Mereka percaya akan adanya roh-roh halus
serta roh leluhur mereka. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa
“Furu”. Sementara itu, mereka yang sudah agak maju pengertiannya
mengunakan Bahasa Indonesia. Beberapa contoh bahasa pribumi atau
Furu adalah sebagai berikut:
Bahasa Pribumi Bahasa Indonesia
Mistina Hantu
Yako Saya
Mai Mari
Ka Makan
Hala Nasi atau beras
Tiput Ayam
Niwe Kelapa
Way Air
Wamo Mengerti atau tahu
Inu Minum
Te Tidak
Fuat Pisang
Ngama Bapak
Ngana atau Ina Ibu
Persenjataan mereka terutama adalah parang atau todo dan tombak
atau hero. Ke mana pun mereka pergi todo dan hero selalu dibawa, tidak
pernah ketinggalan. Sampai sekarang pun mereka mengakui adanya
“Raja” di antara mereka. Bagi mereka pengertian Raja ada dua. Yang
pertama adalah “Raja Gunung”. Raja ini menguasai penduduk yang
tinggal di pegunungan-pegunungan dan pedalaman. Sedangkan yang
kedua adalah “Raja Darat”, penguasa penduduk di sepanjang lembah
Sungai Wayapo. Menariknya, Raja Darat ini bermukim di tengah kota
Namlea. Dengan demikian, di antara penduduk Pulau Buru terdapat
perbedaan yang jelas. Kalau boleh dikatakan, penduduk pribumi asli
yang tinggal di pegunungan taraf kebudayaannya masih terbelakang
sekali, sementara mereka yang tinggal di sepanjang Lembah Wayapo
bisa dibilang lebih maju.
Keterangan:
1. Raja adalah segala-galanya bagi penduduk asli; maka penduduk selalu mematuhi, menaati perintahnya.
2. Kepala Adat adalah Tetua dari Kepala Soa atau Ketua
Kelompok. Kedudukannya di bawah Raja, dan Tetua ini
sangat berpengaruh sekali di dalam adat istiadat penduduk.
Dan Kepala Adat itu merupakan penentu segalanya dalam
urusan adat istiadat, seperti pernikahan, pemakaman,
perburuan, dan ritual-ritual lainnya. Kini di Pulau Buru
sudah jarang terjadi peperangan antar soa atau kelompok.
Namun demikian, saat rombongan Angkatan Pertama
korban Tragedi ’65 tahun 1969 masih terdapat peperangan
antar Ketua Soa. Bahkan pada saat itu mereka yang terluka
terkena parang ataupun tombak minta tolong untuk diobati
di Unit III Wana Yasa yang DanUnit-nya adalah Kapten
CPM Daeng Masiga. Bagi penduduk asli, masalah rawan
yang bisa menimbulkan peperangan ialah soal perempuan lesbian ,
sebab perempuan lesbian di Pulau Buru ini sangat minim dan sangat
mahal. Maharnya (atau dalam bahasa Jawa “Pasok Tukon”-
nya) sangat tinggi. Jadi seakan-akan perempuan lesbian harus dibeli.
3. Prusi atau polisi untuk urusan security.
Di masyarakat mereka juga ada polisi atau prusi. Seorang
prusi adalah orang yang benar-benar pilih-tanding. Dia
dituntut keberaniannya, kepandaiannya dalam mengatur
strategi perang, dan juga kecakapan dalam menggunakan
parang maupun tombak. Dengan kata lain, dia harus pandai
berperang. Oleh karena itu, sampai sekarang pun masih ada
tarian perang atau yang disebut cakalele. Tarian ini biasanya
disuguhkan bagi para tamu-tamu terhormat atau penting.
Iringan musik dari tarian ini hanya berupa tifa atau dalam
bahasa Jawa disebut kendang.
Demikianlah berbagai keuntungan buat diriku sewaktu aku ikut
rombongan Tim Survey. Selanjutnya, kami pulang kembali ke Unit
III Wana Yasa dengan membawa hasil dari survey ini .
Pembangunan Unit-unit Baru
Kira-kira pada bulan April tahun 1971 pelaksanaan pembangunan
Unit baru pun dimulai. Untuk itu DanTefaat [Komandan Tempat
Pemanfaatan, ed.] Mayor Rusno telah memerintahkan pada DanUnit
I, II, dan III untuk mempersiapkan tenaga yang berasal dari para
warganya guna pembangunan unit-unit ini . Proyek pembangunan
unit ini diserahkan sepenuhnya pada Yon Zipur atau Batalyon Zeni
Tempur. Pembuatan unit-unit baru ini berjumlah 14 buah, di
antaranya Unit V sampai dengan Unit XVIII untuk periode pertama
pada tahun 1971. Dalam Periode Kedua tahun 1972 dibangunlah
“Unit R” sampai “Unit T” atau Unit Trunojoyo. Pada tahun 1972
itu, aku sudah berada di Kamp Khusus [Kampsus]. Jadi jumlah unitunit yang ada di Pulau Buru secara keseluruhan berjumlah 21 Unit.
Dengan perincian sebagai berikut ini:
Pada tahun 1969: Unit I s/d Unit IV
Pada tahun 1971: Unit V s/d Unit XVIII
Pada tahun 1972: Unit R, S dan T
Jumlah warga unit atau “Tohpol” (Tokoh Politik) ‘65 yang berada
di Pulau Buru berkisar kurang lebih 12.000 orang. Namun demikian,
pemerintah menyatakan hanya ada 10.000 orang tohpol di Pulau
Buru. Pemerintah selalu bersifat seperti itu.
Pertengahan bulan Februari 1970 adalah merupakan hari yang
paling membahagiakan bagiku. Mengapa? Karena pada saat itulah,
diriku dibaptis oleh Bapak Matatulla, pendeta dari kota Namlea.
Pembaptisan itu dilaksanakan di Gereja Maranatha di Unit III
Wanayasa. Dan sejak itu pula namaku menjadi Yoseph S.
Transito itu Menjadi “Kampsus”
Pada pertengahan tahun 1971, ada pergantian DanTefaat beserta
segenap DanUnit serta staf-stafnya. DanTefaat Mayor CPM Rusno
diganti oleh Kolonel Infantri Syamsi dari kesatuan militer Kujang,
Siliwangi. Sedangkan untuk Unit III Wanayasa DanTefaat Kapten
CPM Daeng Masiga diganti oleh Lettu CPM Sujoso dari Pangdam
Brawijaya, Jawa Timur. Bagian intel atau OPS Kasi I dipimpin oleh
Kapten CPM Imam Suwarso dari Brawijaya juga. Orang ini tampak
sekali tergolong berdarah dingin. Bahkan dengan jumawa atau
sombongnya telah berani melontarkan ucapan-ucapan, kata-kata
yang menyatakan bahwa dirinya yang telah “membasmi” pergerakan gerakan
Malang Selatan dan Blitar Selatan pada tahun 1967-an. Ia juga
mengklaim telah meringkus Bpk Suwandi yang saat itu menjabat
sebagai Central Daerah Besar [CDB] Malang, Jawa Timur, dan
membunuhnya. Dengan adanya orang seperti itu suasana di unit-unit
menjadi tak tenteram lagi. Bahkan dengan adanya aparat seperti itu,
Si Kapten Suwarso yang penuh ambisi itu, terjadilah penangkapanpenangkapan kembali atas para tahanan yang selanjutnya dijebloskan
ke dalam “Kampsus Jiko Kecil”. Penangkapan-penangkapan itu
kembali terjadi kira-kira pada pertengahan bulan November tahun
1971. Karena dia, kini Transito Jiko Kecil diubah menjadi “Kampsus”
atau Kamp Khusus Jiko Kecil.
*Catatan:
Sebenarnya dari awal pemberangkatan ke Pulau Buru Pemerintah
Pusat Jakarta telah menyusupkan atau menanam tiga orang sebagai
“informan” ke dalam rombongan kami para korban Tragedi ’65.
Ketiga informan ini berbaur dengan kami. Namun demikian,
ada perbedaan yang sangat mencolok di antara ketiga orang itu
dengan kami para korban ’65. Kami para korban ’65 semuanya
telah memiliki nomor foto dan nomor baju. Sedangkan mereka
tanpa nomor foto dan nomor baju. Ketiga orang ini adalah
Dedy, Tedy, dan Tarfi Nasution. Tarfi Nasution ditugaskan atau
ditempatkan di Unit III Wanayasa. Dedy dan Tedy ditempatkan
di Unit I Wanapura. Saat pengiriman ke Pulau Buru ketiga orang
ini termasuk pada Gelombang Kedua dalam Kapal ADRI XI
tahun 1969.
Korban penangkapan dan penahanan pertama ke Kampsus adalah
warga Unit I dan II, bulan November tahun 1971. Diriku bersama
empat teman lain, pada tanggal 1 Februari 1972 dimasukkan ke
Kampsus. Kelima orang yang dimasukkan itu adalah:
1. Kudori
2. Sukardi Maryadi
3. Prof. Dr. Suprapto, S.H.
4. Pramoedya Ananta Toer
5. Diriku
Sampai di Namlea kami diinterogasi di Wisma Anggrek, yakni
markas DanTefaat beserta staf-nya. Sementara aku dan Saudara Sukardi
Maryadi dibawa ke Kampsus, yang lainnya dipulangkan kembali ke
Unit III Wanayasa. Di Kampsus ada tiga barak saja, namun saat diriku
dan Sdr. Sukardi Maryadi dijebloskan ke situ baru dua barak saja
yang sudah terisi. Barak-barak ini berada di dalam pagar kawat
duri dan masih ada lagi pagar kawat duri yang mengelilingi sebagai
pembatas.
Sebagai DanKampsus adalah Pelda CPM Munawar dari
Brawijaya, Jawa Timur. Sebagai Wakil Komandan Kamp Khusus
[WaDanKampsus] adalah Pelda Infantry Sjamsudin dari Siliwangi.
Lambat-laun bertambahlah penghuni Kampsus ini. Semula kami
tidak dipekerjakan, akan tetapi berkat keuletan dari DanKampsus
untuk membujuk para DanTefaat akhirnya kami dapat dipekerjakan.
Para Penghuni Kampsus Jiko Kecil
Berikut adalah nama-nama para penghuni “Kampsus Jiko Kecil”
beserta unit-unit dan daerah asal mereka masing-masing sejauh aku
masih ingat.
Dari Unit Wana Pura:
1. L. Supriyanto dari keraton yogya
2. Markum Sukarno dari keraton yogya
3. Sudiarto dari keraton yogya
4. Rubianto B.A. dari keraton yogya , pada tahun 1972 disusul
oleh keluarganya
5. Sugiarto dari keraton yogya
6. Sukardi alias Semplo dari Semarang
7. Harafanto dari Semarang
8. Nasoka dari Semarang
9. Dulmuri Sanyoto dari Semarang
10. Arnold Boyoh dari Magelang
11. Usman Djafar dari Jateng ( Jawa Tengah)
12. Sugeng Pardan dari Jateng
13. Tan Hun Swie dari Klaten
14. Suwarno dari keraton yogya , mati ditembak tanggal 3 Oktober
1972 oleh Satgaswal
15. Suhardjono Kijang dari keraton yogya , mati ditembak 17
Oktober 1973
16. Alex Themo dari Semarang, mati ditembak 17 November
1973 oleh Satgaswal
17. Kusnadi Hadi dari Jateng
18. Gombig
Dari Unit II Wana Reja:
1. Djuhendi dari Jabar (Jawa Barat), tembus ditembak tapi
selamat
2. Djuhandi dari Jabar
3. Piin Sudiatna dari Jabar
4. Oyok Sunaryo dari Jabar
5. Suganda dari Jabar
6. Machfud dari Jabar
7. Inan Salyan dari Jabar
8. Usman Salyan dari Jabar
9. Amsyah Romly dari Jabar
10. Suwarta dari Jabar, mati kena duri ikan beracun
11. Machruf Yoes dari Jabar
12. M. Hamid dari Jakarta
13. M. Hadil dari Jakarta
14. Supardi dari Jakarta
15. Anang Suwarno dari Jakarta
16. J.J. Juwono dari Jakarta
17. Usman Naan dari Jakarta
18. Usman Aswadi dari Jakarta
19. Kusnadi S.A. dari Jakarta
20. Asman Leman dari Jakarta
21. Sugimin “Geblek” dari Jakarta
22. Jadjid Hadi Sutanto dari Jakarta
23. Rachmad Siregar dari Jakarta
24. Sutrisno dari keraton yogya , istrinya menyusul tahun 1972
25. Suroso dari keraton yogya
26. Djonediono dari keraton yogya
27. Sumaryono “Bogel” dari keraton yogya
28. M.Suhud dari keraton yogya
29. Reo Sunardi dari keraton yogya
30. Sumardiono Glatik dari keraton yogya
31. Bambang Indiadi dari Klaten, Jateng
32. Bedjo alias “Bejat” dari Jakarta
33. Subita dari Brebes, Jateng
34. AB Sunarto dari Pemalang, Jateng
35. Sarman Mamons dari Banten
36. Sutrisno B dari Purwokerto
37. Siswo Rahardjo dari Malang, Jatim ( Jawa Timur)
38. Somad Sukoprayitno dari Semarang
39. Abdul Gani dari Jabar, ditembak mati 17 November 1973 di
depan baraknya
40. Awang Dharmawan dari Jabar, ditembak mati 17 November
1973 di depan baraknya
41. Nono Sudiono dari keraton yogya , ditembak mati 17 November
1973 di depan baraknya
42. Gatot Widodo dari keraton yogya , mati ditembak 16 November
1973 di kebun kelapa di tepi pantai
43. Gatot Sugoto dari keraton yogya
44. Heru Sutrisno
Dari Unit III Wana Yasa:85
1. Karel Supit dari Jakarta
2. Drs. Yacob Pirry dari Jakarta
3. Drs. Slamet Mulyono dari Jakarta
4. Rudy Iskandar dari Jakarta
5. Pramoedya Ananta Toer dari Jakarta, asli Blora, Jateng
6. Prof. Dr. Suprapto SH dari Jakarta
7. Kudori dari Kediri
8. Eko Sutikno BA dari Semarang, hanya kurang lebih 3 bulan
9. Maryadi Sukardi dari Malang
10. Penulis ( Al Capone) dari keraton yogya
11. Rivai Apin dari Jakarta
Dari Unit IV Sanleko (Savana Jaya):
1. Harry Winardi dari keraton yogya
2. Kabul dari Magelang
3. Supriyadi dari keraton yogya , pernah coba melarikan diri tahun
1972
Dari Unit V Wana Kerta:
1. A. Y. Suparno dari Pemalang, Jateng
2. Paryusi dari Pati, Jateng
3. Saphiran dari Rembang, Jateng
4. Suparing dari Rembang
5. Basri dari Rembang
6. Hasan Basri dari Lasem
7. Leo Paidjan dari keraton yogya
8. Sukadi dari keraton yogya , tertembus peluru dan mengeram di
pundak, tapi selamat
Dari Unit VII Wana Surya:
1. Sukamto dari keraton yogya
2. Kandam Sutardjo dari Kebumen, Jateng
Dari Unit VIII Wana Kencana:
1. Siman dari Purworejo, Jateng
2. Kemiso dari Purworejo
Dari Unit IX Wana Mulya:
1. Sulfi Rachman dari Malang
2. Suwono dari Malang
3. Pamuji dari Malang
4. Sarmo dari Solo
5. Sjawal Bagong dari Purwokerto
6. Mukidi dari Brebes, bunuh diri minur racun serangga di
Unit Ancol
Dari Unit X Wana Dharma:
1. Benny Chung alias Swie Chan dari Jakarta, Sastrawan
2. Supratiknyo dari Jakarta
3. Petrus Paijan dari Jakarta, hanya dua bulan
4. Udjang Umar dari Jabar
5. M. Danafi a S.H. dari Surabaya
Dari Unit XI Wana Asri:
1. Karnapi, seorang pelawak dari Jombang, Jatim
Dari Unit XII Birawa Wanajaya:
1. Machmud Chairun dari Jakarta
2. Machmud dari Jakarta
3. Sri Dharmadjo dari Jakarta
4. J. Sukarno dari Jakarta
5. Masdur dari Jakarta
6. Zaenal Arifi n dari Jakarta
7. Sasmon Pardede dari Jakarta
8. Thio Bhiechan dari Jakarta
9. Sumargono dari Jakarta
10. Salikun dari Jabar
Dari Unit XIV Bantalareja:
1. Heru Santoso
2. Bonar Siregar
Catatan: Keduanya berasal dari Jakarta dan pernah coba melarikan
diri; saudara Heru Santoso meninggal lantaran penyakit hepatitis.
Dari Unit XV Indra Pura:
1. Suwardiono dari Jakarta
Dari Unit XVI Indra Karya:
1. Abas Usman dari Jabar
2. Dirdjo Panular dari Jakarta
Dari Unit XVII Arga Bhakti:
1. Drs. Mustadji Sangit dari Surabaya, gantung diri di Kampsus
di Barak III, tak tahan atas penyiksaan yang ia alami
2. Supratikno dari Surabaya
3. Ibnu Haryanto dari Surabaya
4. Sukarman dari Surabaya
5. Paidjan dari Surabaya
6. Eddy Suroto dari Surabaya
7. Hartono dari Surabaya
8. Supaat Rachmad B.A dari Surabaya
9. Wiyono B.A. dari Surabaya
10. Sumardiono B.A. dari Surabaya
11. Rusdi dari Pemalang
12. Totok Andang Taruna, sastrawan, dari Surabaya
Catatan: Sejumlah penghuni Kampsus Jiko Kecil ini kemudian
menjadi (atau lebih tepatnya dijadikan) “coro” atau “kecoak” alias
informan bagi pihak penguasa.
Jumlah keseluruhan penghuni Kamp Khusus Jiko Kecil ada
kurang-lebih 123 orang. Dikatakan “kurang-lebih” sebab ada yang
hanya diinterogasi terus dipulangkan ke Unitnya. Ada juga yang
tinggal di sana kurang lebih 2 bulan saja.
Pengalaman Kerja di Kota Namlea
Pengalaman pertama kali kami bekerja di luar Kampsus adalah
mengerjakan pembersihan di sekitar Wisma Anggrek atau tempat
tinggal DanTefaat Pulau Buru beserta para staffnya. Kemudian kami
mengerjakan perbaikan jalan dari dermaga Namlea hingga pasar
Namlea yang kira-kira berjarak kurang lebih 600 meter. Materialnya
berupa batu yang kami cari di tepi pantai lalu diangkut dengan truk.
sesudah melihat kesungguhan kami dalam bekerja DanTefaat pun
mulai percaya kepada kami.
Suatu saat ada permintaan dari pihak Pastoran, yakni bahwa
pihak Pastoran akan membangun sebuah wisma. Untuk itu dibutuhkan
tenaga tukang dan pengiriman batu-batu untuk keperluan membantu
fondasi bagi wisma atau rumah ini . Saat itu pimpinan di Pastoran
adalah Romo Roovink, SJ dari Jerman yang menggantikan Romo
De Blot, SJ dari Belanda. Pembangunan wisma itu berjalan lancar.
Hubungan kami dengan Romo Roving juga terjalin baik dan akrab.
Wisma itu pun telah diberi nama “Wisma Kartini”. Alasannya karena
yang bertempat di wisma ini lebih banyak wanitanya bila dibanding
dengan penghuni prianya.
“Wisma Kartini” ini dihuni oleh anak-anak dari para korban ’65
yang menyusul orangtuanya. Penghuni lain adalah anak-anak dari
sekitar Kota Namlea, yakni orang bebas atau umum yang bersekolah
di Namlea. Anak-anak ini lebih kurang berjumlah 70-an orang. Di luar kegiatan sekolah, di Pastoran anak-anak itu dididik
untuk menguasai berbagai ketrampilan, seperti menjahit, menyulam,
dan lain-lainnya bagi yang wanita. Bagi yang pria pihak Pastoran
memberi pendidikan keterampilan lain, seperti pertukangan dan lain
sebagainya.
Pernah kami disuruh membongkar muatan dari kapal yang
jumlahnya lebih kurang atau kira-kira 600 ton. Barang-barang itu
kiriman dari Jakarta dan berupa pupuk urea, obat-obatan, seng,
paku, gula, semen, beras, dan lain-lainnya. Barang-barang itu harus
diselesaikan sesuai jadwal pemberangkatan kapal ini . Padahal
saat itu penghuni Kampsus baru kurang lebih 60 orang jumlahnya.
Akibatnya saat itu kami harus bekerja ekstra keras, alias diforsir.
Syukurlah, kiranya Tuhan masih melindungi kami semua. Sekalipun
dalam kesusahan yang bagaimanapun Dia selalu menyertai kami.
Pernah pula kami disuruh membersihkan jalan dari Namlea
sampai ke Bandara yang jaraknya lebih kurang 6 km. Saat itu keadaan
sedang musim panas. Seperti diketahui, panasnya wilayah timur
Indonesia terasa menyengat sekali. Namun demikian, berkat hati riang
dalam bekerja maka segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar.
Dusun-dusun yang pernah kami datangi ialah Desa Ubung,
Sawah, Jiko Morasa, Jiko Besar, juga pantai “Jembatan Australia”. Apa
yang disebut “Jembatan Australia” ini adalah salah satu dermaga yang
pada tahun 1942 dibangun secara tersembunyi oleh tentara Nippon
atau Jepang. Waktu itu, Pulau Buru dijadikan tempat pertahanan
terakhir bagi Jepang di wilayah Indonesia Timur. Di sana kami
menemukan banyak bunker-bunker yang dibangun Jepang sekitar
tahun 1942. Dermaga itu dipakai untuk pemberangkatan pasukanpasukan Nippon guna penyerangan ke Australia. Itulah sebabnya
oleh penduduk di sekitarnya dermaga ini dinamakan “Jembatan
Australia”. Demikianlah pengalamanku saat berada di Kamp Jiko
Kecil, Namlea Pulau Buru.
Peristiwa Eksekusi
1. Pada tanggal 3 November 1972 Bapak Suwarno dari Prambanan,
keraton yogya , ditembak mati di depan Pos Penjagaan oleh Satgaswal.
Beliau lalu dimakamkan di Namlea.
Para Eksekutor: sebagai Komandan Peleton (DanTon) adalah
Pelda Mlw, sedang sebagai Komandan Penjaga (DanJaga) adalah
Koptu Nlh.
Pelaku Eksekusi:
1. Koptu YK
2. Kopda Ply
3. Pratu Sml
4. Koptu Tjg
Bapak Suwarno ini dituduh hendak merebut senjata dari
petugas.
2. Pada tanggal 16 November 1973 Sdr. Gatot Widodo ditembak
di kebun kelapa di tepi pantai tatkala ia bertugas mencari kayu
bakar. Sementara itu, teman lainnya yang berjumlah 4 orang
ditembak di depan baraknya bersama kepala baraknya pada
tanggal 17 November 1973. Peristiwa ini berlangsung di bawah
pengawalan dari kesatuan Hsn, Batalyon An dengan DanYon
Mayor JM. Sedangkan Komandan Kompi (DanKi)-nya adalah
Kapten Hky. Komandan Peleton (DanTon)-nya adalah Sersan
Mayor HK.
Pelaku eksekusi antara lain:
1. DanTon Serma HK
2. Serda DB
3. Sertu Sb
4. Kopda AR
5. Kopda Shb
3. Bapak Djuhendi dari Jawa Barat ditembak, namun selamat. Beliau
ditembak, tetapi pelurunya menembus melalui dada kirinya.
Peluru itu menyasar pada bahu kiri Sdr. Sukadi dan mengeram
di tubuhnya. Sampai saat pemulangan peluru ini belum
diambil. Bahkan sampai terbawa mati di tahun 2001. Teman ini
berasal dari keraton yogya .
a. Teman yang pertama kali meninggal dunia di Kampsus
lantaran bunuh diri adalah Bapak Drs. Mustadji Sangit dari
Jawa Timur, bulan Maret 1972. Ia menggantung diri di
baraknya menjelang subuh.
b. Yang mati karena sakit antara lain.
1. Suwarta dari Jawa Barat. Seperti kusebut di atas, beliau
terkena racun duri ikan beracun saat sedang mencari
batu di pantai.
2. Heru Santoso. Ia meninggal karena penyakit hepatitis
atau liver di R.S. Mako sebagaimana kusebut di depan.
Dia berasal dari Jawa Timur.
c. Bapak Mukidi bunuh diri dengan minum racun serangga
saat sedang menyemprot tanaman di Unit “Ancol”. Ia
berasal dari Solo, Jawa Tengah, dan dimakamkan di Unit IV
Savana Jaya atau Sanleko
Pernah Jadi Aktor
Selama aku berada di Pulau Buru, terjadi sejumlah pergantian berkaitan
dengan Dan Tefaat, Satgaswal, dan istilah resmi untuk Pulau Buru itu
sendiri.
1. DanTefaat
Periode I dari tahun 1969 s/d 1971: Mayor Rusno
Periode II dari tahun 1971 s/d 1973: Kolonel Sjamsi
Periode III dari tahun 1973 s/d 1975: Letkol A.S. Rangkuti
Periode IV dari tahun 1975 s/d Saat Pembebasan 1979: Kolonel
Lewerissa
Pada tahun 1969 kami mendapat kunjungan dari Jenderal
Sumitro dan Kejaksaan Agung RI. Rombongan World Health
Organization [WHO] dan rombongan jurnalis Bur Rasuanto
berkunjung pada tahun 1973. Dalam kunjungan-kunjungan
itu yang berperan sebagai “tuan rumah” adalah Pangkobkamtib
Jenderal Sudomo.
2. Satgaswal
Pergantian Satgaswal hanya terjadi sekali. Petugas Satgaswal
dari Kodam Pattimura yang bertugas sejak tahun 1969 baru
digantikan oleh Satgaswal dari Kodam Hassanudin Batalyon
Anoa pada akhir Desember 1972.
3. Istilah untuk Pulau Buru
Sebagaimana aku katakan di depan, semula (dari tahun 1969
hingga 1970) tempat pengasingan di Pulau Buru disebut
BAPRERU. Pada tahun 1970 namanya menjadi “ Tefaat Pulau
Buru”. Istilah “tefaat” adalah singkatan dari Tempat Pemanfaatan.
Menjelang tahun 1972, nama itu diubah menjadi “Inrehab Pulau
Buru”, atau Instalasi dan Rehabilitasi Pulau Buru. Waktu itu
Komandan Inrehab [Dan Inrehab]-nya adalah Letkol CPM A.S.
Rangkuti. Dia ini pernah jadi aktor dalam fi lm Sungai Ular pada
tahun 1950-an.
Liku-liku Perjalanan Pulang
Dari KampSus, pada tahun 1974 kami dipindah ke Unit Ancol yang
adalah bekas unit tempat pembuatan garam dengan nama resmi Unit
XIV Bantala Reja. saat kami berada di Unit Ancol Komandan
Unitnya adalah Lettu CPM Sumantha dari Siliwangi. Dia merangkap
Komandan Unit XIV Bantala Reja. Komandan Peleton Satgaswalnya adalah Lettu Giyanti dari Kodam Hassanudin, Batalyon Anoa.
saat kami sudah memiliki sawah sendiri oleh DanTefaat Unit Ancol
secara resmi dinyatakan sebagai unit yang berdiri sendiri dan memiliki
Komandan Unit sendiri. DanUnit Ancol dipimpin oleh Serma CPM
Sumadi dari Kodam Diponegoro. Pada pertengahan tahun 1976
ada pembebasan besar-besaran di Pulau Buru. Hal itu merupakan
pembebasan Gelombang Pertama.
Beberapa bulan kemudian, pada tahun 1977, kami dipindah lagi ke
Unit XIII Giri Pura. Sementara itu, Unit Ancol dinyatakan bubar. Unit
XIII ini letaknya paling ujung DanUnit yang paling tinggi letaknya,
karena berada di pegunungan. Kami pindah ke Unit XIII saat para
warganya sudah bebas semuanya. Sementara itu, di persawahan masih
tampak padi yang sebentar lagi akan mulai menguning. Di gudang
padi pun masih banyak timbunan gabah kering
Jadi, selama di Unit XIII ini kami boleh dikata makan dan tidur
sembari menunggu panggilan untuk pulang ke Jawa. Oleh koordinator,
kesempatan ini dipakai untuk berlokakarya. Misalnya: menyuling
minyak kayu putih, menggergaji papan dan masih banyak lagi. Dan
semua hasilnya dijual guna menambah uang saku untuk pulang.
Sekalipun kami masih dalam pengawasan dari Satgaswal, namun
seolah-olah pengawasan mereka tak berarti lagi. Ke mana-mana kami
pergi, kami tak perlu lagi surat jalan. Selain itu, tak ada lagi pengawalan.
Cukup Kepala Barak atau Kepala Kelompok melapor kepada DanUnit
serta DanJaga. Saat terjadi pembebasan atau pemulangan para Tapol
Tragedi ’65 ini satuan Satgaswal dikembalikan ke Pangdam Pattimura
Batalyon 731, 732, dan 733, Ambon, Maluku.
Lalu, tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu. Pada tanggal 11
Oktober 1979 ada pengumuman tentang pembebasan Gelombang
Ketiga. Alangkah bahagianya hatiku. Pada hari yang mendebarkan
itu namaku tercantum dalam daftar panggilan. Sementara itu, betapa
sedihnya hati teman-temanku yang namanya belum tercantum. Tak
ayal lagi tangis haru terdengar riuh, bahkan menggema ke manamana.
Sebelum kami saling berpisah untuk suatu saat nanti bertemu
lagi, kami memotong seekor lembu untuk makan bersama. Tak lupa
pula kami mengadakan selamatan ala kadarnya agar Tuhan selalu
memberkati dan melindungi kami semua. Selain itu, koordinator
kami di Unit XIII membagikan uang saku kepada kami yang namanya
terpanggil. Uang itu merupakan hasil dari lokakarya dan penjualan
gabah kering di Mako atau Markas Komando. Koordinator kami itu
juga membagikan baju bercorak batik dan sepatu bagi kami yang
namanya terpanggil. Pada tanggal 13 Oktober 1979, kami sudah
berada di Mako guna pengecekan nama, alamat, nama orangtua,
check- up kesehatan, dan sebagainya.
sesudah pengecekan itu selesai, keesokan harinya kami tiba di
Namlea. Selanjutnya kami diangkut dengan perahu landing craft
menuju Kapal Mesin Gunung Jati atau PT Arafat. Kapal ini dahulu
milik Jerman, tapi lalu dibeli oleh Indonesia. Panjang kapal ini kirakira 80 meter dan lebarnya kira-kira 20 meter.Kapasitas muatannya
kurang lebih 3.000 orang. Kapal itu terdiri dari 7 palka, dari A sampai
G. Selain itu di atas deck masih ada lagi tempat rekreasi, semacam
gedung bioskop, dan bar.
Kapal Gunung Jati meninggalkan Pulau Buru pada tanggal 14
Oktober 1979 kira-kira pukul 17.00 WIT. Diriku sangat gembira
saat mendengar peluit kapal berbunyi nyaring, pertanda perjalanan
panjang akan segera dimulai. Pada saat yang sama, di dalam hati
kecilku aku merasa bingung sekali, bagaimana nanti bila aku kembali
berada di tengah masyarakat bebas? Dapatkah aku menempatkan
masa laluku ini? Atau apakah masa lalu ini hanya boleh diingat dan
dirasakan sendiri? Padahal masa lalu itu bisa menjadi sebuah cerita
yang indah dan memilukan. Demikianlah jalan pikiranku waktu
itu. Yang jelas diriku harus mampu dan pandai menyikapi “realitas”
kehidupan sehari-hari.
Ternyata hanya dalam tempo empat hari dan empat malam
rombongan kami sudah sampai di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Kami turun dari kapal sekitar pukul 16.00 WIB. Selanjutnya, kami
diangkut dengan truk menuju Stasiun Turi Surabaya dan tak kusangka
sama sekali di sini kami telah ditunggu-tunggu oleh teman-teman
yang telah lebih dahulu bebas. Melihat rombongan kami mereka
bersorak-sorak sambil tangannya diacung-acungkan dengan penuh
rasa gembira. Namun demikian mereka tak dapat mendekati kami,
sebab kami telah dikawal aparat dengan ketatnya. Kami langsung
disuruh menaiki kereta api yang sudah stand by sejak siang tadi. Kirakira pukul 19.00 WIB kereta api itu pun mulai bergerak gerak pelan-pelan
untuk selanjutnya meninggalkan Stasiun Turi ini .
Kira-kira pukul 23.00 WIB kereta sampai di Stasiun Semarang.
Kembali kami diangkut dengan truk menuju salah satu gedung
instansi pemerintah daerah untuk bermalam di sana. Sayang diriku
tak ingat tempat ini .
Pagi hari tanggal 20 Oktober 1979 sesudah kami sarapan, lagi-lagi
kami dinaikkan ke dalam truk untuk dibawa ke Gedung Olah Raga
atau GOR Semarang. Di sini sudah banyak anggota keluarga yang
menunggu, termasuk keluargaku. Oleh karena itu tak mengherankan
bahwa pada saat itu GOR ini bagai lautan manusia. Kemudian
“Upacara Pembebasan” pun dimulai
Waktu itu pukul 07.00 pagi WIB. Pertama-tama kami disuruh
menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Selanjutnya, kami diminta
mengucapkan “Sumpah dan Janji” para korban Tragedi ’65 yang
diwakili oleh tiga orang dari kami. sesudah puncak acara itu selesai,
kami semua diberi “Surat Tanda Pembebasan”. Sebagai penutup
acara, kami semua diperintahkan untuk menyanyikan lagu “Padamu
Negeri”. sesudah itu tuntaslah sudah upacara ini dan kami dapat
berkumpul kembali dengan keluarga masing-masing. Keadaan di
dalam GOR pun berubah sesaat oleh raung tangis haru, bahagia,
dan suka cita, oleh kerinduan yang teramat mendalam dan yang telah
mengental bahkan telah membatu. Kini saatnya semua itu mencair
kembali. Kini saatnya untuk berkumpul lagi. Kiranya semua ini hanya
kehendak-Nya. Amin...
Kemudian aku dan keluargaku cepat-cepat bergegas meninggalkan
GOR ini . Kami pun bergegas menuju ke rumah kami, di mana
Iartikel singkat dan sanak saudaraku telah lama menungguku. Ya, mereka telah
menunggu sejak aku baru berusia 19 tahun dulu.
DI BAWAH ini adalah narasi yang dituturkan oleh Budhi Kho, seorang
korban Tragedi ’65 yang berlatar belakang etnis Tionghoa dan berasal
dari Magelang, Jawa Tengah. Gara-gara pernah mengikuti “Kaderisasi
Revolusi” yang digagas oleh Bung Karno, pada tahun 1969 ia ditangkap
begitu saja. Untuk sementara ia ditahan di Jakarta, tempat ia bekerja
sebagai wartawan, tetapi pada tahun 1971 ia dibuang ke Pulau Buru.
Ia berada di sana hingga tahun 1979.
Menurut pengakuan Budhi Kho (nama ini bukan nama
sesungguhnya) selama di Pulau Buru ini ia belajar banyak hal, tetapi
sekaligus batinnya merasa tersiksa. Bersama-sama dengan sesama Tahanan
Politik yang lain, ia disuruh melakukan kerja paksa.
Hingga masa penahanannya berakhir, ia tidak pernah tahu (dan
memang tidak pernah diberitahu) apa kesalahannya. Semuanya terjadi
secara tiba-tiba. Tak ada keterangan, tak ada penjelasan. Permintaan
maaf juga tidak ada. Kata Budhi Kho,“Saya itu juga bingung: ditahan
tiba-tiba, tanpa diperiksa dan diadili, terus dibebaskan juga tiba-tiba.”
Ia melihat Jenderal Soeharto sebagai seorang pendendam dan menurutnya
apa yang terjadi pada tahun 1965 itu tidak lepas dari sikap pendendam
Soeharto itu, meskipun penting juga melihat keterlibatan pihak asing.
Bertolak dari pengalamannya di seputar Tragedi ’65, Budhi Kho
mengatakan bahwa pada berpolitik itu sendiri bukan merupakan suatu
hal yang keliru. Namun demikian, menurutnya setiap orang yang terjun
ke dunia politik perlu sadar akan konsekuensinya, termasuk konsekuensi
dalam bentuk kekerasan fi sik. Di matanya, belajar sejarah itu penting.
Wawancara dengan Budhi Kho dilakukan oleh anggota Komisi
Sejarah PUSdEP Chandra Halim, lulusan jurusan Sejarah Universitas
Sanata Dharma yang sedang menempuh studi sejarah di Program
Magister Universitas Gadjah Mada, keraton yogya .
***
NAMA saya Budhi Kho, dan sekarang saya berdomisili di kota
Magelang, Jawa Tengah. Saya adalah mantan wartawan koran Sin
Min di Semarang, dan berasal dari daerah Blabak, tak jauh dari kota
Magelang.
Tanpa Mau Berbaur
Saya lahir tahun 1940 dari marga Kho. Pada saat kelas 5 SD [Sekolah
Dasar] saya pindah ke kota Magelang. Dari SD sampai SMA [Sekolah
Menengah Atas] saya bersekolah di Magelang. Baru saat tahun
1960, waktu umur saya 20 tahun, saya studi banding di keraton yogya . saat
tahun 1963 terjadi kerusuhan rasial di Cirebon dan sebagian besar
wilayah Jawa Barat, di keraton yogya tidak terjadi apa-apa. Saya menikah
dengan salah seorang keturunan dari Tan Djin Sing dan keluarga
kami mengadakan pertemuan Trah [Keluarga Besar] sebulan sekali.
Tan Djin Sing itu bukan asli orang Tionghoa. Dia ini adalah anak
seorang priyayi Jawa yang diasuh oleh orang Tionghoa. Tan Djin
Sing ini merupakan seorang tokoh Tionghoa yang membantu Sultan
Hamengku Buwono III. Karena jasanya itu, HB III memberinya gelar
KRT. Setjodiningrat.
Istri saya itu satu generasi dengan Werdoyo, penulis artikel singkat Tan
Djin Sing: Dari Kapiten China sampai Bupati keraton yogya . Kalau pas
ikut pertemuan Trah,
87 mereka pasti ketemu, bahkan sering ngobrol.
Ini lho yang namanya Werdoyo [ Budhi Kho mengatakan demikian
sambil menunjukkan foto anggota Trah Setjodiningrat, ed.]. Ini
adalah bukti bahwa waktu itu hubungan antara orang-orang Tionghoa
dengan orang Jawa tidak ada masalah.
Memang ada orang Tionghoa yang merasa “alergi” terhadap
orang-orang Jawa. Tetapi hal itu mungkin disebabkan oleh pengalaman mereka saat bergaul dengan Jawa. Tetapi tidak semua orang
Jawa itu jelek, dan tidak semua orang Tionghoa itu bagus. Muridmurid saya yang datang kemari untuk les bahasa Mandarin juga tidak
semuanya berasal dari keturunan Tionghoa. Semua itu tergantung
dari bagaimana kita bersikap di masyarakat.
Waktu itu kota Magelang itu warga Tionghoanya banyak yang
Singkek,88 sehingga mereka lebih suka memilih masuk ke dalam
golongan mereka sendiri tanpa mau berbaur dengan warga masyarakat
Jawa. Namun mereka yang sudah Kristen atau banyak dari golongan
Peranakan akan cenderung memilih proses “asimilasi”, asalkan dengan
yang sesama Kristen.
Kekerasan Selalu Terjadi
Tahun 1963 Bung Karno meminta Oei Tjoe Tat menjadi Menteri,
dan membentuk penataran untuk mengantisipasi permasalahan rasial.
saat itu saya sudah bergelar BA [Sarjana Muda]. Sekitar bulan
Agustus tahun 1964 sampai awal tahun 1965, saya diajak untuk ikut
masuk kaderisasi revolusi yang dibentuk Bung Karno atas anjuran dari
beberapa stafnya, dan di Jakarta saya bertemu dan berkenalan dengan
Prof. Dr. Tjan Tjoe Som [dosen di Fakultas Sastra UI]. Kaderisasi itu
tujuannya untuk menghindari ketegangan rasial seperti yang terjadi
tahun 1963. Nah, waktu itu akhirnya saya berangkat juga. Saya itu kan
studi banding di Fakultas Sastra di IKIP keraton yogya , dan kebetulan mendapat
tawaran kaderisasi dan dapat bertemu dengan Pak Tjan Tjoe Som. Ya,
saya berangkat saja. Prof. Dr. Tjan Tjoe Som itu kakak dari Prof. Dr.
Tjan Tjoe Siem, seorang ahli Javanologi. Waktu itu yang seangkatan
saya ada Tan Lip Nio, S.H., ada Lay Oen Kwie dari PSMTI,89 trus saya
sendiri. Tokoh penting lho si Lay Oen Kwie itu. Dia itu kalau tidak
salah pendiri PSMTI.
Nama kaderisasi itu adalah “Kaderisasi Revolusi”. Kalau lulus
peserta mendapat gelar Manggala MANIPOL USDEK.90 Waktu
itu yang ikut kaderisasi bersama-sama saya di Jakarta ada 600 orang
muda Tionghoa. Kaderisasi ini tidak ada kaitannya dengan organisasi pergerakan gerakan
Baperki. Semua diambil dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Bung Karno berharap, dengan 600 orang ini, ia bisa menciptakan
iklim kondusif dan memperkenalkan ideologi yang dicetuskan
olehnya. Iklim kondusif di sini dimaksudkan untuk menghindari
kejadian seperti tahun 1963 itu. Masa pendidikan saya di situ hanya
sekitar 5-6 bulan saja. Nah, di situ saya bisa berkenalan dengan Pak
Nas [AH. Nasution], Pak Yani [A. Yani], dan Pak Ali Sastro [ Ali
Sastroamidjojo]. Mereka itu kebetulan adalah guru yang mengajar
kami para kader revolusi. sesudah lulus dari kaderisasi ini , saya
dan kawan-kawan seperjuangan mengajar di organisasi pergerakan gerakan -organisasi pergerakan gerakan
massa di seluruh Indonesia. Kami disebar, dikembalikan ke daerah
kami masing-masing. Nah, kalau di zamannya Soeharto, hal itu mirip
dengan Penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila [P4].
Saya sempat kembali ke keraton yogya waktu itu, dan ke Magelang.
Waktu terjadi Peristiwa Oktober 1965 dan pembersihan terhadap
anggota dan simpatisan PKI , sebenarnya saya tidak kena. Lalu saya
bekerja di Jakarta sebagai wartawan. Waktu itu tahun 1967. Sampai
pada akhirnya suatu sore tahun 1969—saya tidak tahu siapa yang
memberi informasi tentang keberadaan saya di Jakarta— saya ditangkap
paksa oleh aparat kepolisian. Waktu itu saya baru pulang dari kerja.
Saya lalu dimasukkan ke penjara di Salemba, Jakarta. Kekerasan selalu
terjadi di dalam penahanan saya. Nah, tahun 1971, saya dipindah ke
Pulau Buru bersama rombongan kedua. Di pulau ini saya mendapatkan
pengalaman yang berharga yang sekaligus menyiksa batin. Saya dan
kawan-kawan tahanan politik [ Tapol] lainnya disuruh kerja paksa.
Ada yang memperbaiki kursi, meja, lemari, ada yang berkebun, dan
macam-macam. Tahun 1979 saya baru dibebaskan dari Pulau Buru.
Saya itu juga bingung, ditahan tiba-tiba, tanpa diperiksa, dan diadili,
terus dibebaskan juga tiba-tiba.
“3-B”
Oh iya, kalau saya tidak salah ingat, waktu itu tahun 1968. Sekolahsekolah berbahasa mandarin di keraton yogya juga ditutup. Kalau di
Jakarta tahun 1971, Universitas Res Publica [Ureca] milik Baperki,
ditutup. Orang-orang seperti Hari Tjan Silalahi, Wanandi Bersaudara,
Junus Yahya, yang mayoritas pendukung LPKB, merekalah yang
menganjurkan pemerintahan waktu itu untuk menutup Ureca. Lalu
Ureca di-nasionalisasi dan diganti nama menjadi Universitas Trisakti.
Banyak teman-teman saya dari keraton yogya yang dulu sekolah di
Ureca. Di keraton yogya pun cabang Ureca yang bergedung di Gedung
KONI keraton yogya juga menjadi korban penutupan. Gedung KONI
keraton yogya itu pertama kali dipakai sebagai gedung Societet Tionghoa
pada zaman Belanda, lalu dipakai Chung Hua Tjung Hui [ CHTH],
bersama dengan Baperki, sementara Ureca menempati bangunan
belakang. Yang mengelola gedung ini dulu bernama Teh Hong
Oe. Di Surabaya juga sudah dibuka Ureca Fakultas Farmasi waktu
itu.
Soeharto itu ‘kan orang yang pendendam. Dia itu sakit hati
waktu dimutasi dari Divisi Diponegoro Semarang ke Sekolah Staf dan
Komando Angkatan Darat [SESKOAD] di Bandung. Kebetulan di
SESKOAD itu dia mendapatkan bimbingan dosen bernama Kolonel
Soewarto [dikabarkan, dia ini adalah agen CIA]. Soeharto waktu di
SESKOAD itu teman satu kelas dengan D.I. Panjaitan dan Abdul
Latief. Salah seorang kakak tingkatnya adalah Untung. Sewaktu
Kolonel Soewarto meminta Soeharto menjadi ketua kelas, Panjaitan
menolak. Tetapi Soewarto memaksa. Akhirnya Soeharto dipilih
menjadi ketua kelas. Penolakan Panjaitan ini yang kelak menjadikan
dia korban gerakan gerakan 30 September 1965 [ G30S]. Misi Central
Intelligence Agency [ CIA] untuk menggulingkan Bung Karno itu
rupanya berhasil dan yang dipakai sebagai alat penggulingnya adalah
Soeharto.
Mengenai Soeharto memaksa dan menekan golongan Tionghoa,
itu bukan inisiatif dia sendiri. Di belakang dia ada banyak orang
orang Tionghoa yang mendukung penekanan terhadap Tionghoa
lain. Kan kala itu di kalangan Tionghoa ada dua golongan politik,
yakni golongan pro-Baperki dan golongan pro-Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa [ LPKB].91 Kalau Soeharto sendiri sebenarnya dekat
dengan kalangan Tionghoa. Lha wong sewaktu di Semarang itu saja
Soeharto punya beberapa sahabat kental dari golongan Tionghoa
kok. Misalnya saja itu Liem Sioe Liong, Bob Hasan, dan Oei Tik
Kiong. Nama yang terakhir ini [Oei Tik Kiong] adalah yang sangat
disegani oleh Soeharto. Suaranya selalu didengar oleh Soeharto. Oei
ini penghubung antara Soeharto dengan Tionghoa-tionghoa kaya
dan sebaliknya. Kalau ada masalah yang menimpa para konglomerat
Tionghoa yang ada kaitan dengan kebijakan pemerintah, Oei ini yang
berperan penting dalam membantu mereka. Soeharto itu takut sekali
sama Oei Tik Kiong. Saya kurang tahu karena apa takutnya. Mungkin
Oei ini seperti ketua “Mafi a dari Macao” [semacam Triad kalau di
Jepang] atau mungkin ada rahasia tertentu antara mereka berdua.92
Kalau harus merefl eksikan tentang Tragedi ’65, saya katakan
bahwa berpolitik bukanlah merupakan suatu hal yang salah. Tetapi ada
konsekuensi dari berpolitik itu, yakni “3 B” (Buron, Buang, Bunuh).
Oleh karena itu, belajarlah dari sejarah dengan bijak
NARASUMBER kita di bagian ini bukan merupakan korban langsung
dari para penguasa terkait dengan Tragedi ’65. Namun demikian, ia
banyak menderita karena tragedi itu. Yong Witono, demikian nama
samarannya, berasal dari Solo, Jawa Tengah. Ia berdarah campuran
antara Tionghoa dan Jawa, meskipun tetap kuat perasaannya sebagai
seorang keturunan “ Tionghoa Babah”. Ayahnya seorang pedagang garam
dan hasil bumi di Karanganyar, dekat Solo. saat Tragedi ’65 terjadi ia
belum lama lulus sebagai siswa sekolah lanjutan tingkat atas.
Tanpa alasan yang dapat ia pahami, pada bulan November 1965
Ayah Yong Witono ditangkap dan dibawa ke sebuah markas militer
di Karanganyar. Semula Ayahnya ditahan di tahanan Kandang Sapi,
tetapi lalu dipindahkan ke tempat tahanan lain di dekat Pabrik Gula
Tasikmadu.”Di sana Papa disiksa dan tidak diberi makan bersama
puluhan tahanan dari Karanganyar,” kata Yong Witono. Bahkan dijenguk
oleh anggota keluarganya saja tidak boleh. Kadang-kadang diperbolehkan,
tetapi harus dengan menyogok petugas di situ. Sebagai Tahanan Politik
Ayah Yong Witono dimasukkan dalam Kategori C. Sempat akan dibuang
ke Pulau Buru, tetapi karena dukungan seseorang akhirnya Ayah Yong
Witono tidak jadi dibuang. Secara tidak sengaja Yong Witono pernah
menyaksikan bagaimana para tahanan dieksekusi secara keji di tempat
terbuka di tepian Sungai Bengawan Solo.
Bagi Yong Witono, Tragedi 65 merupakan “pelajaran yang berharga”,
khususnya bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia. Kalau tidak hati-hati,
menurutnya, orang-orang Tionghoa akan selalu menjadi korban rezim
yang berkuasa. Oleh karena itu, menurut dia orang-orang Tionghoa perlu
lebih banyak terlibat dalam kehidupan bermasyarakat supaya mereka
tidak mudah dikorbankan, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1965.
saat melihat kembali Tragedi ’65, ia berucap,“Memang peristiwa itu
merupakan sebuah pukulan dahsyat bagi kita, tetapi janganlah hal itu
menjadi sumber dendam buat kita terhadap penguasa atau siapa pun
yang membenci kita.” Tak ada sedikit pun siratan rasa dendam.
Wawancara dengan Yong Witono dilakukan oleh anggota Komisi
Sejarah PUSdEP Chandra Halim, seorang alumnus Jurusan Sejarah
Universitas Sanata Dharma yang sedang menempuh studi sejarah di
program magister Universitas Gadjah Mada, keraton yogya .
***
NAMA saya Yong Witono, dan saya tinggal di Solo. Saya adalah
seorang Ketua Rukun Tetangga [RT]. Semasa kecil sampai kelas 6 SD,
saya belajar di Sekolah Rakyat. Saya menghabiskan waktu kecil saya
sebagai anak seorang pedagang garam dan hasil bumi dari Karanganyar
[dekat Solo]. Saya kemudian pindah ke Solo untuk bersekolah di SMP
Negeri 1 Solo dan melanjutkan ke SMAN 5 Solo. Tahun 1963, saya
lulus dari SMA.
Memperjuangkan Aspirasi Masyarakat
Saya ini seorang Tionghoa Babah [ Tionghoa Peranakan].93 Papa saya
seorang Tionghoa Totok [asli] sedang Mama saya seorang Jawa. Papa
suka memakai baju model Tiongkok, sedang Mama saya senang
memakai jarik dan kebaya.94 Saya sendiri merupakan anak pertama
dari lima bersaudara. Kulit saya hitam karena menuruni darah dari
Mama yang Jawa. Oleh karena itu, saat saya bersekolah di SMP dan
SMA Negeri, yang rata-rata orang-orang Jawa, saya tidak merasa kaget.
Sebagai seorang pedagang garam dan hasil bumi di Karanganyar, Papa
saya tidak terlalu memperhatikan kebutuhan sekolah anak-anaknya.
Hubungan saya dengan sesama kawan di sekolah atau di
lingkungan saya tinggal biasa saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dengan mereka, saya sering bermain, sering berbicara akrab. Dengan
anak-anak dari golongan Tionghoa Totok saya tidak banyak bergaul.
Satu-satunya adik Papa saya juga menikah dengan orang Jawa, sehingga
saya makin sedikit berbaur dengan orang-orang Tionghoa Totok.
Bahasa saya pun merupakan basa Jawa campuran [bahasa Jawa
bercampur bahasa Indonesia]. Dari pihak Papa, saya hanya tahu
bagaimana menjalankan ritual hari-hari raya China, seperti Sincia,
Cap Go Meh, Sembahyang Leluhur, atau Sembahyang Wedang Ronde.95
Kadangkala Papa mengajari saya bahasa aslinya dia, yakni bahasa
Hokkian [bahasa daerah Hokkian, China], tapi karena saya wong
ndablek [orang bandel], saya tidak pernah mau mengikuti bimbingan
Papa. Tahun 1970 saya menikah dengan orang Jawa.
Di Karanganyar Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia [Baperki] mampu menarik minat orang-orang Tionghoa
untuk menjadi anggota ataupun simpatisannya. Lha organisasi pergerakan gerakan ini
memang sedikit mengarah ke kiri. Deket banget [sangat dekat] sama
Partai Komunis Indonesia [PKI ]. Waktu itu PKI di Karanganyar juga
besar lho. Pengaruhnya sangat dominan. Waktu itu di Karanganyar
ada banyak sekali keluarga Tionghoa . Sepanjang Jalan Lawu di Kota
Karanganyar itu dulu banyak dihuni keluarga-keluarga Tionghoa ,
termasuk keluarga Papa saya. Papa saya itu namanya Lauw Siauk
Tjwan. Dia itu ya hanya bisa berdagang saja. Papa ikut Baperki,
tetapi itu bukan karena inisiatifnya. Ia ikut karena diajak oleh seorang
temannya dari Solo.
Waktu itu di Baperki, Papa hanya merupakan simpatisan saja,
bukan anggota tetap. Lha wong pekerjaan Papa sebagai pedagang
garam dan hasil bumi saja sudah repot, kok mau jadi anggota, apalagi
pengurus. Tentu tidak ada waktu. Alasan lain Papa ikut Baperki adalah
karena Baperki dianggap Papa mampu memperjuangkan aspirasi
masyarakat Tionghoa di Karanganyar dan Solo. Biasanya kalau ada
acara yang diadakan Baperki, Papa selalu diundang. Dengan sejumlah
pengurus Baperki, Papa memiliki kedekatan, tapi saya lupa namanama mereka.
Ditangkap Tanpa Alasan
Papa saya namanya Liauw Siauk Tjwan. Sebenarnya dia itu bukan
anggota Baperki, tapi sering diundang di kegiatan Baperki. Papa itu,
saya pikir ya, cuma simpatisan saja. Alasannya karena Baperki itu
tergolong mampu memberikan apa yang orang Tionghoa inginkan.
Sekali lagi, menurut Papa, Baperki itu merupakan suatu organisasi pergerakan gerakan
yang bisa memperjuangkan aspirasi atau suara masyarakat Tionghoa
supaya dengan mudah diterima dalam masyarakat pada umumnya.
Tahun 1963 saya lulus dari Sekolah Menengah Atas [SMA] di
Solo, dan saya kembali ke Karanganyar. Saya bekerja membantu Papa,
ya jualan garam, ya bumbu dapur dan hasil bumi lainnya. Waktu itu
sehari sekali ada andong yang mengangkut barang kulakan dari Solo
ke Karanganyar. Papa biasanya selalu memakai jasa andong untuk
mengangkut barang-barang belanjaan dari Solo untuk dijual ke
Karanganyar. Jadi komunikasi kami dengan orang-orang di Solo tidak
terputus. Sejak awal September 1965, selama hampir 3,5 bulan, saya
sakit dan dirawat di Rumah Sakit Kandang Sapi [RS. Dr. Oen Solo].
Waktu itu banyak sakitnya. Salah satunya adalah sakit typhus. Jadi saya
harus dirawat di rumah sakit. Biasanya yang sering menjaga saya di
rumah sakit kalau tidak Mama ya Encik [adik laki-laki ayah] saya.
Sekitar akhir November 1965 saya mendapatkan kabar dari Encik
kalau Papa ditangkap oleh orang-orang dari Kodim Karanganyar.
Terus dia ditahan di tahanan milik Kodim. Dulu tempat tahanannya
di belakang Gedung BNI 46 Karanganyar yang sekarang ini, depannya
Foto Fujifi lm “Nirwana”. Encik bilang, Papa ditangkap tanpa alasan
yang jelas. Tahu-tahu, dia ditahan di Kodim. Lewat 3 bulan, waktu
itu saya masih di Kandang Sapi, Papa dipindah ke tahanan model base
camp, di daerah Pabrik Gula Tasikmadu. Sekarang tempat itu dipakai
Kantor Polsek Tasikmadu. Di sana Papa disiksa dan tidak diberi makan bersama puluhan tahanan dari Karanganyar. Pada awal-awal
penahanan, Papa tidak boleh dijenguk oleh keluarga, bahkan oleh
Mama saya sekalipun.
Sekitar bulan Desember awal, saya keluar dari rumah sakit.
Dalam perjalanan dari Solo ke rumah di Karanganyar, saat melewati
Sungai Bengawan Solo, saya melihat banyak sekali orang-orang yang
diikat, trus dijajar di pinggiran Bengawan Solo. Saya pikir, ada apa ini.
Saya sendiri waktu itu bingung. Lalu, sesudah ada sedikit percakapan
antara para tahanan dengan tentara-tentara yang ada—tentara Kostrad
kalau tidak salah, soalnya memakai baju warna loreng hijau seperti
daun dikombinasi dengan warna tahi ayam—tahu-tahu orang-orang
yang merupakan tahanan itu ditembak. Begitu ditembak, tubuh
mereka langsung nyemplung [tercebur] ke Sungai Bengawan Solo itu.
Lokasinya di sekitar bawah jembatan rel kereta api. Begitu sampai
di rumah, saya langsung bicara tentang apa yang saya lihat itu pada
Mama dan anggota keluarga yang lain.
Sejak saya sudah keluar dari rumah sakit itu, saya diajak menjenguk
Papa. Itu pun tidak setiap hari diperbolehkan, melainkan tergantung
seberapa besar jumlah sogokannya. Papa ditahan di Camp Tasikmadu
itu selama 1 tahun lebih 1,5 bulan. Papa masuk dalam kategori tahanan
Golongan C. Sebetulnya Papa sudah mau diangkut ke Pulau Buru,
tapi waktu itu saya sendiri tidak tahu, mengapa bisa bebas. Ternyata
belakangan saya ketahui ada sedikit backing-an (bantuan) dari oknum
tentara yang berpangkat waktu itu, yakni seorang saudara jauh dari
Mama saya.
Tetap Bersikap Tegar
Menurut saya, Peristiwa ’65 itu merupakan suatu pelajaran yang
berharga buat orang-orang Tionghoa . Meskipun terkadang kita—
orang-orang Tionghoa —ini tidak pernah ikut-ikut dengan urusan
politik baik di dalam ataupun di luar negeri, tetapi kerapkali kita yang
selalu menjadi korban dari kebijakan rezim yang berkuasa. Boleh saja
kita ini berpolitik, boleh saja kita ini memiliki nasionalisme yang
tinggi, dan boleh saja kita ini menghimpun banyak kekayaan, tapi kita
harus selalu ingat, dalam hidup ini kita perlu bermasyarakat, harus
mau bersikap rendah hati dan harus selalu siap menolong sesama,
siapa pun orangnya, dari golongan apa pun dia. Yang sudah terjadi
biarlah berlalu, dan sekarang kita mencoba bersikap lebih baik dari
masa lalu. Memang peristiwa itu merupakan sebuah pukulan dahsyat
bagi kita, tetapi janganlah hal itu menjadi sumber dendam buat kita
terhadap penguasa atau siapa pun yang membenci kita.
Meskipun terkadang pilu rasanya jika mengingat peristiwa itu,
saya tetap bersikap tegar, dan saya selalu berhati-hati dalam berkata
dan bertingkah laku. Saya tidak mau peristiwa itu terulang kembali,
karena dampak dari peristiwa seperti itu sangat besar. Seperti saya
dan keluarga saya ini sampai sekarang dicap sebagai anak Eks- Tapol
[bekas Tahanan Politik], dan dikucilkan dalam lingkungan sekitar saya
tinggal. Padahal kita ini hanyalah sebagai korban permainan politik
tingkat tinggi waktu itu. Orang dulu saja di Solo itu banyak guru,
teknisi, dan wiraswastawan dari kalangan Tionghoa yang juga diciduk
[ditangkap] dengan tuduhan PKI. Apakah itu bukan merupakan
permainan politik tingkat tinggi dengan mengorbankan golongan
lemah?
NARASUMBER yang telah menyumbangkan narasi berikut ini kita
beri nama samaran Ch. Mujilah. Ia berasal dari daerah Prambanan,
keraton yogya . Seperti dikatakannya, ia berasal dari sebuah keluarga miskin
yang bertahan dengan cara menjual gulai dan makanan kecil.
Sebagaimana kita singgung di bagian Pendahuluan artikel singkat ini, usia
Mujilah baru 14 tahun saat Tragedi ’65 terjadi. Namun demikian,
ia ditangkap dan dipenjara. Hal itu terjadi karena ada orang yang
bernama-sama dengan dia yang mau ditangkap, tetapi orang yang mau
ditangkap itu sedang tidak berada di tempat. Malang bagi Mujilah kita,
tanpa melakukan kesalahan apa-apa, ia harus menanggung derita secara
paksa dan mendekam di penjara selama 14 tahun. saat ia bebas, tak
ada permintaan maaf resmi sedikit pun datang dari para penguasa yang
telah secara keliru menangkap dan memenjarakannya.
Terhadap ketidakadilan yang ia alami itu ia hanya bersyukur bahwa
akhirnya ia bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Baginya hidup
sesudah pembebasan dari penjara ternyata tidak mudah. Ia menikah
dengan sesama mantan Tahanan Politik, yang juga menjadi salah seorang
narasumber kita di artikel singkat ini. Ia bertahan hidup dengan berjualan gulai
dan makanan kecil sebagaimana yang dilakukan oleh Ibunya dulu.
Secara apa adanya, ia bertutur tentang penderitaannya—termasuk
gempa tahun 2006 yang menimpa rumahnya—dan berharap akan ada
orang yang rela membantunya.
Tuturan lebih lengkap tentang narasumber kita ini bisa dibaca dalam
artikel singkat berjudul Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965
yang disusun oleh HD. Haryo Sasongko dan disunting oleh Dr. Melani
Budianta. artikel singkat itu diterbitkan di Jakarta oleh Penerbit Amanah-Lontar
tahun 2003.
***
SAYA lahir di Prambanan, keraton yogya , dengan tiga saudara kandung
yang diasuh oleh kedua orangtua kami yang miskin. Untuk bisa
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kami menghadapi kesulitan
yang luar biasa. Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan oleh orangtua
saya hanyalah berjualan gulai kecil-kecilan. Juga dengan menitipkan
makanan di warung orang supaya turut dijualkan dengan imbalan
tertentu.
Tanpa saya sangka sebelumnya, pada tahun 1965 nasib buruk
menimpa diri saya. saat itu saya baru berusia 14 tahun dan tiba-tiba
saya diciduk (digaruk) untuk kemudian dimasukkan ke dalam Penjara
Wirogunan, keraton yogya .97 Di penjara itu jatah makannya tidak layak.
Kami diberi makan jagung sama gereh [ikan asin] yang sudah busuk.
sesudah itu jagung diganti gaplek, tetapi lauknya tetap gereh busuk.
Itu pun cuma sedikit.
Enam bulan kemudian saya dipindah ke Penjara Bulu, Semarang.
Di Penjara Bulu, saya tinggal cukup lama. Tahun 1971 saya dipindah
ke Blatungan , di dekat Semarang. Di sini aku merasa lebih longgar,
bisa keluar masuk, sekalipun harus selalu diantar oleh petugas. Tiap
hari ada kegiatan bercocok tanam seperti menanam singkong, sayursayuran dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk sekadar tambahan
makan.
Pada bulan Oktober 1979 saya dibebaskan dari penjara
Blatungan . Saya bisa berkumpul kembali dengan keluarga, sekaligus
menghirup udara bebas. Untuk memperpanjang sejarah hidup saya,
pada tahun 1982 saya menikah dan dianugerahi 2 orang anak. Yang
seorang putri, yang seorang lagi putra. Untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari saya berjualan gulai, sementara suamiku bekerja
sebagai pekerja bangunan. Kemudian musibah menimpa keluarga
kami lagi. Pada tanggal 27 Mei 2006, sebuah gempa bumi yang
cukup besar menimpah daerah keraton yogya dan sekitarnya. Rumah
kami hancur porak-poranda, rata dengan tanah. Berbulan-bulan
kami tidur di lapangan, di bawah tenda, sambil menunggu bantuan
dari pemerintah. sesudah lama menunggu akhirnya datang bantuan
dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [ P2KP].
Dengan bantuan itu kami bisa membangun rumah dengan ukuran
4x6 meter.
Begitulah nasib kami, hidup dalam kemiskinan. Segala sesuatu
serba kurang. Saat ini kami tidak punya kegiatan apa-apa, kebutuhan
hidup sehari-hari dibantu anak. Bila mana ada uluran tangan dari
siapa saja atau dari mana saja kami akan berterima kasih sekali
F.X. Abdul Rochim, nama pengganti untuk narasumber kita berikut
ini, adalah suami dari Ibu Ch. Mujilah, yang narasi singkatnya baru
saja kita baca. Abdul Rochim berasal dari sebuah keluarga miskin dengan
delapan orang anak di Magelang, Jawa Tengah.
Tanpa alasan yang jelas, pada tahun 1965 ia ditangkap dan
dipenjara. sesudah ditahan di keraton yogya , ia kemudian dibawa ke Pulau
Nusa Kambangan, Jawa Tengah, dan mendekam di sana selama 14
tahun, hingga saat pembebasannya tahun 1979.
Tidak banyak yang Abdul Rochim bisa ceritakan untuk kita di sini. Ia
hanya bertutur bagaimana sulitnya ia berjuang untuk sekedar hidup dari
hari ke hari bersama keluarganya yang sangat sederhana. Sebagaimana
diceritakan oleh istrinya di muka, pada tahun 2006 rumahnya runtuh
karena gempa dan sejak itu hidup menjadi lebih sulit. Namun demikian,
ia tidak putus asa. Ia masih terus berharap sebisanya.
***
SAYA dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, dan hidup bersama 8
(delapan) orang saudara kandung. Kami dibesarkan oleh Ayah dan
Ibu dalam situasi rumah tangga yang miskin. Kakak pertama saya
telah meninggal setahun yang lalu.98 Saya masih ingat, sewaktu saya
ma sih kecil, sawah Ayahku cuma sedikit. Sawah itu ditanami kapas
atas perintah pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Akibatnya
kebutuhan untuk sehari-hari semakin tidak cukup, bahkan makin
parah.
Karena adanya tekanan ekonomi Ayah-Ibu tidak bisa menyekolahkan kami anak-anaknya. Hanya saya dan dua adik saya yang bisa
tamat SD. Kemudian saya bekerja di bangunan bagian kayu.
Lalu nasib malang menimpa diriku. Pada tahun 1965 saya
dimasukkan ke dalam penjara di keraton yogya sini. Tiga bulan kemudian,
saya dipindahkan ke Pulau Nusa Kambangan. Di sana jatah makan
sangat tidak layak. Kadang tiga kali sehari kami diberi makan jagung,
dengan jumlah 150 butir mata jagung. saat jagung habis makanan
kami diganti gaplek, dan saat gaplek habis makanan kami diganti
bulgur. Begitulah yang terjadi selama bertahun-tahun. Guna menjaga
kondisi fi sik agar tetap sehat, setiap hari saya berusaha keluar dari
penjara untuk bekerja dan mencari tambahan makanan, khususnya
dengan bekerja sebagai tukang kayu. sesudah 1971 baru ada perubahan
jatah makan yang wajar.
Empat belas tahun lamanya saya mendekam di dalam penjara.
Pada tanggal 8 Desember 1979 saya dibebaskan. Waktu itu yang
dibebaskan dari Nusa Kambangan bersama saya ada 220 orang,
ditambah mereka yang dibebaskan dari penjara Pekalongan dan
penjara-perempuan lesbian Blatungan , Jawa Tengah. Upacara pembebasan
berlangsung di Gedung Kridosono, keraton yogya .
sesudah bebas, untuk menyambung sejarah hidup, pada tahun
1982 saya menikah. Kami dikaruniai dua orang anak, satu putri dan
satu putra. Demi kebutuhan hidup sehari-hari saya bekerja di proyekproyek bangunan. Nasib malang menimpa diriku lagi. Tanggal 27
Mei 2006 di keraton yogya terjadi gempa bumi hebat. Rumah kami
hancur, rata dengan tanah. Beberapa bulan kami tidur di lapangan, di
bawah tenda. Kemudian ada bantuan dari Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan [ P2KP]. Berkat bantuan dari P2KP itu kami
bisa membuat rumah dengan ukuran 4x6 meter.
Begitulah nasib rumah tangga miskin. Umur terus bertambah dan
keadaan fi sik makin melemah. Sementara itu saya tidak mempunyai
kegiatan apa-apa yang bisa mendatangkan penghasilan. Tambahan
lagi, sekarang ini saya selalu sakit-sakitan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, saya dan istri
saya dibantu oleh anak kami. Bantuan dari pemerintah yang kami
harapkan sampai sekarang tak kunjung tiba. Oleh karena itu, kalau
ada uluran tangan dari siapa saja, atau dari mana saja, yang sudi atau
mau membantu keluarga kami, kami akan dengan penuh rasa terima
kasih menerimanya. Kami hanya ingin agar supaya sisa-sisa kehidupan
kami bisa sedikit lebih layak dan sejahtera. Atas perhatiannya, saya
mengucapkan banyak terima kasih
ANAK keempat dari enam bersaudara, Rahardjo adalah narasumber kita
selanjutnya. Ia lahir di desa Gatak, keraton yogya . Waktu kecil pekerjaan
sehari-harinya sebagai anak desa adalah menggembalakan kerbau milik
keluarga, meskipun ia pernah mengenyam pendidikan guru hingga pada
tingkat sekolah menengah.
Pada bulan November 1965 tiba-tiba saja ia mendapat panggilan
ke Kelurahan. Rahardjo (sekadar nama samaran saja) diberitahu
bahwa ia akan diberi surat keterangan dari sebuah satuan militer.
Ternyata pemberitahuan itu bohong belaka. Ia justru ditangkap
dan dipenjarakan dengan tuduhan sebagai anggota Pemuda Rakyat,
sebuah organisasi pergerakan gerakan remaja muda yang berafi liasi dengan Partai Komunis
Indonesia. Tanpa diberi kesempatan untuk menerangkan diri, Rahardjo
langsung dimasukkan ke dalam truk dan diangkut ke penjara. Semula
ia dipenjarakan di keraton yogya , tetapi lalu dipindah ke Pulau Nusa
Kambangan, kemudian ke Ambarawa (keduanya di Jawa Tengah), dan
selanjutnya kembali ke Nusa Kambangan. Akhirnya ia dibuang ke Pulau
Buru, di Maluku. Sebagaimana para tahanan politik yang lain, banyak
sekali duka derita yang ia alami di Pulau Buru, termasuk pengalaman
kerja paksa. Tahun 1979 ia dibebaskan.
saat kembali dari Pulau Buru, ia merasa sedih karena kedua
orangtuanya tidak menyambutnya. Mereka telah lebih dulu meninggal.
sesudah itu ia tidak bisa berbuat banyak. Kesulitan dan derita hidup
terus menderanya, termasuk gempa yang menghantam keraton yogya dan
sekitarnya pada tahun 2006. Ia hanya bisa menggantungkan hidupnya
pada uluran tangan orang lain, termasuk pemerintah. Rahardjo mengakui
bahwa hidup tidak mudah baginya. Meskipun demikian, ia berusaha
untuk terus bertahan. Karena adanya sejumlah keterbatasan, narasi yang
ia sampaikan pada kita di sini tidak banyak. Padahal menurutnya kalau
diceritakan semuanya narasi itu bisa panjang sekali.
***
SAYA dilahirkan dari keluarga Kartorejo di Gatak, keraton yogya , sebagai
anak keempat dari enam bersaudara. Sejak kecil saya ikut orangtua
yang bekerja sebagai buruh tani. Saya membantu orangtua sejak saya
masih menjadi seorang anak kecil penggembala kerbau hingga saya
berumur 20 tahun.
Pada tahun 1952 saya masuk Sekolah Rakyat (SR) sekarang
disebut SD atau Sekolah Dasar. Tahun 1958 saya melanjutkan ke
jenjang SMP. Tahun 1962 saya masuk S.G.C. atau Sekolah Guru
“C”.
Pada tahun 1965 saya mendapat surat panggilan dari kantor
kelurahan. Katanya untuk mendapatkan surat keterangan dari sebuah
satuan militer pada tanggal 19 November 1965. Kenyataannya di
kantor kelurahan, saya disuruh naik truk yang dikawal oleh tentara.
Akhirnya saya dimasukkan ke dalam penjara sebagai tahanan perang
[sic.] G30S. Saya dimasukan ke dalam penjara, tetapi saya tidak tahu
masalahnya apa, kok saya dimasukkan penjara.
Di dalam penjara, untuk makan kami harus antri, dilayani
oleh orang hukuman atau napi (narapidana) dengan makanan yang
sebetulnya tidak layak untuk dimakan. Tetapi demi mempertahankan
hidup akhirnya saya mau makan juga. Waktu malam saya dipanggil
untuk diperiksa, disuruh mengaku sebagai anggota Pemuda Rakyat
(PR). Kalau tidak mengaku, saya akan dianiaya dengan cara yang tidak
berperikemanusiaan.
Pada suatu tengah malam saya dipanggil. Saya diminta berkumpul
di ruangan yang telah disediakan. Selanjutnya, saya dibuang ke Pulau
Nusa Kambangan dengan naik kereta api yang jendelanya tidak bisa
dibuka. Waktu itu bulan Februari 1966. Setiba di Nusa Kambangan
kami dilayani cadong (jatah) makan jagung oleh para napi yang
kejam-kejam. Mereka berlaku sangat kejam kalau menghadapi temanteman saya. Di sana (di Nusa Kambangan) saya dan teman-teman
dipekerjakan dengan jatah makan jagung yang amat sedikit. Banyak
teman-teman yang di Nusa Kambangan mati kelaparan. Banyak juga
yang disiksa oleh para napi lain.
Pertengahan tahun 1966 saya dipindah lagi ke penjara Ambarawa,
Jawa Tengah. Jatah makan tetap jatah makan penjara seperti yang
sudah-sudah. Untungnya ada tambahan makanan dari keluarga
tahanan yang mampu dan bisa membesuk. Dari mereka, kami
mendapatkan tambahan makanan maupun pakaian
Tahun 1969 saya dibuang lagi ke Nusa Kambangan, lalu diteruskan ke Pulau Buru. Di Pulau Buru tidak ada napi, tapi kami dikawal
oleh tentara. Di Pulau Buru kami dipekerjakan untuk membuka atau
membabat hutan guna ditanami padi gogo, sayuran, ketela pohon
(singkong) atau palawija. Kami juga disuruh membuat bendungan,
sawah, jalan, dan rumah. Di tengah itu semua, jatah makan tetap
minim.
Tahun 1979 saya dibebaskan pulang ke masyarakat. Waktu saya
dibebaskan, kedua orangtuaku tidak tampak menyambut. Mereka
sudah tidak ada. Haru rasanya hati ini merindukan mereka. Waktu
itu yang ada hanya saudara-saudaraku saja disertai sanak saudara dan
tetangga. sesudah bebas saya diberi KTP yang diberi ciri “ ET” yang
berarti “Eks Tapol
Tahun 1982 saya menikah dan membentuk keluarga baru.
Kami diberi dua orang momongan (anak). Setapak demi setapak saya
menghidupi keluarga. Saya bisa bikin rumah yang waton eyup (asal bisa
untuk berteduh). Tahun 2006 rumah itu kena gempa bumi sehingga
roboh. Kami lalu dibuatkan rumah oleh Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan [ P2KP], dengan prinsip yang sama yakni
asal bisa untuk berteduh. Sekarang ini saya tinggal di rumah itu
sambil mencari nafkah semampunya karena sudah usia lanjut alias
sudah tua. Kadang-kadang, ada anggota keluarga saya yang sakit.
Dalam situasi demikian, saya sering menjadi bingung bagaimana
harus memeriksakan atau mencarikan obat.
Dulu saya bisa mendapatkan “Raskin” (jatah beras untuk orang miskin dari pemerintah), “Jamkesmas” (Jaminan Kesehatan
Masyarakat) dan “Jamkesos” (Jaminan Kesehatan Sosial), tetapi
sekarang semua itu tiba-tiba dicabut oleh kader-kader masyarakat.
Saya lalu bertanya-tanya, apakah hal itu mereka lakukan karena saya
bekas Tapol (tahanan politik) ya? Atau bagaimana? Saya tidak tahu.
Saya cuma bisa menerima. Tapi akibatnya kalau ada anggota keluarga
sakit ya saya cuma bisa menyerah. Biaya pengobatan itu sangat mahal,
sementara untuk biaya makan sehari-hari saja belum cukup.
Demikianlah kisah saya dalam menghadapi kehidupan seharihari. Penderitaan yang saya alami sejak lahir sampai sekarang tidak
ada hentinya. Mudah-mudahan Tuhan memberikan berkah kepada
orang-orang atau lembaga-lembaga kemanusiaan agar bisa berbaik
hati memberikan bantuan bagi kehidupan saya.
Kisah ini hanya sebagian saja yang saya tulis. Sebab kalau harus
saya tulis semuanya mungkin tidak akan selesai dalam waktu yang tak
terhingg
BERBEDA dengan kebanyakan narasumber lain, penutur narasi kita
kali ini bukanlah korban langsung para penguasa dalam kaitannya
dengan Tragedi ‘65. Mirip dengan Yong Witono di depan, ia tidak pernah
dipenjarakan, diinterogasi atau disiksa karena dituduh terlibat dengan
apa yang terjadi pada tahun 1965. Meskipun demikian, ia menderita
banyak sebagai akibat dari peristiwa itu.
saat Tragedi ’65 berlangsung usianya masih terlalu muda untuk
bisa memahaminya. Dengan alasan yang kurang masuk akal, Ayahnya
ditangkap dan dipenjarakan selama 13 tahun. Di luar kemauannya,
ia dijodohkan dengan seorang mantan Tahanan Politik ‘65. Karena
itu semua, M.M. Sutini, begitu nama samaran yang kita pilihkan
untuknya, harus mengalami penderitaan beruntun. Bahkan saat ia
telah membentuk keluarganya sendiri, penderitaan itu seakan tidak
pernah berakhir.
Gara-gara Ayahnya ditangkap dan dipenjarakan, hidup keluarga
Sutini menjadi kacau balau penuh dengan penderitaan. Ia harus bekerja
keras untuk bisa tetap bertahan hidup. Tutur Sutini,“Waktu itu usiaku
12 tahun. Aku harus ikut cari makan bersama Iartikel singkat . Adikku yang
nomor empat bertugas mengurusi adik yang masih kecil di rumah. Tiap
hari aku ikut Ibu mencari daun bambu untuk dijual kepada orang-orang
yang membuat tempe gembus. Setiap hari aku harus berjalan jauh.”
Sebagai anak kecil, berjalan jauh setiap hari untuk mencari makan
tentu sangat melelahkan. Namun demikian, tidak kalah melelahkan
adalah perjalanan hidup selanjutnya berupa cap yang ia dapatkan
sebagai anak Tahanan Politik yang sekaligus istri seorang Tahanan Politik.
Tekanan dari tetangga sekitar amat berat, dan hal ini tidak hanya dia
yang mengalaminya, melainkan juga dua orang anaknya. Lebih dari
itu, di tengah penderitaan ini terjadi pula konfl ik internal dalam
keluarga yang tentu saja menambah beratnya beban hidup. “Walau aku
dan anak-anakku hidup di luar penjara, tetapi siksaan lahir dan batin,
siksaan jiwa dan raga yang kami alami sama rasanya dengan yang berada
di dalam penjara,” ujar Sutini. Syukurlah, ia memiliki iman yang kuat,
dan dengan iman itu, ia terus berusaha bertahan dari hari ke hari.
saat harus berefl eksi atas apa yang ia alami sebagai anak dan istri
mantan Tahanan Politik, Sutini mengatakan bahwa dia sering merasa
gelisah dan termenung sendiri. Meskipun demikian, ia tidak putus asa.
Ia tetap bersyukur karena di sekitarnya selalu saja muncul orang-orang
atau kelompok yang bersedia membantunya. Berkat orang-orang ini,
Sutini kembali memiliki harga dirinya. Sebagaimana bisa kita lihat
dalam narasi di bawah, ia bersaksi,“Oleh mereka aku merasa masih
dianggap sebagai orang seperti orang-orang lainnya. Aku pun merasa
masih berguna bagi orang lain.”
Ada sedikit catatan tambahan tentang narasi Sutini. Pertama, namanama yang ada dalam narasinya sengaja disamarkan dengan maksud
menghormati privasi para pemiliknya. Kedua, Sutini dan keluarganya
menjadi salah satu narasumber untuk fi lm “40 Years of Silence: An
Indonesian Tragedy.” Film karya Dr. Robert Lemelson dari University of
California-Los Angeles ini selesai diproduksi pada tahun 2009 dan
sejak itu telah diputar di Los Angeles, Sarajevo, keraton yogya , Jakarta, New
York, serta sejumlah kota besar lain di dunia.
***
WAKTU itu bulan Agustus tahun 1966. Di kampungku akan diadakan
perayaan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI. Waktu
malam hari Bapak Ketua RK yakni Rukun Kampung—kalau sekarang
RW atau Rukun Warga—datang ke rumah bermaksud menyuruh
Bapakku untuk menabuh gamelan sebagai iringan pertunjukan
kethoprak. Bapakku menolak karena tanggal itu ia ada tugas lain ke
luar kota. Lalu Pak RK marah-marah dan pergi tanpa pamit. Dua jam
kemudian ia datang lagi, tapi kali ini sambil mengajak polisi yang
tinggalnya di kampung sebelah.
Polisi itu bernama Pak Ilyas dan sebetulnya ia adalah juga teman
Bapak saya sendiri. Anehnya, Pak Ilyas ini memaksa Bapakku supaya
mematuhi perintah Pak RK dan menantang sambil mengatakan,“Kalau
kamu tidak mau berarti kamu Partai Komunis Indonesia [PKI ]. Lihat
saja nanti.” sesudah itu, selang dua minggu kemudian Bapakku diciduk
(ditangkap) di kantornya. Ia lalu dipenjarakan di Penjara Wirogunan,
keraton yogya , selama 4 tahun sebelum kemudian dibuang ke Pulau
Nusa Kambangan, Jawa Tengah. Ia ditahan di pulau ini selama 9
tahun, sehingga total ia dipenjara selama 13 tahun.
Karena Aku Miskin
Sebelum di penjara, Bapakku adalah Ketua RT (Rukun Tetangga)
yang bijaksana. Setiap ada pemilihan RT Bapakku selalu dipilih lagi.
Waktu membuat gedung SMP Negeri 7 pengorbanan Bapakku sangat
besar. Setiap bulan gaji Bapakku dari kantor disumbangkan untuk
membayar tukang-tukang guna membangun sekolah ini . Kebun
Bapakku digali untuk pembuatan batu bata yang jumlahnya mencapai
10.000 buah biji. Bapak juga membantu proses pembakarannya.
Semua disumbangkan oleh Bapak, dengan perjanjian bahwa besuk
kalau anak-anaknya Bapak masuk sekolah di SMP Negeri 7 mereka
tidak perlu bayar. Apa boleh buat, sesudah Bapakku dipenjara, bahkan
kakakku yang sudah sekolah di situ dan baru kelas II justru dikeluarkan.
Dia tidak boleh sekolah dengan alasan ia adalah “anak PKI ”.
sesudah Bapak dipenjara keluargaku menjadi sangat menderita.
Ibu yang masih punya bayi berumur 6 bulan tidak bisa bekerja. Harta
benda yang ada dijual untuk makan dan untuk mengirim makanan
buat Bapak di penjara. Itu pun setiap kali Ibu harus setor beras sebanyak
10 kilogram ke petugas. Kalau tidak Ibu tidak boleh kirim makanan
ke Bapak. Kalau Ibu mengirim nasi satu besek penuh disertai telur
10 butir, yang sampai ke Bapak biasanya hanyalah nasi sebanyak tiga
suap, sedang telurnya sama sekali tidak sampai karena sudah dirampas
para penghuni penjara yang lain.
sesudah Ibu tidak punya apa-apa, kakakku yang nomor satu ikut
tinggal bersama seorang saudara di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau,
dekat Sumatera. Kakak nomor dua ikut tinggal bersama saudara dari
Bapak di Jakarta. Sementara itu, aku sebagai anak ketiga tinggal bersama
Ibu dan menjadi anak yang paling besar di rumah. Waktu itu usiaku
12 tahun. Aku harus ikut cari makan bersama Iartikel singkat . Adikku yang
nomor empat bertugas mengurusi adik yang masih kecil di rumah.
Tiap hari aku ikut Ibu mencari daun bambu untuk dijual kepada
orang-orang yang membuat tempe gembus. Setiap hari aku harus
berjalan jauh. Kalau ke arah selatan, aku berjalan sampai mencapai
Pasar Bantul, keraton yogya . Kalau haus aku hanya bisa minum air sumur.
Tak sempat aku merasa kelelahan. saat daun bambu sudah terjual,
uangnya tidak banyak. Bahkan tidak cukup untuk membeli setengah
kilogram beras. Yang bisa dibeli hanyalah setengah kilogram gaplek,
untuk ditumbuk dan kemudian dibuat bubur.
Kehidupan seperti itu kami jalani bertahun-tahun hingga adikku
yang nomor 6 jatuh sakit. Badannya kurus, kakinya bengkak-bengkak.
Mungkin itu yang dinamakan penyakit busung lapar. Melihat
keluargaku seperti itu saudara-saudara Ibu tidak mau membantu.
Padahal waktu keluargaku masih makmur mereka selalu dibantu Bapak
dan Ibu. Sekarang ini mereka malah menghina keluargaku. Syukurlah
suatu saat saat aku dan Ibu pagi-pagi mau berangkat mencari
daun bambu, kami bertemu dengan Bu Daryo yang suaminya juga
dipenjara. Bu Daryo menyuruh Ibu sowan atau menghadap Romo
Pastor di Gereja Katolik Kumetiran, keraton yogya , untuk menceritakan
nasib kami.
Di Gereja, Ibu dan kami, anak-anaknya, diterima oleh Romo
Lim. Lalu kami semua dibawa ke Poliklinik untuk diperiksa. Kami
diberi obat seminggu sekali tanpa harus membayar. Kami juga diberi
susu secukupnya, sampai adikku yang busung lapar akhirnya bisa
sembuh. Romo Lim memberi alamat dan menganjurkan kami supaya
menemui Romo De Blot di Sekolahan di Jl. Trenggono, keraton yogya ,
dan menyerahkan kepadanya surat dari Romo Lim. Waktu aku dan
Ibu mau mencari Romo De Blot, saudara-saudara Iartikel singkat mengatakan
bahwa kami membuat malu saudara-saudara kami, karena hal itu kan
berarti mengemis.
Akan tetapi, sesudah aku dan Ibu sudah bertemu Romo, dan
mendapat bantuan dari Rumah Sakit Panti Rapih berupa dua kilogram
susu per bulan, dan setiap dua minggu sekali mendapat bulgur, tepung,
dan pakaian dari bruder-bruder di Sekolah Pangudi Luhur, saudarasaudara kami itu lalu berubah. Setiap kami datang dari mengambil
jatah, mereka langsung berebutan minta diberi bagian dari jatah itu.
Sejak usia 14 tahun, aku sudah bekerja menjadi pembantu
rumah tangga [PRT] di sebuah keluarga. Kalau besok pagi waktunya
gajian, hari ini Ibu sudah mendatangi keluarga ini untuk minta
uang guna memberi makan adik-adikku serta biaya sekolah mereka.
sesudah dewasa, oleh Ibu aku dijodohkan dengan orang yang belum
aku kenal. sesudah menikah aku baru tahu bahwa ternyata suamiku
juga bekas Tapol (tahanan politik). Jadi Bapak dan suamiku samasama bekas Tapol. Hati yang sudah sakit menanggung derita menjadi
semakin sakit sesudah mengetahui itu semua. Belum lagi ternyata
suamiku pernah menghamili adik kandungnya sendiri sampai punya
anak satu laki-laki. Hatiku benar-benar hancur! Lebih dari itu, kalau
suamiku punya masalah dengan saudara-saudaranya, yang menjadi
sasaran amarah mereka adalah aku dan anak-anakku. Suamiku itu
orangnya kejam. Kalau menyiksa aku dan anak-anak, ia seperti sedang
menyiksa seekor binatang. Apa yang dipegangnya selalu dipakai
untuk memukulku. Banyak teman-teman yang menyuruh supaya
aku bercerai saja, tetapi aku sadar hal itu tidak mungkin karena aku
menikah di Gereja. Oleh karena itu, walau sepahit apa pun aku harus
tetap bertahan.
Melihat kehidupanku yang seperti itu, adik-adikku yang dulu aku
carikan makan dan biaya sekolah bukannya merasa kasihan melainkan
malah membenci aku. Alasan mereka karena aku miskin. Adik yang
ditinggal Bapak ke penjara saat ia berusia 6 bulan dan sekarang
sudah menjadi orang berhasil tidak terlalu mau tahu tentang hidupku.
Adik yang lain juga kurang bersahabat. Anaknya sering memusuhi
anak-anakku.
Tak Punya Tempat Tinggal
Tahun 1988 aku mulai tinggal di daerah Kalasan, di bagian timur
keraton yogya . Anakku baru berumur 5 tahun dan aku sedang
mengandung anak yang kedua yang usianya baru 4 bulan dalam
kandungan. Waktu anakku yang kedua lahir dan berumur 3 bulan
ada tetangga yang sengaja membuang sarang ayam (petarangan) yang
sedang dipakai induk ayam untuk mengerami anak-anaknya dan
banyak sekali kutunya. Sarang itu sengaja dibuang ke dinding rumah
kami yang terbuat dari bambu sehingga semua kutunya masuk ke
dalam rumah, persis di tempat kami tidur.
Kami sekeluarga pun dimakan kutu. Yang paling parah adalah
tubuh anakku si kecil. Dari kepala sampai ujung kaki tubuhnya banyak
dimakan kutu. Hal ini tidak hanya berlangsung sebentar, melainkan
dari usia 3 bulan hingga usia 1,5 tahun. Baru sesudah berusia 1,5 tahun
itu dia bisa sembuh. Setiap hari anakku yang besar selalu disakiti oleh
tetangga. Waktu anakku yang besar kelas 3 SD, ia ditenggelamkan
di sumber air di desa itu oleh orang-orang dewasa. Semula mereka
berpura-pura melatih renang. Yang seorang memegang tubuh anakku,
yang seorang lagi menenggelamkan kepalanya sampai pingsan karena
perutnya penuh air. Untunglah saat terjadi, hal itu segera diketahui
oleh orang yang baik sama aku meskipun dia sendiri pura-pura tak
mengenalku dan tak pernah mau menyapaku. Setiap kali ada orang
yang merencanakan suatu kejahatan kepada keluargaku, dia selalu
memberi tahu melalui temanku di kampung sebelah.
Hampir setiap hari anakku selalu ada yang menyakiti. Suatu
saat sesudah anakku yang kecil sekolah Taman Kanak-kanak, pulang
sekolah dia pergi bermain dengan empat orang anak lain. Begitu datang,
oleh anak-anak yang lain itu anakku ditendang. Dia pun jatuh, lalu
diinjak-injak oleh empat orang anak ini . saat Ibu Gurunya
lewat dan melihat hal itu, anakku lalu disuruh pulang. saat anakku
yang besar kelas 2 SMP dan pagi-pagi pukul 6 menunggu bus mau
berangkat sekolah sambil jongkok di pinggir jalan, tiba-tiba anaknya
Pak Lurah lewat naik motor mau sekolah juga. Sekonyong-konyong
dia berhenti di dekat anakku dan berulang kali melayangkan kakinya
di kepala anakku. Beberapa hari kemudian hal itu diulangi lagi.
Pada suatu hari Minggu pagi aku pergi ke pasar. Sepulang dari
pasar, aku ketahui bahwa anakku yang besar baru saja disiksa oleh
orang-orang desa. Ia dituduh telah mencuri sepeda dan dipaksa untuk
mengakui bahwa sepeda, ayam, lampu neon, dan barang-barang
lain yang hilang di desa itu anakkulah yang mencurinya. Padahal
sebenarnya malingnya ya mereka-mereka itu sendiri. Lalu anakku
ditelanjangi, disuruh jalan pakai tangan sementara kakinya di atas,
sambil dicambuk, dan dipukuli. Ia harus menjalani semua itu dari
pos ronda hingga ke desa sebelah, yang jaraknya kira-kira 200 meter.
Setiap kali anakku jatuh, ia lalu diinjak-injak pakai sepatu tentara.
Kemudian, ia disuruh jalan lagi sambil dicambuki dan diinjak-injak
sampai di desa sebelah. Yang menyiksa tetangga-tetangga, tapi mereka
sebenarnya adalah seorang Brimob, seorang Polisi, seorang anggota
AURI, dan seorang tentara. Ada juga yang namanya Gombloh. Si
Gom bloh ini sebenarnya pencurinya yang asli.
Sepulang dari pasar itu, aku melihat punggung dan wajah anakku
penuh luka. Hatiku benar-benar hancur. Meskipun demikian, aku
tetap berusaha sabar menerima semua ini. sesudah anakku sembuh,
ada pemuda yang pura-pura baik sama anakku. Ia mengajak anakku
mencari pasir di sungai. Katanya nanti kalau sudah mendapat banyak
pasir, pasir itu akan dijual dan uangnya akan dibagi dua. Anakku
dipaksa bekerja terus sementara dia hanya tiduran di pinggir sungai.
sesudah mendapat 2 rit pasir, pasir itu benar dijual. Satu rit pasir
harganya Rp 13.000,- . Dua rit pasir berarti harganya Rp 26.000,-.
Anehnya, anakku hanya diberi uang Rp 2.000,-. Mengetahui hal itu,
aku lalu melarang anakku untuk mencari pasir di sungai itu. Ia pun
men cari pasir di sungai lain dekat rumah, dan bisa mendapatkan 2 rit
pasir sendiri.
Suatu saat , sekitar pukul 8 pagi anaknya Pak Mkr, salah seorang
tetanggaku, datang membawa mobil Kijang. Dia bilang padaku mau
ambil pasir karena katanya sudah ia beli. Aku mengizinkannya, karena
aku mengira bahwa anakku telah menjual pasir kepadanya. Ternyata
anakku tak menjualnya. Aku pun lalu mengurus masalah ini ke rumah
Pak Mkr. Di rumah itu, anaknya Pak Mkr berkilah bahwa yang menjual
pasir kepadanya adalah pemuda yang namanya aku sebut di atas dan
uangnya sudah diberikan kepadanya. Anakku pun menangis. Aku
hanya bisa menghibur anakku dan bilang,“Begini nak, sudah diterima
saja. Barangkali pasir itu mau dibawa bekal mati.”
Entah kebetulan entah tidak, siang itu sekitar pukul13.00 saat
aku mau mengantar anakku yang kecil Sekolah Minggu, aku lihat
di depan rumah pemuda itu orang-orang desa pada berkumpul. Ada
banyak yang menangis. Lalu aku bertanya, ada apa kok orang-orang
pada berkumpul di situ. Orang-orang yang aku tanya menjawab
bahwa pemuda yang mengambil pasir anakku itu memanjat pohon
sengon guna mengambil daunnya untuk memberi makan sapinya. Di
pohon itu ia kesetrum listrik, jatuh, dan mati. Sekitar pukul 8.00 pagi
aku mengucapkan kata-kata di atas, sekitar pukul 13.00, kata-kata itu
menjadi kenyataan.
Peristiwa itu tidak pernah kulupakan dan menjadi pelajaran.
Keluargaku selalu disakiti, tetapi aku selalu sabar dan mengalah.
Dan ternyata ucapanku sering menjadi kenyataan. Aku yakin kalau
Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Adil. Tuhan tidak akan membiarkan
hambaNya. Tuhan menyuruhku memanggul “Salib” yang kecil, tetapi
karena aku kuat, aku pun disuruh memanggul Salib yang agak besar,
dan yang lebih besar lagi, dan seterusnya, dan ternyata aku kuat.
Tetapi kekuatanku itu semua datang dari Tuhan. Semua masalah dan
penderitaan dalam keluargaku, aku serahkan pada Tuhan, dan Tuhan
selalu memberikan aku kekuatan. Hinaan, fi tnah, siksaan, dan caci
maki, semua aku terima dengan hati sabar dan sikap mengalah.
Perlu aku jelaskan pemuda yang mati kena setrum listrik itu
namanya Msd. sesudah Msd mati seharusnya kematian itu menjadi
pelajaran bagi yang lain. Tetapi ternyata tidak ada yang menyadari
hal itu. Malah anakku tetap disiksa. Kepalanya di-plintheng (ditembak
dengan ketapel) pakai kelereng. Mlintheng-nya (cara mengetapelnya)
adalah dengan menempelkan ketapel itu di kepala. Akibatnya, kepala
anakku “bocor” dan berdarah di tiga tempat. sesudah anakku tidak
sekolah karena anakku sering sakit kepala akibat siksaan, anakku
mencari pasir untuk membuat batako. Saat pasirnya sudah banyak
dan mulai menggunung tiba-tiba Mbah Kaum datang membawa sapi
untuk dimandikan di sungai. Sebelum dimandikan sapi itu dibawa
berputar-putar di tumpukan pasir sampai pasir itu menjadi rata. Oleh
anakku pasir itu dikumpulkan kembali. Tetapi oleh Mbah Kaum sapi
dibawa berputar-putar lagi. akibatnya anakku marah, dan sapi dilempar
batu. Mbah Kaum balik marah-marah, tetapi waktu itu pertengkaran
bisa diselesaikan. Perlu diketahui Mbah Kaum ini adalah kakek dari si
anggota AURI di atas.
Seminggu sesudah pertengkaran dengan Mbah Kaum, saat
anakku sedang bermain di rumah temannya di desa lain, anakku
dicari si AURI-nya. Ia datang berdua dengan seorang anak tentara.
Anakku diajak pergi. Karena merasa tidak punya masalah anakku
tidak menaruh rasa curiga apa pun. Ternyata ia dibawa ke tengah
sawah, jauh dari penduduk. Di sana anakku disiksa oleh dua orang
itu. Ia diinjak-injak. Kepalanya dihantam pakai batu besar. sesudah
anakku pingsan mereka pergi. Untunglah ada orang yang lewat dan
menolong.
Anakku pun pulang. Sesampai di rumah ia menceritakan kejadian
itu padaku. Aku bertanya pada anakku, apakah dia bersalah atau tidak.
Kukatakan bahwa kalau dia bersalah aku tidak akan membelanya;
tetapi kalau dia tidak bersalah sampai di mana pun aku akan mengurus
dan membelanya. Anakku mengatakan,“Kalau Mamak (Ibu) tidak
percaya, lebih baik aku dibunuh saja Mak”. Berkat kata-kata itu
aku yakin kalau anakku tidak bersalah. Oleh karena itu aku pergi ke
kantornya AURI. Di sana aku menuju ke Penjagaan I. Dari Penjagaan
I aku diberi pengantar ke Penjagaan II dari penjagaan II aku diberi
pengantar ke Penjagaan III. Di Penjagaan III aku didamaikan, tetapi
aku tidak mau. Masalah pun diproses sampai ke Detasemen Polisi
Militer [Denpom]. Di Denpom, aku didampingi tiga orang pengacara.
Di ruang sidang, aku dikeroyok orang-orang satu desa yang jenisnya
laki-laki semua. Mereka datang ke Denpom. Tetapi alangkah malunya,
karena mereka semua diusir dari ruang sidang. Yang tinggal ya hanya
si AURI itu sendiri.
Esok harinya aku meninggalkan desa itu untuk pulang ke tempat
orangtuaku atas perintah dari Denpom. sesudah aku naik bus, Pak
Dukuh dan semua warga marah-marah. Mereka dendam padaku.
Lalu rumahku dirusak. Barang-barang seisi rumah dijarah. Batakonya
dicongkeli. Kayu-kayu, tiang, genteng semuanya habis. Kalau seperti
itu yang terjadi, siapa sebenarnya yang maling, anakku atau warga
desa? Sekarang aku tidak punya tempat tinggal. Anakku yang besar
stress, sedang yang kecil jadi trauma karena sering sekali kakaknya
disiksa di depan matanya dan dia sendiri juga jadi bulan-bulanan
mereka.
Dalam Lindungan Tuhan
Suatu waktu, anakku disuruh Bu Dukuh untuk menggilingkan padi,
tetapi lalu anakku difi tnah. Ada tetangga yang namanya Arjo Mblonot
mengatakan kepada Bu Dukuh bahwa saat menggilingkan padi itu
anakku mengurangi berasnya untuk dijual sendiri. Bu Dukuh percaya
dan melaporkan padaku bahwa anakku disuruh menggilingkan padi
tetapi malah mengurangi berasnya untuk dijual. Aku lalu bertanya
kepada Bu Dukuh, berapa kilo anakku mengurangi berasnya, kepada
siapa anakku menjualnya, dan apakah yang membeli beras itu yang
punya gilingan ataukah seorang bakul (penjual). Kalau yang membeli
itu seorang bakul, siapa nama bakul itu, rumahnya di mana, dan
dibelinya berapa rupiah. Bu Dukuh mengatakan bahwa dia tidak
tahu, dan hanya diberitahu. Lalu Bu Dukuh aku tanya yang bilang
siapa. Dia katakan, ya pokoknya ada. Lalu aku katakan,“Semua orang
punya nama. Kalau Ibu tidak mau menyebutkan namanya berarti
yang menuduh Ibu sendiri.” Akhirnya Bu Dukuh mengatakan bahwa
yang bilang padanya itu Arjo Mblonot. Aku pun pergi mencari Ar jo
Mblonot dan ketemu. Ia sedang memanen cabai di sawah. Awal nya
ia tidak mengaku, tetapi sesudah aku tanya apakah dia berani kupertemukan dengan Ibu Dukuh, dia mengaku.
Sebenarnya anakku sudah menurut saat disuruh oleh Bu
Dukuh untuk menggilingkan padi itu tanpa diberi upah, tetapi
anakku itu justru difi tnah. Karena anakku tidak bersalah maka aku
mengurus masalah itu ke tempat Pak Dukuh. Pak Dukuh menyuruh
aku menunjukkan siapa yang memfi tnah, tapi sesudah aku bilang yang
memfi tnah Bu Dukuh, Pak Dukuh marah-marah dan mengatakan
bahwa aku yang kelakuannya buruk. Lalu aku bilang, waktu Bu Dukuh
bilang hal itu ada saksinya. Pak Dukuh membentak dan menanyakan
siapa saksinya. Aku pun menarik orang disebelahku, namanya Minten.
Aku suruh Minten menirukan kata-kata Bu Dukuh. sesudah saksi
Minten selesai bicara, Pak Dukuh mukanya menjadi merah padam. Ia
pun pergi tanpa pamit.
sesudah aku meninggalkan desa Kalasan dan kembali ke kampung
halamanku, aku mengontrak rumah pamanku yang ditempati Iartikel singkat .
Di rumah itu yang memasang listrik adalah Iartikel singkat . Tiap bulan aku
juga ikut membayar pajak listrik. Tetapi entah mengapa, sesudah
Iartikel singkat meninggal aku disuruh pergi meskipun kontrakanku belum
habis. Kontrakanku masih 6 bulan lagi, tetapi aku sudah disuruh
pergi. Uang untuk pasang listrik yang sudah kami bayar tidak diganti.
Lalu aku pun pindah kontrakan ke rumah Bulik-ku (adik perempuan lesbian
orangtuaku). Kemudian salah seorang Pamanku menjual tanah yang
lalu dibeli kakakku yang tinggal di Jakarta. Tanah itu kini aku tempati
bersama adikku. Jadi aku sekarang numpang di atas tanah kakakku,
tetapi hanya boleh tinggal di situ selama aku masih hidup. Besok kalau
aku sudah meninggal anak-anakku mau tinggal di mana, aku tidak
tahu. Aku tak tahu nasib mereka besok.
Sekarang anakku yang besar jadi anak jalanan karena tak tahan
tinggal di rumah. Dia tidak tega melihat aku yang selalu dimusuhi
oleh adik-adikku sendiri. Dia mencari uang dengan cara ngamen
untuk bertahan hidup. Aku tidak malu punya anak ngamen. Yang
penting dia tidak berbuat kriminal. Walaupun jadi anak jalanan, dia
itu setia kawan. Teman-temannya menjadi saudaranya dalam susah
dan senang. Aku hanya bisa mendoakan mereka supaya mereka selalu
dalam lindungan Tuhan.
Tidak Lagi Minder
Memikirkan semua itu kadang aku sering merasa gelisah dan
termenung sendiri. Namun demikian, sesudah aku bergabung dalam
kelompok Kerabat Kerja Ibu Teresa (KKIT) aku jadi punya semangat
lagi. Semua masalah yang aku alami dalam keluargaku bisa aku
sharing-kan dengan Romo, Frater, dan teman-teman sesama anggota
KKIT. Oleh mereka, aku merasa masih dianggap sebagai orang seperti
orang-orang lainnya. Aku pun merasa masih berguna bagi orang lain.
Karena anakku yang besar stress, anakku yang kecil dibawa ke panti
asuhan di Ganjuran, keraton yogya , oleh Romo supaya aku bisa bekerja
dan memperhatikan anakku yang besar.
sesudah anakku yang kecil ikut seorang Suster [Biarawati] di
Ganjuran, Suster mempertemukan aku dengan seorang dokter ahli jiwa
dari Rumah Sakit Sardjito [keraton yogya ] bernama Dr. Mahar Agusno.
sesudah memeriksa anakku dan menanyakan nama orangtuanya dan
rumahnya di mana, beliau dan istrinya datang ke tempat tinggalku
dan seterusnya mempertemukan aku dengan Dr. Robert Lemelson
beserta kru-nya.99 Akhirnya, aku juga bisa bertemu dengan Dr.
Diah Larasati.100 Aku juga diperkenalkan dengan Romo Baskara
T. Wardaya, SJ,101 serta teman-teman anggota Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Syarikat Indonesia. Kini, aku merasa mempunyai
tempat untuk mengadu. Anak-anakku juga mulai merasa aman dan
tidak lagi minder.
Menuai “Hasil”
Aku adalah anak dan istri Tapol. Bapakku adalah seorang tahanan
politik “lulusan” Pulau Nusa Kambangan. Aku dijodohkan dengan
laki-laki yang belum aku kenal, yang beberapa bulan sesudah menikah
baru kuketahui bahwa dia adalah eks-tahanan politik “lulusan” Pulau
Buru. Walau aku dan anak-anakku hidup di luar penjara, tetapi siksaan
lahir dan batin, siksaan jiwa dan raga yang kami alami sama rasanya
dengan yang berada di dalam penjara.
Seperti kukatakan tadi, anakku yang besar mengalami stress
akibat siksaan badan yang dia alami. Anakku yang kecil trauma
seumur hidup. Di mana-mana ia selalu diperlakukan seperti binatang
yang menjijikkan. Mereka yang memperlakukan demikian, merasa
seolah-olah mereka itu orang suci tanpa dosa. Meskipun demikian,
saya percaya dengan pepatah yang mengatakan bahwa siapa yang
membikin tentu akan memakai, dan siapa yang menanam pasti suatu
saat nanti akan menuai.
Dengan kata lain, apa yang kita perbuat suatu saat nanti akan
kembali kepada kita. Seperti tadi aku ceritakan, orang-orang yang
memfi tnah aku dan menyiksa anakku sudah banyak yang menuai
“hasil” dari berbagai macam perbuatan mereka.
Orang yang menyebar fi tnah dan mengatakan bahwa aku melacur,
sekarang anaknya sendiri jadi pelacur atau menjadi germo di tempat
pelacuran. Ada juga yang matanya buta. Orang yang pernah menyiksa
anakku tertangkap saat mencuri, lalu dihajar massa. Yang satu mati,
yang satu kakinya patah dan cacat seumur hidup. Orang yang
mengatakan bahwa saat aku melahirkan anakku yang kecil, aku tidak
punya apa-apa dan mengklaim dia yang membiayai, akhirnya ketabrak
mobil, gegar otak, dan jadi orang kenthir (setengah gila). Sementara
itu, anaknya yang laki-laki matanya buta dan menjadi setengah gila
seperti bapaknya. Masih banyak lagi yang sudah mendapat “imbalan”
atas perbuatan jahat mereka terhadap keluargaku.
Tanda dari Tuhan
Beberapa waktu lalu aku bermimpi. Aku menyeberangi sungai besar
sambil menggendong anakku yang kecil, air sungai berwarna coklat
dan dalamnya air sebatas dadaku, tapi anehnya aku tidak terbawa
arus. Aku dan anakku selamat sampai di seberang sungai. Dua
minggu sesudah mimpi, anakku mengalami kecelakaan. Waktu dia
sedang berjalan sendirian di tepi jalan ia jatuh dan tulang pundak
kirinya patah. Ia pun menjalani operasi dan dipasangi pen. Operasi itu
menghabiskan biaya puluhan juta rupiah. Aku bingung, mau bayar
pakai apa. Adik-adikku yang dulu aku carikan makan tidak mau tahu.
Selama 12 hari anakku berada di rumah sakit, tidak ada adikku yang
menengok. Tetapi Tuhan Maha adil. Aku mendapat bantuan dari
teman-teman dan orang-orang yang simpati padaku, sehingga jadi
lebih ringanlah bebanku.
Sebelum itu, aku juga pernah bermimpi lain. Dalam mimpi itu
kemanapun aku pergi jalan yang aku lewati selalu sampai di kuburan
yang luas sekali dan singup (sepi mencekam). Tidak ada orang lewat di
situ. Lalu aku berbalik arah melalui jalan lain. Di situ terdapat kuburan
lagi, dan terus seperti itu sampai aku terbangun. sesudah aku pikir apa
artinya mimpiku itu, aku menguatkan hati untuk menghadapi semua
masalah yang ada. Jadi, semua masalah harus aku hadapi bukan aku
hindari. Kalau aku menghadapi masalah-masalah yang ada dengan
tabah dan berserah kepada Tuhan, aku yakin Tuhan pasti akan memberi
kekuatan padaku. Ternyata keyakinanku itu benar: semuanya dapat
aku lalui dengan sabar.
Dalam mimpi yang berbeda, aku bersama kedua anakku pergi ke
sawah untuk menanam kacang tanah. Anak-anakku dan aku berjalan
melewati sungai kecil di tengah sawah yang airnya jernih sekali. Di
kiri-kanan jalan setapak yang kami lewati tanaman padinya subur,
hijau. Tiba-tiba aku dan anak-anakku sudah berada di tengah-tengah
sebuah kuburan yang luas sekali dan tidak ada jalan keluar. Saat itu,
tiba-tiba aku terbangun.
Dan di suatu malam lain aku bermimpi lagi. Aku sedang berjalan
ke arah utara. Tiba-tiba saja jalan yang aku lalui itu banjir sampai
setinggi lutut. Tapi, banjirnya lumpur, dan lumpurnya itu kotoran
sapi dan kerbau bercampur dengan air. Anehnya di kiri-kanan jalan
semuanya kering. Setiap aku mau naik ke tempat yang kering,
lumpur itu ikut mengalir ke tempat yang aku lalui. Aku terbangun
dan aku mencari apa arti mimpiku. Kata almarhum Iartikel singkat , kalau
aku bermimpi mendapatkan barang yang busuk artinya aku akan
mendapatkan sesuatu yang baik. Dan ternyata memang benar. Sejak
saat itu aku mulai mendapatkan sinar terang. Keluargaku mulai
mendapat pertolongan dari mana-mana dan dukungan datang dari
berbagai pihak. Walau masalah yang aku hadapi semakin berat, aku
sudah kebal dengan penderitaan dan aku bisa menghadapinya dengan
tersenyum.
Suatu saat aku bermimpi anakku yang besar diajak nyebur
(masuk) ke sungai oleh anak tetangga, yakni ke sungai Opak di dekat
Candi Prambanan, keraton yogya . Sungai itu tampak luas, dalam, dan
airnya yang berwarna coklat penuh sampai meluap. Anak tetangga
itu lalu naik ke daratan sedangkan anakku hanyut. Tubuhnya timbultenggelam, sebelum akhirnya hilang.
Beberapa hari kemudian ada kejadian menyedihkan. Ada anak
tetangga yang pendiam (dia juga pendatang seperti aku) disuruh
mengajak anakku mencuri sepeda yang sudah diletakkan di tengah
sawah. Anak itu diancam, kalau tidak mau melakukan dia akan
dibunuh. Oleh karena itu, anak ini mau mengajak anakku
mengambil sepeda tadi. sesudah sepeda diambil anakku yang masih di
bawah umur itu disiksa sampai hampir mati oleh orang-orang desa.
Sementara anak yang mengajaknya umurnya 18 tahun dan tidak
diapa-apakan. sesudah kejadian itu aku baru ingat akan mimpiku dan
aku baru menyadari bahwa sebenarnya mimpiku itu merupakan suatu
tanda bahwa akan terjadi sesuatu di dalam keluargaku. Tujuannya
supaya aku siap mental.
Seingatku, atas semua peristiwa yang akan terjadi di dalam
keluargaku, sebelumnya aku selalu bermimpi menjelang pagi. Waktu
aku belum lama tinggal di Kalasan, aku bermimpi bahwa aku berada
di dalam suatu jurang yang sangat dalam. Di situ tidak ada rumput
sama sekali. Yang ada, di mana-mana hanyalah sarang cacing dan
binatang-binatang yang menjijikkan seperti lintah dan kaki-seribu
(luwing). Tanahnya lembab dan kumuh. Aku mau naik ke atas, tetapi
tidak ada pegangan. Di atas jurang itu ada pohon bambu yang sangat
rimbun. Rantingnya banyak sekali dan masih muda sehingga lugut
atau bulu-nya yang bikin gatal itu banyak sekali. Karena aku ingin
bisa sampai ke atas, aku nekat memegang ranting bambu yang banyak
bulu gatalnya itu. Walau akhirnya badanku gatal sekali dan penuh
luka, aku berhasil sampai di atas dan persis saat itu aku terjaga dari
tidurku.
Selang beberapa hari kemudian aku menerima berbagai fi tnah
yang menjijikkan dan sangat menyakitkan hati. Antara lain dikatakan
bahwa aku ini melacur, bahwa aku diajak selingkuh dengan siapa
saja mau. Fitnah itu terjadi awalnya karena ada tetangga yang mau
kurang ajar denganku, tapi aku tolak. Ada lagi fi tnah-fi tnah yang
lain. Katanya, sesudah aku tinggal di desa itu ayamnya sering hilang.
Padahal istrinya bilang padaku bahwa ayamnya sering dijual suaminya
untuk berjudi. Seperti kusebut di atas, anak-anakku juga tidak luput
dari berbagai fi tnah. sesudah banyak kejadian seperti itu, aku baru
bisa memahami bahwa mimpiku merupakan tanda-tanda akan terjadi
sesuatu terhadap keluargaku dan supaya aku siap mental.
Tentang mimpi-mimpiku itu, menurutku semuanya merupakan
tanda atau pemberitahuan dari Tuhan. Aku membiasakan diri tidur
sesudah lewat pukul 12 malam. Dengan demikian, mimpi-mimpiku
itu adalah mimpi yang sesungguhnya dan bukan mimpi karena
kebanyakan tidur.