pendidikan islam

 



Sejarah perjalanan bangsa Indonesia, tidak terlepas dari peran umat Islam, 
khususnya dalam perjuangan mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia. 
Melalui bidang pendidikan, para tokoh-tokoh Islam menetapkan pendidikan 
Islam untuk memperkuat pondasi agama dan bagi rakyat untuk melawan 
sistem pendidikan yang dibawa oleh penjajah Belanda. Sistem pendidikan Islam 
menjadi satu-satunya pendidikan formal yang memiliki sistem dan pengelolaan 
tersendiri yang berbeda dengan sistem pendidikan yang dibawa oleh Belanda. 
Peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketat dan keras 
terhadap aktivitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, tidak 
membuat pendidikan Islam menjadi lumpuh dan porak poranda. Sebaliknya, 
jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik, di mana para ulama dan kyai 
bersikap non cooperative dengan Belanda dan mereka pun menyingkir dari 
tempat yang dekat dengan Belanda. Tekanan yang serupa dialami sistem 
pendidikan Islam di jaman pendidikan Jepang. Di mana pemerintah Jepang 
mewajibkan guru untuk belajar bahasa Jepang dan mewajibkan hormat kepada 
Tenno (Kaisar). Kekuatan prinsip para ulama tokoh pendidik Islam telah 
menunjukkan kemampuan pendidikan Islam bertahan sesuai dengan prinsip 
Islam, tanpa pengaruh dari kekuatan manapun yang sedang berkuasa. 
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak terlepas dari umat 
Islam, termasuk dalam perjuangan mengusir penjajah. Umat Islam sebagai 
umat yang mayoritas dalam negeri ini tentunya mempunyai tanggungjawab 
moral untuk menata dan membangun negeri ini. Dalam bidang pendidikan 
para tokoh-tokoh Islam menetapkan fondasi pendidikan Islam yang di masa 
penjajahan tidak terakomodir oleh pemerintah penjajah. Pendidikan Islam 
tidak dimasukkan sebagai mata pelajaran terutama sekolah-sekolah yang 
dibangun oleh pemerintah penjajah. Karena itu para tokoh Islam mendirikan 
sekolah dan menampung orang-orang Islam untuk diberikan pendidikan 
Agama Islam ,
Sebelum Belanda datang ke Indonesia dengan memperkenalkan 
sekolah-sekolah dan sistem modern sebagaimana berkembang di Barat, 
Indonesia sudah mempunyai sistem pendidikan formal yaitu sistem 
pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam selaku satu-satunya pendidikan 
formal yang ada pada masa itu memiliki sistem dan pengelolaan tersendiri 
yang berbeda dengan sistem pendidikan yang dibawa oleh Belanda ,
Pendidikan di Indonesia selama penjajahan Belanda dapat 
dikelompokkan kedalam dua priode, yaitu periode VOC (Vereenigde Oost-
indische Compagnie) dan priode pemerintah Hindia Belanda 
(NederlandsIndie). Pada periode VOC, pendidikan di Indonesia didasarkan 
pada prinsip bisnis yaitu berdasarkan untung rugi dalam hukum-hukum 
ekonomi. VOC tidak segan-segan untuk berperang bila ada yang menghalagi 
tujuan mareka. Ini bisa perhatikan dari hak aktroinya yang terdapat dalam 
suatu pasal yang berbunyi: “Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila 
perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan agama Kristen dengan 
mendirikan sekolah (Arif Subhan, 2012:45). Hal ini menyebabkan 
terpecahnya pendidikan yang ada di Indonesia. Di satu pihak adanya 
pendidikan dengan sistem pesantren dengan orientasi agama saja. Di pihak 
yang lain adanya pendidikan dengan sistem barat dengan orientasi sekuler 
yang tidak mempedulikan agama. 
Pecahnya sistem pendidikan di Indonesia tentu tidak menguntungkan 
bagi perkembangan masyarakat Indonesia. Di satu sisi diperlukan 
pemahaman untuk mengetahui perkembangan dunia luar dengan metode 
dan teknologi yang dikembangkan oleh barat. Di sisi lain juga dibutuhkan 
pemahaman keagamaan sebagaimana telah ditanamkan sebelum VOC datang 
ke Indonesia. Untuk memadukan dua sistem ini kemudian muncul madrasah-
madrasah yang berkelas, memakai bangku dan meja yang dipelopori oleh 
para pembaharuan di Indonesia. 
Setelah Belanda ditaklukkan oleh Jepang di Indonesia pada tanggal 8 
Maret 1942, maka Belanda angkat kaki dari Indonesia semenjak itu mulailah 
penjajahan Jepang di Indonesia. Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia, 
bangsa Jepang bercita-cita besar menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Sejak 
tahun 1940 Jepang berencana untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia 
Raya. Dalam rencana tersebur Jepang menginginkan menjadi pusat suatu 
lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah mansyuria, daratan Cina, 
kepulauam Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand. 
Oleh karena itu rencana “kemakmuran bersama Asia Raya” dianggap 
sebagai suatu keharusan. Dengan semboyan “Asia untuk bangsa Asia” Jepang 
menguasai daerah yang berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa yang antara 
lain menghasilkan 50% poduksi karet dan 70% timah dunia. Indonesia yang 
kaya sumber bahan mentah merupakan sasaran yang perlu dibina dan 
dimanfa’atkan sebaik-baiknya untuk kepentingan perang Jepang. Sehingga 
Jepang menyerbu Indonesia, karena tanah air Indonesia merupakan sumber 
bahan-bahan mentah yang kaya raya dan tenaga manusia yang banyak 
tersebut sangat besar artinya demi kelangsungan perang pasifik, dan hal ini 
sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya 
Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda 
Pemerintah Belanda mulai menjajah di Indonesia pada tahun 1619 M, 
yaitu ketika Jan Pieter Coen menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan 
Agung Mataram yang bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatullah Sayidin 
Panotogomo. Menurut Zuhairini, (2011:146), pada zaman Sultan ini, 
hitungan tahun Saka diasimilasikan dengan tahun Hijriyah yang berlaku di 
seluruh negara.  
Sejak zaman VOC, terutama ketika Van den Bosh menjadi Gubernur 
Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-
sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah  
Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan 
satu dan di tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen. 
Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif 
merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat 
membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati 
tersebut sebagai berikut: “Dianggap penting untuk secepat mungkin 
mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan 
membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah 
untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara” 
Jiwa dari surat edaran di atas menggambarkan tujuan daripada 
didirikannya sekolah dasar pada zaman itu. Pendidikan agama Islam yang 
ada di pondok-pondok pesantren, masjid, mushalla, dan lainnya dianggap 
tidak membantu pemerintah Belanda. Bahkan, para santri pondok masih 
dianggap buta huruf latin. Dengan demikian para santri tidak bisa memahami 
undang-undang yang telah dibuat. 
Menurut Samsul Nizar (2008:307-308) politik yang dijalankan oleh 
pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas beragama 
Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen 
dan rasa kolonialismenya. Dengan begitu mereka menerapkan peraturan dan 
kebijakan sebagai berikut:  
a) Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus 
yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam 
yang disebut “Priesterraden.” Atas nasihat dari badan inilah maka pada 
tahun 1905 M pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang isinya 
bahwa orang yang memberikan pengajaran (baca: pengajian) harus minta 
izin terlebih dahulu. 
b) Kemudian pada tahun 1925 M pemerintah Belanda mengeluarkan 
peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan Islam, yaitu bahwa 
tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pengajaran. Peraturan ini 
diberlakukan karena adanya gerakan organisasi pendidikan yang sudah 
tampak tumbuh, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat 
Islam (PSI), Al-Irsyad, dan lain-lain. 
c) Pada tahun 1932 M keluar pula peraturan yang memberantas dan 
menutup madrasah dan sekolah yang tidak diberikan izin untuk 
memberikan pengajaran atau memberikan pelajaran yang tidak disukai 
oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde 
School Ordonantie). Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan 
Nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928 M, yaitu berupa Sumpah 
Pemuda. 
Jika dicermati peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang 
demikian ketat dan keras mengenai pengawasan, tekanan dan 
pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, 
maka seolah-olah dalam waktu yang tidak lama pendidikan Islam di 
Indonesia akan menjadi lumpuh dan porak poranda. Akan tetapi, apa yang 
disaksikan sejarah adalah kenyataan sebaliknya. Jiwa Islam tetap terpelihara 
dengan baik. Para ulama dan kyai bersikap non cooperative dengan Belanda 
dan mereka pun menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda 
Pada masa kolonial Belanda pendidikan Islam di sebut juga dengan 
bumiputera, karena yang memasuki pendidikan Islam seluruhnya orang 
pribumi Indonesia. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga 
macam, yaitu: 
1) Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam; Sistem ini merupakan sistem 
pendidikan yang masih menggabungkan antara sistem pendidikan Hindu 
dengan Islam.  Sistem ini dilaksanakan dengan cara, guru mendatangi 
murid-muridnya. yang menjadi murid-muridnya adalah anak-anak para 
bangsawan dan kalangan keraton. Sebaliknya, sistem pertapa, para murid 
mendatangi guru ke tempat pertapaanya. adapun murid-muridnya tidak 
lagi terbatas pada golongan bangsawan dan kalangan keraton, tetapi juga 
termasuk rakyat jelata. 
2) Sistem pendidikan surau (langgar) 
Sistem pendikan di surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas, 
murid dibedakan sesuai dengan tingkatan keilmuanya, proses belajarnya 
tidak kaku sama muridnya (Urang Siak) diberikan kebebasan untuk 
memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki. Dalam proses 
pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis, yang ada 
hanya kitab kuning merupakan sumber utamnya dalam pembelajaran. 
Metode utama dalam proses pembalajaran di surau dengan memakai 
metode ceramah, membaca dan menghafal. Materi pembelajaran yang 
diberikan Syeikh kepada urang siak dilaksanakan sambil duduk di lantai 
dalam bentuk setengah lingkaran. Syeikh membacakan materi 
pembelajaran, sementara murid menyimaknya dengan mencatat beberapa 
catatan penting di sisi kitab yang dibahasnya atau dengan menggunakan 
buku khusus yang telah disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini terkenal 
dengan istilah halaqoh. 
3. Sistem Pendidikan Pesantren  
Metode yang digunakan adalah metode sorogan, atau layanan individual 
yaitu bentuk belajar mengajar dimana Kiyai hanya menghadapi seorang 
santri yang masih dalam tingkatan dasar atau sekelompok kecil santri 
yang masih dalam tingkatan dasar. Tata caranya adalah seorang santri 
menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiyai, kemudian kiyai membacakan 
beberapa bagian dari kitab itu, lalu santri mengulangi bacaan sampai 
santri benar-benar membaca dengan baik. Bagi santri yang telah 
menguasai materi lama, maka ia boleh menguasai meteri baru lagi.   
Metode wetonan dan bandongan, atau layanan kolektif ialah metode 
mengajar dengan sistem ceramah. Dalam metode ini kyai biasanya 
membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang 
sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak bacaan kyai sambil 
membuat catatan penjelasan di penggir kitabnya. Metode Musyawarah 
Adalah belajar dalam bentuk seminar (diskusi) untuk membahas setiap 
masalah yang berhubungan dengan materi pembelajaran-pelajaran santri 
ditingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu 
santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah 
ditentukan kiyainya. Kiyai harus menyerahkan dan memberi bimbingan 
seperlunya.
Kurikulum Pesantren Menurut Karel A Steenbrink (1984:39) 
semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren 
sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar 
pendidikan dari Belanda. Berdasarkan wawancaranya dengan para kiyai, dia 
mengkomplikasi kitab kuning meliputi kitab-kitab fikih, baik fikih secara 
umum maupun fikih ibadah, tata bahasa Arab, ushuludin, tasawuf dan tafsir. 
Dari hasil penelitian Van De Berg tersebut, Karel A. Steenbrink 
menyimpulkan antara lain kitab-kitab yang dipakai di pesantren hampir 
semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam. Pada umumnya 
pendidikan di pesantren mengutamakan pelajaran fikih. Namun sekalipun 
mengutamakan pelajaran fikih mata pelajaran lainya tidak diabaikan sama 
sekali. Dalam hal ini mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu alat, 
pembinaan iman, dan akhlak sangat diperlukan. Pengajaran bahasa Arab 
adalah ilmu bantu untuk pemahaman kitab-kitab agama. Pengajaran bahasa 
Arab tersebut terdiri dari beberapa cabang dan tingkatan sebagai dasar bagi 
santri untuk melakukan pengajian kitab dengan begitu, santri harus memiliki 
pengetahuan bahasa Arab terlebih dahulu sebelum pengajian kitab yang 
sebenarnya dilaksanakan. Pengajian kitab yang dimaksudkan itu adalah 
pengajian fikih dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Kitab-kitab fikih 
tersebut ditulis dalam bahasa Arab.  
Tetapi setelah melihat perkembangan lebih lanjut, seperti 
peningkatan jumlah madrasah dan sekolah-sekolah swasta sebagai institusi 
pendidikan di luar sistem persekolahan pemerintah, kalangan pemerintah 
semakin hati-hati terhadap sikap netral mereka selama ini. Masalah Islam 
yang menjadi sumber kekhawatiran pemerintah tersebut agaknya tidak 
terbatas adanya institiusi pendidikannya saja.  
Lebih jauh dari itu, mereka memandang kemungkinan pendidikan 
Islam tersebut memengaruhi sekolah-sekolah swasta lainnya. Adanya latar 
belakang tersebut pemerintah Belanda merubah sikapnya dalam menghadapi 
kemungkinan buruk yang bakal timbul dari peningkatan jumlah madrasah 
dan sekolah-sekolah agama.Sebagai tindakan pencagahan, dikeluarkan 
ordonansi tanggal 28 Maret 1932 Lembaran Negara no 136 dan 260 isinya 
berupa pembatasan kebebasan mengajar bagi guru-guru sekolah 
swasta.Sistem ini tidak memberi keuntungan bagi perkembangan institusi 
pendidikan Islam. Bahkan dalam ordonansi yang dikeluarkan tahun 1932, 
dinyatakan bahwa semua sekolah yang tidak dibangun pemerintah atau tidak 
memperoleh subsidi dari pemerintah, diharuskan minta izin terlebih dahulu, 
sebelum sekolah itu didirikan. Dengan kebijakan ini pemerintah kolonial 
Belanda mendapat reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam terlebih 
di Minangkabau. Hal ini karena umat Islam Minangkabau melihat adanya 
“sesuatu” yang akan merugikan Agama Islam jika kebijakan ini dilaksanakan. 
Atas reaksi yang sedemikian besar, akhirnya pemerintahan Belanda melalui 
Gubernur Jendralnya memberi jawaban bahwa ordonansi guru di 
Minangkabau belum ada niat kapan untuk dilaksanakan. Lambat laun 
kebijakan ordonansi guru tidak jalan dan akhirnya kebijakan ini di batalkan 
dan hilang dari peredaran. Walaupun sebelum keputusan ini di buat 
sesungguhnya Belanda telah berusaha membujuk beberapa tokoh Islam 
Minangkabau untuk mendukung pelaksanaan ordonansi ini, namum mereka 
tidak berhasil. 
Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang 
Jepang menjajah Indonesia setelah berhasil mengusir pemerintah 
Hindia Belanda dalam Perang Dunia II. Meraka menguasai Indonesia pada 
tahun 1942, dengan membawa semboyan: “Asia Timur Raya untuk Asia.” 
Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakkan diri 
seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan suatu siasat 
untuk kepentingan Perang Dunia II. Untuk mendekati umat Islam Indonesia 
mereka menempuh berbagai kebijaksanaan, antara lain: 
1) KUA (Kantor Urusan Agama) yang pada zaman Belanda disebut Voor 
Islamistische Saken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda, 
diubah oleh Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama 
Islam sendiri yaitu KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang, Jawa Timur. 
2) Pondok-pondok pesantren besar sering mendapat kunjunan dan bantuan 
dari pembesar Jepang. 
3) Pemerintah Jepang mengizinkan pembentuka barisan Hisbullah untuk 
memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam. 
4) Pemerintah Jepang juga mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di 
Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan 
Mohammad Hatta. 
5) Para ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis 
diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA). 
6) Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut 
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan. 
 
Maksud dari pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan 
membela kepentingan Islam tidak lain hanyalah upaya Jepang menyusun 
kekuatan dari umat Islam dan nasionalis Indonesia agar dapat dibina demi 
kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang. Dunia 
pendidikan yang seharusnya dikembangkan tetapi secara umum 
terbengkalai. Para siswa di sekolah tiap harinya hanya disuruh gerak badan, 
baris-berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. 
Mereka tidak mendapatkan pengajaran yang layak sebagaimana mestinya 
Adapun tujuan pendidikan masa penjajahan Jepang secara garis besar 
meliputi 2 hal pokok, yaitu untuk mempertebal akan keyakinan Islam itu 
sendiri dan mempertahankan hak-hak manusia dengan jalan politik atau 
perlawanan perang. 
Tujuan pendidikan yang dicantumkan pada pendidikan Islam ketika 
zaman penjajahan Jepang antara lain: 
1) Asas tujuan Muhammadiyah: mewujudkan masyarakat Islam yang 
sebenarnya dan asas perjuangannya dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi 
munkar. 
2) I.N.S (Indonesische Nederlanshe School) dipelopori oleh Muhammad 
Syafi’I pada tahun 1899-1969, yang bertujuan mendidik anak agar 
berpikir rasional, bekerja dengan sungguh-sungguh, dan membentuk 
manusia yang berwatak dan menanamkan persatuan. 
3) Tujuan Nahdlatul Ulama, sebelum menjadi partai politik, memegang teguh 
empat mahzab, di samping mengerjakan apa-apa yang menjadi 
kemaslahatan umat Islam itu sendiri. mengatakan bahwa, sikap penjajah Jepang 
terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak 
pendidikan lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial 
Belanda. Hal ini memberikan kesempatan bagi pendidikan Islam untuk 
berkembang: 
1) Pada masa awal pendudukan Jepang, madrasah berkembang dengan cepat 
terutama dari segi kuantitas. Hal ini dapat dilihat terutama di daerah 
Sumatra yang terkenal dengan madrasahnya, yang diilhami oleh majlis 
ulama tinggi.  
2) Pendidikan agama di sekolah Sekolah negeri diisi dengan pelajaran budi 
pekerti. Hal ini memberi kesempatan pada guru agama Islam untuk 
mengisinya dengan ajaran agama, dan di dalam pendidikan agama 
tersebut juga di masukan ajaran tentang jihad melawan penjajah 
3) Perguruan tinggi Islam Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya 
sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, KH. 
Muzakkar, dan Bung Hatta. Walaupun Jepang berusaha mendekati umat 
Islam dengan memberikan kebebasan dalam beragama dan dalam 
mengembangkan pendidikan namun para ulama tidak akan tunduk 
kepada pemerintahan Jepang, apabila mereka menggangu akidah umat hal 
ini kita dapat saksikan bagaimana masa Jepang ini perjuangan KH. Hasyim 
Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang yang 
memerintahkan untuk melakukan seikere (menghormati kaisar jepang 
yang dianggap keturunan dewa matahari).  
 
Akibat sikap tersebut beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang 
selama 8 bulan. Ramayulis juga menyimpulkan bahwa, meskipun dunia 
pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-muridnya sekolah 
setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris-berbaris, kerja bakti, bernyanyi 
dan sebagainya. Yang agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang ada 
di dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengwasan langsung 
pemerintah pendudukan Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren masih 
dapat berjalan secara wajar.  
Ada satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan yang 
diterapkan Jepang yakni penerapan sistem pendidikan militer. Sistem 
pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk kepentingan perang. Siswa 
memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan harus mampu 
menghapal lagu kebangsaan Jepang. Begitu pula dengan para gurunya, 
diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai 
pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru 
wajib mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan oleh pemerintah 
Jepang. Dengan demikian sistem pendidikan yang diterapkan Jepang di 
Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan sistem 
pendidikan yang diterapkan Belanda yakni pendidikan masa penjajahan 
Belanda bersifat lebih liberal namun terbatas untuk kalangan tertentu saja, 
sementara pada masa Jepang konsep diskriminasi tidak ada tetapi terjadi 
penurunan kualitas secara drastis baik dari sisi keilmuan maupun mutu 
 murid dan guru. Kondisi ini tidak terlepas dari target pemerintah Jepang 
melalui pendidikan, Jepang bermaksud mencetak kader-kader yang akan 
mempelopori dan mewujudkan konsep kemakmuran bersama Asia Timur 
Raya yang diimpi-impikan Jepang. Satu hal yang menarik untuk dicermati 
adalah adanya pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang agar 
masyarakat Indonesia terbiasa melakukan penghormatan kepada Tenno 
(Kaisar) yang dipercayai sebagai keturunan dewa matahari (Omiterasi 
Omikami). Sistem penghormatan kepada Kaisar dengan cara 
membungkukkan badan menghadap Tenno, disebut dengan Seikeirei. 
Penghormatan Seikerei ini, biasanya diikuti dengan menyanyikan lagu 
kebangsaan Jepang (kimigayo). Tidak semua rakyat Indonesia dapat 
menerima kebiasaan ini, khususnya dari kalangan Agama. Penerapan 
Seikerei ini ditentang umat Islam, salah satunya perlawanan yang dilakukan 
KH. Zainal Mustafa, seorang pemimpin pondok pesantren Sukamanah Jawa 
Barat. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Singaparna ,
Dari uraian makalah di atas, dapat dipahami intisari dari pendidikan 
Islam masa pendudukan Belanda dan Jepang, bahwa Pendidikan pada Islam 
masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda sangat 
membatasi aktivitas madrasah dan guru yang mengajar di madrasah. Mereka 
melakukan itu karena perasaan takut terhadap Umat Islam yang sudah mulai 
berkembang. 
Sementara pada saat Jepang berkuasa pendidikan Islam sedikit lebih 
bebas ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Akan tetapi 
Jepang dengan misinya, mewajibkan guru untuk belajar bahasa Jepang dalam 
memberikan pelajaran dan mengganti bahasa Belanda menjadi bahasa 
Indonesia, termasuk mewajibkan hormat kepada Tenno (Kaisar). Inilah yang 
oleh tokoh Islam tidak diterima akhirnya mereka ditangkap.