ilmu ushul fiqh 1

 



Alquran sebagai way of life bagi umat manusia secara garis 

besar mengandung dasar-dasar tentang akidah, syari’ah dan akhlak 

bagi keberlangsungan kehidupan makhluk di jagad raya ini. Tujuan 

pembuatan, penetapan, dan pembebanan hukum Islam yaitu  untuk 

mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umatnya, sesuai dengan 

firman Allah swt. dalam Q.S. an-Nahl [16]: 90.  

 

 ِشٌَ ْ٘ ُٔ ُْ ح َٝ  ِءخَشَْللُْ ح ِٖ َػ ٠َْٜ٘ َ٣ َٝ  ٠َرُْشوُْ ح ١ِر ِءَخظ٣ِا َٝ  ِٕ خَغْك ِْلْح َٝ  ٍِ ْذَؼُْ ِخر ُش ُٓ

َْؤ٣ َ َّﷲ َّٕ ِا

 : َلـُ٘ح( ُٕٝشًَّ ََزط ْْ ٌُ َََِّؼُ ْْ ٌُ ُظَِؼ٣ ٢ِ ْـ َزُْ ح َٝ90) 

 

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan 

berbuat kebajikan, memberikan bantuan kepada kerabat, 

dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, 

kemunkaran, dan permusuhan. Dia memberikan 

pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil 

pelajaran.  

 

Oleh karena itu sistem hukum Islam selalu menfasilitasi dan 

mengakomodasi segala hajat hidup manusia sesuai dengan 

tingkatannya, baik yang bersifat primer (dhaurriyah), sekunder 

(hajiyah), atau tersier (tahsiniyah).1 Dalam  perspektif hukum Islam, 

                                                           

yang dimaksud dengan hajat hidup primer (dharuriyah) meliputi 

segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia di 

dunia dan akhirat. bila  hidup dharuriyah ini tidak terwujud, maka 

akan cederalah arti kehidupannya. Adapun hajat hidup sekunder 

(hajiyah) meliputi segala yang dibutuhkan untuk menghindari 

kesulitan dan menghilangkan kepicikan.  bila  hajat hidup hajiyah 

ini tidak terpenuhi, arti kehidupan tidak akan tercederai, tetapi akan 

menimbulkan kesupaya n dan kepicikan. Adapun hajat hidup yang 

bersifat tersier (tahsiniyah) yaitu  kebutuhan manusia untuk 

mempergunakan segala yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh 

adat kebiasaan baik sebagaimana tercermin dalam akhlak yang 

mulia. Segala bentuk pembuatan, penetapan, dan pembebanan 

hukum harus mengacu pada nilai-nilai filosofis ini. 

Penjelasan tentang isi kandunga n Alquran dijabarkan oleh 

Rasulullah saw. sebagai penafsir awal atas firman Allah swt.  Ketika 

Rasulullah masih hidup, setiap kasus yang timbul dapat segera 

diketahui jawabannya berdasar  nash Alquran serta penjelasan 

dan interpretasi Rasul yang kemudian dikenal menjadi Sunahnya 

sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS Al-Nahl ayat 44 :  

 

 : َلـُ٘ح( ْْ ـِٜ ـ٤َْـُا ٍَ ِّضُـٗ خـ َٓ  ِطخ ّـَ٘ـُِِ َٖ ِّ٤َزُـظِـُ َشـ ًْ ِّزُح َيـ٤ِْـُا خَـ٘ـُْ َضـْٗ َأ َٝ44) 

 

Artinya : Dan Kami telah menurunkan kepadamua Alquran agar 

kamu agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa-

apa yang telah diturunkan kepada mereka. 

 

Akan tetapi  pada masa-masa berikutnya, kehidupan warga  

mengalami dinamika yang sangat pesat seiring berkembangnya 

Islam ke seluruh penjuru dunia. Kontak antara ba ngsa Arab dengan 

bangsa-bangsa lain di luar Arab dengan beragam corak adat dan 

budaya, menimbulkan berbagai permasalahan baru yang menuntut 

untuk segera dicari solusi dan alternatif jawabannya. Di sinilah letak 

urgensi ijtihad untuk kontekstualisasi nash Alquran dan Sunah 

                                                                                                                              

yang dimaksud dengan hajat hidup primer (dharuriyah) meliputi 

segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia di 

dunia dan akhirat. bila  hidup dharuriyah ini tidak terwujud, maka 

akan cederalah arti kehidupannya. Adapun hajat hidup sekunder 

(hajiyah) meliputi segala yang dibutuhkan untuk menghindari 

kesulitan dan menghilangkan kepicikan.  bila  hajat hidup hajiyah 

ini tidak terpenuhi, arti kehidupan tidak akan tercederai, tetapi akan 

menimbulkan kesupaya n dan kepicikan. Adapun hajat hidup yang 

bersifat tersier (tahsiniyah) yaitu  kebutuhan manusia untuk 

mempergunakan segala yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh 

adat kebiasaan baik sebagaimana tercermin dalam akhlak yang 

mulia. Segala bentuk pembuatan, penetapan, dan pembebanan 

hukum harus mengacu pada nilai-nilai filosofis ini. 

Penjelasan tentang isi kandunga n Alquran dijabarkan oleh 

Rasulullah saw. sebagai penafsir awal atas firman Allah swt.  Ketika 

Rasulullah masih hidup, setiap kasus yang timbul dapat segera 

diketahui jawabannya berdasar  nash Alquran serta penjelasan 

dan interpretasi Rasul yang kemudian dikenal menjadi Sunahnya 

sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS Al-Nahl ayat 44 :  

 

 : َلـُ٘ح( ْْ ـِٜ ـ٤َْـُا ٍَ ِّضُـٗ خـ َٓ  ِطخ ّـَ٘ـُِِ َٖ ِّ٤َزُـظِـُ َشـ ًْ ِّزُح َيـ٤ِْـُا خَـ٘ـُْ َضـْٗ َأ َٝ44) 

 

Artinya : Dan Kami telah menurunkan kepadamua Alquran agar 

kamu agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa-

apa yang telah diturunkan kepada mereka. 

 

Akan tetapi  pada masa-masa berikutnya, kehidupan warga  

mengalami dinamika yang sangat pesat seiring berkembangnya 

Islam ke seluruh penjuru dunia. Kontak antara ba ngsa Arab dengan 

bangsa-bangsa lain di luar Arab dengan beragam corak adat dan 

budaya, menimbulkan berbagai permasalahan baru yang menuntut 

untuk segera dicari solusi dan alternatif jawabannya. Di sinilah letak 

urgensi ijtihad untuk kontekstualisasi nash Alquran dan Sunah 

                                                                                                                                  

sebagai sumber pedoman dan panduan hukum bagi umat manusia 

dan alam semesta ini. 

Fiqh yang notabene sebagai ilmu tentang hukum-hukum 

syariat yang bersifat praktis-spesifik ,  merupakan sebuah “jendela” 

yang dapat dipakai  untuk melihat perilaku dan tradisi warga  

Islam. Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al- muktasab ) dari 

sumber Alquran dan Sunah, menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh 

lahir melalui serangkaian proses, sebelum akhirnya dinyatakan 

sebagai hukum praktis. Proses penemuan hukum yang dikenal 

dengan ijtihad ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan, 

tetapi juga pengembangan yang tak terbatas atas berbagai aspek 

kehidupan yang selalu mengalami dinamika.2  Oleh karena itu 

diperlukan usaha  memahami pokok-pokok dalam mengkaji 

perkembangan fiqh agar tetap dinamis sepanjang masa sebagai 

pijakan yang disebut dengan istilah ushul fiqh.  

 

1. Pengertian Ushul Fiqh  

Ushul fiqh  merupakan gabungan dari dua kata, yakni ushul 

yang berarti pokok, dasar, pondasi, dan kata " fiqh " secara literal 

berarti paham atau mengerti tentang sesuatu3, kemudian mendapat 

tambahan  ya’ nisbah  yang berfungsi mengkategorikan atau 

penjenisan. pemakaian  kata fiqh den gan pengertian "paham", 

antara lain ini  dalam QS al-Taubah 122 disebutkan :  

   حَِرا ْْ ُٜ َٓ ْٞ َه حُٝسِزْ٘ ُ٤ُِ َٝ  ِٖ ٣ ِّذُح ٢ِك حُٞ ََّٜوَلَظ٤ُِ ٌَشِلثَخؽ ْْ ُْٜ٘ ِٓ  ٍَشهِْشك َِّ ًُ  ْٖ ِٓ  ََشَلٗ َلَ ْٞ ََِك

/ شرٞظُح]  َٕ ُٝسَزَْل٣ ْْ ُ َََِّٜؼُ ْْ ِٜ ٤َُِْا حُٞؼَؿَس122[ 

 

Artinya : Hendaklah setiap golongan dari mereka ada sekelompok 

orang yang pergi untuk memamahmi  ajaran agama  dan 

untuk memberi peringatan kepada kaumnya ketika 

kembali kepada mereka (QS al-Taubah : 122 )  

                                                           

 2 Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, Fiqh Sosial: usaha  pengembangan Madzhab 

Qauli dan Manhaji , dalam naskah pidato ilmiah penganugerahan gelar Doktor 

Kehormatan (Doctor Honoris Causa) pada 18 Juni 2003  di Universitas Islam Negeri Syarif 

Hidayatullah Jakarta.  

 

Dalam sabda Nabi juga disebutkan : 

 

 ََِّع َٝ  ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ َػ ُﷲ ٠َِػَس ٍطخَّزَػ ِٖ ْرا ْٖ َػ    : َْ

 ) ٟزٓشظُحٝ ذٔكأ ٙحٝس ( ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ِك ُٚـْٜ ِّوَـلُـ٣ حًش٤َْخ ِٚر ُﷲ ِدُِش٣ ْٖ َٓ4 

 

Artinya : Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah sebagai orang 

yang baik, maka Allah akan menjadikan orang ini  

paham tentang ajaran agama. 

 

Adapun pengertian fiqh secara terminologis atau  menurut 

istilah syarak yaitu  : 

 

  َخِٜظَُّ ِدأ ْٖ ِٓ  ُذَغَـظـ ٌْ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِِ َٔ ـَؼُْ ح ِش ّـَ٤ـِػْشَّشُح ِّ َ خٌْكْلِْخر ُْ ِْ ِؼ ُْ ح َٞ ُٛ : ُِْٚولُْ َح

 ِشَّ٤ِِ٤ِْظْل ّـَظُح5 

 

Artinya :  Fiqh ialah pemahaman tentang hukum -hukum syarak yang 

berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil dari 

dalil-dali syarak yang terperinci.  

 

Sebagai nama dari suatu bidang ilmu dalam khazanah studi 

keislaman, para ulama mengungkapkan definisi   

dalam berbagai redaksi. Menurut Abdul Wahab  Khallaf , ushul fiqh 

yaitu : 

 

 ِّ خ ٌَ ـْكْلْح ِسَدَخلـْظـْعا ٠َُا خَـِٜـر َُ َّط َٞ َـظُـ٣ ٠ِظ ّـَُح ِع ْٞ ـُلُـزـُْ ح َٝ  ِذـِػح َٞ َـوـُْ ح ِخر ُْ ِْ ـِؼـُْ َح

 ِش ّـَ٤ِـِـ٤ْـِظـْل ّـَظـُح َخِٜـظ ّـَُِدأ ْٖ ـ ِٓ  ُذََغظـ ٌْ ـ ُٔ ـُْ ح ِش ّـَ٤ِـِـ َٔ ـَؼـُْ ح ِش ّـَ٤ـِػْشـَّشـُح


Dalam sabda Nabi juga disebutkan : 

 

 ََِّع َٝ  ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ َػ ُﷲ ٠َِػَس ٍطخَّزَػ ِٖ ْرا ْٖ َػ    : َْ

 ) ٟزٓشظُحٝ ذٔكأ ٙحٝس ( ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ِك ُٚـْٜ ِّوَـلُـ٣ حًش٤َْخ ِٚر ُﷲ ِدُِش٣ ْٖ َٓ4 

 

Artinya : Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah sebagai orang 

yang baik, maka Allah akan menjadikan orang ini  

paham tentang ajaran agama. 

 

Adapun pengertian fiqh secara terminologis atau  menurut 

istilah syarak yaitu  : 

 

  َخِٜظَُّ ِدأ ْٖ ِٓ  ُذَغَـظـ ٌْ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِِ َٔ ـَؼُْ ح ِش ّـَ٤ـِػْشَّشُح ِّ َ خٌْكْلِْخر ُْ ِْ ِؼ ُْ ح َٞ ُٛ : ُِْٚولُْ َح

 ِشَّ٤ِِ٤ِْظْل ّـَظُح5 

 

Artinya :  Fiqh ialah pemahaman tentang hukum -hukum syarak yang 

berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil dari 

dalil-dali syarak yang terperinci.  

 

Sebagai nama dari suatu bidang ilmu dalam khazanah studi 

keislaman, para ulama mengungkapkan definisi   

dalam berbagai redaksi. Menurut Abdul Wahab  Khallaf , ushul fiqh 

yaitu : 

 

 ِّ خ ٌَ ـْكْلْح ِسَدَخلـْظـْعا ٠َُا خَـِٜـر َُ َّط َٞ َـظُـ٣ ٠ِظ ّـَُح ِع ْٞ ـُلُـزـُْ ح َٝ  ِذـِػح َٞ َـوـُْ ح ِخر ُْ ِْ ـِؼـُْ َح

 ِش ّـَ٤ِـِـ٤ْـِظـْل ّـَظـُح َخِٜـظ ّـَُِدأ ْٖ ـ ِٓ  ُذََغظـ ٌْ ـ ُٔ ـُْ ح ِش ّـَ٤ِـِـ َٔ ـَؼـُْ ح ِش ّـَ٤ـِػْشـَّشـُح


Artinya :  Pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang 

dipakai  untuk menemukan hukum-hukum syarak suatu 

perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang 

terperinci. 

 

Di pihak lain, secara detail Abu Zahrah mengatakan bahwa 

  yaitu   : 

 

ح َٞ َـوـُْ ح ِخر ُْ ِْ ـِؼـُْ َح  ِش ّـَ٤ِـِـ َٔ ـَؼـُْ ح ِّ خ ٌَ ـْكْلْح ِؽَخزـْ٘ ِـظـْع ِِلْ َؾـِٛ خَـ٘ـ َٔ ـُْ ح ُْ ـُعْشَـط ٠ِظ ّـَُح  ِذـِػ

 ِدأ ْٖ ـ ِٓ  . ِش ّـَ٤ِـِـ٤ْـِظـْل ّـَظـُح َخِٜـظ ّـَُ7 

 

Artinya : Pengetahuan tentang kaidah -kaidah yang menjelaskan 

kepada mujtahid tentang metode-metode untuk 

mengambil hukum-hukum suatu perbuatan dari dalil-

dalil yang terperinci.  

 

Seorang ulama ushul besar Al-Amidi mendefinisikan ushul fiqh  

sebagai berikut: 

 

 َّ٤ـِػْشَّشُح ِّ خ ٌَ ْكْلْح ٠ََِػ َخِٜـطَلََلَِد ِصَخِٜؿ ْٖ ِٓ  ِٚ ْوِـلـُْ ح ُشَُِّدأ ٢َِٛ  ِٚ ْوِـلـُْ ح ٍُ ْٞ ُُطأ ِش

 َِ ٤ِْظـْل ّـَظُح َِشِٜؿ ْٖ ِٓ  َلَ َِشِ ْٔ ُـ ُْ ح َِشِٜؿ ْٖ ِٓ  َخِٜر ٍِّ ِذَـظْغ ُٔ ُْ ح ٍِ خَك ِشَّ٤ِـلـ٤ْـ ًَ َٝ

Artinya : Ushul fiqh yaitu  dalil -dalil  fiqh dari segi penunjukannya  

kepada hukum-hukum syarak serta bagaimana orang-

orang yang kompeten menetapkan hukum dari dalil-dalil 

secara global, bukan secara sepsifik (tafshili).  

 

Sedangkan menurut Abdul Hamid Hakim ushul fiqh  yaitu  dalil 

fiqh  secara global, seperti ucapan para ulama: suatu yang dikatakan 

sebagai perintah yaitu  menandakan sebuah kewajiban, suatu yang 

dikatakan sebagai larangan yaitu  menandakan sebuah keharaman, 

                                                           

dan suatu yang dikatakan sebagai perbuatan Nabi Muhammad saw., 

ijmak dan qiyas (analogi) yaitu  sebuah hujjah.

berdasar  penjelasan di atas, karenanya ushul fiqh juga 

dikatakan sebagai kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan 

kepada ahli hukum Islam (fukaha) tentang cara menetapkan, 

mengeluarkan atau mengambil hukum dari dalil-dalil syarak, yakni 

Alquran dan Hadis Nabi atau dalil - dalil yang disepakati para ulama .  

 

2. Objek Kajian Ushul Fiqh 

berdasar  berbagai pemaparan di atas, terutama berbagai 

definisi yang dikemukakan oleh para ulama ahli   

dapat diketahui bahwa ruang lingkup kajian (maudhu’) dari ilmu 

ushul fiqh secara global, di antaranya10: 

1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya. 

2.  Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum ini .  

3.  Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.  

4.  Syarat –  syarat orang yang berwenang melakukan istinbat 

(mujtahid) dengan berbagai permasalahannya. 

 

Men urut Al-Ghazali dalam kitab al- Mustashfa  ruang lingkup 

kajian ushul  fiqh ada 4, yaitu:  

1. Hukum -hukum syarak, karena hukum syarak yaitu  tsamarah 

(buah /hasil) yang dicari oleh ushul fiqh.  

2.  Dalil-dalil hukum syarak, seperti al-K itab, Sunah dan ijmak, 

karena semuanya ini yaitu  mutsmir  (pohon). 

3.  Sisi penunjukkan dalil-dalil (wujuh dalalah al - adillah),  karena 

ushul fiqh ini merupakan thariq al - istitsmar  (proses produksi). 

Penunjukan dalil -dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq  

(tersurat), dalalah bil mafhum  (tersirat), dalalah bil dharurat  

(secara pasti), dan dalalah bil ma’na al - ma’qul (makna yang 

rasional). 

                                                           

  

dan suatu yang dikatakan sebagai perbuatan Nabi Muhammad saw., 

ijmak dan qiyas (analogi) yaitu  sebuah hujjah.

berdasar  penjelasan di atas, karenanya ushul fiqh juga 

dikatakan sebagai kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan 

kepada ahli hukum Islam (fukaha) tentang cara menetapkan, 

mengeluarkan atau mengambil hukum dari dalil-dalil syarak, yakni 

Alquran dan Hadis Nabi atau dalil - dalil yang disepakati para ulama .  

 

2. Objek Kajian Ushul Fiqh 

berdasar  berbagai pemaparan di atas, terutama berbagai 

definisi yang dikemukakan oleh para ulama ahli   

dapat diketahui bahwa ruang lingkup kajian (maudhu’) dari ilmu 

ushul fiqh secara global, di antaranya10: 

1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya. 

2.  Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum ini .  

3.  Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.  

4.  Syarat –  syarat orang yang berwenang melakukan istinbat 

(mujtahid) dengan berbagai permasalahannya. 

 

Men urut Al-Ghazali dalam kitab al- Mustashfa  ruang lingkup 

kajian ushul  fiqh ada 4, yaitu:  

1. Hukum -hukum syarak, karena hukum syarak yaitu  tsamarah 

(buah /hasil) yang dicari oleh ushul fiqh.  

2.  Dalil-dalil hukum syarak, seperti al-K itab, Sunah dan ijmak, 

karena semuanya ini yaitu  mutsmir  (pohon). 

3.  Sisi penunjukkan dalil-dalil (wujuh dalalah al - adillah),  karena 

ushul fiqh ini merupakan thariq al - istitsmar  (proses produksi). 

Penunjukan dalil -dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq  

(tersurat), dalalah bil mafhum  (tersirat), dalalah bil dharurat  

(secara pasti), dan dalalah bil ma’na al - ma’qul (makna yang 

rasional). 

                                                           


4.  Mustatsmir (produsen) yaitu mujtahid  yang menetapkan hukum 

berdasar  dugaan kuatnya (zhan).  Lawan kata mujtahid  yaitu  

muqallid  yang wajib mengikuti mujtahid .

 

Sedangkan menurut Satria Effendi , sebagaimana dikutip oleh 

Suyatno, memerinci objek kajian ushul fiqh meliputi 4 ( empat) 

bagian yaitu : 

1. Pembahasan mengenai h ukum syarak dan yang berhubungan 

dengannya, seperti hakim, mahkum fiqh , dan mahkum ‘ala ih.  

2.  Pembahasan tentang sumber -sumber dan dalil-dalil hukum. 

3.  Pembahasan tentang cara menggali dan menarik hukum dari 

sumber-sumber dan dalil-dalil. 

4.  Pembahasan tentang ijtihad. 

 

berdasar  uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa 

objek pembahasan   berkisar pada dalil-dalil syarak 

dari segi penunjukannya kepada suatu hukum secara global. Hal ini 

dapat dipahami dari gambaran bahwa penunjukan Alquran kepada 

hukum tidak hanya memakai  satu bentuk kata tertentu, 

melainkan memakai  berbagai bentuk kata, seperti bentuk amr, 

nahi, kata yang bersifat umum, mutlak dan sebagainya. Dengan kata 

lain, objek kajian ushul fiqh yaitu  segala metode penetapan 

hukum-hukum yang berdasar  pada dalil-dalil global ini  

yang bermuara pada dalil syarak ditinjau dari segi hakikatnya, 

kriterianya dan macam-macamnya. 

 

3. Tujuan dan Urgensi Ushul Fiqh 

Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan mempelajari ilmu ushul 

fiqh  yaitu  untuk mengaplikasikan kaidah-kaidah dan teori-teori 

ushul fiqh terhadap dalil-dalil yang spesifik untuk menghasilkan 

hukum syarak yang dikehendaki oleh dalil ini . berdasar  

kaidah-kaidah ushul fiqh dan pembahasannya, maka nash-nash 

                                                           

syarak akan dapat dipahami dan hukum-hukum yang terkandung di 

dalamnya dapat diketahui, serta sesuatu yang dapat menghilangkan 

ketidakjelasan lafaz yang samar. Di samping itu  diketahui pula dalil-

dalil yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara satu dalil 

dengan dalil yang lainnya.  Termasuk menetapkan metode yang 

paling tepat untuk menggali hukum dari sumbernya terhadap 

sesuatu kejadian konkrit yang tidak ada nashnya dan mengetahui 

dengan sempurna dasar-dasar dan metode yang dipakai  para 

mujtahid dalam mengambil hukum sehingga terhindar dari taklid. 

  juga membicarakan metode penerapan hukum bagi 

peristiwa-peristiwa atau tindakan-tindakan yang tidak ditemukan 

secara eksplisit nashnya, yaitu dengan memakai  metode qiyas, 

istishab , dan lain sebagainya.  

Menurut al -Khudhari Beik dalam kitab ushul fiqhnya, tujuan 

mempelajari ilmu ushul  fiqh yaitu  sebagai berikut : 

1. Mengemukakan syarat -syarat yang harus dimiliki oleh seorang 

mujtahid, agar mampu menggali hukum syarak secara tepat. 

2.  Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hukum 

syarak melalui metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, 

sehinggga dapat memecahkan berbagai persoalan baru yang 

muncul. 

3.  Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber 

dan dalil hukum. Ushul fiqh menjadi tol ok ukur validitas 

kebenaran sebuah ijtihad. 

4.  Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat 

dari dalil yang mereka gunakan. 

5.  Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan 

dengan dalil yang dipakai  dalam berijtihad, sehingga para 

pemerhati hukum Islam dapat melakukan seleksi salah satu dalil 

atau pendapat ini  dengan mengemukakan pendapatnya.

 

berdasar  uraian di atas dapat diketahui bahwa ilmu ushul 

fiqh  memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang sistem 

                                                           

syarak akan dapat dipahami dan hukum-hukum yang terkandung di 

dalamnya dapat diketahui, serta sesuatu yang dapat menghilangkan 

ketidakjelasan lafaz yang samar. Di samping itu  diketahui pula dalil-

dalil yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara satu dalil 

dengan dalil yang lainnya.13  Termasuk menetapkan metode yang 

paling tepat untuk menggali hukum dari sumbernya terhadap 

sesuatu kejadian konkrit yang tidak ada nashnya dan mengetahui 

dengan sempurna dasar-dasar dan metode yang dipakai  para 

mujtahid dalam mengambil hukum sehingga terhindar dari taklid. 

  juga membicarakan metode penerapan hukum bagi 

peristiwa-peristiwa atau tindakan-tindakan yang tidak ditemukan 

secara eksplisit nashnya, yaitu dengan memakai  metode qiyas, 

istishab , dan lain sebagainya.  

Menurut al -Khudhari Beik dalam kitab ushul fiqhnya, tujuan 

mempelajari ilmu ushul  fiqh yaitu  sebagai berikut : 

1. Mengemukakan syarat -syarat yang harus dimiliki oleh seorang 

mujtahid, agar mampu menggali hukum syarak secara tepat. 

2.  Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hukum 

syarak melalui metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, 

sehinggga dapat memecahkan berbagai persoalan baru yang 

muncul. 

3.  Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber 

dan dalil hukum. Ushul fiqh menjadi tol ok ukur validitas 

kebenaran sebuah ijtihad. 

4.  Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat 

dari dalil yang mereka gunakan. 

5.  Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan 

dengan dalil yang dipakai  dalam berijtihad, sehingga para 

pemerhati hukum Islam dapat melakukan seleksi salah satu dalil 

atau pendapat ini  dengan mengemukakan pendapatnya.

 

berdasar  uraian di atas dapat diketahui bahwa ilmu ushul 

fiqh  memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang sistem 

                                                           

hukum dan metode penetapan hukum itu sendiri. Dengan demikian 

diharapkan umat Islam akan terhindar dari taklid  atau ikut pada 

pendapat seseorang tanpa mengetahui dalil dan alasan-

alasannya.` Ushul fiqh  juga sangat penting bagi umat Islam, karena 

disatu pihak pertumbuhan nash telah terhenti sejak meninggalnya 

Nabi, sementara dipihak lain, akibat kemajuan sains dan teknologi, 

permasalahan yang mereka hadapi kian hari kian bertambah.  

Kehadiran sains dan teknologi tidak hanya dapat membantu 

dan membuat kehidupan manusia menjadi mudah, tetapi juga 

membawa masalah-masalah baru yang memerlukan penanganan 

serius oleh para ahli dengan berbagai bidangnya. pemakaian  

produk-produk teknologi maju atau pergeseran nilai-nilai sosial 

sebagai konsekuensi logis proses modernisasi, langsung atau 

tidak langsung telah pula membawa pengaruh yang cukup 

signifikan terhadap praktik-praktik keagamaan. Hal ini antara 

lain terlihat di sekitar tradisi perkawinan, kewarisan dan bahkan 

ibadat sekalipun.

Sebagai contoh, dalam permasalahan pernikahan, ditemui 

kasus-kasus baru seperti akad nikah lewat telepon, pemakaian  

alat-alat kontrasepsi KB, harta pencarian bersama suami istri dan 

lain sebagainya yang secara tekstual tidak ditemukan nashnya dalam 

Alquran maupun Sunah. Di sinilah peran ulama ushul atau fukaha 

dan para cendekiawan agar mereka mampu merepresentasikan 

Islam untuk semua bidang kehidupan manusia. M ereka dituntut  

untuk mencari kepastian itu dengan mengkaji dan meneliti nilai-

nilai normatif yang terkandung dalam Alquran dan Sunah secara 

cermat dan intens dengan alat yang dipakai , yakni ilmu ushul 

fiqh.  

Selain dari pada itu, patut juga dipahami bersama bahwa ilmu 

ushul fiqh  tidak hanya berguna bagi para mujtahid atau ahli hukum 

saja, akan tetapi bagi semua orang Islam untuk mencari kepastian 

hukum bagi setiap masalah yang mereka hadapi sekalipun tidak 

sampai ketingkat mujtahid .  

                                                           

M ereka akan memosisikan dirinya sebagai muttabi’ , yakni 

mengikuti pendapat para ahli dengan mengetahui dalil dan alasan-

alasannya. 

 

4. Perbedaan Fiqh dan Ushul Fiqh 

Sebagaimana  telah dijelaskan sebelumnya bahwa fiqh yaitu  

ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis yang 

penetapannya diusaha kan melalui pemahaman yang mendalam 

terhadap dalil-dalil syarak yang terperinci (tafshili) . Sedangkan ushul 

fiqh yaitu  ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-

pembahasan yang dijadikan sarana untuk menemukan hukum-

hukum syarak  mengenai suatu perbuatan dari dalil-dalilnya yang 

spesifik. Dengan demikian maka dapat diketahui perbedaan antara 

ilmu fiqh  dengan   . Ilmu fiqh berbicara tentang hukum 

dari aspek perbuatan, sedangkan   berbicara tentang 

metode dan proses bagaimana menemukan hukum. 

Dilihat dari sudut aplikasinya, fiqh akan menjawab pertanyaan 

“apa hukum suatau perbuatan”, sedangkan ushul Fiqh akan 

menjawab pertanyaan “bagaimana cara menemukan atau proses  

penemuan hukum yang dipakai ”. Dengan kata lain, fiqh lebih 

bercorak produk, sedangkan ushul fiqh lebih bercorak metodologis. 

Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa fiqh merupakan koleksi 

produk hukum, sedangkan ushul fiqh merupakan koleksi 

metodologis yang sangat diperlukan untuk memproduk hukum.

M ereka akan memosisikan dirinya sebagai muttabi’ , yakni 

mengikuti pendapat para ahli dengan mengetahui dalil dan alasan-

alasannya. 

 

4. Perbedaan Fiqh dan Ushul Fiqh 

Sebagaimana  telah dijelaskan sebelumnya bahwa fiqh yaitu  

ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis yang 

penetapannya diusaha kan melalui pemahaman yang mendalam 

terhadap dalil-dalil syarak yang terperinci (tafshili) . Sedangkan ushul 

fiqh yaitu  ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-

pembahasan yang dijadikan sarana untuk menemukan hukum-

hukum syarak  mengenai suatu perbuatan dari dalil-dalilnya yang 

spesifik. Dengan demikian maka dapat diketahui perbedaan antara 

ilmu fiqh  dengan   . Ilmu fiqh berbicara tentang hukum 

dari aspek perbuatan, sedangkan   berbicara tentang 

metode dan proses bagaimana menemukan hukum. 

Dilihat dari sudut aplikasinya, fiqh akan menjawab pertanyaan 

“apa hukum suatau perbuatan”, sedangkan ushul Fiqh akan 

menjawab pertanyaan “bagaimana cara menemukan atau proses  

penemuan hukum yang dipakai ”. Dengan kata lain, fiqh lebih 

bercorak produk, sedangkan ushul fiqh lebih bercorak metodologis. 

Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa fiqh merupakan koleksi 

produk hukum, sedangkan ushul fiqh merupakan koleksi 

metodologis yang sangat diperlukan untuk memproduk hukum.

 

Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam 

menghasilkan produk hukum yang dikenal dengan fiqh, 

karena ushul fiqh yaitu  ketentuan atau kaidah yang harus 

dipakai  oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. 

Namun dalam kenyataanya, penyusunan fiqh dilakukan lebih 

dahulu dari pada   . Oleh karena itu diperlukan 

adanya pemahaman tentang sejarah pertumbuhan dan 

perkembangan   sehingga  diharapkan tidak 

akan mengalami kesulitan dalam memahami pertautan antara 

fiqh dengan   . 

 

1.  Latar Belakang dan Historis Ushul Fiqh  

Kemunculan   tidak terlepas dari dinamika 

pemikiran hukum Islam abad ke-2 H, khususnya berkenaa n dengan 

diskursus metode istinbath hukum Islam. Sebagian ulama 

mengkhawatirkan terabaikannya ruh at- tasyri‘  atau maqashid al-

syari‘ah , sementara kelompok ulama yang lain mengandalkan 

pemahaman literal dalam memahami nas Al-Qur’an dan Sunah. Ada 

kekhawatiran ijtihad akan berkembang dengan tingkat kebebasan 

berpikir yang tak terkontrol.  

Sebagian ulama kemudian termotivasi untuk menformat “kode 

etik” dalam ber - istinbath . yaitu  Imam al-Syafi’ i yang dianggap 

sebagai pionirnya.

Sebagaimana diketahui bahwa setelah Rasulullah saw. wafat, 

masa peletakan dan pembentukan dasar-dasar hukum Islam dalam 

pengertian yang sebenarnya telah berberakhir, sesuai dengan firman 

Allah swt. sebagai berikut.  

 

  ِووَل ِْ  ْن ُْيوَوت َ َُ ووَل ََْأَت ْن ََُووُِْ  ْنوو َُل َُ ووْتَلْمَأ َمْمووَويْلا     ُ وو ِْ ا ِفووَلَْ اووَنُِْ  َمَيوو َْ ِْلا ُنوو َُل َُ يوو ِِ َََت 

 : ةدوئاولما(.ٌنيِحََ ٌَمُفَغ َه تلا  نَِإْ ٍْثْ ِِل ٍف ِاَجَتُم  َ ْويَغ ٍةَصَلَْمَ3) 

 

Artinya :  Pada hari ini telah Ku -sempurnakan untuk kamu 

agamamu, dan telah Ku -cukupkan kepadamu nikmat-Ku, 

dan telah Ku -ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka, 

barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja 

berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi 

Maha Penyayang. (Q.S. al -Ma’idah [5]: 3)  

 

Setelah Nabi saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada masalah 

penentuan dan atau penetapan hukum Islam berkenaan dengan 

problem-problem yang dihadapi tetapi tidak ditemukan dasar 

hukumnya secara langsung dalam nas Al-Qur’an dan Sunah. Dalam 

konteks ini, para ulama sebagai ahli waris para Nabi saw. (waratsat 

al- anbiya’ ) oleh Alquran dan Sunnh diberi kewenangan untuk 

berijtihad guna menentukan dan atau menetapkan hukum Islam.

Karenanya, secara substantif ushul fiqh pada dasarnya telah 

tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya kegiatan ijtihad, yakni sejak 

masa sahabat. Ha nya saja pada masa sahabat ushul fiqh masih 

bersifat praktis-terapan, seperti ketika sahabat akan mengeluarkan 

fatwa atau akan mengambil keputusan hukum dalam proses 

                                                          

Sebagian ulama kemudian termotivasi untuk menformat “kode 

etik” dalam ber - istinbath . yaitu  Imam al-Syafi’ i yang dianggap 

sebagai pionirnya.

Sebagaimana diketahui bahwa setelah Rasulullah saw. wafat, 

masa peletakan dan pembentukan dasar-dasar hukum Islam dalam 

pengertian yang sebenarnya telah berberakhir, sesuai dengan firman 

Allah swt. sebagai berikut.  

 

  ِووَل ِْ  ْن ُْيوَوت َ َُ ووَل ََْأَت ْن ََُووُِْ  ْنوو َُل َُ ووْتَلْمَأ َمْمووَويْلا     ُ وو ِْ ا ِفووَلَْ اووَنُِْ  َمَيوو َْ ِْلا ُنوو َُل َُ يوو ِِ َََت 

 : ةدوئاولما(.ٌنيِحََ ٌَمُفَغ َه تلا  نَِإْ ٍْثْ ِِل ٍف ِاَجَتُم  َ ْويَغ ٍةَصَلَْمَ3) 

 

Artinya :  Pada hari ini telah Ku -sempurnakan untuk kamu 

agamamu, dan telah Ku -cukupkan kepadamu nikmat-Ku, 

dan telah Ku -ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka, 

barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja 

berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi 

Maha Penyayang. (Q.S. al -Ma’idah [5]: 3)  

 

Setelah Nabi saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada masalah 

penentuan dan atau penetapan hukum Islam berkenaan dengan 

problem-problem yang dihadapi tetapi tidak ditemukan dasar 

hukumnya secara langsung dalam nas Al-Qur’an dan Sunah. Dalam 

konteks ini, para ulama sebagai ahli waris para Nabi saw. (waratsat 

al- anbiya’ ) oleh Alquran dan Sunnh diberi kewenangan untuk 

berijtihad guna menentukan dan atau menetapkan hukum Islam.

Karenanya, secara substantif ushul fiqh pada dasarnya telah 

tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya kegiatan ijtihad, yakni sejak 

masa sahabat. Ha nya saja pada masa sahabat ushul fiqh masih 

bersifat praktis-terapan, seperti ketika sahabat akan mengeluarkan 

fatwa atau akan mengambil keputusan hukum dalam proses 

                                                           

peradilan. Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ ud, dan 

beberapa sahabat besar lainnya dikenal sebagai fukaha lantaran 

produk-produk pemikiran hukumnya selalu menjadi acuan umat 

Islam saat itu. Artinya, pada masa sahabat, ushul fiqh sejatinya 

sudah ada, namun belum berwujud sebagai sebuah disiplin 

keilmuan. Pada masa tabi’in pun kond isinya relatif sama, ushul fiqh 

sudah ada dan terus berkembang, namun belum terformulasi secara 

sistematis.  

Pada masa sahabat, aktivitas, proses dan pola ijtihad berjalan 

secara alamiah. Para sahabat tidak mengalami kesulitan yang berarti 

untuk mengambil pelajaran hukum dari Alquran dan Sunah. Hal ini 

dikarenakan para sahabat sangat paham akan motif dan konteks 

turunnya wahyu atau munculnya sabda Rasulullah saw. ( asbab nuzul 

al- ayat dan asbab wurud al - ahadits), sahabat mengetahui ayat-ayat 

nasikh - mansukh , dan lain sebagainya. Di samping itu, para sahabat 

juga menguasai bahasa Arab berikut kaidah-kaidahnya serta 

mengetahui pemakaian  kosa kata (lafal) yang dipakai  dalam 

Alquran dan Sunah.  Hal lain, kondisi umat Islam saat itu masih 

relatif homogen, umat Islam belum ekspansi ke luar jazirah Arab 

sehingga belum berhadapan dengan praktik kehidupan asing di luar 

Arab. Karenanya, aktivitas ijtihad pada era ini  relatif tidak atau 

belum memerlukan konsep-konsep teoretis   . 

Setelah daerah kekuasaan Islam bertambah luas meliputi 

daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang memiliki 

kebudayaan dan struktur warga  yang berbeda seperti Romawi, 

Persia, Mesir, dan Syria,  persoalan-persoalan kewarga an 

baru pun bermunculan yang status hukumnya tidak mudah dirujuk 

secara langsung dari Alquran dan Sunah. Untuk menyelesaikan hal 

yang demikian, maka para sahabat berijtihad, tetapi kerja ijtihad 

pada fase ini mulai menjadi tidak sederhana. Untuk mengetahui 

benar atau tidaknya hasil ijtihad, maka dalam masalah-masalah yang 

                                                           

dianggap penting dan menyangkut kepentingan orang banyak, para 

sahabat selalu bermusyawarah sehingga produk ijtihadnya 

merupakan konsensus bersama (ijmak).

Abu Bakar diberitakan tidak mengizinkan Umar keluar dari 

Madinah menyertai pasukan Muslim. Ia minta izin kepada Usamah, 

komandan pasukan ekspedisi Islam, untuk menahan Umar agar 

tetap tinggal bersamanya. Ini dilakukan karena ia membutuhkan 

orang yang memiliki pendapat yang bijak dan tajam pikirannya 

dalam memecahkan soal-soal negara. Demikian juga bila  

ditanya masalah-masalah hukum yang tidak diketahuinya, ia tidak 

ragu-ragu untuk berkonsultasi dengan minta pendapat orang 

banyak secara terbuka. Setelah masa pemerintahan Umar, ijtihad 

kolektif mengalami kesulitan lantaran para sahabat telah mulai 

menyebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, seperti ke Mesir, 

Suriah, Irak, Persia, dan lain sebagainya. 

Alquran dan Sunah diturunkan dalam bahasa Arab yang bisa 

ditangkap dan dipahami oleh manusia. Namun pada tataran praktis, 

tidak jarang para ulama mengalami kendala dalam memahami 

Alquran dan Sunah, terutama ulama non-Arab (‘ajam). Di samping 

itu, sebagian besar nas Alquran dan Sunah bersifat zhanni al- dalalah 

yang multiinterpretasi, sehingga memungkinkan untuk 

diinterpretasikan berdasar  situasi dan kondisi umat Islam. 

Eksistensi nas yang zanni dan interpretable  ini merupakan bukti 

universalitas ajaran Islam, di mana untuk aplikasinya membutuhkan 

kreativitas intelektual, pengambilan konklusi hukum berdasar  

perangkat metodologi (thuruq al - istinbath ).  

Al-Juwaini (478 H) pernah menyatakan bahwa 90% fatwa yang 

dikeluarkan para sahabat dan tabi’in serta generasi sesudahnya 

berasal dari istinbath , bukan berasal dari nas-nas syarak secara 

                                                          

dianggap penting dan menyangkut kepentingan orang banyak, para 

sahabat selalu bermusyawarah sehingga produk ijtihadnya 

merupakan konsensus bersama (ijmak).

Abu Bakar diberitakan tidak mengizinkan Umar keluar dari 

Madinah menyertai pasukan Muslim. Ia minta izin kepada Usamah, 

komandan pasukan ekspedisi Islam, untuk menahan Umar agar 

tetap tinggal bersamanya. Ini dilakukan karena ia membutuhkan 

orang yang memiliki pendapat yang bijak dan tajam pikirannya 

dalam memecahkan soal-soal negara.  Demikian juga bila  

ditanya masalah-masalah hukum yang tidak diketahuinya, ia tidak 

ragu-ragu untuk berkonsultasi dengan minta pendapat orang 

banyak secara terbuka. Setelah masa pemerintahan Umar, ijtihad 

kolektif mengalami kesulitan lantaran para sahabat telah mulai 

menyebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, seperti ke Mesir, 

Suriah, Irak, Persia, dan lain sebagainya. 

Alquran dan Sunah diturunkan dalam bahasa Arab yang bisa 

ditangkap dan dipahami oleh manusia. Namun pada tataran praktis, 

tidak jarang para ulama mengalami kendala dalam memahami 

Alquran dan Sunah, terutama ulama non-Arab (‘ajam). Di samping 

itu, sebagian besar nas Alquran dan Sunah bersifat zhanni al- dalalah 

yang multiinterpretasi, sehingga memungkinkan untuk 

diinterpretasikan berdasar  situasi dan kondisi umat Islam. 

Eksistensi nas yang zanni dan interpretable  ini merupakan bukti 

universalitas ajaran Islam, di mana untuk aplikasinya membutuhkan 

kreativitas intelektual, pengambilan konklusi hukum berdasar  

perangkat metodologi (thuruq al - istinbath ).

Al-Juwaini (478 H) pernah menyatakan bahwa 90% fatwa yang 

dikeluarkan para sahabat dan tabi’in serta generasi sesudahnya 

berasal dari istinbath , bukan berasal dari nas-nas syarak secara 

                                                          

langsung.   Artinya, fatwa-fatwa yang dikeluarkan para ulama 

sepanjang masa sebagian besar yaitu  produk ijtihad yang tentu saja 

dengan mengaplikasikan   . Dengan kata lain, tidaklah 

mudah menangkap pesan-pesan spiritual-religius dari nas Alquran 

dan Sunah tanpa memakai  piranti yang memadai, baik aspek 

semantika-linguistik maupun aspek fenomenologi. 

Pada dasarnya setiap orang berhak untuk berijtihad, karena 

ijtihad bukan monopoli seseorang atau golongan terentu. Akan 

tetapi, bila  tidak ada seleksi, limitasi, dan parameter yang 

terukur, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi manipulasi 

penafsiran terhadap Alquran dan Sunah, kemudian mengklaim 

bahwa hanya pendapat atau penafsirannya sendiri yang paling 

benar. bila  semua pihak merasa berhak untuk melakukan 

interpretasi menurut versi dan kepentingan masing-masing, pada 

akhirnya syariat tidak lagi menjadi rahmatan li al - ‘alamin, akan 

berubah menjadi “alat“ oleh orang -orang yang tidak memiliki 

kompetensi untuk berijtihad. Untuk mengantisipasi hal -hal yang 

demikian, maka para ulama-mujtahid membuat “rancang bangun“ 

metodologi ijtihad sebagai “kode etik“ dalam memahami Alquran dan 

Sunah.  

 

2.  Aliran Ahl al - Hadits dan Ahl al - Ra’yi  

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa ilmu 

ushul fiqh mulai terkodifikasi dan tersusun sistematis pada era imam 

mazhab, yakni pada awal -pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Latar 

belakang kemunculan   yaitu  lantaran dinamika 

ijtihad yang berkembang saat itu menimbulkan kegalauan lantaran 

kebebasan berijtihad nyaris tanpa kendali, mengiringi pesatnya 

perkembangan zaman dan penyebaran Islam ke wilayah -wilayah di 

luar Hijaz (Mekah dan Madinah). 

Terlebih ketika persoalan-persoalan keagamaan mulai 

bercampur aduk dengan persoalan-persoalan politik dan pada 

periode Dinasti Abbasiyah dunia Islam mulai bersentuhan dengan 

pemikiran filsafat. Saat itu terjadi “kompetisi” ijtihad yang “tidak 

sehat”. Masing -masing tokoh ulama menciptakan kerangka dan pola 

berijtihad sendiri-sendiri.  

Keragaman pola pendekatan dalam berijtihad selanjutnya 

mengerucut pada dua aliran yang dikenal dengan kelompok ahl al-

hadis di Hijaz dan kelompok ahl al- ra’yi  di Irak. Di antara kedua 

aliran ini  kemudian saling mencela dan saling menyalahkan.  

Ahl al - ra’yi  mencela ahl al- hadits sebagai tidak memakai  akal-

logika secara memadai dalam berijtihad, demikian pula sebaliknya 

ahl al- hadits mencela dan menyalahkan ahl arlra’yi  sebagai terlalu 

mendewa-dewakan logika dan penalaran dalam beragama, terlalu 

banyak berkhayal dan berasumsi dalam berijtihad. Situasinya 

kemudian diperkeruh oleh para murid atau pengikut masing-masing 

aliran yang secara fanatik membela tokoh dan aliran yang dianutnya 

sehingga suasana menjadi semakin kacau.29  

Mencermati situasi dan kondisi yang demikian 

mengkhawatirkan, yakni aktivitas ijtihad yang tak beraturan da n 

timbulnya eskalasi friksi-friksi yang “tidak bersahabat”, maka Abd al -

Rahman bin Mahdi (w. 198 H), seorang ulama ahli hadis di Hijaz, 

merasa prihatin. Abd al-Rahman kemudian berkirim “ risalah” 

meminta kesediaan Imam asl-Syafi’i untuk “turun tangan” 

menertibkan aktivitas ijtihad yang cenderung tak berpematang. 

Imam al-Syafi’i kemudian mengirimkan “ risalah” balasan yang berisi 

uraian bagaimana seharusnya menggali makna Alquran, kriteria 

hadis yang dapat dijadikan hujah, menjelaskan nasikh  dan mansukh , 

dan lain sebagainya, termasuk menjelaskan tentang ijmak. Risalah 

al-Syafi’i yang ditujukan kepada Abd al -Rahman bin Mahdi dikenal 

sebagai kitab al- Risalah .

berdasar  kronologis yang demikian, maka dapat dikatakan 

bahwa kitab al- Risalah karya al-Syafi’i sejat inya merupakan sebuah 

                                                          

Terlebih ketika persoalan-persoalan keagamaan mulai 

bercampur aduk dengan persoalan-persoalan politik dan pada 

periode Dinasti Abbasiyah dunia Islam mulai bersentuhan dengan 

pemikiran filsafat. Saat itu terjadi “kompetisi” ijtihad yang “tidak 

sehat”. Masing -masing tokoh ulama menciptakan kerangka dan pola 

berijtihad sendiri-sendiri.  

Keragaman pola pendekatan dalam berijtihad selanjutnya 

mengerucut pada dua aliran yang dikenal dengan kelompok ahl al-

hadis di Hijaz dan kelompok ahl al- ra’yi  di Irak. Di antara kedua 

aliran ini  kemudian saling mencela dan saling menyalahkan.  

Ahl al - ra’yi  mencela ahl al- hadits sebagai tidak memakai  akal-

logika secara memadai dalam berijtihad, demikian pula sebaliknya 

ahl al- hadits mencela dan menyalahkan ahl arlra’yi  sebagai terlalu 

mendewa-dewakan logika dan penalaran dalam beragama, terlalu 

banyak berkhayal dan berasumsi dalam berijtihad. Situasinya 

kemudian diperkeruh oleh para murid atau pengikut masing-masing 

aliran yang secara fanatik membela tokoh dan aliran yang dianutnya 

sehingga suasana menjadi semakin kacau.

Mencermati situasi dan kondisi yang demikian 

mengkhawatirkan, yakni aktivitas ijtihad yang tak beraturan da n 

timbulnya eskalasi friksi-friksi yang “tidak bersahabat”, maka Abd al -

Rahman bin Mahdi (w. 198 H), seorang ulama ahli hadis di Hijaz, 

merasa prihatin. Abd al-Rahman kemudian berkirim “ risalah” 

meminta kesediaan Imam asl-Syafi’i untuk “turun tangan” 

menertibkan aktivitas ijtihad yang cenderung tak berpematang. 

Imam al-Syafi’i kemudian mengirimkan “ risalah” balasan yang berisi 

uraian bagaimana seharusnya menggali makna Alquran, kriteria 

hadis yang dapat dijadikan hujah, menjelaskan nasikh  dan mansukh , 

dan lain sebagainya, termasuk menjelaskan tentang ijmak. Risalah 

al-Syafi’i yang ditujukan kepada Abd al -Rahman bin Mahdi dikenal 

sebagai kitab al- Risalah .30  

berdasar  kronologis yang demikian, maka dapat dikatakan 

bahwa kitab al- Risalah karya al-Syafi’i sejat inya merupakan sebuah 

                                                           

usaha  sistematisasi ijtihad dalam sebuah kerangka teoretis berikut 

kaidah-kaidahnya. Karenanya, wajar bila  al -Syafi’i dianggap 

sebagai tokoh utama yang berusaha  membendung kebebasan 

berijtihad yang tak berpola. Artinya, al-Syafi’i telah berhasil 

meletakkan landasan berijtihad secara bertanggung jawab dengan 

tetap mengacu pada Alquran dan Sunah, tanpa meninggalkan 

kebebasan bernalar yang mutlak  

dibutuhkan dalam membaca realitas sosial.

Sebagaimana telah dijelaskan,   merupakan 

seperangkat kaidah atau norma untuk mengintroduksi hukum-

hukum syarak yang berkenaan dengan perilaku mukalaf berdasar  

dalil-dalil Alquran dan Sunah. Ilmu ini diproyeksikan sebagai 

kerangka metodologis dalam kajian dan pemahaman hukum Islam 

yang diambil dari nas Alquran dan Sunah,  Dapat pula dikatakan 

bahwa   merupakan kaidah universalnya ilmu tentang 

hukum Islam berdasar  dalil-dalil terperinci yang ada  dalam 

Alquran dan Sunah. Artinya,   merupakan media 

untuk dapat mentransformasikan maqashid al - syari‘ah dan 

merupakan disiplin ilmu keislaman yang memiliki peran penting 

dalam pembaruan hukum Islam.  

Secara garis besar,   membahas mengenai teori 

hukum Islam, dasar-dasar pemikiran, dan kaidah-kaidah yang sangat 

diperlukan sebagai pijakan dasar dalam membangun sebuah 

formulasi hukum Islam yang muncul di tengah warga . Kajian 

utama ilmu ini yaitu  tentang sumber-sumber hukum Islam yang 

dapat dijadikan sebagai hujah, membicarakan Alquran dan Sunah 

sebagai dua sumber utama hukum Islam, serta dalil-dalil lain yang 

bersifat subordinat dari Alquran dan Sunah. 

Di sinilah letak urgensi   , yakni menjelaskan 

sumber-sumber hukum Islam serta menjembatani petunjuk-

petunjuk nas dengan realitas kehidupan umat manusia. Karenanya, 

posisi   sangat penting dalam dunia pemikiran Islam, 

                                                           

terutama bagi para mujtahid yang hendak meng-istinbath -kan 

hukum syarak secara benar dan bertanggung jawab. Dengan kata 

lain,   merupakan disiplin keilmuan yang paling 

kompeten dalam proses membentuk dan memberikan corak hukum 

Islam yang diharapkan. 

Beberapa ulama yang memiliki kontribusi pemikiran dalam 

bidang   di antaranya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) 

yang hidup dan dibesarkan di Irak, sebuah kota metropolitan pada 

masa itu. Ia tersekat dalam kubu ahli ra’yu  (aliran rasionalis) dan 

dikenal sangat selektif dalam menetukan hadis yang dapat 

dipakai  sebagai hujah dan sering memakai  pendekatan 

analogi dalam sistem peng-istinbath -an hukumnya. Karakternya 

jauh berbeda secara diametral dengan Imam Malik (w. 179 H.) yang 

berdomisili di Madinah. Kondisi kultural penduduk Madinah 

memengaruhi mindset  dan jati diri Imam Malik sebagai ahli hadis. Ia 

dikenal sangat terikat dengan fatwa-fatwa sahabat dan amalan-

amalan penduduk Madinah yang sudah mentradisi. Imam Malik lebih 

mendahulukan hadis, betapapun lemahnya kualitas hadis ini , 

seperti hadis mursal dan hadis munqathi‘ , ketimbang memakai  

penalaran analogis. Kemudian pada masa beri kutnya al-Syafi’i (w. 

204 H) tampil sebagai mediator kedua aliran di atas. Al -Syafi’i sangat 

respek terhadap pemakaian  analogi dalam sistem istinbath  

hukumnya. Namun di sisi lain, ia juga tidak segan-segan 

mengadakan pembelaan terhadap kubu tradisionalis-ahli hadis.  

 

3.  Aliran Mutakallimin dan Ahnaf 

Pesatnya dinamika ijtihad dan   menyebabkan 

lahirnya dua corak dalam proses penyusunan dan pembakuan teori 

  , yakni aliran mutakallimin  dan aliran ahnaf. Corak 

pemikiran ushul fiqh mut akallimin  didasarkan pada metode 

istinbath  hukum yang dilakukan oleh kebanyakan ulama ushul fiqh. 

Di samping al-Syafi’i sendiri sebagai pendiri   , ikut 

terutama bagi para mujtahid yang hendak meng-istinbath -kan 

hukum syarak secara benar dan bertanggung jawab. Dengan kata 

lain,   merupakan disiplin keilmuan yang paling 

kompeten dalam proses membentuk dan memberikan corak hukum 

Islam yang diharapkan. 

Beberapa ulama yang memiliki kontribusi pemikiran dalam 

bidang   di antaranya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) 

yang hidup dan dibesarkan di Irak, sebuah kota metropolitan pada 

masa itu. Ia tersekat dalam kubu ahli ra’yu  (aliran rasionalis) dan 

dikenal sangat selektif dalam menetukan hadis yang dapat 

dipakai  sebagai hujah dan sering memakai  pendekatan 

analogi dalam sistem peng-istinbath -an hukumnya. Karakternya 

jauh berbeda secara diametral dengan Imam Malik (w. 179 H.) yang 

berdomisili di Madinah. Kondisi kultural penduduk Madinah 

memengaruhi mindset  dan jati diri Imam Malik sebagai ahli hadis. Ia 

dikenal sangat terikat dengan fatwa-fatwa sahabat dan amalan-

amalan penduduk Madinah yang sudah mentradisi. Imam Malik lebih 

mendahulukan hadis, betapapun lemahnya kualitas hadis ini , 

seperti hadis mursal dan hadis munqathi‘ , ketimbang memakai  

penalaran analogis. Kemudian pada masa beri kutnya al-Syafi’i (w. 

204 H) tampil sebagai mediator kedua aliran di atas. Al -Syafi’i sangat 

respek terhadap pemakaian  analogi dalam sistem istinbath  

hukumnya. Namun di sisi lain, ia juga tidak segan-segan 

mengadakan pembelaan terhadap kubu tradisionalis-ahli hadis.  

 

3.  Aliran Mutakallimin dan Ahnaf 

Pesatnya dinamika ijtihad dan   menyebabkan 

lahirnya dua corak dalam proses penyusunan dan pembakuan teori 

  , yakni aliran mutakallimin  dan aliran ahnaf. Corak 

pemikiran ushul fiqh mut akallimin  didasarkan pada metode 

istinbath  hukum yang dilakukan oleh kebanyakan ulama ushul fiqh. 

Di samping al-Syafi’i sendiri sebagai pendiri   , ikut 

tergabung di dalam aliran ini yaitu  para ulama dari Mazhab Maliki, 

Hanbali, Syi’ah Im amiyah, Zaidiyah, dan Abadiyah. 34  

Dengan memakai  kerangka berpikir induktif, aliran 

mutakallimin  membangun metode berpikir rasional-sistematik 

sebagai parameter dalil, yang kepadanya semua produk ijtihad dapat 

dilandaskan.35  Adapun corak pemikiran ushul fiqh ahnaf meletakkan 

dasar-dasar hukum operasional dalam dataran cabang (furu‘ ) 

sebagai landasan operasional ushul fiqhnya. Pola istinbath  hukum 

seperti ini banyak dipakai  oleh ulama-ulama Hanafiyah, 

sebagaimana tercermin dalam penisbatan dan penanaman ahnaf  

bagi aliran pemikiran ini.36  

 

4. Ulama - ulama Ushul Fiqh  

  mengalami transmisi keilmuan secara 

berkesinambungan dan perkembangannya yang lebih mapan terjadi 

pada rentang abad ke-5 sampai ke -6 Hijriyah, ditandai dengan 

lahirnya ulama-ulama ushul fiqh seperti Abu al-Husain al -Basri (w. 

463 H), Imam al -Haramain al -Juwaini (w. 487 H), Imam al -Gazali (w. 

505 H), Fakhr al -Din ar-Razi (w. 606 H), dan Saif al -Din al-Amidi (w. 

631 H). Mereka ini yaitu  kelompok ulama ushul dari kalangan 

Syafi’iyyah. Munc ul pula tokoh-tokoh dari kalangan Hanafiyah 

seperti al-Karkhi (w. 260 H), al -Jashshash (w. 370 H), al -Bazdawi (w. 

483 H), dan al -Sarakhsi (w. 490 H) Sumber literatur lain 

menyebutkan bahwa di kalangan Mazhab Hanafi, Abu Yusuf al -

Hanafi dan Muhammad bin Has an dikabarkan telah menyusun buku 

tentang kaidah ushul fiqh. Namun, sangat disayangkan jejak sejarah 

karyanya ini  tidak ditemukan.

Di kalangan Mazhab Syi’ah,   muncul melalui 

Muhammad al -Baqir, Ali bin Zain al -Abidin, dan Ja’far ash -Shadiq.38  

Fase berikutnya yaitu  kegiatan penulisan  syarah atau 

mukhtashar .39  Contoh paling fenomenal yang berhasil menghimpun 

berbagai pendapat dalam satu karya yaitu  Jam‘ al - Jawami‘  yang 

ditulis oleh Taj al-Din ‘Abd al -Wahh ab ibn ‘Ali al -Subki al-Syafi’i (w . 

771 H) yang konon merupakan kompilasi “seratus” karya di bidang 

  . Pada periode ini pula muncul sebuah terobosan baru 

dalam ushul fiqh, yang secara serius mengupas masalah maqashid 

al- syari‘ah  yang ditulis oleh Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790  H) dalam 

kitab al- Muwafaqat fi Ushul al - Ahkam . Setelah periode ini , 

kegiatan penulisan di bidang   mengalami 

kemunduran. Kecuali Muhibb al -Din ibn ‘Abd al -Syakur (w. 1119 H), 

penulis Musallam al - Tsubut , dan Muhammad bin ‘Ali bin Muhamm ad 

al-Syaukani (w. 1250 H), penulis Irsyad al - Fuhul ila al - Haqq min ‘Ilm 

al- Ushul . Masa -masa berikutnya tidak lagi ditemukan karya-karya 

bidang ushul fiqh yang berpengaruh luas, kecuali hanya sekadar 

mengulas dan memperjelas. 

Dinamika dan perkembangan   dari waktu ke 

waktu.  

Imam al-Syafi’i, yang dikatagorikan sebagai peletak batu 

pertama dalam sejarah ushul fiqh, menulis tentang ushul fiqh 

dengan sistematika yang masih sederhana, namun muatannya 

sangat padat dan berbobot. Selanjutnya, kitab ar- Risalah yang masih 

sederhana ini  dikembangkan oleh ulama Syafi’yah generasi 

berikutnya, seperti Imam al-Haramain al -Juwaini (478 H), Im am al-

Gazali (505 H), Imam Fakhr al -Razi (606 H), serta dikembangkan lagi 

oleh Imam al-Qarafi (687 H) dari ulama M alikiyah.  

Di sisi lain, para ulama Hanafiyah seperti Abu Mansur al -

Maturidi (333 H), Abu Hasan al -Karkhi (340 H), Abu Bakr al -

Jashshash, al -Dabbusi (430 H), al -Bazdawi, al -Sarakhsi (483 H), dan 

al-Nasafi (710 H) telah menyusun kitab -kitab ushul fiqh dengan 

                                                           

Di kalangan Mazhab Syi’ah,   muncul melalui 

Muhammad al -Baqir, Ali bin Zain al -Abidin, dan Ja’far ash -Shadiq.

Fase berikutnya yaitu  kegiatan penulisan  syarah atau 

mukhtashar . Contoh paling fenomenal yang berhasil menghimpun 

berbagai pendapat dalam satu karya yaitu  Jam‘ al - Jawami‘  yang 

ditulis oleh Taj al-Din ‘Abd al -Wahh ab ibn ‘Ali al -Subki al-Syafi’i (w . 

771 H) yang konon merupakan kompilasi “seratus” karya di bidang 

  . Pada periode ini pula muncul sebuah terobosan baru 

dalam ushul fiqh, yang secara serius mengupas masalah maqashid 

al- syari‘ah  yang ditulis oleh Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790  H) dalam 

kitab al- Muwafaqat fi Ushul al - Ahkam   Setelah periode ini , 

kegiatan penulisan di bidang   mengalami 

kemunduran. Kecuali Muhibb al -Din ibn ‘Abd al -Syakur (w. 1119 H), 

penulis Musallam al - Tsubut , dan Muhammad bin ‘Ali bin Muhamm ad 

al-Syaukani (w. 1250 H), penulis Irsyad al - Fuhul ila al - Haqq min ‘Ilm 

al- Ushul . Masa -masa berikutnya tidak lagi ditemukan karya-karya 

bidang ushul fiqh yang berpengaruh luas, kecuali hanya sekadar 

mengulas dan memperjelas. 

Dinamika dan perkembangan   dari waktu ke 

waktu.  

Imam al-Syafi’i, yang dikatagorikan sebagai peletak batu 

pertama dalam sejarah ushul fiqh, menulis tentang ushul fiqh 

dengan sistematika yang masih sederhana, namun muatannya 

sangat padat dan berbobot. Selanjutnya, kitab ar- Risalah yang masih 

sederhana ini  dikembangkan oleh ulama Syafi’yah generasi 

berikutnya, seperti Imam al-Haramain al -Juwaini (478 H), Im am al-

Gazali (505 H), Imam Fakhr al -Razi (606 H), serta dikembangkan lagi 

oleh Imam al-Qarafi (687 H) dari ulama M alikiyah.  

Di sisi lain, para ulama Hanafiyah seperti Abu Mansur al -

Maturidi (333 H), Abu Hasan al -Karkhi (340 H), Abu Bakr al -

Jashshash, al -Dabbusi (430 H), al -Bazdawi, al -Sarakhsi (483 H), dan 

al-Nasafi (710 H) telah menyusun kitab -kitab ushul fiqh dengan 

                                                           

metodologi tersendiri. Di samping itu, ada  pula beberapa ulama 

kontemporer yang menulis kitab ushul fiqh dengan cara 

menggabungkan dua metodologi di atas, seperti al-Qarafi, al-Subuki, 

Ibnu Qayyim (751 H), al -Syathibi, asy-Syaukani, dan lain sebagainya. 

Semenjak dirancang sebagai kerangka teoretis yang sistematis, 

  telah mengalami perubahan demi perubahan secara 

ev olutif. Sebagai contoh, al-Baqill ani mengintegrasikan ilmu kalam 

kedalam   , sedangkan al-Gazali dalam kitab Tahafut 

al- Falasifah  memasukkah ilmu mantiq sebagai bagian dalam 

pembahasan ushul fiqh. Pembaruan juga telah dilakukan oleh al -

Syathibi dalam kitab al- Muwafaqat dengan kajian maqahsid al -

syari‘ah ,41  tidak hanya terpaku pada pemahaman literal nas. 

Kehadiran a l-Syathibi seakan ingin lebih melengkapinya agar ilmu 

ini dapat lebih sempurna dalam memahami perintah Allah swt. Di 

kemudian hari embrio, pemikiran yang dibawa al-Syathibi 

direvitalisasi oleh para ulama pembaru ushul fiqh, seperti 

Muhammad Abduh (w. 1905) , Rasyid Rida (w. 1935), Abdul Wahhab 

Khallaf (w. 1956), ‘Allal al -Fasi (w. 1973), dan Hasan Turabi.  

Imam al-Syathibi di dalam kitab al- Muwafaqat menyatakan 

bahwa bila  materi yang tertulis di dalam ushul fiqh tidak bisa 

dijadikan sandaran di dalam masalah-masalah fiqh atau adab-adab 

Islam, atau tidak bisa menopang keduanya, maka penyebutannya di 

dalam ushul fiqh hanya sia-sia belaka.42  Begitu juga al -Isnawi (772 H) 

pernah menyatakan bahwa sebagian masalah yang berhubungan 

dengan bahasa sebenarnya kurang tepat jika diletakkan pada 

pembahasan ushul fiqh, bahkan permasalahan ini  hanya akan 

menambah rumit pembahasan di dalam   . Kemudian 

pada abad ke-15 H sampai sekarang ini, bermunculan kitab -kitab 

ushul fiqh yang sistematika pembahasannya memakai  pola 

pendekatan baru dan model studi komparatif ( muqaranah) guna 

mempermudah dalam memahami Alquran dan atau Sunah. Sudah 

barang tentu pembaruan   akan terus berjalan seiring 

                                                           

dengan dinamika sains dan peradaban umat manusia. Kitab -kitab 

ushul yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu tidak boleh 

dipandang sebagai ilmu yang tidak meninggalkan satu celah sedikit 

pun. Meski demikian, sangat tidak arif terlalu meremehkan karya -

karya para ulama pendahulu ini .  

Fakta historis ter sebut di atas dengan jelas menunjukkan 

bahwasanya selalu terjadi perubahan demi perubahan dalam ilmu 

ushul, baik dari segi metode penulisan maupun dari segi materi 

pembahasannya. Oleh karena itu, langkah terpenting yang harus 

dilakukan bila  hendak melakukan pembaruan hukum Islam, di 

antaranya yaitu  dengan me-review  keberadaan aspek metodologi 

istinbath hukum ini. Sebab, tidak tertutup kemungkinan ushul fiqh-

lah yang menjadi kendalanya, dikarenakan ilmu ini tidak cukup lagi 

menjelaskan dan menyelesaikan kompleksitas permasalahan hukum 

Islam yang muncul.   klasik yang pada masa lalu 

terbukti mampu berperan dalam membangun hukum Islam, tetapi 

sekarang sebagiannya telah kehilangan relevansinya.  

berdasar  uraian di atas, dapat diambil sebuah konklusi 

bahwa pendapat yang mengatakan   itu telah baku, 

final, dan tidak dapat diganggu gugat lagi, jelas tidak tepat. Hanya 

saja, kritisi, review , atau apapun istilah yang dipakai  bagi usaha  

pembaruan   harus tetap berpijak pada landasan 

epistemologi Islam yang sudah menjadi kesepakatan umat sepanjang 

sejarah, yaitu Alquran dan Sunah. Mendasarkan epistemologi ushul 

fiqh pada Alquran dan Sunah merupakan sebuah keniscayaan untuk 

menjaga orisinalitas sekaligus objektivitas huku m Islam.  

Sebagai sebuah produk pemikiran Islam (Islamologi), maka 

  dengan demikian bersifat dinamis sekaligus nisbi dan 

tidak tabu untuk dikritisi, bahkan kritisi yang mengiringi dinamika 

ushul fiqh itu sejatinya merupakan sesuatu yang niscaya. Namun 

demikian, semangat mengkritisi   tidak boleh latah 

dan berlebihan. Sebab, jika hal itu terjadi, maka akan berimplikasi 

pada pengabaian karya ilmiah ulama klasik yang sangat bernilai.  

dengan dinamika sains dan peradaban umat manusia. Kitab -kitab 

ushul yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu tidak boleh 

dipandang sebagai ilmu yang tidak meninggalkan satu celah sedikit 

pun. Meski demikian, sangat tidak arif terlalu meremehkan karya -

karya para ulama pendahulu ini .  

Fakta historis ter sebut di atas dengan jelas menunjukkan 

bahwasanya selalu terjadi perubahan demi perubahan dalam ilmu 

ushul, baik dari segi metode penulisan maupun dari segi materi 

pembahasannya. Oleh karena itu, langkah terpenting yang harus 

dilakukan bila  hendak melakukan pembaruan hukum Islam, di 

antaranya yaitu  dengan me-review  keberadaan aspek metodologi 

istinbath hukum ini. Sebab, tidak tertutup kemungkinan ushul fiqh-

lah yang menjadi kendalanya, dikarenakan ilmu ini tidak cukup lagi 

menjelaskan dan menyelesaikan kompleksitas permasalahan hukum 

Islam yang muncul.   klasik yang pada masa lalu 

terbukti mampu berperan dalam membangun hukum Islam, tetapi 

sekarang sebagiannya telah kehilangan relevansinya.  

berdasar  uraian di atas, dapat diambil sebuah konklusi 

bahwa pendapat yang mengatakan   itu telah baku, 

final, dan tidak dapat diganggu gugat lagi, jelas tidak tepat. Hanya 

saja, kritisi, review , atau apapun istilah yang dipakai  bagi usaha  

pembaruan   harus tetap berpijak pada landasan 

epistemologi Islam yang sudah menjadi kesepakatan umat sepanjang 

sejarah, yaitu Alquran dan Sunah. Mendasarkan epistemologi ushul 

fiqh pada Alquran dan Sunah merupakan sebuah keniscayaan untuk 

menjaga orisinalitas sekaligus objektivitas huku m Islam.  

Sebagai sebuah produk pemikiran Islam (Islamologi), maka 

  dengan demikian bersifat dinamis sekaligus nisbi dan 

tidak tabu untuk dikritisi, bahkan kritisi yang mengiringi dinamika 

ushul fiqh itu sejatinya merupakan sesuatu yang niscaya. Namun 

demikian, semangat mengkritisi   tidak boleh latah 

dan berlebihan. Sebab, jika hal itu terjadi, maka akan berimplikasi 

pada pengabaian karya ilmiah ulama k