Alquran sebagai way of life bagi umat manusia secara garis
besar mengandung dasar-dasar tentang akidah, syari’ah dan akhlak
bagi keberlangsungan kehidupan makhluk di jagad raya ini. Tujuan
pembuatan, penetapan, dan pembebanan hukum Islam yaitu untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umatnya, sesuai dengan
firman Allah swt. dalam Q.S. an-Nahl [16]: 90.
ِشٌَ ْ٘ ُٔ ُْ ح َٝ ِءخَشَْللُْ ح ِٖ َػ ٠َْٜ٘ َ٣ َٝ ٠َرُْشوُْ ح ١ِر ِءَخظ٣ِا َٝ ِٕ خَغْك ِْلْح َٝ ٍِ ْذَؼُْ ِخر ُش ُٓ
َْؤ٣ َ َّﷲ َّٕ ِا
: َلـُ٘ح( ُٕٝشًَّ ََزط ْْ ٌُ َََِّؼُ ْْ ٌُ ُظَِؼ٣ ٢ِ ْـ َزُْ ح َٝ90)
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberikan bantuan kepada kerabat,
dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,
kemunkaran, dan permusuhan. Dia memberikan
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.
Oleh karena itu sistem hukum Islam selalu menfasilitasi dan
mengakomodasi segala hajat hidup manusia sesuai dengan
tingkatannya, baik yang bersifat primer (dhaurriyah), sekunder
(hajiyah), atau tersier (tahsiniyah).1 Dalam perspektif hukum Islam,
yang dimaksud dengan hajat hidup primer (dharuriyah) meliputi
segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia di
dunia dan akhirat. bila hidup dharuriyah ini tidak terwujud, maka
akan cederalah arti kehidupannya. Adapun hajat hidup sekunder
(hajiyah) meliputi segala yang dibutuhkan untuk menghindari
kesulitan dan menghilangkan kepicikan. bila hajat hidup hajiyah
ini tidak terpenuhi, arti kehidupan tidak akan tercederai, tetapi akan
menimbulkan kesupaya n dan kepicikan. Adapun hajat hidup yang
bersifat tersier (tahsiniyah) yaitu kebutuhan manusia untuk
mempergunakan segala yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh
adat kebiasaan baik sebagaimana tercermin dalam akhlak yang
mulia. Segala bentuk pembuatan, penetapan, dan pembebanan
hukum harus mengacu pada nilai-nilai filosofis ini.
Penjelasan tentang isi kandunga n Alquran dijabarkan oleh
Rasulullah saw. sebagai penafsir awal atas firman Allah swt. Ketika
Rasulullah masih hidup, setiap kasus yang timbul dapat segera
diketahui jawabannya berdasar nash Alquran serta penjelasan
dan interpretasi Rasul yang kemudian dikenal menjadi Sunahnya
sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS Al-Nahl ayat 44 :
: َلـُ٘ح( ْْ ـِٜ ـ٤َْـُا ٍَ ِّضُـٗ خـ َٓ ِطخ ّـَ٘ـُِِ َٖ ِّ٤َزُـظِـُ َشـ ًْ ِّزُح َيـ٤ِْـُا خَـ٘ـُْ َضـْٗ َأ َٝ44)
Artinya : Dan Kami telah menurunkan kepadamua Alquran agar
kamu agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa-
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, kehidupan warga
mengalami dinamika yang sangat pesat seiring berkembangnya
Islam ke seluruh penjuru dunia. Kontak antara ba ngsa Arab dengan
bangsa-bangsa lain di luar Arab dengan beragam corak adat dan
budaya, menimbulkan berbagai permasalahan baru yang menuntut
untuk segera dicari solusi dan alternatif jawabannya. Di sinilah letak
urgensi ijtihad untuk kontekstualisasi nash Alquran dan Sunah
yang dimaksud dengan hajat hidup primer (dharuriyah) meliputi
segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia di
dunia dan akhirat. bila hidup dharuriyah ini tidak terwujud, maka
akan cederalah arti kehidupannya. Adapun hajat hidup sekunder
(hajiyah) meliputi segala yang dibutuhkan untuk menghindari
kesulitan dan menghilangkan kepicikan. bila hajat hidup hajiyah
ini tidak terpenuhi, arti kehidupan tidak akan tercederai, tetapi akan
menimbulkan kesupaya n dan kepicikan. Adapun hajat hidup yang
bersifat tersier (tahsiniyah) yaitu kebutuhan manusia untuk
mempergunakan segala yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh
adat kebiasaan baik sebagaimana tercermin dalam akhlak yang
mulia. Segala bentuk pembuatan, penetapan, dan pembebanan
hukum harus mengacu pada nilai-nilai filosofis ini.
Penjelasan tentang isi kandunga n Alquran dijabarkan oleh
Rasulullah saw. sebagai penafsir awal atas firman Allah swt. Ketika
Rasulullah masih hidup, setiap kasus yang timbul dapat segera
diketahui jawabannya berdasar nash Alquran serta penjelasan
dan interpretasi Rasul yang kemudian dikenal menjadi Sunahnya
sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS Al-Nahl ayat 44 :
: َلـُ٘ح( ْْ ـِٜ ـ٤َْـُا ٍَ ِّضُـٗ خـ َٓ ِطخ ّـَ٘ـُِِ َٖ ِّ٤َزُـظِـُ َشـ ًْ ِّزُح َيـ٤ِْـُا خَـ٘ـُْ َضـْٗ َأ َٝ44)
Artinya : Dan Kami telah menurunkan kepadamua Alquran agar
kamu agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa-
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, kehidupan warga
mengalami dinamika yang sangat pesat seiring berkembangnya
Islam ke seluruh penjuru dunia. Kontak antara ba ngsa Arab dengan
bangsa-bangsa lain di luar Arab dengan beragam corak adat dan
budaya, menimbulkan berbagai permasalahan baru yang menuntut
untuk segera dicari solusi dan alternatif jawabannya. Di sinilah letak
urgensi ijtihad untuk kontekstualisasi nash Alquran dan Sunah
sebagai sumber pedoman dan panduan hukum bagi umat manusia
dan alam semesta ini.
Fiqh yang notabene sebagai ilmu tentang hukum-hukum
syariat yang bersifat praktis-spesifik , merupakan sebuah “jendela”
yang dapat dipakai untuk melihat perilaku dan tradisi warga
Islam. Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al- muktasab ) dari
sumber Alquran dan Sunah, menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh
lahir melalui serangkaian proses, sebelum akhirnya dinyatakan
sebagai hukum praktis. Proses penemuan hukum yang dikenal
dengan ijtihad ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan,
tetapi juga pengembangan yang tak terbatas atas berbagai aspek
kehidupan yang selalu mengalami dinamika.2 Oleh karena itu
diperlukan usaha memahami pokok-pokok dalam mengkaji
perkembangan fiqh agar tetap dinamis sepanjang masa sebagai
pijakan yang disebut dengan istilah ushul fiqh.
1. Pengertian Ushul Fiqh
Ushul fiqh merupakan gabungan dari dua kata, yakni ushul
yang berarti pokok, dasar, pondasi, dan kata " fiqh " secara literal
berarti paham atau mengerti tentang sesuatu3, kemudian mendapat
tambahan ya’ nisbah yang berfungsi mengkategorikan atau
penjenisan. pemakaian kata fiqh den gan pengertian "paham",
antara lain ini dalam QS al-Taubah 122 disebutkan :
حَِرا ْْ ُٜ َٓ ْٞ َه حُٝسِزْ٘ ُ٤ُِ َٝ ِٖ ٣ ِّذُح ٢ِك حُٞ ََّٜوَلَظ٤ُِ ٌَشِلثَخؽ ْْ ُْٜ٘ ِٓ ٍَشهِْشك َِّ ًُ ْٖ ِٓ ََشَلٗ َلَ ْٞ ََِك
/ شرٞظُح] َٕ ُٝسَزَْل٣ ْْ ُ َََِّٜؼُ ْْ ِٜ ٤َُِْا حُٞؼَؿَس122[
Artinya : Hendaklah setiap golongan dari mereka ada sekelompok
orang yang pergi untuk memamahmi ajaran agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya ketika
kembali kepada mereka (QS al-Taubah : 122 )
2 Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, Fiqh Sosial: usaha pengembangan Madzhab
Qauli dan Manhaji , dalam naskah pidato ilmiah penganugerahan gelar Doktor
Kehormatan (Doctor Honoris Causa) pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam sabda Nabi juga disebutkan :
ََِّع َٝ ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ َػ ُﷲ ٠َِػَس ٍطخَّزَػ ِٖ ْرا ْٖ َػ : َْ
) ٟزٓشظُحٝ ذٔكأ ٙحٝس ( ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ِك ُٚـْٜ ِّوَـلُـ٣ حًش٤َْخ ِٚر ُﷲ ِدُِش٣ ْٖ َٓ4
Artinya : Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah sebagai orang
yang baik, maka Allah akan menjadikan orang ini
paham tentang ajaran agama.
Adapun pengertian fiqh secara terminologis atau menurut
istilah syarak yaitu :
َخِٜظَُّ ِدأ ْٖ ِٓ ُذَغَـظـ ٌْ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِِ َٔ ـَؼُْ ح ِش ّـَ٤ـِػْشَّشُح ِّ َ خٌْكْلِْخر ُْ ِْ ِؼ ُْ ح َٞ ُٛ : ُِْٚولُْ َح
ِشَّ٤ِِ٤ِْظْل ّـَظُح5
Artinya : Fiqh ialah pemahaman tentang hukum -hukum syarak yang
berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil dari
dalil-dali syarak yang terperinci.
Sebagai nama dari suatu bidang ilmu dalam khazanah studi
keislaman, para ulama mengungkapkan definisi
dalam berbagai redaksi. Menurut Abdul Wahab Khallaf , ushul fiqh
yaitu :
ِّ خ ٌَ ـْكْلْح ِسَدَخلـْظـْعا ٠َُا خَـِٜـر َُ َّط َٞ َـظُـ٣ ٠ِظ ّـَُح ِع ْٞ ـُلُـزـُْ ح َٝ ِذـِػح َٞ َـوـُْ ح ِخر ُْ ِْ ـِؼـُْ َح
ِش ّـَ٤ِـِـ٤ْـِظـْل ّـَظـُح َخِٜـظ ّـَُِدأ ْٖ ـ ِٓ ُذََغظـ ٌْ ـ ُٔ ـُْ ح ِش ّـَ٤ِـِـ َٔ ـَؼـُْ ح ِش ّـَ٤ـِػْشـَّشـُح
Dalam sabda Nabi juga disebutkan :
ََِّع َٝ ِٚ ٤ََِْػ ُﷲ ٠ََِّط ِﷲ ٍُ ْٞ ُعَس ٍَ َخه ٍَ َخه ُْٚ٘ َػ ُﷲ ٠َِػَس ٍطخَّزَػ ِٖ ْرا ْٖ َػ : َْ
) ٟزٓشظُحٝ ذٔكأ ٙحٝس ( ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ِك ُٚـْٜ ِّوَـلُـ٣ حًش٤َْخ ِٚر ُﷲ ِدُِش٣ ْٖ َٓ4
Artinya : Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah sebagai orang
yang baik, maka Allah akan menjadikan orang ini
paham tentang ajaran agama.
Adapun pengertian fiqh secara terminologis atau menurut
istilah syarak yaitu :
َخِٜظَُّ ِدأ ْٖ ِٓ ُذَغَـظـ ٌْ ُٔ ُْ ح ِشَّ٤ِِ َٔ ـَؼُْ ح ِش ّـَ٤ـِػْشَّشُح ِّ َ خٌْكْلِْخر ُْ ِْ ِؼ ُْ ح َٞ ُٛ : ُِْٚولُْ َح
ِشَّ٤ِِ٤ِْظْل ّـَظُح5
Artinya : Fiqh ialah pemahaman tentang hukum -hukum syarak yang
berkenaan dengan amaliah manusia yang diambil dari
dalil-dali syarak yang terperinci.
Sebagai nama dari suatu bidang ilmu dalam khazanah studi
keislaman, para ulama mengungkapkan definisi
dalam berbagai redaksi. Menurut Abdul Wahab Khallaf , ushul fiqh
yaitu :
ِّ خ ٌَ ـْكْلْح ِسَدَخلـْظـْعا ٠َُا خَـِٜـر َُ َّط َٞ َـظُـ٣ ٠ِظ ّـَُح ِع ْٞ ـُلُـزـُْ ح َٝ ِذـِػح َٞ َـوـُْ ح ِخر ُْ ِْ ـِؼـُْ َح
ِش ّـَ٤ِـِـ٤ْـِظـْل ّـَظـُح َخِٜـظ ّـَُِدأ ْٖ ـ ِٓ ُذََغظـ ٌْ ـ ُٔ ـُْ ح ِش ّـَ٤ِـِـ َٔ ـَؼـُْ ح ِش ّـَ٤ـِػْشـَّشـُح
Artinya : Pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang
dipakai untuk menemukan hukum-hukum syarak suatu
perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang
terperinci.
Di pihak lain, secara detail Abu Zahrah mengatakan bahwa
yaitu :
ح َٞ َـوـُْ ح ِخر ُْ ِْ ـِؼـُْ َح ِش ّـَ٤ِـِـ َٔ ـَؼـُْ ح ِّ خ ٌَ ـْكْلْح ِؽَخزـْ٘ ِـظـْع ِِلْ َؾـِٛ خَـ٘ـ َٔ ـُْ ح ُْ ـُعْشَـط ٠ِظ ّـَُح ِذـِػ
ِدأ ْٖ ـ ِٓ . ِش ّـَ٤ِـِـ٤ْـِظـْل ّـَظـُح َخِٜـظ ّـَُ7
Artinya : Pengetahuan tentang kaidah -kaidah yang menjelaskan
kepada mujtahid tentang metode-metode untuk
mengambil hukum-hukum suatu perbuatan dari dalil-
dalil yang terperinci.
Seorang ulama ushul besar Al-Amidi mendefinisikan ushul fiqh
sebagai berikut:
َّ٤ـِػْشَّشُح ِّ خ ٌَ ْكْلْح ٠ََِػ َخِٜـطَلََلَِد ِصَخِٜؿ ْٖ ِٓ ِٚ ْوِـلـُْ ح ُشَُِّدأ ٢َِٛ ِٚ ْوِـلـُْ ح ٍُ ْٞ ُُطأ ِش
َِ ٤ِْظـْل ّـَظُح َِشِٜؿ ْٖ ِٓ َلَ َِشِ ْٔ ُـ ُْ ح َِشِٜؿ ْٖ ِٓ َخِٜر ٍِّ ِذَـظْغ ُٔ ُْ ح ٍِ خَك ِشَّ٤ِـلـ٤ْـ ًَ َٝ
Artinya : Ushul fiqh yaitu dalil -dalil fiqh dari segi penunjukannya
kepada hukum-hukum syarak serta bagaimana orang-
orang yang kompeten menetapkan hukum dari dalil-dalil
secara global, bukan secara sepsifik (tafshili).
Sedangkan menurut Abdul Hamid Hakim ushul fiqh yaitu dalil
fiqh secara global, seperti ucapan para ulama: suatu yang dikatakan
sebagai perintah yaitu menandakan sebuah kewajiban, suatu yang
dikatakan sebagai larangan yaitu menandakan sebuah keharaman,
dan suatu yang dikatakan sebagai perbuatan Nabi Muhammad saw.,
ijmak dan qiyas (analogi) yaitu sebuah hujjah.
berdasar penjelasan di atas, karenanya ushul fiqh juga
dikatakan sebagai kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan
kepada ahli hukum Islam (fukaha) tentang cara menetapkan,
mengeluarkan atau mengambil hukum dari dalil-dalil syarak, yakni
Alquran dan Hadis Nabi atau dalil - dalil yang disepakati para ulama .
2. Objek Kajian Ushul Fiqh
berdasar berbagai pemaparan di atas, terutama berbagai
definisi yang dikemukakan oleh para ulama ahli
dapat diketahui bahwa ruang lingkup kajian (maudhu’) dari ilmu
ushul fiqh secara global, di antaranya10:
1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum ini .
3. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
4. Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat
(mujtahid) dengan berbagai permasalahannya.
Men urut Al-Ghazali dalam kitab al- Mustashfa ruang lingkup
kajian ushul fiqh ada 4, yaitu:
1. Hukum -hukum syarak, karena hukum syarak yaitu tsamarah
(buah /hasil) yang dicari oleh ushul fiqh.
2. Dalil-dalil hukum syarak, seperti al-K itab, Sunah dan ijmak,
karena semuanya ini yaitu mutsmir (pohon).
3. Sisi penunjukkan dalil-dalil (wujuh dalalah al - adillah), karena
ushul fiqh ini merupakan thariq al - istitsmar (proses produksi).
Penunjukan dalil -dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq
(tersurat), dalalah bil mafhum (tersirat), dalalah bil dharurat
(secara pasti), dan dalalah bil ma’na al - ma’qul (makna yang
rasional).
dan suatu yang dikatakan sebagai perbuatan Nabi Muhammad saw.,
ijmak dan qiyas (analogi) yaitu sebuah hujjah.
berdasar penjelasan di atas, karenanya ushul fiqh juga
dikatakan sebagai kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan
kepada ahli hukum Islam (fukaha) tentang cara menetapkan,
mengeluarkan atau mengambil hukum dari dalil-dalil syarak, yakni
Alquran dan Hadis Nabi atau dalil - dalil yang disepakati para ulama .
2. Objek Kajian Ushul Fiqh
berdasar berbagai pemaparan di atas, terutama berbagai
definisi yang dikemukakan oleh para ulama ahli
dapat diketahui bahwa ruang lingkup kajian (maudhu’) dari ilmu
ushul fiqh secara global, di antaranya10:
1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum ini .
3. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
4. Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat
(mujtahid) dengan berbagai permasalahannya.
Men urut Al-Ghazali dalam kitab al- Mustashfa ruang lingkup
kajian ushul fiqh ada 4, yaitu:
1. Hukum -hukum syarak, karena hukum syarak yaitu tsamarah
(buah /hasil) yang dicari oleh ushul fiqh.
2. Dalil-dalil hukum syarak, seperti al-K itab, Sunah dan ijmak,
karena semuanya ini yaitu mutsmir (pohon).
3. Sisi penunjukkan dalil-dalil (wujuh dalalah al - adillah), karena
ushul fiqh ini merupakan thariq al - istitsmar (proses produksi).
Penunjukan dalil -dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq
(tersurat), dalalah bil mafhum (tersirat), dalalah bil dharurat
(secara pasti), dan dalalah bil ma’na al - ma’qul (makna yang
rasional).
4. Mustatsmir (produsen) yaitu mujtahid yang menetapkan hukum
berdasar dugaan kuatnya (zhan). Lawan kata mujtahid yaitu
muqallid yang wajib mengikuti mujtahid .
Sedangkan menurut Satria Effendi , sebagaimana dikutip oleh
Suyatno, memerinci objek kajian ushul fiqh meliputi 4 ( empat)
bagian yaitu :
1. Pembahasan mengenai h ukum syarak dan yang berhubungan
dengannya, seperti hakim, mahkum fiqh , dan mahkum ‘ala ih.
2. Pembahasan tentang sumber -sumber dan dalil-dalil hukum.
3. Pembahasan tentang cara menggali dan menarik hukum dari
sumber-sumber dan dalil-dalil.
4. Pembahasan tentang ijtihad.
berdasar uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa
objek pembahasan berkisar pada dalil-dalil syarak
dari segi penunjukannya kepada suatu hukum secara global. Hal ini
dapat dipahami dari gambaran bahwa penunjukan Alquran kepada
hukum tidak hanya memakai satu bentuk kata tertentu,
melainkan memakai berbagai bentuk kata, seperti bentuk amr,
nahi, kata yang bersifat umum, mutlak dan sebagainya. Dengan kata
lain, objek kajian ushul fiqh yaitu segala metode penetapan
hukum-hukum yang berdasar pada dalil-dalil global ini
yang bermuara pada dalil syarak ditinjau dari segi hakikatnya,
kriterianya dan macam-macamnya.
3. Tujuan dan Urgensi Ushul Fiqh
Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan mempelajari ilmu ushul
fiqh yaitu untuk mengaplikasikan kaidah-kaidah dan teori-teori
ushul fiqh terhadap dalil-dalil yang spesifik untuk menghasilkan
hukum syarak yang dikehendaki oleh dalil ini . berdasar
kaidah-kaidah ushul fiqh dan pembahasannya, maka nash-nash
syarak akan dapat dipahami dan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya dapat diketahui, serta sesuatu yang dapat menghilangkan
ketidakjelasan lafaz yang samar. Di samping itu diketahui pula dalil-
dalil yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara satu dalil
dengan dalil yang lainnya. Termasuk menetapkan metode yang
paling tepat untuk menggali hukum dari sumbernya terhadap
sesuatu kejadian konkrit yang tidak ada nashnya dan mengetahui
dengan sempurna dasar-dasar dan metode yang dipakai para
mujtahid dalam mengambil hukum sehingga terhindar dari taklid.
juga membicarakan metode penerapan hukum bagi
peristiwa-peristiwa atau tindakan-tindakan yang tidak ditemukan
secara eksplisit nashnya, yaitu dengan memakai metode qiyas,
istishab , dan lain sebagainya.
Menurut al -Khudhari Beik dalam kitab ushul fiqhnya, tujuan
mempelajari ilmu ushul fiqh yaitu sebagai berikut :
1. Mengemukakan syarat -syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid, agar mampu menggali hukum syarak secara tepat.
2. Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hukum
syarak melalui metode yang dikembangkan oleh para mujtahid,
sehinggga dapat memecahkan berbagai persoalan baru yang
muncul.
3. Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber
dan dalil hukum. Ushul fiqh menjadi tol ok ukur validitas
kebenaran sebuah ijtihad.
4. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat
dari dalil yang mereka gunakan.
5. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan
dengan dalil yang dipakai dalam berijtihad, sehingga para
pemerhati hukum Islam dapat melakukan seleksi salah satu dalil
atau pendapat ini dengan mengemukakan pendapatnya.
berdasar uraian di atas dapat diketahui bahwa ilmu ushul
fiqh memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang sistem
syarak akan dapat dipahami dan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya dapat diketahui, serta sesuatu yang dapat menghilangkan
ketidakjelasan lafaz yang samar. Di samping itu diketahui pula dalil-
dalil yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara satu dalil
dengan dalil yang lainnya.13 Termasuk menetapkan metode yang
paling tepat untuk menggali hukum dari sumbernya terhadap
sesuatu kejadian konkrit yang tidak ada nashnya dan mengetahui
dengan sempurna dasar-dasar dan metode yang dipakai para
mujtahid dalam mengambil hukum sehingga terhindar dari taklid.
juga membicarakan metode penerapan hukum bagi
peristiwa-peristiwa atau tindakan-tindakan yang tidak ditemukan
secara eksplisit nashnya, yaitu dengan memakai metode qiyas,
istishab , dan lain sebagainya.
Menurut al -Khudhari Beik dalam kitab ushul fiqhnya, tujuan
mempelajari ilmu ushul fiqh yaitu sebagai berikut :
1. Mengemukakan syarat -syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid, agar mampu menggali hukum syarak secara tepat.
2. Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hukum
syarak melalui metode yang dikembangkan oleh para mujtahid,
sehinggga dapat memecahkan berbagai persoalan baru yang
muncul.
3. Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber
dan dalil hukum. Ushul fiqh menjadi tol ok ukur validitas
kebenaran sebuah ijtihad.
4. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat
dari dalil yang mereka gunakan.
5. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan
dengan dalil yang dipakai dalam berijtihad, sehingga para
pemerhati hukum Islam dapat melakukan seleksi salah satu dalil
atau pendapat ini dengan mengemukakan pendapatnya.
berdasar uraian di atas dapat diketahui bahwa ilmu ushul
fiqh memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang sistem
hukum dan metode penetapan hukum itu sendiri. Dengan demikian
diharapkan umat Islam akan terhindar dari taklid atau ikut pada
pendapat seseorang tanpa mengetahui dalil dan alasan-
alasannya.` Ushul fiqh juga sangat penting bagi umat Islam, karena
disatu pihak pertumbuhan nash telah terhenti sejak meninggalnya
Nabi, sementara dipihak lain, akibat kemajuan sains dan teknologi,
permasalahan yang mereka hadapi kian hari kian bertambah.
Kehadiran sains dan teknologi tidak hanya dapat membantu
dan membuat kehidupan manusia menjadi mudah, tetapi juga
membawa masalah-masalah baru yang memerlukan penanganan
serius oleh para ahli dengan berbagai bidangnya. pemakaian
produk-produk teknologi maju atau pergeseran nilai-nilai sosial
sebagai konsekuensi logis proses modernisasi, langsung atau
tidak langsung telah pula membawa pengaruh yang cukup
signifikan terhadap praktik-praktik keagamaan. Hal ini antara
lain terlihat di sekitar tradisi perkawinan, kewarisan dan bahkan
ibadat sekalipun.
Sebagai contoh, dalam permasalahan pernikahan, ditemui
kasus-kasus baru seperti akad nikah lewat telepon, pemakaian
alat-alat kontrasepsi KB, harta pencarian bersama suami istri dan
lain sebagainya yang secara tekstual tidak ditemukan nashnya dalam
Alquran maupun Sunah. Di sinilah peran ulama ushul atau fukaha
dan para cendekiawan agar mereka mampu merepresentasikan
Islam untuk semua bidang kehidupan manusia. M ereka dituntut
untuk mencari kepastian itu dengan mengkaji dan meneliti nilai-
nilai normatif yang terkandung dalam Alquran dan Sunah secara
cermat dan intens dengan alat yang dipakai , yakni ilmu ushul
fiqh.
Selain dari pada itu, patut juga dipahami bersama bahwa ilmu
ushul fiqh tidak hanya berguna bagi para mujtahid atau ahli hukum
saja, akan tetapi bagi semua orang Islam untuk mencari kepastian
hukum bagi setiap masalah yang mereka hadapi sekalipun tidak
sampai ketingkat mujtahid .
M ereka akan memosisikan dirinya sebagai muttabi’ , yakni
mengikuti pendapat para ahli dengan mengetahui dalil dan alasan-
alasannya.
4. Perbedaan Fiqh dan Ushul Fiqh
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa fiqh yaitu
ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis yang
penetapannya diusaha kan melalui pemahaman yang mendalam
terhadap dalil-dalil syarak yang terperinci (tafshili) . Sedangkan ushul
fiqh yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-
pembahasan yang dijadikan sarana untuk menemukan hukum-
hukum syarak mengenai suatu perbuatan dari dalil-dalilnya yang
spesifik. Dengan demikian maka dapat diketahui perbedaan antara
ilmu fiqh dengan . Ilmu fiqh berbicara tentang hukum
dari aspek perbuatan, sedangkan berbicara tentang
metode dan proses bagaimana menemukan hukum.
Dilihat dari sudut aplikasinya, fiqh akan menjawab pertanyaan
“apa hukum suatau perbuatan”, sedangkan ushul Fiqh akan
menjawab pertanyaan “bagaimana cara menemukan atau proses
penemuan hukum yang dipakai ”. Dengan kata lain, fiqh lebih
bercorak produk, sedangkan ushul fiqh lebih bercorak metodologis.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa fiqh merupakan koleksi
produk hukum, sedangkan ushul fiqh merupakan koleksi
metodologis yang sangat diperlukan untuk memproduk hukum.
M ereka akan memosisikan dirinya sebagai muttabi’ , yakni
mengikuti pendapat para ahli dengan mengetahui dalil dan alasan-
alasannya.
4. Perbedaan Fiqh dan Ushul Fiqh
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa fiqh yaitu
ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis yang
penetapannya diusaha kan melalui pemahaman yang mendalam
terhadap dalil-dalil syarak yang terperinci (tafshili) . Sedangkan ushul
fiqh yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-
pembahasan yang dijadikan sarana untuk menemukan hukum-
hukum syarak mengenai suatu perbuatan dari dalil-dalilnya yang
spesifik. Dengan demikian maka dapat diketahui perbedaan antara
ilmu fiqh dengan . Ilmu fiqh berbicara tentang hukum
dari aspek perbuatan, sedangkan berbicara tentang
metode dan proses bagaimana menemukan hukum.
Dilihat dari sudut aplikasinya, fiqh akan menjawab pertanyaan
“apa hukum suatau perbuatan”, sedangkan ushul Fiqh akan
menjawab pertanyaan “bagaimana cara menemukan atau proses
penemuan hukum yang dipakai ”. Dengan kata lain, fiqh lebih
bercorak produk, sedangkan ushul fiqh lebih bercorak metodologis.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa fiqh merupakan koleksi
produk hukum, sedangkan ushul fiqh merupakan koleksi
metodologis yang sangat diperlukan untuk memproduk hukum.
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam
menghasilkan produk hukum yang dikenal dengan fiqh,
karena ushul fiqh yaitu ketentuan atau kaidah yang harus
dipakai oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh.
Namun dalam kenyataanya, penyusunan fiqh dilakukan lebih
dahulu dari pada . Oleh karena itu diperlukan
adanya pemahaman tentang sejarah pertumbuhan dan
perkembangan sehingga diharapkan tidak
akan mengalami kesulitan dalam memahami pertautan antara
fiqh dengan .
1. Latar Belakang dan Historis Ushul Fiqh
Kemunculan tidak terlepas dari dinamika
pemikiran hukum Islam abad ke-2 H, khususnya berkenaa n dengan
diskursus metode istinbath hukum Islam. Sebagian ulama
mengkhawatirkan terabaikannya ruh at- tasyri‘ atau maqashid al-
syari‘ah , sementara kelompok ulama yang lain mengandalkan
pemahaman literal dalam memahami nas Al-Qur’an dan Sunah. Ada
kekhawatiran ijtihad akan berkembang dengan tingkat kebebasan
berpikir yang tak terkontrol.
Sebagian ulama kemudian termotivasi untuk menformat “kode
etik” dalam ber - istinbath . yaitu Imam al-Syafi’ i yang dianggap
sebagai pionirnya.
Sebagaimana diketahui bahwa setelah Rasulullah saw. wafat,
masa peletakan dan pembentukan dasar-dasar hukum Islam dalam
pengertian yang sebenarnya telah berberakhir, sesuai dengan firman
Allah swt. sebagai berikut.
ِووَل ِْ ْن ُْيوَوت َ َُ ووَل ََْأَت ْن ََُووُِْ ْنوو َُل َُ ووْتَلْمَأ َمْمووَويْلا ُ وو ِْ ا ِفووَلَْ اووَنُِْ َمَيوو َْ ِْلا ُنوو َُل َُ يوو ِِ َََت
: ةدوئاولما(.ٌنيِحََ ٌَمُفَغ َه تلا نَِإْ ٍْثْ ِِل ٍف ِاَجَتُم َ ْويَغ ٍةَصَلَْمَ3)
Artinya : Pada hari ini telah Ku -sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku -cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku -ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka,
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Q.S. al -Ma’idah [5]: 3)
Setelah Nabi saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada masalah
penentuan dan atau penetapan hukum Islam berkenaan dengan
problem-problem yang dihadapi tetapi tidak ditemukan dasar
hukumnya secara langsung dalam nas Al-Qur’an dan Sunah. Dalam
konteks ini, para ulama sebagai ahli waris para Nabi saw. (waratsat
al- anbiya’ ) oleh Alquran dan Sunnh diberi kewenangan untuk
berijtihad guna menentukan dan atau menetapkan hukum Islam.
Karenanya, secara substantif ushul fiqh pada dasarnya telah
tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya kegiatan ijtihad, yakni sejak
masa sahabat. Ha nya saja pada masa sahabat ushul fiqh masih
bersifat praktis-terapan, seperti ketika sahabat akan mengeluarkan
fatwa atau akan mengambil keputusan hukum dalam proses
Sebagian ulama kemudian termotivasi untuk menformat “kode
etik” dalam ber - istinbath . yaitu Imam al-Syafi’ i yang dianggap
sebagai pionirnya.
Sebagaimana diketahui bahwa setelah Rasulullah saw. wafat,
masa peletakan dan pembentukan dasar-dasar hukum Islam dalam
pengertian yang sebenarnya telah berberakhir, sesuai dengan firman
Allah swt. sebagai berikut.
ِووَل ِْ ْن ُْيوَوت َ َُ ووَل ََْأَت ْن ََُووُِْ ْنوو َُل َُ ووْتَلْمَأ َمْمووَويْلا ُ وو ِْ ا ِفووَلَْ اووَنُِْ َمَيوو َْ ِْلا ُنوو َُل َُ يوو ِِ َََت
: ةدوئاولما(.ٌنيِحََ ٌَمُفَغ َه تلا نَِإْ ٍْثْ ِِل ٍف ِاَجَتُم َ ْويَغ ٍةَصَلَْمَ3)
Artinya : Pada hari ini telah Ku -sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku -cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku -ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka,
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Q.S. al -Ma’idah [5]: 3)
Setelah Nabi saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada masalah
penentuan dan atau penetapan hukum Islam berkenaan dengan
problem-problem yang dihadapi tetapi tidak ditemukan dasar
hukumnya secara langsung dalam nas Al-Qur’an dan Sunah. Dalam
konteks ini, para ulama sebagai ahli waris para Nabi saw. (waratsat
al- anbiya’ ) oleh Alquran dan Sunnh diberi kewenangan untuk
berijtihad guna menentukan dan atau menetapkan hukum Islam.
Karenanya, secara substantif ushul fiqh pada dasarnya telah
tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya kegiatan ijtihad, yakni sejak
masa sahabat. Ha nya saja pada masa sahabat ushul fiqh masih
bersifat praktis-terapan, seperti ketika sahabat akan mengeluarkan
fatwa atau akan mengambil keputusan hukum dalam proses
peradilan. Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ ud, dan
beberapa sahabat besar lainnya dikenal sebagai fukaha lantaran
produk-produk pemikiran hukumnya selalu menjadi acuan umat
Islam saat itu. Artinya, pada masa sahabat, ushul fiqh sejatinya
sudah ada, namun belum berwujud sebagai sebuah disiplin
keilmuan. Pada masa tabi’in pun kond isinya relatif sama, ushul fiqh
sudah ada dan terus berkembang, namun belum terformulasi secara
sistematis.
Pada masa sahabat, aktivitas, proses dan pola ijtihad berjalan
secara alamiah. Para sahabat tidak mengalami kesulitan yang berarti
untuk mengambil pelajaran hukum dari Alquran dan Sunah. Hal ini
dikarenakan para sahabat sangat paham akan motif dan konteks
turunnya wahyu atau munculnya sabda Rasulullah saw. ( asbab nuzul
al- ayat dan asbab wurud al - ahadits), sahabat mengetahui ayat-ayat
nasikh - mansukh , dan lain sebagainya. Di samping itu, para sahabat
juga menguasai bahasa Arab berikut kaidah-kaidahnya serta
mengetahui pemakaian kosa kata (lafal) yang dipakai dalam
Alquran dan Sunah. Hal lain, kondisi umat Islam saat itu masih
relatif homogen, umat Islam belum ekspansi ke luar jazirah Arab
sehingga belum berhadapan dengan praktik kehidupan asing di luar
Arab. Karenanya, aktivitas ijtihad pada era ini relatif tidak atau
belum memerlukan konsep-konsep teoretis .
Setelah daerah kekuasaan Islam bertambah luas meliputi
daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang memiliki
kebudayaan dan struktur warga yang berbeda seperti Romawi,
Persia, Mesir, dan Syria, persoalan-persoalan kewarga an
baru pun bermunculan yang status hukumnya tidak mudah dirujuk
secara langsung dari Alquran dan Sunah. Untuk menyelesaikan hal
yang demikian, maka para sahabat berijtihad, tetapi kerja ijtihad
pada fase ini mulai menjadi tidak sederhana. Untuk mengetahui
benar atau tidaknya hasil ijtihad, maka dalam masalah-masalah yang
dianggap penting dan menyangkut kepentingan orang banyak, para
sahabat selalu bermusyawarah sehingga produk ijtihadnya
merupakan konsensus bersama (ijmak).
Abu Bakar diberitakan tidak mengizinkan Umar keluar dari
Madinah menyertai pasukan Muslim. Ia minta izin kepada Usamah,
komandan pasukan ekspedisi Islam, untuk menahan Umar agar
tetap tinggal bersamanya. Ini dilakukan karena ia membutuhkan
orang yang memiliki pendapat yang bijak dan tajam pikirannya
dalam memecahkan soal-soal negara. Demikian juga bila
ditanya masalah-masalah hukum yang tidak diketahuinya, ia tidak
ragu-ragu untuk berkonsultasi dengan minta pendapat orang
banyak secara terbuka. Setelah masa pemerintahan Umar, ijtihad
kolektif mengalami kesulitan lantaran para sahabat telah mulai
menyebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, seperti ke Mesir,
Suriah, Irak, Persia, dan lain sebagainya.
Alquran dan Sunah diturunkan dalam bahasa Arab yang bisa
ditangkap dan dipahami oleh manusia. Namun pada tataran praktis,
tidak jarang para ulama mengalami kendala dalam memahami
Alquran dan Sunah, terutama ulama non-Arab (‘ajam). Di samping
itu, sebagian besar nas Alquran dan Sunah bersifat zhanni al- dalalah
yang multiinterpretasi, sehingga memungkinkan untuk
diinterpretasikan berdasar situasi dan kondisi umat Islam.
Eksistensi nas yang zanni dan interpretable ini merupakan bukti
universalitas ajaran Islam, di mana untuk aplikasinya membutuhkan
kreativitas intelektual, pengambilan konklusi hukum berdasar
perangkat metodologi (thuruq al - istinbath ).
Al-Juwaini (478 H) pernah menyatakan bahwa 90% fatwa yang
dikeluarkan para sahabat dan tabi’in serta generasi sesudahnya
berasal dari istinbath , bukan berasal dari nas-nas syarak secara
dianggap penting dan menyangkut kepentingan orang banyak, para
sahabat selalu bermusyawarah sehingga produk ijtihadnya
merupakan konsensus bersama (ijmak).
Abu Bakar diberitakan tidak mengizinkan Umar keluar dari
Madinah menyertai pasukan Muslim. Ia minta izin kepada Usamah,
komandan pasukan ekspedisi Islam, untuk menahan Umar agar
tetap tinggal bersamanya. Ini dilakukan karena ia membutuhkan
orang yang memiliki pendapat yang bijak dan tajam pikirannya
dalam memecahkan soal-soal negara. Demikian juga bila
ditanya masalah-masalah hukum yang tidak diketahuinya, ia tidak
ragu-ragu untuk berkonsultasi dengan minta pendapat orang
banyak secara terbuka. Setelah masa pemerintahan Umar, ijtihad
kolektif mengalami kesulitan lantaran para sahabat telah mulai
menyebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, seperti ke Mesir,
Suriah, Irak, Persia, dan lain sebagainya.
Alquran dan Sunah diturunkan dalam bahasa Arab yang bisa
ditangkap dan dipahami oleh manusia. Namun pada tataran praktis,
tidak jarang para ulama mengalami kendala dalam memahami
Alquran dan Sunah, terutama ulama non-Arab (‘ajam). Di samping
itu, sebagian besar nas Alquran dan Sunah bersifat zhanni al- dalalah
yang multiinterpretasi, sehingga memungkinkan untuk
diinterpretasikan berdasar situasi dan kondisi umat Islam.
Eksistensi nas yang zanni dan interpretable ini merupakan bukti
universalitas ajaran Islam, di mana untuk aplikasinya membutuhkan
kreativitas intelektual, pengambilan konklusi hukum berdasar
perangkat metodologi (thuruq al - istinbath ).
Al-Juwaini (478 H) pernah menyatakan bahwa 90% fatwa yang
dikeluarkan para sahabat dan tabi’in serta generasi sesudahnya
berasal dari istinbath , bukan berasal dari nas-nas syarak secara
langsung. Artinya, fatwa-fatwa yang dikeluarkan para ulama
sepanjang masa sebagian besar yaitu produk ijtihad yang tentu saja
dengan mengaplikasikan . Dengan kata lain, tidaklah
mudah menangkap pesan-pesan spiritual-religius dari nas Alquran
dan Sunah tanpa memakai piranti yang memadai, baik aspek
semantika-linguistik maupun aspek fenomenologi.
Pada dasarnya setiap orang berhak untuk berijtihad, karena
ijtihad bukan monopoli seseorang atau golongan terentu. Akan
tetapi, bila tidak ada seleksi, limitasi, dan parameter yang
terukur, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi manipulasi
penafsiran terhadap Alquran dan Sunah, kemudian mengklaim
bahwa hanya pendapat atau penafsirannya sendiri yang paling
benar. bila semua pihak merasa berhak untuk melakukan
interpretasi menurut versi dan kepentingan masing-masing, pada
akhirnya syariat tidak lagi menjadi rahmatan li al - ‘alamin, akan
berubah menjadi “alat“ oleh orang -orang yang tidak memiliki
kompetensi untuk berijtihad. Untuk mengantisipasi hal -hal yang
demikian, maka para ulama-mujtahid membuat “rancang bangun“
metodologi ijtihad sebagai “kode etik“ dalam memahami Alquran dan
Sunah.
2. Aliran Ahl al - Hadits dan Ahl al - Ra’yi
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa ilmu
ushul fiqh mulai terkodifikasi dan tersusun sistematis pada era imam
mazhab, yakni pada awal -pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Latar
belakang kemunculan yaitu lantaran dinamika
ijtihad yang berkembang saat itu menimbulkan kegalauan lantaran
kebebasan berijtihad nyaris tanpa kendali, mengiringi pesatnya
perkembangan zaman dan penyebaran Islam ke wilayah -wilayah di
luar Hijaz (Mekah dan Madinah).
Terlebih ketika persoalan-persoalan keagamaan mulai
bercampur aduk dengan persoalan-persoalan politik dan pada
periode Dinasti Abbasiyah dunia Islam mulai bersentuhan dengan
pemikiran filsafat. Saat itu terjadi “kompetisi” ijtihad yang “tidak
sehat”. Masing -masing tokoh ulama menciptakan kerangka dan pola
berijtihad sendiri-sendiri.
Keragaman pola pendekatan dalam berijtihad selanjutnya
mengerucut pada dua aliran yang dikenal dengan kelompok ahl al-
hadis di Hijaz dan kelompok ahl al- ra’yi di Irak. Di antara kedua
aliran ini kemudian saling mencela dan saling menyalahkan.
Ahl al - ra’yi mencela ahl al- hadits sebagai tidak memakai akal-
logika secara memadai dalam berijtihad, demikian pula sebaliknya
ahl al- hadits mencela dan menyalahkan ahl arlra’yi sebagai terlalu
mendewa-dewakan logika dan penalaran dalam beragama, terlalu
banyak berkhayal dan berasumsi dalam berijtihad. Situasinya
kemudian diperkeruh oleh para murid atau pengikut masing-masing
aliran yang secara fanatik membela tokoh dan aliran yang dianutnya
sehingga suasana menjadi semakin kacau.29
Mencermati situasi dan kondisi yang demikian
mengkhawatirkan, yakni aktivitas ijtihad yang tak beraturan da n
timbulnya eskalasi friksi-friksi yang “tidak bersahabat”, maka Abd al -
Rahman bin Mahdi (w. 198 H), seorang ulama ahli hadis di Hijaz,
merasa prihatin. Abd al-Rahman kemudian berkirim “ risalah”
meminta kesediaan Imam asl-Syafi’i untuk “turun tangan”
menertibkan aktivitas ijtihad yang cenderung tak berpematang.
Imam al-Syafi’i kemudian mengirimkan “ risalah” balasan yang berisi
uraian bagaimana seharusnya menggali makna Alquran, kriteria
hadis yang dapat dijadikan hujah, menjelaskan nasikh dan mansukh ,
dan lain sebagainya, termasuk menjelaskan tentang ijmak. Risalah
al-Syafi’i yang ditujukan kepada Abd al -Rahman bin Mahdi dikenal
sebagai kitab al- Risalah .
berdasar kronologis yang demikian, maka dapat dikatakan
bahwa kitab al- Risalah karya al-Syafi’i sejat inya merupakan sebuah
Terlebih ketika persoalan-persoalan keagamaan mulai
bercampur aduk dengan persoalan-persoalan politik dan pada
periode Dinasti Abbasiyah dunia Islam mulai bersentuhan dengan
pemikiran filsafat. Saat itu terjadi “kompetisi” ijtihad yang “tidak
sehat”. Masing -masing tokoh ulama menciptakan kerangka dan pola
berijtihad sendiri-sendiri.
Keragaman pola pendekatan dalam berijtihad selanjutnya
mengerucut pada dua aliran yang dikenal dengan kelompok ahl al-
hadis di Hijaz dan kelompok ahl al- ra’yi di Irak. Di antara kedua
aliran ini kemudian saling mencela dan saling menyalahkan.
Ahl al - ra’yi mencela ahl al- hadits sebagai tidak memakai akal-
logika secara memadai dalam berijtihad, demikian pula sebaliknya
ahl al- hadits mencela dan menyalahkan ahl arlra’yi sebagai terlalu
mendewa-dewakan logika dan penalaran dalam beragama, terlalu
banyak berkhayal dan berasumsi dalam berijtihad. Situasinya
kemudian diperkeruh oleh para murid atau pengikut masing-masing
aliran yang secara fanatik membela tokoh dan aliran yang dianutnya
sehingga suasana menjadi semakin kacau.
Mencermati situasi dan kondisi yang demikian
mengkhawatirkan, yakni aktivitas ijtihad yang tak beraturan da n
timbulnya eskalasi friksi-friksi yang “tidak bersahabat”, maka Abd al -
Rahman bin Mahdi (w. 198 H), seorang ulama ahli hadis di Hijaz,
merasa prihatin. Abd al-Rahman kemudian berkirim “ risalah”
meminta kesediaan Imam asl-Syafi’i untuk “turun tangan”
menertibkan aktivitas ijtihad yang cenderung tak berpematang.
Imam al-Syafi’i kemudian mengirimkan “ risalah” balasan yang berisi
uraian bagaimana seharusnya menggali makna Alquran, kriteria
hadis yang dapat dijadikan hujah, menjelaskan nasikh dan mansukh ,
dan lain sebagainya, termasuk menjelaskan tentang ijmak. Risalah
al-Syafi’i yang ditujukan kepada Abd al -Rahman bin Mahdi dikenal
sebagai kitab al- Risalah .30
berdasar kronologis yang demikian, maka dapat dikatakan
bahwa kitab al- Risalah karya al-Syafi’i sejat inya merupakan sebuah
usaha sistematisasi ijtihad dalam sebuah kerangka teoretis berikut
kaidah-kaidahnya. Karenanya, wajar bila al -Syafi’i dianggap
sebagai tokoh utama yang berusaha membendung kebebasan
berijtihad yang tak berpola. Artinya, al-Syafi’i telah berhasil
meletakkan landasan berijtihad secara bertanggung jawab dengan
tetap mengacu pada Alquran dan Sunah, tanpa meninggalkan
kebebasan bernalar yang mutlak
dibutuhkan dalam membaca realitas sosial.
Sebagaimana telah dijelaskan, merupakan
seperangkat kaidah atau norma untuk mengintroduksi hukum-
hukum syarak yang berkenaan dengan perilaku mukalaf berdasar
dalil-dalil Alquran dan Sunah. Ilmu ini diproyeksikan sebagai
kerangka metodologis dalam kajian dan pemahaman hukum Islam
yang diambil dari nas Alquran dan Sunah, Dapat pula dikatakan
bahwa merupakan kaidah universalnya ilmu tentang
hukum Islam berdasar dalil-dalil terperinci yang ada dalam
Alquran dan Sunah. Artinya, merupakan media
untuk dapat mentransformasikan maqashid al - syari‘ah dan
merupakan disiplin ilmu keislaman yang memiliki peran penting
dalam pembaruan hukum Islam.
Secara garis besar, membahas mengenai teori
hukum Islam, dasar-dasar pemikiran, dan kaidah-kaidah yang sangat
diperlukan sebagai pijakan dasar dalam membangun sebuah
formulasi hukum Islam yang muncul di tengah warga . Kajian
utama ilmu ini yaitu tentang sumber-sumber hukum Islam yang
dapat dijadikan sebagai hujah, membicarakan Alquran dan Sunah
sebagai dua sumber utama hukum Islam, serta dalil-dalil lain yang
bersifat subordinat dari Alquran dan Sunah.
Di sinilah letak urgensi , yakni menjelaskan
sumber-sumber hukum Islam serta menjembatani petunjuk-
petunjuk nas dengan realitas kehidupan umat manusia. Karenanya,
posisi sangat penting dalam dunia pemikiran Islam,
terutama bagi para mujtahid yang hendak meng-istinbath -kan
hukum syarak secara benar dan bertanggung jawab. Dengan kata
lain, merupakan disiplin keilmuan yang paling
kompeten dalam proses membentuk dan memberikan corak hukum
Islam yang diharapkan.
Beberapa ulama yang memiliki kontribusi pemikiran dalam
bidang di antaranya Imam Abu Hanifah (w. 150 H)
yang hidup dan dibesarkan di Irak, sebuah kota metropolitan pada
masa itu. Ia tersekat dalam kubu ahli ra’yu (aliran rasionalis) dan
dikenal sangat selektif dalam menetukan hadis yang dapat
dipakai sebagai hujah dan sering memakai pendekatan
analogi dalam sistem peng-istinbath -an hukumnya. Karakternya
jauh berbeda secara diametral dengan Imam Malik (w. 179 H.) yang
berdomisili di Madinah. Kondisi kultural penduduk Madinah
memengaruhi mindset dan jati diri Imam Malik sebagai ahli hadis. Ia
dikenal sangat terikat dengan fatwa-fatwa sahabat dan amalan-
amalan penduduk Madinah yang sudah mentradisi. Imam Malik lebih
mendahulukan hadis, betapapun lemahnya kualitas hadis ini ,
seperti hadis mursal dan hadis munqathi‘ , ketimbang memakai
penalaran analogis. Kemudian pada masa beri kutnya al-Syafi’i (w.
204 H) tampil sebagai mediator kedua aliran di atas. Al -Syafi’i sangat
respek terhadap pemakaian analogi dalam sistem istinbath
hukumnya. Namun di sisi lain, ia juga tidak segan-segan
mengadakan pembelaan terhadap kubu tradisionalis-ahli hadis.
3. Aliran Mutakallimin dan Ahnaf
Pesatnya dinamika ijtihad dan menyebabkan
lahirnya dua corak dalam proses penyusunan dan pembakuan teori
, yakni aliran mutakallimin dan aliran ahnaf. Corak
pemikiran ushul fiqh mut akallimin didasarkan pada metode
istinbath hukum yang dilakukan oleh kebanyakan ulama ushul fiqh.
Di samping al-Syafi’i sendiri sebagai pendiri , ikut
terutama bagi para mujtahid yang hendak meng-istinbath -kan
hukum syarak secara benar dan bertanggung jawab. Dengan kata
lain, merupakan disiplin keilmuan yang paling
kompeten dalam proses membentuk dan memberikan corak hukum
Islam yang diharapkan.
Beberapa ulama yang memiliki kontribusi pemikiran dalam
bidang di antaranya Imam Abu Hanifah (w. 150 H)
yang hidup dan dibesarkan di Irak, sebuah kota metropolitan pada
masa itu. Ia tersekat dalam kubu ahli ra’yu (aliran rasionalis) dan
dikenal sangat selektif dalam menetukan hadis yang dapat
dipakai sebagai hujah dan sering memakai pendekatan
analogi dalam sistem peng-istinbath -an hukumnya. Karakternya
jauh berbeda secara diametral dengan Imam Malik (w. 179 H.) yang
berdomisili di Madinah. Kondisi kultural penduduk Madinah
memengaruhi mindset dan jati diri Imam Malik sebagai ahli hadis. Ia
dikenal sangat terikat dengan fatwa-fatwa sahabat dan amalan-
amalan penduduk Madinah yang sudah mentradisi. Imam Malik lebih
mendahulukan hadis, betapapun lemahnya kualitas hadis ini ,
seperti hadis mursal dan hadis munqathi‘ , ketimbang memakai
penalaran analogis. Kemudian pada masa beri kutnya al-Syafi’i (w.
204 H) tampil sebagai mediator kedua aliran di atas. Al -Syafi’i sangat
respek terhadap pemakaian analogi dalam sistem istinbath
hukumnya. Namun di sisi lain, ia juga tidak segan-segan
mengadakan pembelaan terhadap kubu tradisionalis-ahli hadis.
3. Aliran Mutakallimin dan Ahnaf
Pesatnya dinamika ijtihad dan menyebabkan
lahirnya dua corak dalam proses penyusunan dan pembakuan teori
, yakni aliran mutakallimin dan aliran ahnaf. Corak
pemikiran ushul fiqh mut akallimin didasarkan pada metode
istinbath hukum yang dilakukan oleh kebanyakan ulama ushul fiqh.
Di samping al-Syafi’i sendiri sebagai pendiri , ikut
tergabung di dalam aliran ini yaitu para ulama dari Mazhab Maliki,
Hanbali, Syi’ah Im amiyah, Zaidiyah, dan Abadiyah. 34
Dengan memakai kerangka berpikir induktif, aliran
mutakallimin membangun metode berpikir rasional-sistematik
sebagai parameter dalil, yang kepadanya semua produk ijtihad dapat
dilandaskan.35 Adapun corak pemikiran ushul fiqh ahnaf meletakkan
dasar-dasar hukum operasional dalam dataran cabang (furu‘ )
sebagai landasan operasional ushul fiqhnya. Pola istinbath hukum
seperti ini banyak dipakai oleh ulama-ulama Hanafiyah,
sebagaimana tercermin dalam penisbatan dan penanaman ahnaf
bagi aliran pemikiran ini.36
4. Ulama - ulama Ushul Fiqh
mengalami transmisi keilmuan secara
berkesinambungan dan perkembangannya yang lebih mapan terjadi
pada rentang abad ke-5 sampai ke -6 Hijriyah, ditandai dengan
lahirnya ulama-ulama ushul fiqh seperti Abu al-Husain al -Basri (w.
463 H), Imam al -Haramain al -Juwaini (w. 487 H), Imam al -Gazali (w.
505 H), Fakhr al -Din ar-Razi (w. 606 H), dan Saif al -Din al-Amidi (w.
631 H). Mereka ini yaitu kelompok ulama ushul dari kalangan
Syafi’iyyah. Munc ul pula tokoh-tokoh dari kalangan Hanafiyah
seperti al-Karkhi (w. 260 H), al -Jashshash (w. 370 H), al -Bazdawi (w.
483 H), dan al -Sarakhsi (w. 490 H) Sumber literatur lain
menyebutkan bahwa di kalangan Mazhab Hanafi, Abu Yusuf al -
Hanafi dan Muhammad bin Has an dikabarkan telah menyusun buku
tentang kaidah ushul fiqh. Namun, sangat disayangkan jejak sejarah
karyanya ini tidak ditemukan.
Di kalangan Mazhab Syi’ah, muncul melalui
Muhammad al -Baqir, Ali bin Zain al -Abidin, dan Ja’far ash -Shadiq.38
Fase berikutnya yaitu kegiatan penulisan syarah atau
mukhtashar .39 Contoh paling fenomenal yang berhasil menghimpun
berbagai pendapat dalam satu karya yaitu Jam‘ al - Jawami‘ yang
ditulis oleh Taj al-Din ‘Abd al -Wahh ab ibn ‘Ali al -Subki al-Syafi’i (w .
771 H) yang konon merupakan kompilasi “seratus” karya di bidang
. Pada periode ini pula muncul sebuah terobosan baru
dalam ushul fiqh, yang secara serius mengupas masalah maqashid
al- syari‘ah yang ditulis oleh Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H) dalam
kitab al- Muwafaqat fi Ushul al - Ahkam . Setelah periode ini ,
kegiatan penulisan di bidang mengalami
kemunduran. Kecuali Muhibb al -Din ibn ‘Abd al -Syakur (w. 1119 H),
penulis Musallam al - Tsubut , dan Muhammad bin ‘Ali bin Muhamm ad
al-Syaukani (w. 1250 H), penulis Irsyad al - Fuhul ila al - Haqq min ‘Ilm
al- Ushul . Masa -masa berikutnya tidak lagi ditemukan karya-karya
bidang ushul fiqh yang berpengaruh luas, kecuali hanya sekadar
mengulas dan memperjelas.
Dinamika dan perkembangan dari waktu ke
waktu.
Imam al-Syafi’i, yang dikatagorikan sebagai peletak batu
pertama dalam sejarah ushul fiqh, menulis tentang ushul fiqh
dengan sistematika yang masih sederhana, namun muatannya
sangat padat dan berbobot. Selanjutnya, kitab ar- Risalah yang masih
sederhana ini dikembangkan oleh ulama Syafi’yah generasi
berikutnya, seperti Imam al-Haramain al -Juwaini (478 H), Im am al-
Gazali (505 H), Imam Fakhr al -Razi (606 H), serta dikembangkan lagi
oleh Imam al-Qarafi (687 H) dari ulama M alikiyah.
Di sisi lain, para ulama Hanafiyah seperti Abu Mansur al -
Maturidi (333 H), Abu Hasan al -Karkhi (340 H), Abu Bakr al -
Jashshash, al -Dabbusi (430 H), al -Bazdawi, al -Sarakhsi (483 H), dan
al-Nasafi (710 H) telah menyusun kitab -kitab ushul fiqh dengan
Di kalangan Mazhab Syi’ah, muncul melalui
Muhammad al -Baqir, Ali bin Zain al -Abidin, dan Ja’far ash -Shadiq.
Fase berikutnya yaitu kegiatan penulisan syarah atau
mukhtashar . Contoh paling fenomenal yang berhasil menghimpun
berbagai pendapat dalam satu karya yaitu Jam‘ al - Jawami‘ yang
ditulis oleh Taj al-Din ‘Abd al -Wahh ab ibn ‘Ali al -Subki al-Syafi’i (w .
771 H) yang konon merupakan kompilasi “seratus” karya di bidang
. Pada periode ini pula muncul sebuah terobosan baru
dalam ushul fiqh, yang secara serius mengupas masalah maqashid
al- syari‘ah yang ditulis oleh Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H) dalam
kitab al- Muwafaqat fi Ushul al - Ahkam Setelah periode ini ,
kegiatan penulisan di bidang mengalami
kemunduran. Kecuali Muhibb al -Din ibn ‘Abd al -Syakur (w. 1119 H),
penulis Musallam al - Tsubut , dan Muhammad bin ‘Ali bin Muhamm ad
al-Syaukani (w. 1250 H), penulis Irsyad al - Fuhul ila al - Haqq min ‘Ilm
al- Ushul . Masa -masa berikutnya tidak lagi ditemukan karya-karya
bidang ushul fiqh yang berpengaruh luas, kecuali hanya sekadar
mengulas dan memperjelas.
Dinamika dan perkembangan dari waktu ke
waktu.
Imam al-Syafi’i, yang dikatagorikan sebagai peletak batu
pertama dalam sejarah ushul fiqh, menulis tentang ushul fiqh
dengan sistematika yang masih sederhana, namun muatannya
sangat padat dan berbobot. Selanjutnya, kitab ar- Risalah yang masih
sederhana ini dikembangkan oleh ulama Syafi’yah generasi
berikutnya, seperti Imam al-Haramain al -Juwaini (478 H), Im am al-
Gazali (505 H), Imam Fakhr al -Razi (606 H), serta dikembangkan lagi
oleh Imam al-Qarafi (687 H) dari ulama M alikiyah.
Di sisi lain, para ulama Hanafiyah seperti Abu Mansur al -
Maturidi (333 H), Abu Hasan al -Karkhi (340 H), Abu Bakr al -
Jashshash, al -Dabbusi (430 H), al -Bazdawi, al -Sarakhsi (483 H), dan
al-Nasafi (710 H) telah menyusun kitab -kitab ushul fiqh dengan
metodologi tersendiri. Di samping itu, ada pula beberapa ulama
kontemporer yang menulis kitab ushul fiqh dengan cara
menggabungkan dua metodologi di atas, seperti al-Qarafi, al-Subuki,
Ibnu Qayyim (751 H), al -Syathibi, asy-Syaukani, dan lain sebagainya.
Semenjak dirancang sebagai kerangka teoretis yang sistematis,
telah mengalami perubahan demi perubahan secara
ev olutif. Sebagai contoh, al-Baqill ani mengintegrasikan ilmu kalam
kedalam , sedangkan al-Gazali dalam kitab Tahafut
al- Falasifah memasukkah ilmu mantiq sebagai bagian dalam
pembahasan ushul fiqh. Pembaruan juga telah dilakukan oleh al -
Syathibi dalam kitab al- Muwafaqat dengan kajian maqahsid al -
syari‘ah ,41 tidak hanya terpaku pada pemahaman literal nas.
Kehadiran a l-Syathibi seakan ingin lebih melengkapinya agar ilmu
ini dapat lebih sempurna dalam memahami perintah Allah swt. Di
kemudian hari embrio, pemikiran yang dibawa al-Syathibi
direvitalisasi oleh para ulama pembaru ushul fiqh, seperti
Muhammad Abduh (w. 1905) , Rasyid Rida (w. 1935), Abdul Wahhab
Khallaf (w. 1956), ‘Allal al -Fasi (w. 1973), dan Hasan Turabi.
Imam al-Syathibi di dalam kitab al- Muwafaqat menyatakan
bahwa bila materi yang tertulis di dalam ushul fiqh tidak bisa
dijadikan sandaran di dalam masalah-masalah fiqh atau adab-adab
Islam, atau tidak bisa menopang keduanya, maka penyebutannya di
dalam ushul fiqh hanya sia-sia belaka.42 Begitu juga al -Isnawi (772 H)
pernah menyatakan bahwa sebagian masalah yang berhubungan
dengan bahasa sebenarnya kurang tepat jika diletakkan pada
pembahasan ushul fiqh, bahkan permasalahan ini hanya akan
menambah rumit pembahasan di dalam . Kemudian
pada abad ke-15 H sampai sekarang ini, bermunculan kitab -kitab
ushul fiqh yang sistematika pembahasannya memakai pola
pendekatan baru dan model studi komparatif ( muqaranah) guna
mempermudah dalam memahami Alquran dan atau Sunah. Sudah
barang tentu pembaruan akan terus berjalan seiring
dengan dinamika sains dan peradaban umat manusia. Kitab -kitab
ushul yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu tidak boleh
dipandang sebagai ilmu yang tidak meninggalkan satu celah sedikit
pun. Meski demikian, sangat tidak arif terlalu meremehkan karya -
karya para ulama pendahulu ini .
Fakta historis ter sebut di atas dengan jelas menunjukkan
bahwasanya selalu terjadi perubahan demi perubahan dalam ilmu
ushul, baik dari segi metode penulisan maupun dari segi materi
pembahasannya. Oleh karena itu, langkah terpenting yang harus
dilakukan bila hendak melakukan pembaruan hukum Islam, di
antaranya yaitu dengan me-review keberadaan aspek metodologi
istinbath hukum ini. Sebab, tidak tertutup kemungkinan ushul fiqh-
lah yang menjadi kendalanya, dikarenakan ilmu ini tidak cukup lagi
menjelaskan dan menyelesaikan kompleksitas permasalahan hukum
Islam yang muncul. klasik yang pada masa lalu
terbukti mampu berperan dalam membangun hukum Islam, tetapi
sekarang sebagiannya telah kehilangan relevansinya.
berdasar uraian di atas, dapat diambil sebuah konklusi
bahwa pendapat yang mengatakan itu telah baku,
final, dan tidak dapat diganggu gugat lagi, jelas tidak tepat. Hanya
saja, kritisi, review , atau apapun istilah yang dipakai bagi usaha
pembaruan harus tetap berpijak pada landasan
epistemologi Islam yang sudah menjadi kesepakatan umat sepanjang
sejarah, yaitu Alquran dan Sunah. Mendasarkan epistemologi ushul
fiqh pada Alquran dan Sunah merupakan sebuah keniscayaan untuk
menjaga orisinalitas sekaligus objektivitas huku m Islam.
Sebagai sebuah produk pemikiran Islam (Islamologi), maka
dengan demikian bersifat dinamis sekaligus nisbi dan
tidak tabu untuk dikritisi, bahkan kritisi yang mengiringi dinamika
ushul fiqh itu sejatinya merupakan sesuatu yang niscaya. Namun
demikian, semangat mengkritisi tidak boleh latah
dan berlebihan. Sebab, jika hal itu terjadi, maka akan berimplikasi
pada pengabaian karya ilmiah ulama klasik yang sangat bernilai.
dengan dinamika sains dan peradaban umat manusia. Kitab -kitab
ushul yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu tidak boleh
dipandang sebagai ilmu yang tidak meninggalkan satu celah sedikit
pun. Meski demikian, sangat tidak arif terlalu meremehkan karya -
karya para ulama pendahulu ini .
Fakta historis ter sebut di atas dengan jelas menunjukkan
bahwasanya selalu terjadi perubahan demi perubahan dalam ilmu
ushul, baik dari segi metode penulisan maupun dari segi materi
pembahasannya. Oleh karena itu, langkah terpenting yang harus
dilakukan bila hendak melakukan pembaruan hukum Islam, di
antaranya yaitu dengan me-review keberadaan aspek metodologi
istinbath hukum ini. Sebab, tidak tertutup kemungkinan ushul fiqh-
lah yang menjadi kendalanya, dikarenakan ilmu ini tidak cukup lagi
menjelaskan dan menyelesaikan kompleksitas permasalahan hukum
Islam yang muncul. klasik yang pada masa lalu
terbukti mampu berperan dalam membangun hukum Islam, tetapi
sekarang sebagiannya telah kehilangan relevansinya.
berdasar uraian di atas, dapat diambil sebuah konklusi
bahwa pendapat yang mengatakan itu telah baku,
final, dan tidak dapat diganggu gugat lagi, jelas tidak tepat. Hanya
saja, kritisi, review , atau apapun istilah yang dipakai bagi usaha
pembaruan harus tetap berpijak pada landasan
epistemologi Islam yang sudah menjadi kesepakatan umat sepanjang
sejarah, yaitu Alquran dan Sunah. Mendasarkan epistemologi ushul
fiqh pada Alquran dan Sunah merupakan sebuah keniscayaan untuk
menjaga orisinalitas sekaligus objektivitas huku m Islam.
Sebagai sebuah produk pemikiran Islam (Islamologi), maka
dengan demikian bersifat dinamis sekaligus nisbi dan
tidak tabu untuk dikritisi, bahkan kritisi yang mengiringi dinamika
ushul fiqh itu sejatinya merupakan sesuatu yang niscaya. Namun
demikian, semangat mengkritisi tidak boleh latah
dan berlebihan. Sebab, jika hal itu terjadi, maka akan berimplikasi
pada pengabaian karya ilmiah ulama k