¾ghoh, sampai muncul ke dunia, sampai menjadi makhluk yang berakal dan
sampai jdga meninggal kelak, tidaklah lepas dari tilikan Allah sebagaiPencipta
dan sebagai Pemelihara.
Untuk semua pemeliharaan, penjagaan, pendidikan dan perlindungan
itulah kita diaiar mengucapkan puji kepadal'{ya: "Rabbul 'Alamin", Tuhan
sarwa sekalian alam. Kalau kita pertalikan lagi dengan beberapa penafsirantentang 'alamin tadi, bahwa yang dimaksud ialah makhluk manusia, dapatlah
kita fahamkan betapa tingginya kedudukan insan, sebagai Khalifah Allah, di
tengah-tengah alam yang luas itu.
Maka di dalam ayat pembukaan ini, kita telah bertemu langsung dengan
Tauhid, yang mempunyai dua faham itu, yaitu Tauhid Uluhiyah pada ucapan
Alhamdu Lillohi. Dan Tauhid Rububiyah pada ucapan Robbil 'Alamin. ' Dan sudahlah jelas sekarang bahwa dalam ayat "segolo puji-pujian adalah
kepunyaan Allah, Pemelihara dari sekolion alam" itu telah mengandung
dasar Tauhid yang dalam sekali. Tidak ada yang lain yang patut dipuji, melain￾kan DIA.
"Yong Maha Murah, Yang Maha Penyaytang" (ayat 3).
Atau bisa juga diartikan Yang Pengasih, lagi Penyayang.
Ayat inimenyempumakan maksud dari ayat yang sebelumnya. JikaAllah
sebagai Robb, sebagai Pemelihara dan Pendidik bagiseluruh alam tidak lain
maksud dan isi pendidikan itu, melainkan karena Kasih-sayangNya semata dan
karena murahNya belaka, tidaklah dalam memberikan Pemeliharaan dan
pendidikan itu menuntut keuntungan bagi diriNya sendiri. Bukan sebagai
suatu Pemerintahan mengadakan suatu pendidikan "kader" dan latihan pe￾wagai, ialah karena mengharapkan apabila orang-orang yang dididik itu telah
lepas dari pendidikan, akan dapat dipergunakan menjadi pegawai yang baik.
Pemeliharaan yang Dia berikan adalah pertama karena Ar-R ahmon maknanya
ialah bila sifat Allah Yang Rahman itu telah membekas dan berjalan ke atas
hambaNya. Bertambah tinggi kecerdasan hamba itu, bertambah terasa.olehnya
betapa ar-Rahman Allah terhadap dirinya, dan sifat Ar-Rahim ialah sifat yang
tetap pada Allah. Maka Ar Rahman ialah setelah sifat itu terpaksa pada hamba,
dan Ar-Rahim ialah pada keadaannya yang tetap dan tidak pernah padam￾padamnya pada Tuhan. Dan keduanya itu adalah sama mengandung akan
sumber kata yaitu Rohmat.
Nanti dalam perpuluh ayat dalam al-Quran, kita akan bertemu keterangan
betapa Rahman dan RahimNya bagr seluruh makhluk, terutama bagi kita
manusia. Bukankah matahari dan bulan dan bintang-bintang, semuanya itu
Rahmat dari Tuhan kepada kita? Bagaimana jadinya kita hidup didunia, kalau
misalnya agak dua hari saja matahari tidak terbil? Kita manusia kadang-kadang
lupa akan Rahmat, karena kita tidak pernah dipisahkan dari Rahmat. Se￾umpama orang yang berdiam di kota besar yang telah teratur aliran listrik dan
penerangan lampu-lampu, dan telah teratur pula pipa saluran air. Mereka baru
ingat akan Rahmat adanya penerangan lampu yang teratur dan aliran air yang
telah masuk sampai ke dalam rumahnya itu ialah bilamana satu kali ada
kerusakan di Sentral listerik atau ada kebocoran pada pipa air. Di waktu semua
beres, kerap dia lupa. Setelah terganggu baru dia ingat.
Rahmat llahi, pancaran daripada sifatNya yang Rahman dan yang Rahim,
yang Murah dan Kasih-Sayang dapat kita rasaiapabila kita lihat induk ayam
mengekaskan kakinya mencarikan makanan untuk anak-anaknya. Dipecah-pecahkannya remah kecit yang didapatnya, lalu dipanggil-panggilnya anak￾anaknya dengan berkotat-kotat, maka anak-anaknya itupun berlari-lari menuju
,""f.i".n ituldan induknya sendiritidak mengambilbagian dari makanan itu.
b." .p"uit"'datang bahaya dengan tiba-tiba, dikejarnya yang hendak meng￾gan99,;lt, seekor'gajah besar. Dia tidak perduli bahwa dirinva akan hancur
ir1nfr aii"ifi si,ahl iebab dia didorong oleh sifat Rahmat yang telah dianu-
;;;k".'Aliu"n-ii"rj"Jurya, untuk meripertahankan anak - anaknya. D an i ika
;;;;;;"s"i terik,'dia p"rgi t
"
pinggir pasar untuk berteduh dan dilindunsinva
anak-anak-nya dalam naungan sayapnya, dan ada anak-anak itu yangmemanjat
ke atas punggungnya. Ditahankannya karena kasihnya'
Rahmat Ilahi pun nampak pada dua ekor burung, seekor jantan, seekor
betina; yang betina sedang mengerami telurnya dan yang jantan terbang
mencari makanan dan membawanya pulang, terbang lagi dan pulang lagi,
sedang mulutnya menggongspng sebutir makanan kecil. Keduanya bernyanyi,
bercericik, bersiul yang bunyinya dapat kita rasai, penuh dengan Rahmat.
Apatah lagi dapat kita lihat pada seorang ibu ketika melahirkan anak.
Sembilan bulan badan payah. Datang rayuan anak akan lahir, diapun tidur.
Selompat hidup, selompat mati. Sisuamiberjalan-ialan sekitar rumah dengan
dada berdebar, dipengaruhi oleh rasa cemas dan harapi cemas kalau-kalau
isteri yang dicintai diserang bahaya hingga maut karena melahirkan, dan harap
moga-moga si anak lahir dengan selamat, dan ibunya selamat pula.
Demikianlah beratnya penderitaan mengandung; bidan telah sedia me￾nolong, dan setelah ditunggu dengan harap dan cemas, lahirlah anak itu,
kedengaran tangisnya, si buyung atau si upik. Dengan kedengaran tangis itu,
kelihatanlah wajah si ibu lega, hilang kepayahannya, kadang-kadang matanya
tertidur sejenak, diliputi oleh Rahmat llahi. Dia sudah lupa samasekali akan
kepayahannya, diobati oleh tangis anaknya yang baru lahir itu. Dan si suami
yang telah mondar-mandir seiak tadi di luar kamar bersalin, setelah diberitahu
bahwa anaknya sudah lahir, anak dan ibu s'elamat, kadang-kadangmenangislah
dia karena sangat terharu. Rahmat Tuhan telah dimasukkan ke dalam jiwa
mereka semuanya.
Kabarnya konon di satu kota diAmerika Serikat, ada sebuah kuburan kecil
tidak berapa jauh dari Stasiun keretapi, yaitu kuburan dari seekor anjing. Asal
mulanya ialah karena sangat setianya anjing itu kepada tuannya, maka setiap
tuannya bepergian dia turut mengantarkan ke stasiun, dan petang hari di waktu
pulangnya, diapun pergi menjemputnya. Demikianlah berlaku tiap hari. Dia
diantar dan dijemput oleh anjingnya. Tetapi pada suatu hari, seketika dia
menjemput lagi sebagai biasa, tuannya ditunggunya tiada turun dari keretapi.
Besoknya di.iemputnya juga, namun tuannya tidak iuga pulang. Dijemputnya
terus tiap hari, dariharike hari, bulan ke bulan; namun tuan yangditunggu tidak
juga pulang. Siapakah yang akan memberitahukan kepadanya bahwa tuannya
tidak akan pulang lagi; sebab dia telah meninggal di tempat lain karena suatu
kecelakaan.
Maka pada suatu hari bertemulah orang bahwa anjing itu telah mati
kedinginan di tempatnya biasa menunggu tuannya pulang itu. Semua orang,penduduk di sekitar stasiun kecil itu tahu kisah anjing setia itu. Maka dari rasa
Rahmat Ilahi yang ada dalam hatipenduduk disana, dikuburkanlah anjing itu
dengan upacara yang layak; diberi tanda dan ditulis pada tanda itu: "Kuburan
seekor anjing yang setia".
Maka pertalian anjing itu dengan tuannya adalah pertalian Rahmat llahi,
yang ada dalam jiwa si tuan dan dimasukkan pula ke dalam naluri si anjing.
Binatang'binatang itupun kadang-kadang mempunyai naluri yang menda￾lam sekali tentang Rahmat yang ada di hati manusia. Perhatikanlah naluri
kucing yang terus saja duduk ke atas pelukan seorang tetamu yang baru sekali
ziarah ke rumah orang yang memeliharanya. Atau rnendekat dan meminta
diberi makanan, meskipun sekali itu baru bertemu dan dia tidak mendekat
kepada tetamu lain yang sama-sama duduk. Dia diberi naluri oleh ruhan bahwa
di dalam hati tetamu itu ada Rahmat.
Satu kejadian yang pernah terjadi ialah seketika ayah dan guru saya Dr.
Syaikh Abdulkarim Amrullah akan meninggaldunia. Ada seekor kucing dalam
rumah beliau yang sangat dikasihinya. Biasanya beliau sendiriyang memberi.
nya makan di piring yang khusus. Dan kalau beliau pulang dari mana-mana,
beliau tanyakan kepada orang di rumah sudahkah si Manis diberi makan?
Ketika beliau telah mulai sakit payah, kucing itu duduk terus di dekat
pembaringan beliau. Tetapi satu hal yang sangat ajaib kejadian. Seharisebelum
beliau meninggal kucing itu hilang daridekat tempat tidur beliau. Setelah hari
sore kucing itu tidak juga muncul, dan beliau sudah mulai payah, dan tidak
menanyakan lagi tentang si Manis! Seketika orang menimba air sumur, ke￾lihatanlah siManis telah menjadi bangkai didalam sumur itu. Kematian siManis
tidak diberilahukan lagi kepada beliau, sebab beliau telah dalam sakaratil-maut.
Pagi-pagi besoknya, sehari meninggal kucingnya, beliaupun meninggal.
Dengan melihat kasih-sayang suami isteri dan ayah terhadap anak, nenek
terhadap cucu. Dengan melihat kasih-sayang di antara binatang, burung￾burung dengan berbagai jenisnya, dapatlah kita mengetahui betapa besarnyi
Rahman dan Rahim Allah atas makhluk, dan akan sirnalah rasa benci, dengki
dan dendam dari hati kita. Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.:
--b;!t j ; \;4\ JY'6; a"q -itt'#i'a;-t li
),7Atju'K.i
_ ."Orang-orang yang ada rasa Rahim akan dirahmati oleh Tuhan yang
Rahman, yang memberikon berkat dan Maho Tinggi. sayangirah orang-orong
yong di bumi, supaya kamu disayangi pula oleh yang di longit. " (Dirawikan oleh
Imam Ahmad, Abu Daud, Termidzi, dan al-Hakim dari Hadis Abduilah bin
Umar).
Sampai-sampai kepada masyarakat, pergaulan hidup yang adil dan mak￾mur di atas dunia ini, disebutkan didalam ayat yang lain ialah masyarakat yangmengandung MARHAMAH, yaitu kasih mengasihi, cintai mencintai, bantu
memlbantu,-yang timbul dari rasa kemurahan dan kesayangan'*
"Yang menguasai Hari Pembaloson." (ayat 4)'
Klta aitikan yang menguasai, apabila Molikikita baca dengan memanjang￾Xun pt" p"ai t i"tiii. Dan-kita artikan "Yong Empunya Hari P-embalasan",
f.uiuu [iti baca hanya Maliki saja dengan tidak memanjangkan Mo.
Di sini dapatlah kita memahamkan betapa arti od'din. Kita hanya biasa
memberi arti od.din dengan agama. Padahal diapun berarti pembalasan. Me'
mang menurut Islam segala gerak-gerik hidup kita yang kita laksanakan
tidaklah lepas dari lingkungan agama, dan tidak lepas dari salah satu hukum
yang lima: wajib, sunnat, haram, makruh dan jaiz. Dan semuanya kelak akan
iiperhitungkan dihadapan hadirat Tuhan diakhirat; baik akan diberipembala￾san yang baik, buruk akan diberi pembalasan yang buruk. Dan yang memberi￾kan itu adalah Tuhan sendiri, dengan jalan yang seadil-adilnya'
Apabila kita telah membaca sampai di sini, timbullah perimbangan pe-
,u.uun dalam kalbu kita. Jika tadi seluruh jiwa kita telah diliputi oleh rasa
Rahmat, pancaran Rahman dan Rahim Tuhan, maka dia harus dibatasi dengan
keinsafan, bahwa betapapun Rahman dan RahimNya namun Dia Adil jua'
Rahman dan Rahim tidakiah lengkap kalau tidak disempurnakan dengan adil'
Ivlemang ada manusia yang karena amat mendalam rasa Rahmat dalam dirinya,
dan mer-esap ke dalarniiwanya kasih-sayang yang balas berbalas, memberi dan
meneri*a dlngan Tuhan, lalu dia beribadat kepada Tuhan dan berbuat bakti'
Tetapi ada juga manusia yang tidak menghargai dan tidak memperdulikan
Rahman dan Rahim Tuhan; jiwanya diselimuti oleh rasa benci, dengki, khizit
dan khianat. Tidak ada rasa syukur, tidak ada terimakasih' Jahatnya lebih
banyak dari baiknya. Kadang-kadang pandai dia menyembunyikan keadaan
yani sebenar.ryu.
-su.pai
dia mati keadaan tetap demikian. Tentu ini pasti
mendapat pembalasan.
Di dunia ini yang ada hanya penilaian, tetapi tidak ada pembalasan manu'
sia. Banyak manusia tercengang melihat orang yang zalim dan curang, tetapi
oleh karena "pandainya" 1nuin, tidak berkesan meskipun orang tahu juga' Dan
banyak pula orang ying iuiur, berbuat baik, namun penghargaan tidak ada'
Atau sengaja tidak dihargai karena pertarungan-pertarungan politik.
Di dunia ini tidak ada pembalasan yang sebenarnya dan di sinitidak ada
perhitungan yang adil:
Dan mata keridhaan gelap tidak melihat cacat
sebogai juga mata kebencian hanya melihat yang buruk saia.
Maka apabila Ar-Rahman dan Ar-Rahim telah disambungkan dengan
Maliki yaumiddin, barulah seimbang pengaMian dan pemujaan kita kepada
Tuhan. Hidup tidak berhenti hingga kini saja, akan ada sambungannya lagi,
yaitu hari pembalasan, hari agama yang sebenarnya. Kita memujiAllah Peme￾lihara seluruh alam dan pendidiknya, kita memujiNya karena Rahman dan
RahimNya dan kitapun memujNya karena buruk dan baik yang kita kerjakan di
dunia ini tidak terbuang percuma, melainkan akan diperhitungkan dan dibalasi
dengan adil di akhirat.
Kalau sudah kita rasai dan kita percaya bahwa Dia Maha Murah dan
Penyayang, tetapijuga dapat berlaku keras kepada yang melanggar, sebab Dia
menguasai penuh akan hari pembalasan, bagaimana sikap manusia lagi? Dan ke
mana kita hendak membelok lagi? Masih adakah Tuhan lain yang seperti itu?
Tidak ada!
Kita mengharapkan kasih-sayang dan kemurahanNya, dan kitapun takut
akan pembalasanNya. Jiwa kita terombang di antara Khauf, artinya takut, dan
RoTb', artirrya harap. Maka lanjutan bunyi ayat:
"Engkoulah yang kami sembah, don Engkaulah tempat kami memohon
pertolongan " (ayat 5).
Kalimat lyyaka, kita artikan Engkaulah, atau boleh dilebih dekatkan lagi
maknanya dengan menyebut hanya Engkau sajalah yang kamisembah. Disini
terdapat lyyaka dua kali; hanya Engkau sajalah yang kami sembah dan hanya
Engkau saja tempat kami memohonkan pertolongan. Kata No'budu kita arti￾kan, komi semboh, dan nosfo'inu kita artikan tempat kami memohon perto￾longon. Kalau ada lagikata lain dalam bahasa kita yang lebih mendekatimaksud
yang terkandung di dalamnya, bolehlah kita usahakan juga. Sebab dalam hati
sanubari kita sendiripun terasa bahwa arti itu belum juga tepat benar, meskipun
sudah mendekati. Kata na'budu berpangkal dari kalimat ibadot dan nosfo'inu
berpangkal dari kalimat isti'anah.
Lebih murnilah kita rasakan maksudnya kalau kita sebut ibodof saja.
Karena meskipun telah kita pakai arti dalam bahasa kita yaitu semboh atau
komi semboh, namun hakikat ibadat hanya khusus kepada Allah, sedang dalam
bahasa kita kalimat s embah itu terpakaijuga kepada raja; diMinangkabau kalau
ahli-ahlipidato adat sambut menyambut pidato secara adat, mereka namaijuga
sembah menyembah. Jadi kalau kita artikan " Hanya kepada Engkau kami ber -
ibadat" barangkali lebih tepat, apatah lagi kalimat ibadat itupun telah menjadi
bahasa kita.
Kalimat isti'onoh pun menghendaki keterangan yang panjang. Kalau me￾nurut bahasa_saja, apabila kita meminta tolong kepada seorang teman me￾nyampaikan fikiran kita kepada anak kita di tempat yang jauh, atau meminta
tolong mengangkat lemari karena terlalu berat mengangkat sendiri, dalambahasa disebut isti'anah iuga, padahal yang demikian tidak terlarang oleh
agama.
Kita bukakan hal iniuntuk mengetahuibetapa sukarnya menterjemah dari
satu bahasa ke bahasa yang lain, terutama lagi bahasa agama, terutama lagi
Arab dalam al-Quran yang turun sebagai Wahyu llahi. Makanya kita menguat￾kan pendapat sebagian besar Ulama agar di samping terjemah atau tafsir, tidak
boleh tidak, hendaklah asli tulisan Arabnya dibawakan supaya orang lain yang
mengerti dapat menyesuaikan maknanya dengan aslinya.
Di dalam ayat ini bertemulah kita dengan tujuan. Dengan ayat ini kita
menyatakan pengakuan bahwa hanya kepadaNya saja kita memohonkan
pertolongan; tiada kepada orang lain.
sebagaimana telah kita maklumi pada keterangan di atas, Allah adalah
Tuhan Yang Mencipta dan Memelihara. Dia adalah Rabbun, sebab itu Dia
adalah llahi. Tidak ada lloh yang lain, melainkan Dia. Oleh karena Dia Yang
Mencipta dan Memelihara, maka hanya Dia pula yang patut disembah. Adalah
satu hal yang tidak wajar, kalau Dia meniadikan dan memelihara, lalu kita
menyembah kepada yang lain.
Oleh sebab itu, maka ayat yang 5 ini memperkuat lagi ayat yang kedua
"segala puji-puiian bogi Allah, Pemelihara dari sekalian olom. " Hanya Dia yang
patut dipuji, karena hanya Dia sendiri yang menjadikan dan memelihara alam,
tidak bersekutu dengan yang lain. Alhamdu diatas didahulukan menyebutkan
bahwa yang patut menerima pujian hanya Allah, sebab hanya Dia yang men￾cipta dan memelihara alam. sedang pada ayat Iyyoko na'budu ini dilebih￾jelaskan lagi, hanya kepadaNya dihadapkan sekalian persembahan dan ibadat,
sebab hanya Dia sendiri saja, tidak bersekutu dengan yang lain, yang meme￾lihara alam ini.
Maka mengakui bahwa yang patut disembah sebagai lloh hanya Allah,
dinamai T auhid U luhiy ah.
Dan mengakui yang patut untuk memohon pertolonagn, sebagai Rabbun
hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.
Untuk misal yang mudah tentangTauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah
ini ialah seumpama kita ditolong oleh seorang teman, dilepaskan dari satu
kesulitan. Tentu kita mengucapkan terimakasih kepadanya. Adakah pantas
kalau kita ditolong misalnya oleh siAhmad, lalu kita mengucapkan terimakasih
kepada si Hamid? Maka orang yang mengakui bahwa yang menjadikan alam
dan memelihara alam ialah Allah juga, tetapi menyembah kepada yang lain,
adalah orang itu musyrik. Tauhidnya sehdiri pecah-belah; menerima nikmat
dari Allah mengucapkan terimakasih kepada berhala.
Sekarang tentang arti ibadat.
Arti yang luas daripada IBADAT ialah memperhambakan diri dengan
penuh keinsafan dan kerendahan. Dan dipatrikan lagioleh cinta. Kita mengakui
bahwa kita hambaNya, budakNya. Kita tidak akan terjadikalau bukan Dia yang
menjadikan. Kita beribadat kepadaNya disertai oleh raja' , yaitu pengharapan
akan kasih dan sayangNya, cinta yang hakiki, tidak terbagi pada yang lain.
Sehingga jikapun kita cinta kepada yang lain, hanyalah karena yang lain itu
nikmat dari Dia. Misalnya kita mencintai anak dan isteri, harta dan benda. Atau
kita mencintai tanahair tempat kita dilahirkan, ataupun yang lain-lain. Semua￾nya itu adalah karena dianya nikmat dari Dia. Tidak dapat kita mencintaiyang
lain langsung, di samping mencintai Dia. Karena kalau ada cinta lain disamping
cinta kepadaNya, itulah cinta yang terbagi. Apabila telah terbagi, itulah pangkal
dari syirik.
Dan tidak ada pula yang lain yang kita puja atau kita sembah yang berupa
ibadat. Karena yang lain itu semuanya adalah makhlukNya belaka.
Kita diperintahNya hormat kepada yang patut dihormati. Kita disuruhNya
kasih kepada ibu bapa, setia kepada negara dan raja atau kepala negara, dan
kita diperintahkanNya supaya hormat kepada guru. Semuanya itu kita kerjakan
karena Allah yang menyuruhkan. Tetapi kita tidak akan sampai beribadat
kepada ayah bunda, atau kepada negara dan raja dan kepada kepala negara,
atau kepada guru.
Kemudian datanglah istlonoh, yaitu memohonkan pertolongan. Pada ayat
ini kita disuruh mengucapkan pengakuan bahwa hanya Dia tempat kita me￾mohonkan pertolongan. Dengan demikian kita akui sendirilah bahwa kita
sendiri tidaklah berkuasa buat mencapai segala rencana yang telah kita cadang￾kan didalam hidup ini. Tenaga kita sangat terbatas, dan kita tidak akan sampai
kalau tidak Tuhan yang menolong.
Sebagai telah diterangkan di atas tadi, dengan menyebut lyyaka nasta'inu
telah terkandung lagi Tauhid di dalam memohonkan pertolongan. Dengan
mendahuluk an lyyaka, yang berarti hanya Engkau saja, sudah lebih tegas lagi
maksudnya daripada misalnya kita berkata Nosfo'inuko, yang berarti komi
meminta tolong kepada Engkau. Dan diapun menimbulkan kekuatan di dalam
jiwa kita, bahwa kita tidak mengharapkan pertolongan dari yang lain, sebab
yang lain tidak berkuasa dan tidak ada daya-upaya buat menolong kita.
Jangan kita campur-adukkan di antara isfi'onoh dengan mu'awanah- Di
dalam hal memohonkan pertolongan, kita tetap hanya kepada Allah. Tetapidi
antara kita manusia sesama manusia, makhluk sesama makhlukpun diperintah
oleh Allah supaya bertolong-tolongan, berkoperasi, itu namanya bukan isti'a￾noh, tetapi mu'awanah. Di dalam Surat al-Maidah, Surat 5 ayat 2, Tuhan
bersabda, agar hendaklah kita tolong-menolong di dalam berbuat kebajikan dan
takwa, dan janganlah kita tolong-menolong di dalam hal dosa dan permusuhan.
Tetapi di dalam ayat, mu'awonoh ini bertemu lagi intisari pertahanan isfi'anoh.
Artinya, sebagai Muslim yang sadar akan nilai imannya, didalam isti'onoh kita
tetap hanya kepada Tuhan. Tetapi terhadap orang lain kita sudi menolong,
sebab melaksanakan perintah Tuhan juga. Kita tahu sabda Nabi, bahwa tangan
di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.
Setiap orang berusaha dan bekerja menurut bakatnya. Dokter menolong
orang sakit, dan orang sakit datang meminta tolong dan diberi obat. Guru
menolong muridnya dengan mengajarnya tulis dan baca dan ilmu yang lain.
Semuanya itu jangan dicampur-aduk dengan isfi'onoh, sebab itu semuanya
adalah hubungan manusia sesama manusia. Memang yang kuat hendaklahmenolong yang lemah, yang kaya menolong yang miskin. Dan semua itu adalah
dalam rangka meminta tolong kepada Allah juga.
Maka tolong menolong, yang satu meminta tolong kepada yang lain, dan
yang lain meminta tolong kepada yang satu didalam urusan kehidupan sehari.
hari, tidaklah terlarang, karena itu bukan di dalam rangka memandang bahwa
tempat manusia tolong itu sebagai tempat beribadat. Di atas manusia yang
tolong menolong itu ada lagi kekuasaan tertrnggi yang memutuskan dengan
mutlak, dan maha kuasa memberikan atau menahan, melangsungkan atau
menggagalkan. Itulah kekuasaan Tuhan, yang kekuasaanNya meliputi akan
seluruhnya. KepadaNyalah kita bersama sesudah bertolong-tolongan sesama
kita, memohonkan petunjuk, memohonkan diberi kekuatan, dihasilkan yang
dicita-cita, dituntun sebaik.baiknya kepada yang baik dan yang benar.
Tauhid dengan jalan isfi'onohmembangkitkan kekuatan pada diri sendiri,
supaya langsung berhubungan dengan Tuhan, yang jadi sumber dari segala
kekuatan. Memohonkan pertolongan kepada Tuhan bukanlah kelemahan,
tetapi di sanalah terletak kekuatan. Hanya orang yang tolol yang mengaku
bahwa dirinya sanggup berbuat segala yang dia kehendaki. Adapun orang yang
berilmu, maka ilmunya itulah yang menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak
sanggup mengetahui segala.
Berkali kali kita merencanakan suatu hal. Maka setelah dimulaimenjalan￾kan rencana itu, di tengah jalan kita bertemu hal-hal yang samasekali tidak
dalam rencana kita. Mengertilah kita bahwa ada kekuatan tertinggi, yang di luar
dari kemampuan kita. Taruhlah kita dapat mengatasi dengan meminta tolong
kepada orang lain, sesama manusia. Tetapi kelak akan ketahuan pula ada lagi
kekuatan tertinggi, yangoleh bersamapun tidak dapat diatasi. Maka lantaran itu
selalulah kita mengingat bahwa tempat memohon pertolongan yang tertinggi
adalah Tuhan. Dialah Tuhan dengan namaNya Ar-Robb.
Memohon pertolongan dengan dasar Tauhid itulah yang masuk akal.
Sebab itu tidaklah kita memohon pertolongan misalnya kepada kuburan se￾orang guru atau orang alim yang kita pandang keramat. Atau meminta tolong
kepada berhala, atau meminta tolong kepada keris pusaka. Dengan kalimat
lyyoka nasta'inu tadi, yang berarti "Hanyo kepada Engkau soja aku meminta
tolong", jelaslah bahwa kita tidak akan meminta pertolongan kepada yang lain
dengan cara demikian. Sebab yang lain itu tidak masuk akal bahwa dia dapat
menolong.
Ayat ini diikuti lagi oleh ayat yang berikutnya:
"Tunjukilah kami jalon yang lurus." (ayat 6).
Meminta ditunjuki dan dipimpin supaya tercapaijalan yang lurus. Menurut
keterangan setengah ahli tafsir, perlengkapan menuju jalan yang lurus, yang
dimohonkan kepada Allah itu ialah, pertama al-lrsyod,artinya agar dianugerahi
kecerdikan dan kecerdasan, sehingga dapat membedakan yang salah dengan
yang benar. Kedua at-Taut'iq, yaitu bersesuaian hendaknya dengan apa yang di￾rencanakan Tuhan. Ketiga ol llham, diberi petunjuk supaya dapat mengatasi
sesuatu yang sulit. Keempat ad-Dilalah, artinya ditunjuk dalil.dalildan tanda-tanda dimana tempat yang berbahaya, dimana yang tidak boleh dilalui dan
sebagainya. Seumpama tanda-tanda yang dipancangkan di tepi jalan, berbagai
61u.u--rnnyu, untuk memberi alamat bagi pengendali kendaraan bermotor.
Menurut riwayat lbnu Abi Hatim dari lbnu Abbas, menurut beliau yang
dimaksud dengan meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon
ditunjuki agamaMu yang benar.
Menurut beberapa riwayat dari ahli-ahli Hadis, daripada Jabir bin Abdullah,
yang dimaksud dengan Shirofhol Mustaqim ialah Agama Islam. Dan menurut
-b"bIrupa
riwayat lagi, Ibnu Mas'ud mentafsirkan bahwa yartg dimaksud dengan
Shirothol Mustaqim ialah Kitab Allah (al-Quran).
Menurut yang dirawikan oleh lmam Ahmad, Termidzi, an-Nasa',i, Ibnu
Jarir, IbnulMundzir, Abu syaikh, al-Hakim, Ibnu Mardawaihidan al-Baihaqi,
sebuah Hadis Rasulullah s.a.w., diriwayatkan daripada an-Nawwas lbnu
Sam'an, pernah Rasulullah s.a.w. berkata, bahwasanya Allah Ta'ala telah
membuat satu perumpamaan tentang shiro thal Mustaqim itu; bahwa di kedua
belah jalan itu ada dua buah dinding tinggi. Pada kedua dinding tinggi itu ada
beberapa pintu terbuka, dan di atas tiap-tiap pintu itu ada lelansir penutup
(Serdiyn). Sedang di ujung jalan tengah yang lurus (ShirathalMustaqim) itu ada
iZoruns'b"rdiri memanggil-manggil: "Wahai sekalian manusia, masuklah ke
dalam Shirat ini semuanya, jangan kamu berpecah-belah", dan ada pula se￾orang penyeru dari atas Shirat. Maka apabila manusia hendak membuka salah
satu
-diri pintu-pintu itu berkatalah dia: "Celaka! Jangan engkau buka itu! Kalau
dia engkau buka, niscaya engkau akan terperosok ke dalam." Maka kata
Rasulullah selanjutnya: Jalan Shirat itu ialah Islam, dan kedua dinding sebelah
menyebelah itu iahL segala batas-batas yang ditentukan Allah. Dan banyak
pintu-pintu terbuka itu ialah segala yang diharamkan Allah. Penyeru yang
-"ny"r, di ujung jalan itu ialah Kitab Allah, dan penyeru yang menyeru dari atas
itu iilatr Wa'izi (Pemberi Nasihat) dari Allah yang ada dalam tiap-tiap diri
Muslim". Berkata lbnu Katsir dalam tafsimya bahwa Hadis inihasan lagishahih'
Maka semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjadi satu Shirothol
Mustoqim memang agama yang benar, dan itulah Agama lslam' Dan sumber
petunjuk dalam Islimitu tidak lain ialah al-Quran, dan semuanya dapat diambil
tonto'hnya dari perbuatan NabiMuhammad s.a.w. dan sahabat-sahabat beliau
yang utama. - iunyu seorang Ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail
bin lyadh. Menurut beliau Shirothal Mustaqim ialah jalan pergi naik Haji.
Memang dapat menunaikan Haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan
penuh k]einsafan dan kesadaran, sehingga mencapai Haii yang Mabrur, sudah
sebagian daripada Shirathal Mustaqim juga' Apatah bagi orang semacam
Fratiif U*lyadh sendiri, adapun bigi orang lain belum tentu.naik Haji itu
-""iuaiSt irith,alMustaqim, teiutama kalau dikerjakan karena riya', memper￾tontonkan kekayaan, mencari nama, atau sebagai politik untuk mencari simpati
rakyat yang bodoh. -D"ngu"
ayat ini kepada kita telah ditunjukkan apa yang amat penting kita
mohonkin p"itolongun kepadaNya. Mohon ditunjuki jalan yang lurus.Kita telah ditakdirkanNya hidup di dunia ini. Melalui hidup di dunia ini,
samalah artinya dengan melalui suatu jalan. Kita takut akan bahaya dan ingin
selamat dalam perjalanan itu. Kita mau yang baik dan tidak mau yang buruk.
Kita mau yang manfaat dan tidak mau yang mudharat. Dengan ayat:ayat yang di
atas kita telah memulaimembaca dengan namaNya. Kita telah mengakui bahwa
Dia Maha Murah dan Maha Penyayang. Kita telah memuji Dia, sebagai
Tuhan Pemelihara, Pendidik sekalian alam. Dan kita telah mengakui bahwa
kekuasaanNya meliputi dunia dan akhirat. Dia Rahman dan Rahim, tetapi Dia
juga menguasai dan mempunyai Hari Pembalasan. Lantaran itu semuanya kita
telah menyerah kepadaNya; kepadaNya saja, tidak kepada yang lain. Sehingga
kita telah menyatakan tekad bahwa yang kita sembah hanya Dia dan tempat
kita memohon pertolongan hanya Dia. Sekarang setelah penyerahan demikian
mulailah kita memasukkan permohonan puncak darisegala permohonan, yaitu
agar supaya ditunjukijalan yang lurus.
Kitapun mengaku bahwa petuniuk itu sejak lahir ke dunia telah diberikan
secara berangsur. Pertama sejak mulai lahir telah diberi kita persediaan pe￾tunjuk pertama, sehingga bila terasa lapar kita menangis, bila terasa basah
kitapun menangis; dan sejak lahir telah diberi petunjuk kita bagaimana men￾cucut susu ibu. Dan setelah itu dengan berangsur-angsur, dari hari ke hari,
bulan ke bulan berangsur kita dapat memperbedakan bunyiyang didengar dan
warna yang dilihat. Dalam masa perangsuran itu kita diberi noluri untuk
perlengkapan hidup, sebagai yang diberikan sekaligus kepada binatang. Tetapi
pada binatang terhenti hingga demikian saja, dan pada kita manusia diteruskan
lagi dengan pertumbuhan akal dan fikiran. Akallah yang memperbaiki ke￾salahan pendapat pancaindera, mata melihat dan merasa seketika keretapi
yang kita tumpangi berhenti di sebuah stasiun dan baliwa dia telah berangkat
pula, padahal yang berangkat itu belum keretapi yang kita tumpangi itu,
melainkan keretapi yang disebelahnya. Dan lain-lain sebagainya. Mata melihat
tongkat yang lurus di dalam air menjadi bengkok, sedang akal menolaknya.
Tetapi akalsaja belumlah cukup menjadipedoman. Sebab dalam diri kita
sendiri bukan akal dan pancaindera saja yang harus diperhitungkan. Kita
perhitungkan juga syahwat dan hawanafsu kita, demikian juga naluri-naluri
yang lain. Kita kepingin makan dan minum, supaya hidup. Supaya berke￾turunan kita ingin mempunyai teman hidup; laki-laki mencari perempuan dan
perempuan menunggu laki-laki. Kita ingin mempunyai apa-apa, kita ingin
mempunyai persediaan. Kita ingin dan orang lainpun ingin. Untuk mencari apa
yang kita ingini itu kita pergunakanlah akal, dan orang lain untuk mencari
keinginannya mempergunakan akalnya pula. Kadang-kadang seluruh orang
mengingini satu macam barang, maka terjadilah perebutan. Mendapatlah siapa
yang lebih cerdik atau lebih kuat.
Kadang-kadang nampak satu hal yang diperlukan dan sangat diingini.
Dipakailah segala daya-upaya untuk mencapainya. Kemudian setelah didapat
ternyata membawa celaka pada diri. Ada halyang pahit mulanya dan manis
ujungnya. Dan ada pula sebaliknya. Dengan demikian maka pengalaman
manusia menunjukkan bahwa akal saia tidaklah cukup untuk mencapai
keselamatan dan kebahagiaan.
Mesti ada tuntunan terhadap akal itu sendiri. Itulah Hidayat Agama. untuk
itulah Rasul.rasul diutus dan Kitab'kitab Wahyu diturunkan. Rasul'rasul dan
Kitab-kitab Wahyu itu diutus dan dikirim Allah, Tuhan sarwa sekalian alam,
Maha Pencipta dan Maha Pemelihara.
Dengan perantara Rasul itulah Tuhan mengatakan bahwa di belakang
hidup yang sekarang ini ada lagi Hari Akhirat. Untuk memperhitungkan
perbuaian dalam perjalanan hidup itu, bagaimana pemakaian pancaindera dan
tagaimana pemakaian akal, adakah dia membawa maslahat bagidirisendiri dan
bagi sesama manusia dan bagi hubungan dengan Allah.
Itulah yang kita mohonkan kepada Allah, agar kita ditunjuki jalan yang
lurus itu.
Menurut pelajaran ilmu ukur ruang, garis lurus ialah jarak yang paling dekat
di antara dua titik. Maka di dalam Shirothol Mustaqim yang kita mohonkan ini,
dua titik itu ialah: yang pertama titik kita sebagai hamba, yang kedua titik Allah
sebagaiTuhan kita.
xitu berjalan menuju Dia dan kita datang dari Dia. Mau atau tidak mau,
namun kita adalah dari Dia, menuju Dia, dan bersama Dia. Oleh karena
banyaknya rintangan, kerapkali kita lupa akan hal itu. Atau ada mengetahui,
tetapi tidak tahu jalan mana yang akan ditempuh. Kadang-kadang disangka
sudah jalan lurus itu yang ditempuh, padahalsudah terbelok kepada yang lain.
Kita memohon agar Dia sendiri menunjukikita lalan lurus itu, sehingga sampai
dengan cepat kepada yang dituju, jangan membuangkan waktu pada usia yang
hanya sedikit, merencah-rencah dan terperosok ke jalan lain. Maka yang
diminta ialah agar seluruh keperibadian kita, yang mengandung akal, nafsu,
syahwat, perasaan, kemauan, terkumpul menjadi satu dalam petunjuk hidayat
Tuhan.
Inilah puncaknya permohonan, yang tadi pada ayat sebelumnya telah kita
nyatakan, bahwa hanya kepadaNya saia kita memohonkan pertolongan, kita
tidak hendak meminta benda. Kita tidak hendak meminta rumah bagus,
kekayaan melimpah, dan lain-lain hal yang remeh. Kita memohonkan pokok'
nya, yaitu petunjuk. Dan yang lain adalah terserah.
Kalau petunjuk jalan lurus itu tidak diberi, walaupun yang lain hal yang
remeh diberikanNya, maka yang lain itu besar kemungkinan akan mencelaka￾kan kita.
Kemudian permohonan petunjuk jalan yang lurus itu kita jelaskan lagi:
,,Jalan orang-orang yang teloh Engkau kurniai nikmat atos mereka."
(pangkal ayat 7).
kita telah mendengar berita, bahwa terdahulu darikita, Tuhan Allah telah
pernah mengurniakan nikmatNya kepada orang-orang yang telah menempuh
jdan yang lurus itu, sebab itu maka kita mohon kepadaTuhan agar kepada kita
ditunjukkan pula jalan itu. Telah ada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang diutus
Tuhan, dan telah ada pula orang-orang yang menjadi syahid dan telah ada pulaorang-orang yang shalih; semuanya dikumiai bahagia oleh Tuhan karena
menempah jalan itu. Bekasnya kita rasakan dari zaman ke zaman. Oleh sebab
itu maka kita mohonkan pulalah agar kepada kita diberikan pula petunjuk
supaya kita menempuh jalan itu dengan selamat.
Inilah yang kita mohonkan dengan isti'onah kepada Tuhan, dengan ber￾pedoman kepada al-Quran. Kita mohonkan, tunjuki kiranya kamimana yang
benar, karena yang benar hanya satu, tidak berbilang. Metode atas rencana
yang benar didalam menegakkan akhlak, budi bahasa, pergaulan hidup, filsafat,
iqtishod (perekonomian), iitimo' (kemasyarakatan) dan siosof (politik) dan
sebagainya. Sebab jalan di atas dunia initerlalu banyak simpang-siurnya, jangan
sampai kita menjadi "Datuk segala lya", atau sebagai pucuk aru yang mudah
dicondongkan angin ke mana dia berkisar. Minta ditunjukijalan tengah yang
lurus yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma: "Arang habis besi
binasa"
Kami memohon, pimpin kiranya kami ke jalan itu, jalan bahagia yang
pernah ditempuh oleh manusia-manusia yang Engkau cintai dan mencintai
Engkau, yang menegakkan jalan terang di dunia ini.
Sekali-kali bukanlah kami meminta "kulit" nikmat. Di luar kelihatan me'
nang, padahal di batin kami kalah. Di luar kelihatan mewah, padahaljiwa kering
dan gersang, karena tidak pernah disiramioleh air hujan hidayatMu. Kamitidak
memohonkan yang demikian. Yang kamimohonkan yaTuhanku, ialah nikmat
yang kekal abadi, nikmat akan menjadi suluh kami di dalam hidup didunia ini,
dan bekal yang akan kami menghadap Engkau di akhirat, diliputioleh ridha
Engkau.
Apabila Allah telah menganugerahkan nikmat ridhaNya kepada seseorang
hamba, tercapailah olehnya puncak kebahagiaan jiwa di dalam hidup yang
sekarang ini. Permulaan dari ridha Allah itu ialah bilamana telah tumbuh dalam
jiwa keinsafan beragama, menjadi Islam yang berarti menyerah diri dengan
sukarela kepada Tuhan, dan iman yang berarti kepercayaan yang penuh. Islam
dan Iman menimbulkan ihsan, yaitu bekerja terus memperbaiki dan mem￾pertinggi mutu jiwa. Maka timbullah Nur didalam jiwa, cahaya yang memberi
sinar kepada kehidupan. Dan cahaya itu jualah yang akan menyuluhinya sampai
ke akhirat. Nikmat inilah yang kita mohonkan; tercapai hendaknya oleh kita
kehidupan sebagaiNabi-nabi, Rasul-rasul dan syuhada dan shalihin itu. Karena
kalau nikmat itu telah datang, telah tercapailah oleh kita kekayaan yang sejati.
Dengan kekayaan itu kita tidak merasa takut menghadapi hidup dengan segala
tanggungiawabnya. Bahkan merekapun tidak gentar menghadapi maut, sebab
maut hanyalah perkisaran sejenak daripada hidup fana kepada hidup yang
khulud. Berapa banyaknya orang yang mati, menjadi korban karena menegak￾kan imannya kepada Tuhan, namun jejak kebenaran yang mereka tinggalkan
dipusakai oleh anak-cucu.
"Bukon jalan mereka yang dimurkoi atasnya."
Siapakah yang dimurkai Tuhan? Ialah orang yang telah diberi kepadanya
petunjuk, telah diutus kepadanya Rasul-rasul, telah diturunkan kepadanya
Kitab-kitab Wahyu, namun dia masih saja memperturutkan hzuranafsunya.
Telah ditegur berkali-kali, namun teguran itu, tidak iuga diperdulikannya. Dia
merasa lebih pintar daripada Allah, Rasul-rasul dicemuhkannya, petunjuk
Tuhan diletakkannya ke samping, perdayaan syaitan diperturutkannya.
Dalam hikayat lama ada disebutkan bahwa pada suatu hari seorang orang
besar' kerajaan datang menghadap raja bersama€ama dengan orang besar￾besar yang lain, setelah masuk ke dalam majlis raja, maka baginda menunjuk￾kan wajah yang girang dan tersenyum simpul melihat tiaptiap orang besar itu,
tetapi kepada seseorang baginda tidak melihat, entah karena lupa, entah
karena sibuk. Maka sangatlah dukacita hati orang besar yang seorang itu,
apakah baginda murka kepadanya, ataukah baginda tidak senang lagi. Maka
setelah bubar majlis itu diapun kembalipulang ke rumahnya dengan hati sedih,
lalu diminumnya racun setelah menulis sepucuk surat yang diwasiatkannya
supaya disampaikan ke tangan baginda. Di situ dja tuliskan: "Oleh karena Sri
Paduka tidak berkenan lagi kepada patik, telah patik ambil keputusan meng￾habisi hidup patik. Karena tidak ada harga hidup lagi kalau Sri Paduka tidak
berkenan lagi kepada patik, telah patik ambil keputusan menghabisi hidup
patik. Karena tidak ada harga hidup lagi kalau Sri Paduka tidak senang lagi
melihat patik."
Begitulah perasaan orang yang berkhidmat kepada raja apabila diameresa
bahwa rajanya tidak senang lagi kepadanya. Maka betapalah perasaan kita,
wahai insan yang ghafil, kalau Tuhan Allah yang murka kepada kita? Kitapun
akan dihadirkan juga ke hadapan Tuhan bersama orang yang lain, tetapi kalau
Tuhan murka kepada kita, akan betapalah sikap kita. DanTuhanpun bersaMa
memang ada orang yang tidak akan dilawan bercakap oleh Tuhan pada waktu
itu karena murkaNya, sebagaimana tersebut di dalam Surat 3 ali Imran ayat77
tentang orang yang memperjual-belikan janji Allah dan mempermudah-mudah
sumpah, karena mengharapkan harga yang sedikit. Padahal walaupun men￾dapat tukaran harga sebesar bumi dan langit, masih amat sedikit juga, karena
ada yang akan dibawa ke akhirat.
(tt uy )-t\
"Itulah orang yang tidak oda bagian untuk mereka di akhirat dan tidaklah
Allah akan bercakap dengan mereka dan tidak akan memandang kepoda
mereka di hari kiamat don tidak Dia akan membersihkanmereka, danbagi
mereka azab yang pedih." (ali lmran: 77)
Dan seperti itu pula tertulis pada Surat al-Baqarah, ayat 179. Tidak diajak
bercakap oleh Tuhan, tidak dipandang oleh Tuhan, seakan-akan Tuhan dalam
bahasa umum "membuang muka" apabila berhadapan dengan dia. Begitulah
nasib orang yang dimurkai.
Orang yang dimurkai ialah yang sengaja keluar dari jalan yang benar karena
memperturutkan hawanafsu, padahal dia sudah tahu. Orang yangtelahsampai
k@adanya kebenaran agarna, lalu ditolak dan ditantangnya. Dia lebih ber￾pegang kepada pusaka nenek-nroyang, walaupun dia telah tahu bahwa itu tidak
berat. Maka siksaan azablah yang akan dideritanya.
"Dan bukan jalan mereka yong sesot". (ujung ayat 7).
Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani saja membuat
jalan sendiri di luar yang digariskan Tuhan. Tidak mengenal kebenaran, atau
tidak dikenalnya menumt. maksudnya yang sebenarnya'
Sebagaimana telah kita kenal pada keterangan-keterangan diatas, tentang
ke,percayaan akan adanya Tuhan, sampai orang-orang Arab mengkhususkan
nama Allah buat Tuhan Yang Maha Esa. Di sini telah kita maklumi bahwa
ke,percayaan kepada Tuhan itu telah ada dalam lubuk jiwa manusia- Tetapi
ke,percayaan tentang adanya Allah itu belumlah menjadijaminan bahwa orang
itu tidak akan sesat lagi. Di Eropa pernah timbul satu gerakan bernama Deisme;
Dengan dasar penyelidikan akal murni, mereka mengakui bahwa Tuhan itu
memang ada. Tetapi mereka tidak mau percaya akan adanya Rasul, atau
wahyu, atau hari akhirat. Kata mereka dengan kepercayaan akan adanyaAllah
itu saia sudah cukup, agama tidak perlu lagi.
Tentang ketuhanan, ahli filsafat terbagi kepada dua gglongan. Yaitu go￾longan Spirifuolis dengan gglongan Moterialis. Golongan yang percaya adanya
yang ghaib, terutama Tuhan, yang hanya percaya kepada benda saja, sudah
nyata tersesat. Yang percaya ada Tuhan saja, tetapi tidak percaya akan adanya
syariat yang diturunkan Allah dengan mengutus Nabi-nabi dan menurunkan
wahyu, itupun tersesat, sebab penilaian mereka tentang adanya Tuhanpun
berbagai ragam, sehingga ada aliran Pantheisme, yang mengatakan bahwa
seluruh yang ada ini adalah Tuhan belaka, atau Polytheisme, yaitu yang
mengatakan Tuhan itu berbilang.
Orang-orang yang telah mengaku beragamapun bisa juga tersesat. Ka￾dang-kadang karena terlalu toot dalam beragama, lalu ibadat ditambdh-tambah
daripada yang telah ditentukan dalam syariat, sehingga timbul bid'ah. Di￾sangka masih dalam agama, padahal sudah terpesong ke luar.
Ada sebuah Hadis yang shahih, dirawikan oleh Abd bin Humaid dari ar￾Rabi'bin Anas, dan riwayat AM bin Humaid juga daripada Muiahid, demikian
juga daripada Said bin Jubair, dan Hadis lain yang dirawikan oleh lmam Ahmad
dan lain-lain daripada Affiullah bin Syaqiq, daripada Abu Zar, dan diriwayatkan
iuga oleh Sufryan bin Uyaynah dalam tafsirnya, daripada Ismailbin Abu Khalid,
bahwa seketika orang bertanya kepada Rasulullah, tentang siapa yang di￾maksud dengan orang-orang yang sesat. Lalu Rasulullah meniawab: "Yang
dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud
dengan orang-orang yang sesat ialah Nasrani."
Hadis ini dengan berbagai jalan Thuruqnya dan riwayatnya telah tercantum
pada kitab-kitab tafsir yang masyhur. Tetapi dia meminta penafsiran kita sekali
lagi. Yang wajib kita tekankan perhatian kita ialah kepada sebab-sebab maka
Yahudi dikatakan kena murka dan sebab-sebab Nasrani tersesat. Perhatian
kita jangan hanya ditujukan kepada Yahudi dan Nasraninya saja, tetapi hendak￾lah kita tilik sebab mereka kena murka dan sebab mereka tersesat. Yahudi
dimurkai, sebab mereka selalu mengingkari segala petunjuk yang dibawakan
oleh Rasul mereka, kisah pengingkaran Yahudi itu tersebut didalam kilab-kitab
mereka sendiri sampai sekarang, sehingga Nabi Musa pernah mengatakan
bahwa mereka itu "keras tengkuk", tak mau tunduk, sampai mereka mem￾bunuh Nabi-nabi. Sebab itu Allah murka.
Nasrani tersesat, karena sangat cinta kepada Nabi Isa Almasih, mereka
katakan Isa itu anak Allah, bahkan Allah sendirimenjeltna menjadianak, datang
ke dunia menebus dosa manusia.
Maka bagi kita ummat Islam yang membaca al-Fatihah inisekurangnyalT
kali sehari semalam, hendaklah diingat jangan sampai kita menempuh jalan
yang akan dimurkai Allah pula, sebagai Yahudi. Apabila satu kali kita telah
memandang bahwa pelajaran yang lain lebih baik dan berguna daripada pe￾lajaran NabiMuhammad s.a.w. maka mulailah kita diancam oleh kemurkaan
Tuhan. Di dalam Surat an-Nisa' (Surat 4, ayat 65), sampai dengan sumpah
Tuhan menyatakan bahwa tidaklah mereka beriman sebelum mereka ber￾tahkim kepada Nabi Muhammad s.a.w. didalam hal-halyang mereka perselisih￾kan, dan mereka tidak merasa keberatan menerima keputusan yang beliau
putuskan, dan merekapun menyerah sebenar-benar menyerah. Kalau ini tidak
kita lakukan, pastilah kita kena murka sepertiYahudi.
Dan kalau kita katakan pula misalnya bahwa NabiMuhammad s.a.w. itu
adalah "al-Haqiqatul Muhammadiyah", atau "Nur Muhammad", yaitu Allah
Ta'ala sendiri yang menjelmakan diri (lbraza Haqiqatihi), ke dalam alam ini,
sebagai anutan setengah ahli tasauf, niscaya sesatlah kita sebagai Nasrani.
Saiyid Rasyid Ridha di dalam "al-Manar"nya menguraikan penafsiran
gurunya Syaikh Mohammad Abduh tentang orang yang tersesat, terbagiatas
empat tingkat:
Pertama: Yang tidak sampai kepadanya da'wah, atau ada sampai tetapi
hanya diiapat dengan pancaindera dan akal, tidak ada tuntunan agama.
Meskipun di dalam soal-soal keduniaan mungkin mereka tidak sesat, namun
mereka pasti sesat dalam mencari kelepasan jiwa dan kebahagiaannya di
akhirat. Siapa yang tidak menikmati agama tidaklah dia akan merasai nikmat
dari kedua kehidupan itu. Akan berjumpalah bekas kekacauan dan kegon￾cangan dalam kepercayaannya sehari-hari, diikuti oleh macam-macam bahaya
dan krisis yang tidak dapat diatasi. Yang demikian adalah Sunnatullah dalam
alam ini, yang tidak didapat jalan lain untuk mengelakkannya. Adapun nasib
mereka di akhirat kelak, nyatalah bahwa kedudukan mereka tidak sama
dengan orang yang beroleh hidayat dan petunjuk. Mungkin juga diberi maaf
oleh Tuhan, karena Dia berbuat sekehendakNya.
Kedua: Sampai kepada mereka da'wah, atas jalan yang dapat membangun
minat fikiran; merekapun telah mulai tertarik oleh da'wah itu, tetapisebelum
sampai menjadi keimanannya, diapun mati.
Bagian ini terdapat pada orang-orang seorang dalam satu-satu bangsa,
tidak umum, sehingga tidak ada kesannya kepada masyarakat banyak. Adapun
nasib orang-orang seperti ini kelak, menurut pendapat Ulama-ulama Mazhab
Asy'ari, diharapkan jua moga-moga mereka mendapat Rahmat belas'kasihan
Tuhan. Abul Hasan Asy'ari sendiri berpendapat demikian. Tetapi menurut
pendapat jumhur (golongan terbesar) ulama, tidaklah diragukan bahwa per￾soalan mereka lebih ringan daripada persoalan orang yang mengingkari sama'
sekali, yakni orang yang tidak percaya akan nikmat akaldan yang lebih senang
dalam kejahilan.
Ketiga: Da'wah sampai kepada mereka dan mereka akui, tetapi tidak
mereka pergunakan akal buat berfikir dan menyelidiki dari pokoknya, tetapi
mereka berpegang teguh juga kepada hawanafsu atau kebiasaan lama, atau
menambah-nambah. Inilah tukang-tukang bid'ah tentang akidah, inilah orang,
yang i'tikadnya telah jauh menyeleweng dari al-Quran dan dari teladan yang
ditinggalkan Salaf. Inilah yang membawa pecah ummat.
Keempat: Yang sesat dalam beramal, atau memutar'mutarkan hukum dari
maksudnya yang sebenarnya. Seumpama orang yang menghelah supaya ja￾ngan sampai dia mengeluarkan zakat. Setelah dekat habis tahun dipindahkan'
nya pemilikan harta itu kepada orang lain, misalnya kepada anaknya dan
setelah lepas masa membayar zakat itu, dengan persetujuan berdua, anak itu
menyerahkan pula kembali kepadanya. Dengan demikian dia merasa bangga
karena merasa telah berhasil mempermainkan Tuhan Allah, disangkanya
Tuhan Allah bodoh!
Kesesatan orang-orang ini timbul dari kepintaran otak, tetapi batinnya
kosong daripada iman. Diruntuhkan agamanya, tetapi dia sendiri yang hancur.
Sekian kita ringkaskan dari keterangan tentang orang yang sesat, odh￾dhaallin menurut pembagian Ustaz Imam Muhammad Abduh.
Maka kalau sudah sampai kepada derajat yang keempat itu, meskipun
ummat tadi masih kelihatan beragama pada kulitnya, masih terletak merk /slom
pada lainnya, dan masih diberi tanda "hijag"* dalam peta negerinya, samalah
artinya dengan agamanya tidak ada lagi. Akan beruntunlah kecelakaan me￾nimpa ummat itu, kecuali apabila datang pembaharuan (tajdid) dan pem'
bangkitan semangat. Kalau pembaharuan tidak datang, ummat itu akan hancur
dan hilang, mungkin kelaknya berbondong keturunannya memeluk agama lain
yang lebih kuat mengadakan propaganda.
Al-F atihah Sebogo i Rukun S embahyang
Oleh karena al-Fatihah satu Surat yang menjadi Rukun (tiang) sembah￾yang, baik sembahyang fardhu yang lima waktu, ataupun sekalian sembahyang
yang sunnat dan nawafil, maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau kita hanyasekedar menafsirkan arti al-Fatihah, melainkan kita perlengkap lagi dengan
hukum atau ketentuan Syariat berkenaan dengan al-Fatihah.
Segala sembahyang tidak sah, kalau tidak membaca al-Fatihah. Tersebut
dalam Hadis-hadis:
Dan hendaklah dibaca pada tiap-tiap rakaat, karena Hadis:
'7M*, JtS't ii )t'b,fu, dt J *6' yliV *
'*)*s'!$.;Jp.
1. Daripada Ubadah bin os-Shomit, bahwasanyo Nobi s.a.w. berkata:
'Tidaklah ada sembahyans ftidak sah sembahyang) basi siap yang tidak
membaca F atihatil-Kitob. " (Dirawikan oleh alJamaah).
1\$lt 1**'l
2. Dan pada lalaz yang lain: 'Ti'daklah memadai sernbahyang bogi
siapa yang tidak membaca Fatihatil-Kitab." (Dirawikan oleh ad-Daruquthni,
dan beliau berkata bahwa isnad Hadis ini shahih).
i;3J'LV::s'17'6'$!
S. 'fiaoruoj diterima sembahyang katou tidak difuco padanva lJmmul
Quran." (Dirawikan oleh Imam Ahmad).
Dengan Hadis-hadis ini dan beberapa Hadis lain sama bunyinya, se￾pendapatlah sebagian besar Ulama Fiqh bahwa tidak sah sembahyang selain
daripada membaca al.Fatihah, walaupun Surat yang mana yang kita baca.
Demikianlah Mazhab Imam Malik. Imam Syaf i dan jumhur Ulama, sejak dari
sahabat-sahabat Rasulullah, sampai kepada tabi'in dan yang sesudahnya. Oleh
sebab itu baik Imam atau ma'mum, wajiblah semuanya membaca al-Fatihah di
dalam sembahyang.
fr 9i-'\#;:uv'k3 * it,l:. C':i ;'u3 $ v
-P)")4
4. "Dari Abu Qatadah, bahwasanyo Nobi s.a.w. adalah&liau tbp-tiap
Efi;x{w
rakaat membaca F atihatil-Kitab." (Dirawikan oleh Bukhari)Selain dari itu sunnah pula sesudah membaca al-Fatihah itu diiringkan pula
dengan Surat-surat yang mudah dibaca dan hafal oleh yang bersangkutan;
karena ada Hadis:
1A:U;r\9)1',^i;-.t:5t1|;1
5. "Dia menyuruh kita supaya membaca ol-F otihah dan mano-mona yang
mudah-" (Dirawikan oleh Abu Daud daripada Abu Said al-Khudri).
Berkata lbnu Sayidin Nas:"lsnad Hadis inishahih dan rijalnya semua dapat
dipercaya."
Mengiringi al-Fatihah dengan Surat-surat yang mudah itu ialah pada sem￾bahyang Subuh dan dua rakaat permulaan darisembahyang yang lain dan pada
sembahyang Jum'at.
Kalau Imam sedang membaca dengan jahar hendaklah ma'mum berdiam
diri dan mendengarkan dengan baik. Yang boleh dibaca ma'mum sedang Imam
membaca, hanyalah al-Fatihah saja, supaya bacaan Imam jangan terganggu.
6. " Daripda Ubadah, berkat a dia bohw a satu ketika Rosululloh s. o. n,.
sembalryang Subuh, maka memberati kepadanya bacaan. Maka tatkala
sembohyong teloh selesai. berkatalah beliou: Saya perhatikan kamu mem'
baca di belakang imam kamu. Berkata lJbadah: Kami iawab: Ya Rasulullah,
memang kami membaca. Wallah. Lqlu berkqtalah beliau: Jangan kamu
lakukan itu, kecuali dengan l)mmul-Quran. Karena sesungguhnya tidaklah sah
sembahyang bagi barangsiapa yong tidak membacanya." (Hadis ini dirawikan
oleh Abu Daud dan Termi&i).
Dan sebuah Hadis lagi dari Ubadah juga; dengan lafaz lain:
7. Dari Ubadah bahwasanya Rasulullah s.o.w. Wrnah berkota: "Sekoli￾kali jangan seorangpun di antaro kamu memboco sesuofu dari al-Quron,
opabita aku meniahar, kecuoli densan r.-iS?:;?il;n
or"n ad_Daruquthni)
Dan ada lagi beberapa Hadis yang lain yang bersamaan maknanya yaitu
kalau Imam menjahar, yang boleh dibaca oleh ma'mum dibelakanglmamyang
menjahar itu hanyalah al-Fatihah saja, tetapi tidak boleh dengan suara keras,
supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca.
Sungguhpun demikian ada juga perselisihan ijtihad diantara Ulama-ulama
Fiqh tentang membaca di belakang Imam yang sedang menjahar itu. Kata
setengah ahli ijtihad, kalau Imam membaca jahar, hendaklah ma'mum berdiam
diri mendengarkan, sehingga al-Fatihah pun cukuplah bacaan lmam itu saja
didengarkan. Mereka berpegang kepada sebuah Hadis:
WVGy, i\i Lt *'it* i, I Jj,[3 -r{;i 4 #
WV3\31W13\3V t'FA,
8. "Dori Abu Hurairah, bahwasanyo Rasulullah s.o.u.r. berkata Sesung￾guhny a I mam itu lain t i dak t el ah dij adikan menjadi iku t an kamu. M aka apabila
dia t elah t okbir, hendaklah kamu t akbir pula dan apabila dia membaca, maka
hendaklah kamu berdiam diri." (Dirawikan oleh yang berlima, kecuali
Termidzi. Dan berkata Muslim: "Hadis inishahih").
Dan mereka kuatkan pula dengan ayat 204 daripada Surat 7 (Surat al￾A'raO.
k.+ ;y'e,, 'J3;3';{JxG;i; '^|WV'jUfrt :t},st;
"Dan apabila dibaca orang al-Quron, maka dengarkanlah olehmu akan
dia dan berdiam dirilah, supaya kamu diberi rahmot." (al-A'raf: 204)
Maka buah ijtihad dari golongan yang kedua ini, meskipun dihormatijuga
golongan yang pertama, tetapitidaklah dapat menggoyahkan pendirian mereka
bahwa walaupun Imam membaca jahar, namun ma'mum masih wajib membaca
al-Fatihah di belakang Imam. Sebab
-
kata mereka
-
baik Hadis yang
dirawikan Abu Hurairah tersebut, ataupun ayat dari akhir Surat al-A'raf itu ialah
perintahyangoom,sedang Hadis Ubadah dan Hadis-hadis yang lain itu ialah
khosh. Maka menurut ilmu Ushul dalam hal yang seperti ini ada undang￾undangnya, yaitu:"Membinakan yang aam atas yong khos adalah wajib."
Jadi kalau kita nyatakan secara lebih mudah difahami ialah: Isiayat Surat al'
A'raf ialah memerintahkan kita mendengar dan berdiam diri ketika al-Quran
dibaca orang. Itu oom atau umum di mana saja, kecuali seketika menjadi
ma'mum di belakang Imam yang menjahar. Maka pada waktu itu perintah
mendengar dan berdiam diriitu tidak berlaku lagi, sebab Nabitelah mengatakan
bahwa tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah.
Maka kalau dia mendengarkan bacaan Imam saja dan berdiam diri, padahaldia
disuruh membaca sendiri di saat itu tidaklah sah sembahyangnya.
Hadis Abu Hurairah pun umum menyuruh takbir apabila Imam telah takbir
dan berdiam diri, apabila Imam telah membaca. lnipun umum. Maka dikecuali￾kanlah dia oleh Hadis Ubadah tadi, yang menegaskan larangan Rasulullah
membaca apa-apa juapun, kecuali al-Fatihah.
Dan datang pula sebuah Hadis Anas bin Malik, dirawikan oleh Ibnu Hibban,
demikian bunyinya:
,Ji d;. fi ,; j LitJ^l:k: r1; it fu ),t J;i; Jv
# ",2\4\
p,Y,;f"A' W $1X 9,t { \;5)V{
9. "Berkato Rosululloh s.o.u/..' Apakah kamu membaca di dalam sem￾bahyang yong kamu di belakang lmam, padahal lmam sedang membaca?
Jangan berbuat begitu. Tetapi hendaklah membaca tiap seorangkamu okan
FatihotulKitab di dalam dirinyo. (Artinya; baca dengan tidok keros-keras.)"
Oleh sebab itu maka golongan pertama tadimenjalankanlah kedua maksud
ini, yaitu mereka menetapkan membaca al-Fatihah, di belakang lmam yang
menjahar, tetapi tidak boleh keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang
membaca. Dan apabila telah selesai membaca al-Fatihah, merekapun men￾jalankan maksud Hadis, yaitu berdiam dirimendengarkan segala bacaan Imam
yang lain.
Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang kalau ada orang yang berhenti
samasekali membaca al-Fatihah karena berpegang pada Hadis Abu Hurairah
dan ayat 204 Surat al-A'raf tadi, pegangannya ialah semata-mata iitihad hendak￾lah dihormati. Adapun penulis tafsir ini, kalau orang bertanya, manakah di
antara kedua faham itu yang penulis merasa puas hati memegangnya, maka
penulis menjawab: "Aku memegang faham yang pertama, yaitu walaupun Imam
menjaharkan bacaannya, namun sebagai ma'mum penulis tetap membaca al￾Fatihah untuk diri sendiri. Karena payah penulis hendak mengenyampingkan
Hadis yang terang tadi, yaitu tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak
membaca al-Fatihah."
Adapun waktu membacanya itu, apakah seketika Imam berdiam diri
sejenak, atau seketika dia membaca? Maka Ulama-ulama dalam Mazhab Syafi'i,
berpendapat boleh didengarkan Imam itu terlebih dahulu membaca al-Fatihah
dan dianjurkan supaya Imam berhenti sejenak memberi kesempatan kepada
ma'mum supaya mereka membaca al-Fatihah pula. Tetapi kalau Imam itu tidak
berhenti sejenak, melainkan terus saja membaca ayat atau Surat-surat yang
mudah sehabis membaca al-Fatihah, maka sehabis Imam itu membaca al￾Fatihah, terus pulalah si ma'mum membaca al-Fatihah, sedang Imam itu
membaca Surat. Dan sehabis membaca al-Fatihah itu hendaklah sima'mum
berdiam diri mendengarkan apa yang dibaca Imam sampai selesai.
Di Antora Johor Dan Sirr
Selain dari khilafiyah tentang Bismillah (Basmallah) apakah dia termasuk
ayat di pangkal suatu Surat atau hanya dalam Surat an-Naml itu saja, timbul
pula pertikaian pendapat tentang; apakah ketika membaca al-Fatihah dan Surat
yang berikutnya pada sembahyang-sembahyang yang dijaharkan, Imam mesti
menjaharkan (membaca dengan keras) Bismillah juga? Ataukah Bismillah
dibaca dengan Sirr? Atau yang dijaharkan cuma al-Fatihah dan Surat yang
berikutnya saja?
Golongan yang berpendapat bahwa hendaklah Basmallah itu dijaharkan
dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. ialah: Abu Hurairah, Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair. Dan yang menjaharkan dari kalangan Tabi'in
ialah Said bin Jubair, Abu Qilabah, az-Zuhr| Ikrimah, Athaa', Thaawuus,
Mujahid, Ali bin Husain, Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka ab al-Qurazhi,
Ibnu Siirin, Ibnul Munkadir, Nafi' Maula lbnu Umar, Zaid bin Aslam, Makhuul,
Umar bin Abdil Aziz, Amr bin Dinar dan Muslim bin Khalid. Dan itu pula pilihan
(Mazhab) Imam Syafi'i. Dan begitu pula salah satu pendapat darilbnu Wahab,
salah seorang pemangku Mazhab Malik. Diriwayatkan orang pula, bahwalbnul
Mubarak dan Abu Tsaur berpendapat menjaharkan juga.
Yang berpendapat bahwa Bismillahi itu di Sirr-kan saja, (tidak dibaca
keras) oleh Imam, dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. ialah Abu
Bakar, Umar, Usman, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas'ud, Ammaar bin Yasir, Ibnu
Maghal dan lain-lain. Dan dari Tabi'in, di antaranya ialah Hasan al-Bishri, asy￾Sya'bi, Ibrahim an-Nakha'i, Qatadah, al-Amasy dan as-Tsauri. Puluhan Maz￾hab dari Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbalpun condong kepada
membacanya dengan Sirr.
Alasan dariyang memilih (Mazhab) jahar ialah sebuah Hadis yang dirawi￾kan oleh jamaah daripada sahabat-sahabat, di antaranya Abu Hurairah dan
isteri Rasulullah s.a.w. Ummu Salmah. Bahwasanya Rasulullah s.a.w. men￾jaharkan membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim.Kemudian itu ada pula satu riwayat dariNa'im binAbdullahal-Mujmar. Dia
berkata: "Aku telah sembahyang di belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia
membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, setelah itu dibacanya pula Ummul￾Quran. Setelah selesai sembahyang diapun mengucapkan salam lalu berkata
kepada kami:
/j*J * it
"S-.
j",,))"r,", ;t ;K*}i ; t
| "-.
"sesungguh nyo akulah yang lebih mirip sembohyangnya dengon sembah￾yong Rosulullah s.a.w."
Hadis ini dirawikan oleh an-Nasa'i dan oleh lbnu Khuzaimah dalam shahih
nya. Lalu disambungnya; "Adapun jahar Bismillahir-Rahmanir Rahim itu maka
sesungguhnya telah sabit dan sah dari Nabi s.a.w."
Hadis ini dirawikan pula oleh lbnu Hibbaan dan al-Hakim atas syarat
Bukhari dan Muslim. Dan berkata al-Baihaqi: "Shahih isnadnya".
Dan meriwayatkan pula ad-Daruquthni dengan sanadnya, daripada Abu
Hurairah, daripada Nabi s.a.w.:
93
10. "Adalah beliau apabila membaca sedang dia mengimami manusio, di￾bukany a dengan Bismillahir R ahmanir -R ahim. "
Ad-Daruquthni mengatakan isnad Hadis ini semuanya boleh dipercaya.
Dan Hadis semacam inipun ada diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi
senantiasa memulai sembahyangnya dengan menjaharkan Bismillah. Tentang
ini ada riwayat dari ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari al-Hakim.
Tetapi apabila kita selidiki agak lebih mendalam, sebagai yang dilakukan
oleh lmam asy-syaukani di dalam Nailul-Authaor, tiap-tiap Hadis yang jadi
pegangan buat menjahar itu ada saja Noqd (kritik) terhadap perawinya, se￾hingga yang betul-betul bersih darikritik tidak ada. Sampai Termidzi pernah
mengatakan: "lsnadnya tidaklah sampai demikian tinggi nilainya."
Tetapi NailulAuthaor pun ada mengemukakan sebuah Hadis lagi:11. " D ita ny akan or ang kepada Anas, bagaiman ak ah bocoo n Nobi s. o. u.r.
Maka diapun menjawab: Bacaan Nabi adalah panjang. Kemudian betiau (Abu
Hurairah) bacaBismillahir-Rahmanir-Rahim; dipanjangkannyapadaBismilloh
dan dipanjangkannya pula pada Ar-Rahmon, dan Ar-Rahim."
(Dirawikan oleh Bukhari)
Pendapat yang menjahar tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau
tidak didengarnya.
Adapun yang menat'ikan jahar dan yang memandang lebih baik sirr saja,
mereka berpegang pula kepada Hadis:
12. "Daripada Abdullah bin Mughaffal: Aku dengar ayahku berkata;
p adahal aku memb ac a Bi smill ahir - R ahmanir -R ahim. K at a ay ahku : H ai anak -
kul sekoli-koli jangan engkau mengada-ada. Dan kota lbnu Abdullah tentang
ayahnya itu: Tidak ada aku melihat sohabat-sahabat Rasulullah s.a.w. dan
bersama Abu Bakar, bersama Umar dan bersoma lJsman, maka tidaklah
pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. sebob ifu
janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah
Alhamdulillahi R obbil Alamin."
(Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Abu Daud)
Hadis ini diHasankan oleh Termidzi.
Hadis inipun diperkajikan orang dengan seksama. Al-Jariri merawikannya
seorang.diri. Sedang al-Jariri inijadi perbincangan orang pula. Sebab setelah dia
tua, fikirannya kacau, sebab itu Hadis yang dirawikannya diragukan. Kemudian
Abdullah bin Mughaffal, yang jadi sumber pertama Hadis ini. setengah ahli
Hadis mengatakan bahwa dia itu Majhul (seorang yang tidak dikenar).Kemudian terdapat pula sebuah Hadis dari riwayat Anas pula:
95
'i'|y;' +' i:tti,p:A g\,F t@J;{
( 1Ut,,tl ott,'1
13. "Daripada Anas bin Malik, berkata dia: Aku telah sembahyang
bersama Rasulullah s.a.w. Abu Bakar, Umar dan Usman, maka tidaklah saya
mendengar seorangpun daripada mereka yang membaca Bismillahir-Rah￾manir-Rahim." (Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim)
Dan beberapa Hadis lagi yang sama artinya, semuanya dari Anas. Dan
tambahan perkataan dari riwayat Ibnu Khuzaimah:
-u;U"t3?
"Mereka semuonya membqca dengan Sirr."
Jelaslah sekarang bahwa jika ada di kalangan sahabat-sahabat Nabisendiri
yang menetapkan Jahar, memang ada Hadis tempat mereka berpegang, yaitu
riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat sendiri. Dan jika ada pula yang mengata￾kan bahwa mereka tidak pernah mendengar Nabi menjaharkan Bismillah.
Artinya keduanya sama-sama ada pegangan.
Jelas pula terdapat dua riwayat yang berlawanan, datang dari satu orang,
yaitu Anas bin Malik, yaitu sahabat Rasulullah dan pelayan beliau 10 tahun
lamanya. Diriwayatkan yang pertama yang kita salinkan di atas, nyata sekali
Anas mengatakan bahwa Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, dengan
pan.iang: Bismillahnya panjang. Ar-Rahmannya panjang dan Ar-Rahimnya pan￾jang pula. Timbulpertanyaan sekarang, darimana beliau tahu bahwa Rasulullah
s.a.w. membaca masing-masing kalimat itu dengan panjang (Madd), kalau tidak
didengarnya sendiri?
Kalau kita kembali saja kepada Qaidah Ushul Fiqh dan Ilmu Hadis tentu
kita dapat menyimpulkan:
#1}";lii1UXi
"Yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menidokkan."
Artinya, riwayat Anas yang mengatakan Rasulullah s.a.w. baca Bismillah
panjang, Ar-Rahman panjang dan Ar-Rahim panjang itulah yang didahulukan.Oleh sebab itu Bismillahir-Rahmanir-Rahim kita Johorkan dan Modclkan mem￾bacanya. lni namanya menetapkan hukum ada Jahar.
Tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang disalinkan oleh as-Syau￾kani di dalam NailulAuthaar telah mendapat jalan keluar dari kesulitan ini,
katanya: "Hal ini bukanlah semata-mata karena mendahulukan Hadis yang
menetapkan hukum (jahar) daripada yang menafsirkan (sirr). Karena amat jauh
dari penerimaan akal kita bahwa Anas yang mendampingiAbu Bakar, Umar
dan Usman duapuluh lima tahun dan mendampingiNabis.a.w. sebagaisahabat
sepuluh tahun lamanya, tidak sekali juga akan mendengar mereka menjahar
agak sekali sembahyangpun. Tetapi yang terang ialah bahwa Anas sendiri
mengakui bahwa dia tidak ingat lagi(sudah lupa) hukum itu. Karena sudah lama
masanya tidak dia ingat lagi dengan pasti, apakah mereka (Nabi s.a.w. dan
ketiga sahabat itu) memulai dengan Alhamdulillah secara jahar atau dengan
Bismillah. Lantaran itu jelaslah diambil Hadis yang menetapkan jahar." Sekian
penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar.
Keterangan Ibnu Hajar ini diperkuat lagi dengan as-Syaukani dalam Noi￾lul-Authaar, katanya:
"Apa yang dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar dikuatkan oleh sebuah Hadis
yang menjelaskan bahwa memang Anas tidak ingat lagi soal itu. Yaitu Hadis
yang dirawikan oleh ad-Daruquthni dariAbu Salamah, demikian bunyinya:
"Aku telah tanyakan kepada Anos bin Malik, apakah ada Rasulullah
s.a.w. membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillahir￾Rahmanir-Rahim? Beliau menjawab: Engkau telah menanyakan kepadaku
suotu sool yo ng aku tidak ingat lagi, dan belum pernah oranglain menanyakan
sool itu kepadaku sebelum engkau. Lalu saya tanyakan pula: Apakah ada
Rasulullah s.o.ur. sembohyang dengan memakai seposong terompah? Beliau
jawab: Memang ada!."
Dengan demikian selesailah soal dua Hadis Anas, bukan bertentangan,
melainkan menambah cenderung kita kepada J a h a r !
Setelah kita selidiki dengan seksama, semua Hadis yang membicarakan di
antara jahar dan sirr Bismillahir-Rahmanir-Rahim itu, jelas bahwa pedoman dari
kata-kata atau sabda Nabi s.a.w. sendiri (Aqwalun Nabi) tidak ada, yang
memerintahkan menjahar atau menyuruh mensirrkan, dan sebaliknya. Yangjadi pedoman ialah riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat beliau. Baik yang
menguatkan menjahar atau yang memilih sirr saja. Dan setelah diselidikipula
semua sanad Hadis-hadis itu, ada saja pembicaraan orang atasnya, baik Hadis
yang mengatakan jahar atau yang mengatakan sirr. Malahan terdapat dua
riwayat berlawan di antara jahar dan sirr dari satu orang. Sebab itulah masalah
ini termasuk masalah khilafiyah, masalah yang dipertikaikan orang. Atau
termasuk masalah ijtihadiyah, artinya yang terserah kepada pertimbangan
ijtihad masing-masing ahlinya. Dalam hal ini terpakailah Qa'idah Ilmu Ushul
yang terkenal.
97
,wu, 33i!"V.ti
"ljtihad tidaklah dapat disalahkan dengan iitihad pula."
Sampai Ibnul Qayyim di dalam Zaadil-Ma'ad mengambil satu jalan tengah.
Dia berkata: "Sesungguhnya Nabi s.a.w. adalah menjaharkan Bismillahir￾Rahmanir-Rahim sekali-sekali dan membacanya dengan sirr pada kebanyakan
kali. Dan tidak syak lagi, tentu tidaklah beliau selalu menjaharkan tiap haridan
tiap malam lima kali selama-lamanya, baik ketika dia sedang berada dalam kota
ataupun sedang dalam perjalanan, akan tersembunyi saja yang demikian itu
bagi Khalifah-khalifahnya yang bijak dan bagiJumhur sahabat-sahabatnya dan
ahli sezamannya yang mulia itu. Ini adalah hal yang sangat mustahil, sehingga
orang perlu menggapai-gapai ke sana ke mari mencari sandaran dengan kata￾kata yang Mujmal dan Hadis-hadis yang lemah. Meskipun Hadis-hadis yang
diambil itu ada yang shohih, namun dia tidaklah sharih, dan meskipun ada yang
sharih, tidak pula dia shahih." Sekian kata Ibnul Qayyim.
Berkata al-lmam as-Syaukani selanjutnya di dalam Nailul-Authaar:"Da￾lam soal lkhtilaf (perkara jahar dan sirr Bismillah) ini, paling banyak hanyalah
khilafiyah dalam soal Mustahab atau Mosnuun. Maka tidaklah soal menjahar￾kan atau mensirrkan bacaan ini merusakkan sembahyang atau membatalkan￾nya. Ijma Ulama bahwa soal sirr dan jahar itu tidaklah membatalkan sem￾bahyang. Oleh sebab itu janganlah engkau terpesona pula mengikutisetengah
Ulama yang memperbesar-besar soal ini dan mengobar-ngobarkan khilafiyah￾nya, sehingga setengah mereka itu sampai memandangnya sebagai satu soal
yang mengenai I'tikad." Demikian kata as-Syaukani.
Tersebut pula dalam kitab Noilul-Authaar, menurut berita darilbnu Abi
Syaibah, bahwa an-Nasa'i pernah berkata: "Menjaharkan Bismillahir-Rahma￾nir-Rahim itu adalah bid'ah. "
Ibrahim bebas dengan pendapatnya, tetapi orang lain yang turut pula
mencap bid'ah orang yapg menjaharkan Bismillah, berkata demikian hanyalah
karena taqlidnya belaka kepada Ibrahim. Orang inibebas buat tidak menjahar￾kan Bismillah, tetapi menuduh orang lain, termasuk sahabat-sahabat perawi
Hadis sebagai Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah jadi tukang bid'ah,
adalah suatu perbuatan yang jauh daripada sopan santun agama.Agak panjang kita uraikan masalah Jahar atau Sirr Bismillah ini dalam
"Tafsir" ini, gunanya ialah buat menunjukkan bahwa dalam ranting-ranting
(furu'-furu') syariat banyak terdapat hal semacam ini.
Di dalam gerakan hendak kembali kepada al-Quran dan Hadis pasti
terdapat soal-soal, yang meskipun kita telah kembali ke dalam al-Quran dan
Hadis itu, namun kita tidak juga dapat mengambil keputusan pasti, kecuali
dengan ijtihad atau dengan taqlid. Bagiyang sanggup dan telah cukup syarat,
niscaya dia berijtihad dan bagi yang belum ahli niscaya dia taqlid saja kepada
yang pandai, walaupun dia bersorak-sorak menyatakan dia tidak taqlid.
Di negara kita selama ini telah timbul soal-soal khilafiyah atau ijtihadiyah
semacam itu. Seumpamanya dijaharkanlah Bismillah atau disirrkan, dibaca al￾Fatihah di belakang Imam yang menjahar atau tidak dibaca. Untuk mengambil
satu di antara pendirian, tidak lain adalah ijtihad. Sebab itu, meskipun setengah
orang mendakwakan bahwa dia tidak lagi berperang dengan satu Mazhab
sendiri, dengan pengikut sendiri pula.
Karena tidak dapat menundukkan soal menurut keadaan yang sebenarnya
dan tidak dapat pula memberikan penjelasan kepada pengikut, timbullah
perselisihan dan pertentangan batin yang tidak dikehendaki. Ada dibeberapa
tempat satu "Muballigh" mendabik dada mengatakan bahwa yang benar adalah
pegangannya sendiri, bahwa Bismillah mesti disirrkan, dan barangsiapa yang
menjaharkan Bismillah adalah berbuat bid'ah. Atau ada "keputusan" darisatu
golongan, yang benar adalah bahwa al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar
tidak boleh dibaca. Sebab menurut keterangan gurunya, menurut al-Quran dan
Hadis, bid'ahlah barangsiapa yang membaca al-Fatihah juga di belakang
Imam yang menjahar. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Dengan sebab demikian maka perkara khilafiyah atau ijtihadiyah yang
begitu lapang pada mulanya, telah menjadi sempit dan membawa fitnah dan
perpecahan, dan tidak lagi menurut ukuran yang sebenarnya sebagaimana
yang tersebut di dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu kebebasan ijtihad, dan
ijtihad tidaklah Qofh'i(pasti), melainkan Zhanni (kecenderungan) faham. Dan
tidak lagi hormat menghormati faham, sebagaimana yang dikehendaki oleh
agama.
Timbul mau menang sendiri, yang tidak dikehendaki agama. Apatah lagi
setelah orang awam berkeras mempertahankan suatu pendirian yang telah
dipilihkan oleh guru-guru.
Dari Hal Amin
Setelah selesai Imam membaca al-Fatihah, niscaya akan dikuncinya
dengan menyebut Amin, dan bersamaan dengan itu seluruh ma'mum yang
mengikuti di belakangpun membaca Amin pula.Ini adalah beralasan kepada Hadis juga:
99
W'rUyi 3t ti\, 3V iV *'ftJ,J lt's-i: J'rr7 j: *
g i b ;'itsu'J'& {$tii|;.u ciu SV i"rV
15. "Daripada Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah s.a.w. berkata:
Apabila telah ber-amin Imam, hendaklah kamu ber-amin pula. Karena barang￾siapa yang bertepatan aminnya dengan amin Malaikat, akan diampunilah
doso-dosonya yang telah lampau." (Dirawikan oleh Jamaah)
Dan Hadis
16. Daripada Abu H ur airah: Adalah Rasulullah s. a.w. apbila telah mem￾baca sampai ke Ghairil Magh-dhubi'alai-him waladh-dhaallin, beliau sebut:
"Amin", sehinggo didengar oleh orang-orang yang mengikutinya dari Shal
yang pertamo." (Dirawikan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dan kata Abu Hurairah pula: "Sehingga didengar akan dia oleh ahliShaf
pertama maka bergemalah suara itu di dalam mesjid."
Menurut riwayat dari Wa-il bin Hajar, dia sendiri mendengar Rasulullah
s.a.w. memanjangkan suaranya seketika membaca Amin itu (dimadd-kan), baik
pada Ao atau Min. Abu Daud meriwayatkan bahwa suara beliau diangkatnya
waktu membaca Amin itu. Oleh sebab itu, sebagaimana yang ditulis oleh as￾Syaukani di dalam Noi/ul Authaar, membaca Amin itu, baik menyambutnya
seketika selesai Imam membaca al-Fatihah di sembahyang jahar, atau seketika
setiap orang membaca al-Fatihah adalah termasuk peraturan syara' juga.
Menurut pendapat Jumhur bacaan Amin itu adalah sunnah. Tetapi Ibnu
Buzaizah dan Ulama-ulama ahli zahir berpendapat atas wajibnya. Dan zahir
kenyataan menunjukkan bahwa ma'mum diwajibkan dengan omor (perintah)
supaya menyambut dengan Amin pula bila dia telah dibaca oleh Imam. Dan bagi
Imam sendiri membaca Amin adalah nadab (sunnat). Hal ini adalah seumpama
mengucapkan dan menjawab salam, yang memulai adalah nadab, yang men￾jawab adalah uoiib. Demikian juga orang yang sembahyang mun/orid(sendiri).
Tetapi sungguhpun sudah masyhur itu tentang AMIN, namun di dalam
seluruh naskah al-Quran tidaklah Amin itu dimasukkan, sebab tidak adadalam
rangkaian wahyu al-Fatihah yang 7 ayat itu.
Adapun arti Amin itu sendiri, menurut keterangan kebanyakan ahli-ahli
ilmu ialah: U _a"i.l, fah ( 'Yo Tuhon, perkenankanloh permohonan
'&i6fuYf "Demikianlah
Menurut Hilal bin Yasaaf dan Mujahid, Amin itu ialah Salah satu daripada
nama Allah. Menurut Imam Termidzi artinya:G;qr'.'il"Jongan Tuhan
kq antakan haropan kami"
Menurut riwayat dari Ibnu Abbas dia sendiri menanyakan artinya kepada
Rasulullah. Beliau jawab artinya ialah: '11it g._, "ya Tuhanku, ber- tindaklah-' (
Al-Fatihoh Dengan Bahasa Arab
Tadi di atas telah kita nukilkan sebuah Hadis bahwasanya sembahyang
tidaklah sah kalau tidak membaca al-Fatihah. Dan hendaklah dia dibaca padi
tiap-tiap rakaat. oleh sebab itu menjadijelaslah bahwa wajib.bagi kita meng￾hafalnya di luar kepala. Dan menjadiwajiblah kita tahuakanmaknanya, supaya
sesuai bacaan mulut kita dengan arti terkandung dalam hati.
Ada satu saran yang amat berbahaya di zaman-zaman akhir ini, yaitu
membaca bacaan sembahyang dengan bahasa Indonesia. Katanya karena
mempertahankan bahasa nasional. Kalau saran itu berjalan, terancamlah kita
oleh bahaya rohani yang besar sekali, yaitu kita terputus dari pangkalan agama
kita, dari keasliannya yang diterima dari NabiMuhammad s.a.w. Kecintaan kita
kepada bahasa dan bangsa kita bukanlah berarti merusakkan pusaka akidah
dan kepercayaan yang telah kita anut. Di antara hidup kita sebagai orang Islam
tidaklah dapat dicerai tanggalkan dari al-Quran. Kata-kata yang menyarankan
sembahyang dengan bahasa nosionol itu dengan tidak disadari adalah sisa-sisa
peninggalan penjajahan yang 350 tahun lamanya mencoba merubah cara kita
berfikir. Didalam bangsa penjajah mencoba menghilangkan pengaruh bahasa
Arab itu, penjajah berusaha keras memasukkan bahasanya sendiri. sampai
saat sekarang ini (1965), sudah 20 tahun kita mencapai kemerdekaan bangsa,
masih ada orang yang sukar bercakap dalam bahasa nasionalnya dan lebih
gampang lidahnya bercakap dalam bahasa Belanda. Padahal pramasastra dan
tatabahasa kita yang berpokok pangkal dari bahasa Melayu lebih berdekat
dengan bahasa Arab daripada dengan bahasa Belanda. Kalau kita dalam bahasa
kita menyebut nama negeri Bukittinggi, bukan High Mountain yang karau
diartikan ke bahasa kita menjadi Tinggi Bukit. Kalau kita menyebut dalam
bahasa kita Rumohku dalam bahasa Arabnyapun disebut Boifi, yang artinya
rumahku juga, bukan Mijn Huis, yang beraiti baya Rumah, atau-aku ,r-uh,sehingga untuk lebih difahami terpaksa ditambah menjadi saya empunya
rumah.
Meskipun barangkali kita bangsa-bangsa Indonesia terkemudian meme￾luk Islam dari bangsa Persia dan bangsa Turki, namun lidah bangsa kita di dalam
mengucapkan bahasa Arab, tidaklah kalah dengan lidah mereka, malahan
kadang-kadang lidah bangsa kita lebih fasih. Ini diakui oleh bangsa Arab sendiri.
Namun begitu dari bangsa-bangsa itu tidak ada percobaan hendak menukar
bacaan sembahyangnya dengan bahasa mereka sendiri. Di satu masa ada
gerakan Syu'ubiyah namanya di Persia, yaitu kira-kira pada abad ketiga dan
keempat Hijriyah, yang maksudnya hendak memungkiri kelebihan bangsa Arab
daripada bangsa-bangsa yang lain, yang tergabung dalam Islam. Namun tidak
ada gerakan hendak menukar bacaan sembahyang bahasa Arab itu ke dalam
bahasa Persia. Memang ada seorang Imam Besar Islam, Imam Hanafi pernah
menyatakan ijtihad, bahwa tidak mengapa jika orang yang baru masuk Islam
belum sanggup membaca al-Fatihah dalam bahasa Arabnya, sebelum dapat dan
lafaz
-
kata beliau
-
bolehlah sementara dia pakaibahasa Persia. Tetapi fatwa
beliau itu tidak mendapat sambutan, malahan murid-murid beliau menyatakan
pendapat yang membantah pendapat itu. Lebih baik diam mendengarkan Imam
membaca, sebelum pandai membacanya, daripada membacanya dengan ba￾hasa lain, yang bukan bahasa aslinya. Sedangkan menukar lafaz al-Fatihah,
meskipun dalam bahasa Arab juga, lagi tidak sah, apatah lagi menukarnya
dengan bahasa lain. Dan sudah sepakat ahli-ahli penyelidik bahwa satu bahasa
kalau telah dipindahkan ke bahasa lain, tidaklah lagi tepat menurut maknanya.
Karena siasat hendak memisahkan diri dari pengaruh Arab, Musthafa
Kemal Attaturk pernah memerintahkan menterjemah Azan (bang) ke bahasa
Turki. Tetapi setelah dia mati, dikembalikan orang ke bahasa Arab karena
dengan diterjemah itu telah hilang sari dan pengaruhnya.
Dan setelah Partai Demokrasi Jalal Bayar mengadakan kampanye Pe￾milihan Umum melawan Partai Republik pusaka Kemal Attaturk, janjinya
hendak mengembalikan azan ke bahasa Arab itulah yang menyebabkan ke￾menangannya. Sebab meskipun sudah sekian puluh tahun Partai Republik
berkuasa yang berusaha hendak men-Turkikan segala yang dipandang berbau
Arab, rupanya masih tetap sebagai minyak dengan air saja hubungannya
dengan rakyat yang masih beragama, yang masih mengambil kekuatan jiwanya
dari al-Quran.
Oleh sebab itu tetaplah baca al-Fatihah dalam setiap rakaat sembahyang
dalam bahasanya yang asli, dalam bahasanya yang diterima dari Nabi s.a.w.
Pelajari bacaannya itu kepada yang ahli mempergunakan huruf-hurufnya me￾nurut to.fu,ridnya (pronounciation) yang betul. Dan dalam hukum agama, nyata￾lah bahwa mempelajari bacaan al-Fatihah dan mengetahui artinya dalam/ordhu
'oin, wajib bagi tiap-tiap Muslim. Dan saran yang hendak membaca saja
terjemahnya itu bukanlah lagi dari berfikir secara Islam, melainkan dengan tidak
disadari telah kemasukan fikiran orang lain yang hendak meruntuhkan Islam.
Kalau kita merasa berat menerima pendapat Imam Syafi'i r.a. yang me￾ngatakan wajib bagi setiap Muslim mengetahuibahasa Arab, namun di dalammelakukan sembahyang dengan segala bacaannya dan khusus mengenai al￾Fatihah, berfikir secara Islam yang sihat pasti menerima apa yang dikatakan
Imam syafi'i itu. Betapa tidak! sedang sembahyang adalah tiang agama. Dalam
sembahyang kita menghadapkan wajah hati kita kepada Tuhan, mengemuka￾kan segala puji'pujian dan permohonan sebagai yang tersebut di dalam al￾Fatihah itu. Dan hendaklah sembahyang itu kita kerjakan dengan khusyu'
merendahkan diri. Bagaimana khusyu' akan tercapai kalau kita tidak mengerti
apa yang kita katakan? Bagaimana sembahyang akan menjadi tiang agama,
kalau kita mengerjakannya hanya karena keturunan saja? Bukan dari kein￾safan?
Oleh sebab itu hendaklah dalam rumahtangga Islam, ayah dan bunda
mengajar anaknya sedari kecil membaca a[-Quran. Sekurang-kurangnya buat
pertama sekali ialah diajarkan al-Fatihah, supaya dapat dipakainya untuk
sembahyang.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa belajar al-Fatihah itu sukar,
maka yang berkata begitu ialah orang yang hatinya telah jauh dari Islam. Sebab
sejak Agama Islam menjadi anutan bangsa kita i,000 tahun yang lalu, di
Indonesia dengan seluruh kepulauan ini orang telah membaca al,Fatihah, tidak
ada yang mengatakan sukar. Lidah anak hendaklah difasihkan sejak kecilnya.
Kalau orang tua tidak sanggup mengajarnya, panggillah guru ke rumah.
Kalau seorang tidak juga pandai membaca al-Fatihah, maka Nabi s.a.w.
tidak juga ada mengajarkan atau membolehkan bacaan lain.
Menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Abu Daud, an-Nasa'i, Imam
Ahmad, IbnulJarud, Ibnu Hibban dan ad-Daruquthni:
77. "Bahwasanya seorang laki-loki datang kepada Nobi s.o.u,,. lalu ber"
kofo: Sesungguhnya aku tidak songgup mengambil bacaan dari al-euran
walaupun sedikir. oleh sebab itu ajarkanlah kepadaku sesuotu bacaan yang
akan dapat memberi pohalo bogiku pada sembahyangku. Maka berkatalah
beliau: Bacalah Subhanallah, Alhamdulillah, La llaha lllallah, Atlahu Akbar, La
Haula unla Quwwata illa Billahi."
Hadis ini menunjukkan, bahwa kalauprrn tidak pandai membaca al-Fatihah,
maka untuk menukarnya tidak pula boleh dengan ucapan lain, melainkan zikir￾zikir yang tersebut itu. Namun sembahyang dengan bahasa yang lain tidak juga
bolehOleh sebab initelah termasuk ibadat, tidaklah boleh lagi kita tukar daripada
apa yang diajarkan oleh Nabi. Dan kalau al-Fatihah tidak pandaidan zikir-zikir
yang tersebut itupun tidak pandai, bolehlah mengikut Imam dengan men￾dengarkan bacaan Imam, sebagaimana telah dibukakan fahamnya'oleh ijtihad
yang kita sebutkan tadi. Tegasnya, lebih baik berdiam diri mendengar Imam
membaca, daripada mengeriakan sembahyang dengan bahasa yang lain, atau.
dengan terjemahan al-Fatihah. Sebab terjemah itu tidak jugalah akan tepat
seratus persen dengan kehendak isi aslinya.
Ini mungkin dan bisa kejadian pada seorang muallaf yang baru masuk
Islam, yang sesudah dia mengucapkan dua kalimah Syahadat, dia sudah wajib
sembahyang, padahaldia belum tahu baik zikir atau al-Fatihah. Dalam pada itu
dia wajib belajar, sehingga tidaklah lama dia hanya mendengar saja.
Kesimpulan:
Renungkanlah pengertian al-Fatihah sebaik-baiknya, niscaya akan terasa
bahwa dia bukan semata-mata bacaan untuk ibadat, tetapi mengandung juga
bimbingan untuk membentuk pandangan hidup Muslim. Mula-mula dipusatkan
seluruh kepercayaan kepada Allah dengan sifatNya Yang Maha Murah dan
Penyayang, disertai dengan keadilanNya yang berlaku sejak dari dunia lalu ke
negeri akhirat. Dan bila kita renungkan pula pengertian pengakuan kita, bahwa
yang kita sembah hanya Dia dan tempat kita memohonkan sesuatu hanya DIA.
Sampailah kita kepada lslam yang sejati. Setelah kita akui bahwa hanya Dia
yang kita sembah, barulah kita mengajukan permohonan. Jangan sampai
terbalik, sebagai kebanyakan orang-orang ghafil, yang lebih dahulu memohon
dan kemudian baru beribadat.
Sesudah pengakuan yang demikian, kita kemukakan permohonan yang
pertama dan utama, yaitu minta ditunjuki jalan yang lurus. Maka tidaklah kita
meminta kepada Tuhan agar diberi benda, diberi roti buat makanan hari ini,
sebagai bacaan sembahyang orang Kristen. Karena apabrla mengenal (ma'ri￾fat) kita kepada Tuhan telah mendalam, tidaklah kita mengemukakan per￾mohonan yang kecil-kecil dan remeh itu lagi, melainkan kita minta yang pokok,
yaitu jalan lurus dalam menempuh hidup, dan apabila permohonan itu telah kita
iringi supaya dikurniai jalan yang dinikmati, timbullah pada kita cita-cita yang
tinggi di dalam martabat Iman, setaraf dengan kehidupan Rasul-rasul, Nabi￾nabi, Syuhada dan Shalihin. Bahkan di dalam Surat al-Furqan (Surat 25, avat
74) kita disuruh berdoa yang jangan tanggung-tanggung.f angan alang kepalang.
Kita disuruh berdoa agar Tuhan menjadi IMAM dari orang-orang yang
Muttaqin, artinya menjadi contoh teladan bagi orang lain.
Dan setelah kita memohonkan agar kiranya kita diselamatkan Tuhan,
jangan tertempuh jalan yang dimurkai Allah dan jangan pula jalan yang sesat,
dengan secara tidak langsung kita sudah disuruh mempelajari ilmu sejarah,
filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi), dan juga ilmu jiwa. Kitaharus mempelajari bagaimana sebab-sebab suatu ummat atau kaum naik
martabatnya atau jatuh pamomya.
Dan dengan sendirinya, bila al-Fatihah kita renungkan, dapatrah kita
fahamkan bahwasanya yang kita pegang di dalam hidup ini ialah dua tali.
Pertama tali dengan Allah, kedua tali dengan Alam, termasuk manusia sebagai
alam yang lebih penting, dan kita termasuk pula di dalamnya. ' Al-Fatihah inilah yang kita ulang-ulang membacanya setLp hari, sekurang￾kurangnya 17 kali sehari semalam. Moga-moga selain dari dia m enladiFatihatJ￾Kitab, pembukaan dari al-Quran, diapun akan membuka hati sanubari kita
sendiri, sehingga hilanglah segala ragu-ragu dan terbukalah pintu Hidayat,
sehingga dia menjadi dasar persediaan bagi kita buat mengenallagi seluruh iiial￾Quran yang mengandung 6,236 ayat itu.
Kita misalkanlah sembahyang 5 waktu, yang terdiri daripada 17 rakaat,
sebagai menghadap Tuhan yang roufine, yang wajib dilakukan dengan berkala.
Bagaimanakah lagi kesannya ke dalam jiwa kita, bila kita ikuti iagi dengan
sholof-Nou,,o/il, sembahyang sunnat? sembahyang sunnat Nawafil disediakan
Tuhan, dengan perantaraan RasulNya, untuk orang yang merasa berum puas
dengan pertemuan "resmi" saja. Pertemuan di luar "dinas" kadang-kadang
lebih mesra daripada pertemuan yang "routine".
Dimulaisegala sembahyang itu dengan Allahu Akbar, artinya dibulatkan
ingaton kepada Tuhan, dan disudahi dengan Assalamu'alaikum, artinya kito
kembali lagi ke dalam masyarakat dan intinya ialah al-Fatihah.
Bertali dengan ketentuan agama bahwasanya sembahyang rima waktu,
sembahyang Jum'at dan sembahyang dua Hari Raya, dan sembahyang dua
gerhana, dianjurkan sangat supaya berjamaah. Jamaah kecil-kecilan di antara
keluarga di rumah, iamaah sekampung atau selorong di dalam sebuah surau
kecil kepunyaan kampung. Jamaah lebih besar sekali Jum'at, di dalam sebuah
Mesjid Jami', iamaah dua Hari Raya, iamaah gerhana bulan dan matahari dan
jamaah memohon hujan (istisqaa). Dan jamaah besar dan agung, sekurang￾kurangnya sekali seumur hidup dengan wuqul di Arafah waktu Haji. Semua
jamaah ini membuat seorang Muslim menjadi anggota masyarakat yang aktif,
sehingga terbentuklah masyarakat Islam, ukhuwah, Islamiyah dan Mu, awanah
'alal birri wat-taqtua. semuanya sama bacaannya, yaitu Surat al-Fatihah.
Dan didalam jamaah itupun dididik