Dalam artikel ini penulis mengajukan argumen sanggahan di
antaranya terhadap pandangan Robert Eisenman dalam bukunya
James the Brother of Jesus, khususnya yang berkaitan dengan
identifikasi Eisenman bahwa Guru Kebenaran yang disebut dalam
naskah Pesher Habakuk adalah Yakobus saudara Yesus (James the
Just) dan Manusia Pendusta adalah Rasul Paulus. Cukup banyak
kontroversi di seputar siapakah identitas Manusia Pendusta dalam
DSS atau yang kerap dikenal sebagai naskah-naskah Qumran, salah
satu hipotesis yang diajukan oleh salah seorang ahli Qumran, yakni
Robert Eisenman, cukup kontroversial. Beliau menduga bahwa
berdasarkan catatan Josephus dan sumber-sumber lainnya, bahwa
Manusia Pendusta (Spouter of Lies) itu tidak lain adalah Rasul
Paulus yang menulis sebagian besar surat dalam Perjanjian Baru.
Meski dapat diajukan argumen-argumen lainnya untuk menyanggah
Robert Eisenman tersebut, namun dalam tulisan ini penulis lebih
memfokuskan pada makna spiritual dari kontroversi antara Guru
Kebenaran dan Manusia Pendusta tersebut, serta implikasinya bagi
mereka yang tergerak untuk menempuh Spiritualitas Jalan Lurus.
Beberapa implikasi langsung yang dapat ditarik dari Spiritualitas
Jalan Lurus akan dibahas di bagian akhir tulisan ini, di antaranya:
bagaimana kita semestinya belajar menjadi pembawa kehidupan dan
pohon kehidupan, dan juga bagaimana mengembangkan sikap yang
sehat dan berintegritas di tengah hiruk-pikuknya paham Post-Truth.
Penulis menyebutnya “Beyond Post-Truth.” Kiranya sepercik uraian
ini akan berguna bagi para pembaca.Dalam dua dekade terakhir ini telah terbit banyak buku yang
menyemarakkan diskusi di kalangan para ahli maupun awam seputar
penafsiran Naskah-naskah Laut Mati (Dead Sea Scrolls). Memang Naskahnaskah Laut Mati telah menimbulkan perdebatan sejak pertama kali
ditemukan lebih dari 6 dekade yang lalu pada tahun 1947 di Qumran oleh
para gembala suku Bedouin. Pada umumnya di antara para ahli terdapat
kesepakatan bahwa Naskah-naskah Laut Mati menguatkan keyakinan iman
Kristen akan keaslian naskah-naskah Alkitab, seperti misalnya kitab Yesaya
versi Naskah-naskah Laut Mati yang ditemukan ternyata nyaris sama
dengan yang dijumpai versi 1000 tahun setelahnya.
Namun demikian, ada satu pokok perdebatan di kalangan ahli naskah
Qumran (DSS), adalah diskusi mengenai mengenai identitas dari GuruKebenaran dan Manusia Pendusta (spouter of lies) dalam DSS. Hal tersebut
dikenal sebagai sobriquet dalam studi DSS.
Menurut Crotty: “Another important figure in this founding period was the
'Man of the Lie', usually distinguished from the Wicked Priest. He caused a
schism in the sect's following.” (R.B. Crotty, Religious Traditions.)
Cukup banyak kontroversi di seputar siapakah identitas Manusia Pendusta
dalam DSS, salah satu hipotesis yang diajukan oleh salah seorang ahli
Qumran, yakni Robert Eisenman, cukup kontroversial. Robert Eisenman
mengajukan argumentasi bahwa Naskah-naskah Laut Mati menunjukkan
adanya kontradiksi di antara jemaat Kristen mula-mula, khususnya antara
Yakobus dan Paulus. Dalam hal ini, Yakobus diidentifikasikan sebagai Guru
Kebenaran. Beliau menduga bahwa berdasarkan catatan Josephus dan
sumber-sumber lainnya, bahwa Manusia Pendusta (Spouter of Lies) itu
tidak lain adalah Rasul Paulus yang menulis sebagian besar surat dalam
Perjanjian Baru.
Selain pandangan tersebut, Eisenman pernah suatu ketika memaparkan
hipotesisnya bahwa Paulus adalah seorang Herodian dalam sebuah
makalah yang diterbitkan di Journal of Higher Criticism, 1996.1
Eisenman menyuarakan pandangan-pandangannya dalam beberapa
bukunya, di antaranya The Dead Sea Scrolls Uncovered (1993) yang
ditulisnya bersama Michael Wise, James The Brother of Jesus (1997), dan
juga The Dead Sea Scrolls and the First Christians (2004). Salah
satu implikasi dari pandangan Eisenman tersebut adalah munculnya
tuduhan bahwa gereja mula-mula mengalami perpecahan antara aliran
Kekristenan Yudea (Judeo Christianity) dan Kekristenan Paulus (Pauline
Christianity).
Meski ada banyak sekali argumen yang dapat diajukan untuk menyanggah
Robert Eisenman tersebut (misalnya hasil studi carbon dating yang jelasjelas menunjukkan bahwa naskah-naskah DSS ditulis jauh sebelum era
gereja-gereja perdana), namun dalam tulisan ini penulis berusaha lebih
memfokuskan diskusi pada makna spiritual dari kontroversi antara Guru
Kebenaran dan Manusia Pendusta tersebut, serta beberapa implikasinya
bagi mereka yang tergerak untuk menempuh Spiritualitas Jalan Lurus.
METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah kajian deskriptif
kualitatif, bertumpu pada literatur khususnya seputar DSS (Dead Sea Scrolls)
dan tema-tema terkait. Meski demikian, perlu dicatat, bahwa dalam tulisan
ini penulis tidak akan membahas melulu hal-hal teknis seputar kritik teks
DSS dll. (yang sudah banyak diulas dalam buku lainnya), namun lebih
berfokus pada bagaimana memaknai secara spiritual perdebatan seputarManusia Pendusta dalam DSS dalam konteks masyarakat modern,
khususnya di Asia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus dalam sejarah yang selalu berulang
Jika kontroversi seputar Guru Kebenaran dalam Qumran tersebut
dihubungkan dengan pesan Injil, kita membaca bahwa Yesus sendiri
pernah memberikan kesaksian yang lugas dan terang benderang bahwa
Iblis adalah pendusta dan bapa dari segala dusta. Hal ini dapat ditelusuri
kembali sejak awal mula sejarah, ke Kejadian 3 ketika Iblis dalam bentuk
ular tua, berdusta kepada perempuan pertama di dunia, bahwa ia tidak
akan mati jika memakan buah pohon pengetahuan akan baik dan jahat,
malah ia akan menjadi seperti Tuhan. Dusta itu ditelan oleh perempuan itu
dan suaminya, dan akibatnya seluruh umat manusia jatuh ke dalam
kutukan.
Dalam sejarah kerap terjadi perulangan kisah tersebut, seperti misalnya
nabi-nabi Tuhan yang terpaksa berhadapan dengan nabi-nabi palsu. Untuk
menyebut misalnya: Yeremia melawan nabi-nabi palsu yang menentang
nubuat Yeremia.Demikian juga Yesus juga mesti kerap bertanya-jawab dengan para ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, yang sempat dikecam-Nya sebagai “kuburan
yang dilabur putih-putih.” (Mat. 23)
Pola tersebut telah dinubuatkan oleh para penulis PB, bahwa akan terulang
kembali pada saat akhir zaman nanti.
Menemukan makna spiritual dari kontroversi Manusia Pendusta dalam
naskah Qumran
Dalam hal ini, perlu penulis tegaskan bahwa kami sama sekali tidak setuju
akan identifikasi yang diajukan oleh Robert Eisenman, bahwa Manusia
Pendusta tersebut adalah Rasul Paulus dalam PB, setidaknya karena 3
alasan utama: (a) temuan-temuan carbon dating menunjukkan bahwa DSS
ditulis kemungkinan besar sekitar 200-150 tahun SM, dengan kata lain
sama sekali tidak mungkin naskah-naskah tersebut mencerminkan
pergumulan gereja perdana, (b) telaah kami sebelumnya menunjukkan,
bahwa sekalipun ada beberapa perbedaan dalam warna teologis antara
Petrus, Yohanes, Yakobus, & Paulus-Barnabas, namun semuanya tetap
saling mendukung dalam kesatuan. Penulis telah menuangkannya dalam
tulisan di jurnal IJT beberapa waktu silam.2 Atau dalam ungkapan James
Dunn: “unity in diversity.” Dengan demikian, tentu menjadi terkesan
mengada-ada jika Eisenman hendak mempertentangkan antara Rasul
Yakobus dan Rasul Paulus, misalnya. (3) Dokumen-dokumen yang
diwariskan oleh para Bapa gereja yang merupakan murid-murid langsung
dari para murid Yesus yang pertama, juga tidak menunjukkan jejak adanya
pertentangan yang hebat di antara para sokoguru gereja tersebut.
Demikianlah beberapa argumen sederhana yang dapat diajukan untuk
menyanggah hipotesis Eisenman tersebut.
Sebaliknya, penulis cenderung berpendapat bahwa dengan merujuk pada
tema pertempuran antara anak-anak Tuhan melawan anak-anak kegelapan
dalam salah satu naskah DSS, maka kita dapat menarik paralelisme sebagai
berikut:Perlu dicatat juga, bahwa perdebatan mengenai siapakah sosok Guru
Kebenaran dalam Qumran itu masih menjadi perdebatan di antara para
ahli (lihat mis. F.F. Bruce). Namun, meski tetap suatu kemungkinan bahwa
figur Guru Kebenaran dan Manusia Pendusta dalam DSS itu memang sosok
yang nyata secara historis, namun bisa juga suatu kemungkinan bahwa
mereka adalah sosok tipologis, yang menggambarkan pertentangan antara
Terang dan Kegelapan. (Tema ini juga muncul dalam Injil Yohanes, lihat
Yohanes pasal 1).
Demikianlah sekelumit komentar yang dapat penulis sampaikan
sehubungan dengan kontroversi Spouter of Lies. Jika kita mau merunut
lebih lanjut, menjadi jelas bahwa antidote untuk tema Manusia Pendusta
itu adalah meniti Jalan yang Lurus. Karena itu, tidaklah sulit untuk
menduga bahwa mungkin itu sebabnya para pengikut Kristus pada
mulanya disebut Komunitas Jalan Lurus, sebelum mereka dikenal sebagai
“Kristen.”
Spiritualitas Jalan Lurus dan beberapa implikasinya kini
Dalam konteks itulah, maka menjadi menarik jika apa yang sebenarnya
diharapkan oleh Tuhan dari umat-Nya, sebenarnya adalah hidup dengan
hati yang tulus dan mengikuti kehendak Tuhan. Dan kualitas hamba seperti
itulah yang Tuhan temukan dalam diri Daud:
“Mengenai engkau, jika engkau hidup di hadapan-Ku sama seperti Daud, ayahmu,
dengan tulus hati dan dengan benar, dan berbuat sesuai dengan segala yang
Kuperintahkan kepadamu, dan jika engkau tetap mengikuti segala ketetapan dan
peraturan-Ku…” (LAI, 1 Raja-raja 9:4).
Artinya, pola-pola nabi dan guru-guru palsu telah ada sejak jaman dahulu,
dan sebenarnya mereka adalah anak-anak Sang Pendusta, yakni Iblis.
Dalam konteks ini, meski tentunya tetap dapat diperdebatkan apakah ada
petunjuk tekstual bahwa Komunitas Esseni yang diduga menulis DSS dapat
juga disebut Komunitas Jalan Lurus, namun seperti kami tuliskan
sebelumnya, menjadi jelas bahwa antidote untuk tema Manusia Pendusta
(kalau kita hendak memaknai bahwa bapa segala dusta adalah Iblis itu
sendiri), itu adalah meniti Jalan yang Lurus. Sebenarnya tidak banyak
rujukan teks Alkitab yang jelas menunjukkan tema Komunitas Jalan Lurus
tersebut, kecuali 2 ayat dalam Kisah Para Rasul:
“Firman Tuhan: Mari, pergilah ke jalan yang bernama Jalan Lurus, dan carilah di
rumah Yudas seorang dari Tarsus yang bernama Saulus. Ia sekarang berdoa..” (Kis.
9:11)
Dalam ayat di atas, frase Jalan Lurus disebut sebagai nama suatu jalan,
tempat Saulus mulai merenungkan ulang jalan hidup yang ditempuhnya.
Selanjutnya, mari kita perhatikan bagaimana Rasul Paulus suatu kali
dengan tegas menghardik roh jahat, sekali lagi menggunakan frase
tersebut:
“Tetapi Saulus, juga disebut Paulus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap dia,
dan berkata: “Hai anak Iblis, engkau penuh dengan rupa-rupa tipu muslihat dan
kejahatan, engkau musuh segala kebenaran, tidakkah engkau akan berhenti
membelokkan Jalan Tuhan yang Lurus itu?” (Kis. 13:9-10).
Penulis menduga bahwa Rasul Paulus dalam hal ini merujuk pada Iblis
sebagai bapa segala dusta, dan juga bahwa panggilan umat percaya
sesungguhnya adalah kembali kepada Jalan Tuhan yang Lurus,
sebagaimana dinubuatkan oleh Nabi Yesaya, dan digaungkan kembali oleh
Yohanes Pembaptis (Yoh. 1:23).
Dengan kata lain, frase Spiritualitas Jalan Lurus yang penulis gunakan di
sini dimaksudkan untuk mengingatkan kita kembali kepada hal-hal
sederhana yang menjadi dasar dari iman yang sejati kepada Bapa yang
kekal, yakni ketulusan hati, dan menaati segala perintah-Nya dan
ketetapan-Nya. Hal-hal lainnya sebenarnya bersifat sekunder.
Beberapa implikasi dari Spiritualitas Jalan Lurus akan dipaparkan secara
ringkas dalam 3 matra:
A. Bagaimana umat percaya mesti menjadi pembawa kehidupan dan
pohon kehidupan;
B. Memahami aspek-aspek Beyond Post-Truth.
C. Beberapa implikasi dalam tradisi kebatinan Jawa.
Mari kita lihat satu per satu di bagian berikut ini.
A. Jadilah pembawa kehidupan dan pohon kehidupan
Ada kalimat bijak dari Mark Twain, yang kira-kira bunyinya sebagai berikut:
“Banyak orang penasaran dan terusik akan bagian-bagian Alkitab
yang tidak mereka mengerti; namun saya justru terusik dengan
bagian-bagian Alkitab yang saya mengerti.Salah satu bagian dari Kitab Pengkhotbah yang mengusik adalah nats di
atas: “Allah telah menjadikan manusia yang jujur, tetapi mereka mencari
banyak dalih.”3 Apakah makna dari ayat yang sepintas tampak penuh tekateki ini?
Mari kita teliti sejenak dari ungkapan bahasa aslinya. Makna upright dalam
Pkh 7:29
ְֹ בֽ ֖ש רֹ ָה ה־֣א זה ָמ ֔מצ ָתּ י ָ֙ שאש ר עמ ָמ ש ה המ ָֹ להּ ה ים ָא ת־המ ָמ ֖מ ּ ם ימ שמ ש ר וֹ הה ֹ ּמ ה בּ ֹ֖ שּ ו ּׁ שֹ ב֥נֹ ות רֽ ִּ ב ים׃
Lihatlah, hanya ini yang kudapati: bahwa Allah telah menjadikan manusia
yang jujur, tetapi mereka mencari banyak dalih.
Teks Ibrani ר ש שמ ימ (yasar) yang diterjemahkan jujur (upright) mempunyai
makna benar dan tulus atau tidak ada kerusakan. Dalam Lexicon yasyar
memiliki arti yaitu 1. Straight, level; 2. Right, pleasing; 3. Straightforward,
just, upright dan 4. Uprightness, yang mengarah ke ethically a moral life.
4
Ayub disebut seorang yang saleh dan jujur atau dalam teks Ibrani ditulis
ר ה שמ ימ ֹו ם ש מָ (tam we yasyar). Kata yasyar disini sama dengan yasyar di
pengkhotbah 7:29. Tetapi kata “yasyar” dalam kitab Ayub dihubungkan
dengan kata “tam”. Dalam Lexicon tam berarti complete, morally innocent,
having integrity (lihat strong concordance no 8535). Kata “tam” ini memiliki
kaitan dengan kata benda tumim. Konteks kata tam ini adalah sbb.:
dalam peribadatan Israel, di dada imam besar ada urim dan tumim, tempat
bangsa Israel bertanya kepada Tuhan. Jadi jika “tam” dihubungkan dengan
“tumim” maka “yasyar” dihubungkan dengan “urim”. Tumim artinya
sempurna sedangkan urim artinya terang. Jadi kata “yasyar” yang
diterjemahkan jujur makna sebenarnya adalah terang, transparan.
Jadi Tuhan menciptakan manusia dalam wujud yang transparan, terbuka,
jujur. Yasyar sering diterjemahkan jujur. Ketika manusia berbuat dosa, ia
menutup-nutupinya dan menyembunyikan dirinya. Tidak ada keterbukaan
di hadapan Allah.
Dalam 1 Sam 29:6 yasyar berarti tidak ada kejahatan di dalamnya.
Yasyar artinya lurus, jujur (kualitas yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan Tuhan), tulus (Mzm 119: 7), jujur (Pr 17 : 26), tepat (Pkh 12:10),
integritas (1Taw 29:17; Ayub 6:25; Ams 11:24; 17:26). Arti yang tidak umum
adalah memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya dan
dengan demikian menggambarkan keadilan (Ams. 11:24).
Lxx menerjemahkan yashar dengan εὐθῆ (euthe) jika ditambah dengan kata
anthropo maka artinya manusia jujur. Ini adalah masalah perilaku yang
benar secara etis atau jalan yang benar. Ini adalah seseorang yang berdiri
tegak, lurus dalam segala hal.
Dari telisik sederhana tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud adalah bahwa pada mulanya Tuhan menjadikan manusia yangjujur dan hidup dengan hati yang tulus di hadapan Tuhan, hingga lalu
mereka mulai sibuk mencari banyak dalih melalui beragam ilmu (atau
mungkin dapat disebut hikmat duniawi).
Kapankah itu mulai terjadi?
Berikut ini adalah upaya penulis membaca makna tersirat dari Pengkhotbah
7:29.
Mari kita tengok sejenak ke Kejadian pasal 2. Pada awalnya adalah suatu
taman yang indah. Tuhan dan manusia sering berjalan-jalan bersama
mengelilingi taman tersebut. Terjalin hubungan yang begitu karib, dan
bahkan manusia seorang diri dapat mengelola seluruh taman Firdaus.
Lalu kita membaca di Kejadian 3, bahwa ular tua atau Iblis memperdayakan
perempuan pertama (dengan suaminya tampaknya ikut hadir di situ). Ular
itu menyatakan bahwa mereka tidak akan mati namun akan menjadi
seperti Tuhan, ketika mereka memakan buah pengetahuan akan yang baik
dan yang jahat.
Dan mereka pun memakannya, perempuan itu dan juga suaminya. Padahal
banyak sekali jenis buah di taman itu yang Tuhan sediakan dengan
limpahnya, termasuk buah pohon kehidupan.
Namun mereka memilih buah pohon pengetahuan. Dan mereka pun
dikutuk keluar dari taman, dan mesti mengusahakan tanah yang telah
menjadi rusak.Kisah itu tidak berakhir di sini, ternyata sepanjang sejarah, manusia
memang lebih sering mengutamakan buah pengetahuan ketimbang buah
kehidupan.
Dalam berbagai tradisi mitologi kuno, sering diceritakan adanya makhluk
alien setengah dewa yang mengajarkan mereka berbagai teknologi,
termasuk bertani dan juga membuat kapak dan lembing untuk berperang.
Tokoh itu disebut dengan berbagai nama, seperti Annunaki, kalau tidak
keliru bisa ditemukan dalam mitologi Mesopotamia/Sumerian dll.
Namun, benarkah hal tersebut?
Ada sebuah kitab kuno yang tidak masuk dalam kanon, meski kerap
dikutip oleh para penulis Perjanjian Baru, di antaranya kita dapat membaca
dalam Surat Yudas (sebelum Kitab Wahyu). Kitab itu disebut Kitab Henokh.
Meski kitab ini agak sulit dilacak tahun persis ditulisnya, namun oleh para
penulis PB dianggap sebagai kitab sakral yang layak dibaca pada masa
abad pertama M. Ada berbagai versi dari Kitab Henokh, di antaranya yang
disebut sebagai Slavonic Book of Enoch, dan juga Ethiopic Book of Enoch.
Bagaimana Kitab Henokh menuturkan hal tersebut?
Kitab Henokh yang kadang juga disebut Book of the Watchers,
mengisahkan bagaimana Satan yang jatuh ke bumi, membawa serta
banyak malaikat lain yang mengikutinya.Salah seorang dari mereka (Azazel) mengajarkan kepada manusia membuat
pedang dan alat-alat perang lainnya, dan sejak saat itu manusia mulai
berperang satu dengan yang lain. “Book of Enoch 8:1–3a reads, "And
Azazel taught men to make swords.”
Azazel ini hanya disebut sekali dalam PL dalam hubungannya dengan
tradisi melepas seekor kambing ke hutan dalam suatu prosesi penebusan
salah, kepada Azazel (Imamat 16:26) -- yang kemudian dikenal sebagai
“tradisi kambing hitam.”
Selanjutnya dikisahkan dalam kitab tersebut, bahwa Henokh diutus oleh
Tuhan untuk mengingatkan para malaikat yang jatuh tersebut, betapa
besar dosa yang mereka buat di dunia, dan hukuman kekal yang menanti
mereka.
Memaknai Pengkhotbah 7:29
Apa yang diuraikan di atas, baik dari makna kata asli yasyar, hingga
penelusuran singkat mengenai Kitab Henokh, tampaknya dapat merupakan
salah satu cara memaknai ayat Pengkhotbah 7:29, yakni bahwa Tuhan
menciptakan manusia yang jujur untuk hidup dengan tulus hati dan
bergaul karib dengan Tuhan seperti pada mulanya. Namun manusia
dengan segala kepongahannya justru memilih buah pengetahuan, antara
lain karena dusta oleh Si Jahat bahwa suatu hari mereka akan dapat
menyamai Sang Mahatinggi. Ambisi itu jelas terlihat dalam kisah MenaraBabel, ketika manusia berupaya menggapai langit, dan akhirnya Tuhan
membuat mereka terserak-serak dalam berbagai bahasa.
Menara Babel modern
Pada dasarnya, mau tidak mau kita mesti mengakui bahwa peradaban
maju kerap membawa pesan terselubung bahwa teknologi dan sains
sanggup menjawab semua persoalan manusia dan masyarakat, sehingga
lambat laun manusia modern cenderung percaya bahwa Tuhan hanyalah
gagasan kuno belaka. Benarkah demikian?
Krisis energi dan krisis listrik yang dialami oleh banyak negara kiranya
membuka mata kita bahwa techno-utopianisme itu kerap ibarat “jauh
panggang dari api.”5
Tentunya penulis tidak bermaksud bersikap antikemajuan teknologi, namun ada baiknya kita terus mengingat bahwa
teknologi sehebat apapun itu sebaiknya tetap ditempatkan pada fungsinya
melayani manusia, bukan manusia untuk melayani teknologi. Sama halnya
dengan ungkapan Yesus: “Hari Sabat dibuat untuk manusia, bukan manusia
untuk hari Sabat.” Demikianlah kita mesti bijak menyikapi perkembangan
teknologi maju, jangan sampai teknologi tersebut malah menjauhkan kita
dari hidup dengan hati yang tulus di hadapan Tuhan.
Dalam 1 Korintus 12:31b, Rasul Paulus menyampaikan suatu kalimat bijak:
“Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi.”
Kalau kita mengingat kembali Pengkhotbah 7:29 dan juga Kejadian 2, maka
menjadi jelas bahwa jalan yang lebih utama itu adalah hidup di hadapan
Tuhan dengan tulus, jujur, dan bergaul karib dengan Tuhan, sambil belajar
menjadi pembawa kehidupan. Dengan kata lain, kita mesti belajar
menerapkan buah pohon kehidupan, ketimbang mengejar pengetahuan
demi pengetahuan, yang kerap justru menjauhkan kita dari Tuhan.
Bagaimana caranya menjadi pembawa kehidupan? Hendaknya kita belajar
merawat kehidupan dengan sikap penuh syukur.
Dalam Yohanes 15 disebutkan bahwa Yesus adalah pokok anggur yang
sejati dan kitalah carang-carangNya, artinya Tuhan justru mengajar kita
tidak hanya menjadi pembawa kehidupan, namun juga sekaligus menjadi
bagian dari “Pohon kehidupan” itu sendiri. Itulah panggilan (vocation) kita
sebagai umat percaya.
Belajarlah untuk menebarkan kehidupan, bukan justru merusaknya.
Kalau Anda sebagai petani, berkaryalah sedemikian sehingga tanaman
dapat terus tumbuh, tanpa harus merusak nutrisi tanah. Kalau Anda
menjadi seorang peneliti dalam bidang medis atau penelitian farmasi,
misalnya, hendaklah Anda berkarya dengan penuh tanggungjawab, janganhanya sekadar menciptakan produk yang merusak atau melenyapkan
makhluk hidup di bumi.
Memang dalam jangka pendek, terkesan tidak banyak perbedaan dengan
cara Anda berkarya, namun dalam jangka panjang itu akan kembali kepada
Anda dan keluarga Anda juga.
B. Beyond Post-Truth: Kerinduan masyarakat modern akan sosok Guru
Kebenaran -- Spiritual Famine
Kita menyaksikan dalam beberapa tahun atau dekade terakhir, banyak
percakapan di ruang publik menekankan pada bagaimana menjadi kian
penting wacana “post-truth” (pasca kebenaran).
Kalau kita menyimak perkembangan teknologi akhir-akhir ini, sebenarnya
banyak juga wacana-wacana yang kalau ditelusuri, bertolak dari premispremis yang rapuh. Dari sini, baiklah kita mengingat salah satu karya
Alexander Solzetsnytzhin: “The Gulag Archipelago”; beliau menyarankan
bahwa adalah tanggung jawab setiap individu untuk menolak kebohongankebohongan yang tidak masuk akal tersebut. Karena itu, resep yang
ditawarkan olehnya sederhana saja: “One man who stops lying can bring
down the tyranny.” (Terjemahan bebasnya: Satu orang yang berhenti “ikut”
dalam pusaran dusta dapat menyetop tirani.) Memang risiko yang akan
muncul cukup besar bagi mereka yang menolak ikut terhisap dalam
pusaran dusta, untuk menyebut beberapa catatan saja dalam sejarah:A. Salah seorang murid dari mazhab Pythagorean, menemukan bilangan
irrasional (akar dua), yang tentunya dianggap berlawanan dengan para
murid lainnya mazhab tersebut yang memuja rasionalisme. Akhirnya adalah
murid tersebut (Hypasus) ditenggelamkan di danau.
B. Yesus Kristus dituduh bersalah oleh para saksi dusta di depan Sanhedrin
sehingga akhirnya dihukum disalibkan (Mat. Pasal 25-27).
Kisah ini terus berulang sepanjang sejarah manusia, bahwa pada dasarnya
manusia lebih suka untuk tinggal dan terhisap dalam pusaran dusta,
terutama dusta oleh para penguasa. Namun ada kalanya juga mereka yang
bergerak dalam semangat kemerdekaan, akhirnya memperoleh hasil yang
gemilang, misalnya: para pelopor dan pejuang kemerdekaan di negeri ini,
sungguh percaya bahwa suatu bangsa berhak untuk menentukan nasibnya
sendiri. Dan akhirnya membuahkan hasil yang indah dengan Proklamasi.
Dan bahkan Pembukaan UUD 45 mencerminkan semangat bahwa segala
bentuk penjajahan mesti dihapuskan dari muka bumi.
Bagi kita semua yang percaya dengan segenap hati, bahwa Yesus adalah
Sang Jalan dan Kebenaran dan Hidup, tentu menjadi panggilan kita
sebagai umat percaya untuk sampaikan saja kebenaran Injil apa adanya.
Inilah tantangan sebenarnya bagi umat percaya di era pasca-modern ini.
Namun ada juga harapan, tampaknya di antara masyarakat terutama kaummuda ada suatu kehausan spiritual yang besar, yang dapat disebut sebagai
Spiritual Famine (cf. Ps. David Jeremiah).
Dengan kata lain, saatnya sudah tiba untuk menuju “beyond Post-truth.”
Sampaikan saja kebenaran; pada akhirnya ada berkat-berkat tersembunyi
bagi orang-orang yang mengupayakan kebenaran dengan segenap daya
dan tenaga. Seperti yang Yesus pernah katakan: “And the truth will set you
free.”
C. Mencari Guru Sejati dalam tradisi kebatinan Jawa
Jika ditelisik lebih dalam, ternyata kerinduan akan Sang Guru Sejati (atau
jika merujuk pada naskah Qumran di atas, kerinduan akan Guru Kebenaran)
dapat dijumpai pula dalam tradisi kebatinan Jawa.
Dalam budaya Jawa, istilah Kejawen disinggung sebagai agama penghayat,
atau sering disebut kebatinan (lih. mis. Mulder, 2006). Substansi pelajaran
adalah cara orang menjauhkan diri dari sesuatu yang palsu dan berusaha
untuk berdiam dalam kebenaran sejati alam semesta, menjadi satu dengan
Roh. Hal seperti ini sering disebut manunggaling kawula lan Gusti atau dan
itu menyiratkan hubungan manusia dengan Tuhan. Selanjutnya,
pemahaman semacam ini dapat dilacak di setiap aliran supernatural yang
dianut oleh orang Jawa, di antaranya dikenal sebagai aliran Pangestu.
Nama Pangestu merupakan singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal,artinya perkumpulan mereka mencari Yang Tunggal.
6 Aliran ini juga
mengajarkan bahwa jiwa manusia yang sejati adalah Roh Suci, bersumber
dari Tuhan Yang Maha Esa.7
Ijinkan penulis memberikan sedikit catatan penutup mengenai Injil Tomas
dan spiritualitas Kristen: Meski artikel ini tidak dimaksudkan sebagai uraian
terhadap naskah Injil Tomas sebagaimana ditemukan dalam Nag Hammadi
Scrolls (1945), namun cukup menarik untuk mencatat bahwa kerinduan
akan sosok Guru Sejati sebagaimana dijumpai pada tradisi kebatinan Jawa
tersebut ada paralelisasinya dengan pelukisan akan sosok Yesus dalam Injil
Tomas sebagai Guru Sejati, yang membawa pencerahan kepada semua
orang yang hendak belajar dari-Nya. Bahkan salah satu logion awal dalam
Injil Tomas mencatat: “Whoever finds the interpretation of these texts will
not experience death.” (Dalam ungkapan sehari-hari: barangsiapa yang
menemukan pengertian akan teks-teks di sini tidak akan mengalami
kematian.)
Meski baru ditemukan kemudian dalam naskah Nag Hammadi, ternyata
banyak ahli yang berpendapat bahwa Injil Thomas diterima luas oleh
komunitas Kristen perdana, dan bahkan ada yang menyimpulkan bahwa
awalnya injil tersebut ditulis oleh Rasul Thomas ketika berada di
Alexandria.8
Jika naskah Injil tersebut benar berasal dari komunitas Kristen
perdana (Alexandria) dan mungkin sezaman dengan Injil Yohanes, mungkin
kedua Injil tersebut mencerminkan tradisi spiritualisme Kristen dari umat
Kristen abad pertama yang telah lama hilang.9
Tentunya hal ini masih bersifat hipotetikal dan sama sekali tidak
bermaksud mengecilkan makna ketiga Injil Sinoptik yang lebih bercirikan
naratif-historis.
Meski tulisan ini diawali dengan pemaparan ringkas mengenai problema
identifikasi Spouter of Lies dalam naskah Qumran, namun penulis berupaya
untuk tidak berhenti pada rincian-rincian teknis mengenai DSS yang
banyak dibahas di tempat lain, sebaliknya penulis berupaya menemukan
implikasi dari makna spiritual kontroversi atas Spouter of Lies tersebut.
Di antara implikasi tersebut, yang sempat dibahas secara ringkas dalam
artikel ini adalah: (a) bagaimana menjadi pembawa kehidupan dan bagian
dari pohon kehidupan, (b) bagaimana kita dapat kembali kepada
kebenaran yang sejati, ketimbang berputar-putar tanpa ujung pangkal
dalam wacana Post-Truth, dst. Kiranya hal-hal ini menolong pembaca di
hari-hari terakhir ini.