menyembah yahwe

 


YHWH, nama kudus untuk Yang Ilahi, pada awalnya diucapkan oleh 

orang Yahudi, meski belum bisa dipastikan bagaimana mereka 

mengucapkannya. Namun, dalam perkembangannya, nama itu tidak diucapkan

demi penghormatan kepada Yang Ilahi. Ketika bertemu dengan nama ini,

orang Yahudi melafalkannya dengan Adonai (Tuanku), atau Hasyem (Nama

itu). Cara melafalkan ini mempengaruhi cara menerjemahkan Kitab Suci.

Pada umumnya, untuk menghindari penyebutan nama YHWH penerjemahan 

mengikuti gaya Yahudi, yakni dengan mengikuti lafalnya. Inggris, misalnya,

dengan The Lord, atau Italia dengan Il Signore. Dalam bahasa Indonesia kata

itu dilafalkan dengan TUHAN. Sekelompok orang di Indonesia salah

memahami makna pelafalan itu, sehingga mereka menuduh TUHAN itu

menerjemahkan kata YHWH yang tidak bisa diterjemahkan. Mereka

menekankan kata YHWH harus diterjemahkan dengan Yahweh, padahal nama 

itu tidak biasa diucapkan, bahkan oleh orang Israel sendiri. Pernyataan bahwa

memakai kata TUHAN adalah sesat dan orang hanya boleh memakai

terjemahan Yahweh merupakan sebuah bentuk berhala, karena mempunyai

ciri-ciri berhala, yakni membuat Allah lain dengan menyempitkan Allah hanya 

pada konsepnya sendiri.Sejak tahun 1980-an, gerakan yang dikenal dengan “Pemuja Nama

Yahweh” mulai berkembang di Indonesia. Gerakan yang dirintis oleh HamranAmbrie, orang Islam yang bertobat menjadi Kristen, kini telah merambah 

berbagai pelosok wilayah Indonesia, bahkan Bajawa, kota kecil di Flores. 

Sejalan dengan perkembangan waktu, kelompok ini pun berkembang baik 

dalam jumlah maupun ajarannya.

Gerakan ini sebenarnya bukan asli Indonesia. Inspirasinya didapat dari 

gerakan Zionisme pada abad ke-19 yang dicetuskan untuk mendirikan Negara 

Yahudi di Palestina. Di mata beberapa orang Yahudi ortodoks tujuan ini bisa 

dicapai terutama dengan mengembalikan orang Yahudi kepada agama dan 

bahasa mereka, yakni Ibrani. Gerakan ini meluas di Eropa dan ke Amerika 

Serikat. Dari sini muncullah sekte yang ingin mengembalikan Nama “YHWH” 

yang sudah bertahun-tahun tidak diucapkan oleh kaum Yahudi tradisional 

karena dianggap suci. Anehnya, banyak orang Kristen masuk dalam gerakan

ini.

Persoalan utama yang sering mereka ungkit adalah pemakaian nama 

TUHAN dan Allah oleh orang Kristen, yang mereka anggap sesat. Bagi 

mereka Yahweh adalah nama Yang Ilahi, sehingga tidak boleh diterjemahkan, 

sedangkan Allah adalah nama dewa Arab (dewa bulan atau pengairan pada 

masa jahiliah. Mereka pun mengganti nama TUHAN, Allah, dan Yesus dengan 

Yahweh, Elohim, dan Yeshua. Kritik mereka berimbas pada pemakaian nama 

TUHAN dan Allah dalam Alkitab yang sudah berlangsung bertahun-tahun. 

Misalnya, kalimat ^yh,ê_l{a/ hw"åhy> ‘ykiÞnOa'( (ʼānōkî YHWH ʼělōhey

kā) yang diterjemahkan

LAI dengan “Akulah TUHAN, Allah-mu” menurut mereka seharusnya

diterjemahkan dengan “Akulah Yahweh, ’elohîm-mu” (Kel. 20:2)? Bahkan

mereka mencetak Alkitab di mana semua kata TUHAN diganti dengan Yahweh 

dan kata Allah diganti Elohim.

Apakah memang harus demikian? Bagaimana sebetulnya kebijakan LAI 

dalam menerjemahkan nama ilahi? Perjanjian Lama mengenal paling tidak 

lima kata yang berhubungan dengan Allah atau nama Allah, yakni: l{a? ( ’el),~yhil{a/ (’elohîm), (H;l{a/) (’Eloah), hwhy (YHWH), dan yn"doa] (’ădonāy). Bagaimana 

sebutan-sebutan ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan apa maknanya?

2. ʼĔl , ʼĔlōhîm, ’Eloah sebagai sebutan untuk Yang Ilahi

ʼEl adalah sebutan umum untuk Allah di dunia Semit kuno. Dalam 

masyarakat yang berbahasa Semit ini ʼEl juga banyak dipakai sebagai nama 

dewa, yang dipercaya dan disembah sebagai pemimpin para dewa sekaligus 

selaku bapa dan pencipta. ʼEl juga dianggap memiliki kuasa untuk mengatur 

kehidupan manusia dan para dewa. Israel mengambil term ini untuk menyebut 

sembahannya, namun sekaligus memberinya makna khas Israel: ʼEl mengacu 

ke Allah sebagai yang 'universal', abstrak, gelap, transendens dan pencipta 

dunia.

Term ʼEl dalam Alkitab TB dipakai sebagai gelar atau sebutan untuk yang 

ilahi, namun kadang ada kesan term ini dipakai sebagai nama pribadi. Karena 

dipakai sebagai gelar, maka tidak mengherankan bila term ini sering dipakai 

sebagai kata gabungan, misalnya:lae-tyBe lae ’El- Betel (Kej. 35:7), laer"f.yI lae ’El 

Israel (Allah Israel; Mzm 68:36), bqo[]y: lae ’El Ya’kob (Mzm. 146:5).’Eloah 

merupakan bentuk panjang dari ʼěl, sedangkan ʼělōhîm merupakan bentuk 

jamak dari ’el namun sering juga dipakai dalam arti tunggal sebagai nama atau 

gelar Allah Israel, yang berbeda dengan ilah-ilah lain.

Alkitab Terjemahan Baru menerjemahkan ketiga kata ini dengan Allah atau 

allah dengan kebijakan yang kurang lebih sebagai berikut:

 ’El atau ’Elohîm sebagai sebutan untuk Allah Israel; diterjemahkan dengan

Allah (“A” huruf besar).

Contoh: ’El-ʽelyôn (!Ay*l.[, laeî) Allah Yang Mahatinggi (Kej 14:18.19.20.22) 

atau’Elohîm-ʽelyôn (!Ay=l.[, ~yhiäl{a/) ( Mzm 57:3; 78:56.), ’El-Shaddai (yD:êv; laeä) 

Allah yang Mahakuasa (Kej 17:1; 28:3; 35:11); ’Elohîm-tsebā’ôt (tAab'c.â ~yhiäl{a/)Allah semesta alam (Mzm. 84:8; bdk. tAaßb'c. hwhy YHWH Tsebaot TUHAN 

Semesta Alam dalam 1Sam 1:3)

o ’Elohîm sebagai nama Allah Israel (“Allah berfirman kepada Yakub” 

(Kej 35:1); 1Raj. 11:23: Allah membangkitkan pula seorang lawan 

Salomo) (Kej. 1:1.3; 35:3.5.9.10; dll.).

Untuk membedakan Allahnya dengan allah-allah yang lain, Israel 

menyebut Allahnya’Elohîm. Kata ini seperti dalam bentuk jamak, namun 

ia dipakai dalam arti tunggal (Allah), semacam bentuk pluralis mayestatis 

dari ’el. Term ’Elohîm tampaknya mengacu ke Allah sebagai yang

'universal', abstrak, gelap, transendens dan pencipta dunia; bentuk jamak 

mungkin menekankan keagungan.

Juga dipakai dalam arti superlatif: ~yhiªl{a/ vaeä ’es ’elohîm artinya, api yang 

besar sekali (Ayb 1:16)

 ’El atau ’Elohîm sebagai sebutan untuk ilah-ilah atau dewa-dewa bangsa 

lain; diterjemahkan dengan allah (“a” huruf kecil).

Contoh: (rxE+a; laeä) ʼělʼahēr allah lain (Kel.34:14; Ul 6:14), (!Amåa'-la, ʼěl ’Amon)

dewa Amon (Yer. 46:52), (~yrI+xea] ~yhiäl{a/ʼělōhîmʼahērîm) allah-allah lain (Kel.

20:3; 23:13 1Raj. 11:4.10; 2Raj. 17:37), allah-allah mereka (istri-istri Salomo) 

(1Raj 11:8), “sujud menyembah kepada Asytoret, dewi orang Sidon (è!ynIdoci(yheäl{a/) 

ʼělōhê Sidonîn), kepada Kamos, allah orang Moab (ba'êAm yheäl{a/ʼělōhêMô’āb) dan 

kepada Milkom, allah bani Amon (!AM+[;-ynE)b. yheäl{a/ʼělōhê bene-Amon)” (1Raj.

11:33), ~h,Þyhel{a/ !Agðd"l. ledagon ʼělōhêhem) kepada Dagon, allah mereka (Hak

16:23), (rk'NEh; yheÛl{a/ʼělōhêhannekar) dewa-dewa asing (Kej. 35:2.4), (hk'êSem; ‘yheäl{a/ʼělōhê massēkā

h

) dewa tuangan (Im 19:4). Di beberapa tempat ‘El

mengalami perubahan bunyi menjadi ‘ilu atau ‘il.

Contoh yang dengan jelas menunjukkan bagaimana ’elohîm diterjemahkan 

dengan dua cara berbeda ada dalam 1Raj 11:4:”Pada waktu Salomo sudah tua,istri-istrinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain (~yrI+xea]

~yhiäl{a/;’elohîm ’aharîm), sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada

TUHAN (hw"åhy>;YHWH) , Allahnya (wyh'êl{a/’elohāw), seperti Daud, ayahnya.

 ʼělōah: merupakan bentuk panjang dari ’El, maka seperti ’El kata ini juga 

diterjemahkan dengan Allah (Ul. 32:15; Neh. 9:17; Ayb. 3:4.23; Mzm

18:31) atau allah (2Taw. 32:15).

Dalam bahasa Aram dipakai kata Hl'a/ (’elah) atau ah'Þl'a/ (’elaha; Ezr 5:16

Allah) untuk sebutan yang ilahi. Kata ini pun diterjemahkan dalam Alkitab TB 

dengan Allah atau allah. Misalnya dalam Dan 2:47: “Berkatalah raja kepada 

Daniel: "Sesungguhnyalah, Allahmu (!Akªh]l'a/) itu Allah (Hl'óa/) yang mengatasi 

segala allah (!yhi²l'a/) dan Yang berkuasa atas segala raja, dan Yang 

menyingkapkan rahasia-rahasia, sebab engkau telah dapat menyingkapkan 

rahasia itu."

3. YHWH (hwhy), dan ʼĂdōnāy sebagai nama yang ilahi?

Ketika Musa menanyakan nama Allah untuk meyakinkan orang Israel 

bahwa ia memiliki otoritas menyampaikan pesan ilahi, Allah (~yhil{a/) berfirman 

kepada Musa “hy<h.a, rv,a] hy<h.a,ʼEhyeh-ʼAsher-ʼEhyeh” (AKU ADALAH AKU 

(TB); “I am; that is who I am” (NEB); “I am who am” (NAB); “I am he who 

is” (NJB) (Kel 3:14). “Aku adalah Aku” jelas bukan nama melainkan 

permainan kata Aku yang kemudian menjadi dasar kata YHWH dalam Kel

3:15 “… TUHAN (hwhy ; MT: hw"hy>), Allah nenek moyangmu (~k,yteboa] yhel{a/ hw"hy>), 

Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: 

itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun”. 

Jadi, hwhy (yod heh vav heh) (YHWH), empat huruf Ibrani yang biasa disebut 

tetragrammaton (= empat huruf) dalam bahasa Yunani, adalah nama Allah.


Hal ini dipertegas dalam Kel. 6:1-2 “Selanjutnya berfirmanlah Allah (~yhil{a/) 

kepada Musa: "Akulah YHWH (hw"hy>). Aku telah menampakkan diri kepada 

Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Mahakuasa, tetapi dengan 

nama-Ku YHWH (hw"hy>) Aku belum menyatakan diri.

 YHWH sebagai nama Allah diterjemahkan dalam Alkitab TB dengan 

TUHAN, sebagai pelafalan nama YHWH secara tak langsung. 

Misalnya: (tAaøb'c. hw"“hy>YHWH tsebaoth TUHAN semesta Alam (1Sam

1:3.11; 4:4; Amos 4:13).

Kombinasi antara gelar yang ilahi (Allah) dan nama-Nya sering kita jumpai 

dalam Alkitab, misalnya dalam ungkapan: laeêr"f.yI yheäl{a/ ‘hw"hy> (Yehowah ’elohe 

yisrael) TUHAN, Allah Israel (1Raj. 11:9), ^yh,l{a/ hw"hy>TUHAN, Allahmu

(Hos. 12:10; 13.4); ~k,yhel{a/ hw"hy> ynIa] Akulah TUHAN, Allahmu (Kel 16:12;

Hak. 6:10; Yoel 2:27); Doa Israel yang terkenal berbunyi "laeªr"f.Yi yheäl{a/

hw"÷hy> %Wr’B') baruk YHWH ’elohe yisrael) Terpujilah TUHAN, Allah Israel (1Raj.

1:48). tAab'c.â ~yhiäl{a/ hw"Üh«y> TUHAN, Allah semesta alam (Mzm. 84:8; Hos. 

12:6).Yes 45:5 ~yhil{ a/ !yae ytil'Wz dA[ !yaew> hw"hy> ynIa] (Akulah TUHAN dan tidak ada

yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah).

Nama YHWH juga dikenal dalam bentuk singkat “YH (hy)”, seperti

nama panggilan (Kel 15:2; Mzm. 68:5, 19; 89:9; 94:7, 12; 102:19; 115:17-18;

118:5, 14, 18-19; 130:3; 135:4; 150:6; Yes. 12:2; 26:4; 38:11). Dalam 

penulisannya bentuk singkat ini sering digabungkan dengan kata lain dan 

selalu dilafalkan dengan YaH (Hy"). Contoh yang paling dikenal ialah seruan 

“Halleluyah” / “Haleluya” (Hy"“Wl .h;() artinya “pujilah YaH (YHWH)”

(Mzm. 104:35; 105:45; 106:1, 48; 111:1; 112:1; 113:1, 9; 115:18; 116:19;

117:2; 135:1, 21; 146:1, 10; 147:1, 20; 148:1, 14; 149:1, 9; 150:1, 6; Wahyu

19:1-6).


Kata ʼādōnāy berasal dari kata !Ada'’Adon yang berarti tuan; tuan bukan 

dalam arti pemilik sesuatu melainkan yang berwenang atas seseorang. Sebutan 

ini sering dikenakan untuk manusia dalam bentuk panggilanynI©doa]’ădonî, artinya 

“tuanku” (Kej. 23:6). Namun, dari kata ini juga dibentuk panggilan untuk 

YHWH, yakni katayn"doa]’ădonāyyang diterjemahkan dalam Alkitab TB dengan 

Tuhan (Kej. 18:27.31; 20:4; 23:11.15). Adakalanya kata ini dipakai bersamaan 

dengan kata YHWH:hwIhy> yn"doa] ’ădonāyYèHoWiH. Untuk menghindari 

pengulangan atau pendobelan kata Tuhan (Tuhan TUHAN) dalam 

terjemahannya, Alkitab TB menerjemahkan kata YHWH dengan Allah dan 

bukan dengan TUHAN. Contoh:hwIhy> yn"doa] ’ădonāyYèHoWiH diterjemahkan 

dengan Tuhan ALLAH (huruf besar semua), dan bukan Tuhan TUHAN (Kej.

15:2.8; Amos 1:8; 3:8).

4. Pentingnya Menyebut Nama YHWH

Masing-masing bangsa atau bahkan suku bangsa mempunyai budaya 

tersendiri dalam hal menyebut nama. Di Bali, misalnya, anak tidak biasa 

menyebut nama orang tuanya, karena dianggap kurang sopan. Untuk 

menghindari penyebutan nama orang tua, ayah atau ibu biasanya diberi nama 

sesuai dengan nama anak pertamanya. Misalnya, bapak saya disebut Pan (Pak) 

Rusni, karena kakak tertua saya bernama Rusni. Di beberapa budaya ada 

kecenderungan menghindari penyebutan nama untuk menghormati kedudukan 

seseorang. Karena itu, seseorang yang mempunyai jabatan terhormat biasanya 

tidak dipanggil dengan namanya, melainkan gelarnya (misalnya: Pak Presiden, 

Pak Menteri, dsb.) atau dengan memakai sebutan kehormatan lain. Misalnya 

seorang raja disapa dengan “Yang Mulia”, “Baginda”.Nama merupakan pembeda identitas, karena itu kemampuan menyebut 

nama seseorang atau sesuatu menunjukkan kemampuan membedakan identitas 

seseorang atau sesuatu itu. Gagasan ini bisa kita temukan antara laindalam Kej.

2:19-20 yang mengisahkan manusia “memberi nama” kepada segala binatang. 

Manusia memberi nama kepada binatang-binatang itu artinya ia memahami, 

mengenal, mengatur dan menguasai binatang-binatang itu. Ia bisa 

menggolong-golongkan mana binatang laut, darat, dan amphibi; mana binatang

buas dan jinak, mana ayam dan mana bebek. Demikian, bisa menyebut nama

seseorang menandakan kita mengenal orang itu. Oleh karena itu, kalau

seseorang menyebut nama kita, kita merasa senang karena dikenal dan

dipedulikan. Sebaliknya kalau orang menyebut nama kita secara keliru, kita

tidak suka karena merasa dilecehkan atau kurang sungguh-sungguh dikenal.

Itulah sebabnya banyak orang memilih untuk tidak menyebutkan nama

seseorang apabila ia tidak tahu melafalkan nama seseorang secara benar. 

Apalagi menyebut nama memiliki nuansa menguasai orang yang namanya 

disebut, sehingga kalau nama kita disebut sesuka hati, kita merasa dikuasai dan 

diperlakukan secara tidak benar, atau nama kita disalahgunakan.

Nama itu penting bukan saja karena menunjukkan identitas seseorang 

melainkan juga, khususnya dalam budaya di Timur Tengah, penuh kuasa, 

terutama nama seseorang yang luar biasa. Dari sudut pandang ini kita mengerti 

betapa pentingnya nama TUHAN. Nama itu bukan saja memungkinkan kita 

membedakan Dia dengan ilah-ilah lain, melainkan juga mendapat kuasa dari￾Nya. “Nama TUHAN adalah menara yang kuat” (Ams. 18:10). “Barangsiapa 

yang berseru kepada nama TUHAN akan diselamatkan,” (Yoel 2:32a; Rm.

10:13). Perjanjian Baru cukup sering menyebutkan dahsyatnya kuasa Nama 

Yesus: “Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!" (Kis. 3:6); 

“Karena kepercayaan dalam nama Yesus, maka Nama itu telah menguatkan 

orang yang kamu lihat dan kamu kenal ini” (Kis 3:16); “Demi nama YesusKristus aku menyuruh engkau keluar dari perempuan ini." Seketika itu juga 

keluarlah roh itu (Kis. 16:18).

Persoalannya, siapakah nama Allah kita dan bagaimana persisnya kita 

harus melafalkan nama-Nya tidaklah begitu pasti dan hingga kini masih 

menjadi bahan diskusi para ahli.

4.1. Arti Nama YHWH

Pada umumnya disetujui bahwa term YHWH berasal dari kata kerja hwh

atau hyh yang berarti "ada" dan mendapat maknanya dari ungkapan (’ehyeh 

’asher ’ehyeh). Ada beberapa tafsiran atau cara membaca kata ’ehyeh. Menurut 

Fredman hy<+h.a,(’ehyeh merupakan bentuk hiphil imperf. 3 masc. tunggal dari

akar kataywh / hwh,( (Ibrani:hyh hayah, Inggris: to be), artinya “ia menyebabkan

ada”, “ia menciptakan”.

2Sedangkan Norman Walker mengatakan bahwa 

’ehyeh merupakan bentuk Qal artinya “Aku adalah”.YHWH bisa jadi bentuk

orang ketiga dari akar kata yang sama sehingga berarti “Ia adalah” (Inggris: He

is). Namun, Walker tidak melihat itu sebagai bentuk orang ketiga, karena

menurutnya nama ilahi “YHWH” aslinya berasal dari bahasa Mesir: i-w-i

(“Aku adalah”), nama Yang ilahi di jaman kuno. Nama ini kemungkinan diberi 

vocal iāwei dan diucapkan yāwey.

3

Berbeda dengan ʼělōhîm, nama YHWH tampaknya mengacu ke paham

Allah sebagai yang ada, yang nyata hadir, masuk dan bertindak dalam sejarah 

umat-Nya. YHWH dialami dalam sejarah dan dihayati sebagai pribadi yang

menjalin relasi dengan Israel, yang peduli akan nasib umat-Nya.

4Nama ini

menekankan kedaulatan Allah yang tidak bisa dibandingkan dengan ilah-ilah 

lain; Dia adalah Allah segala ilah.

4.2 Pengucapan Nama YHWH

Pada mulanya teks Kitab Suci ditulis hanya dengan huruf 

mati.Meskipun demikian orang Yahudi jaman itu tidak menemukan banyak 

kesulitan dalam mengucapkannya.Karena itu, bisa dipastikan bahwa dahulu, 

paling tidak sampai dengan dihancurkannya Bait Allah pada tahun 586 SM, 

Nama YHWH yang semuanya berupa huruf mati dilafalkan oleh orang Israel 

dengan huruf hidupnya.

Sesudah pembuangan, pada zaman Ezra dan Nehemia atau pada zaman 

yang dikenal dengan sebutan Yudaisme (sekitar abad ke-5/4 SM), orang 

Yahudi tidak lagi mengucapkan namaYHWH yang kudus. Mereka 

menggantinya dengan pelbagai gelar kehormatan, misalnya ’ădonāy yang 

berarti tuan atau lae(r"f.yI vAdªq.÷ qedôs yisrāʼēl“ Yang Mahakudus, Allah Israel”

dsb. Berikut ini beberapa alasan mengapa Israel menghindari atau tidak 

mengucapkan nama YHWH:

a) Tuhan yang jauh melampaui mereka, sebagai ungkapan rasa segan dan 

hormat mereka tidak memanggil Dia dengan nama-Nya, melainkan hanya 

menyebut gelar kehormatan-Nya.

b) Tuhan bukan salah satu dari sekian banyak allah (ilah) melainkan satu￾satunya Allah. Allah yang disembah bangsa lain, seperti Baal, Milkom, dan 

Kamos, sebenarnya tidak ada (bdk. Mzm. 95:5a), sehingga tidak diperlukan

lagi namaYHWH untuk membedakan Allah Israel dengan allah

bangsa-bangsa lain. Penggunaan nama YHWH justru akan menghilangkan

gagasan itu dan memberi kesan bahwa YHWH hanya Allah orang Israel 

sedang Kamos allah bangsa Moab, dsb.

c) Mereka ingin mencegah penyalahgunaan nama YHWH oleh orang kafir 

untuk ilmu sihir, untuk menghujat nama YHWH, dll. Jika nama YHWH 

ditulis dengan jelas, bisa saja tulisan itu jatuh di tangan orang kafir lalu 

diinjak-injak, dinodai dsb. (band. Ul. 12:3-4).

d) Mereka takut melanggar hukum ke-2 yang melarang menyebutkan nama

YHWH dengan sia-sia (Kel. 20:7).

Demikian ketika mereka menemukan nama YHWH (hwhy),mereka tidak 

membacahwhydengan Yahweh melainkan ’ădonāy (“Tuhan”).

Pada abad ke-3 SM nama ini diucapkan hanya oleh imam agung sekali 

setahun, yakni pada hari Yom Kippur. Setelah Bait Allah kedua dihancurkan, 

dan jabatan imam agung pun lenyap pada tahun 70 M, mengucapkan nama 

Allah dianggap tidak pantas lagi. Akhirnya tidak seorang pun tahu dengan pasti 

bagaimana mengucapkan nama Allah (YHWH) dan bagaimana Israel dulu 

mengucapkan nama ini. Bisa jadi tetragrammaton ini dulu diucapkan dengan 

“Yahweh” “Yahwe”, “Yehwah”, “Yahwa”, atau “Yawe”atau “Yehovah”. 

Namun, dengan mempertimbangkan pengucapan bentuk singkatnya “Yah”, 

para ahli Kitab Suci cenderung menerima bahwa nama Allah diucapkan dengan 

Yahweh.

Mulai abad ke-7 hingga abad ke-10 M, Kaum Masoretik, yakni para ahli 

tulis Yahudi, melengkapi teks-teks Kitab Suci yang berupa susunan huruf mati 

saja dengan huruf hidup dan tanda baca. Hal ini mereka lakukan karena banyak 

orang, baik Yahudi maupun Kristen tidak mampu lagi membaca teks-teks 

Kitab Suci tanpa huruf hidup.

Dalam rangka itu huruf mati YHWH diberi vokalisasi sesuai dengan 

kata’ădonāy (yn"doa]) sehingga menjadihw"Ohy>. (YeHoWaH), untuk menandai bahwa 

menurut keyakinan Yahudi nama YHWH harus dibaca ’ădonāy. Adakalanyanama YHWH tergabung dengan sebutan ’ădonāy (hAihy/ yn"doa]’ădonāyYHWH 

yang menurut kebiasaan yang berlaku mestinya dibaca ’ădonāy ’ădonāy). 

Untuk menghindari pengulangan penyebutan ’ădonāy YHWH tidak dibaca

’ădonāy melainkan èlohim sehingga kedua kata itu dibaca ’ădonāy ’èlohim 

(Tuhan ALLAH) dan bukan (Tuhan TUHAN). Dalam hal yang demikian itu, 

kaum masoret memberi vokal pada YHWH sesuai dengan pengucapan’èlohim, 

sehingga menjadihAihy/ YèHoWiH. Lihat misalnya hAihy/ yn"doa]’ădonāyYèHoWiH), 

yang harus dibaca ’ădonāy YèHoWiH (“Tuhan ALLAH”). Dalam terjemahan 

Alkitab TB perbedaan antara ’èlohim yang asli dengan ’èlohim yang 

merupakan pengganti term YHWH ditunjukkan dalam cara penulisan: Allah 

dan ALLAH.

5. Nama Tuhan dalam Septuaginta

Keberhasilan Yunani dalam melancarkan gerakan helenisme pada abad 

ke-4 SM, membuat bahasa Yunani menjadi bahasa pengantar di Timur Tengah, 

termasuk di Israel. Banyak kaum muda Israel lebih menyukai dan memahami 

bahasa Yunani daripada bahasa Ibrani, terutama mereka yang berdomisili di 

luar Palestina. Untuk membantu mereka ini, Kitab Suci Ibrani pun 

diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Hasil terjemahan itu selesai sekitar 

abad ke-2 SM dan diberi nama Septuaginta (LXX).

Dalam LXX gelar ʼělōhîm diterjemahkan denganqeo,j(Theos = Allah). 

Nama YHWH biasanya diterjemahkan dengan ku,rioj(kyrios = Tuhan) tetapi 

adakalanya juga dengan theos, mungkin karena pada waktu itu nama YHWH 

dalam bahasa Ibrani dibaca ’ădonāy (“Tuhan”). Nama YAH pun di Septuaginta

diyunanikan sebagai kyrios atau theos. Hanya seruan “Halleluyah” (Hy"“Wll.h;() saja

yang ditransliterasi dengan huruf Yunani menjadi allèluia (allhlouia). Kata

’ădonāy pun biasanya diterjemahkan dengan kyrios(Kej.

18:3; 19:18; Amos 1:8), kadang despo,thjdespotes (Kej. 15:2), namun ’ădonî

diterjemahkan dengan kyrios (Kej 23:6).6. Nama Tuhan dalam Perjanjian Baru

Para penulis Perjanjian Baru mengikuti kebiasaan Septuaginta dalam 

menerjemahkan nama TUHAN. YHWH diterjemahkan bukan dengan 

mempertahankan nama YHWH, melainkan dengan kyrios (Tuhan). Ibrani: 

YHWH (TUHAN); LXX: kyrios; PB: kyrios; TB: Tuhan; sedangkan ʼělōhîm 

(LXX: qeo.j) diterjemahkan denganqeo.jtheos.

 Yesus

Ketika mengutip Syahadat Yahudi: “Dengarlah, hai orang Israel: 

YHWH itu Allah kita (WnyheÞl{a/ hw"ïhy>) YHWH itu esa!” (Ul. 6:4), mungkin Yesus 

mengutipnya dalam bahasa aslinya (Ibrani). Dari terjemahan Yunaninya, 

sebagaimana ditulis oleh Markus 12:29b (“Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan 

itu Allah [ku,rioj o` qeo.j] kita, Tuhan [ku,rioj] itu esa!”) nampak bahwa 

kemungkinan besar Yesus melafalkan YHWH dengan ’ădonāy (“Tuhan”). Hal 

ini nampak pula ketika Ia mengutip Ul. 6:5 (“Kasihilah TUHAN, Allahmu 

(.^yh,_l{a/ hw"åhy>; LXX: ku,rion to.n qeo,n), dengan segenap hatimu dan dengan 

segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu); bdk. Mat. 22:37 “Kasihilah 

Tuhan, Allahmu (ku,rion to.n qeo,n), dengan segenap hatimu dan dengan 

segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (lihat juga Mrk. 12:30; Luk. 

10:27).

Yesus memanggil Allah dengan sebutan Bapa (Mat.11:25.26), juga 

mengajak kita memanggil Allah bukan dengan kata YHWH melainkan Bapa 

(Mat. 6:9).

 Paulus

Ketika Paulus mengutip Yoel 2:32 (jle_M'yI hw"ßhy> ~veîB. ar"²q.yI-rv,a] lKoô hy"©h'w> = Dan

barangsiapa yang berseru kepada nama YHWH [hw"ßhy>] akan diselamatkan), dia

tidak mengajak orang Roma untuk mengucapkan nama YHWH melainkan 

kyrios (Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan[kuri,ou], akandiselamatkan); lih. Rm 10:13.Paulus juga membaca YHWH sebagai ’ădonāy

dengan kyrios.

Rasul Paulus tidak mengajari orang Roma untuk berseru kepada nama YHWH

mungkin karena alasan berikut:

a) YHWH menurut Yoel 2:32a adalah Allah Israel, yang disebut ’ădonāy atau 

kyrios (“Tuhan”) oleh orang Yahudi pada zaman rasul Paulus. Namun, 

rasul Paulus juga menyembah Yesus dari Nazaret sebagai Tuhan (band.

1Kor. 8:6). Demikian, dengan memanggil nama kyrios (“Tuhan”), umat

beriman akan memanggil nama YHWH dan nama Tuhan Yesus sekaligus. 

b) Bagi rasul Paulus bukan nama YHWH, melainkan nama Yesus adalah

“nama di atas segala nama” (Fil. 2:9-10)

c) Bagi murid Kristus, Allah bukan hanya disebut Tuhan. Murid Kristus 

sebagai anak Tuhan boleh juga memanggilnya sebagai Bapa (Rom. 8:15; 

Gal. 4:6). Tidak lazim dan tidak pas kalau anak memanggil bapaknya 

dengan nama, apalagi sebagai “Bapa Yahwe”.

d) Sama seperti orang Yahudi, rasul Paulus yakin bahwa hanya ada satu 

Tuhan. Meskipun rasul Paulus percaya bahwa Sang Pencipta langit dan 

bumi telah menjelma dan menyatakan diri dalam Tuhan Yesus. Namun, 

tetap tidak ada Tuhan atau ilah lain (band. 1Kor. 8:5-6). Maka rasul Paulus 

tidak merasa perlu memakai nama YHWH untuk membedakan Tuhan 

YHWH dari “Tuhan-Tuhan” lain, seolah-olah masih ada “Tuhan-Tuhan”

lain.

 Penulis Ibrani

Penulis surat Ibrani menulis surat kepada orang Kristen yang 

berlatarbelakang Yahudi. Meskipun demikian, ketika mengutip Yes. 8:18a 

dalam Ibrani 2:13b ia tidak menerjemahkan nama YHWH dengan Yahweh 

melainkan dengan theos (Allah).Yes. 8:18a: “Sesungguhnya, aku dan anak-anak yang telah diberikan

TUHAN (TM :hw"ëhy>

= YeHoWaH/TUHAN; LXX: qeo,j theos = Allah) kepadaku …”

Ibr. 2:13b: "Sesungguhnya, inilah Aku dan anak-anak yang telah diberikan

Allah (qeo,j theos = Allah) kepada-Ku" (Ibr. 2:13b).

7. YHWH dalam Perjanjian Baru Ibrani

Pada tahun 1979/1986 Lembaga Alkitab Israel menerjemahkan 

Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ibrani. Dalam terjemahan ini bahasa Ibrani 

ditulis tanpa vokal karena orang Israel sudah fasih membaca bahasa Ibrani. 

Ketika PB mengutip PL, bunyi kutipannya disamakan dengan apa yang tertulis 

dalam PL, maka kita menemukan adanya namahwhy (YHWH). Tetapi, orang 

Yahudi, baik yang percaya kepada Yesus Kristus maupun tidak, akan membaca

nama itu dengan ’ădonāy (“Tuhan”), dan bukan Yahwe, Yahwa, apalagi

Yehuwa. Mereka sangat berhati-hati dalam mengucapkan nama itu, sampai￾sampai mereka mengganti namahwhy dengan kata~Veh;(has

h

ēm = “NAMA itu”).

8. Allah Bagi Orang Kristen Siria & Arab

Kata Allah sebenarnya sudah dipakai sejak abad ke-3M oleh orang 

kristen yang tinggal di antara suku-suku Arab di sekitar Petra. Dalam ibadah 

dan percakapan sehari-hari orang-orang kristen ini ada yang mamakai bahasa 

Arab ada pula yang memakai bahasa Siriani, salah satu cabang bahasa Aram. 

Mereka yang berbahasa Siryani memakai kata Alaha sedangkan yang 

berbahasa Arab memakai kata Allah. Bahkan sudah sekitar abad ke-2 M 

terjemahan Alkitab dalam bahasa Siryani memakai kata Alaha untuk 

menerjemahkan’el, ’elohîm, ’Eloah.

Misalnya, inskripsi umat Kristen Siria yang berasal dari tahun 512 M, yang 

ditemukan di kota Zabad dekat Aleppo pada tahun 1881. Inskripsi ini diawali 

dengan kata Bism al-Ilah (bentuk singkatnya:Bismillah), artinya ’Dengan 

Nama Allah’ yang disusul dengan tanda salib dan daftar nama diri orang 

Kristen Siria. Selain itu, inskripsi Umm al-Jimmal (abad 6 M) bertuliskan

’Allah Ghafran’, artinya Allah Mahapemurah.

Pemakaian kata Allah dalam Kitab Suci berbahasa Indonesia

Albert Cornelisz Ruyl, orang pertama yang menerjemahkan Alkitab ke 

dalam bahasa Melayu (Injil Matius dan Markus, tahun 1629), menerjemahkan 

kata Yunani theos dengan Allah. Brouwerius yang menerjemahkan Kitab 

Kejadian pada tahun 1661, memakai kata “alla” dan Deos untuk 

menerjemahkan ’elohîm dan ’el. Dalam terjemahan-terjemahan di tahun 

berikutnya, seperti Alkitab Leijdecker (1733), Alkitab terjemahan H.C. 

Klinkert (1879), terjemahan W. Shellabear (1912), Alkitab Melayu Bab 

(1913), dan PB terjemahan W.A. Bode (1938), Alkitab Terjemahan Baru 

(1974), Alkitab BIMK (1985), Perjanjian Baru Terjemahan Baru 2 (1997, edisi 

revisi 1974), kata Allah tetap dipakai untuk menyebut yang ilahi.

Beberapa terjemahan Alkitab dalam bahasa daerah pun memakai kata 

Allah, seperti Jawa, Gorontalo, Madura, Bugis Makassar, dan Bima. Beberapa 

bahasa daerah memakai nama sendiri, misalnya: Debata (Toba), Naibata 

(Simalungun), dan Uis Neno (Timor).

9. Larangan menyebut nama TUHAN dan berhala

Salah satu isi Dasa Firman ialah larangan menyebut nama TUHAN (Kel.

20:7). Larangan ini berkaitan erat dengan larangan menyembah berhala, dosa 

pertama dan yang paling dikecam dalam PL. Berhala bukanlah pertama-tama 

soal membuat patung, tapi soal mempunyai Allah lain. “Jangan ada padamu 

allah lain di hadapan-Ku” (Kel 20:3). Allah lain itu bukanlah Allah yang 

sesungguhnya, melainkan allah buatan kita sendiri, yang bisa dikontrol dan 

kendalikan. Hal ini tersirat dari kisah anak lembu emas, berhala pertama yang 

dibuat Israel (Kel 32).

Dikisahkan dalam Kel 32:1-6 bahwa Israel jatuh ke penyembahan berhala 

karena Allah, partner perjanjian mereka, tidak kelihatan, demikian pun Musa, 

perantaranya, tidak turun-turun dari gunung. Karena tidak kelihatan, maka 

Allah tidak bisa dikontrol atau dikendalikan. Oleh karena itu Israel merasa sulit 

mempercayakan diri kepada-Nya. Mereka pun berkata kepada Harun, "Mari, 

buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, 

orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir kami tidak tahu apa 

yang telah terjadi dengan dia" (Kel 32:1). Dengan kata lain, penyembahan 

berhala merupakan bentuk ketakutan atau ketidaksediaan manusia menerima 

Allah itu misteri, lalu ia membuat allah lain yang dapat dilihat, dijamah, artinya 

yang bisa dikontrol, dikuasai, dan manipulasi, seperti anak lembu emas.

Kiranya benar apa yang dikatakan oleh Stamm (1967:89), “The image puts 

God and what concerns him into a category …. is tantamount to having God 

at one’s disposal and control”. Berhala tiada lain dari menolak kenyataan 

bahwa Allah adalah misteri, bahwa Ia di luar daya tangkap manusia, bahwa ia 

tidak dapat dikuasai, dimiliki dan dikontrol. Atau meminjam kata-kata Barton 

(1979:7), “rather than being a sign of unfaithfulness to the covenant with 

YHWH, idols are a symptom of human desire to have the divine realm 

under one’s control”. Orang menyembah berhala karena ia ingin menguasai 

Allah, ingin memiliki Allah, ingin Allah menjadi seperti apa yang ia inginkan 

atau pikirkan. Aspek “ambisi untuk menguasai” dalam berhala jugadiungkapkan oleh Kaufmann dalam definisi berhala yang dibuatnya: “idolatry 

is no mere arrogance and rebellion against God, but is inextricably bound up 

with man’s ambition for dominance over his fellow man” (1966:13).

Dalam konteks pemahaman yang demikian, mudah bagi kita memahami 

larangan menyebut nama Tuhan (Kel 20:7) yang menyusul larangan 

penyembahan berhala. Menyebut nama Tuhan dilarang karena menyebut nama 

seseorang berarti mengenal orang itu, mempunyai kuasa atas orang itu atau 

menguasainya.

Berhala berarti memenjarakan Allah dalam kepicikan manusia

Kata yang sering dipakai untuk berhala ialah patung (ls,P, pesel). Patung 

ilahi ini mempunyai fungsi mewujudnyatakan sang ilahi, bahkan orang kafir 

menganggap yang ilahi hadir dalam gambar atau patungnya (Leo Oppenheim,

1964: 183-184). Ciri-ciri sebuah patung: statis, tidak bergerak, bisa

dimanipulasi, berupa gambaran yang menggambarkan sesuatu yang sudah 

terjadi. Konsekuensinya, ketika sebuah patung menggambarkan Allah, ia 

hanya menggambarkan Allah yang statis dan Allah yang terbelenggu di masa 

lampau. Padahal Allah itu hidup, aktif, dan dinamis. “Aku adalah Alfa dan 

Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir 

(Why 22:13). Dengan demikian, dalam usahanya menggambarkan Allah, 

sebuah patung justru mempersempit, mengurangi gelar-gelar essensial Allah. 

Ia memenjara Allah dalam ruang masa lampau.

Jadi larangan menyembah berhala bukanlah sekedar larangan membuat 

patung atau menyembah patung, tetapi lebih jauh dari itu ialah larangan 

memanipulasi Allah, memenjarakan Allah dalam kepicikan manusia, 

mengecilkan Allah ke dalam kategori pikir manusia, menciutkan attribut￾attribut Allah ke dalam satu attribut atau attribut tertentu yang statis, yang bisa 

dikontrol.

Allah selalu lebih besar dari apa yang manusia bisa gambarkan. Ia tidak 

dapat dibandingkan dengan apa pun di dunia ini. Ketika manusia mencobamenggambarkan Allah dengan suatu perbandingan, ia tidak menggambarkan 

Allah yang sebenarnya, melainkan hanya satu aspek atau aspek tertentu Allah. 

Kesalahan yang dibuat manusia bukanlah pertama-tama pada penggambaran 

yang tidak sempurna itu melainkan pada sikap manusia yang mengklaim apa 

yang tidak sempurna itu sebagai sempurna, apa yang hanya sebagian itu 

sebagai keseluruhan, kepenuhan. Dengan kata lain, dosanya terletak dalam 

mengabsolutkan apa yang sebenarnya relatif.

Tepat apa yang dikatakan oleh Paul Bauchant, bahwa untuk menyembah 

berhala orang tidak perlu menampilkan Allah sebagai anak lembu, rajawali, 

merpati, dsb. Tetapi cukup bahwa ia memperkenalkan Allah sebagai Yang kuat 

tanpa kelemahlembutan, penuh kasih tanpa menghukum, sabar tanpa 

menuntut, memberi kebebasan tanpa kebijaksanaan (1999:64-65). Demikian, 

bila orang membuat gambar Allah kemudian memutlakkan gambar itu dengan 

menyangkal semua gelar Allah yang lain, ia melakukan penyembahan berhala.

Dalam konteks ini mengharuskan orang menyebut YHWH dan menuduh 

yang mengganti Nama itu dengan TUHAN, Lord, Herr, Signore, dsb. Sebagai 

orang sesat dapat digolongkan sebagai bentuk penyembahan berhala. Pertama, 

dia melawan perintah yang berkaitan dengan menyembah berhala (jangan 

menyebut nama TUHAN). Kedua, dia memasukkan Allah dalam kategori 

pikiran yang sempit. Allah haruslah seperti yang dia pikirkan, jika orang lain 

berpikir tentang Allah tidak seperti yang dia pikirkan berarti sesat. Ketiga, 

pandangannya itu tidak memiliki dasar historis atau tradisi yang kuat.

1

Gelar Allah (’el, ’elohîm, ’Eloah, dan ’ădonāy) dan nama YHWH telah 

diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Setiap bangsa mempunyai caranya 

sendiri menyebut dan menamai Allah yang esa dan sama ini. Bagaimana 

menerjemahkan ’elohîm ke sebuah bangsa yang dimiliki oleh suatu bangsa 

yang bukan bangsa Yahudi tentulah tidak mudah. Memang akan sangat bagusbila bangsa itu memiliki istilah tersendiri untuk menyebut yang ilahi agar 

sebutan itu tidak menjadi sesuatu yang asing dan aneh baginya. Di lain pihak, 

sebutan itu haruslah memiliki kandungan makna yang tidak berbeda dengan 

makna ’elohîm yang dimiliki Israel. Dalam hal ini, kita harus bersyukur 

sebagai orang Indonesia, karena kita memiliki kata Allah. Kata ini sudah 

dikenal oleh bangsa ini sejak ratusan tahun yang lalu dan kata ini bukan saja 

dekat dengan kata ’elohîm melainkan juga memiliki makna yang tidak berbeda 

dengannya. Bisa jadi ia masuk ke Indonesia melalui agama Islam karena kata 

ini berasal dari bahasa Arab, al ilah, artinya sang ilah. Namun, harus diingat 

kata ini sudah dikenal sebelum lahirnya Islam. Selain itu, kalau kata ini 

dianggap kata serapan dari bahasa Arab, maka kita pun tidak boleh lupa bahwa 

Israel pun dahulu mengadopsi kata ’elohîm dari gelar yang ilahi yang lazim 

pada zaman itu di Timur Tengah Kuno dan memberinya makna baru. 

Keberanian Israel mengambil nama sembahannya dari nama dewa-dewa 

bangsa lain, menunjukkan kematangan imannya. Dia tahu persis membedakan 

sembahannya dengan sembahan bangsa lain; Dia tahu persis siapa yang dia 

sembah. Kenyataan bahwa orang Islam pun memakai gelar ini semakin 

membantu orang Indonesia memahami Allah sebagai gelar yang ilahi meskipun 

mungkin ada sedikit perbedaan dalam konsep tentang yang ilahi.

Bagaimana dengan nama hwhy. Pertama-tama dengan rendah hati harus 

kita akui bahwa tidak seorang pun yang tahu dengan pasti bagaimana orang 

Israel dulu melafalkan tetragrammaton ini. Nama Yahweh yang sering 

didengung-dengungkan hanyalah rekayasa dan dugaan semata. Kaum 

Masoretik pun tidak pernah memakai nama itu, mereka malah 

mem”vokalisasikan”nya dengan YeHoWah (hw"Ohy>>; mengikuti vokalisasi 

Adonai) danYeHoWih (hAihy/ ; mengikuti vokalisasi ’elohîm). Selain itu, demi 

penghormatan terhadap nama ilahi ini orang Yahudi pun tidak melafalkan 

nama ini, walaupun mereka menuliskannya.Kata Tuhan atau TUHAN yang dipakai di Indonesia bukanlah istilah 

yang mengganti nama YHWH yang tidak diketahui bagaimana 

mengucapkannya. TUHAN hanyalah cara kita melafalkan Nama YHWH yang 

agung secara tidak langsung demi menghormati nama yang penuh kuasa itu. 

Kelebihannya, kita bisa menuliskannya dan sekaligus mengucapkannya, dan 

maknanya pun kita ambil dari makna YHWH. Bagaimana pun juga, Allah itu 

misteri, tidak seorang pun dapat mengetahui-Nya secara sempurna, termasuk 

juga nama-Nya. Kita bersyukur bahwa Yang Mahaagung dan Dahsyat itu telah 

menjelma menjadi manusia, sehingga kita mengenal-Nya secara lebih baik dan 

telah memberi kita nama di atassegala nama, yakni Yesus Kristus. Dalam nama 

Dialah kita memperoleh keselamatan.