Jurnal teologi 2

 


Kerusakan lingkungan telah menjadi masalah bersama umat manusia 

yang perlu mendapat perhatian serius, terutama dari orang percaya yang 

harusnya dapat menemukan dasar Alkitab mengenai apa yang harus dilakukan 

dalam upaya pelestarian lingkungan. Dalam status dan fungsinya diciptakan oleh 

Allah, manusia tidak hanya menjadi citra Allah, tetapi juga sebagai rekan sekerja 

Allah. Dalam Kejadian 2:15, Taman Eden sebagai representasi habitat manusia 

kala itu, disediakan oleh Allah untuk kepentingan manusia, yaitu dengan cara 

manusia mengusahakan dan memelihara Taman Eden tersebut. Oleh sebab itu,

dalam upaya mencari dasar teologis mengenai peran orang percaya dalam 

mengupayakan kelestarian lingkungan, dalam penelitian ini akan dibahas 

mengenai makna kata mengusahakan dan memelihara Taman Eden melalui 

metode eksegesa. Penulis melakukan analisis terhadap kata kerja tesebut, 

kemudian melengkapinya dengan sebuah tafsiran yang didapat dari berbagai 

sumber yang bekaitan dengan nats Kejadian 2:15. Hasilnya adalah temuan 

teologis yang menghasilkan konsep tentang pelayanan dan tanggung jawab orang

percaya terhadap lingkungan.Kehidupan umat manusia di dunia ini sangat bergantung dengan daya dukung 

lingkungan tempat mereka hidup, karenanya kemampuan dan kondisi lingkungan untuk 

terus dapat memberikan dukungan dan manfaat bagi kehidupan manusia harus benar￾benar diperhatikan dan dijaga sebaik mungkin, karena lingkungan hidup tentu tidak 

dapat secara sepihak dan terus menerus mendukung jumlah kehidupan serta aktivitas 

tanpa batas dari manusia, sebab apabila lingkungan mengalami kerusakan atau sudah 

tidak mampu lagi mendukung kehidupan manusia, tentulah manusia akan menuai 

berbagai kesulitan, baik di kehidupan saat ini, maupun di kehidupan yang akan datang. 

Dalam zaman yang semakin modern, permasalahan daya dukung lingkungan 

yang semakin memprihatinkan sebenarnya disebabkan oleh kerusakan lingkungan 

hidup yang mau tidak mau telah membuat membuat kondisi habitat manusia menjadi 

semakin memprihatinkan pula. Permasalahan kerusakan lingkungan ini merupakan 

sebuah permasalahan yang bersifat universal yang membawa seluruh umat manusia di 

bumi ini kepada keprihatinan yang sama dan semakin dalam dari tahun ke tahun. 

Kerusakan lingkungan tidak saja telah menurunkan kualitas hidup manusia, tetapi juga 

sudah mencapai taraf yang sedemikian mengancam kehidupan umat manusia sendiri.1

Kerusakan alam adalah bentuk kegagalam manusia dalam mengelola dan bertanggung 

jawab untuk membuat bumi menjadi tempat yang layak huni dan mendukung 

kehidupan mansuia. Di dalam topik mengenai kerusakan lingkungan, banyak diskusi dan 

pembicaraan yang mengkategorikan permasalahan kerusakan lingkungan yang paling 

mendapatkan perhatian serius, yaitu: pemanasan global (global warming), perusakan 

hutan secara massal berikut dengan erosi tanah, dan juga permasalahan polusi. 

Dari pihak umat Kristiani misalnya, banyak yang menilai orang beriman terkesan 

abai terhadap permasalahan ekologi, hal ini nampak misalnya dalam pesan Paus 

Yohanes Paulus II di hari Perdamaian Sedunia dengan mengungkapkan: 

“Perdamaian dunia bisa saja terancam bukan hanya oleh perlombaan senjata, 

pelbagai konflik, dan terus berlangsungnya ketidakadilan antar bangsa, melainkan 

juga disebabkan oleh kurangnya penghargaan atas alam. Kesadaran baru ekologis 

jangan sampai disepelekan oleh gereja, melainkan gereja-gereja harus inisiatif 

mengembangkan program konkret dalam upaya penyelamatan lingkungan.”

2

Pesan ini tentu saja sebagai pengingat bagi setiap gereja dan orang beriman untuk 

bertindak sebagai ciptaan Allah yang mampu berperan menjaga keutuhan lingkungan 

hidup dan tentu saja supaya orang beriman memiliki pemahaman yang utuh dan benar 

sehingga alam tidak dirusak dalam oleh keegoisan dan ketidakpedulian manusia. Keprihatinan serupa juga diungkapkan oleh seorang sejarahwan bernama Lynn 

White yang menyatakan bahwa sebenarnya ada tanggung jawab dan peran dari orang 

Kristen dalam permasalahan kerusakan ekologi, karena selama ini orang Kristen 

dianggap secara tidak seimbang telah mengajarkan tentang doktrin manusia sebagai 

penguasa atas bumi dan ciptaan lainnya (bdk. Kej. 1:27-28) yang tentu saja hal ini 

dipercaya telah menimbulkan eksploitasi atas alam secara berlebihan.3 Tentu saja 

bagian yang dikritik oleh Lynn White ini menjadi benar jika gereja dan para pemimpin 

Kristen tidak peduli terhadap permasalahan ekologi, yang tentu saja berdampak pada 

setiap pengajaran yang dibuat bersifat antroposentris terhadap alam. 

 Telaumbanua juga menyetujui bahwa gereja sendiri masih belum maksimal

dalam menangani ataupun berkontribusi langsung dalam menangani kerusakan 

lingkungan hidup. Hal ini dapat ditilik dari khotbah-khotbah gereja ataupun materi￾materi pengajaran gereja yang sangat jarang sekali membahas mengenai ekologi, gereja 

juga jarang sekali menegur gaya hidup manusia yang berkontribusi terhadap 

pengrusakan lingkungan, dan ditambah lagi gereja-gereja perkotaan yang besar bisa saja 

terkadang bersikap tak peduli dengan permasalahan lingkungan global, dengan 

misalnya tidak menghemat pemakaian listrik, pemakaian AC berlebihan, tidak 

melakukan penghijauan di lingkungan gereja, dan masih banyak lagi.4 Oleh sebab itu, 

dalam hal ini dirasa sangat perlu untuk gereja mampu mengkondisikan diri dan 

berbenah dalam perannya untuk menjadi pembawa damai bagi dunia dengan terlibat 

dalam pelestarian lingkungan. 

Dari fakta - fakta diatas, maka pertanyaan yang timbul adalah adakah sumbangan 

teologi Kristen sebagai landasan teologis terhadap upaya untuk memulihkan alam yang 

terlanjur rusak dan untuk mencegah pengrusakan yang semakin parah? Oleh sebab itu 

diperlukan kembali pemahaman yang benar dan terbuka mengenai korelasi antara 

teologi dengan ekologi. Sebab dalam kehadirannya di dunia, manusia tidak hanya 

mempunyai tanggung jawab kepada Allah, namun juga mempunyai tanggung jawab 

dalam memelihara dan mengembangkan kehidupan bersama ciptaan lain yang tidak 

bisa diabaikan. 

Dalam hal ini peneliti mengupayakan untuk meneliti kitab Kejadian, karena 

dalam kitab Kejadian terdapat idetitas manusia sebagai rekan sekerja Allah sekaligus 

sebagai citra Allah. Pada kitab Kejadian pasal 2 diceritakan bahwa Taman Eden 

disediakan oleh Allah untuk manusia dengan kepentingan yang mulia, yaitu untuk 

diusahakan oleh manusia. Tetapi bukan berarti mengusahakan dengan sembarangan, 

namun perlu diingat bahwa masih terdapat kepentingan lainnya, yaitu untuk didiami 

oleh seluruh ciptaan Allah pada waktu itu secara bersama-sama. Itulah sebabnya 

diberikan pula tugas dari Allah kepada manusia pada waktu itu untuk juga memelihara Taman Eden. Hal inilah yang mendorong kajian penelitian mengenai tafsir terhadap 

Kejadian 2:15 khususnya terhadap kata kerja mengusahakan dan memelihara Taman 

Eden sebagai konstruksi pemahaman bagi orang percaya mengenai tanggung jawabnya 

terhadap lingkungan. 

2. Metode Penelitian 

Metode yang dipakai dalam makalah ini adalah analisis teks dengan pendekatan 

eksegesa pada teks Kejadian 2:15, khususnya dibatasi pada kata kerja mengusahakan 

dan memelihara Taman Eden. Peneliti melakukan analisis terhadap kata kerja tesebut, 

kemudian melengkapinya dengan sebuah tafsiran yang didapat dari berbagai sumber 

yang relevan. Dari hasil eksegesa terhadap kata kerja mengusahakan dan memelihara 

Taman Eden akan ditarik temuan teologis sebagai konstruksi untuk memberikan 

beberapa prinsip penting mengenai pelayanan dan tanggung jawab orang percaya 

kepada lingkungan. 

Dipilihnya teks Kejadian 2:15 hal ini karena menunjukkan taman Eden 

merupakan representasi dari keseluruhan bumi pada saat itu, tempat dimana manusia 

ditempatkan Allah untuk hidup dan berkarya mengusahakan taman tersebut sebelum 

kejatuhan manusia dalam dosa.5 Tetapi bukan berarti mengusahakan dengan tidak 

bertanggung jawab, namun manusia juga dibebankan tanggung jawab pemeliharaan 

atas taman tersebut. Pemahaman ini sangat penting untuk dimiliki dan akan dibahas 

dalam bagian selanjutnya untuk memberikan penegasan bahwa manusia bukan sekadar 

pengguna apalagi penguasa taman tersebut, melainkan sebagai penatalayan dan rekan 

sekerja Allah yang bertanggung jawab untuk mewujudkan keadaan taman Eden tersebut 

lebih baik lagi. 

3. Hasil dan Pembahasan 

Analisa Kata Mengusahakan dan Memelihara Taman Eden dalam Kejadian 2:15 

Sebelum membahas secara detail mengenai kata kerja mengusahakan dan 

memelihara pada Kejadian 2:15, maka dirasa penting untuk pertama kali memberikan 

ulasan mengenai Taman Eden yang menjadi lokasi yang dibicarakan dalam teks 

Kejadian 2:15. Kata !d,[e (`ëden) yang merupakan kata benda proper yang dalam Alkitab 

Indonesia tetap diterjemahkan sebagai Eden. Para penafsir Septuaginta (LXX) 

mengungkapkan sebuah keterangan bahwa bagi seorang berkebangsaan Yunani, nama

!d,[e (ëden) yang diterjemahkan menjadi παραδειζοj (paradeisos) dalam LXX 

sebenarnya mengarah kepada sebuah pengerian “sesuatu yag menyenangkan hati” atau 

“kesenangan hati”. Dan kata παραδειζοj (paradeisos) dalam LXX ini diduga merupakan sebuah alih bahasa dari bahasa Avesta (Persia kuno) yaitu pairidaeza, yang maknanya 

adalah “sesuatu yang dipagari”, dan kemudian pada perkembangan berikutnya, 

mendapat perluasan makna sebagai “halaman atau kebun yang menyukakan.” Bahkan 

nantinya dari pemakaian istilah pairidaeza inilah lambat laun muncul kosa kata dalam 

bahasa Inggris, yaitu “paradise” untuk menyebut istilah Taman Firdaus atau Taman 

Eden. 

Narasi dalam Kejadian pasal 2 menjelaskan bahwa Taman Eden merupakan 

adalah sebuah lokasi yang diberkati dengan keindahan dan sesuatu yang menyenangkan 

yang sebenarnya disiapkan dan dibuat oleh Allah sendiri sebagai habitat manusia 

pertama kala itu. Gambaran yang menyenangkan dari Taman Eden sebenarnya terlihat 

dari cara Musa mendeskripsikan kondisi taman tersebut yang terdapat banyak 

tumbuhan dan pohon, baik yang indah-indah maupun aneka jenis tanaman yang 

menghasilkan buah-buahan sebagai makanan manusia (bdk. Kej. 2:16), termasuk pohon 

kehidupan juga terdapat dalam taman ini (Kej. 2:9). Lebih jauh dijelaskan, taman ini 

adalah suatu tempat yang subur, karena dikelililingi oleh empat sungai besar yang 

bertujuan sebagai pengairan untuk membasahi taman Eden (Kej. 2:10). Rupanya kabut 

saja (bdk Kej. 2:6) tidak cukup untuk membuat pohon-pohon dalam taman itu menjadi 

hidup dan subur, tetapi membutuhkan suplai air yang cukup banyak dari empat sungai 

besar supaya pohon-pohon tersebut menghasilkan daun dan buah. Jadi disini dapat 

dilihat perhatian Allah yang sangat besar terhadap lingkungan sebagai habitat manusia.6

Taman Eden juga dilengkapi oleh Allah dengan sumber daya alam yang penuh dengan 

batu mulia, baik itu batu permata krisopras, emas, dan damar bedolah (bdk. Kej. 2:10-

11). 

Pada Kejadian 2:15, kata kerja mengusahakan menggunakan kata Ibrani Hd"Þb.['l. 

(le`abdäh) yang terdiri dari l. (le) sebagai preposition dengan arti “untuk”7 dan db;[' 

(abad) yang merupakan kata kerja qal infinitive construct 3rd person feminine singular 

yang secara umum memiliki arti mengerjakan atau mengusahakan.8 Sehingga arti 

keseluruhan Hd"Þb.['l. (le`abdäh) adalah “untuk mengerjakan.” Dalam sumber Targum 

Syria, kata db;[' (abad) ini memakai kata db;[] (ªbad) yang memiliki arti “mengabdi 

sebagai hamba”. Sedangkan sumber dari Arab kuno memakai kata deriv yang berarti 

“pemujaan atau kepatuhan pada Tuhan.”9

Kata db;[' (‘ȃbad) pertama kali muncul dalam Alkitab, yakni dalam Kejadian 2:5 

untuk menceritakan keadaan pasca Tuhan selesai menciptakan langit dan bumi, yaitu 

dikisahkan bahwa di bumi belum ada semak dan tumbuhan di padang karena: belum 

ada orang untuk mengusahakan (db;[' -‘ȃbad) tanah itu. Disini nampak bahwa Tuhan 

menciptakan bumi dan isinya sebagai tempat manusia berdayaguna dan mengusahakan 

sesuatu. Allah telah bekerja dengan menciptakan bumi dan menyediakan Taman Eden, 

maka Ia pun menginginkan manusia yang telah diciptakan sesuai citra-Nya juga menjadi 

rekan sekerja-Nya. Banks menyatakan bahwa: 

“Manusia merupakan satu-satunya ciptaan yang memiliki keiistimewaan sebagai 

Imago Dei, dan perlu diketahui bahwa natur yang dimiliki oleh Allah adalah 

bahwa Dia bukanlah Allah yang diam tanpa karya, namun Ia adalah Allah yang 

bekerja dan terus aktif berkarya sampai saat ini. Oleh sebab itu, harus dipahami 

bahwa jika Allah adalah sosok yang aktif bekerja, maka manusia pun sebagai 

mahluk ciptaan Allah yang mulia juga harus berkarya dan bekerja.”10

Oleh sebab itu, inilah alasan mengapa muncul kembali kata db;[' (‘ȃbad) dalam Kejadian 

2:15 yang menyiratkan Tuhan ingin manusia bekerja dan mengusahakan Taman Eden. 

Menurut Donald A. Hagner, kata db;[' (‘ȃbad) dalam kemunculannya dalam 

Perjanjian Lama lebih banyak dipakai dalam pengertian melakukan suatu pekerjaan 

yang berhubungan dengan melayani Tuhan.11 Bahkan dalam konteks keimaman dalam 

Perjanjian Lama, kata db;[' (‘ȃbad) ini selalu dipakai dalam hal yang berhubungan 

dengan pekerjaan para Imam atau yang berhubungan dengan pekerjaan di Kemah 

Suci12, seperti contoh misalkan dalam Bilangan 3:8; 4:47; 16:9, kata kerja Ibrani db;[ ' 

(‘ȃbad) selalu dipakai untuk menjelaskan tugas atau pekerjaan yang diperintahkan oleh 

Allah kepada orang Israel, khususnya orang Lewi ketika mereka hendak mengurus 

perabotan di dalam Kemah Suci. 

Dalam kemunculannya di Perjanjian Lama, kata dasar db;[' (‘ȃbad) juga sering 

diterjemahkan “beribadah”, seperti kemunculannya dalam Keluaran 3:12; 7:16, dan 

Mazmur 22:31, kata beribadah dalam ayat tersebut memang memakai kata Ibrani db;[ ' 

(‘ȃbad). Bahkan dalam Septuaginta, kata mengusahakan di Kejadian 2:15 ini memakai 

kata evrga,zomai (ĕrgāzomai), yang sebenarnya secara khusus, kata evrga,zomai

(ĕrgāzomai) ini juga merupakan kata kerja yang dipakai bagi mereka yang melakukan 

kegiatan kepelayanan atau keimamatan.13 Oleh sebab itu, kata Yunani evrga,zomai

(ĕrgāzomai) ini juga dipakai oleh Rasul Paulus untuk menunjukkan suatu pekerjaan 

pelayanan yang berhubungan dengan hal-hal rohani atau ibadah (bdk. 1 Kor. 9:13; 

16:10). Maka dari uraian di atas, kata “mengusahakan” - db;[' (‘ȃbad) harus dipahami 

dalam pengertian: segenap tindakan atau pekerjaan manusia dalam mendayagunakan 

pikiran, tenaga, kemampuan serta ketrampilannya terhadap suatu objek yang telah 

dimandatkan oleh Allah, sehingga manusia harus bertanggung jawab kepada Allah 

sebagai wujud pelayanan dan ibadah manusia kepada-Nya. Marie-Dominique Chenu, 

seorang teolog yang memberi perhatian terhadap masalah ekologi mengatakan bahwa: 

“Dengan mengusahakan Taman Eden, maka manusia membuktikan dirinya 

bertanggung jawab terhadap Allah, karena mengusahakan Taman Eden 

merupakan mandat dan perintah Allah. Manusia adalah seorang pekerja, maka 

bumi ini diciptakan Tuhan tidak selesai begitu saja, namun tetap harus dilanjutkan 

oleh manusia. Manusia yang telah menerima perintah dari Allah untuk 

mengusahakan bumi, tentu saja ini tidak berarti Allah tidak dapat melanjutkan 

atau menyelesaikan karya-Nya di bumi. Namun, pada titik ini Allah ingin 

melibatkan manusia sebagai rekan kerja-Nya untuk bersama-sama bekerja 

mengelola hasil karya Allah. Sebab jika Allah tidak memberi mandat manusia 

untuk bekerja, maka secara tidak langsung Allah telah melenyapkan natur 

manusia itu sendiri. Perintah dari Allah untuk “mengusahakan” ini sebenarnya 

paralel dengan mandat prokreasi yang Allah berikan kepada manusia (bdk. Kej 

1:28).”

14

Untuk kata kerja memelihara dalam Kejadian 2:15 memakai kata Ibrani Hr "(m.v 'l.w> 

(welesamräh) yang terdiri dari w> (we) sebagai conjunction dengan arti “dan”,15

kemudian l. (le) sebagai preposition dengan arti “untuk”16 dan juga rm;v' (shamar)

yang merupakan kata kerja qal infinitive construct 3rd person feminine tunggal dengan 

arti “memelihara.”17 Sehingga arti keseluruhan Hr "(m.v 'l.w> (welesamräh) adalah “dan 

untuk memelihara.” Kata dasar rm;v' (shamar) ini jika dilihat dalam sumber Aramaic 

kuno, memakai kata hr 'muv (shamirah) yang memiliki arti “mendukung”, “menopang”, 

“melindungi”. Sedangkan Sumber dari Arab kuno memakai kata Samara yang berarti 

“memperhatikan dengan sungguh-sungguh”.18

Kemunculan kata rm;v' (shāmar) dalam kitab Pentateukh di Perjanjian Lama 

bukan sekedar berarti “memelihara” atau “melindungi”, namun memiliki makna lebih 

kuat, karena kata rm;v' (shāmar) dalam kitab Pentateukh sering sekali dipakai sebagai

kata kerja yang berhubungan dengan tanggung jawab umat Allah terhadap hukum dan 

ketetapan Allah yang senantiasa harus diingat, dipelihara dan dilakukan dengan setia, 

bahkan sampai turun temurun.19 Sehingga tidak heran, sering sekali kita jumpai sebuah 

perintah dari Allah dalam Perjanjian Lama selalu memakai kata kerja: rm;v' (shāmar), 

yang menyiratkan bahwa Allah ingin segenap yang diperintahkan oleh-Nya harus benar￾benar diperhatikan dan dipelihara turun temurun oleh umat-Nya, seperti yang terdapat 

dalam Keluaran 12:25; 34:11, dan Imamat 26:2 ketika Allah mengatakan bahwa hukum 

Allah harus dipelihara, maka kata rm;v' (shāmar) dipakai sebagai kata kerja dalam ayat￾ayat tersebut. 

Jika ditinjau secara umum, sebenarnya pemakaian kata “memelihara” - rm;v'

(shāmar) sangat berkaitan dengan tugas seorang gembala, yang bukan hanya bertugas 

menjaga kawanan domba, namun sang gembala tersebut juga harus mengawasi, 

memelihara, melindungi, dan peduli terhadap kelangsungan hidup domba-dombanya, 

yang merupakan objek yang harus dipelihara dengan penuh tanggung jawab.20 Kata 

Shamar yang berarti “memelihara” sebenarnya dalam tata bahasa Ibrani mempunyai 

kemiripan kata dengan kata Ibrani shamiyr yang memiliki arti ‘duri’. Tentu saja 

kemiripan kata ini dapat memiliki keterkaitan karena untuk menjaga domba dari 

serangan atau ancaman binatang buas, seorang gembala biasanya menggunakan kawat 

atau tanaman duri untuk memagari dan melindungi kawanan dombanya. 

Oleh sebab itu, dalam hal ini kata rm;v' (shāmar) bagi orang Israel kuno dianggap 

sebagai kata kerja yang menunjukkan tindakan kasih Allah sebagai seorang Gembala 

bagi umat-Nya yang senantiasa memelihara, melindungi, dan memberikan perhatian 

kepada umat Israel sebagai Domba Allah. Sehingga tidak heran, kata rm;v' (shāmar)

dapat ditemukan dalam awal ucapan berkat seorang Imam pada Bilangan 6:24: “TUHAN 

melindungi (rm;v' - shāmar) engkau dan memberkati engkau.” Karena memang bagi 

umat Israel, Allah adalah Pribadi yang memelihara dan melindungi seperti seorang 

Gembala.21

Kemunculan pertama kali kata rm;v' (shāmar) dalam Perjanjian Lama yaitu 

memang ada dalam Kejadian 2:15 ini, yaitu saat Adam diperintahkan Allah untuk 

memelihara Taman Eden. Hal ini juga disebutkan dalam Kejadian 4:9, dimana Kain 

bertanya pada Tuhan, apakah dia adalah penjaga (rm;v' - shāmar) adiknya. Kata rm;v' 

(shāmar) yang muncul dalam bagian awal Perjanjian Lama ini memiliki pengertian: memelihara, melindungi, mengawasi, peduli, dan menjamin keamanan dari suatu 

objek.22

Dalam Septuaginta, kata memelihara memakai kata Yunani fula,ssw (phulāsso),

yang secara umum biasanya diterjemahkan “menjaga” ataupun “memelihara”.23 Secara 

khusus, sebenarnya kata fula,ssw (phulāsso) mulanya sering digunakan dalam istilah 

militer yang menunjukkan kegiatan di pos penjagaan pada zaman Romawi kuno, dimana 

seorang tentara harus peduli dan bertanggung jawab untuk melindungi markas atau 

benteng pusat yang sedang ia jaga.24 Dan dalam perkembangannya kemudian, kata

fula,ssw (phulāsso) merujuk secara umum pada tindakan manusia yang secara dan 

sadar dan bertanggung jawab untuk melaksanakan tindakan kasih dan kepedulian untuk 

menjaga, merawat, dan memelihara sesuatu yang ditugaskan kepadanya. Dalam 

Perjanjian Baru, kata kerja fula,ssw (phulāsso) oleh Paulus selalu dihubungkan dengan 

Hukum Taurat, seperti contohnya dalam Kisah Para Rasul 21:24 dan Galatia 6:13, Paulus 

berulangkali menyampaikan kepada pembaca surat-Nya hukum Taurat yang dipelihara 

dan dijaga - fula,ssw (phulāsso).

Jadi dipakainya kata kerja “memelihara” - rm;v' (shāmar) yang dikaitkan dengan 

hukum, perjanjian dan perintah dari Allah, sesungguhnya hal ini menunjukkan bahwa 

Allah ingin supaya manusia sebagai ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah 

dapat menyatakan perhatiannya dan berpegang dengan sungguh-sungguh terhadap 

hukum dan perjanjian-Nya.25 Sebab ketaatan terhadap hukum-hukum Allah itu bukan 

hanya masalah teori saja atau ketaatan ala kadarnya yang asal mengerti, namun harus 

benar-benar dipelihara dan dijaga kelangsungannya bahkan sampai turun temurun, 

supaya hukum dan perintah Allah dapat diketahui dari generas ke generasi.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa sejak dari kemunculan pertama kali 

kata “memelihara” - rm;v' (shāmar) sampai kepada perkembangan selanjutnya dalam 

Perjanjian Lama, maka kata “memelihara” - rm;v' (shāmar) harus dipahami dalam 

pengertian: memelihara, melindungi, mengawasi, memperhatikan, dan menjamin 

kelangsungan suatu objek yang Allah telah mandatkan kepada manusia dengan 

sungguh-sungguh. 

Dari hasil analisa kata mengenai mengusahakan dan memelihara Taman Eden 

pada Kejadian 2:15 yang telah dilakukan di atas, maka didapatkan dua temuan teologis 

yang akan diuraikan sebagai berikut: 

Mengusahakan dan Memelihara Taman Eden sebagai Bentuk Pelayanan kepada Allah 

melalui Lingkungan 

Dalam analisa kata yang telah dilakukan di bagian sebelumnya, didapati bahwa 

sesungguhnya tindakan manusia untuk mengerjakan dan mengusahakan Taman Eden, 

pada dasarnya adalah salah satu bentuk pelayanan dan ibadah manusia kepada Allah 

Sang Pencipta. Kemunculan kata db;[' (‘ȃbad) dan kata rm;v' (shāmar) dalam Perjanjian 

Lama sering sekali dihubungkan dengan tindakan melayani Tuhan dan ibadah manusia 

kepada Tuhan. Konsep pelayanan ini sesungguhnya menunjukkan bahwa kedudukan 

manusia dalam alam ini bukanlah raja yang sewenang-wenang atas alam, tetapi ia 

adalah hamba yang menjadi mitra Allah untuk mengerjakan mandat mengusahakan dan 

memelihara lingkungan. Manusia bukanlah pemilik lingkungan, melainkan manusia 

hanyalah pengelola yang diberi kepercayaan oleh Allah yang harus dipertanggung 

jawabkan kembali kepada Allah. 

Hal yang menarik yang dapat dilihat dari Kejadian 2:15 adalah inisiatif dari Allah 

yang menyediakan Taman Eden sebagai habitat manusia pertama padawaktu itu. Narasi 

Kejadian 1 memang mengisahkan bahwa Allah telah menciptakan dan meyiapkan bumi 

dengan kondisi yang sangat baik dan siap sedia untuk dihuni oleh manusia. Bahkan jika 

dipikirkan kalaupun Allah tidak menyediakan Taman Eden, sebenarnya bumi masih 

cukup luas, cocok, dan layak untuk didiami manusia. Namun dapat dilihat bahwa Allah 

masih ingin memberikan manusia perhatian yang khusus dan dengan tujuan yang mulia. 

Allah menyiapkan dan membuat sebuah taman sebagai habitat manusia yang sangat 

indah dan menyenangkan yang melebihi keindahan bumi pada umumnya (Kej. 2:8-15). 

Apa yang telah dilakukan oleh Allah untuk kepentingan manusia, menunjukkan betapa 

Allah sangat mengasihi dan peduli kepada manusia. 

Ketika Allah memberikan mandat untuk mengusahakan dan memelihara Taman 

Eden kepada manusia, juga seharusnya membuat manusia berpikir dan sadar, bahwa 

kedudukannya di Taman Eden, bukanlah sebagai pemilik, penguasa, maupun 

pendominasi alam, karena Allah adalah Sang Pemilik. Manusia hanya sebagai mitra kerja 

Allah untuk mengusahakan dan memelihara lingkungan dengan penuh kasih, kerelaan, 

kesadaran dan pelayanan sebagai bentuk pengabdian dan ibadah kepada Tuhan.26

Manusia harus mengerahkan daya upaya (baik itu tindakan, kreativitas, inovasi, 

pemikiran, penemuan, dan kewirausahaan) untuk mengusahakan dan memelihara sesuatu yang telah dimandatkan oleh Tuhan. Inilah yang disebut dalam religiusitas 

dalam pekerjaan. 

Salah satu pernyataan yang menjelaskan kaitan antara kerja dan religiusitas 

adalah ungkapan yang diberikan oleh Santo Benediktus yang dikenal dengan istilah 

berdoa dan bekerja (Ora et Labora). Bimo Setyo Utomo mengatakan bahwa hal ini 

menunjukkan bahwa umat Allah dituntut untuk menyeimbangkan dan tidak 

memisahkan antara religiusitas dan pekerjaan. Dengan konsep yang benar tentang 

pekerjaan, maka orang Kristen harusnya dapat meletakkan pekerjaannya sebagai sarana 

mewujudkan kemuliaan Allah yang lebih besar dan agung (Ad Majorem Dei Gloriam).27

Jika sudah demikian, dapat dipastikan bahwa etos kerja dan tanggung jawab dalam 

bekerja akan terbangun dengan positif, termasuk dalam bekerja untuk menguayakan 

dan melestarikan alam. 

Manusia sebagai citra Allah memiliki sifat-sifat yang luhur seperti: sabar penuh 

kasih, pengendalian diri, memiliki pikiran, perasaan, kehendak, serta pengetahuan yang 

dapat diselaraskan dengan kebenaran dari Allah. Maka jika Allah memiliki sifat yang 

luhur, yakni ketika menciptakan sesuatu, Ia juga akan memelihara apa yang sudah 

diciptakan-Nya, maka demikian juga dengan manusia, ketika manusia diberi mandat 

untuk mengusahakan dan memelihara, maka manusia harus memiliki dasar kasih dan 

taat melayani dalam melakukan mandat tersebut.28 Segala bentuk kreativitas, inovasi, 

pemikiran, penemuan, kewirausahaan, pengelolaan, dan pendayagunaan yang dilakukan 

manusia terhadap suatu objek, termasuk lingkungan harus diimbangi pula oleh tindakan 

kepedulian, pemeliharaan dan perawatan. 

Hal di atas memang bukanlah hal yang mudah dan otomatis untuk dapat

dilakukan, karena dalam tindakan mengusahakan dan memelihara lingkungan 

dibutuhkan sikap hati untuk melayani dengan penuh komitmen, konsistensi serta 

kedisiplinan kuat dari manusia, namun biarlah motivasi kasih dan ketulusan menjadi 

dasar dan tujuan manusia dalam melakukan mandat mengusahakan dan memelihara. 

Tentu saja dasar hubungan seimbang untuk mengusahakan dan memelihara adalah 

Kasih dan Anugerah Allah. Oleh karena itu, teologi Alkitab bukanlah teologi 

antroposentrisme ataupun ekosentrime, melainkan teologi teosentrisme yang 

memandang segala sesuatu berpusat pada Allah, yaitu Allah yang menurut Alkitab 

adalah pencipta bumi ini yang menganugerahkan keindahan dan kekayaan bumi ini 

kepada manusia untuk dikelola secara bertanggung jawab.29

Jadi mengusahakan dan memelihara lingkungan menurut konsep Kejadian 2:15 

adalah manusia bisa mengambil dan memanfaatkan serta mengembangkan lingkungan hidup dengan tetap memperhatikan, menghargai, dan sedapat mungkin menyesuaikan 

diri dengan irama ekosistem. Itulah inti mengusahakan dan memelihara sebagai bentuk 

pelayanan yang memang bertujuan supaya orang percaya memiliki pemahaman untuk 

memanfaatkan dan menggunakan sumber daya alam secara proporsional dan dapat 

dipertanggung jawabkan kepada Allah sesuai norma kebenaran. 

Mengusahakan dan Memelihara Taman Eden sebagai Bentuk Tanggung Jawab Manusia 

kepada Lingkungan 

Gagasan mengenai manusia sebagai pengurus (steward) yang diberikan mandat 

oleh Allah untuk bertanggung jawab atas Taman Eden yang harus dikelola dan 

dipelihara, tentu saja hal ini didukung oleh konsep tentang manusia sebagai gambar dan 

rupa Allah. Penegasan bahwa kaitan antara manusia sebagai gambaran Allah dan kuasa 

yang diberi kepadanya menyiratkan bahwa kuasa itu harus mencerminkan kuasa Allah, 

Sang Pencipta dan Pemelihara. Maka kuasa atas binatang itu mesti merupakan 

pemerintahan damai, tanpa hak atas hidup dan mati. Penaklukan bumi pun tidak melulu 

dimengerti sebagai penundukan, melainkan sebagai perintah untuk mengolah tanah 

guna memperoleh makanan, dimana manusia bersama binatang hidup dan berkembang 

dari apa yang dihasilkan oleh bumi.30 Sebagai wakil Allah tentu manusia diberikan tugas 

untuk menjalankan mandat Allah atas bumi, khususnya terhadap lingkungan dengan 

penuh perhatian dan tanggung jawab yang sama seperti yang Allah telah teladankan 

ketika Ia bekerja.31

Taman Eden merupakan representasi dari keseluruhan bumi, tempat dimana 

manusia ditempatkan Allah, dimana taman tersebut diciptakan untuk tujuan yang mulia, 

yaitu selain untuk didiami manusia, namu juga untuk diusahakan oleh manusia. Namun 

hal ini tidak berarti mengusahakan dengan serampangan dan tak bertanggung jawab, 

karena terdapat hal luur lainnya yakni menjadi rumah bersama bagi seluruh ciptaan 

(bdk. Kej 2:9,19). Itulah sebabnya dalam konteks pembahasan kali ini, dapat dilihat 

bahwa manusia juga dimandatkan pemeliharaan atas Taman Eden sebagai representasi 

habitat manusia (Kej. 2:15). Dalam hal ini kekristenan seyogianya melihat alam tidak 

melulu sebagai fakta biologis, tetapi alam juga harus dipandang sebagai cerminan sang 

Pencipta. Hal ini berarti bahwa alam itu sebagai bayang-bayang Allah, sehingga manusia 

harus terus menghargai alam sebagai karya Allah dan karena itu harus

memperlakukannya sebagai milik Allah yang patut dihargai, dihormati, dan 

diperlakukan dengan penuh tanggung jawab kepada Allah demi kebaikan manusia itu 

sendirPemahaman akan tanggung jawab ini sangat penting untuk dimiliki khususnya 

bagi orang-orang percaya, karena mandat “mengusahakan” dan “memelihara” sudah

sangat jelas menegaskan bahwa manusia bukan sekadar pengguna apalagi pendominasi 

alam melainkan sebagai penatalayan yang bertanggung jawab (responsible stewardship). 

Dan ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan pandangan materialistik.33 Perlu 

juga dipahami bahwa konsep stewardship (penatalayan) merupakan 

pertanggungjawaban yang tidak saja secara individu tetapi juga secara bersama. Secara 

individu, dimulai dengan panggilan Allah, dan diberi tanggung jawab. Bersamaan 

dengan tanggungjawab individu tersebut, manusia juga merupakan steward (pengurus) 

yang bekerjasama dengan orang lain dalam mengusahakan dan memelihara lingkungan. 

Dalam hal ini Remikatu mnengungkapkan bahwa gereja memiliki peran dalam 

upaya pemeliharaan lingkungan hidup yang terletak pada tugasnya sebagai imam, raja 

dan nabi. Pertama, gereja sebagai imam merupakan peran sebagai wakil atas sesama 

dan ciptaan yang lain di hadapan Allah dan juga merupakan wakil Allah dalam 

membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi mahkluk lainnya di bumi. Kedua, tugas 

gereja sebagai nabi merupakan tugas yang mengoreksi dan memperbaiki keadaan￾keadaan yang rusak karena sikap manusia yang destruktif karena praktek-praktek 

ketidakadilan akibat praktek eksploitasi alam yang sewenang wenang. Gereja dipanggil 

untuk menyuarakan kebenaran atas ketidakadilan yang terjadi akibat keserakahan 

manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Ketiga, tugas gereja sebagai raja 

merupakan peran yang menjadi wakil Allah yang menjalankan panggilannya sebagai 

stewardship dengan bertanggungjawab di hadapan sesama manusia dan alam. Jadi, 

manusia bukan penguasa atas alam, namun diberi tanggung jawab untuk merawat dan 

memelihara alam.34

Konsep pelayanan seperti ini adalah sebuah pandangan holistik, yang 

mengungkapkan identitas manusia sebagai rekan sekerja Allah dengan tanggung jawab 

sebagai steward (pengurus) dari aneka jenis sumber daya alam dan lingkungan yang 

telah Allah percayakan kepada manusia. Hal ini menggabungkan tanggung jawab 

individu dengan tanggungjawab keluarga dan masyarakat untuk bersama-sama 

membangun Taman Tuhan – yaitu masyarakat, ciptaan dan lingkungan dengan penuh 

tanggung jawab. Inilah paradigma sebagai orang percaya, mengusahakan dan 

memelihara harus dalam batas penatalayanan yang bertanggung jawab (stewardship), 

bukan kepemilikan (ownership). Manusia perlu tahu bahwa ciptaan Allah yang lain juga 

diciptakan oleh Allah dengan tujuan tertentu dan tentu saja mereka memiliki nilai yang 

pantas untuk diperlakukan baik dan dijaga keberadaanya. Inilah sebenarnya kesadaran 

ekologi yang perlu dipupuk oleh setiap manusia, yaitu menganggap ekologi sebagai rumah bersama bagi semua makhluk hidup yang perlu dibangun atas dasar 

kebergantungan satu sama lain.35

Mengusahakan dan memelihara alam adalah bentuk manusia bertanggung jawab 

terhadap talenta yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Allah telah 

memberikan mandat bahwa alam dapat diusahakan dan dikelola untuk dimanfaatkan 

dan dilipatgandakan hasilnya bagi kelangsungan hidup semua mahluk. Oleh sebab itu, 

perlu diingat bahwa alam wajib dipelihara dengan baik dan dan hasil serta keuntungan 

yang diperoleh dari alam, sebagian dapat dikembalikan sebagai deposit (renewable) 

terhadap alam dan juga secara bijak dipergunakan untuk keperluan siapapun yang 

membutuhkan. Sebab perlu diingat bahwa kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan 

dan mengelola sumber daya alam merupakan salah satu penyebab utama dari 

kerusakan alam, sebab manusia yang terus merasa kurang dan rakus akan terus pula 

mengambil kebutuhan mereka dari alam dengan konsep dan cara yang tidak 

bertanggung jawab dan cenderung tamak. 

4.  

Secara biblikal, makna mengusahakan dan memelihara Taman Eden dalam 

konteks Kejadian 2:15 berarti mengembangkan dan memanfaatkan segala sesuatu yang 

Tuhan sediakan di dalam Taman Eden sebagai habitat manusia, baik itu sumber daya 

alam ataupun alam itu sendiri agar semuanya itu mempunyai nilai tambah untuk dapat 

menunjang kehidupan bagi manusia di masa kini maupun masa yang akan datang. Tentu 

saja Allah menyediakan segala sumber daya yang dapat dikembangkan secara maksimal 

supaya manusia dengan hikmat dan akal budi yang Allah telah berikan juga dapat 

memeliharanya dengan menghargai apa yang Tuhan sediakan bagi manusia di Taman 

Eden. Manusia bukanlah sebagai pemilik atau penguasa Taman Eden, karena Allah 

adalah Sang Pemilik. Manusia hanya sebagai mitra kerja Allah yang bertugas untuk 

mengelola dan mengerjakan apa yang telah dimandatkan Allah untuk mengusahakan 

Taman Eden dengan penuh kerelaan, kesadaran, kasih dan pelayanan sebagai bentuk 

pengabdian dan ibadah kepada Tuhan. 

Analisa terhadap frasa mengusahakan dan memelihara Taman Eden melahirkan 

temuan teologis sebagai konstruksi bagi orang percaya dalam pelayanannya dan 

tanggung jawabnya untuk terus mengolah dan melestarikan lingkungan. Orang percaya 

sebagai pribadi yang paham akan makna mengusahakan dan memelihara Taman Eden 

harus diikuti dengan sikap yang mencerminkan menghargai dan solidaritas dengan 

alam. Menghargai alam berarti menghargai Allah sebagai Sang Pemberi Anugerah, 

sedangkan sikap solidaritas berarti sikap yang tidak egois. Sikap solidaritas atau tidak 

egois ini menunjukkan manusia yang berbalik dari sikapnya yang rakus dan serakah 

terhadap alam, dimana yang semula memandang alam sebagai objek saja yang harus 

dieksploitasi dan dikelola sekehendak hati, justru dapat berbalik menjadi pribadi 

dengan sikap nyata yang mencerminkan kepedulian terhadap lingkungan.