pada
kami,'Abdullah bin Numeir telah menyampaikan kepada kami dari'Ubaidillah
bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwasanya jika ia telah berbekam maka ia
membersihkan daerah bekas bekamarrnya."
Atsar ini juga diriwayatkan secara naushuljuga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-
Mushannaf (l/ 4il dan Ibnu Numeir. Silahkan melihat Taghliq AtTa'liq (ll/ l2l)
dan AI-Fath (l/282).
Adapun ucapan Al-Hasan maka ia telah diriwayatkan secara maushul oleh Ibnu
Abi Syaibah juga dalam Al-Mushannaf (/ 43), "'Abdul A'la telah menyampaikan
kepada kami dari Yunus dari Al-Hasan bahwa suatu ketika ia ditanya tentang
seseorang yang berbekam. Apakah yang harus dilakukannya (setelah berbekam
-penj.)?" Ia menjawab, "Ia membersihkan bekas daerah bekamannya tersebut."
Silahkan melihatTaghliq At-Ta'liq (ll/ l2l) dan Al-Fath (l/ 282)
s*rsn,& 713
Oleh sebab itu, tatkala Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menda-
patkan pengaduan tentang keluhan seorang lelaki yang mengalami
kesulitan apakah tetah keluar sesuatu dari dirinya atau tidak? Beliau
menjawab,
qt+'ricq'g.Pi4r
"langanlah ia berpaling hingga mendengar suara atau mencium 6ou1i'u'
Orang yang telah berwudhu dengan cara yang syar'i, maka ia
tidak mungkin keluar dari wudhunya tersebut kecuali disebabkan
perkara yang diyakini. ]adikanlah kaidah di atas sebagai pondasi
bagi semua perkara tentang wudhu yang diperselisihkan oleh kaum
muslimin! Siapapun yang berkata, "Perkara ini membatalkan wudhu."
Maka tanyakanlah kepadanya, " Apa dalilnya? Saya telah berwudhu
sebagaimana yang Allah perintahkan serta berdasarkan syari'at-Nya.
Dan kamu tidak bisa membatalkan wudhu (saya) yang telah ditetap-
kan dengan dalil."
Oleh sebab itu, sejumlah ulama belpendapat bahwa tidak ada
yang dapat membatalkan wudhu kecuali sesuatu yang keluar dari
dua jalan saja. Maka tidur, menyentuJr kemaluan, menyentuh wanita,
memandikan jenazah, memakan daging unta dan sebagainya tidak
membatalkan wudhu. Tidak ada yang membatalkan wudhu kecuali
apa yang keluar dari dua jalan saja.Ts
Mereka berdalilkan dengan firman Allah Ta'ala, "atau lcembali dari
tempat buang air." (QS. An-Nisa': 43) dan sabda Nabi Shallallnhu Alaihi
wa Sallam, "Janganlah ia berpaling hingga mendengar suara atau men-
cium bau!"7s serta perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ketika
ditanya tentang hadats, ia menjawab , "Fltsaa' atau dhuralth-"7$
Berdasarkan hal ini maka siapa pun yang mengatakan, "Perkara
ini membatalkan wudhu." Maka katakanlah kepadanya, "Kamu harus
mengemukakan dalitrya." Oleh sebab itu Al-Bukhari membuat bab
,orang yang tidak berpendapat harus mengulangi wudhu kecuali ka-
rena ada yang keluar dari dua ialan, yakni kemaluan bagian depan
(qubut) dan belakang (dubur)' .
752 TaLhrij hadits telah disebutkan sebelumnya.
753 Silahkan melihat AI-F4 th $ / 28f) dan Majmu' Al-Fatawa (XX / 526) dan (D{ / 222)
75a Takhrij hadits telah disebutkan sebelumnya.
755 Tal,Jnrij hadits telah disebutkan sebelumnya.
714 €ilffi,iffi't&
Perkataannya, "Dari qubul darrt dubur." Sebagai badal dari kata
min al-maWtrajain dengan menyebutkan kembali 'amil -nya yalftt min.
Oleh sebab itu, jika ada yang mengatakan, "Kecuali yang keluar dari
dua jalan keluar, qubul dan dubur," maka jelaslah bahwa kedudukan
i'rab kedua kata tersebut adalah badal. Nartun adakalanya badal di-
sebutkan dengan menyebutkan kembali 'amil-nya dan terkadang tidak
disebutkan.
Kemudiary beliau mengemukakan datil yang mend.rkrog penda-
pat tersebut dengan mengatakan, "Dan firman Allah Ta'ala, "atau kem-
bali dafi tempatbuang air." (QS. An-Nisaa': 43)
Al-gha'ith artinya tempat yang menurun (rendah). Maksudnya,
bukan ia kembali dari tempat buang air dalam keadaan berjalan-jalan.
Akan tetapi maksudnya ialah ia kembali darinya setelah menunaikan
hajatnya di situ, baik buang air kecil atau buang air besar.
Perkataarmya, "'Atha'berkata mengenai orang yang keluar cacing
dari duburnya atau sejenis kutu dari kemaluan bagian depannya,
"Ia harus mengulangi wudhunya." Perkataannya ini memberikan
pengertian seakan-akan beliau mengatakan, " APa saja yang keluar dari
kedua jalan keluar tersebut dapat membatalkan wudhu, baik sesuatu
yang keluar itu normal atau tidak normal."
Keluamya cacing dari dubur merupakan perkara yang tidak
normal. Sebab yang biasanya keluar darinya adalah sisa-sisa makanan
ataubuang angin.Adapun cacing maka ini jarang sekali terjadi.
Meskipun demikian'Atha' (seolah-olah) berkata, "Hingga sesuatu
yang jarang keluar darinya pun tetap membatalkan wudhu." Namun
pendapatnya ini diselisihi oleh sejumlah ulama. Mereka belpendapat,
"sesungguhnya jika ada sesuatu yang tidak normal keluar melalui
dubur, maka tidak membatalkan wudhu. Dengan demikian, bila yang
keluar dari qubul sejenis kutu atau yang keluar dari dubur sejenis
cacing, maka haL itu tidak membatalkan wudhu.Ts
Pendapat yang benar dalam masalah ini ialah pendapat 'Atha',
yang juga dipegang oleh jumhur ulama757. Sebab bagaimanapun
kondisinya, apa saja yang keluar melalui kedua jalan keluar tersebut
membatalkan wudhu. ]ika angin (kentut) -yang tidak berbentuk fisik
dan bukan merupakan najis- dapat membatalkan wudhu, tentunya apa
yang keluar dari keduanya lebih membatalkan wudhu.
Silahkan melihat Al-Mughni (I / 230) dan Mausu'ah Fiqh Al'Imam Ahmad (ll / 5)
Silahkan melihat referensi sebelumnya.
756
757
€*ntrdfir&
Perkataan Al-Bukhari ,'labir bin 'Abdillah berkata , " Apabr7a orang
yang sedang mengerjakan shalat tertawa dalam shalatnya, maka ia
ha-rus mengulangi shalatnya, namun tidak harus mengulangi wudhu-
^ya."
Apakah mungkin ada orang yang tertawa dalam shalat? |awab-
nya mungkin saja. Misalnya ia teringat sebuah kejadian, mendengar
sebuah suara, atau melihat sesuatu. Ada sebagian orang yang ketika
melihat seseorang terjatuh dari sesuatu -misalnya tangga- ia tertawa.
Ada juga di antara mereka yang ketika mendengar salah satu perkata-
an tertawa. Dan boleh jadi karena mengingat sesuatu ia tertawa.
PerkataanJabir, " Ia mengulangishalatnya namun tidak memperbarui
wudhunya." Merupakan bantahan terhadap pihak yang berpendapat,
"sesungguhnya jika seseorang tertawa terbahak-bahak dalam shalat,
maka ia harus mengulangi shalat dan memperbaharui wudhunya."7s8
Mereka menetapkan tawa yang terbahak-bahak dapat membatal-
kan wudhu. Akan tetapi pendapat yang benar adalah tidak memba-
talkarmyaTse, hanya saja ia merusak shalat sebab hal itu menafikan
shalat secara total. Namun sekiranya hadits yang menetapkan bahwa
tertawa terbahak-bahak dapat membatalkan wudhu memang shahihm,
sestrngguhnya yang diperintahkan hanyalah berwudhu -<ttallahu a' lam-
disebabkan ia telah melakukan dosa, bukan karena ia telah berhadats.
Perkataan Al-Bukhari, "A[-Hasanberkata, "]ika ia memotong ram-
but dan kukunya atau menanggalkan sepatu khuf-tya maka ia tidak
perlu mengulangi wudhunya. "
Ini merupakan pendapat pengikut madzhab Abu Hanifah. Silahkan melihat ztl-
Bahr Ar-Ra'iq(l/ 77,42),Haasyiyahlbni'AbillinQ/ Sttl,Al-Mabsuuth(l/ 124,772)
dan Bada'i' Ash-Shana' i' (l / 32\
Silahkan melihat Al-Mughni (l/ 2fl9), Majmu' Al-Fatawa (xx/ 367,526' 52n Vfi/
222), Kasysyaf Al-Qanna' (l/ 732) dan Syarh Al-'Umdah (323)
syaikh Al-utsaimin mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abi syaibah (l/ 154) dan Ad-Daruquthni (l/ 1.46) dari Abu Al-'Aliyah. Ia
menceritakiry "Suatu ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallaa mengimami sha-
lat para shahabat. Tidak berapa lama kemudian muncul seorang lelaki yang ter-
g*gg" penglihatannya, Ialu ia te{atuh ke dalam sumur di dekat masjid yang
^""y:OiUt""
beberapa orang shahabat tertawa. Usai mengimami mereka shalat,
Nabi memerintahkan siapa saja yang tertawa untuk mengulangi wudhu dan
shalat."
Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-lrwa' (ll/ )'16), "Hadits inimursal, diriwayat-
kin oleh beberapa orang periwayat dari Abu Al-'Aliyah dari seorang
lelaki kaum Anshar. Namun-hadits ini syadz atau munkar karena menyelisihi
para periwayat yang tsiqah yang meriwayatkannya-secara rr-rursal, sebab tidak
iiseUuttan secaia tegas bahwa lelaki dari kaum Anshar tersebut merupakan se-
orang shahabi.
715
759
760
7t6 €r'm;rut&
Apabila kamu memperhatikan perkataan serta fatwa-fatwa Al-
Hasan niscaya kamu mengetahui bahwa beliau benar-benar seorang
yang faqih. Dalam ha1 ini beliau berkata, "lika ia memotong rambut
dan kukunya, maka wudhunya tidak batal."
Sebagai contoh: Ada seorang muslim mencukur kumisnya atau
memangkas rambut kepalanya setelah berwudhu, maka wudhunya
tidak batal.
Perkataan Al-Hasan ini merupakan isyarat kepada pendapat lain
yang menyelisihi pendapatnya yang mengatakan, "Apabila ia memo-
tong kuktrnya, mencukur'kumisnya, atau memangkas rambutnya, ma-
ka wudhunya batal. Sebab bagian dari tubuh yang disucikan telah ter-
pisah danhilang."
Akan tetapi pendapat ini tidak kuat, tidak ada yang menyatakan-
nya kecuali hanya beberapa orartg.76l Yang benar adalah wudhunya
tetap ada.
Perkataan Al-Hasan, "Atau menanggalkan kedua sepatunya." Pe-.
kataan ini menunjukkan pemahamannya yang mendalam. Ia menga-
takan, "likaia menanggalkan kedua sepatunya maka wudhunya tetap
ada." Sebab menanggalkan kedua sepatu seperti mengusap kepala,
karena keduanya sama-sama diusap. Rambut kepala yang diusap dan
dipangkas setelah berwudhu, maka wudhunya tidak batal. Demikian
juga dengan sepatu, ia mengusapnya serta menanggalkannya setelah
berwudhu, maka wudhunya tidak batal.
Ini merupakan analogi yang baik, dan tidak bisa dibatalkan dengan
alasan yang mengatakan bahwa mengusap kepala merupakan hukum
asal, sedangkan mengusap sepatu merupakan gantinya.
Pemyataan itu dapat dijawab: 'illat (sebab) batalnya wudhu seba-
gaimana yang kamu katakan adalah salah satu anggota atau bagian
tubuh yang telah disucikan telah hilang.
Maka kami katakan: Begitu juga dengan rambut, ketika ia mengu-
sapnya kemudian menghilangkannya, maka sesungguhnya ia telah
menghilangkan sesuatu yang telah disucikan. Konsekuensinya, bisa
Silahkan melihat Al-lrwa' (lI/ L7+ 117) karena ini penting! Sebab di dalamnya
dipaparkan dengan sangat baik tentang pen-dha'if-an hadits di atas.
761 Dalam Al-Fath (l/ 282) Al-Hafizh menyebutkan, "Lllama yang menyelisihi pen-
dapat beliau adalah Mujahid, Al-Hakam bin 'I-ltaibah serta Hammad. Mereka
mengatakary "Barangsiapa memotong kukunya serta mencukur kumisnya, maka
ia harus memperbarui wudhunya." Ibnu Al-Mundzir telah menukil adanya ijma'
ulama yang menyelisihi pendapat ini."
€.nni'fnr& 717
jadi kamu belpendapat bahwa wudhu menjadi batal ketika rambut
dicukur, d.an bisa jadi kamu berpendapat bahwa wudhu tidak batal
ketika menanggalkan dua sePatu.
Kemudian kita memiliki kaidah yang sebelumnya telah kita se-
butkan, yaitu perkara yang telah ditetapkan dengan dalil syar'i tidak
bisa dibatalkan kecuali dengan dalil syar'i pula. Di bagian manakah
dalam Al-Qur'an maupun sunnah yang menyebutkan bahwa menanS-
galkan kedua sepatu membatalkan wudhu? Sementara ketika Rasu-
tullah shallallahu Alaihi wa sallam masih hidup, banyak oranS yang
menanggalkan sepatu mereka dan bukan perkara yang jarang terjadi.
Sekiranya wudhu menjadi batal karena menanggalkan kedua sePatu,
tentu perkara tersebut telah dinukil kepada kita.
perkataan At-Bukhari, "Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata,
"Tidak ada wudhu kecuali karena berhadats." Hadats menurut Abu
Hurairah adalahfusa' dan dhurathTa yakni aPa yang keluar dari salah
sa-tu daru dua jalan.
Berdasarkan keterangan ini maka kedelapan, atau kesepuluh atau
jumlah yang lebih dari itu yang (dianggap) sebagai perkara yang mem-
batalkan wudhu, tidak membatalkan wudhu sama sekali.
Al-Bukhari menyebutkan, "Disebutkan dari ]abir bahwa Nabi
Shallatlahu Alaihi wa Sallam sedang dalam PePerangan Dzatu Ar-Ri-
qa,. Tiba-tiba seorang shahabat tertusuk anak panah sehingga darah
menggcur dari tubuhnya.Tc Lalu ia ruku'dan sujud serta melanjutkan
shalatnya." Kisah ini disebutkan secara terperinci oleh Ibnu Ishaq.Ts
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu Alaihi wa
Sallam singgah pada sebuah lembah. Beliau berkata, "Siapakah yang
ingio menjaga kami malam ini? Atau siapakah yang akan mengintai
musuh?,' Maka bangkitlah seorang le1aki dari kaum Muhajirin dan
seorang lelaki dari kaum Anshar. Keduanya duduk di bukit dan berja-
ga-jagasecara bergantian. Bila yang satu tidur maka temannya beqaga-
jaga. Begitu juga sebaliknya. Hingga shahabat Muhajirin ini tidur,
maksudnya tiba gilirannya untuk tidur, sementara shahabat Anshar
sedang berdiri mengeriakan shalat dan mulai membaca surat Al-Kahfi'
Takhrij hadits telah disebutkan sebelumnya.
DalamAlFath (I/ 281) Al-Hafizhberkata, "Perkataan]abir, "Lalu darahmengucur
di tubuhnya.,, Ibnu Tharif berkata dalam Al-Af al, "Dikatakan nazafahu ail-damu wa
anzafahu, artinya darah banyak mengalir dari tubuhnya hingga membuat kondi-
sinya melemah."
Silahkan melihat As-Sirah An-Nabawiyah karya Ibnu Ishaq (IIl 54,55)
762
763
718 €ilffiirut't&
Tiba-tiba tubuhnya tertusuk anak panah. Ia langsung mencabutnya
dan melanjutkan shalatnya. Sudah bisa diketahui bahwa ketika ia men-
cabut anak panah tersebut, darah pasti mengucur dari tubuhnya.
Tidak lama setelah itu sebuah anak panah menancap di tubuhnya
lagi. Ia langsung mencabutrya dan melanjutkan shalatnya.
Beberapa waktu kemudian sebuah anak panah kembali menan-
cap di tubuhnya. Namun ia langsung mencabubrya dan melanjutkan
shalatnya hingga selesai.
Usai melaksanakan shala! ia membangr.rnkan shahabat Muhajirin
tadi. Tatkala dilihatnya adalah darah, ia berkata, "Mengapa kamu tidak
membangunkan aku?" Ia menjawab, "Aku sedang membaca sebuah
ayat maka aku ingin menyempurnakannya."
Jika demikian, apabila darah mengalir keluar dari tubuh maka ti-
dak membatalkan wudhu. Sebab tiga anak panah yang menancap di
tubuh pasti mengakibatkan darah yang keluar sangat banyak.76
Dengan demikian, wudhu tidaklah batal karena sesuatu yang ke-
luar dari selain kedua jalan tersebut, baik itu darah maupun yang lain-
nya meskipun dalam kadar yang banyak. Inilah pendapat yang kuat.
Berdasarkan hal ini, maka wudhu juga tidak batal karena muntah
dan karena keluarnya darah dari selain kedua jalan itu, baik sedikit
maupun banyak. Sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa wu-
dhu batal disebabkan oleh perkara-perkara tersebut.
Masih ada satu persoalan lagi yang terkandung dalam hadits itu.
Persoalan ini berlandaskan kepada sebuah pendapat yang mengata-
kan bahwa darah manusia adalah najis. Masalahnya adalah bagaima-
na mungkin shahabat tadi terus mengerjakan shalabrya sementara da-
rah mengalir dari tubuhnya dan pasti mengotorinya?
]awabnya: Sesungguhnya sebagian ulamaT6 menjadikan riwayat
itu maupun riwayat-riwayat lain yang senada dengannya sebagai dalil
bahwa darah manusia adalah suci, kecuali yang keluar dari qubul dan
dubur. Mereka juga mengambil dalil dari keumuman makna hadits,
Syaikh ditanya, "Bukankah ini merupakan perbuatan seorang shahabat? Semen-
tara perbuatan shahabat tidak bisa dijadikan hujjah?"
Beliau menjawab, "Apa saja yang dikerjakan pada masa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam merupakan hujjatr, baik hal itu diketahui beliau atau tidak. Sebab
kalau pun Rasulullah tidak mengetahui, tetapi Allah pasti mengetahuinya.
Silahkan melihat Tafsir AlQurthubi (ll/ 22L), Al-Maimu' (ll/ 51L), Al-Muhalla (l/
102), Al-Kafi (I/ ttOl danAl-Furu'0/ 353)
€n.mfrr& 719
,..*3-'l 4::t
" Orang mulonin tidak najis." tst
Ulama yang belpendapat bahwa darah manusia adalah najis me-
nanggapi hadits ini dengan pendapat yang ganjrl, mereka mengata-
kan, "Boleh jadi darah (manusia) benar-benar memancar lalu muncul
ke permukaan hingga melewati tubuhnya dan pakaiannya. Seperti air
seni keluar dari kemaluan laki-laki lalu terdorong jauh, tidak mengo-
tori pakaian dan badan.
Subhanallah! Sebagian ulama jika telah meyakini sesuatu, maka
mereka menakwilkan nash-nash dengan penakwilan yang dipaksa-
kan sehingga menyelisihi zhahirnya.
Sebagian mereka berkata, "Boleh jadi darahnya sedikit, dan yang
lebih banyak jatuh ke tanah serta tidak menetes di atas pahanya, be-
tisnya maupun pakaiannya." Pendapat ini lemah, namun lebih lemah
dari pendapat yang sebelumnya.
Seandainya telah ditetapkan bahwa darah adalah najis, maka da.
Iam masalah ini ada jawaban yang lebih baik daripada kedua jawa-
ban sebelumnya. Yakni darah itu tetap melekat di pakaiannya dan ba-
dannya karena darurat, sebab ia tidak memiliki air untuk membersih-
kan darah tersebut dan tidak memiliki pakaian lain sebagai gantinya.
Namun sampai sekarang ini kita belum menemukan nash yang jelas
menunjukkan bahwa darah manusia adalah najis. Yang ada hanyalah
perintahNabishallallahu Alaihiwa Sallam kepada para wanita yang haid
untuk mencuci (membersihkan) darah haid mereka dan memerintahkan
mereka untuk melaksanakan shalat dengan pakaian mereka yang telah
terkena darah haidTs. Beliau bersabda,
fl'*#t
" Cucilah dnr ah ter sebut darimu ! " 7 6e
Mereka (ulama yang belpendapat bahwa darah manusia adalah
najis -penj.) mengatakan, "Huruf alif lam pada kata ad-darn di sini
memberikan pengertian haqiqah bukan'ahd.Jtka kedua huruf tersebut
memberikan pengertian haqiqah maka maknanya ialah, "Cucilah darah
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (285) dan Muslim (l/ 282\ (371)
Driwayatkan oleh Al-Bukhari (307) dan Muslim (291) (110)
Driwayatkan oleh Al-Bukhari (306) dan Muslim (333) (62)
767
768
769
€mmmr&
tersebut, karena ia adalah darah!" Dengan demikian, hal ini menjadi
dalil bahwa darah (manusia) adalah najis.
Namun pendapat ini terlalu jauh, sebab Rasulullah hanya mem-
bicarakan masalah darah haid. Berdasarkan hal ini maka pengertian
dari huruf alif dan lam pada kata ad-dam adalah al:ahd adz-dzihni atau
adz-dzilcrijika telah disebutkan sebelumnya. Pendapat inilah yang Pa-
ling benar. Artinya, huruf alif danlam pada kata tersebut bukan un-
tuk menjelaskan hakikat dan tidak pula bermakna umurh, tetaPi un-
tuk menjelaskan (enis) darah yang.ditanyakan.
Kami katakan: Kaidah syar'iyyah menyebutkan bahwa aPa yang
dipisahkan (dilepas) dari orang yang masih hidup, maka dia seperti
tceidaannya ketika sudah mati. Darah yang terpisah dari jasad manu-
sia, maka keadaannya seperti jenazah manusia. Adapun jenazah ma-
nusia adalah suci.
Ada yang bertanya, "Bagaimana pendapat Anda jika tangan ma-
nusia yang masih memiliki darah dipotong, apakah tangafftya terse-
but suci atau najis?"
]awabnya:,Tangan itu suci. Bagaimana mungkin ketika satu ang-
gota tubuh itu utuh hukumnya suci sedangkan darah yang bukan se-
bagai anggota tubuh yang dibutuhkan oleh badan hukumnya najis.
oleh sebab itu, kami berpendapat, beberapa dalil di atas menunjuk-
kan bahwa darah manusia adalah suci. Kalau pun tidak ada yang di-
buktikan oleh dalil-dalil tersebut kecuali hanya bara'ah ashliyah, maka
ini saja sudah cukup membuktikan. Bara'ah ashliyah artinya bahwa hu-
kum dasarnya adalah bukan najis sampai ada sebuah dalil yang me-
nunjukkan kenaj isannya.
Berdasarkan keterangan ini maka perbuatan shahabat (yang dise-
butkan dalam riwayat di atas -penj) didasarkan kepada hukum asal
yaitu bahwa hukum darah adatah suci maksudnya darah manusia.
Perkataan Al-Bukhari, "Al-Hasan berkata, "Kaum muslimin tetap
melaksanakan shalat dengan luka-luka yang ada di tubuh mereka." Ini
lebih jelas dari (perkataannya) yang pertama. Luka-luka kaum mus-
limin saat itu disebabkan oleh serangan anak Panah dan tombak, bu-
kan seperti luka karena mata jarum yang hanya mengeluarkan darah
yang sedikit. Luka-luka yang diakibatkan oleh seran8an anak panah
dan tombak mengeluarkan darah yang amat banyak. Meskipun dalam
kondisi demikian mereka tetap melaksanakan shalat.
€,nmfnr& 721
Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu ke-
tika terluka tetap terus melaksanakan shalat, padahal lukanya mengu-
curkan darah.770 Namun, beliau tidak bersettl, "Bawakan kepadaku
pakaian yangbaru sebagai gmrttl"
Perkataan Al-Bukhari, "Thawus, Muhammad bin'Ali, 'Atha' dan
Ahlul Hljaz berkata, "Tidak ada wudhu karena darah." Pendapat
mereka inilah yang benar. (Keluarnya) Darah tidak mengharuskan se-
seorang untuk memperbarui wudhunya, kecuali apa yang keluar dari
kedua jalan. Maka apa yang keluar dari keduanya seperti darah, maka
ia membatalkan wudhu, baik darah yang keluar normal seperti darah
haid maupun yang tidak normal seperti darah penyakit al-basurnr dan
lain-lain.
Perkataan Al-Bukhari, "Ibnu Umar pernah memijit bisul, lalu dari
bisul itu keluar darah." Dan beliau tidak memperbaharui wudhunya
meskipun darah keluar. Namun pihak yang mengatakan bahwa jika
darah yang keluar banyak dapat membatalkan shalat dan jika yang
keluar sedikit tidak membatalkan shala(n, maka atsar tentang perbua-
tan Ibnu Umar di atas tidak bisa menjadi hujjah atas mereka. Sebab
darah yang keluar dari bisul biasanya sedikit.
Perkataan Al-Bukhari, "Ibnu Abi Aufa pemah meludahkan da-
rah, namun ia terus melanjutkan shalatnya." Hal ini seperti atsar [bnu.
Umar.
Perkataan beliau, "Ibnu Umar dan Al-Hasan berkata tentang orang
yang berbekam, "Tidak ada yang harus dilakukarmya selain mencuci
(membersihkan) tempat bekas bekamnya." Maksudnya ia tidak harus
berwudhu. Tetapi mengapa harus membersihkan tempat bekas be-
kaman?
]awabnya: Tujuannya untuk menghilangkan darah. Akan tetapi hal
ini menimbulkan konsekuensi bahwa darah (manusia) adalah najis.
Sebab Rasulullah Shallallahu Akihiwa Sallam mencuci mani yangbasah
dan mengerik mani yang kering773 padahal hukum mani adalah suci.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3700)
Kata al-basur seperti an-nasur merupakan bahasa 'ajam (non Arab), penyakit yang
sudah dikenal. Bentuk jamaknya adalah al-bawasir. Al-|auhari berkata, "Ia adalah
penyakit yang menyerang pankreas dan juga hidung bagian dalam -kita berdoa
kepada Allah keselamatan dari penyakit ini danberbagai penyakit lainnya-. Dalam
hadits 'Imran bin Hushain disebutkan tentang orang yang shalat dengan cara
duduk, orang tersebut mengalami sakit bawasir. Penyakit tersebut sudah dikenal.
Silahkan melihat Lisan Al:Arab (huruf ba sin ra)
Silahkan melihat AlMughni (l / 248) dan Mausu' ah Fiqh Al-lmam Ahmad 0I/ 13)
Diriwayatkan oleh (229, 232) dan Muslim (288, 289) (1 05, 1 08)
n0
nl
n2
n3
722 €ilffi,iHt't&
Maka demikian pula halnya dengan mencuci lokasi bekas beka-
an, dicuci karena bentuk bekas bekaman yang dianggap jijik. Sekira-
nya ada orang yang kepalanya dibekam -misalnya- datang mene-mui
banyak orang dalam keadaan darah membeku di atas kepalanya, nis:
caya penampilannya menjadi terlihat jorok. OIeh sebab itu, ia harus
mencucinya (membersihkannya).
V G'* t', C !;,t c* ,,lv qu\ C :;.itl th;.'t v1
,*) *'*t ;* olt iG :Jv ;;f I r ,&4t
p v iiJat 'Ei f "'.'lr €.'os Y f* e gt ,lti i
L'#t :iu $';i $ Uodt v :fu;Ll y: i* .Lr;J
.^LAt*
77G Adam bin Abi lyas telnh menceritalun lcepada knmi, ia berknta, "Ibnu
Abi Dzi'b telah menceritalan kepada kami dari Sa'id Al-Maqburi ilnri
Abu Hur air ah. la b erlata, " N abi Shallallnhu Alaihi w a S allam ber s ab da,
"seorang hamba terus berailn dnlam slnlnt selama ia berada di mnsjid,
menunggu shalat selama in belum berlwdats." Seorang lelaki 'Aiam
bertanya, "Apalah ludats itu, wahai Abu Hurairah?" la meniawab,
" Suara, yakni dlnrthah ftuang angin). " 774
[Hadits ].76- Tercantum juga pada hadits nomor: 445, 477, 647, 648,
659,2119,3229,47171
Syarah Hadits
sejumlah ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil diperboleh-
kannya seseorang untuk berada di dalam masjid saat berhadab karena
buang angin yang bersuara dan yang tidak bersuara. Hanya saja sikap
mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil masih perlu diteliti kemba-
li. Sedangkan jika hadits tersebut dijadikan dalil tidak bolehnya berha-
dats di dalam masjid denganbuang angin, maka mungkin memiliki si-
si pembenaran.
Hal yang dimaksud adalah Rasulullah shallallahu Alaihi wa sallam
menjadikan hukuman orang yang berhadats dengan dihalanginya ia
774 Diiwayatkan oleh Muslim (1 / 459) (eq Q74)
€"tifnr& 723
dari meraih pahala shalat. Adapun terhalang dari memperoleh pahala
adalah seperti mendapatkan suatu dosa. ]uga karena buang angin me-
nimbulkan bau yang tidak sedap yang dapat mengganggu para malai-
kat serta manusia apabila ia berada dalam jamaah shalat. Nabi Shallalla-
hu Alaihiwa Sallambersabda tentang orang yang makan bawang merah
atau bawang putih,
utw'A'At
" I anganlah seluli-lali ia mendekati masjid-masjid kaTi! "tzs
Bahkan apabila para shahabat mendapati seseorang makan ba-
wang merah atau bawang putih pada masa Rasulullah Shallnllahu
Alaihi wa Sallam, maka mereka mengeluarkannya dari masjid dan me-
ngasingkannya jauh-jauh ke Baqi', agar ia tidak mengganggu manusia
denganbaunya yang tidak sedap.776
Yang jelas, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk buang
angina, baik yang bersuara atau tidak di dalam masjid. Namun apabi-
la telah terlanjur dan ia langsung keluar maka tidak ada dosa baginya,
sebab ia tidak melakukannya dengan sengaja.
Adakalanya perut seseorang mengandung gas yang sangat kuat
sehingga ia tidak kuasa untuk menahannya keluar.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (853) dan Muslim (561-564) (68-75)
Diriwayatkan oleh Muslim (l/ 396) $6n (78)
Syail,*r Al-Utsaimin ditanya, "Kalaulah memang para shahabat dahulu menge-
luarkan orang yang memakan bawang putih atau bawang merah dari dalam
masjid, mengapa mereka tidak membiarkannya shalat meskipun tetap berdosa,
dan dosa ini lebih ringan dari dosa karena meninggalkan shalat berjama'ah?"
Beliau menjawab, "Sesunggutmya apabila ada seorang muslim tertinggal dari
masjid (tidak melaksanakan shalat berjam'ah -penj.) disebabkan telah meng-
konsumsi bawang merah atau bawang putih, maka ia tidak berdosa. Kecuali jika
ia memakannya dengan tujuan tidak ikut berjama'ah."
Beliau juga ditanya, "Apakah setiap orang yang memiliki bau yang tidak sedap
yang dapat menganggu orang bisa kita keluarkan dari dalam mesjid?" Beliau
RahimshuUah menjawab, "Ya, siapa saja yang memiliki bau yang tidak sedap yang
dapat mengganggu orang lain maka bisa kita keluarkan dari dalam masjid."
"Apakah alasan pengeluarannya itu adalah karena memakan bawang merah
dan bawang putih, atau karena bau yang ditimbulkannya." Beliau ditanya lagi.
Jawabnya, "Sebabnya adalah bau yang ditimbulkannya. Oleh sebab itu, jika ia
telah menghilangkan baunya maka tidak mengapa (berada di dalam masjid).
Lalufika ada yangberkata, "Sesungguhnya RasulullahShallallahu Alaihiwa Sallam
menyebutkan hal ini secara mutlak dan tidak menyebutkan bau tidak sedap
sebagai alasannya?" Maka dijawab, "BeliauShallallahu Alaihiwa Sallan menjelaskan
hal tersebut dengan sabdanya, "Karena sesungguhnya para malaikat merasa
terganggu dengan perkara yang dapat mengganggu manusia." Maka sekiranya
tidak menyebabkan bau yang tidak sedap, tentunya tidak ada gangguan.
775
775
724 €ilffi,iffi'ts
i,- 1V ,r is-*'Jt F'^# J'ow $'-6 J$ g.ir ir ti,; . t vv
;r.fiv 'i6 g3y'at;; ctr #,r e
at4'ricp'6,
777. Abu Al-Walid telah menceritaknn kepada kami, ia berkata, "Ibnu 'Uyai-
nah telah menceritaknn kepada kami dari Az-Zuhri dnri 'Abbad bin
Tamim dari pamannya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Belinu
bersabda, "langanlah in meninggallan tempat shalatnya sampai ia men-
dengar suara atau menciumbau!"777
Syarah Hadlts
Suara serta bau (yang dimaksud dalam hadits ini -penj.) adalah
yang keluar dari dua jalan (qubul dart dubur\.
Sekiranya ada yang mengatakan, "Rasulullah Slwllnllahu Alaihi wa
Sallam menyebutkan, "Janganlah ia meninggalkan tempat shalatnya
sampai ia mendengar suara atau mencium bau." Lantas bagaimana
halrrya iika ia buang air kecil?"
Kami katakan: Sebabnya (larangan meninggalkan tempat shalat
sampai mendengar suara atau mencium bau -Pmi.) adalah bahwa
seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya lalu ia mengalami
kesulitan untuk menentukan apakah ada yang keluar dari tubuhnya
atau tidak? Maksudnya ia mengalami kesulitan untuk menentukan
apakah yang keluar dari tubuhnya adalah suara atau bau. Inilah inti
dari hadits tersebut.
Kemudian kami katakan: taruhlah misaLrya seseorang yang shalat
sedang menderita sakit diare dan ia merasakan Sesuatu, kemudian ia
yakin bahwa telah keluar sesuatu akibat dari penyakitnya ini sehingga
ia mencium baunya^ maka hal ini termasuk dalam pengertian yang
terkandung dalam hadits di atas.
,/ * :f ,ur:;'!t ,f "r;6-c iu # A -^# ct ' t vl
iC1 -'E :"gi iv ,iG'^yAt i, # ,r ,&rit Jx-
777 Aiwayatkan oleh Muslim (361) (98)
€n'mffr& 725
-'r:v #, {:r-'at y-b lxr Jyt Jr:1 :ti .**u;t't;
.i*)t *.:iu; fii ,;ir ;.;r,j,)t
*'tt F^i;ir:::
178. Qutaibah bin sa'id telah menceritalun kepada kami, i.a berluta, "Jarir
telah menceritakan kepada kami dari Al-A',masy dari Mundzir Abi
Ya'la Ats-Tsauri dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah. Ia berkata, 'Ali
berlcnta, "Aku adalah orang yang sering mmgeluarlun madzi. Namun
alat malu menanyalan masalahku ini lcepada Rasulullah Shnllallahu
Alaihi wa sallam. Mala aku menyuruh Al-Miqdad bin Al-Aswad un-
tuk menanynkan hal ini lcepada beli"au. Beliau menjawab, "la harus
berttudhtl."778
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Syu'bah dari Al-A'masy.m
Syarah Hadits
Muhammad bin Al-Hanafiyyah merupakan putera dari 'Ali bin
Abi Thalib, hanya saja ibunya dahulu termasuk tawanan perang dari
Bani Hanifah sehingga namanya adalah Muhammad bin Al-Hana-
fiyyah. Ia. termasuk putera terbaik 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
Anhu setelah Hasan dan Husein. Dialah orangnya yang bertanya ke-
pada beliau, "Wahai ayahku, siapakah sebaik-baik manusia setelah
Rasulullah Shatlallahu Ataihi wa Sallam?" " Ablt Bakar." |awab 'AIi'
Muhammad bertanya lagi, "Kemudian siapa?" 'Ali menjawab, "Umat'"
Muhammad tidak menanyakan siapakah orang ketiga terbaik setelah
Rasulullah. Aku bertanya, "Kemudian ayah?" 'Ali menjawab, "Aku
tidak lain hanyalah salah seorang di antara kaum muslimin lainnya."Te
778 Driw'ayatkan oleh Muslim (303) (17)
79 Al-Bukhari menyebutkannya secara mu'allaq dengan shighat jazam xbagaimana
yang disebutkan datam aLrath (I/ 383). Dan diriwayatkan secara maushul oleh
Abu-Dawud Ath-Thayalisi dalam Al-Musnad (lo4), "syu'bah telah menyampaikan
kepada kami dari Al-A',mas, ia berkata, "Aku mendengar Mundzir Ats-Tsauri
minceritakan dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah dari 'AIi Rndhiyallahu Anhu ia
berkata, "Aku merasa malu untuk bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallamtentang madzi disebabkan posisi Fathimah (sebagai puteri beliau -Peni).
Maka aku menyiruh seorang shahabat menanyakan u-!1tgg1aa beliau' Beliau
bersabda, ,,Ia harus berwudhu." silahkan melihat Al-Fath (l/ 283) danTaghliq At-
Ta'liq (11/ L22)
780 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3671)
726 €rm;rur&
Madzi adalah sebuah cairan encer yang keluar tanpa dirasakan
oleh seseorang karena syahwat. Kondisi setiap orang tidak sama dengan
yang tainnya mengenai madzi ini. Ada yang tidak mengeluarkan madzi
sama sekali, ada yang sering mengeluarkan madzi dan ada yang tidak
sering mengeluarkan madzi.
Akan tetapi madzi keluar disebabkan oleh syahwat. Adapun orang
yang tertimpa penyakit yang dapat menyebabkannya mengeluarkan
sesuatu yang ketat seperti madzi namun bukan karena syahwat, maka
itu bukanlah madzi. Kendati banyak orang yang menanyakannya dan
seolah-olah seperti madzi, namun ia bukanlah madzi. Sebab madzi
adalah cairan yang keluar karena ransangan syahwat.
Adapun cairan yang keluar dengan terpancar disertai dengan ke-
nikmatan maka itu djsebut mani, ia adalah cairan yang kental dan tidak
mengalir, berbeda dengan madzi.
Hukum madzi berada di tengah-tengah antara hukum air kencing
dan hukum mani dari sisi dampak dan konsekuensinya. Mani me-
wajibkan mandi junub, sedangkan madzi hanya mengharuskan men-
cuci kemaluan (baik laki-laki mauPun wanita) serta berwudhu.
Adapun dari sisi menghilangkannya, maka mani tidak wajib di-
hilangkan. Sebab hukumnya adalah suci. Sedangkan madzi wajib di-
hilangkan hanya saja ia tidak seperti air kencing. Membersihkannya
cukup dengan an-nadh, yaitu menuangkan air ke atasnya yang menge-
nai semuanya tanpa mencuci dan mengeriknya. Sebab madzitermasuk
najis mukluffafah (ringan). 781
Akan tetapi madzi mewajibkan membasuh kemaluan (baik pria
maupun wanita)782, sementara air kencing tidak mewajibkan memba-
suh kemaluan, hanya harus membasuh bagian yang terkena air ken-
syaikh Al-utsaimin Rahimahullah ditanya, "Apakah cara membersihkan madzi
cukup dengan memercikkan air saja, baik yang terkena adalah badan atau
pakaian?"
Beliau menlawab, ,,Benar, cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air
saja, baik yang terkena adalah badan atau pakaian."
syaikh et-utsaimln Rahimahutlah ditanya, "Dapatkah kita katakan bahwa hikmah
dibasuhnya kemaluan adalah karena madzi adalah najis?"
Beliau menjawab, "Tidak kita tidak dapat mengatakan demikian. Sebab hikmah
dari membasuh kemaluan bukan semata-mata disebabkan statusnya yang najis'
Karena jika demikian alasannya, maka membasuh ujung kemaluan saja sudah
cukup, ianpa harus membasuh semuanya. Hanya saja para ulama mengatakan
bahwa di antara faidah membasuh kemaluan dari sisi medis ialah membasuhnya
dapat mengempiskan urat-urat sehingga ma&i menjadi kering dan boleh jadi
berhenti."
781
€*mr& 727
cing saja yaitu ujung kemaluan laki-laki. Adakalanya sampai mengenai
seluruh hasyafah (pucuk zakar) atau terkadang batang zakar. Namun
yang wajib adalah membasuh apa yang dikenai oleh air seni saja.
Penulis mencantumkan hadits ini untuk ia jadikan sebagi dalil
bahwa apa yang keluar dari salah satu jalan (qubul atau dubur) dapat
membatalkan wudhu berdasarkan sabda beliau, '{Ia harus berwudhu."
Hadits di atas memiliki sejumlah faedah. Di antaranya ialah pe-
rasaan malu. Sesungguhnya apabila perasaan malu termasuk perkara
yang tidak menghalangi seseorang dari kewajibannya untuk bertanya
maka perasaan malu tersebut tidaklah tercela. Namun apakah Perasa-
an malu yang melanda 'Ali dalam masalah ini menghalanginya untuk
bertanya?
fawabnya tidak, sebab ia menyuruh At-Miqdad bin Al-Aswad un-
tuk menanyakan masalahnya.
Faidah lainnya dari hadits ini, yaitu diperbolehkannya mewakil-
kan orang lain untuk meminta fatwa, hanya saja kamu harus waspada
jangan sampai mewakilkannya kepada orang yang tidak memahami
permasalahan dan jawabannya. Tujuannya adalah agar ia tidak keliru
dalam bertanya atau keliru dalam menyamPaikan jawaban. Oleh se-
bab itu, dalam perkara meminta fatwa, tidak boleh melimpahkan man-
dat untuk.bertanya kecuali kepada orang yang kamu percayai keilmu-
wannya, agamanya serta amanahnya.
Hadits di atas juga mengandung faidah wajibnya menerima khabar
(hadits) Ahad dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan agama.ru
Faidah ini diambil dari perbuatan 'Ali Radhiyallahu Anhu yang me-
nugaskan Al-Miqdad bin Al-Aswa4 dan tidaklah beliau menugaskan-
nya kecuali untuk menerima informasi yang disampaikannya. Selain
itu kaum muslimin telah sepakat tentang diperbolehkannya memba-
tasi hanya pada satu orang mufti saiaTu dan pemberian fatwa meruPa-
kan sebuah khabar.
syaikh Al-Albani telah menulis sebuah risalah yang berjudul Al-Hadits Hujiah
bi Nafsihi fi Al-'Aqa'id wa AI-Ahkam. Dalam risalah tersebut beliau Rahimahullah
paparkan kehujjahan khabar Ahad, baik dalam perkara-perkara akidah mauPun
segala perkara hukum praktis.
Silahkan melihat Al-Ahknm larya Al-Amadi (ly / 243) dan Kasysyaf Al-Qina' (Yl/
308)
728 €mr,iffi't&
'oi'* d,r A- #'ow sY * ;. l,;; $'G.tvq
G ov*; Ji 'it i';;i l,r; :;.'':::'i ;;i ,t-*- G. ;tb
,[r*j, iG 1y- P tv' r;y *r'r'ri ,-* *;it g: otit
U'ry,'a,n; SG .;5 ;,V) $-A. G'rt 6'w'fr
'^;Lr';i1iy It Jt Li:o {, *'at 1* }tt Jyt
qii:l.liiii' etf G:;i3
L79. s.a'ad bin Hafsh telah menceritak'an kepada lumi, synibah telah men-
cieritalan kepada kami dari Yahya dari Abu Salamah bahwa 'Atha' bin
Yasar mmgabarknn L,epadanya bahwa zaid bin Khalid mmgabarlun
kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada 'utsman Radhiyallahu
Anhu. Aht berluta, " Bagaimana pendnpat Anda tentang orang yang me-
lakukan jima' namun tidak mengeluarkan tnani?" 'Utsman meniawab,
"Dia hanya perlu berwudhu sebagaimana ia berwudhu untuk shalat
dan membasuh kemaluannya." 'Utsman berlata, "Aku mendengarnya
dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam." I-alu aku (Zaid bin
Ktalid) bertanya lcepada'Ali, Az-Zubnir, Thalhah, dan Ubay bin IQ'b
Radhiyallahu Anhum tentang masalah ini juga, Ternyata merelu me-
merintahlan untuk melalatlan lwl yang sAttw."785
U #t :; !^a:' 6';;i ,iu '#t *ii :Jv 3v;\si*. t A.
'it''v yr J.,1:3i &;fjt r*:" C r Crb J {:t;i
Jtlt '*ii Ui:i ;t;; ,,6Yt n F, ;y F)i gt y
|1;, Jt,i ,p :Jw tldA $A :$: IE nl ,k :;t
i*'jt,tta q3i a+i$y,p:*'ht rv yl
,Fr 3-d & l: y't ;t ;i iG'^xi'tl"G iC 5t kG
785 Diriwayatkan oleh Muslim Q4n $J6)
iylt'at^t Y
€.^U'ifu&
780. lshaq telah menceritakan kqoda kami, ia berkata, "An-Nadhr
729
telah
me-ngabarlan kepada kami, ia berluta, "Syu'bah telah mengabarlan
t epado tami dnri Al-Halam, dari Dzalcrttan Abi Shalih dari Abu Sa'id
Al-Ktud-ri bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallnm mutgutus
seseorang untuk menemui salah seorang shahabat Anshar. Tidak buapa
lama orang ini pun muncul dalam keadaan kEalanya meneteslan air.
Metihat hal ini Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, "Boleh
jadi kami telah membuatmu terburu-buru." lA menjawab, "Bentr,"
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apabila engkau
dibuat tergesa-gesa atau tertahan malu yang harus englau lakulun
adalahberwudhu."Ts6
Wahab juga meriwayatlan ludits yang senada ilengan hal ini. la berla-
ta, " Syu'bah telah menceritalun kpada l<ami.'787 Abu 'Abdillah berknta,
" D alam r iw ay at Sy u' b ah, Ghun dar dan Y ahy a t id ak men g at alan, " IGmu
harus berwudhu.il7$g
Syarah Hadits
Riwayat ini juga mengandnng dalil yilng mendukung aPa yang
telah kita sebutkan di awal bahwa tidak ada yang membatalkan wudhu
kecuali apa yang keluar dari kedua jalan. Akan tetapi hadits yang di-
riwayatkag oleh Utsman Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alai-
hi wa Sallam tentang orang yang melakukan jima' namun tidak sampai
mengeluarkan mani, dan di dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa
Diriwayatkan oleh Muslim (345) (83)
Al-Bukhari menyebutkannya secara mu'allaq sebagaimana yang tercantum dalam
Al-Fath (l/ 28, \ dan diriwayatkan secara maushul oleh Abu Al-'Abbas As-Sarraj
dalamAl-Musnad-nyadari Ziyad bin Ayyrb. Silahkan melihatitga Al-Fath (l/ 284)
dan At-Taghliq (ll/ 122- 723)
Al-Bukhari menyebutkannya secara mu'allaq sebagaimana yang tercantum dalam
Al-Fath (l/ 284). Al-Hafizh Ralrimahullahberkata dalam Al-Fath (l/ 285), "Perkataan
Abu 'Abdillah (Al-Bukhari) liit '4 * ,g-t
":ri
p- fll maksudnya Ghundar -ia
adalah Muhammad bin |a'far- dan Yahya -ia adalah putera Sa'id Al-Qaththan-
meriwayatkan hadits ini dari Syu'bah dengan sanad dan matan ini, hanya saja
keduanya tidak mengatakary "Ia harus berwudhu." Adapun riwayat Yahya,
sebagaimana yang Al-Bukhari katakary maka ia diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hanbal dalam Al-Musnadbeliau dengan redaksi, "Kamu tidak wajib mandi, yang
wajib kamu lakukan adalah berwudhu." Dan seperti ini jugalah Muslim, Ibnu
Majah, Al-Isma'ili dan Abu Nu'aim meriwayatkannya dengan berbagai jalurnya'
Begitu pula yang disebutkan oleh shahabat-shahabat Syu'bah seperti Abu Dawud
Ath-Thayalisi. Sepertinya beberapa orang syaikh Al-Bukhari menceritakannya
kepadanya dari Yahya dan Ghundar secara bersamaan. L^alu Al-Bukhari men-
cantumkannya dengan redaksi Yahya.
786
787
730 €rutlimT&
ia mengatakan harus membersihkan kemaluannya dan berwudhu
sebagaimana ia berwudhu untuk shalat. 'Utsman juga mengatakan
bahwa ia mendengamya dari Rasulullah Shallallnhu Alaihi wa Sallam.
Perkataan inimarfu', bukan merupakan pendapat'IJtsman. Namun hu-
kum yang terkandung dalam hadits ini mansukh dengan sabda Nabi
Shalkllahu Alaihi wa Sallam,
..piir .; ) ;- t;|t6 i,'U'rYi q G; # ttt
"Apabila (salah seorang di antara kalian) duduk di antara empat anggota tu-
buh wanita lalu menyetubuhinya, makn telah wajib mandi."7'e
Dalam riwayat Muslim disebutkan, ii- p 111 "Walaupun ia tidak
mengeluarkan mani." Dengan demikian, hukum yang terkandung da-
lam hadits sebelumnya telah mansuldt.
Hadits di atas juga mengandung dalil wajibnya membersihkan
kemaluan (laki-laki) karena telah melakukan jima', berdasarkan perka-
taannya, "Beliau berwudhu dan membersihkan kemaluannya." Hal ini
menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu air mani
wanita suci atau najis?
Yang belpendapat najis, berarti ia mewajibkan orang yang telah
melakukan jima' untuk membasuh (membersihkan) kemaluannya mes-
kipun tidak mengeluarkan mani.
Sedangkan yang berpendapat suci, maka ia tidak mewajibkan
membasuh (membersihkan) kemaluannya, sebab kemaluannya telah
bertemu dengan sesuafu yang suci.7eo
Driwayatkan oleh Al-Bukhari (291) dan Muslim (348) (87)
Silahkan melihat Asy-Syarh Al-Kabir (l/ I53), Al-Furu' (l/ 248) dan Al-lnshaf (l/
ut)
Syaikh Al-Utsaimin ditanya, "Apakah faidah dari perselisihan pendapat para
ulama tentang kesucian cairan lembab yang keluar dari kemaluan wanita jika
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memerintahkan seorang lelaki untuk man-
di karena telah menyetubuhi wanita?"
Beliau menjawab, "Faidah perbedaan pendapat para ulama (dalam masalah ini)
ialah sekiranya seorang suami menyetubuhi isterinya lalu mengeluarkan kema-
luannya tanpa mengeluarkan mani, maka apabila kita katakan bahwa cairan
yang keluar dari kemaluan isteri adalah najis, maka sang suami harus memba-
suh kemaluannya dan ia harus membasuh badan atau pakaian yang dikotorinya.
Sekiranya kita katakan bahwa cairan tersebut suci, tentunya sang suami tidak
harus membasuh kemaluannya, kecuali membasuh dari hadats, dan tentunya
tidak membuat pakaian maupun badannya bernajis. Maka perbedaan di antara
kedua pendapat ini jelas sekali.
789
790
€.nffSnrS
Hadits kedua -yaitu hadits Abu Sa'id- mengandung faedah per-
mintaan maaf dari orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Ber-
dasarkan perkataan Nabi, "Boleh jadi kami telah membuatmu terburu-
buru."
Faidah lainnya adalah ketegasan para shahabat Radhiyallahu An-
hum, karena shahabat ini mengatakan, "Ya, benar." Ia tidak mengata-
kan, "Tidak. Bukan masalah besar. Anda semua tidak membuatku
terburu-buru." IJcapan 'tidak' inilah yang kita lakukan pada masa se-
karang ini. Kita tidak memiliki ketegasan seperti ketegasan shahabat
ini. Akibabrya jika ada orang yang mengetuk pintu rumahmu, lalu
kamu keluar dalam keadaan masih mengunyah kurma atau daging,
kemudian ia berkata kepadamu, "Mungkin kami mengganggu waktu
makanmu." Maka kamu menjawab, "Ah tidak, selamanya kamu tidak
mengganggu." Dan kamu bangkit sementara makanan ada di dalam
mulutmu.
Yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah berkata
tegas dengan mengatak aurr, "Bertar,kamu mengganggu waktu makanku.
Tetapi tidak masalah."
Adapun dengan mengatakan, "Ah tidak, selamanya kamu tidak
mengganggu." Bagaimana ia bisa mengatakan hal seperti ini?
Intinya adalah para shahabat memiliki sikap yang tegas untuk me-
ngatakan sesuatu, baik yang mereka ucapkan itu menentang mereka
atau mendrk r.g mereka.
Kami pernah mendapat informasi tentang dua orang penduduk
negeri i.i ya g kembali dari menunaikan ibadah haii. Peristiwa ini
sudah lama terjadi. Dahulu perjalanan trntuk menunaikan ibadah haji
begitu melelahkan, sebab mereka berangkat dengan mengendarai unta.
Ketika mereka kembali, masyarakat pun memberikan ucapan selamat,
sebagaimana tradisi yang berlaku. Beberapa or:Ing di antara mereka
bertanya kepada salah satunya, "Apakah kalian merasa kesusahan?" Ia
menjawab, "Alhamdulillah, kami tidak merasa kesusahan. " Lalu teman
yang menyertainya menimpali, "Ya, demi Allah wahai Saudaraku! Kita
memang merasakan kesusahan. Namtrn pahalanya lebih besar."
Teman yang menyertai orang ini lebih tegas. Oleh sebab itu, hen-
daklah kamu katakan kejadian yang sebenarfiyL dan mintalah maaf
kepadanya jika perlu!
Perkataan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Apabila kamu dibuat
tergesa-gesa atau tertahan." Kata "d
^uksudnya
seseorang telah
73t
732 €mmmr&
membuatmu tergesa-gesa sehingga kamu menghentikan hubungan
intimmu sebelum mengeluarkan mani.
Sedangkan kata Lii maksudnya adalah tertahannya mani un-
tuk keluar, boleh jadi karena malas atau sebab lainnya. Kata tersebut
terambil dari ungkap arr,ii^:J 1i lr;.lt +*artinya air hujan tertahan
dari langit.
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Maka yang harus engkau
lakukan adalah berwudhu." Kami telah menyebutkan kepada kamu
bahwa hal ini berlaku sebelum dimansukh. Kemudian hal ini dimnnsukh,
dan seorang suami harus mandi wajib setelah ia menggauli isterinya,
baik mengeluarkan spenna atau tidak. Begitu juga halnya dengan
isterinya harus mandi wajib.
rT**
bo*Ak'j,*u
,JG qti'rtt
€ss&
Bab Orang yang Mewudhukan Temannya
791 Driwayatkan oleh Muslim (1280,266)
y A. e t::36 U qi,i';;i ,i6 f* :; 'rb! ;'"r. t
^
t
:ti ,,r-: i ^;ui * ,qV i.t JY i-'f 3;'atl i. ,;;
3r iyic-$" u Juis #, Y )t" ,k et iy'
O'gi t ui U;J,,;-: ilLui iv .^;.t; 6
.arvi j,*tr ,,St* 4A lnt Jy, $- Ui1
l;8l. Muhammad bin Salam telah menceritalan kepadaku, ia berkata, "Yazid
bin Harun telah mengabarlan k padn lumi dari Yahya dari Musa bin
, l) qb ah dnr i Kur aib, maula lbnu' Abbas, dar i us am ah bin Zaid b ahw a Rn -
sulullah Slaltallahu Akihi wa Sallam letil<n bertolak dari Arafah beliau
berjatan lce arah jalan perbukitan lalu menunailan haiatnya. usamah bin
Zaid menceritalun, "Itlu aht menuanglun air untukbeli"au, dan beliau
berwudhu. " Aku b ertany a, " Ap alah Anila hen dak menger i alan shalat ? "
Beliau menjawab, "Ternpat slnlatberada di depanmu."Tel
tc' t c
LSP- t--'*"
'r{ ,t'l; ,ju y J :* $7. t At
# i, .x* C e6 l,i et;tii rz g7i ,lo f G.
ii*t# L-a.a* ;24;11 iii'j e*;i i';;i
733
6/!. I
e.*, * t,t !'t );t e 3s';i'd
734
. -: ,*. '.,\-$ ill) ),u",-
€mmrur&
G : F tJA t') y ;t:)t U3. k ?4 i'i, ;t fe
oy;it & gt yir,*) i*,
L82. 'Amr bin 'Ali telah menceritaknn kEada kami, ia berlata, "'Abdul
Wahab telah menceritalcnn krpada knmi, "Aku mendengar Yahya bin
Sa'id berkata, "Sa'Ad bin lbrahim telah mengabarkan lcepadaht bahwa
Nafi' bin Jubair bin Muth'im telah mengabarlun lcepadanya bahwa ia
mendengar' Urwah bin Al-Mughirah bin Syu' bah menceritalun dari Al-
Mughirah bin Syu'bah. la menuturlun bahwa suatu ketilu in bersama
Rasulullah Shaltallahu Alaihi wa Sallam dalam sebuah perjalanan. Di
tengah perjalanan beliau pergi menepi untuk menunailun hajatnya.
Mughirah menuangkan air untuknya dan beliau pun berwudhu. Beliau
membasuh wajahny a, membasuh kedua tangannya, mengusap lczpalanya
serta mengusap kedua l*ruf-nya." zsz
Syarah Hadits
Penulis mencantumkan bab ini sebagai judul, namun ia lebih khu-
sus dari dalil, sebab judulrya yaitu bab orang yang mewudhukan
temarurya. Sementara dalibrya hanya menunjukkan penuangan air
untuk orang yang berwudhu. Ada semacam ketidakseliarasan antara
judul bab dengan dalil yang dikemukakannya. Sebab pengertian
yuwadhdhi'u shahibahu adalah menjalankan wudhu temannya. Yaitu
ia yang mengambilkan air dengan tangartnya lalu membasuh wajah
temannya, ia mengambil air dengan tangannya la1u membasuh kedua
tangan temannya, ia mengambil air dengan tangannya lalu mengusap
kepala temannya, ia mengambi air dengan kedua tangannya lalu
membasuh kedua kaki temannya. Sedangkan tarjamah beliau lebih
khusus dari dalil yang disebutkannya.
Namun, sepertinya Al-Bukhari hendak menganalogikaru atau
ada hadits lain yang menunjukkan makna tersebut hanya saja tidak
berdasarkan syarabrya.
Al-Hafizh berkata dalam Eath Al-Bari (l/ 285), "Perkataan AI-Bu-
khari, "Bab orang yang menjalankan wudhu temannya." Maksudnya
bagaimana hukumnya?
792 Diriwayatkan oleh Muslim (274) (75)
€*mfnrS 735
Perkataannya, "Ibnu Salam." Ia adalah Muhammad sebagaimana
yang disebutkan dalam riwayat Karimah. Sementara Yahya adalah
putera Sa'id Al-Anshari. Dalam sanad ini terdapat riwayat beberapa
tingkatan generasi. Sebab Yahya dan Musa bin'Uqbah merupakan dua
orang Tabi'in kecil dari penduduk Madinah, sedangkan Kuraib yang
merupakan maula Ibnu'Abbas termasuk Tabi'in pertengahan. Dengan
demikian dalam sanad ini disebutkan tiga orang Tabi'in sekaligus.
Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan sebagian dari
pembahasan hadits ini dalam bab menyempurnakan wudhu. Dan
sebagiannya lagi akan disebutkan dalam kitab haji. Menurut Ibnu
Munayyir pada beberapa judul, Al-Bukhari dalam masalah ini merasa
ragu. Ia menyebutkan Ibnu 'Abbas dari Usamah padahal ia bukan
berasal dari riwayat Ibnu 'Abbas, melainkan dari riwayat Kuraib maula
Ibnu'Abbas.
Perkataann ya ,*i d.engan mentasydidkan huruf ba' d.an maf ul bih-
nya dibuang, yaitu air.
I
Perkataannya U't"-') maksudnya 'dan beliau berwudhu. Penulis
menjadikan hadits ini sebagai dalil tentang (bolehnya) meminta ban-
tuan dalam berwudhu. Namun pihak yang menganggap bahwa ke-
makruhan meminta bantuan dalam berwudhu itu dikhususkan dengan
tidak adanya kesulitan atau keperluan secara umum. Mereka tidak bisa
menjadikan hadits Usamah di atas sebagai dalil. Karena Usamah saat
itu sedang dalam kondisi safar, demikian pula halnya dengan hadits
Al-Mughirah yang disebutkan.
Ibnu Al-Munayyir berkata, "Al-Bukhari menganalogikan orang
yang menjalankan wudhu orang lain dengan menuangkan air kepa-
danya, karena sama-sama mengandung pengertian memberikan ban-
tuan dalam berwudhu."
Aku (Al-Hafizh) berkat4 "Perbedaan di antara keduanya amat
jelas. Al-Bukhari tidak meiryebutkan secara jelas pembolehan atau
pelarangan perbuatan tersebut. Sebagaimana yang biasa dilakukannya
terhadap sejumlah masalah yang memiliki berbagai kemungkinan."
An-Nawawi berkata, "Meminta banfuan ada tiga macam: Meng-
hadirkan air, dan hal ini tidak dimakruhkan sama sekali."
Aku (Al-Hafizh) katakan, "Namun yang paling utama adalah se-
baliknya (tidak menghadirkan air)."
736 €mmrur&
An-Nawawi berkata, "Kedua, orang lain yang menjalankan Pem-
basuhan. tni makruh hukumnya, kecuali karena suatu kebuhrhan. Ke-
tiga, menuangkan. Dalam hal ini ada dua sisi (hukum). Pertama mak-
ruh dan kedua menyelisihi yang lebih utama'"
Penjelasan beliau ini masih perlu ditelaah kembali. Sebab iika telah
shahih bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukannya, maka
perbuatan beliau tersebut tidak menyelisihi yang lebih utama. Juga
bisa dibantah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kadangkala.me-
lakukannya untuk menjelaskan bahwa hal tersebut boleh dilakukan.
Tidak mungkin beliau melakukan perbuatan yang menyelisihi perkara
yang lebih utama. Lain halnya dengan orang selain beliau.
Al-Kirmani berkata, "Kalaulah memang yang lebih utama adalah
meninggalkannya, lantas bagaimana mungkin kemakruhannya menja-
di persoalan yang diperselisihkan?"
Juga bisa dijawab bahwa setiap (perkara) yang makruh dilakukan,
sudah pasti hal itu menyelisihi perkara yang lebih utama, bukan se-
baliknya. Sebab kata makruh dipergunakan untuk menunjukkan mak-
na keharaman. Berbeda haLrya dengan hukum lainnya."
Intinya, mengkiyaskan'wudhu yang dijalankan orang lain' kepa-
da 'menuangkan air wudhu untuk orang lain' adalah tidak jelas. Sebab
pengkiyasan gerakan-gerakan praktis hanya untuk orang lain bukan
untuk orang yang berwudhu.
Adapun mengenai menuangkan au, maka gerakan-gerakan dalam
ibadah (wudhu) ini dilakukan oleh orang yang berwudhu. Dengan
demikian, ada perbedaan di antara keduanya. oleh sebab itu jika di-
katakan bahwa makruh hukumnya menjalankan wudhu orang lain
kecuali karena Suatu keperluan, niscaya perkataan ini bisa diterima.
Dan menuangkan air wudhu untuk orang lain tidak makruh hukumnya.
Sebab perbuatan tersebut telah shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam. Adaptur mendekatkan air maka sudah jelas bahwa hukumnya
dalam masalah ini adalah tidak makruh. Namun tidak bisa dikatakan
bahwa tidak mendekatkan air merupakan perbuatan yang lebih uta-
ma, kecuali jika seseorang khawatir temannya yang telah mendekat-
kan air wudhu kepadanya itu akan mengungkit-ungkit perbuatannya.
Maka dalam hal ini bisa dikatakan bahwa yang lebih utama adalah ka-
mu menjalankan wudhu untuk dirimu sendiri dan melayani dirimu
sendiri.
€n.mfnu& 737
Ketika mengomentari hadits Al-Mughirah di atas, Ibnu Hajar
berkata dalam AI-Fath (l/ 286), "Tujuan beliau (Al-Bukhari) mencan-
tumkan hadits Al-Mughirah ini adalah menjadikannya sebagai dalil
(diperbolehkannya) meminta bantuan dalam berwudhu. Ibnu Baththal
berkata, "Perbuatan ini (menjalankan wudhu orang lain -penj.) ter-
masuk upaya pendekatan diri kepada Allah yang boleh dilakukan
oleh seorang muslim untuk orang lain. Namun tidak demikian haLrya
dengan shalat."
Pendapat ini tidak benar, karena ia tidak berwudhu dari saya,
tetapi menjalankan wudhu saya. Wudhu dan mandi itu untuk orang
yang ditolong bukan untuk yang menolong. Maka bagaimana mung-
kin dikatakan bahwa ia melakukannya untuk orang lain?
Oleh sebab itu, jika Ibnu Baththal mengatakan 'mengerjakannya
pada orang lain', maka itu lebih jelas. Karena or:rng ini berwudhu akan
tetapi pada orang lain, bukan pada dirinya sendiri.
Kemudian Ibnu Hajarberkata pada tempatyang sama, "Al-Bukhari
menjadikan hadits perbuatan menuangkan air shahabat untuk Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika berwudhu sebagai dalil bolehnya
seseorang menjalankan wudhu orang lain. Karena orang yang berwu-
dhu harus menciduk air untuk anggota-anggota wudhunya dan bo-
lehnya ia membantu menuangkan air wudhu kepada orang lain, se-
mentara menciduk air merupakan sebagian amalan wudhu, maka ten-
tunya diperbolehkan pula pada amalan-amalan. wudhu lainnya.
Namun Ibnu Al-Munayyir mengkritik pendapat ini dengan me-
ngatakanbahwa menciduk air terrrasuk sarana, tidak termasuk tujuan.
Apabila ia telah menciduk air baru kemudian bemiat untuk berwudhu
maka itu sah. Kalau menciduk merupakan amalan yang tersendiri,
sesungguhnya ia telah mendahului niafe3 dan ini tidak sah."
Kesimpulannya, membedakan antara menolong menuangkan air
dengan menolong menjalankan wudhu orang lain untuk membasuh
anggota bersuci, inilah perbedaan yang sebelumnya telah kami ke-
mukakan.
Kedua hadits di atas merupakan dalil bahwa hukum membantu
menuangkan air adalah tidak makruh, apalagi menghadirkan air.
Adapun menjalankan wudhu orang lain, maka di dalam kedua
hadits di atas tidak ada dalil yang memrnjukkannya. Memang benar,
793 Syaikh Ibnu Baz berkata dalam hasyiyah beliau terhadap Al-Fath, "Yang benar
adalah'niscaya ia telah mendahulukannya dengan niat'. Perhatikanlah baik-baikl
738 €ilffi,iffi't&
dianjurkan untuk tidak meminta bantuan sama sekali. Adapun hadits
yang diriwayatkan oleh Abu la'far Ath-Thabari dari Ibnu Umar yang
berkata "Aku tidak perduli siapa yang membantu bersuciku, rukukku
dan sujudku." Maka hadits ini dibawakan kepada pengertian memban-
tu menjalankan wudhu dengan menyiramkan, dengan dalil yang juga
diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan yang lainnya dari Mujahid bahwa
ia menuangkan air untuk Ibnu Umar saat ia membasuh kedua kakinya.
Dalam Al-Mustadrak, Al-Hakim meriwayatkan hadits Ar-Rubayyi'
binti Mu'awwidz bahwasanya ia berkata, "Aku datang menemui Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam sambil membawa air wudhu. Lalu beliau
berkata, "Tuangkanlah!" Maka aku pun menuangkannya untuk beliau.
Hadits ini merupakan dalil yang lebih tegas dari kedua hadits di atas
tentang ketidakmakruhannya. Sebab hal itu dilakukan ketika mukim
(tidak safar) dan disebutkan dengan shighat thalab, akan tetapi bukan
berdasarkan syarat penulis (A1-Bukhari). Wallahu 'Alam." Demikian
penjelasan Ibnu Hajar.
Intinya bahwa persoalarurya adalah -sebagaimana yang telah ka-
mu ketahui- hadits At-MughirahRadhiyallahu Anhu dan hadits Usamah
tidak mengandung dalil bahwa seseorang boleh menjalankan wudhu
orang lain. Yang diperbolehkan adalah menuangkan air saja.
Sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi, permasalah ini me-
miliki tiga tingkatan.
o Pertama, mendekatkan air.
. Kedua,menuangkannya.
. Ketiga, menjalankan wudhu.B
Namun bila ada yang bertanya, "lika ada seorang anak meminta
ayahnya agar ia yang membasuh kedua kaki ayahnya, apakah kita bisa
mengatakan bahwa dalam kondisi ini si ayah sebaiknya menyenanS-
kan hati anaknya dan mengizinkannya membasuh kedua kakinya,
sebab sebagian anak ada yang melakukan hal ini dan boleh jadi ada
yang mencium telapak kaki ayahnya yang paling bawah sebagaima-
na yang kita dengar dari sejumlah masyarakau maka apakah dalam
kondisi seperti ini bila si ayah menerima dan mengizinkan anaknya
untuk membasuh kedua kakinya, kemakruhan itu akan hila.g karena
telah menyenangkan hati anaknya?
794 silahkan melihat syarah shahih Muslimkarya Imam An-Nawawi (ll/ 173)
€.nmfrr& 739
jawab: zahtunya ya dan hal itu tidak salah. Adapun tanpa ada ke-
perluan dan kemaslahatan maka tidak seharusnya seseorang mengi-
zinkan orang lain menjalankan wudhunya.
Hadits Usamah juga mengandung dalil diperbolehkannya ber-
wudhu ringan, karena Usamah menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam berwudhu namun tidak menyempurnakakannya.
Hadits tersebut juga mengandung faidah tidak mengapa seseorang
berwudhu dengan wudhu yang tidak sempuna hingga waktu shalat
masuk kemudian berwudhu dengan wudhu yang sempuma. Karena
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika sampai di Muzdalifah ma-
ka beliau berwudhu dengan wudhu yang sempuma, berbeda dengan
ketika beliau berada di jalan.Ds
Kelihatannya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam senang bila dirinya
dalam keadaan berwudhu, hanya saja ketika berada di jalan beliau
tidak menyempurnakannya, sebab keadaannya menuntut untuk segera
melanjutkan perjalanan. Apakah orang yang sedang melaksanakan haji
disnnnahkan pergi ke asy-syi'b (alan perbukitan), buang air kecil, dan
berwudhu karena ingio menim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?
Pendapat yang benar tidak disuruutkan. Dahulu Ibnu Umar Radhi-
yallahu Anhu pernah melakukarutya. Ia menyelusuri tempat-tempat di
mana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pemah buang air kecil di
situ, lalu ia buang air kecil di tempat tersebut dan berwudhu. Namun
Syaikhul Islam Rahimahullah menerangkan, "Pada dasamya hat ini
tidak disepakati oleh para shahabat karena Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam melakukannya secara kebetulan, artinyaT% bertepatan dengan
keadaan beliau yang perlu membatalkan wudhu di tempat itu, atau
perlu membuang hajat. Saya kurang sependapat dengan ungkapan
'membatalkan wudhu. Sebab para ahli fikih mengatakan, "Yang le-
bih utama adalah mengatakan 'saya buang air kecil', bukan 'saya
membatalkan wudhu.Dz
Syaikh Al-Utsaimin ditanya, "Bagaimana menanggapi perkataan ulama bahwa
tidak disyariatkan memperbaharui wudhu kecuali jika telah dipisah antara dua
wudhu dengan shalat?"
Beliau menjawab, "Perkataan ini benar, harus memperbaharui wudhu sete-
lah melakukan satu shalat. Akan tetapi wudhu pertama yang dilakukan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam sepertinya beliau tidak bermaksud berwudhu un-
tuk mengerjakan shalat. Oleh sebab itu beliau berwudhu ringan dan tidak me-
nyempumakarurya."
Silahkan melihat Majmu' Al-Fatawa (X/ 409- 4L1)
Al-Furu' (I/ 87), Kasysyaf Al-Qina' (l/ 65) dan silahkan melihat syarah Bulughul
Maram Syaikh Al-Utsaimin.
796
797
€ge&
:*: 9nilt lr. otYrt 6LrrP e6.
!u,')t &.;: lt8;i' e 9;tlu,;"u. 1 ,'+ttl:f 3# J,6')
$r.t V:,:lW 3s :4,'41tj.l3;3w Ja: .:v3 f ,'b
,r
il;J )u
Bab Membaca Al-Qur'an Setelah Berhadats dan Selainnya
Manshur mengatakna darl lbrahlm, Tidak mengapa membaca
Al-Qur'an di dalam kamar mandl, dan tldak mengapa menulis
surat dalam keadaan tidak memlliki wudhu."
Hammad menyebutkan dari lbrahlm,'Apablla mereka
mengenakan kain sarung maka ucapkanlah salam, kalau tldak
maka fangan ucapkan salam!"
Perkataan penulis, "Bab Membaca Al-Qur'an setelah Berhadats dan
Selainnya." Maksudnya, boleh membaca Al-Qur'an setelah berhadats
atau dalam keadaan selain berhadats.Tes
Zhahir perkataan A1-Bukhari menunjukkan diperbolehkan orang
yang dalam keadaan junub untuk membaca Al-Qur'an, sebab hadats
mencakup hadats kecil dan besar. Hal ini berdasarkan bahwa hadits-
798 Al-Bukhari menyebutkannya secara mu'alla4 sebagaimana yang disebutkan da-
lam Al-Fath (l/ 286). Dan diriwayatkan secara maushul oleh'Abdurraz-zaqdalam
Al'Muslwnnaf U/ 34J.), "Ats-Tsauri telah memberitahukan kepada kami dari
Manshur, ia berkata, "Aku pernah bertanya kepada lbrahim, apakah seseorang
boleh menulis surat dalam keadaan tidak memiliki wudhu?" Ia menjawab, "Ya,
boleh."
Hadits ini juga diriwayatkan wara tuushul oleh Sa'id bin Manshur dalam
As-Sunan, "Abu 'Awanah telah memberitahukan kepada kami dari Manshur
dari Ibrahim ia berkata, "Tidak mengaPa membaca AlQut'an di dalam kamar
mandi."
Silahkan melihat juga Taghliq At-Ta'liq (ll/ 1?5) dan Al-Fath (l/ 28n
740
€*nffSnr& 741
hadits yang menyingguog masalah tersebut tidak menunjukkan Peng-
haraman, atau hadits-hadits tersebut tidak shahih.Te
Terjadi perbedaan sikap di kalangan para ulama dalam masalah
ini. Ada yang belpendapat bahwa semua hadits yang menunjukan Ia-
rangan membaca A1-Qur'an dalam keadaan junub adalah hadits dha'if.
Sebagian mereka berpendapat bahwa hadits-hadits itu tidak
mengandung pengharaman yang tegas terhadap orang junub yang
membaca Al-Qur'an, sebab hadits yang paling baik (layak dijadikan
hujjah -penj.) mengenai persoalan ini adalah hadits 'Ali yang
menyebutkan, "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membacakan Al-
Qur'an kepada kami selama kami tidak dalam keadaan junub.sm Dalam
salah satu redaksi disebutkan, "Selama beliau tidak dalam keadaan
junub."sor
Al-Bukhari menyebutkannya secara mu'allaq sebagaimana yang disebutkan da-
lam Al-Fath (l/ 286). Dan diriwayatkan secara maushul oleh Ats-Tsauri dalam A/-
lami' dari Hammad. Dan Hammad adalah putera Abi Sulaiman. Silahkan melihat
At-Taghliq (tr/ 725- 126)
Driwayatkan oleh At-Tirmidzi (L46) dan beliau mengatakan hadits ini hasan
shahih. Namun Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Sunan At-Tirmidzi
beliau melakukan ralat padalafazh;( . nenau menyebutkan bahwa lafazh ini
keliru, yang benar adalah j(
Driwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnadbeliau (l/ 83,l34) (627,1123), An-
Nasa'i (265) dan Ibnu Majah (105). Hadits ini memiliki cacat pada 'Abdullah bin
Salimah -huruf lam dibaca lctsrah- sebab ia telah berubah, dan ia meriwayatkan
hadits ini setelah memasuki usia tua.
Namun hadits ini telah dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Hakim. Dalam
kitabnya At-Talkhish (l/ 139) Al-Hafizh menyebutkan bahwa Ibnu As-Sakarl
'Abdul Haq dan Al-Baghawi telah menshahihkannya, sedangkan Syu'bah
menghasankannya.
Sementara itu dalam tahqiq Al-Musnad Syail,Cr Syu'aib berkata, "Secara makna
hadits'Abdullah bin Salimah ini memiliki mutaba'ah dari'AIi Radhiyallahu Anhu.
Ahmad (I/ 110) (872) dan Abu Ya'la (365) meriwayatkan dari jalur 'A'idz bin
Hubaib dari 'Amir bin As-Simth dari Abu Al-Gharif, ia berkata, "Suatu ketika
dibawakan air wudhu ke hadapan 'Ali, lalu ia berkumur-kumur..." Kemudian'Ali
berkata, "Beginilah aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian
beliau membacakan ayat dari Al-Qur'an. Selanjutnya beliau bersabda, "Bacaan ini
untuk orang yang tidak sedang dalam keadaan junub. Adapun orang yang se-
dang junub maka tidak boleh. Tidak satu ayat pun." Sanad hadits ini hasan. Ibnu
Ma'in dan Ibnu Hibban menganggap'A'i& bin Hubaib sebagai periwayat hadits
yang tsiqah. Ahmad juga menyebutkan demikian, ia memberikan pujian kepa-
danya dengan mengatakan, "Beliau merupakan seorang syaikh yang mulia lagi
berilmu, tidak mengapa kita mendengar darinya."
Sedangkan'Amir bin As-Simth dianggap sebagai periwayat yangtsiqah oleh Yah-
ya bin Sa'id Al-Qaththan dan An-Nasa'i. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam
kitab Afs-Tsiqat. Ibnu M'in Shalih berkata,"Abu Al-Gharif adalah 'Ubaidillah
bin Khalifah Al-Hamdani Al-Marawi. Sejumlah periwayat hadits meriwayatkan
800
801
742 €rm;mT&
Ini tidak menunjukkan bahwa hukum membaca Al-Qur'an dalam
keadaan jtmub adalah haram, kecuali dari sisi yang sangat jauh,
sehingga dapat dikatakan, "Mengajarkan Al-Qur'an hukumnya wajib,
dan perkara yang waiib tidak boleh ditinggalkan kecuali demi perkara
yang wajib lainnya." Apabila dinyatakan demikian maka tegaklah dalil
yang menunjukkan bahwa orang yang dalam keadaan junub tidak
diperbolehkan membaca Al-Qur' an.
Masalah ini menjadi perselisihan para ulamas@, berbeda halnya
denganhukum menyentuhmushaf Al-Qur'an (bagi orang yang junub -
peni.), sebab menyentuh mushaf Al-Qur'an memiliki hukum tersendiri.
Para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum menyentuh
mushaf Al-Qur'an dalam kondisi tidak suci.sB
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa mushaf Al-Qur'an
hanya boleh disentuh oleh orang yang suci berdasarkan hadits 'Amr
bin Hazm yang masyhur. Di dalamnya disebutkan,
'Tidak ada yang boleh menymtuh Al-Qur'an lcecuali orang yang suci."8u
darinya. Ibnu Hibban juga menyebutkan namanya dalam Ats-Tsiqat bahwa ia
termasuk petugas keamanan pada masa khalifah 'AliRadhiyallahu Anhu.
Hadits lainnya yang juga diriwayatkan berkaitan dengan pengharaman bacaan
Al-Qur'anbagi orang yang dalam keadaan junub adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu 'Ubaid Al-Qasim bin Salam dalam Fadha'il Al-Qur'an, "Abu Mu'awiyah
telah menyampdikan kepada kami dari Al-A'masy dari Sufyan bin Maslamah
dari 'lJbaidah As-Salmani dari Umar bahwa ia memakruhkan orang yang dalam
keadaan junub membaca satu ayat dari Al-Qur'an."
Ibnu Katsir berkata dalam Musnad Umar, "Sanad hadits ini shahih. Dan kata mak-
ruh di kalangan Salaf memiliki pengertian haram."
Silahkan melihat AI-Mubdi' (l/ \87), Manar As-Sabil (l/ M), Al-Kafi (I/ SA;, Kasysyrf
AlQina' (I/ 147), Al-Mughni (l/ 199,200), Al-Mausu'ah (IIl 108, 109), Al-Muhadz-dz-ab
(l/ 30), Al-Majmu' (ll/ 176) danHasyiyah lbni'Abidin (l/ 248)
Silahkan melihat Ahkam Al-Qur'an karya Al-Jashshash (IIII 476), Ahkam Al'Qur'an
karya Ibnu Al-'Arabi (lV / 1738), Ahkam Al-Qur'an karya Al-Qurthubi (XVII/ 225),
Al-Muhalla (l/ 83), Al-Majmu' (fi/ 6n, Majmu' Al-Fatawa (XXI/ 2f:6), I'lam Al-
Muwaqqi'in (l/ 2?5), Al-Mubdi' (l/ 20n serta Nail Al-Authar (l/ 20n
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (l/ 322) dan AI-Austh (l/ 5), Ad-
Daruquthni (l/ 122), Al-Hakim (l/ 395), Ad-Darimi (ll/ 161) secara ringkas dan
Ibnu Hibban (793/ Mawand) secara panjang lebar.
Syaikhul lslam Rahimahullahberkata dalan Majmu' Al-Fatawa (XVn/ 12), 'Tidak
diragukan lagi bahwa Nabi Slwllallahu Alaihi wa Sallam telah menuliskannya unt-
uknya."
Beliau Rahimahullah j:uga berkata dalam Majmu' Al-Fatawa (XXI/ 226), "Imam
Ahmad berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
telah menuliskannya untuknya. "
ytL rLoi'4t .?";-t ti
802
€n.UifuS 743
Meskipun hadits ini dha'if dari sisi sanad-nya, akan tetapi para ulama
menguatkannya disebabkan kemasyhurannya dan diamalkannya. Me-
reka berkata, "Sesungguhnya hadits mursaljika populer dan diamalkan
kaum muslimin, maka menunjukkanbahwa hadits tersebut shahih."
Namun para ulama yang menshahihkan hadits di atas memiliki
perbedaan pendapat dalam menafsirkan katathahir (suci).
Ada yang berpendapat maknanya 'kecuali orang mukmin'. Ber-
dasarkan s ab da N ab i S hall allahu Alaihi w a S allam,
Q; 'l: LV J*;.2- \
"Orang mulonin itu tidaklah najis, baik ketilrn masih hidup maupun setelah
meninggal dunia."86
Akan tetapi pengungkapan orang mukmin dengan kata thahir
(yang suci) tidak dikenal dan tidak familiar dalam Syara'. Yang dike-
nal adalah pengungkapan seorang mukmin dengan sifatnya, dan pe-
ngungkapan seorang yang bertakwa dengan sifatnya.
Dalam Al-Inoa' (l/ 1.60- 151) Syail,Jr Al-Albani Rahimahullah menyebutkan, "Ke-
simpulannya adalah semua jalur periwayatan hadits ini tidak lepas dari kelema-
han, hanya saja lemahnya ringan sebab dalam sanadnya tidak ada periwayat yang
muttaham bi ludzbin. Cacatnya hanyalah ke-mursal-arrrya atau buruknya hafalan.
Dan sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu Mushthalah Hadits bahwa masing-
masing jalur periwayatan (yang lemah) dapat menguatkan yang lainnya selama
tidak mengandung periwayat yang muttaham sebagaimana yang ditegaskan oleh
An-Nawawi dalam At-Taqib beliau serta As-Suyuthi dalam syarahnya. Berda-
sarkan hal ini maka hati ini menjadi tenang karena hadits ini shahih. Terlebih lagi
ia dijadikan hujjah oleh Imam As-Sunnah Ahmad bin Hanbal, sebagaimana juga
telah dishahihkan oleh shahabat beliau, yakni Imam Ishaq bin Rahawaih."
805 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari Rahimalrullah dengan shighat jazam sebagaimana
yang disebutkan dalam Al-Fath (l1l/ 125), dan diriwayatkan secara maushul oleh
Sa'id bin Maruhur dalam As-Sunan xbagaimana disebutkan dalam AI-Fath (lll/
127) sertaTaghliq At-Ta'liq (ll/ 460). Juga diriwayatkan secara maushul oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Muslunnaf (lll/ 26n dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu Anhu
secaratnauquf.
Al-Hafizhberkata dalamAl-Fath (llU 127) danTaghliq At-Ta'liq (ll/ 460), "Sanadnya
shahih daniamauquf."
Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni dalam As-Sunan beliau (IIl 70) dan Al-
Hakim dalam Al-Mustadrak (I/ 385) dari Ibnu 'Abbas secara marfu'. Ibnu Hajar
Rnhimahullah berkata dalam At-Taghliq (ll/ 461), "Adh-Dhiya' berkata dalam
Al-Ahkam, "Menurutku sanadnya berdasarkan syarat Ash-Shahih." Aku berkata,
' Adh-Dhiya' meriwayatkannya dalam A l-Mukhtarah melalui jalur Ad-Daruquthni
sebagaimana yang kami cantumkan. Dan yang langsung terlintas dalam benak
ini adalah bahwa hadits mauquf tersebut lebih shahih. Diriwayatkan juga oleh
'Amr bin Abi 'Amr dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas secara mauquf. Al-Baihaqi
meriwayatkannya dengan sanad yang shahih."
4Fl
744 €mmmT&
Kemudian, sesungguhnya kata ath-thuhr dalam Al-Qur'an Al-
Karim disebutkan dalam pengertian bersuci dari dua hadats. Setelah
menyebutkan wudhu dan mandi Allah Ta'ala berfirman,
*24" Ja:3-fiti L;t1
"Allah tidak hendak menyulitlun lamu, tetapi Dia hendak membersihkan
knmu." (QS. Al-Ma'idah: 5)
Dan di dalam sebuah hadits dari Nabi Shallallahu Akihiwa Sallam,
o rl o7 l'-, .
)-'P J!\l o)'?
'Allah tiilak alan menerima shatat tonpa brrsitri."'i Maksudnya, tanpa
wudhu.
Sebelumnya kami berpendapat bahwa untuk menyentuh mushaf
Al-Qur'an tidak wajib berwudhu. Namun setelah melakukan penela-
ahan, pendapat yang kuat adalah pendapat fumhur ulama, yaitu tidak
boleh menyentuh mushaf Al-Qur'an dalam keadaan tidak suci.
Muncul sebuah persoalan, sekiranya seorang muslim perlu mem-
baca AlQur'an dengan melihat mushaf, sementara keadaanya tidak
suci, maka apa yang harus dia lakukan?
Kami katakan: Ia harus meletakkan sebuah penghalang. Sebab ji-
ka ia mempergunakan pemisah tidak bisa dikatakan bahwa ia telah
menyentuh mushaf, disebabkan adanya penghalang antara dirinya
dengan mushaf tersebut.
Apakah hukum ini meliputi anak-anak yu g masih kecil, yang
sedang belajar di sekolah dasar?
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum ini meliputi mereka,
namun dikecualikan dalam menyentuh sisi lauh (batu tulis) yang tidak
mengandung tulisan. Maksudnya, Al-Qur'an ditulis pada sebuah lauh,
dan dibuatkan semacam pegangan berbentuk lingkaran di pinggir lauh
tersebut agar si anak bisa memegangnya sehingga tidak menyentuh Al-
Qur'an, tetapi menyentuh lauh itu saja.so
Sebagian ulama lainnya belpendapatbahwa anak-anak kecil boleh
menyentuh mushaf Al-Qur'an secara mutlak, sebab mereka masih be-
lum dibebankan dengan hukum taklif dalam ibadah.8ffi Dan pendapat
Takhrij hadits telah disebutkan sebelumnya.
Al-Furu'(l/ 157) dan Al-Inshaf (l/ 223)
Ibid.
'S$.li,ss;6:;
!ato
.lt J#i y
806
N7
808
€tnminr& 745
ini mengacu kepada prinsip (kaidah) bahwa aPa yang diwajibkan atas
orang yang sudah mukallaf tidak diwajibkan atas anak kecil. oleh
sebab itu, para ulama yang berpendapat demikian memperbolehkan
anak kecil menyentuh mushaf At-Qur'an. Mereka memperbolehkan
anak kecil jika telah memasuki saat berkurban -baik haji atau umrah-
untuk bertahallul tanpa mengerjakan aPa yang seharusnya dikerjakan
oleh orang dewasa.
Hal ini memberikan keluasan dan kemudahan kepada kaum mus-
limin. Sebab mewajibkan anak-anak yang masih kecil untuk bersuci
menimbulkan kesulitan, terlebih lagi pada musim dingin'
Hanya saja terkadang hati ini tidak merasa tenang dengan penda-
pat ini, manakala dilihat dari sisi tujuan bersuci adalah mengagunS-
kan Al-Qur'an. Sedangkan pengagungan Al-Qur'an merupakan per-
kara yang dituntut dari orang yang sudah baligh dan yang belum ba-
ligh. Berbeda haLrya dengan (kondisi) anak kecil yang melaksanakan
manasik dan ingin melakukan tahallul. sebab ia tidak melanggar ke-
haraman suafu Perkara tertentu.
Intinya, para ulama berbeda pendapat dalam perkara ini. Kami
berpendapat bahwa anak yang masih kecil boleh menyentuh lauh yarrg
mengandung tulisan Al-Qur'an. Hanya saja ia harus menyentuh ba-
gran yant tidak ada tulisan ayatnya.
Para pengikut pendapat Imam Asy-syafi'i berpendapat bahwa
anak kecil diperbolehkan menyentuh mushaf Al-Qur'an tanpa ber-
wudhu, karena mereka masih belum dibebani dengan berbagai hu-
kum taklif, dan pena diangkat dari mereka (tidak berdosa bila menyen-
tuhnya -peni).
Adapun membaca Al-Qur'anmaka tidak diragukan lagibahwa hal
itu diperbolehkan bagi orang yang berhadats dan yang lainnya.
Kemudian para ulama memiliki perbedaan pendapat yang lain
mengenai *.-b^.u Al-Qur'an. Yaitu apakah wanita yang sedang haid
diperbolehkan membaca Al-Qur'an?D
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita haid tidak diperbo-
lehkan membaca Al-Qurtan secara mutlak, sebab wanita yang haid le-
bih utama untuk dilarang daripada orang yang junub karena hadats-
etc9 tcasysyaf Al-Qina'(l/ Mn,Al-Mughni$/ !9,2cic/),Mausu'ahFiqhAl-htumAhmad-
rni io6, twl, trwinu; Ql/ g*.1, At-Mlbsttth (IIt/ 152), Maimu' Al-Fatatta (wl/
1160) dan AI-Ikh tiYarat lvl. 27
746 €rm;mTS
nya lebih berat. OIeh sebab itu, ia dilarang mengerjakan shalat dan
berpuasa.
I-Ilama yang lain berpendapat bahkan ia dipersilahkan untuk mem-
baca Al-Qur'an. Sebab dalil-dalil dari As-Sunnuh y*g menyebutkan
Iarangan wanita haid membaca Al-Qur'an adalah lemah,810 dan pada
asalnya diperbolehkan. Terlebih lagi pada masa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam banyak wanita yang mengalami haid. Sekiranya mere-
ka dahulu dilarang membaca Al-Qur'an, tentunya hal itu telah dinukil-
kan kepada kita.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa haid lebih berat dari
junub maka pendapat tersebut memang benar. Akan tetapi seseorang
bisa terlepas dari junub tersebut dengan cara mandi junub, sehingga
penghalangnya (untuk membaca Al-Qur'an) pun hil*g. Adapun
wanita yang haid maka ia tidak mungkin bisa terlepas darinya kecuali
dengan bersuci.
Seandainya dikatakan bahwa wanita yang sedang haid boleh
membaca Al-Qur'an dalam kondisi ia perlu membacanya, sedangkan
dalam kondisi ia tidak perlu membacanya mayoritas ulama tetap
mengharamkarrnya; maka tidak membacanya adalah lebih selamat.
Contoh kondisi ia perlu membacanya seperti menjadi seorang
murid yang diajarkan membaca Al-Qur'an, menjadi seorang pengajar
yang mengajarkan membaca Al-Qur'an, posisinya sebagai ibu yang
mengajarkan membaca Al-Qur'an kepada anak-anaknya di rumah,
atau membaca bacaan-bacaan rutin seperti Ayat Kursi serta Al-mu-
' awutidzatain dan sebagainya.
Intinya, wanita yang dalam kondisi haid diperbolehkan membaca
Al-Qur'an karena suatu keperluan atau maslahat. Adapun bila bukan
karena suatu keperluan atau maslahat, maka yang lebih selamat adalah
tidak membacanya.
Jika demikian kesimpulannya, berarti masalah ini memiliki pe-
rincian dan ini tidak dianggap menyelisihi ijma' ulama. Sebab di antara
mereka ada yang memperbolehkannya secara mutlak, dan ada pula
yang mengharamkannya secara mutlak. Kalau kita rinci, maka kita
810 Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (131) dan Ibnu Majah
(595) dari Ibnu Umar Rodhiyallahu Anhuma. Ia berkata, "Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallambersabda, "Wanita yang haid dan orang yang junub tidak boleh
membaca satu ayat pun dari AlQur'an."
Syaikhul Islam berkata dalam Majmu' Al-Fatawa (XXI/ 460), "Hadits iN dha'if
Qemah) menurut kesepakatan ulama hadits."
€*.mifiuS 747
tidak keluar dari ijma' mereka. Metode inilah yang terkadang ditem-
puh oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Kemudian beliau berkata,
"Ini merupakan sebagian pendapat ulama yang mewajibkannya secara
mutlak atau mengharamkannya secara mutlak."
Misalnya beliau menyebutkan, "sesungguhnya (hukum) shalat
Witir wajib atas orang yang melaksanakan Qiyamul Lail, namun tidak
wajib atas orang yang tidak melaksanakannya. Dan para ulama ber-
beda pendapat mengenai hukum shalat Witir. Sebagiannya mewa-
jibkannya secara mutlak, dan sebagiannya lagi tidak mewajibkannya
secara muttak. Syaikhul lslam berkata, "Shalat Witir diwajibkan atas
orang yang melaksanakan Qiyamul Lail, dan tidak diwajibkan atas
orang yang tidak melaksanakan Qiyamul Lail."
Setelah itu, beliau mengatakan, "Dart ini adalah sebagian pendapat
ulama yang mewajibkannya secara mutlak."su
Kami katakan: Bila ada seorang wanita yang sedang haid merasa
perlu untuk membaca Al-Qur'an atau membacanya memiliki suatu ke-
maslahatan, maka ia diperbolehkan membacanya. Namun jika tidak
ada keperluan atau tidak memiliki kemaslahatan, maka yang lebih se-
lamat baginya adalah tidak membacanya.
811 Silahkan melihat Majmu' AbFatawa (xxII/ 285) dan Allkhtiyaraf (hal. 96). Ada
dua pendapat mengenai hukum shalat Witir. Pertama hukumnya wajib secara
mutlik, dan kedua hukum mustahab secara mutlak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mmgambil pendapat keduanya. Beliau berpendapat bahwa shalat Witir diwajib-
kan atas sebagian orang dan tidak diwajibkan atas sebagian lainnya. Bagi yang
tidak diwajibkan hanya dianjurkan saja. Pendapat beliau ini tidak memberikan
konsekuensi bahwa salah satu dari kedua pendapat tersebut diangkat.
Dengan demikian jelaslah bahwa Syaikhul Islam berpendapat sekiranya ulama-
ulama sezaman memiliki dua pendapat berbeda dalam sebuah permasalaharl
maka ulama setelah mereka boleh mengemukakan pendapat yang ketiga dengan
syarat bahwa pendapat ketiga tersebut tidak mengharuskan diangkatnya kedua
pendapat ulama yang telah dikemukakan sebelumnya'
Pendapat ketiga mengenai persoalan di atas dinukil dari Imam Asy-Syafi'i yang
dipiliti oleh ulama mutaakhirin dari kalangan pengikut madzhab beliau dan
dikuatkan oleh sejumlah penganut madzhabnya. |uga dikuatkna oleh sejumlah
ulama Ushul di antaranya adalah Ibnu Hajib. Mereka berdalilkan bahwa pendapat
ketiga yang mengangkat kedua pendapat (sebelumnya) menyelisihi apa yang te-
lah menjadi ijma'para ulama, sementara pendapat ketiga yang tidak mengangkat
kedua pendapat (sebelumnya) tidak menyelisihi perkara yang telah menjadi ij-
ma' meieka, bahkan sejalan dmgan masing-masing dari kedua pendapat tersebut
dari beberapa sisi. Contoh perbedaan mengenai dua pendapat adalah perbedaan
menjadi tiga, empat atau lebih dari itu. Maka larangan ini bisa ditujukan kepada
pendapat baru di atas pendapat-pendapat yang telah diperselisihkan oleh para
ulama menjadi dua pendapat atau lebih yang sudah muktabar, jika ia belum
muktabar maka tidak ada alasan untuk melarang memunculkan pendapat baru.
Silahkan mel rhat lrsyad Al-Fuhul (ha1.157) dan Al-Mudzalckirah (hal. 185)
748 €rm,t;ruT&
Faedah: Apakah orang yang dalam keadaan berhadats kecil atau
besar boleh menyentuh bagian tepi dan kulit dari mushaf Al-Qur'an?
Jawabnya: Tidak boleh. Sebab apayangberhubungan dengan mus-
haf AI-Qur'an maka ia merupakan bagian darinya, dan kulit mushaf
termasuk bagian darinya. Kecuali jikh mushaf itu berada di dalam tas.
Menyentuh tas tersebut saat itu diperbolehkan. Adapun bagian kecil
dari kertas itu sendiri maka hukumnya sama dengan hukum kertas-
nya. Dan dalam hal ini ada sebuah kaidah yang menyebutkan, " Apa
yang tidak ditetapkan ketika teryisah, ditetapkan ketika mengikuti
yang lainnya."
Faedah lairurnya: Dalam beberapa kitab tafsir seperti Al-lalalain
atau Tafsir lbnu 'Abbas, penafsiran ayat-ayatnya berada di pinggir
kanan dan kiri, sementara nash Al-Qur'an sendiri berada di tengah-
tengahnya. Apakah diperbolehkan menyentuh kitab tafsir seperti ini
tanpa berwudhu terlebih dahulu?
Dalam perrrasalahan seperti ini, seandainya ketika kita memban-
dingkan antara Al-Qur'an dengan apa yang ditulis bersamanya, kita
mendapati bahwa Al-Qur'an yang lebih banyak maka hukumnya di-
tetapkan berdasarkan sisi yang lebih banyak. Adapun sekiranya ki-
tab Tafsir lalalain tersebut tanpa adanya tulisan ayat Al-Qur'an, ma-
ka mereka mengatakan bahwa penafsiran yang terkandung dalam
kitab tersebut lebih banyak dari Al-Qur'an; maka berdasarkan hal ini
diperbolehkan bagi orang yang berhadats baik besar maupun kecil
menyentuh mushaf Al-Qur'an tanpa berwudhu.
Perkataan Al-Bukhari, "Manshur menyebutkan dari Ibrahim, "Ti-
dak mengapa membaca Al-Qur'an di dalam kamar mandi, dan ti-
dak mengapa menulis surat dalam keadaan tidak memiliki wudhu."
Ibrahim yang dimaksud dalam riwayat ini adalah Ibrahim An-Nakha'i,
termasuk Fuqaha pada masa Tabi'in. Namun sebagaimana yang dise-
butkan oleh Syaikhul lslam, kapasitas beliau sebagai Ahli Hadits tidak
sebaik kapasitas beliau sebagai ahli fikih.
Ibrahim menyebutkan, "Tidak mengapa membaca Al-Qur'an
di dalam kamar mandi." Maksudnya tidak mengapa bagi seseorang
membaca Al-Qur'an di dalam kamar mandi. Pemyataan beliau ini agak
mengganjal di dalam hati, apalagi jika persoalannya adalah membaca
Al-Qur'an.
Adapun membaca selain Al-Qur'an di dalam kamar mandi, maka
itu juga tidak sepantasnya dibaca. Sebab konsekuensiyang ditimbulkan
€"Uifu& 749
dari membacanya di dalam kamar mandi adalah seseor:rng akan ber-
lama-lama di dalam kamar mandi. Oleh sebab itu, ada yang menye-
butkan bahwa ketika WC model Eropa dibuat, sebagian orang men-
jadi memiliki kebiasaan membawa masuk koran atau bahan ba-caan
lainnya ke dalam WC, lalu duduk di atas toilet membuang hajat sambil
membacanya. Kalaulah seperti ini keadaannya, kapan ia akan keluar
dari kamar mandi?
Ini adalah perkara yang keliru. Oleh sebab itu yang seharusnya
dilakukan oleh seorang muslim adalah tidak berada di dalam kamar
mandi kecuali menurut kebuhrhannyasaja, dan setelah itu ia keluar.
Perkataan Ibrahim, "(Dan tidak mengapa) menulis surat dalam
keadaan tidak berwudhu." Beliau menyebutkan (tidak mengapa) me-
nulis surat dalam keadaan tidak berwudhu, karena di dalam surat akan
dihrliskan laf.azhBasmalah dan ia terrrasuk bagian dari Al-Qur'an. Se-
bagaimana diketahui bahwa tidak ada yang boleh menyentuh Al-Qur-
'an kecuali orang yang suci. Namun apa yang dihrliskan di atas kertas
dan tidak diniatkan sebagai bagian dari Al-Qur'an, maka statusnya
tidaklah sama dengan Al-Qur'an. Oleh sebab itu kami katakan jika orang
yang dalam keadaan junub membaca salah satu ayat dari Al-Qur'an
tidak bermaksud membaca, tetapi berdoa atau memuji, maka hal itu
tidak mengapa. Sebagai contoh, ketika orang yang dalam keadaan ju-
nub mengucapkan Allumdulillahi Rabbil'Alamin -yang merupakan ayat
kedua dari surat Al-Fatihah- usai menyantap makanannya, dan niat-
nya adalah memuji Allah SubhanahuwaTa'ala maka ia tidakberdosa.
Dan jika ia menyebutkan,
4$i',;,fr+'g., &!i n(i G, c:i iy^;.{;jt tj * tl:
"(Mereka berdo'a): "Ya Tuhan lumi, janganlah Engkau jadilun hati lami
condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada knmi, dnn
luruniakanlah kepada knmi rahmat ilari sisi Englau; lcnrena sesungguhnya
Engkau-lah Maha Pemberi (karunin)." (QS. Ali 'Imran: 8) dan niatnya
adalah berdoa maka ia tidak berdosa juga.
Perkataan Al-Bukhari, "Hammad menyebutkan dari Ibrahim,
'Apabila mereka mengenakan kain sarung maka ucapkanlah salam,
kalau tidak maka jangan ucapkan salam!" maksudnya jika kamu
melewati orang yang sedang berada di dalam kamar mandi dengan
mengenakan kain sarung, maka ucapakanlah salam kepada mereka.
750 €mmrur&
Namun jika mereka tidak mengenakan kain sarung, maka iangan
mengucapkan salam kepada mereka!
Akan tetapi mustahil mereka tidak mengenakan kain sarung, ke-
cuali mereka berada di dalam kamar mandi, dan ada pemisah (tabir)
antara kamu dengannya. Terkadang kamu bisa mendengar suara me-
reka atau suara air mengalir.
Intinya ialah mengucapkan salam kepada mereka meskipun me-
reka sedang berada di dalam kamar mandi dengan mengenakan kain
sarung. Adapun jika mereka tidak mengenakannya, maka tidak boleh
mengucapkan salam kepada mereka.
Dalam Al-Eath (I/ 287) Al-Hafizh Rnhirnahullahberkata, "Perkataan
At-Bukhari, "Darr Hammad berkata." Hammad adalah Ibnu (putera)
Abi Sulaiman, seorang ahli fikih di negeri Kufah.
" D ari Ibrahim. " Yaitu Ibrahim An-Nakha'i.
"]ika mereka mengenakan." Mereka adalah orang-orang yang
berada di dalam kamar mandi.
"lzar (kain)." Maksudnya adalah jenis, artinya masing-masing dari
mereka mengenakannya.
Atsar iti diriwayatkan secara maushul oleh Ats-Tsauri dalam AI-
lami' belnu. Boleh jadi tujuan dari pelarangan mengucapkan salam
kepada mereka yang tidak mengenakan kain sarung di dalam kamar
mandi adalah penghinaan terhadap mereka disebabkan keberadaan
mereka yang berada di atas kebid'ahan dan boleh jadi mereka tidak
akan menjawabnya. ucapan salam mengandung zlkir kepada Allah,
sebab As-Salam merupakan salah satu nama-Nya dan lafazh Assalamu
Alaikum termasuk ayat Al-Qur'an. Orang yang tidak mengenakan kain
seperti orang yang berada di dalam WC. Dengan keterangan seperti
inilah kandungan atsar inidapat sejalan dengan maksud dari judul bab
yang dicantumkan oleh Al-Bukhari."
(SyailJr Al-Utsaimin) berkata, "Petrryataan Al-Hafizh Ibnu Hajar
bahwa As-Salam termasuk nama Allah memang benar. Namun ketika
memberikan salam "Assalamu Alaikum", orang yang mengucapkannya
tidak meniatkan bahwa LafazhAs-Salam tersebut merupakan salah sa-
tu nama Allah. Niabrya hanyalah mendoakan orang yang diberi uca-
pan salam agar Allah memberikan keselamatan kepadanya. Inilah yang
benar.
€'^m6nr& .st
# iru;-rv r; t';1 * a," ;'E ,iu k*tsk.t^f
+il1 au. r:t i..,1;i qV G.lt'#,3i oV qt J'; if
dJEfiv,^5t; e,{,*at e i;tv::i#-e.
i,diii '# *';nt S; ;tt Jyt 'gi"+tr;svSt ,rP?
,pt *r;t t;y 6; & *'A, ,)i lnr 3y, i6 A*
,?-r, y'A, *V It'.'5;, b;$,t WrlCr 3i W{$'ti
:r:{r 'Frti1 i:*,? # (r)t #.i^);t
;p:uqO';;,p ii Slls F ,3t'* Jl e.