Hadist dari kualitas nya

 



Hadits yaitu  setiap perkataan, perbuataan, atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi 

Muhammad SAW. Dalam bahasa lain, hadits ialah setiap informasi yang disandarkan kepada 

Nabi Muhammad SAW. Misalnya, saat  kita mengatakan “Rasulullah SAW pernah berkata” 

atau “Rasulullah SAW pernah melakukan..”, secara tidak langsung pernyataan ini  sudah 

bisa dikatakan hadits. Namun persoalannya, apakah pernyataan ini  benar-benar kata 

Rasulullah atau tidak? sebab  belum tentu setiap informasi yang mengatasnamakan Rasulullah 

benar-benar valid dan banyak juga berita tentang Rasulullah dipalsukan untuk kepentingan 

tertentu. Sebab itu, mengetahui kebenaran sebuah informasi yang mengatasnamakan 

Rasulullah (hadits) sangatlah penting. Para ulama hadits membagi hadits berdasarkan 

kualitasnya dalam tiga kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan, hadits dhaif.  

Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa hadis ditinjau dari segi kuantitas jumlah para 

perawi menjadi mutawatir dan ahad. Jika jumlah para perawi para setiap tingkap sanad mencapai 

jumlah maksimal yang tidak mungkin adanya consensus berdusta maka dinamakan hadis mutawatir. 

Dan jika tidak mencapai jumlah maksimal disebut hadis ahad. Hadis ahad pun terbagi-bagi menjadi 

beberapa bagian jika dilihat jumlah perawinya. Jika jumlah para perawi dalam satu tingkatan 

(thabaqat) mencapai tiga orang ke atas, tetapi tidk mencapai mutawatir, disebut hadis masyhur jika 

hanya dua orang perawinya pada sebagian tingkatan sanad disebut hadis ‘aziz, dan jika hanya 

seorang perawi saja disebut gharib. Hadis mutawatir jelas kualitasnya, yaitu hadis yang paling shahih 

sama dengan ilmu dharuri (ilmu yang mudah dipahami semua orang, tidak perlu pemikiran terlebih 

dahulu) yang wajib diterima.  


 

Sekalipun disini ditinjau kuantitas, tetapi akan menjadi kualitas saat  dilihat kuantitas para 

perawi yang banyak itu bermakna kualitas, yaitu tidak mungkin terjadi kesepakatan berbohong di 

antara mereka. Sedangkan hadis ahad dengan berbagai macamnya akan dilihat dari segi kualitas 

para perawi dalam sanad dan matan-Nya. Pada bab ini hadis ahad akan dilihat dari segi kualitas dan 

macam-macamnya. Hadis di lihat dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis 

maqbul dan hadis mardud, hadis maqbul terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad, yang shahih 

dan hasan, baik lidzatihi maupun lighayrihi sedangkan hadis mardud ada satu, yaitu hadis dha’if.  

Hadis, dalam tradisi Islam, yaitu  perkataan, tindakan, dan persetujuan yang terkait dengan Nabi 

Muhammad SAW dan digunakan sebagai sumber hukum dalam agama Islam. Hadis dipelajari dan 

dianalisis dari berbagai segi, salah satunya yaitu  segi kualitas. Evaluasi kualitas hadis sangat 

penting dalam hukum Islam (fiqh) untuk menentukan apakah suatu hadis dapat diandalkan dan 

digunakan sebagai pedoman dalam praktik keagamaan atau tidak Rumusan Masalah. 

 


Pengertian Hadis Shahih 

Kata shahih (  ُحيْ َّحلا) dalam bahasa diartikan orang sehat, antonim dari kata as-saqim (  ُميْقِ َّسلا) 

artinya orang yang sakit. Menurut ahli hadis, hadis shahih yaitu  hadis yang sanadnya bersambung, 

dikutip oleh orang yang adil, lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW, 

atau sahabat atau tabiin, bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebakan 

cacat penerimaannya. Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian hadis sahih sebagai berikut 

.لالعمُلاوُاذاشُنوكيُلاوُهاهتنمُىلإُطباضلاُلدعلاُلقنبُهدانسإُلصتيُيذلاُدنسملاُثيدحلاُوهُحيحصلاُثيدحلا 

“Hadis sahih yaitu musnad yang bersambung sanadnya dengan periwanyatan oleh oaring yang adil-

dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang kejanggalan 

dan cacat.” 

Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi : 

ةلعُلاوُذوذشُريغُنمُنيطباضلاُلودعلابُهدنسُلصتإُام 

“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz dan 

tidak ber’illat.” 

   

   

 

Syarat-syarat Hadis Sahih 

Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad) 

Maksudnya yaitu  bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari 

perawi terdekat sebelumnya; keadaaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu. 

Artinya, seluruh rangkaian para perawi hadis, sejak perawi terakhir sampai kepada para perawi 

pertama (para sahabat) yang menerima hadis langsung dari Nabi SAW, bersambung dalam 

periwayatan. Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan ada dua macam lambing 

yang digunakan oleh periwayat: 

a. Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung dengan syaikh yang 

meyampaikan periwayatan. 

b. Pertemuan secara hokum (hukmi); seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang yang hidup 

semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. 

 

Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh 

tata kerja penelitian sebagai berikut: 

1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti. 

2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat; 

3) Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam 

sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasana, akhbarana, ‘an, anna 

atau kata-kata lainnya. 

Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila: 

1) Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqot (adil dan dhabit). 

2) Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah 

terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis. 

a. Rawinya bersifat adil 

Pengertian adil dalam bahasa yaitu  seimbang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, 

lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan, orang yang adil yaitu : 

ةءورملاُمراوخُوُقسفلاُنمُملسُوُهقلخُنسحُوُهنيدُماقتساُنم 

(Adil yaitu ) orang yang konsisten (istiqomah) dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik, dan tidak 

melakukan cacat maru’ah. 

 

Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kritera periwayat yang bersifat adil, yaitu : 

1) Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadis haruslah orang yang beragama Islam saat  

menyampaikan riwayatnya. 

2)  Bersetatus Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh. 

3)  Melaksanakan ketentuan agama dan meninggalkan    

4) larangannya. 

5)  Memelihara muru’ah yaitu memiliki rasa malu. 

Sifat-sifat adil para perawi sebagaimana dimaksud sudah dapat diketahui melalui: 

1) Popularitas perawi dikalangan ulama ahi hadis; perawi yang terkenalkeutamaan pribadinya; 

2)  Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri 

perawi; 


 

3) Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, bila tidak ada kesepakatan di antara para kritikus perawi hadis 

mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu. 

b. Rawinya bersifat dhabit 

Secara bahasa, dhabith berarti, yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan 

sempurna. Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi ini  mempunyai daya ingatan dengan 

sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, dhabith dimaknai 

sebagai orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan 

hafalannya itu kapan saja bila menghendaki. 

Orang dikatakan dhabith, bukan berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau 

kesalahan. Sebagai manusia, kemungkinan berbuat salah dan keliru sangatlah wajar. Namun, 

kekeliruan ini tidak terjadi berulang kali. Oleh sebab nya, yang demikian itu tidak dianggap sebagai 

orang yang kurang kuat ingatannya. Rawi yang ‘adil dan sekaligus dhabith disebut tsiqot. 

c. Tidak terjadi kejanggalan ( Syadz) 

Maksud Syadz atau syudzuz (jamak dari Syadz) yaitu  hadis yang bertentangan dengan 

hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Pengertian ini, yang dipegang oleh Al-Syafi’i dan diikuti 

oleh kebanyakan para ulama lainnya. Dapat dipahami hadis yang tidak syadz yaitu  (ghair syadz), 

yaitu  hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. 

d. Tidak Terjadi Illat (Ghair Mu’allal) 

Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal) berarti cacat, kesalahan baca, 

penyakit dan keburukan. Dengan makna ini, maka disebut hadis ber’illat yaitu  hadis-hadis yang ada 

cacat atau penyakitnya. Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi 

yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak 

berkualitas sahih menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak 

ber’illat, yaitu  hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kecacatan, kesamaran atau keragu-

raguan. 

Macam-macam Hadis Shahih 

Para ulama hadis membagi hadis shahih ini dibagi menjadi dua macam: 

a. Shahih Li dzatihi (shahih dengan sendirinya), yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat 

hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana ini  diatas. Contoh: 

)ىراخبلاُهاور(ُةلاصُلكُعمُكاوسابُمهترملأُسانلاُىلعُوأُىتمأُىلعُقشأُنأُلاول 

“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali 

hendak melaksanakan salat. “(HR. Bukhori). 

 

Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah 

b. Shahih Li Ghairihi (shahih sebab  yang lain), yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna 

syarat-sayarat tertinggi dari sifat sebuah hadis maqbul (a’la sifat al qubul). Dalam pengertian lain hadis 

shahih li ghairihi, yaitu  

ُهتاذلُنسحلاُوههنمُوقأُوأُهلثمُرخاُقيرطُنمُيورُذإ  

Yaitu hadis hasan lidzatihi saat  ada periwayatan melalui jalan lainyang sama atau lebih kuat 

daripadanya. 

  

 

Jadi hadis shahih li ghairihi, semestinya sedikit tidak memenuhi persyaratan hadis shahih, ia 

baru sampai tingkat hadis hasan, sebab  diantara perawi ada yang kurang sidikit hafalannya 

dibandingkan dengan hadis shahih, tetapi sebab  diperkuat dengan jalan/sanad lain, maka naik 

menjadi shahih li ghairihi. Kualitas sanad lain terkadang sama-sama hasan atau lebih kuat lagi yaitu 

shahih. Contoh, hadis yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi melalui jalan Muhammad Bin Amr dari Abu 

Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: 

ُقشأُنأُلاولىراخبلاُهاور(ُةلاصُلكُعمُكاوسابُمهترملأُسانلاُىلعُوأُىتمأُىلع( 

“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali 

hendak melaksanakan salat.”(HR. Bukhori). 

 

Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa Muhammad Bin Amr yaitu  terkenal sebagai orang yang jujur, 

akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ketingkat 

hasan. Akan tetapi, hadis ini mempunyai jalan lain yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim 

melalui jalan Abu Az-Zanad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah. Maka hadis diatas kualitasnya dapat naik 

menjadi shahih li ghairihi. 

Jadi perbedaan antara kedua bagian hadis ini terletak pada segi kedhabitan perawinya. Pada 

shahih li dzatihi ingatan perawinya sempurna, sedangkan pada hadis shahih li ghairihi kurang 

sempurna (qalin al dhabth). 

 

Kehujjahan Hadis Shahih 

Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadis 

sahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang 

berkaitan dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan 

dengan aqidah. 

Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i yaitu al-Qur’an dan hadis 

mutawatir. Oleh sebab  itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-

persoalan yang berhubungan dengan aqidah. Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn Hazm al-

Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu qat’i dan wajib diyakini. Dengan demikian 

sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah. 

Berdasarkan martabat ini , Muhadditsin (para ahli hadis) membagi tingkatan sanad 

menjadi, beberapa tingkatan yaitu: 

1) Ashah al-asanid, yakni rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Abu ‘Abdillah Al-Hakim 

mengatakan bahwa dasar penetapan “ashah al-asanid” ada yang mengkhususkan sahabat tertentu 

dan ada yang mengkhususkan daerah tertentu. 

2) Ashanul al-asanid, yakni rangkaian sanad yang tingkatannya di bawah tingkat pertama seperti hadits 

yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Tsabit dan Anas. 

3) Adh’afal al-asanid, yakni rangkaian sanad hadits yang tingkatannya di bawah tingkatan kedua, seperti 

hadits riwayat Suhail bin Abi Shahih dari bapaknya dari Abu Hurairah. 

 

Tingkatan Sanad 

Para ahli hadis menguraikan tingkatan-tingkatan hadis sahih, pada umumnya, secara berurutan 

sebagai berikut: 

 

a. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim 

b. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri (tanpa Muslim) 

c. Hadis yang diriwayatkann oleh Mulim sendiri (tanpa Bukhari) 

d. Hadis yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari dan Muslim, meskipun 

hadis ini  tidak ditakhrij oleh keduanya. 

e. Hadis yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari, meskipun hadis 

ini  tidak ditakhrij olehnya. 

f. Hadis yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Muslim, meskipun hadis 

ini  tidak ditakhrij olehnya. 

g. Hadis-hadis yang dishahihkan oleh selain Bukhari dan Muslim, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban 

meskipun tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari dan Muslim. 

 

Kitab-kitab Hadis Shahih 

a. Shahih Al-Bukhari (w. 250 H), pertama kali penghimpunan khusus hadis shahih. Di dalamnya terdapat 

7.275 hadis termasuk yang terulang-ulang atau 4.000 hadis tanpa terulang-ulang. 

b. Shahih Muslim (w. 261 H), di dalamnya terdapat 12.000 hadis termasuk yang terulang-ulang atau 

sekitar 4.000 hadis tanpa terulang-ulang. Secara umum hadis Al-Bukhari lebih shahih daripada shahih 

Muslim, sebab  persyaratannya shahih Al-Bukhari lebih ketat muttasil dan tsiqah-nya sanad, di 

samping terdapat kajian fiqh yang tidak terdapat dalam shahih Muslim. 

c. Shahih Ibnu Kuzaymah (w. 311 H) 

d. Shahih Ibnu Hibban (w. 345 H) 

e. Mustadrak Al-Hakim (w. 405 H) 

f. Shahih Ibnu As-Sakan 

g. Shahih Al-Albani 

 

Hadis Hasan 

Pengertian Hadis Hasan 

Hasan, menurut lughat yaitu  musybahah dari Al-Husna, artinya bagus, dan bermakna Al-

Jamal artinya keindahan. Menurut istilah, para ulama memberikan definisi hadis hasan secara 

beragam. Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama tentang hadis hasan ini, antara lain: 

a) At-Turmudzi mendefinisikan hadis hasan sebagai “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat 

perawi yang tertuduh dusta, (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadis ini  di 

riwayatkan pula melalui jalan lain. 

b) Ath-Thibi mengemukakan definisi hadis hasan sebagai “Hadis musnad (muttashil dan marfu’) yang 

sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah atau hadis mursal yang (sanadnya) tsiqah, akan tetapi pada 

keduanya ada perawi lain.  Hadis itu terhindar dari syadz dan illat).” 

c) Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad yang di nukilkan melalui 

perawi yang adil, sempurna ingatannya, khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang adil, 

sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berilat dan syadz di sebut hadis shahih, 

namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.  

 

 

d) Dalam definisi yang lain   Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai “Hadis yang 

diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak 

mengandung illat dan tidak syadz”. 

Dengan Demikian, hadis hasan pada dasarnya yaitu  hadis musnad (sanadnya bersambung 

kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil (misalnya tidak tertuduh berdusta), tidak 

mengandung syadz ataupun illat, tetapi di antara periwayatannya dalam sanad ada yang kurang 

dhabith.  Dapat dikatakan bahwa hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja terdapat 

perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadis sahih, ingatan atau daya hafalannya sempurna, 

sedangkan hadis hasan kurang sempurna. 

Syarat-syarat Hadis Hasan 

a. Sanadnya bersambung 

b. Perawinya adil 

c. Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke dhabitannya di bawah kedhabitan para hadis shahih 

d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz 

e. Tidak ber’illat 

Macam-macam Hadis Hasan 

a. Hasan Li Dzatihi 

Yang dimaksud dengan hadis Hasan Li Dzatihi ialah hadis yang sanadnya bersambung dengan 

periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa 

ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak. 

b. Hasan Li Ghairihi 

Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya, 

sementara para perawinya tidak di ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi 

mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya. 

Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak yang tidak 

terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan 

atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis ini  banyak riwayat, baik dengan redaksi yang 

serupa (mitslahu) maupun mirip (nahwahu). 

Jadi, hadis dhaif yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan ini, hanyalah hadis-hadis 

yang tidak terlalu lemah. Sementara hadis-hadis yang sangat lemah kedudukannya tetap sebagai 

hadis dhaif, tidak bisa berubah menjadi hadis hasan. Contoh riwayat Ibnu Majah dari Al-Hakam bin 

Abdul Malik dari Qatadah dari Sa’ad bin Al-Musyyab dari Aisyah, Nabi bersabda: 

مرَحلاوُلجلاُيفُاهُوْل تقُافُه  ريغَُلاُوَُايِ لصَمُ عُْدَتَُلاُبَرَقَْعلا  ُاللهُنََعَل 

Allah melaknat kalajengking, janganlah engkau membiarkannya, baik keadaan shalat atau yang lain, 

maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah Haram. 

 

Hadis di atas dhaif sebab  Al-Hakam bin Abdul Malik seorang dhaif, tetapi dalam sanad dan 

riwayat Ibnu Khuzaymah terdapat sanad lain yang berbeda perawi di kalangan tabi’in (mutabi’) melalui 

syuhbah Qatadah, maka ia naik derajatnya menjadi hasan lighairihi. 

    Kehujahan Hadis Hasan 

Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti halnya hadis sahih, 

walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukan hadis hasan ini, 

 

 

baik hasan li-dzatih maupun hasan li-ghairih ke dalam kelompok sahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, 

Ibnu Khuzaimah meski tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama 

banyak yang beramal dengan hadis hasan ini. Sepertinya Al-Khattabi lebih teliti tentang penerimaan 

mereka terhadap hadis ini. Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud 

dengan hasan disini (yang diterima sebagai hujjah) yaitu  hadis hasan li-dzatihi. Sedangkan terhadap 

hadis hasan li-ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh 

banyaknya riwayat (riwayat lain) maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian maka tidak 

sah berhujjah dengannya. 

Tingkatan Hadis Hasan 

Menurut Al-Dzahabi, sebagaimana dikutip oleh ‘Ajjaj Al-Khatib, tingkatan yang paling tinngi 

yaitu  periwayatan dari Bahz ibn Hakim dari bapaknya, dari kakeknya, dari Amr ibn Syu’dari 

bapaknya, dari kakeknya, dan Ibnu Ishaq dari Al-Taymiy. 

Kitab-kitab Yang Mengandung Hadis Hasan 

a. Jami’ Al-Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-Tirmidzi, merupakan sumberuntuk mengetahui hadis 

hasan. 

b. Sunan Abu Daud 

c. Sunan Ad-Daruquthi 

Hadis Dhaif 

Pengertian Hadis Dhaif 

Kata dhaif menurut bahasa berasal dari kata dhuf’un yang berarti lemah, lawan dari kata Al-

qawiy, yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan hadis dha’if yaitu  

hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat. Dalam hal ini Al-Nawawi mendefinisikan hadist dhaif 

sebagai: 

نسحلاطورشلاوةحصلاطورشهيفدجويملاَم 

 “Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan” 

 

Muhammad Ajjaj al-khatib mendefinisikan hadits dha’if sebagai berikut: 

لوبقلاتافصهيفعمتجيملثيدحلك 

“Segala hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul” 

Kemudian Nur al-Din mendefnisikan hadits dha’if sebagai berikut: 

لوبقملاثيدحلاطورشنماطرشدقفام 

”Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadist maqbul” 

Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dha’if yaitu  hadits yang kehilangan 

salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Kemudian dha‘if-an 

atau kelemahan suatu hadits bisa terjadi pada sanad maupun matan. Kelemahan pada sanad bisa 

terjadi pada persambungan sanadnya atau ittishal al-sanad-nya dan bisa terjadi pada kualitas te-

tsiqah-anny. Sedangkan kelemahan pada matannya bisa terjadi pada sandaran matan itu sendiri dan 

bisa pada kejanggalannya atau ke-syazannya.  

Hukum Periwayatan Hadis Dhaif 

Para ulama membolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun tanpa menjelaskan 

kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu sebagai berikut: 

a. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah 

 

 

b. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah 

mau’itzah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain. 

Pengamalan Hadis Dhaif 

Hukum mengamalkan Hadits Dha’if yang di kemukakan oleh beberapa Ulama Hadits yaitu: 

a. Hadits Dha’if tidak bisa diamalkan, baik yang berkaitan dengan Fadha’il al-Amal maupun yang 

berkaitan dengan hukum. Pendapat ini dinisbahkan kepada Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi, Al-Bukhari, 

Muslim dan Ibnu Hazam. 

b. Hadits Dha’if dapat diamalkan secara mutlak yakni baik berkenaan dengan Fadha’il al-Amal maupun 

yang berkaitan dengan hukum .  sebagaimana Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal dan Abu Daud. 

c.  Hadits Dha’if dapat diamalkan fadhail al-Amal, mauidzah, targhib ( janji-janji yang menggemarakan), 

dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi persyaratan sebagaimana yang dipaparkan 

oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu: 

1) Tidak terlalu dhaif 

2) Masuk ke dalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) 

3) Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadis dari Nabi, tetapi sebab  berhati-hati semata atau 

ikhtiyath. 

Tingkatan Dhaif 

Menurut Ibnu Hajar, urutan hadis dhaif yang terburuk yaitu  mawdu’, matruk, munkar, 

mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhtharib. 

Kitab-kitab Hadis Dhaif 

Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya yaitu  sebagai berikut: 

a. Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits yang menjadi dhoif sebab  perawinya 

yang dhoif. 

b. Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Dzahabi, karya ini juga memaparkan hadits yang menjadi dhoif sebab  

perawinya yang dhoif 

c. Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif. 

d. Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni, juga secara khusus memaparkan hadits yang menjadi dhoif sebab  

perawinya yang dhoif. 

Sebab-sebab Hadis Dhaif Tertolak 

Sebab-sebab hadis dhaif ditolak, dilihat dari dua jurusan: 

Sanad Hadis 

Dari sisi sanad Hadis ini diperinci ke dalam dua bagian:  

1) Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun kedhabitannya, ada 10 macam: 

a) Dusta 

b) Tertuduh dusta 

c) Fasiq 

d) Banyak salah 

e) Lengah dalam menghafal 

f)  Banyak wahamnya 

g)  Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya 

h) Tdak diketahui identitasnya 

i) Penganut bid’ah 


 

j) Tidak baik hafalannya 

2)  Sanadnya tidak bersambung 

a) Gugur pada sanad pertama 

b) Gugur pada sanad terakhir (sahabat) 

c) Gugur dua  orang rawi atau lebih secara berurutan 

d) Rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut 

Matan Hadis 

1. Hadis Mauquf 

2. Hadis Maqthu 

  

Hadis di lihat dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis maqbul dan hadis 

mardud, hadis maqbul terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad, yang shahih dan hasan, baik 

lidzatihi maupun lighayrihi sedangkan hadis mardud ada satu, yaitu hadis dha’if. 

Macam-macam hadis dhaif yakni, hadis dhaif sebab  sanadnya terputus, meliputi hadis 

mursal, hadis munqathi, hadis mu’dhlal, hadis muallaq, hadis mudallas. Hadis dhaif sebab cacat 

keadilan meliputi, hadis matruk, hadis majhul, hadis mubham, hadis mubham. Hadis dha’if sebab 

cacat ke-dhabitan-nya, meliputi  hadis mungkar, hadis mu’allal, mudraj, maqlub, mudhatharib, hadis 

mushahhaf dan muharraf, dan hadis syadzdz. 

 


Related Posts:

  • Hadist dari kualitas nya Hadits yaitu  setiap perkataan, perbuataan, atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa lain, hadits ialah setiap informasi yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Misalnya, … Read More