Hadits yaitu setiap perkataan, perbuataan, atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Dalam bahasa lain, hadits ialah setiap informasi yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Misalnya, saat kita mengatakan “Rasulullah SAW pernah berkata”
atau “Rasulullah SAW pernah melakukan..”, secara tidak langsung pernyataan ini sudah
bisa dikatakan hadits. Namun persoalannya, apakah pernyataan ini benar-benar kata
Rasulullah atau tidak? sebab belum tentu setiap informasi yang mengatasnamakan Rasulullah
benar-benar valid dan banyak juga berita tentang Rasulullah dipalsukan untuk kepentingan
tertentu. Sebab itu, mengetahui kebenaran sebuah informasi yang mengatasnamakan
Rasulullah (hadits) sangatlah penting. Para ulama hadits membagi hadits berdasarkan
kualitasnya dalam tiga kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan, hadits dhaif.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa hadis ditinjau dari segi kuantitas jumlah para
perawi menjadi mutawatir dan ahad. Jika jumlah para perawi para setiap tingkap sanad mencapai
jumlah maksimal yang tidak mungkin adanya consensus berdusta maka dinamakan hadis mutawatir.
Dan jika tidak mencapai jumlah maksimal disebut hadis ahad. Hadis ahad pun terbagi-bagi menjadi
beberapa bagian jika dilihat jumlah perawinya. Jika jumlah para perawi dalam satu tingkatan
(thabaqat) mencapai tiga orang ke atas, tetapi tidk mencapai mutawatir, disebut hadis masyhur jika
hanya dua orang perawinya pada sebagian tingkatan sanad disebut hadis ‘aziz, dan jika hanya
seorang perawi saja disebut gharib. Hadis mutawatir jelas kualitasnya, yaitu hadis yang paling shahih
sama dengan ilmu dharuri (ilmu yang mudah dipahami semua orang, tidak perlu pemikiran terlebih
dahulu) yang wajib diterima.
Sekalipun disini ditinjau kuantitas, tetapi akan menjadi kualitas saat dilihat kuantitas para
perawi yang banyak itu bermakna kualitas, yaitu tidak mungkin terjadi kesepakatan berbohong di
antara mereka. Sedangkan hadis ahad dengan berbagai macamnya akan dilihat dari segi kualitas
para perawi dalam sanad dan matan-Nya. Pada bab ini hadis ahad akan dilihat dari segi kualitas dan
macam-macamnya. Hadis di lihat dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis
maqbul dan hadis mardud, hadis maqbul terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad, yang shahih
dan hasan, baik lidzatihi maupun lighayrihi sedangkan hadis mardud ada satu, yaitu hadis dha’if.
Hadis, dalam tradisi Islam, yaitu perkataan, tindakan, dan persetujuan yang terkait dengan Nabi
Muhammad SAW dan digunakan sebagai sumber hukum dalam agama Islam. Hadis dipelajari dan
dianalisis dari berbagai segi, salah satunya yaitu segi kualitas. Evaluasi kualitas hadis sangat
penting dalam hukum Islam (fiqh) untuk menentukan apakah suatu hadis dapat diandalkan dan
digunakan sebagai pedoman dalam praktik keagamaan atau tidak Rumusan Masalah.
Pengertian Hadis Shahih
Kata shahih ( ُحيْ َّحلا) dalam bahasa diartikan orang sehat, antonim dari kata as-saqim ( ُميْقِ َّسلا)
artinya orang yang sakit. Menurut ahli hadis, hadis shahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung,
dikutip oleh orang yang adil, lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW,
atau sahabat atau tabiin, bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebakan
cacat penerimaannya. Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian hadis sahih sebagai berikut
:
.لالعمُلاوُاذاشُنوكيُلاوُهاهتنمُىلإُطباضلاُلدعلاُلقنبُهدانسإُلصتيُيذلاُدنسملاُثيدحلاُوهُحيحصلاُثيدحلا
“Hadis sahih yaitu musnad yang bersambung sanadnya dengan periwanyatan oleh oaring yang adil-
dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang kejanggalan
dan cacat.”
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi :
ةلعُلاوُذوذشُريغُنمُنيطباضلاُلودعلابُهدنسُلصتإُام
“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz dan
tidak ber’illat.”
Syarat-syarat Hadis Sahih
Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
Maksudnya yaitu bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari
perawi terdekat sebelumnya; keadaaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu.
Artinya, seluruh rangkaian para perawi hadis, sejak perawi terakhir sampai kepada para perawi
pertama (para sahabat) yang menerima hadis langsung dari Nabi SAW, bersambung dalam
periwayatan. Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan ada dua macam lambing
yang digunakan oleh periwayat:
a. Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung dengan syaikh yang
meyampaikan periwayatan.
b. Pertemuan secara hokum (hukmi); seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang yang hidup
semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh
tata kerja penelitian sebagai berikut:
1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat;
3) Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam
sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasana, akhbarana, ‘an, anna
atau kata-kata lainnya.
Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:
1) Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqot (adil dan dhabit).
2) Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah
terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis.
a. Rawinya bersifat adil
Pengertian adil dalam bahasa yaitu seimbang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya,
lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan, orang yang adil yaitu :
ةءورملاُمراوخُوُقسفلاُنمُملسُوُهقلخُنسحُوُهنيدُماقتساُنم
(Adil yaitu ) orang yang konsisten (istiqomah) dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik, dan tidak
melakukan cacat maru’ah.
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kritera periwayat yang bersifat adil, yaitu :
1) Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadis haruslah orang yang beragama Islam saat
menyampaikan riwayatnya.
2) Bersetatus Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh.
3) Melaksanakan ketentuan agama dan meninggalkan
4) larangannya.
5) Memelihara muru’ah yaitu memiliki rasa malu.
Sifat-sifat adil para perawi sebagaimana dimaksud sudah dapat diketahui melalui:
1) Popularitas perawi dikalangan ulama ahi hadis; perawi yang terkenalkeutamaan pribadinya;
2) Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
perawi;
3) Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, bila tidak ada kesepakatan di antara para kritikus perawi hadis
mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.
b. Rawinya bersifat dhabit
Secara bahasa, dhabith berarti, yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan
sempurna. Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi ini mempunyai daya ingatan dengan
sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, dhabith dimaknai
sebagai orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan
hafalannya itu kapan saja bila menghendaki.
Orang dikatakan dhabith, bukan berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau
kesalahan. Sebagai manusia, kemungkinan berbuat salah dan keliru sangatlah wajar. Namun,
kekeliruan ini tidak terjadi berulang kali. Oleh sebab nya, yang demikian itu tidak dianggap sebagai
orang yang kurang kuat ingatannya. Rawi yang ‘adil dan sekaligus dhabith disebut tsiqot.
c. Tidak terjadi kejanggalan ( Syadz)
Maksud Syadz atau syudzuz (jamak dari Syadz) yaitu hadis yang bertentangan dengan
hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Pengertian ini, yang dipegang oleh Al-Syafi’i dan diikuti
oleh kebanyakan para ulama lainnya. Dapat dipahami hadis yang tidak syadz yaitu (ghair syadz),
yaitu hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
d. Tidak Terjadi Illat (Ghair Mu’allal)
Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal) berarti cacat, kesalahan baca,
penyakit dan keburukan. Dengan makna ini, maka disebut hadis ber’illat yaitu hadis-hadis yang ada
cacat atau penyakitnya. Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi
yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak
berkualitas sahih menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak
ber’illat, yaitu hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kecacatan, kesamaran atau keragu-
raguan.
Macam-macam Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih ini dibagi menjadi dua macam:
a. Shahih Li dzatihi (shahih dengan sendirinya), yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat
hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana ini diatas. Contoh:
)ىراخبلاُهاور(ُةلاصُلكُعمُكاوسابُمهترملأُسانلاُىلعُوأُىتمأُىلعُقشأُنأُلاول
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali
hendak melaksanakan salat. “(HR. Bukhori).
Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah
b. Shahih Li Ghairihi (shahih sebab yang lain), yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna
syarat-sayarat tertinggi dari sifat sebuah hadis maqbul (a’la sifat al qubul). Dalam pengertian lain hadis
shahih li ghairihi, yaitu
ُهتاذلُنسحلاُوههنمُوقأُوأُهلثمُرخاُقيرطُنمُيورُذإ
Yaitu hadis hasan lidzatihi saat ada periwayatan melalui jalan lainyang sama atau lebih kuat
daripadanya.
Jadi hadis shahih li ghairihi, semestinya sedikit tidak memenuhi persyaratan hadis shahih, ia
baru sampai tingkat hadis hasan, sebab diantara perawi ada yang kurang sidikit hafalannya
dibandingkan dengan hadis shahih, tetapi sebab diperkuat dengan jalan/sanad lain, maka naik
menjadi shahih li ghairihi. Kualitas sanad lain terkadang sama-sama hasan atau lebih kuat lagi yaitu
shahih. Contoh, hadis yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi melalui jalan Muhammad Bin Amr dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
ُقشأُنأُلاولىراخبلاُهاور(ُةلاصُلكُعمُكاوسابُمهترملأُسانلاُىلعُوأُىتمأُىلع(
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali
hendak melaksanakan salat.”(HR. Bukhori).
Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa Muhammad Bin Amr yaitu terkenal sebagai orang yang jujur,
akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ketingkat
hasan. Akan tetapi, hadis ini mempunyai jalan lain yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim
melalui jalan Abu Az-Zanad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah. Maka hadis diatas kualitasnya dapat naik
menjadi shahih li ghairihi.
Jadi perbedaan antara kedua bagian hadis ini terletak pada segi kedhabitan perawinya. Pada
shahih li dzatihi ingatan perawinya sempurna, sedangkan pada hadis shahih li ghairihi kurang
sempurna (qalin al dhabth).
Kehujjahan Hadis Shahih
Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadis
sahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang
berkaitan dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan
dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i yaitu al-Qur’an dan hadis
mutawatir. Oleh sebab itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-
persoalan yang berhubungan dengan aqidah. Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn Hazm al-
Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu qat’i dan wajib diyakini. Dengan demikian
sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.
Berdasarkan martabat ini , Muhadditsin (para ahli hadis) membagi tingkatan sanad
menjadi, beberapa tingkatan yaitu:
1) Ashah al-asanid, yakni rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Abu ‘Abdillah Al-Hakim
mengatakan bahwa dasar penetapan “ashah al-asanid” ada yang mengkhususkan sahabat tertentu
dan ada yang mengkhususkan daerah tertentu.
2) Ashanul al-asanid, yakni rangkaian sanad yang tingkatannya di bawah tingkat pertama seperti hadits
yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Tsabit dan Anas.
3) Adh’afal al-asanid, yakni rangkaian sanad hadits yang tingkatannya di bawah tingkatan kedua, seperti
hadits riwayat Suhail bin Abi Shahih dari bapaknya dari Abu Hurairah.
Tingkatan Sanad
Para ahli hadis menguraikan tingkatan-tingkatan hadis sahih, pada umumnya, secara berurutan
sebagai berikut:
a. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri (tanpa Muslim)
c. Hadis yang diriwayatkann oleh Mulim sendiri (tanpa Bukhari)
d. Hadis yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari dan Muslim, meskipun
hadis ini tidak ditakhrij oleh keduanya.
e. Hadis yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari, meskipun hadis
ini tidak ditakhrij olehnya.
f. Hadis yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Muslim, meskipun hadis
ini tidak ditakhrij olehnya.
g. Hadis-hadis yang dishahihkan oleh selain Bukhari dan Muslim, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban
meskipun tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari dan Muslim.
Kitab-kitab Hadis Shahih
a. Shahih Al-Bukhari (w. 250 H), pertama kali penghimpunan khusus hadis shahih. Di dalamnya terdapat
7.275 hadis termasuk yang terulang-ulang atau 4.000 hadis tanpa terulang-ulang.
b. Shahih Muslim (w. 261 H), di dalamnya terdapat 12.000 hadis termasuk yang terulang-ulang atau
sekitar 4.000 hadis tanpa terulang-ulang. Secara umum hadis Al-Bukhari lebih shahih daripada shahih
Muslim, sebab persyaratannya shahih Al-Bukhari lebih ketat muttasil dan tsiqah-nya sanad, di
samping terdapat kajian fiqh yang tidak terdapat dalam shahih Muslim.
c. Shahih Ibnu Kuzaymah (w. 311 H)
d. Shahih Ibnu Hibban (w. 345 H)
e. Mustadrak Al-Hakim (w. 405 H)
f. Shahih Ibnu As-Sakan
g. Shahih Al-Albani
Hadis Hasan
Pengertian Hadis Hasan
Hasan, menurut lughat yaitu musybahah dari Al-Husna, artinya bagus, dan bermakna Al-
Jamal artinya keindahan. Menurut istilah, para ulama memberikan definisi hadis hasan secara
beragam. Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama tentang hadis hasan ini, antara lain:
a) At-Turmudzi mendefinisikan hadis hasan sebagai “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat
perawi yang tertuduh dusta, (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadis ini di
riwayatkan pula melalui jalan lain.
b) Ath-Thibi mengemukakan definisi hadis hasan sebagai “Hadis musnad (muttashil dan marfu’) yang
sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah atau hadis mursal yang (sanadnya) tsiqah, akan tetapi pada
keduanya ada perawi lain. Hadis itu terhindar dari syadz dan illat).”
c) Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad yang di nukilkan melalui
perawi yang adil, sempurna ingatannya, khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang adil,
sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berilat dan syadz di sebut hadis shahih,
namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.
d) Dalam definisi yang lain Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai “Hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak
mengandung illat dan tidak syadz”.
Dengan Demikian, hadis hasan pada dasarnya yaitu hadis musnad (sanadnya bersambung
kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil (misalnya tidak tertuduh berdusta), tidak
mengandung syadz ataupun illat, tetapi di antara periwayatannya dalam sanad ada yang kurang
dhabith. Dapat dikatakan bahwa hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja terdapat
perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadis sahih, ingatan atau daya hafalannya sempurna,
sedangkan hadis hasan kurang sempurna.
Syarat-syarat Hadis Hasan
a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke dhabitannya di bawah kedhabitan para hadis shahih
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
e. Tidak ber’illat
Macam-macam Hadis Hasan
a. Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadis Hasan Li Dzatihi ialah hadis yang sanadnya bersambung dengan
periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa
ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
b. Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya,
sementara para perawinya tidak di ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi
mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya.
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak yang tidak
terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan
atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis ini banyak riwayat, baik dengan redaksi yang
serupa (mitslahu) maupun mirip (nahwahu).
Jadi, hadis dhaif yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan ini, hanyalah hadis-hadis
yang tidak terlalu lemah. Sementara hadis-hadis yang sangat lemah kedudukannya tetap sebagai
hadis dhaif, tidak bisa berubah menjadi hadis hasan. Contoh riwayat Ibnu Majah dari Al-Hakam bin
Abdul Malik dari Qatadah dari Sa’ad bin Al-Musyyab dari Aisyah, Nabi bersabda:
مرَحلاوُلجلاُيفُاهُوْل تقُافُه ريغَُلاُوَُايِ لصَمُ عُْدَتَُلاُبَرَقَْعلا ُاللهُنََعَل
Allah melaknat kalajengking, janganlah engkau membiarkannya, baik keadaan shalat atau yang lain,
maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah Haram.
Hadis di atas dhaif sebab Al-Hakam bin Abdul Malik seorang dhaif, tetapi dalam sanad dan
riwayat Ibnu Khuzaymah terdapat sanad lain yang berbeda perawi di kalangan tabi’in (mutabi’) melalui
syuhbah Qatadah, maka ia naik derajatnya menjadi hasan lighairihi.
Kehujahan Hadis Hasan
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti halnya hadis sahih,
walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukan hadis hasan ini,
baik hasan li-dzatih maupun hasan li-ghairih ke dalam kelompok sahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban,
Ibnu Khuzaimah meski tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama
banyak yang beramal dengan hadis hasan ini. Sepertinya Al-Khattabi lebih teliti tentang penerimaan
mereka terhadap hadis ini. Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud
dengan hasan disini (yang diterima sebagai hujjah) yaitu hadis hasan li-dzatihi. Sedangkan terhadap
hadis hasan li-ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh
banyaknya riwayat (riwayat lain) maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian maka tidak
sah berhujjah dengannya.
Tingkatan Hadis Hasan
Menurut Al-Dzahabi, sebagaimana dikutip oleh ‘Ajjaj Al-Khatib, tingkatan yang paling tinngi
yaitu periwayatan dari Bahz ibn Hakim dari bapaknya, dari kakeknya, dari Amr ibn Syu’dari
bapaknya, dari kakeknya, dan Ibnu Ishaq dari Al-Taymiy.
Kitab-kitab Yang Mengandung Hadis Hasan
a. Jami’ Al-Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-Tirmidzi, merupakan sumberuntuk mengetahui hadis
hasan.
b. Sunan Abu Daud
c. Sunan Ad-Daruquthi
Hadis Dhaif
Pengertian Hadis Dhaif
Kata dhaif menurut bahasa berasal dari kata dhuf’un yang berarti lemah, lawan dari kata Al-
qawiy, yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan hadis dha’if yaitu
hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat. Dalam hal ini Al-Nawawi mendefinisikan hadist dhaif
sebagai:
نسحلاطورشلاوةحصلاطورشهيفدجويملاَم
“Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”
Muhammad Ajjaj al-khatib mendefinisikan hadits dha’if sebagai berikut:
لوبقلاتافصهيفعمتجيملثيدحلك
“Segala hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”
Kemudian Nur al-Din mendefnisikan hadits dha’if sebagai berikut:
لوبقملاثيدحلاطورشنماطرشدقفام
”Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadist maqbul”
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dha’if yaitu hadits yang kehilangan
salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Kemudian dha‘if-an
atau kelemahan suatu hadits bisa terjadi pada sanad maupun matan. Kelemahan pada sanad bisa
terjadi pada persambungan sanadnya atau ittishal al-sanad-nya dan bisa terjadi pada kualitas te-
tsiqah-anny. Sedangkan kelemahan pada matannya bisa terjadi pada sandaran matan itu sendiri dan
bisa pada kejanggalannya atau ke-syazannya.
Hukum Periwayatan Hadis Dhaif
Para ulama membolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu sebagai berikut:
a. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
b. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah
mau’itzah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.
Pengamalan Hadis Dhaif
Hukum mengamalkan Hadits Dha’if yang di kemukakan oleh beberapa Ulama Hadits yaitu:
a. Hadits Dha’if tidak bisa diamalkan, baik yang berkaitan dengan Fadha’il al-Amal maupun yang
berkaitan dengan hukum. Pendapat ini dinisbahkan kepada Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi, Al-Bukhari,
Muslim dan Ibnu Hazam.
b. Hadits Dha’if dapat diamalkan secara mutlak yakni baik berkenaan dengan Fadha’il al-Amal maupun
yang berkaitan dengan hukum . sebagaimana Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal dan Abu Daud.
c. Hadits Dha’if dapat diamalkan fadhail al-Amal, mauidzah, targhib ( janji-janji yang menggemarakan),
dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi persyaratan sebagaimana yang dipaparkan
oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu:
1) Tidak terlalu dhaif
2) Masuk ke dalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih)
3) Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadis dari Nabi, tetapi sebab berhati-hati semata atau
ikhtiyath.
Tingkatan Dhaif
Menurut Ibnu Hajar, urutan hadis dhaif yang terburuk yaitu mawdu’, matruk, munkar,
mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhtharib.
Kitab-kitab Hadis Dhaif
Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya yaitu sebagai berikut:
a. Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits yang menjadi dhoif sebab perawinya
yang dhoif.
b. Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Dzahabi, karya ini juga memaparkan hadits yang menjadi dhoif sebab
perawinya yang dhoif
c. Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif.
d. Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni, juga secara khusus memaparkan hadits yang menjadi dhoif sebab
perawinya yang dhoif.
Sebab-sebab Hadis Dhaif Tertolak
Sebab-sebab hadis dhaif ditolak, dilihat dari dua jurusan:
Sanad Hadis
Dari sisi sanad Hadis ini diperinci ke dalam dua bagian:
1) Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun kedhabitannya, ada 10 macam:
a) Dusta
b) Tertuduh dusta
c) Fasiq
d) Banyak salah
e) Lengah dalam menghafal
f) Banyak wahamnya
g) Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya
h) Tdak diketahui identitasnya
i) Penganut bid’ah
j) Tidak baik hafalannya
2) Sanadnya tidak bersambung
a) Gugur pada sanad pertama
b) Gugur pada sanad terakhir (sahabat)
c) Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan
d) Rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut
Matan Hadis
1. Hadis Mauquf
2. Hadis Maqthu
Hadis di lihat dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis maqbul dan hadis
mardud, hadis maqbul terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad, yang shahih dan hasan, baik
lidzatihi maupun lighayrihi sedangkan hadis mardud ada satu, yaitu hadis dha’if.
Macam-macam hadis dhaif yakni, hadis dhaif sebab sanadnya terputus, meliputi hadis
mursal, hadis munqathi, hadis mu’dhlal, hadis muallaq, hadis mudallas. Hadis dhaif sebab cacat
keadilan meliputi, hadis matruk, hadis majhul, hadis mubham, hadis mubham. Hadis dha’if sebab
cacat ke-dhabitan-nya, meliputi hadis mungkar, hadis mu’allal, mudraj, maqlub, mudhatharib, hadis
mushahhaf dan muharraf, dan hadis syadzdz.