Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengkaji pemakaian Hadits dha’if dalam syariat Islam,
mengingat banyaknya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah Alquran dan berperan penting sebagai penjelas Alquran. Namun, Hadits dha’if sering menjadi
sumber perdebatan mengenai keabsahan dan pemakaian nya dalam hukum Islam. Mayoritas ulama
hadits dan fiqh memiliki pandangan berbeda terkait pemakaian Hadits dha’if, dengan beberapa ulama
melarangnya secara mutlak dan yang lainnya memperbolehkannya dengan syarat tertentu.Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif-analitis. Data primer mencakup Hadits
dha’if yang ada dalam kitab-kitab hadits, pendapat ulama tentang Hadits dha’if, serta pernyataan
dari tokoh utama dalam bidang ilmu hadits dan fiqh. Data sekunder berupa literatur pendukung seperti
buku, jurnal, artikel ilmiah, dan karya tulis ulama terdahulu serta kontemporer. Teknik pengumpulan
data dilakukan melalui kajian literatur dan wawancara dengan pakar ilmu hadits dan fiqh.Data dianalisis
dengan teknik deskriptif-analitis melalui pengelompokan Hadits berdasarkan derajat kelemahannya,
analisis pandangan ulama mengenai pemakaian Hadits dha’if, dan interpretasi data untuk menyusun
argumentasi yang kuat mengenai hukum pemakaian Hadits dha’if. Validasi data dilakukan melalui
triangulasi sumber dan metode untuk memastikan keabsahan dan keakuratan hasil penelitian.
Manusia selayaknya memiliki sebuah
arah dalam mengarungi kehidupan, karena jika
tidak akan mudah terombang ambing dalam
perkara yang sesat Banyak komunitas Muslim
menghadapi hambatan dalam memahami posisi
hukum saat mengamalkan suatu perbuatan.
Tidak ada sosok manusia
yang memiliki otoritas penuh dalam
menentukan maksud Tuhan. Maka Hadits Nabi
memiliki peran yang sangat penting dalam
syariat Islam dan menentukan arah selanjutnya
bagi peradaban umat manusia.
Sejak awal munculnya Hadits di masa
sahabat, keberadaan Hadits selalu mendapat
kritikan, ejekan, dan berbagai isu yang terus
muncul dari waktu ke waktu hingga kini.
Misalnya, pada masa sahabat, orang-orang
mulai meragukan keaslian Hadits Nabi.
ada kisah tentang sekelompok orang yang
mengkritik Abdullah bin Amr bin Ash RA
karena ia menulis semua perkataan Rasulullah.
Mereka berkata bahwa Rasulullah yaitu
manusia biasa yang kadang berbicara dalam
keadaan marah dan ridha. Abdullah bin Amr bin
Ash RA kemudian mengadukan hal ini kepada
Rasulullah, dan Beliau bersabda: “Tulislah dari
saya! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-
Nya, tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali
kebenaran”.
Di era sekarang, muncul kelompok
baru yang mengaku sebagai ahli sunnah namun
tidak memahami sunnah dengan benar. Mereka
hanya belajar dari buku tanpa berguru secara
langsung kepada para ulama, dan tidak
memiliki sanad keilmuan yang bersambung
kepada Rasulullah. Mereka gemar
mendha’ifkan Hadits, membid'ahkan amalan,
bahkan mengkafirkan sesama Muslim. Meski
menolak taqlid, mereka justru mengikuti ulama-
ulama mereka sendiri dan menilai keabsahan
Hadits berdasarkan hawa nafsu. Kelompok ini
berpendapat bahwa Hadits dha’if harus ditolak
dan tidak boleh diamalkan, hanya Hadits sahih
dan hasan yang boleh diamalkan. Pendapat ini
bertentangan dengan pandangan mayoritas
ulama Hadits dan fikih.
Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis dan mengkaji
tentang pemakaian Hadits dha’if, mengingat
banyaknya perbedaan pendapat di kalangan
ulama, terutama dalam masalah fikih ketika
tidak ditemukan dalil dari Hadits sahih dan
hasan. Dengan demikian, anggapan bahwa
Hadits dha’if tidak boleh diamalkan yaitu
salah. (Mulazamah 2022)
Literatur yang menjadi rujukan dalam
penelitian tentang hukum mengamalkan Hadits
dha’if sangat beragam, mencakup pendapat
para ulama terdahulu hingga ulama
kontemporer. Mayoritas ulama Hadits terdahulu
berpendapat bahwa Hadits dha’if tidak bisa
dijadikan landasan hukum, terutama yang
berkaitan dengan hukum halal dan haram.
Pendapat ini dianut oleh Yahya bin Ma'in (w.
233 H), Abu Bakr bin al-Araby (w. 543 H),
Imam Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w.
261 H), dan Ibnu Hazm (w. 456 H), yang
melarang pemakaian Hadits dha’if baik dalam
hukum maupun dalam masalah fadhail al-amal.
Namun, Imam Abu Hanifah, sebagai Imam
mujtahid pertama dalam bidang hukum Islam di
antara imam mazhab yang empat, berpendapat
sebaliknya. Mazhab Imam Abu Bakar Ibnu al-
Arabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal al-
Dawwani juga tidak membolehkan
mengamalkan Hadits dha’if secara mutlak, baik
dalam hal fadhail a’mal maupun dalam hukum
syara’.
Imam Ahmad berkata: "Hadits dha’if
lebih kami sukai daripada pendapat ulama
(ra’yu), karena ia tidak mengambil dalil qiyas
kecuali jika tidak ada nash lain." Imam Ibnu
Mandah juga menyatakan bahwa Imam Abu
Dawud meriwayatkan Hadits dengan sanad
yang dha’if jika tidak ada dalil lain selain Hadits
ini , karena menurut Abu Dawud, Hadits
dha’if lebih kuat daripada (ra’yu)
Landasan teori yang mendasari
penelitian ini mencakup beberapa konsep kunci
dalam ilmu hadits dan fikih Islam. Konsep
utama yaitu hadits dha’if, yang mengacu pada
hadits-hadits yang memiliki kelemahan dalam
sanad (rantai perawi) atau matan (teks).
Pentingnya memahami hadits dha’if yaitu
untuk menilai keabsahan dan kekuatan
hukumnya dalam syariat Islam. Selain itu,
pandangan ulama terdahulu, seperti Imam
Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Hazm, dan
lainnya, memberikan dasar hukum dalam
mengenali dan mengamalkan hadits dha’if.
Mereka memiliki pandangan yang beragam
terkait dengan pemakaian hadits dha’if dalam
fadhail al-amal (keutamaan amal) dan hukum
syariah. Pendapat Imam Abu Hanifah, salah
satu imam mazhab, juga menjadi bagian penting
dalam landasan teori ini, karena pandangannya
yang khusus terkait dengan pemakaian hadits
dha’if. Metode pengumpulan data, seperti
kajian literatur dan wawancara dengan pakar
ilmu hadits dan fikih, memberikan landasan
metodologis yang kuat dalam memperoleh
informasi dan pandangan yang mendalam
tentang pemakaian hadits dha’if. Analisis
kualitatif menjadi pendekatan yang digunakan
untuk menafsirkan data dari berbagai sumber
literatur dan pandangan ulama, sehingga
memungkinkan peneliti untuk menghasilkan
kesimpulan yang komprehensif tentang hukum
pemakaian hadits dha’if dalam praktik
keagamaan sehari-hari. Dengan memahami
konsep-konsep ini dan menerapkan
metode pengumpulan dan analisis data yang
tepat, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang mendalam
tentang isu yang berkaitan dengan pemakaian
hadits dha’if dalam fikih Islam.
Penelitian inimemakai
pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif-
analitis. Jenis data yang digunakan terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data primer
mencakup hadits-hadits dha’if yang ada
dalam kitab-kitab hadits, pendapat para ulama
tentang hadits dha’if, serta pernyataan dari
tokoh-tokoh utama dalam bidang ilmu hadits
dan fiqh. Data sekunder berupa literatur yang
mendukung kajian, seperti buku, jurnal, artikel
ilmiah, dan karya tulis ulama terdahulu serta
kontemporer yang membahas mengenai hadits
dha’if.
Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui beberapa metode. Pertama, kajian
literatur dengan mengkaji kitab-kitab hadits
utama seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim,
Sunan Abu Dawud, dan lainnya untuk
menemukan hadits-hadits yang dikategorikan
sebagai dha’if. Selain itu, karya-karya ulama
klasik dan kontemporer yang membahas
tentang hadits dha’if juga dijadikan sumber
literatur. Kedua, wawancara dilakukan jika
diperlukan untuk mendapatkan pandangan yang
lebih mendalam mengenai pemakaian hadits
dha’if dari pakar ilmu hadits dan fiqh.
Data yang telah dikumpulkan dianalisis
dengan teknik deskriptif-analitis melalui
beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu
pengelompokan data, yaitu mengelompokkan
hadits berdasarkan derajat kelemahan dan
alasan mengapa hadits ini dikategorikan
sebagai dha’if. Tahap kedua yaitu analisis
kualitatif, yang melibatkan analisis pandangan
para ulama mengenai pemakaian hadits dha’if,
baik dalam aspek fadhail al-amal (keutamaan
amal) maupun dalam hukum syariat. Pandangan
yang berbeda dibandingkan untuk menemukan
kesimpulan yang komprehensif. Tahap terakhir
yaitu interpretasi data, di mana data yang telah
dianalisis ditafsirkan untuk menyusun
argumentasi yang kuat mengenai hukum
pemakaian hadits dha’if, dengan merujuk pada
pendapat mayoritas ulama serta implikasinya
dalam praktik keagamaan sehari-hari.
Untuk memastikan keabsahan data,
dilakukan validasi melalui triangulasi sumber
dan metode. Triangulasi sumber dilakukan
dengan membandingkan informasi yang
diperoleh dari berbagai sumber literatur, baik
dari kitab-kitab hadits, pendapat ulama, maupun
literatur sekunder lainnya. Triangulasi metode
dilakukan denganmemakai berbagai
metode pengumpulan data seperti kajian
literatur dan wawancara untuk memperkaya
data dan memastikan keakuratan hasil
penelitian..
D. HASIL PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadis Dha’if
Kata "Hadits" berasal dari kata
"hadasa," yang dalam bentuk jamaknya menjadi
"aHadits." Secara bahasa, kata ini memiliki
berbagai arti, termasuk "al-jadid" (sesuatu yang
baru) yang merupakan lawan dari "al-qadim"
(sesuatu yang lama). Bisa juga diartikan sebagai
"al-khabar" (berita) dan "al-qarib" (sesuatu
yang dekat).
Karena hadis merupakan sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an, hadis
memiliki fungsi yang sangat penting yaitu
bayan tafsir (penjelasan atau interpretasi),
bayan taqrir (penegasan), dan bayan tasyri'
(penetapan hukum) terhadap Al-Qur'an. Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam, perlu dilakukan penelitian yang
menyeluruh terhadap keabsahan hadis, sebab
keorisinilan Al-Qur'an sudah tidak diragukan
lagi dan tidak memerlukan penelitian
keotentikan seperti hadis.(Nugroho 2015)
Hadis memainkan peran krusial dalam
menguraikan, memperjelas, dan melengkapi
hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur'an.
Oleh karena itu, penelitian mengenai keabsahan
hadis sangat penting. Proses ini melibatkan
pemeriksaan rigor terhadap sanad (rantai
periwayat) dan matn (isi hadis) untuk
memastikan bahwa hadis-hadis ini benar-
benar berasal dari Nabi Muhammad SAW.
(Nurrohim 2022)Oleh karena itu perlu solusi
supaya masyarakat Islam kembali menjadi
masyarakat ideal sesuai yang di ajarkan oleh
Nabi Muhammad saw
Secara terminologi, Hadits yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW, baik berupa ucapan (qauli), perbuatan
(fi'li), persetujuan (taqriri), sifat zahir atau fisik
(khalqi), maupun sifat batin atau akhlak
(khuluqi), baik yang terjadi sebelum maupun
sesudah masa kenabian. Selain itu, Hadits juga
mencakup segala sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat dan tabi’in.
(Junaidi 2015)Dalam mempelajari
hadis, aspek kesahihan, validitas, dan
reliabilitasnya merupakan dimensi yang sangat
mendasar. Keraguan beberapa cendekiawan
Muslim terhadap peran hadis sebagai sumber
hukum kedua setelah Al-Qur'an tidak
sepenuhnya disebabkan oleh penolakan
terhadap Sunnah, tetapi lebih kepada keraguan
terhadap keakuratan metode yang digunakan
untuk menentukan orisinalitas hadis.
Hadits atau sunnah merupakan salah
satu wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada
Rasulullah. Oleh karena itu, Hadits memiliki
kedudukan tinggi setelah Alquran. Hadits
yaitu sumber hukum Islam kedua yang telah
disepakati (Muttafaq Alaih) setelah Alquran.
Hadits memainkan peran penting dalam syariat
Islam, karena dengan adanya Hadits, kita dapat
memahami maksud yang terkandung dalam
Alquran. Dalam hal hukum, Hadits dapat
menjadi penerjemah hukum yang ada dalam
Alquran dan juga menjadi pelengkap hukum
jika dalam Alquran belum ada ketentuannya.
Hadits dha’if yaitu Hadits yang tidak
memenuhi persyaratan Hadits sahih dan hasan.
Hadits dha’if berbeda dengan Hadits maudhu’
(palsu). Hadits dha’if dinisbahkan kepada
Rasulullah, tetapi perawinya tidak memiliki
hafalan atau kredibilitas yang kuat, atau
ada silsilah sanad yang terputus.
Sedangkan Hadits maudhu’ yaitu informasi
yang mengatasnamakan Rasulullah SAW,
tetapi sebenarnya bukan perkataan Rasulullah
SAW.
Muhaddisin membagi Hadits ke dalam
tiga kategori: sahih, hasan, dan dha’if. Kategori
ini didasarkan pada kualitas Hadits dengan
ukuran kualitas perawi dan ketersambungan
sanadnya. Kualitas Hadits yang paling tinggi
yaitu sahih, diikuti oleh hasan, dan terakhir
dha’if.
Ulama sepakat bahwa mengamalkan
Hadits dha’if dibolehkan, selama tidak
berkaitan dengan hukum halal dan haram,
akidah, dan hanya sebatas fadha’il amal.
Dengan demikian, menyampaikan Hadits
dha’if, seperti mengutip Hadits dha’if dalam
buku atau menyampaikannya dalam pengajian
dan majelis taklim dibolehkan. Hasan
Muhammad al-Masyath dalam al-Taqriratus
Saniyyah fi Syarh al-Mandzumah al-
Bayquniyyah menjelaskan:
“Sebagian ulama membolehkan periwayatan
Hadits dha’if tanpa menjelaskan kedha’ifannya
dengan beberapa syarat: Hadits ini berisi
kisah, nashat-nasihat, atau keutamaan amalan,
dan tidak berkaitan dengan sifat Allah, akidah,
halal-haram, hukum syariat, bukan Hadits
maudhu’, dan tidak terlalu dha’if.”
Jumhur ulama ahlil Hadits mengecam
sebagian kalangan yang menyamakan Hadits
dha’if dengan Hadits palsu. Keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat jauh.
Menyamakan keduanya termasuk suatu
kesalahan fatal dalam beragama.
Selain itu, penyebab dha’ifnya sebuah
Hadits yaitu keterputusan sanadnya atau
kelemahan-kelemahan manusiawi dari
perawinya, seperti lemahnya daya ingat, sering
ragu, atau sering salah dalam menyampaikan
sesuatu. Hadits maudhu’ yaitu Hadits yang
tidak bersumber sama sekali dari Nabi
Muhammad Saw. Hadits dha’if boleh
diriwayatkan secara ijmak, sedangkan Hadits
maudhu’ tidak boleh diriwayatkan sama sekali
kecuali dengan menjelaskan kepalsuannya.
Hadits dha’if tetap diamalkan berdasarkan
ijmak ulama dalam hal-hal yang berkaitan
dengan keutamaan (fadhail), anjuran kebaikan,
dan larangan keburukan. Sedangkan Hadits
maudhu’ haram diamalkan. Hadits dha’if dapat
naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi jika
ada sanad lain yang memperkuat kebenarannya.
Sebaliknya, Hadits maudhu’ tidak akan
mengalami kenaikan status meskipun didukung
oleh puluhan atau bahkan ratusan Hadits dari
jalur yang berbeda-beda.
Mengingat sejumlah perbedaan
ini , sangat tidak bijak jika seseorang
dengan mudahnya membuang Hadits dha’if
seolah-olah itu bukan perkataan Nabi sama
sekali. Sementara itu, banyak ulama yang
mengamalkan Hadits-Hadits dha’if selama
kedha’ifannya tidak terlalu parah dan memiliki
dukungan dari sanad lain. Berikut ini beberapa
pendapat ulama terkait hal ini :
a. Imam Nawawi dalam Fatawa-nya
menyebutkan adanya konsensus (ijmak) di
kalangan ulama mengenai kebolehan
mengamalkan Hadits dha’if untuk hal-hal
yang tidak berkaitan dengan akidah dan
hukum halal dan haram.
b. Hadits dha’if boleh diamalkan secara
mutlak dalam persoalan hukum ketika
tidak ditemukan Hadits sahih yang bisa
dijadikan sebagai sandaran. Pendapat ini
dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan Abu
Daud. Imam Abu Hanifah dan Ibnul
Qayyim al-Jauziyyah juga mengutip
pendapat ini .
c. Hadits dha’if boleh diamalkan jika ia
tersebar luas dan diterima oleh masyarakat
secara umum tanpa adanya penolakan yang
berarti (talaqqathul ummah bil qabul).
d. Hadits dha’if boleh diamalkan ketika
didukung oleh jalur periwayatan lain yang
sama atau lebih kuat secara kualitas,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam
at-Tirmidzi dalam karyanya.
Hadits dha’if, sebagaimana disebutkan
di atas, yaitu Hadits yang tidak memenuhi
salah satu dari syarat-syarat Hadits sahih dan
hasan. Syarat-syarat Hadits sahih dan hasan
dapat diringkas dalam enam hal berikut:
a. Ketersambungan Sanad (Ittisal as-Sanad)
Sanad Hadits harus bersambung tanpa ada
perawi yang terputus dari awal hingga
akhir, memastikan bahwa setiap perawi
benar-benar menerima Hadits dari perawi
sebelumnya hingga mencapai Nabi SAW.
b. Keadilan Perawi (yaitu ar-Rawi) Para
perawi harus memiliki sifat adil, yaitu
mereka harus seorang Muslim, baligh
(dewasa), berakal sehat, tidak fasik
(melakukan dosa besar atau sering
melakukan dosa kecil), dan menjaga
muru’ah (kehormatan diri).
c. Kecerdasan dan Ketepatan Ingatan (Dhabt
ar-Rawi) Perawi harus memiliki ingatan
yang kuat atau catatan yang baik sehingga
dapat menyampaikan Hadits dengan
akurat. Ini mencakup kemampuan
menghafal dan memelihara Hadits dengan
tepat serta menyampaikannya tanpa
perubahan.
d. Ketiadaan Cacat (Salamah min al-‘Illah)
Hadits ini harus bebas dari cacat
tersembunyi (‘illah) yang dapat
mempengaruhi keabsahan Hadits ini .
Cacat tersembunyi yaitu kelemahan yang
tidak tampak secara jelas tetapi diketahui
oleh para ahli Hadits melalui analisis
mendalam.
e. Ketiadaan Kejanggalan (Salamah min asy-
Syudzudz) Hadits ini tidak boleh
bertentangan dengan Hadits lain yang lebih
kuat atau bertentangan dengan fakta yang
sudah diterima secara umum. Kejanggalan
terjadi ketika seorang perawi
meriwayatkan sesuatu yang bertentangan
dengan apa yang diriwayatkan oleh perawi
yang lebih terpercaya.
f. Keterpercayaan Perawi (Tsiqat ar-Rawi)
Semua perawi dalam sanad harus dikenal
sebagai orang yang terpercaya, diakui
kejujurannya, dan memiliki reputasi baik
dalam meriwayatkan Hadits.
Keterpercayaan ini mencakup kredibilitas
pribadi serta konsistensi dalam
periwayatan.
jika salah satu dari enam syarat di
atas tidak terpenuhi, maka Hadits ini
dinamakan Hadits dha’if. Namun secara umum,
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan ada
dua faktor yang menyebabkan Hadits menjadi
dha’if yaitu terputusnya sanad dan adanya cacat
dalam diri perawi Hadits. Dari dua faktor utama
penyebab Hadits dha’if ini akan
memunculkan aneka ragam macam-macam
Hadits dha’if.
Macam-macam Hadits dha’if yang
disebabkan terputusnya sanad:
a. Hadits Muallaq: Hadits yang terputus
sanadnya di awal, baik karena terputus
oleh satu perawi atau lebih secara
berurutan.
b. Hadits Mursal Hadits yang terputus
sanadnya di akhir setelah masa tabi'in. Ini
berarti Hadits ini diriwayatkan oleh
seorang tabi'in langsung dari Nabi
Muhammad SAW tanpa menyebutkan
perantara dari kalangan sahabat.
c. Hadits Mu’dhal Hadits yang terputus
sanadnya oleh dua perawi atau lebih secara
berurutan, yaitu ada perantara yang
dilewati atau disembunyikan dalam sanad
Hadits.
d. Hadits Munqati Hadits yang sanadnya
tidak sambung, dimana terjadi terputusnya
sanad di mana pun posisinya, tidak hanya
di awal atau akhir.
e. Hadits Mudallas (Tadlis) Hadits yang
perawi atau sanadnya memiliki aib yang
disembunyikan atau diubah dengan cara
tertentu. Salah satunya yaitu dengan
menghilangkan perawi yang lemah di
antara perawi yang terpercaya (tadlis
taswiyah) atau denganmemakai
julukan atau sebutan yang tidak dikenal
untuk merujuk pada gurunya (tadlis
syuyukh).
f. Hadits Mursal Khafi Hadits yang
diriwayatkan dari seseorang yang pernah
ditemui atau hidup sezaman dengannya,
tetapi riwayat Hadits ini tidak pernah
didengar langsung darinya.
g. Hadits Muan’an: Hadits yang diriwayatkan
denganmemakai kata "(Fulan) dari (si
Fulan)" نع.
h. Hadits MuannanHadits yang diriwayatkan
denganmemakai kata "(Fulan)
mengatakan" Fulan qola‛ نأ
Macam-macam Hadits dha’if yang
disebabkan cacatnya rawi:
a. Hadits Maudhu 'yaitu Hadits palsu,
imitasi, yang disandarkan kepada Nabi
oleh perawi yang pendusta.
b. Hadits Matruk 'yaitu Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang dituduh
berdusta atau tidak dapat dipercaya.
c. Hadits Munkar 'yaitu Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak
melakukan kesalahan atau lupa,
sehingga keandalannya diragukan.
d. Hadits Mu'allal 'yaitu Hadits yang
memiliki cacat signifikan (illah
qadihah) yang dapat menghilangkan
kesahihan Hadits ini .
e. Hadits Mudraj' yaitu Hadits yang
matannya (redaksi Haditsnya) dirubah
atau disisipi dengan lafal lain, sehingga
makna aslinya menjadi terdistorsi.
f. Hadits Maqlub 'yaitu Hadits yang sanad
atau matannya diganti dari awal ke
akhir atau sebaliknya, mengakibatkan
kebingungan terhadap keandalannya.
g. Hadits Majhul yaitu Hadits yang
perawinya tidak diketahui namanya
atau status keadaannya tidak jelas.
h. Hadits Bid'ah yaitu Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang aliran
atau keyakinannya bertentangan
dengan ajaran Ahlus Sunnah wal
Jama'ah.
Selain membagi Hadits dha’if
berdasarkan penyebab kelemahannya, para ahli
juga membaginya berdasarkan
kemungkinannya untuk ditingkatkan ke tingkat
yang lebih tinggi. Pembagian ini terdiri dari dua
kategori utama. Pertama, ada Hadits dha’if
yang memiliki potensi untuk meningkat
menjadi Hadits hasan li ghoiri. Jenis Hadits ini
umumnya memiliki kelemahan yang ringan,
seperti terputusnya sanad atau perawi yang
tidak diketahui. Meskipun dha’if, Hadits-Hadits
ini bisa ditingkatkan jika didukung oleh riwayat
lain yang lebih kuat. Kedua, ada juga Hadits
dha’if yang tidak memiliki kemungkinan untuk
ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh
keberadaan perawi yang dituduh berdusta,
banyak melakukan kesalahan atau lupa, atau
bahkan perawi yang jelas-jelas pendusta.
Hadits-Hadits ini tetap dianggap dha’if
meskipun didukung oleh riwayat lain.
Pembagian ini membantu para ulama dalam
menilai lebih lanjut keandalan dan keabsahan
Hadits serta mempertimbangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi status Hadits dalam tradisi
keilmuan Islam.
2. Pendapat Ulama Mengenai Hadis
Dha’if
pemakaian Hadits Dhoif dalam
Fadha’il A’mal dan Hukum-Hukum
a. Pendapat Menerima Hadits Dha’if
Secara Mutlak
Sebagian ulama berpendapat bahwa
Hadits dha’if dapat digunakan dan diamalkan
secara mutlak. pemakaian ini mencakup
berbagai masalah, termasuk masalah
kewajiban, halal haram, keutamaan-keutamaan,
targhib (pemotivasi), dan tarhib (peringatan).
Bagi mereka, Hadits dha’if masih memiliki nilai
dan dapat memberikan panduan dalam
kehidupan beragama, terutama ketika tidak ada
Hadits yang lebih kuat yang relevan dengan
situasi atau permasalahan yang dihadapi.
1) Pandangan terhadap pendapat ini
Kebolehan pemakaian Hadits dha’if
ini diikuti oleh dua syarat yang telah
disepakati oleh beberapa ulama Hadits.
Pertama, Hadits dha’if dapat digunakan jika
dalam suatu masalah tidak ditemukan Hadits
yang shahih atau hasan yang menjelaskannya.
Kedua, Hadits-Hadits dha’if ini tidak
boleh terlalu lemah dan juga tidak boleh
bertentangan dengan Hadits lain yang lebih
kuat. Alasannya yaitu karena Hadits yang
sangat lemah biasanya ditinggalkan oleh para
ulama. Dengan demikian, jika suatu Hadits
dha’if memiliki kemungkinan kebenaran dan
tidak bertentangan dengan teks Hadits lainnya,
maka kebenaran riwayat Hadits ini cukup
kuat untuk diamalkan.
b. Ulama Hadits yang Berpendapat
Pendapat ini didukung oleh beberapa
Imam yang agung, antara lain Imam Abu
Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam
Muhammad bin Idris al-Syafi'i, Imam Ahmad
bin Hanbal, Abu Dawud Sulaiman bin al-
Asy'ats al-Sijistani, Kamaluddin bin al-Hamam,
dan Muhammad al-Ma'in bin Muhammad al-
Amin. Ibn Mandah juga meriwayatkan bahwa
ia mendengar Muhammad bin Sa'd al-Bawardi
menyatakan bahwa salah satu pendirian al-
Nasā’ī yaitu untuk mengeluarkan Hadits dari
setiap rawi yang tidak disepakati untuk
ditinggalkan.
Selain itu, Abu Dawud al-Sijistani juga
mengambil pendekatan serupa dengan al-
Nasā’ī, yaitu mencantumkan sanad yang dha'if
jika tidak ada Hadits lain yang ditemukan pada
bab ini . Menurutnya, Hadits yang
demikian lebih kuat daripada pendapat ulama.
Pendapat selanjutnya disampaikan oleh Imam
Ahmad, yang menyatakan bahwa ia lebih
cenderung kepada Hadits dha’if daripada
pendapat ulama. Alasannya yaitu kita tidak
seharusnya beralih ke qiyas kecuali setelah
tidak ada nash yang menjelaskannya. Terkait
dengan pandangan yang diungkapkan oleh Ibnu
Mandah dan Abu Dawud, sekelompok ulama
menginterpretasikan bahwa apa yang
disebutkan oleh kedua Imam ini bukanlah
pemahaman yang umum tentang Hadits dha’if.
Mereka menganggapnya sebagai Hadits hasan
yang juga lemah jika dibandingkan dengan
Hadits shahih.
Namun, pendapat ini kemudian
dibantah oleh pernyataan Abu Dawud yang
bertentangan dengan pandangan ini . Abu
Dawud menyebutkan bahwa sebagian sanad
Hadits dalam kitab Sunannya tidak
bersambung, seperti Hadits mursal dan
mudallas. Dia juga menyatakan bahwa ini
hanya terjadi ketika tidak ada Hadits yang
ditemukan, seperti Hadits dari al-Hasan dari
Jabir, al-Hasan dari Abu Hurairah, dan al-
Hakam dari Miqsam dari Ibnu Abbas.
Dari penjelasan ini , dapat
disimpulkan bahwa Abu Dawud
mempertimbangkan Hadits-Hadits yang tidak
memiliki sanad yang muttashil sebagai Hadits
yang layak diamalkan ketika tidak ada Hadits
yang sahih ditemukan. Sudah jelas bahwa
Hadits munqathi’ atau yang terputus sanadnya
termasuk dalam kategori Hadits dha’if dan
bukan Hadits hasan. Penjelasan tentang Hadits
dha’if memiliki pembahasan yang khusus dan
jelas berbeda dengan Hadits yang memiliki
sanad yang bersambung, diriwayatkan oleh
perawi yang adil, memiliki kepercayaan yang
cukup, tanpa kejanggalan, dan tanpa cacat.
b. Pendapat yang Menolak Hadits Dhoif
Secara Mutlak
ada pendapat lain yang tegas
menyatakan bahwa Hadits dha’if sama sekali
tidak boleh diamalkan, baik dalam konteks
hukum, amalan keutamaan (fadha'il a'mal),
janji-janji yang menggugah (targhib), ancaman
yang menakutkan (tarhib), maupun dalam hal-
hal lainnya. Golongan ini meyakini bahwa
agama Islam bersumber dari kitab suci dan
sunnah yang benar. Hadits dha’if tidak dapat
diakui kebenarannya sebagai bagian dari
sunnah. Oleh karena itu, mengikutinya berarti
menambahkan elemen-elemen agama tanpa
dasar yang kuat dan meyakinkan.
Pendapat ini juga diatribusikan kepada
Qadhi Abu Bakr Ibn al-Arabi, serta pendapat al-
Syihab al-Khafaji dan al-Jalal al-Dawani.
Mereka berpendapat bahwa amalan keutamaan
(fadha'il a'mal) memiliki status yang sama
pentingnya dengan fardu dan haram, karena
semuanya merupakan bagian dari syariat Islam.
Selain itu, bahkan dalam Hadits-Hadits yang
sahih dan hasan, ada alternatif lain selain
Hadits dha’if.
Pendapat ini merupakan madzhab dari
para Imam besar Hadits, termasuk Imam al-
Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194 H
- 256 H), al-Imam Muslim bin al-Hajaj al-
Qusyairi (204 H - 271 H), Yahya bin Ma'in (158
H - 233 H) , al-Hafidz Abu Zakariya al-
Naisaburi, Abu Zur'ah Ar-Razi (w. 264 H), Abu
Hatim ar-Razi (w. 227 H), Ibn Abi Hatim ar-
Razi, Ibn Hibban (w. 342 H), al-Imam Abu
Sulaiman al-Khathabi, Abu Muhammad bin
Hazm, al-Qadhi Abu Bakr bin Abi al-'Arabi (w.
543 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661 H -
728 H), Abu Syamah al-Maqdisi, Jalaluddin al-
Diwani, Muhammad bin Ali al-Syaukani (172
H - 250 H), Shadiq Hasan Khon (1248 H - 1307
H), Ahmad Muhammad Syakir (1309 H - 1377
H), Muhammad Nashiruddin al-Albani (w.
1420 H), dan Subhi as-Shalih.
Beberapa ulama yang telah disebutkan
di atas memiliki argumen bahwa Hadits-Hadits
targhib dan tarhib, fadhail a’mal, sama
pentingnya dengan Hadits-Hadits hukum. Imam
Muslim (w. 264 H) sendiri dalam muqaddimah
Shahih-nya dengan tegas mengkritik mereka
yang berpegang pada Hadits-Hadits dhoif. Ia
mengatakan bahwa meskipun yang digunakan
yaitu Hadits targhib dan tarhib sekalipun,
alangkah baiknya jika diriwayatkan hanya dari
mereka yang diterima riwayatnya dalam Hadits-
Hadits hukum. Hal ini juga diungkapkan oleh
al-Bukhari (w. 256 H), Yahya bin Ma'in (158 H
- 233 H), al-Qadhi dari madzhab Maliki (543
H), dan Abu Syamah dari madzhab Syafi'i.
Pendapat serupa diungkapkan pula oleh
ulama-ulama kontemporer. Di antara ulama
ini yaitu Asy-Syaikh Muhammad Syakir
(1309 H - 1377 H) yang dikutip oleh Yusuf
Qardhawi: “Menurut hemat saya, penjelasan
tentang kedhoifan suatu Hadits yang dhoif
yaitu hal yang wajib dilakukan. Sebab, tanpa
adanya penjelasan seperti itu, akan membuat
orang yang membacanya, mengira Hadits
ini yaitu sahih. Terutama jika yang
membawakan yaitu seorang yang ahli Hadits
yang dipercayai memiliki wewenang seperti itu.
Tentang hal ini, tak ada bedanya, apakah Hadits
ini berkaitan dengan hukum, ataukah
dengan fadhail a’mal dan sebagainya.
Dalam semuanya itu, tetap tak
dibenarkanmemakai Hadits-Hadits yang
dhoif. Bahkan tak ada hujjah bagi siapa pun
kecuali dengan Hadits Rasul yang sahih dan
hasan. Adapun ucapan Ahmad bin Hanbal, Ibn
Mahdi dan Ibn Mubarak yang berbunyi
“...jika merawikan Hadits tentang fadhail
a’mal dan sebagainya, kami bisa mudahkan ...
dan seterusnya “, maka yang mereka
maksudkan – menurut pemahaman saya,
wallahu a’lam - yaitu sehubungan dengan
Hadits-Hadits hasan yang tidak mencapai
derajat sahih. Sebab, istilah-istilah yang
membedakan antara yang sahih dan hasan pada
masa mereka belumlah begitu jelas dan mapan.
Bahkan sebagian besar orang-orang terdahulu,
tidak memberi predikat suatu Hadits kecuali
dengan keterangan “sahih” atau “hasan” saja.
Pendapat Asy-Syaikh Muhammad
Syakir (1309 H - 1377 H) di atas juga
diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah (661 H - 728
H), Ibnu Qayyim, dan Asy-Syaikh al-Albani (w.
1420 H). Semuanya ini menjelaskan hal
yang sama bahwa yang dimaksud dengan
“Hadits dhoif” oleh Imam Ahmad (164 H - 241
H) yaitu Hadits hasan. Ulama lainnya yang
juga tidak menerima Hadits dhoif dalam fadhail
a’mal, meskipun memenuhi semua syarat yang
diajukan yaitu Subhi as-Shalih. Ia
menyebutkan bahwa riwayat yang dhoif tidak
mungkin menjadi sumber hukum agama atau
sumber keutamaan akhlak.
Hal ini karena keutamaan-keutamaan
termasuk tiang-tiang penyangga agama yang
pokok, sehingga tidak boleh bangunan tiang-
tiang ini rapuh.
c. Pendapat Menerima Hadits Dhoif dalam
Fadha’il A’mal dan Menolaknya jika
dalam Hukum-hukum
Pendapat selanjutnya berbeda dengan
pendapat pertama dan kedua. Pendapat ketiga
ini yaitu pendapat-pendapat dari jumhur
ulama. Mereka mengemukakan pendapat yang
menengahi kedua pendapat sebelumnya.
Mereka menerima Hadits dhoif dalam fadhail
a’mal, targhib, dan tarhib serta menolaknya jika
dalam urusan hukum halal dan haram. Dan
pendapat ini pun merupakan pendapat yang
muncul dari sebagian fuqaha dan ahli Hadits.
Salah satu ulama yang bermadzhab demikian
yaitu al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami. Beliau
membenarkan pemakaian dalil Hadits dha’if
dalam fadhail a’mal. Pandangan beliau yaitu
karena jika Hadits dha’if itu hakikatnya sahih,
maka sudah seharusnya ia diamalkan, dan jika
ternyata Hadits dha’if ini memang dha’if,
maka pengamalan terhadapnya itu tidak
mengakibatkan kerusakan berupa
menghalalkan hal yang haram ataupun
mengharamkan hal yang halal, dan menyia-
nyiakan hak orang lain.
1) Syaratmemakai Hadits dha’if dalam
fadhail a’mal memiliki enam syarat.
Syarat-syarat ini yaitu sebagai
berikut. Hadits dha’if yang dapat
diamalkan yaitu Hadits dha’if yang tidak
terlalu dha’if. Jika ada Hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang pendusta atau
dituduh dusta, atau oleh seseorang yang
banyak melakukan kesalahan, maka Hadits
ini tidak dapat digunakan.
2) Hadits dha’if yang diamalkan harus berada
di bawah satu dalil yang umum. Artinya,
Hadits dha’if yang sama sekali tidak
memiliki dasar yang kuat tidak dapat
diamalkan.
3) Hadits dha’if yang diamalkan tidak disertai
dengan keyakinan yang pasti atas
kebenarannya, untuk menghindari
pengandaian bahwa Nabi saw. pernah
menyampaikan sesuatu yang sebenarnya
tidak pernah beliau katakan.
4) Hadits dha’if yang diamalkan hanya
membahas tentang fadhail a’mal, yaitu
keutamaan-keutamaan amalan.
5) Tidak ditemukannya Hadits sahih lain
yang membahas tema yang sama. Ini
berarti bahwa Hadits dha’if hanya dapat
diamalkan jika tidak ada Hadits sahih atau
hasan yang membahas tema yang sama.
6) Tidak ada keyakinan bahwa suatu dalil itu
sunah (disukai) padanya. Artinya, tidak
ada keyakinan bahwa suatu Hadits dha’if
itu benar-benar sunah.Ini merupakan
beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
Hadits dha’if dapat diamalkan dalam
konteks fadhail a’mal.
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar al-
Atsqalani (w. 852 H) yang dikutip oleh Hasby
Ash-Shiddieqy, ada tiga syarat yang
ditetapkan oleh ulama ahli Hadits dalam
menggunakan Hadits dha’if.
1) Kelemahan Hadits dha’if ini tidak
begitu signifikan. Artinya, jika Hadits
hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta
atau dituduh dusta, maka Hadits ini
tidak dapat digunakan.
2) pemakaian Hadits ini tidak
bertentangan dengan dasar hukum yang
telah disepakati. Ini berarti Hadits dha’if
ini tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum yang telah diakui.
3) Saatmemakai Hadits ini ,
janganlah diyakini bahwa Hadits itu benar-
benar berasal dari Nabi saw. Namun,
pemakaian nya hanya sebagai pengganti
dari pendapat yang tidak memiliki dasar
nash sama sekali.
Dengan mengikuti ketiga syarat
ini , Hadits dha’if dapat digunakan sebagai
pedoman atau sumber pengetahuan, terutama
jika tidak ada Hadits yang lebih kuat atau jika
Hadits ini tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum yang telah disepakati.
Pendapat ketiga ini diriwayatkan oleh
jumhur ulama dan lainnya. Di antara ulama-
ulama yang memiliki pendapat demikian
yaitu Sufyan ats-Tsauri (l. 97 H-w. 191 H),
Abdullah bin al-Mubarok (l. 118 H- w. 181 H),
Abdurrahman bin Mahdi (l. 135 H- w. 198 H),
Sufyan bin Uyainah (l. 107 H- w. 198 H), Abu
Zakariya, Abdul Umar bin Abdul Bar,
Muwafiq al-Dīn Ibn Qidamah (l. 541 H- w. 629
H), Abu Zakariya An-Nawawi (l. 631 H- w.
676 H), al-Ḫafidz Isma’il Ibn Katsir (l. 701 H-
w. 774 H), Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin al-
Suyuthi (l. 849 H- w. 911 H), al-Khatib asy-
Syarbini, Taqiyuddin al-Fatwahi, al-Mala ‘Ali
al-Qari, Muhammad bin Abdul Hayy al-
Kanwi, dan Dr. Nuruddin ‘Itr.
d. Makna dalam pemakaian Hadits dhoif
Penetapan hukum tidaklah diberikan
kepada Hadits dha’if yang berkaitan dengan
keutamaan amal. Para ulama menjelaskan
bahwa pemakaian Hadits dha’if dalam konteks
fadhail a'mal hanya bertujuan untuk mendorong
pelaksanaan amal kebajikan yang telah dikenal
melalui dalil syari’at yang sah, serta untuk
mencegah perilaku yang buruk. Dengan
demikian, mereka tidak bermaksud untuk
menetapkan baik atau buruknya suatu amal
berdasarkan Hadits dha’if.
Pendapat Ibnu Taimiyah, seperti yang
dikutip oleh Yusuf Qardhawi, menjelaskan
dengan tegas bahwa izinmemakai Hadits
dha’if dalam konteks keutamaan amal tidak
sama dengan menetapkan sesuatu sebagai
sunnah yang harus diikuti. Menetapkan sesuatu
sebagai sunnah merupakan bagian dari hukum
syari’at, dan oleh karena itu, memerlukan dalil
syar'i yang kuat. Ibnu Taimiyah menegaskan
bahwa jika seseorang menyatakan bahwa Allah
menyukai atau menyetujui suatu perbuatan
tanpa dasar dalil syar'i, maka ia telah membuat
syariat yang tidak diizinkan oleh Allah. Ini sama
dengan memberlakukan hukum halal atau
haram tanpa dasar syar'i. Oleh karena itu,
menetapkan sesuatu sebagai mustahab
(dianjurkan) juga menjadi perbedaan pendapat
di antara para ulama, sama seperti hal-hal
lainnya. Ini yaitu prinsip dasar dalam agama
yang harus disyariatkan.
Makna yang dimaksud oleh para ulama
dalam hal ini yaitu perbuatan yang telah
dijelaskan sebagai yang disukai atau dibenci
oleh Allah berdasarkan teks Al-Qur'an, Hadits,
atau kesepakatan umat Islam
Contohnya yaitu tilawah Al-Qur’an, berzikir,
berdoa, bersedekah, memerdekakan budak, dan
melakukan kebajikan terhadap sesama manusia,
yang semuanya merupakan perbuatan yang
disukai oleh Allah. Di sisi lain, perbuatan-
perbuatan seperti berdusta dan berkhianat
termasuk dalam hal-hal yang tidak disukai oleh
Allah.
Jika ada Hadits tentang keutamaan
atau larangan atas perbuatan yang disukai atau
tidak disukai oleh Allah, serta tentang pahala
dan hukuman yang terkait, namun keaslian
Hadits ini belum diketahui, maka dalam
hal ini diperbolehkan untuk mengambil manfaat
dari Hadits ini . Dengan kata lain, jika
Hadits ini terbukti sahih, maka akan ada
manfaat yang didapat darinya. Namun, jika
Hadits ini ternyata palsu, maka tidak akan
ada kerugian yang ditimbulkannya.
Pendapat Ibnu Taimiyah yang
disampaikan oleh Abdul Karim juga menyoroti
contoh terkait hal ini, seperti pemakaian
Hadits-Hadits israiliyat, mimpi-mimpi, ucapan
para salaf, peristiwa-peristiwa yang dialami
oleh ulama tertentu, dan sebagainya dalam
konteks "targhib" (pemberian dorongan) dan
"tarhib" (pengingkaran). Meskipun informasi-
informasi ini tidak boleh dijadikan dasar
untuk menetapkan hukum syar’i, baik itu
menyangkut mustahab (dianjurkan) atau hal
lainnya, namun boleh saja disebutkan sebagai
sarana untuk memberikan dorongan atau
peringatan.
Pendapat kedua, yang merupakan
pendapat paling moderat dan kuat menurut
Nuruddin ‘Itr, memperlihatkan bahwa Hadits
dhoif bisa digunakan dengan tepat. Hal ini
dikarenakan jika kita melihat syarat-syarat
pemakaian Hadits dhoif yang telah ditetapkan
oleh para ulama, kita akan mengetahui bahwa
Hadits ini tidaklah palsu (mawdhu’),
meskipun kedudukannya tidak bisa dipastikan
secara pasti dan masih terbuka untuk berbagai
kemungkinan. Keabsahan Hadits ini akan
semakin kuat jika tidak ada dalil yang
bertentangan dengannya.
Para ulama juga membahas
pemakaian Hadits-Hadits dhoif dengan lebih
spesifik:
1) Hadits mu’allaq termasuk dalam kategori
Hadits yang tertolak (mardud) karena tidak
memenuhi syarat-syarat Hadits yang
diterima (maqbul). Namun, Hadits
mu’allaq bisa diterima jika dikuatkan oleh
jalur sanad lain yang menyebutkan perawi
yang gugur dan ternyata memiliki sifat
kejujuran yang tinggi (tsiqah) atau sangat
jujur (shaduq). Dengan demikian, sifat-
sifat perawi yang dibuang ini menjadi
jelas berdasarkan informasi dari jalur
periwayatan yang lain.
Mu'allaq yang terjadi dalam kitab
Shahihain memiliki hukum yang khusus
karena mu'allaq ini ada dalam
muqaddimah bab bukan pada isi bab, dan
dimaksudkan untuk meringkas serta
menjauhi pengulangan. Mengenai Hadits
mu'allaq yang terjadi dalam kitab
Shahihain, para ulama memiliki beberapa
pendapat yang berbeda.
a) Hadits mu’allaq dihukumi sahih,
yakni jika Hadits yang disebutkan
denganmemakai bentuk kata
aktif yang meyakinkan.
b) Hadits mu’allaq dihukumi tidak sahih,
tetapi adakalanya dihukumi sahih,
hasan, dan dhoif, yakni jika Hadits
yang disebutkan dengan bentuk kata
pasif (mabni majhul) dan tidak
meyakinkan (sighat tamridh). Namun
sebagaimana penelitian Ibnu Hajar al-
Atsqalany yang disebutkan Abdul
Majid Khon bahwa dalam kitab sahih
tidak ada Hadits yang lemah dan
sanad-sanadnya bersambung.
2) Hadits Mursal; Hadits mursal merupakan
Hadits dhoif yang mardud karena tidak
memenuhi persyaratan Hadits yang
maqbūl, yaitu ittishal al-sanad
(persambungan sanad), dan tidak diketahui
sifat-sifat perawinya.
Mengenai hal ini, terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama
mengenai mursal tabi’i, yaitu ada tiga
pendapat: a) Hadits mursal dihukumi sahih
dan dapat dijadikan hujah. Yakni jika
yang memursalkan yaitu perawi yang
tsiqah. Hal ini dengan pendapat bahwa
orang tsiqah tidak mungkin me-mursal-kan
Hadits, kecuali dari orang tsiqah pula.
Tokoh yang berada dalam pendapat ini
yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad,
dan ulama lain. b) Hadits mursal dihukumi
dhoif dan tidak dapat dijadikan hujah.
Alasan pendapat ini yaitu karena
sifat-sifat rawi yang digugurkan tidak
diketahui secara jelas, sehingga
dimungkinkan selain sahabat. Hal ini
pendapat mayoritas muhadditsin dan
banyak di kalangan fuqaha dan ushuliyyin,
di antaranya Muslim bin al-Hajaj, Abu
Hatim, al-Hakim, Ibnu Shalah, an-
Nawawi, dan Ibnu Hajar. c) Hadits mursal
dapat dierima dan dijadikan hujah, dengan
beberapa syarat menurut Imam al-Syafi’i
dan sebagian ahli ilmu. Syarat yang
dimaksud yaitu : Perawi yang
memursalkan Hadits yaitu seorang
tabi’in senior (kibar at tabi’in), Perawi
seorang tsiqah, Tidak menyalahi para
huffadz yang amanah.
Syarat-syarat di atas ditambah
salah satu dari empat syarat berikut;
Haditsnya diriwayatkan melalui sanad lain,
Ada periwayatan lain secara mursal juga
oleh ahli ilmu yang bukan pe-mursal
pertama, Sesuai dengan perkataan sahabat,
Sesuai dengan fatwa mayoritas ahli ilmu.
Sedangkan kehujahan mursal
sahabi ada dua pendapat di kalangan ulama
Hadits: a) Hadits mursal sahabi saẖīẖ dan
dapat dijadikan hujah. Pandangan ini
yaitu pendapat jumhur muhadditsin yang
mengatakan bahwa para sahabat semua
bersifat adil dan periwayatan sahabat
sangat langka dari tabi’in. Sehingga, jika
para sahabat meriwayatkan dari para
sahabat yang lain juga, tentu
menjelaskannya. Jika tidak
menjelaskannya, pada dasarnya mereka
mendengar dari sahabat lain, sehingga
dalam pandangan pertama ini membuang
nama sahabat tidak membahayakan. b)
Hadits mursal sahabi tidak dapat dijadikan
hujah, kecuali dapat dikatakan bahwa
Hadits ini hanya diriwayatkan dari
sahabat.
Pendapat ini berasal dari pendapat
segolongan ushuliyyin, di antara mereka
yaitu Abu Ishaq Al-Isfarayini.
Kehujahan mursal khafi, tergolong mardud
dan dhoif karena tidak adanya
persambungan sanad atau di antara
periwayat tidak bertemu langsung dengan
si pembawa berita (ghair ittishal as-sanad)
3) Hukum Hadits Mu’dhal, Hadits mu'dhal
merupakan salah satu jenis Hadits dhoif
yang lebih buruk keadaannya daripada
Hadits mursal dan Hadits munqathi'. Ini
disebabkan oleh keberadaan dua perawi
yang dibuang dari sanad periwayatan.
Hukum terkait Hadits mu'dhal ini
didasarkan pada kesepakatan (ijma') para
ulama. Antara mu'dhal dan mu'allaq
ada persamaan dan perbedaan.
Persamaannya terletak pada struktur yang
sama, yaitu pembuangan dua perawi secara
berurutan. Perbedaannya terletak pada
lokasi pembuangan dalam sanad: jika
pembuangan terjadi dari pertengahan sanad
dua perawi secara berurutan, maka Hadits
ini disebut mu'dhal; namun jika
pembuangan terjadi pada perawi pertama
dalam sanad, maka Hadits ini disebut
mu'allaq.
4) Hukum Hadits Munqathi, Ulama sepakat
bahwa hukum Hadits munqathi' yaitu
dha'if, karena kehilangan salah satu syarat
dari beberapa syarat yang diperlukan untuk
menerima suatu Hadits, yaitu
ketersambungan sanad. Oleh karena itu,
Hadits munqathi' dianggap sebagai Hadits
yang ditolak.
5) Hadits munqathi' yaitu Hadits yang
sanadnya terputus, yang berarti ada perawi
yang tidak bertemu dengan perawi
sebelumnya dalam rangkaian sanad, baik di
awal, di tengah, maupun di akhir. Ini
mencakup Hadits-Hadits seperti mursal,
mu’allaq, dan mu’dhal. Namun, pendapat
ulama terkini dan mayoritas ulama
sebelumnya menyatakan bahwa Hadits
munqathi' memiliki karakteristik yang
berbeda dari jenis Hadits lainnya, karena
kebanyakan Hadits munqathi' mengacu
pada penghapusan perawi setelah periode
tabi'in dari periode sahabat. Dengan
demikian, Hadits munqathi' dianggap
berbeda dari Hadits mursal (perawi dihapus
di awal sanad), mu’allaq (perawi dihapus di
akhir sanad), dan mu’dhal (dua perawi
dihapus secara berurut).
6) Hukum Hadits Mudallas, ada
beberapa pendapat mengenai hukum
periwayatan perawi yang melakukan tadlis
(penyembunyian atau penyamaran sumber
Hadits), yaitu: Pertama, pendapat yang
menolak secara mutlak, baik tadlis itu
dinyatakan dengan jelas (as-sama') atau
tidak, bahkan jika hanya terjadi sekali pun,
pendapat ini dipegang oleh sebagian
Malikiyah.
Kedua, pendapat yang menerima secara
mutlak, dengan menyamakan tadlis dengan
irsal (Hadits mursal), ini dipegang oleh al-
Khatib dan para ahli ilmu. Ketiga, pendapat
yang menerima jika perawi ini tidak
diketahui melakukan tadlis kecuali dari
sumber yang terpercaya, ini dipegang oleh
al-Bazzar, Al-Azdi, Ash-Shayrafi, Ibnu
Hibban, dan Ibnu Abdul Barr. Keempat,
pendapat yang menerima jika tadlis-nya
langka atau terjadi dalam jumlah yang
sedikit, ini dipegang oleh Ali bin Al-
Madini. Kelima, pendapat yang menerima
periwayatan jika perawi ini yaitu
seorang yang tepercaya dan meyakinkan
periwayatannya dengan jelas, seperti yang
diyakini oleh mayoritas ahli Hadits.
Pendapat terakhir ini dianggap sahih.
Dengan demikian, ada tiga pendapat utama:
menerima secara mutlak, menolak secara
mutlak, dan menerima dengan syarat atau
catatan tertentu.
7) Hukum Hadits Mawdhu , Para ulama
sepakat bahwa menciptakan Hadits mawdhu'
(palsu) yaitu haram, begitu juga
meriwayatkannya tanpa menyatakan bahwa
Hadits ini palsu atau bohong. Ini
berlaku baik dalam konteks targhib
(mengajak kepada kebaikan) maupun tarhib
(menakut-nakuti dari melakukan kejahatan),
fadhail a'mal (keutamaan-keutamaan amal),
hukum-hukum, kisah-kisah, dan bidang
lainnya. Umat Islam telah menegaskan
bahwa menciptakan Hadits mawdhu' yaitu
secara mutlak haram, dan tidak ada
perbedaan pendapat di antara mereka
tentang hal ini. Menciptakan Hadits
mawdhu' dianggap setara dengan berbohong
atas nama Rasulullah saw., karena
mengatribusikan perkataan palsu kepada
beliau yang sebenarnya tidak pernah
diucapkan.
Sebuah kelompok yang tersesat,
seperti al-Karramiyah, yang mengikuti
Muhammad bin Karram As-Sijistani,
memperbolehkan pembuatan Hadits
mawdhu'. Mereka menganggap boleh
menciptakan Hadits palsu dalam konteks
yang menarik untuk mengajak kepada
ibadah (targhib) atau untuk mengancam
orang yang melakukan dosa (tarhib).
Namun, meriwayatkan Hadits mawdhu'
dengan menjelaskan bahwa itu yaitu Hadits
palsu yaitu hal yang diperbolehkan.
Dengan memberikan penjelasan seperti itu,
Hadits palsu dapat dibedakan dari Hadits
yang benar dari Rasulullah saw., sehingga
menjaga kesucian dari sunnah. Rasulallah
saw bersabda terkait hal ini:
دِبْعَ نْعَ ثِرِاوَلْا دُبْعَ انَ َث َّدحَ لَاَق رٍمَعْمَ وُبَأ انَ َث َّدحَ
اًثيدِحَ مْكُثَ ِدحَأُ نْأَ نِِعُ َنمْيََل هَُّنإِ سٌنََأ لَاَق زِيِزعَلْا
دََّمعَ َت نْمَ لَاَق مََّلسَوَ هِيْلَعَ ُ َّللَّا ىَّلصَ َّبَِّنلا َّنأَ اًيرثِكَ
ِراَّنلا نْمِ هُدَعَقْمَ أَّْو َب َت َيلْ َف بًًذِكَ َّيلَعَ
“ Telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar
berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdul
Warits dari 'Abdul 'Aziz berkata, Anas berkata,
"Sesungguhnya yang mencegahku untuk
menyampaikan kepada kalian banyak hadits
yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
"Barangsiapa sengaja berdusta terhadapku (atas
namaku), maka hendaklah ia persiapkan tempat
duduknya di neraka." ( HR. Muslim 105).
8) Hukum Hadits Matruk Seperti yang
dijelaskan sebelumnya oleh Ibnu Hajar al-
Atsqalany, urutan Hadits dha’if dari yang
terburuk yaitu mawdhu', mu'alal, mudraj,
maqlub, dan kemudian mudhtharib. Hadits
martruk merupakan Hadits terburuk setelah
Hadits mawdhu', karena memiliki cacat yang
sangat fatal, yaitu perawinya dituduh dusta.
Sebagaimana namanya yang berarti
"tertinggal" atau "ditolak", Hadits martruk
tidak dapat diamalkan sama sekali, tidak
didengar, dianggap, atau diamalkan.
9) Hukum Hadits munkar yaitu ditolak,
karena merupakan Hadits yang tidak
diterima karena adanya cacat pada perawi
yang menyebabkan penolakan dan
penolakan. Hadits yang pada sanadnya
ada seorang perawi yang memiliki
kesalahan parah, banyak kelupaan, atau
terlihat kefasikannya, bahkan mungkin
diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang
bertentangan dengan periwayatan yang
tepercaya, merupakan Hadits yang munkar.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa di antara
para perawi Hadits munkar, ada yang
memiliki daya ingat yang sangat lemah
sehingga periwayatannya menjadi terisolasi
dan tidak sejalan dengan periwayatan orang
yang dapat dipercaya.
Berdasarkan analisis yang telah
dilakukan, semua Hadits yang diteliti lebih
cenderung pada pembahasan terkait fadha’il
a’mal, yaitu keutamaan atau kebaikan amal-
amal. Contohnya yaitu Hadits yang
menyatakan bahwa seseorang yang berbuka
puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa alasan
yang sah, maka puasanya tidak akan diterima
seumur hidup.
Hadits lain yang juga membahas
fadha’il a’mal yaitu yang menyatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda bahwa barangsiapa
berpuasa Ramadhan dengan penuh kesadaran
akan batas-batasnya dan menjaga segala yang
seharusnya dijaganya, maka akan mendapatkan
penebusan dosa-dosanya yang telah lalu. Selain
itu, ada juga Hadits yang menyebutkan
bahwa Rasulullah saw. menjelaskan tentang
Ramadhan sebagai bulan yang Allah wajibkan
untuk berpuasa dan di mana Allah
memperindah shalat malamnya. Orang yang
berpuasa dan mendirikan shalat malam dengan
iman dan introspeksi diri akan diampuni dosa-
dosanya seperti saat seorang bayi baru lahir
bersih dari dosa ketika keluar dari rahim ibunya.
Pendapat tentang pemakaian Hadits
dha’if dalam praktek agama memunculkan
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada
kelompok yang secara mutlak menolak
pemakaian nya dalam penetapan hukum,
keyakinan keagamaan, maupun praktik amal
ibadah. Mereka berargumen bahwa Hadits
dha’if tidak dapat dipastikan datang dari Nabi
Muhammad SAW. Di antara mereka yaitu
Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakr
Ibn al-Arabi.
Di sisi lain, ada kelompok yang
membolehkan pemakaian Hadits dha’if secara
mutlak. Mereka berpendapat bahwa
mengamalkan Hadits dha’if lebih disukai
daripada mengandalkan akal atau analogi.
Imam Abu Hanifah, An-Nasa'i, dan Abu Dawud
termasuk di antara mereka. Namun, mereka
membatasi pemakaian Hadits dha’if hanya
dalam konteks fadhail al-'amal (keutamaan
amal perbuatan), bukan dalam penetapan
hukum seperti halal dan haram, atau masalah
akidah.
Sebagian ulama, seperti Imam Ahmad
ibn Hanbal, Abd al-Rahman ibn al-Mahdi, dan
Abdullah ibn al-Mubarak, menerima
pemakaian Hadits dha’if hanya dalam konteks
fadhail al-'amal. Mereka menekankan bahwa
Hadits dha’if harus memenuhi beberapa syarat
agar dapat diterima dan diamalkan. Misalnya,
Hadits dha’if tidak boleh memiliki kelemahan
yang sangat fatal, harus selaras dengan dasar-
dasar agama yang masih diterima, dan
pengamalannya tidak boleh didasarkan pada
keyakinan penuh bahwa Hadits ini benar-
benar datang dari Nabi Muhammad SAW,
tetapi semata-mata untuk pencegahan.
Sementara As-Suyuti sendiri cendrung
membolehkan beramal dengan hadits dhoif
termasuk dalam masalah hukum dengan
maksud ikhtiyath. Ia mendasarkan pada
pendapat Abu Daud, Iama ibn Hambal yang
berpendapat bahwa itu lebih baik dibanding
menggunakan akal atau rasio atau pendapat
seseorang.