Ekslopedi aliran Mazhab 7

 


alnya banyak dinisbatkan pada

Balim Sultan (w- 922 H). Banyak pendapat dan perkataan yang

dinisbatkan kepada Bektasy velli, tidak diragukan lagi. para peneliti

pun memberikan pandangan yang baik yang menunjukkan bahwa

Baktesy velli terlepas dari hal-hal menyimpangyang ditambahkan

pada tarekat ini.

2- Penyebaran Tarekat Al-Bektasyiah dan pengaruhnya tidak hanya

terbatas pada tingkatan sosial masyarakat dan agama saja, melainkan

juga berpengaruh besar pada sisi politik dan militer di rurki dan

wilayah Balkan. Pengaruh ini sering dimanfaatkan untuk kepentingan

mereka. Meskipun penelitian mengenai jumlah pengikut Al-Bektasyiah

berbeda-beda, namun tarekat ini telah membentuk suatu komunitas

yang besar -sejak dulu hingga sekarang-yang memungkinkannya

untuk mempermainkan peran yang sangat penting.

3. Meskipun seberapa pentingnya posisi Al-Bektasyiah daram sisi

keilmuan, namun buku-buku yang ada di perpustakaan Arab

tidak memberikan perhatian yang semestinya daram hal penelitian

ilmiah terhadap aliran Al-Bektasyiah, bahkan sebagian buku tidak

menyebutkannya sama sekali.

4. Pemikiran taulid An-Nurani mempunyai dasar kuat dalam pemikiran

syiah ekstrim. Pemikiran ini telah diadopsi oleh Al-Bektasyiah dan

mengembangkannya, sehingga pandangan mereka mengenai Imam

Ali serupa dengan pandangan Syiah ekstrim, mengenai para imam.

Apa yang diyakini oleh Al-Bektasyiah tentang pengagungan mereka

terhadap Ahlul Bait sebagaimana yang mereka lakukan, tidak dapat

disamakan dengan sikap Ahlu Sunnah wal Jamaah terhadap Ahlul

Bait. Penyamaan ini merupakan kesalahan terhadap pembacaan

kebenaran sejarah dan pemikiran. Pengagungan Ahlu Sunnah wal

Jamaah terhadap Ahlul Bait bukan berarti mereka adalah pengikut

Syiah secara terminologi, dan juga bukan berarti rnereka menerima

sikap berlebihan yang dilakukan orang-orang Syiah terhadap Imam

Ali dan keturunannya.

Aliran Al-Bektasyiah berkeyakinan tentang Wahdatul Wujud. Mereka

memandang pada dasamya kekhalifahan tidak perlu. Sebagaimana

juga, mereka mengatakan tentang Al-Ashalah dan As-Sifarah sebagai

ganti dari kekhalifahan. Hal ini jelas sekali merupakan pemikiran yang

menyimpang dan salah.

Pemahaman syariat bagi aliran Al-Bektasyiah terdapat kandungan

yang berbeda dari apa yang kita temukan dalam tasawuf yang lurus.

Aliran ini -sebagaimana tarekat sufi yang lain pada umumnya-

memberikan perhatian khusus terhadap syaikh atau Baba dalam

berperilaku.

Al-Bektasyiah menekankan keharusan seorang salik untuk menyesuai-

kan sikap zhahir terhadap batinnya. Perkataan Al-Bektasyiah ini

bisa jadi diterima di masa pertama, namun bersamaan dengan

berjalannya waktu dalam tarekat, dan seorang salik masih saja

memperhatikan diri dan perilakunya, terkadang dia tidak mamPu

meninggalkan kesibukan dan segala sesuatu selain Allah. Oleh karena

itu, berdasarkan dengan ilmu hati, tidak dapat terwuiud buah dari

perilaku tarekat sebagaimana yang dikenal dalam pikiran.

Dzikir dalam aliran Al-Bektasyiah terdapat dua dzikit; Khnfi yang

mereka ambil dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, sebagaimana mereka

katakan, dan dzikir lahiyangmereka ambil dari Ali bin Abi Thalib.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Al-Bektasyiah melanggar

sebagian hukum syariat dan adab sunnah. Namun sebagian mereka

tidak mengakui perilaku seperti ini.

Al-Bektasyiah menggunakan hadits Nabi S, " Aku adalah kota ilmu,

sedangkan Ali adalah pintunya." Sebagai sandaran dan referensi bagi

fase tarekat sufinya yang berjumlah empa! Syariat, tarekat, makrifat,

dan hakekat. Meskipun mereka tidak memberikan penjelasan teoritik

yang jelas mengenai maqam danahwal.

Haji Bektasy mengambil Khirqah (potongan kain) dari Ahmad Al-

Yasawi (w.562 H). Sedangkan Al-Bektasyiah merupakan cabang

dari Tarekat Al-Yasawiyah. Al-Yasawiyah merupakan cabang dari

Al-Khawalijikaniyah yang merupakan turunan dari Al-Junaidiyah.

Tampak jelas sekali, berdasarkan pada bukti dan dalil yang banyak,

bahwa jiwa Syiah mengalir pada institusi Al-Bektasyiah, baik secara

pemikiran, keyakinan dan perilaku, namun Al-Bektasyiah bukanlah

suatu aliran yang munculnya beraliran Syiah. Jiwa Syiah ini muncul

belakangan, sehingga perbedaannya sangat tipis; antara sebagai

kelompok Syiah yang beraliran tasawuf atau tarekat Sufi yang berjiwa

Syiah.

Al-Bektasyiah menganggap bahwa mereka beraliran Ahlu Sunnah,

namun kandungan pemikiran dan perilaku keberagamaan mereka

menolak anggapan mereka ini. Bisa jadi sikap dan perilaku mereka ini

justeru dapat mengeluarkan mereka dari lingkup tasawuf yang lurus,

atau bahkan dianggap telahkeluar dari kelompok dan madzhab Islam

yang dikenal.

Al-Bektasyiah terpengaruh oleh Al-Baba'iyah dan Al-Hurufiyah bahkan

juga terpengaruh oleh unsur-unsur Nasrani, keyakinan-keyakinan

masyarakat Anatolia, Turki kuno, Ghanushiyah, dan Syamaniyah

sebagaimana telah dijelaskan di depan. Wallohu zoaliyyuttaffi.


AL.BAHSYAMIYAH

Pengertian Kelompok Ini

KELOMPOK AL-BAHSYAMIYAH merupakan salah satu kelompok

Mu'tazilah Bashrah. Kelompok ini juga disebut dengan nama Al-

Hasyimiyah atau Al-Bahsyamiyah. Terkadang juga dijuluki oleh lawannya

dengan sebutan kelompok Adz-Dzarn-iyuh.*t

Kelompok ini muncul pada abad keempat Hijriyah, dan menjadi

terkenal serta mengalahkan aliran-aliran Mu'tazilah yang lainnya yang

datang setelahnya. Abu Hasyim Al-juba'i dianggap sebagai pendiri

kelompok Al-Bahsyamiyah. Dia adalah putra Syaikh Abu Ali Al-|uba'i

(w. 303 H) yang juga merupakan pendiri kelompok Al-fuba'iyah yang

beraliran Mu'tazilah Bashrah.

Pendiri Al-Bahsyamtyah dan Nasabnya

Dia adalah Abu HasyimAbdussalambin AbiAli Muhammad Abdul

wahab bin salam bin Khalid bin Hamran bin Abban, seorangmaula (bekas

hamba sahaya) Utsman bin Affan. Dilahirkan di Bashrah. Para sejarawan

berbeda pendapat dalam menentukan tanggal lahimya. Ibnu Khalikan (w.

681 H) dalam kitabnya yang berju dulWafayat Al-A'yan menyebutkan bahwa

Abu Hasyim dilahirkan pada tahun 247 }jliriyah.ffi Pendapat ini sesuai

dengan pendapat Ibnu Katsir (w.776 H) dalam Kitab Al-Bidayah wa An-

Nihayah.607 Sebagaimana juga AlQadhi Abdul Jabbar Al-Mu'tazili (w. a15 H)

dalam kitabnya yang berj udul Firaq wa Thabaqat Al-Mu' tazilah.

Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H) dalam Taikh Baghdad60e berpendapat

bahwa Abu Hasyim dilahirkan pada tahun277 L\jriyah. Barangkali tanggal

inilah yang paling mendekati kebenaran. Abu Hasyim berpindah dari kota

Bashrah ke kota Al-Askar kemudian menetap di Baghdad hingga meninggal

pada tahun 32LH/ 932M dan dimakamkan di sana.

Pendidikannya

Abu Hasyim belajar ilmu nahwu dari Abu Al-Abbas Al-Mubarrad (w.

289 H). Pendidikan Al-Mubarrad sangat keras. Maka pada suatu ketika

dikatakan kepada Abu Hasyim, " Bagaimana kamu dapat menang gongnya?"

maka Abu Hasyim menjawab, "Aku melihat, menanggung kekerasan

tersebut lebih utama daripada bodoh dalam bahasa Arab."

Abu Hasyim mempelajari ilmu kalam dari ayahnya. Diceritakan

bahwa Abu Hasyim sangat bersemangat untuk mempelajari ilmu ini. Dia

selalu bertanya kepada ayahnya tentang berbagai macam permasalahan,

hingga terkadang ayahnya merasa tertekan.

Namun Abu Hasyim selalu saja menanyainya di sepanjang harinya

selagi bisa. Ketika datang waktu malam, Abu Hasyim mendal'rului ayahnya

untuk menuju ke tempat tidur ayahnya agar sang ayah tidak terburu-

buru menutup pintu dan beristirahat tidur di ranjangnya. Abu Hasyim

berdiri di sampingnya dan terus saja begitu hingga ayahnya tertidur. Ini

adalah gambaran yang menjelaskan bagaimana semangat Abu Hasyim

dalam belajar dan mencari tambahan ilmu serta memanfaatkan kedekatan

hubungannya dengan ayahnya yang merupakan pembesar cendekiawan

ahli kalam Mu'tazilah dari Bashrah.

Abu Hasyim menguasai ilmu kalam melebihi apa yang telah dicapai

oleh para syaikh sebelumnya, sehingga dikatakan bahwa Abu Hasyim telah

melebihi ayahnya. Oleh karena ihr, AlQadhi Abdul Jabbar menempatkannya

pada tingkatan kesembilan dari para pembesar Mu'tazilah dan lebih

mendahulukannya dari pada yang lain, meskipun umumya masih muda



Akhlaknya

Abu Hasyim seorang yang berakhlak baik, berani, dan cerdas. Orang-

orang melihatnya sebagai seseorang yang zuhud. Abu Abdullah Al-Bashri

(w. 399 H) bercerita tentangnya yang menunjukkan kewira'iannya, dan

menjauhi para pemerintah dan orang-orang yang memPunyai kekuasaan

serta enggan untuk bergaul dengan mereka kecuali dalam hal-hal tertentu

saja.

Dia orang yang pemberani, soPan, dan berwibawa. Suatu ketika dia

akan menghadiri majelis Ibnu Al-Munjim -seorang yang mempunyai

kedudukan tinggi - maka Abu Hasyim ditakut-takuti agar jangan berbicara

di hadapannya. Ketika Abu Hasyim menghadiri majelis tersebut dan

ditanya mengenai suatu pendapat, maka Abu Hasyim menjawabnya

dengan panjang lebar di hadapan Ibnu Al-Munjim dengan tanpa ragu

dan rasa takut.

Ibnu An-Nadim menyebutnya sebagai seorang yang cerdas dan

berani. Dia mengatakan, "Abu Hasyim adalah seorang yang cerdas, dan

baik pemahamannya, serta mampu berbicara dengan !2i1."61r

Kecakapannya

Kecakapan Abu Hasyim dalam hal agama sangat mendalam, hingga

banyak para ahli lebih mengunggulkannya daripada para pembesar

Mu'tazilah di masanya. Abu Hasyim dikenal sangat memperhatikan bahasa

dan sastra. Ia sangat istimewa dalam hal ini. Ketika membandingkan Abu

Hasyim dengan ayahnya, Yaqut Al-Hamawi mengatakan, "Dia dijuluki

dengan sebutan Abu I{asyim An-Nahwi, ketika dia terkenal dengan ilmu

bahasa Arab dan Nahwu.



Perhatian Abu Hasyim terhadap bahasa berpengaruh pada pemikiran-

nya. Dia sangat jeli dan detil dalam perihal penggunaan bahasa. Dikenal

pendapatnya mengenaibahasa yang mengatakanbahwa bahasa itu dibuat

dan merupakan peristilahan, bukan tauqifuah (ditentukan) dengan wahyu

atau ilham.

Abu Hasyim juga perhatian dengan filsafat Yunani, meskipun

perhatian ini tidak sampai membawanya pada perhatian penuh terhadap

filsafat tersebut. Namun pengetahuan secara umum terhadap sebagian

pemikiran filsafat. Khususnya yang dibahas oleh para syaikh Mu'tazilah,

seperti Abu Al-Hudzai Al-Allaf (*. 235 H) dan Ibrahim bin Sayyar An-

Nizham (w.231. H) dan lainnya.

Tampaknya, dia juga mempelajari sebagian karya Aristoteles dan

memahami penjelasan logika dalam pemikirannya, khususnya mengenai

teori Al-Ahwal.

Al-Qufthi menyebutkan bahwa Abu Hasyim mempunyai komentar

dan sanggahan terhadap Aristoteles dalam sebuah buku yang diberi nama

dengan At-Tashafluh.6la Dalam buku tersebut, Abu Hasyim menyanggah

dua buku Aristoteles yang berjudul As-Sama' wa Al-Alnm dan Al-Kaun wn

Al-Fasad. Hal ini juga ditegaskan oleh Ibnu An-Nadim.

Sebagaimana juga terjadi perdebatan antara Abu Hasyim dan ahli

filsafat Baghdad di masa itu, yaitu Yahya bin Addi (w.364 H) mengenai

Kitab At-Tashaffuh6ls; Ibnu Addi menyanggah serangan Abu Hasyim

terhadap Aristoteles.

Tulisan Abu Hasyim mencakup berbagai macam tema ilmu kalam

dan pengetahuan agama serta bahasa. Tulisannya mencapai kira-kira L60

kitab, menurut keterangan para sejarawan.616 Namun kitab-kitab tersebut

tidak ada yang sampai kepada kita selain namanya saja. Karya-karya ini

dapat dibagi menjadi tiga kumpulan, yaitu:

a. Kumpulan pertama; mengenai dasar-dasar aliran Mu'tazilah Al-

Bahsyami, di antaranya adalah:

Al-Qufthi, Ibid., hlm. 40.


L. Kitab lstihqaq Adz-Dzam; dalam kitab ini, Abu Hasyim membahas

mengenai masalah yang diperbincangkannya, bahwa manusia

berhak mendapatkan celaan, bukan karena perbuatan yang

dilakukannya. Barangkali hal inilah yang menyebabkan pengikut-

nya disebut dengan Adz-Dzammiyah.

2. Kitab Al-lami' Al-Knbir.

3. Kitab Al-lami' Ash-Shaghir yang merupakan ringkasan dari kitab

di atas.

4. Kitab Al-Asma' wa Ash-Shifat.

5. Kitab Al-lstitha'ah.

6. Kitab Al-Awamir.

7. Kitab Al-lwadh. Merupakan kitab yang berisi permasalahan

Mu'tazilah yang terkenal mengenai kewajiban mendapatkan

pahala. Abu Hasyim mempunyai pendapat tersendiri mengenai

pemikiran Al-lwadh yang berbeda dengan ayahnya.

8. Kitab Al-lnsan.

9. Kitab Al-Fushuh.

10.Kitab Al-ljtihad.

1L.Kitab Al-Uyun.

12.K1tab Al-Ashlah. Merupakan kitab yang berisi salah satu pemikiran

Mu'tazilah yang terkenal mengenai sesuatu yang baik dan sesuatu

yang lebih baik (Ash-Shalahwa Al-Ashlah) bagi seorang hamba.

b. Kumpulan kedua: Kitab-kitab yang berisi tentang permasalahan yang

terjadi dan dijawab olehnya, di antaranya adalah:

1. Kitab Al-Askariyat.

2 . Kitab Al-Baghdadiyat.

3 . Kitab Masa'il Abi Hasyim.

4 . Kitab Ajutibah Masa'il min Al-Fadhli.

5. Kitab Al-Asyrusiyyat. Kltab ini terdiri dari dua juz yang berisi

jawaban-jawaban Abu Hisyam terhadap pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan kepadanya yang berasal dari suatu negeri yang

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 285

merupakan bagian dari wilayah Transoxiana (Maa wara'a An-

Nahar) yang disebut dengan Ashrusanah. Sebagian permasalahan

ini disebutkan dalam kttab Al-Mughni juz kesebelas.

Kumpulan ketiga: kitab-.kitab yang berisi tentang sanggahan, baik dari

dalam maupun luar madzhab, di antaranya:

1.. Kitab Al-Abwab Al-Kabir. Merupakan kitab yang berisi sanggahan

terhadap l<ttab Al-Abwabkarya lbad bin Sulaiman (w.25 H).

2. Kitab Al-Abwab Ash-Shaghir. Merupakan ringkasan kitab di atas.

3. Kitab Naqdhu Ath-Thaba'i' wa Ar-Raddu ala Al-Qa'ilinabihn.

4. Kitab At-Tashaffuft. Merupakan kitab yang berisi sanggahan

terhadap pemikiran Aristoteles.

5. Kitab lawabat Ash-Shumaii.

6. Kitab An-Naqdhu ala Aistoteles fi Al-Kaun wa Al-Fasad.

7. Kitab N aqdhu Al-Ma' rifah.

8. Kitab Naqdhu Al-llham.

9. Kitab Tafsir Al-Qur'an. Judul-judul ini telah disebutkan oleh para

sejarawan dalam kitab-kitab mereka, sebagaimana juga sebagian

darinya telah disebutkan oleh Al-Qadhi Abdul |abbar Al-Mu'tazili

dalam karya-karyanya.

Para Tokoh Kelompok Al-Bahsyamiyah

Al-Qadhi Abdul Jabbar menempatkan Abu Hasyim Al-Juba'i

termasuk dalam tingkatan kesembilan dari tingkatan-tingkatan Mu'tazilah

-sebagaimana telah kami sebutkan- dan menempatkan para pengikutnya

pada tingkatan kesepuluh. Dia mengatakan, "Tingkatan ini mencakup orang

yang belajar dari Abu Hasyim dan dari orang yang setingkat dengannya,

dengan perbedaan tingkatannya dan kondisinya. Kami mendahulukan

para sahabat Abu Hasyim karena banyaknya dan kejeniusan mereka."617

Murid-murid Abu Hasyim punya andil besar dalam penyebaran

madzhabnya, di samping dukungan Ash-Shahib bin Ibad (w. 385 H),

seorang utazir dari Bani Buwaihi kepadanya. Ibnu Ibad menyerukan

617 AlQadhiAbdulJabbar,FiraqwaThabaqatAl-Mu'tazilah,hlm. 1ll,danIbnuAl-Murtadha,

Tabaqat Al-Mu'tazilah, hlm. 105.

286 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

untuk mengikuti dasar-dasar pemikiran Mu'tazilah yang bermadzhab

Abu Hasyim Al-Juba'i. hal ini memPunyai peran besar dalam penyebaran

kelompok Al-Bahsyamiyah di antara masyarakat. Madzhab Mu'tazilah

menjadi terkemuka pada akhir abad keempat Hijriyah dan awal abad

kelima Hijriyah. Hal inilah yang ditegaskan oleh Abdul Qahir Al-Baghdadi

Al-Asy'ari (w. 429 H/ 1037 M) y*8 mengatakan, "Mu' tazllah Bashrah di

zamannya mengikuti madzhab Abu Ali, kemudian setelah kematiannya,

masyarakat berpindah pada madzhab anaknya yang bernama Abu

Hasyim." Kemudian ditambahkan, "Kebanyakan pengikut Mu'tazilah di

masa kami mengikuti madzhab Abu Hasyim karena seru€rn Ibnu Ibad,

wazir keluNga Buwaih terhadapnya."618

Tokoh-tokoh Terpenting dalam Kelompok Ini

1,- Abu Ali bin Khalad6le. Dia adalah Abu Ali Muhammad bin Khalad

Al-Bashri. Merupakan salah seorang yang termasuk dalam tingkatan

kesepuluh. Dia murid dari Abu Hasyim Al-Juba'i. Abu Ali bin Khalad

belajar kepadanya di Askar kemudian di Baghdad. Namun setelah itu,

dia hidup di Bashrah. Diriwayatkan bahwa pada permulaan belajar

kepada Abu Hasyim, dia harus mengulang-ulang pemahamarulya'

Mungkin dia menangisi apa yang terjadi padanya karena terlambat

dalam menguasai ilmu. Namun dia terus saja bersungguh-sungguh

dan menguatkan tekadnya, sehingga akhirnya mengunSguli teman-

temannya. Abu Ali mempunyai Kitab Al- Ushul wa Asy-Syarh. Maksud

dali Al-IJshal di sini adalah Al-Ushul Al-Khamsah (Lima Dasar). Kitab

ini mempunyai dua syarah:

Pertama: Diwan Al-Ushul karya Abu Rasyid An-Naisaburi (w. 436H)

yang oleh Dr. Muhammad Abdul Hadi Abu Raidah ketika mentahqiq

kita ini menyebutkan dalam mukadimahnya, "Sesungguhnya kitab

ini merupakan komentar (ta'liq) dan syarah terhadap kitab Al-Ushul

karya Ibnu Khalad."

Kedua: Ziyadat wa At-Ta'liqatkarya Imam A z-Zaidi An-Nathiq bilhaq

Yahya bin Husain (w.424H/ 1030 M). Ibnu Khalad tidak berumur

panjang. Dia meninggal pada pertengahan abad keempat Hijriyah.

2. Syaikh Abu Abdillah Al-Husain bin Ali Al-Bashri621. Dia adalah tokoh

paling terkenal dalam kelompok ini, setelah pendirinya, Abu Hasyim.

Abu Abdillah belajar dari Abu Ali bin Jalad, kemudian belajar dari Abu

Hasyim secara langsung dengan sungguh-sungguh dan serius dalam

tingkatan yang tidak pernah dicapai oleh para sahabat Abu Hasyim.

Selain bersemangat dalam mendalami ilmu kalam, Abu Abdillah juga

serius dalam mempelajari fikih, dan ushul fikih. Dia selalu menghadiri

pengajian Abu Hasan Al-Kurkhi, syaikh madzhab Hanafi dalam

waktu yang lama. Setelah itu, Abu Abdillah hidup di Baghdad secara

sederhana dan sibuk dengan ilmu saja, bukan yang lainnya.

Di antara murid Al-Bashri adalah Abu Hasan Al-Azraq. Abu Hasan

Al-Azraq selalu menemuinya ketika mendapatkan suatu permasalahan

dalam ilmu kalam. Di antara keunikan perihal Al-Bashri adalah dia

memanjangkan perenungan dan meringkas pelajaran. Kebanyakan para

ulama justru kebalikannya. Meskipun Al-Bashri menunjukkan penyesalan

dan berkata, "Meringkas lebih bermanfaat." Namun dia memanjangkan

permasalahan dengan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan agar lebih

memberi pemahaman. Al-Bashri menulis kitab dalam ilmu kalam, fikih,

dan perdebatan. Kitabnya tentang ilmu kalam lebih banyak bermanfaat,

karena kitab fikihnya menggunakan pembahasan yang cenderung sangat

mendetil sehingga banyak orang yang belajar fikih menjadi enggan.

Di antara murid Al-Bashri dari Ahlul Bait adalah Abu Abdillah Ad-

Da'i. Al-Bashri berpesan kepada murid-muridnya agar jangan berbicara

dua hal di hadapan Asy-Syarif, karena tidak tahan hatinya; masalah nash

tentang imam Ali ry dan masalah bagian sanak kerabat. Al-Bashri sangat

condong kepada Imam Ali. Dia menulis Kitab AfTafdhil dan membelanya

dengan sangat baik. Al-Qadhi Abdul Jabbar membaca kitab-kitab Abu

Abdillah Al-Husain Al-Bashri dan belajar tentang Mu'tazilah darinya. Ia

sangat terkesan dibuatnya. Abdul Jabbar banyak menggunakan argumen

621 AlQadhiAbdulJabbar,FiraqwaThabaqatAl-Mu'tazilah,trlm. 111,danIbnuAl-Murtadha,

Tabaqat Al-Mu'tazilah, hlm. 105.

288 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

dari pendapat Al-Bashri dalam banyak bukunya. Abu Abdillah meninggal

pada tahun 367 Hljriyah, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa

dia meninggal pada tahun 399H.

3. Abu Ishaq bin Iyasy62. Al-Qadhi Abdul ]abbar berbicara tentang dia

dan mengatakary "Kepada dialah kami pertama kali belajar. Dia orang

yang sangat zuhud, tDarA', dan pandai. Banyak orang dari Baghdad

berangkat untuk belajar kepadanya dan sangat menghormatinya. Di

antara kitabnya adalah Ajwibah Al-Masa'il dan An-Naqdh. Bersamaan

dengan mengikuti pendapat-pendapat Abu Hasyim, Abu Ishaq juga

belajar dari Abu Ali binKhalad kemudian jugaberlajar kepada Syaikh

Abu Abdillah. Kemudian dia memPunyai pendapat dan pemikiran

tersendiri. Abu Ishaq mempunyai kitab tentang lmamah Al-Hasan wa

Al-Husain wa Fadhluhuma. Abu Ishaq meninggal pada usia 62 tahun.

Di antara orang yang belajar kepadanya adalah:

- Dua orang dari Sairafi, yaitu yang pertama adalah Abu Al-Qasim

As-Sairafi. Al-Qadhi Abdul Jabbar berbicara mengenai Abu Qasim

As-Sairafi, "Aku melihat dia memPunyai majelis untuk belajar ilmu

ushul, dan nahwu. Abu Qasim bin Said Al-Ashfahani, seorangutazir

di Bashrah mengadakan pertemuan besar untuk mengumpulkan

antara Abu Hasyim dan Al-Akhsyidiyah. Pada saat itu, telah merebak

fitnah antara dua kelompok ini. Keduanya berselisih ketika Al-

Akhsyidiyah mengeritik pemikiran Al -Harakat wa As-Sukun (gerak dan

diam). Melihat hal tersebu! Abu Al-Qasim marah dan mengatakan,

"sepertinya kamu mencelanya. Semoga Allah memberikan jalan

kepadanya agar mengetahuinya." Abu Al-Qasim memberikan

argumen untuk menguatkan perkataannya. Abu Al-Qasim As-Sairafi

meninggal dunia pada usia 62 tahun juga.

- Kedua adalah Abu Imran As-Sairafi. Dia belajar kepada Abu Hasyim

dulu kemudian berpisah dan pergi kepada Abu Bakar Al-Akhsyid.

Dia menyeru oranguntukbertauhid dankeadilan. Oleh sebab ini pula,

dia mendapatkan cobaan yang banyak.


Abu Hasan (atau Abu Husain) Al-Azraq.6a Belaiar dari Abu Hasyim.

Belajar fikih dari Al-Kurkhi. Belajar Al-Qur'an dari Ibnu Mujahid.

Belajar Nahwu dari lbnu As-Siraj. Ditambah lagi dengan kebaikan

akhlaknya, dan ketawadhu'an yang menghiasi ilmunya. Meskipun

dia adalah orang yang banyak berilmu, namun dia tetap mendatangi

majelis untuk belajar fikih. Dia meminta komentar dari tulisan-

tulisannya dan pendapat-pendapatnya tentang teologi dari murid-

muridnya. Dia mempunyai andil besar dalam penyebaran aliran

Al-Bahsyamiyah.

Abu Al-Husain Ath-Thawa'ifi Al-Baghdadi. Menimba ilmu dari Abu

Hasyim. Dia termasuk ahli fikih pengikut Asy-Syafii dan mempunyai

kitab ushul fikih.

Ahmad bin Abu Hasyim Al-juba'i.624 Merupakan salah satu putra

cerdas dari beberapa putra Abu Hasyim. Dia mempunyai keilmuan

yang tinggi.

Saudari Abu Hasyim sendiri, Binti Abu Ali Al-]uba'i.68 mencapai

tingkatan keilmuan yang tinggr. Dia mernnyakan permasalahan teologi

yang sangat sulit kepada orangtuanya dan dijawabnya, sebagaimana

juga ayahnya bertanya kepada kakeknya. Merupakan seorang dai

perempuan dan mempunyai andil besar dalam penyebaran aliran ini

di kalangan perempuan.

Abu Al-Hasan bin An-Najih.626 Menimba ilmu dari Abu Ishaq bin Iyasy

kemudian berangkat kepada Abu Hasyim di Baghdad. Dia mendapat-

kan ilmu yang sangat banyak dan mencapai tingkatan tertinggi.

Abu Bakar Al-Bukhari. Dia mendapat julukan lamal Aisyah (Onta

Aisyah) karena sangat fanatik kepadanya. Belajar ilmu kalam dari Abu

Hasyim. Belajar fikih dari Abu Al-Hasan. Dan, mendapatkan banyak

sekali ilmu.

Di samping ulama-ulama tersebut yang merupakan para tokoh

kelompok Al-Bahsyamiyah, terdapat ulama lain seperti Abu

Muhammad Al-Abdaki, Abu Hafsh Al-Mashri, Abu Abdillah Al-

Habsyi, Al-Khalidi, Muhammad bin Zaid Al-Malthi, Husain bin Ali

bin Ahli Naisaburi, Abu Al-Qasim bin Sahlawiyah (w.399 H) dan

ulama-ulama lain yang belajar kepada Abu Hasyim dan menimba ilmu

darinya. Dalam hal ini terdapat orang yang mengikutsertakan AlQadhi

Abdul Jabbar termasuk ke dalam sejumlah murid-muridini,627 ruunun

pada tingkatan kelompok kesebelas, YmB merupakan murid tidak

langsung dari Abu Hasyim.

Kelompok-kelompok Penentang Al- Bahsyamiyah :

1.. Al-Al*tsyidiyah:kelompok ini dinisbatkan kepada Abu Bakar Ahmad

bin Ali Al-Akhsyid. Merupakan tokoh yang masuk kelompok tingkatan

kesembilan dalam Mu'tazilah. Abu Bakar merupakan orang yang

diperhitungkan keilmuannya, dan melebihi yang lainnya karena

kitab-kitab yang ditulisnya. Dia tidak berumur panjang namun

banyak madzhabnya banyak diikuti oleh orang lain. Banyak sumber

menyebutkan mengenai kefanatikan Abu Bakar Al-Akhsyid dalam

menentang Abu Hasyim Al-Juba'i dan para sahabafirya. Hingga pada

suatu ketika dia sedang menghadiri majelis Abu Hasan Al-Kurkhi maka

dia membuat enggan sahabat-sahabatnya dengan menyatakan berbeda

pendapat dengan Abu Hasyim dan keluar dari Abu Ali ayahnya.

2. Ash-Shumairiyah. Mereka adalah Para Pengikut Muhammad bin

Umar Ash-Shumairi. Seorang yang alim dan zuhud. Menimba ilmu

dari Abu Ali Al-Juba'i. Sebelumnya, dia telah menimba ilmu dari

Mu'tazilah Baghdad. Dia sangat memusuhi Abu Hasyim, bahkan

mengafirkannya disebabkan pendapat Abu Hasyim mengenai Al-

Ahwal. Ash-Shumairi datang kepada keluarga Abu Hasyim dan

mengira bahwa Abu Hasyim dan keluarganya sudah berpisah dan

dianggap cerai. Seolah-olah dia sudah mengangSgap bahwa Abu

Hasyim telah keluar dari Islam karena pemikiran yang ada padanya.

Maka keluarga Abu Hasyim mengatakatt," Apa yang kamu katakan,

apabila kami sesuai dengan pendapatnya?" maka Ash-Shumairi pergi

dan menghempaskan tangannya.

627 Dr.Ishamuddin Muhammad, Al-Mu'tazilah Eursan llmi lGlam,hlm.42

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 291

Perselisihan antara Al-|uba'iyah dan Al-Bahsyamryah

Terdapat perselisihan pemikiran antara Abu Ali Al-]uba'i dan

putranya, Abu Hasyim. Dikarenakan perbedaan pendapat ini, maka terjadi

perselisihan antara pendapat kelompok Al-Juba'iyah dan Al-Bahsyamiyah.

Namun, meskipun dengan adanya perselisihan ini, sebagian sejarawary di

antaranya adalah Asy-Syahrastani menempatkan kedua kelompok ini ke

dalam satu golongan dengan mengatakan, "Mereka adalah para sahabat

Abu Muhammad bin Abdul Wahab Al-]uba'i dan putranya, Abu Hasyim.

Keduanya merupakan tokoh Mu'tazilah Bashrah. Mereka berdua berbeda

pendapat dengan para sahabatnya dalam beberapa masalah. Dan, salah

satunya berbeda pendapat dengan yang lainnya dalam beberapa masalah.628

Sedangkan Al-Baghdadi memisahkan mereka berdua dan menulis mereka

berdua layaknya dua kelompok yang berbeda."@e

Namun perbedaan dua Al-]uba'i ini tidak sampai pada Al-llshul.

Mereka bersepakat dalam hal Al-Ushul Al-Khamsah y ang menjadi pegangan

semua orang Mu'tazilah. Perbedaan antara mereka hanya dalam hal

furu' saja. Namun terkadang sampai ke tingkatan mendalam. Al-Malthi

menegaskan bahwa Abu Hasyim berbeda dengan ayahnya dalam 29

masalah. Sedangkan ayahnya berbeda dengan Abu Hudzail Al-Allaf

dalam 19 masalah.6o

Kaum Mu'tazilah menyadari bahaya perselisihan antara Abu Hasyim

dengan ayahnya, maka sebagian dari mereka mengingkarinya, hingga

sampai membuatnya ada yang mengatakan bahwa Abu Hasyim telah

kafir karena pendapatnya dalam sebagian masalafu seperti pendapat Abu

Hasyim mengenai lstihqaq Adz-D zam danteorinya mengenai Al-Ahwal. Hal

ini membuat sebagian mereka meminta maaf terhadap perselisihan tersebut

yang terjadi pada permasalahan fz ru' yarrgsecara kecil dan mendalam. Dan,

perselisihan seperti ini kadang memang terjadi, sebagaimana para sahabat

Abu Hanifah berbeda pendapat dengan syaikh mereka, Abu Hanifah

dalam beberapa masalah. Sebagaimana juga Abu Ali Al-Juba'i berbeda

pendapat dengan gurunya, Abu Hudzail dan Asy-Syahham (w .267 H/ 880


M). Demikian pula Abu Al-Qasim Al-Balkhi (w. 319 H/931, M) berbeda

pendapat dengan gurunya, Abu Husain Al-Khayyath (w.300 H/912 M).

Abu Hasan Al-Azraq, yang merupakan sahabat dua Syaikh |uba'i

menanggapi perselisihan ini dalam syairnya,ol

Orang-orang mengatakan bahwa antara Abu Hasyim dan ayahnya

terj adi p er selisihan b es ar.

Maka aku katakan; apakah hal tersebut ada negatifnya. Apakah dari

perselisihan tersebut terdapat sesuatu yang membahnyakan?

Biarkanlah apa y ang terj adi paila sy aiWu i anganlah hnlangi; lautan y ang

tampak sempit lautan-lautan lainya di hadapannya-

Sesungguhnya Abu Hasyim mengikutinya kemana saia ayahnya

berputar.

Namun, dari kelembutan ilmu kalam telah berialan suatu perkataan

yang samar dan ilmu yang sangatbanyak.

Berhnti-hatilahkamu, berhati-hatilah dai otang yang rryenzalimi dan

kamu tidak dapat melampaui dai sesuatu yang jelas dan bersinar.

Al-Qadhi Abdul Jabbar telah menulis dalam buku tersendiri untuk

membahas madzhab dua syaikh ini mengenai masalah qiyas, iima' dan

ijtihad, yang diberi nama denganAl-I(hilaf baina Asy-syaikhain632. Kitab ini

masih dalam bentuk manuskrip asli hingga sekarang. Di antara naskahnya

terdapat dalam Maktabah Vatikan bernomor L100.

Ali bin Isa633 juga menulis kitab tentang Abu Hasyim mengenai

perbedaannya dengan Abu Ali. Pada awalnya perbedaan mereka berdua

ini hanya sederhana, kemudian seiring berjalannya waktu perbedaan

tersebut semakin tampak jelas dan masing-masing mempunyai pengikut

dan pendukung. Namun hal ini bukan berarti bahwa perselisihan mereka

sampai pada titik pertentangan secara penuh. Mereka berdua bersepakat

dalam banyak masalah. Kita dapat melihat sejumlah besar permasalahan

yang mereka sepakati, sebagaimana disebutkan oleh para sejarawan. Namun

kesepakatan ini lebih tampak sebagai kesepakatan antara orang-orang

Mu'tazilah yang satu dengan lainnya dalam masalah pokok ushul dalam

aliran mu'tazilah.


Kesepakatan ini tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan

pandangan dan kemudian membentuk kelompok-kelompok tersendiri

dalam lingkup aliranMu'tazilahyang jumlah mereka mencapai dua puluh

kelompok, sebagaimana diketahui.

Di antara permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan antara

Abu Ali dan Abu Hasyim adalah sebagai berikut:

- Al-Ma'rifat: Abu Ali dan Abu Hasyim bersepakat bahwa ma'rifat

merupakan wajib bagi orang mukallaf (orang yang sudah terbebani

hukum syariat). Namun mereka berdua berbeda pendapat mengenai

motif dan sebab kewajibannya. Abu Ali mengatakan, "Sesungguh-

nya penyebab wajibnya ma'rifat adalah buruknya meninggalkan-

nya."sedangkan menurut Abu Hasyim, penyebabnya adalah karena

hal tersebut merupakan sesuatu yang indah dalam menjalankan taat

dan menjauhi sesuatu yang buruk menurut akal.@

- Al-Wajibak Abu Ali dan Abu Hasyim bersepakat mengenai adanya

kewajiban secara akal terhad ap mukallaf. Dalam hal ini terdapat

kewajiban awal terhadap manusia. Namun mereka berdua berbeda

pendapat dalam memberikan batasan mengenai kewaiiban ini.

Abu Ali berpendapat bahwa kewajiban tersebut adalah an-nazhar

(perenungan). Sedangkaln menurut Abu Hasyim, kewajiban tersebut

adalah asy-sy ak (keragu-raguan).

- Mengenai permasalahan dosa besar dan dosa kecil: Abu Ali dan

Abu Hasyim bersepakat bahwa kemaksiatan termasuk dalam dua hal

tersebut. Namun perbedaan pendapat muncul dalam hal bagaimana

mengetahui hal tersebut. Apakah mengetahui dosa besar dan dosa

kecil diganturgkan pada wahyu ataukah pada akal? Menurut Abu Ali,

hal tersebut ditentukan oleh wahyu. Sedangkan menurut Abu Hasyim,

akallah yang menentukan dan memberikan isyarat terhadapnya.

- Sebagaimana juga bahwa kesepakatan dua syaikh Al-Juba'i dan

perbedaan pendapat mereka terdapat dalam masalah-masalah seperti

taubat, imamah, diutusnya seorang Nabi, dan kemaksuman Nabi

ffi atau jatuhnya ke dalam maksiat. Serta mengenai masalah alam,

seperti mengenai gerak dan diam, jauhar (inti), alam, permasalahan-

permasalahan sakit, itnadh, kudrah, perbuatan langsung, perbuatan

tidak langsung, dan permasalahan-Permasalahan lain yang menjadi

bahasan para ulama kalam.

- Al-Luthf (kelembutan/ rahmat Allah): Abu Ali berpendapat bahwa

Allah tidak mencegah Al-Luthf dari hamba-hamba-Nya yang dapat

membantunya untuk melakukan sesuatu yang lebih baik bagi mereka

dalam hal agama mereka. Abu Hasyim bersepakat dengannya

dalam masalah ini karena Allah adalah Dzat yang Mahakuasa, Maha

Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Pemberian yang diberikan oleh

Allah tidak mengurangi kekuasaan-Nya dan keengganan untuk

memberikan juga tidak menambah kerajaan-Nya. Al-Ashlah (sesuatu

yang lebih baik) atau Al-Althaf bukan berarti Sesuatu yang paling

lezat, melainkan sesuatu yang paling bermanfaat dan paling benar

baik sekarang maupun nanti. Mereka berdua juga bersepakat bahwa

semua taklif mertpakan termasuk Al-Luthf (Kebaikan). Diutusnya

seorang Nabi, ajaran agarnat memberlakukan hukum, mengingatkan

pada jalan yang benar, semuanya adalah Al-Luthf. Namun mereka

berbeda pendapat dalam satu masalah; Abu Abdillah berpandangan

bahwa andai Allah memberikan taklif (beban tugas) kepada hamba-

hamba-Nya dengan tanpa disertai Al-Lutlrf dari-Nya, niscaya manusia

akan merasa sangat berat dan kesulitary maka menurut Abu Ali, tidak

selayaknya Allah memberikan taklifkepada manusia dengan tanpa Al-

Luthf .Dalamhal ini, Abu Hasyim berbeda pendapat, dia berpandangan

bahwa keimanan dengan tanpa Al-Luthf akan menambah pahala

karena banyaknya masyaqqah (kesulitan) yang terjadi. Sedangkan

keimanan dengan disertai Al-L uthf akan rnenyedikitkan pahala karena

kesulitan yang semakin sedikit. Maka Abu Hasyim mengatakan,

,,sebaiknya Allah d6 memberikan taklif keimanan kepada seorang

hamba dengan jalan yang lebih berat dengan tanpa Al-Luthf.635

- Al-lwadh: adalah manfaat yang berhak didapatkan sebagai ganti

dari sakit yang diderita oleh manusia. Di dunia ini, manusia banyak

sekali mengalami sakit dan derita, seperti sakit, terbakar, tenggelam,

dan lain sebagainya. Semua itu adalah derita yang dapat menimpa

manusia, bahkan terkadang pelakunya adalah Allah. Maka, apakah

layak bagi Allah menimpakan derita kepada hamba-hamba-Nya?66

Apabilah hal tersebut adalah layak dan sah-sah saja, maka bagaimana

kita mengetahui kebaikan perbuatan ini? Apakah kita mengetahuinya

dengan akal ataukah dengan wahyu (agama)? Abu Ali dan Abu

Hasyim berbeda pendapat mengenai hal ini. Abu Ali mengatakan

bahwa sesungguhnya kebaikan hal tersebut diketahui dengan agama

(wahyu). Sedangkan Abu Hasyim mengatakan bahwa hal tersebut

diketahui dengan akal. Kemudian ketika diajukan pertanyaary dilihat

dari sisi mana, derita dianggap baik? Maka mereka berdua berbeda

pendapat dalam menjawabnya. Menurut Abu Ali kebaikan derita

tersebut dapat dilihat dari sisi AI-Iwadh (g*ti atau pahala). Sedangkan

Abu Hasyim berpendapat bahwa di sana terdapat tujuan lairy yaitu

al-i'tibar (mengambil pelajaran). Mereka juga berbeda pendapat dalam

menjawab pertanyaan, apakah Al-lwadh sesuai dengan kadar derita?

Abu Ali berpendapat bahw a Al-lwadhkrhak didapatkan selamanya.GT

Terlebih bagi orang yang belum mukallaf seperti anak-anak kecil dan

hewan. Sedangkan Abu Hasyim berpendapatbahw a Al-fuiadh terputus

secara penuh. Sebagaimzma orang yang merobek baju orang lain, maka

dia harus menggantinya sebagai ganti baju yang dirobek tersebut.

Namun dia tidak dituntut untuk mengganti baju baru setiap hari.

Al-Ihbath: maksudnya adalah, perbuatan dosa besar dapat

menghilangkan pahala amal saleh yang dilakukan sebelumnya,

sebagaimana kemurtadan menghapus keimanan. Penyesalan atas

perbuatan maksiat setelah bertaubat dapat menghapus keburukan,

sebagaimana juga penyesalan atas perbuatan taat dapat menghapus

amal saleh. Pendapat ini dijelaskan oleh Abu Ali Al-Juba'i. namun

Abu Hasyim menentang pendapat orangtuanya tersebut dengan

mengatakary "Tidak wajib bagi Allah untuk menyia-nyiakan amal

seseorang.638 Allah dapat mempertimbangkan antara amal baik

dan amal buruk, kemudian menggugurkan amal baik sebesar amal


buruk yang dilakukannya. Andai dia melakukan sepuluh keburukan

dan melakukan dua puluh kebaikan, maka kebaikannya tersebut

digugurkan sebesar perbuatan buruk yang dilakukannya dan dia

mendapatkan pahala sebesar perbuatan baik yang tersisa. Al-Qadhi

Abdul jabbar mengikuti pendapat ini dengan menegaskan bahwa

seorang mukallafbisa jadi telah melakukan kebaikan yang membuatnya

berhak mendapatkan pahala, apabila dia tidak melakukan maksiat.

Oleh karena itu, dia tetap berhak mendapatkan pahala, meskipun

dikotori oleh perbuatan buruk. Dan, siksanya menjadi gugur sebesar

pahala kebaikan yang dilakukannya. Dia menggunakan dalil terhadap

pendapatnya ini dengan firman Allah *, " Barangsiapa yang mengeri akan

kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan,

barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia

akan melihat (balasan)nya pula." (Az'Zalzalah: 7-8)

Amar Ma'ruf Nahi Munkan merupakan pokok kepercayaan kelima

dan terakhir dari lima llshul (Pokok Keyakinan) kelompok Mu'tazilah

(yaitu At-Tauhid, Al-Adl, Al-Manzilah baina Al-Manzilatain, Al-Wa'd wa

Al-Wa'id, dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar). Semua orang Mu'tazilah

bersepakat dan menggunakan Al-Ushul Al-Khamsah ini, namun

mereka berbeda pendapat mengenai bagaimana cara mengetahuinya.

Perbedaan pendapat itti Pu. tampak antara Abu Ali dan Abu Hasyim'

Menurut Abu Ali, untuk mengetahui Al-Ashl ini menggunakan akal;

karena manusia mengetahui kebaikan perbuatan baik dan keburukan

perbuatan buruk dengan menggunakan akal. Sebagaimana pula

bahwa melakukan kebaikan merupakan sesuatu yang wajib dan dapat

diketahui dengan akal. Demikian pula, memerintahkan kebaikan

juga merupakan kewajiban dan meninggalkan kemungkaran juga

merupakan kewajiban dan dapat diketahui dengan akal, sebagaimana

juga melarangnya juga merupakan yang wajib. Sedangkan menurut

Al-Bahsyamiyah, untuk mengetahui Al-Ashl ini dapat dilakukan

dengan cara wahyu yang diden1drust, sebagaimana firman Allah,

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung." (Ni Imran: 1:04l; Amar Ma'ruf

danNahi Munkar merupakan sesuatu yang clitentukan oleh agama dan

tidak diserahkan pada kebebasan akal manusia. Selain itu, terdapat

beberapa tema penting dimana Abu Hasyim tidak hanya berbeda

pendapat dengan ayahnya, melainkan juga dengan para tokoh-tokoh

Mu'tazilah yang lain. Suatu pola pikir yang memberikan karakteristik

tersendiri bagi Al-Bahsyamiyah yang berbeda dengan ayah Abu Hasyim

dan para syaikh Mu'tazilah. Asy-Syahrastani (w. 548 H) menyebutkan

beberapa masalah perbedaan antara Abu Ali dan Abu Hasyim dalam

Kltab Al-Milal wa An-Nihal yang disimpulkan mengenai tiga hal berikut

ini, yaitu: perbedaan pendapat mengenai sifat perbedaan pendapat

mengenai masalah Al-Luthf, dan perbedaan pendapat mengenai Al-

Alamu (derita atau rasa sakit), dan Al-lwadh (pahala) dan dibahas

secara ringkas. Sedangkan Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H)

mencantumkan perincian yang cukup luas mengenai masalah-masalah

yang diperselisihkan sebanyak sembilan permasalahan yang disebutkan

dalam Kitab Al-Farqubaina Al-Firaq yaitu mengenailstihqaq Adz-Dzam

dan siksa bukan karena perbuatan, Istihqaq Asy-Syukr atas perbuatan

orang lain, taubat tidak sah apabila masih melakukan perbuatan buruk

atau alat sudah tidak berfungsi lagi, kehendak bersyarat, Allah tidak

mampu merusak satu dzarrah dari alam apabila langit dan bumi masih

ada, madzhab dalam thahnrah dan teori Al-Ahwal.@

Namun perbedaan pendapat yang ada pada Abu Hasyim dengan

pendapat ayahnya, Abu Ali, ini tidak sama dengan madzhab murid

Abu Ali yang lain yaitu Abu Hasan Al-Asy'ari. Abu Hasan Al-Asy'ari

merupakan murid Abu Ali, dididik di rumahnya, belajar Mu'tazilah atas

bimbingannya, dan menganut madzhab Mu'tazilah hingga berumur

empat puluhtahun. Setelahitu, Abu HasanAl-Asy'ari mengumumkan diri

bahwa dia telah keluar dari madzhab Mu'tazilah dan menyatakan bahwa

dia akan menghidupkan akidah Ahlu Sunnah. Peristiwa itu terjadi pada

tahun 300 Hijriyah. Abu Hasan mendirikan kelompok yang diberi nama

dengan namanya, yaitu Asy'ariyah atau Asya'irah. Dia mengambil sikap

tengah-tengah antara akal dan wahyu. Setelah itu, perbedaan besar terjadi

antara kelompok Mu'tazilah dan kelompok Asy'ariyah.

Penyebaran Madzhab Al-Bahsyamiyah

Seiring perjalanan waktu, aliran Abu Ali dan aliran Abu Hasyim

semakin bertambah jauh perbedaannya. Apabila sebelumnya, pada

permulaannya kedua aliran ini berdekatan, namun keduanya kemudian

semakin berbeda dan masing-masing menempuh jalan sendiri-sendiri

dan rnempunyai pengikut dan pendukung masing-masing. Ketika tiba

masa Bani Buwaihi, aliran Abu Hasyim tampak lebih dominan karena

Ash-Shahib bin Ibad dan Al-Qadhi Abdul Jabbar menjadi pengikut aliran

Al-Bahsyamiyah ini. Sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syahrastani, "Para

ulama muta'akhirire (kontemporer) Mu'tazllah, seperti Al-Qadhi Abdul

Jabbar dan juga yang lainnya, mereka menempuh aliran Abu Hasyim."

Dukungan Ash-Shahib bin Ibad dan Abdul jabbar terhadap aliran

Abu Hasyim, tampaknya mempunyai pengaruh besar dan membuat

banyak orang meninggalkan aliran Abu Ali untuk kemudian beralih

memperhatikan pada aliran putranya, Abu Flasyim. Hal ini membuat

pengikut Abu Ali menjadi semakin sedikit dan pengikut Abu Hasyim

menjadi lebih banyak. Sebagaimana disebutkan oleh Fakhruddin Ar-Razi

(w. 606H/ 1209 M) yang mengatakan, "Di masa kita sekarang ini, kelompok

Mu'tazilah yang tersisa hanya tinggal dua kelompok ini; yaitu para sahabat

Abu Hasyim dan sahabat-sahabat Abu Al-Husain Al-Bas}rrri.'e7

Di masa Abu Hasyim terdapat perselisihan antara kelompok Al-

Bahsyamiyah yang merupakanMu'tazilah Bashrah dengan kelompok Al-

Akhsyidiyah yang merupakan Mu'tazilah Baghdad. Namun perselisihan

ini dimenangkan oleh kelompok Al-Bahsyamiyatr, sehingga pendapat dan

pemikiran mereka tersebar di kalangan or.rng-orang Mu'tazilah.

Kemudian ketika Ash-Shahib bin Ibad dan Qadhi Al-Qudhat Abdul

Jabbar beserta pengikut mereka memeluk dan mendukung aliran AI-

Bahsyamiyah serta berusaha untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya

maka kelompok ini menjadi semakin dominan dan menang. Bahkan

pengaruhnya mencapai pada aliran Az-Zaidiyahyang merupakan aliran

Syiah.

641 Fakhruddin Ar-RazL l'tiqadat Firaq Al-Muslimin wa Al-Musyrikin, (Mesir: Thab'ah Al-

Kulliyah Al-Azhariyah, hlm. 45).

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 299

Al-Muqbili menceritakan bahwa Az-Zaidiyah tidak dapat lega dan

hatinya rela kecuali apabila Anda mengatakan, "Abu Hasyim telah berkata.

Al-Imam telah berkata."@2 Abu Hasyim dan imam mereka telah menempati

posisi yang sangat penting bagi mereka.

Pendapat-pendapat Kelompok Al-Bahsyamiyah

Kelompok Al-Bahsyamiyah mempunyai pendapat dan pemikiran

sebagaimana dikatakan oleh kelompok Mu'tazilah yang berkeyakinan

tentang Al-Ushul Al-Khamsah (Lima Pokok) yang mencakup pendapat

menafikan melihat Allah di Hari Kiamat, pendapat bahwa Al-Qur'an

adalah makhluk, penetapan perbuatan bagi hamba, menisbatkan kebaikary

keburukary taat dan maksiat kepada manusia dengan qudraft (kemampuan)

yang telah diciptakan oleh Allah di dalamnya, lstitha'ah (kemampuan)

adalah sebelum perbuatan, mengetahui sesuatu yang baik dan buruk

merupakan kewajiban akal yang dapat dilakukan oleh manusia sebelum

agama atau wahyu turun. Wajib memberikan pahala terhadap orang yang

taat dan menyiksa kepada orang yang maksia| hal ini merupakan suatu

keharusan dan sesuai dengan akal. Orang yang melakukan perbuata dosa

besar, maka dia kondisinya disebut dengan fasik, bukan mukmin dan

juga bukan kafir. Apabila dia tidak bertaubat dan mati dalam kondisi

tersebut, maka dia akan kekal di neraka. Mereka juga bersepakat mengenai

perkataan tentang Ash-Shalah dan Al-Ashlah, Al-Luthf dan lainnya yang

merupakan permasalahan-permasalahan yang diperbincangkan oleh

orang-oran gMu' tazilah sebelumnya, namun Al-Bahsyamiyah mempunyai

pendapat tersendiri yang membentuk ciri khas dan karakter mereka yang

membuatnya menjadi satu kelompok tersendiri dengan satu narna yaitu

Al-Bahsyamiyah. Di antara pendapat-pendapat yang mereka sepakati dan

berbeda dengan pendapat para pendahulu mereka adalah sebagaimana

berikut ini:

1. Istihqaq Adz-Dzam

Abu Hasyim menulis kitab yang diberi nama dengan Istihqaq Adz-

Dzam.6a3 Pendapatnya mengenai permasalahan ini dianggap sebagai

642 Ali Fahmi Khusy aim, Al-l ubba' iyy ani, hlm. 33-1,.

643 Al-Qadhi Abdul Jabbar, Syarh Al-Ushrzl, hlm. 638.

300 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

pendapat yang membuatnya berbeda dengan aliran yang lainnya. Bahkan

merupakan pemikiran yang berisi dua pemikiran yang menjadi karakter

aliran Al-Bahsyamiyah; yaitu pemikiran lstihqaq Adz-Dzam dan pemikiran

Al-Afunal, Mungkin pemikiran yang pertama ini banyak mendapat perhatian

dari Abu Hasyim, sehingga dia menulis kitab tersendiri tentangnya.

Pemikiran ini sangat terkenal di kalangan Al-Bahsyamiyah, sehingga

membuat mereka mendapat sebutan Adz-Dzammiyah, karena pemikiran

mereka berbeda dengan pemikiran-pemikiran kelompok-kelompok

Mu'tazilah yang lain.@

Pemikiran ini berkisar tentang makna Istihqaq Adz-Dzam dan apa

konsekuensi hukumnya terhadap hal ini? Apakah Adz-Dzam (cela) melekat

kepada manusia karena perbuatan atau tidak? Apakah pahala dan siksa

hanya berlaku pada perbuatan, ataukah berlaku pada perbuatan atau

meninggalkan perbuatan?

Pemikiran kelompok ini mengenai masalah ini dapat diringkas

sebagaimana berikut inias; manusia mukallaf yang mampu, kemudian

meninggal dunia, sedangkan dia tidak melakukan kemaksiatan, dan juga

tidak melakukan amalan taat yang harus dilakukan, maka dia berhak

mendapatkan cela dan siksa selama-lamanya, bukan karena perbuatan,

melainkan karena dia tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan

kepadanya padahal dia mampu untuk melakukannya dan terpenuhi segala

fasilitas untuk beramal serta tidak ada halangan yang membuatnya tidak

mampu melakukan perintah tersebut.

Apabila manusia mendapatkan pahala atas perbuatan wajib dan

mendapatkan siksa atas perbuatan maksiat, maka dia juga akan mendapat

siksa karena meninggalkan kewajiban. Manusia tidak hanya mendapatkan

siksa karena perbuatan maksiat saja, melainkan juga mendapatkan siksa

karena meninggalkan apa yang telah diwajibkan kepadanya.

Manusia berhak mendapatkan cela karena meninggalkan aPa yang

telah diwajibkan oleh Allah $s kepadanya. Oleh karena itu, Al-Bahsyamiyah

mengatakan, "Manusia berhak mendapatkan cela dan siksa selama-lamanya

Al-Baghadadi, Al-Farqu baina Al-Firaq, hlm. 113.

Lihat pendapat Mu'tazilah dalam masalah ini menurut Al-Qadhi Abdul Jabbar, AI-

Mughni,jilid. 14, hlm. 1.85, 187, dan242.

644

645

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 301

bukan karena perbuatan, melainkan karena dia tidak melakukan apa yang

telah diperintahkan oleh Allah kepadanya padahal dia mampu untuk

melakukannya dan dia mengetahui apa yang telah diperintahkan oleh

Allah kepadanya.

Sebagian orang Mu'tazilah menentang pendapat ini, karena -menurut

mereka- manusia tidak kekal di neraka kecuali apabila dia melakukan

dosa besar dan tidak bertaubat sebelum kematiannya." Sedangkan Al-

Bahsyamiyah berpandangan bahwa apabila manusia tidak melakukan

perbuatan taat yang diwajibkan kepadanya, seperti shalat, puasa danzakat;

apabila dia tidak melakukan kewajiban-kewajiban tersebut maka dia akan

kekal di neraka, dicela dan disiksa karena dia tidak melakukan kewajiban.

Perbedaan pendapat antara Abu Hasyim dan orang-orang yang

berselisih dengannya, baik dari aliran Mu'tazilah atau pun yang lainnya

dalam masalah kekekalan adzab, yang menurut semua kaum muslimiry

orang seperti ini juga berhak mendapatkan cela dan siksa karena

meninggalkan apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya, namun

menurut Abu Hasyim Is tihqaq Adz-Dzam (cela) bukan karena meninggalkan

kewajiban saja, melainkan juga karena tidak melakukan perbuatan baik.

Apabila ada orang mampu untuk menyelamatkan orang yang

tenggelam namun dia tidak menyelamatkannya, maka dia berhak dicela,

bukan karena perbuatan yang dilakukannya -karena hal tersebut bukan

bentuk perbuatannya-melainkan dia dicela karena tidak melakukan

perbuatan tersebut.

Manusia dihisab (dihitung amalnya) atas perbuatan melanggar sesuatu

yang dilarang atasnya, dan dia juga dihisab karena tidak melakukan

perbuatan baik. pemikiran ini tersebar di antara pengikut Abu Hasyim

dari kelompok Al-Bahsyamiyah, sebagaimana juga diterima di kalangan

aliran Mu'tazilah Baghdad, khususnya Abu Al-Qasim Al-Balkhi yang

berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara Abu Ali dan Abu Hasyim.

Al-Balkhi setuju dengan Abu Ali bahwa siksa dan pahala berhak didapat

karena perbuatan dan dia juga setuju dengan Abu Hasyim bahwa Istihqaq

Adz-Dzam (cela) bukan karena perbuatanffi.

646 Al-Qadhi Abdul Jabbar, Syarh Al-Ushul, hlm- 678.

302 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

Ketika Abu AIi mengatakan "sesungguhnya or angmuknllafmendapat-

kan siksa apabila meninggalkan kewajiban." Maka Abu Hasyim mengata-

kary "sesungguhnya orang mukallaf mendapatkan cela dan siksa karena

dia tidak melakukan kewajiban, dengan tanpa udzur.

Al-Baghdadi berusaha untuk menghubungkan antara pendapat Abu

Hasyim dan madzhab Mu'tazilah dalam hal istitha'ah dan perbedaan

pendapat mereka mengenai wakfu teriadinya perbuatan, setelah mereka

bersepakat bahwa istitha'ah terjadi sebelum perbuatan.

Al-BaghdadiaT menyebutkan beberapa konsekwensi dari pendapat

Abu Hasyim ini, di antaranya adalah pendapat mengenai Isfih qaq Adz-Dzam

dan siksa bagi orang yang mampu yang meninggal dunia namun belum

melakukan perbuatan taat, meskipun tidak melakukan maksiat. Demikian

pula pendapat tentang dua sisi bagian siksa bagi pelaku keburukan;

pertama karena perbuatan buruk yang dilakukannya dan yang kedua

karena dia tidak melakukan kebaikan yang diperintahkan kepadanya.

Dilihat dari sini, manusia mempunyai dua siksa; siksa pertama disebabkan

karena perbuatan buruk yang dilakukannya dan yang kedua karena dia

tidak melakukan kewajiban.

Al-Qadhi menolak ketetapan ini dan mendukung pendapat Abu

Hasyim bahwa manusia disiksa karena meninggalkan perbuatan wajib

dan tidak dihisab karena melakukan kewajiban. Tidak seharusnya dia

mendapatkan siksa berlipat-lipat.ffi

2. Taubat

Menurut Al-Bahsyamiyatr, taubat dari dosa tidak sah apabila masih

terus menerus disertai dengan melakukan keburukan lain yang diketahui

oleh manusia bahwa hal tersebut merupakan suatu keburukan atau

diyakini sebagai suatu keburukan meskipun hakekatnya adalah kebaikan.

orang yang bertaubat dari membunuh, namun masih saja melakukan

perbuatan mencuri, maka tidak sah taubatnya. Demikianlah, karena

manusia meninggalkan perbuatan membunuh karena dia mengetahui

bahwa hal tersebut merupakan perbuatan buruk dan meninggalkannya

Al-Baghdadi, Al-Farqu baina Al-Firaq, hlm. 113 dan Al-Milal wa An-Nihal, hlm- 131.

Al-Qadhi Abdul Jabbar, Al-Mughni, 14/ 340.

647

648

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 303

karena keburukannya. Apabila setelah itu, dia masih saja melakukan

perbuatan buruk yang lairu maka berarti dia tidak meninggalkan perbuatan

buruk secara umum, namun hanya meninggalkan satu perbuatan buruk

saja. Taubat seperti ini tidak sah; karena taubat harus dilakukan derrgan

meninggalkan semua perbuatan buruk.

Argumen Abu Hasyim mengenai hal ini adalah, apabila suatu

perbuatan dapat dianggap buruk dan manusia dapat membedakan dan

mengetahui hal ini, maka orang yang berdosa selagi dia mengetahui

keburukan semua dosa besar maka dia harus meninggalkannya semuanya,

dan apabila tidak, maka tidak sah taubatnya. Menurut Abu Hasyim, taubat

harus menyeluruh, tidak terbagi-bagi. Karena taubat terhadap sesuatu

kesalahan besar tidak sah bila masih saja terus menerus disertai dengan

perbuatan buruk.

Abu Hasyim ditanya tentang orang Yahudi yang masuk Islam dan

bertaubat dari semua keburukan, namun dia masih mempertahankan sebiji

perak yang tidak halal baginya? Abu Hasyim menjawab, "Sesungguhnya

taubat orang tersebut dari kekafiran tidak sah. Dia tidak muslim. Bahkan

dia juga kafir dalam agama Yahudi yang dipeluknya." Kemudian

menambahkan, "Dia bukanlah orang Yahudi dan juga bukan orang yang

bertaubat dari keyahu diant." ae

Abu Hasyim menambahkan syarat-syarat dalam bertaubat, di

antaranya adalah: taubat dari dosa tidak sah setelah alat atau piranti yang

digunakan untuk melakukan dosa ini tidak berfungsi lagi.6s0 Misalnya,

taubat orang yang berbohong tidak sah setelah dia menjadi bisu. Taubat

orang yang mencuri tidak sah setelah dia dipotong tangannya. Karena

makna taubat adalah mencegah melakukan perbuatan buruk ketika dalam

kondisi mampu melakukan perbuatan buruk tersebut. Karena dalam

kondisi seperti ini, terdapat usaha keras untuk melawan hawa nafsu dan

kesulitan dalam meninggalkannya. Ketika alat atau piranti tidak ada, maka

dengan serta merta orang tidak mampu lagi untuk melakukan perbuatan

buruk yang berarti hal ini telah menghapus makna taubat dan nilainya.

649 Ai-Asfirayini, At-Tabshir fi Ad-Din, hlm. 81 dan Al-Baghdadi, Al-Farqu baina Al-Firaq,

hlm. LL5.

650 Al-Baghdadi, Al-Milal wa An-Nihal, hlm. 133.

304 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

Oleh karena itu, Abu Hasyim menegaskan bahwa taubat harus

dilakukan ketika masih mampu untuk melakukan keburukan dan taubat

tidak diterima apabila sudah tidak mampu atau piranti untuk melakukan

keburukan sudah rusak.

3. Kehendak bersYarat

Abu Hasyim berpendapat bahwa satu hal tidak boleh diinginkan

dalam satu sisi, sementara di sisi yang lain hal tersebut dibenci.6sl Hal

ini berarti bahwa Allah tidak menghendaki apa yanS dianggap buruk

dari dosa besar. Aliran Mu'tazilah beranggapan bahwa suatu perbuatan

pada dasarnya mempunyai sifat tersendiri, apakah dianggap buruk atau

dianggap baik. Inilah yang dipertentangkan oleh para lawan mereka'

Apabila suatu perbuatan secara zatnya dianggap baik atau buruk,

maka perbuatan seperti sujud misalnya, bisa iadi dianggap baik atau

dianggap buruk, sesuatu dengan kaidah penetapan sifat suatu perbuatan.

Aliran Al-Asya'irah mempertanyakan; bagaimana Allah mewajibkan sujud

kepada-Nya -dan sujud merupakan jenis perbuatan- dan di sisi yang lairy

Allah melarang perbuatan yang sama ini bila dilakukan kepada berhala?

Karena, sebagaimana pendapat Abu Hasyim, bahwa suatu hal itu, tidak

boleh dikehendaki dari satu sisi, dan ditolak dari sisi yang lain.6s2

4. Alam

Kelompok Al-Bahsyamiyah percaya dengan teoriAl-lauhar yang satu,

yang juga merupakan kepercayaan sebagian besar orang-orang Mu't azllah

dan menjadi dasar penafsiran mereka terhadap hakekat alam dan asal

mulanya. Dengan teori ini, mereka menetapkan banyak akidah agama,

seperti ke-hudutsan alam (bahwa alam semesta ini adalah baru). Alam ini

ada yang menciptakarurya yaitu Allah Subhnnahu waTa'la. Allah mengetahui

setiap dzarrah di alam dan berkuasa atas tiap-tiap dzarrah tersebut'

Disandarkan pada ilmu-Nya dan qudrat-Nyu, pada Hari Kebangkitan,

Allah mampu mengembalikan jasad manusia sebagaimana ketika hidup

di dunia dengan segala dzarrah dan bagian-bagiannya'

AIi Fahmi Khusyaim, Al-lubba'iyyan, hlm.337.

Al-Baghdadi, Al-E arqu baina Al-Firaq, hlm. 115.

651

652

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 305

Namun aliran Al-Bahsyamiyah ini berbeda dengan aliran Mu'tazilah

yang lain dalam dua hal, yaitu salah satunya mengenai sebagian sifat, dan

yang satunyalagi mengenai kefanaan alam.

Pertama: Pendapat yang menafikan sebagian sifat.

Abu Hasyim mempunyai pendapat yang manafikan sejumlah sifat

yan oleh kelompok lain diakui keberadaannyad3; seperti Al-Baqa' , Al-ldrak,

Al-Alam, Al-Ladzah, dan Asy-Syakk. Rasa sakit (Al-Alam) yang dirasakan

oleh seseorang ketika meminum obat yang tidak enak bukanlah Al-Alam,

melainkan sekadar merasakan sesuatu yang tidak disukai oleh tabiat. Lezat

menurut Abu Hasyim hanyalah menemukan sesuatu yang disukainya.6il

Oleh karena itu,lawan pemikiran Abu Hasyim menegaskan bahwa,

kalau demikian, menurut pemikiran Abu Hasyim ini, kelezatan yang

dirasakan oleh orang yang mendapatkan pahala di surga adalah kele zatan-

kelezatan yang dirasakan oleh anak-anak kecil. Mengenai hal ini diketahui

bahwa menurut Mu'tazilah, anak-anak kecil masuk surga bukanlah suatu

hak, karena mereka tidak melakukan taat dan belum mencapai suatu

tingkatan. Anak kecil masuk surga karena anugerah dari Allah.

Kedua: Pendapat mengenai kefanaan alam. Dalam hal ini, Abu Hasyim

berpendapat bahwa Allah tidak mampu menghancurkan alam satu bagian

saja dengan masih adanya langit dan bumi. Karena jisim (badan) tidak

dapat hancur kecuali dengan kehancuran yang diciptakan oleh Allah d6.

Ketika Allah menciptakan sifat kefanaan, maka sebagianfisim ndak dapat

fana sedangkan bagian yang lain masih tetap tidak fana. Namun kefanaan

harus mencakup seluruhjisim dartdi dalamnya termasuk bumi dan langit.

5. Teori Al-Ahwal

Ketika disebut nama Abu Hasyim, maka akan segera terlintas dalam

benak ini teorinya yang terkenal yaitu Teori Al-Ah'wal.6ss Ia merupakan

pemikiran yang hampir-hampir saja menutupi seluruh pemikiran Abu

Hasyim yang lain, dan merupakan ciri khasnya. Dikatakan, "Keunikan

ilmu kalam ada tiga: Thafiah An-Nizham, Ahwal Abu Hasyim, dan teori Kasb

Al-Asy'ari."

Al-Baghdadi, lbid.,118 dan Al-Milal wa An-Nihal, Nm. 133.

Al-Baghdadi, Al-Milal wa An-Nihal, hlm. 134.

Dr. Abdurrahman Badawi, Madzahib Al-lslamiyyin, hlm. 342.

653

654

655

306 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

Teori ini berbicara mengenai hubungan antara Dzat Tuhan dan sifat-

sifatnya. Apa makna sifat atau mensifati sesuatu dengan sifat-sifat tertentu?

Apakah mensifati sesuatu dengan sifat tertentu merupakan ungkapan dari

sifat yangbenar-benar ada dalam sesuatu yang disifati, ataukah sifathanya

terdapat pada pensifatan?

Mu'tazilah berpendapat bahwa pensifatan tidak menunjukkan suatu

sifat yang berdiri sendiri yang terdapat pada dzat maushu/ (sesuatu yang

disifati); karena menurut mereka, sifat hanyalah sekadar pensifatan. Sifat

berhubungan dengan washfun (pensifatan). Oleh karena itu, sifat tidak

mempunyai fakta yang terdapat pada maushuf. sifat hanyalah makna yang

terdapat pada pensifatan yang dituniukkan oleh lafazh atau tulisan secara

umum.ffi

Dari sini, Mu'tazilah berusaha untuk menafikan sifat sebagai suatu

kenyataan yang terdapat pada maushufnya. Mereka mengembalikan sifat

pada lafazh-lafazh dan tujuan orang yang mengatakan lafazh tersebut.

laf.azh-lafazh ini merupakan sesuatu yang baru muncul yang berhubungan

dengan pensifatan dan orang yang mensifati. Inilah pendapat yang sesuai

dengan penclapat Abu Hasyim Al-Juba'i. Namun Abu Hasyim mempunyai

pendapat tersendiri mengenai hubungan antara sifat dan dzat'

Abu Ali Al-Juba'i berpandangan bahwa sesungguhnya Allah

merupakan DzatyangMahakuasa (Qadir), Maha Mengetahui (Alim) dan

Mahahidup (Hayyun) padaDzat-Nya (li Dzatih). Dan, sifat-Nya terdapat

pad.a Dzat-Nya. Sedangkan menurut Abu Hasyirn Al-fuba'i, sifat-sifat

berada pad.a D zat Tuhan karena sebab Hal y ang terdapat pada Dzat.

Al-Qadhi Abdul Jabbar meringkas perbedaan pendapat ini dalam

perkataannya, "Menurut Syaikh Abu Ali bahwa Allah d* mempunyai

sifat-sifat empat ini yaitu Kaunuhu Qadiran, Aliman, Hayyan, danMauiudan

ti Dzatihi. sedangkan menurut svaikh Abu Hasyim, Allah mempunyai

sifat-sif at ini karena keberadaannya dalam Dzat-Nya."6s7

Teori pemikiran Abu Ali Al-Juba'i mendapatkan banyak sanggahan.

Dia berpandangan bahwa Allah mempunyai sifat yang beruPa Qadir, Alim,

656 Dr. Aisyah Al-Manna'i, Llshul Al-Aqidahbaina Al-Mu'tazilahwa Asy-syi'ah Al-lmamiyah,

hlm. 145- 146.

657 Al-Qadhi Abdul Jabbar, Syarh Al-Llshul Al'Khamsah, hlm' 532'

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 307

Hayyun dan Maujud li Dzatihi. Tidak ada makna lain selain dari Dzat itu

sendiri. Maka timbullah pertanyaan; kemudian apakah bedanya antara

sifat Allah sebagai Qadir atau Alim? Dalam bahasa yang lain, apabila

masing-masing dari Ilmu dan Qudrah semuanya kembali pada satu makna,

yaitu Itsbat Adz-Dzat (menetapkanDzat); apakah berarti ilmu dan qudrah

merupakan sesuatu yang satu?

Abu Hasyim berusaha untuk menanggapi sanggahan yang dihadapkan

pada teori sifat pada Al-Juba'i dan hubungan antara Dzat dan sifat. Ia

menyampaikan suatu penafsiran dengan mengatakan, "sesungguhnya

Dzat mempunyai sifat-sifatnya karena Ahutal yang ada padanya.,,

Tidak diketahui dengan pasti kapan pendapat Abu Hasyim disampai-

kan. Namun dapat diketahui bahwa pemikiran ini telah disampaikan

olehnya ketika masih muda. Dia orang yang pertama kali mengutarakan

pemikiran ini. Permasalahan ini belum pernah disebutkan di waktu

sebelumnya. Bahkan ayahnya sendiri menentangnya ketika masih hidup

dan berusaha untuk menafikan dan membatalkannya.

Teori pemikiran tentang Al-Ahwal ini cukup rumi! bahkan ketika Asy-

syahrastani berusaha memahami tentang Al-Ahwal ini, dia mengatakary

"Tidak ada batasan mengenai Hal ini yang dapat disebutkan dengan

jelas agar kita dapat mengetahuinya dengan baik mengenai batasan dan

hakekatnya yang mencakup seluruh Al-Ahwal.n6ss

Teori Al-Ahwal Abu Hasyim berbeda dengan teori Mu,tazilah

yang telah mendahuluinya, khususnya orangtuanya sendiri, Abu Ali

yang berpendapat bahwa Dzat sang Pencipta merupakan lllat bagi

keberadaannya sebagai Alim dan Qadir. Abu Hasyim menolak pendapat

ini dengan mengatakan bahwa orang yang mengetahui Dzat belum tentu

mengetahui dzat tersebut sebagai D zaty ang Alim dan eadir,terlebih bahwa

sifat-sifat bersifat logis ini tidak kembali kepada dzat. pada kenyataannya

dia diketahui sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, namun ia ditemukan

sesuatu yang bersamaan dengan dzat. Akal menemukan bahwa sifat

bersamaan dalam suatu makna dan berbeda dalam makna yang lain. Dari

sini, pemahaman ilmu bukanlah pemahamanqudrah, karena pemahaman

dzat bukan pemahaman ilmu atau qudrah.

658 Asy-Syahrastani, Nihayah Allqdam, trlrr.. 632.

308 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

Al-Hat bukan berarti adanya sifat pada dzat seperti sifat ilmu

misalnya, melainkan mensifati dzat dalam kondisi (hal) sebagai sesuatu

yangalim (mengetahul). Al-Halbukan berarti adanya kondisi ilmu dalam

dzat, melainkan suatu dzatyangdalam kondisi alim (mengetahui). Al-Hal

merupakan sifat yang diketahui di balik keberadaan dzat'

At-Ahwal merupakan ungkapan hati atau gambaran pikiran. oleh

karena itu, ia tidak disifati den ganwuiud (ada) atau a dam (ndak ada), karena

wujuddan adam berhubungan dengan dunia nyata atau Al-Mauiudat. Al-

Ahwaldisifati sebagai sesuatu yang menetap karena berhubungan dengan

dunia hati atau Pikiran'

Teori Al-Ahwal Abu Hasyim ini dapat dikatakan bahwa makna

mensifati Altah adalah Dia adalah Dzatyang Maha Mengetahui, bukan

berarti wujudnya sifat ilmu di dalam Dzat, namun berarti bahwa Dzat

tersebut dalam kondisi (Hal) sebagai yang Maha Mengetahui (Alim).

Demikian pula mensifati Allah sebagai Dzat yang Mahakuasa (Qadir),

bukan berarti wujudnya srtat Qudrah di dalam Dzat. Melainkan bermakna

bahwa Dzat tersebut dalam kondisi (Hal) Mahakuasa (Qadir). Hal ini

merupakan Ahwal;bukan sesuatu yang diketahui dan juga bukan sesuatu

yang tidak diketahui. Bukan sesuatu yangmauiud dan juga bukan sesuatu

y ang ma' durn. Bukan qadim dan juga bukan hndits. Keberadaan banyaknya

At-Ahwalini, tidak mempengaruhi pemahaman keesaan Tuhan yang sesuai

dengan pemahaman Mu'tazilah.

Mu'tazilah sebelum Abu Hasyim khawatir untuk mengatakan

keberadaan sifat yang Qadimbag1Allah, karena hal tersebut dikhawatirkan

dapat mengakibatkan adanya banyaknya sesuatu yang qadim. Apabila

yang dianggap Qadim hanyalah Allah, maka banyaknya sesuatu yang

dianggap qadim dapat membawa pada kemusyrikan. Kelompok Mu'tazilah

menegaskan bahwa tauhid mengharuskan orang untuk mengatakan bahwa

hanya ada satu Dzat y ang qadim, y altu Dzat Tuhan'

Usaha Abu Hasyim dalam mengajukan teorinya mengenai Al-Ahwal

merupakan sebuah usaha untuk menafsirkan pemahaman tauhid dengan

tetap mengakui sifat-sifat sebagai sebuah pemahaman, gambaran atau

ungkapan bagi Dzat Tuhan. Dengan cara ini, Abu Hasyim berusaha untuk

mencari jalan keluar dari permasalahanyang rumit ini, yaitu permasalahan

mengenai hubungan antara Dzat dan Sifat.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 309

Teori ini dianggap baik oleh sebagian, dan mendapatkan tentangan

dari sebagian yang lain. Teori ini juga mampu mempengaruhi sebagian

ulama Al-Asya'irah -yang hidup setelahnya. Hal ini dapat dilihat pada

sebagian tokohnya seperti AlQadhi Abu Bakar bin Ath-Thayyib Al-Baqilani

(w. 403 H/ 1103 M) dan Imam Al-Haramain Abu Al-Ma'ali Al-Juwaini (w.

478H/ 1085 M), namun banyak dari para tokoh Al-Asya'irah yang menolak

dan menentangnya.

Lawan-lawan Abu Hasyim menganggap bahwa Abu Hasyim telah

mengatakan sesuatu yang berada antara ma'dum dan maujud. Ia adalah

sifat yang tidak dapat disifati sebagai sesuatu yangma'dum danjuga tidak

dapat disifati sebagai sesuatu yang maujud65e. Oleh karena itu, lawan-

lawan Al-Bahsyamiyah menganggap pemikiran Abu Hasyim ini termasuk

mengherankan. Abu Hasyim telah menerjang salah satu kaidah logika

Aristoteles, yaitu kaidah ketiga yang mempunyai arti bahwa tidak ada

tengah-tengah antara dua hal yang saling berlawanan. Perkataan Abu

Hasyim mengenai Al-Ahwal yang menyebutkan bahwa ia tidak termasuk

sesuatu yang maujud dan juga bukan sesuatu yang ma'dum, serta bukan

sesuatu yangmajhul dan juga bukan sesuatu yarrgma'lumm, bukan sesuatu

yang berubah dan juga bukan sesuatu yang tetap, mengindikasikan arti

tidak adanya dua hal yang saling bertentangan secara bersama-sama. Hal

ini tidak mungkin secara logika.

Namun ketentukan logika seperti ini tidak dianggap oleh Abu Hasyim

karena sebelumnya ia telah menentang dan menolak pendapat-pendapat

Aristoteles. Bisa jadi, Abu Hasyim tidak melihat seluruh pemikiran

Aristoteles mengenai alam dan logika, namun dia juga tidak mengambil

pendapat-pendapat Aristoteles, bahkan mengeritik pendapat Aristoteles

yang sampai kepadanya.

Usaha Abu Hasyim untuk meletakkan teori Al-Ahwal ii merupakan

usaha untuk menetapkan bahwa keberadaan Ahtoal pada sifat-sifat ini

tidak membawa pada keberbilangan; karena hal ini tumbuh dalam dunia

hati yang memperhatikan ketetapan Al-Ahwal dan bukan pada lingkup

dunia nyata atau luar yang tunduk pada ketentuan ada (wujud) dan tidak

ada (adam).

Prof. Dr. Muna Ahmad Abu Zaid

659 Al-Asfirayiru, AtTabshir fi Ad-Din, hlm. 81.

660 Al-Baghdadi, Al-Farqu baina Al-Firaq, hlm. 1L7.

310 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

AL-JUBBA'IYAH

KELOMPOK ini dinisbatkan kepada imam Mu',tazilah yaitu Abu Ali

Muhammad bin Abdul wahab bin salam bin Khalid bin Humran bin

Abban, dia adalah seorang nmula (bekas hamba sahaya) Utsman bin Affan

aua, khalifah ketiga. Sedangkan Al-Jubba'i merupakan penisbatan terhadap

Jubbi yang merupakan salah satu desa di Khurastan. Abu Ali merupakan

seorang imam Mu'tazilah cli masanya. Seorang syaikh aliran Bashrah.

Ayah dari Abu Hasyim Al-Jubba'i,yangjuga merupakan seorang syaikh

Mu'tazilah setelah ayahnya dan pemimpin kelompok Al-Bahsyamiyah.

Ayah Al-|ubba'i adalah seorang ahli fikih, ahli ibadah, wira'i,mwahhatt,

dermawaru dan zuhud. Dia dimasukkan dalam tingkatan kedelapan dari

para tokoh dan imam Mu',tazilah. Belajar tentang Mu',tazilah dari Abu Ya'qub

Asy-Syamam. Sejak masih muda, dia dikenal sebagai orang yang cerdas dan

pandai berdebat. Apabila dia berdebat dengan seseorang maka akan selalu

menang. Bashrah pada masa Abu Ali, merupakan pusat kebudayaan Islam.

Aliran Mu'tazilah menjadi matang dan bersinar di tangarmya'

Dari beberapa sumber diketahui bahwa Abu Ali lahir pada tahun

235 Hijriyah dan meninggal pada tahun 303 Hijriyah. Berdebat dengan

para lawan pemikirannya. Dia berdebat dengan pemimpin Jabbariyah di

masanya. Abu Ali terkenal dengan julukan elang pada pemikiran prinsip

keadilan. Dia juga berdebat dengan Abu Umar Al-Bahili, seorang tokoh

Murji,ah. Abu Ali mengatakan, "Aku tidak punya perbedaan dengan Al-

Allaf kecuali empat puluh masalah saia."'61

661 Lihat, Thabaqat Al-Mu,tazilah karya Al-Qadhi Abdul |abbar, h,Jrn'287-295

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 311

Di usia mudanya, Abu Ali disibukkan dengan mencari ilmu. Dia

berpandangan bahwa ilmu membutuhkan emp athal: Al-Kifayah, Al-lnayah,

Adz-D zaka' dan Al-Mu' allim.

Abu Ali merupakan ketua kelompok Al-Jubba'iyah ; y angmerupakan

kelompok Mu'tazilah terbesar di Bashrah. Kelompok ini seide dengan

kelompok Mu'tazilah yang lain dalam }:tal Al-Ushul Al-Ihamsah: Al-Adl,

At-Tauhid, Al-Wa'ad wa Al-Wa'id, Al-Manzilah baina Al-Manzilatain, dan

Amar Ma'ruf Nahi Munkar; meskipun kelompok ini mempunyai pendapat

tersendiri dalam hal-hal tertentu yang bersifat cabang (far'iyyah).

Murid-muridnya berkerumun di sekelilingnya dan di antara mereka

adalah anaknya sendiri -Abu Hasyim- untuk membahas banyak masalah,

meskipun pada akhirnya anaknya berpisah dan berbeda pendapat

dengannya dalam banyak masalah dan kemudian anaknya ini membentuk

kelompok tersendiri yang dalam sejarah Mu'tazilah dikenal dengan sebutan

Al-Bahsyamiyah; suatu nama yang dinisbatkan kepada Abu Hasyim Al-

Jubba'i.

Abu Ali Al-Jubba'i dikenal sebagai orang yang ingin memadukan

antara Syiah dan Mu'tazilah. Dia mengatakan, "Antara kami dan rnereka

(syiah) tidak ada perbedaan pendapat kecuali dalam hal lmamah; karena

mereka sesuai dengan kami mengenai pemikiranAl-Adl, danAt-Tauhid."

Abu Ali Al-Jubba'i menempati posisi gurunya, Asy-Syamam untuk

menyampaikan pelajaran. Dia orang yang aktif menulis, meskipun

disibukkan dengan diskusi. Ada yang mengatakan bahwa Abu Ali Al-

Jubba'i meninggalkan karya hingga mencapai 150 ribu halaman. Masa Abu

Ali ini bersamaan dengan masa terjadinya fitnah Az -Zanji dantsaha mereka

untuk menguasai Bashrah. Di masa Abu Ali, Khalifah Al-Mutawakkil

mengumumkan bahwa dia menganut paham Al-Hanabilah dan memusuhi

Mu'tazilah. Hal ini sangat berpengaruh pada Al-Jubba'i, khususnya dan

pada umumnya terhadap seluruh aliran Mu'tazilah. Kelompok Mu'tazilah

hanya di Daulah Bani Buwaihi yang dipimpin oleh Ash-Shahib bin Ibad

(326 H-385 H).66'

662 Keterangan lebih luas, lihat Al-lbar fi Akhbar Man l'tabar,2/125.Wafayat Al-A'yan,

Khalikaru Syailzarat Adz-Dzahab,Ibnu Al-lma{ fi llmi Kalam,2/241.

312 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

Karakteristik Kelompok Ini dan Pendapat Mereka Mengenai

Ketuhanan.

Aliran Al-Jubba'iyah satu pandangan dengan aliran Mu'tazilah yang

lain mengenai Al-llshul Al-I(hamsak, sebagaimana disebutkan di depan.

Namun meskipun demikian, Aliran Al-jubba'iyah berbeda dalam beberapa

hal yang membuatnya berbeda dengan aliran Mu'tazilah yang lain. Aliran

Al-Jubba'iyah satu pandangan dengan jumhur Mu'tazilah yang lain bahwa

Altah adalah Maha Esa di dalam Dzat-Nya dan sifat-Nya, tidak ada yang

menyerupai-Nya, Allah tidak ber-jlsim, trdakberupa jauhar, ttdak berupa

lLrdhin,tidak dibatasi oleh tempat, tidak dibatasi oleh waktu, tidak disifati

dengan sifat-sifat makhluk, tidak terbatas, tidak Punya orang tua, tidak

diperanakkary tidak tertutupi olehsatir, tidak dapat ditemukan oleh panca

indera.

Inilah kesamaan pandangan aliran Al-Jubba'iyah dengan aliran

Mu'tazilah yang lain. Namun, setelah ini mengenai perincian dari pemikiran

ini, Al-Jubba'iyah mempunyai pandangan tersendiri karena mengikuti

pemikiran imam mereka, Abu Ali Al-Jubba'i. mereka mengatakan,

,,sesungguhnya Allah d* tidak mempunyai aratr, tidak diliputi oleh arah,

dan tidak diliputi oleh tempat; dalam arti, Allah mengatur di segala tempat.

Allah mengatur segala tempat dan waktu.

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu sebelum

adanya segala sesuatu tersebut. Allah Maha Mengetahui terhadap iauhar

sebelum adanya. Demikian pula segala sesuatu ketika belum ada, maka

Allah menamakan dengan namanya. Inilah yang disebut denganMasyi'ah

Al-Ma'dum.

Mereka juga mengatakan, "sesungguhnya Allah melakukan sesuatu

yang lebih b aik (Al-Ashlah)ba$hamba-hamba-Nya dalam agama mereka.

Apabila dalam pengetahuan Allah terdapat sesuatu yang dapat membuat

positif hamba-Nya, maka Allah wajib melakukannya. Andai Allah tidak

melakukarurya, berarti Allah menghendaki kehancuran hamba. Namun

Allah tidak menghendaki kehancuran. Allah melakukan untuk hamba apa

yang baik untuknya agar semakin bertambah pahalanya, sehingga Allah

akan memasukkannya ke dalam surga.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 313

Allah maujud berarti adalah Allah ma'lum (diketahui) dan Allah

selalu mengetahui segala sesuatu. Menurut mereka, seseorang tidak boleh

mengatakan, "Sesungguturya Allah masih (dengan tanpa menambahkan

sifat kepada-Nya), melainkan harus mengatakan, "Allah masih dan selalu

Maha Mengetahui, Mahahidup, dan Maha Mendengar. Mereka tidak

menetapkan sifat yang merupakan tambahan terhadap Dzat. Oleh karena

itu, mereka tidak menetapkan suatu ilmu kepada Allatu yang dengannya

membuat Allah menjadi Maha Mengetahui. Demikian pula dengan sifat

Qudrah.

Makna mensifati Allah dengan sifat Ilmu danQudrahadalah menetap-

kan sifat tersebut sebagai sesuatu yang maujud dan menunjukkan tidak

adanya kebodohan dan ketidakmampuan.

Mereka juga mengatakan bahwa apabila akal menunjukkan bahwa

Allah adalah Maha Mengetahui (Alim), maka kita wajib menamakannya

sebagai Dzat yang Maha Mengetahui (Alim), meskipun Allah tidak

menamakan Diri-Nya dengan sebutan tersebut. Demikian pula dengan

nama-nama Allah yang lain. Nama-nama ini tidak boleh sebagai julukan

(laqab) dan pensifatan terhadap-Nya.*

Makna Qadim adalah bahwa Allah selalu yang Mahaawal dan

Mahaakhir. Sesungguhnya pensifatan adalah sifat. Nama adalah penamaan.

Kehendak Allah terhadap sesuatu adalah kecintaan-Nya. Kebencian Allah

terhadap sesuatu adalah murka dan amarah-Nya terhadap sesuatu tersebut.

Allah adalah Cahaya langit, dalam arti Dzat yang meneranginya dan

menunjukkannya. Tidak boleh menamakan Allah dengan Nr.rr (Cahaya)

secara hakiki. Tidak boleh menamakan perbuatan-perbuatan Allah yang

menimpa manusia sebagai suatu yang negatif sebagai syarr (keburukan),

kecuali atas nama at-tawassu' (perluasan) dalam penggunaan bahasa, karena

syarr (kebtrukan) tidak dapat dinisbatkan kepada Allah.

Al-Khalq (penciptaan) menurut Mu'tazilah berarti kebaikan

pengaturan suatu hal. Bukan berarti mengadakan dari tidak ada. Manusia

menciptakan perbuatannya, maksudnya adalah manusia memperkirakan

dan mengaturnya dengan baik.

663 Lihat Hikayah Al-Asy'ai li Madzhab Syaikhihi,Beifi,520-527

314 Ensiktopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

Menurut mereka Al-Qur'an adalah Urdhunyarrg merupakan makhluk,

karena terdiri dari huruf yang tersusun yang diciptakan yang mustahil

merupakan sesuatu yang Qadim. Al-Qur'an dijaga di Lauh Mahfuzh.Ia

didengar dan ditulis di dalam mushaf, dan dibaca dengan lisan. Al-Qur'an

tidak boleh diriwayatkan karena seseorang tidak dapat mendatangkan

semisal kalamullah, melainkan Al-Qur'an dibaca dan dijaga.@

Dalil lVuiud Allah

Al-Jubba'iyah memberikan dalil wujud Allah dengan ke-hudutsan

(kebaruan) alam, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qadhi Abdul Jabbar yang

telah diriwayatkan oleh Ibnu Manawaih dalam Kitab Al-Muhifh. Demikian

pula dalam Kitab Syarah Al-Llshul Al-Khamsah. Dia memberikan dalil ke-

hudutsan alam dengan dalil I auhar (substansi) dan A' radh (acciden t ).

Menurutnya, alam ini terbagi menjadi lauhar danA'radh. Jauhar (iisim)

dapat dipergunakan untuk istidlal (dijadikan argumen) terhadap keberadaan

Sang Pencipta. Sedangkan A'radh yang berada di luar kemampuan hamba,

maka dapat dijadikan sebagai dalil terhadap keberadaan Sang Khaliq, seperti

jauhar.Dan, A'radh yang masuk dalam kemampuan hamba, apabila terjadi

dengan cara tertentu yang tidak tunduk pada kemampuan hamba, seperti

gerakan gemetarary maka hal ini juga menunjukkan adanya Allah $s.6s

Terdapat cara pandang lain untuk menggunakan lauhar dan A'radh

sebagai dalil terhadap wujudnya Allah; yaitu bahwa akal tidak pernah

menggambarkan jauhar terlepas dari A'radh-nya, sePerti panjang, lebar,

kedalarnary warna dan gerakan . A'radh ini berubah dan berganti. Bisa jadi,

jauhar terdapat pada suatu tempat kemudian berpindah ke tempat yang lain.

Terkadang bersifat panas, kemudian berubah menjadi dingin. Terkadang

kecil kemudian menjadi besar. Perubahan seperti ini bukanlah dari dzat

jauhar itu sendiri, karena jauhar tidak mampu mencegah dirinya dari hal

tersebut. semua itu, yaitu perubahan A'radh tersebut menunjukkan bahwa

ia telah keluar dari kekuasaan jauhar. A'radh ini menetap padalauhar dan

tidak terpisahkan. A'radh ini merupakan sesuatu yang baru yang terdapat

pada jauhar setelah sebelumnya tidak ada. Inilah tanda-tanda sesuatu yang

664 tbid.

655 Lihat, Al-Muhithbi At-Taklif,hlm. 36-37.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 315

baru. Semua alam ini tidak dapat terlepas dari keberadaannya yang terdiri

darilauhar danA'radh. Telah terbukti ke-hudutsan alam, maka semua alam

ini adalah sesuatu yang dibuat dan baru. Secara logika, segala sesuatu yang

dibuat (muhdats) maka terdapat Dzat yang membuatnya (muhdits). Dzat

tersebut adalah Allah da.

Dalam hal ini terdapat dalil yang masyhur bagi para mutakallimin

secara umum/ baik Mu'tazilah maupun Asya'irah. Namun masing-masing

kelompok terkadang berbeda dalam menggambarkan dan menyampaikan

langkah-langkah dalil. Semua kelompok menggunakan dalil tersebut. Abu

Ali berpandangan bahwa pengetahuan terhadap keberadaan Allah ini

merupakan pengetahuan pertama yang dapat dihasilkan dengan berpikir

dan menggunakan argumen bagi orang mukallaf. Apabila seorang mukallaf

mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang menciptakannya, maka

dia harus mensyukurhy u*.

Pendapat Mereka Tentang Kenabian

Al-Jubba'i dan para pengikutnya berpandangan bahwa kenabian

merupakan anugerah dari Allah tk kepada hamba-hamba-Nya yang

beriman. Dan, menurut akal kenabian ini merupakan suatu kewajiban. Oleh

karena itu, wajib dilakukan adanya kenabian ini, karena dengan diutusnya

Rasul terdapat kemaslahatan agama yang dapat mendekatkan seorang

hamba pada perbuatan taat dan menjauhkan mereka dari perbuatan

maksiat. Sedangkan ketiadaan pengutusan Rasul akan berdampak pada

kerusakan dan penyebab terjadinya kerusakan yang lain.

Abu Ali Al-Jubba'i mengatakan, "Sesungguhnya Allah mengutus

para Rasul karena kemaslahatan tertentu terhadap umat sebagai tempat

diutusnya para Rasul tersebut, apabila mereka menerima risalah dan

melaksanakan kewajibannya,$T karena hal tersebut dapat rnenambah

pahala. Sebagaimana juga bahwa orang yang sakit butuh terhadap

pengetahuan seorang dokter dan pengalamannya. Demikian pula seorang

hamba, dia membutuhkan pengetahuan para Rasul dan pengalamannya

dalam kemaslahatan agama. Dari sinilah para manusia membutuhkan

666 Lihat, Al-Muhithbi At-Taklif,75,99,10l dan Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, hlm. 65 dan87,

serta 92-95.

667 Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, 563, 586.

316 Ensiklopedi AJiran dan Madzhab di Dunia lslam

diutusnya para Rasulffi . Di sisi lain, manusia tidak akan mampu mengetahui

dengan akalnya bahwa iman dan pembenaran terhadap apa yang dibawa

oleh para Rasul merupakan ketaatan kepada Allah yang denganya, dia

berhak mendapatkan pahala yang baik di akhirat. Hal ini membuat akal

harus menerima dakwah Rasul dan mempercayai apa yang diperintahkan

dan dilarang olehnya.66e

Mukiizat

Abu Ali Al-Jubba'i mengatakan, "Sesungguhnya ketika Allah dg

mengutus para Rasul untuk mewujudkan kemaslahatan para hamba dalam

urusan agama, maka akal menganggap baik apabila Allah mengokohkan

mereka dengan sesuatu yang luar biasa yang dapat menundukkan kaum

dan umat Rasul ini. Sesuatu ini harus merupakan hal yang berada di luar

kebiasaan manusia sehingga akal tidak menganggap bahwa sesuatu yang

luar biasa ini berada dalam batas kemamPuan manusia. OIeh karena itu

disebut dengan " Mukjizat", y ang melemahkan.

Mukjizat yang merupakan sesuatu yang melemahkan ini layaknya

perkataan manusia kepada Rasul, "Kamu benar dengan aPa yang kamu

sampaikan dari Tuhanmu." Bahkan lebih kuat lagi dari sekadar pembenaran

dengan perkataan, karena pembenaran dengan perkataan terkadang

merupakan kemunafikan atau meruPakan perluasan PenSSunaan bahasa; lain

halnya denganperbuatanyangluar biasa ini, karena ia lebih kuat dilalahnya

dalam menunjukkan kebenaran Rasul. Oleh karena itu, Allah menguatkan

semua Rasu1670 dengan mukjizat yang luar biasa yang menempati posisi

pembenaran dengan perkataan atau bahkan lebih kuat lagi.

Ketika Allah mengutus seorang Itasul, maka harus disertai dengan

sesuatu yang dapat melemahkan sebagai mukjizat, agar orang yang

diserukan menjadi mengerti bahwa risalah tersebut berasal dari Allah dan

Rasul tersebut benar dengan aPa yang disampaikannya tersebut. Orang

mukallafyang mendengar risalah Rasul tersebut dan menyaksikan mukjizat

yang melemahkan itu, maka dia harus menyadari bahwa hal tersebut

Al-Mughni, 15 / 46.

Al-Mughni, 15 / 65.

Al-Mughni,15/1.61.

668

669

670

Ensiklopedi AJiran dan Madzhab di Dunia lslam 317

merupakan mukjizat dari Rasul yang merupakan bukti kebenarannya,

meskipun orang mukallaf rnitidak mengetahui sisi kemukjizatannya secara

detil.671

Menurut Al-|ubba'i, perbuatan yang melemahkan tersebut, yang

merupakan mukjizat tidak boleh berada di tangan orang yang bukan Nabi

atau Rasul, agar orang tidak menjadi ragu terhadap kekhususan para Nabi.

Oleh karena itu, Al-Jubba'iyah mengingkari karamah yang ada pada para

wali, sebagaimana diyakini oleh kelompok Mu'tazilah yang lain. Mereka

mengingkari keberadaan perbuatan yang melemahkan yang merupakan

mukjizat bagi selain para Nabi. Karena kalau hal tersebut dapat terjadi

pada para wali yang saleh, maka tidak menutup kemungkinan orang yang

mengaku Nabi adalah orang saleh atau wali, bukan Nabi. Dan, perbuatan

yang luar biasa berada di tangannya karena kesalehannya, bukan karena

kenabiannya. Terlebih, keberadaan sesuatu yang luar biasa di tangan selain

Nabi dapat menohok kemuliaan kenabian dan membuat para Nabi menjadi

tersangka dan diingkari.672

Sebagaimana dimaklumi, pendapat ini berbeda dengan apa yang

disepakati oleh para ulama umat bahwa sesungguhnya Allah memuliakan

para wali-Nya dengarr karamah yang tampak pada diri mereka karena

mereka mengikuti para Nabi dengan baik dan selalu berhubungan dengan

Allah ik.

Mukjizat Nabi Muhammadffibanyak dan beragam. Namun mukjizat

yang digunakan untuk berdakwah kepada manusia adalah Al-Qur'an Al-

Karim. Orang Arab yang merupakan orang yang fasih dalam berbahasa

Arab, telah ditantang untuk mendatangkan satu ayat yang semisal

Al-Qur'an, satu surat, atau sepuluh surat. Tanpa adanya sesuatu yang

menghalangi mereka untuk melakukan tantangan tersebut, mereka tetap

tidak mampu untuk melakukan itu, meskipun ada segala piranti untuk

melakukannya.

Ketika mereka tidak mampu, maka hal tersebut menunjukkan

kelemahan mereka dan menunjukkan pula kebenaran Rasul dengan apa

yang disampaikannya dari Allah.d€. Namun dalam hal kenabian ini terdapat

AlMughni, 1.5 / 1.64.

Al-Mughni, 1.5 / 1.64.

671.

672

31 I Ensiklopedi AJiran dan Madzhab di Dunia tslam

beberapa perincian yang disepakati oleh Al-Jubba'iyah dengan kelompok

Mu'tazilah yang lain.

Syarat mukiizat

Aliran Mu'tazilah memberikan syarat terhadap mukjizat agar dapat

terbukti sebagai perbuatan yang di luar kebiasaan sehingga dianggap

dapat melemahkan dan dianggap sebagai mukjizat. Mereka mengatakan:

1. Perbuatan yang luar biasa ini harus berasal dari Allatu maka tidak

boleh dinisbatkan kepada Nabi sendiri.

2. Perbuatanyangluarbiasainitidakbolehterjadipada Nabi sebelumdia

menjadi Nabi; melainkan harus terjadi setelah kenabiannya, sehingga

dapat menjadi bukti kebenaran Pengakuan kenabian.

3. perbuatan yang luar biasa ini sesuai dengan dakwah Rasul, dan bukan

bertentangan dengan dakwahnya; karena kalau bertentangan dengan

dakwahnya, maka tidak dapat menjadi bukti kebenaran kenabiannya.

4. Perbuatan ini tidak terjadi pada kebiasaan manusia, karena kalau

dapat terjadi pada adat kebiasaan mereka, maka tidak dapat menjadi

bukti kebenaran kenabiannya.

5. Perbuatan yang melemahkan ini berasal dari orang yang bijak dan

adil yang terkenal di antara kaumnya sebagai orang yang cerdas dan

penuh hikmah. Apabila perbuatan yang melemahkan tersebut terjadi

clengan ciri-ciri demikian, maka menunjukkan kebenaran Rasul dan

layaknya perkataan oran& "Kamu benar dengan aPa yang kamu

sampaikan dari Tuhanmll" 673

Kemaksuman

Orang-orang Mu'tazilah -termasuk Al-Jubba'iyah - berpandangan

bahwa semua Rasul harus bersih dari segala perbuatan atau etika yang

membuat manusia enggan atau mencela perbuatannya, seperti bohong dan

lalai; sebagaimana juga mereka harus bersih dari segala perbuatan yang

dapat mengeluarkan mereka dari petunjuk Allah. Ketika Allah ds memilih

para Rasul-Nya untuk mengemban amanat dakwah dan menyampaikannya

673 Al-Mughni, 15 / 217, 279, 229, dan 2M.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 319

kepada manusia, maka Allahtelah menjaga mereka dari segala sesuatu yang

membuat manusia berpaling darinya, atau menjadikan mereka sebagai

tempat celaan atau hinaan dari manusia, karena ketidakterjagaan dari hal-

hal seperti ini dapat membuat manusia menjadi ragu dan bimbang dalam

urusan dakwah yang telah ditentukan oleh Allah67a.

Al-Jubba'iyah berpandangan bahwa para Rasul adalah makshum

terhadap dosa-dosa besar, baik sebelum maupun sesudah diutus menjadi

Rasul; karena dosa-dosa besar membuat orang menjadi berpaling darinya.

Demikian pula, para Rasul tidakboleh dengan sengaja melakukan maksiat,

baik sebelum maupun sesudah menjadi Rasul, kecuali sebagai pemberian

penjelasan.

Sedangkan mengenai dosa-dosa kecil, maka para ulama berbeda

pendapat. Menurut Al-Jubba'iyah, para Rasul tidak wajib makshum dalam

dosa-dosa kecil yang tidak membuat orang-orang berpaling darinya.

Mereka bersepakat untuk mensifati para Rasul dengan sifat Ash-Shidiq

(Jujur), Al-Fathanah (Cerdas), Al-Amanah (Dapat Dipercaya), dan tidak

menyembunyikan urusan dakwah6Ts.

Syafaat

Sebagaimana dimaklumi bahwa syafaat merupakan sesuatu yang

wajib bagi Rasul Muhammad ffi karena banyaknya dalil dari Al-Qur'an,

hadits, dan ijma' umat. Syafaat wajib bagi orang-orang beriman yang

melakukan maksiat dan orang-orang yang melakukan dosa besar, sebagai-

mana sabda Rasulullah, " Syafaatku untuk orang-orang yang melakukan dosa

besar dari umatku."

Namun aliran Mu'tazilah secara umum bersama dengan aliran

Khawarij, mereka mengingkari syafaat bagi orang yang berbuat maksiat,

khususnya para pelaku dosa besar. Mereka berpandangan bahwa syafaat

tidak boleh bagi orang yang fasik dan pelaku dosa besar serta orang yang

terus menerus melakukan dosa kecil. Syafaat hanya diperuntukkan bagi

orang beriman yang bertaubat.

Lihat, Syarh Al-Ushul Al-I(hamsah, hlm. 568-573.

Al-Mughni,15/30-31..

674

675

320 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

Menurut mereka, fungsi dari syafaat adalah meninggikan derajat

orang yang bertaubat dan mengangkat posisinya di surga.676 Menurut

Mu'tazilah, syafaat memPunyai dasar dalam Al-Qur'an, namun hanya

diperuntukkan bagi orang-oran g y angbertaubat. sedangkan para pelaku

dosa besar dan orang-orang fasik termasuk orang-oran8 yang diancam

yang kekal di neraka, berhak mendapatkan laknat, murka, dan amarah.

syafaat tidak sah bagi orang yan8 berdosa, kecuali apabila sudah bertaubat

dan meninggalkan maksiat.

Al-]ubba,i mengatakan, "sesungguhnya ketika penghuni neraka masuk

ke tempat itu, maka mereka tidak dapat keluar darinya, karena mereka

termasuk orangyang mendapatkan siksa danbukan orang yang mendapat-

kan pahala, hingga mereka berhak mendapatkan syafaat de


Related Posts:

  • Ekslopedi aliran Mazhab 7 alnya banyak dinisbatkan padaBalim Sultan (w- 922 H). Banyak pendapat dan perkataan yangdinisbatkan kepada Bektasy velli, tidak diragukan lagi. para penelitipun memberikan pandangan yang baik yang menunjukkan bahwaBakte… Read More