elainkan dengan berkelompok.
Mereka beranggapan jika ada seseorang yang tidak pulang sampai sore
hari maka keluarganya yakin bahwa ia telah tewas terbunuh. Kabar yang
meresahkan tersebut (lebih-lebih Fida'iSyam) telah terdengar di kalangan
kaum muslimin dan yang lain sampai-sampai mereka menyematkan nama
bagi para pasukan elit ini dengan sebutan Hasyasyin sebagaimana telah
kita bahas di depan.
Pasukan elit Nizariyah tidak akan membiarkan korbannya lolos dan
menyelamatkan diri. Para korbannya itu di antaranya adalah Khalifah
Abbassiyah Al-Mustarsyid (529 H), Ar-Rasyid Al-Abbassi (530 H), Amir
Al-Fathimi (524H), dan beberapa Amir serta menteri-menteri lainnya, di
antaranya Nizham Al-Mulk dan putranya Fakhr Al-Mulk tahun 500 H.
Juga banyak korban dari para hakim dan beberapa ulama lainnya, sebagai
tambahan korban yang mereka bunuh karena suatu alasan ataupun sebab
yang lain.
100 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam
Mereka enggan memakai cara pembunuhan yang sama untuk
membunuh para pemimpin mereka sendiri yang mereka anggap telah
membelotls2 (Lihat kembali pada pembahasan dalam Al-Hasan III).
Sistem yang Tertutup dan Pengembangan Rasa Fanatisme
Hasan Ash-Shabah memakai metode yang aneh dalam mengatur
negara dan pengikutnya; tidak selaras dan mengikuti teori-teori yang
mencerminkan kedalaman pendidikan seseorang dan peradabannya,
walaupun memungkinkan untuk memahami itu semua dalam tataran
politik praktis yang dipersiapkan untuk mencapai tujuan.
Seperti apa yang disampaikan oleh Asy-Syahrastani misalnya, bahwa
Hasan Ash-Shabah melarang para pengikut setianya untuk mendalami
buku-buku kuno yang mencakup berbagai keilmuan -meskipun buku-
buku tersebut banyak terdapat di perpustakaan Alamut- seperti halnya
ia juga melarang masyarakat umum untuk mempelajarinya.
Dengan berbagaicara, Ash-Shabah berusaha agar para dainya pandai
dalam tasykik dan talbis (membuat keraguan dan penyamaran), dan bisa
menarik simpati masyarakat. Dary yang termasuk arahannya kepada para
dai mereka adalah agar berdakwah hanya kepada orang-orang bodoh
yang tidak bisa membedakan antara yang kanan dan yang kiri, dan tidak
mengetahui suatu urusan apapun yang berkenaan dengan keduniawian.
Dengan metode ini, Hasan Ash-Shabah mampu mengontrol para
pengikutnya dengan sempurna karena mereka adalah orang-orangbodoh.
Berikut ini dua unsur penting dalam perekrutan pengikutnya:
1 . Penyerahan: orangawamyangtidakberpendidikanagarmenyerahkan
seluruh urusan hidupnya kepada gurunya (imam atau wakilnya),
sampai batas hilang sama sekali keinginan dari dirinya dengan
menyerahkan sepenuhnya keinginannya itu kepada sang guru. Dengan
demikian, seorang yang bodoh yang penuh dengan kekurangan
berpindah dari kekuatan menuju perbuatan. Dan, diketahui bersama
bahwa dengan bertambahnya keduniaan, maka sejatinya itu adalah
kekurangan keduniaan itu sendiri. Sebaliknya, berkurangnya dunia
sejatinya adalah bertambahnya dunia itu sendiri.
152 Al-Kamil, karya Ibnul Atsir, 10/185.
Ensiktopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 101
2. Kecintaan terhadap sang Imam atau wakilnya melebihi kecintaan
terhadap diri sendiri. Oleh sebab itu, pengikut Nizariyah harus
menyandarkan segala ucapan dan tindakan mereka pada keputusan
imam.
Ketaatan yang demikian tidak berarti merampas kebebasan pribadi
pengikut Nizariyah dalam membangr.rn jaringan berkoloni demi tercapainya
suatu tujuan. Bahkan ketaatan tersebut adalah bentuk ketaatan yang tidak
menyisakan sama sekali kebebasan individu untuk berkehendak.
Demikianlah sisi peribadahan Nizariyah, sehingga peribadahan
mereka menjadi kuat jika dilihat dari segi kehendak dan tingkah laku,
sebagaimana juga jika dilihat dari segi akal dan pikiran.
Dengan pengawasan pendidikan yang ketat seperti ini, pengekangan
akal dan kehendak, tidak menjadikan praktik-praktik kotor dalam
memerangi musuh-musuhnya sebagai bentuk kesalahan dan kebiadaban.
Fanatisme buta tidak menjadikan pembunuhan, intimidasi dan permusuhan
sebagai sebuah pengkhianatan, kehinaan, dan kelemahan, akan tetapi
perbuatan-perbuatan kotor itu justru menjadikannya sebagai sebuah
pengabdian tertinggi dalam dakwah dan jalan terhormatmenuju keikhlasan
dan keselamatan.ls3
Jihad Nizariyah
Sejak awal berdirinya, penganut aliran Ismailiyah memeluk agama
tersendiri, dengan memisahkan diri dari agama-agama lain termasuk
Islam. Tahapan sejarah yang mereka lalui mirip dengan dakwah rahasia,
yang karena kevakinannya yang lambat laun berbeda dengan penganut
Ismailiyah yang lain, sehingga Ismailiyah An-Nizariyah melalui pasukan
Al-Fida'iyah nya membunuh dan membasmi mereka karena dianggap
musuh dakwah Nizariyah.
Dengan pemahaman ini, sampai sekarang sejarah merekabanyakyang
masih tabu atau tersembunyi.
Adapun yang menjadi ciri khas mereka adalah kebengisan, yang
mana hal inilah yang membedakan antara Nizariyah -seperti yang telah
disebutkan di depan- dengan musuh-musuhnya dari kalangan umat
Islam (Sunni dan Syiah).
Motif utama kekejaman mereka didasarkan pada alasan jihad, yakni
jihad dalam memerangi umat Islam hingga mereka mau tunduk dan
memeluk agama Ismailiyah dengan berbondong-bondong.
Nizariyah memandang bahwa dirinyalah satu-satunya kelompok
yang paling benar, dan menganggap golongannya sebagai penyeru risalah
ke seluruh umat di dunia, dan menjadi keharusan serta ketetapan mereka
untuk berjihad melawan umat Islam agar beriman kepada ajaran mereka.
Umat Islam dalam pandangan mereka adalah golongan musyrikin yang
halal darah dan harta bendanya kecuali kaum muslimin tersebut bersedia
mengikuti mereka, dan daerah Islam merupakan lahan perang yang wajib
dijadikan lahan jihad.
Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi mereka dalam urusan
agama untuk menimpakan kesulitan kepada umat Islam, dan bahwa
kedudukan mereka akan terangkat seiring dengan sejauh mana mereka
membunuh dan menyiksa kaum muslimin.
Sebagian dari mereka bantu membantu untuk memberikan semangat
ketika sedang melakukan pembunuhan kepada musuh-musuh mereka
dengan mengatakan, "sesungguhnya kita menanggung cobaan ini demi
berjuang membela agama Allah, Rasul, Imam, dan agama (Ismailiyah)
yang benar. segala cobaan dan kesulitan ini akan menjadi mudah bagi kita,
karena para Nabi juga berkali-kali mengalami kesulitan dalam dakwahnya
menghadapi orang-orang yang bodoh dan masyarakat awam."
Para penulis Nizariyah baik klasik maupun kontemporer dalam kitab-
kitab mereka mengakui perbuatan bengis dan kasar ini, namun mereka
berasalan bahwa yang mereka lakukan itu adalah demi tujuan dakwah.lil
Bagian Akhir dan Pengaruh Nizariyah
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hasan bin Ash-shabah melawan
semua sekte dan masyarakat di sekitarnya, terlebih kepada golongan
Ismailiyah Al-Musta'liyah dan Syiah Imamiyah, apalagi golongan Ahlu
Sunnah wal ]amaah; baik dalam hal madzhab maupun negara.
Sejarawan menyebutkan bahwa gerakan Nizariyah sering sekali
melakukan penyerangan-penyerangan terhadap negara-negara Islam. Hal
itu menghancurkan banyak sekali kekuatan militer negara-negara Islam, di
saat militer negara-negara muslim tersebut sedang membutuhkan kekuatan
guna menghadapi serangan pasukan Salib dari Barat dan menghadapi
pasukan Mongol dari Timur. Mereka (Nizariyah) juga menyita perhatian
ekstra para pemimpin muslim dari tugas menjaga kebaikan dunia dan
akhirat umatnya, serta menjaga kawasan Islam dari segala ancaman baik
intemal maupun eksternal.
Meski demikian, gerakan mereka juga ada dampak positifnya
(walaupun hal itu sebenarnya tidak sesuai dengan tujuan mereka), dimana
menteri senior Nizham Al-Muluk (408-485 H) yang menjadi pendukung
Sultan Kerajaan Saljuk Alp Arselan dan putranya Malik Shah selama
sekitar 40 tahun (447485 H) selalu berusaha untuk melakukan pembaruan
yang mencakup urusan keilmuan, sosial masyarakat dan perekonomian
untuk menangkis serangan Nizariyah. Dengan statusnya sebagai musuh
utama Nizariyah sejak awal pergerakannya, hal itu menjadikan Sultan
Malik Shah selalu berhati-hati dari bahaya yang ditimbulkan oleh gerakan
Nizariyah.
Lebih dari itu, dalam upayanya tersebut, karena menurutnya perlu
adanya proses-proses perbaikan dan pembaruan terhadap kehidupan
masvarakat bernegara guna menghadapi bahaya yang mengancam dan
menuju pada pengembangan pendidikan ilmiah, iapun dengan bantuan
sang menteri merumuskan metodologi kurikulum dan kehidupan vang
teratur, yaitu dengan mendirikan Madrasah Nizhamiyah yang hingga
sekarang masih menjadi contoh ideal pendidikan. Tak hanya itu, kesultanan
Bani Saljuk juga berupaya untuk memperbaiki sektor perekonomian,
industri, dan pertanian.lss
Dalam tataran keilmuan dan pemikrian, ideologi Nizariyah (Ismailiyah
pada umumnya) merupakan pergerakan pemikiran yang besar dalam
ranah peradaban sehingga membutuhkan perlawanan dan argumentasi
yang mumpuni. Dengan kekacauan akidah yang disebarkan Nizariyah
tersebut, mengharuskan munculnya tokoh yang bisa meladeni mereka.
Dalam hal ini muncullah Hujjatul Islam Abu Hamid Al4hazali (450-505
H) yang menkonter pemikiran sesat Nizariyah melalui kitab-kitabnya,
antara lain; Fadha-ih Al-Bathiniyah-Al-Mustazhhir, Al-Qisthas Al-Mustaqim,
Al-Munqidz min Adh-Dhalal, dankitab-kitabnya yang lain, disamping karya
monumentalnya yaitu lhya' Ulumuddin.ls6
Bagaimanapun akhirnya, seluruh sendi peradaban dan kebengisan
Daulah Nizariyah yang berlangsung selama 167 tahun telah runtuh, laksana
mainan gasing yang pecah karena dimainkan oleh orang-orang saljuk dan
Mongol.
Sungai yang besar telah berlalu dengan gelombangnya yang tenang/
menggenangi setiap rawa-rawa dengan keagungan dan kewibawaannya
sebagaimana ungkapan para para peneliti sejarah.
An-Nizariyah dalam Tulisan-tulisan Ismailiyah Modern: Pemulnian
Seiarah
fika hal itu merupakan faktor alami bahwa penulis-penulis Ismailiyah
menilai dakwah mereka sebatas pada gerakan rasionalisme yang bertuiuan
mendirikan masyarakat Islam yang bermartabat, maka generasi umat ini
hendaknya saling membantu dalam usaha merealisasikan tujuan yang
bermanfaat bagi agama tersebu! yaitu dalam rangka membentuk manusia
yang semPurna.
Masih rnenurut para penulis Ismailiyah, bahwa para tokohnya berusaha
mengembangkan pemikiran Islam dan menjadikannya subur dan produktif
sebagaimana tercermin dalam diri para pengikut Ikhwan Ash-shafa.
Mereka itu adalahpara punggawa ilmu pengetahuanselama beberapa
masa. Mereka telah terbukti menorehkan tinta emas dan mencurahkan
tenaganya dalambidang ilmu dan politik untuk membebaskan masyarakat
muslim dari kezhaliman dan kesewenanS-wenangan pemerintah.
Hal inilah yang membuat mereka mendapatkan banyak apresiasi.
Sehingga dakwah Ismailiyah tetap kokoh dalam ruang lingkup pemikiran
dan filsafat sebagai akidah Islam dan filsafat yang lurus, yang telah berhasil
mengangkat nama Islam dalam dunia ilmu pengetahuan.lsT
Jika fenomena ini (walaupun berlebihan dan tidak sesuai dengan
realita sejarah) merupakan perkara yang dimunculkan oleh para penulis
Ismailiyah untuk memutihkan lembaran madzhab mereka;1s8 maka
yang tidak masuk akal adalah apa yang telah disampaikan para penulis
Ismailiyah yang lain (yang mengaku sebagai penulis netral) bahwa Daulah
Ismailiyah-Nizariyah telah memberikan pelayanan yang luar biasa kepada
penduduk Arab dan negara-negara Islam. Pasukan elit Nizariyah yang
terorganisir merupakan kumpulan orang yang berjiwa pemberani, kredibel,
cerdas, dan mempunyai visi. Pasukan yang menjadi pionir dalam melawan
tentara salib dan menentang imperialisme dan permasalahan internal.lse
Sistem ini telah memainkan peran penting dalam sejarah Timur
Tengah dan dalam kehidupanberpolitik umat Islam serta dalampemikiran
dan agama mereka, dengan membuka kran pengetahuan dan pencerahan
akal, dan mengeluarkannya dari stagnasi menuju liberalisme baik melalui
ucapan maupun perbuatan.
Sesungguhnya ulama Ismailiyah bukanlah penyeru pengrusakan dan
penghancuran. Inilah sejarah yang menunjukkan bahwa kelompok ini
adalah golongan orang saleh yang mau bekerja, yang telah menanamkan
pondasi reformasi demi kemaslahatan masyarakat dan mengantarkannya
pada cahaya dengan dasar-dasar yang kokoh dan mumpuni, dengan tidak
keluar dari kaidah-kaidah dan pokok-pokok Islam. Jika demikian adanya,
lalu apa yang membuatnya dianggap kelompok yang ingkar?15o
Kenyataannya adalah, peneliti yang mengaku netral tersebut akan
merasa heran tatkala membaca sejarah tentang sepak terjang sekte ini,
yang mana kalaupun ada kebenaran tentang sekte ini, hanya 10%. Karena
kita mengerti seberapa besar kekacauary kejahatary pertumpahan darah
dan fitnah yang disebabkan oleh sekte ini selama 167 tahun dalam sejarah
Islam; yang sudah tentu sama dengan para pendahulunya yakni golongan
Khawarij dalam sejarah Islam tentang pengkafiran, pembunuhary kejahatan
terorganisir yang tidak bisa hilang dari ingatan umat Islam hingga sekarang.
Yang mengagumkan dari literatur-literatur Ismailiyah ini adalah
loyalitas kemadzhaban yang berperan penuh melebihi kenyataan
seiarah, dan mempersembahkannya dengan bentuk yang indah dan
tak usang. Dan, seakan sejarah Ismailiyah dengan segala manuver dan
kecondongan, kekacauan dan tekanan internalnya menjadikan sisi yang
terang, menjadikan orang-orangyarrg mengaku para visioner itu selalu
mempromosikannya hingga sekarang.
Nizariyah dalam Pandangan Barat
Nizariyah dan Daulah Alamut menarik perhatian para orientalis dan
peneliti non-Arab maupun non-Muslim, namun mayoritas literaturliteratur
tentang mereka -sejak dulu- datang dalam bentuk yang lebih mirip dengan
riwayat-riwayat kesusastraan (yurg di dalamnya telah terjadi percampuran
antara hal-hal yang benar dengan hal-hal yang bersifat khayalan) menuju
pembahasan ilmiah yang mendalam.
Mungkin penelitian yang hampir mendekati kebenaran - sebagaimana
disebutkan sebagian peneliti -adalah penelitian seorang Yunani, von
Hammer Purgstal, dalam bukunya Tarikh Hassyasyin (sejarah Hassyasyin)
yang diterbitkan pada pertengahan abad L9 Masehi, dengan rujukan bahasa
Arab dan Persia yang valid. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Perancis pada tahun 1833 M dan ke dalam bahasa Inggris pada tahun L835
M sampai pada pertengahan abad ke-20 M-
Dengan adanya penelitian tersebut, gambaran tentang Hasyasyin
menjadi jelas, bahwa mereka adalah sebuah kelompok sadis dan menebar-
kan ketakukan sebagaimana tergambar jelas tentang keburukan dan
kesewenang-wenangan dalam sosok Hasan Ash-shabah, sampai akhirnya
seorang Profesor Rusia bernama lvanov, yang telah memepelajari tentang
hakekat Nizariyah, memberikan konter atas penelitian von Hammer.
Menurutnya, apa yang dilakukan Nizariyah adalah upaya sekelompok
minoritas yang tertindas dalam lingkungan yang penuh dengan
permusuhan dan pertentangan. Apa yang dilakukan mereka tidak lain
hanyalah untuk mempertahankan diri.
Penelitian ilmiah tentang Has yasyin masih saja ada; baik dalam bentuk
sastra maupun dalam bentuk penelitian ilmiah. Adapun penelitian yang
paling menonjol yang menjadi jalan tengah antara pendapat Purgstal
dan Ivanov adalah sebuah tulisan berbahasa Inggris berjudul Tha'ifah
Hasyasyin (sekte Hasyasyin) karya Hodgson seorang peneliti Kanada, yang
diterbitkan di Belanda tahun 1955 M, selain masih banyak lagi penelitian-
penelitian yang lain. Hanya kepada Allah-lah balasan atas segala perbuatan.
AL.ASY'ARIYAH,"
AL-ASY'ARIYAH adalah kelompok terbesar ilmu kalam yang dinisbatkan
pada pendirinya yaitu Abu Al-Hasan Ali bin Isrnail bin Abi Basyar A1-
Asy,ari, yang nasabnya berakhir sampai pada Abu Musa Al-Asy'ari salah
seorang sahabat Rasulullah S.
Al-Asy,ari dilahirkan di Basrah pada tahun 260 atau 270 H, hidup
di keluarga yang berilmu dan beragama. Ayahnya seorang sunni dan
ahli hadits, sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Asakir. Menjelang
meninggal, ayahnya menitipkannya pada ulama ahli hadits dan ahli fikih
yang bermadzhab Syaf i di antaranyaZakaiabin Yahya As-Saji,162 Abu A1-
Abbas Ahmad bin umar bin suraij seorurng ulama besar ahli fikih dan ilmu
kalam yang bermadzhab syafi'iyah, disifati demikian karena ia yang pertama
kali mengenalkan sistem perdebatan di kalangan ulama Syafi'i. Sedangkan
Abu Al-Abbas adalah orang yang paling pandai dalam ilmu kalam dan ilmu
fikih di masanya,le dialah yang membawa Al-Asy'ari ke Baghdadle yang
menjadi ibukota pemerintahan Islam pada masa kekhalifahan Abbasiyah,
untuk belajar ilmu dan aliran pemikiran dari para ulama Baghdad. Saat itu
ibu Al-Asy'ari dinikahi oleh salah seorang pembesar Mu'tazilah yakni Abu
Ali Al-lubba'i tahun 303 H. Alasan inilah yang memberikan peran besar
dalam perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan Al-Asy'ari hingga
beliau menjadi salah satu pembesar ulama Baghdad'
Tajuddin As-Subki berkata, "sebelumnya Al-Asy,ari adalah pengikut
Al-Jubba'i yang beraliran Mu'tazilah. Dikatakan bahwa Al-Asy'ari beraliran
Mu'tazilah selama 40 tahun dan menjadi salah satu imam dalam aliran
tersebut."16s
Dengan ilmu yang dimilikinya waktu itu, Al-Asy,ari menyusun
kitab yang besar untuk mengoreksi Madzhab Mu'tazilahr66 dan ia berhasil
memperoleh kepercayaan dari gurunya, Al-Jubba'i, sehingga dialah yang
mewakili gurunva dalam majelis-majelis perdebatan. Al-Jubba'i adalah
seorang yang banyak menulis dan menelurkan kitab. Dia datang dengan
segala apa yang diinginkan oleh orang yang membutuhkan jawaban
terperinci. Daru ketika ia menghadiri majelis-majelis ilmu dan perdebatan,
maka tak ada yang berhasil menandinginya, dan ketika ia berhalangan
hadir maka ia akan mewakilkannya kepada Al-Asy'ari.Ia akan berkata
kepada Al-Asy'ari, "Jadilah wakilku," dan hal itu terjadi berurang kali.167
selama kurun waktu ini, tampak bahwa Al-Asy'ari menggunakannya
untuk mendukung dan memperluas Madzhab Mu'tazilah meski tidak
sepenuhnya terjun di dalamnya, melainkan meninjau kembali unsur-unsur
pokok dan cabang dalam madzhab serta menelitinya secara mendalam
apa yang ada dalam metode dan masalah-masalahnya, guna melawan
kemungkinan bantahan atas keraguan-raguan dalam keyakinan akidah
Mu'tazilah dari lawan-lawan mereka. Namun, alih-alih menemukan
kenyataan tentang itu, ia jutru menemukan beberapa kelemahan M u'tazilat-
yang tidak mampu dianalisanya berdasar pada apa yang diketahuinya dari
para ulama Mu'tazilah, terutama gurunya, Al-Jubba,i.
Al-Asy'ari mengadukan permasalahannya ini kepada gurunya,
memohon agar mendapatkan jawaban atas kebimbangannya dan meng-
hilangkan keraguannya itu, serta menambah keyakinan serta berpegang
teguh pada madzhabnya. Dia mendapati dirinva ada di persimpangan
jalan dalam menetapkan, apakah dirinya akan tetap berpegang teguh pada
madzhabnya ataukah pindah madzhab.
Banyak sumber yang menunjukkan adanya beberapa permasalahan
yang terjadi antara dia dan gurunya. Di antaranya adalah sebuah pertanyaan
yang diajukan kepada gurunya tentang nasib tiga orang yang meninggal'
Ada tiga orang bersaudar a; Pertama,yang paling tua meninggal sebagai orang
yang beriman dan bertakwa. Kedua,meninggal dalam keadaan kafrr. Ketiga,
meninggal pada waktu masih kecil sebelum menginjak usia baligh. Maka Al-
|ubba,i punmenjawab, "Adapun orangyangbertakwa akanberada di surga
berdasarkan pada dalil M u'tazilah,bahwa Allah wajib memenuhi janji-Nya'
Adapun orang k#i, akan berada di neraka sesuai dengan janii Allah tentang
Erncaman terhadap orang kafir. Adapun saudara yang terkecil yang belum
baligtu maka dia tidak berhak mendapatkan pahala dan juga tidak berhak
mendapatkan siksa; karena anak kecil yang belum baligh tidak dibebankan
ketaatan yang akan mendapatkan ganjaran berupa pahala dan kemaksiatan
yang akan mendapatkan ganjaran berupa siksa'"
Mendengar jawaban ini AI-Asy', ari bertanya, " Apa yang Allah katakan
kepada anak kecil itu jika anak kecil itu meminta derajat seperti derajat
kakak pertamanya agar bisa masuk surga? Karena jika Allah memanjangkan
umurnya maka ia akan taat kepada-Nya dan bisa masuk surga, dan ini
sesuai dengan apa yang disepakati oleh Mu'tazilah tentang Allah Yang
Mengetahui mana yang baik dan yang lebih baik'"
Al-]ubba'i menjawab bahwa Allah akan berkata, " Aku tahu kalau kamu
dewasa kelak, kamu akan berbuat maksiat, dan Aku akan memasukkan
kamu ke neraka karena kemaksiatanmu. Maka lebih baik Aku mematikan
kamu pada waktu masih kecil."
Lalu Al-Asy'ari mengajukan pertanyaan lagi, "Bagaimana pendapatmu
jika orang kafir yang di neraka tadi berkata,'wahai Tuhanku, kenapa
Engkau tidak mematikan aku pada waktu aku masih kecil? sehingga aku
tidak berbuat maksiat kepada-Mu dan tidak disiksa di neraka?"
Menurut sebuah riwayat, Al-]ubba'i terdiam dan tidak mampu
memberikan jawaban aPaPun.16
As.Subkimenambahkanpermasalahanlainyangberhubungan
tentangnama-namaAllah.Sebuahriwayatmenyebutkanbahwaada
seorang pemuda menemui Al-Jubba'i, lalu pemuda tersebut bertanya,
"Apakah boleh menamai Allah dengan Aqil (orang yang berakal)?" Al-
Jubba'i menjawab, "Tidak boleh, karena akal berasal (musytaq) dari kata
'Iqal' @elenggu) yang menunjukkan halangan dan rintangan. Mustahil bagi
Allah untuk dihalang-h alang!"
Maka Al-Asy'ari menyanggah pendapat gurunya itu, lalu berkata,
"Kalau diqiyaskan dari pendapat Anda, Allah tidak bisa dinamai dengan
sifat Hakim; karena nama ini berasal dari Hakamah Al-Lijami yangberarti
besi yang membelenggu kaki hewan. Maka ketika lafal ini menunjukkan
arti mencegah atau menghalangi, sedangkan halangan bagi Allah adalah
sesuatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi, maka secara rnutlak
Allah juga tidak bisa disifati dengan nama Al-Hakim."
Al-Jubba'i balik bertanya kepada Al-Asy'ari, "Maka atas dasar apa
Anda melarang menamai Allah dengan nama 'Aqil dan membolehkan
dengan nama Hakim?" Al-Asy'ari pun menjawab, "Karena caraku
dalam memaknai nama Allah berdasarkan pengetahuan syariat, bukan
berdasarkan qiyas bahasa. Karena itu aku membolehkan sifat Hakimbagi
Allah karena syariat membolehkannya, dan mencegah pensifatan'Aqil
karena syariatpun mencegahnya. Dan, kalaulah syariat membolehkan sifat
'Aqilbagi Allah maka aku pun akan membolehkannya."l6e
Abdul Qahir Al-Baghdadi menyebutkan permasalahan lain yang
menjadi perdebatan di antara keduanya. suatu ketika dalam sebuah forum,
Al-f ubba'i mengemukakan pertanyaan kepada Al-Asy'ari, " Bagimu, apakah
arti dari ketaatan?" Al-Asy'ari menjawab, ketaatan adalah penerimaan
keselarasan perintah. Kemudian Al-Asy'ari bertanya balik kepada Al-
Jubba'i tentang makna taat, lalu Al-Jubba'i pun menjawab, ,,Hakekat
taat menurutku adalah keselarasan kehendak, dan setiap orang yang
melakukan apa yang dikehendaki oleh orang lain berarti ia menaatinya,"
maka Al-Asy'ari berkata, "Dengan begitu Anda menetapkan atas dasar
ini bahwa Allah ditaati oleh hamba-Nyu, jika hamba-Nya melakukan apa
yang dikehendaki oleh Allah."17o
Perdebatan semacam ini171 rnenunjukkan pada kita bahwa antara
dua orang ini berbeda cara pandang dan metode pengambilan dalil serta
pengurutannya. Dan, bahwa penetapan dalil tidak terlepas dari berpegang
teguhnya seseorang terhadap apa yang diyakininya kuat dan jelas. Karena
suatu madzhab tidak akan meniadi madzhab kecuali si empunya madzhab
tersebut berpegang teguh padanya.
Berbeda dengan sebagian ahlira'yi (rasionalis) yang tidak memegang
teguh apa yang telah diucapkannya, karena terkadang ketika melihat
suatu permasalahan, tidak terlintas dalam benak mereka permasalahan
tersebut. Dan, bisa jadi ketika mereka menghadapi suatu permasalahan
tertentu, mereka akan mengkaji kembali pendapat-pendapat mereka atau
bahkan berpindah dari apa yang mereka ucapkan sendiri. Sehingga mereka
bukanlah tipe orang yang memegang teguh ucaPan atau pendapatnya
sendiri.
Sebagian yang telah tercantum - dalam literatur kuno tentang
keluarnya Al-Asy'ari dari manhai Mu'tazilah-menunjukkan bahwa
permasalaan yang membingungkannya bukanlah sebatas pada permasala-
han parsial Quz'i) seperti yang telah dicontohkan di depan; melainkan
ada juga permasalahan yang bersifat prinsipil. Di antara riwayat-riwayat
yang menunjukkan hal ini adalah perkataan Al-Asy'ari, "Sesungguhnya
aku berteori, maka itu sudah cukup bagiku menjadi sebuah dalil. Dan,
menurutku yang benar tidak lebih unggul dari yang bathil, begitu juga
yang bathil tidak lebih unggul dari yang benar (haq)!'172
Atau dengan ungkapan lain sebagaimana dikatakan As-subki, "Tidak
ada sesuatu yang lebih unggul dari yang yang lainnya'"173
Inilah kekhawatiran yang dialami oleh pemikir terutama dalam urusan
akidatU karena kesamaan alat bahasa akan menimbulkan berbagai macam
keraguan yang dapat menghilangkan keteguhan hati dan pikiran kemudian
menggiring pad,a agnostisisme (pandangan filosofis tentang suatu kebenaran
yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas),
yang mana tidak dapat membantu akal dalam membenarkan sesuatu yang
benar dan menyalahkan sesuatu yang bathil. Ketika pemikir telah sampai
pada level ini, bagaimana dia bisa mempertahankan pendapatnya atau
mengeritik lawannya, atau bagaimana dia bisa memenangkan sebuah
perdebatan?
Dalam keadaan demikian, kecenderungan seorang pemikir adalah
meninjau kembali hasil pemikirannya dan meneliti kembali mukaddimah-
mukaddimah penopang pendapatnya itu, disamping juga memperdalam
hasil analisa pemikirannya tersebut.
Jika hal itu tidak dapat dilakukan oleh seorang pemikir, maka tidak
ada jalan lain kecuali keraguan akan mulai tertanam pada dirinya, yang
tentunya ia tidak akan mampu untuk terus bertahan dalam keadaan
seperti itu atau ia harus berpindah ke madzhab lain untuk mendapatkan
ketenangan pikiran dan hati, dimana madzhab yang ia ikuti sebelumnya
tidak dapat memberikannya.
Dalam konteks Al-Asy'ari pastilah ia akan kembali pada masa awar
pertumbuhannya. Madzhab yang sebelumnya ia pegang, madzhab sewaktu
masih mudanya, di saat ia masih bersama ayahnya yang beraliran sunni
dan seorang ahli hadits; kembali kepada pengaruh guru-gurunya dari
golongan ahli fikih dan ahli hadits yang membantunya untuk menempuh
jalannya sebelum menjadi Mu'tazilah.
Disamping itu Al-Asy'ari, selama bulan Ramadhan tahun tersebut
bermimpi bertemu Rasulullah selama tiga kali, yang dalam mimpi itu
Rasulullah memerintahkan Al-Asy'ari untuk menolong madzhab-ma dzhab
yang berdasarkan riwayat dari beliau. Kemudian Rasulullah memberi
kabar gembira bahwa Allah akan memberikan pertolongan kepadanya.lTa
Tidaklah aneh jika Al-Asy'ari memikirkan -yang pada waktu itu ia
sedang mengalami banyak kebimbangan dan keragu-raguan- apa yang
diyakini Mu'tazilah, yang selalu berpegang teguh pada akal walaupun
suatu masalah sudah gamblang disebutkan dalam nash syariat. Karena
menurut orang-orangMu'tazilah, pengetahuan adalah apa yang dapat
diterima dan dicerna oleh akal.
Pengetahuan harus sesuai dengan parameter akal. Bersuyukur atas
kenikmatan adalah wajib meski belum dijelaskan olehAs-sam'i. Kebaikan
dan keburukan wajib diketahui melalui akal.lTsKaidah-kaidah pokok
agama harus diketahui melalui akal bukan melalui syariat, karena Al-
Qur'an merupakan dasar dalil- dalll sam'iyah (berhubungan dengankhithab
langit), sehingga tidak mungkin menarik kesimpulan dalil dari Al-Qur'an
yang berkenaan dengan dasar-dasar akidah seperti iman kepada Allah
dan sifat-sifat-Nya, kecuali setelah menetapkan kebenarannya; yaitu tidak
akan mungkin bisa kecuali setelah mengetahui Allah, mengetahui keadaan
sesuatu yang memberitahukan tentan8 Allah, dan bahwa Allah adalah
Al-Hakim yang tidak mungkin memilihkan sesuatu yang buruk, sampai
ditemukan dalil dari Al-Qur'an yang menunjukkan hal itu'
Hal ini pastinya akan sampai pada kesimpulan bahwa Allah dan
kebijaksanaan-Nya tidaklah ada, karena semuanya harus dikembalikan
kepada dalil Al-Qur'an yang kemudian dibenarkan oleh akal'
Karena Allah adalah Al-Hakim (DzatYang Maha Bijaksana) tentunya
Dia tidak akan memilih perbuatan buruk, agar Al-Qur'an dapat dijadikan
tendensi dalil atas hal tersebut.
Begitu juga tidak dapat dibenarkan mengatakantentang Allahbahwa
Dia adalah, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia" {Lsy-Syura: 11)'
kecuali setelah terlebih dahulu mengetahui bahwa Allah tidaklah berupa
materi dan tidak bisa diserupakan dengan sesuatu'176
Dari kenyataan ini semua, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa
mengetahui Allah (Ma'rifatullah) -mengesakan dan menetapkan sifat
keadilan-Nya- adalah sebuah pengetahuan yang didasarkan pada akal, dan
akallah yang harus dijadikan rujukannya - harus lebih didahulukan daripada
mengambil dalil dari Al-Qur',an-. Karena jika akal tidak didahulukan, maka
kita tidak mungkin mengetahui bahwa Al-Qur'an merupakan hujjah yang
paling pokoklz, yang masuk di dalamnya sabda Rasulullah ffi'178
Ketika suatu perkara bergantung pada kedua dasar pokok yakni
Al-Qur,an dan sunnah, maka tidaklah aneh jika oranS-orang Mu',tazilah
memaksakan penakwilan atas dua nash tersebut jika tidak sesuai dengan
akal. Mereka (Mu'tazilah) terlalu jauh dalam memasuki area takwil
(penafsiran secara akal) hingga batas mendekati filsafatlTe yang selalu
mengulang-ulang perkataan mereka bahwa Allah terbebani sifat wajib,
mengingkari beberapa hadits seperti hadits tentang syafaat, yang pada
akhirnya mengantarkan pada pendapat dan teori-teori yang mirip dengan
aliran filsafat - yang dalam keadaan tertentu - jauh dari menyerupai
pendapat para Salafus saleh yang terdiri dari sahabat dan tabiin.lso
Hasil dari ini semua adalah, akhirnya Al-Asy'ari pun hengkang dan
keluar dari Madzhab Mu'tazilah. Al-Asy'ari menerangkan kepindahan
madzhab ini dengan keterangan yang sangat jelas. Bahkan ia mengumumkan
hal tersebut di hadapan massa di dalam sebuah masjid pada hari Jumat.
Ibnu Nadim menceritakan tentang kejadian ini dengan mengatakan
bahwa Al-Asy'ari naik ke atas mimbar lalu menyeru pada khalayak dengan
suara yang sangat keras, "Barangsiapa yang telah mengenaliku, maka ia
telah mengetahui tentang diriku. Dan, barangsiapa yang belum mengenalku,
maka aku akan memberitahukan tentang diriku. Aku adalah fulan bin fulan.
Dahulu aku mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan bahwa Allah
tidak dapat dilihat dengan mata (indera), dan bahwa perbuatan-perbuatan
buruk adalah aku sendiri yang melakukannya. sekarang aku telah bertaubat,
menentang Mu'tazilah dan akan membuka segala kesesatannya."l8l
Adapun Ibnu Asakir mengisahkan sebuah cerita yang berasal dari
sebagian pengikut Al-Asy'ari (Asya'irah), bahwa Al-Asy'ari menyendiri
selama 15 hari lalu keluar menuju ke sebuah masjid di hadapan manusia
dan naik di atas mimbar lantas berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya
aku menghilang dari hadapan kalian karena aku merenung dan meminta
petunjuk Allah yang Maha Agu.& dan Allah pun memberikan petunjuk
kepadaku dengan apa yang terdapat dalam kitabku ini. Aku telah melepas
semua apa yang telah aku pemah yakini sebagaimana aku melepaskan bajuku
ini." Dan, Al-Asy'ari pun lantas membuka bajunya lalu melemparkannya. Ia
membagi-bagikan kitab tulisannya kepada semua yang hadir."
Begitulah proses perpindahan Al-Asy'ari dari aliran Mu'tazilah
ke Madzhab Ahlu sunnah wal |amaah (sunni). Ia berjuang untuk
memenangkan madzhab barunya itu, memperlihatkan hujjahnya,
menguatkan dalil-dalilnya, dan menentang paham-paham yang tidak
sesuai dengan aliran barunYa itu.
Dapat dikatakan -secara umum dan tanpa membutuhkan lagi
penjelasan- bahwa Madzhab Al-Asy'ariyah mengeritik keyakinan Mu'tazilah.
Perbandingan keduanya menamPakkan pertentangan yang begitu jelas dan
tajam. Kedua madzhab tersebut hampir tidak pemah menemui kata sepakat
dalam berbagai hal kecuali sedikit sekali persoalan yang sebelumnya mereka
bahas bersama.
Adapun gambaran umum antara keduanya adalah, mereka berbeda
sama sekali bahkan di kelas bawah di antara para pengikut keduanya;
mereka sampai melontarkan tuduhan kafir dan sesat antara yang satu
dengan yang lain tergantung sampai dimana tingkat perbedaan yang
sedang mereka perselisihkan.
Al-Asy'ari menulis banyak buku yang isinya bertujuan meruntuhkan
dasar-dasar akidah Mu'tazilah dan menyanggah pendapat-pendapat
mereka183. Bahkan ia sampai membuat sebuah buku untuk menyanggah
dirinya sendiri, yang sebelumnya telah menulis buku tentang dasar-dasar
Mu,tazilah dan untuk mendukung madzhabnya, sebelum akhirnya ia
berpindah ke madzhabnya yang baru yaitu Sunni. Al-Asy'ari menulis
sebuah kitab tebal yang diberi iud,al Al-Jawabat fi Ash-Shifat 'an Masa-il Ahli
Az-Ziy agh w a Asy - SYubhat.
Dalam kitab tersebut Al-Asy'ari berkata, "Kitab ini adalah bantahan
kami terhadap sebuah kitab, yang kitab tersebut adalah karya kami sendiri,
dimana di dalamnya berisi pembenaran ajaran Mu'tazilah. Tentunya orang-
orang Mu'tazilah tidak mempunyai kitab yang sebanding dengan kitab
tersebut, kemudian Allah menampakkan sebuah kebenaran kepada kami
agar kami kembali kepada-Nya, maka kami pun menarik diri dari mereka
dan menjelaskan kesalahan-kesalahan mereka (Mu'tazilah)'"1e
Perhatian yang sangat besar dalam menyanggah paham Mu'tazilah,
tidak serta merta mengabaikan sanggahan Al-Asy'ari terhadap aliran
lain dalam Islam seperti Al-Jahmiyah, Al-Mujassimah, Al-Imamiyah, Al-
Murji'ah dan lain sebagainya. Sebagairnana Al-Asy'ari juga melakukan
sanggahan terhadap aliran-aliran yang ada pada agama lain seperti Ats-
Tsanawiyah, Ad-Dahriyyin, Al-Mulahidah, dan para filsuf serta aliran
yang memiliki anggapan bahwa alam itu qadim.18s Sanggahan-sanggahan
tersebut berbeda-beda tergantung kepada siapa tujuannya sesuai dengan
agama dan aliran yang dianut^ya.,tu
Di sini, kita tidak membahas secara detil pendapat-pendapat Al-
Asy'ari karena hal tersebut memerlukan penelitian khusus, dan cukuplah
menyorotinya secara urnum dengan sedikit membahas tentang karakteristik
pemikiran Al-Asy'ari dan metodenya secara umum dalam menghadapi
masalah-masalah akidah agar bisa menjadi pegangan bagi para pengikut
Al-Asy'ari. Berikut pandangan-pandangannya:
A. Pandangan Al-Asy'ari dalam Kitab Al-Ibanah
Al-Asy'ari menjelaskan -setelah mengeritik manhaj Mu'tazilah
dan Qadariyah dalam masalah penakwilan yang berseberangan dengan
Al-Qur'an dan Sunnah Nabi serta bertentangan dengan metode para
sahabat- bahwa ia bersandar pada apa yang diikuti oleh golongan salaf
yang merupakan para pengikut Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam hal ini Al-
Asy'ari berkata, "Pendapat yang kita keluarkan dan agama yang kita anut
berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullatu dan apa yang
telah diriwayatkan oleh para sahabat Nabi serta para Tabiin dan para imam
ahli hadits. Dengan demikian, kita akan menjadi orang-orangyangterjaga
(dari kesalahan). Kita berkata sebagaimana telah diucapkan oleh Abu
Abdillah Ahmad bin Hanbal -semoga Allah selalu memancarkan cahaya
wajahnya dan mengangkat derajatnya - tatkala pendapatnya bertentangan
dengan pendapat orang lain. Karena ia adalah seorang imam yang agung,
yang melawan kesesatan, menjelaskan metode, menundukkan ahli bid'ah
dan orang-orang yang menyimpang serta para pembuat kebingungan.
semoga Allah merahmatinya, karena ia adalah imam terdepan/ oran8 yang
utama, dan besar."187
Al-Asy'ari secara umum berkomitmen pada aPa yanS dinisbatkan
kepada para ulama salaf dan ulama ahli hadits sunni sebagaimana hal
itu tercermin dalam pendapat-pendapatnya yang tertuang dalam kitab
Al-lbanah dan dalam Maqalat Al-lstamiyyin.188 Sebagaimana halnya ia
sangat berkomitmen untuk menyanggah pendapat aliran-aliran yang
berseberangan dengannya -khususnya Mu'tazilah- yang sudah berani
menakwil nash keluar dari zhahirnya padahal tidak dalam kondisi
terpaksa.
Dalam hal ini ia berkata, "Al-Qur'an harus sesuai dengan zhahirnya.
Kita tidak berhak mengeluarkannya dari zhahir nash kecuali dengan adanya
hujjah (dalil). Dan jika tidak terdapat hujjah, maka Al-Qur'an haruslah
sesuai dengan zhahirnYa.lse
Dalam kesempatan lain Al-Asy'ari juga mengatakan, "Kita tidak
diperbolehkan untuk mengeluarkan kalam dari hakekatnya dengan tanpa
adanya hujjah dan dalil atau bukti."lm
Hanya saja perdebatan Al-Asy'ari menghadapi lawan-lawannya
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Imam Ahmad dan orang-oran8
yang sepaham dengannya. Imam Ahmad telah mengingkari pemikiran
Al-Harits Al-Muhasibi dengan mengatakan, "Kitab karya Al-Muhasibi
yang berisi sanggahan terhadap paham Mu'tazilah yang di dalamnya
terdapat redaksi, "Mengkonter perbuatan bid'ah adalah waiib," maka
Imam Ahmad berkata, "Tidak langsung menyalahkan akan tetapi terlebih
dahulu menyebutkan tentang kesamaran yang disampaikan orang-orang
Mu'tazilah, kemudian memberikan jawaban atasnya. Bagaimana kamu
bisa yakin seseorang yang mengagungkan kemampuan akalnya mau
melihat kesamaran tersebut terlebih dahulu. Tentunya ia akan langsung
melihat jawaban tersebut, atau langsungmelihat jawabannya tanpa melihat
permasalahannya."
Imam Al4hazali memberikan tanggapan dengan mengatakan,,,Apa
yang telah dijelaskan oleh Imam Ahmad adalah benar. Namun kebenaran
yangberada dalam kesamarantidak akanbisa tersebar dan terkenal, adapun
jika kesamaran itu tersebar maka jawaban atasnya merupakan kewajiban,
dan tidak mungkin menjawabnya kecuali setelah memberikan deskripsi."lel
Inilah yang dikatakan Al-Ghazali mewakili pendapat Al-Asy'ari
dengan menggunakan bahasa yang benar, karena Al-Asy,ari -dalam
mendatangkan hujjah menghadapi mereka (Mu'tazilah)- tidak hanya
menggunakan dalil-dalil naqli yang bersif at sam'i (perkara yanga berasal
dari Al-Qur'an), melainkan menambahkannya dengan beberapa dalil aqli
(rasio) yang telah dipelajarinya sewaktu ia masih berpaham Mu'tazilah.
Bedanya adalah, ia mengarahkannya kepada paham barunya ini yang sesuai
pendapat sebagian kalangan salaf dan sunni seperti Abu Al-Abbas Al-
Qalansi, Abdullah bin sa'id Al-Kilabi, dan Al-Muhasibi. Mereka ini adalah
golongan salaf yang menguasai ilmu kalam, mengokohkan akidah-akidah
salaf dengan dalil-dalil ilmu kalam dan kaedah ushuliyahnya.
Karena Al-Asy'ari lebih cenderung pada golongan ini maka ia pun
menguatkan pendapat-pendapat mereka dengan menggunakan metode
ilmu kalam. Itulah yang disebut dengan Madzhab Ahlu sunnah wal Jamaah
sebagaimana yang telah disebutkan oleh Asy-Syahrastani.le2
Dalam menanggapi hal ini, salah seorang Imam pengikut madzhab
Al-Asy'ari yaitu Abu Bakar bin Faurak (406 H) mengatakan, ,,Syaikh Abu
Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ari berpindah madzhab dari Mu'tazilah ke
Ahlussunnah wal Jamaah dengan memakai hujjah-hujjah aqliyah. untuk
hal tersebut ia telah menulis banyak kitab./'1e3
Hal ini juga seperti apa yang disampaikan oleh Al-Baihaqi (4g5
H) dan Ibnu Asakir (571H), yang mana keduanya merupakan ulama
Madzhab Asy'ariyah yang mengatakan bahwa apa yang telah diatur oleh
syariat sangat berkesesuaian dengan akal berbeda dengan apa yang telah
dituduhkan oleh para pengumbar hawa nafsu.lea
B. Masalah Pengambilan Dalil
Al-Asy' ari sangat menekankan terciptanya keseimbangan antara dalil-
d,alil syar'i dan dalil-d alil'aqli secara seimbang. Dengan memprioritaskan
dalil syar'i kemudian menambahkan dengan dalil'aqli untuk menoPang
dan memperkuat landasannya.
Ini dapat terlihat dari apa yang telah disebutkan Al-Asy'ari dalam
kitabnya Al-lbanah dan Al-Luma' danbeberapa kitabnya yang lain seperti
Risalah Ahli Ats-T sighar.
Bahkan dalam beberapa kesempatan, Al-Asy'ari mengajak untuk
memegang teguh dalil-dalil syar'i, dengan tidak mengabaikannya agar
terhindar dari hal-hal yang menimpa pada ahli bid'ah yang mengesamping-
kan dalil syar'i dan berjalan bersama para filsuf.
Dalam beberapa kesempatan, Al-Asy'ari menjelaskan bahwa
Rasulullah ffi telah menjelaskan kepada setiap sahabat yang beliau utus
menemui suatu kaum atau kelompok dan mengatakan kepada mereka
tentang kesesatan dan kesalahan mereka dengan menggunakan hujjah
dan dalil-dalil dari Allah. Disamping menjelaskan tentang kebenaranyang
mereka serukan kepada para kaum tersebut dengan mendatangkan bukti-
bukti dan ayat-ayatyang berasal dari Allah. Hal itu dilakukan agar tidak
ada seorangpun dari kaum tersebut yang masih samar tentang apa yang
dibawa oleh para sahabat utusan itu. Rasulullah M tidak menambahi dalil
lain kecuali dalil dan bukti-bukti dari Allah tersebut.les
Kaum muslimin setelah mereka juga tidak perlu dalil lain selain apa
yang telah ditekankan oleh Nabi ffi dan apa yang telah beliau serukan
kepada seluruh umat beliau untuk merenunginya. Dan, kita tahu bahwa
tidak ada seorangpun yang lebih memberikan petunjuk melebihi petunjuk
yang berasal dari Rasulullah.l%
Telah ditekankan bahwa dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits merupakan
dalil yang paling jelas daripada dalil "non-esensial" yang dijadikan tendensi
bagi para filsuf dan para pengikut mereka yang terdiri dari golongan
Qadariyah danahli bid'ah serta orang-orangyangberpaling dari para Rasul,
denganalasanbahwa non-esensial tidak dapat dijadikan dalil kecuali setelah
mengalami beberapa tahapan yang banyak menuai perbedaan pendapat
dan pembahasan yang mendalarn.leT Adapun dalil syariah yang dijadikan
sandaran ahli kebenaran (haq) dan dasar-dasar yang dijadikan rujukannya
terbebas dari stagnasi dan ta'qid. Karena dalil syariat bersifat jelas dan
terang yang dalam hal ini Al-Asy'ari berkata, "Dasar-dasar ahli haq adalah
benar, hujjah-hujjah agama kita telah jelas, sehingga oranS-orang yang
mau membahasnya dan mengomentarinya akan menambah keyakinannya
tentang kebenaran syariat itu sendiri dan akan meniadikannya bahagia
dengan keyakinannya. 1e8
Beberapa ketetapan Al-Asy'ari menunjukkan bahwa dalam suatu
pembahasan dalil pertama yang digunakan adalah dalil aqli kemudian
setelah itu baru menggunakan dalil sam'i (Al-Qur'an dan hadits). Alasannya
adalah, dalil aqli adalah ashal (pokok), sedangkan dalil sam'i adalah far'u
(cabang). Padahal kita harus mengedepankan dalil pertama sebelum
mengeluarkan dalil kedua.le
Ia juga mengatakan, "Ketika akal telah selesai dengan analisa non-
esensial, maka barulah beranjak menuju dalll sam'i.Jika seseorang melihat
zhahir suatu permasalahan sudah sesuai dengan akal, maka itulah yang
dimaksud. Namun jika zhahirnya belum bisa mencakup -karena adanya
kemiripian denganyang lainnya- maka ketahuilah bahwasanya batinnya
akan sesuai. Hal itu dikarenakan keterbatasan keilmuan seseorang.2oo
Untuk mengetahui pendapat Al-Asy'ari dalam hal korelasi antara
dalil syar'i dan dalil aqli, ia mengatakan bahwa dalil-dalil aqli merupakan
landasan pokok sedangkan dalll sam'i adalah cabangnya. Kedua landasan
tersebut tidak saling bertentangan, sampai misalnya ada perbedaan
antara zhahir suatu dalil syar'i dengan zhahir dalil aqli, karena hal itu
-jika memang terjadi- pada hakekatnya bukanlah sebuah perbedaan
atau pertentangan; karena bathin atau hakekat dalil syar'i tidak akan
berseberangan dengan hakekat dalil aqli.
Al-Asy'ari dalam menjelaskan ialan metodenya ini mengatakan bahwa
d,alil sam'i ada yang zhahir dan ada yang bathin , ada yang muhkam (elas)
dan ada pula yang mutasyabih (samar), ada yang khusus dan ada yang
umum, adanasikh (menghapus) dan adamansukh (dihapus), ada hakekat
ada pula majaz.sedangkan dalil aqli tidak bisa seperti itu karena dalil aqli
sifatnya mempertegas dan menjelaskan tentang hakekat.2o1
Nash tidak secara langsung memuat takwil, akan tetapi ia berbicara
tentang pengembalian nash-nash yang mutasyabih ke dalam nash-nash
yang ntuhkam yang mana hakekatnya tidaklah berbeda dengan dalil aqli.
Bahkan esensi nash yang mutasyabih tidak berbeda - jika diamati dengan
cermat- dengan aPa yang telah dijelaskan oleh dalll aqli.
Demikianlah, Al-Asy'ari menekankan pentingnya keseimbangan
antara dalil aqli dan dalil syar'i,^oz dan mewariskan kepada para murid
dan pengikutnya untuk selalu menjadi orang-orang yang berpegang
teguh pada Al-Qur'an dan hujjah-hujjah atsariyah (perkataan sahabat),
serta tidak menggunakan akal sebagaimana telah dilakukan oleh orang-
orang Qadariyah; namun menjadikan mereka orang-orang yang dalam
permasalah an u shuliy ah menSomParasikan antara dalil sam' i dan petunj uk
akal, dengan menghindarkan diri dari penggunaan akal secara berlebihan
sebagaimana Mu',tazilah dan menjauhkan diri dari oranS-orang yang tidak
menggunakan akalnya sama sekali.203
C. Perkataan-perkataan Al-Asy'ari Mengandung Banyak Metode
Detil yang Muncul Setelah perenungan dan Pemikiran yang
Paniang
Pemikiran-pemikirannya tidak hanya terbatas pada dasar-dasar
dan kaidah-kaidah teoritis saja, namun membahas metode-metode yang
berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan dan moralitas yang jauh dari
fanatisme dan taqlid buta.
Di antara petunjuk yang menjelaskan hal itu adalah apa yang
dikatakannya tentang pentingnya memulai perhatian pada masalah-
masalah pokok sebelum memberikan perhatian terhadap masalah-masalah
cabang. Seorang pemikir atau sedang melakukan penelitian hukum
hendaknya tidak berpegang pada ijma' para imam madzhabnya atas
keabsahan suatu landasan hukum, melainkan ia harus melihat landasan
hukum itu sendiri guna mengetahui sejauh mana kebenaran landasan
hukum tersebut, karena landasan hukum terkadang benar dan terkadang
salah. Maka ketika landasan hukum tersebut salah, maka pemakaiannya
dapat menimbulkan mudharat, danjika landasan hukum tersebut benar
maka tidak mungkin mengetahuinya kecuali setelah mengetahui alasan-
alasan dan dalil-dalilnya.
Karena jika seorang peneliti bertemu dengan lawan debatnya, dan
sang lawan debat tersebut menunjukkan kesalahan yang ada permasalahan
cabang agamanya, maka ia akan merasa bingung, karena ketidaktahuannya
atas alasan-alasan permasalahan pokok dan dalil-dalilnya, dan karena
orang yang tidak mengetahui penyusun dalil-dalil pokok adalah orang
yang tertipu.2@
Oleh karena itu, melakukan pembahasan atau penelitian dalil adalah
wajib, dan perkataan ahli taqlid yangmengharamkan melakukan penelitian
dalil adalah tidak benar, karena khawatir terjadinya keraguan pada diri
peneliti disebabkan banyaknya pendapat yang ada.
Pendapat Al-Asy'ari ini menyanggah pendapat mereka yang
mengatakan bahwa seseorangboleh tetap menganut akidahnya walaupun
keyakinannya tersebut salah atau bertentangan dengan Islam.2os
Al-Asy'ari juga memperingatkan kepada para peneliti hukum dari
rasa gelisah dan berputus-asa, karena dua hal tersebut mendorong pada
suatu keyakinan atas sesuatu, yar.g mana jiwa akan kembali kepadanya
meski keyakinan tersebut salah. Karena sesuatu keyakinan membutuhkan
pemikiran dan pertimbangan dengan seksama, kemudian tidak tergesa-
gesa pada keyakinan tersebut kecuali setelah ada ketetapan dan penjelasan.
Seorang peneliti juga tidak boleh memaksakan diri -dalam keadaan
sudah bosan- untuk tetap melakukan penelitian dalil. Karena rasa
bosan merupakan penyakit yang berpindah antara seseorang dengan
penerimaannya terhadap sesuatu yang meniadi hak dan kewajibannya.
sedangkan rileks dapat menambah kekuatan dan keaktifan seseorang serta
dapat merealisasikan suatu cita-cita dan keinginan.206
Seorang peneliti sebaiknya tidak terperdaya oleh manisnya ungkapan
orang yang salah dan tidak terhalang dari kebenaran oleh buruknya
ungkapan orang yang benar. Adapun jalan untuk selamat dari hal tersebut
adalah memperlihatkan makna-makna kebenaran dan kebathilan ke dalam
jiwa dan pikirannya agar ia bisa membedakan keduanya tanpa terkecoh
oleh ungkapan orang lain.2o7
Kemudian Al-Asy'ari kembali memberikan isyarat tentang suatu
kaedah metodologi yang sangat penting yang hendaknya dipergunakan
ketika hendak menghukumi sesuatu. Tujuan melakukan penelitian
dalil adalah untuk menemukan kebenaran, siapapun yang mengatakan
kebenaran itu dan menjauhi kebatilan meski kebatilan tersebut dihiasi
kebenaran. Hendaknya pencari kebenaran tidak meletakkan kebenaran
pada kesalahan umum dalam penerimaan atau penolakan'
Dalam hal ini Al-Asy'ari berkata, "Hendaknya tidak menjadikan
kelemahan orang yang benar dalam menyampaikan kebenarannya untuk
dijadikan dasar atas kesalahan segala apa yang diucapkannya' Dan,
tidak pula menjadikan kekuatan orang yang salah untuk dijadikan dasar
kebenaran dalam setiap perkataannya. Akan tetapi yang harus diperhatikan
kepada masing-masing keduanya, adalah selalu memperhatikan dengan
seksama melalui pertimbangan yang matang. Hendaknya tidak menjadikan
kesalahan salah satu dari keduanya dalam 20 madzhab sebagai penghalang
kebenarannya dalam satu madzh ab.il 2o8
Sebagai analogi dari perkataan Asy-Asy'ari ini, dapat dikatakan,
,,Bahwasarunya tidak menjadikan kebenaran salah satu dari keduanya dalam
20 madzhab sebagai penghalang terjadinya kesalahan dalam sebagian
ucapannya. Oleh karena itu hendaknya harus ada pengamatan yang
seksama dalam setiap ucapan dengan meneliti apakah terdapat kesalahan
dalam pendapatnya atau tidak, bukan serta merta mengedepankan hawa
nafsu yang mengakibatkan diterimanya sesuatu yang seharusnya tertolak
atau sebaliknya.
Jika demikian, pengikut Al-Asy'ari ini akan menghindarkan seseorang
dari fanatisme kepada orangyang seide dengannya atau fanatisme terhadap
musuh yang menyebabkannya menyalahkan mereka meski mereka dalam
kebenaran.
Al-Asy'ari juga menyampaikan, ketika jiwa seseorang sudah condong
pada salah satu madzhab, maka akan memandang banyak sesuatu yang
sebenarnya sedikit dan memandang sedikit sesuatu yang sebenarnya
banyak, tergantung kadar kecondongannya (pada madzhab tersebut).
Hal itu dapat menyebabkan kerugian yang jelas, yang tidak bisa lagi
diselamatkan kecuali dengan inspeksi dan penelitian yang cermat.2oe
Sebuah perkara tidaklah cukup deagan keadilan menggunakan
pertimbangan orang lain, baik dari lawan maupun kawan; melainkan
hendaknya seseorang mempertimbangkan dan melakukan pengamatan
sendiri. Bertakwalah kepada Allah dari memberikan jawaban tanpa harus
menelitinya terlebih dahulu, karena rasa malunya untuk melakukan
penelitian tersebut. Sehingga iapun kemudian membiarkannya begitu
saja hingga terdapat kesalahan dan menggunakan hasil penelitiannya.
itu sebagai hujjah dan dalil. Dia akan diam seperti itu karena tidak mau
mengakui kesalahannya. Ketahuilah, kembali kepada kebenaran lebih baik
daripada terus-menerus terjerumus dalam kebathilan.2lo
Inilah sedikit gambaran dari metode pemikiran Al-Asy'ari yang
menunjukkan kekokohan ilmu, kedalaman pengamatan, dan toleransi rasio
keagamaannya terhadap lawan. Ini terlihat jelas dari apa yang ia ucapkan
kepada sebagian sahabatnya, "Saksikanlah diriku ini, sesungguhnya aku
tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat ini (sesama muslim), karena
setiap dari mereka pasti menunjukkan untuk menyembah Tuhan yang
satu. Adapun ini semua hanyalah perbedaan dalam memilih ungkapan."2tl
Dary bisa jadi perkara yang diperselisihkan tidak sampai pada batasan
ini karena terlalu sederhananya. Akan tetapi, ucapannya menyingkap
sesuatu yang layak untuk diikuti dan diteladani. Meskipun beberapa
pengikut madzhab -terutama ahli kalam- berpegang teguh padanya
agar bisa terlepas dari kekacauan dan percekcokan yan8 akan semakin
menambah preseden buruk ilmu kalam.
Manhai Al-Asy'ari dan Asya'irah (Para Pengikut Al-Asy'ari)
Beberapa ulama di berbagai negara dengan berbagai macam disiplin
ilmu menisbatkan dirinya pada madzhab Al-Asy',ari dan berhimpun di
bawah benderanya. Dimulai dari masa Al-Asy',ari sendiri ada beberapa
ulama Bashrah, Baghdad, sir#, Khur asarr,sytraz, dan Naisabur.212 Kemudian
berlanjut pada masa setelahnya sampai pada masa sekarang'
Ibnu Asakir menyebutkan dalam kitabnya Tabyin Kidzbi Al-Muftai
jumlah pengikut Al-Asy'ari yang secara garis besar -hingga masanya-
terbagi menjadi lima generasi. Ibnu Asakir menulis tentang biografi
mereka dalam puluhan lembar213 yang diakhiri dengan perkataannya,"Irri
adalah akhir dari apa yang telah dimudahkan oleh Allah kepadaku untuk
menyebutkannya, sebagian ulama yang masyhur dari para sahabat Al-
Asy'ari. Yang aku tidak sebutkan di sini lebih banyak daripada yang telah
aku sebutkan. Kalalulah aku tidak khawatir dari kesalahan dan karena
niatanku untuk membuat kitab ini berbentuk ringkasan, maka aku akan
membahas semua sahabat Al-Asy'ari. Dan, aku terpaksa tidak menyebut
mereka semuanya karena mereka sangatlah banyak. Karena sangatlah sulit
untuk menyebutkan seluruh ulama, dan karena mereka tersebar di seantero
jagad.,dari mulai Maroko, Syam, Khurasan, dan Irak."21a
Al-Maqrizi (845 H) menyebutkan dalam ulasannya tentang Madzhab
Al-Asy,ari, bahwa madzhab ini tersebar di kota-kota muslim, hingga
madzhab yang lain terlupakan dan tidak diketahui, hingga tidak ada
madzhab lain yang bisa menandinginya kecuali Madzhab Hanabilah setelah
kemunculan Ibnu TaimiYah (428H)-'
Al-Maqrizi berkata tentang Ibnu Taimiyah, "Ibnu Taimiyah - sampai
sekarang ini- mempunyai banyak pengikut di Syam akan tetapi sedikit
di Mesir.'/215
Ibnu Imad Al-Hanbali -penulid kitab Syadzarat Adz-Dzahab (1.089M)
menyebutkan dalam biografi Al-Asy'ari, "Dan, kepada Abu Al-Hasan-lah
kehormatan dunia dalam ilmu kalam berakhir." Kemudian ia kembali
berkata, "Demi umurku, keyakinan ini adalah keyakinan yang layak
untuk diyakini. Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku meyakininya secara
keseluruhan, dan aku memohon kepada Allah agar senantiasa teguh dengan
keyakinan ini.il216
Mereka semua dan orang-orang yang datang setelahnya selama
berabad-abad adalah golongan Al-Asya'irah dan siap meninggikanpanji Al-
Asy'ariyah. Mereka menisbatkan dirinya kepada Al-Asy'ari, memuliakan-
nya, menghormatinya, menjelaskan madzh abny a, menolongnya, dan
membelanya dari segala perlawanan dan fitnah. Disamping itu, mereka
jugalah yang ikut serta dalam penyempumaan Madzhab Al-Asy'ari dengan
apa yang mereka sandarkan padanya dalam permasalahan ilmu kalam
dan dalil-dalilnya.
Ibnu Khaldun berkata dalam Muqaddimah-nya, "Pengikut Syaikh Abu
Al-Hasan Al-Asy'ari bertambah banyak. Murid-muriclnya yang datang
setelahnya mengikuti jejaknya, seperti Ibnu Mujahid dan yang lainnya. Al-
Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (403 H) pun mengikuti (manhaj) dan belajar
dari mereka tentang masalah imamah, membahas, meneliti dan meramunya
sehingga iapun kemudian mengeluarkan satu dalil dalam masalah penetapan
jauhar (substansi) tunggal dan kehampaary dan bahwasannya'aradh (non-
substansial) tidak bisa bertempat pada non-substansial, dan sesungguhnya
'aradh tidak berada pada dua masa yang sama. Serta contoh-contoh lain
yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalil mereka. Kaidah-kaidah ini
kemudian mengikuti akidah-akidah keimanan dalam kewajibannya dalam
berkeyakinan karena dalil-dalil ini bertumpu padanya. Dan, kebatilan suatu
dalil akan berimbas pada kebatilan apa yang didalilinya.2lT
Setelah Ibnu Khaldun, datanglah Imam Al-Haramain Abu Al-Ma'ali
Al-]uwaini (478 H) yang menulis kitab Asy -Syamil, kemudian meringkasnya
dalam Kitab Al-Irsy ad, y angdi kemudian hari sang imam ini pun kemudian
dijadikan sebagai imam akidah mereka.
Al-Ghazali (505 H) dan Fahruddin Ar-Razi (606 H) sebagai pionir
ilmumantiq (logika) datang dan dengan bukti-bukti kuat. Iapun melakukan
perbaruan-pembaruan dalam Madzhab Al-Asy'ari. Meski mereka ini
adalah para ahli manthiq, namun itu semua tidak melupakan mereka untuk
melakukan sanggahan terhadap para filsuf. Metode mereka ini lebih terkenal
den gan sebutan metode muta' aWtiin (kontemporer).21e
Barangkali perhatian Ibnu Khaldun terhadap adanya perbedaan
cara atau metode antara mutaqaddimin dan muta'akhirin mengerucutkan
perhatian serius kita kepada Para Asya'irah (pengikut Madzhab Al-
Asy'ari); bahkan yang berhubungan dengan pengikut madzhab ahli kalam
secara umum.seperti para pengikut tersebut tidak hanya mengambil satu
ketetapan ketika menghadapi beberapa pendapat atau masalah-masalah
yang masih diperdebatkan, atau hasil-hasil pemikiran yang menyampaikan
kepadanya. Bahkan yang banyak teriadi adalah perselisihan di antara
mereka sendiri, yang terkadang serius dan terkadang tidak, tergantung
pada permasalahan yang mereka diskusikan tentang akidah dan dalil-
dalilnya. selain itu juga tentang metode yang mereka pilih atau sanggahan
terhadap orang-orangyang tidak sependapat dengannya. Semuanya itu
kembali pada sebab-sebab yang beragam yang berhubungan dengan
apa )rang biasa disebut dengan al-khalfiyyat (latar belakang) atau dimensi
budaya yang melatarbelakanginya. Kemudian sesuai dengan kedudukan
yang mereka pilih dalam menghadapi nash syariat dengancara bergantung
padanya atau rnelakukan takwil terhadapnya.
Ini semua saling terkait dengan keadaan ketika mengambil dalil aqli;
ketika sedang memulai maupun sedang mengakhiri. Demikianlah terdapat
beberapa sebab yang mengakibatkan adanya perbedaan di antara para
pengikut satu madzhab, terutama dalam ilmu kalam.
Begitullah, terjadi perselisihan antar pengikut Mu'tazilah meski
mereka bersepakat dalam masalahllshul Al-Khamsah (Lima Dasar). Muncul
pula perselisihan di antara kaum syiah, Khawarij, Murji'ah meski masing-
masing dari mereka itu bersepakat dalam hal-hal prinsipil yang telah
mereka sepakati bersama
Bahkan Asya'irah sendiri tidak bisa terhindar dari perselisihan yang
terjadi di antara para pengikutnya, meskipun perselisihan tersebut tidak
sampai menyebabkan perpecahan. Hal itu disebabkan karena mereka
masih tetap menisbatkan diri pada Al-Asy'ari dan madzhabnya. Dary meski
mereka sendiri tidak sependapat dengan pandangan Al-Asy'ari, bahkan
terkadang menyalahkan Al-Asy'ari dalam sebagian pendapatnya. Seperti
pendapat tentang At:fakwin dan Al-Mukawwan yang mana keduanya
merupakan satu makna yaitu penciptaan atau asal muasal.
Adapun yang munjukkan hal itu adalah perkataan Abu Ishaq Al-
Isfarayini (418 H), "Aku berada di samping Syaikh Abu Al-Hasan Al-Bahili
(w.370 H) laksana setetes air di lautan. Dary aku mendengar Syaikh Abu
AI-Hasan Al-Bahili berkata,'Aku berada di samping Syaikh Al-Asy'ari
laksana setetes air di samping lautan."'zo
Imam As-Subki melansir beberapa perkataan sebagian murid Al-Asy'ari
seperti Ibnu Khafif Ash-Shufi (371 H) yang menggambarkan kedudukan
luhur ini dan kecintaan yang tercurahkan dari para pengikutnya.zl Maka
Imam As-Subki menceritakan tentang Al-Asy'ari dengan mengatakan,
"Ketahuilah bahwa kalau kita ingin menyerap dan memahami perangai
syaikh kita, maka kertas-kertas itu akan terasa menyempit dan pena-pena
itu akan terasa fumpul."z
Beitulah posisi Asya'irah antara satu dengan yang lain, meskipun di
antara mereka terdapat perselisihan dan perbedaan pendapat. Ini tercermin
dalam salah satu perkataan mereka, "Asya'irah -dengan berbagai
perbedaan pendapat yang terjadi dalam beberapa masalah- menghindari
untuk saling mengafirkan satu sama lain. Berbeda dengan pengikut aliran
dan kelompok lairy yang jika terdapat perselisihan pendapat maka mereka
saling mengafirkan. Itu semua karena mereka mengedepankan hawa
nafsu."
As-Subki mengomentari perkataan ini, "Hal itu benar, karena
sebenamya banyak perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Asya'irah
sendiri. Hanya saja mereka sadar bahwa demi Abu Al-Hasan lah mereka
berjuang, dengan pedangnyalah mereka berperang, sehingga bagaimana
mereka bisa saling mengafirkan antara satu dengan yang lain?"n3
Sungguh Asya'irah selalu ada dalam ingatan tiap orang karena
meskipun mereka berbeda pendapat tetapi mereka tidak saling mengafirkan.
Inilah yang menjadi sebab keutamaan dan keunggulan mereka. Abdul
Qahir Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Farqu baina Al-Firaq menyebutkan
tentang adanya penjagaan Allah terhadap Ahlu Sunnah -Asya'irah dan
yang sepaham dengannya - dari segala bentuk pengkafiran karena mereka
(Asya'irah) adalah ahlihaq yang konsisten dan mengajak pada kebenaran.
Karena itu mereka terhindar dari perselisihan dan kontradiksi sebagai
bentuk kemuliaan dan kenikmatan dari Allah. Padahal kelompok-kelompok
yang lain, setiap kali mereka berselisih, pasti mengafirkan antara satu
dengan yang lain.za
Tatkala Asya'irah senantiasa loyal terhadap pendapat syaikhnya serta
berpegang teguh dengannya, maka hal itu tidak menyebabkan mereka
menutup diri dari yang lain. Bahkan mereka dapat bergaul dan hidup
bersama dengan pendapat-pendapat lain yang ada di sekitar mereka.
Terkadang ditemukan beberapa opini yang berbeda dengan pendapat Al-
Asy'ari, namun mereka tetap bisa menjaga keseimbangan dan kontradiksi
tersebut dengan tanpa mengurangi rasa hormat mereka terhadap Al-
Asy'ari. Berikut ini contoh hal tersebut:
A. Al-Asy'ari menetapkan - ketika berdebat dengan Mu'tazilah tentang
orang mukmin yang melihat Tuhannya di akhirat kelak- sebuah dasar
metode umum yang mengatakan bahwa, "Al-Qur'an adalah berdasarkan
zhahirnya, dan kita tidak dapat keluar dari zhahir Al-Qur'an jika tanpa ada
hujjah. Jika tidak hujjah maka kita tetap pada zhahir Al-Qur'an-"
Ia kemudian menjelaskan hal ini dengan mengatakan, "Tidakkah
kalian tahu bahwa Allah telah berfirman, " Shalatlah dan beribadahlah kalian
kEadaku," maka seseorang tidak boleh unfuk mengucapkan, "Bahwasannya
Allah menginginkan selainnya (firman ini) ," dertgantmenghilangkan kalam
dari zhahirnya.
Oleh karena itu dalam firman Allah, "Kepada Tuhannyalah mereka
melihat," tidak diperbolehkan bagi kita untuk menghilangkan sisi zhahir
Al-Qur'an tanpa ada suatu hujjah."2s
Perkataan ini mengungkapkan pendapat Al-Asy'ari yang menyandar-
kannya antara dalil syar'i dan dalil aqli. Dalil syar'i di sini didahulukan
karena menjadi dasar tnklif (pembebanan perintah), dan menjadi titik
permulaan dalam penetapan dalil. Hal itu selaras dengan ucapan,
"Sesungguhnya akal tidak dapat menetapkan sesuatupun dan tidak pula
bisa memutuskan antara kebaikan dan keburukan, karena ma'rifutullah
bisa berhasil melalui akal dan bisa langgeng melalui sam'i (syara'). Begitu
pula bersyukur kepada DzatyangMaha Memberi kenikmatary pemberian
pahala kepada orang-orang yang taat dan pemberian dosa kepada orang-
orang yang maksia! itu semua dapat dipastikan melalui sam'i,yaitunash
dan bukan berdasarkart akal."D6
Posisi ini sejalan -bersandar pada dalil syar'i untuk menetapkan
akidah terkhusus ketika sedang melakukan proses pencarian dalil dan pada
dalil aqli- dan juga berafiliasi pada golongan salaf. Hal ini sebagaimana
tertulis dalam mukaddimah Kitab Al-lbanaft dan dalam risalahnya melawan
orang-orang sesat lainny a,D7 yangmenyebutkan pendapatnya tentang sifat-
sifat ketuhanan seperti sifat mendengar dan melihat, hal-hal akhirat yang
bersifat ghaib seperti qalam, Lauh,'Arsy, kursi, surga, neraka, timbangan,
shirath, dan lain sebagainya. Dalam menanggapi masalah pertama, Al-
Asy'ari mengatakary "Sifat mendengar (Sama') adalah sifat Allah yang
menetap pada-Nya. Untuk menetapkannya harus mengikuti metode
ulama salaf dengan meninggalkan takwil." Adapun yang kedua - tentang
sifat akhirat- maka memahaminya adalah berdasarkan zhahirnya wajib
mengimani. Karena tidak ada kemustahilan untuk menetapkannya dan
karena eksistensinya bukanlah sesuatu yang mustahil.z8
Hanya saja sebagian sejarawan ahli kalam Asy'airah yang menisbatkan
pendapat itu berasal dari Al-Asy'ari mengatakan pendapat lain dalam
menakwil sebagian sifat ketuhanan sepernwajh (muka), yadaln (dua tangan),
dan sebagainya. Di antara mereka itu adalan Asy-syahrastani (548 H) yang
mengatakan, "Al-Asy'ari mempunyai pendapat tentang bolehnya takwil22e
(dalam sifat-sifat Allah), dan mungkin Ibnu Faurak dalam masalah ini juga
menisbatkan pendapatnya pada Al-Asy'ari.2il
Bisa disimpulkan atas apa yang dikatakan oleh Al-Asy'ari bahwa
sumber-sumber aqli merupakan pokok dan yang bersumber dari sam'
adalah cabang. Perkara pokok harus didahulukan daripada cabang. Seorang
peneliti dalil jika dengan akalnya belum dapat menemukan aPa yang
dicarinya, maka hendaknya ia beranjak kepada perkara snm'.237
Ketika nash-nash ini dikumpulkan dengan yang lainnya maka akan
menimbulkan pandangan seperti pada takwil, dan bisa jadi Al-Asy'ari
pun merasakan risiko ini munculnya masalah tasyabbuh karena sifat-sifat
Allah ini mendatangkan tajsim (karcna Allah mempunyai sifat, maka Dia
harus mempunyai tubuh), yaitu pendapat yang dianut oleh kalangan
Syiah, Murji'ah, dan Khawarij, bahkan oleh sebagian ahli hadits sendiri.232
Oleh karena itu, Al-Asy'ari kemudian menggunakan pemahaman takwil.
Itu dilakukannya dalam keadaan terpaksa, dan sebagai bentuk upaya
agar tidak terjerumus dalam bahaya tasybih dan tajsim untuk menuju
metodenya dengan disertai hujjah. ]ika hujjahnya tidak diketemukan, maka
Al-Asy'ari membiarkan nash tersebut dalam zhahimya dengan menyucikan
apapun yang pantas untuk Allah. Kedua tangan dan kedua mata menurut
kami adalah bagian dari tubuh. Itu semua berhak untuk disandang oleh
Allah selama itu adalah sifat yang tayak bagi-Nya*'dengan tanpa adanya
tasybih dan tajsim.
Tatkala Al-Asy'ari memandang takwil sebagai hal yang sangat riskary
maka sebagian kalangan yang menisbatkan padanya pun berpandangan
demikian, di antaranya Abu Abdullah Al-Husain Al-Halimi (403 H) dalam
salah satu ki tabnya Al-Manhaj fi syu'nb Al-lman,u dan Abu Bakar Al-Baihaqi
(458 H) dalam kitabnya Al-l'tiqad'ala Madzhab As-Salaf Ahli As-Sunnahwa
Al-Jama'ah.235 Akan tetapi banyak dari para pengikut Al-Asy'ari yang tidak
menggunakan metode ini; yaitu lebih berani lagi dalam mengembangkan
arti takwil.236
Di antara mereka adalah Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin
Mahdi Ath-Thabari (379 H) yang menyusun kitab yang sudah sangat
terkenal dalam masalah takwil hadits-hadits yang membahas tentang
musykilat-musykilat sifat-sifat ketuhanan.z37 Metode inipun diikui oleh Abu
Bakar Al-Faurak dalam kitabnya Sy aklu Al-H a di t s w a B ay an uhu,238 dan juga
Imam Al-Haramain Al-Juwaini (478 H) yang membagi dalil syar'i menjadi
beberapa bagian, di antaranya;
1. Sesuatu yang penjelaskannya memerlukan dalil qath'i (pasti)
2. Sesuatu yang untuk menjelaskannya, dalil tsabit (pasti) lebih
mendominasi daripada dalil yang masih bersifat zhan (persangkaan).
3. Sesuatu yang penjelasannya memerlukan takwil. Untuk bagian yang
terakhir ini, ia mengatakan, "Jika kandungan syara' berseberangan
dengan preposisi hukum akal maka hukum yang seperti itu l"rarus
ditolak; karena selamanya syarn'tidak akan berseberangan dengan
akal.23e
Telah disebutkan di depan bahwa sebagian para Imam Asya'irah
menetapkan sifat-sifat klmbariyalt (yang ada kemungkinan benar dan
ada pula kemungkinan salah) berdasarkan dalil sam'i (berdasarkan Al-
Qur'an dan sunnah) dengan mengatakan, "Yarrg benar menurut kami
dalam memberikan arti dus tnngan adalah kekuasaan, dan dua mata adalah
pengamatan, sedangkan wajah merupakan representasi dari wtjud."2a1
Dan dalam beberapa ayat Al-Quran telah disebutkan ketetapan-ketetapan
tersebut.2al
Imam Al-Ghazali (505 H) menyatakan tentang pentingnya takwil dan
meminta untuk tidak mengkafirkan pihak yang memakai metode takwil. Ia
berkata, "Bagaimana bisa kekafiran terwujud sebab pentakwilan? Padahal
setiap golongan orang Islam juga membutuhkan metode tersebut (takwil)."
Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam memberikan batasan takwil.
Asy'ariyah dan Mu'tazilah menganut metode takwil ini dalam beberapa
pendapat mereka, begitu juga penganut Madzhab Hanbali. Akan tetapi
Mu'tazilah terlalu jauh masuk ke dalam pentakwilan.2a2
Yang menjadi keharusan adalah pentakwilan dalil syar'i selama tidak
berseberangan dengan dalil aqli, yakni dalil syar'i harus sejalan dengan
d,alilaqli.Dan, akallah yang dijadian acuan untuk memformulasikan suatu
hukum, atau melakukan takwil iika terdapat perbedaan dengan akal.
Dari kenyataan ini, dalil syar'i dapat dihilangkan dalam permasalahan-
permasalahan yang berkenaan dengan akidah'
Fakhruddin Ar-Razi (606 H) menuturkan bahwa ketika terjadi
perselisihan antara dahl aqli dan syar'i, maka yang wajib didahulukan
adalah d.alil aqli; karena akal merupakan parameter seseorang untuk bisa
menerima syara' tdan dengan mendahulukan dalil syar'i daripadaaqli akan
menciderai akal dan syara' secara bersamaan.2a3
Di antara alasan atau sebab-sebabnya, menurut Ar-Razi, adalah bahwa
dalil tafzhi -dan dalil syar'i merupakan bagian darinya- tidak sampai
pada batasan yakin kecuali terpenuhinya sepuluh perkara yaitu: para
perawinya dapat dipercaya, Laf azhny a mufr a d, i' r ab -ny a sesuai, t ashr if-ny a
benar, tidak dalam bentuk isytirak, majaz, mengkhususkan seseorang dan
waktu tertentu, tidak mendatangkan dhamir (kata ganti) , taqdim danta'khir,
tidak berlawanan dengan akal. Karena mendahulukan nash (naqli) daripada
akal akan berakibat cela dalam akal, yang imbasnya akan membuat cela
pula pada nash. Dary ketika produk dalil masih bersifat zhanni (relatif),
bagaimana dengan hasilnYa?" 2e
Tak diragukan lagi bahwa perbandingan pandangan tentang permasalah
ini membuat perselisihan yang besar di kalangan pengikut Al-Asy'ari.
B. Adapun masalah kedua yang akan kita kupas di sini adalah
pendapat Al-Asy'ari tentang perbuatan makhluk atau yang lebih terkenal
dengan Al-Kasab. Pendapat Al-Asy'ari dalam hal ini, bahwa perbuatan
hamba adalah hamba Allah. Hal ini berdasarkan dalil dari ayat-ayat Al-
Qur'an dan dalil aqliyang dinamakan 4iyas.
Dalam hal ini Al-Asy'ari mengatakan, "Perbuatan mencerminkan
adanya pelaku. Perbuatan harus sesuai dengan kehendak pelakunya.
Dan, kita tahu bersama bahwa banvak perbuatan yang terjadi tidak sesuai
dengan kehendak pelakunya. Oleh sebab itu, manusia bukanlah yang
menciptakan perbuatan tersebut. Jika demikian, maka dapat dipastikan
bahwa yang menciptakan perbuatan tersebut adalah Allah. Hakekat
perbuatan membutuhkan pada pelaku, karena perbuatan tidak bisa terlepas
dari pelakunya. Ketika pelaku tersebut -secara hakekat- adalah bukan
jisim, maka Allah lah pelaku perbuatan tersebut.2as
Dan, jika Allah merupakan pencipta perbuatan, maka hamba
melakukan perbuatan tersebut dengan kekuatan yang telah diciptakan oleh
Allah; karena sesungguhnya hakekat perbuatan adalah, sesuatu terjadi dari
orang yang melakukannya dengan kekuatan yang diciptakan.2a6
Telah jelas perbedaan pendapat para ulama dalam memaknai
perbuatan, seperti apa yang dikatakan oleh Al-Jubba'i seorang pembesar
Mu'tazilalu "Makna lktisab (perbuatan) adalah sesuatu yang terjadi dengan
kemampuan yang diciptakan."2aT
Al-Asy'ari membedakan antara khalq (menciptakan) dan kasab
(perbuatan); khalq adalah kemampuan yang bersifat qadim, yang
dikhususkan bagi Allah; karena tidak ada yang mampu melakukannya
kecuali pencipta hakiki (A1lah), adapun iktisab terjadi dengan kemampuan
yang baru ada (muhdifs). Inilah pendapat yang benar.2a8
Adapun sebagian ahli itsbat y angberpendapat, "Sebenarnya Allah-lah
yang menentukan pekerjaan, dalam artian Allah-lah yang menciptakan,
dan sebenarnya manusia tidak bisa melakukan pekerjaan, karena mereka
hanya bisa melakukan perbuatan, karena yang bisa melakukan pekerjaan
hanyalah yang bisa menciptakan. Karena makna pelaku secara bahasa
berarti pencipta. Dan, kalaupun manusia bisa menciptakan sebagian
perbuatannya, maka tentunya manusia juga bisa menciptakan semua
perbuatannya.2ae Pendapat seperti ini salah, karena ada banyak perbuatan
yang terjadi bukan atas apa yang diciptakan manusia seperti Perasaan
gemetar dan kaget, dan inilah perbedaan antara gerakan ikhtiyai (disengaja)
dan spontanitas, yang menunjukkan bahwa bagi manusia ada kekuatan
yang diciptakan untuk memperoleh perbuatannya yang disengaja.
Manusia mengetahui perbedaan dua macam gerakan tersebut, yaitu
ada yang tanpa disengaja seperti gemetar, kaget, dan yang disengaia seperti
ketika seseorang datang, pergi; keduanya bukanlah perbuatan yang tidak
disengajanya. Tentunya prebuatan tersebut berbeda dengan gemetar dan
kaget. Tentunya juga manusia mengetahui perbedaannya dari dirinya
sendiri dan dari luar dirinya dengan tanpa adanya keraguan lagi.2so
Kedua perbuatan di atas merupakan makhluk Allah, dan seorang
hamba melakukannya dengan kekuatan yang diciptakan oleh Allah.2s1
Kemudian Al-Asy'ari menguatkan pendapatnya ini dengan dalil
dengan keumuman kemarnpuan Allah yang tidak ada perbedaan antara
kemampuan-Nya dengan pengetahuan-Nya dari segi keumuman ketergan-
tungan keduanya. Dan, bahwa tidak ada sesuatu yang dapat diketahui
kecuali Allah mengetahuinya. Begitu juga tidak ada sesuatu yang dapat
dikuasai kecuali Allah bisa menguasainya, dan sesungguhnya Allah-lah
yang menciptakan orang yang bisa melakukan perbuatan.2s2
Al-Asy'ari menyatakan bahwa Allah yang mertciptakan kemampuan
hamba (dalam berbuat) bersamaan dengan perbuatan itu sendiri, dan tidak
dengan mendahuluinya. Karena manusia terkadang malnpu untuk berbuat
dan terkadang tidak mampu berbuat. Jikalau manusia berbuat dengan
kemampuannya sendiri, maka kemampuan tidak mungkin diciptakan
untuk mereka. Jikalau terkadang ia mampu dan terkadang tidak, maka ini
menunjukkan bahwa kemampuan bukanlah dzat (ciptaan) mereka, bahkan
kemampuan tersebut adalah ciptaan yang diciptakan untuk mereka.
Al-Asy'ari setuju dengan pendapat tersebut dan berijtihad dalam
mengambil keputusan tentang itu serta menyanggah pendapat yang tidak
sesuai dengannya, terutama kaum Mu'tazilah,2il akan tetapi madzhabnya
ini bukannya tanpa penentang, karena tentunya di sana sini ditemukan
penentangan seperti yang dilakukan Jahm bin Shafwan (128 H) dan
kelompok yang sependapat dengannya seperti Mu'tazilah danZaidiyah,
dan sebagian pula berasal dari para filosuf dan pemikir salaf.2ss
Sebagian kalangan Asya'irah memberikan dukungan dan penguatan
terhadap pendapat Al-Asy'ari ini dengan mengklasifikasikan permasalahan
ini termasuk masalah yang besar, dan para peneliti masih merasa ragu
untuk membahasnya. Kemudian sebagian kalangan pendukung Al-Asy'ari
itu menyebutkan bahwa perbuatan sama dengan usaha, akan tetapi Al-
Asy'ari lah peletak pertama lafazh Al-Kasab (perbuatan) menggNitkanlafazh
Al-lkhtiyar yang merupakan manthuq Al-Qur'ary sementara orang-orang
lebih condong pada lafazh Al-Ikhtiyarkarenapadalafazh ini terasa bahwa
manusia itu memiliki kemampuan.2s6
Di sisi lain, sebagian penganut Asya'irah yang lain tidak sependapat
dengan pendapat tersebut dan mensifatinya dengan labariyah moderat2sT
(untuk membedakannya denganJabariyah murni), oleh karena itu, terdapat
beberapa ulama Asy'ariyah menyuguhkan pendapat lain guna menghindari
mereka terjerumus ke dalam paham Jabariyah meski Jabariyah moderat.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh Al-Baqilani (403 H) yang diikuti oleh
Al-Juwaini dengan mengatakan, "Adapun meniadakan kemampuan
adalah ditolak akal dan indera. Adapun penetapan kemampuan yang
tidak mempuyai pengaruh terhadap kemampuan tersebut sama halnya
dengan meniadakannya. Jadi yang benar adalah harus menisbatkan setiap
perbuatan manusia kepada kekuasaan Allah./258
As-Subki mengomentari pendapat yang bertujuan membenarkan
pendapat Al-Asy'ari sebelumnya dengan mengatakan, "Al-Qadhi Abu
Bakar memiliki tambahan atas madzhab Al-Asy'ari, dan begitu pula Imam
Al-Haramain dan Al4hazali yang memPunyai madzhab tersendiri. Mereka
sangat dekat dengan Mu'tazilah, akan tetapi mereka ini bukanlah orang-
orang Mu'tazilah."2se
Asy-Syahrastani mengakhirinya dengan perkataan, "Yang benar
dalam rnasalah ini adalah penyerahan kapabilitas dan kewaspadaan
serta kemampuan dalam perbuatan, seperti halnya menisbatkan sedikit
perbuatan pada manusia yang layak untuk melakukan kekuasaan dan
kemampuannya dengan disertai kebutuhan dan ketergantungan mereka,
dan menafikan independensi serta monopoli. Dengan begitu, kita akan
menemukanbahwataklif (pembebanan)adalahsumberpesandalarnkhithab:
perbuatan dan kemampuan, yang diikuti balasan sebagai bentuk profit dan
pemuliaan.26o Inilah yang diinginkan oleh syahrastani dan ulama-ulama
yang sepaham dengannya dalam membahas permasalahan ini. Karena
menurut Ibnu Rusyd261 termasuk masalah yang sangat pelik; baik para
pengikut Al-Asy'ari mampu memecahkan masalah ini ataukan tidak, akan
tetapi dapat disimpulkanbahwa di antara Al-Asy'ari dan para pengikutinya
sendiri terdapat perbedaan pendapat, meski perbedaan ini tidak sampai
menafikan penisbatan mereka pada Imam Al-Asy'ari.
Faktor- faktor Penyebaran Mad zhab Al-Asy'ari
Madzhab Al-Asy'ari -yang disebarkan oleh para pengikutnya-
berkembang dan menyebar luas ke seluruh penjuru negeri Islam. Ini semua
disebabkan beberapa faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya:
1. Kepribadian Al-Asy'ari, Sang Pendiri Madzhab.
Al-Asy'ari merupakan sosok yang mempunyai beberapa sifat khusus
dan karakteristik yang menyebabkannya dapat diterima oleh masyarakat,
yang tentunya faktor utama itu adalah keilmuannyayanrmendalam.
Karya-karya beliau sangat banyak, yang oleh para peneliti biografinya
disebutkan karyanya mencapai 200-an kitab dan risalah. Karya-karya
tersebut tergolong buah karya yang agung , yang sebagiannya terdiri dari
dua belas kitab pembahasan, ada yang satu kitab terdiri dari empat puluh
jilid, dan ada pula satu kitab yang memuat berbagai disiplin ilmu dengan
berbagai permasalahan.262 Di antara kitab-kitab tersebut ada sebuah kitab
yang berbicara tentang tafsir Al-Qur'an yang konon terdiri dariTOjili6.zos
Beberapa karyanya secara keseluruhan mayoritas berisi tentang pokok-
pokok madzhab dan sanggahan atas para pengeritiknya. Baik mereka
dari orang Islam sendiri atau lainnya dari agama lain atau orang-orang
Atheis, dan menyingkap tentang kekuatan hujjah dan positifisme teorinya,
serta perpaduan gerakan ilmiah pemikiran yang popular pada masanya,
kemudian menerangkannya -dalam bentuk lain- ke dalam kitab-kitab
dan karya-k ary any a; sebagai sanggahan atas banyak permasalahan di dunia
Islam. Ia menulis kitab dan literatur yang memuat beberapa jawaban atas
kaum Thabari, Khurasan, Sairafi, Arjani,ll.tsmani, Jurjani, Dimasyqi,Washithi,
Baghdadi, dan lain sebagainya.2&
Kitab-kitabnya ini berada di tangan para murid dan sahabatnya, dan
tersebar di antara mereka. Mereka merujuk kitab-kitab ini dan menukil
apayang di dalamnya,yang meliputi pendapat dan permasalahannya.26s
Ibnu Faurak menuturkan beberapa perkataan Al-Asy'ari yang ia ringkas
dari32 kitab dan catatary yang tidak bisa kita nikmati kecuali hanya Kitab
Al-Luma'.2&
Kepribadian Al-Asy'ari yang memiliki ilmu melimpah dengan berbagai
bidangnya, disertai kezuhudan dan ibadahnya, kehidupan kerohanian dan
hubungaruryaytrtgdekat dengan Allah; semua ini terungkap dari perkataan
sebagian ulama Asya'irah tentang diri Al-Asy'ari yang mengatakary "Imam
makalah ini mempertanyakan, "Kemana hilangnya seluruh kitab-kitab ini? Dan
mengapa karya Imam Asy'ari banyak yang hilang, padahal madzhabnya adalah
madzhab yang dominan dan menyebar luas. Para pengikutnya adalah tokoh-tokoh yang
juga memiliki banyak pengikut dan berpengaruh besar dalam ilmu kelslaman. Mereka
juga memiliki kedudukan dalam kehidupan sosial masyarakat. Memang benar kalau
kita mengatakan bahwa ujian dan cobaan pemah dialami oleh madzhab Asy'ari, seperti
cobaan Al-Kandari. Uiian-ujian berhasil dilewati oleh madzhab Asy'ari dengan selamat
sehingga madzhabnya kembali menempati kedudukannya. Karya-karya ulama Asy'ari
yang pemah mengalami cobaan pun masih tetap bertahan seperti Imam Al-eusyairi
dan Imam Al-fuwaini." Pertanyaan-pertanyaan ini masih menantikan jawaban. Lihat,
Tabyin Kadzib Al-Muftara, hlm. 108-115 danThabaqat As-Subki,3/374.
140 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam
Al-Asy'ari merupakan seorang master dalam ilmu tasawuf, sebagaimana
dalam ilmu kalam dan ilmu-ilmu yang lainnya"'
Kemudian mereka - Asya'irah - mengatakan, "Ijtihad Imam Al-Asy'ari
dalam masalah ibadah merupakan perkara yanganeh."267
Sebagian orang yang pernah hidup sezaman dengan Al-Asy'ari
menuturkan, "Belum pemah ditemukan orang yang lebih hebat dari Al-
Asy'ari. Belum pernah juga terlihat seorang ulama yang begitu pemalu
dalam urusan dunia, dan sangat giat dalam urusan akhirat, yang melebihi
Al-Asy'ari."2d
Tak mengherankan jika seorang yang hebat, y angmengomParasikan
antara ilmu dan kezuhudan serta kekuatan dalam berakidah ini memberikan
pengaruh kuat dalam mengokohkan madzhabnya dalam urusan akal dan
hati, sebagaimana juga memberikan pengaruh dalam penyebaran dan
keberlangsungan madzhabnya ini.
2. Kembalinya pada syi'ar Al-Qu/an dan As-Sunnall serta mengikuti
madzhab ulama salaf dan Imam Ahmad bin Hanbal yangbanyak diikuti
oleh mayoritas orang mukmin saat ifu.
Terlebih jika yang dimaksudkan adalah mereka para sahabat, tabi'in
dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Karena mereka
adalah sebaik-baik penghuni masa, yaitu orang-orang yang telah dipuji
oleh Allah dan Rasul-Nya.
Al-Asy'ari dalam mukaddimah Kitab Al-Ibanah menuturkan tentang
sikapnya yang mengikuti para ulama salaf dan sebagamana dituturkan
oleh para ulama hadits dan Sunni dalam Kitab Maqalat Al-lslamiyyin.26e
Al-Asy'ari mempelajari literatur ulama salaf dalam hal menetapkan
nama-nama dan sifat-sifat Allah, dari sebagian gurunya yang di antaranya
Zakariabin Yahya As-Saji, seorang ulama terpercaya.2To
267 Lihat, Thabaqat As-Subki,3/374, pembantunya yang bernama Bandar bin Al-Husain
adalah seorang sufi, Muridnya Ibnu Khafif juga seorang sufi. Dia juga memiliki banyak
pengikut dari kaum sufi. Di antara Para senior dari mereka adalah Ibnu Sam'un, Abu
Ali Ad-Daqqae, Abu Nu'aim Al-Ashbahani, Abul Qasim Al-Qusyairi, Imam Ghazali
dan lainnnya.
Ibnu Taimiyah ketika mengomentari pemikiran Asy'ari ini menyebut-
kan perkataan sebagian ulama yang telah mengatakary "Paham Asy'ari
begitu diminati karena penisbatannya kepada madzhab Imam Hanbal."271
Selanjutnya ia mengatakan, "Al-Asy'ari dipuji karena dua hal yakni
kecocokannya dengan ahli hadits serta sanggahannya terhadap orang yang
tidak sesuai dengan hadits. Setiap orang yang mencintai Al-Asy'ari dan
rela untuk membantunya."
Dalam hal ini dikatakan tentang Al-Asy'ari, "Al-Asy'ari mempunyai
kesesuaian dengan madzhab Ahlu Sunnah dan hadits tentang sifat-sifat
Allah, takdir, lmamah, syafaat, telaga, shirath, dan timbangan amal. Ia juga
menyangkal pendapat Mu'tazilah, Qadariyah, Rafidhah, dan Jahmiyah.
Disamping ia juga bersesuaian dengan As-Sunnah dan hadits maka Al-
Asy'ari diterima oleh para pengikutnya.2T2
Dapat dikatakan bahwa Al-Asy'ari telah sepakat dengan ulama
salaf dalam beberapa masalah lainnya, selain yang disebutkan oleh Ibnu
Taimiyah tadi, seperti pendapat tentang melihat Allah di akhirat, dan
bahwa taklif (pembebanan) itu dasarnya adalah syara' bukan akal seperti
pendapat Mu'tazilah, dan juga tidak diperbolehkan menggunakanlafazh
wujub/wajib dan memberikannya kepada Allah, dan bahwa iman adalah
ucapan dan amal yang bisa bertambah dan berkurantg,"3 meski iman jika
yang dimaksudkan adalah pembenaran sebagaimana menurut ahli bahasa
dan ayat-ayat Al-Qur'an,27a maka hal itu tidak dianggap sebagai perbedaan
yang hakiki dengan pendapat ulama salaf, akan tetapi hanya perbedaan
dari sisi lafzhi (secara lafal saja), karena sesungguhnya amal-amal adalah
efek iman yang dengannya bisa menghindarkan dari pengkafiran bagi
orang yang berdosa besar, dan bahwa orang yang berdosa besar merupakan
orang mukmin yang maksiat, yangmana orang seperti ini dalam kehendak
Allah untuk disiksa atau diampuni-Nya, akan tetapi tidak akan disiksa
selamanya di neraka.
271. Fatawa lbnu Taimiyah, 4/17. Dan, mungkin saja dikatakan bahwa salaf bukan hanya
terbatas pada penganut madzhab imam Hanbali seperti yang disebutkan Ibnu Taimiyah
sendiri dalam beberapa bukunya.
272 FafwalbnuTaimiyah,4/l2,l3bandingkandengan4/l4.lajugadipujiataspendapatnya
tentang makna Istiwa' Ibnu Al-Qayyim dalam Al-Qasidah An-Nuniyah, Mathba'ah At-
Al-Asy'ari memiliki pendapat yang berbeda dengan sebagian madzhab
lain tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah,27s akan tetapi kesamaanantara
dia dan madzhab lain lebih banyak dari perselisihannya'
3. Al-Asy,ari dan para pengikutnya mencoba mengambil pendapat
moderat yang berbeda dengan golongan lain, sehingga dari kemoderatan
inilah ia mendapatkan respon dari mayoritas masyarakat. Hal ini sebagai-
mana dikemukakan oleh Al-Juwaini, bahwa Al-Asy'ari mengambil
langkah moderat dalam sifat-sifat ketuhanan, dalam satu sisi antara paham
Mu'tazilah, Jahmiyah, dan Rafidhah, dan di sisi lain paham mujassimah dan
musyabbihah. Begitu juga tentang melihat Allah nanti di akhirat. Dalam'hal
perbuatan manusia, Asy'ariah menganut paham moderat antara Jabbariyah
dan Mu'tazilah, dan dalam hal pelaku dosa besar menganut paham moderat
antara Murji' ah dan Mu' taz 1lah.27
6
Tentang hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan, "sebelum A1-Asy',ari telah
diketahui bersama ada penyimpangan pada ajaran a}arna, yaitu dengan
adanya pembahasan ayat-ayat y ang mutasy abih y angmengarah pada taj sim
dan berani keluar dari ayat-ayal tanzih (yu.g melarang atau menyalahkan
pendapat mereka tentang takwil mereka itu), kemudian datang golongan
Mu'tazilah yang berseberangan dengan pendapat tersebut. Mu'tazilah
berpendapat bahwa harus menjeneralisasikan tanzih di setiap hal sampai
menafikan s rtat-srtatma'ani dafisrtalilmu, qudrat, iradat, dmhayat Allah, yang
hal ini tentunya akan memunculkan masalah baru lagi, yaitu adanya bilangan
dalam sifat q adim.Kemndian datanglah Al-Asy'ari dengan mengambil jalan
tengah antara pendapat pertama dengan pendapat kedua. Caranya adalah
dengan menafikan tasybihdan menetapkan sifat-srtatma'ani bagi Allah dan
membatasi tanzih pada batasan yang telah dibatasi oleh para ulama salaf
dengan mendatangkan dalil-dalil yang mengkhususkan keumumannya.2n
275 Seperti pembahasan tentang pembatasan sifat-sifat tsubutiyah pada tujuh sifat yaitu
sifat-sifat ma'ani.Pembahasannya tentang kalam nafsi,li]nat Al-Kalam An-Nafsi, Al-Milal
wa An-Nihal,1./123, Nihayah Al'-Aqdam, hlm. 230-231, Al-Mawaqif, karya Al-Ijiy, hlm.
2g3-294.Sebelumnya telah kami singgung tentan8 pendapatnya terhadap takwil, dalil
aqli, sertakaitannya dengan d.alil sam'i. permasalahan-permasalahan ini menunjukkan
bahwa ada perbedaan antara dua madzhab, Asy'ari tidak berjatan sampai pada tahap
terakhir. Dan hal ini membutuhkan penielasan lebih panjang lagi dan bukan temPatnya
di sini.
Dalam hal ini, Al-Maqriziz78 dan Muhammad Abduh (1905 M) juga
memberikan tanggapan dengan mengatakan, "sesungguhnya metode Al-
Asy'ari telah diikuti oleh beberapa pembesar ulama seperti Al-Baqilani,
Imam Al-Haramain, dan Al-Asfariyani yang mengambil jalan tengah
at