Ekslopedi aliran Mazhab 16


 ri banyak sumber..."

Jika tasawuf semacam ini tercampur dengan filsafat, ada kemungkinan

telah disusupi filsafat-filsafat asing, baik Yunani, Persia, India, mauPun

Kristen. Meskipun begitu, tidak akan menafikan orisinalitasnya. Sebab,

sufismenya menjadi model bagi peradaban-peradaban ini. Pada saat yang

bersamaan, menjaga kebebasan mereka untuk bermadzhab sebagai muslim.

Ada karakter umum yang melekat pada tasawuf filosofis, yaitu

tasawuf yang tidak jelas; memiliki bahasa terminologis tersendiri, dan untuk

memahami masalah-masalahnya butuh usaha ekstra yang tidak biasa.

Tasawuf filosofis ini tidak mungkin dikategorikan filsafat, karena dibangun

di atas dzawq (perasaan). sebaliknya, tidak mungkin pula dikategorikan

tasawuf mumi, karena berbeda dengan tasawuf murni yang sesungguhnya,

terutama karena ia dideskripsikan dengan bahasa filsafat.

1323 Madkhal ila At-Tashawwuf,280

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 637

Lantas, bagaimana?! Bisa dibilang, tidak ada yang menghalangi kita

untuk menggolongkannya pada filsafat, kendati dibangun di atas inspirasi

iluminisme-sebagaimana mereka katakan- terlebih karena mereka

mempelajari mayoritas filsafat terdahulu, seperti pemikiran socrates,

Plato, Arestoteles, stoicisme, dan neo platoisme. Selain itu, mereka juga

mengetahui aliran-aliran syiah, termasuk yang ekstrem, dan risalah lkhwanu

Ash-Shafa. Mereka mengumpulkan ilmu-ilmu syariah mereka, mulai dari

fikih, tafsir, dan kalam, kemudian mereka keluarkan sebuah komposisi yang

terdiri dari kesaksian dan iluminasi mereka selama menjalani olah jiwa.

Barangkali yang kami nukil dari Kasyf Azh-Zhunun yang ditulis oleh

Haji Khalifah memperjelas perbedaan antara filsafat iluminisme dengan

filsafat Sufisme. Menurutnya, mengenali Sang Pencipta berikut sifat-sifat-

Nya yang sempurna, juga mengenali asal muasal dan tempat kembali

manusia, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan kebahagiaan

besar. Selanjutnya, ia menjelaskan, cara untuk menggapai makrifat atau

pengetahuan ini dapat ditempuh melalui dua jalan:

Pertama, cara yang ditempuh para pemikir dan penganut metodologi

deduksi. Jika mereka mewajibkan agama nabi tertentu, berarti mereka teolog

kalam. Tetapi, jika tidak, berarti mereka adalah filsuf Aristotelianisme.

Kedua, cara yang ditempuh para ahli olah jiwa; jika mereka sejalan

dengan syariat, berarti mereka penganut Sufisme. Tetapi jika tidak, berarti

mereka filsuf Aristotelianisme.

Para peneliti menyebutkan beberapa nama yang mereka nilai sebagai

fisluf iluminis. As-Sahrawardi yang terbunuh menyebutkan beberapa satu

tokoh utamanya, antara lain; Abu Al-Futuh Yahya bin Habsy bin Umairik

yang bergelar Syihabuddin. Ia terbunuh di Halb (Aleppo) pada tahun 587

H/1191. M atas perintah Shalahuddin Al-Ayyubi. Dia bukanlah Abu An-

Najib As-Sahrawardi (563 H/1168 M), bukan pula Abu Hafsh Umar bin

Muhammad As-Sahrawardi (632H/1235 M) yang menulis buku Awarif

Al-Ma'arif.

Menghadapi tulisan yang tidak jelas antara yang menggunakan

pendekatan Sufisme dengan yang menggunakan pendekatan filsafat

Aristotelianisme, kita harus berhati-hati supaya tidak timbul masalah.

Terutama, ketika gaya bahasanya tidak jelas atau maksudnyabisa dipelintir,

638 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

atau mengandung banyak probabilitas dan interpretasi. Bagi yang tidak

menyelami hati mereka, gaya bahasa mereka terbilang asing. Penyebabnya,

bisa karena susah mengungkapkan dengan baik dan benar tentang segala

yang berhubungan dengan perasaan, atau terkadang juga karena keterbatasan

bahasa, bahkan bisa pula karena ia tidak bisa dibuktikan. Akibatnya, kita

bisa buru-buru menghukuminya menyuarakan al-ittihad atau al-hulul. Bisa

pula, menghukuminya mengusung aliran tertentu tentang wihdat al-wuiud,

tanpa mengkaji gaya bahasa, terminologi, dan arah pikirannya'

Menurut kami, muslim tidak akan mengatakan al-ittihad mauPun

al-hulul. Sebab, keduanya bertentangan dengan akidah muslim dalam

menyucikan Allah S6 secara mutlak dari sifat-sifat yang baru. Pury bahwa

sesuatu yang baru tidak akan ada, kecuali atas kehendak dan kuasa Allah

$6. Dan, Sufisme paling berhati-hati di dalam menyucikan-Nya'

Adapun wihdat al-wujud merupakan istilah yang sangat rancu dan

memiliki banyak orientasi. Istilah ini bisa dimaknai bahwa Dzat Tuhan

adalah inti dari segala yang ada di alam semesta('ayn al-mawjudatfial-alam).

Ini jauh sekali dari pemikiran para Sufi, seperti halnya al-hulul danittihad.

Selain itu, bisa pula dimaknal bahwa alam semesta yang diciptakan Allah

Yang Maha Esa ini merupakan satu ciptaan yang berada dalam kekuasaan

Tuhan, dan di dalamnya berlaku sunnah-sunnahkauniyah-Nya. Allah dr

berfirman, "Tidak ada sehelai daun pun yang guSur yang tidak diketahui-Nya.

Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapnn bumi dan tidak pula sesuatu yang basah

atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)"

(Al-An,am : 59). Semua muslim tahu itu. selain itu, bisa juga dimaknai;

Dialah entitas yang wajib dan benar (al-wujud al-wajib al-haqq), yaitu Allah.

Dialah entitas substantif yangazali, tidak berbilangan, tidak berubah, dan

tidak hilang. Sementara itu, keberadaan makhluk yang diciptakan dengan

kekuasaan-Nya adalah wujud yang mungkin mengalami perubahan.

Nah, ketika perasaan seseorang dipenuhi makna ini, adakalanya ia ingin

mengungkapkannya, tetapi susah mencari ungkapan yang pas. Alhasil,

yang keluar bersifat estimatif dan rancu, terlebih diucapkan saat ia

fnna', sebelum kembali sadar. Pada saat seperti itu, tidaklah dibenarkan

memegang keniscayaan-keniscayaan logikanya, katena tidak bersumber

dari logika, melainkan dari perasaan yang tidak tentu. Dan, makna-makna

logis yang ditentukan bukanlah yang dimaksudkan.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 639

Terkait hal ini, Ibnu Khaldun berkata,l32arAdapun kata-kata estimatif

yang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu, maka ketahuilah bahwa

sikap adil terhadap mereka, adalah bahwa mereka pelaku ghibah tentang

indera. Apapun yang datang menguasai mereka, hingga mereka berbicara

tidak seperti yang dimaksudkan. Dan, pelaku ghibah tidaklah mukhathab

(dibebani), dan yang terpaksa dimaafkan. fika yang melakukan itu diketahui

memiliki keutamaan dan keteladanan, maka diartikan tujuan yang baik. . . "

Para pemuka Sufisme telah menarik perhatian sebagian besar

masyarakat Islam, karena mereka dinilai menjaga dan berpegang secara

detil pada syariat, lahir dan batin, hingga terlihat di dalam akhlak dan

interaksi sosial (muamalah) mereka. Selanjutnya, dari lisan mereka terlihat

rahasia hikmatu mata makrifat, karakter yang berdekatan dan saling tarik-

menarik, serta kecenderungan yang serupa dan saling melengkapi. Oleh

karena itu, pada beberapa sufi besar kita lihat sekelompok murid yang ingin

mempelajari hikmah, serta menjalani petunjuk dan arahan mereka. Ulama

yang memberikan petunjuk dan arahan ini disebut Syaikh, sedangkan yang

berguru kepadanya disebut al-muridun (yung menginginkan), dan manhaj

mereka disebut tarekat. Yang pasti, tidak ada perbedaan tujuan di antara

kelompok-kelompok yang berada di sekitar syaikh. Semua memiliki tujuan

yang sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dc. Yang membedakan

mereka hanyalah cara, baik tentang olah jiwa, berhias diri dengan akhlak

mulia, mencapai kejujuran dan keikhlasan dalam perkataan dan perbuatary

dan fokus terhadap beragam ibadah, zikir, dan wirid.

Orientasi yang benar di sini adalah orientasi akhlak. Akan tetapi, baru

akan berbuah setelah sekian lama menjalani konsistensi dan ber-tahannuts.

Buah yang dihasilkan terlihat dalam ungkapan dan isyarat mereka.

Akan tetapi, mereka sangat berhati-hati dalam mengungkapkan buah

pengetahuan dari berpegang pada Kitabullah dan Sunnah ini. Keduanya

adalah dasar segala kebaikan, mizansegalapengetahuan, perasaan, dan ilham.

Dr. Abilul Fattah Abdullah Barakah

1324 Al-Muqaddimah, 1213

640 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

AZH.ZHAHIRIYAH

AZH-ZHAHIRIYAH merupakan kelompok Islam yang muncul di belahan

timur negeri Arab pada abad ke-13 H, yang dipelopori oleh Daud Al-

Ashfahani. Kemudian kelompok ini bertolak ke Maroko dan Andalusia,

dan semakin menyebar luas di bawah komando Imam Ibnu Hazm Azh-

Zhahiri. Kelompok ini memiliki pengaruh kuat di bidang fikih dan akidah.

Nama Azh-Zhahiriyah diambil dari kata "Azh-Zhahir"- Nama itu

pula yang menjadi poros utama pemikiran madzhab ini. Arti azh-zhahir

sendiri adalah sesuatu yang sudah tampak atau jelas pengertiannyabagi

orang yang mendengarkary tanpa perlu adanya takwil atau pemikiran,

seperti firman Allah yang artiny a, " Allah telah menghalalkan jual beli..." (Al-

Baqarah: 2Tll.Lawankata azh-zhahir adalah al-khafQ artinya sesuatu yang

pengertiannya belum jelas kecuali setelah melalui penggalian. Berbeda

dengan azh-zhahir yang hanya butuh ditafsirkan.l32s

Dalam istilah filsafat, azh-zhahir berarti sesuatu yang tampak di

permukaan suatu bendayang menunjukkanzat benda itu sendiri. |adi, yang

dimaksud azh-zahir menurut penganut madzhab ini adalah makna lahir

yang tersurat pada teks Al-Qur'an dan hadits. Dengan kata lain, mengambil

makna yang lebih dekat tanpa perlu menyelam ke dalam tirai makna batin

teks tersebut diwahyukan. Sebab, yang demikian akan membawa pada

upaya penakwilan dan membutuhkan Peran ijtihad para fuqaha. Tentu,

yang demikian dapat membuka pintu keragaman dan perbedaan hukum.

1325 Abul Baqa' Al-Lughawi, Al-Kulliyyat. Editor Dr. Adnan Darwis dan Muhammad

Al-Mishri. Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Beirut. Cet. 2, tahun "1412H/1993, lrllm.

594. Lihat juga: At-Jurjani, At-Ta'rifat. Editor: Ibrahim A1-lbyari, Darul Fikr Al-'Arabi:

Kairo, tahun 1405 H/1985 M, hlm. 185.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 641

Karenanya, pengikut Madzhab Zhahiri memposisikan dirinya sebagai

pendakwah yang mengajak kepada syariat dalam bentuknya yang semula

pada saat risalah itu diturunkan.1326

Penganut Zhahiri mendefinisikan kata zhahir dengan arti lahiriyah teks

ditinjau dari sudut kebahasaan. Artinya, mengambil pengertian yang lebih

dekat dari sebuah perkataan. Karenanya, mereka tidak mau mengalihkan

teks dari makna literalnyna kepada makna lain kecuali berdasarkan nash

atau ijma'. Menurut mereka, mengalihkan teks dari pengertian lahirnya

atau dari tata kebahasaan kepada pengertian lain tanpa berdasarkan nash

atau ijma' merupakan tindakan bat71.1327

Pertumbuhan Madzhab Azh-Zhahiri

Madzhab Azh-Zhahiri tumbuh di daerah belahan timur-seperti

yang kami sebutkan di depan-di bawah komando Daud Al-Asfahani.

Ia adalah orang pertama yang berpegang kepada sesuatu yang zhahir

(tampak) dalam memahami nash Al-Qur'an dan hadits, dan mengingkari

pemahaman selainnya, seperti produk akal dan qiyas.1328

Nama lengkap Daud Al-Ashfahani adalahDaud bin Ali binDaud bin

Khalaf. Daerah asal kelahirannya Ashfahan, sedangkan daerah mukimnya

di Baghdad. Ia lahir pada tahun 202H132e dan wafat pada tahun 270F{-Di

dalam bidang fikitr, ia belajar kepada murid-murid Imam Syafi' i (204H). Di

sana, ia berjumpa dengan teman-teman lainnya yang ikut mendalami ilmu

fikih. Ia amat kagum kepada Imam Syafi'i. Bahkan, untuk mengungkapkan

kekagumannya itu, ia menulis kitab khusus terkait keutamaan-keutamaan

Imam Syaf i. Di samping belajar fikih kepada Imam Syah'i, Daud Al-

Ashfahani juga belajar hadits. Ia sering mendengarkan hadits dari para

muhaddits pada masa itu dan meriwayatkannya. Ia juga belajar hadits

7326

1327

1328

1329

Ahmad Athiyyah, Al-Qamus Al-lslami Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyyah, tahun

1962 M, iilid IV, hlm. 600. Lihat juga: Dr. Abdul Mughni Al-Hanafi, Al- Mu,iam Al-Falsafi,

Darusy Syarqiyyah: Kairo, tahun 1990 M, hlm. 191.

Ibnu Hazm, Al-lhkam fi Llshul Al-Ahkam. Editor: Muhammad Ahmad Abdul Aziz,

Maktabah Athif: Kairo, cet. 1., tahun 1398H/1978 M, jilid I, hlm. 42.

Ibnu Nadim, Al-Fahrasat.Teheran, tahun 1393H/1973 M,hlm. 271'

Mengenai masa kelahirannya, muncul berbagai macam pendapat. Ada yang

menyebutkan tahun 200 H, atau 201 H, atau 202 H. Lihat: Ash-Shafadi, Al-Wafibi Al-

Wafayat. Editor: Muhammad Al-Hujairi. Nasyr Faraniz Fisbadan, tahun 1404 H/1984

M, jilid III, hlm. 473.

642 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

kepada para muhaddits yang bermukim di daerahnya sendiri, yaitu kota

Baghdad. Setelah itu, ia berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain

hingga sampai ke daerah Naisabur demi mendengarkan hadits dari para

muhaddits di kota tersebut. Lalu, hadits-hadits yang didengarnya itu pun

dibukukan, sehingga ka ry a-kary a yang ditulisnya penuh dengan kumpulan

hadits. Karena dalam memahami teks, Daud Al-Ashfahani bersikukuh

kepada makna lahir, maka hal itu pun ia terapkan dalam meriwayatkan

banyak hadits.

Faktor yang mendorong Daud Al-Ashfahani beralih dari fikih Syafi'i

kepada fikih Zhahiri, karena ia dipengaruhi oleh fikih Syafi'i sendiri yang

berpihak terhadap nash dan hadits, terlebih dalam menyusun madzhab

fikihnya. Dalam hal ini, ia cenderung terfokus pada literal nash. Namury

Imam Syafi'i menafsirkannash dengan menggunakan pendekatan tematik

(maudhu'i).Ia melihat bahwa sumber-sumber syariat adalah nash, dan

untuk memahaminya diperlukan pendekatan qiyas, yang disebut dengan

ijtihad; baik dengan berpegangpadanash itu sendiri atau memahami nash

tersebut dengan sesuatu yang ada pada dirinya.1330

Daud Al-Ashfahani memiliki kecenderungan yang berbeda dengan

Imam Syaf i. Ia melihat bahwa syariat itu adalah nash, tanpa ada campur

tanganakal atau qiyas. Tidakada ilmu di dalamlslamkecualinashitu sendiri

atau yang dipahami dari nash tersebut. Daud Al-Ashfahani menilai bahwa

qiyas merupakan bentuk penyimpangan, karena itu ia tidak mengambilnya.

Ketika ia ditanya, "Kenapa Anda menganggap qiyas sebagai bentuk

penyimpangan, padahal metode tersebut dipegang oleh Imam Sy af{ i?" Daud

Al-Ashfahani menjawab, "Saya mengambil argumentasi Imam Syafi'i dalam

membatalkan istihsan, maka saya pun menjumpai argumentasi tersebut

membatalkan qiyas."1331

Berdasarkan ijma'ulama, Daud Al-Ashfahani adalah orang pertama

yang memunculkan istilah tekstualitas syariah dan memahami hukum

dari lahiriyah nash, tanpa disertai ta'lil (pencarian illat/kausa). Karena itu,

Ibnu Nadim dalam menuturkan biogtafi Daud Al-Ashfahani berkata, "Ia

1330 Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-lslamiyyah, jilidll danTarikh

Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah. Darul Fikr Al-'Arabi, Kairo (t.t.), hlm. 354.

1331 Al-Khathib Al-Baghdadi, Taikh Baghdad. Maktabah Al-Khanji, Kairo dan Maktaban

Al-Arabilyah Baghdad, tahun"l349H/1931. M, jilid VIII, nomorbiografi t1473,h1m.373.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 643

adalah orang pertama yang menggunakan istilah zhahir (literal) di dalam

memahami Al-Qur' an dan hadits, dan mengingkari pemahaman selainnya,

termasuk produk akal danqiyas."1332 Sebenal'nya pendapat ini kurang tepat,

sebab ada yang lebih awal lagi dari Daud Al-Ashfahani, yaitu metodologi

pemikiran Mu'tazilah.

Qiyas secara etimologis berarti perbandingan. Misalnya Anda berkata,

"Saya membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Artinya, Anda

mengukurnya dengan yang sepadan.'/1333

Sedangkan secara terminologis, qiyas berarti menetapkan hukum

yang sama terhadap suatu persoalan karena memiliki 'illat hukurr. yang

sama. Atau qiyas berarti menganalogikan suatu peristiwa yang tidak ada

nash hukumnya dengan peristiwa sebelumnya yang sudah terdapat nash

hukumnya karena keduanya memiliki'illaf hukum yang sama.13&

Salah seorang penganut Madzhab Azh-Zhahiri mendefinisikan bahwa

qiyas berarti menetapkan hukum terhadap suatu persoalan yang tidak

terdapat nashnya dengan dianalogikan pada kasus serupa yang memiliki

nash dan ijma' karena keduanya memiliki 'illaf hukum yang sama, atau

bentuk yang serupa.133s

.Pada masa Daud Al-Ashfahani, qiyas menempati kedudukan yang

tinggi, hingga ia menempati peringkat keempat dari sumber syariat Islam

setelah Al-Qur'an, hadits, dan Ijma'. Bahkan, ada sebagian ulama yang

menempatkannya pada posisi ketiga setelah Al-Qur'an dan hadits. Saat itu,

madrasah ahlu ra'yi (kelompok yang mengedepankan akal semata) mulai

berpengaruh dengan mam Abu Hanifah (w. 150 H). Madrasah inilah yang

secara besar-besaran menggunakan qiyas dalam berbagai aspek.

Daud Al-Ashfahani menolak penggunakan qiyas dengan alasan

qiyas merupakan produk akal, sedangkan agama bersifat ilahiyah. Andai-

1332 Ibnu Nadim, Al-Fafuasat, hlrr.. 27'1..

1333 Al-Jauhari, Ash-Shahah Taj Al-Lughaft. Editor: Ahmad Abdul Ghaffar Aththar. Darul

Ilmi Lil Malayin, Beirut, cet.2, tahun 1970M,jilid III, hlm.967.

1334 Dr. Muhammad Hasan Abu Yahya, Ahdaf At-Tasyri, Al-lslami. Darul Furqan, Urdun,

tahun 1405 H/1985 M, hlm.80.

L335 Ibnu Hazm, Mulakltkhash lbtlul Al-Qiyas u,a Ar-Ra,yi wa Al-lstilrcan wa At-Taqlid wa

At-Tatil. Editor: Sa,id Al-Afghani. Mathba'ah Dimasyqa, tatun1379H/ 1960 M, hlm.

15. Lihat juga: Ibnu Hazm, Al-lhkam, jilid I, hlm.50.

644 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

kan agama merupakan produk akal, tentu sebagian hukumnya akan

bertentangan dengan hukum yang dibawa oleh Al-Qur'an dan hadits.

Karenanya, seseorang wajib berpegang pada lahiriah nash keduanya,

dan tidak boleh memberikan ruang pada penggunaan qiyas. Ibnu

Khaldun menyebutkan bahwa Madzhab Azh-Zha}lriri menjadikan seluruh

pengetahuannya terikat pada nash dan ijma'. Mereka menolak penggunaan

qiyas dan penggalian'illat sebuahnash, karena posisi nash terhadap'illat

sama dengan posisi nash terhadap hukum di dalam segala aspeknya.1336

Sebab-sebab Munculnya Kelompok Azh'Zhahiri dan Perkem-

bangannya

Imam Asy-Syahrastani membenarkan alasan penolakan penganut

Zhahiriyah terhadap qiyas. Ia berkata, "Qiyas tidak boleh menjadi asal

(penetapan hukum), karena orang pertama yang melakukan qiyas

(perbandingan) adalah ib1is.1337 Menurut mereka, qiyas telah keluar dari

Al-Qur'an dan hadits."

Alasan itu bukan merupakan satu-satunya sebab penolakan penganut

Zhahiriyah terhadap qiyas, tetapi lebih dipicu oleh instabilitas kehidupan

kaum muslimin disebabkan merebaknya penggunaan qiyas. Sebenarnya,

kelompok yang pro qiyas tidak terima menyaksikan perselisihan di

antara mereka yang kian memuncak, di mana tidak ada kata sepakat di

antara mereka yang dapat dijadikan solusi penyelesaian. Misalnya, para

pengikut afs ar jugamenggunakan qiyas dan ijtihad akal, sehingga terjadilah

perselisihan di antara mereka. Bergulirnya waktu tidak membuat keadaan

mereka lebih baik. Akhirnya, digelarlah majelis-majelis dialog untuk

membahas masalah qiyas, namun tidak menghasilkan sesuatu kecuali

semakin mempertajam perselisihan dan permusuhan. Qiyas dengan

menggunakan peran akal pun semakin meluas, bahkan sampai pada tahap

mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.1338

1336 Ibnu Khaldury Al-Muqaddimaft. Nasyr Maktabah Al-Madrasah wa Dar Al-Kuttab Al-

Lubnani, Beirut, tahun 1976M, hlm.799.

7337 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal. Editor: Abdul Aziz Al-Wakil. Muassasah Al-

Halabi, Kairo, tahun 1968 M, jilid II, hlm. 11. Lihat juga: Ibnu Hazm, Mulakhkhash lbthal

Al-Qiyas, hlm.70.

1338 Ibnu Hazm, Mulakhkltashlbthall Al-Qiyas, hlm. 69.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 645

Pada tahun 102 -103 H, penggunaan qiyas semakin gencar dan

menguat di kalangan ahli fikilu ahli nahwu, dan ahli bahasa. sampai-sampai

ada sebagian ahli fikih yang berani menolak hadits dengan menggunakan

qiyas dan memahami ayat-ayat Al-eur'an dengan takwil. Bahkary mereka

tidak segan-segan menggali makna batin Al-eur'an manakala lahiriah ayat-

ayat tersebut bertentangan dengan qiyas dan akal. Implikasinya, pengkajian

terhadap fikih beralih menjadi ajang perdebatan dan perselisihan. Terlebitr,

pada masa tersebut dikenal dengan masa keemasan ilmu kalam (teologi) dan

perdebatan akidah. Kondisi tersebut memicu lahirnya gerakan tandingan

dari para penghafal Qur'an dan penghafal hadits untuk membendung arus

gerakan ijtihad aqliy.

Di samping itu, pada abad ke-13 juga dikenal dengan fase kebangkitan

gerakan sufisme yang berdiri sebagai pemisah antara lahiriah nash dan

batiniyahnya. Kelompok ini meyakini bahwa memahami lahiriah nash di satu

sisi tidak akan memberikan keyakinary dan di sisi lain tidak akan mencapai

ilmu yang hakiki.

Daud Al-Ashfahani hidup semasa dengan Al-Hallaj Al-Maqtul (w.

539 H). Ia juga hidup semasa dengan guru-gurunya seperti Al-Junaid (w.

297 H) dan Yazid Al-Busthami (w.261, H). Ulama lain yang juga hidup

semasa dengannya adalah syaikh Junaid dan Harits Al-Muhasibi (w.243

H). Perdebatan pun mulai muncul mengenai pandangan-pandangan yang

dibawa oleh Harits Al-Muhasibi dan pakar batiniyah lainnya, apakah hal

itu termasuk sunnah atau tidak? Daud Al-Ashfahani menolak pandangan-

pandangan mereka. Ia juga menolak metode yang digunakan Al-Muhasibi

dalam menafsirkan Al-eur'an yang memisahkan antara lahiriah nash dan

batiniyahnya. Al-Muhasibi berpendapat bahwa pengertian nash yang

hakiki hanya terdapat pada batiniyahnya.

Penolakan serupa juga muncul dari orang_orang yang berpegang

teguh terhadap sunnah. Mereka menorak pandangan para sufi bahwa

nash memiliki pengertian batin. Hingga saat ini, masih terjadi perselisihan

antara penganut zhahir yang dipelopori oleh para fuqaha (ahli fikih) dan

penganut batin yang dipelopori oleh kaum sufi. Masing-masing dari

mereka mengklaim bahwa setiap orang yang tidak mengikuti pendapat

mereka, berarti ia terjerumus ke dalam bid,ah yang nyata.133e

1339 Dr.SalimYafut,lbnuHazmwaAl-FikrAt-FalnfibiAl-MaghibwaAl-Anilalus.Al:Markaz

646 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lstam

Dalam kondisi seperti itulah, Daud Al-Ashfahani memproklamirkan

madzhabnya di Baghdad. Di satu sisi, ia menentang ulama yang pro qiyas,

dan di sisi lain ia membendung gerakan ulama yang pro batiniyah. Ia

bersikukuh berpegang pada literal nash dan menjunjung tinggi kedudukan

nash dan teks. Menurutnya, tidak ada jalan untuk mengetahui hukum-

hukumagama kecuali mengambil dari Al-Qur'an, hadits, daniima'. Semua

itu harus dikembalikan kepada nash. Dalam hal ini, nash dan zhahir

memiliki pengertian yang sama. Nash yang tertulis di dalam Al-Qur'an atau

hadits yang dijadikan legalitas hukum terhadap setiap persoalan adalah

lahiriyah nash itu sendiri.

Para pengkaji mencurahkan perhatiannya di dalam mempelajari faktor-

faktor penyebab berkembangnya rnadzhab ini beserta gerakan-gerakan

pembangkibrya, terutama hubungan antara ahli hadits dan ahli zahir. Sebab,

ahli hadits memiliki peranan penting dalam perkembangan Madzhab Azh-

Zhahfui. Mungkin di antara pengaruhnya adalah sebagai berikut:

- Ahli zahir adalah ahli hadits. Dari ahli hadis itulah, ahli zhahir

muncul, dan di tangan ahli hadits itu pula ahli zhahir berkembang.

Pemimpin mereka adalah Daud Al-Ashfahani yangbanyak menimba

ilmu dari para ahli hadits. Karena itulah, Ibnu Hazm menisbatkan

ahli zhahir kepada ahli hadits. Ia berkata, "Kelompok ahli hadist

yang kami sebutkan adalah kelompok kebenaran. Barangsiapa yang

memusuhi mereka, berarti ia ahli bid'ah. Mereka adalah para sahabat

,&, kemudian disusul oleh para tabiin yang mengikuti jejak mereka,

kemudian ahli hadits, lalu iejak mereka diikuti oleh ahli fikih dari

generasi ke generasi dan terus berlanjut hingga hari ini."leo

- Ahli hadits memberikan materi tertentu kepada ahli zhahir untuk

dijadikan pegangan dalam persoalan fikih mereka. Mereka adalah

generasi awal yang benci terhadap qiyas dan tidak mau mengguna-

kannya kecuali dalam keadaan darurat. Faktor itulah yang memicu

kelompok Zhahiriyah menolak qiyas. Karena itu, Imam Ahmad

bin Hanbal (w. 241H) lebih mengutamakan hadits dhaif daripada

Ats-Tsaqafi Al-Arabi, Ad-Darul Baidha' Al-Maghribi, cet. I, tahun 1986, hlm. 91'

1340 Ibnu Hazm, Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwa' wa An-Nihal' Maktabah Al-Mutsanna,

Baghdad G.t), iilid II, hlm. 1.5.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 647

mengambil ra'yi. Dari sini kemudian terjadi kedekatan antara

penganut Madzhab Hambali (salafiyyah) dan kelompok Azh-Zhahiri.

Kelompok ahli hadits inilah y angpada fase selanjutrya mengembangkan

Madzhab Azh-Zhahiri di Maroko.lsl

Adapun perkembangan Madzhab Azh-Zhahiri di daerah Timur

merujuk pada dua faktor berikut:

Pertama, karya-karya Daud Al-Ashfahani. Ia banyak menulis karya

yang semuanya berisi hadits dan atsar sahabat. Hadits-hadits yang

diambilnya berupa dalil-dalil yang bertujuan memperkuat madzhab dan

pandangannya dalam masalah fikih. Di dalam karyanya itu, ia berusaha

menjelaskan hukum-hukum fikih berdasarkan nash. Ia juga memaparkan

bahwa nash tersebut bersifat menyeluruh untuk setiap kebutuhan kaum

muslimin dalam menetapkan hukum atas peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Karya-karyanya tersebut berisi atsar-atsar yang bersifat kekal dan tidak

menerima penghapusan. Lebih dari itu, kandungan di dalamnya mengajak

sang pembaca untuk mengikuti madzhab sang penulis.

Ke dua, mrtid-murid Daud Al-Ashfahani serentak mengibarkan bendera

Madzhab Azh-Zhalir, yang dipelopori oleh putranya sendiri, yaitu Abu

Bakar Muhammad bin Daud (w. 297 H). Abu Bakar Muhammad inilah yang

menjadi pengganti sang ayah dalam melanjutkan estafet perjuangannya. Ia

pun menyebarkan madzhab sang ayah dan mengajak masyarakat untuk

menganut Madzhab Azh-Zhahiri. Berbagai cara ia tempuh untuk menarik

masyarakat supaya mengikuti ajakannya. Pada kesempatan itu, ia ingin

menunjukkan usahanya untuk meninggikan kedudukan sunnah di tengah-

tengah beragamnya pandangan fikih dan madzhab. Di antara murid-murid

Daud Al-Ashafani generasi akhir adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Jabir, Ibnul

Mughlis (w. 324 H), Al-Manshuri, Ar-Raqi (yang menulis Kitab Ushul),

An-Nahrabani (yang menulis Kitablhthnl Al-qiyas),Ibnu Khalal yang diberi

gelar Abu Ath-Thayyib (ia juga menulis [(tab lhthnl Al-Qiyas), Ar-Ruba'i

yang mendapat gelar Abu Ishaq (ia keluar dari Baghdad menuju Mesir dan

1341 Dr. Abdul Majid Mahmud Abdul Majid, Al-hnjahat Al-Fiqhiyyah,Ind.a Ashhab Al-Hadits

fi AlQarni Ats-Tsalits Al-Hiin. Dar Al-Wafa, li Ath-Thiba,ah, Kairo, tahun 1979 M,

hlm. 250 dan 256. Lihat juga: Dr. Hissan Muhammad Hissan, Ibnu Hazm Al-Andalus,

,Ashruhuwa ManhajuhuwaFikruhu At-Tarbawi. Dar Al-Fikr Al-Arabi, Kairo, tahun 1964

M, hlm.67 dan68.

648 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

akhimya meninggal di sana. Ia juga memiliki banyak karya, di antaranya

sebuah kitab yang berjudul Al-l'tibar fi lhthal Al-Qiyas), Al-Fadhil Al-|azari

(salah seorang penganut Madzhab Azh-Zhahiri menisbatkannya kepada

Daud Al-Ashfahani). Ia termasuk orang yang sangat kokoh berpegang pada

Madzhab A zh-Zhahli.Ia juga tergolong pemuka Madzhab Azh-Zhahiri dan

penulis karya-karyanya. Bahkan, pemerintah saat itu mengangkatrya sebagai

seorang qadhi (hakim) di negaranya. Banyak karya yang dilahirkannya, di

antaranya yang berjud ul Masa' il Al-Khilaf .tsa2

Dua faktor itulah yang menjadikan Madzhab Azh-Zhahiri semakin

menyebar luas pada abad ke 13 dan L4 H. Bahkan di daerah timur, madzhab

ini dikenal sebagai madzhab keempat setelah Madzhab Hanafi, Madzhab

Maliki, dan Madzhab Syafi'i. Pada saat itu, Madzhab Azh-Zhahiri lebih

terkenal, lebih meluas dan lebih banyak pengikutnya dibandingkan

Madzhab Hambali. Namun pada abad ke-15, muncullah Al-Qadhi Abu

Ya'la bin Al-Farra' Al-Hanbali (w. 458 H) yang menempatkan Madzhab

Hanbali sebagai madzhab resmi, sehingga posisi Madzhab Azh-Zhahiri

tergeser dan tergantikan oleh Madzhab Hanbali. Sejak itu, Madzhab Azh-

Zhahiri kehilangan pamor dan popularitasnya.

Perpindahan Madzhab Azh'Zhahiri ke Maroko

Pada saat Madzhab Azh-Zhahiri di daerah timur mengalami

kemunduran, justru di daerahMaroko danAndalusia madzhabini semakin

menguat. Bukan dalam hal banyaknya pengikut dan pendukungnya, tetapi

karena muncuhrya seorang tokoh yang sangat alim, memiliki pemikiran yang

genius, dan pembelaan yang sangat gigih terhadap Madzhab Azh-Zhahiri

ini, yaitu Ibnu Hazm Al-Andalusi, y*8 menjadi pionir madzhab ini- Di

tangannya, madzhab ini mengalami pembaruan yang tidak sama dengan

kondisi madzhab tersebut di daerah Timur. Antara Ibnu Hazm Al-Andalusi

dan Daud Al-Ashfahani terdapat perbedaan yang cukup mencolok di bidang

fikih. Adapun praktik yang dikembangkan oleh Ibnu Hazm dalam madzhab

Azh-Zhahiri di bidang akidatu ensiklopedi Islam menempatkannya sebagai

pembaru. Di sana disebutkan, "Bentuk pembaruanyang dilakukan oleh Ibnu

Hazmadalah memasukkan ushul Azh-Zhahiri ke dalam akidahnya. Dalam

1342 Ibnu Nadim, Al-Fahrasat, hlm. 272.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 649

hal ini,Ibnu Hazm juga tidak mengambil kecuali berdasarkanlahiriyah teks

Al-Qur'an dan hadits yang shahih".1y3

Ibnu Hazm hidup pada masa pertikaian antara tahun 3U456H, sebuah

masa yang diliputi oleh pergolakan politik Andalusia. Saat itu, Andalusia

menjadi medan pertempuran antara kelompok Umawiyyah dan kelompok

Alawiyah. Pertikaian yang terjadi hampir menyerupai kondisi yang ada di

Timur atau bahkan lebih tajam lagi. Hanya saja, kala itu dibarengi dengan

masa perkembangan ilmu pengetahuan. Masa Ibnu Hazm betul-betul

ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di Andalusia.

Terbukti, para pemerintah Bani Umayyah memberikan penghormatan yang

tinggi terhadap ilmu pengetahuan danmengirim semua putra-putri mereka

kepada ulama Abbasiyah di Timur, sehingga majelis-majelis mereka penuh

denganpara ulama dan perpustakaan mereka penuh dengan kitab-kitab.1344

Penduduk Andalusia terdiri dari beragam unsur, ada yang berasal

dari bangsa Arab asli, bangsa Barbar, dan bangsa Slavia. Di sana ada yang

muslim dan ada juga non muslim. Ada sekelompok orang yang menjadikan

agama sebagai alat untuk hidup dan ada juga yang menjadikannya sebagai

alat untuk mengobarkan permusuhan. Kondisi seperti itu membuat

pemerintah sibuk untuk membendungnya. Permusuhan tersebut terjadi

akibat krisis moralitas dan retaknya persatuan. Namun demikian, kondisi

tersebut menjadi faktor tumbuhnya gerakan pemikiran di Andalusia.

Kala itu,lahirlah Abu Muhammad bin Hazm yang hidup di tengah-

tengah keluarga kaya raya. Pada tahap awal keilmuannya/ ia belajar kepada

ayahnya sendiri, kemudian berpindah kepada sejumlah syaikh-syaikh y*g

alim di masanya. Ilmu yang ditekuninya pertama kali adalah ilmu hadits

dan fikih. Semangat Ibnu Hazm dalam belajar ilmu hadits lebih tinggi

daripada belajar ilmu fikih, karenanya jiwanya dipenuhi oleh kecintaan

terhadap hadits, sehingga ia lebih dulu menjadi seorang muhaddits yang

hafizh sebelum menjadi ahli fikih. Ia belajar hadits kepada gurunya yang

bernama AbdullahbinYusuf Ar-Rahwani yanghidup hingga tahun425 H.

Da'irah Al-Ma'aifAl-lslamiyyah,An-NusWuhAl:Arabiyyah:Maddah(lbniHazm)Kntabaha

Arandank. Diterjemahkan dan dita'liq oleh Ibrahim Khaurasyid. Nasyr Dar Asy-Sya'bi,

Kairo, tahun 1969M,jilid I, hlm.254.

Asy-Syaikh Muhammad Abu Zahrah, lbnu Hazm: Hayatuhu toa'Ashruhu, Ara'uhu wa

Fiqhuhu. Kairo, tahun 1954}i4,, hlm. 17.

650 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

Pertama kali, Ibnu Hazm mempelajari fikih Madzhab Maliki. Sebab,

Madzhab Maliki merupakan madzhab penduduk Andalusia dan Afrika

Utara di satu sisi, sedangkan di sisi lain Madzhab Maliki merupakan

madzhab resmi negara. Meskipun ia belajar Madzhab Maliki, ia tetap

memiliki kebebasan untuk memilih madzhab yang ia suka tanpa terikat

oleh madzhab tertentu. Barangkali karena ia telah mempelajari Madzhab

Syah'isebelumnya, akhimya ia mengeritik Madzhab Imam Maliki. Ia pun

berpindah dari Madzhab Maliki kepada Madzhab Syafi'i. Ia amat kagum

dengan Madzhab Syafi'i ini. Mungkin yang membuatnya kagum terhadap

Madzhab Sy#i'i adalah keteguhan madzhab ini berpegang pada nash dan

mengambil i'tibar fikihnya pada nash, atau selalu membawa persoalan

fikih kepada nash. Madzhab ini sangat keras terhadap seseorang yang

menfatwak an istihsan dan maslahnh mursalah.

Selang beberapa waktu, Ibnu Hazm berpindah lagi kepada Madzhab

Azh-Zhahiri dan meninggalkan Madzhab Sy#i'i. Ia merasa terikat dengan

batasan-batasan yang digariskan oleh madzhab-madzhab tersebut. Ia pun

bersikukuh memilih madzhab kitab, hadits, danatsar.Ia lalu belajar kepada

sebagian syaikh penganut Madzhab Azh-Zhahiri, seperti Abul Khiyar

Mas'ud bin Sulaiman bin Muflit (w.426 H). Dari gurunya itu, Ibnu H.azm

mengambil manhaj ikhtiyar (metode memilih). Sejak itu, Ibnu Hazm yang

alim dan zahid ltu. memilih madzhab-madzhab yang sesuai dengan nash,

berijtihad mengeluarkan hukum-hukum dari nash, dan tidak berpegang

pada selainnya.

Dalam bidang filsafat, Ibnu Hazm belajar kepada Muhammad bin

Hasan Al-Madzhaji yang dikenal dengan Ibnu Al-Kattani. Sebenarnya/

di daerah Ibnu Hazm sendiri telah banyak tulisan-tulisan filsafat yang ia

pelajari. Dalam hal ini, Ibnu Hazm berkata, "Mengenai filsafat, aku telah

membaca karya-karya yang ditulis oleh Said As-Sarqasthi. Irri menunjukkan

bahwa beliau amat menekuni bidang ini. Adapun tulisan-tulisan guruku

yang bernama Abu Abdullah Muhammad bin Hasan Al-Madzhaji dalam

bidang filsafat sangat popular, sempurna, bagus, dan menebarkan banyak

manfaat."lus

1345 Ibnu Hazm, Fadha'il Al-Andalus wa Ahluha. Nasy Dr. Shalahuddin Al-Munjid, Darul

Kitab Al-Jadid, Beirut, cet. 1, tahun 1387 H/1968 M, hlm' 18'

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 651

Dalam bidang keilmuan di atas, Ibnu Hazm sangat unggul. Ia

meninggalkan banyak karya di bidang tersebut. Sebagian pengkaji berkata,

"Abu Muhammad bin Hazm Azh-Zhahiri adalah seorang ahli hadits, fikih,

dan ahli debat. Ia memiliki karya yang cukup besar dibidang mantiq (logika)

dan filsafat yang hampir tidak dijumpai adanya kesalahan. Awalnya, ia

menganut Madzhab Syafi'i dan mampu mengalahkan para fuqaha lainnya.

Namury ia berpindah kepada Madzhab Azh-Zhahiri dan menulis banyak

kitab mengenai madzhab ini. Ia terus memperjuangkan madzhab ini hingga

meninggal dunia."

Mungkin, ada juga ulama yang semasa dengan Ibnu Hazm atau

yang datang sesudahnya, menempatkan Ibnu Hazm berbeda dengan

informasi di atas. Misalnya, informasi yang menyebutkan bahwa Ibnu

Hazmmendapatkan banyak resistensi karena Madzhab Azh-Zhahiri yang

ditempuhnya melawan arus manhaj resmi pemerintah pada saat itu. Boleh

jadi )uga, karena keras dan tajamnya tabiat Ibnu Hazm hingga mereka

mengumpamakan lisan Ibnu Hazrnseperti tajamnya pedang Al-Hajjajbin

Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H).

Ibnu Hazm meninggalkan banyak karya untuk kita, terutama di

bidang hadits dan fikih. Namun, di antara karya penting yang ditulisnya

adalah Mulakhkhash lbthal Al-Qiyas. Di dalam kitab tersebut, Ibnu Hazm

memaparkan kelemahanUshul Al-Kltamsah (lima sendi pokok) yang diikuti

oleh sebagian madzhab Islam di dalam memumikan hukum-hukum syariat,

yaitu: qiyas, ra'yi (akal), istihsan, taklid dan ta'lil (pencarian illat). Secara

garis besar, kitab tersebut memaparkan fondasi yang dibangun oleh Ibnu

Hazmdalam melakukan perdebatan atau mengeritik madzhab lain. Dalam

kitab itu iuga Ibnu Hazm menuturkan intisari Madzhab Azh-Zhahiri yang

diyakininya.le6 Kitab ini saling melengkapi dengan Kit ab Al-Ihkam fi lJshul

Al-Ahkam dan Kitab Al-Muhalla di dalam mendeskripsikan secara jelas

mengenai kandungan fikih Zhahiri.

Peranan Bahasa dalam Madzhab Azh-Zhahiri

Di dalam Madzhab Azh-Zhahiri, bahasa menempati peran yang

sangat besar. Menurut Ibnu Hazm, terdapat hubungan yang kuat antara

1346 Ankhul Junyalin Baliniya, Tarikh Al-Fikri Al-Andalusi. Penerjemah: Dr. Husein Mu'nis.

Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyyah, Kairo (t.t), hlm. 218.

652 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

bahasa, mantiq, dan perdeb atan. Mantiq merupakan alat untuk berpikir yang

sehat, sedangkan tujuan dari perdebatan adalah untuk mencapai hakikat,

dan hakikat tidak akan dicapai kecuali melalui bahasa. Dengan demikian,

menurut Ibnu Hazm, bahasa merupakan parameter untuk membedakan

antara yang hak dan yang batil. Di samping itu, bahasa juga merupakan

alat ilmu pengetahuan dan sarana yang paling utama untuk memahami

nash-nash keagamaan dan mendalaminya.luT

Ibnu Hazm sangat memberikan perhatian besar terhadap bahasa. Sebab,

bahasa merupakan anugerah istimewa yang membedakan antara manusia

dan hewan. ]ika faktor kebahasaan seseorang tidak berfungsi dengan baik,

maka faktor kemanusiaannya pun demikian, dari segi teori dan praktiknya.

Menurut Ibnu Hazm, bahasa berarti kata yang diucapkan untuk sesuatu

yang memiliki nama. Bahasa terbagi menjadi dua; ada yang memiliki makna

dan ada yang tidak memiliki makna. Adapun bahasa yang tidak memiliki

makna, kita tidak perlu menyibukkan diri untuk itu, karena kita tidak akan

mendapatkan sebuah pengertian yang bisa dipahami. Karenanya, kita perlu

menghindari kata-kata atau nama-nama yang tidak memiliki pengertian'1u8

Di dalam kehidupan, bahasa memiliki Peran yang bersifat universal.

Namun, peran bahasa yang paling pokok adalah dalam memahami nash-

nash keagamaan. Sebab, dengan bahasa kita dapat memahami adanya

perintah dan larangan syariat. Barangsiapa yang tidak mamPu berbahasa-

atau yang oleh Ibnu Hazm disebut al-lisan-berarti ia tidak mamPu

berfatwa. Barangsiapa yang tidak mengerti bahasa dan gramatikanya serta

tidak mengetahui bahasa yang disampaikan oleh Allah dan Nabi-Nya,

maka tidak berhak baginya mengeluarkanfatwa, sebab ia akan berfatwa

dengan sesuatu yang tidak ia ketahui."lve

Bahasa memiliki peran penting dalam memahami nash-nash

keagamaan dan menyingkap kandungannya. Dalil yang ditunjukkan

nash tersebut merupakan sumber asli di dalam memahami akidah

Islam. Memahami teks secara literal seperti yang diletakkan oleh kaidah

1347 Dr. Shalah Ruslan, Al-Akhlaq wa As-Siyasah,lnda lbni Hazm.Maktabah Nahdhah Asy-

Syarqi, Kairo, tahun 1985 M, hlm. 65.

1348 Anwar Khalid Az-Zaghabi,ZhahiiyyatlbniHazm Al-Andalusi:Nazhariyyat Al-Ma'rifah

wa Manahij Al-Bahtsi. Al-Ma,had Al-,Alam li Al-Fikri Al-Islamiy, Amman Urdun, cet.

1, tahun 1.417 H/1996 M, hlm. 117.

1349 Ibnu Hazm, Al-Ihkam,juz kelima, hlm. 904.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 653

kebahasaan adalah wajib. Seseorang tidak boleh memalingkan pengertian-

nya kecuali berdasarkan nash atau ijma'. Barangsiapa yang sengaja

melakukan hal tersebut, berarti ia telah merusak hakikat dan syariat secara

keseluruhan.l3il Barangsiapa yang mengalihkan pengertian sebuah teks dari

tata kebahasaan tanpa disertai nash atau ijma', berarti ia telah keluar dari

daftar orang-orang yang berakal.l3slMerujuk kepada nash dan berpegang

kepadanya harus berdasarkan dalil yang disepakati di kalanganahli bahasa.

Kaidah inilahyang diperjuangkan sungguh-sungguh oleh Ibnu Hazm dan

selalu diulang-ulangnya dalam setiap kesempatan.

Di dalam forum-forum dialog yang terjadi antara Ibnu Hazm dan

rival-rivalnya terkait ma'alim (tanda), jauhar (inti),'ardh (sifat), sifat-sifat

ketuhanan dan lainnya, Ibnu Hazm selalu merujuk argumennya pada

dalil-dalil teks, sehingga ia selalu menang. Sebab, rival-rivalnya lebih sering

menggunakan teks tidak sesuai dengan makna etimologisnya. Karenanya,

ia menegaskan, "Ini merupakan aturan penamaan di dalam bahasa, di

mana penamaan tersebut berasal dari bahasa itu sendiri. Barangsiapa yang

menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya di dalam kebahasaary berarti

ia gila...Hal itu sama dengan orang yang menamakan sesuatu yang hak

dengan yang batil, atau sebaliknya menamakan yang batil dengan yang

hak. Sungguh, perbuatan seperti ini tergolong puncak kebodohan dan

kedunguan .'/ 1'3s2 Ia juga menambahkan, "Karena itu, setiap pengkaji yang

ingin mengetahui hakikat atau pengertian dari hakikat tersebut, ia harus

mengambil makna yang terdapat pada namanya...Adapun mencampur

atau memalingkan pengertiannya dari nama yang sebenarnya di dalam

bahasa merupakan tindakan sofistikasi yang tidak tahu malu. Ia termasuk

orang bodoh yang akal dan jiwanya tak lagi berfungsi.13s3

Menurut Ibnu Hazm, bahasa adalah parameter awal untuk mengukur

kebaikan dan kebatilan. Karenanya, ia bersikap keras di dalam menerima

takwil atau memalingkan nash dari makna literalnya kepada makna lain

yang berbeda. Untuk tujuan itu, Ibnu Hazrn menyusun sebuah kitab

yang menolak takwil. Di dalam kitabnya itu, ia berkata, "Takwil adalah

Ibnu Hazm, Al-Fashl, juz ketiga, hlm. 3

Ibnu Hazm, lbid, juz ketiga, hlm.27.

Ibnu Hazm, ibid, juz kedua, hlm. 118.

Ibnu Hazm, ibid.

1350

1351

1352

1353

654 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

memalingkan kata dari yang ditunjukkan oleh lahiriyahnya atau dari

kaidah kebahasaan kepada makna lain. |ika penakwilan tersebut diperkuat

oleh bukti, dan orang yang melakukan takwil termasuk orang yang wajib

ditaati, maka itu benar. Namun sebaliknya, jika penakwilan tersebut tidak

sesuai dengan garis di atas, maka hasil penakwilannya harus dibuang dan

tidak perlu dipedulikan. Tentu saja, hukum melakukan penakwilan seperti

itu adalah batil./13s4

Dari pendapatnya ini, kita dapat menarik benang merah bahwa

sebenarnya Ibnu Hazm bersifat moderat di dalam meletakkan posisi

kebahasaan, terutama ketika terdapat nash atau ijma' yang mendukung

adanya penyimpangan makna dari kata literalnya. Ia menambahkan

kondisi ketiga di dalam pembagianny4 yaitu adanya kondisi darurat. Ia

berkata, "Kalam Allah wajib dipahami secara literal dan sama sekali tidak

boleh menyimpang dari literal nashnya, kecuali ada nash atau ijma' atau

kondisi darurat yang membolehkan untuk tidak menggunakan sesuai arti

literalnya. Dalam kondisi seperti ini, boleh memalingkan makna literalnya

kepada makna lain. Kita wajib tunduk terhadap sesuatu yang dituntut oleh

nash, ijma' dan kondisi darurat tersebut.lss Pada tahap selanjutrya, kita

akan melihat bahwa pola pemikiran di atas iuga akan diterapkan dalam

memahami sifat-sifat ketuhanan, di mana Ibnu Hazm mengeluarkan literal

teks kepada makna majazi, atau sesuatu yang dipahami oleh orang Arab

mengenai makna maiazi atau balaghah.

Menurut Ibnu Hazm, kata diletakkan untuk dipahami sesuai dengan

tata kebahasaan. Setiap kata mengandung pengertian yang berhubungan

dengankata tersebut. Jika di dalam kata tersebut tidak mengandung makna

atau dalil pengertian tersendiri, tent't bayan tidak akan diterima selama-

lamanya. Karena itu, Ibnu Hazm berupaya memaparkan bayan sejelas

mungkin, sehingga susun€rn kata memiliki bentuk dan pemahaman yang

pasti. Ia mendefinislkanbayan sebagai sesuatu yang terkandung di dalam

suatu benda yang memungkinkan orang yang mengetahuinya mengenal

hakikat benda tersebut'13tr

1354 Ibnu Hazm, Al-lhkam,juz pertama, hal. 48.

1355 Ibnu Ham, Al-Fashl, iuzketiga, hal. 123. Lihat juga: Thaha Al-Hajiti, Ibnu Hazm

Shurah Andalusiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, Kairo'

1356 Ibnu Hazm, Al-lhkam, iuz pertama, hal. 46.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 655

Bayan Menurut lbnu Hazm Terbagi Meniadi Dua Bagian

Pertama, bayan dengan menggunakan nash sharih fielas) yang tidak

memerlukan ijtihad untuk menggali hukum darinya kecuali dengan

mengetahui bahasa dan hadits yang menjelaskannya.

Kedua, bayan yang membutuhkan istinbath (upaya menggali hukum)

dengan menggunakan dalil dari nash atau ijma', dengan berpijak pada

mantiq (logika) dan bukan ta'lil (pencarian illat). Sebab, nash-nash

keagamaan kadang memiliki makna yang tidak dimengerti oleh akal, dan

hukum-hukurrrnya memiliki maksud dan tujuan yang sulit dimengerti

sehingga membutuhkan istinbath yang bersifat menyeluruh yang terbagi

ke dalam beberapa bagian. Atau mengetahui hukum peristiwa-peristiwa

baru dengan cara istinbath menyeluruh yang terbagi ke dalam bagian-

bagian tertentu.1357 Dari sini, kelompok Azh-Zhahiri meyakini bahwa

terlalu berlebihan dalam memahami sebuah kata untuk memperoleh makna

tertentu merupakan tindakan sia-sia. Mereka lebih berpegang kepada literal

kata dalam memahami nash dan menafsirkannya, tanpa memperhatikan

alasan atau tujuan yang terkandung di balik nash.1358 Karena itu, mereka

menolak pendapat yang menyebutkan adanya tujuan di balik ibadah,

hukum, muamalat, dan akidah.

-Dalam menerapkan Manhaj Azh-Zhahiri, Ibnu Hazm berpegang pada

faktor kebahasaan untuk memahami seluruh studi dan kajiannya di bidang

fikih dan akidah. Kita akan melihat sebagian dari penerapan manhaj ini di

dalam masalah fikih dan kalam versi Ibnu Hazm.

feiak Fikih Azh-Zhahiri Menurut Ibnu Hazm

Manhaj Ibnu Hazm dalam memahami nash secara tekstual banyak

teraktualisasi dalamfikihnya. Bahkan, manhaj ini menjadi pondasi utamanya

di bidang fikih. Ia berkata, "Ketahuilah oleh kalian semua bahwa agama

Allah itu lahir (elas), tidak ada yang batin (tersembunyi). Nyata, tidak ada

yang rahasia di dalamnya. Tercelalah siapa saja yang memandang agama

"1357 Dr. Salim Yafut, Ibnu Hazm u,a Al-Fikr Al-Falsafi, hal. 183.

1358 Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Bayna Al-Maqashid Al-Kulliyyah wa An-Nushush Al-

luz'iyyah, kajian fikih maqashid syari'ah di dalam Kongres Maqashid Asy-Svariah

'inda Al-Madzahib Al-lslamiyyaft yang diselenggarakan di London, tanggal 20 - 24

Muharram, 1426H./ 1 - 4 Maret 2005 M., hal. 10.

656 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

itu tersembunyi dan rahasia.'135e Hukum-hukum fikih hanya diintisarikan

darinastu Kitabullah dansunnah, tidaklebih. sama sekali tak ada ruangbaF

akal pikiran. Oleh karena itu, tak ada ruang pula bagi qiyas, istidlal, mashlahah

mursalah, dan saddudz dzara'i'.

Ibnu Hazm menolak ijtihad dalam pengertian mempekerjakan akal

pikiran. Sebab, ia menilai hukum fikih yang merupakan produk akal

tidaklah sah. Demikian itu pun ia buktikan dengan nash secara tekstual.1360

Ada beberapa dalil yang menguatkan pendapatnya itu.

Pertama, dari Al-Qur'an. Allah dg berfirman, "Wahai oranS-orang yang

beiman, taatilahAllahdan taatilahRasu, sertaulil ami di antarakalian.likakalian

berselisihmengenai sesuatu,kembalikanlahkepada Allah dnnRasul-Nya, jikaknlian

beiman kepada Allah dan Hai Akhir" (An-Nisaa': 59). Ayat ini menegaskan

sumber-sumber hukum syArt', sebagaimana diyakini Ibnu Hazm, yaitu:

Kitabullah, Sunnah, dan ijma' ulama yang tidak diperselisihkan.

Kedua, dari Sunnah. Ibnu Hazmpun memahami hal ini dalam Sunnah

secara tekstual. Rasulullah ffi bersabda, "Tidaklah tercerabut ilmu itu dari

dada orang-orang. Melainkan ilmu itu tercabut dengan wafatnya ulama. Dengan

demikan tidak adalagi orangyangbeilmu. Orang-orang akan mengangkat mereka

yang bodoh sebagai pemimpin. Para pemimpin itu ditanya dan mengeluarkan

fattna. Maka mereka sesat dan menyesatkan."

Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Pb,

"Celalah akal pikiran kalian dalam (urusan) agama kalian." Jika dikatakan,

"Rasulullah ffi memberikan fatwa dengan akal pikirannya," maka katakan,

"Karena Allah memperlihatkan kepadanya."

Selain itu, salah satu dalil penolakan Ibnu Hazm atas pengambilan

hukum yang merupakan produk akal pikiran adalah penolakannya

terhadap hadits Muadz bin Jaballel yang menyebutkan bahwa Rasulullah

membolehkan Muadz mengikuti akal pikirannya apabila tidak ditemukan

nash dalam Kitabullah, tidak pula dalam ketentuan Rasulullah. Selain itu,

Ibnu Hazm juga menolak kesahihan kitab Al-qadha' yang dikirim Umar

1359 Ibnu Hazm, Al-Fashl, iilidll, hlm. 116.

1360 Abu Zatuah, Tarikh Al-Mazhahib, illid II, hlm. 399.

L361 lbnu Ha zm, An-Nubdzah Al-Kafiyah. Tahqiq: Abu Mush'ab Muhammad sa'id Al-Badri.

Darul Kitab Al-Mishri, Kairo, Darul Kitab Al-Libnani, Beirut, tahun 1991 M, hlm. 74

dan 75.

Ensiktopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 657

bin Khaththab kepada Abu Musa Al-Asy'ari, berisikan perintah agar ia

melakukan qiyas antara dua hal yang serup a (qtyas al-asybahbil asybah).Jadi,

menurut Ibnu Hazm, sumber hukum itu hanya ada empat, tidak lebih,

yaitu: Al-Qur'an, perkataan Rasulullah (hadits), ijma' ulama, dan dalil

apapun yang hanya memiliki satu kemungkinan, yang oleh Ibnu Hazm

disebut sebagai " dalil" .

Sumber pertama adalah Al-Qur'an. Inilah sumber utama semua

syariat. Semua hukum harus dirujuk kepadanya. Al-Qur'an bisa jadi

sudah jelas dengan sendirinya, bisa jadi pula membutuhkan penjelasan

dari Sunna[ seperti merinci hal-hal yang bersifat global. Contoh, shalat,

puasa, zakat, dan haji dijelaskan secara detil oleh Sunnah. Penjelasan Al-

Qur'an bisa jadi gamblang, bisa jadi pula samar dan hanya diketahui oleh

ahlu adz-dzikr. Allah d3 berfirman, "Tanyakanlahpada ahlu adz-dzikr jikakalian

tidak mengetahui" (An-NahL 43, Al-Anbiya': 7). Terkait hal ini, Ibnu Hazm

berkata, "Penjelasan itu berbeda-beda tingkat kejelasannya. Ada sebagian

yang gamblang, ada pula sebagian yang samar. Orang-orang pun berbeda

dalam memahaminya; sebagian ada yang paham, tetapi sebagian yang lain

ada yang terlambat memahaminya."

Ibnu Hazm membantah adanya kontradiksi dalam Al-Qur'an. Ia

berkita, "Sebenamya, tidak ada sedikit pun kontradiksi dalam Al-Qu1 an.il7 2

Dalilnya, Al-Qur/an itu wahyu. Jika terdapat kontradiksi antar nash Al-

Qur'an, berarti ada pertentangan. Padahal, pertentang.rn semacam ifu secara

tegas dinafikan oleh Allah $6 dalam firman-Nya, "Kalau sekiranya Al-Qur'an

itu bukan dai sisi Allah, tentulah mereka aknn mendapatkan pertentangan yang

banyak di dalamnya. " (An-Nisa a' : 821.

Sumber kedua adalah sunnah. Sunnah merupakan sumber kedua yang

dijadikan rujukan di dalam syariat. Ibnu Hazm mewajibkan kepada kita

untuk taat kepada apa yang diperintahkan oleh Rasulullah kepada kita,

sebagaimana firman Allah, " D an tiadalah y ang diu capkanny a itu (Al-Qur' an)

menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan kepadanya)." (An-Najm: 3 dan 4). Dengan demikiary wahyu

dari AllahJ8 ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1362 Ibnu Hazrn, Al-lhkam, jilid II, hlm. 205.

658 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

Pertama, wahyu yang dibacakan (dengan tilawah) dengan susunan

yang mengandung unsur i'iaz (mukiizat),yaitu Al-Qur'an.

Kedua, wahyu yang diriwayatkan dan dinukil dengan susunan yanS

tidak mengandung mukjizat dan tidak dibacakan (dengan tilawah), tetapi

dengan bacaan biasa, yaitu hadits yang datang dari Rasulullah, sebagai

penjelas dari kalam Allah *. Hadits merupakan penjelas terhadap Al-Qu1an

dan menyajikan hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an. Berpegang

kepada hadits hukumnya wajib sesuai dengan perintah Al-Qur'an'

Ibnu Hazm menilai bahwa nash-nash yang terdapat di dalam AlQur',an

dan hadits merupakan sumber syariat yang fundamental. AlQur'an dan hadis

menempati derajat hukum yang pertama. Ibnu Hazm berkata, "semua yang

diperintahkan Allah dan Rasul-Nya adalah wajib, sedangkan yang dilarang

oleh keduanya adalah haram. ]adi, tidak boleh seseorang mengatakan bahwa

sesuatu berhukum sunah atau makruh kecuali berdasarkan nash shahih

yang menjadi penjelasnya atau berdasarkan iima' ."net

Di depan telah dijelaskan bahwa ucapan dan taqrir (ketetapan)

Rasulullah tanpa ada keraguan lagi merupakanhujjah, sedangkan perbuatan

beliau tidak dimas u,kkanhujjah, kecuali iika disertai dengan ucapan beliau,

atau perbuatan itu merupakan realisasi dari perintaturyu. Misalnya sabda

beliau, " shalatlah kalian sebagaimana aku shalaf." Meriwayatkan hadits

tersebut, diterima di kalangan sahabat, tetapi bertaklid kepadanya ditolak.

|ika ada seorang sahabat meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi, kemudian

ada sahabat lain yang melihat sahabat yang pertama melakukan perbuatan

yang berbeda dari hadits yang diriwayatkannya, maka yang benar adalah

berpegang pada hadits yang diriwayatkannya, tanpa melihat perbuatan

atau sesuatu yang difatwakannya."l3e

Ibnu Hazm juga berpegang pada hadits mutawatir dan hadits

ahad.136s Hadits mutawatir menurut ijma' adalah hujjahyarrg bersif al qath'i

(pasti). Demikian pula, Ibnu Hazmberpendapat bahwa wajib hukumnya

mempercayai hadits ahad dan mengambilnya sebagai dasar hukum,

baik di dalam akidah maupun amaliyah. Untuk memperkuat pendapat

1363 Ibnu Hazm, An-Nubdzah Al-Kafiyah, hlm.53

1364 Ibnu Hazm, ibid, hlm. 65.

1365 Ibnu Hazm, ibid, hlm. 40.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 659

ini, Ibnu Hazm menyinggung hal tersebut dalam satu pasal khusus di

kitabnya Al-lhkam fi Ushul Al-Ahkam. Alasan yang diajukannya bahwa

Rasulullah ketika mengirimkan surat-surat beliau kepada para raja, yang

menjadi utusannya hanya satu orang untuk sekelompok kaum muslimin.

Beliau tidak menghendaki utusannya berjumlah banyak. Beliau mengutus

Muadz ke daerah Yaman, mengutus Abu Bakar untuk menjadi pemimpin

rombongan jamaah haji dan mengutus Ali sebagai qadhi (hakim) di Yaman.

Jika ada sebuah persoalan diajukan kepada sahabat dan mereka tidak

menjumpai nashhukumnya di dalamAl-Qur'ary maka mereka mencarinya

di dalam hadits Rasulullah mengenai hukum persoalan tersebut. Dan, jika

mereka sudahmenemukan dalil hukumnya di dalamhadits, maka mereka

segera memberikan keputusan hukum tanpa mencari hadits-hadits lainnya.

Ada di antara ulama Islam-yang disebut dengan jumhur ulama-

juga menerima hadits ahad di dalam praktik amaliyah, meskipun mereka

menolaknya di dalam aspek akidah, terutama yang terkait dengan sendi-sendi

dasar akidah. Adapun Ibnu Hazm menilai bahwa semua yang diriwayatkan

dari Nabi M,, baik berupa akhbar (berita) maupun aqwal (ucapan), semua

merupakan hujjah. Jika kita meragukan para periwayat hadits, berarti kita

juga meragukan para periwayat Al-Qur'an. Dalam hal ini, ia berkata, "Jika

seseorang yang ingin mencari perlindungan berkata bahwa semua hadits

itu diriwayatkan melalui jalur ahad yangtsiqah (dapat dipercaya), berarti ia

dusta dan palsu serta tidak dapat dipercaya...Ini merupakan kebohongan

yang nyata dan sangat bertentangan dengan sesuatu yang sudah kami

ketahui secara pasti. Di samping itu, ia merupakan bentuk pendustaan

terhadap seluruh sahaba! mulai generasi awal hingga akhir, juga terhadap

seluruh para tabiin serta semua ulama dari generasi ke generasi.lffi Hanya

saja, jumhur ulama berpendapat bahwa Al-Qur'an itu diriwayatkan secara

mutawatir, bukan secara ahad, sebagaimana diyakini oleh mayoritas umat

Islam. Meskipun periwayatan melalui jalur ahad ndak diterima di dalam dasar

akidah maupun di dalamperiwayatan Al-Qur'an, bukanberarti setiap yang

diriwayatkan melalui jalur ahad adalah dusta dan palsu.

Sumber ketiga adalah ijma'. Ijma' yang dimaksud oleh Ibnu Hazm

adalah khusus ijma' sahaba! karena merekalah yang menyaksikan turunnya

1366 Ibnu Hazm, Al-lhkam, jilidl, hlm. 150.

660 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lstam

wahyu. ]ika menurut Ibnu Hazm, bahasa adalah sesuatu yang dipahami

dan dimengerti oleh masyarakat melalui rumus-rumus kebahasaan,

maka pemahaman sahabat pada saat wahyu diturunkan itu adalah kata-

kata dan ungkapan-ungkapan yang sangat tepat terhadap turunnya

wahyu itu sendiri. Di samping itu, mereka juga sangat memahami sabda-

sabda Rasulullah. Bahkan Rasulullah sendiri mengakui akan kebenaran

pemahaman mereka di dalam sesuatu yang diriwayatkan kepada kita.

Dengan demikian, pemahaman sahabat merupakan hujjah yan gmulazzamah

(wajib diyakini).

Ibnu Hazm berpendapat-berbeda dengan pendapat mayoritas

ulama-bahwa ijma' tidaklah terjadi perbedaan pendapat di dalamnya.

yang dimaksud Ibnu Hazm bukan ijma'ulama secara umum, melainkan

ijma, sahabat saja pada masa awal Islam. Ijma' inilah yang dimaksudkan

oleh firman AllatU "Danberpegang teguhlahkamu semuanyakepada tali (agama)

Allah, dan janganlah kamu bercerai berai..." (Ali Imran: 103), juga firman

Allah yang I ain, "...dan janganlahkamuberbantah-bantahan, yangmenyebabkan

kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu... " (Al-Anfal: 46). Jika di dalam

agama dijumpai adanya kesepakatan dan perbedaan, maka Allah telah

mengabarkan bahwa perbedaan tidaklah bersumber dari Allah. Allah

berfirman, "...Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah

mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82)'

Dengan demikian, menurut Ibnu Hazm, iima' sahabat datangnya dari sisi

Allah. Karena kebenaran datangnya dari sisi Allah, maka perbedaan tentu

saja tidak berasal dari sisi-Nya.1367

sumber keempat adalah dalil. Dalil merupakan sumber keempat dari

sumber istinbathyarrg digunakan oleh Ibnu Hazrrr Azh-Zhahiri. Ibnu Hazm

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dalil adalah setiap perintah

yang diambil dari ijma' atau nash. |adi, dalil diambil dari keduanya

dan dipahami dari dalil keduanya secara langsung, tanpa berupaya

mengeluarkan'illat (alasan hukum) dari keduanya. Dengan demikian,

dalil murni diambil dari literal keduanya tanpa berupaya menggalinya

lebih dalam. Dalam hal ini, dalil sangat berbeda dengan qiyas, karena

Ibnu Hazm menolak adanya qiyas. sebab, dasar qiyas adalah berupaya

1367 Ibnu ll.azrr., An-Nubdzah Al-Kafiyah,hlm.25 -26.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 661

mengeluarkan'illat dari sebuah nash, kemudian memberikan hukum

nash tersebut terhadap persoalan yang memiliki'illatyang sama. Adapun

dalil, berpegang pada nash itu sendiri, atau diambil dari nash tersebut.

fadi, dalil itu mumi diambil daii nash itu sendiril36 tanpa memahaminya

melalui jalur qiyas.

Ibnu Hazm sangat keras menolak qiyas. Padahal, qiyas dipegang

oleh mayoritas dari ahli fikih dan dijadikan sebagai sumber syariat di

samping Al-Qur'an, hadits, dan ijma'. Ibnu Hazm menolak mereka karena

menggunakan qiyas di dalam menggali hukum. Ibnu Hazm berkata, "Tidak

boleh menggali hukum di dalam agama dengan menggunakan qiyas.

Berpendapat menggunakan qiyas adalah batil, yang tingkat kebatilannya

telah dipastikan di sisi Allah f,8.1%e Di samping itu, Ibnu Hazm juga menolak

taklid. Ia berkata, "Tidak boleh seseorang mengambil pendapatnya orang

lain tanpa disertai adanya dalil dan bukti. Hal ini didasarkan pada firman

Allah Ta'ala, "lkutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan

jangnnlahkamu mengikutipemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlahkamu

men gnmbil p el aj ar an (darip a dany a) . " (Al- L' taf : 3). 1370

Ibnu Hazm, di samping menolak qiyas dan taqlid, juga menolak

istihsan dan ta'lil, karena keduanya merupakan perkara baru yang tidak

memiliki dasaryangkuat di dalam agama. Namun demikiary sebagaimana

dimaklumi, keduanya menjadi sumber hukum yang dipegang oleh

sebagaian ahli fikih dari madzhab lain.

Ibnu Hazm menilai bahwa berpegang pada qiyas merupakan bentuk

perusakan. Ia berkata, "Qiyas merupakan pengakuan tanpa bukti. Istihsan

itu batil karena mengikuti hawa nafsu, dan merupakan pendapat tanpa

bukti. Ta'lil ju,ga batil karena ia mengabarkan bahwa Allah memberikan

hukum terhadap sesuatu karena ada 'illat tertentu. Ta'lil juga berarti

mengabarkan dari Allah sesuatu yang Allah sendiri tidak mengabarkannya.

Yang dimaksud taqlid adalah seseorang memberikan fatwa terhadap

suatu persoalan bahwa imam fulan memberikan fatwa demikian. Ini juga

merupakan bentuk pendapat di dalam agama yang tidak memiliki bukti.1371

1368 Abu Zatvah, lbnu Hazm, hlm. 364.

1369 Ibnu lJazrn, An-Nubdzah Al-Kafiyah,hlm.75 dan76.

1370 Ibnu Hazm, ibid, hlm. 85.

1.371 Ibnu Hazrn, ibid, hlm. 5 dan 6.

662 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

Ibnu Hazm membebaskan diri dari itu semua. Menurutnya, tidak ada

ruang bagi ijtihad akal di dalam memahami nash. Tidak ada ruang pula bagi

akal untuk menakwilkan nash. I€bih dari itu, ijtihad akal merupakan bentuk

pengakuan bahwa cli dalam nash terdapat makna selain makna lahiriahnya'

Ibnu Hazm sendiri berpegang pada literal nash keagamaan. Dalam

mengambil makna, ia mencukupkan diri dengan aPa yanS diisyaratkan

oleh lahiriah kebahasaan. Metode seperti inilah yang ia terapkan di dalam

Madzhab Azh-Zhahtri, baik di bidang fikih maupun akidah'

Madzhab Azh,-Zhahiri di Bidang Akidah

Manhaj yang ditempuh oleh Ibnu Hazm di dalam menetapkan akidah

berpegang pada dua Perkara:

Pertama, dasar-dasar aqliyah (rasio) yang dapat diterima oleh akal.

Dalam hal ini, Ibnu Hazm menerapkannya pada dua sendi, yaitu tauhid

dan kenabian. Hal itu membuahkan suatu jalan di dalam menjelaskan

dalil mukjizat atas risalah Rasul, dan dalil Al-Qur'an atas kebenaran Nabi

Muhammad $ dan kebenaran segala yang terkandung di dalam Al-Qur'an

dan hadits Nabi.

Kedua, akidah-akidah keagamaan. Manhaj yang ditempuh oleh Ibnu

Hazm adalah berpegang pada nash-nash secara langsung dan lahiriyah

maknanya, selagi hal itu dapat menetapkan kebenaran Rasulullah dan

kebenaran segala yang terkandung di dalam AlQulan. Hal itu juga meliputi

hadits shahih yang tidak boleh ditakwil. Ibnu Hazm berkata, "Tidak boleh

seseorang memalingkan sebuah ayat dari lahiriahnya, dan tidak boleh juga

memalingkanhadits dari lahiriyahnya, karena Allah$g berfirmar9 "...dengan

bahasa Arab yang jelas." (Asy-syu'ara': 1.95). Barangsiapa yang memalingkan

nash dari lahiriah kebahasaannya tanpa disertai bukti atau ijma" sungguh ia

telah mengaku bahwa nash tidak menjelaskan sesuatu yang ia cari. Bahkan,

ia termasuk orang yang mengubah Kalam Altah dan wahyu-Nya kepada

Nabi ffi. Sungguh Allah dg mencela suatu ka umyang suka mengubahperkatann

(Altah) dai tempat-tempatnya. 1372(Al-Maaidah: L3).

Karena itu, ia menolak ulama-ulama kalam yang menjadikan takwil

sebagai alat untuk memahami sebagian nash-nash yang berhubungan

1372 lbn:l Hazm, ibid, hlm. 47.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 663

dengan akidah-akidah keagamaan. Atau mereka mengaku bahwa nash-

nash tersebut memiliki makna batinyangtidak dapat diketahui kecuali oleh

orang-orang tertentu. kitik yang dilontarkan oleh Ibnu Hazm terhadap

kelompok-kelompok tersebut adalah jika dilihat dari sudut pandang

Madzhab Azh-Zhahiri yang ia jadikan pegangan. Kemudian ia membuat

pemahaman akidah sesuai dengan pandangannya sendiri.

Ibnu Hazm mempelajari orientasi pokok dari kalam (teologi) yang

mendominasi daerahnya. Hal ini tergambar di dalam perkataannya, "Ilmu

kalam yang berkembang di daerah kami, meskipun tidak sampai membawa

pada permusuhan dan tidak menimbulkan perbedaan akidah, namun

hanya sedikit yang menggunakannya. Perlu diakui juga bahwa segala

sesuatu tidak bisa lepas dari ilmu kalam. Ada di antara mereka sebagian

kaum yang pergi uzlah (rnenyendiri). Adapun kami dalam berpegang

pada madzhab yang kami pilitr, yaitu madzhab ahli hadits, memiliki kitab

khusus dalam masalah ini. Meskipun kitab tersebut memiliki bentuk yang

kecil, tetapi memiliki nilai kegunaan yang besar. Di dalam kitab itu, kami

membuang berbagai persoalan yang menimbulkan keraguan dan hanya

membahas bukti-bukti terpilih dari dalil-dalil shahih yang dapat diterima

oleh ketajaman indera dan aksiomatika akal.1373

Ibnu Hazm menilai bahwa dalil nash merupakan sumber otentik

di dalam memahami akidah-akidah keislaman. Dalil kebahasaan berarti

memahami ucapan secara literal sesuai dengan kaidah kebahasaan.

Barangsiapa yang melakukan pemahaman keluar dari itu, berarti ia telah

merusak hakikat makna secara keseluruhan, merusak syariat secara

keseluruhan dan merusak pikiran secara keseluruhan.l3Ta

Kami berupaya menjelaskan praktik Ibnu Hazm yang menggunakan

Madzhab Azh-Zhahiri dalam tema akidah. Di bawah ini kami akan

memaparkan sebagian tema-tema yang berhubungan dengan zat

ketuhanary sifat dan asma-Nya, hukum pelaku dosa besar serta persoalan

pasrah terhadap takdir dan ikhtiar.

Zat Ketuhanan. Di bidang teologi yang terkait dengan zat ketuhanan,

Ibnu Hazm berpegang pada nash dan hadits-seperti yang kami sebutkan

1373 Ibnu Hazm, Fadha'ilAl- Andalus wa Ahluha, hlm. 19.

1374 Ibnu Hazm, Al-Fashl, jilid III, hlm. 3.

664 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

di depan. Yang dimaksud dengan nash oleh Ibnu Hazm adalah rangkaian

kata yang terdapat di dalam Al-Qur'an, atau mengambil dalil darinya

untuk memberikan hukum terhadap setiap persoalary yang berasal dari

lahiriyah teks itu sendiri.137s Nash bisa juga berupa sesuatu yang dipahami

dari ungkapanmajaz sesuai dengan tata bahasa Arab dan balaghahnya di

dalam menggunakanuslub kebahasaan. Ibnu Hazm melontarkan kritik-

untuk mendukung manhajnya-atas dua kecenderungan para teolog yang

mengkaji tentang zat ketuhanan, yaitu kecenderungan tasybih (penyerupaan

Allah dengan sesuatu) dan kecenderungan tajsim (meyakini bahwa Allah

adalah jisim/benda).

Pertama, kelompok yang mempunyai pemkiran tentang tasybih ymg

dipelopori oleh sekelompok ahli hadits yang ekstrem. Mereka dikenal dengan

sebutan musyabbihat, karena menampakkan sikap tasybih (menyerupakan

Allah dengan sesuatu). Mereka dipelopori oleh para ahli hadits, sehingga

kecenderungan mereka adalah menggunakan sebagian hadits saja, seperti

" Allah menciptakan Nabi Adam seperti rupa Ar-Rahman (Allah Yang Maha

Pengasih)", juga hadits yang menyebutkan "Hati seorang mukmin berada di

antara dua jai Ar-Rahmln", dan hadits senada lainnya. Sebagian dari mereka

berpendapat mungkinnya seseorang melihat Allah di dunia, bersalaman, dan

bersentuhan dengan-Nya...1376dan pendapat-pendapat lain yang nyata-nyata

merusak dan menafikan kesempurnaan Tuhan.

Kedua, kelompok yang mempunyai pemikiran soal tajsim (meyakini

bahwa Allah adalah jisim/benda). Ahli sejarah pemikiran Islam bersepakat

bahwa Hisyam bin Hakam adalah orang pertama yang mengatakanbahwa

"Allah adalahjisim/benda" .Bn laadalah orang pertama yang memasukkan

dan mengusung pemikiran ini. Di antara pendukung-pendukungnya

adalah Hisyam bin Salim Al-Jawaliqi yang berkata bahwa Allah memiliki

bentuk rupa seperti manusia. Dia memiliki tangan, kaki, telinga, dan

mata.1378 Kelompok yang paling masyhur mengusung pendapat ini di dalam

1375

1376

1377

1378

Ibnu Hazm, Allhkam, jilid I, hlm.48.

Al-Asy'ari, Maqalat Al-lslamiyyin Editor: Hilmut Riyter. Mathba'ah Ad-Daulah

Instanbul, tahun 1939 M, iilid I, hlm. 288.

Al-Asy,ari, ibi d, iilid I, hlm.207 .

Abul Yusr Al-Bazdawi, Ushuluddin. Editor: Hetz Biterlink. Dar Al-Ihya' Al-Kutub

Al'Arabiyyah, Kairo, tahun 1962, hlm. 22.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 665

pemikiran keislaman adalah pengikut kelompok Karamiyah. Kelompok ini

dinisbatkan kepada Muhammad bin Al-Karaln, yang berkata bahwa Allah

memiliki tubuh, tetapi tidak sama dengan tubuh pada umumnya. Untuk

menguatkan pendapatnya itu, mereka mengambii dali dari sebagian ayat-

ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi terkait dengan Perso alarristiwa' (Allah

bersemayam) ,'Atsy, al:uluut (Atlah berada di tempat yang tinggi) dan an-

nuzul (Allahturun ke bumi). Mereka memahami istilah tersebut dikaitkan

dengan arah, berdiam, tempat dan sebagai.yu.""

Ibnu Hazm menolak kecenderungan-kecenderungan yang menggiring

pad,a tasybih dan tajsim.Ia mengajukan dalil bahwa zat Allah tidak bisa

diserupakan dengan sesuatu yang bersifat baru (makhluk). Menurutnya,

Allah bukan benda. Dia tidak tersusun dari partikel-partikel tertentu, tidak

dibatasi oleh ruang dan waktu, dan tidak berdiam di tempat tertentu.

Mahatinggi Atlah dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang

sebesar-besarnya. Di samping itu, Ibnu Hazmjuga menolak pendapat

kaum musyabbihat yangberpegang pada nash dan ayat yang mengatakan

bahwa Allah memiliki tangan, mata, muka dan jari-jari. sebab, semua nash

memiliki sisi lahiriah yang berbeda dari yang mereka duga dan mereka

takwilkan.l3so

Ibnu Hazm berpendapat bahwa nash-nash seperti itu memiliki makna

kebahasaan, baik yang bersifat majazimaupun hakiki, dengan catatan tidak

keluar dari makna lahiriyahnya. Ia memberikan contoh seperti kata al-wajhu

di dalam firman Allah, "Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai

kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Rahman: 281. Al-Waihu di sini bermakna

Dzat Allah. Jika ada istilah wajhullah, berarti tidak memiliki arti lain selain

Dzat Allah. Kami tidak memaknai kata wajhullah kecuali Allah sendiri'

Dalil yang menunjukkan pengertian tersebut adalah firman Allah yang

menceritakan orang yang diridhai oleh-Nya, yaita, "sesungguhnya kami

memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah"'"

(Al-Insan:9). sangat jelas bahwa mereka tidak meniatkannya kepada selain

13?' Lrh"l"L Nrl"drt b ini di dalam Kitab At-Tajsim'lndal Muslimin: Madzhab Al-

Karamiyyah.Dr. suhair Mukhtar, cet. 1, tahun 7973:l|i4, htm. 187 - 190. Lihat juga:

Dr. Ali sami An-Nasysyar, Nasy'at Fikr Al-Falsafifi Al-lslam. Dar Al-Ma',arif, Mesir,

tahun 1981 M, jilid \,hlm-297 -306.

1380 Ibnu Hazm, Al-Fashl, iilid I, htm. LL7.

666 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

Allah. Yang dimakxtdal-wajhu di sini adalah Dzat AllahYangMahatinggi.

Ini merupakan bentuk penafsiran bahasa yang sangat jelas.

Begitu juga ketika Ibnu Hazm menafsirkan kata " al-yadu" di dalam

firman Allah, "...Tangan Allah di atas tangan mereka..." (Al-Fath: 10), juga

firman Allah yang la;fi'r, "... dai apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan

IGmi sendirf..." (Yasin: 7l). Dalam firman yang lain juga disebutkan, ".,.

tetapikeduatangan Allah terbuka; Diamenafkahkan sebagaimanaDiakehendaki..."

(Al-Maidah: 54). Yang dimaksud dengan ayat ini bukan anggota tubuh

yang berupa tangan. Tafsir dari "kedua tangan" pada ayat terakhir adalah

menganugerahkan karunia, seperti tercermin pada ayat selanjutnya ".'.

sebagaimana Dia kehendaki...". Adapun makna dari ayat "... dari aPa yang

telah IGmi ciptaknn dengan tangan Kami sendiri..." adalah dari apa yang kami

lakukan. Semua makna tersebut merupakan majazyangtelah dipahami oleh

semua orang Arab, seolah-olah itu merupakan hakikat kebahasaan yang

memiliki balaghah dan gaya bahasa tersendiri di dalam menyuguhkan

makna yang beragam.

Ibnu Hazm menafsirkan kata "a'yun" di dalam firman Allah, "...maka

sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan KamL," (Ath-Thur: 48) bahwa

yang dimaksud adalah pengawasan dan kedekatan dari Allah. Begitu juga

Ibnu Hazm menafsirkan setiap kalimat yang secara lahiriyah menunjuk pada

anggota tubuh atau bagian-bagiannya denganmakna Dzat Allahyang tidak

terbagi atau tersusun.Dzat Allah terlalu tinggi untuk diserupakan dengan

jisim atau tubuh, dan terlalu suci untuk diserupakan dengan segala yang

baru. Ibnu Hazrr. menatsirkan kata istiwa' (bersemayam) dengan makna

perumpamaan.Kataistiwa'secaraetimologiberarti intiha' (sernpuma), seperti

dalam firman Allah, "Dan setelah Musa cukup umur dnn sempurna akalnya, Knmi

beikankepadanyahikmah kmabian) danpmgetaltttan..." (AlQashash: L4), yakni

sampai pada usia bertubuh kuat dan berakal semPurna.

Ibnu Hazm juga berupaya memalingkankata-kata yang oleh sebagian

kelompok dimasukkan ke dalam tasybih, tetapi tetap mengikuti tata

kebahasaan, tanpa disertai takwil. Selagi kata tersebut sesuai dengan

aturan kebahasaan yang fasih dan digunakan oleh para pakar bahasa

dalam mencari hakikat makna, hal itu masih bisa ditolerir. Yang penting

tidak sampai melibatkan aktivitas akal untuk memalingkan kata tersebut

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 667

dari makna lahiriahnya, atau memalingkannya dari dalil yang dipahami

oleh orang Arab. Kata kuncinya, tidak melibatkan aktivitas akal atau

menggunakan kemampuan akal hingga mencapai tahap yang disebut

penakwilan.

Yang dimaksud dengan makna zhahir adalah sesuatu yang dipahami

oleh orang Arab ketika pertama kali mendengarkan Al-Qur'an. Itulah

pemahaman para sahabat dan tabiin, baik berupa maiazimaupun hakiki.lsl

Makna majaziyang dimaksud di sini tidak keluar dari dalil lahiriyah yang

jelas yang menerangkan suatu makna yang tidak pantas digantikan oleh

yang lairy selagi hal itu diterima oleh ketajaman indera dan aksiomatika

akal. Atau, sesuai dengan konteks kebahasaan yang berlaku.

Ibnu Hazm berpendapat bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an bersifat

jelas dan terang, yang tidak sulit bagi akal untuk mencema maknanya. Sang

pembaca sangat mudah memahami gaya bahasa Al-Qur'an, atau mencari

pemahamannya melalui nash penjelas berupa hadis Nabi. Sungguh, Nabi

{$ telah meninggalkan untuk kita agama yang sempurna, sebagaimana

firman Allah, "Padahni ini telah Aku sempurnakan untukkalian agamakalian..."

Ibnu Hazm berpendapat bahwa di dalam Al-Qur'an tidak ada yang

mutasyabbihaf kecuali di dua tempat. Jadi, selain yang dua tersebut tidak

ada yang mutasyabbihat sama sekali. Datangnya mutasyabbihaf tersebut

berasal dari pemahaman sebagian orang yang dalam memahami nash

tidak bermaksud mencari kebenaran, atau ia ingin mencari kebenaran

tetapi dipengaruhi oleh hawa nafsu atau pendapat-pendapat sebelumnya.

Orang yang memahami nash dengan menggunakan sudut pandang yang

menyimpang, maka ia tidak akan menghasilkan penafsiran yang benar.

Menurut Ibnu Hazm, mutasyabbihat dalam Al-Qur'an yang berada

di dua tempat: Pertama, Aqsam Al-Qur'an (Sumpah-sumpah dalam Al-

Qur'an). Kedua, Huruf Al-Muqaththa'ah (Huruf-huruf Terpisah) yang

menjadi permulaan surah-surah Al-Qur'an. Ibnu Hazm berkata, "Setiap

yangmutasyabbihat di dalam Al-Qur'an, kami selalu menghindarinya dan

tidak mengikutinya. Kami mempelajari mutasyabbihaf untuk mengetahui

hakikatnya, bukan untuk mengetahui cara atau pengertiannya. Di dalam

1381 Syaikh Abu Zahrah, lbnu Hazm, hlm. 225.

668 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

Al-Qur'an, kami tidak menjumpai adanya mutasyabbihaf kecuali huruf al-

muqaththa' ah (huruf-huruf terpisah) yang menjadi permulaan surah-surah

Al-Qur'an dan aqsam al-qur'an (sumpah-sumpah dalam Al-Qur'an) yang

juga berada di permulaan surah-surah Al-Qur'an. Kami yakin bahwa

keduanya merupakan ayat mutasyabbihat yang membuat kami dilarang

mencari-cari pemahamannya. Bahkan, Nabi sendiri mewanti-wanti orang-

orang yang berusaha mencari-cari pemahamannya.l3s2

Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Ibnu Hazm berkata

di dalam kitabnya yang lain, " Ayat mutasyabbihaf di dalam Al-Qur'an

hanyalah huruf al-muqaththa' ah (huruf-huruf terpisah) dan aq sam al-qur' an

(sumpah-sumpah dalam Al-Qur'an), sebab tidak ada nash maupun ijma'

yang berupaya menjelaskannya. Adapun selain keduanya, mutlak tidak

ada ayat mutasyabbihaf di dalam Al-Qur'an.1383 Menurut Ibnu Hazm, nash-

nash keagamaan terkait dengan Dzat Ketuhanan sangatlah jelas, tidak

ada yang syubhat (samar), tidak ada tasybih (penyerupaan) dan tidak ada

tajsim (pembendaan). Karena itu, menurut Ibnu Hazm, untuk mengetahui

maknanya cukup bagi kita memahami lahiriyahnyasaja, baik yang beruPa

majazi maupun hakiki.

Sifat Kefuhanan. Persoalan sifat ketuhanan merupakan persoalan

teologis yang paling banyak dibicarakan dan menuai perselisihan di

kalangan para teolog. Bila dipelajari, perselisihan di antara mereka merujuk

pada dua faktor:

Pertama, perbedaan manhaj antara satu kelompok dengan kelompok

yang lain. Orang yang berpegang pada lahiriah nash dan tidak melakukan

upaya takwil akan menghasilkan pemahaman yang berbeda dengan orang

yang menggunakan takwil.

Kedua, adanya ayat-ayat mutasyabbihat atat corak penafsiran yang

beragam, sehingga lahir pula madzhab dan kelompok yang beragam.

Ada di antara mereka yang menetapkan adanya sifat ketuhanan, dan ada

yang menafikannya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa sifat

ketuhanan merupakan tambahan dari Dzat-Nya, dan ada yang berpendapat

bahwa sifat ketuhanan adalah Dzat Tuhan itu sendiri. Di antara mereka

1382 Ibnu Hazrr., Al-lhkam, jilid lY , hlm. 635.

1383 Ibnu Hazlr:., An-N ub dzah Al-Kafiyah, }:.lm. 67 .

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 669

ada yang memahami nash secara literal, dan ada yang memahaminya

melalui jalur lain.

Ibnu Hazm menolak pendapat yang mengatakan bahwa Allah

memiliki banyak sifat selain Dzat-Nya. Menurutnya, sifat Tuhan itu adalah

Dzat Tuhan itu sendiri. Namun banyaknya sifat yang dimiliki Tuhan tidak

seperti halnya konsep trinitas yang diyakini oleh kaum Nasrani. Dalam

hal ini, Ibnu Hazm mengajukanhujjah seperti yang dipegang oleh kaum

Mu'tazilah bahwa sifat-sifat Tuhan adalah Dzat Tuhan itu sendiri.

Ibnu Hazm berpegang pada dalil yang ditetapkan Al-Qur'an bahwa

Allah memiliki banyak sifat, seperti Al:Alim (Maha Mengetahui) Al-Hakim

(Maha Bijaksana), A l-Hayyu (Mahahidu p), Al-Qadir (Mahakuas a), As-Sami'

(Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat) dan sifat-sifat lainnya. Ibnu

Hazm berpendapat bahwa sifat-sifat tersebut disebut juga dengan Asma' Al-

Husna (Nama-nama Allah yang baik). Allah menamakan diri-Nya dengan

nama-nama tersebut. Karena itu, tidak pantas bila seseorang menyebutnya

sebagai sifat Allah. Seseorang juga tidak boleh mengira bahwa nama-nama

tersebut adalah sesuatu selain Dzat-Nya. Atau mengansSaPnya bahwa

nama-nama tersebut dengan Dzat-Nya adalah satu kesatuan. Ia menolak

orang-orang yafig berkata bahwa nama-nama Tuhan berbeda dengan

Dzat.Nya seperti pendapat Madz]rtab Al-Asy'ari,1e dan orang-orang yang

berkata bahwa nama-nama tersebut dengan Dzat-Nya adalah satu kesatuan

seperti pendapat Madzhab Mu'tazilah.lss

Ibnu Hazm berkata, "Memutlakkan kata sifat kepada Allah Azza wa

Jalla adalahperkara mustahil yang tidak diperbolehkan, karena di dalam

kitab-Nya yang diturunkan, Allah sama sekali tidak menyebutkan kata

"sifat-sifat" atau kata"silat". Di dalam hadits Nabi juga tidak ditemukan

riwayat yang menyebutkan bahwa Allah memiliki sifat atau sifat-sifat.

Bahkan, tidak ada seorang sahabat pun yang mengatakan demikian.

Semoga Allah meridhai mereka.lM

Ibnu Hazm mengisyaratkan bahwa pendapat mengenai istilah "sifat-

sifat" dan Meng-esakan Dzat dan sifat-sifat, berasal dari penakwilan

Al-Baghdadi, llshuluddin. Mathba,ah Ad-Daulah, Istanbul, cet. 1, tahun 1928 M, htm. 90'

Asy-Syahrastaru,NihayahAl-Aqdam. Tahqiq: Al-Farid Gayum. Oxford, tahun1934 M,

hlm.194.

Ibnu Hazm, Al-Fashl,jilid II, hlm. 120.

1384

1385

670 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam

Mu'tazilah, yang kemudian diikuti oleh kelompok-kelompok lain. Madzhab

Azh-Zhahiri yang dipegangi oleh Ibnu Hazm menolak adanya takwil

tersebut, karena menurutnya, takwil telah keluar dari metode ulama salaf.

Dalam hal ini, Ibnu Hazm berkata, "\ang membuat istilah "sifat-sifat"

adalah kaum Mu'tazilatr, kemudian diikuti oleh ahli kalam (teolog). Mereka

telah berjalan di jalur yang tidak pernah dilalui oleh ulama salaf yang

saleh. Kebenaran di dalam agama adalah nash yang datang dari Allah atau

dari Rasulullah, atau nash yang dishahihkan oleh ijma'.1s7Ini merupakan

sumber syariat yang diletakkan oleh Ibnu Hazm dalam Madzhab Azh-

Zhahiri di dalam persoalan sifat-sifat.

Adapun sifat-sifat yang oleh kaum Mu'tazilah dinilai sebagai sifat yang

disertakan dengan nalna Allah, seperti Al-Q adir ( arrgMerhakuasa), A s-Sami'

(Yang Maha Mendengar) dan Al-Bashir Sang Maha Melihat) merupakan

Asma' ul Husrna (Nama-nama Allah yang baik). Nama-nama tersebut termasuk

isim'nlam (kata benda yang menunjuk pada narna seseorang) yang tidak

diambil dari asal kata apapun. Tidak ada satu ulama pun yang berbeda

pendapat dalam masalah ini. Semua nama tersebut merupakan Asma Allah

,*i berdasarkan nash Al-Qur'ary hadits dan ijma' kaum muslimin. Allah

$6 berfirman, "Hnnya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-

Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah oranS-orang yang

menyimp ang dai kebenaran dnlam (menyebut) nama-nama-Nya. N anti merekn akan

mendapat balasan terhndap apa ynng telah mereka kerjakan."lw (Al-A'raf: 180).

Ulama setelah Ibnu Hazmyang sePendapat dengannya adalah Imam

Ibnu Taimiyyah (w. Tahun 728 H), seorang imam yang berhaluan salaf.

Ia berpendapat bahwa sifat-sifat tersebut sebaiknya diistilahkan dengan

Asma'(nama-nama). Ia berkata, "Ketahuilah bahwa jalan yang ditempuh

oleh ulama salaf adalah menetapkan sifat-sifat seperti yang telah ditetapkan

oleh Allah, tanpa adanya pengingkararu baik di dalam nama-nama-Nya

maupun ayat-ayat-Nya. Sungguh, Allah {lE mencela orang-orang yang

mengingkari nama-nama dan ayat-ayat-Nya. Allah df berfirman, " "Hlnya

milik Allah Asmnul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut

Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang mengingkari kebenaran

Ibnu Hazm, ibid,iilid II, hlm. 121.

Ibnu Hazm, ibid,iilid II, hlm. 150.

7387

1388

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 671

dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti merekn akan mendapat bnlasan terhadap

apn yang telah mereka kerjakan."138e (Al-A'raf: L80).

Bentuk kedekatan teologis antara manhaj salaf dan Madzhab Azh-

Zhahiri bukan merupakan hal baru. Sebagian pengkaji sejarah berpendapat

bahwa kedekatan teologis tersebut sudah lama berlangsung antara

Madzhab Hanbali dan Madzhab Azh-Zhahiri. Mereka berkata, "Imam

Ahmad termasuk pemuka ulama Madzhab Azh-Zhahiri. Begitu pula

Daud bin Ali Azh-Zhahiri, Ibnu Hazmdan ulama-ulama lainnya. Sebagian

dari ahli fikih Madzhab Hanbali generasi awal berpegang kepada hukum

Madzhab Daud Az-Zhahiri." 13%

Salah seorang pengkaji sejarah menguatkan bahwa antara Madzhab

Azh-Zhahiri dan manhaj salafi bukan sekadar terjalin kedekatan, tetapi

saling melengkapi satu sama lain. Mereka berkata, "Penganut Madzhab

Zhahiri tidak memiliki karya yang bisa dibaca untuk mengetahui

pemikiran-pemikiran mereka. Bahkan cikal bakal madzhab mereka

juga tidak diketahui kecuali dari karya-karya yang disumbangkan oleh

Ibnu Hazm. Sampai-sampai ada yang berkata, 'Barangsiapa yang ingin

mempelajari madzhab Daud Azh-Zhahiri, ia harus merujuk pada kitab-

kitab karya Ibnu Hazm Azh-Zhahiri dan karya Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyyah Al-Hanbali." 13e1

Salah seorang pengkaji sejarah juga menyebutkan di dalam kitab

peninggalan salaf bahwa pendapat di atas bersinggungan dengan

pernyataan Khatib Al-Baghdadi, "Berbicara mengenai sifat-sifat adalah

sesuatu yang diriwayatkan oleh manhaj salaf dari hadits-hadits shahih.

Hal itu ditetapkan dan dipahami dari lahiriah nashnya dengan menafikan

kaifiyah (cara) maupun tasybih (penyerupaan) dari sifat-sifat tersebut.13e2

Masing-masing dari manhaj salaf dan Madzhab Azh-Zhahiri saling

melengkapi satu sama lain dalam mengambil dalil. Misalnya, Madzhab

Azh-Zhahiri berpegang pada majaz, yang dengan manhaj tersebut mereka

1389 Ibnu Taimiyyah, Ar-Risalah At-TadmiriyyahfiTahqiq Al-Itsbat li Asma,illahiwa Shifatihi,

Kairo, tahun 1382 hlm.4.

1390

1391

1392

Lihat: Sa,id Al-Afghani, Mu qaddimah Risalah fi Al-Mufadhalah Baina Ash-Shahabat li lbni

Hazm.Mathba,ah Al-Hasyimiyyah, Damaskus, tahun 1359H/1940 N! hlm. 63.

Sa'id Al-Afghari, Muqaddimah Risalah Al-Mufadhalah, hlm. 69.

Dr. Muhammad Ba Karim Ba Abdillah, Wasthiyyah Ahl As-Sunnah baina Al-Firaq. Dar

Ar-Rayah, Saudi, tahun 1415 H, hlm. 324.

672 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam

menetapkan adanya sifat-sifat atau nama-nama Allah, tetapi menafikan

unsur tasybih (penyerupaan) dan takyif (penjelasan cara). Bisa diambil

contoh yang sudah ma'tsur misalnya kata istiwa' (bersemayam) sudah jelas

maknanya, namun kaifiyah (cara)nya tidak diketahui. Dalam hal ini, Azh-

Zhahiriyyah- khususnya Ibnu Hazm-mendekati pendapat mayoritas

teolog Ahli Sunnah y*g menerima adanya takwil dikarenakan mereka

juga menerima adanya kata hakiki dan majazi sebagaimana yang telah

kami jelaskan di depan.

Hukum Pelaku Dosa Besar

Ini merupakan persoalan klasik yang mengundang perdebatan pelik

di kalangan para teolog, sebagaimana dituturkan oleh penulis Kltab Al-

Asma'wa Al-Ahkan di dalam masalah ilmu kalam (teologi). Para teolog

berselisih pendapat di dalam masalah hubungan iman dengan amal, hingga

melahirkan madzhab yang beragam di kalangan mereka, di antaranya:

- Pandangan Madzhab Mu'tazilah dan Khawarii

Menurut mereka, iman adalah sesuatu yang diyakini di dalam

hati, diucapkan dengan lisan, dan ditunjukkan dengan perbuatan. Jadi,

mereka menyatakan adanya hubungan sinergis antara ilmu dan amal.

Mereka berkata, "seseorang tidaklah dikatakan mukmin kecuali pada saat

menyibukkan dirinya dengan keimanarl./13e3 Artinya, mereka menghimpun

hakikat iman dengan keyakinan hati, pengakuan lisan, dan pembuktian

melalui perbuatan. Dari definisi ini, mereka menganggap pelaku dosa

besar sebagai orang yang keluar dari keimanan. Sekelompok ahli hadits

generasi salaf memiliki pemikiran yang mendekati pemahaman tersebut.

Mereka mengatakan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang, dan iman

merupakan ucapan dan tindakan. Bagi mereka, istilah iman menghimpun

segala bentuk ketaatan, baik yang bersifat fardhu mauPun sunnah.l3ea

Namun demikian, mereka menilai pelaku maksiat tetap sebagai orang

mukmin, meskipun ia tergolong durhaka dan fasik.

1393 A1-Qadhi Abdui ]abbar Al-Mu,tazili, Syarh Al-Ushul Al-I(hamsah. Editor: Abdul Karim

Utsman. Maktabah Wahbah, Kairo, tahun 1965 M, hlm. 703. Lihat juga: Al-Asy,ari,

Maqalat Al-lslamiyyin, jilid I, hlm. 268.

1394 Al-Baihaqi, Al-l'tiqad ,ala Madzahib Ahl As-Salaf. Editor: Abul Fadhl Al-Ghumari'

DarAl- ,Ahd Al-Jadid, Kairo, tahun 1959 M, hlm. 130.

Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 673

- Pandangan Para TeologAhlu Sunnah dari KelompokAsy'ariyah

dan Maturidifh

Ada iuga sebagian kaum Murji'ah yang searah dengan dua kelompok

tersebut. Mereka berkata, "Iman adalah sebuah keyakinan di dalam hati,

dan iman berarti percaya kepada Allah. jadi, iman merupakan ilmu

(pengetahuan), sedangkan kepercayaan hanya diiumpai di dalam hati.13es

Namun demikiary mereka tidak berlebihan di dalam menilai amal. Menurut

mereka, perbuatan maksiat tidak sampai membahayakan keimanan,

sebagaimana perbuatan taat tidak memberikan manfaat aPapun terhadap

kekafiran.

- Kelompok ketiga meninggikan Peran ilmu dan menggugurkan

totalitas amal. Pendapat ini diusung oleh kaum Murji'ah ekstrem, dan

diikuti oleh sekelompok Syiah Batiniyah serta sebagian pengikut tasawuf

mutamnssihin y artgmeyakini bahwa sampainya seseorang ke tingkatan ilmu

yakin dapat menggugurkan dirinya dari kewajiban syariat. Alasannya,

semua perintah ibadah bertujuan menyadarkan hati untuk berupaya

mencari pengetahuan, dan jika pengetahuan tersebut sudah diperoleh,

maka ia terbebas dari kewajiban yang terkait dengan anggota lufuh.ter0

.Ibnu Hazm melalui Madzhab Azh-Zhalir-nya menolak kelompok-

kelompok di atas, dengan mengambil posisi yang dapat mencegah

terjadinya perbedaan di dalam pendapatnya. Posisi aman yang dirintisnya

adalah kembali kepada lahiriyah (literal) nash. Allah SE berfirmatr, "...

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuaht, maka kembalikanlah ia

kepadaAllah (Al-Qura'n) danRasul (sunnahnya), jikakamubenar-benarberiman

kepada Allah danHariKemudian... " (An-Nisaa':59).r3v Ini merupakan salah

satu definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm tentang makna iman.Ibnu

Hazm juga memisahkan antara masalah wa'd (1anj|)


Related Posts:

  • Ekslopedi aliran Mazhab 16 ri banyak sumber..."Jika tasawuf semacam ini tercampur dengan filsafat, ada kemungkinantelah disusupi filsafat-filsafat asing, baik Yunani, Persia, India, mauPunKristen. Meskipun begitu, tidak akan menafikan orisinalita… Read More