tidak dapat
dijadikan contoh hakiki dari pendapat Imam Ahmad, sesungguhnya hadits-
hadits ini banyak mengandung unsur mudhtharib-nya. Sebagian peneliti
melihat alasan masalah itu, sesungguhnya lmam Ahmad tatkala melihat sifat
ekstrem para muridnya Pasca mihnalt, maka dia melarang para pengikutnya
masuk pembicaraan masalah ini, sebagaimana dia melarang mereka menulis
fatwa-fatwanya dalam masalah fikih. Dia berhenti dan tidak meriwayatkan
hadits sejak dua tahun sebelum wafat. Selama masa ini pula banyak sekali
riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad yang sangat jauh
dari ilmu agama; bisa karena faktor kedhabitan $eakwatan kemampuannya
menguasai apa yang disampaikan) perawi-perawinya buruk, salah paham
atau sengaja berbohong atas nama Imam Ahmad.
Barangsiapa mengamati Kitab Thnbaqat lbnu Al-Farra-, pada biografi
Abu Al-Abbas Ahmad bin )a'far Al-Ashthakhari, biografi Abu Bakar
Al-Marwazi, Al-Atsram, Musaddad dan biografi Harb bin Ismail, maka
dia akan menemukan banyak cerita, berdasarkan jalur-jalur periwayatan
mereka, hampir sulit dapat dibenarkan jika cerita itu bersumber dari Imam
Ahmad.1126
Melihat Allah Menurut Imam Ahmad
Masalah 'ru-yalt' ini menjadi fenomena di masyarakat pada waktu
itu karena banyak dibicarakan oleh kaum Mu'tazilah. Yang dimaksud
"ru'ybh" di sini adalah melihat Allah Sr dengan indera penglihatan (mata
1.125 Lihat, Kitab As-sunnah yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad, hlm. 29. Al-
Kautsari menyebutkan bahwa hadits-hadits tentang Aslr-Shaut (fuhan berbicara) itu
dipertanyakan. Al-Hafizh Abu Al-Hasan Al-Maqdisi telah mengumpulkan hadits-
hadits tentang Ash-Shaut im dan dia sudah menjelaskan tentang kedhaifannya. Imam
Ahmad pemah ditanya mengenai kapsitas salah seorang perawi hadits ini, maka Imam
Ahmad menjawab, "Dia sering pikun ketika menyampaikan hadits riwayatnya." (Lihat
At-Ta'liq'ala As-Saif Ash-Shuqail, karya Al-Kautsari, hlm. 64.)
1126 Syaikh Zahid Al-Kau tsari, At-Ta',liq 'ala Al-Ikhilaf fi Al-Lafdhi li lbn Qutaibah. Hlm. 52.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 519
telanjang) di akhirat. Masalah ru-yah ini telah dinyatakan tidak ada oleh
kaum Mu'tazilah, karena ia melazimkansrtat jisim (fisik) bagi Allah. Ru'ynh
menurut kaum Mu'tazilah tidak berbeda dengan sifat 'al-'ilm (ilmu)'
dengan makna Al-ldrak Al-Qalbi (pengetahuan hati nurani) yang tidak
membufuhkan perantara material. Mereka menakwilkan teks-teks syariat
yang menyalahi makna ini, demi menyelaraskan metodologi mereka
secara umum, yaitu mendahulukan menakwil ayat dan mengakhirkan
mengambil makna menurut zhahir ayat, jika mengambil makna ayat
menurut zhahirnya berseberangan dengan pemahaman logika dalam kaca
mata mereka.
Adapun Imam Ahmad -juga selaras dengan metodologinya secara
umum- mengambil sesuai zhahir makna ayat yang disampaikan Al-Qur'an
dan hadits Nabawi (yang shahih) sebagaimana adanya disertai meniadakan
tamlsil dan menyerahkan hakekat-hakekatnya kepada Allah $g. Dalam
konteks ini,Imam Ahmad berkata, "Dan seorang mukmin wajib beriman
tentang adanya ru'yah pada Hari Kiamat, seperti keterangan hadits yang
telah diriwayatkan dari Rasulullah ffi bahwasanya beliau melihat Tuhan
dan hadits-hadits shahih yang lain. Sesungguhnya hadits tentang ru'yah
ini telah diriwayatkan Qatadah dari Ikrimah dari Abdullah bin Abbas aeq,
sebagaimana Al-Hakim bin Hibban telah meriwayatkannya dari Ikrimah
dari Abdullahbin Abbas, dan juga Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihran dari
Ibnu Abbas. Hadits ini menurut kami sesuai dengan makna zhahirnya,
sebagaimana ia datang dari Rasulullah. Sedangkan membicarakan
teknisnya adalah bid'ah. Kami beriman kepada kebenarannya dan tidak
akan berdebat dengan siapa pun dalam masalah iri.il7727
Masalah paling penting dalam pandangan Imam Ahmad adalah
menetapkan ru'yah itu pasti terjadi dan terbukti, tidak ada keterangan yang
menetapkan tentang tata caranya, karena urusan ini termasuk masalah gaib
yang tidak ada celah dan jalan bagi logika untuk masuk membahasnya. Ini
merupakan esensi metodologi salafi sebagaimana diperankan oleh Imam
Ahmad yang agung ini.
Tidak dapat diingkari, sikap Imam Ahmad yang ielas dalam konteks
ini bersumber dari beberapa ayat dan hadits-hadits shahih tentang ru'yah,
1127 Ibnul lauzi Manaqib Al-lmam Ahmad, hlm. 173.
520 Enslklopedi Aliran dan Madzhab dl Dunia tslam
dania memberikancontoh perspektif yangbenar, dimana logika dan kalbu
sama-sama dapat menerimanya. Yang demikian itu, karena membenarkan
eksistensinya disertai menafikan tamtsil mengukuhkan makna ini. Melalui
sikap ini, seolah-olah Imam Ahmad telah berbeda pandangan dengan
apa yang dianut oleh kaum Mu'tazilah yang meniadakan ru'yah karena
kelazimannya tidak ada. Sebagaimana dia telah berbeda pandangan dengan
kelompok Ha sy awiy ah dari musy abbihnh dan muj assimah yang membolehkan
bagi Tuhan sifat mengelus dan bersalaman. Dalam pandangan Hasyawiyah
dari musyabbihah dan mujassimah, sestrngguhnya kaum muslimin yang
ikhlas senantiasa memeluk-Nya -Mahaluhur Allah tk dari semua itu- di
dunia dan di akhirat, tatkala mereka sudah mencapai taraf tertentu dalam
riyadhah dan sudah mencapai taraf keikhlasan yang mampu menjadikan
mereka ahli dalam hal tersebut.lla
Sebagaimana Imam Ahmad lebih banyak menjaga dan memperlebar
proporsi logika dari sikap sebagian pengikut A sy'ariyah yang menetapkan
adanya ru-y ah padaHari Kiamat disertai meniadakan kelazimannya, tanpa
mereka mengakui bahwa hal itu semacam inkisyaf (keterbukaan) yang
menjadi bagian dari al-'ilm.112e
Adapun keterangan mengenai alasan-alasan di balik Imam Ahmad
dan ulama-ulama yang sependapat dengannya menetapkan adanya ru'yah
tanpa memberikan takwil, Asy-Syahrastani berkata, "Sesungguhnya kami
hanya mengambil sikap tawaquf dan tidak memberikan takwil ayat-ayat
teresebut dan hadits-hadits yang hukumnya seperti hukum ayat-ayat ini,
karena dua alasan yaifu:
Pertama; larangan sebagaimana disebutkan firman Allatu sehingga
kami memelihara diri kami dari condong kepada kesesatan.
Kedua; sesungguhnya para ulama bersepakat bahwa takwil adalah
urusan yang diduga dan akan berujung kepada zhnn (praduga), tidak yakin,
dan ini hukumnya tidak boleh diterapkan pada sifat-sifat Allah mauPun
pada selainnya dari urusan-urusan akidah."1130
1.128 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, 1. / 96.
1'129 Dr. Mahmud Qasim, Muqaddimah Al-IQsyf 'an Manahij Al-Adillah li lbn Rusyd,hlm.82
dan halaman berikutnya, Kairo, tahun 1965 M..
11.30 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-N ihal, 1 / 95.
Ensiktopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 521
Demikianlah metodologi (manhaj) Imam Ahmad. Kami gambarkan
dalam urusan akidah dengan jelas, khususnya letak-letak perbedaannya
dengan akidah sekte lain. Sesungguhnya metodologi Imam Ahmad ini
berkaitan erat dengan kebenaran teks agama, disamping mengembalikan ke
analisa logika dalam beberapa masalah tatkala kondisi mengharuskannya,
seperti sesuatu yang dapat kita melihat ketika menafsirkan firman
Allah M, "Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, "(Al-Hadid: 4)
yang bertolak belakang dengan metodologi kaum Mu'tazilah dan para
pendukungnya dari mereka yang logika lebih dikedepankan daripada
teks syariat. Sebagaimana tafsirnya berbeda dengan kaum Hasyatniyah
yang banyak mengambil zhahir teks agama tanpa menyerahkan hakekat
makna kepada-Nya, khususnya hadits-hadits Nabawi tanpa memberikan
kritik dan koreksi terhadap keabsahan sanad dan matan hadits, sehingga
mereka terj ebak pada tasybih dan taj sim (anggapan Tuhan ber-ii s im) , seperti
keterangan di depan.
Di sini muncul pertanyaan, "ApabTla metodologi ini dimisalkan
sebagai metodologi Islamiyah yang "moderat" di antara metodologi-
metodologi yang sudah ada dan meteodologi yang akan muncul di
kemudian hari, apakah orang-orang yang menisbatkan diri berpaham
salaf konsisten mengaplikasikan metodologi seperti itu?" Masalah ini yang
akan kami kupas terkait "orang-orang" yang disinyalir sudah keluar dari
metodologi salaf dari orang-orang terdahulu.
"Orang-orang" yang kami maksud di sini adalah sejumlah orang
yang mengklaim bahwa mereka menisbatkan diri mereka termasuk dalam
madrasah salaf pasca pendirinya wafat. Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa
mereka ini ada tiga orang, yaitu; Abu Abdillah bin Hamid, Al-Qadhi Abu
Ya'la, dan lbnu Az-Zaghuni serta orang-orang yang mendukung pendapat
mereka. Mereka telah melahirkan karya beberapa kitab yang dengannya telah
mencoreng paham sal#, karena mereka terjerembab pada posisi orang-orang
awam. Akibatnya, mereka membuat pemyataan tentang sifat-sifat Tuhan
sesuai jangkauan inderawi dan mereka mendengar bahwa Allah menciptakan
Adam menurut rupa-Nya. Oleh karena itu, mereka menetapkan rupa dan
wajah bagi Dzat Allah di samping menetapkan Allah mempunyai dua mata,
mulut, gigi geraham, sesuatu yang membuat-Nya senang, cahaya wajah-Nya
522 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Drrnia tslam
adalah doa-doa, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, ibu
jNi, dada, dua paha, dua tulang hasta, dan dua kaki. Mereka mengatakary
"Kami mendengar menyebut kepala." Mereka juga mengatakan, "Tuhan
dapat menyentuh dan disentuh." Bahkan sebagian dari mereka mengatakan,
"Tuhan juga bernafas." Setelah itu, mereka ridha orang-orang awam
mengatakary "Tidak sebagaimana dipahami oleh logika makhluk.z1131
Faktor penyebab mereka sampai memberikan gambaran'aneh'
dalam masalah ini, sesuatu yang membuat mereka terjebak pada tasybih
dan tajsim, meskipun mereka terbebas dari semua itu. Sesungguhnya
mereka telah mengabaikan logika yang sudah menetapkan "'asal" , yaittl
makrifatullah. Sebagaimana mereka telah melampaui batas paham Imam
Ahmad, sehingga mereka tidak membiarkan teks-teks mutasyabihaf seperti
ia datang tanpa membahasnya lebih lanjut, seperti esensi metodologi Imam
Ahmad, mensucikan Allah dari tasbih dan tajsim disertai menyerahkan
makna teks-teks tersebut dari asumsi makna zhahirnya. Akan tetapi,
mereka memberikan makna teks-teks agama ini menurut makna zhahirnya,
sehingga mereka telah memasukkan sesuatu ke dalam metodologi salaf-
seperti yang dijelaskan oleh Imam Ahmad- yang bukan dari metodologi
salaf. Akibatnya, tidak dikatakan dari Hanabilah kecuali Tuhan itu ber-
jisim.Tentang mereka ini, sungguh benar perkataan sebagian ulama yang
moderat, "sesungguhnya mereka telah mencoreng paham salaf dengan
sesuatu yang buruk, dan sesuatu itu tidak terhapus sampai Hari Kiamat.//1132
Adapun aspek-aspek kesalahan yang sudah dilakukan oleh mereka
itu ada tujuh. Imam Ibnul Jauzi telah menyebutkan tujuh aspek ini, yaitu:
Pertama; Sesungguhnya mereka menyebut khabar-khabar yar.g sudah
mereka riwayatkan menjadi "sifat", padahal hakekat khabar-khabar il:.t
di-idhafah-kan, sedang tidak setiap kata yang mudhaf itu, menjadi "sifat".
Sesungguhnya Allah d6 berfirman, "Dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku
ke dalamnya. " (Al-Hiir: 29 dan Shad:72). Sementara Allah tidak mempunyai
sifat yang bernama 'Ruh', dan sungguh, orang yang menyebut mudhaf
menjadi sifat sudah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada (bid'ah).
"1131, Daf u Syubhah At-Tasybih, karya Ibnul fauzi, hlm. 6, Kairo, tahun 1345 H.. Imam Al-
Baihaqi telah menjelaskan sisi kelemahan pendapat mereka, silahkan melihat pengantar
kitab karyanya, Al-Asma' wa Ash-Shifat.
1132 Ibnul lauzi, Daf u Syubhah At-Tasybih, hlm. 8, Kairo, tahun 1345 H..
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 523
Kedua; Sesungguhnya mereka mengatakan, "Hadits-hadits ini
termasuk mutasynbihaf, sesuatu yang tidak mengetahuinya kecuali Allah.
Oleh karena itu, kami mengamalkannya sesuai zhahirnya." Bagaimana di
sini mereka sepakat menyerahkan hakekahrya kepada Allah? Bukankah
zhahir al-istiroa'(bersemayam) itu tidak lain kecuali duduk danzhahir an-
nuzul (tuntn) itu tidak lain kecuali berpindah ke bawah!?
Ketiga; mereka menetapkan sifat-sifat bagi Allah. Sementara sifat Allah
yang hak itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan sesuatu yang sudah
Dia tetapkan untuk Dzat-Nya dari dalil-dalll qath'i.
Keempat; Sesungguhnya mereka tidak selektif ketika menetapkan sifat-
sifat Allah antara hadits masyhur, seperti sabda Rasulullah S_ ,, " Allah turun
ke langit dunia," dan hadits tidak shahitr, seperti sabda Nabi, "Aku melihat
Tuhanku dalam sebaik-baik bentuk."Bahkan mereka menetapkan dengan
hadits shahih yang masyhur ini satu sifat dan dengan hadits tidak shahih
ini satu sifat yang lain.
Aspek kelima; Mereka tidak membedakan antara hadits marfu'
(dinisbatkan kepada Rasulullah) dan hadits mauqr.L.f (dinisbatkan kepada
sahabat). Mereka telah menetapkan sifat dengan had its marfu' sebagaimana
mereka juga menetapkan sifat dengan hadits mauquf.
Keenam; mereka memberikan takwil sebagian kata pada satu tempat
dan tidak memberikan takwil pada tempat lain. Misalnya adalah sabda
Rasulullah ffi dalam hadits qudsi, "Barangsiapa dntangkepada-Kuberjalankaki,
maka Aku akan mendatanginya sambil berlari-lari kecil, "mereka mengatakary
"Tuhan telah membuat sebuah perumpamaan binatang ternak."
Ketujuh;Mereka menyikapi hadits-hadits sesuai makna yang dapat
dijangkau oleh indera manusia. Mereka mengatakan, "Tuhan turun
dengan Dzat-Nya, Dia berpindah dan berjalan-jalan."Setelah itu mereka
mengatakan, "Tidak sebagaimana yang dipahami oleh logika kita."
Mereka kemudian menganggap keliru orang-orang yang mendengar dan
membesar-besarkan indera dan logika secara bersamaan.1133
Manusia yang memperhatikan turats paham salaf melihat bahwa
karya-karya kitab dalam bidang akidah sudah banyak, namun pada waktu
1.133 Ibnul Jauzi, Daf u Syubhah At-Tasybih,lirn.8, Kairo tahun 1345 H..
524 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam
bersamaan, sebagian darinya belum sempat di-tahqiq.sebagaimana karya-
karya merupakan buah pemikiran "merespons" perkembangan yang
sedang berkembang dan menghegemoni pada waktu itu.
Kami akan mengisyaratkan sebagian ulama yang sudah menelurkan
karya clalam bidang akidah versi Ahlu Sunnah wal famaah atau paham
salaf, baik sebelum Imam Ahmad maupun sesudahnya, baik nisbatnya
ke madzhab ini dapat dibenarkan atau tidak. Kami akan menielaskan
sebagian karya-karya dalam bidang akidah yang berkarakter Hasyawiyah
dap mencoreng paham salaf, seperti keterangan Ibnul Jauzi.
Di antara ulama yang berhasil menelurkan karya dalam bidang akidah
mengikuti paham salaf sebelum Imam Ahmad adalah; Abdullah bin A1-
Mubarak, Yahya bin Said Al-Qaththan, Ibnu Abi Syaibah, Yahya bin Yahya,
Nu'aim bin Hammad, Abdullah bin Muhammad Al-ja'fi (salah seorang
guru Imam Al-Bukhari) dan Ishaq bin Rahawaih. Di antara karya yang
mereka telurkan ada yang berbentuk kitab dan ada pula yang berbentuk
risalah yang mengukuhkan metodologi salaf dan membantah orang-orang
yang berseberangan dengan paham salaf, seperti kelompok Jahmiyah dan
selainnya. Adapun kitab Ar-Radd 'ala Al-Jahmiyah wa Az-Zanndiqah yang
dinisbatkan banyak orang sebagai buah karya Imam Ahmad, maka menurut
hemat kami, penisbatan ini tidak benar.
Adapun ulama yang sukses menelurkan karya dalam bidang akidah
pasca Imam Ahmad sekaligus bantahan kepada oranS-orang yang
memusuhinya antara lain:
1. Imam Al-Bukhari dalam karyanya Khalqu Af al Al-'Ibad.
2. Ibnu Qutaibah dalam karyanya Al-lkhtilaf fiAl-Lafzhi.
3. Al-Atsram dalam karyanya As-Sunnah.
4. Hambal bin Ishaq bin Hambal dalam karyanya As-Sunnah-
5. Abu Dawud As-Siiistani dalam karyanya As-Sunnah.
6. Ahmad bin Amru Asy-Syaibani dalam karyanya As-Sunnah.
7 . Utsman bin Said Ad-Darimi dalam karyanya A r-Radd 'ala Al-lahmiyah
dan Ar-Radd' ala Basyar Al-Muraisi.
8. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam karyanya As-Sunnah.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 525
9. Ahmad bin Ali Al-Marwazi dalam karyanya As-Sunnah.
10. Muhammad bin Yahya bin Mandah dalam karyanya At-Tauhid
11.. Abu Al-Abbas bin Suraij dalam karyanya At-Tauhid.
12. Al-Khallal dalam karyanya As-Sunnah.
13. Ibnu Khuzaimah dalam karyanya At-Tauhid.
1.4. Muhammad bin Ibrahim Al-Assal dalam karyanya As-Sunnah
15. Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabarani dalam karyanya As-Sunnah.
1.6. Ibnu Hibban dalam karyanya As-Sunnah.
17. Ibnu Baththah Al-Akbari dalam karyanya Al-Ibanah
18. Allalka'i dalam karyanya As-Sunan
19. Abu Dzar Al-Anshari dalam karyanya As-Sunnah. Mereka semua
adalah ulama dari wilayah Islam bagian Timur.
Adapun ulama Islam dari wilayah Islam bagian barat antara lain:
1. Abu Amr Ath-Thalmanki dalam karyanya Al-Llshul
2. Ibnu Abdil Barr dalam beberapa karyanya yang seluruhnya membahas
seputar akidah salaf.l1e
Kitab-kitab karya mereka ini menunjukkan kepada kita bahwa gerakan
peneluran karya-karya dalam bidang akidah versi Ahlu Sunnah wal Jamaah
-dengan keterpautan masing-masing- bukanlah gerakan spontanitas,
sekadar mengikuti arus dan sebagai kilas balik atas fenomena yang sedang
terjadi di masyarakat, seperti kami isyaratkan di depan. Sebagai bukti,
di antara mereka memberi judul buku karyanya dengan tema Ar-Radd
(bantahan), khususnya yang dilakukan oleh Imam Ad-Darimi.
- Tatkala kitab-kitab ini tidak semuanya ditulis mengikuti metode Ilmu
Riutayah dan Ilmu Dirayah, sebuah metode yang dianut oleh kaum cerdik
pandai dari para pendukung metodologi salaf, maka ada sebagian kitab
yang ditelurkan tidak dengan ruh metodologi salaf.Para pengikut paham
salaf yang menelurkan karya di luar metodologi salaf, sehingga mereka
masuk dalam pembahasan tasybih dan tajsim, antara lain:
1134 Lihat pengantar 'Aqa'id As-SalaJ tahqiqDr. Ali Sami An-Nasysyar dan Dr. ,Ammar
Ath-Thalibi), penerbit Mansya'ah Al-Ma'arif, Iskandariyah, tahun 1971 M...
526 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam
1. Hammad bin Salamah
2. Ibnu Abi Al-Auja' dan Ibnu Hammad
3. Khasyisy bin Ashram. Karya-karya mereka dalam bidang tauhid ini
tidak layak.
4. Kitab As-sannahyangdinisbatkan kepada Abdullah bin Ahmad bin
Hambal.
5. Kitab As-Sznnahkarya Al-Khallal
6. Kitab As-Sunnahkarya Abu Asy-Syaikh Al-Assal
7. Kitab As-Sunnahkarya Abu Bakar bin Ashim
8. Kitab As-SunnahkaryaAth-Thabarani
g. Kitab As-Srz nnah wa Al-lama'ah karya Harb bin Ismail
10. Kitab At-Tauhidkarya Ibnu Khuzaimah.
11.. Kitab At-Tauhidkarya Ibnu Mandah.
12. Kitab Ash-ShifatkaryaAl-Hakim bin Ma'bad Al-Khuza'i
13. Kitab An-Naqdhukarya Utsman bin Said Ad-Darimi
1,4. Kitab Asy-Syari'ah karya Al-Aiiri
15. Kltab Al-lbanahkaryaAbu Nashr As-Sajazi
1.6. Kltab Al-Ibanah karyalbnu Baththah
17. Kitab Ibthal At-Ta-wilat karya Abu Ya'la
18. Kitab Dzam Al-Kalam wa Al-Faruq karya Al-Harawi Al-Anshari.ll3s
Kitab-kitab yang ditulis tidak menggunakan metode llrnu Dirayah
dan Ilmu Riwayahini senantiasaiauh dari kritik hadits dan lebih condong
menggunakan rn'yu (pemikiran). Meski demikiary ada seiumlah ulama
yang konsisten berpegang teguh dengan dasar-dasar metodologi salaf dan
memahami tujuan akhir dari metodologi salaf yang hakiki. sejumlah ulama
ini juga menemukan bahwa mereka yang berkarya tanpa menggunakan
metode llmu Dirayah danllmtt Riwayah telah menyalahi batasan-batasan
dan tabiat metodologi salaf.
11.35 Lihat pengantar syaikh Zahid Al-Kautsari di Kitab Al-Asma'wa Ash-shifat, karya Al-
Baihaqi, hlm. 1-2.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 527
Berpijak dgri situlah, maka kami melihat arah pemikiran sejumlah
ulama ini. sejumlah ulama ini merupakan pengikut Asy'ariyah salaf dan
mereka terbukti memberikan cahaya tatkala mewajibkan hukum darurat
yang demikian itu. sejumlah ulama ini kemudian melahirkan beberapa
karya untuk meluruskan karya-karya mereka yang tidak menggunakan
metode rlmu Dirayah danrlrnu Riwayah. sejumlah ulama ini antara lain
Imam Al-Khithabi, Ibnu Furak, Al-Halimi, dan Al-Isfiriyani. Karya-karya
yang ditelurkan sejumlah ulama ini diarahkan untuk memberikan kritik
kepada Al-Hasyawiyah dari mereka yang menisbatkan pernyataan kepada
para ulama ahli hadits terdahulu.
Ada pula beberapa ulama yang menelurkankarya untuk memberikan
kritik kepada orang-orang menisbatkan pemyataan kepada ulama salaf yang
moderaf seperti Ibnul ]auzi dalam karyanya Dafu syubhnh At-Tasybih dan
Al-Fakhrurrazi dalam karyanya Asas At-Taqdis.sebagaimana muncul pula
beberapa karya ulama Asy'aiyah kontemporer dalam bidang akidah yang
membuka syubhat ulama kontemporer lainnya, seperti yang dilakukan oleh
Ibnu Al-Qarsyi dalam kary artya Najm Al-Muhtada, Imam Badruddin bin Al-
Jamaah dalam karyanya Idhah Ad-Dalil, danlain-lain.l1s
Bercermin dari penjelasan ini, maka kami mengambil kesimpulan
bahwa di internal paham salafiyah ada dua alirary yaitu salafiyah hakiki
dan salafiyah jargon, dimana hakiki telah meluruskan jargon, terhitung
sejak masa Imam Ahmad sampai masa Imam Ibnu Taimiyah.
Salafiyah Menurut Ulama Muta' akhirin
Ibnu Taimiyah
Sebuah kebenaran yang tidak dapat dibantah, bahwa Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah adalah ulama terkemuka dan salah seorang pemikir
umat yang cerdas. Dia sangat serius memperhatikan urusan agama,
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kekayaanwarisan khazanah
yang diwariskan Islam, sangat luas wawasan dan pengetahuannya
dalam kebudayaan Islam dan fikitu dan ulama paling berani mengeritik
musuh tanpa belas kasihan dan tidak berbelit-belit. Metodologi yang
1136 I-ihat, Al-Madrasah As-Salafuah, karya Muhammad Nashshar, hlm. 575, Kairo,L979M.
528 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam
diterapkan dalam masalah-masalah akidah yang membentuk fotrnat ushul
metodologinya adalah sebagai berikut:
1. Kata'tauhid'memPunyai dua makna, yaitu:
Makna pertama; makna ucaPan yang ilmiah, seperti diisyaratkan oleh
ayat Al-Qur-arr, "Katakanlah (Muhammad), "Dialah Allah, Yang Mahn Esa."
(Al-Ikhlas:1)
Makna kedua; mengkhususkan maknanya dengan ibadah, seperti
diisyaratkan oleh surat Al-Kafirun.
2. Paham salaf adalah menetapkan sifat-sifat Allah 0# seperti yang Dia
tetapkan untuk Dzat-Nya sendiri dan sifat-sifat yang ditetapkan Rasulullah
ffi-, menafikan sifat-sifat bagi-Nya seperti yang Dia n#ikan untuk Dzat-Nya
sendiri dan sifat yang dinafikan oleh Rasulullah. Sifat-sifat Allah itu tidak
ada tasybih, tamtsil, tahrif (perubahan), dan tidak pula ta'thil (non-fungsi).
Dalam metodolo gi salaf, ay at yang diasumsikan bermal<na tasybih dibiarkan
sesuai makna zhahir ayat, karena zhahir dalam ayat itu adalah zhahir yang
hak menurut Allah, bukan zhahir yang hak menurut makhluk.
3. Ketetapan tentang sifat-sifat Allah ds adalah seperti ketetapan
tentang Dzat-Nya. Sedang pemyataan untuk sebagian sifat-Nya adalah
pernyataan untuk sebagian Dzat-Nya.
4. Kesamaan nama antara Allah dan makhluk tidak mengharuskan
kesamaan pada hakekat-hakekatnya, perbedaan dibatasi dengan meng-
idhafah-kan dan pemberian qayyid (batasan).
5. Takwil terhadap ayat-ayat tertentu diterapkan jika ia menyimpan
lebih dari satu makna. Sedang sesuatu yang dimakstd" tasyabbuh" di sini
adalahat-taghayyur (menentukan satu makna yang dimaksud dari makna-
maknanya).1137
Dasar-dasar ini akan kami uraikan lebih detil kemudian kami akan
mengupas permasalahan yang ada di dalamnya.
7137 Dasar-dasar ini diambil dari ringkasan Ar-Ris alah At-Tailammuiyah, hlm. 4, 11., 19 dan
24, Al-lklil, hlm. 18, dari Majmu'ah Ar-Rasa'il Al-Kubra, Juz: ll, Tafsir surah Al-lkhlas,
hlm. 105 dan123, dan Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah, 1'/249.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 529
Pokok Pertama
Merujuk pada dua makna tauhid, meskipun terjadi hubungan
kelaziman di antara keduanya, namun Ibnu Taimiyah ingin menyampaikan
sebuah makna yang sering kurang diperhatikan oleh para ulama yang
mengkajinya.
P ertama; Tauhid Uluhiy ah
Sesungguhnya tauhid Uluhiyah merupakan masalah dimana kaum
mukminin sudah bersepakat tentang hakekat ketetapannya, walaupun
mereka berbeda-beda ketika mengekpresikannya. Perbedaan ini didasarkan
pada kadar pemahaman setiap kelompok terhadap makna tauhid Uluhiyah.
Kaum filsuf menginginkan makna tauhid Uluhiyah ini dengan meng-Esa-
kan Dzat Tuhan tidak sebagaimana makna yang dimaksud oleh kaum
Mu'tazilah. Sementara makna tauhid Uluhiyahyang diinginkan oleh kaum
Mu'tazilah ini tidak sebagaimana makna yang diinginkan oleh kaum
Asy'ariyah, demikian pula kaum Al-Ittihadiyah dari golongan sufi.
Dalam masalah ini, Imam Ibnu Taimiyah berkata, "Kata tauhid,
tanzih, tasybih, dan tajsim adalah kata yang terkadang mengalami
kekaburan makna karena adanya perbedaan persepsi akibat perbedaan
istilah. Sehingga makna yang dimaksud oleh setiap golongan dari makna
sifat-sifat Tuhan ini tidak sebagaimana makna yang dimaksudkan oleh
golongan lain.
Kaum Mu'tazilah menghendaki istilah tauhid dantanzih denganmakna
meniadakan seluruh sifat-sifat bagi Tuhan, dan istilah tajsim dan tasybih
dengan makna menetapkan sesuatu dari sifat-sifat itu. Sehingga jika ada
orang berkata, "Sesungguhnya Allah dapat dilihat pada Hari Kiamat"
atau, "Allah bersifat Maha Mengetahui," maka perkataan orang itu bagi
kaum Mu'tazilah adalah tajsim.
Banyak golongan dari kelompok ahli kalam dalam kapasitasnya
sebagai ulama ahli kalam menghendaki istilah tauhid dan tanzih ber-
makna meniadakan sifat-sifat Tuhan (secara keseluruhan) atau sebagian
saja dari sifat yang bersumber dari teks-teks agama.Sedang istilah tajsim
dan tasybih bermakna menetapkan sifat-sifat Tuhan (seluruhnya) atau
sebagian saja.
530 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam
Sedangkan golongan filsuf menghendaki makna tauhid tidak sebagai
mana makna yang dikehendaki kaum Mu'taz1lah, bahkan lebih lagi, sampai
mereka mengatakary "Tuhan tidak mempunyai sifat selain sifat negatif
atau sifat idhafah atau sifat gabungan dari sifat negatif dan sifat idhafah."
Sementara golongan Al-lttihadiyah (dari kaum sufi) menghendaki
istilah tauhidbermakna Tuhan adalahwihdatulwujud (realitas tung6;al)."1138
Imam Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa mereka telah menyimpang
dari konsep yang benar dalam masalah ini, sedang kadar jauhnya mereka
dari metodologi yang benar versi agama tidak sama. Apabila Allah dalam
Al-Qur'an telah memberikan sifat kepada mereka "condong kepada
kesesatan", maka seyogianya itu ada pada tataran metodologi saja dan
pemahaman mengenai makna istilah "tauhid", bukan pada tataran hakekat
yang sudah benar, baku, dan diyakini dalam kalbu. Yang demikian itu,
karena pendapat tentang masalah sifat-sifat Tuhan, apakah ditetapkan
atau dinafikan, yangmenjadi pembahasan semua kelompok dan golongan,
tidak melazimkan kekufuran, demikianlah menurut ketetapan para ulama
alr.li tahqiq.ll3e
Kedua; Tauhid mengesakan Allah dalam ibadah, tujuan, dan
permohona n (wahdaniy ah al-ibadah wa al-qashd wa ath-thalab). Ini lebih tegas
daripada tauhid "Dzat" ,karena tauhid ini dimaksudkan membatasi ibadah
hanya kepada Allah $# semata, Dia sebagai tujuan, dan tempat mengajukan
permohonan saja. Adapun sesuatu yang bertentangan dengan ini, maka ia
adalah perbuatan musyrik yang dilarang.
Ibnu Taimiyah muncul di tengah-tengah masyarakat dan memper-
hatikan realitas umat melalui sendi-sendi dasar akidah, karena itu dia
sering memperkuat unsur tauhid dari sisi ini. Fakta ini tidak mungkin
dilakukan kecuali dia adalah sosok yang gencar melakukan syiar terhadap
apa yang membuat cacat masyarakat muslim di bidang akidah, seperti
penyimpangan-penyimpangan dari praktik akidah Islam yang benar.
Manusia tidak menyembah Tuhan Yang Haq kecuali oranS-orang yang
1138 Ibnu Taimiyah, Naqdhu Al-Mantiq, hlm. 123, Kairo, tahun 1951 M. Gambaran yang
disampaikan oleh Ibnu Taimiyah di sini tentang pandangan setiap sekte terhadap
makna tanzih adalahkurang cermat.
1139 Lihat,HasyiyahAl-Kalanbawi'ala'Aqa-idAl-'Adhdiyah,l/20o,Istambul,tahun1326H..
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 531
berpegang teguh dengan ajaran agama dengan benar. Fenomena ini tidak
akan muncul kecuali umat sudah lemah akibat pelanggaran-pelanggaran
yang membuat jiwa mereka menjadi lemah mengamalkan dan lemah
sandarannya.
Demikian pula komunitas yang mengambil perantara (wasilah) untuk
mendekatkan diri kepada Allah tB dan mereka berwasilah dengan orang-
orang untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Mereka ini adalah orang-
orang yang sudah masuk ke dalam wilayah syiril apabila aktifitas mereka
berwasilah didasari oleh keyakinan jika orang-orang Oang dijadikan
wasilah atau perantara) ini dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya.
Pokok Kedua
Barangkali fakta paling nyata yang membuat Ibnu Taimiyah
menguraikan pokok kedua ini adalah, keterangannya bahwa metode Al-
Qur'an ketika membahas tentang Allah SWT dan sifat-sifat-Nya adalah
terperinci dalam menetapkan dan global dalam menafikan. Metodologi
ini berbeda dengan metodologi yang digunakan pihak-pihak lain yang
mempraktikkan kebalikannya, global dalam menetapkan dan terperinci
dalam menafikary khususnya golongan filsuf dan kelompok Mu'tazilah.
Bahkan lbnu Taimiyah di sini menegaskan bahwa puncak dari apa yang
dimaksud oleh metodologi kaum filsuf dan orang-orang yang sependapat
dengan mereka dalam hal ini, yaitu berlebihan dalam memumikan akidah,
hasilnya adalah menetapkan wujud mutlak yang tidak mempunyai hakekat,
karena ia kembali ke wujud bersifat kalbu yang tidak mungkin dapat
diwujudkan batasan-batasannya.
Pendapat mereka ini menghasilkan puncak tamtsil danpwcak ta'thil
(non-fungsi), ia -dengan pemahaman mereka- setara dengan hal-hal yang
dilarang dan hal-hal sudah makruf, sebagaimana mereka menon-fungsikan
sifat-sifat Allah yang melazimkan peniadaan Dzat Allah.
Dengan segala hormat atas apa yang dimaksud oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam konteks ini, langkahnya adalah memerangi setiap
gambaran yang melampaui batas metode AlQur'an dalam memahami Dzat
Tuhan dan hubunganDzat dengan sifat-sifat-Nya. Hanya saja, kita -pada
waktu bersamaan- harus memahami bahwa masalah yang mendorong
532 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam
mereka berbuat demikian adalah tanzih yang mutlak bagi Allah, Tuhan
semesta alam. Apabila mereka telah berbuat kesalahan dalam uasilah di
konteks ini, maka sudah sepantasnya jika menempatkan kesalahan mereka
sebagaimana porsinya pada ruang lingkup ini.
Pokok kedua ini berhubungan dengan apa yang sudah ditegaskan
Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Tuhan, baik dalam menetapkan mauPun
menafikan, uraian Ibnu Taimiyah dalam hal ini adalah benar. Ini adalah
metodologi salaf. Hany asaja,ada pernyataan yang mengundang perhatian
kita, yaitu perkataannya, "sesungguhnya salaf telah mengamalkan
ayat-ayat mustasyabihaf sesuai makna zhahirnya." Ibnu Taimiyah lalu
memberikan penjelasan' illat-nya dengan mengatakan, "Karena zhahir
menurut hak Allah lk itu tidak seperti zhahir menurut hak kita sebagai
makhluk." sesungguhnya pernyataan ini menyimpan teka-teki, sedang
sesuatu yang diambil faedah dari perbedaan dua makna ini karena
zhahirnya. Sesungguhnya di sana ada makna zhahir dimana salaf berjalan
menyerahkan ilmu hakekatnya kepada Allah, sementara dia melihatnya
tidak seperti itu. fika yang dimaksud dia dari makna 'mustasyabih (yang
menyerupai) dalam hak Allah' itu sama dengan makna mustasyabih dalam
hak manusia -dan perbedaan di antara keduanya adalah perbedaan di
Dzat saja-, maka orang-orang yang mengatakan adanya tajsim dan tasybih,
adalah seperti keberadaan seseorang yang berkata, "sesungguhnya tangan
Muhammad itu bukan tangan Ali," meskipun pada hakekatnya keduanya
adalah sama-sama tangan. Namun apabila yang dimaksud pada hakekatrya
adalah berbeda, maka pernyataan Ibnu Taimiyah ini merujuk kembali
untuk menyerahkan hakekatnya kepada Allah, sebagaimana statemen y ang
disampaikan oleh metodologi salaf, namun dia menolaknya.
Di sini kita patut bertanya, "Apabila Ibnu Taimiyah telah memahami
zhahir atas makna yang berbeda menurut pertimbangan "bertentangan
dengan togika" yang meniadakan tamtsil antara Allah tB dan makhluk-Nya,
seperti diisyaratkan oleh firman-Nya, 'Tidak ada sesuatu pun yanS serupa
dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat'" (Asy-Syura:
11) Apakah pemahaman ini sah diiadikan kaidah universal? Atau apakah
pemahaman manusia setelah Ibnu Taimiyah terhadap makna zhahir itu
seperti apa y arrg dia Pahami?"
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 533
Jawabnya sudah pasti tidak. Begitu pula, seseorang dimungkinkan
berpendapat bahwa penjelasan Ibnu Taimiyah di sini masih menyisakan
teka-teki -seperti kami isyaratkan di depan- dan tidak menutup kemung-
kinan ada tujuan tertentu di baliknya, terlebih dia adalah sosok ulama yang
sangat luas wawasimnya. Dari bacaannya terhadap buku-buku peninggalan
ulama-ulama sebelumnya, sedikit atau banyak dia sudah terkena pengaruh
sampai taraf tertentu, tanpa terkecuali oleh paham Karamiyah.
Pokok Ketiga
Pokok ini adalah pokok paling penting yang dijadikan Ibnu Taimiyah
untuk menetapkan sifat-sifat Tuhan seluruhnya, sebagaima na Dzat Allah
dg itu berbeda dengan seluruh makhluk, maka begitu pula sifat-sifat-Nya.
Pokok ini telah membuat dia menetapkan sebagaimana yang ditetapkan
oleh teks yang shahih, baik dari Al-Qur'an maupun hadits Nabawi, setiap
kata yang kedudukannya menjadi sifat Tuhan, bahkan sampai kata yang
disandarkarysepertikataYadullaft (TanganAllah),Wajhullah(WajahAllati),
danlanbullah (sisi Allah). sebagaimana dia tidak memelihara ibarat-ibarat
manusiawi yang dipelihara oleh kelompok-kelompok yang mengingkari
sifat-sifat yang'non-fungsi' atau'penjabaran detil' yang disampaikan oleh
kaum filosuf muslim karena bertaklid kepada aliran Platoisme modern.
Tidak dapat diingkari bahwa penolakan Ibnu Taimiyah di sini telah
menegakkan metodologi-metodologi yang dianut kelompok lain di
atas dasar-dasar ilmiah, bukan dasar perasaan. Dia berkata, "Pendapat
tentang sifat-sifat Tuhan adalah seperti pendapat tentang Dzat Tuhan.
Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, tidak di
Dzat-Nya, tidak di sifat-sifatNya, dan tidak pula di aktifitas-aktifitasNya.
Apabila Dia mempunyaiDzathakiki yang tidak serupa dengan makhluk,
maka Dzat mempunyai sifat dengan sifat-sifat hakiki, tidak sama dengan
sifat-sifat makhluk./i140
Manusia tidak mengetahui ilmu hakekat sifat-sifat ini merupakan
cabang dari tidak mengetahui hakekat Dzat Tuhan. Berpijak dari situ,
maka wajib hukumnya menetapkan apa yang sudah ditetapkan oleh Allah
untuk Dzat-Nya dan apa yang sudah tetapkan oleh Rasulullah tanpa ada
1140 Ibnu Taimiyah, Ar-Risalah At-Tadammuriyah, hlm. 27 .
534 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam
perintah untuk membahas tentang tata caranya. Menurut Syaikul Islam
Ibnu Taimiyah, masalah ini berlaku untuk semua masalah-masalah terbatas
yang tidak diberitahukan oleh Allah mauPun Rasulullah. Dalam konteks
ini, tidak ada kesulitan kecuali dalam masalah sifat-sifat yang disebutkan
khabar,yaitu sifat yang menunjukkan teks-teks yang diasumsikan bermakna
tasybih, seperti yang akan kita lihat pada pembahasan berikut ini.
Di sini lain, Ibnu Taimiyah telah menegaskan bahwa menafikan
sifat-sifat atau sebagian dari sifat-sifat Tuhan, seandainya mereka
diminta menciptakan peraturan yang benar dan lurus untuk aktifitas ini,
tentu mereka tidak akan mungkin dapat melakukannya. sesungguhnya
menafikan seluruh sifat Tuhan mengharuskan sebuah akhir mereka
meniadakan sifat positif bagi Tuhan, walaupun yang demikian itu dalam
gambaran kalbu, seperti slfat " wajibul wujud" versi kaum filsuf, sifat Maha
Mengetahui dan Maha Berkuasa versi mayoritas kaum Mu'tazilah, sifat-
stfat Ma'ani versi Asy'ariyah, bahkan versi kaum kebatinan yang ghuluw
(ekstrem) sekali pun.
Kaum kebatinan (Bathiniyah) mengatakan, "sesungguhnya Allah
tidak mempunyai sifat dan tidak dapat diberi sifat." Karena masalah ini
maflrum-ny amenyimpan makna-makna positif menurut kualitas pendapat
kami, ,,Kami bersikap tawaquf dari menetapkan adanya sifat dan dari tidak
adanya sifat." Dengan pemahaman ini, maka mereka seluruhnya telah
masuk dalam masalah dimana mereka berupaya lari darinya. Dari situ,
maka tujuan mereka tidak dapat terwujud, yaitu penjelasan tentangDzal
atau Dzat tidak serupa dengan makhluk seluruhny4 terlebih yang demikian
itu terdapat tasybih terhadap sesuatu yang tidak ada.1141
Apabila Ibnu Taimiyah sudah menyampaikan pendapatnya -seperti
keterangan di depan- bahwa pembahasan di sebagian sifatTuhanitu seperti
pembahasan di sifat-Nya yang lain, maka pembicaraannya di sini meruPakan
bantahan atas meniadakan sifat-sifat yang disampaikah oleh khabar-khabar,
seperti yang disampaikan oleh mayoritas ulama salaf, khususnya kaum
Asy'ariyah dan ulama-ulama yang sePendapat dengan mereka.
Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyah berkata, "]ika manusia yang
menerima kh ithab terrrasuk orang yang berkata bahwa Allah itu Mahahidup
1.141 Ibnu Taimiyah, Ar-Risalah At-Tadammuiyah, hlm. 23.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 535
dengan Kehidupan-Nyu, Maha Mengetahui dengan llmu-Nya, Maha
Berkuasa dengan Kekuasaan-Nya, Maha Mendengar dengan Pendengaran-
Nya, Maha Melihat dengan Penglihatan-Nyu, Maha Berfirman dengan
Firman-Nya dan Maha Berkehendak dengan Kehendak-Nya. Jika orang
tersebut menjadikan semua ini seluruhnya adalah sebuah hakekat, namun
dia meragukan cinta Tuhary ridha, murka dan benci-Nya, kemudian dia
menjadikan semua itu sebagai majaz lalu menafsirkannya, barangkali
dengan kehendak-Nya atau dengan sebagian makhluk dari nikmat-nikmaf
maka dikatakan kepada orzrng ini, "Tidak ada perbedaan antara sesuatu
yang Anda nafikan dan sesuatu yang Anda tetapkan. Bahkan pendapat
dalam masalah pertama adalah seperti masalah kedua." Apabila dia
berkata, "Sesungguhnya kehendak-Nya tidak seperti kehendak seluruh
makhluk." Maka dijawab, "Sesungguhnya cinta-Nya juga seperti itu." Jika
dia berkata, "Sesungguhnya Dia mempunyai kehendak yang layak bagi-
Nyu." Maka dijawab, "Demikian pula Dia mempunyai cinta yang layak
bagi-Nya, semenatara makhluk mempunyai cinta, ridha, dan marah yang
layak bagi rr,.ereka.' " 7742
Apabila diperhatikan, maka sesungguhnya Ibnu Taimiyah di sini telah
mengurai kesalahan yang dilakukan oleh mereka seluruhnya. Kesalahan
mereta itu adalah mereka melihat sifat-sifatTuhan dari kaca mata manusia,
seperti penjelasan di depan.
Pokok Keempat
Pokok ini berkaitan dengan literatur bahasa dan ia seperti pintu masuk
akidah. Sudah disepakati bersama bahwa"kata" jika berdiri sendiri, maka
ia termasuk kata musytarak' am.
Ibnu Taimiyah berkata, "Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
sesuatu yang ada di semesta alamada kalanya bersifatqadim, Dia wajib ada
dan keberadaan-Nya karena Dzat-Nya sendiri, dan ada kalanya bersifat
huduts, ia tidak wajib ada dan keberadaannya karena ada yang mencipta-
kannya, sehingga ia bisa ada dan bisa pula tidak ada. Sudah maklum jika
huduts diciptakarg maka ia akan ada. Namun adanya huduts dan qadim
1'I..42 Ar-Risalah At-Tailammuiyah, karya Ibnu Taimiyah, hlm. 23. Perbedaan antara Ibnu
Taimiyah dan kaum Asy'ariyah, sesungguhnya IbnuTaimiyah menjadikan kataidhafah
sebagai sifat, dan sifat ini adalah qadim sebagaimana qailim-nya Dzat Tuhan.
536 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam
tidak lazim bagi keduanya itu sama, walaupun keduanya sama-sama
ada. Bahkan adanya qadim memiliki keistimewaan tersendiri dan adanya
huduts jugamempunyai keistimewaan sendiri. Kesamaan keduanya disebut
dalam bingkai umum "ada" tidak menjadikan sebuah keharusan bahwa
adanya keduanya itu sejenis untuk menyebut nama sesuatu ketika sesuatu
itu disandarkan kepada-Nya, baik dengan cara di-idhafah-kan, takhshish
(dikhususkan), atau di-taqyid (dibatasi)."
Ibnu Taimiyah dalam konteks ini telah memaparkan beberapa
kesaksian dari ayat-ayat Al-Qur'an yang membicarakan tentang sifat
"Hidup" bagi Allah d* dan "hidup" bu{sebagian makhluk-Nya. Sebagai-
mana direpresentasikan bahwa apa yang sudah ditegaskan dia di sini
sebagai standar baku yang berlaku secara menyeluruh untuk seluruh
nama-nama dan sifat-sifatNya.
Dari uraian ini, terkadang seseorang memahami bahwa perbedaan
yang diakibatkan adanya pengkhususan dengan meng-idhafafu-kan atau di-
tnqyid, tidak dimaksudkan menimbulkan banyak perbedaan terkait dengan
Dzat dan pribadi disertai penyatuan dalam An-nlu'(macam/species) dan
al-jins (jenis/genus), dan hal ini akan mengantarkan ke arah tasybih yang
ditolak Ibnu Taimiyah dan para ulama salaf, baik sebelum Ibnu Taimiyah
maupun setelahnya.
Dengan begitu, maka dia belum mengurai polemik masalah yang
masih rumit dipahami. Hanya saja, sesungguhnya dia sudah menjelaskan
bahwa "wujud mutlak"' itu adanya di dalam dzihni (hati nurani) saia.
Adapun wujud yang ada di luar, maka ia adalah untuk masing-masing
satuan-satuan. Sebagaimana dia sudah menegaskan b ahwa al-musytarak adz-
dzihintidak dari al -mutawathi, yaitu kata yang setiap satuannya adalah sama,
seperti dikatakan para pakar Ilmu Mantiq, bahkan ia dari al-musyakkak,
yaitu kata yang setiap satuannya adalah berbeda-beda.l143
Pokok Kelima
Dalam pokok kelima ini, Ibnu Taimiyah memberikan batasan
memahami makna "zhahir, muhkam, mutasyabih (sesuatu yang mengandung
keserupaan) dan takwil".
11.43 Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah, 2/ 65, Kairo, tahun 1321 H.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 537
Menurut Ibnu Taimiyah, makna suatu kata menurut bahasa maksud-
nya adalah makna hakiki kata tersebut dalam tinjauan bahasa. Sebuah
kata tidak dapat diberi makna zhahir sebagaimana digunakan dialek
kaum tertentu berdasarkan kebiasan masing-masing tatkala mereka
menggunakan kosa-kata itu dengan makna berlainan, khususnya setelah
dialek Arab sudah banyak dipengaruhi oleh dialek non-Arab seiring
perkembangan wilayah dan pemeluk Islam.
Sebagai contoh, seseorang tidak dapat mengklaim bahwa makna zhahir
dari kata "al-yad" adalah anggota badan, seperti asumsi kaum pemberi
takwil. Akan tetapi, zhahir makna " al-yad" adalah hakekat maknanya dalam
tinjauan bahasa. Apabila kata "al-yad" hakekat maknanya menurut tinjaun
bahasa bukan " anggota badan", jika dilihat berdasarkan konteks kalimat
yang digunakan, maka kami berkeyakinan bahwa perbedaan antara Ibnu
Taimiyah dan kaum pemberi takwil adalahklilaf lafzhi (perbedaan bahasa)
saja. Yang demikian itu, karena kata "al-yad" hakekat maknanya dalam
tinjauan bahasa mempunyai beberapa makna, antara lain: Pertama, kata
itu bermakna kekuatan dan kemampuan/ seperti firman Allah,"Danlangit
IGmi bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya. "
(Adz-Dzariyat: 471. Kedua, bermakna patuh, seperti firman Allah,"...
hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk."(At-Taubah: 291. Ketiga, ia bermakna nikmat, seperti kata
penyair, " Sungguh agung nikmat yang Dia limpahkan kepadaku / Aku berupaya
rnenghitung, namun aku tidak mampu. Keempat, bermakna sebagai penguat
perbuatan yang dilakukan subyek, seperti dikatakary "Hadzama qaddamta
yadaka (ini adalah hasil perbuatan kamu)."114
Adapun memutlakkan kata " al-yad" bermakna (tangan sebagai)
anggota badan yang sudah dikenal, maka makna ini dari penggonaanmajaz
atau menurut'urf (adatkebiasaan). Apabila Ibnu Taimiyah tidak mengakui
makna majaz, maka ini artinya dia tidak bermaksud menghapus kata dari
makna-maknanya selain memperhatikan makna-makna yang disebutkan
Al-Qur'an, supaya kaum pentakwil tidak bermain-main dengan kata-
kata, khususnya kata yang berkaitan dengan urusan akidah. Sungguh, ini
merupakan tujuan mulia yang ingin direalisasikan Ibnu Taimiyah.
11.M Mukhtar Ash-Shihhah, hlm. 741.
538 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam
Hanya saja, kami tidak lupa mengingatkandi sini bahwa kebanyakan
pakar bahasa Arab melihat bahwa ketika suatu kata digunakan dan ia
bermakna bukan sebagaimana makna hakikinya, namun makna yang bukan
makna hakiki ini sudah masyhur dikenal di antara manusia, maka makna
(bukan hakiki) ini dengan kekuatannya menjadi makna hakiki kata itu
meskipun sebelumnya makna itu bukan makna hakikinya.llas lni artinya,
sesungguhnya makna zhahir yang sudah dikenal oleh'urf masyarakat
adalah makna tidak tetap.
jika masalahnya seperti ini, maka pendapat mengambil kata-kata
Al-Qur'an sesuai makna zhahirnya terkadang dapat diasumsikan tasybih,
dan faktor inilah yang membawa para penakwil mengalihkan makna
suatu kata dari makna zhahirnya. Sehingga perbedaan yang muncul
antara Ibnu Taimiyah dan para pentakwil adalah perbedaan antara orang
yang melihat ke bahasa dari segi makna asal sebuah kata dan orang yang
melihat ke bahasa dari segi keberadaan makna kata itu (walaupun bukan
makna asal dari kata itu) di masyarakat, karena bahasa tidak digunakan
dalam kekosongan. Sedang teknik penggunaan kata dalam berbahasa tidak
bergantung pada masalah tertentu.
Adapun muhkam bagi Ibnu Taimiyah, ketika ia disebutkan secara
mutlak, maka maknanya ada tiga, setiap bagian dari ketiganya berlawanan
dengan unsur tasybih, yaitu:
L. Hukum yang diturunkan Allah secara hakiki, sedang lawannya
adalah sesuatu yang dibisikkan oleh setan ke dalam kalbu hamba-hamba-
Nya, kemudian Allah- menghilangkan dan menghapus bisikan setan ini
dari kalbu mereka. Ayat Al-Qur'an yang mengisyaratkan makan ini adalatu
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum
engkau (Muhammad), melainkan apabila dia mempunyai suatu keinginan, 1146
setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam keinginannya itu. Tetapi Allah
menghilangkan apayang dimasukkan setan itu, dan Allah akan menguatkan nyat-
ay at-N y a. " (Al-Haj j : 52)
1145 As-Suhail| Nata-ij Al-Fika hlm. 238.
1146 Sebagianmufassir mengartikan tamanni dengan "membaca" danumniyyntihi dengan
"bacaannya". Maksudnya, apabila Nabi $ membaca suatu ayat yang isinya
memberikan peringatan kepada orang-orang kafir, mereka segera mengikuti bacaan
Nabi dengan tambahan kata-kata yang membenarkan keyakinan mereka.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 539
2. Hukum yang diturunkan Allah yang bersifat tetap, lawannya adalah
mansukh (dihapus) yang hukumnya dihilangkan.
3. Membedakan dan menjelaskan makna. Membedakan di sini adalah
membedakan hakekat yang dimaksud dari selainnya, supaya tidak ada
tasybih di dalamnya.llaTDalam konteks ini, ia (hakekat yang dimaksud
ini) merupakan sesuatu yang dimaksud ayat. Hanya saja,Ibnu Taimiyah
belum menjelaskan hakekat keserupaan yang berlawanan dengan bagian
ini, walaupun dapat dipahami bahwa maksud Ibnu Taimiyah adalah kata
yang mempunyai makna lebih dari satu, seperti dhamir jamak (kata ganti
yang menunjukkan makna banyak), katamusytarak al-lafzhi dan beberapa
kata mutazaathi' .116Httkum semua kata yang termasuk dalam kelompokini
adalah dengan menjelaskan apa yang dimaksudl al-khaij(di luar) dan
memberikan identifikasinya.
Adapun pembahasan Ibnu Taimiyah tentang takwil, maka dia telah
berbeda pendapat dengan orang-orang yang berpandangan bahwa takwil
adalah mengalihkan makna kata dari makna zhahirnya untuk makna
tertentu yang dikandungnya. Namun menurut Ibnu Taimiyah, yang benar
takwil itu mempunyai dua makna, yaitu:
Pertama; tafsir pembicaraan firman Allah dengan menjelaskan
maknanya.
Kedua; sama dengan maksud pembicaraan (firman Allah) itu. |ika
ayat berbentuk thalab (permohonan), maka takwilnya adalah perbuatan
yang terkandung di dalam thalab itu sendiri. Sedang apabila ia berbentuk
khabar, maka takwilnya adalah sesuatu yang terkandung di dalam khabar
itu sendiri.
Apabila kita aplikasikan pemahaman lbnu Taimiyah terhadap
dua makna takwil ini, khususnya makna kedua atas sebagian masalah
keyakinan, maka kita akan menemukan kejelasan bahwa seluruh masalah
yang dipandang mayoritas kelompok dan golongan bahwa ayat-ayat
mutasyabihaf adalah masalah yang tidak mengetahui hakekatnya kecuali
Allatu maka tidak demikian dalam pandangan Ibnu Taimiyah Bagi Ibnu
11.47 Al-lklil,hlm. 807.
1748 Al-Iklil, hIm.807.
540 Ensiklopedi AJiran dan Madzhab di Dunia lslam
Taimiyah, ayat-ayat mutasyabihaf hanya terbatas pada tata cara hakekat-
hakekat dari urusan-urusan Tuhan dan masalah-masalah sam'iyah secara
umum, karena ini adalah sesuatu yang tidak mengetahui hakekatnya
kecuali Allah, sedang memberikannya takwil akan menghasilkan makna
hakikinyal al-kharij.
Kita patut bertanya, "Apabila Ibnu Taimiyah menolak takwil dalam
arti mengeluarkan kata dari makna zhahirnya untuk makna tertentu yang
dikandungnya, dia melihat sikap ini adalah sikap ideal yang diperankan
oleh metodologi salaf, maka apakah dia melihat bahwa menahan diri dari
membahas hakekatnya, menyerahkan keilmuannya kepada Allah saja
dan membiarkan teks-teks mustasyabihaf sebagaimana datangnya tanpa
membahas dan mengk aiiny a? "
]ika diperhatikan apa yang sudah dia tegaskan di sini, maka yang
terlihat adalah sebaliknya. Ibnu Taimiyah juga berpandangan bahwa
dia secara sukarela ingin mengawal metodologi salafi mengikuti
pemahamannya yang khusus. Di antara bukti atas pernyataan ini, jika kita
membuka kamus-kamus bahasa Arab yang mengacu ke makna zhahir suatu
kata, maka kita akan menemukan kejelasan bahwa sebagian pernyataan
Ibnu Taimiyah adalah benar, sedangkan sebagian lagi tidak benar. Untuk
lebih mudahnya, mari kita masuk dalam contoh beberapa kata berikut ini:
1. Kata al:ainjika diucapkan secara mutlak, maka maknanya adalah
sebagai berikut: indera penglihat -sumber mata air, bola matahari- uang
dinar -y7ng mumi- dan sesuatu yang sama dengannya, seperti kita berkata,
"Hadza asy-sya'i- huwahuzaa (ini adalah sesuatu yang sama dengan itu)."n'
D ilalah- dil alah int seluruhnya menunjukkan makna-m ak na kata al : ain
dari dilalah maknanya secara zhahir. Jika demikian halnya, maka makna
yang manakah yang dimaksud Ibnu Taimiyah yang dimutlakkan kepada
Allahdg? Tidak ada keraguan, sesungguhnya masalah di sini terbatas antara
makna pertama dan makna kedua.Jika dia menghendaki makna pertama,
maka dia telahmujassim, jlkadia menghendaki makna kedua, maka tidak
ada perbedaan antara dia dan para pemberi takwil, sehingga kegigihannya
menolak takwil tidak ada artinya.
1'L49 Mukhtar Ash-Shihhah, hlm. 466.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 541
2.Kata as-saqjika diucapkan secara mutlak, maka makna-maknanya
menurut bahasa adalah sebagai beriku! tulang betis kaki, berkobar dengan
dahsyat seperti dalam perkataary " Saq asy-syajar (pertengkaran meletus
sangat dahsyat)", perkataan, "Qamat al-harb 'ala saqin (pertempuran
berkobar dengan dahsyat), "dan seperti dalam firman Allah, "(lngatlah)
pada hari ketika betis disingkapkan " (Al-Qalam: 421 dan ungkapan, "Saqah
al-jaisy ai mu'akhiratuh (pasukan pejalan kaki, maksudnya pasukan bagian
belakang)."11s Dari makna-makna ini, makna manakahyang dimaksud oleh
Ibnu Taimiyah? Tidak ada keraguan bahwa makna berkisar antara makna
pertama dan makna dahsyat sebagai makna kinayah (kata kiasan)nya. Jika
yang dimaksud adalah makna pertama, maka dia telah mujassim -seperti
dalam kata al-'ain-. Namun jika yang dimaksud adalah makna kedua,
maka dia telah melakukan takwil sebagaimana makna yang dimaksud
oleh musuhnya. Terserall apakah dia memutlakkan kepada dirinya sendiri
apa yang dikehendakinya dari gelar 'Al-Mubin (Penjelas)' , 'Al-Mufassir
(Penafsir)' atau' Al-Muwadhdhif (penjelas)' sepanjang perbedaan dalarn
urusan ini tidak mengubah eksistensi masalah sedikit pun.
Masalah ini kemudian berkesinambungan dengan sikap Ibnu Taimiyah
yang membagi bahasa ke makna hakiki dan majaz dan dia mengingkari
yang.kedua (majaz). Karena pembagian bahasa ke hakiki danmajaz akan
melazimkan jika kata-kata itu pertama-tama diletakkan untuk beberapa
makna. Setelah itu, dalam pengaplikasiannya, jika kata itu digunakan untuk
makna sebagaimana ia diciptakary maka dilalah-nya adalah menunjukkan
sebuah makna tertentu sebagai dilalah hakikinya, jika tidak, maka dilalah-
nya adalah majaz.
Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa kata-kata yang diciptakan,
sebelum digunakan, maka ia tidak mempunyai makna hakiki mauPun
majazi, karena istilah yang menunjukkan dilalah kata tertentu atas makna
tertentu adalah sesuatu yang bertentangan dengan fitrah. Berpijak dari situ,
maka dia menolak masalah-masalah yang bersifat istilah secara umum.
Dia berpandangan bahwa masalah-masalah yang bersifat istilah adalah
tahakkum (menetapkan sesuatu secara sepihak), sedang di sinilah letak
kami tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah.
1150 Mukhtar Ash-Shihhah, hlm. 222.
542 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam
Sesuatu yang menakjubkan, sesungguhnya di sini dia mengutip
firman Allah $5,
" .. . kemudian keduanya mendapatkan dinding rumnh yang hampir roboh (di
negeri itu),lalu dia menegakkannya." (Al-Kahfi: 77)
Ibnu Taimiyah melihat bahwa kata" al-iradah" terkadang digunakan
untuk makna condong yang diiringi oleh Perasaan, dan itu adalah
kecondongan manusia. Dan, condong yang tidak disertai oleh perasaan dan
itu adalah kecondongan benda-benda mati. Sesuatu yang mengherankan
di sini adalah dia tidak mengakui adanya perbedaan di antara kedua
penggunaan ini.11s1 Padahal tanpa banyak pemikiran, dia mengakui adanya
perbedaaan di antara keduanya. Sehingga jika dia tidak mengakuinya,
maka itu adalah sebuah kesombongan. Namun jika dia mengakuinya maka
penolakannya membagi bahasa ke hakiki dan majazi tidak ada artinya.
Jika demikiary maka penolakannya terhadap takwil juga tidak ada artinya.
Sesungguhnya Al-Qur'an telah mencakup kata-kata yang menunjukkan
penggunaan kata dari makna hakikinya, sesuai situasi dan kondisi, dan ini
merupakan keterangan nyata dari gambaran yang sudah dibedakan oleh
Kitab Suci (Al-Qur'an) ini. Sesungguhnya Al-Qur'an telah meletakkan
sesuatu yang dirasa di tempat sesuatu yang dilogika, seperti ayat di depan,
meletakkan sekarang di tempat masa akan datang, seperti, "Parapenghuni
neraka menyeru para penghuni surga... " (Al-A'raf: 50)
Al-Qur'an juga telah memberikan gambaran dengan meletakkan masa
yang akan datang di tempat masa lalu, seperti dalam firman A1lah,
"Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang
telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat
kepadanya.... " (Al-Ahzab: 371
Semua ini seluruhnya, bagi Ibnu Taimiyah tidak dimaksudkan sebagai
satu kesatuan hakekat menurut bahasa dimana dilalah-nya menunjukkan
atas makna tertenfu .11s2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah mengaplikasikan metodologinya
ini, yaitu dia tidak mengakui adanya majaz dantakwil -dan atas dasar itu-
1L5L Al-lman, hlm.43, Kairo, tahun 1325 H..
1152 Lrhat, Asrar Al-Balaghah, karya Abdul Qahir Al-rutiatti, trlm. 284, danTalkhish Al-Bayan fi
Majazat Al-Qur'an,karya Asy-Syarif Ar-Ridha (W. a06 H.) hlm. 215, Kairo, tahun 1955 M.'
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 543
menyikapi kata-kata seluruhnya berdasarkan makna zhahirnya, karena
zhahir menurut Allah itu tidak zhahir menurut manusia. Hal itu berlaku
atas semua teks-teks agama yang dapat diasumsikan tasybih disamping
hal-hal yang sudah kami paparkan di depan ditambah persyaratan tanzih
(mensucikan Allah) dan larangan mengqiyaskan sesuatu yang gaib dengan
sesuatu yang nyata.
Di antara aplikasikanya adalah memahami makna arah, yaitu ketika
dia bersinggungan dengan ayat al-istiwa'ala al-'arsy yang memberikan
pengertian zhahirnya tempat. Demikian pula ketika bersinggungan dengan
hadits tentang Turun-Nya Tuhan dan teks-teks agama yang lain dalam
makna ini. Anehnya, Ibnu Taimiyah yang berpegang teguh dengan paham
salaf, dia menegaskan di banyak tempat bahwa mereka (para ulama salaf)
tidak membicarakan masalah-masalah ini, tidak menafikan dan tidak pula
menetapkan.
Di penghujung pembahasan tentang akidah menurut Ibnu Taimiyah
ini, kami menegaskan bahwa sesungguhnya Ibnu Taimiyah merupakan
sosok tokoh yang brilian, berdedikasi tinggi,dan gigih memperjuangkan
Islam. Namun sayang, sepak terjang para pengikut paham lain telah
memperburuk citranya, sampai setiap paham mengklaim bahwa hanya
pahamnya yang benar, sedangkan paham selainnya salah.
Ibnu Taimiyah telah berupaya kembali padaushul-ushul metodologi
salaf, namun tidak dengan menyerukan manusia supaya menyerahkan
urusan teks-teks yang dipandang musykil kepada Allah. Sesungguhnya
akidah salafiyah lebih elok apabila ia terjauhkan dari pendalaman yang
banyak dicampuri kesamaran, karena ia (pendalaman yang banyak
dicampuri kesamaran) dalam urusan ini terkadang dapat memadamkan
cahayanya dari kalbu. Hendaknya seseorang menelaah teks-teks agama
yang dipandang logika'musykil' dengan kaca mata iman dan berserah
diri, tidak dengan memberikan penafsiran mengacu ke makna zhahirnya,
karena barangkali ia telah melampaui metodologi salafi dalam format
gambarannyayangsuci. Inilah sekelumit pemaparan yang dapat diambil
dari Imam Ibnu Taimiyah yang agung ini.
Sebenarnya kami ingin melengkapi gambaran metodologi salaf
menurut ulama pasca Ibnu Taimiyah, seperti menurut Ibnu Qayyim
544 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam
Al-Jauziyah, Adz-Dzahabi, Ibnu Rajab Al-Hanbali, Ibnu Abdil Hadi,
Muhammad bin Abdil Wahhab dan sampai ulama pada zarnan kita
sekarang ini. Hanya saja, uraian yang sudah kami paparkary kami rasa
sudah cukup untuk melukiskan simbol-simbol metodologi ini menurut
'sala(. Mtireka inilah yang kami maksud dalam pembahasan ini dengan
istilah "orang-orang yang konsisten berpegang teguh" dengan teks yang
shahih, mereka mengamalkan ayat-ayat muhkam-nya dan menyerahkan
mutasy abihaf hakekat ilmunya kepada-Nya.
Sesungguhnya salafiyah hakiki adalah seperti diperankan oleh Imam
Ahmad. Setelah itu, muncul para penyeru paham salafiyah seperti Abu
Hamid, Abu Ya'la, Ibn:u Az-Za'azni dan orang-orang yang sejalan dengan
manhaj dari orang-orang yang ghuluzo, mereka berpegang dengan makna
zhahir teks-teks agarr.a, namun berpaling dari metode Ilmu Dirayah dan
Ilmu Riwayah.Mereka datang semasa dengan Imam Ahmad atau pasca
Imam Ahmad, mereka memproklamirkan menisbatkan diri mereka ke
paham Imam Ahmad. Di antara orang-orang ekstrem adalah orang-orang
yang sudah kami sebutkan namanya di depan.
Setelah itu, salafiyah muta'akhiin yang diperankan oleh Ibnu Taimiyah
disertai keterangan sejauh mana manhajnya dan manhaj murid-muridnya
serta orang-orang yang menisbatkan diri mengikuti pendapat Ibnu
Taimiyah dari dekat maupun dari jauh dalam mengikuti paham "salafiyah"
hakiki yang diperankan oleh Imam Ahmad."
Dr. Muhammail Ab ilul S attar N ashshar
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 545
SYIAH
Arti Syiah
KATA "SYIAH' dari sisi bahasa diambil dari kata "Sya'a-yasyi'u- syiya'an-
syuyu' an, artinya menyiarkan dan menyebarkan. Dikatakan, " Syi' ah ar-raj ul
ai atba'uhu uta ansharuhu (Syiah seseorang, artinya pengikut dan pendukun-
gnya)."u'Kata Syiah berbentuk tunggal, bentuk jamaknya adalah Syiya'un
sementara bentuk jamaknya adalah Asyya'un.
Asal istilah kata "Syiah" adalah sekelompok manusia yang memisah-
kan diri. Kata Syiah digunakan untuk seorang, dua orang atau lebih, baik
mu dz akar atat m u' annat s, bentuk katanya adalah sama.11s
-Kata "Syi'ah" berasal dari kata Al-Musyaya'ah, artinyapengikut. Ada
yang mengatakan bahwa kata Syiah berasal dNikata Syau)laa' a Qaumahu idza
lama'ahum (menggalang kaumnya dalam arti mengumpulkan mereka).llss
Kata Syiah dalam Al-Qur'an
Kata "Syiah" disebutkan dalam Al-Qur'an sebanyak dua belas kali
dan artinya adalah sekelompok manusia, seperti dalam firman Allah &,*,
"sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
menjadi (terpecah) dalam golongan-golongnn, sedikit pun bukan tanggung
jawabmu (Muhammad) atas mereka." (Al-An'am: 159)
1153 Al-Fairuz Abadi, Majd Ad-Din Muhammad bin Ya'qub Al-Qamus Al-Muhith,32/ 61-62,
materi "Sya'a", penerbit Dar Al-Kutub Al-'Ilmiatu Beirut, tahun 1955 M..
1154 Abu Manzhur, Abu Al-Fadhl jamaluddin Muhammad bin Mukrim Al-Anshari, Lisan
Al- Arab,10/55, materi " Sya'a" , penerbit Al-Amiriya[ Kairo, tahun 1303 H..
1155 Muhammad Al-Murtadha Az-Zubaidi, Taj Al-'Arus min lawahir Al-Qamus,8/405,
penerbit Al-Amiriyah, Kairo, tahun 1307 H.. Silahkan melihat kamus-kamus bahasa
Arab yang lain.
546 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam
Kata "Syiah" dengan arti umat, seperti dalam firman Allatu
"... dari setiap golongan siapa di antara mereka yang sangat durhaka."
(Maryam:69)
Dan firman-Nyu,
"Dan sungguh, telah Kami binasakan orang yang serupa dengan kamu
(k ekafir anny a). " (Al-Qamar: 51 )
Syiah Menurut Istilah
Termasuk kesalahan besar, berpendapat bahwa di sepanjang sejarah
ini hanya ada satu Syiah, karena sesungguhnya setiap masa itu selalu
ada semacam kelompok Syiah.1156 Berpijak dari realitas ini, maka tidak
mungkin menghadirkan definisi Syiah yang jami' (komprehensif) dan
mani' (rnenghalangi/membatasi definisi lain) yang dapat mengkover
golongan-golongan Syiah yang pemah ada seluruhnya seiring perjalanan
waktu yang berbeda-beda. Tatkala kita membahas tentang Syiah sebagai
bagian kelompok manusia, maka kita akan menemukan kejelasan definisi
khusus setiap golongan Syiah dimana perinciannya berbeda atas definisi
golongan Syiah yang lain. Meskipun demikian, ada baiknya apabila kita
perhatikan definisi umurmya.
Di dalam buku-buku karya orang-orang Syiah, kita dapat menemukan
An-Nubakhti (w. 301 H atau 299 H) yang mendefinisikan Syiah dengan,
"Mereka adalah orang-orang yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Dari
mereka inilah kemudian muncul golongan-golongan Syiah seluruhnya."1157
Sedang di dalam kitab-kitab Ahlu SunnahwalJamaah, kita menemu-
kan Abul Hasan Al-Asy'ari (w.324 H), dia berkata, "Mereka disebut
Syiahkarena berkumpul untuk mendukung Alibin Abi Thalib dan meng-
utamakan Ali atas seluruh sahabat Rasulullah M."1158
1156 Dr. Ali Sami An-Nasysyar, Nasy-ah Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-lslam, 2/21, penerblt Dar
Al-Ma'arif, Kairo, tahun 1981 M..
1157 Abu Muhammad Al-Hasan Abi Al-Qasim Sa'ad Al-Qummi An-Nubakhti, Firaq Asy-
Syi'ah, (w.300 atau 299 H), hlm. 15, tahqiq Dr. Abdul Mun'im Al-Hafani, Penerbit Dar
Ar-Rasyad, Kairo, tahun 1992I|vI'..
1158 Abul Hasan Al-Asy'ari, Maqalat Al-lslamiyah, 1/ 65, tahqiq: Muhammad Muhyiddin
Abdil Hamid, penerbit Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyatr, Kairo, tahun 1969M..
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 547
Mungkin definisi tentang Syiah paling lengkap adalah definisi yang
disampaikan oleh Asy-Syahrastani (w. 548 H), dia berkata, "Syiah adalah
kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib secara khusus. Mereka
mengatakan bahwa Ali menjadi imam dan khalifah (pasca Rasulullah wafat)
berdasarkan teks dan zpa shiyyah (perintah yang menetapkan sebagai khalifah),
ada kalanya bersrtat jnliy (elas) ataukhafi (tersamar). Mereka berkeyakinan
bahwa al-imamah (gelar imam sebagai pemimpin umat) tidak keluar dari
anak-anak (dan keturunan) Ali bin Abi Thalib. Jika al-imamah keluar dari
anak-anak Ali, maka pihak yang zhalim bukanlah anak-anak Ali atau hal itu
dimungkinkan karena anak-anak Ali bertakwa dari mendu duki al-imamah."
Mereka juga mengatakan, " Al-lmamah bukanlah masalah maslahat
yang diserahkan kepada pemilihan masyarakat umum untuk mendudukkan
seseorang menjadi seorang imam, namun ia adalah masalah ushuliyah
(dasar pokok Islam), yaitu rukun agama. Tidak boleh bagi para Rasul yang
diutus Tuhan melupakan dan mengabaikan masalah ini, dan tidak pula
menyerahkan atau membebaskan urusannya kepada masyarakat umum."
Mereka telah bersepakat tentang wajibnya menunjuk dan mendelegasi-
kan Al-lmamahberdasarkan nash, sebagaimana mereka bersepakat bahwa
para Nabi dan imam itu wajib ma'shum (terpelihara) dari dosa-dosa besar
maupun dosa-dosa kecil. Pernyataan bahwa imam itu hak Ali bin Abi
Thalib dan keturunannya, dan para imam itu terbebas dari dosa merupakan
pemyataan yang wajib ditempuh dalam ucapary perbuatary dan keyakinan,
kecuali dalam kondisi bertakwa (dalam arti tidak ingin menduduki
kekuasaan yang sudah menjadi hak wilayah.yu).
ljma' rrtereka ini ditolak oleh Syiah sekte Zaidiyah. Kaum Syiah sekte
Zaidiyah telah membuat kategori seorang imam yang banyak berseberangan
dengankaumsyiah pada umumnya dimana pada setiap kategori mauPun
ketika mengambil posisi tawaquf, sekte Zaidiyah mempunyai sebuah juklak,
madzhab, dan penolakan tersend iri." 775e
Seiarah Awal Perkembangan Syiah
Pendapat para pemikir dan pakar sejarah berlainan sesuai dengan
latar belakang keilmuan mereka dalam masalah yangberhubungan dengan
1159 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, kata pengantar oleh Dr. Abdul Lathif
Muhammad Al-'Abd, hlm. 149, penerbit Maktabah Al-Anjelo Al-Mishriyatr, Kairo,
tahun 1977 M..
548 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam
perkembangan tahap awal kelompok Syiah. Di antara pendapat-pendapat
itu adalah:
1. Perkembangan Syiah sudah ada seiak zaman Nabi
Mayoritas para penulis buku-buku syiah klasik dari kelompok ahli
hadits berpandangan bahwa orang Pertama yang meletakkan cikal bakal
Syiah adalah Nabi *4. Beliau adalah orang pertama yang memunculkan
istilah "syiah" untuk menyebut para pengikut Ali bin Abi Thalib.llm
Salah seorang juru dakwah Syiah Ismailiyah, Abu Hatim Ar-Razi
(w.324), dalam karyanya Kitab Az-Zinah, dia berkata, "Sejumlah orang
Syiah meriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad (Ash-Shadiq), dia
berkata, 'sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada Nabi-Nya
dan memerintahkan beliau supaya menunjuk Ali menjadi imam sebagai
panutan manusia pasca beliau (wafaQ. Namun karena Rasulullah merasa
takut jika manusia berkata,'sesungguhnya beliau datang membawa anak
pamannya, 'maka Allah $g menurunkan wahyu kepada beliau, "wahai Rasul!
Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. lika tidak, mgknu lakukan
(apayang dipeintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan
Allah memelihara engkau dai (ganggunn)1161 manusia. " (Al-Maa'idah: 67)
Rasulullah kemudian melaksanakan perintah Tuhan ini pada peristiwa
Ghadir Wtumlalu memberikan jabatan kepada Ali sebagai imam mereka."
Dia (Abu Hatim Ar-Razi) menambahkan, "Maka Allah menurunkan
wahyu, "Padahni ini telah Aku sempurnaknn agamamu untukrnu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku idlai lslam sebagai agamamu." (N-
Ma'idah:3)
Sehingga taat kepada Ali merupakan fardhu dari fardhu-fardhu Islam
paling akhir yang diturunkan Allah. Dengan fardhu terakhir ini, Allah telah
mencukupkan nikmat dan menyempumakan Islam."1162
1160 Dr.AbdullahAs-Samira'i,Al-GhuluwaAl-FiraqAl-GhaliyahfAl-HadlwrahAl-lslamiyah,
hlm. 82, Penerbit Dar Al-Huriyah li Ath-Thaba'ah, Baghdad, tahun 19n M.' dan Asy-
Syi'ah fi Al-Mizar, karya Muhammad f awwad Mughniyah, hlm' 17-19, cetakan keempat
Dar At-Ta'awun li Al-Mathbu'ah, Beirut, tahun 1979 M.
1161 Tidak seorang Pun yang dapat membunuh Nabi Muhammad $.
11,62 Abiu Hatim Ar-Razi, Az-Zinah Dhinma KitabAl-Ghulu wa Al-Firaq Al-Ghaliyah, lr.lJn.
256-257.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 549
Tempat yang dimaksud hadits versi kaum Syiah adalah ketika
Rasulullah bertolak pasca hajiwada'menuju tempat yang konon bernama
Ghadir Khum, antara Makkah dan Madinah. Di sana, beliau memberikan
khutbah kepada manusia, beliau berseru, "Bukankah aku lebih utama bagi
kaum mukminin daripada diri mereka? Barangsiapa aku menjadi pemimpinnya,
maka ini adalah Ali pemimpinnya."
Penulis Kitab Az-Zinah memperkuat pendapatnya, dia berkata,
"Sesungguhnya Syiah adalah gelar sebuah kaurn dimana "mereka" sudah
menyusun program amirul mukminin pengganti Nabi ffi adalah Ali bin
Abi Thalib, hal itu terjadi pada masa kehidupan Rasulullah dan "mereka"
sudah mengenal gelar ini. Yang dimaksud "mereka" antara lain; Salman
Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghaffari, Al-Miqdad bin Al-Aswad, Ammar bin
Yasir dan lainJain. Konon, mereka ini disebut Syiah Ali atau pengikut Ali.
Tentang mereka ini, Rasulullah telah bersabda, "Surga merindukan empat
(orang, yaitu); Salman, AbuDzar, Al-Miqdad dan Ammar." Gelar ini kemudian
lazim disandang setiap orang yang mengutamakan Ali pasca Nabi wafat
sampai waktu kita sekarang inl."tt6s
Makna pemyataan ini sering diulang-ulang oleh Al-Qummi (w. 301
H) dari Syiah sekte ltsna Asyaiyah (pengikut imam dua belas), dia berkata,
"Sesungguhnya golongan pertama dari kelompok-kelompok Syiah adalah
golonfpn pendukung Ali bin Abi Thalib. Mereka golongan pendukung Ali
ini disebut Syiah (pendukung) Ali, mereka sudah ada pada zaman Nabi
ffi dan pasca beliau wafat. Istilah Syiah dalam arti para pendukung Ali
ini sudah dikenal pada zaman itu. Mereka sudah bulat mendukung Ali
dan berpendapat bahwa imam mereka adalah Ali. Syiah dalam arti para
pendukung Ali ini antara lain; Al-Miqdad bin Al-Aswad, Salman Al-Farisi,
.Abu D zar, dan Anunar.' 1164
Seperti inilah para penulis Syiah berpendapat. Dalam pandangan
mereka, sejumlah sahabat pada masa Rasulullah sudah mengusung Ali
dan hal ifu merupakan sesuafu yang natural.1165
1163 Abu Hatim Ar-Razi, Kitab Az-Zinah, dicetak bersama Kitab Al-Ghulu wa Al-Eiraq Al-
Ghaliyah, hIm.259.
1164 Abu Ja'far Sa'ad bin Abdillah bin Abi Khalaf Al-Asy'ari AI-Qummi, Al-Maqalat wa
Al-Eiraq, hlm. 15, tahqiq Muhammad |awwad Masykur, penerbit Mathba'ah Haidari,
Iran, tahun 1963M..
1165 Muhammad Jawwad Mughniya[ Asy-Sy'ah fi Al-Mizan,hlm.24, cetakan keempa!
penerbit Dar At-Ta'awun li Al-Mathbu'ah, Beirut, tahun 1979 M..
550 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam
Akan tetapi, kita patut bertanya, "jika demikian, bukankah ini artinya
Rasulullah berikrar untuk memecah dan mencabik-cabik persatuan kaum
muslimin sendiri!?? Apakah pandangan semacam ini tidak bertolak
belakang dengan firman Allah Ss,
"sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
menjadi (terpecah) dalam golongan-Solongan, sedikit pun bukan tanggung
jawabmu (Muhnmmad) atas mereka. sesungguhnya urusan mereka (terserah)
kep ada Allah." (Al-An'am: 159)
Ia jugabertentangan dengan firman Allah,
"Dan berpegangteguhlah kamu semuanyn pada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu,
sehingga dengan karunia-Nya kamu meniadi bersaudara, sedangkan (lcetika
itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
sana. D emikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agat kamu
mendapat petunj uk." (Ali Imran: 103)
Dan firman-Nya,
,,Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan
berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan, mereka
itulah orang-orang yang mendapat azab yang betat." (Ali Imran: 1'05)
Tidak berhenti sampai di situ, ia iuga bertentangan dengan firman-
firman Allah dalam Al-Qur'an, seperti firman-Nya
"Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! langan kamu
ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dai jalan-
Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa."
(Al'An'am:153)
Bukankah seruan memecah kaum muslimin menjadi dua kelompok,
yaitu: kelompok pertama; syiah yang mendukung Ali dan kelonryok kedua;
kubu yang menjadi musuh kelompok pendukung Ali, dan hal itu
berlangsung pada masa kehidupan Rasulullah, ini maksudnya Rasulullah
ridha menggiring para sahabat beliau untuk berselisih dan berseteru pada
tataran prinsip paling mendasar, sementara beliau sendiri melarang dan
membungkam setiap intrik yang mengarah ke perpecahan umat!?
Ensiklopedi AJiran dan Madzhab di Dunia lslam 551
Oleh karena itu, para ulama AhIu Sunnah wal |amaah menolak jika
perselisihan-perselisihan yang bersifat prinsip ini muncul pada masa Nabi
dan tidak pula pada masa syaikhaini (Khalrtah Abu Bakar dan Umar @).
Namun ia hanya mencuat ke permukaan pada akhir-akhir pemerintahan
Khalifah Utsman bin Affan w dan masa setelah itu.
Jika demikian halnya, maka urusannya bukanlah urusan terpecahnya
kaum muslimin dalam hal akidah, namun ia hanya kecenderungan perasaan
saja. Penulis Kitab Mukhtashar At-Tuhfah Al-I stna' Asy ariy ah mengatakan,
"Di antara fakta yang disebutkan beberapa kitab, seperti Kitab Tarikh Al-
Waqidi dao,.r Al-lsti'ab, jka dikatakan, "Fulan itu dari Syiah" misalnya, maka
ia tidak bertentangan dengan apa yang dialami para sahabat Nabi Myang
lain walaupun fulan ini dari para pemuka Ahlu Sunnah wal Jamaah. Karena
yang dimaksud "Syiah" di sini adalah Syiah pada awal-awal, sedang Ahlu
Sunnah wal ]amaah termasuk di antara mereka yang dicap sebagai Syiah.
Bagaimana tidak! Ahlu Sunnah wal Jamaah melihat kewajiban cinta Ahlul
Bait, sementara Ali bin Abi Thalib adalah tiang penyangga Ahlul Bait.
Dalam hal cinta kepada Ahlul Bait ini, mereka meriwayatkan beberapa
hadits."11€'6
Memang benar, ada sebagian sahabat Rasulullah yang sangat cinta
kepada AlibinAbiThalib (sebagai Ahlul Bait), namuncinta ini merupakan
perasaan emosional biasa dan tidak sampai menimbulkan perpecahan
dalam bidang akidatu sebagaimana fenomena yang muncul pada masa
berikutnya. Karena istilah "Syiah" pada waktu itu tidak dipakai sebagai
istilah yang menunjukkan akidah tertentu. Tidak ada seorang pun (dari
sahabat Rasulullah) disebut Syiah -dengan makna istilah- pada masa Nabi
dan tidak pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar, I-Imar, dan Utsman,
bahkan sampai peristiwa-peristiwa pada masa kekhalifahan Ali seiring
mencuatnya perselisihan antara Ali dan Muawiyah. Karena kata "Syiah"
pada waktu itu senantiasa digunakan berdasarkan maknanya menurut
bahasa, yaifu "para pengikut", bukan dengan maknanya menurut istilah
sebagai aliran atau paham tertentu seperti sekarang ini.
11.66 As-Sayyid Mahmud Syukri Al-Alusi, MuWttashar At-Tuhfah Al-ltsna'Asyariyah,hlm.
Z penerbit Maktabah Aisyiq Istanbul, tahun 1979 M..
552 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam
2. Perkembangan Syiahbaru muncul ketika teriadi baiat Abu Bakar
sebagai khalifah
Orang-orang yang berpandangan demikian ini mengembalikan
awal perkembangan kelompok Syiah ke masa Pasca wafatnya Rasulullah
langsung, sekiranya sebagian sahabat Rasulullah pada waktu itu
melakukan pertemuan di saqifah (nama sebuah tempat pertemuan) dan
mereka kemudian membaiat Abu Bakar. Orang-orang yang berpandangan
demikian ini karena bersandarkan keterangan sebagian ahli sejarah yang
menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak ikut pertemuan di saqifah
ini (disibukkan memandikan jasad Rasulullah dan memakamkannya).
Demikian pula, sebagian sahabat tidak ikut karena kondisi tertentu dan
kebetulan mereka condong kepada Ali bin Abi Thalib'1167
Sebagian pemikir dan peneliti berpendapat bahwa kelompok Syiah
muncul ketika terjadi peristiwa awal perselisihan dalam urusan atas nama
khalifah. Sehingga Ibnu khaldun menegaskan, dia berkata, "Permulaan
negara Syiah, sesungguhnya Ahlul Bait tatkala Rasulullah wafat, mereka
berpandangan bahwa mereka lebih berhak memegang urusan kekhalifahan
ini, karena khalifah itu untuk mereka, bukan selain mereka dari orang-
orang Quraisy."116
Pandangan ini diperkuat oleh sebagian orientalisll6e dan ilmuwan
yang mengikuti mereka, seperti Ahmad Amid170 dan Nashiruddin Syah.11n
3. perkembangan syiah baru muncul pada akhir-akhir kekhalifahan
Utsman bin Affan
Kelompok ini berpadangan bahwa permulaan munculnya kelompok
Syiah berawal dari timbulnya fitnah yang dimunculkan oleh Abdullah
1167 AhmadbinYa'qubbinJa'farAl-Ya'qub+TaikhAl-Ya'qubi,2/T24,perrerbitDarShadir,
Beirut, dan Al-Kamil f At-Taikh, karya Ibnul Atsir, Izzuddin Abu Al-Hasan Ali bin
Muhammad, 2/325,Dar Shadir, Beirut, tahun 1955 M..
7768 Taikh lbnu Khaldun,3/364, penerbit Dar Al-Kitab Al-Lubnani, Beirut, tahun 79n M.
1169 IgnazGoldziher, Al-'Aqidah wa Asy-syari'ah, diterjamah ke dalam bahasa Arab oleh
Dr. Muhammad Yusuf Musa dan kawan-kawan, hlm. 189, penerbit Dar Al-Kutub
Al-Haditsiya[ Kairo, tahun 1959 M., danl)shul Al-lsma'iliyah, karya Bernard Louis,
diterjamahkan ke dalam bahasa Arab oleh Hakam Talhug, hlm. 58, penerbit Dar Al-
Haditsatr, Beirut, tahun 1980 M..
1170 Ahmad Amin, FajrAl-Islam, hlm. 266, penerbit Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyatl
Kairo.
1171 Nashiruddin Syatr, Al- Aqa'id Asy-Syi'iyah, hlm. 266, (tanpa penerbit) tahun 7987 M.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam 553
bin Saba' untuk melawan Khalifah Utsman yang berakhir dengan
pembunuhan sang khalifah tersebut. Sebagian pakar sejarah, seperti A1-
Ya'qubi, berpendapat bahwa tatkala mayoritas kaum muslimin menobatkan
Utsman sebagai khalifalu maka sekelompok manusia condong kepada Ali
dan mereka melakukan manuver untuk menggoyang dan menjatuhkan
kekuasaan Utsman sebagai khalifah.ll72
Pada waktu itu, secara garis besar) manusia terbagi menjadi dua kubu,
kubu "Syiah", mereka adalah pengikut Ali dan kubu "Utsmaniyah", mereka
adalah para pendukung Khalifah Utsman. Mereka berikrar mengakui
keutarnaan Utsman atas Ali dan pembela Utsman melawan manuver kubu
Syiah yang berseberangan dengan Utsman sebagai khalifah.
Pasca meninggalnya Utsman, kubu "IJtsmaniyah" adalah kelompok
yang menuntut pengusutan siapakah yang terlibat dalam pembunuhan
Khalifah Utsman. Di antara kubu "Utsmaniyah" ini adalah Thalhah bin
Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-awwam, dan Muawiyah bin Abi Sufyan & .11R
4. Perkembangan Syiah baru muncul sesaat menielang meletusnya
Perang lamal.
Pendapat ini sangat dekat dengan pendapat sebelumnya. Menurut
kaca mata kelompok ini, sesungguhnya kelompok Syiah muncul di sela-
sela pertempuran Perang ]amal. Di antara yang berpendapat demikian
ini adalah seorang pakar sejarah Syiah bernama Ibnu An-Nadim (w. 283
H). Sesunggutrnya kelompok Syiah itu muncul pada waktu Perang Jamal,
tatkala Thalhah, Az-Zttbair, dan sejumlah sahabat yang lain berbeda
pendapat dengan Ali bin Abi Thalib, yang mana mereka menuntut suPaya
Ali yangpada waktu itu menjadi khalifahmengusut siapa saja yang terlibat
dalam pembunuhan Khalifah Lltsman bin Affan.
Ali bin Abi Thalib kemudian membawa pasukannya untuk menyerang
Thalhah dan Az-Zubatrbersama sejumlah sahabat yang lain supaya mereka
mematuhi perintah Allah untuk taat kepada Ali sebagai khalifah. Orang-
orang yang mendukung Ali ini kemudian disebut "Syiah", sedang Ali
1172 Ahmad bin Ya'qub bin ja'far Al-Ya'qubi, Tarikh Al-Ya'qubi,2/1.62.
1.173 Lihat pengantar yang diberikan Abdussalam Harun dalam tahqiq Kitab Al-'Utsmaniyah,
karya Abu Utsman Amru bin Bahr Al-|ahizh, penerbit Dar AI-Katib Al-'Arabi, Kairo,
tahun 1955 M..
554 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam
sendiri berkata, "Mereka ini adalah Syi'ati (para pendukungku)." Setelah
itu Ali menyebut mereka, para Pendukungnya, dengan nama Al-Ashfiya'
wa Al-Auliya' (orang-orang pilihan dan para Pemegang kekuasaan).1174
Salah seorang pakar sejarah Syiah sekte Zaidiyah, Nasywan Al-
Humairi (w.573 H) berkata, "Kelompok Syiah yang mendukung Ali
memerangi Thalhah, Az-Zybair, Aisyah, Muawiyah dan kaum Khawarij
pada saat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah ada tiga kelompok, yaitu:
Kelompokpertama; mereka ini adalah jumhur mayoritas kaum muslimin
dan mereka melihat bahwa para imam adalah Abu Bakar, Umar dan
lJtsman, hanya saja mereka (dalam pandangan Syiah telah) mengubah
sejarah dan menciptakan beberapa peristiwa.
Kelompok kedua; ltmlahmereka kurang dari jumlah kelompok pertama.
Mereka melihat bahwa imam Pasca Rasulullah ffi adalah Abu Bakar,
lJmar, dan Ali. Mereka tidak melihat Utsman itu sebagai imam. Al-Jahizh
menceritakan bahwa pada masa awal-awal Islam, para pendukung Ali
bin Abi Thalib tidak disebut Syiah, kecuali orang-orang yang datang dan
mendukung Ali melawan Khalifah Utsman.
Kelompok ketiga; mereka berjumlah paling sedikit, mereka melihat bahwa
Ali lebih utama menduduki jabatan al-imamah setelah Rasulullah *ufu1.'/117s
5. Perkembangan Syiah baru muncul pasca Perang Shiffin dan
peristiwa tahkim.
Imam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pada masa Khalifah Abu
Bakar, IJmar, dan Khalifah Utsman, tidak ada seorang pun yang disebut
sebagai Syiah dan tidak ada penisbatan Syiah kepada siapa pun. Namun
tatkala Khalifah Utsman terbunuh, kaum muslimin terpecah-belah ke
dalam kelompok-kelompok, sebagian mendukung Utsmary sebagian lagi
mendukung Ali, hingga keduanya pun terlibat pertempuran. Seperti inilah
kondisi kaum muslimin sebelum Ali menjabat sebagai khalifah, tidak ada
seorang pun yang disebut sebagai imam dan tidak pula rafidhah.1176
1174 Muhammad bin Ishaq Ibnu An-Nadim, Al-Fahrasat,hlm. 249, penerbit Dar Al-Ma'rifah
Beirut.
1175 Abu Said Nasywan Al-Humairi, Al-Hur Al:Aiin, hlm. 234, tahqiq Kamal Mushthafa,
cetakan ketiga, penerbit Dar Azal li Ath-Thiba'ah wa An-Nasyr wan At-Tauzi', Beirut,
tahun 1985 M..
1176 Ibnu Taimiyah, Minhaj As-Sunnah An-Nabatttiyah, 1,/67-68, tahqiq: Dr. Muhammad
Rasyad Salim, penerbit Maktabah Dar Al-'Arubah, Kairo.
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 555
Penulis kitab Mukhtashar At-Tuhfah Al-ltsna' Asyariyah menegaskan
bahwa munculnya istilah 'Syiah" pada tahun 37 Hijriyah,Wallahu A'1am.1177
Namun demikian, Dr. Ahmad Shubhi tidak sependapat dengan
pandangan ini. Dia melihat bahwa pada waktu itu, kata "Syiah" belum
muncul dengan makna istilah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Disamping itu, mereka juga belum disatukan oleh akidah yangmusytarak
(bercabang).1178
Pendapat Dr. Ahmad Shubhi ini didukung oleh Nashir Al-Qaffari,
dia berkata, "Sesungguhnya kita belum menemukan pada peristiwa-
peristiwa tahun 37 H (sekiranya terjadi Perang Shiffin dan peristiwa
tahkim) keterangan yang diriwayatkan para ahli sejaratg ada orang yang
menyerukan adanya washiyyah, mengatakan raj'ah (reinkarnasi) atau
menyerukan seluruh dasar-dasar pokok ajaran Syiah. Akan tetapi, Dr.
Al-Qaffari terjebak pada pernyataan yang kontradiktif, sekiranya dia
mengisyaratkan bahwa pada waktu itu kelompok Syiah Sabaiyah sudah
muncul dan mereka terlibat dalam menyulut api fitnah.l17e
Pada pembahasan berikut, kita akan menemukan bahwa Syiah
Sabaiyah merupakan sekte dalam Syiah yang ekstrem dan sekte ini adalah
sekte pertama yang meluncurkan statemen reinkamasi, washiyyah (perintah
penetapan sebagai khalifah), imam itu terpelihara dari dosa dan lain
sebagainya dari dasar-dasar pokok dalam paham Syiah, ini dalam satu sisi.
Sementara di sisi lairu adalah sesuatu yang pasti bahwa kaum Khawarij
telah keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib pasca peristiwa tahkim, mereka
lalu mengkafirkan Ali dan Muawiyah.
Sejarah pemikiran manusia telah memberi petunjuk kepada kita bahwa
tesis yang ekstrem akan menimbulkan anti-tesis ekstrem yang sebanding
pula; sikap ekstreim kaum Khawarijyang mengkafirkan Ali melahirkan
ekstrimitas para pendukung Ali dan mereka adalah kaum Syiah.
1177 MukhtasharAt-TuhfahAl-ltsna'Asyaiyah,karyaAs-SayyidMahmudSyukriAl-Alusi,
hlm.5, penerbit Maktabah Aisyiq, Istanbul, tahun 1979 M..
1L78 Dr. Ahmad Shubhi Nazhaiyah Al-Imamah Lada Asy-Syi'ah al-Itsna 'Asyariyah, hlm. 45
dan halaman berikutnya, penerbit Dar Al-Ma'arif, Kairo, tahun 1969 M..
1179 Dr. Nashir bin Abdillah Al-Qaffari Ushul Madzhab Asy-Syi'ah Al-lmamiyah Al-ltsna
'Asyariyah,1./n-78.
556 Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia lslam
Kami ingin menegaskan bahwa munculnya Syiah sebagai sebuah
paham dengan akidah-akidah tertentu adalah sesuai dengan pendapat ini,
berdasarkan pendapat y ang paling raj ih.
5. Perkembangan Syiah baru muncul pasca Al-Hasan bin Ali bin
Abi Thalib membaiat Muawiyah
Dari keterangan Ibnu An-Nadim,1180 dapat diambil pemahaman
bahwa munculnya Syiah dalam arti ia sebagai paham yang mempunyai
akidah tertentu dan gerakan politik dengan target tertentu pula, maka
ia hanya muncul menjelang pertemuan antara Al-Hasan bin Ali bin Abi
Thalib utusan dari para pemuka Kufah. Dalam pertemuan itu, utusan dari
para pemuka Kufah mengusulkan kepada Al-Hasan suPaya menyerang
Muawiyah lagi dan mereka akan mendukungnya. Akan tetapi Al-Hasan
bin Ali menolaknya, bahkan dia sudah memberikan baiatnya kepada
Muawiyah menjadi khalifah.
Dr. Thaha Husain memperkuat pendapat ini, dia menegaskan bahwa
Syiah belum muncul sebagai sebuah kelompok dan paham tersendiri
kecuali setelah urusan kekuasaan sudah menyatu di tangan Muawiyah
dan Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib memberikan baiatnya kepada
Muawiyah.ll8r
7. Perkembangan Syiahhanya muncul pasca terbunuhnya Al-Husain
bin Ali bin Abi Thalib di Karbala.
Di antara pendapat tentang munculnya Syiah adalah pandangan
bahwa Syiah muncul pasca terbunuhnya Al-Husain bin Ali bin Abi
Thalib di Karbala pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Karena
terbunuhnya Al-Husain bin Ali ini membawa pengaruh sangat luas bagi
timbulnya perpecahan kaum muslimin. Sebagian orientalis berpendapat
bahwa terbunuhnya Al-Husain bin Ali dianggap sebagai embrio pertama
bagi akidah Syiah.1182
1180 Muhammad bin Ishaq Ibnu An-Nadim, Al-Fahrasat,hlm.270.
118L Dr.ThahaHusain,Al-FitnahAl-Kubra,'AliwaBanuhu,2/TT3danhalamanberikutnya.
1782 Lihat,Maddahsyi'ahbiDa'irahAl-Ma'aifAl-lslamiyah,karyaCitrutmen,danTarikhAl-
FalsafahfiAl-Islam,karyaDeBoer, terjamah Dr. Muhammad Abdul Hadi Abu Raidah,
hlm. 6, Lajnah At-Ta'lif wa At-Tarjamah wa An-Nasyr, Kairo, tahun 1957 M.'
Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia tslam 557
Pemahaman ini diperkuat oleh Dr. Ali An-Nasysyar1l83 dan Dr.
Mushthafa Hilmi.11& Sementara Dr. Ahmad Shubhi berpendapat bahwa
kelompok Syiah sebelum terbunuhnya Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib
masih murni pergerakan politik. Namun pasca Al-Husain bin Ali terbunutu
maka gerakan Syiah mengakar dan menjadi sebuah akidah yang tertanam
kuat dalam jiwa.118s
Sebuah kilas balik dari keterangan di depan memberikan kejelasan
kepada kita bahwa perbedaan yang sengit di antara pakar sejarah sekte-
sekte Islam klasik dan para peneliti modern -berdasarkan perbedaan arah
simpul-simpul perhatian mereka, khusus terkait dengan perkembangan
awal munculnya Syiah dan pendapat yang dapat diterima adalah sebagai
berikut:
Kita tidak menganggap jauh jika keterangan yang dipaparkan dalam
kitab Fajr Al-lslam atau dengan pernyataan lebih jelas, sesungguhnya
istilah "Syiah" sudah ada sejak zaman Rasulullah. Namun kata "Syiah"
pada zaman Rasulullah ini tidak dimaksudkan selain untuk menyebut
sejumlah sahabat yang cinta mereka kepada Ali bin Abi Thalib lebih dari
sekadar cinta dan ia tidak mempunyai makna sebagaimana yang kita kenal
sekarang ini, yaitu sebagai paham dengan akidah tertentu atau gerakan
politik dengan peta politik tertentu. Bahkan pada waktu itu, kata "Syiah"
digulirkan dengan makna menurut bahasa yang bersinonim dengan kata
" latnAah" . Meskipun gelar ini dimutlakkan kepada sejumlah sahabat, namun
ia tidak d