terhadap sang pencipta yang dapat dipahami dari banyak sudut
pandang menjadi studi yang menarik. Salah satu issu yang menjadi
perdebatan yaitu konsep “ingsun” yang dicetuskan oleh Syekh Siti
Jenar. Secara mendalam, studi ini bertujuan untuk menegaskan
kembali gagasan dan praktek atas figur yang sangat penting.
Menurut penulis, pengajaran Ingsun merupakan upaya serius untuk
mengembalikan kesadaran manusia terutama dalam hubungannya
dengan agama. Konsep “Ingsun” membuka kesadaran bahwa dalam
setiap kehidupan selalu ada dua sisi, kebaikan dan keburukan,
hidup-mati, Tuhan-hamba. Kebaikan, hidup dan Tuhan yaitu bukti
akan kekekalan Tuhan. Sedangkan keburukan, mati, dan hamba
yaitu realitas yang dimiliki manusia. Oleh sebab itu, pengajaran
mengenai konsep “ingsun”menjadi jembatan yang memisahkan
antara manusia dan Tuhan.
Pada awal tahun 2004 yang lalu penulis berhasil
menyelesaikan tugas akhir S-2 dengan judul “Ajaran
Tasawuf Dalam Serat Siti Jenar: Telaah Kritis Atas Serat Siti
Jenar Karya Sunan Giri Kedhaton.” Dalam tugas akhir
berupa tesis itu, penulis berusaha mengungkap ajaran
Syekh Siti Jenar sebagaimana yang tertulis di dalam Serat
Siti Jenar ini . Meskipun tesis ini telah
disahkan oleh para pembimbing dan sukses dalam ujian
munaqasah, tetapi penulis merasa belum mampu
mengungkap secara lebih komprehensif ajaran salah satu
“Ingsun” Misteri Tasawuf Mistik
Syekh Siti Jenar
Diskursus mengenai mistisisme saat ini
masih menjadi perdebatan. Gagasan dan
praktek penggabungan diri atau ke-Aku-an
karuna
anggota Wali Sanga ini . Apalagi Serat
Siti Jenar Sunan Giri Kedhaton1 ini hanya
merupakan salah satu sumber dari sekian
banyak sumber tertulis yang dinisbahkan
sebagai ajaran Syekh Siti Jenar.
Serat Siti Jenar Sunan Giri Kedhaton ini
merupakan ringkasan dari himpunan Mas
Ng. Harjawijaya (1848-1918). Para
penghimpun ajaran Siti Jenar lain yang
sejaman dengan M. Ng. Harjawijaya yaitu
Sasrawijaya alias Raden Panjinatarata (1810-
1890), dan Mas Ng. Mangunwijaya (1847-
1917). Raden Panjinatarata menulis ajaran
Syekh Siti Jenar dengan judul Serat Siti Jenar 2.
Karya Panjinatarata ini diterbitkan pertama
kali oleh penerbit Keluarga Bratakesawa
Yogyakarta pada tahun 1958. Sedangkan
Mangunwijaya menulis ajaran Syekh Siti
Jenar dengan judul Serat Sèh Siti Djenar.3
Karya Mangunwijaya ini diterbitkan oleh
Pakempalan Widya Pustaka dan dicetak oleh
Indonesische Drukkerij di Weltri Preden
pada tahun 1917.
Dalam konteks perkembangan agama
Islam di tanah Jawa, sebagian ahli
menganggap bahwa nama Syekh Siti Jenar—
dengan segala kontroversi yang melekat pada
dirinya—sebagai figur yang merepresentasikan
salah model keberagamaan (religiusitas)
masyarakat Jawa. Beberapa sumber tertulis
menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar sejajar
dengan sufi martir Abu al-Mughits al-Husain
ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhawi
(244-301 H) atau al-Hallaj. Sebutan al-Hallaj-
nya orang Jawa4 pun melekat padanya.
Sebagaimana al-Hallaj, beberapa literatur—
sesuai dengan penuturan cerita babad—
menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar mati di
tangan para algojo suruhan penguasanya.
Para algojo ini melakukan ekskusi atas
kematian Syekh Jenar, di antaranya, dengan
alasan karena perbedaan pemahaman
keagamaan Syekh Siti dengan mainstream
pemahaman agama penguasanya.
Syekh Siti Jenar—yang diperkirakan hidup
pada masa pemerintahan Sultan Demak
Pertama, Raden Patah—sebagai tokoh yang
menjadi pusat perhatian dari kalangan
masyarakat awam, ulama, maupun
penguasanya. Syekh Siti Jenar merupakan
salah satu anggota wali sanga yang
mengajarkan paham tasawuf wujudiyah
(tasawuf yang mengandung ajaran paham
wahdat al-wujud) di tanah Jawa. Inti ajarannya
tentang ke-Aku-an, I amness, al-Aniyyah, Ingsun,
Pribadi, memicu perdebatan di kalangan
ulama dan penguasanya. Sebagian sumber
menyebutkan karena sikapnya yang gegabah
dalam menyebarkan doktrin ke-Aku-an itulah
yang mengantarkan dirinya pada pedang para
algojo kerajaan.
Masyarakat negara kita —bagi yang memeluk
tradisi Islam—mengenal nama Syekh Siti
Jenar sejak abad 16 M.5 Mereka mengenal,
terutama masyarakat Jawa, Syekh Siti Jenar
sama baiknya dengan pengenalan mereka
terhadap Wali Songo,6 apalagi jika dikaitkan
dengan ajarannya tentang manunggaling
kawula Gusti7 atau wahdat al-wujÔd.8
Meskipun banyak faktor yang bisa dikaitkan
dengan tokoh Syekh Siti Jenar, tampaknya
bagi sebagian ahli cerita kehidupan tasawuf-
falsafinya lebih menonjol. Sebagian mereka
menganggap bahwa ajaran Syekh Siti Jenar
hingga sekarang masih terus menjadi rujukan
sebagian masyarakat negara kita , terutama
kalangan penganut kebatinan Jawa.
Sesuai dengan hasil penelaahan, penulis
berkesimpulan bahwa cerita yang diuraikan
dalam babad lebih menekankan sikap politik
kerajaan Islam Demak terhadap langkah
yang ditempuh Syekh Siti Jenar. Dalam
konteks kekuasaan—yang merambah pada
model pemahaman keagamaan—tokoh
Syekh Siti Jenar dituduh sebagai
pembangkang dan penganut Islam yang sesat.
Cerita pembangkangan dan penganutan
Islam yang sesat itu terus disampaikan oleh
sebagian masyarakat Jawa secara turun
temurun. Sehingga sampai saat ini, masih
terdapat kelompok masyarakat yang secara
terang-terangan mengkafirkan Syekh Siti
Jenar tanpa disertai data yang memadai.
TAFSIR TERHADAP SYEKH SITI JENAR
Selama kurang lebih satu abad antara
abad 19 sampai dengan awal abad 20—atau
sekitar 400 tahun setelah kematian tokoh
Syekh Siti Jenar—lebih dari satu buku
tentang Syekh Siti Jenar diterbitkan. Para
penulis menjadikan Syekh Siti Jenar sebagai
figur atau lakon utama dalam materi
penceritaan. Bahkan mereka menyandarkan
ajaran yang terkandung dalam buku-buku
ini kepada Syekh Siti Jenar. Secara
ekplisit para penulis menyebutkan bahwa
karya mereka tentang Syekh Siti Jenar
merujuk pada Babad Demak dan Serat
Walisana dengan memberi judul Serat Siti
Jenar atau Suluk Siti Jenar.
Selain itu, munculnya buku-buku yang
berusaha mengupas dan memberi tafsiran
terhadap Syekh Siti Jenar beserta
pemikirannya menginspirasi sebagian
kalanagan untuk mendalami kajian terhadap
ajaran Syekh Siti Jenar. Buku-buku ini
yaitu ; Falsafah Sitidjenar: Ngewrat Pangrembag
Paham Wahdatul-Wudjud (Pantheisme) Ing Tanah
Djawi, Ingkang Menggok Dados Paham Ngaken
Allah Tuwin Ngorakaken Wontenipun Ingkang
Nitahaken (Atheisme), karya Bratakesawa
(1954), Syekh Siti Jenar, karya Moh. Hari Siti
Jenar (+ 1985), Syekh Siti Jenar: Pergumulan
Islam-Jawa, karya Abdul Munir Mulkhan
(2000), Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti
Jenar: Konflik Elite Dan Lahirnya Mas Karebet,
karya Abdul Munir Mulkhan (2001), dan
Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian,” karya
Achmad Chodjim (2002). Penulis
menyimpulkan bahwa dari sekian buku-buku
ini tidak satu pun yang menggunakan
rujukan seluruh karya klasik yang mengupas
secara khusus tentang ajaran Siti Jenar.
Bratakesawa, dalam bukunya Falsafah Siti
Jenar,9 berusaha meluruskan ajaran Syekh Siti
Jenar yang menginspirasi gerakan dan paham
kaum Sarekat Abangan. Kaum Sarekat Abangan
ini merupakan cikal bakal gerakan politik
Partai Komunis negara kita . Bratakesawa
menjelaskan bahwa mereka telah memahami
secara keliru ajaran Syekh Siti Jenar. Selain
itu, Bratakesawa menjelaskan secara singkat
sejarah Syekh Siti Jenar serta maksud umum
ajarannya yang terdapat dalam Serat Sitidjenar
karya Raden Panji Natara. Dalam karyanya
itu, Bratakesawa menjadikan Serat Sitidjenar
karya Natarata sebagai rujukan utama.
Penulis tidak menemukan karya M. Ng.
Harjawiaya dan M. Ng. Mangunwijaya
sebagai rujukan tambahan. Sehingga dengan
menjadikan karya Natarata sebagai rujukan
tunggal memungkinkan munculnya
pemahaman yang tidak komprehensip
tentang pemikiran Syekh Siti Jenar.
Moh. Hari Soewarno merupakan
pemerhati dan penulis ajaran Syekh Siti
Jenar yang menjadi perhatian penulis. Dalam
bukunya yang berjudul Syekh Siti Jenar,10
Soewarno memberi informasi yang cukup
memadai tentang ajaran Syekh Siti Jenar.
Beberapa bagian dari karyanya itu Soewarno
menyadur tulisan Bratakeasawa (1954) dan
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indone-
sia, terutama dalam bab Mengungkap Nama
Siti Jenar (11), Isi Ajaran Siti Jenar (15),
Ditunggangi Oleh S.I. Merah (20), Karangan
r (22), serta Syekh Lemah Abang. Meskipun
demikian, berbeda dengan Bartakesawa,
Soewarno menyebut sumber lain ajaran
Syekh Siti Jenar karya M. Ng. Harjawijaya
(lih. hal. 43-70). Seperti terhadap tulisan
Bratakesawa, Soewarno pun juga melakukan
penerjemahan secara bebas terhadap tulisan
M. Ng, Harjawijaya ke dalam bahasa Indone-
sia. Penulis tidak menemukan secara kritis
analisa ilmiah yang terdapat dalam tulisan
Soewarno, kecuali pengkuannya bahwa Syekh
Siti Jenar sebagai figur yang hadir dalam
sejarah nyata dengan berbagai ajaran yang
dibawanya.
Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya
Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa,11
memberi nuansa lain seputar tokoh Syekh
Siti Jenar dan ajarannya dalam konteks
negara kita baru. Dalam bukunya setebal 369
halaman itu, Munir Mulkhan menyajikan
Syekh Siti Jenar lebih sistematis serta
menggunakan bahasa ilmiah dan populer.
Pada bagian awal buku ini Munir
Mulkhan memaparkan tentang Dimensi
Politik Tawauf dan Syekh Siti Jenar. Pada
bagian awal ini, Munir Mulkhan
mendiskusikan konflik antara institusi agama
versus kesadaran beragama, yang populer
dengan syari’ah versus tasawuf. Dalam
konteks Syekh Siti Jenar, konflik ini
diwakili oleh kerajaan Islam Demak dengan
tokoh Syekh Siti Jenar. Kedua pihak ini
terlibat konflik karena pijakan memahami
dengan menggunakan pendekatan dan
tinjauan yang berlainan.
Munir Mulkhan juga memberi penilaian
teologis terhadap Syekh Siti Jenar beserta
ajarannya dalam tradisi pemikiran Islam.
Namun demikian, penilaian Munir Mulkhan
ini hanya sepintas lalu saja, tidak
menguraikan secara detail model dan tipe
teologi dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Pada
bagian yang lain Munir Mulkhan juga
melakukan penyebutan tema-tema pokok
yang dibicarakan dalam Serat Sitidjenar.
Penyebutan tema-tema pokok itulah, dalam
pandangan penulis merupakan sesuatu yang
baru, yang tidak disebut secara detail oleh
para penulis sebelumnya. Sebagaimana para
penulis lain, Munir Mulkhan tidak
menggunakan karya penghimpun lain seperti
R. Mas Ng Mangunwijaya dan R. Ng.
Harjawijaya. Dengan kata lain, Munir
Mulkhan menulis tentang ajaran Syekh Siti
Jenar dengan menjadikan karya R Panji
Natarata sebagai rujukan utama.
Abdul Munir Mulkhan juga menulis
tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Pada
bukunya yang kedua ini, Munir Mulkhan
menyoroti ajaran Syekh Siti Jenar terutama
tentang kematian, dengan judul, Ajaran dan
Jalan Kematian Syekh Siti Jenar: Konflik Elite
dan Lahirnya Mas Karebet.12 Seperti pada
karya sebelumnya, di bagian awal buku ini,
Munir Mulkhan memberi uraian tentang
humanisasi Islam untuk semua melalui
tasawuf. Pada bagian berikutnya, Munir
Mulkhan menguraikan pemahamannya atas
makna kematian dalam ajaran Syekh Siti
Jenar, serta nasib tokoh-tokoh dalam Serat
Sitidjenar yang memilih jalan kematian.
Pada bab akhir pada bukunya itu, sepertiga
lebih dari keseluruhan halaman yang ada,
merupakan terjemahan bebas dari Serat
Syekh Siti Jenar karya R. Panji Natarata. Pada
bagian ini, lagi-lagi Munir Mulkhan tidak
menjadikan Serat Siti Jenar lainnya sebagai
rujukan untuk memperkaya tulisannya.
Achmad Chodjim yaitu pemerhati
ajaran Syekh Siti Jenar yang berkesempatan
menulis pemahamannya atas ajaran Syekh
Siti Jenar. Dalam bukunya Syekh Siti Jenar:
Makna Kematian,13 penulis menyimpulkan
bahwa Chodjim hanya menjelaskan kembali
apa yang telah ditulis oleh penulis
sebelumnya, terutama Abdul Munir
Mulkhan. Bisa dikatakan Chodjim yaitu
penafsir (mufassir) dari pemahaman Munir
Mulkhan terhadap ajaran Syekh Siti Jenar.
Karena dari hasil pembacaan penulis
terhadap karya Chodjim, penulis tidak
menjumpai karya lain yang membahas secara
khusus ajaran Syekh Siti Jenar kecuali karya
Abdul Munir Mulkhan yang berjudul Syekh
Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa dan Ajaran
dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar: Konflik
Elite Dan Lahirnya Mas Karebet, karya Abdul
Munir Mulkhan. Namun demikian, bila
dibandingkan dengan tulisan Munir
Mulkhan, Chodjim telah menyajikan gagasan
ajaran Syekh Siti Jenar lebih detail dengan
menggunakan bahasa relatif lebih populer
dan istilah-istilah yang lebih filosofis. Berbeda
dengan tulisan Munir Mulkhan yang
menyertakan analisa teologis, dalam karyanya
Chodjim tidak memberi penilaian teologis.
Buku setebal 292 itu tidak lebih merupakan
refleksi perenungan serta pembacaannya
terhadap karya penafsir ajaran Syekh Siti
Jenar.
Satu bulan setelah karya Ahmad Chodjim
terbit, Abdul Munir Mulkhan menulis
kembali sebuah buku yang berjudul Makrifat
Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti
Jenar.14 Berbeda dengan buku-buku tentang
ajaran Syekh Siti Jenar yang lain, dalam
karyanya kali ini Munir Mulkhan
menggunakan rujukan buku utama yang
berjudul Serat Bayan Budiman. Buku ini
berasal dari pemberian seorang rekannya di
Jawa Timur. Dalam karyanya ini Munir
Mulkhan mereflekskan perenungannya
terhadap buku pemberian sang kawan itu.
Sepanjang pembacaan penulis terhadap buku
ini , penulis tidak menemukan
hubungan langsung antara Syekh Siti Jenar
dengan Serat Bayan Budiman. Penulis hanya
menduga bahwa hubungan antara
keduanya—meskipun tidak terdapat
hubungan timbal balik secara eksplisit—
berkaitan dengan ajaran Syekh Siti Jenar
dengan kandungan makna dalam Serat Bayan
Budiman.
Pada bulan Agustus 2003, Ashad Kusuma
Djaya—pimpinan Langgar Padepokan Syekh
Siti Jenar Kadipaten Kulon Yogyakarta—
menulis ajaran Syekh Siti Jenar. Buku
ini berjudul, Pewaris Ajaran Syekh Siti
Jenar: Membuka Pintu Makrifat.15 Dalam
melengkapi tulisannya ini Kusuma
Djaya mengambil rujukan utama dari Babad
Julasutra,16 Suluk Malang Sumirang,17 Babad
Jaka Tingkir,18 dan Serat Siti Jenar.19 Kedua
buku yang pertama ini merupakan
rujukan baru yang penulis jumpai dari
serangkaian buku tentang Syekh Siti Jenar
yang sudah ada.
Dalam karya Kusuma Djaya ini
penulis tidak menemukan sesuatu yang baru
dari para penulis yang lainnya, kecuali
rujukan yang baru. Penulis memahami
Kusuma Djaya berusaha mempertemukan
ajaran Syekh Siti Jenar dengan pengetahuan
modern. Tetapi tidak menyinggung
sedikitpun tentang konsep Ingsun yang
menjadi salah satu ajaran Syekh Siti Jenar.
Pada tahun 2004, Abdul Munir Mulkhan
kembali menulis buku yang menghubungkan
dengan Sekh Siti Jenar, dengan judul
Makrifat Siti Jenar: Teologi Pinggiran Kehidupan
Wong Cilik.20 Penulis memahami bahwa buku
setebal 389 halaman ini tidak lain
merupakan perluasan penjelasan Munir
Mulkhan atas perenungannya terhadap
ajaran Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh
Panjinatarata. Selain itu, Munir Mulkhan
berupaya membawa ajaran dan kehadiran
Siti Jenar dalam konteks yang lebih
komprehensif; politik, ekonomi, sosial
budaya, sikap keberagamaan pribadi maupun
kelompok, dan wilayah teologi. Dalam
kaitannya dengan religiusitas Munir Mulkhan
menegaskan bahwa kehadiran cara beragama
Syekh Siti Jenar merupakan representasi dari
kaum pinggiran (wong cilik, rakyat)
berhadapan cara beragama kaum bangsawan
dan para penguasa pada zamannya. Secara
ekplisit Munir Mulkhan menyimpulkan
bahwa kehadiran Syekh Siti Jenar beserta
ajarannya merupakan realitas sejati cara
beragama yang sesungguhnya. Suatu cara
beragama yang manusiawi, jujur (tidak
berpura-pura), dan membela kaum
tertindas.
Baik Bratakesawa, Moh. Hari Soewarno,
Abdul Munir Mulkhan, Ashad Kusuma
Djaya, maupun Achmad Chodjim mereka
menjadikan Serat Siti Jenar karya
Panjinatarata sebagai rujukan utama. Karya
Harjawijaya dan Mangunwijaya tidak mereka
jadikan sebagai rujukan. Penulis
menyimpulkan bahwa tulisan Siti Jenar karya
Harjawijaya dan Mangunwijaya—meskipun
lahir beberapa tahun setelah Panjinatara—
disertakan sebagai rujukan dalam
mengungkap ajaran Syekh Siti Jenar.
Sehingga pemahaman tentang ajaran Syekh
Siti Jenar semakin lebih komprehensif.
Bermula dari ketidaklengkapan rujukan
ini penulis menyimpulkan bahwa
tulisan-tulisan tentang ajaran Syekh Siti Jenar
ini tidaklah lengkap.
Selain itu, dari beberapa tulisan yang
penulis telaah, masing-masing buku ini
tidak satu pun yang secara tegas menyebutkan
ajaran inti Siti Jenar yakni tentang Ingsun,
Prabu Satmata,21 Sang Hyang Manon, I-ness,
atau ke-Aku-an. Ajaran tentang ingsun inilah
yang menurut penulis merupakan
maniverstasi puncak dari pengalaman
beragama dan berspiritual. Ke-Aku-annya
yang menjadi pertimbangan para wali untuk
menjatuhi hukuman mati pada Syek Siti
Jenar. Ke-Aku-annya ini menjadi bukti nyata
bahwa Syekh Siti Jenar telah membocorkan
rahasia tertinggi.
Berpijak dari adanya beberapa rujukan
penting tentang ajaran Syekh Siti Jenar serta
konsep ke-Aku-an yang diucapkan oleh Syekh
Siti Jenar itulah, membuka sejumlah
pertanyaan, seperti; Apakah ke-Aku-an itu
sama dengan ego? Apakah ketika
mengucapkan Ingsun sebagai Prabu Satmata
itu dalam keadaan hulul atau ittihad? Ataukah
ungkapan ke-Aku-an itu muncul sebagai
refleksi spiritual-filosofis (wahdah al-syuhud)
yang terjadi dalam diri Syekh Siti Jenar?
Ataukah ucapan Syekh Siti Jenar itu
hanyalah ucapan para kaum yang gila karena
Allah (majnunullah) yang tidak perlu harus
dikenai sanksi? Terlepas dari pertanyaan-
pertanyaan ini di atas, setidaknya
semakin membuka munculnya pemahaman
baru bahwa terdapat gagasan yang lebih
penting dari sekedar sikap Siti Jenar
berlawanan dengan penguasa.
KE-AKU-AN SEBELUM SYEKH SITI
JENAR
Sebenarnya, jauh sebelum kehadiran
Syekh Siti Jenar fenomena munculnya
konsep ke-Aku-an sudah ada sejak abad 3 H,
yang ditampilkan oleh Abu Yazid al-Busthami
(w. 261 H). Dalam suatu kesempatan secara
nyata Abu Yazid mengaku dirinya Allah.
“Anaallah, Laa Ilaaha Illa Anaa Fa’buduuni:
Aku Allah, Tiada Tuhan kecuali Aku, maka
sembahlah Aku,”23 “Suatu ketika Dia (Yang
Maha Benar) mengangkatku dan
menundukkan aku di antara tangan-Nya.
Maka ujar-Nya padaku: Abu Yazid! Makhluk-
makhluk-Ku senang melihatmu. Jawabku:
Hiasilah aku dengan keesaanMu,
pakaikanlah aku dengan keakuan-Mu, dan
angkatlah aku ke ketunggalan-Mu. Sehingga
apabila makhluk-makhluk-Mu melihatku,
mereka akan berkata: Kami telah melihat-
Mu. Dan Engkau pun menjadi aku yang di
sana, dan aku tidak berada di sana.”24
Kehadiran Abu Yazid dengan ungkapannya
itu pada zamannya bukan merupakan sesuatu
yang ganjil.
Para pemerhati tasawuf baik yang hidup
sezaman atau pun sesudah Abu Yazid
memberi apresiasi yang positif terhadap
ungkapannya. Abu al-Wafa merujuk para
penulis seperti al-Sulami dalam karyanya
Thabaqat al-Shufiyyah, al-Thusi dalam karyanya
al-Luma, dan al-Qusyairi dalam karyanya al-
Risalah al-Qusyairiyah, menyimpulkan bahwa
menurut para penulis buku ini apa yang
diungkapkan Abu Yazid sejalan dengan al-
Qur’an dan al-Sunnah.25 Para sufi menyebut
pengalaman Abu Yazid itu, dengan sebutan
fana atau trance. Al-Junaid mengatakan
bahwa trance seorang sufi tidak mengucapkan
tentang dirinya sendiri, tetapi tentang apa
yang disaksikannya, yaitu Allah.26 Menurut
W.T. Stace pengalaman al-Busthami
merupakan kesadaran untuk bersatu (unitary
consciousness).27 Dengan kata lain, bahwa apa
yang diucapkan Abu Yazid al-Busthami
merupakan hal yang wajar dalam tradisi
keagamaan, khususnya Islam.
Selain Abu Yazid, tokoh yang
menggunakan konsep ke-Aku-an yaitu Abu
al-Mughisy al-Husain ibn Manshur ibn
Muhammad al-Baidhawi (w. 244-301 H).
Tidak seperti Abu Yazid, al-Hallaj harus
mengakhiri hidupnya di tiang salib. Penguasa
pada zamannya menuduhnya sebagai orang
sesat dari keislaman, karena ungkapan ke-
Aku-an itu. Di antara pernyataan yaitu ,
“Duh, penganugerah bagi pemegang karunia.
Terhadap diri-Mu dan diri-Ku begitu aku
terpana. Kau buat begitu dekat diriku
dengan-Mu, sehingga. Kau yaitu aku, begitu
kiraku. Kini dalam wujud diriku menjadi
sirna. Dengan-Mu aku kau buat menjadi
fana.”
Namun demikain, para ahli tasawuf
memberi penilaian yang beragam terhadap
apa yang dialami al-Hallaj. Mayoritas menilai
bahwa al-Hallaj telah menyimpang dari
ajaran Islam. Akhir kematiannya yang tragis
dengan cara disalibkan dan dibakar di tengah
lapangan seakan menjadi bukti bahwa al-
Hallaj telah menganut ajaran yang sesat.28 Ke-
Aku-an al-Hallaj sebagai Sang Kebenaran
tidak diterima secara wajar seperti ke-Aku-an
yang diucapkan oleh Abu Yazid al-Busthami.
Akibat ke-Aku-annya itu dia harus menemui
ajalnya dengan cara yang sangat
menyedihkan.
Komentar positif, yang berisi dukungan
dan pembelaan terhadap apa yang dilakukan
al-Hallaj, datang dari berbagai tokoh sufi
besar dalam Islam. Mereka29 yaitu Ibn
Suraih,30 seorang ulama fiqh dari madzhab
Maliki; Imam Ghazali, Jalal al-Din al-Rumi,31
Farid al-Din al-‘Aththar,32 Abdulqadir al-
Jailani,33 dan al-Damiri.34 Tokoh-tokoh
ini tidak memberi penolakan terhadap
apa yang dialami al-Hallaj. Bahkan sebagian
dari mereka menjadi rujukan umat Islam di
seluruh dunia.
Selain Abu Yazid al-Busthami dan al-Hallaj
pada abad 15 terdapat pula tokoh yang
mengaku sebagai Kebenaran. Dia yaitu
Ismail (w. 1524). Sesuai dengan anggapan
para sejarawan tentang Ismail yang
beranggapan bahwa dirinya merupakana
inkarnasi Tuhan.35 Mereka menyebut
kekuasaan Ismail sebagai pemerintahan
Tuhan. Ismail juga menulis puisi yang
sebagian berisi dirinya yang merupakan
penjelmaan dari Tuhan.36 Berikut pernyataan
Ismail yang menyatakan dirinya sebagai
Kebenaran;
The secret of ‘I am the Truth (haqq)’ is hidden
in this heart of mine
For I am the absolute Truth and what I say
is the Truth.37
Artinya:
Rahasia akan Aku Sang Kebenaran
tersembunyi dalam hati milikku
Karena Aku Kebenaran Mutlak, maka apa
yang aku ucapkan yaitu Kebenaran
Istilah al-Haqq daam ucapan Ismail
ini secara berarti Kebenaran Lisan
melemahkan penguasaan atas pendewaan-diri
(self-deification). Tetapi pernyataan ini
dibantah oleh pernyataan lain dari Ismail
seperti berikut:
I am the eye of God I am the eye of God the eye
of God
Come now and see the Truth O blind man
who have lost your way
I am that absolute doer of whom they tell
I am the commander of the sun and moon
My existence is the House of God know for
sure
Prostration to me is incumbent upon you
in the evening and at daybreak
Artinya:
Aku yaitu mata Tuhan Aku yaitu mata
Tuhan mata Tuhan
Kini datang dan lihatlah Sang Kebenaran,
wahai orang buta yang tersesat
Aku yaitu pelaku Mutlak itu yang mereka
ceritakan
Aku yaitu komandan matahari dan bulan
Wujudku yaitu Rumah Allah mengetahui
karena yakin
Sujud padaku yaitu berkewajiban padamu
pada saat sore dan fajar
Tidak jauh berbeda dengan figur Syekh
Siti Jenar. Tokoh yang dalam cerita babad
dianggap sebagai pembangkang para Wali
Sanga ini pun mengalami hal yang sama
dengan al-Hallaj. Ia harus mati dihadapan
para Wali Sanga sebagai wujud pengakhiran
atas ke-Aku-annya yang dianggap
menyimpang dari ajaran Islam. Tokoh Siti
Jenar tidak semulus para sufi yang lainnya,
seperti Abu Yazid al-Busthami dan Ismaili.
Bahkan sebagian masyarakat Islam Indone-
sia—yang berorientasi pada kebenaran
fiqhiyah—menganggap Siti Jenar sebagai
tokoh sesat yang menyimpang dari ajaran
Islam. Padahal sebagian mereka menjadi
pengikut aliran tarikat Qadiryah.
WACANA KE-AKU-AN
Wacana ke-Aku-an sebenarnya merupakan
gagasan abadi yang akan muncul sepanjang
zaman. Syekh Siti Jenar—dalam konteks
Islam negara kita merupakan varian lain—
meruapakn salah dari mata rantai keabadian
gagasan ini . Dia telah memperkenalkan
ke-Aku-annya sebagai bagian dari perjalanan
hidup sejatinya. Sebelum Siti Jenar, para
nabi, rasul, wali, santo, dan orang-orang suci
lainnya telah memperkenalkannya. Hanya
saja tanggapan dari masyarakat yang hidup
sezaman dengan mereka memberi respon
yang beragama. Mereka yaitu orang-orang
yang mencapai pemahaman yang secara
sempurna akan ke-Aku-annya. Sayangnya,
untuk kasus Siti Jenar pengantar akan ke-
Aku-annya itu justru disambut dengan
tuduhan atas dirinya sebagai orang yang telah
keluar dari agama bahkan tidak beragama.
Ke-Aku-an atau Ingsun atau Ananiyyah, atau
the I-amness merupakan sesuatu yang inhern
dalam kehidupan setiap manusia. Karena
Ingsun merupakan sumber dari kisah
penciptaan.39 Hanya saja tidak setiap manusia
mau dan atau mampu menerimanya sebagai
bagian dari dirinya. Siti Jenar—dan siapa pun
yang memahami Ingsun—sudah secara tidak
langsung telah menghayati dua wilayah
sekaligus, yaitu; Ingsun dalam konteks raga/
fisik/ badan dan Ingsun dalam konteks the
Ultimate Reality. Pada konteks Ingsun raga
berorientasi pada pijakan tubuh fisik yang
meliputi bukan hanya pada badan melainkan
juga jiwa dan nyawa. Pada konteks ini Siti
Jenar melalui muridnya—Ki Kebokenongo—
menguraikan bahwa agama seharusnya
mengarahkan setiap para pemeluknya
menjadi orang yang hidup menyatu dengan
alam dan merdeka. Yaitu hidup yang
berupaya menerima realitas antara kebaikan
(becik, goodness) dengan keburukan (ala,
badness), kehidupan (urip, life) dengan
kematian (pralaya, death), dan Tuhan (Gusti,
God) dengan hamba (kawula, slave). Berikut
ajaran Siti Jenar,
Wong neng nusapada iki,
Mung mengku kalih prakara,
Ala becik loro kuwe,
Urip jodhone pralaya,
Gusti lawan kawula,
Nanging Kyageng Pengging tambuh,
Wong mati tan ngrasa laya.
Artinya:
Manusia yang berada di alam semesta ini,
Hanya menhadapi dua persoalan,
Baik buruk berpasangan dengan kamu,
HIdup berpasangan dengan mati,
Tuhan bersama hamba,
Tetapi Kyageng Pengging tidak memahaminya,
Orang yang mati tidak merasakan mati
Dalam kaitannya Ingsun ragawi akan
senantiasa berhadapan dengan keburukan,
kematian, dan kehambaan. Ketiga hal
ini menjadi realitas wajib yang melekat
pada setiap manusia, yang seharusnya disadari
setiap manusia. Pada tataran ini Ingsun ragawi
yaitu ingsun yang relative. Ingsun ragawi
yaitu yang senantiasa berubah wujud,
bentuk, dan tempat. Pada Ingsun inilah inilah
mungkin yang oleh Paul F Knitter disebut
dengan anthropocentrism.41 Pada Ingsun ini
pula manusia sebagai imago dei, citra ilahi
yang nyata. Bahkan berpijak pada Ingsun ini
pulalah kesadaran akan adanya Pencipta
(Khaliq, Creator), ciptaan (makhluq, creatures),
dan etika (akhlaq, ethic). Hubungan antara
Tuhan dan Hamba itulah yang secara sosial
dan rohani melahirkan hokum-hukum yang
mendamaikan. Hokum-hukum yang tidak
diatur dan ditentukan oleh penguasa yang
mengatasnamakan agama, melainkan ho-
kum-hukum yang berpijak pada setiap
kesadaran diri individu yang tercerahkan
yang senantiasa mendamaikan diri, orang
lain, dan alam sekitar.
Sementara itu Ingsun dalam konteks Ilahi
yaitu Ingsun yang Abadi. Ingsun dalam hal
ini yaitu Ingsun yang senantisa berkaiatan
dengan the Ultimate Reality, Tuhan, Gusti,
atau Sang Kebenaran.Ingsun Ilahi yaitu
Ingsun sebagaimana dikatakan dan disaksikan
oleh Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, dan
Ismaili. Ingsun dalam hal ini yaitu Ingsun
yang hanya diperintah secara langsung oleh
Tuhan. Proses pencapaian kesadaran akan
Ingsun Ilahi pada diri manusia biasanya
melalui perjalanan spiritual yang disebut
dengan ittihad42 dan hulul.43 Pada saat
seseorang merasakan dirinya sebagai Ingsun
Ilahi itu biasa disebut dengan wahdat al-syuhud
atau wahdat al-wujud. Biasanya pula orang
yang mengalami demikian sering
mengatakan sesuatu (yang disebut syathohat)
yang terkadang berlawanan dengan
pandangan masyarakat umum. Meskipun
demikian, sebagian kalangan muslim
memahami bahwa orang yang mengalami
demikian tidak bisa dihukum sesuai dengan
hokum agama.
Implikasi dari Ingsun Ilahi ini yaitu
adanya pemahaman bahwa Ingsun Ilahi yang
bersemayam dalam diri manusia yaitu
Ingsun Sang Abadi, Ingsun Yang Mutlak.
Ingsun inilah yang merupakan the Ultimate
Reality yang harus disembah oleh setiap
hamba. Ingsun Sang Abadi ini juga
bersemayam di dalam diri setiap manusia,
hanya saja tidak semua orang menyadarinya.
Selain itu, tidak semua orang meneladani
Tuhan secara baik. Oleh karena itu,
meskipun setiap manusia yaitu Ingsun Ilahi
tetapi tidak setiap orang pula mengakui
dirinya sebagai Tuhan. Untuk bisa
memahami bahwa dirinya yaitu Tuhan
Yang Nyata, manusia harus melewati latihan
spiritual serta perjalanan rohani yang tidak
gampang. Manusia yang mengaku dirinya
sebagai Ingsun Ilahi dia harus meneladani
sifat-sifat Tuhan dan bersifat sebagaimana
sifat 20 yang ada pada Tuhan.
Orang yang telah mampu meneladani
perbuatan Tuhan, maka orientasi hidupnya
akan senantiasa pada bagaimana menjunjung
tinggi kebaikan, Tuhan, dan kehidupan,
mungkin ketiga komponen itu oleh Paul F
Knitter disebut dengan biocentrism.44 Suatu
paham yang berorientasi pada keabadian
yaitu kebaikan abadi, Tuhan, dan kehidupan
itu sendiri. Suatu keabadian yang tidak hanya
berorientasi atas nama Tuhan, melainkan
juga atas nama seluruh makhluk Tuhan yang
diberi kesempatan hidup oleh Tuhan. Karena
dalam diri seluruh makhluk itu Tuhan
menampakkan Diri-Nya. Meskipun
demikian, tidak lantas setiap makhluk Tuhan
yaitu Tuhan, karena Tuhan yaitu berbeda
dengan seluruh makhluk-Nya.
Wacana ke-Aku-an (Ingsun) sebenarnya
bukan sesuatu yang baru dalam dunia Islam.
Sayangnya sebagian umat Islam—terutama di
negara kita —memahami secara tidak
komprehensif konsep Ingsun ini .
Apalagi jika tulisan-tulisan yang berkaitan
dengan ajaran Ingsun itu lebih
menitikberatkan pada uraian politik dan
sikap keberagamaan yang berbeda dengan
penguasa suatu zaman. Sehingga hakekat
Ingsun itu menjadi kabur. Selain Syekh Siti
Jenar, tokoh-tokoh Islam seperti Abu Yazid al-
Busthami, al-Hallaj, dan Ismaili telah
mengawali ajaran Ingsun ini . Hanya saja
perhatian masyarakat tidak meyeluruh,
sehingga Ingsun itu kehilangan makna
aslinya.
Sebenarnya, ajaran Ingsun berupaya
mengembalikan kesadaran manusia pada
kesejatiannya terutama berakitan dengan
agama. Ingsun membuka kesadaran bahwa
setiap manusia harus menerima kenyataan
hidup ini yang selalu berpasangan baik-buruk,
kehidupan-kematian, dan Tuhan-hamba.
Kebaikan, kehidupan, dan Tuhan yaitu
realitas Abadi Tuhan. Sedangkan,
keburukan, kematian, dan hamba yaitu
realitas manusia. Ajaran Ingsun
menjembatani kesenjangan antara manusia
dan Tuhan itu sendiri.