syeh siti jenar 4

 


Islam yaitu  agama yang sejak awal diturunkannya diterima dan diamalkan 

oleh warga  urban, atau warga  perkotaan di Makkah dan Madinah. 

Yakni diterima suatu lapisan warga  yang mampu berfikir rasional dan logis, 

mampu membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas antara yang Islam 

dan yang bukan Islam. Istilah-istilah musyrik dan tauhid, Islam dan kafir,  yang 

Islami dan jahiliyyah, mereka ciptakan yaitu  untuk menarik garis tegas pemisah 

antara sunnah ajaran Islam dengan tradisi Jahiliyah. Firman Allah Lakum 

diinukum waliya diin (untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku) 

merupakan penegasan bahwa dalam masalah agama tidak bisa dikompromikan 

dan dicampuradukkan. jadi, dalam masalah agama tidak kenal kompromi dengan 

tradisi keagamaan zaman jahiliyyah agar sesuai dengan ajaran-ajaran Tuhan yang 

benar. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran semisal firman Allah SWT :  

“Apabila dikatakan kepada mereka :“Marilah mengikuti apa yang 

diturunkan allah dan mengikuti Rasul ”, mereka mengatakan : “Cukuplah untuk 

kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah 

mereka akan mengikuti juga nenenk-moyang mereka walaupun nenek-moyang 

mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk ? (Quran  5 : 104). 

Dengan prinsip beragama menurut dalil atau petunjuk wahyu yang benar, 

Umat Islam pada kurun pertama di bawah bimbingan langsung Nabi berhasil 

memperagakan pemahaman, penghayatan dan pengalaman Islam yang benar-

benar murni dan segar sehingga terbentuk suatu umat baru dan menjadi Khairu 

Ummat pada waktu itu. Keistimewaan Islam yaitu  punya sejarah yang jelas 

semenjak diturunkannya wahyu pertama hingga jadi agama yang sempurna dan 

utuh sebelum wafatnya Nabi. Hal ini diterangkan dalam surat Ma’idah ayat 3 

sebagai berikut : “ Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan 

telah ku-ucapkan kepadamu nikmat-ku, dan telah Aku ridhloi Islam itu jadi 

agama bagimu”. 

Oleh karena itu walaupun kini Islam telah banyak mendapat pengaruh 

berbagai macam peradaban dan tradisi jahiliyah, namun ilmu pengetahuan modern 

menawarkan kemampuan untuk menggunakan analisis kritik kesejarahan bagi 

umat yang rindu pada jiwa Islam yang murni seperti yang di amalkan oleh nabi 

dan sahabat-sahabat beliau.

Pesan terakhir Rasullulah SAW dalam haji wada’ 

Aku tinggalkan dua hal kepada kalian dimana kalian tidaka akan sesat 

selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah 

rasulnya (Diriwayatkan Al-Hakim)

Namun semenjak abad ketigabelas mulai merosot, dan akhirnya menjadi 

umat yang paling kontit hingga mudah diperbudak oleh bangsa-bangsa barat yang 

maju dari umat Islam. Mengapa bisa terjadi kemerosotan yang demikian tragis 

dan terpelanting jadi umat yang paling dungu dan jauh ketinggalan dengan laju 

peradaban modern dewasa ini? Dalam menjawab persoalan ini para pemikir dan 

peneliti umumnya menyimpulkan; bahwa diantara sebab-sebab yang amat 

komplek, tasawuf atau sufisme-lah yang merupakan sebab yang paling utama bagi 

kemunduran  pemikiran Islam. 

Hal yang demikian ini  di atas pernah dibenarkan oleh penulis buku 

“The New World Of Islam“ Lothrop Stoddard, mengatakan bahwa kemunduran 

Islam disebabkan karena umat Islam meninggalkan ajaran ketauhidan yang 

diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka telah diselubungi oleh khurafat 

dan paham kesufian. Mesjid-mesjid ditinggalkan oleh golongan besar yang awam. 

Mereka menghiasi diri dengan azimat, penangkal penyakit dan tasbih. 3  

Apakah betul kesimpulan semacam ini, dan apa kiranya alasan mereka 

menghukumi tasawuf  sebagai penyebab yang paling utama bagi kemunduran 

pemikiran Islam? Untuk mengecek kebenaran pandangan disini perlu dilacak 

tentang sebab-sebab timbul dan berkembangnya pendekatan sufisme yang 

dipergunakan dan diandalkan oleh para sufi untuk memahami dan 

                                         

menginterpretasikan ajaran Islam, dan apa kelemahan pendekatan ini serta dan 

bagaimana kehebatannya.       

Tasawuf atau mistik pada dasarnya yaitu  ekstrim rohaniah (spritual). Maka 

penerapan ajaran mistik untuk memahami Islam tentu membawa perubahan besar. 

Aspek kerohanian Islam yang mereka tekankan dan dikembangkannya dengan 

penafsiran dan pemahaman dari sudut (kacamata) ajaran tasawuf.4 

Tasawuf yaitu  proses pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya sulit 

di definisikan. Tasawuf tampak merupakan upaya akal manusia untuk memahami 

hakekat segala sesuatu, dan untuk menikmati hubungan intim dengan Allah SWT. 

Adapan aspek pertama dari upaya ini yaitu  segi falsafi dibandingkan  tasawuf ; sedang 

aspek kedua yaitu  segi agamis. Kegiatan pertama bersifat pemikiran dan 

renungan ; sedang kegiatan kedua amali. Dan segi amali dibandingkan  tasawuf muncul 

terlebih dahulu dibandingkan  segi falsafinya. Para Sufi itu memulai kegiatannya 

selamanya dari mujahadah dan riyalat, bukan dengan merenung dan berpikir. Oleh 

karena itu ‘hati’ yaitu  lebih penting dibandingkan  akal bagi para sufi ; bahkan hal itu 

bagi para sufi yaitu  segalanya, karenanya hati mereka pandang sebagai 

‘singgasana’ bagi Allah SWT. 

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tasawuf bermula dari amalan-amalan 

praktis. Yakni laku mujahadah yang utama. Dari kepercayaan warga  yang 

gaib, atau dari ajaran agama tentang adanya Tuhan, merangsang keinginan 

sebagian tokoh agama untuk mencoba bermeditasi, mencari jalan agar dapat 

bertemu muka dan mendapat wangsit (wahyu) secara langsung dari Tuhan atau 

                                                

Zat yang gaib. Baru sesudah diantara mereka berhasil makrifat kepada Tuhan dan 

mendapat wangsit, ada yang mencoba menyusun ajaran atau falsafah 

ketasawufannya dengan konsep-konsep hasil pemikirannya atau meminjam dan 

menggunakan konsep-konsep ajaran orang lain.Dalam perkembangan tasawuf 

misalnya, yang mula-mula timbul yaitu  gerakan zuhud yang meningkat ke laku 

tapa-brata  atau mujahadah dan riyalat dirintis oleh Ibrahim Bin Adham ( w. 

777M./162H.), dan Rabiah al-Adawiyah ( w. 801M./ 185H.), dan lain-lainnya. 

Baru kemudian muncul pemikir-pemikir tasawuf yang besar seperti Husein Bin 

Mansur al-Hallaj, Imam al-Ghazali, Ibnu ‘ Arabi, dan lain-lainya. Pemikiran 

falsafi dalam tasawuf muncul sesudah di antara para sufi ahli pikir mencapai 

puncak penghayatan makrifat mereka. Kemudian berusaha menyoroti aspek-aspek 

ajaran Islam dari sudut paham kemistikan mereka. Maka muncullah konsep-

konsep ittihad, hulul, wahdat al-wujud, wushul, dan sebagainya. Istilah-istilah ini 

menggambarkan penilaian atau paham mereka tentang puncak penghayatan fana’ 

dan makrifat mereka.5 

Umat Islam diajar untuk bersikap tengah-tengah dan menjauh watak yang 

ekstrim. Dalam Al-Quran dan Tafsirannya terbitan Departemen Agama jilid 

pertama ayat di atas diterangkan :  

“Mereka (umat Islam) dalam segala aspek persoalan hidup berada di tengah-

tengah antara orang-orang yang kebendaan dalam hidunya seperti orang-

orang yahudi, Musyrikin, serta orang-orang yang tidak beragama, dan 

orang-orang yang hanya mementingkan kerohanian saja seperti orang-orang 

(pendeta) Nasrani, Sabiin dan orang-orang Hindu “.

Di kalangan kaum sufi, istilah syari’at memiliki  makna tersendiri yang 

dapat dikatakan berbeda dari pengertian ynag diberikan oleh para ahli hukum 

Islam. Di kalangan ahli-ahli hukum Islam, syariah diartikan seluruh ketentuan 

yang ada dalam Al-Quran dan Al-sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, 

akhlaq maupun aktivitas manusia baik yang baik yang berupa ibadah maupun 

muamalah. Sama dengan pengertian Fiqh pada periode Rasulullah SAW. 

Syariat dan Fiqh memiliki perbedaan-perbedaan terutama setelah masa 

Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Asaf A.A.Fyzee, misalnya mengatakan :  

“ Syariat memiliki  ruang lingkup yang lebih luas, meliputi seluruh aspek 

kehidupan manusia ; sedangkan ruang lingkup fiqh lebih sempit, dan hanya 

menyangkut hal-hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan 

hukum, syariat senantiasa mengingatkan kita (bahwa ia bersumber) pada 

wahyu, ilm (pengetahuan) tetang wahyu itu tidak akan diperoleh kecuali dari 

atau dengan perantara Al-Quran dan Hadits ; dalam fiqh kemampuan 

penalaran ditekankan sekali, dan kesimpualan-kesimpulan (Hukum) yang 

didasarkan kepada ‘ilm itu senantiasa dilakukan dengan cara yang 

meyakinkan. Arah tujuan syariat ditetapkan oleh Tuhan dan Nabi-nya ; 

sedangkan materi yang tercantum dalam fiqh disusun dan diangkat atas 

usaha manusia. Dalam fiqh suatu pekerjaan bisa sah atau haram, boleh atau 

tidak. Sedangkan dalam syariat banyak ada  tingkatan-tingkatan yang 

dibolehkan atau tidak. Dengan demikian, fiqh merupakan terminologi 

tentang hukum sebagai suatu ilmu;sementara syariat lebih merupakan 

perintah Ilahi yang harus diikuti “. 

 

Dari penjelasan itu terlihat bahwa syariat meliputi seluruh aspek kehidupan, 

baik aqidah, ibadah maupun muamalah dan juga akhlaq. Di kalangan kaum sufi, 

syariat berarti amal ibadah lahiriyah (eksoterik). Gerakan-gerakan sholat dimulai 

dari menghadap kiblat, berdiri, ruku, sujud, dan seterusnya, demikian pula bacaan-

bacaan yang telah ditentukan di dalamnya yaitu  amal ibadah lahiriyah (syariat). 

Perjalanan ke baitullah, thawaf, sai, wukuf di Arafah dan lainnya yaitu  syariat, 

amal ibadah yang bersifat lahiriyah. 

Dalam ajaran tasawuf, pelaksanaan ibadah yang hanya melakukan gerakan-

gerakan dan bacaan-bacaan tanpa memahami makna yang ada dalam ibadah 

ini , maka tidak obahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa 

mengerti apa yang dibacanya. Kehidupan keberagaman dengan ibadah yang hanya 

terkonsentrasi kepada amal lahiriyah (syariat) ini akan hampa, karena hati kosong 

dari hakekat ibadah yang sedang dilakukan. Makna yang terkandung di dalam 

ibadah–ibadah inilah di kalangan tasawuf  yang dikenal dengan istilah haqiqah 

(hakikat). 

Timbulnya ajaran Islam kejawen itu melahirkan juga ajaran-ajaran yang 

berbentuk  suluk dan primbon. Ajaran ini menciptakan ajaran atau gerakan 

Pamoring Kawulo Gusti. Gerakan ini mendapatkan dukungan di kalangan 

warga  Islam agraris yang berpikiran sederhana dan masih berpegang kuat 

terhdapa tradisi dan ajaran hindu yang asli. warga  pedalaman menerima 

ajaran agama Islam hanya untuk abon-aboning ngaurip (kelengkapan hidup 

manusia), maka mereka memerlukan syariat untuk sampai pada hakikat-hakikat 

agama. Filsafat ini jelas bersifat teologis dan terlihat pada tulisan tentang tasawuf 

Islam yang muncul pada abad X1X. 

Hasil itu merupakan perpaduan antara agama asli, Hindu, dan Islam, seperti 

terungkap pada serat atau buku-buku serat senthini, falsafah Gatholoco, Serat 

Darmagandhul, Kramaleya, dan sebagainya. Oleh karena dalam kenyataannya 

agama Islam kejawen ini masih memerlukan teteki, sesirih, dan perihatin dalam 

rangka mendekatkan diri dengan Tuhannya dengan caranya sendiri.                     

Ajaran Syekh Siti Jenar sampai saat ini masih menjadi perdebatan hangat 

bagi ulama syariah. Kitab Bayan Budiman memberikan elaborasi yang 

komprehensif tentang kolerasi antara syariah dan sufisme. yang dianggap oleh 

syariat ajaran Syekh Siti Jenar sesat, Bidah dan anti syariah. Dalam Kitab Bayan 

Budiman justru terbalik apa yang selama ini dituduhkan oleh kelompok syariah.    

Syariah atau sufisme, semuanya merupakan bentuk pelaksanaan dari ajaran 

Islam dimana yang pertama mementingkan sistem tindakan ibadah dan yang 

kedua lebih mementingkan kebertautan hati, ruhani, dan mental ibadah dengan 

tujuan akhir mendekatkan diri kepada allah. Namun keduanya berakar dari suatu 

kepercayaan dan kesadaran akan adanya sumber kekuatan sakral atau gaib yang 

bisa menempali segala objek di dunia profan.  

Pencapaian kesempurnaan dalam kitab Bayan Budiman yang disadur bukan 

dilakukan dengan menolak syariat. Namun, hanya dengan memegang ajaran 

syariat saja dipandang kitab ini belum cukup untuk bisa mencapai suatu tahap 

ibadah kasampurnan (kasampurnaan) dan makrifat. Pencapaian kasampurnan 

sebagai tujuan akhir dari ibadah kepada allah membutuhkan penyerahan sepenuh 

hati kepada allah yang menjadi inti dari iman yaitu kesadaran tentang adanya 

Tuhan dengan segala sifatnya yang selalu hadir aktual dalam diri setiap orang. 

Kesadaran atas sifat-sifat Tuhan itu akan membuat manusia akan memiliki  

                                                

kemampuan menembus batas-batas fisik material dengan  hatinya yang bersih dan 

jernih.

Apa yang telah dikemukakan di atas, penulis tergugah untuk mengetahui 

lebih jauh mengenai kombinasi atau kaitan antara ajaran tasawuf dan Syariah. 

Dalam hal,  mengenai peribadatan Syekh Siti Jenar yang ada dalam Kitab Bayan 

Budiman. Oleh karenanya penulis merasa tertarik untuk mengupas lebih dalam hal 

ini . Dengan menjadikannya judul skripsi : “Konsep Peribadatan Syekh Siti 

Jenar Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Terhadap Kitab Bayan Budiman)”. 

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah  

Agar pembahasan dalam penulisan skripsi ini tidak melebar dan lebih 

terarah pada tema yang diharapkan, maka penulis membatasi pembahasan pada 

masalah konsep peribadatan Syekh Siti Jenar yang tertulis dalam Kitab Bayan 

Budiman.   

Dengan membatasi pembahasan, penulis merumuskan pokok masalah dalam 

skripsi ini :  

1. Bagaimana konsep peribadatan Syekh Siti Jenar dalam Kitab Bayan 

Budiman? 

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam tentang konsep peribadatan 

Syekh Siti Jenar? 

Dengan pembatasan dan perumusan masalah diatas, diharapkan skripsi ini 

dapat menjelaskan sesuai dengan tema yang kami ambil dalam judul skripsi yaitu: 

Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar dalam Perspektif Hukum Islam (studi 

terhadap Kitab Bayan Budiman).  

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa permasalahan 

sebagai berikut:   

1. Untuk mengetahui konsep peribadatan Syekh Siti Jenar. 

2. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap konsep 

peribadatan Syekh Siti Jenar.  

Adapun manfaat dari penelitian yaitu  : 

1. Dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam studi sejarah tasawuf  

terutama ajaran Syekh Siti Jenar dan relevansinya dengan kajian 

Hukum Islam.  

D. Metodologi Penelitian dan Metode Penulisan 

Metodologi penelitian dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode jenis 

penelitian kepustakaan (library research) sebagai pisau analisis dengan 

pendekatan deskriptif, yaitu berusaha mengumpulkan informasi dan data 

sebanyak-banyaknya. Metode ini menggunakan dua jenis data yang dibutuhkan, 

Primer dan Sekunder. 

Data primernya yaitu  Kitab Bayan Budiman dan juga penjelasan yang 

berkaitan dengan kitab ini . kemudian dianalisis secara kualitatif, dengan 

pendekatan analisis kepustakaan dan analisis para ilmuwan dan juga ditambah 

analisis penulis pribadi.  


ASAL-USUL SYEKH SITI JENAR DAN KONSEP 

PERIBADATANNYA 

A. Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar dan Kegiatan Keagamaannya. 

Syekh Siti Jenar, sebagaimana yang berkembang dalam warga , 

memiliki banyak banyak nama antara lain akibat di alihbahasakan ke dalam 

berbagai tingkatan dalam bahasa Jawa. Sebagian menyebut Syekh Siti Jenar 

dengan Sitibirit atau Siti Abrit. Sebagian yang lain sering memanggil dengan Siti 

Rekta, Lemah Bang atau Lemah Abang.1  

Berdasarkan penelitian Dalhar Shodiq menyebutkan bahwa sebagian orang 

menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari Cirebon. Ia yaitu  putra dari 

seorang raja pendeta. Ayahnya bernama Resi Bungsu dan nama asli Syekh Siti 

Jenar ini ialah Ali Hasan alias Abdul Jalil. Suatu saat, sang ayah marah besar atas 

kesalahan yang dilakukan anaknya ini . Sang ayah lalu dan menyihir sang 

anak, sehingga berubah menjadi seekor cacing yang lalu dibuang ke sungai.

Syaikh Abu Al-Fadl menyatakan bahwa nama asli Syekh Siti Jenar yaitu  

Abdul Jalil bin Abdul Qadir. Jika benar Abdul Qadir yang dimaksud Mbah Dlol3 

disini yaitu  Sunan Gunung Jati Putera Maulana Ishaq, maka dapat dikatakan 

bahwa Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar) yaitu  keponakan Raden Paku alias Sunan 

Giri, meskipun dari jalur yang berbeda. Jikalau Sunan Giri yaitu  putra Maulana 

Ishaq dengan ibu dari Blambangan, maka Sunan Gunung Jati (Abdul Qadir) yang 

kemudian menurunkan Sayyid Abdul Jalil yaitu  putra Maulana Ishaq dengan ibu 

yang berasal dari Pasai.

Solichin Salam memiliki  pendapat lain lagi. Menurutnya asal-usul dari 

Syaikh Siti Jenar tidak diketahui secara pasti. Namun demikian Solichin Salam 

mengutip pendapat Cemar Amin Husain, seorang bekas Attache pers pada 

kedutaan RI di Mesir. Berpendapat bahwa nama Siti Jenar barangkali karena 

kesalahan dalam mengucapkan lafal Sidi Jinnar yang berasal dari bahasa Persia. 

Sidi berarti Tuan, sedangkan Jinnar yaitu  orang yang memiliki  kekuatan 

seperti Api. Hal ini dihubungkan dengan kebudayaan yang ada antara negara kita  

dengan Persia.

 Nama Siti Jenar menjadi penting bukan hanya karena banyak 

keterkaitannya dengan sejarah perjuangan perkembangan Islam di negara kita  dan 

dinamika kekuasaan politik kerajaan Demak. Posisi Syekh Siti Jenar yang lebih 

dekat elite keturunan terakhir Majapahit yang tidak bersedia tunduk pada 

kekuasaan Raden Fatah dengan mengembangkan ajaran di luar mainstrem ajaran 

walisongo ini . Sikap dan ajarannya inilah yang antara lain menyebabkan 

mengapa kewalian Syekh Siti Jenar tidak diakui oleh Demak dan Walisingo.6 

Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap bahwa alam kehidupan 

manusia di dunia sebagai kematian, jelas menyimpang dari pendapat Wali Songo. 

Syekh Siti Jenar itu telah menyimpang dari ijma’ yaitu persesuaian pendapat para 

waliullah, qias yaitu hukum Islam yang bersendikan perbandingan dalil dan 

hadits, yang dipakai sebagai dasar dan pedoman pemerintahan kerajaan Bintara. 

Dasar keyakinan umum yang sudah berlaku yang selama ini mampu mengatasi 

berbagai macam persoalan, diputarbalikkan Syekh Siti Jenar dengan menyatakan 

bahwa dunia ini yaitu  alam kematian.7     

Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling menarik sekaligus kontroversial ialah 

ajarannya tentang hidup dan mati, Tuhan dan manusia, serta kewajiban memenuhi 

rukun Islam. Seluruh murid dan pengikutnya dalam kisah tentang Syekh Siti Jenar 

memilih mati dengan caranya sendiri. Kemampuan mematikan diri itu pernah 

menarik Sunan Kudus yang belajar merasakan kematian pada Ki Ageng Pengging 

yang juga dikenal dengan nama Ki Kebokenongo. 8   

Pandangan Syekh Siti jenar bahwa ia tidak wajib salat dan segala rukun 

dalam Islam dan aturan formal yang disusun dalam ilmu syariah, bukan hanya 

didasari oleh konsepnya tentang manusia- Tuhan. Melainkan juga didasari oleh 

pandangannya tentang makna hidup dan mati. Syekh siti jenar memandang bahwa 

aturan syariat hanya berlaku bagi mereka yang telah mati. Pandangan ini sekilas 

mirip dengan pandangan kebanyakan ulama lainnya, namun sesungguhnya 

berbeda.  

Letak perbedaannya ada pada konsep tentang siapa yang disebut mati dan 

dan dimana letak kehidupan dan kematian. Bagi syekh siti jenar, alam dunia ini 

yaitu  tempat kematian manusia, sehingga hukum syariah tidak berlaku disini. 

Hukum syariah baru berlaku nanti di sana sesudah manusia menemui ajalnya. 

Karena itu, syekh siti jenar memandang bahwa neraka dan surga sudah ada di 

dunia sekarang. Ia berupa pertentangan berpasangan yaitu susah-senang, bahagia-

menderita, rugi-untung, dan pertentangan berpasangan lainnya. Yang merupakan 

kenampakan surga di dunia.  

Bagi Syekh Siti Jenar, hakikat manusia itu ialah jiwanya yang terperangkap 

dalam raga, sehingga manusia terus menerus menghadapai kesengsaraan. Manusia 

baru akan memperoleh kebebasan dari segala derita sesudah menemui ajal di 

mana kehidupan hakiki baru dimulai. Pandangan seperti ini sebenarnya bukan 

barang asing di dalam sejarah Islam dan sejarah pemikiran sebagaimana bisa 

dilihat dari pemikiran Plato dan juga Imam Al-ghazali.  

Sesudah manusia menemui ajal, barulah segala pertentangan akan hilang dan 

berakhir. Syekh Siti Jenar memandang bahwa tempat atau posisi Tuhan ada di 

dalam diri manusia. Pandangan seperti ini juga bisa di temukan dalam pandangan 

dan praktek sufi terkenal Al-Hallaj yang melahirkan konsep tentang wahdatul 

wujud. Ajaran Syekh siti jenar paling kontroversial terkait dengan konsepnya 

tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat keberlakuan syariat 

ini .  

Berbeda dari kesadaran dan pengetahuan yang umum berlaku, Syekh Siti 

Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia sekarang ini disebut 

sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian 

justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Karena itu ia 

memandang manusia yang hidup di dunia kini sebagai bangkai yang memiliki 

keinginan yang selalu berubah-ubah. Konsekuensinya, ia tidak dapat di kenai 

hukum sebagaimana ketentuan syariah. Karena itu manusia di dunia ini tidak 

harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, salat, puasa, zakat, dan 

haji.  

Pokok pandangan itu juga membawa pada kesimpulan lain tentang 

hubungan manusia dengan Tuhan Allah, alam semesta dan Tuhan Allah. Syekh 

Siti Jenar juga berpendapat bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di 

dalam budi. Ini mirip dengan konsep Al-Hallaj tentang hulul yang berkaitan 

dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Karena itu, Syekh Siti Jenar dan 

pengikutnya menolak tunduk di bawah pemeritahan raja. Bagi Syekh Siti Jenar, 

kataatan mereka secara mutlak diberikan hanya kepada Tuhan yang mewujud di 

dalam budi. Tempat bersemayam Tuhan dalam diri setiap orang. 9              

Ajaran dan seluruh pandangan Syekh Siti Jenar bersumber pada gagasan 

sentral tentang ketuhanan yang ada dalam penelitian Dalhar dikaji dari, antara 

lain, buku Falsafah Siti Jenar karya Brotokesowo berbentuk tembang dalam 

bahasa jawa. Buku itu membahas konsepsi ketuhanan menurut penafsiran Syekh 

Siti Jenar yang sebagian merupakan dialog Syekh Siti Jenar dengan KI 

Kebokenongo atau ki Ageng Pengging yang kemudian menjadi murid setianya 

dan bersamanya membangkang tidak hanya kepada sultan Demak, tetapi juga 

kepada Wali Songo.

Abdul Hakim Hassin dalam kitabnya Al-Tashawwuf fi al-Syi’ri ‘l-Arabi 

yang dikutip Simuh (Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam), menerangkan 

sebagai berikut :  

                                       

“ Tasawuf yaitu  proses pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya 

sulit didefinisikan. Tasawuf tampak merupakan upaya akal manusia untuk 

memahami hakikat segala sesuatu, dan untuk menikmati hubungan intim 

dengan Allah SWT. Adapun aspek pertama dari upaya ini yaitu  segi falsafi 

dibandingkan  tasawuf; sedang aspek kedua yaitu  segi agamis. Kegiatan pertama 

bersifat pemikiran dan renungan; sedang kegiatan kedua amali. Dan segi 

amali dibandingkan  tasawuf muncul terlebih dahulu dibandingkan  segi falsafinya. 

Para sufi itu memulai kegiatannya selamanya dari mujahadah dan riyalat, 

bukan dengan merenung dan berpikir. Oleh karena itu ‘hati’ yaitu  lebih 

penting dari pada akal bagi para sufi; bahkan hati itu bagi para sufi yaitu  

segalanya, karenanya hati mereka pandang sebagai ‘singgasana’ bagi Allah 

SWT.  

 

Kutipan diatas menunjukkan bahwa tasawuf bermula dari amalan-amalan 

praktis. Yakni laku mujahadah yang utama. dan kepercayaan warga  tentang 

yang ghaib, atau dari ajaran agama tentang adanya tuhan, merangsang keinginan 

sebagian tokoh agama untuk mencoba bermeditasi, mencari jalan agar dapat 

bertemu muka dan mendapat wangsit (wahyu) secra langsung dari tuhan atau zat 

yang ghaib. baru sesudah di antara mereka berhasil makrifat kepada tuhan dan 

mendapat wangsit, ada yang mencoba menyusun ajaran atau falsafah 

ketasawufannya dengan konsep-konsep pemikirannya atau meminjam dan 

mengubah konsep-konsep ajaran orang lain. Dalam perkembangannya tasawuf 

misalnya, yang mula-mula timbul yaitu  gerakan zuhud yang meningkat ke laku 

tapa brata atau mujahadah dan riyalat dirintis oleh Ibrahim Bin Adham (w.777 

M./162H.), dan Rabi’ah al-Adawiyah (w.801M./185H.), dan lain-lainnya. Baru 

kemudian muncul pemikir-pemikir tasawuf yang besar seperti husain Bin Mansur 

al-Hallaj, Imam al-Ghazali, Ibnu’ Arabi, dan lain-lainnya. Pemikiran falsafi dalam 

tasawuf muncul sesudah di antara para sufi ahli pikir mencapai puncak 

penghayatan makrifat mereka. Kemudian berusaha menyoroti aspek-aspek ajaran 

Islam dari sudut paham ke mistikan mereka. Maka muncullah konsep-konsep 

ittihad, hulul, wahdat al-wujud, wushul, dan sebagainya. Istilah-istilah ini 

menggambarkan penilaian atau paham mereka tentang puncak penghayatan fana’ 

dan makrifat mereka. Dalam hal ini R.A. Nicholson mengatakan :  

“ Whatever terms may be used to describe it, the unitive state is the 

culmination of the simplifying process by which the soul is gradually 

isolated from all that is foreign to it self, from all that is not God. Unlike 

Nirvana, which is merely the cessation of individuality, fana’, the passing-

away of the sufi from his phenomenal existence. He who dies to self lives in 

God, and fana’, the consummation of ths death, marks the attainment of 

baqa’, or union with the divine life”.  

 

Dengan istilah apapun yang mungkin dipergunakan untuk melukiskannya, 

penghayatan manunggal (dengan Tuhan) yaitu  puncak penghayatan dengan 

mana pengalaman kejiwaan meningkat keterasingannya dengan segala yang 

bukan dirinya, dari apa yang bukan Tuhan. Beebeda dengan konsep Nirwana, 

yang semata kebebasan dari nafsu kediriannya, fana’nya dari sufi dari alam 

phenomena, berarti baka, didalam keberadaannya yang sejati. Barang siapa mati 

nafsu kediriannya hidup di dalam Tuhan; dan fana’ yaitu  perwujudan kematian 

ini, ditandai tercapainya kekekalan, atau hidup di dalam kesatuan dengan Tuhan.  

Dalam tasawuf penghayatan Manunggaling Kawula Gusti ini bisa mereka 

capai melalui memuncaknya penghayatan fana’ hingga fana’ al- fana’ dala zikir, 

dan bisa pula dari pendalaman rasa cinta rindu yang memuncak pada mabuk cinta 

(sakar) di dalam tuhan, atau dari kedua-duanya dari mendalamnya cinta dalam 

zikir dan fana’al-fana’). Penghayatan manunggal dengan Tuhan yang berasal dari 

dari gelora rasa cinta bisa dipahami dari evolusi dalam mengalami sepuluh tangga 

ahwal, yaitu dari cinta mendalam hingga syauq (rindu-dendam), dan kemudian 

meningkat jadi pengalaman ‘Uns’, yakni kegilaan dalam asyik-masyuk (intim) 

dengan Tuhannya. Dalam Risalah al- Qusyairiyah dinukil ungkapan para sufi 

sebagai berikut : “Pecinta itu syaratnya sampai mabuk (gila) cinta, bila belum 

sampai seperti itu, cintanya belum benar-benar (belum sempurna).  

        Juga dalam Risalah di atas di nukil kata Sari Al-Saqti : ” Tidak sempurna 

percintaan antara dua orang sehingga keduanya saling mendaku ”. 

Jelasnya, mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf 

para sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud, 

yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan. Kemudian dari wahdat 

a-syuhud memuncak jadi wahdat al-wujud atau monisme, segala yang ada ini 

yaitu  Allah.  

Dalam tasawuf kecenderungan ke arah paham kesatuan antara Tuhan ini di 

mulai tampak dalam penghayatan ittihad  (the unitive state) yang diungkapkan 

oleh Abu Yazid al-Bisthomi (w.261 H./875M).  

Dalam perkembangan pemikiran sufisme Abu Yazid al-Busthomi dipandang 

sebagai tokoh yang memperkenalkan paham ittihad atau kesatuan antara manusia 

dengan Tuhan, atau dalam konsep kejawen dinyatakan dengan konsep 

Manunggaling Kawulo Gusti. 11 

B. Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti Sebagai Soko Guru Ajaran Syekh 

Siti    Jenar.    

Di dalam Serat Wedhatama, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Backy 

Syafa’, “Ajaran dan Pemikiran Syaikh Siti Jenar”, disebutkan bahwa jalan untuk 

mencapai Manunggaling Kawulo Gusti seperti ajaran Siti Jenar dapat diperoleh 

dengan cara “ Ngelmu Kang Nyata/Ngelmu Luhung/Ilmu Hakikat”. 

Adapun jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan dalam 

Serat Wedhatama dirumuskan menjadi Sembah Catur (Empat macam sembah). 

Hal ini diungkapkan sebagai berukut :  

“ Semengko insun tutur/ Sembah catru supaya lamuntur/ Dhihn raga, cipta, 

jiwa, rasa kaki/ingkono lamun tinemo/ Tandha nugrahaning Mathan.“Kini 

kuterapkan empat macam sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Keempatnya 

apabila berhasil, itu pertanda anugerah Tuhan”. 

 

Keempat macam sembah ini secara berurutan merupakan gubahan dari 

keempat tingkat dalam pengamalan ajaran tasawuf. Sembah raga yaitu  Syariat, 

sembah cipta yaitu  Tarekat, sembah jiwa yaitu  Hakikat, sedang sembah rasa 

yaitu  Hakikat. Jadi keempatnya yaitu  gubahan dari syariat, tarekat, hakikat dan 

makrifat. 

Selanjutnya diterangkan bahwa sembah raga sucinya dengan air dan 

menjalakan shalat lima waktu dan berpegang aturan syariat. Adapun sembah 

qalbu (cipta) secinya tanpa air akan tetapi menahan dan mengurangi kridanya 

hawa nafsu. Kemudian sembah jiwa (hakikat) diterangkan merupakan puncak 

akhir dari pada laku bathin. Sucinya dengan hati awas dan ingat. Apabila 

mendapat anugerah Tuhan qalbu akan terbuka ke alam batin dan akan nampak 

terang benderang. Adapun sembah rasa akan terlaksana tanpa petunjuk apapun, 

hanya terasa dalam batin. Segala menjadi terang benderang, segala was-was hati 

telah punah sama sekali, jiwa raganya berserah diri pada takdir Tuhan. 12     

                                                

12 Ahmad Zacky Syafa’,  Ajaran dan Pemikiran Syaikh Siti Jenar, h. 83-85. 

22 

 

Cara Syekh Siti Jenar memaparkan pandangannya tampak lebih sesuai 

logika dan kesadaran hidup orang jawa yang karena itu ajarannya tampak lebih 

meresap-menyatu di pasar kepercayaan mereka. Nama Syekh Siti Jenar sulit 

ditemukan di dalam kitab-kitab resmi terbitan negara kita  atau jawa, namun 

ajarannya begitu populer bagi publik jawa. Ensklopedia Islam yang disusun 

Departemen Agama pun tidak menyebut tokoh ini ketika menjelaskan panjang 

lebar tentang sejarah kehadiran wali atau Wali Songo di negeri ini. Nasib Syekh 

Siti Jenar seperti tokoh-tokoh besar sufi lainnya yang menentang arus kekuasaan 

politik pada masanya seperti Al-Hallaj.  

Salah satu uraian panjang yang dikemukan Syekh Siti Jenar yang akrab bagi 

wong jawa ialah konsepnya tentang warongko Manjing curigo yang dalam 

khasanah Islam di kenal dengan wahdatul wujud. Sikapnya yang anti kemapanan 

yang memang mudah dicapai melalui doktrin-doktrin hukum fiqih atau syariah 

yang formal dan positifistik telah membuat tokoh ini tak pernah di akui 

kehadirannya dalam sejarah Islam di Nusantara. Kehadiran Siti Jenar sebagai 

manusia historis yang pernah hidup dalam bentangan sejarah nasional memang 

menjadi bahan perdebatan panjang yang tidak pernah berakhir. Namun, 

pandangan Siti Jenar bukanlah barang asing bagi sejarah pemikiran  Islam seperti 

ia juga tidak asing dalam kesadaran orang jawa.  

Kejawen sebagai salah satu bentuk kesadaran keagamaan dan praktek hidup 

kaum abangan hampir selalu menimbulkan salah paham dan perdebatan di antara 

para ilmuwan atau para pelakunya sendiri. Kedudukan kejawen sebagai suatu 

                                                                                                                                 

 

23 

 

sistem kepercayaan itu sendiri juga menjadi perbantahan apakah ia merupakan 

bagian dari kebudayaan orang jawa atau merupakan salah satu bentuk kecerdasan 

lokal dari praktik Islam yang oleh pihak lain dikatakan sebagai praktik Islam yang 

belum selesai atau belum sempurna. Sementara yang lain lagi memandang 

kejawen sebagai suatu lapis tipis kesadaran keagamaan orang jawa yang tak 

memiliki akar yang kokoh, sehingga mudah berubah bentuk atau mudah 

bercampur dengan bentuk keagamaan yang bersumber dari beragam agama yang 

biasa disebut sebagai sinkretisme. 

Cara berpikir yang mendua inilah yang menyebabkan adanya sikap dan 

perilaku keagamaan orang jawa yang dapat mengekspresikan emosi keagamaan 

melalui ajaran dari keyakinan manapun, baik melalui agama-agama monoteis 

(Ilam dan kristen) maupun dengan cara mengikuti ritual suatu aliran kebatinan 

tertentu.13      

Diluar perdebatan di atas, kasus orang jawa yang merupakan bagian dari 

penduduk negeri yang majemuk secara budaya dan keagamaan sesungguhnya bisa 

memberi bahan untuk memahami berbagai praktik keberagaman di kawasan 

nusantara, terutama di pulau jawa. Mereka, orang jawa itu, umumnya tinggal dan 

menetap di pulau jawa yang dalam mitologi jawa di percaya sebagai “punjering 

jagad” atau pusat kosmos dan sebagai pusat kehidupan umat manusia. Secara 

geografis pusat jagad itu terletak di satu wilayah kecil di sisi selatan jawa tengah, 

dan yang lebih spesifik lagi menunjukkan kawasan yogyakarta dan solo yang juga 

di tempatkan sebagai pusat kebudayaan jawa.  

Dalam kaitan itu pula pergumulan keberagaman dari agama –agama besar di 

negeri ini sesudah beberapa abad agama itu merasuk ke wilayah nusantara 

nampak akan terus berlangsung dalam aras dan dimensi yang tentunya berbeda 

dari masa ke masa. Salah satu dari banyak hal yaitu tentang pergumulan 

keberagaman itu ialah hubungan mistisme di dalam semua agama-agama besar 

ini  dan dimana posisi kejawen beradan dan akan berada. Niels Mulder, 

dalam bukunya yang edisi terjemahan negara kita  berjudul Mistisisme Jawa; 

Ideologi di negara kita , dengan jelas menyatakan adanya kesepadanan antara 

mistisisme dengan kebatinan dan ilmu jawa kadang dan lebih sering disebut 

kejawen. 

Namun, disaat yang sama ekspansi kolosal orang jawa ke berbagai pulau di 

wilayah nusantara beserta budaya yang diusungnya, melalui transmigrasi, semakin 

menghadapi kritik amat tajam. Suatu praktik kekuasaan model Mataraman jawa 

yang juga mulai digugat sesudah jatuhnya rezim orde baru.   

Dilihat dari komunitas pemeluk Islam, agama yang dipeluk mayoritas 

penduduk di negeri ini, sebenarnya telah masuk dan berkembang di kawasan 

Nusantara lebih dari 10 abad lalu. Jauh sebelum majapahit runtuh, beberapa 

komunitas pemeluk Islam, konon bahkan sudah ada di pusat pemerintahan 

kerajaan besar ini . Sejak kerajaan Demak berdiri, lebih lima abad Islam terus 

berkembang dan menanamkan pengaruhnya dalam beragam aspek kehidupan 

nasional. Namun, mayoritas penduduk negeri ini tetap bangga dan kukuh untuk 

meneguhkan diri sebagai orang jawa dengan sistem kepercayaan dan budayanya 

sendiri.  

Sistem kepercayaan orang jawa, yang lebih dikenal sebagai kejawen, oleh 

sementara pihak di duga telah mengalami kebangkitan di akhir abad ke-20. 

banyak pihak berpendapat yaitu  kesalahan besar menganggap orang jawa itu 

begitu gampang menjadi muslim atau kristen, Budha atau Hindu. Menurut pihak 

ini, hal itu di sebabkan karena penganjur agama Islam atau kristen gagal 

memahami kesadaran hidup orang jawa dan kekuatan kejawen.14     

Di jawa memang perpaduan antara mistik Islam dengan budaya cukup 

kental. Bukan sekedar itu saja, bahkan ada aliran kebatinan yang cenderung 

menggerogoti dan menyerang umat Islam dengan karya-karya kebhatinannya.  

Sebut saja, misalnya kitab Gatoloco dan Darmogandul, yang menurut T.E. 

Behrend, menjadi lambang pornografi dan anti Islam dalam sastra jawa 

prakontemporer. 15 

Secara teoritis, sufí atau sufisme memang ditolak oleh berbagai gerakan 

Islam dan kaum sunni yang dianut mayoritas muslim di dunia. Namun demikian, 

praktek sufí merupakan fenomena umum yang mudah ditemukan dalam 

kehidupan mayoritas pemeluk Islam dari strata rakyat kebanyakan di dunia 

Islam.16 

         Sufisme berkembang meluas ditengah kekacauan politik yang berubah 

menjadi gerakan radikal sebagai penerapan syariah sebagai dasar hukum negara 

ialah wahabisme ketika mendukung kekuasaan Ibnu Saud. Di kemudian hari 

wahabisme juga mengintegrasikan beberapa unsur sufisme ke dalam Islam murni 

syariah ini .  

Walaupun sufime ditolak kaum sunni, namun peletak pemahaman sufi juga 

memberi perhatian serius atas pokok ajaran-ajaran sufisme. Hasan Basri (wafat 

728 M), guru pendiri Mu’tazilah dan Asy’ary, sangat mendorong hidup saleh 

(baca;zuhud) dalam menghadapi pengadilan kiamat yang populer dikalangan 

penganut sufi. Ibn Taimiyah mengakui sahnya beberapa ajaran Sufisme, termasuk 

kasyf-nya Al-ghazali, pembela sunni paling masyhur dan tokoh terpenting sufisme 

sepanjang sejarah Islam.  

Gagasan dasar sufisme sebenarnya sama dengan syariah, termasuk tujuan 

pendekatan diri kepada Tuhan dan pencarian perkenan (keridlaan) Tuhan. 

Gerakan ini sering dikaitkan dengan pemikiran sufi Abu Hasyim Al Kufi dari 

Irak, wafat Tahun 770 M. untuk mencapai tujuan itu seorang sufi menempuh jalan 

(tarekat) yang panjang dan sistematis yang dikenal dengan maqam-maqam.17 

Sebagaimana di ketahui, ajaran Syekh Siti Jenar banyak terkait dengan 

praktek hidup sufi sebagai model kehidupan pemeluk Islam baik dalam 

berhubungan dengan (menyembah) Tuhan ataupun dalam kerangka hubungan 

sosial kewarga an. Termasuk dalam hubungan sosial itu berbagai masalah 

kehidupan politik dan juga ekonomi. Praktik hidup sufi itu sendiri memiliki 

sejarah panjang, bahkan pada masa jauh sebelum kerasulan Muhammad saw.  

Sebagian pemikir Islam (ahli syari’ah) berpendapat bahwa ajaran praktik 

hidup sufi tidak diketemukan dasar tekstualnya dalam Al-Quran ataupun sunnah. 

Walaupun demikian juga cukup banyak yang menghubungkan praktik hidup sufi 

itu dengan perikehidupan Nabi sendiri. Mereka berpendapat bahwa perikehidupan 

Rasul yaitu  sebuah contoh kehidupan sufistik itu sendiri.18  

Munculnya tasawuf juga bersamaan dengan rekonstruksi kekuasaan Islam 

yang dengan hebat menguasai hampir seluruh wilayah-wilayah utama dunia. 

Proses pembentukan sistem kekuasaan ini diikuti oleh pengembangan hukum 

positif fiqih sebagaimana telah disebutkan. Akibatnya, hampir semua pemikiran 

lain dinyatakan dilarang kecuali pemikiran yang memperoleh dukungan 

kekuasaan resmi. Di sinilah pemikiran sufistik mulai mengambil posisi 

oposisional yang tak kalah kerasnya dengan ketaatan hukum fiqih dalam praktik 

tarekat.19      

Pada saat yang sama, ajaran Syekh Siti Jenar seharusnya dapat diletakkan 

sebagai media dialog ajaran Islam yang berkembang dengan kepercayaan lama 

yang selama ini diyakini oleh hampir semua lapisan sosial di bawah sistem politik 

dan budaya Majapahit. Suatu hal yang dengan keras ditolak oleh Raden fatah dan 

dewan keagamaan yang dipimpin para wali. Sayangnya, pemikiran dan ajaran 

Syekh Siti Jenar yang memang cukup bukti menyimpang dari mainstreem atau 

pola umum sistem keagamaan dan kekuasaan resmi itu kurang disikapi secara 

jernih.  

Walaupun demikian, sikap Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya yang tak 

kalah keras juga harus dijernihkan. Namun jika pemikiran dan ajaran Syekh Siti 

Jenar itu diletakkan dalam konteks peralihan kekuasaan dan sekaligus peralihan 

kesadaran budaya ketika itu, mungkin pemikiran Syekh Siti Jenar dapat dikaji 

secara lebih proporsional. Harus pula disadari bahwa peralihan kekuasaan dan 

budaya yang terjadi secara mendadak harus menyesuaikan diri dengan sistem 

keagamaan dan kekuasaan Islam di bawah pemerintahan demak Bintara. Tidak 

bisa ini dihindari hal ini akan menimbulkan kejutan dan hentakan kesadaran 

sosial, politik dan ekonomi yang tak mudah bagi seseorang untuk mengambil 

posisi yang tepat.  

Dalam hubungan itulah kajian terhadap pemikiran dan ajaran Syekh Siti 

Jenar menjadi relevan. Hal ini menjadi semakin strategis di tengah pertumbuhan 

bangsa yang mayoritas penduduknya umat Islam. Lebih strategis lagi ketika ketika 

bangsa ini tak lagi dapat menghindar untuk menempatkan diri ditengah percaturan 

budaya mondial yang semakin mengglobal seperti sekarang ini.20  

Ketika ajaran sufi itu dikembangkan Syekh Siti Jenar, kegelisahan para wali, 

bahkan diantara para elit penguasa kerajaan demak pun muncul. Karena itu, upaya 

memahami berbagai dimensi ajaran dan kepercayaan sufi itu diharapkan 

setidaknya bisa mengurangi kesalahpahaman ini .


PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR 

DALAM KITAB BAYAN BUDIMAN 

A. Tinjauan Umum Tentang Kitab Bayan Budiman. 

Kitab Bayan Budiman yaitu  kitab rakyat yang selalu dibaca di hampir 

setiap peristiwa penting kehidupan. Misalnya, di baca di malam-malam upacara di 

dalam siklus kehidupan seperti; mitoni, kelahiran bayi dan sunatan, hingga hari 

pernikahan. Seorang pembaca mendendangkan tembang-tembang dalam kitab 

yang untuk hal-hal tertentu disela-selai (disenggaki/jw) oleh pendengar. 

Buku yang di beri judul Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnaan 

Syekh Siti Jenar cukup menjelaskan uraian singkat tentang Kitab Bayan Budiman. 

Di dalamnya, berisi tentang kiasan bahwa burung surga yang mewakili fabelisasi 

seekor burung yang disebut Burung Bayan sebagai aktor utama dalam Kitab 

Bayan Budiman yang bertindak sebagai penyampai pesan ajaran kasampurnaan. 

Pemberian judul yang berkaitan dengan Syekh Siti Jenar didasari alasan karena 

nama Siti Jenar memang disebut dalam Kitab Bayan Budiman. Alasan berikutnya 

ialah karena kitab ini memang berisi penjelasan tentang sikap hidup manusia 

muslim yang mencerminkan konsep  wahdatul wujud yang menjadi inti ajaran 

Syekh Siti Jenar. Lebih menarik ketika penjelasan tentang sikap hidup berdasar 

dengan konsep warongko manjing curigo dalam konteks kehidupan sehari-hari.1  

Dalam pengantar editor, terbayang kalau kitab ini seperti buku-buku yang 

mengurai kisah-kisah dalam Hikayat Bayan Budiman yang pernah editor baca. 

                                                

Namun meskipun ada persamaan ini (kisah) ternyata bayangan ini  keliru. 

Ada perbedaan yang mendasar antara Hikayat Bayan Budiman dengan Serat 

Bayan Budiman, yaitu kedalaman ruh makrifat dan model kritik sosialnya. 

Kitab Bayan Budiman ini terdiri dari 13 bab, Terdiri dari: Pembukaan. (Bab 

1) Kasampurnaan Makrifat (Bab 2) Makrifat Kesetiaan. Pupuh Pangkur: 

Kesetiaan Rumah Tangga. Pupuh Kinanti: Hijrah Kesetiaan. Pupuh Dandang 

Gula: Ketaatan Sesama Makhluk. Pupuh Gambuh:Raja Agung Dan Raja Dunia. 

(Bab 3) Makrifat Sifat Manusia. Pupuh Roning Kemala: Dongengan Tentang Tiga 

Hal. Pupuh Mijil: Bersatunya Kekuatan Empat Pencuri. Pupuh Pucung: 

Menggunakan Kekuatan Secara Bersama. Pupuh Yuda Kenaka: Empat Pencuri 

Menjelaskan Sifat. (Bab 4) Makrifat Keulamaan. Pupuh Pucung: Ulama Dan 

Godaan Kekuasaan. Pupuh Artane: Ujian Guru Sejati. Pupuh Yuda Kenaka: Siasat 

Jahat Ulama Sesat. Pupuh Sinom: Balasan Bagi Ulama Sesat. (Bab 5) Makrifat 

Rumah Tangga. Pupuh Pangkur: Godaan Cemburu. Pupuh Kinanti: Siasat Wanita 

Setia. Pupuh Maskumambang: Keteguhan Membawa Rizki. (Bab 6) Makrifat 

Keserakahan. Pupuh Durmo: Memberi Pelajaran Penyembah Patung. Pupuh 

Wirangrong: Makrifat Mensikapi Keserakahan. Pupuh Gambuh: Kesadaran Buah 

Makrifat. (Bab 7) Makrifat Keutamaan Priyayi Santri-Santri Priyayi. Pupuh 

Maskumambang: Jalan Santri Menjadi Priyayi. Pupuh Gambuh: Perempuan 

Dalam Kebusukan Lingkungan Priyayi. Pupuh Pucung: Perselingkuhan Priyayi 

Dan Bahaya Fitnah. (Bab 8) Makrifat Cinta Kasih. Pupuh Dandang Gula: Sumpah 

Setia Cinta Kasih. Pupuh Kinanti: Cinta Sejati Atau Cinta Jasad Semata. Pupuh 

Maskumambang: Kekuatan Cinta Kasih. Pupuh Simon: Cinta Versus 

 

Pengkhiantan. Pupuh Pangkur: Cinta Jasad Bisa Tergantikan. (Bab 9) Makrifat 

Keadilan. Pupuh Artane: Di Matalah Awal Tindak Khianat. Pupuh Asmarandana: 

Tiga Keindahan Rasanya Satu Juga. Pupuh Durmo: Balasan Keadilan. (Bab 10) 

Makrifat Jatah Rejeki. Pupuh Asmarandana: Lagak Priyayi Hina. Pupuh Dandang 

Gula: Makhluk Itu Tidak Punya Apa-Apa. Pupuh Pucung: Jatah Rizki. (Bab 11) 

Makrifat Tiga Kehidupan Utama. Pupuh Dandang Gula: Resiko Berjudi. Pupuh 

Asmarandana: Tiga Pilar Kehidupan Utama. Pupuh Sinom: Saling Jaga Antar 

Saudara. Pupuh Sinom: Kekuatan Persaudaraan. (Bab 12) Makrifat Penderitaan. 

Pupuh Sinom: Kekuasaan Harta Dan Ilmu. Pupuh Pangkur: Menghargai 

Peninggalan Orang Tua. Pupuh Megatruh: Kekuatan Bisa Melahirkan 

Penderitaan. Pupuh Mijil: Merasakan Penderitaan. Pupuh Asmarandana: Derita 

Membawa Nikmat. Pupuh Kinanti: Menggunakan Kekuatan Dengan Benar. 

Pupuh Yuda Kenaka: Empat Langkah Tarekat. (Bab 13) Makrifat Guru Sejati dan 

Jalan Kasampurnaan. Pupuh Sinom: Guru Sejati. Pupuh Sejati: Pupuh 

Asmarandana: Syariat, Tarekat, Dan Hakikat. Pupuh Durmo: Sifat Rasul (Utusan 

Tuhan) Dan Perkara Hukum. Pupuh Asmarandana: Meninggalkan Dunia Sebelum 

Meninggal Dunia. 

Di dalam Kitab Bayan Budiman ini melalui tokoh fabel burung Bayan yang 

tampil sebagai tokoh ahli makrifat dan kisah-kisah makrifat menjelaskan 

bagaimana penempatan  berbagai aturan formal syariah dalam sinar kesadaran 

sufistis. Berbeda dengan tokoh burung Menco yang cenderung formalis, tokoh 

Burung Bayan tampil begitu lentur, bijak dan arif di dalam kesadaran makrifat dan 

karena itu selalu berhasil memainkan peran mengubah atau mentransformasikan 

segala peristiwa dan keadaan menjadi sebuah peristiwa etika-moral atau 

pencerahan batin. Dari sini lah burung Bayan menjelaskan salah satu ajaran pokok 

tentang hukuman Tuhan di dunia ini yang merupakan hasil perbuatan makhluk itu 

sendiri melalui berbagai kisah mistis.

Dalam kisah lain, Kitab Bayan Budiman menjelaskan bagaimana 

menempatkan nilai dan kepentingan duniawi di atas fondasi makrifat. Tokoh 

sentral lain dari Kitab Bayan Budiman ialah putri Zaenab yang melukiskan 

syahwat duniawi yang terus menerus membuat manusia tergoda sehingga berani 

nabrak aturan syariat atau “ngakali” aturan itu demi kepentingan duniawi. Kisah 

Kancil dalam sejarah Nabi Sulaiman, kisah pencuri bijak, serta kisah-kisah mistis 

lain seperti yang dipaparkan dalam Kitab itu memberi gambaran bagaimana umat 

manusia harus menderita du dunia akibat dari kelemahan mental menghadapi 

godaan kekuasaan dan kekayaan duniawi.  

Dalam Kitab Bayan Budiman, burung surga Bayan mengajarkan bahwa 

derajat manusia yang paling luhur ialah jika berlaku baik. Namun manusia akan 

berubah lebih rendah dari hewan apabila berlaku durjana. Dengan mengutip 

perkataan kanjeng Nabi, Bayan Budiman menunjukkan betapa ruginya orang yang 

tak berilmu dan hanya mereka yang senantiasa mawas dirilah yang akan selamat. 

Karena itu mawas diri yaitu  jalan bagi mereka yang menempuh dan mencari 

ilmu kasampurnaan.

B. Kesatuan Tunggal Antara Syariat, Tarekat, Dan Hakikat Dalam Kitab 

Bayan Budiman. 

Jalan syariat selama ini diletakkan pada posisi terpisah dari jalan tarekat atau 

jalan hakikat serta sebaliknya. Pemisahan itulah yang menempatkan ajaran 

kasampurnaan dari Syekh Siti Jenar dipandang menyimpang karena dipandang 

hanya mengajarkan hakikat tanpa tarekat dan syariat. Dalam Kitab Bayan 

Budiman dijelaskan mengenai kasetuan syariat, tarekat dan hakikat dari ajaran 

Islam. Ilmu Syariat ialah jalan untuk mendekat kepada Allah yang meliputi lima 

rukun Islam dan bekerja memenuhi kebutuhan hidup memperhatikan halal mubah 

serta meninggalkan yang haram dan makruh. Demikian pula Ilmu Syariat 

dipraktikkan dengan nunggal syahwat, jika kuasa ia tidak lupa untuk 

memperhatikan teman, adil serta tidak membuat fitnah, selalu mengajak kebaikan 

pada teman dan memaafkan kesalahan.

Semua aktivitas kehidupan penganut sufi di percaya sebagai cermin 

kehendak Allah di mana tangan dan ucapannya diyakini sebagai tangan dan 

ucapan Tuhan. Keyakinan ini bersumber dari konsep hulul yang menyatakan 

Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia sebagai tempat yang dikehendaki-Nya. 

Konsep hulul di dasari teori ketuhanan dengan dua sifat dasar lahut (ketuhanan) 

dan nasut (kemanusiaan) di mana hubungan keduanya menjadi penyebab kejadian 

segala wujud. Wujud itu ialah Adam yang dijadikan Tuhan dari ketiadaan yang 

memiliki segala sifat dan namanya-Nya.  

                                               

Hulul dicapai melalui proses ibadah dan latihan rohani amat panjang dan 

bertahap yang disebut dengan maqam. Konsep inilah yang menyebabkan mengapa 

ajaran sufi di tolak oleh ulama syariah yang memandang konsep dan latihan 

rohani ini  sebagai sebuah bid’ah (penyimpangan). Namun, sifat-sifat Tuhan 

juga menjadi identitas kesalehan yang ingin dicapai oleh umumnya pemeluk Islam 

seperti para ulama syariah. Sama halnya dengan ajaran kasampurnaan yang 

bersumber dari ide tentang insan kamil.5 

Tuduhan bid’ah atas konsep persatuan manusia-Tuhan di atas memang tidak 

mudah dijernihkan, karena yang menuduh atau yang dituduh sama-sama merujuk 

ayat-ayat Al’quran yang sama yang multi tafsir. Para penganut ajaran ittihad 

sendiri berbeda-beda di dalam memahami dan mempraktikkan ajaran ini, terutama 

dalam kaitan dengan aturan Syariat (Fikih). Jika konsep ini di dalam ajaran 

sufisme itu bisa dikaji secara lebih jernih, salahpaham dan ruduh-menuduh antar 

umat dan para pihak mungkin bisa dikurangi. Disini pula kesalahpahaman 

terhadap ajaran Syekh Siti Jenar dari pengkritik dan penganut wali dituduh murtad 

itu mungkin bisa dijernihkan. Inilah antara lain yang menjadi fokus Kitab Bayan 

Budiman.6    

Berbeda dari kesan umum atas ajaran Syekh Siti Jenar atau sufisme, seperti 

tentang pertentangan antara ajaran syariat, tarekat dan hakikat, Kitab Bayan 

Budiman berusaha menyatukan ajaran syariat, tarekat dan hakikat dalam kesatuan 

tunggal bagai satu nafas ibadah dan cara hidup muslim. Kritik keras Syekh Siti 

Jenar terhadap ketaatan syariah lebih disadari karena penggunaan aturan itu 

kepentingan politik dan duniawai selain kepentingan pribadi. Gagasan 

kasampurnaan Syekh Siti Jenar lebih jernih dan lebih mudah dipahami dari model 

Bayan Budiman yang meletakkan syariah bukan sekedar tindakan fisik, melainkan 

keharusan didasari keteguhan mental dan spritual. 

Karena itulah seperti tanpa beban kritik, Kitab Bayan Budiman menuturkan 

kisah bagaimana Nabi Chaidir tiba-tiba muncul, juga Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi 

Sulaiman, dan Malaikat Jibril. Banyak tokoh yang tampil dalam kitab ini 

memiliki  kemampuan luar biasa atau linuwih seperti mitos-mitos tentang 

kemampuan yang dicapai Syekh Siti Jenar. Kemampuan demikian dipercaya 

sebagai petunjuk atau penanda telah dicapainya tahapan ittihad oleh seseorang 

sehingga ia berada diatas tataran manusia biasa. Gejala ini pula dalam sejarah para 

rasul dikenal sebagai mukjizat.7 

Kitab Bayan Budiman, saduran bebasnya dipaparkan secara jernih 

menjelaskan hubungan kataatan syariat secara fisik, batiniah dan makrifat diatas 

yang seolah memperjelas berbagai salah paham terhadap ajaran Syekh Siti jenar. 

Melalui tokoh fabel burung Bayan yang tampil sebagai tokoh ahli makrifat da 

kisah-kisah makrifat, Kitab Bayan menjelaskan bagaimana penempatan berbagai 

aturan formal syariat dalam sinar kesadaran sufistis. Berbeda dengan tokoh Menco 

yang cenderung formalis, tokoh burung Bayan tampil begitu lentur, bijak dan arif 

di dalam kesadaran makrifat dan karena itu selalu berhasil memainkan peran 

mengubah atau mentransformasikan segala peristiwa dan keadaan menjadi sebuah 

peristiwa etika-moral atau pencerahan batin. Dari sini pula burung bayan 

menjelaskan salah satu ajaran pokok tentang hukuman Tuhan di dunia ini yang 

merupakan hasil perbuatan makhluk itu sendiri melalui berbagai kisah mistis.8 

Tokoh sentral lain dari Kitab Bayan Budiman ialah putri Zaenab yang 

melukiskan syahwat duniawi yang terus menerus membuat manusia tergoda 

sehingga berani nabrak aturan syariat atau “ngakali” aturan itu demi kepentingan 

duniawi. Kisah kancil dalam sejarah Nabi Sulaiman, kisah pencuri bijak, serta 

kisah-kisah mistis lain seperti paparan dalam kitab itu memberi gambaran 

bagaimana umat manusia harus menderita di dunia akibat dari kelamahan mental 

menghadapi godaan kekuasaan dan kekayaan duniawi. Dikisah yang lain Nabi Isa 

turun kembali ke bumi bersama malaikat memenuhi hasrat dan nafsu duniawi 

manusia yang tak pernah terpuaskan, namun akhirnya meminta Nabi Isa mencabut 

kembali pemberian usia ini .

Maksud hakikat ialah pengetahuan yang sudah nyata, yang melihat dan yang 

dilihat sudah ketemu yaitu Allah mengetahui atau melihat manusia dan manusia 

melihat atau mengetahui Allah. Sudah menyatu antara lahir dan makna, wujud dan 

penampakan. Di dunia ini jika ada manusia yang hendak menemui Tuhan dengan 

tarekat tapi ninggal syariat tidak akan berhasil, jika hanya dengan syariat tapi 

ninggal tarekat tidak akan sampai. Tarekat bagaikan laut, syariat perahunya, dan 

hakikat yang dicari. Hakikat itu bagai intan indah yaitu ma’rifatullah yang hanya 

dimiliki siapa yang melakukan syariat dan tarekat. Orang yang mengaku ‘alim 

tapi ninggal syariat dan tarekat itu sama dengan begal (perampok) besar.  

Sempurnanya orang hidup itu seperti disebut dalam kitab tarekat, shalatnya 

melahirkan tingkah laku yang baik. Ia bekerja keras, bila sudah kaya lalu sabar 

nrimo dan tawakkal dengan hati konaah. Kaya dan miskin sama-sama harus sabar, 

yaitu memelihara hati agar tidak mengeluh dalam berbakti kepada Yang Agung 

menjalani fardlu dan sunat.  

Nama-nama di dalam kitab ini hanyalah pemisalan seperti nama-nama 

Menco, Bayan, Zaenab dan nama Abdurrahman. Peksi (burung) maksudnya ialah 

siapa yang memahaminya akan lenyap semua hama penyakit mental. Suara 

burung ialah suara tentang baik dan buruk. Menco itu ialah perumpamaan orang 

yang diundang ke suatu perhelatan kenduri atau selamatan yang beramai-ramai 

bersama minum wedang dan makanan seperti kaum santri yang diminta membaca 

sholawat lalu pulang mendapat berkat. 

Sedangkan Bayan maksudnya ialah watak luhur karena mengikuti syariat 

tanpa meninggalkan tarekat dan hakikat sehingga ia disebut Budiman. Juragan 

ialah orang mukmin saleh yang banyak beramal dan banyak ilmu serta selalu siap 

menebarkan ilmu dan hartanya bagi amal kebajikan. Nama juragan itu ialah 

Nangim (Nai’m) yang berarti orang memperoleh nikmat duniawi. Dan nama 

zaenab ialah mitsal harta milik dan kekuasaan sebagai hiasan duniawi.10       

Nabi Muhammad pun berkata kepada Rabbil ‘Al-Amien: “ Ya Ilahi Yang 

Maha Suci, aku mohon petunjuk jalan sejati yang dekat dari rahmat Tuhan. Tuhan 

berfirman: “waktu siang itu hasil dari malam, dan waktu malam itu hasil dari 

siang, salatlah pada malam hari dan puasa di siang harinya pasti engkau akan 

mendapat rahmat Allah”. Nabi diutus untuk memelihara manusia agar bisa 

menjadi ratu dunia. Ada hakiki ada majaz yang hendaklah dimengerti maknanya. 

Hakiki itu bagaikan Ratu Adil menurut syariat dan majaz itu berarti melenceng 

dari syariat.  

Hati-hatilah di dalam gerak hidup. Janganlah meninggalkan syariat-nya. 

Itulah bedanya burung Menco dan Bayan. Walaupun sama-sama benar mengikuti 

perintah penguasa, tetapi Menco dibunuh karena mengikuti yang lahir tanpa sadar 

nasib sialnya karena kurang menyerah kepada Allah. Orang yang mengabdi itu 

terasa berat jika dipercaya, tetapi akan terasa ringan jika djalani. Renungkanlah 

hal ini dengan jernih. Seperti burung Bayan yang menyantuni sang penguasa, 

memberi saran dengan halus budi dan berserah diri pada Tuhan. 

Dalam Pupuh Asmarandana (kesatuan syariat, tarekat dan hakikat) 

dijelaskan, Orang yang beribadah kepada Allah tetapi tidak tahu ilmunya, karena 

malas ngaji dengan alasan sudah tua, malu jika diungguli dan mengakui 

kebodohannya, itu adlah sia-sia. Tuhan tidak menyukai orang yang senang kepada 

kesalahan dan sabar nrimo menjadi orang yang bodoh. Tidaklah baik ilmu yang 

dijalankan dan diajarkan tidak dengan ikhlas. Karena ilmu seperti itu hanya akan 

menyebabkan penderitaan di dunia dan akhirat. Di dunia ini menjadi repot 

padahal diakhirat nanti tidak mendapat apa-apa. 

Ilmu itu sebenarnya bukanlah tinta dan kertas, bukan pula emas dan perak, 

tapi tahu dan pengertian tentang empat dalil, Qur’an, hadits, ijma dan qiyas. Dalil 

Qura’an ibarat alamnya Allah, dalil hadits itu perintahnya rasul, dalil ijmak itu 

pendapatnya Imam empat, dalil qiyas itu pendapat yang mufakat atas hadits atau 

Qur’an, jika mungkin tidak menyebabkan kufur. Hal ini berbeda dengan ilmu 

jawi, bagai mulus menjadi merisi, makin lama sesudah menjadi priyayi lalu 

menjadi Jawan yang berarti keliru, murtad menjadi murad, belum sholat katanya 

sudah sholat, dan fardhu katanya tai asu (b.jawa: kotoran anjing).   

Ki Nangim bertanya di mana letak empat dalil jika beribadah kepada Allah 

tidak tahu arah tempatnya menyembah nama tanpa makna. Bayan menjawab 

dengan mengatakan bahwa Gusti Allah itu tidak kelihatan jika dilihat dengan dua 

mata selama masih hidup di dunia. Namun hati sanubari itu mengetahui bahwa 

Allah itu ada Yang Maha Kuasa. Wujudnya hanya satu, bukan jisim,bukan 

tempayan, karena adanya tanpa dibuat, tidak memerlukan tempat, namun Allah itu 

menghadapi semua makhluk, apalagi makhluk yang berwujud. Janganlah 

meninggalkan ngabekti, karena Allah itu maha mulia dan tidak tidur dari awal 

hingga akhir. Ia Allah itu lebih dekat kepada hamba, hamba tidak tahu Allah tapi 

Allah mengetahui hamba. Jika manusia itu meninggalkan ngabekti kepada Allah 

itu yaitu  kesalahan, karena manusia itu milik Allah, sehingga segala perintah-

Nya harus dipenuhi.  

Ki Nangim lalu meminta Bayan menjelaskan tentang syariat, tarekat dan 

hakikat. Bayan pun mengatakan bahwa yang disebut ilmu syariat itu ialah jalan 

untuk mendekatkan kepada Allah yang meliputi tujuh hal yang harus dilakukan. 

Pertama, jalan syariat itu ialah mengucap syahadah. Kedua, shalat wajib lima kali 

dengan niat berdiri, takbiratrul ikhram, membaca fatihah, rukuk, Ik’tidal, duduk 

tahiyat dan salam. Ketiga, memberi zakat dan fitrah dengan menyedekahkan harta 

kepada fakir miskin. Keempat, puasa di bulan ramadhan dengan tidak makan-

minum, mencegah muntah dan jimak dari pagi hingga sore hari. Kelima, naik haji 

dengan mengunjungi ka,bah, ihram di ‘Arofah melemper jumrah, thawaf-sai dan 

bercukur tanggal 9 di bulan besar. Keenam, bekerja memnuhi kebutuhan hidup 

memperhatikan halal mubah meninggalkan yang haram dan makruh, nunggal 

syahwat jika kuasa. Ketujuh, thalabu al-shuhmah yaitu memperhatikan teman 

yang senang nunggal agama, nunggal karep dan adil serta tidak fitnah, hanya 

karena Allah sesuatu terjadi, selalu mengajak kebaikan pada teman memaafkan 

kesalahan.  

Adapun tarekat itu ialah jalan menuju kepada Allah yang meliputi tujuh 

tindakan. Pertama merasa berdosa dan banyak bertobat yaitu memohon 

pengampunan kepada Allah Yang Maha Suci dengan ingat didalam hati dan tidak 

lupa istigfar, jika berdosa terhadap sesama meminta dihalalkan atau mengganti 

jika mencuri. Kedua, bertapa yaitu meninggalkan dosa yang hanya mengambil 

keperluan hidup sekedar bagi ibadah sehari semalam, dan kuat taatnya pada 

Tuhan. Ketiga, hatinya qonaah yaitu menerima pemberian Allah apa adanya jika 

kurang tidak boleh mengeluh baik kepada Allah atau pun sesama manusia. 

Keempat bersikap tawakkal yaitu menyerahkan semuanya kepada Allah bagai 

orang mati yang ketika disiram air atau dibungkus diam saja tidak minta kepada 

yang lainnya, hanya yang hidup berhajat, seperti itulah manutnya manusia kepada 

takdir Allah. Kelima berhati sabar yaitu tidak mengeluh dan bersedia dalam 

ngabekti kepada Allah di waktu siang atau malam yang fardlu atau sunnat, 

mencegah waktu maksiat serta hatinya tawajuh yang jika diganjar fakir atau 

melarat atau dikenai cobaan dari Allah selalu rela tidak mengeluh. Keenam, laku 

syukur kepada Allah yaitu mengerti makna nikmat yang berada dalam badan 

dengan mengucap alhamdulillah di lisan dan hati. Ketujuh, laku ikhlas yaitu 

beramal ibadah hanya untuk bekti kepada Allah bukan untuk lainnya. Jika ada 

yang beribadah kepada Allah agar bebas dari neraka atau masuk surga atau karena 

minta sesuatu maka itu bukanlah ikhlas.  

Selanjutnya maksud dari hakikat itu ialah pengetahuan yang sudah nyata 

antara yang melihat dan yang dilihat sudah ketemu yaitu Allah mengetahui atau 

melihat manusia dan manusia melihat atau mengetahui Allah. Sudah menyatu 

antara lahir dan makna, antara wujud dan penampakan. Di dunia jika ada manusia 

yang hendak menemui Tuhan dengan tarekat tapi ninggal syariat tidak akan 

berhasil, sebaliknya jika hanya dengan syariat tapi ninggal tarekat juga tidak akan 

sampai. Tarekat itu bagaikan bagaikan laut dan syariat itu perahunya sedang 

hakikat yang dicari wa al-syari-atu bila- thari-qatu itu akan ‘a-dhil atau kosong 

dan al-thariqatu bila-syari-atu itu batal, sehingga salah satu dari keduanya tidak 

boleh ditinggal. Hakikat itu bagai intan indah yaitu ma’rifatullah yang hanya 

dimiliki siapa yang melakukan syariat dan tarekat sebagai perahu dan laut untuk 

mencapai Allah. Karena itu jika orang mengaku ‘alim tapi ninggal syariat dan 

tarekat itu sama dengan begal besar.

C. Ajaran Makrifat 

Dalam wacana tasawuf, ma’rifat dianggap sebagai tingkatan tertinggi dalam 

perjalanan tasawuf. Biasanya ma’rifat dipandang sebagai perolehan kemuliaan 

                                               

sufi dan merupakan tema sentral dalam tasawuf yang sangat menarik perhatian 

kaum sufi. Upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah) merupakan 

tujuan utama dan sekaligus sebagai inti ajaran tasawuf. Ma’rifat dari segi bahasa 

berasal dari kata ‘arafa’, ya’rifu,irfan, ma’rifat, yang artinya pengetahuan atau 

pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu 

ilmu yang lebih tinggi dibandingkan  ilmu yang didapat oleh orang-orang pada 

umumnya. Menurut Musthafa Zahri, ma’rifat yaitu  mengetahui Allah dari dekat 

sehingga hati sanubari melihat Allah.

Kata ma’rifat dalam bentuk masdar (akar kata) tidak ada  di dalam Al-

Quran dan Al-Hadits Rasulullah SAW. Kata “Makrifat” perspektif tasawuf 

merupakan hal baru dalam Islam sebagaimana kata tasawuf. Al-quran hanya 

menyebut kata-kata yang mustaq darinya, seperti firman Allah SWT :Orang-orang 

(Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri Al-kitab (Taurat dan Injil). Mengenail 

Muhammad seperti mengenal anak-anak sendiri, dan sesungguhnya sebagian di 

antara menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.

Imam Al-Ghazali menjelaskan tentang ma’rifat :  

“ Kemulian dan kelebihan manusia yang mengatasi segala jenis makhluk 

lainnya yaitu  kesiapannya untuk makrifat pada Allah SWT., yang di dunia 

merupakan keindahan, kesempurnaan, dan kebanggaannya; dan di akhirat 

merupakan harta kekayaan dan simpanannya. Adapun alat untuk mencapai 

penghayatan makrifat yaitu  kalbu (hati), bukannya anggota badan lainnya. Maka

hati itulah yang alim terhadap Allah dan dia pula yang taqarrub (ibadah) pada 

Allah, dan hati pula yang beramal untuk Allah, dan dia pula yang berusaha 

menuju Allah, dan hati pula pembuka tabir untuk menghaytai alam ghaib yang 

berada di sisi Allah. Adapun anggota badan yaitu  khadamnya dan alatnya yang 

dipergunakan oleh hati, laksana sang raja memerintah pada hamba atau 

khadamnya, atau laksana gembala menghalau (mimpin) yang digembalanya, atau 

sang tukang mempergunakan perlengkapannya. Maka hati akan diterima Allah 

apabila bersih dari apa yang selain Allah, dan hati pula yang diperintah untuk 

ibadah dan yang tercelanya. Hati itu yang berusaha mendekatkan diri kepada 

Allah, maka berbahagialah bila hatinya bersih, da sebaliknya tidak akan sampai 

pada Allah dan celaka bila hatinya kotor dan sesat. Hati pula yang taat 

sesungguhnya pada Allah, adapun gerak ibadah semua anggota badan yaitu  

pancaran hatinya..dia itulah kalbu (hati), bila manusia kenal padanya pasti kenal 

akan Tuhannya.  

R.A.Nicholson mengatakan : 

“ Mengatakan Arif itu menyaksikan sifat-sifat Allah, dan bukannya Zat-

Nya, oleh karena di dalam makrifat penghayatan dualisme betapapun 

kecilnya masih tetap ada, (pandangan dualis) ini baru lenyap di dalam 

penghayatan fana’ al’fana’ yaitu lenyapnya kesadaran diri sepenuhnya di 

dalam kesatuan dengan Tuhan. Tingkat yang tertinggi dibandingkan  fana’ 

tercapai bila kesadaran akan kefana’annya telah lenyap pula. Itulah yang 

oleh para sufi dinamakan fana’ al-fana (fana dari kefanaannya). Sang Sufi 

kini lebur dalam penghayatan Zat Allah. 

 

Dan dengan demikian sang sufi penghayatannya menanjak terus ke arah 

yang lebih tinggi yang mereka sebut makrifat, dan kemudian hakikat, dalam mana 

pencari Tuhan jadi yang arif atau makrifat, dan kemudian menghayati bahwa 

pengetahuan, yang mengetahui, dan yang diketahui yaitu  satu (manunggal) 

Dari uraian singkat di atas, menunjukkan bahwa dasar pikiran sufisme 

(tasawuf) mengarah pada filsafat serba Tuhan. Artinya puncak penghayatan 

kejiwaan yang sering dinamakan ilmu kasyfi, yaitu makrifat Zat Allah 

(ma’rifatullah) yang amat dibanggakan dan jadi inti-sari sufisme, menuju 

penghayatan Manunggaling Kawulo Gusti (union-mistik).     

Potensi untuk memperoleh ma’rifat sesungguhnya telah ada pada manusia. 

Persoalannya yaitu  apakah ia telah memenuhi prasarana atau prasaratnya? Salah 

satu prasaratnya, antara lain yaitu  kesucian jiwa dan hati. Apakah jiwa dan 

hatinya telah suci ataukah masih dilumuri dosa? Jika totalitas jiwanya telah suci 

dan hatinya telah dipenuhi zikir kepada Tuhan, tidak mustahil bila hidupnya 

dipenuhi kearifan dan bimbingan-Nya.  

Untuk kearifan atau ma’rifah, hati (qalb) memiliki  fungsi esensial, 

sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Arabi “ Qalb dalam pandangan kaum sufi 

yaitu  tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk 

ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna kegaiban. 

Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat, 

termasuk di dalamnya yaitu  hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh 

ma’rifat yaitu  yang telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak jelek yang 

sering dilakukan manusia. 

        Tampaknya kaum sufi memandang kesucian qalb sebagai prasyarat untuk 

berdialoq secara batin dengan Tuhan. Mereka mengemukakan alasan bahwa 

Tuhan hanya dapat didekati jiwa yang suci. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan 

dari kondisi dialogis bathiniyah dengan perangkat qalb yang suci inilah yang 

mereka sebut sebagai ilmu ma’rifat, dan bahkan secara spesifik dapat memperoleh 

ilmu laduni, yakni ilmu yang datang lewat ilham yang dibisikkan ke dalam hati 

manusia. 

Menurut al-Qusyairi ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan 

sufi untuk memperoleh ma’rifat, yaitu (1) qalb untuk mengetahui sifat Tuhan, (2) 

roh untuk mencintai Tuhan, dan (3) sirr untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari 

roh dan roh lebih halus dari qalb. Qalb tidak sama dengan jantung, karena qalb 

selain dari alat untuk merasa, ada juga alat untuk berpikir. Perbedaan qalb dengan 

‘aql ialah bahwa ‘aql tidak bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, sedang 

qalb jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.

       Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (qalb) menjadi 

sarana untuk memperoleh ma’rifat. Qalb-lah yang akan mampu mengetahui 

hakikat pengetahuan karena qalb telah dibekali potensi untuk berdialoq dengan 

Tuhan. Hal ini mengisyaratkan bahwa ma’rifat tidak spontanitas dimiliki orang-

orang yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya. Upaya yang 

dimaksud, antara lain yaitu  sebagai berikut :  

1. Riyadhah 

                                                

Riyadhah, sering juga disebut sebagai latihan-latihan mistik. Yang dimaksud 

di sini yaitu  latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak 

melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya. 

Riyadhah harus disertai mujahadah. Mujahadah yang dimaksud di sini yaitu  

kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek. Meninggalkan 

sifat-sifat jelek sangatlah berat karena membutuhkan kesungguhan dalam me-

riyadhah-kannya.  

Riyadhah perlu dilakukan karena ilmu ma’rifat dapat diperoleh melalui upaya 

melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus menerus. Dalam hal 

ini, riyadhah berguna untuk menempa jasmani dan akal budi seseorang yang 

melakukan latihan-latihan itu sehingga ia mampu menangkap dan menerima 

komunikasi dari alam gaib (malakut) yang trasendental. Dengan demikian, 

riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan 

Yang Kudus.   

2. Tafakur  

Tafakur penting dilakukan oleh setiap manusia yang menginginkan ma’rifat. 

Tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) 

dan menganalisisnya, pintu kebaikan akan dibukakan untuknya. Dalam 

Risalah Al-Laduniyah-nya, Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa tafakur 

merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni. 

3. Tazkiyat An-Nafs  

Tazkiyat An-Nafs yaitu  proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian 

jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan 

tahalli. Tazkiyat an-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Sahl bin 

Abdullah Ash-Shuffi berpendapat bahwa siapa saja yang pikirannya jernih, ia 

berada dalam keadaan kontemplatif.  

Tazkiyat an-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasarkan pada asumsi bahwa jiwa 

manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek materiel. 

Kegiatan sesungguhnya ibarat cermin yang menangkap gambar-gambar. 

Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan bergantung pada 

kadar kebersihan cermin yang bersangkutan. Dengan demikian, kesucian jiwa 

yaitu  syarat bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu ma’rifat ke dalam jiwa, 

sementara jiwa yang kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi, 

akan membuat manusia terhijab dari Allah.    

4. Zikrullah 

Secara etimologi, zikir yaitu  mengingat, sedangkan berdasarkan istilah 

yaitu  membasahi lidah dengan ucapan pujian kepada Allah. Zikir merupakan 

metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. 

Dalam munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa zikir kepada Allah 

merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh 

jalan Allah yaitu  membersihkan hati secara menyeluruh dari selian Allah, 

sedangkan kuncinya yaitu  menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan 

zikir kepada Allah.  

Dalam pandangan sufi, zikir akan membuka tabir dalam malakut, yakni 

dengan datangnya malaikat. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa zikir 

merupakan kunci pembuka kewalian. Zikir juga bermanfaat untuk 

membersihkan hati. Berkenaan dengan fungsi zikir, Al-Ghazali pun dalam 

Ihyanya menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil zikir kepada 

Allah.

Sampai di mana tingkat ma’rifah manusia kepada Tuhan, ada  perbedaan 

pendapat di kalangan kaum sufi. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifah itu 

tidak menyebabkan seseorang menjadi satu (ittihad) dengan Tuhan. 

Menurutnya, ma’rifah ialah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan keteraturan 

hukum-hukum ilahi pada segala benda. Karena jelas dan terangnya 

pengetahuan itu, beliau juga mengungkapkannya dengan istilah : 

“Memandang wajah Allah Ta’ala” ia melihat Tuhan dengan mata hatinya, 

bukan dengan mata inderanya. Dan menurut al-Ghazali, inilah maqam yang 

tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Akan tetapi menurut beberapa sufi, 

antara lain Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan lain-lain, tingkatan ini masih 

bisa dilampaui manusia, sampai tingkat ittihad dengan Tuhan.


A. Syariah dalam Pandangan Syekh Siti Jenar. 

Di kalangan kaum sufi, istilah syariat memiliki  makna tersendiri yang dapat 

dikatakan berbeda dari pengertian yang diberikan oleh para ahli hukum Islam. 

Di kalangan ahli-ahli hukum Islam, syariah diartikan seluruh ketentuan yang 

ada di dalam Al-Quran dan Al-sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak 

maupun aktivitas manusia baik yang berupa ibadah maupun muamalah.1 

Syariat dan fiqih memiliki perbedaan-perbedaan terutama setelah masa 

Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Asaf A.A.Fyzee, misalnya mengatakan :  

“ Syariat memiliki  ruang lingkup yang lebih luas, meliputi seluruh aspek 

kehidupan manusia;sedangkan ruang lingkup fiqh lebih sempit, dan hanya 

menyangkut hal-hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan 

hukum, Syariat senantiasa mengingatkan kita (bahwa ia bersumber) pada 

wahyu, ilm (pengetahuan) tentang wahyu itu tidak akan dapat diperoleh kecuali 

dari atau dengan perantara Al-Quran dan Hadits; dalam Fiqh kemampuan 

penalaran ditekankan sekali, dan kesimpulan-kesimpulan (hukum) yang 

didasarkan kepada ‘ilm itu senantiasa dilakukan dengan cara yang meyakinkan. 

Arah tujuan syariat ditetapkan oleh Tuhan dan Nabi-nya;sedangkan materi yang 

tercantum dalam fiqh disusun dan diangkat atas usaha manusia. Dalam fiqh 

suatu pekerjaan bisa sah atau haram, boleh atau tidak. Sedangkan dalam syariat 

banyak ada  tingkatan-tingkatan yang dibolehkan atau tidak. Dengan 

demikian, fiqh merupakan terminologi tentang hukum sebagai suatu 

ilmu;sementara syariat lebih merupakan perintah Ilahi yang harus diikuti.

Dari penjelasan itu terlihat bahwa syariat meliputi seluruh aspek kehidupan, 

baik aqidah,ibadah, maupun mu’amalah dan juga akhlak. Di kalangan para sufi, 

syariat berarti amal ibadah lahiriyah (eksoterik). Gerakan-gerakan shalat dimulai dari 

menghadap kiblat, berdiri, ruku’sujud dan seterusnya, demikian pula bacaan-bacaan 

yang telah ditentukan di dalamnya yaitu  amal ibadah lahiriyah (syariat). Perjalanan 

ke Baitullah, thawaf, sai, wukuf, di’Arafah dan lainnya yaitu  syariat, amal ibadah 

yang bersifat lahiriyah.  

Dalam ajaran tasawuf, pelaksanaan ibadah yang hanya melakukan gerakan-

gerakan dan bacaan-bacaan tanpa memahami makna yang ada di dalam ibadah 

ini , maka tidak ubahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa mengerti 

apa yang dibacanya. Kehidupan keberagaman dengan ibadah yang hanya 

terkonsentrasi kepada amal lahiriyah (syariat) ini akan hampa, karena hati kosong 

dari hakikat ibadah yang sedang dilakukan. Makna yang terkandung di dalam ibadah-

ibadah inilah di kalangan tasawuf yang dkenal dengan istilah haqiqah (hakikat).3 

Dalam konteks ini perlu dikutip ungkapan Al-Junayd Al-Baghdadi sebagai 

mana yang dikutip oleh Abdurrahman Shiddiq:  

“Barangsiapa yang mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik. 

Barangsiapa bertasawuf tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Barangsiapa 

melakukan keduanya berarti ia melakukan kebenaran (tahaqquq)”

Al-Qusyairi misalnya ia mengatakan: “Setiap syariat yang tidak didukung 

dengan hakikat maka urusannya tidak diterima, setiap hakikat yang tidak didukung 

oleh syariat maka urusannya tidak berhasil ”.

Al-Ghazali mengatakan: “Tidak akan sampai kepada tujuan kecuali setelah 

diawali dengan hukum-hukum”.

Imam Malik menegaskan:  

“ Barang siapa berfiqhi (ber-tauhid) saja tanpa ber-tasawuf niscaya berlaku 

fasik (tidak bermoral). Dan barang siapa yang ber-tasawuf tanpa ber-fiqhi 

(bertauhid) niscaya ia jadi golongan zindiq (penyeleng agama). Dan barang 

siapa yang melakukan kedua-duanya niscaya ia menjadi golongan Islam  yang 

hakiki (tulen)”.

Demikian hubungan yang erat antara tasawuf dengan fiqih yang tergambar dari 

beberapa ungkapan di atas. memang diakui ada tokoh-tokoh tertentu dari kalangan 

sufi yang berfaham bahwa pada tingkat tertentu di saat seorang bersatu dengan 

Tuhannya, di saat dia yaitu  Tuhan dan Tuhan yaitu  dia, maka syariah dalam artian 

tasawuf tidak lagi diperlukan karena dia telah sampai kepada hakikat syariah ini . 

Pemahaman seperti inilah yang dengan keras ditolak oleh Al-Qusyairi dan Al-

Ghazali. Tidak ada syariah tanpa hakikat dan tidak ada hakikat tanpa syariah. 

Syariah, di kalangan ahli hukum Islam, diartikan sebagai seluruh ketentuan 

yang ada dalam Al-Quran dan Al-Sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, 

akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah. 

Karena syariah tidak saja mengatur masalah ibadah dan mu’amalah tetapi juga 

tidak juga akidah dan Akhlak, maka syariah yaitu  aturan yang meliputi seluruh sisi 

kehidupan, baik yang lahir maupun batin. Jadi tidak ada pemisahan antara syariat 

dengan hakikat, sebab hakikat yaitu  bagian dari syariat sekaligus hakikat, di mana 

shalat mesti dilakukan dengan gerakan-gerakan yangtelah digariskan dengan 

kemestian khusyu’ di dalam pelaksanaannya. Semua itu yaitu  ketentuan syariah 

yang telah digariskan di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah.8 

Gagasan Siti Jenar tentang Tuhan, tentang hidup dan mati, dan tentang 

kewajiban sholat, puasa, zakat, dan haji, tidak mudah dipahami berdasar cammon 

sens. Pandangan Siti Jenar disusun berdasar pembalikan cammon sens. Dunia baginya 

dipandang sebagai kematian dan manusia yang hidup didalamnya dipandang sebagai 

kematian dan manusia yang hidup di dalamnya dipandang Siti Jenar sebagai mayat 

yang jika salah memaknai kewajiban syariah justru akan menjauhkan manusia dari 

kehendak Tuhan itu sendiri. Karena itu, bagi Siti Jenar, kewajiban agama tidak 

berlaku di sini bagi orang yang hidupnya terikat kepentingan duniawi, tetapi hanya 

berlaku bagi manusia yang bisa menjadikan kehidupan nanti di alam abadi sebagai 

pusat orientasi.

Konsep Tuhan yang benar bagi Siti Jenar ialah jika konsep dan pemahaman 

seperti itu bersumber dari hati yang tulus dan jujur. Tuhan tidak dapat dilukiskan 

dengan dan dari gambaran model apapun. Dia Tuhan yaitu  segalanya sekaligus 

bukan segala yang bukan. Tuhan ada di sini dan di sana, sekarang dan nanti, meliputi 

segala tempat, ruang, dan waktu.

Salah Satu pandangan Siti Jenar dan pengikut ajaran “Manunggaling Kawulo 

Gusti” atau wahdatul wujud yang dikembangkannya, yang kontroversial ialah konsep 

tentang hidup yang sesungguhnya atau kehidupan sejati. Bagi Siti Jenar, kehidupan 

seseorang baru dimulai bukan sejak manusia dilahirkan ke muka bumi. Hidup sejati 

bagi setiap manusia baru akan dimulai ketika seseorang meninggal (kan) dunia yang 

fana ini. Pandangan dan ajaran demikian sebenarnya merupakan pandangan yang 

diterima secara umum dan tersebar meluas di kalangan pemeluk Islam. Walaupun 

demikian, pengikut Siti Jenar memiliki  ciri khas karena pandangan itu telah 

mendorong para pengikut Siti Jenar mencari jalan kematian yang bagi mereka berarti 

sebagai mencari jalan hidup sejati.

Bagi Siti Jenar, Tuhan Allah bukanlah sekedar sifat-sifat formal sebagaimana 

dirumuskan ilmu tauhid yang menjadi pokok materi dakwah dan pendidikan Islam. 

Tuhan Allah tidak bisa dikenali hanya dengan mengetahui dan manghafal sifat-sifat 

yang jumlahnya 99, melainkan menyatukan diri pada yang ke 100, yaitu Tuhan Allah 

dalam diri Tuhan itu sendiri. Ritus dan penyembahan atau pengabdian pada Tuhan, 

tidak cukup dilakukan hanya dengan memenuhi aturan formal dalam lima rukun 

Islam, yaitu : syahadat, salat, puasa, zakat dan haji. Pengabdian yang benar kepada 

Tuhan ialah dengan menampakkan ketuhanan di dalam diri dan di dalam setiap 

tindakan manusia dalam kehidupan objektif. Karena itulah puncak pencapaian di 

dalam penyembahan tidak cukup dilakukan melalui ritual formal itu, melainkan 

dengan menyatukan diri pada diri Tuhan Allah itu sendiri.

Pandangan kaum sufi terhadap syariah dapat dikelompokkan kepada dua. 

Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat (yang masih berpegang pada syariah). 

Menurut kelompok ini, syariat dalam artian aturan-aturan lahiriyah menjadi perhatian 

para ahli fiqih, sedangkan aspek batin (hakikat) menajdi perhatian kaum sufi. Pada 

bagian ini, terlihat ada pembagian tugas yang dikemukakan oleh para sufi dalam 

upaya membimbing umat untuk sampai kepada praktek (ajaran) yang sebenarnya 

(dalam pandangan mereka). 

Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini, syariah 

hanya ditujukan kepada warga  awam. Ini karena keterbatasan daya pikir dan hati 

mereka untuk untuk memahami makna yang tersimpan di balik syariah itu. Karena 

itu, kepada orang awam hanya dituntut untuk mengerjakan shalat lima waktu sehari 

semalam dengan tata-cara yang telah ditentukan. Berbeda halnya dengan kaum sufi 

yang ekstrim ini, mereka meyakini ada hakikat dibalik syariah itu. Apabila itu telah 

dicapai, maka syariah bukanlah suatu hal yang penting lagi. Sebagai contoh, hakikat 

shalat yaitu  komunikasi yang berkelanjutan (langgeng) dengan Allah. Apabila itu 

telah dicapai, maka shalat dalam artian syariah itu tidak lagi diperlukan.  

Pemisahan arti syariah dan hakikat sekaligus dapat dilihat sebagai kritik 

terhadapnya dapat dilihat dari pernyataan Al-Qusyairi berukut :  

“ Syariah itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati 

kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat 

dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan 

syariat, pasti tidak menghasilkan apa-apa. Syariat datang dengan kewajiban 

pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan. Syariat 

memerintahkan mengibadahi dia, hakikat menyaksikannya pada Dia. Syariat 

melakukan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuan-Nya, 

kadar-Nya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak di luar.

 

Kritikan yang lebih tajam dikemukakan oleh Ibn Al-Jauzi:  

“ Ini yaitu  perbuatan buruk, karena syariah yang ditetapkan oleh Allah dengan 

hak yaitu  bagi kemaslahatan makhluk. Hakikat (seperti yang dikemukakan 

oleh orang-orang sufi) sesudahnya tidak lain hanya sebagai bisikan syaitan 

yang bersemayam di dalam jiwa. Dan sikap membenci para fukaha yang 

mereka tunjukan merupakan sebesar-besar sikap zindiq”14  

 

Pemisahan arti syariah dan hakikat merupakan suatu hal yang tidak sampai 

menjadikan seseorang keluar dari akidah keislamannya, sejauh pemisahan ini  

tidak mengantarkan kepada pengabaian syariah seperti yang disebutkan di atas. 

Dalam hal ini yang menjadi perhatian serius yaitu  pengabaian syariah itu sendiri. Di 

samping, banyak dalil-dalil yang mewajibkan untuk tunduk kepada aturan Allah dan 

                                               

Rasul-Nya, pengabaian syariah akan melahirkan kesembrautan (ketidaktentu arahan) 

baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dengan mengatakan telah sampai kepada 

hakikat, seseorang akan melakukan sesuatu yang terkadang tidak sesuai dengan 

syariat. Maka akan lahir berbagai pelanggaran. Pelanggaran yang berakibat buruk 

bagi keharmonisan sosial.

Dalam Kitab Bayan Budiman jelas dikatakan bahwa kesempurnaan hidup tidak 

bisa dicapai hanya dengan salah satu dari;syariat, tarekat, dan hakikat tapi kesatuan-

tunggal dari ketiganya, karena syariat diibaratkan perahu, tarekat lautanya, dan 

hakikat sebagai tujuan yang hendak dicapai.   

B. Peribadatan Syekh Siti Jenar 

Pertama kali, ketika kita membahas peribadatan Syekh Siti Jenar, perlu 

diketahui mengenai sumber sejarah Syekh Siti Jenar. Ajaran maupun pemikiran 

Syekh Siti Jenar yang dianggap keluar dari mainstrem ajaran-ajaran Islam umumnya. 

Sehingga justifikasi sesat sering kali di alamatkan kepadanya. dan literatur-literatur 

mengenai ajaran Syekh Siti Jenar riwayatnya sama dengan pendahulu-pendahulu 

mereka, seperti Al-Hallaj, dll.  

Jika dibaca secara sambil lalu, ajaran Syekh Siti Jenar seperti menolak aturan 

syariat dan kehidupan di dunia aktual, selain pembalikan logika umum tentang apa 

yang disebut hidup dan mati, serta surga dan neraka. Namun demikian jika serat Siti 

Jenar dibaca secara jernih akan nampak bahwa inti ajaran Siti Jenar seperti keyakinan 

umum umat terletak pada hakikat hidup dan ada serta ketaatan terhadap syariat 

sebagai akar dari segala tindakan. Sebagian tokoh pembaharu gerakan Islam 

memandang bahwa aturan formal syariat hanya kulit luar dari sebuah ketaatan batin 

dan spritual. Di sini ketaatan formal syariat berupa ketaatan dalam tindakan fisik 

hanya bernilai jika didasari ketaatan batin dan spritual.17  

 Ketaatan batin dan spiritual yaitu  wujud kesampurnaan hamba untuk selalu 

dekat dengan sang khaliq. Ketaatan ini  di implementasikan dengan bentuk 

peribadatan yang lebih serius lagi. Keseriusan agar untuk mencapai tingkat kualitas 

ibadah yang lebih baik yaitu  tujuan dari pada pencapaian kasampurnaan ajaran 

Syehk Siti Jenar.  

Seseorang yang dengan taat menjalani semua ketentuan syariat baik dalam 

ragam kegiatan ibadah Mahdlah atau khash atau pun dalam bidang mu’amalat atau 

hidup sosial, tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali ia mampu menyentuh 

dimensi esoterik dari segala tindakan yang eksoterik. Aqidah iman bukan sekedar 

mengucap dua kalimat syahadat yaitu persaksian tentang keesaan Tuhan dan 

kerasulan dan kerasulan Muhammad Saw. Dan tindakan ragawi, melainkan harus 

disertai kehadiran spritual-ruhaniyah di dalam hati atau kalbu. Tindakan fisik dalam 

melakukan shalat, zakat, puasa, dan haji saja juga belum cukup jika tidak disertai 

keterlibatan intensif ruhaniyah-batiniyah yang disebut dalam banyak istilah seperti 

keikhlasan, ke-khusyuk-an, dan tumakminah.

Ditinjau dari segi psikologisnya, ada  suatu karakteristik mistis yang 

disebut-sebut para sufi, yaitu hilangnya perasaan dan kesadaran, dimana seorang sufi 

tidak lagi merasakan apa yang terjadi pada organ-organ tubuhnya, tidak pula dirinya 

dalam alam luasnya. Dalam bahasa psikologis modern dapat dikatakan bahwa fana 

yaitu  intuitif, dimana seseorang untuk beberapa lama kehilangan perasaannya 

terhadap ego. Dan dalam Trimologi para sufi hal itu berarti, ”Ketidaksadaran 

seseorang terhadap dirinya maupun hal-hal yang berkaitan dengannya.

Di dalam serat wedhatama, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Simuh dalam ” 

Sufisme Jawa” disebutkan bahwa jalan untuk mencapai Manunggaling Kawulo Gusti 

seperti ajaran Siti Jenar dapat di peroleh dengan cara ” Ngelmu Kang Nyata/Ngelmu 

Luhung/Ilmu Hakikat”. Ilmu ini lebih tinggi tingkatannya dari pada Ngelmu Karang 

(ilmu yang dikarang-karang), untuk mempelajari dan mendapatkan Ngelmu Nyata ini 

orang harus berguru kepada seorang gutu. Dalam ungkapan Serat Wedhatama guru 

ini dinyatakan sebagai Sarjana Kang Matrapi, yaitu para pertapa yang bijaksana.  

Adapun jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan dalam 

Serat Wedhatama di rumuskan menjadi Sembah catur (Empat macam sembah). Hal 

ini diungkapkan sebagai berikut : ” Semengko insun tutur/sembah catur supaya 

lamuntur/Dhihin raga, cipta, jiwa, rasa kaki/ing kono lamun tinemu/Tandha 

nunggrahaning Manon. 

Kini kuterangkan empat macam sembah, agar dijalankannya. Yaitu sembah 

raga, cipta, jiwa dan rasa. Keempatnya apabila berhasil, itu pertanda anugerah Tuhan.  

                                               

Keempat macam sembah ini secara berurutan merupakan suatu gubahan dari 

keempat tingkat dalam pengamalan ajaran tasawuf. Sembah raga yaitu  Syariat, 

sembah cipta yaitu  Tarekat, sembah jiwa yaitu  Hakikat, sedang sembah rasa 

yaitu  Ma’rifat. Jadi keempatnya yaitu  gubahan dari syariat, tarekat, hakikat, dan 

ma’rifat.  

Selanjutnya diterangkan bahwa sembah raga sucinya dengan air dan 

menjalankan shalat lima waktu dan berpegang pada aturan-aturan syari’at. Adapun 

sembah Qalbu (Cipta), sucinya tanpa air akan tetap menahan dan mengurangi 

kridanya hawa nafsu. Berusaha mengenal Tuhan di lakukan dengan penguasaan batin 

dan berlatih secara tekun, tertib dan teratur. Berlatih mengheningkan cipta untuk 

menanti terbuknya alam ghaib eneng, ening, eling (hening, awas, dan ingat).  

Adapun sembah jiwa (hakikat) diterangkan merupakan puncak akhir dari pada 

laku batin. Sucinya dengan hati awas dan ingat. Berusaha menggulung alam raya ke 

alam batin (jasad gedhe ginulung lan jagad cilik). Apabila mendapat anugerah Tuhan 

qalbu akan terbuka ke alam batin dan akan nampak terang benderang, terlihat serupa 

dengan Tuhan yang laksana bintang gemerlap. Adapun sembah rasa akan terlaksana 

tanpa petunjuk apapun, hanya terasa dalam batin. Segala menjadi terang benderang, 

segala was-was hati telah punah sama sekali, jiwa raganya berserah diri pada takdir 

Tuhan.

C. Telaah Kritis Terhadap Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar Dalam 

Perspektif Hukum Islam 

 

Secara umum, hukum Islam (fiqh) didefinisikan sebagai berikut : “ ilmu tentang 

hukum-hukum syar’iyah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci (adillah 

tafshiliyyah). Dari definisi ini dapat dilihat bahwa hukum Islam (fiqh) yaitu  ilmu 

tentang hukum-hukum syar’iyyah yang amaliyyah yakni yang berhubungan dengan 

perbuatan-perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah. Dari 

sini dapat dikatakan bahwa hukum-hukum aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam 

fiqih, meskipun jika ditelusuri lebih jauh dapat dimasukkan kedalamnya.

Tetapi, mau di akui atau tidak, persoalan yang paling mengakar dalam 

kehidupan umat Islam yaitu  persoalan ibadah –ritual. Tidak heran jika fiqh klasik 

identik dengan  tatacara bersuci (al-thaharah), salat, puasa, haji, dan nikah. Fiqh 

klasik telah menjadi ajaran (antroposentris). Persoalan-persoalan yang berhubungan 

dengan sosial kewarga an seolah-olah hilang di tengah hiruk-pikuknya persoalan 

ibadah-ritual.

Dalam artian seperti ini, jelas bahwa fiqh mengatur hal-hal yang berhubungan 

dengan perbuatan manusia baik dalam bidang ibadah maupun muamalah. Dalam 

bidang ibadah, misalnya, fiqh mengatur syarat-syarat, rukun-rukun, sunnat-sunnat 

ibadah. Ibadah akan dianggap sah jika telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-

rukunnya. Sebagai contoh, shalat seseorang sah dari segi fiqih apabila ia shalat di 

waktu yang benar, telah bersuci, menutup aurat di mulai dari pusat sampai lutut (bagi 

laki-laki), menghadap kiblat, memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun lainnya. 

Dalam bidang muamalah, misalnya, boleh saja mengumpul kekayaan dan harta benda 

sebanyak-banyaknya asal melalui jalan yang dibenarkan seperti perdagangan yang 

dibenarkan. 

Tasawuf memberikan dimensi lain. Ibadah shalat dalam ilmu tasawuf bukan 

sekedar terpenuhinya syarat-syarat dan rukun yang digariskan dalam fiqh. Lebih dari 

itu shalat dimaknai dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan ini mesti 

benar-benar diusahakan dan dirasakan lewat cara-cara yang telah digariskan 

tasawuf.

Pada paro pertama abad ke-13, guru Ibn ‘Arabi dan Rumi, Syams al-Din al-

Tabriz, menyerang para ahli hukum yang anti mistik. Namun, para fukaha ini 

tampanya selalu menentang ide-ide filosofis Yunani dan monoisme, bukannya 

menentang sufisme itu sendiri. Memang agak aneh jika ada seorang fukaha di abad 

ke-13 yang menentang sufism sepenuhnya. Salah satu tokoh utama dari menyebarnya 

kekuasaan sufi, ‘Umar Suhrawardi, menggunakan “pondokannya” sendiri untuk 

menampung mahasiswa-mahasiswa fikihnya. Setelah itu, lumrah bagi seorang ulama 

fikih untuk masuk ke dalam suatu persaudaraan (tarekat).24  

Tasawuf yaitu  proses pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya sulit di 

definisikan. Tasawuf tampak merupakan upaya akal manusia untuk memahami 

hakekat segala sesuatu, dan untuk menikmati hubungan intim dengan Allah SWT. 

Adapun aspek pertama dari upaya ini yaitu  segi falsafi dibandingkan  tasawuf ; sedang 

                                               

aspek kedua yaitu  segi agamis. Kegiatan pertama bersifat pemikiran dan renungan ; 

sedang kegiatan kedua amali. Dan segi amali dibandingkan  tasawuf muncul terlebih 

dahulu dibandingkan  segi falsafinya. Para Sufi itu memulai kegiatannya selamanya dari 

mujahadah dan riyalat, bukan dengan merenung dan berpikir. Oleh karena itu ‘hati’ 

yaitu  lebih penting dibandingkan  akal bagi para sufi ; bahkan hal itu bagi para sufi yaitu  

segalanya, karenanya hati mereka pandang sebagai ‘singgasana’ bagi Allah SWT.

Seseorang yang dengan taat menjalani semua ketentuan syariat baik dalam 

ragam kegiatan ibadah mahdlah atau kash atau pun dalam bidang mu’amalat atau 

hidup sosial, tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali ia mampu menyentuh 

dimensi esotorik dari segala tindakan yang eksoterik. Aqidah iman bukan sekedar 

mengucap dua kalimat syahadat yaitu persaksian tentang keesaan Tuhan dan 

kerasulan Muhammad Saw dan tindakan ragawi, melainkan harus disertai kehadiran 

spritual-ruhaniyah di dalam hati atau kalbu. Tindakan fisik dalam melakukan shalat, 

zakat, puasa, dan haji saja juga belum cukup jika tidak disertai keterlibatan intensif 

ruhaniyah-batiniyah yang disebut dalam banyak istilah seperti ke-ikhlasan, kekhusuk-

an, dan tumakminah.

Demikian pula para pengamal ajaran tasawuf (para sufi) tidak seluruhnya sama. 

Ada yang berkonsentrasi pada pembentukan akhlak yang mulia, menjadikan diri 

sebagai hamba yang taat kepadanya di dalam seluruh aspek kehidupan dengan 

senantiasa berpegang teguh kepada tuntunan syariah (Al-qur’an dan Al-Sunnah). Ada 

                                                

juga yang lebih dari itu, di mana tujuan akhir yaitu  bersatu dengan Tuhan baik 

dalam bentuk ittihad, hulul dan wahdat al-wujud.. 

Kritikan pedas Syekh Siti Jenar kapada Wali Songo ialah karena menurut Siti 

Jenar para wali ini hanya menyentuh kulit luar syariah tanpa menyentuh dimensi 

terdalam yang esotoris dari berbagai ketentuan syariah yang bernilai abadi seperti 

keabadian hidup sesudah kematian. 

Tidak ada  cukup bukti bahwa Syekh Siti Jenar menolak kewajiban syariat, 

namun sayangnya informasi umumnya sampai kepada warga  publik ajaran 

Syekh Siti Jenar di anggap menolak kewajiban syariat. warga  publik sering 

memandang bahwa ajaran shalat daim berarti shalat sekali seumur hidup atau shalat 

sebelum shalat yang selama ini banyak dihubungkan dengan ajaran Siti Jenar. Shalat 

daim bisa berarti shalat abadi karena dikaitkan dengan keabadian hidup yang ukuran 

waktunya dilihat dari kewaktuan sesudah kematian yang tanpa batas.

Perdebatan mengenai Syekh Siti Jenar seringkali di sempitkan menjadi 

persoalaan politik an sich. sehingga yang terjadi menafikan sisi ajaran dan amalan 

keagamaannya yang humanis. Keberadaan Kitab Bayan Budiman sebetulnya lebih 

meluruskan bentuk stigma, bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu anti-syariah.  

Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar yang dijelaskan dalam Kitab Bayan 

Budiman yaitu  kebersatuan Syariat, Tarekat, dan Hakikat dari ajaran Islam. 

Sehingga keterpaduan inilah yang kemudian oleh Syekh Siti Jenar di anggap 

seorang muslim sudah mencapai titik kasampurnaan hidup. 

Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai konsep keterpaduan antara 

Fiqh (Hukum Islam) dan tasawuf, penulis sepakat dengan pendapat Imam Malik 

(fukaha) beliau menegaskan: Barang siapa berfiqhi (ber-tauhid) saja tanpa ber-

tasawuf niscaya berlaku fasik (tidak bermoral). Dan barang siapa yang ber-

tasawuf tanpa ber-fiqhi (bertauhid) niscaya ia jadi golongan zindiq (penyeleng 

agama). Dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya niscaya ia menjadi 

golongan Islam yang hakiki (tulen).  

B. Saran-saran  

Penolakan praktek peribadatan model Syekh Siti Jenar tidak hanya terjadi 

ketika Syekh Siti Jenar masih hidup. Tokoh sebelum dan sesudah Syekh Siti Jenar 

hidup pun ada yang ditolak dan di cap sesat oleh ulama dan mayoritas umat Islam. 

Sebut saja misalnya Al-Hallaj yang mati di gantung karena keyakinanya bahwa 

Tuhan dan dirinya menyatu, maka segala ucapannya yaitu  perintah Tuhan. 

Sehingga hal ini oleh mayoritas ulama mengaianggap merusak aqidah umat Islam.       

Unsur-unsur sufisme (tasawuf) masuk dalam domain fiqh (syariat) bukanlah 

barang baru. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali sudah memberikan pondasi yang 

kuat tentang keterpaduan keduanya (syariat-tasawuf) seperti yang dijelaskan 

dalam Kitab Bayan Budiman.