Islam yaitu agama yang sejak awal diturunkannya diterima dan diamalkan
oleh warga urban, atau warga perkotaan di Makkah dan Madinah.
Yakni diterima suatu lapisan warga yang mampu berfikir rasional dan logis,
mampu membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas antara yang Islam
dan yang bukan Islam. Istilah-istilah musyrik dan tauhid, Islam dan kafir, yang
Islami dan jahiliyyah, mereka ciptakan yaitu untuk menarik garis tegas pemisah
antara sunnah ajaran Islam dengan tradisi Jahiliyah. Firman Allah Lakum
diinukum waliya diin (untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku)
merupakan penegasan bahwa dalam masalah agama tidak bisa dikompromikan
dan dicampuradukkan. jadi, dalam masalah agama tidak kenal kompromi dengan
tradisi keagamaan zaman jahiliyyah agar sesuai dengan ajaran-ajaran Tuhan yang
benar. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran semisal firman Allah SWT :
“Apabila dikatakan kepada mereka :“Marilah mengikuti apa yang
diturunkan allah dan mengikuti Rasul ”, mereka mengatakan : “Cukuplah untuk
kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah
mereka akan mengikuti juga nenenk-moyang mereka walaupun nenek-moyang
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk ? (Quran 5 : 104).
Dengan prinsip beragama menurut dalil atau petunjuk wahyu yang benar,
Umat Islam pada kurun pertama di bawah bimbingan langsung Nabi berhasil
memperagakan pemahaman, penghayatan dan pengalaman Islam yang benar-
benar murni dan segar sehingga terbentuk suatu umat baru dan menjadi Khairu
Ummat pada waktu itu. Keistimewaan Islam yaitu punya sejarah yang jelas
semenjak diturunkannya wahyu pertama hingga jadi agama yang sempurna dan
utuh sebelum wafatnya Nabi. Hal ini diterangkan dalam surat Ma’idah ayat 3
sebagai berikut : “ Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah ku-ucapkan kepadamu nikmat-ku, dan telah Aku ridhloi Islam itu jadi
agama bagimu”.
Oleh karena itu walaupun kini Islam telah banyak mendapat pengaruh
berbagai macam peradaban dan tradisi jahiliyah, namun ilmu pengetahuan modern
menawarkan kemampuan untuk menggunakan analisis kritik kesejarahan bagi
umat yang rindu pada jiwa Islam yang murni seperti yang di amalkan oleh nabi
dan sahabat-sahabat beliau.
Pesan terakhir Rasullulah SAW dalam haji wada’
Aku tinggalkan dua hal kepada kalian dimana kalian tidaka akan sesat
selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah
rasulnya (Diriwayatkan Al-Hakim)
Namun semenjak abad ketigabelas mulai merosot, dan akhirnya menjadi
umat yang paling kontit hingga mudah diperbudak oleh bangsa-bangsa barat yang
maju dari umat Islam. Mengapa bisa terjadi kemerosotan yang demikian tragis
dan terpelanting jadi umat yang paling dungu dan jauh ketinggalan dengan laju
peradaban modern dewasa ini? Dalam menjawab persoalan ini para pemikir dan
peneliti umumnya menyimpulkan; bahwa diantara sebab-sebab yang amat
komplek, tasawuf atau sufisme-lah yang merupakan sebab yang paling utama bagi
kemunduran pemikiran Islam.
Hal yang demikian ini di atas pernah dibenarkan oleh penulis buku
“The New World Of Islam“ Lothrop Stoddard, mengatakan bahwa kemunduran
Islam disebabkan karena umat Islam meninggalkan ajaran ketauhidan yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka telah diselubungi oleh khurafat
dan paham kesufian. Mesjid-mesjid ditinggalkan oleh golongan besar yang awam.
Mereka menghiasi diri dengan azimat, penangkal penyakit dan tasbih. 3
Apakah betul kesimpulan semacam ini, dan apa kiranya alasan mereka
menghukumi tasawuf sebagai penyebab yang paling utama bagi kemunduran
pemikiran Islam? Untuk mengecek kebenaran pandangan disini perlu dilacak
tentang sebab-sebab timbul dan berkembangnya pendekatan sufisme yang
dipergunakan dan diandalkan oleh para sufi untuk memahami dan
menginterpretasikan ajaran Islam, dan apa kelemahan pendekatan ini serta dan
bagaimana kehebatannya.
Tasawuf atau mistik pada dasarnya yaitu ekstrim rohaniah (spritual). Maka
penerapan ajaran mistik untuk memahami Islam tentu membawa perubahan besar.
Aspek kerohanian Islam yang mereka tekankan dan dikembangkannya dengan
penafsiran dan pemahaman dari sudut (kacamata) ajaran tasawuf.4
Tasawuf yaitu proses pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya sulit
di definisikan. Tasawuf tampak merupakan upaya akal manusia untuk memahami
hakekat segala sesuatu, dan untuk menikmati hubungan intim dengan Allah SWT.
Adapan aspek pertama dari upaya ini yaitu segi falsafi dibandingkan tasawuf ; sedang
aspek kedua yaitu segi agamis. Kegiatan pertama bersifat pemikiran dan
renungan ; sedang kegiatan kedua amali. Dan segi amali dibandingkan tasawuf muncul
terlebih dahulu dibandingkan segi falsafinya. Para Sufi itu memulai kegiatannya
selamanya dari mujahadah dan riyalat, bukan dengan merenung dan berpikir. Oleh
karena itu ‘hati’ yaitu lebih penting dibandingkan akal bagi para sufi ; bahkan hal itu
bagi para sufi yaitu segalanya, karenanya hati mereka pandang sebagai
‘singgasana’ bagi Allah SWT.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tasawuf bermula dari amalan-amalan
praktis. Yakni laku mujahadah yang utama. Dari kepercayaan warga yang
gaib, atau dari ajaran agama tentang adanya Tuhan, merangsang keinginan
sebagian tokoh agama untuk mencoba bermeditasi, mencari jalan agar dapat
bertemu muka dan mendapat wangsit (wahyu) secara langsung dari Tuhan atau
Zat yang gaib. Baru sesudah diantara mereka berhasil makrifat kepada Tuhan dan
mendapat wangsit, ada yang mencoba menyusun ajaran atau falsafah
ketasawufannya dengan konsep-konsep hasil pemikirannya atau meminjam dan
menggunakan konsep-konsep ajaran orang lain.Dalam perkembangan tasawuf
misalnya, yang mula-mula timbul yaitu gerakan zuhud yang meningkat ke laku
tapa-brata atau mujahadah dan riyalat dirintis oleh Ibrahim Bin Adham ( w.
777M./162H.), dan Rabiah al-Adawiyah ( w. 801M./ 185H.), dan lain-lainnya.
Baru kemudian muncul pemikir-pemikir tasawuf yang besar seperti Husein Bin
Mansur al-Hallaj, Imam al-Ghazali, Ibnu ‘ Arabi, dan lain-lainya. Pemikiran
falsafi dalam tasawuf muncul sesudah di antara para sufi ahli pikir mencapai
puncak penghayatan makrifat mereka. Kemudian berusaha menyoroti aspek-aspek
ajaran Islam dari sudut paham kemistikan mereka. Maka muncullah konsep-
konsep ittihad, hulul, wahdat al-wujud, wushul, dan sebagainya. Istilah-istilah ini
menggambarkan penilaian atau paham mereka tentang puncak penghayatan fana’
dan makrifat mereka.5
Umat Islam diajar untuk bersikap tengah-tengah dan menjauh watak yang
ekstrim. Dalam Al-Quran dan Tafsirannya terbitan Departemen Agama jilid
pertama ayat di atas diterangkan :
“Mereka (umat Islam) dalam segala aspek persoalan hidup berada di tengah-
tengah antara orang-orang yang kebendaan dalam hidunya seperti orang-
orang yahudi, Musyrikin, serta orang-orang yang tidak beragama, dan
orang-orang yang hanya mementingkan kerohanian saja seperti orang-orang
(pendeta) Nasrani, Sabiin dan orang-orang Hindu “.
Di kalangan kaum sufi, istilah syari’at memiliki makna tersendiri yang
dapat dikatakan berbeda dari pengertian ynag diberikan oleh para ahli hukum
Islam. Di kalangan ahli-ahli hukum Islam, syariah diartikan seluruh ketentuan
yang ada dalam Al-Quran dan Al-sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah,
akhlaq maupun aktivitas manusia baik yang baik yang berupa ibadah maupun
muamalah. Sama dengan pengertian Fiqh pada periode Rasulullah SAW.
Syariat dan Fiqh memiliki perbedaan-perbedaan terutama setelah masa
Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Asaf A.A.Fyzee, misalnya mengatakan :
“ Syariat memiliki ruang lingkup yang lebih luas, meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia ; sedangkan ruang lingkup fiqh lebih sempit, dan hanya
menyangkut hal-hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan
hukum, syariat senantiasa mengingatkan kita (bahwa ia bersumber) pada
wahyu, ilm (pengetahuan) tetang wahyu itu tidak akan diperoleh kecuali dari
atau dengan perantara Al-Quran dan Hadits ; dalam fiqh kemampuan
penalaran ditekankan sekali, dan kesimpualan-kesimpulan (Hukum) yang
didasarkan kepada ‘ilm itu senantiasa dilakukan dengan cara yang
meyakinkan. Arah tujuan syariat ditetapkan oleh Tuhan dan Nabi-nya ;
sedangkan materi yang tercantum dalam fiqh disusun dan diangkat atas
usaha manusia. Dalam fiqh suatu pekerjaan bisa sah atau haram, boleh atau
tidak. Sedangkan dalam syariat banyak ada tingkatan-tingkatan yang
dibolehkan atau tidak. Dengan demikian, fiqh merupakan terminologi
tentang hukum sebagai suatu ilmu;sementara syariat lebih merupakan
perintah Ilahi yang harus diikuti “.
Dari penjelasan itu terlihat bahwa syariat meliputi seluruh aspek kehidupan,
baik aqidah, ibadah maupun muamalah dan juga akhlaq. Di kalangan kaum sufi,
syariat berarti amal ibadah lahiriyah (eksoterik). Gerakan-gerakan sholat dimulai
dari menghadap kiblat, berdiri, ruku, sujud, dan seterusnya, demikian pula bacaan-
bacaan yang telah ditentukan di dalamnya yaitu amal ibadah lahiriyah (syariat).
Perjalanan ke baitullah, thawaf, sai, wukuf di Arafah dan lainnya yaitu syariat,
amal ibadah yang bersifat lahiriyah.
Dalam ajaran tasawuf, pelaksanaan ibadah yang hanya melakukan gerakan-
gerakan dan bacaan-bacaan tanpa memahami makna yang ada dalam ibadah
ini , maka tidak obahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa
mengerti apa yang dibacanya. Kehidupan keberagaman dengan ibadah yang hanya
terkonsentrasi kepada amal lahiriyah (syariat) ini akan hampa, karena hati kosong
dari hakekat ibadah yang sedang dilakukan. Makna yang terkandung di dalam
ibadah–ibadah inilah di kalangan tasawuf yang dikenal dengan istilah haqiqah
(hakikat).
Timbulnya ajaran Islam kejawen itu melahirkan juga ajaran-ajaran yang
berbentuk suluk dan primbon. Ajaran ini menciptakan ajaran atau gerakan
Pamoring Kawulo Gusti. Gerakan ini mendapatkan dukungan di kalangan
warga Islam agraris yang berpikiran sederhana dan masih berpegang kuat
terhdapa tradisi dan ajaran hindu yang asli. warga pedalaman menerima
ajaran agama Islam hanya untuk abon-aboning ngaurip (kelengkapan hidup
manusia), maka mereka memerlukan syariat untuk sampai pada hakikat-hakikat
agama. Filsafat ini jelas bersifat teologis dan terlihat pada tulisan tentang tasawuf
Islam yang muncul pada abad X1X.
Hasil itu merupakan perpaduan antara agama asli, Hindu, dan Islam, seperti
terungkap pada serat atau buku-buku serat senthini, falsafah Gatholoco, Serat
Darmagandhul, Kramaleya, dan sebagainya. Oleh karena dalam kenyataannya
agama Islam kejawen ini masih memerlukan teteki, sesirih, dan perihatin dalam
rangka mendekatkan diri dengan Tuhannya dengan caranya sendiri.
Ajaran Syekh Siti Jenar sampai saat ini masih menjadi perdebatan hangat
bagi ulama syariah. Kitab Bayan Budiman memberikan elaborasi yang
komprehensif tentang kolerasi antara syariah dan sufisme. yang dianggap oleh
syariat ajaran Syekh Siti Jenar sesat, Bidah dan anti syariah. Dalam Kitab Bayan
Budiman justru terbalik apa yang selama ini dituduhkan oleh kelompok syariah.
Syariah atau sufisme, semuanya merupakan bentuk pelaksanaan dari ajaran
Islam dimana yang pertama mementingkan sistem tindakan ibadah dan yang
kedua lebih mementingkan kebertautan hati, ruhani, dan mental ibadah dengan
tujuan akhir mendekatkan diri kepada allah. Namun keduanya berakar dari suatu
kepercayaan dan kesadaran akan adanya sumber kekuatan sakral atau gaib yang
bisa menempali segala objek di dunia profan.
Pencapaian kesempurnaan dalam kitab Bayan Budiman yang disadur bukan
dilakukan dengan menolak syariat. Namun, hanya dengan memegang ajaran
syariat saja dipandang kitab ini belum cukup untuk bisa mencapai suatu tahap
ibadah kasampurnan (kasampurnaan) dan makrifat. Pencapaian kasampurnan
sebagai tujuan akhir dari ibadah kepada allah membutuhkan penyerahan sepenuh
hati kepada allah yang menjadi inti dari iman yaitu kesadaran tentang adanya
Tuhan dengan segala sifatnya yang selalu hadir aktual dalam diri setiap orang.
Kesadaran atas sifat-sifat Tuhan itu akan membuat manusia akan memiliki
kemampuan menembus batas-batas fisik material dengan hatinya yang bersih dan
jernih.
Apa yang telah dikemukakan di atas, penulis tergugah untuk mengetahui
lebih jauh mengenai kombinasi atau kaitan antara ajaran tasawuf dan Syariah.
Dalam hal, mengenai peribadatan Syekh Siti Jenar yang ada dalam Kitab Bayan
Budiman. Oleh karenanya penulis merasa tertarik untuk mengupas lebih dalam hal
ini . Dengan menjadikannya judul skripsi : “Konsep Peribadatan Syekh Siti
Jenar Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Terhadap Kitab Bayan Budiman)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam penulisan skripsi ini tidak melebar dan lebih
terarah pada tema yang diharapkan, maka penulis membatasi pembahasan pada
masalah konsep peribadatan Syekh Siti Jenar yang tertulis dalam Kitab Bayan
Budiman.
Dengan membatasi pembahasan, penulis merumuskan pokok masalah dalam
skripsi ini :
1. Bagaimana konsep peribadatan Syekh Siti Jenar dalam Kitab Bayan
Budiman?
2. Bagaimana pandangan Hukum Islam tentang konsep peribadatan
Syekh Siti Jenar?
Dengan pembatasan dan perumusan masalah diatas, diharapkan skripsi ini
dapat menjelaskan sesuai dengan tema yang kami ambil dalam judul skripsi yaitu:
Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar dalam Perspektif Hukum Islam (studi
terhadap Kitab Bayan Budiman).
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep peribadatan Syekh Siti Jenar.
2. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap konsep
peribadatan Syekh Siti Jenar.
Adapun manfaat dari penelitian yaitu :
1. Dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam studi sejarah tasawuf
terutama ajaran Syekh Siti Jenar dan relevansinya dengan kajian
Hukum Islam.
D. Metodologi Penelitian dan Metode Penulisan
Metodologi penelitian dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode jenis
penelitian kepustakaan (library research) sebagai pisau analisis dengan
pendekatan deskriptif, yaitu berusaha mengumpulkan informasi dan data
sebanyak-banyaknya. Metode ini menggunakan dua jenis data yang dibutuhkan,
Primer dan Sekunder.
Data primernya yaitu Kitab Bayan Budiman dan juga penjelasan yang
berkaitan dengan kitab ini . kemudian dianalisis secara kualitatif, dengan
pendekatan analisis kepustakaan dan analisis para ilmuwan dan juga ditambah
analisis penulis pribadi.
ASAL-USUL SYEKH SITI JENAR DAN KONSEP
PERIBADATANNYA
A. Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar dan Kegiatan Keagamaannya.
Syekh Siti Jenar, sebagaimana yang berkembang dalam warga ,
memiliki banyak banyak nama antara lain akibat di alihbahasakan ke dalam
berbagai tingkatan dalam bahasa Jawa. Sebagian menyebut Syekh Siti Jenar
dengan Sitibirit atau Siti Abrit. Sebagian yang lain sering memanggil dengan Siti
Rekta, Lemah Bang atau Lemah Abang.1
Berdasarkan penelitian Dalhar Shodiq menyebutkan bahwa sebagian orang
menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari Cirebon. Ia yaitu putra dari
seorang raja pendeta. Ayahnya bernama Resi Bungsu dan nama asli Syekh Siti
Jenar ini ialah Ali Hasan alias Abdul Jalil. Suatu saat, sang ayah marah besar atas
kesalahan yang dilakukan anaknya ini . Sang ayah lalu dan menyihir sang
anak, sehingga berubah menjadi seekor cacing yang lalu dibuang ke sungai.
Syaikh Abu Al-Fadl menyatakan bahwa nama asli Syekh Siti Jenar yaitu
Abdul Jalil bin Abdul Qadir. Jika benar Abdul Qadir yang dimaksud Mbah Dlol3
disini yaitu Sunan Gunung Jati Putera Maulana Ishaq, maka dapat dikatakan
bahwa Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar) yaitu keponakan Raden Paku alias Sunan
Giri, meskipun dari jalur yang berbeda. Jikalau Sunan Giri yaitu putra Maulana
Ishaq dengan ibu dari Blambangan, maka Sunan Gunung Jati (Abdul Qadir) yang
kemudian menurunkan Sayyid Abdul Jalil yaitu putra Maulana Ishaq dengan ibu
yang berasal dari Pasai.
Solichin Salam memiliki pendapat lain lagi. Menurutnya asal-usul dari
Syaikh Siti Jenar tidak diketahui secara pasti. Namun demikian Solichin Salam
mengutip pendapat Cemar Amin Husain, seorang bekas Attache pers pada
kedutaan RI di Mesir. Berpendapat bahwa nama Siti Jenar barangkali karena
kesalahan dalam mengucapkan lafal Sidi Jinnar yang berasal dari bahasa Persia.
Sidi berarti Tuan, sedangkan Jinnar yaitu orang yang memiliki kekuatan
seperti Api. Hal ini dihubungkan dengan kebudayaan yang ada antara negara kita
dengan Persia.
Nama Siti Jenar menjadi penting bukan hanya karena banyak
keterkaitannya dengan sejarah perjuangan perkembangan Islam di negara kita dan
dinamika kekuasaan politik kerajaan Demak. Posisi Syekh Siti Jenar yang lebih
dekat elite keturunan terakhir Majapahit yang tidak bersedia tunduk pada
kekuasaan Raden Fatah dengan mengembangkan ajaran di luar mainstrem ajaran
walisongo ini . Sikap dan ajarannya inilah yang antara lain menyebabkan
mengapa kewalian Syekh Siti Jenar tidak diakui oleh Demak dan Walisingo.6
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap bahwa alam kehidupan
manusia di dunia sebagai kematian, jelas menyimpang dari pendapat Wali Songo.
Syekh Siti Jenar itu telah menyimpang dari ijma’ yaitu persesuaian pendapat para
waliullah, qias yaitu hukum Islam yang bersendikan perbandingan dalil dan
hadits, yang dipakai sebagai dasar dan pedoman pemerintahan kerajaan Bintara.
Dasar keyakinan umum yang sudah berlaku yang selama ini mampu mengatasi
berbagai macam persoalan, diputarbalikkan Syekh Siti Jenar dengan menyatakan
bahwa dunia ini yaitu alam kematian.7
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling menarik sekaligus kontroversial ialah
ajarannya tentang hidup dan mati, Tuhan dan manusia, serta kewajiban memenuhi
rukun Islam. Seluruh murid dan pengikutnya dalam kisah tentang Syekh Siti Jenar
memilih mati dengan caranya sendiri. Kemampuan mematikan diri itu pernah
menarik Sunan Kudus yang belajar merasakan kematian pada Ki Ageng Pengging
yang juga dikenal dengan nama Ki Kebokenongo. 8
Pandangan Syekh Siti jenar bahwa ia tidak wajib salat dan segala rukun
dalam Islam dan aturan formal yang disusun dalam ilmu syariah, bukan hanya
didasari oleh konsepnya tentang manusia- Tuhan. Melainkan juga didasari oleh
pandangannya tentang makna hidup dan mati. Syekh siti jenar memandang bahwa
aturan syariat hanya berlaku bagi mereka yang telah mati. Pandangan ini sekilas
mirip dengan pandangan kebanyakan ulama lainnya, namun sesungguhnya
berbeda.
Letak perbedaannya ada pada konsep tentang siapa yang disebut mati dan
dan dimana letak kehidupan dan kematian. Bagi syekh siti jenar, alam dunia ini
yaitu tempat kematian manusia, sehingga hukum syariah tidak berlaku disini.
Hukum syariah baru berlaku nanti di sana sesudah manusia menemui ajalnya.
Karena itu, syekh siti jenar memandang bahwa neraka dan surga sudah ada di
dunia sekarang. Ia berupa pertentangan berpasangan yaitu susah-senang, bahagia-
menderita, rugi-untung, dan pertentangan berpasangan lainnya. Yang merupakan
kenampakan surga di dunia.
Bagi Syekh Siti Jenar, hakikat manusia itu ialah jiwanya yang terperangkap
dalam raga, sehingga manusia terus menerus menghadapai kesengsaraan. Manusia
baru akan memperoleh kebebasan dari segala derita sesudah menemui ajal di
mana kehidupan hakiki baru dimulai. Pandangan seperti ini sebenarnya bukan
barang asing di dalam sejarah Islam dan sejarah pemikiran sebagaimana bisa
dilihat dari pemikiran Plato dan juga Imam Al-ghazali.
Sesudah manusia menemui ajal, barulah segala pertentangan akan hilang dan
berakhir. Syekh Siti Jenar memandang bahwa tempat atau posisi Tuhan ada di
dalam diri manusia. Pandangan seperti ini juga bisa di temukan dalam pandangan
dan praktek sufi terkenal Al-Hallaj yang melahirkan konsep tentang wahdatul
wujud. Ajaran Syekh siti jenar paling kontroversial terkait dengan konsepnya
tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat keberlakuan syariat
ini .
Berbeda dari kesadaran dan pengetahuan yang umum berlaku, Syekh Siti
Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia sekarang ini disebut
sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian
justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Karena itu ia
memandang manusia yang hidup di dunia kini sebagai bangkai yang memiliki
keinginan yang selalu berubah-ubah. Konsekuensinya, ia tidak dapat di kenai
hukum sebagaimana ketentuan syariah. Karena itu manusia di dunia ini tidak
harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, salat, puasa, zakat, dan
haji.
Pokok pandangan itu juga membawa pada kesimpulan lain tentang
hubungan manusia dengan Tuhan Allah, alam semesta dan Tuhan Allah. Syekh
Siti Jenar juga berpendapat bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di
dalam budi. Ini mirip dengan konsep Al-Hallaj tentang hulul yang berkaitan
dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Karena itu, Syekh Siti Jenar dan
pengikutnya menolak tunduk di bawah pemeritahan raja. Bagi Syekh Siti Jenar,
kataatan mereka secara mutlak diberikan hanya kepada Tuhan yang mewujud di
dalam budi. Tempat bersemayam Tuhan dalam diri setiap orang. 9
Ajaran dan seluruh pandangan Syekh Siti Jenar bersumber pada gagasan
sentral tentang ketuhanan yang ada dalam penelitian Dalhar dikaji dari, antara
lain, buku Falsafah Siti Jenar karya Brotokesowo berbentuk tembang dalam
bahasa jawa. Buku itu membahas konsepsi ketuhanan menurut penafsiran Syekh
Siti Jenar yang sebagian merupakan dialog Syekh Siti Jenar dengan KI
Kebokenongo atau ki Ageng Pengging yang kemudian menjadi murid setianya
dan bersamanya membangkang tidak hanya kepada sultan Demak, tetapi juga
kepada Wali Songo.
Abdul Hakim Hassin dalam kitabnya Al-Tashawwuf fi al-Syi’ri ‘l-Arabi
yang dikutip Simuh (Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam), menerangkan
sebagai berikut :
“ Tasawuf yaitu proses pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya
sulit didefinisikan. Tasawuf tampak merupakan upaya akal manusia untuk
memahami hakikat segala sesuatu, dan untuk menikmati hubungan intim
dengan Allah SWT. Adapun aspek pertama dari upaya ini yaitu segi falsafi
dibandingkan tasawuf; sedang aspek kedua yaitu segi agamis. Kegiatan pertama
bersifat pemikiran dan renungan; sedang kegiatan kedua amali. Dan segi
amali dibandingkan tasawuf muncul terlebih dahulu dibandingkan segi falsafinya.
Para sufi itu memulai kegiatannya selamanya dari mujahadah dan riyalat,
bukan dengan merenung dan berpikir. Oleh karena itu ‘hati’ yaitu lebih
penting dari pada akal bagi para sufi; bahkan hati itu bagi para sufi yaitu
segalanya, karenanya hati mereka pandang sebagai ‘singgasana’ bagi Allah
SWT.
Kutipan diatas menunjukkan bahwa tasawuf bermula dari amalan-amalan
praktis. Yakni laku mujahadah yang utama. dan kepercayaan warga tentang
yang ghaib, atau dari ajaran agama tentang adanya tuhan, merangsang keinginan
sebagian tokoh agama untuk mencoba bermeditasi, mencari jalan agar dapat
bertemu muka dan mendapat wangsit (wahyu) secra langsung dari tuhan atau zat
yang ghaib. baru sesudah di antara mereka berhasil makrifat kepada tuhan dan
mendapat wangsit, ada yang mencoba menyusun ajaran atau falsafah
ketasawufannya dengan konsep-konsep pemikirannya atau meminjam dan
mengubah konsep-konsep ajaran orang lain. Dalam perkembangannya tasawuf
misalnya, yang mula-mula timbul yaitu gerakan zuhud yang meningkat ke laku
tapa brata atau mujahadah dan riyalat dirintis oleh Ibrahim Bin Adham (w.777
M./162H.), dan Rabi’ah al-Adawiyah (w.801M./185H.), dan lain-lainnya. Baru
kemudian muncul pemikir-pemikir tasawuf yang besar seperti husain Bin Mansur
al-Hallaj, Imam al-Ghazali, Ibnu’ Arabi, dan lain-lainnya. Pemikiran falsafi dalam
tasawuf muncul sesudah di antara para sufi ahli pikir mencapai puncak
penghayatan makrifat mereka. Kemudian berusaha menyoroti aspek-aspek ajaran
Islam dari sudut paham ke mistikan mereka. Maka muncullah konsep-konsep
ittihad, hulul, wahdat al-wujud, wushul, dan sebagainya. Istilah-istilah ini
menggambarkan penilaian atau paham mereka tentang puncak penghayatan fana’
dan makrifat mereka. Dalam hal ini R.A. Nicholson mengatakan :
“ Whatever terms may be used to describe it, the unitive state is the
culmination of the simplifying process by which the soul is gradually
isolated from all that is foreign to it self, from all that is not God. Unlike
Nirvana, which is merely the cessation of individuality, fana’, the passing-
away of the sufi from his phenomenal existence. He who dies to self lives in
God, and fana’, the consummation of ths death, marks the attainment of
baqa’, or union with the divine life”.
Dengan istilah apapun yang mungkin dipergunakan untuk melukiskannya,
penghayatan manunggal (dengan Tuhan) yaitu puncak penghayatan dengan
mana pengalaman kejiwaan meningkat keterasingannya dengan segala yang
bukan dirinya, dari apa yang bukan Tuhan. Beebeda dengan konsep Nirwana,
yang semata kebebasan dari nafsu kediriannya, fana’nya dari sufi dari alam
phenomena, berarti baka, didalam keberadaannya yang sejati. Barang siapa mati
nafsu kediriannya hidup di dalam Tuhan; dan fana’ yaitu perwujudan kematian
ini, ditandai tercapainya kekekalan, atau hidup di dalam kesatuan dengan Tuhan.
Dalam tasawuf penghayatan Manunggaling Kawula Gusti ini bisa mereka
capai melalui memuncaknya penghayatan fana’ hingga fana’ al- fana’ dala zikir,
dan bisa pula dari pendalaman rasa cinta rindu yang memuncak pada mabuk cinta
(sakar) di dalam tuhan, atau dari kedua-duanya dari mendalamnya cinta dalam
zikir dan fana’al-fana’). Penghayatan manunggal dengan Tuhan yang berasal dari
dari gelora rasa cinta bisa dipahami dari evolusi dalam mengalami sepuluh tangga
ahwal, yaitu dari cinta mendalam hingga syauq (rindu-dendam), dan kemudian
meningkat jadi pengalaman ‘Uns’, yakni kegilaan dalam asyik-masyuk (intim)
dengan Tuhannya. Dalam Risalah al- Qusyairiyah dinukil ungkapan para sufi
sebagai berikut : “Pecinta itu syaratnya sampai mabuk (gila) cinta, bila belum
sampai seperti itu, cintanya belum benar-benar (belum sempurna).
Juga dalam Risalah di atas di nukil kata Sari Al-Saqti : ” Tidak sempurna
percintaan antara dua orang sehingga keduanya saling mendaku ”.
Jelasnya, mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf
para sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud,
yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan. Kemudian dari wahdat
a-syuhud memuncak jadi wahdat al-wujud atau monisme, segala yang ada ini
yaitu Allah.
Dalam tasawuf kecenderungan ke arah paham kesatuan antara Tuhan ini di
mulai tampak dalam penghayatan ittihad (the unitive state) yang diungkapkan
oleh Abu Yazid al-Bisthomi (w.261 H./875M).
Dalam perkembangan pemikiran sufisme Abu Yazid al-Busthomi dipandang
sebagai tokoh yang memperkenalkan paham ittihad atau kesatuan antara manusia
dengan Tuhan, atau dalam konsep kejawen dinyatakan dengan konsep
Manunggaling Kawulo Gusti. 11
B. Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti Sebagai Soko Guru Ajaran Syekh
Siti Jenar.
Di dalam Serat Wedhatama, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Backy
Syafa’, “Ajaran dan Pemikiran Syaikh Siti Jenar”, disebutkan bahwa jalan untuk
mencapai Manunggaling Kawulo Gusti seperti ajaran Siti Jenar dapat diperoleh
dengan cara “ Ngelmu Kang Nyata/Ngelmu Luhung/Ilmu Hakikat”.
Adapun jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan dalam
Serat Wedhatama dirumuskan menjadi Sembah Catur (Empat macam sembah).
Hal ini diungkapkan sebagai berukut :
“ Semengko insun tutur/ Sembah catru supaya lamuntur/ Dhihn raga, cipta,
jiwa, rasa kaki/ingkono lamun tinemo/ Tandha nugrahaning Mathan.“Kini
kuterapkan empat macam sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Keempatnya
apabila berhasil, itu pertanda anugerah Tuhan”.
Keempat macam sembah ini secara berurutan merupakan gubahan dari
keempat tingkat dalam pengamalan ajaran tasawuf. Sembah raga yaitu Syariat,
sembah cipta yaitu Tarekat, sembah jiwa yaitu Hakikat, sedang sembah rasa
yaitu Hakikat. Jadi keempatnya yaitu gubahan dari syariat, tarekat, hakikat dan
makrifat.
Selanjutnya diterangkan bahwa sembah raga sucinya dengan air dan
menjalakan shalat lima waktu dan berpegang aturan syariat. Adapun sembah
qalbu (cipta) secinya tanpa air akan tetapi menahan dan mengurangi kridanya
hawa nafsu. Kemudian sembah jiwa (hakikat) diterangkan merupakan puncak
akhir dari pada laku bathin. Sucinya dengan hati awas dan ingat. Apabila
mendapat anugerah Tuhan qalbu akan terbuka ke alam batin dan akan nampak
terang benderang. Adapun sembah rasa akan terlaksana tanpa petunjuk apapun,
hanya terasa dalam batin. Segala menjadi terang benderang, segala was-was hati
telah punah sama sekali, jiwa raganya berserah diri pada takdir Tuhan. 12
12 Ahmad Zacky Syafa’, Ajaran dan Pemikiran Syaikh Siti Jenar, h. 83-85.
22
Cara Syekh Siti Jenar memaparkan pandangannya tampak lebih sesuai
logika dan kesadaran hidup orang jawa yang karena itu ajarannya tampak lebih
meresap-menyatu di pasar kepercayaan mereka. Nama Syekh Siti Jenar sulit
ditemukan di dalam kitab-kitab resmi terbitan negara kita atau jawa, namun
ajarannya begitu populer bagi publik jawa. Ensklopedia Islam yang disusun
Departemen Agama pun tidak menyebut tokoh ini ketika menjelaskan panjang
lebar tentang sejarah kehadiran wali atau Wali Songo di negeri ini. Nasib Syekh
Siti Jenar seperti tokoh-tokoh besar sufi lainnya yang menentang arus kekuasaan
politik pada masanya seperti Al-Hallaj.
Salah satu uraian panjang yang dikemukan Syekh Siti Jenar yang akrab bagi
wong jawa ialah konsepnya tentang warongko Manjing curigo yang dalam
khasanah Islam di kenal dengan wahdatul wujud. Sikapnya yang anti kemapanan
yang memang mudah dicapai melalui doktrin-doktrin hukum fiqih atau syariah
yang formal dan positifistik telah membuat tokoh ini tak pernah di akui
kehadirannya dalam sejarah Islam di Nusantara. Kehadiran Siti Jenar sebagai
manusia historis yang pernah hidup dalam bentangan sejarah nasional memang
menjadi bahan perdebatan panjang yang tidak pernah berakhir. Namun,
pandangan Siti Jenar bukanlah barang asing bagi sejarah pemikiran Islam seperti
ia juga tidak asing dalam kesadaran orang jawa.
Kejawen sebagai salah satu bentuk kesadaran keagamaan dan praktek hidup
kaum abangan hampir selalu menimbulkan salah paham dan perdebatan di antara
para ilmuwan atau para pelakunya sendiri. Kedudukan kejawen sebagai suatu
23
sistem kepercayaan itu sendiri juga menjadi perbantahan apakah ia merupakan
bagian dari kebudayaan orang jawa atau merupakan salah satu bentuk kecerdasan
lokal dari praktik Islam yang oleh pihak lain dikatakan sebagai praktik Islam yang
belum selesai atau belum sempurna. Sementara yang lain lagi memandang
kejawen sebagai suatu lapis tipis kesadaran keagamaan orang jawa yang tak
memiliki akar yang kokoh, sehingga mudah berubah bentuk atau mudah
bercampur dengan bentuk keagamaan yang bersumber dari beragam agama yang
biasa disebut sebagai sinkretisme.
Cara berpikir yang mendua inilah yang menyebabkan adanya sikap dan
perilaku keagamaan orang jawa yang dapat mengekspresikan emosi keagamaan
melalui ajaran dari keyakinan manapun, baik melalui agama-agama monoteis
(Ilam dan kristen) maupun dengan cara mengikuti ritual suatu aliran kebatinan
tertentu.13
Diluar perdebatan di atas, kasus orang jawa yang merupakan bagian dari
penduduk negeri yang majemuk secara budaya dan keagamaan sesungguhnya bisa
memberi bahan untuk memahami berbagai praktik keberagaman di kawasan
nusantara, terutama di pulau jawa. Mereka, orang jawa itu, umumnya tinggal dan
menetap di pulau jawa yang dalam mitologi jawa di percaya sebagai “punjering
jagad” atau pusat kosmos dan sebagai pusat kehidupan umat manusia. Secara
geografis pusat jagad itu terletak di satu wilayah kecil di sisi selatan jawa tengah,
dan yang lebih spesifik lagi menunjukkan kawasan yogyakarta dan solo yang juga
di tempatkan sebagai pusat kebudayaan jawa.
Dalam kaitan itu pula pergumulan keberagaman dari agama –agama besar di
negeri ini sesudah beberapa abad agama itu merasuk ke wilayah nusantara
nampak akan terus berlangsung dalam aras dan dimensi yang tentunya berbeda
dari masa ke masa. Salah satu dari banyak hal yaitu tentang pergumulan
keberagaman itu ialah hubungan mistisme di dalam semua agama-agama besar
ini dan dimana posisi kejawen beradan dan akan berada. Niels Mulder,
dalam bukunya yang edisi terjemahan negara kita berjudul Mistisisme Jawa;
Ideologi di negara kita , dengan jelas menyatakan adanya kesepadanan antara
mistisisme dengan kebatinan dan ilmu jawa kadang dan lebih sering disebut
kejawen.
Namun, disaat yang sama ekspansi kolosal orang jawa ke berbagai pulau di
wilayah nusantara beserta budaya yang diusungnya, melalui transmigrasi, semakin
menghadapi kritik amat tajam. Suatu praktik kekuasaan model Mataraman jawa
yang juga mulai digugat sesudah jatuhnya rezim orde baru.
Dilihat dari komunitas pemeluk Islam, agama yang dipeluk mayoritas
penduduk di negeri ini, sebenarnya telah masuk dan berkembang di kawasan
Nusantara lebih dari 10 abad lalu. Jauh sebelum majapahit runtuh, beberapa
komunitas pemeluk Islam, konon bahkan sudah ada di pusat pemerintahan
kerajaan besar ini . Sejak kerajaan Demak berdiri, lebih lima abad Islam terus
berkembang dan menanamkan pengaruhnya dalam beragam aspek kehidupan
nasional. Namun, mayoritas penduduk negeri ini tetap bangga dan kukuh untuk
meneguhkan diri sebagai orang jawa dengan sistem kepercayaan dan budayanya
sendiri.
Sistem kepercayaan orang jawa, yang lebih dikenal sebagai kejawen, oleh
sementara pihak di duga telah mengalami kebangkitan di akhir abad ke-20.
banyak pihak berpendapat yaitu kesalahan besar menganggap orang jawa itu
begitu gampang menjadi muslim atau kristen, Budha atau Hindu. Menurut pihak
ini, hal itu di sebabkan karena penganjur agama Islam atau kristen gagal
memahami kesadaran hidup orang jawa dan kekuatan kejawen.14
Di jawa memang perpaduan antara mistik Islam dengan budaya cukup
kental. Bukan sekedar itu saja, bahkan ada aliran kebatinan yang cenderung
menggerogoti dan menyerang umat Islam dengan karya-karya kebhatinannya.
Sebut saja, misalnya kitab Gatoloco dan Darmogandul, yang menurut T.E.
Behrend, menjadi lambang pornografi dan anti Islam dalam sastra jawa
prakontemporer. 15
Secara teoritis, sufí atau sufisme memang ditolak oleh berbagai gerakan
Islam dan kaum sunni yang dianut mayoritas muslim di dunia. Namun demikian,
praktek sufí merupakan fenomena umum yang mudah ditemukan dalam
kehidupan mayoritas pemeluk Islam dari strata rakyat kebanyakan di dunia
Islam.16
Sufisme berkembang meluas ditengah kekacauan politik yang berubah
menjadi gerakan radikal sebagai penerapan syariah sebagai dasar hukum negara
ialah wahabisme ketika mendukung kekuasaan Ibnu Saud. Di kemudian hari
wahabisme juga mengintegrasikan beberapa unsur sufisme ke dalam Islam murni
syariah ini .
Walaupun sufime ditolak kaum sunni, namun peletak pemahaman sufi juga
memberi perhatian serius atas pokok ajaran-ajaran sufisme. Hasan Basri (wafat
728 M), guru pendiri Mu’tazilah dan Asy’ary, sangat mendorong hidup saleh
(baca;zuhud) dalam menghadapi pengadilan kiamat yang populer dikalangan
penganut sufi. Ibn Taimiyah mengakui sahnya beberapa ajaran Sufisme, termasuk
kasyf-nya Al-ghazali, pembela sunni paling masyhur dan tokoh terpenting sufisme
sepanjang sejarah Islam.
Gagasan dasar sufisme sebenarnya sama dengan syariah, termasuk tujuan
pendekatan diri kepada Tuhan dan pencarian perkenan (keridlaan) Tuhan.
Gerakan ini sering dikaitkan dengan pemikiran sufi Abu Hasyim Al Kufi dari
Irak, wafat Tahun 770 M. untuk mencapai tujuan itu seorang sufi menempuh jalan
(tarekat) yang panjang dan sistematis yang dikenal dengan maqam-maqam.17
Sebagaimana di ketahui, ajaran Syekh Siti Jenar banyak terkait dengan
praktek hidup sufi sebagai model kehidupan pemeluk Islam baik dalam
berhubungan dengan (menyembah) Tuhan ataupun dalam kerangka hubungan
sosial kewarga an. Termasuk dalam hubungan sosial itu berbagai masalah
kehidupan politik dan juga ekonomi. Praktik hidup sufi itu sendiri memiliki
sejarah panjang, bahkan pada masa jauh sebelum kerasulan Muhammad saw.
Sebagian pemikir Islam (ahli syari’ah) berpendapat bahwa ajaran praktik
hidup sufi tidak diketemukan dasar tekstualnya dalam Al-Quran ataupun sunnah.
Walaupun demikian juga cukup banyak yang menghubungkan praktik hidup sufi
itu dengan perikehidupan Nabi sendiri. Mereka berpendapat bahwa perikehidupan
Rasul yaitu sebuah contoh kehidupan sufistik itu sendiri.18
Munculnya tasawuf juga bersamaan dengan rekonstruksi kekuasaan Islam
yang dengan hebat menguasai hampir seluruh wilayah-wilayah utama dunia.
Proses pembentukan sistem kekuasaan ini diikuti oleh pengembangan hukum
positif fiqih sebagaimana telah disebutkan. Akibatnya, hampir semua pemikiran
lain dinyatakan dilarang kecuali pemikiran yang memperoleh dukungan
kekuasaan resmi. Di sinilah pemikiran sufistik mulai mengambil posisi
oposisional yang tak kalah kerasnya dengan ketaatan hukum fiqih dalam praktik
tarekat.19
Pada saat yang sama, ajaran Syekh Siti Jenar seharusnya dapat diletakkan
sebagai media dialog ajaran Islam yang berkembang dengan kepercayaan lama
yang selama ini diyakini oleh hampir semua lapisan sosial di bawah sistem politik
dan budaya Majapahit. Suatu hal yang dengan keras ditolak oleh Raden fatah dan
dewan keagamaan yang dipimpin para wali. Sayangnya, pemikiran dan ajaran
Syekh Siti Jenar yang memang cukup bukti menyimpang dari mainstreem atau
pola umum sistem keagamaan dan kekuasaan resmi itu kurang disikapi secara
jernih.
Walaupun demikian, sikap Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya yang tak
kalah keras juga harus dijernihkan. Namun jika pemikiran dan ajaran Syekh Siti
Jenar itu diletakkan dalam konteks peralihan kekuasaan dan sekaligus peralihan
kesadaran budaya ketika itu, mungkin pemikiran Syekh Siti Jenar dapat dikaji
secara lebih proporsional. Harus pula disadari bahwa peralihan kekuasaan dan
budaya yang terjadi secara mendadak harus menyesuaikan diri dengan sistem
keagamaan dan kekuasaan Islam di bawah pemerintahan demak Bintara. Tidak
bisa ini dihindari hal ini akan menimbulkan kejutan dan hentakan kesadaran
sosial, politik dan ekonomi yang tak mudah bagi seseorang untuk mengambil
posisi yang tepat.
Dalam hubungan itulah kajian terhadap pemikiran dan ajaran Syekh Siti
Jenar menjadi relevan. Hal ini menjadi semakin strategis di tengah pertumbuhan
bangsa yang mayoritas penduduknya umat Islam. Lebih strategis lagi ketika ketika
bangsa ini tak lagi dapat menghindar untuk menempatkan diri ditengah percaturan
budaya mondial yang semakin mengglobal seperti sekarang ini.20
Ketika ajaran sufi itu dikembangkan Syekh Siti Jenar, kegelisahan para wali,
bahkan diantara para elit penguasa kerajaan demak pun muncul. Karena itu, upaya
memahami berbagai dimensi ajaran dan kepercayaan sufi itu diharapkan
setidaknya bisa mengurangi kesalahpahaman ini .
PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR
DALAM KITAB BAYAN BUDIMAN
A. Tinjauan Umum Tentang Kitab Bayan Budiman.
Kitab Bayan Budiman yaitu kitab rakyat yang selalu dibaca di hampir
setiap peristiwa penting kehidupan. Misalnya, di baca di malam-malam upacara di
dalam siklus kehidupan seperti; mitoni, kelahiran bayi dan sunatan, hingga hari
pernikahan. Seorang pembaca mendendangkan tembang-tembang dalam kitab
yang untuk hal-hal tertentu disela-selai (disenggaki/jw) oleh pendengar.
Buku yang di beri judul Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnaan
Syekh Siti Jenar cukup menjelaskan uraian singkat tentang Kitab Bayan Budiman.
Di dalamnya, berisi tentang kiasan bahwa burung surga yang mewakili fabelisasi
seekor burung yang disebut Burung Bayan sebagai aktor utama dalam Kitab
Bayan Budiman yang bertindak sebagai penyampai pesan ajaran kasampurnaan.
Pemberian judul yang berkaitan dengan Syekh Siti Jenar didasari alasan karena
nama Siti Jenar memang disebut dalam Kitab Bayan Budiman. Alasan berikutnya
ialah karena kitab ini memang berisi penjelasan tentang sikap hidup manusia
muslim yang mencerminkan konsep wahdatul wujud yang menjadi inti ajaran
Syekh Siti Jenar. Lebih menarik ketika penjelasan tentang sikap hidup berdasar
dengan konsep warongko manjing curigo dalam konteks kehidupan sehari-hari.1
Dalam pengantar editor, terbayang kalau kitab ini seperti buku-buku yang
mengurai kisah-kisah dalam Hikayat Bayan Budiman yang pernah editor baca.
Namun meskipun ada persamaan ini (kisah) ternyata bayangan ini keliru.
Ada perbedaan yang mendasar antara Hikayat Bayan Budiman dengan Serat
Bayan Budiman, yaitu kedalaman ruh makrifat dan model kritik sosialnya.
Kitab Bayan Budiman ini terdiri dari 13 bab, Terdiri dari: Pembukaan. (Bab
1) Kasampurnaan Makrifat (Bab 2) Makrifat Kesetiaan. Pupuh Pangkur:
Kesetiaan Rumah Tangga. Pupuh Kinanti: Hijrah Kesetiaan. Pupuh Dandang
Gula: Ketaatan Sesama Makhluk. Pupuh Gambuh:Raja Agung Dan Raja Dunia.
(Bab 3) Makrifat Sifat Manusia. Pupuh Roning Kemala: Dongengan Tentang Tiga
Hal. Pupuh Mijil: Bersatunya Kekuatan Empat Pencuri. Pupuh Pucung:
Menggunakan Kekuatan Secara Bersama. Pupuh Yuda Kenaka: Empat Pencuri
Menjelaskan Sifat. (Bab 4) Makrifat Keulamaan. Pupuh Pucung: Ulama Dan
Godaan Kekuasaan. Pupuh Artane: Ujian Guru Sejati. Pupuh Yuda Kenaka: Siasat
Jahat Ulama Sesat. Pupuh Sinom: Balasan Bagi Ulama Sesat. (Bab 5) Makrifat
Rumah Tangga. Pupuh Pangkur: Godaan Cemburu. Pupuh Kinanti: Siasat Wanita
Setia. Pupuh Maskumambang: Keteguhan Membawa Rizki. (Bab 6) Makrifat
Keserakahan. Pupuh Durmo: Memberi Pelajaran Penyembah Patung. Pupuh
Wirangrong: Makrifat Mensikapi Keserakahan. Pupuh Gambuh: Kesadaran Buah
Makrifat. (Bab 7) Makrifat Keutamaan Priyayi Santri-Santri Priyayi. Pupuh
Maskumambang: Jalan Santri Menjadi Priyayi. Pupuh Gambuh: Perempuan
Dalam Kebusukan Lingkungan Priyayi. Pupuh Pucung: Perselingkuhan Priyayi
Dan Bahaya Fitnah. (Bab 8) Makrifat Cinta Kasih. Pupuh Dandang Gula: Sumpah
Setia Cinta Kasih. Pupuh Kinanti: Cinta Sejati Atau Cinta Jasad Semata. Pupuh
Maskumambang: Kekuatan Cinta Kasih. Pupuh Simon: Cinta Versus
Pengkhiantan. Pupuh Pangkur: Cinta Jasad Bisa Tergantikan. (Bab 9) Makrifat
Keadilan. Pupuh Artane: Di Matalah Awal Tindak Khianat. Pupuh Asmarandana:
Tiga Keindahan Rasanya Satu Juga. Pupuh Durmo: Balasan Keadilan. (Bab 10)
Makrifat Jatah Rejeki. Pupuh Asmarandana: Lagak Priyayi Hina. Pupuh Dandang
Gula: Makhluk Itu Tidak Punya Apa-Apa. Pupuh Pucung: Jatah Rizki. (Bab 11)
Makrifat Tiga Kehidupan Utama. Pupuh Dandang Gula: Resiko Berjudi. Pupuh
Asmarandana: Tiga Pilar Kehidupan Utama. Pupuh Sinom: Saling Jaga Antar
Saudara. Pupuh Sinom: Kekuatan Persaudaraan. (Bab 12) Makrifat Penderitaan.
Pupuh Sinom: Kekuasaan Harta Dan Ilmu. Pupuh Pangkur: Menghargai
Peninggalan Orang Tua. Pupuh Megatruh: Kekuatan Bisa Melahirkan
Penderitaan. Pupuh Mijil: Merasakan Penderitaan. Pupuh Asmarandana: Derita
Membawa Nikmat. Pupuh Kinanti: Menggunakan Kekuatan Dengan Benar.
Pupuh Yuda Kenaka: Empat Langkah Tarekat. (Bab 13) Makrifat Guru Sejati dan
Jalan Kasampurnaan. Pupuh Sinom: Guru Sejati. Pupuh Sejati: Pupuh
Asmarandana: Syariat, Tarekat, Dan Hakikat. Pupuh Durmo: Sifat Rasul (Utusan
Tuhan) Dan Perkara Hukum. Pupuh Asmarandana: Meninggalkan Dunia Sebelum
Meninggal Dunia.
Di dalam Kitab Bayan Budiman ini melalui tokoh fabel burung Bayan yang
tampil sebagai tokoh ahli makrifat dan kisah-kisah makrifat menjelaskan
bagaimana penempatan berbagai aturan formal syariah dalam sinar kesadaran
sufistis. Berbeda dengan tokoh burung Menco yang cenderung formalis, tokoh
Burung Bayan tampil begitu lentur, bijak dan arif di dalam kesadaran makrifat dan
karena itu selalu berhasil memainkan peran mengubah atau mentransformasikan
segala peristiwa dan keadaan menjadi sebuah peristiwa etika-moral atau
pencerahan batin. Dari sini lah burung Bayan menjelaskan salah satu ajaran pokok
tentang hukuman Tuhan di dunia ini yang merupakan hasil perbuatan makhluk itu
sendiri melalui berbagai kisah mistis.
Dalam kisah lain, Kitab Bayan Budiman menjelaskan bagaimana
menempatkan nilai dan kepentingan duniawi di atas fondasi makrifat. Tokoh
sentral lain dari Kitab Bayan Budiman ialah putri Zaenab yang melukiskan
syahwat duniawi yang terus menerus membuat manusia tergoda sehingga berani
nabrak aturan syariat atau “ngakali” aturan itu demi kepentingan duniawi. Kisah
Kancil dalam sejarah Nabi Sulaiman, kisah pencuri bijak, serta kisah-kisah mistis
lain seperti yang dipaparkan dalam Kitab itu memberi gambaran bagaimana umat
manusia harus menderita du dunia akibat dari kelemahan mental menghadapi
godaan kekuasaan dan kekayaan duniawi.
Dalam Kitab Bayan Budiman, burung surga Bayan mengajarkan bahwa
derajat manusia yang paling luhur ialah jika berlaku baik. Namun manusia akan
berubah lebih rendah dari hewan apabila berlaku durjana. Dengan mengutip
perkataan kanjeng Nabi, Bayan Budiman menunjukkan betapa ruginya orang yang
tak berilmu dan hanya mereka yang senantiasa mawas dirilah yang akan selamat.
Karena itu mawas diri yaitu jalan bagi mereka yang menempuh dan mencari
ilmu kasampurnaan.
B. Kesatuan Tunggal Antara Syariat, Tarekat, Dan Hakikat Dalam Kitab
Bayan Budiman.
Jalan syariat selama ini diletakkan pada posisi terpisah dari jalan tarekat atau
jalan hakikat serta sebaliknya. Pemisahan itulah yang menempatkan ajaran
kasampurnaan dari Syekh Siti Jenar dipandang menyimpang karena dipandang
hanya mengajarkan hakikat tanpa tarekat dan syariat. Dalam Kitab Bayan
Budiman dijelaskan mengenai kasetuan syariat, tarekat dan hakikat dari ajaran
Islam. Ilmu Syariat ialah jalan untuk mendekat kepada Allah yang meliputi lima
rukun Islam dan bekerja memenuhi kebutuhan hidup memperhatikan halal mubah
serta meninggalkan yang haram dan makruh. Demikian pula Ilmu Syariat
dipraktikkan dengan nunggal syahwat, jika kuasa ia tidak lupa untuk
memperhatikan teman, adil serta tidak membuat fitnah, selalu mengajak kebaikan
pada teman dan memaafkan kesalahan.
Semua aktivitas kehidupan penganut sufi di percaya sebagai cermin
kehendak Allah di mana tangan dan ucapannya diyakini sebagai tangan dan
ucapan Tuhan. Keyakinan ini bersumber dari konsep hulul yang menyatakan
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia sebagai tempat yang dikehendaki-Nya.
Konsep hulul di dasari teori ketuhanan dengan dua sifat dasar lahut (ketuhanan)
dan nasut (kemanusiaan) di mana hubungan keduanya menjadi penyebab kejadian
segala wujud. Wujud itu ialah Adam yang dijadikan Tuhan dari ketiadaan yang
memiliki segala sifat dan namanya-Nya.
Hulul dicapai melalui proses ibadah dan latihan rohani amat panjang dan
bertahap yang disebut dengan maqam. Konsep inilah yang menyebabkan mengapa
ajaran sufi di tolak oleh ulama syariah yang memandang konsep dan latihan
rohani ini sebagai sebuah bid’ah (penyimpangan). Namun, sifat-sifat Tuhan
juga menjadi identitas kesalehan yang ingin dicapai oleh umumnya pemeluk Islam
seperti para ulama syariah. Sama halnya dengan ajaran kasampurnaan yang
bersumber dari ide tentang insan kamil.5
Tuduhan bid’ah atas konsep persatuan manusia-Tuhan di atas memang tidak
mudah dijernihkan, karena yang menuduh atau yang dituduh sama-sama merujuk
ayat-ayat Al’quran yang sama yang multi tafsir. Para penganut ajaran ittihad
sendiri berbeda-beda di dalam memahami dan mempraktikkan ajaran ini, terutama
dalam kaitan dengan aturan Syariat (Fikih). Jika konsep ini di dalam ajaran
sufisme itu bisa dikaji secara lebih jernih, salahpaham dan ruduh-menuduh antar
umat dan para pihak mungkin bisa dikurangi. Disini pula kesalahpahaman
terhadap ajaran Syekh Siti Jenar dari pengkritik dan penganut wali dituduh murtad
itu mungkin bisa dijernihkan. Inilah antara lain yang menjadi fokus Kitab Bayan
Budiman.6
Berbeda dari kesan umum atas ajaran Syekh Siti Jenar atau sufisme, seperti
tentang pertentangan antara ajaran syariat, tarekat dan hakikat, Kitab Bayan
Budiman berusaha menyatukan ajaran syariat, tarekat dan hakikat dalam kesatuan
tunggal bagai satu nafas ibadah dan cara hidup muslim. Kritik keras Syekh Siti
Jenar terhadap ketaatan syariah lebih disadari karena penggunaan aturan itu
kepentingan politik dan duniawai selain kepentingan pribadi. Gagasan
kasampurnaan Syekh Siti Jenar lebih jernih dan lebih mudah dipahami dari model
Bayan Budiman yang meletakkan syariah bukan sekedar tindakan fisik, melainkan
keharusan didasari keteguhan mental dan spritual.
Karena itulah seperti tanpa beban kritik, Kitab Bayan Budiman menuturkan
kisah bagaimana Nabi Chaidir tiba-tiba muncul, juga Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi
Sulaiman, dan Malaikat Jibril. Banyak tokoh yang tampil dalam kitab ini
memiliki kemampuan luar biasa atau linuwih seperti mitos-mitos tentang
kemampuan yang dicapai Syekh Siti Jenar. Kemampuan demikian dipercaya
sebagai petunjuk atau penanda telah dicapainya tahapan ittihad oleh seseorang
sehingga ia berada diatas tataran manusia biasa. Gejala ini pula dalam sejarah para
rasul dikenal sebagai mukjizat.7
Kitab Bayan Budiman, saduran bebasnya dipaparkan secara jernih
menjelaskan hubungan kataatan syariat secara fisik, batiniah dan makrifat diatas
yang seolah memperjelas berbagai salah paham terhadap ajaran Syekh Siti jenar.
Melalui tokoh fabel burung Bayan yang tampil sebagai tokoh ahli makrifat da
kisah-kisah makrifat, Kitab Bayan menjelaskan bagaimana penempatan berbagai
aturan formal syariat dalam sinar kesadaran sufistis. Berbeda dengan tokoh Menco
yang cenderung formalis, tokoh burung Bayan tampil begitu lentur, bijak dan arif
di dalam kesadaran makrifat dan karena itu selalu berhasil memainkan peran
mengubah atau mentransformasikan segala peristiwa dan keadaan menjadi sebuah
peristiwa etika-moral atau pencerahan batin. Dari sini pula burung bayan
menjelaskan salah satu ajaran pokok tentang hukuman Tuhan di dunia ini yang
merupakan hasil perbuatan makhluk itu sendiri melalui berbagai kisah mistis.8
Tokoh sentral lain dari Kitab Bayan Budiman ialah putri Zaenab yang
melukiskan syahwat duniawi yang terus menerus membuat manusia tergoda
sehingga berani nabrak aturan syariat atau “ngakali” aturan itu demi kepentingan
duniawi. Kisah kancil dalam sejarah Nabi Sulaiman, kisah pencuri bijak, serta
kisah-kisah mistis lain seperti paparan dalam kitab itu memberi gambaran
bagaimana umat manusia harus menderita di dunia akibat dari kelamahan mental
menghadapi godaan kekuasaan dan kekayaan duniawi. Dikisah yang lain Nabi Isa
turun kembali ke bumi bersama malaikat memenuhi hasrat dan nafsu duniawi
manusia yang tak pernah terpuaskan, namun akhirnya meminta Nabi Isa mencabut
kembali pemberian usia ini .
Maksud hakikat ialah pengetahuan yang sudah nyata, yang melihat dan yang
dilihat sudah ketemu yaitu Allah mengetahui atau melihat manusia dan manusia
melihat atau mengetahui Allah. Sudah menyatu antara lahir dan makna, wujud dan
penampakan. Di dunia ini jika ada manusia yang hendak menemui Tuhan dengan
tarekat tapi ninggal syariat tidak akan berhasil, jika hanya dengan syariat tapi
ninggal tarekat tidak akan sampai. Tarekat bagaikan laut, syariat perahunya, dan
hakikat yang dicari. Hakikat itu bagai intan indah yaitu ma’rifatullah yang hanya
dimiliki siapa yang melakukan syariat dan tarekat. Orang yang mengaku ‘alim
tapi ninggal syariat dan tarekat itu sama dengan begal (perampok) besar.
Sempurnanya orang hidup itu seperti disebut dalam kitab tarekat, shalatnya
melahirkan tingkah laku yang baik. Ia bekerja keras, bila sudah kaya lalu sabar
nrimo dan tawakkal dengan hati konaah. Kaya dan miskin sama-sama harus sabar,
yaitu memelihara hati agar tidak mengeluh dalam berbakti kepada Yang Agung
menjalani fardlu dan sunat.
Nama-nama di dalam kitab ini hanyalah pemisalan seperti nama-nama
Menco, Bayan, Zaenab dan nama Abdurrahman. Peksi (burung) maksudnya ialah
siapa yang memahaminya akan lenyap semua hama penyakit mental. Suara
burung ialah suara tentang baik dan buruk. Menco itu ialah perumpamaan orang
yang diundang ke suatu perhelatan kenduri atau selamatan yang beramai-ramai
bersama minum wedang dan makanan seperti kaum santri yang diminta membaca
sholawat lalu pulang mendapat berkat.
Sedangkan Bayan maksudnya ialah watak luhur karena mengikuti syariat
tanpa meninggalkan tarekat dan hakikat sehingga ia disebut Budiman. Juragan
ialah orang mukmin saleh yang banyak beramal dan banyak ilmu serta selalu siap
menebarkan ilmu dan hartanya bagi amal kebajikan. Nama juragan itu ialah
Nangim (Nai’m) yang berarti orang memperoleh nikmat duniawi. Dan nama
zaenab ialah mitsal harta milik dan kekuasaan sebagai hiasan duniawi.10
Nabi Muhammad pun berkata kepada Rabbil ‘Al-Amien: “ Ya Ilahi Yang
Maha Suci, aku mohon petunjuk jalan sejati yang dekat dari rahmat Tuhan. Tuhan
berfirman: “waktu siang itu hasil dari malam, dan waktu malam itu hasil dari
siang, salatlah pada malam hari dan puasa di siang harinya pasti engkau akan
mendapat rahmat Allah”. Nabi diutus untuk memelihara manusia agar bisa
menjadi ratu dunia. Ada hakiki ada majaz yang hendaklah dimengerti maknanya.
Hakiki itu bagaikan Ratu Adil menurut syariat dan majaz itu berarti melenceng
dari syariat.
Hati-hatilah di dalam gerak hidup. Janganlah meninggalkan syariat-nya.
Itulah bedanya burung Menco dan Bayan. Walaupun sama-sama benar mengikuti
perintah penguasa, tetapi Menco dibunuh karena mengikuti yang lahir tanpa sadar
nasib sialnya karena kurang menyerah kepada Allah. Orang yang mengabdi itu
terasa berat jika dipercaya, tetapi akan terasa ringan jika djalani. Renungkanlah
hal ini dengan jernih. Seperti burung Bayan yang menyantuni sang penguasa,
memberi saran dengan halus budi dan berserah diri pada Tuhan.
Dalam Pupuh Asmarandana (kesatuan syariat, tarekat dan hakikat)
dijelaskan, Orang yang beribadah kepada Allah tetapi tidak tahu ilmunya, karena
malas ngaji dengan alasan sudah tua, malu jika diungguli dan mengakui
kebodohannya, itu adlah sia-sia. Tuhan tidak menyukai orang yang senang kepada
kesalahan dan sabar nrimo menjadi orang yang bodoh. Tidaklah baik ilmu yang
dijalankan dan diajarkan tidak dengan ikhlas. Karena ilmu seperti itu hanya akan
menyebabkan penderitaan di dunia dan akhirat. Di dunia ini menjadi repot
padahal diakhirat nanti tidak mendapat apa-apa.
Ilmu itu sebenarnya bukanlah tinta dan kertas, bukan pula emas dan perak,
tapi tahu dan pengertian tentang empat dalil, Qur’an, hadits, ijma dan qiyas. Dalil
Qura’an ibarat alamnya Allah, dalil hadits itu perintahnya rasul, dalil ijmak itu
pendapatnya Imam empat, dalil qiyas itu pendapat yang mufakat atas hadits atau
Qur’an, jika mungkin tidak menyebabkan kufur. Hal ini berbeda dengan ilmu
jawi, bagai mulus menjadi merisi, makin lama sesudah menjadi priyayi lalu
menjadi Jawan yang berarti keliru, murtad menjadi murad, belum sholat katanya
sudah sholat, dan fardhu katanya tai asu (b.jawa: kotoran anjing).
Ki Nangim bertanya di mana letak empat dalil jika beribadah kepada Allah
tidak tahu arah tempatnya menyembah nama tanpa makna. Bayan menjawab
dengan mengatakan bahwa Gusti Allah itu tidak kelihatan jika dilihat dengan dua
mata selama masih hidup di dunia. Namun hati sanubari itu mengetahui bahwa
Allah itu ada Yang Maha Kuasa. Wujudnya hanya satu, bukan jisim,bukan
tempayan, karena adanya tanpa dibuat, tidak memerlukan tempat, namun Allah itu
menghadapi semua makhluk, apalagi makhluk yang berwujud. Janganlah
meninggalkan ngabekti, karena Allah itu maha mulia dan tidak tidur dari awal
hingga akhir. Ia Allah itu lebih dekat kepada hamba, hamba tidak tahu Allah tapi
Allah mengetahui hamba. Jika manusia itu meninggalkan ngabekti kepada Allah
itu yaitu kesalahan, karena manusia itu milik Allah, sehingga segala perintah-
Nya harus dipenuhi.
Ki Nangim lalu meminta Bayan menjelaskan tentang syariat, tarekat dan
hakikat. Bayan pun mengatakan bahwa yang disebut ilmu syariat itu ialah jalan
untuk mendekatkan kepada Allah yang meliputi tujuh hal yang harus dilakukan.
Pertama, jalan syariat itu ialah mengucap syahadah. Kedua, shalat wajib lima kali
dengan niat berdiri, takbiratrul ikhram, membaca fatihah, rukuk, Ik’tidal, duduk
tahiyat dan salam. Ketiga, memberi zakat dan fitrah dengan menyedekahkan harta
kepada fakir miskin. Keempat, puasa di bulan ramadhan dengan tidak makan-
minum, mencegah muntah dan jimak dari pagi hingga sore hari. Kelima, naik haji
dengan mengunjungi ka,bah, ihram di ‘Arofah melemper jumrah, thawaf-sai dan
bercukur tanggal 9 di bulan besar. Keenam, bekerja memnuhi kebutuhan hidup
memperhatikan halal mubah meninggalkan yang haram dan makruh, nunggal
syahwat jika kuasa. Ketujuh, thalabu al-shuhmah yaitu memperhatikan teman
yang senang nunggal agama, nunggal karep dan adil serta tidak fitnah, hanya
karena Allah sesuatu terjadi, selalu mengajak kebaikan pada teman memaafkan
kesalahan.
Adapun tarekat itu ialah jalan menuju kepada Allah yang meliputi tujuh
tindakan. Pertama merasa berdosa dan banyak bertobat yaitu memohon
pengampunan kepada Allah Yang Maha Suci dengan ingat didalam hati dan tidak
lupa istigfar, jika berdosa terhadap sesama meminta dihalalkan atau mengganti
jika mencuri. Kedua, bertapa yaitu meninggalkan dosa yang hanya mengambil
keperluan hidup sekedar bagi ibadah sehari semalam, dan kuat taatnya pada
Tuhan. Ketiga, hatinya qonaah yaitu menerima pemberian Allah apa adanya jika
kurang tidak boleh mengeluh baik kepada Allah atau pun sesama manusia.
Keempat bersikap tawakkal yaitu menyerahkan semuanya kepada Allah bagai
orang mati yang ketika disiram air atau dibungkus diam saja tidak minta kepada
yang lainnya, hanya yang hidup berhajat, seperti itulah manutnya manusia kepada
takdir Allah. Kelima berhati sabar yaitu tidak mengeluh dan bersedia dalam
ngabekti kepada Allah di waktu siang atau malam yang fardlu atau sunnat,
mencegah waktu maksiat serta hatinya tawajuh yang jika diganjar fakir atau
melarat atau dikenai cobaan dari Allah selalu rela tidak mengeluh. Keenam, laku
syukur kepada Allah yaitu mengerti makna nikmat yang berada dalam badan
dengan mengucap alhamdulillah di lisan dan hati. Ketujuh, laku ikhlas yaitu
beramal ibadah hanya untuk bekti kepada Allah bukan untuk lainnya. Jika ada
yang beribadah kepada Allah agar bebas dari neraka atau masuk surga atau karena
minta sesuatu maka itu bukanlah ikhlas.
Selanjutnya maksud dari hakikat itu ialah pengetahuan yang sudah nyata
antara yang melihat dan yang dilihat sudah ketemu yaitu Allah mengetahui atau
melihat manusia dan manusia melihat atau mengetahui Allah. Sudah menyatu
antara lahir dan makna, antara wujud dan penampakan. Di dunia jika ada manusia
yang hendak menemui Tuhan dengan tarekat tapi ninggal syariat tidak akan
berhasil, sebaliknya jika hanya dengan syariat tapi ninggal tarekat juga tidak akan
sampai. Tarekat itu bagaikan bagaikan laut dan syariat itu perahunya sedang
hakikat yang dicari wa al-syari-atu bila- thari-qatu itu akan ‘a-dhil atau kosong
dan al-thariqatu bila-syari-atu itu batal, sehingga salah satu dari keduanya tidak
boleh ditinggal. Hakikat itu bagai intan indah yaitu ma’rifatullah yang hanya
dimiliki siapa yang melakukan syariat dan tarekat sebagai perahu dan laut untuk
mencapai Allah. Karena itu jika orang mengaku ‘alim tapi ninggal syariat dan
tarekat itu sama dengan begal besar.
C. Ajaran Makrifat
Dalam wacana tasawuf, ma’rifat dianggap sebagai tingkatan tertinggi dalam
perjalanan tasawuf. Biasanya ma’rifat dipandang sebagai perolehan kemuliaan
sufi dan merupakan tema sentral dalam tasawuf yang sangat menarik perhatian
kaum sufi. Upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah) merupakan
tujuan utama dan sekaligus sebagai inti ajaran tasawuf. Ma’rifat dari segi bahasa
berasal dari kata ‘arafa’, ya’rifu,irfan, ma’rifat, yang artinya pengetahuan atau
pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu
ilmu yang lebih tinggi dibandingkan ilmu yang didapat oleh orang-orang pada
umumnya. Menurut Musthafa Zahri, ma’rifat yaitu mengetahui Allah dari dekat
sehingga hati sanubari melihat Allah.
Kata ma’rifat dalam bentuk masdar (akar kata) tidak ada di dalam Al-
Quran dan Al-Hadits Rasulullah SAW. Kata “Makrifat” perspektif tasawuf
merupakan hal baru dalam Islam sebagaimana kata tasawuf. Al-quran hanya
menyebut kata-kata yang mustaq darinya, seperti firman Allah SWT :Orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri Al-kitab (Taurat dan Injil). Mengenail
Muhammad seperti mengenal anak-anak sendiri, dan sesungguhnya sebagian di
antara menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.
Imam Al-Ghazali menjelaskan tentang ma’rifat :
“ Kemulian dan kelebihan manusia yang mengatasi segala jenis makhluk
lainnya yaitu kesiapannya untuk makrifat pada Allah SWT., yang di dunia
merupakan keindahan, kesempurnaan, dan kebanggaannya; dan di akhirat
merupakan harta kekayaan dan simpanannya. Adapun alat untuk mencapai
penghayatan makrifat yaitu kalbu (hati), bukannya anggota badan lainnya. Maka
hati itulah yang alim terhadap Allah dan dia pula yang taqarrub (ibadah) pada
Allah, dan hati pula yang beramal untuk Allah, dan dia pula yang berusaha
menuju Allah, dan hati pula pembuka tabir untuk menghaytai alam ghaib yang
berada di sisi Allah. Adapun anggota badan yaitu khadamnya dan alatnya yang
dipergunakan oleh hati, laksana sang raja memerintah pada hamba atau
khadamnya, atau laksana gembala menghalau (mimpin) yang digembalanya, atau
sang tukang mempergunakan perlengkapannya. Maka hati akan diterima Allah
apabila bersih dari apa yang selain Allah, dan hati pula yang diperintah untuk
ibadah dan yang tercelanya. Hati itu yang berusaha mendekatkan diri kepada
Allah, maka berbahagialah bila hatinya bersih, da sebaliknya tidak akan sampai
pada Allah dan celaka bila hatinya kotor dan sesat. Hati pula yang taat
sesungguhnya pada Allah, adapun gerak ibadah semua anggota badan yaitu
pancaran hatinya..dia itulah kalbu (hati), bila manusia kenal padanya pasti kenal
akan Tuhannya.
R.A.Nicholson mengatakan :
“ Mengatakan Arif itu menyaksikan sifat-sifat Allah, dan bukannya Zat-
Nya, oleh karena di dalam makrifat penghayatan dualisme betapapun
kecilnya masih tetap ada, (pandangan dualis) ini baru lenyap di dalam
penghayatan fana’ al’fana’ yaitu lenyapnya kesadaran diri sepenuhnya di
dalam kesatuan dengan Tuhan. Tingkat yang tertinggi dibandingkan fana’
tercapai bila kesadaran akan kefana’annya telah lenyap pula. Itulah yang
oleh para sufi dinamakan fana’ al-fana (fana dari kefanaannya). Sang Sufi
kini lebur dalam penghayatan Zat Allah.
Dan dengan demikian sang sufi penghayatannya menanjak terus ke arah
yang lebih tinggi yang mereka sebut makrifat, dan kemudian hakikat, dalam mana
pencari Tuhan jadi yang arif atau makrifat, dan kemudian menghayati bahwa
pengetahuan, yang mengetahui, dan yang diketahui yaitu satu (manunggal)
Dari uraian singkat di atas, menunjukkan bahwa dasar pikiran sufisme
(tasawuf) mengarah pada filsafat serba Tuhan. Artinya puncak penghayatan
kejiwaan yang sering dinamakan ilmu kasyfi, yaitu makrifat Zat Allah
(ma’rifatullah) yang amat dibanggakan dan jadi inti-sari sufisme, menuju
penghayatan Manunggaling Kawulo Gusti (union-mistik).
Potensi untuk memperoleh ma’rifat sesungguhnya telah ada pada manusia.
Persoalannya yaitu apakah ia telah memenuhi prasarana atau prasaratnya? Salah
satu prasaratnya, antara lain yaitu kesucian jiwa dan hati. Apakah jiwa dan
hatinya telah suci ataukah masih dilumuri dosa? Jika totalitas jiwanya telah suci
dan hatinya telah dipenuhi zikir kepada Tuhan, tidak mustahil bila hidupnya
dipenuhi kearifan dan bimbingan-Nya.
Untuk kearifan atau ma’rifah, hati (qalb) memiliki fungsi esensial,
sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Arabi “ Qalb dalam pandangan kaum sufi
yaitu tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk
ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna kegaiban.
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat,
termasuk di dalamnya yaitu hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh
ma’rifat yaitu yang telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak jelek yang
sering dilakukan manusia.
Tampaknya kaum sufi memandang kesucian qalb sebagai prasyarat untuk
berdialoq secara batin dengan Tuhan. Mereka mengemukakan alasan bahwa
Tuhan hanya dapat didekati jiwa yang suci. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan
dari kondisi dialogis bathiniyah dengan perangkat qalb yang suci inilah yang
mereka sebut sebagai ilmu ma’rifat, dan bahkan secara spesifik dapat memperoleh
ilmu laduni, yakni ilmu yang datang lewat ilham yang dibisikkan ke dalam hati
manusia.
Menurut al-Qusyairi ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan
sufi untuk memperoleh ma’rifat, yaitu (1) qalb untuk mengetahui sifat Tuhan, (2)
roh untuk mencintai Tuhan, dan (3) sirr untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari
roh dan roh lebih halus dari qalb. Qalb tidak sama dengan jantung, karena qalb
selain dari alat untuk merasa, ada juga alat untuk berpikir. Perbedaan qalb dengan
‘aql ialah bahwa ‘aql tidak bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, sedang
qalb jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (qalb) menjadi
sarana untuk memperoleh ma’rifat. Qalb-lah yang akan mampu mengetahui
hakikat pengetahuan karena qalb telah dibekali potensi untuk berdialoq dengan
Tuhan. Hal ini mengisyaratkan bahwa ma’rifat tidak spontanitas dimiliki orang-
orang yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya. Upaya yang
dimaksud, antara lain yaitu sebagai berikut :
1. Riyadhah
Riyadhah, sering juga disebut sebagai latihan-latihan mistik. Yang dimaksud
di sini yaitu latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak
melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya.
Riyadhah harus disertai mujahadah. Mujahadah yang dimaksud di sini yaitu
kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek. Meninggalkan
sifat-sifat jelek sangatlah berat karena membutuhkan kesungguhan dalam me-
riyadhah-kannya.
Riyadhah perlu dilakukan karena ilmu ma’rifat dapat diperoleh melalui upaya
melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus menerus. Dalam hal
ini, riyadhah berguna untuk menempa jasmani dan akal budi seseorang yang
melakukan latihan-latihan itu sehingga ia mampu menangkap dan menerima
komunikasi dari alam gaib (malakut) yang trasendental. Dengan demikian,
riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan
Yang Kudus.
2. Tafakur
Tafakur penting dilakukan oleh setiap manusia yang menginginkan ma’rifat.
Tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur)
dan menganalisisnya, pintu kebaikan akan dibukakan untuknya. Dalam
Risalah Al-Laduniyah-nya, Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa tafakur
merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni.
3. Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat An-Nafs yaitu proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian
jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan
tahalli. Tazkiyat an-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Sahl bin
Abdullah Ash-Shuffi berpendapat bahwa siapa saja yang pikirannya jernih, ia
berada dalam keadaan kontemplatif.
Tazkiyat an-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasarkan pada asumsi bahwa jiwa
manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek materiel.
Kegiatan sesungguhnya ibarat cermin yang menangkap gambar-gambar.
Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan bergantung pada
kadar kebersihan cermin yang bersangkutan. Dengan demikian, kesucian jiwa
yaitu syarat bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu ma’rifat ke dalam jiwa,
sementara jiwa yang kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi,
akan membuat manusia terhijab dari Allah.
4. Zikrullah
Secara etimologi, zikir yaitu mengingat, sedangkan berdasarkan istilah
yaitu membasahi lidah dengan ucapan pujian kepada Allah. Zikir merupakan
metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni.
Dalam munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa zikir kepada Allah
merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh
jalan Allah yaitu membersihkan hati secara menyeluruh dari selian Allah,
sedangkan kuncinya yaitu menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan
zikir kepada Allah.
Dalam pandangan sufi, zikir akan membuka tabir dalam malakut, yakni
dengan datangnya malaikat. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa zikir
merupakan kunci pembuka kewalian. Zikir juga bermanfaat untuk
membersihkan hati. Berkenaan dengan fungsi zikir, Al-Ghazali pun dalam
Ihyanya menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil zikir kepada
Allah.
Sampai di mana tingkat ma’rifah manusia kepada Tuhan, ada perbedaan
pendapat di kalangan kaum sufi. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifah itu
tidak menyebabkan seseorang menjadi satu (ittihad) dengan Tuhan.
Menurutnya, ma’rifah ialah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan keteraturan
hukum-hukum ilahi pada segala benda. Karena jelas dan terangnya
pengetahuan itu, beliau juga mengungkapkannya dengan istilah :
“Memandang wajah Allah Ta’ala” ia melihat Tuhan dengan mata hatinya,
bukan dengan mata inderanya. Dan menurut al-Ghazali, inilah maqam yang
tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Akan tetapi menurut beberapa sufi,
antara lain Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan lain-lain, tingkatan ini masih
bisa dilampaui manusia, sampai tingkat ittihad dengan Tuhan.
A. Syariah dalam Pandangan Syekh Siti Jenar.
Di kalangan kaum sufi, istilah syariat memiliki makna tersendiri yang dapat
dikatakan berbeda dari pengertian yang diberikan oleh para ahli hukum Islam.
Di kalangan ahli-ahli hukum Islam, syariah diartikan seluruh ketentuan yang
ada di dalam Al-Quran dan Al-sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak
maupun aktivitas manusia baik yang berupa ibadah maupun muamalah.1
Syariat dan fiqih memiliki perbedaan-perbedaan terutama setelah masa
Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Asaf A.A.Fyzee, misalnya mengatakan :
“ Syariat memiliki ruang lingkup yang lebih luas, meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia;sedangkan ruang lingkup fiqh lebih sempit, dan hanya
menyangkut hal-hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan
hukum, Syariat senantiasa mengingatkan kita (bahwa ia bersumber) pada
wahyu, ilm (pengetahuan) tentang wahyu itu tidak akan dapat diperoleh kecuali
dari atau dengan perantara Al-Quran dan Hadits; dalam Fiqh kemampuan
penalaran ditekankan sekali, dan kesimpulan-kesimpulan (hukum) yang
didasarkan kepada ‘ilm itu senantiasa dilakukan dengan cara yang meyakinkan.
Arah tujuan syariat ditetapkan oleh Tuhan dan Nabi-nya;sedangkan materi yang
tercantum dalam fiqh disusun dan diangkat atas usaha manusia. Dalam fiqh
suatu pekerjaan bisa sah atau haram, boleh atau tidak. Sedangkan dalam syariat
banyak ada tingkatan-tingkatan yang dibolehkan atau tidak. Dengan
demikian, fiqh merupakan terminologi tentang hukum sebagai suatu
ilmu;sementara syariat lebih merupakan perintah Ilahi yang harus diikuti.
Dari penjelasan itu terlihat bahwa syariat meliputi seluruh aspek kehidupan,
baik aqidah,ibadah, maupun mu’amalah dan juga akhlak. Di kalangan para sufi,
syariat berarti amal ibadah lahiriyah (eksoterik). Gerakan-gerakan shalat dimulai dari
menghadap kiblat, berdiri, ruku’sujud dan seterusnya, demikian pula bacaan-bacaan
yang telah ditentukan di dalamnya yaitu amal ibadah lahiriyah (syariat). Perjalanan
ke Baitullah, thawaf, sai, wukuf, di’Arafah dan lainnya yaitu syariat, amal ibadah
yang bersifat lahiriyah.
Dalam ajaran tasawuf, pelaksanaan ibadah yang hanya melakukan gerakan-
gerakan dan bacaan-bacaan tanpa memahami makna yang ada di dalam ibadah
ini , maka tidak ubahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa mengerti
apa yang dibacanya. Kehidupan keberagaman dengan ibadah yang hanya
terkonsentrasi kepada amal lahiriyah (syariat) ini akan hampa, karena hati kosong
dari hakikat ibadah yang sedang dilakukan. Makna yang terkandung di dalam ibadah-
ibadah inilah di kalangan tasawuf yang dkenal dengan istilah haqiqah (hakikat).3
Dalam konteks ini perlu dikutip ungkapan Al-Junayd Al-Baghdadi sebagai
mana yang dikutip oleh Abdurrahman Shiddiq:
“Barangsiapa yang mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik.
Barangsiapa bertasawuf tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Barangsiapa
melakukan keduanya berarti ia melakukan kebenaran (tahaqquq)”
Al-Qusyairi misalnya ia mengatakan: “Setiap syariat yang tidak didukung
dengan hakikat maka urusannya tidak diterima, setiap hakikat yang tidak didukung
oleh syariat maka urusannya tidak berhasil ”.
Al-Ghazali mengatakan: “Tidak akan sampai kepada tujuan kecuali setelah
diawali dengan hukum-hukum”.
Imam Malik menegaskan:
“ Barang siapa berfiqhi (ber-tauhid) saja tanpa ber-tasawuf niscaya berlaku
fasik (tidak bermoral). Dan barang siapa yang ber-tasawuf tanpa ber-fiqhi
(bertauhid) niscaya ia jadi golongan zindiq (penyeleng agama). Dan barang
siapa yang melakukan kedua-duanya niscaya ia menjadi golongan Islam yang
hakiki (tulen)”.
Demikian hubungan yang erat antara tasawuf dengan fiqih yang tergambar dari
beberapa ungkapan di atas. memang diakui ada tokoh-tokoh tertentu dari kalangan
sufi yang berfaham bahwa pada tingkat tertentu di saat seorang bersatu dengan
Tuhannya, di saat dia yaitu Tuhan dan Tuhan yaitu dia, maka syariah dalam artian
tasawuf tidak lagi diperlukan karena dia telah sampai kepada hakikat syariah ini .
Pemahaman seperti inilah yang dengan keras ditolak oleh Al-Qusyairi dan Al-
Ghazali. Tidak ada syariah tanpa hakikat dan tidak ada hakikat tanpa syariah.
Syariah, di kalangan ahli hukum Islam, diartikan sebagai seluruh ketentuan
yang ada dalam Al-Quran dan Al-Sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah,
akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah.
Karena syariah tidak saja mengatur masalah ibadah dan mu’amalah tetapi juga
tidak juga akidah dan Akhlak, maka syariah yaitu aturan yang meliputi seluruh sisi
kehidupan, baik yang lahir maupun batin. Jadi tidak ada pemisahan antara syariat
dengan hakikat, sebab hakikat yaitu bagian dari syariat sekaligus hakikat, di mana
shalat mesti dilakukan dengan gerakan-gerakan yangtelah digariskan dengan
kemestian khusyu’ di dalam pelaksanaannya. Semua itu yaitu ketentuan syariah
yang telah digariskan di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah.8
Gagasan Siti Jenar tentang Tuhan, tentang hidup dan mati, dan tentang
kewajiban sholat, puasa, zakat, dan haji, tidak mudah dipahami berdasar cammon
sens. Pandangan Siti Jenar disusun berdasar pembalikan cammon sens. Dunia baginya
dipandang sebagai kematian dan manusia yang hidup didalamnya dipandang sebagai
kematian dan manusia yang hidup di dalamnya dipandang Siti Jenar sebagai mayat
yang jika salah memaknai kewajiban syariah justru akan menjauhkan manusia dari
kehendak Tuhan itu sendiri. Karena itu, bagi Siti Jenar, kewajiban agama tidak
berlaku di sini bagi orang yang hidupnya terikat kepentingan duniawi, tetapi hanya
berlaku bagi manusia yang bisa menjadikan kehidupan nanti di alam abadi sebagai
pusat orientasi.
Konsep Tuhan yang benar bagi Siti Jenar ialah jika konsep dan pemahaman
seperti itu bersumber dari hati yang tulus dan jujur. Tuhan tidak dapat dilukiskan
dengan dan dari gambaran model apapun. Dia Tuhan yaitu segalanya sekaligus
bukan segala yang bukan. Tuhan ada di sini dan di sana, sekarang dan nanti, meliputi
segala tempat, ruang, dan waktu.
Salah Satu pandangan Siti Jenar dan pengikut ajaran “Manunggaling Kawulo
Gusti” atau wahdatul wujud yang dikembangkannya, yang kontroversial ialah konsep
tentang hidup yang sesungguhnya atau kehidupan sejati. Bagi Siti Jenar, kehidupan
seseorang baru dimulai bukan sejak manusia dilahirkan ke muka bumi. Hidup sejati
bagi setiap manusia baru akan dimulai ketika seseorang meninggal (kan) dunia yang
fana ini. Pandangan dan ajaran demikian sebenarnya merupakan pandangan yang
diterima secara umum dan tersebar meluas di kalangan pemeluk Islam. Walaupun
demikian, pengikut Siti Jenar memiliki ciri khas karena pandangan itu telah
mendorong para pengikut Siti Jenar mencari jalan kematian yang bagi mereka berarti
sebagai mencari jalan hidup sejati.
Bagi Siti Jenar, Tuhan Allah bukanlah sekedar sifat-sifat formal sebagaimana
dirumuskan ilmu tauhid yang menjadi pokok materi dakwah dan pendidikan Islam.
Tuhan Allah tidak bisa dikenali hanya dengan mengetahui dan manghafal sifat-sifat
yang jumlahnya 99, melainkan menyatukan diri pada yang ke 100, yaitu Tuhan Allah
dalam diri Tuhan itu sendiri. Ritus dan penyembahan atau pengabdian pada Tuhan,
tidak cukup dilakukan hanya dengan memenuhi aturan formal dalam lima rukun
Islam, yaitu : syahadat, salat, puasa, zakat dan haji. Pengabdian yang benar kepada
Tuhan ialah dengan menampakkan ketuhanan di dalam diri dan di dalam setiap
tindakan manusia dalam kehidupan objektif. Karena itulah puncak pencapaian di
dalam penyembahan tidak cukup dilakukan melalui ritual formal itu, melainkan
dengan menyatukan diri pada diri Tuhan Allah itu sendiri.
Pandangan kaum sufi terhadap syariah dapat dikelompokkan kepada dua.
Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat (yang masih berpegang pada syariah).
Menurut kelompok ini, syariat dalam artian aturan-aturan lahiriyah menjadi perhatian
para ahli fiqih, sedangkan aspek batin (hakikat) menajdi perhatian kaum sufi. Pada
bagian ini, terlihat ada pembagian tugas yang dikemukakan oleh para sufi dalam
upaya membimbing umat untuk sampai kepada praktek (ajaran) yang sebenarnya
(dalam pandangan mereka).
Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini, syariah
hanya ditujukan kepada warga awam. Ini karena keterbatasan daya pikir dan hati
mereka untuk untuk memahami makna yang tersimpan di balik syariah itu. Karena
itu, kepada orang awam hanya dituntut untuk mengerjakan shalat lima waktu sehari
semalam dengan tata-cara yang telah ditentukan. Berbeda halnya dengan kaum sufi
yang ekstrim ini, mereka meyakini ada hakikat dibalik syariah itu. Apabila itu telah
dicapai, maka syariah bukanlah suatu hal yang penting lagi. Sebagai contoh, hakikat
shalat yaitu komunikasi yang berkelanjutan (langgeng) dengan Allah. Apabila itu
telah dicapai, maka shalat dalam artian syariah itu tidak lagi diperlukan.
Pemisahan arti syariah dan hakikat sekaligus dapat dilihat sebagai kritik
terhadapnya dapat dilihat dari pernyataan Al-Qusyairi berukut :
“ Syariah itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati
kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat
dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan
syariat, pasti tidak menghasilkan apa-apa. Syariat datang dengan kewajiban
pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan. Syariat
memerintahkan mengibadahi dia, hakikat menyaksikannya pada Dia. Syariat
melakukan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuan-Nya,
kadar-Nya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak di luar.
Kritikan yang lebih tajam dikemukakan oleh Ibn Al-Jauzi:
“ Ini yaitu perbuatan buruk, karena syariah yang ditetapkan oleh Allah dengan
hak yaitu bagi kemaslahatan makhluk. Hakikat (seperti yang dikemukakan
oleh orang-orang sufi) sesudahnya tidak lain hanya sebagai bisikan syaitan
yang bersemayam di dalam jiwa. Dan sikap membenci para fukaha yang
mereka tunjukan merupakan sebesar-besar sikap zindiq”14
Pemisahan arti syariah dan hakikat merupakan suatu hal yang tidak sampai
menjadikan seseorang keluar dari akidah keislamannya, sejauh pemisahan ini
tidak mengantarkan kepada pengabaian syariah seperti yang disebutkan di atas.
Dalam hal ini yang menjadi perhatian serius yaitu pengabaian syariah itu sendiri. Di
samping, banyak dalil-dalil yang mewajibkan untuk tunduk kepada aturan Allah dan
Rasul-Nya, pengabaian syariah akan melahirkan kesembrautan (ketidaktentu arahan)
baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dengan mengatakan telah sampai kepada
hakikat, seseorang akan melakukan sesuatu yang terkadang tidak sesuai dengan
syariat. Maka akan lahir berbagai pelanggaran. Pelanggaran yang berakibat buruk
bagi keharmonisan sosial.
Dalam Kitab Bayan Budiman jelas dikatakan bahwa kesempurnaan hidup tidak
bisa dicapai hanya dengan salah satu dari;syariat, tarekat, dan hakikat tapi kesatuan-
tunggal dari ketiganya, karena syariat diibaratkan perahu, tarekat lautanya, dan
hakikat sebagai tujuan yang hendak dicapai.
B. Peribadatan Syekh Siti Jenar
Pertama kali, ketika kita membahas peribadatan Syekh Siti Jenar, perlu
diketahui mengenai sumber sejarah Syekh Siti Jenar. Ajaran maupun pemikiran
Syekh Siti Jenar yang dianggap keluar dari mainstrem ajaran-ajaran Islam umumnya.
Sehingga justifikasi sesat sering kali di alamatkan kepadanya. dan literatur-literatur
mengenai ajaran Syekh Siti Jenar riwayatnya sama dengan pendahulu-pendahulu
mereka, seperti Al-Hallaj, dll.
Jika dibaca secara sambil lalu, ajaran Syekh Siti Jenar seperti menolak aturan
syariat dan kehidupan di dunia aktual, selain pembalikan logika umum tentang apa
yang disebut hidup dan mati, serta surga dan neraka. Namun demikian jika serat Siti
Jenar dibaca secara jernih akan nampak bahwa inti ajaran Siti Jenar seperti keyakinan
umum umat terletak pada hakikat hidup dan ada serta ketaatan terhadap syariat
sebagai akar dari segala tindakan. Sebagian tokoh pembaharu gerakan Islam
memandang bahwa aturan formal syariat hanya kulit luar dari sebuah ketaatan batin
dan spritual. Di sini ketaatan formal syariat berupa ketaatan dalam tindakan fisik
hanya bernilai jika didasari ketaatan batin dan spritual.17
Ketaatan batin dan spiritual yaitu wujud kesampurnaan hamba untuk selalu
dekat dengan sang khaliq. Ketaatan ini di implementasikan dengan bentuk
peribadatan yang lebih serius lagi. Keseriusan agar untuk mencapai tingkat kualitas
ibadah yang lebih baik yaitu tujuan dari pada pencapaian kasampurnaan ajaran
Syehk Siti Jenar.
Seseorang yang dengan taat menjalani semua ketentuan syariat baik dalam
ragam kegiatan ibadah Mahdlah atau khash atau pun dalam bidang mu’amalat atau
hidup sosial, tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali ia mampu menyentuh
dimensi esoterik dari segala tindakan yang eksoterik. Aqidah iman bukan sekedar
mengucap dua kalimat syahadat yaitu persaksian tentang keesaan Tuhan dan
kerasulan dan kerasulan Muhammad Saw. Dan tindakan ragawi, melainkan harus
disertai kehadiran spritual-ruhaniyah di dalam hati atau kalbu. Tindakan fisik dalam
melakukan shalat, zakat, puasa, dan haji saja juga belum cukup jika tidak disertai
keterlibatan intensif ruhaniyah-batiniyah yang disebut dalam banyak istilah seperti
keikhlasan, ke-khusyuk-an, dan tumakminah.
Ditinjau dari segi psikologisnya, ada suatu karakteristik mistis yang
disebut-sebut para sufi, yaitu hilangnya perasaan dan kesadaran, dimana seorang sufi
tidak lagi merasakan apa yang terjadi pada organ-organ tubuhnya, tidak pula dirinya
dalam alam luasnya. Dalam bahasa psikologis modern dapat dikatakan bahwa fana
yaitu intuitif, dimana seseorang untuk beberapa lama kehilangan perasaannya
terhadap ego. Dan dalam Trimologi para sufi hal itu berarti, ”Ketidaksadaran
seseorang terhadap dirinya maupun hal-hal yang berkaitan dengannya.
Di dalam serat wedhatama, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Simuh dalam ”
Sufisme Jawa” disebutkan bahwa jalan untuk mencapai Manunggaling Kawulo Gusti
seperti ajaran Siti Jenar dapat di peroleh dengan cara ” Ngelmu Kang Nyata/Ngelmu
Luhung/Ilmu Hakikat”. Ilmu ini lebih tinggi tingkatannya dari pada Ngelmu Karang
(ilmu yang dikarang-karang), untuk mempelajari dan mendapatkan Ngelmu Nyata ini
orang harus berguru kepada seorang gutu. Dalam ungkapan Serat Wedhatama guru
ini dinyatakan sebagai Sarjana Kang Matrapi, yaitu para pertapa yang bijaksana.
Adapun jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan dalam
Serat Wedhatama di rumuskan menjadi Sembah catur (Empat macam sembah). Hal
ini diungkapkan sebagai berikut : ” Semengko insun tutur/sembah catur supaya
lamuntur/Dhihin raga, cipta, jiwa, rasa kaki/ing kono lamun tinemu/Tandha
nunggrahaning Manon.
Kini kuterangkan empat macam sembah, agar dijalankannya. Yaitu sembah
raga, cipta, jiwa dan rasa. Keempatnya apabila berhasil, itu pertanda anugerah Tuhan.
Keempat macam sembah ini secara berurutan merupakan suatu gubahan dari
keempat tingkat dalam pengamalan ajaran tasawuf. Sembah raga yaitu Syariat,
sembah cipta yaitu Tarekat, sembah jiwa yaitu Hakikat, sedang sembah rasa
yaitu Ma’rifat. Jadi keempatnya yaitu gubahan dari syariat, tarekat, hakikat, dan
ma’rifat.
Selanjutnya diterangkan bahwa sembah raga sucinya dengan air dan
menjalankan shalat lima waktu dan berpegang pada aturan-aturan syari’at. Adapun
sembah Qalbu (Cipta), sucinya tanpa air akan tetap menahan dan mengurangi
kridanya hawa nafsu. Berusaha mengenal Tuhan di lakukan dengan penguasaan batin
dan berlatih secara tekun, tertib dan teratur. Berlatih mengheningkan cipta untuk
menanti terbuknya alam ghaib eneng, ening, eling (hening, awas, dan ingat).
Adapun sembah jiwa (hakikat) diterangkan merupakan puncak akhir dari pada
laku batin. Sucinya dengan hati awas dan ingat. Berusaha menggulung alam raya ke
alam batin (jasad gedhe ginulung lan jagad cilik). Apabila mendapat anugerah Tuhan
qalbu akan terbuka ke alam batin dan akan nampak terang benderang, terlihat serupa
dengan Tuhan yang laksana bintang gemerlap. Adapun sembah rasa akan terlaksana
tanpa petunjuk apapun, hanya terasa dalam batin. Segala menjadi terang benderang,
segala was-was hati telah punah sama sekali, jiwa raganya berserah diri pada takdir
Tuhan.
C. Telaah Kritis Terhadap Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar Dalam
Perspektif Hukum Islam
Secara umum, hukum Islam (fiqh) didefinisikan sebagai berikut : “ ilmu tentang
hukum-hukum syar’iyah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci (adillah
tafshiliyyah). Dari definisi ini dapat dilihat bahwa hukum Islam (fiqh) yaitu ilmu
tentang hukum-hukum syar’iyyah yang amaliyyah yakni yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah. Dari
sini dapat dikatakan bahwa hukum-hukum aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam
fiqih, meskipun jika ditelusuri lebih jauh dapat dimasukkan kedalamnya.
Tetapi, mau di akui atau tidak, persoalan yang paling mengakar dalam
kehidupan umat Islam yaitu persoalan ibadah –ritual. Tidak heran jika fiqh klasik
identik dengan tatacara bersuci (al-thaharah), salat, puasa, haji, dan nikah. Fiqh
klasik telah menjadi ajaran (antroposentris). Persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan sosial kewarga an seolah-olah hilang di tengah hiruk-pikuknya persoalan
ibadah-ritual.
Dalam artian seperti ini, jelas bahwa fiqh mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan perbuatan manusia baik dalam bidang ibadah maupun muamalah. Dalam
bidang ibadah, misalnya, fiqh mengatur syarat-syarat, rukun-rukun, sunnat-sunnat
ibadah. Ibadah akan dianggap sah jika telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-
rukunnya. Sebagai contoh, shalat seseorang sah dari segi fiqih apabila ia shalat di
waktu yang benar, telah bersuci, menutup aurat di mulai dari pusat sampai lutut (bagi
laki-laki), menghadap kiblat, memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun lainnya.
Dalam bidang muamalah, misalnya, boleh saja mengumpul kekayaan dan harta benda
sebanyak-banyaknya asal melalui jalan yang dibenarkan seperti perdagangan yang
dibenarkan.
Tasawuf memberikan dimensi lain. Ibadah shalat dalam ilmu tasawuf bukan
sekedar terpenuhinya syarat-syarat dan rukun yang digariskan dalam fiqh. Lebih dari
itu shalat dimaknai dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan ini mesti
benar-benar diusahakan dan dirasakan lewat cara-cara yang telah digariskan
tasawuf.
Pada paro pertama abad ke-13, guru Ibn ‘Arabi dan Rumi, Syams al-Din al-
Tabriz, menyerang para ahli hukum yang anti mistik. Namun, para fukaha ini
tampanya selalu menentang ide-ide filosofis Yunani dan monoisme, bukannya
menentang sufisme itu sendiri. Memang agak aneh jika ada seorang fukaha di abad
ke-13 yang menentang sufism sepenuhnya. Salah satu tokoh utama dari menyebarnya
kekuasaan sufi, ‘Umar Suhrawardi, menggunakan “pondokannya” sendiri untuk
menampung mahasiswa-mahasiswa fikihnya. Setelah itu, lumrah bagi seorang ulama
fikih untuk masuk ke dalam suatu persaudaraan (tarekat).24
Tasawuf yaitu proses pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya sulit di
definisikan. Tasawuf tampak merupakan upaya akal manusia untuk memahami
hakekat segala sesuatu, dan untuk menikmati hubungan intim dengan Allah SWT.
Adapun aspek pertama dari upaya ini yaitu segi falsafi dibandingkan tasawuf ; sedang
aspek kedua yaitu segi agamis. Kegiatan pertama bersifat pemikiran dan renungan ;
sedang kegiatan kedua amali. Dan segi amali dibandingkan tasawuf muncul terlebih
dahulu dibandingkan segi falsafinya. Para Sufi itu memulai kegiatannya selamanya dari
mujahadah dan riyalat, bukan dengan merenung dan berpikir. Oleh karena itu ‘hati’
yaitu lebih penting dibandingkan akal bagi para sufi ; bahkan hal itu bagi para sufi yaitu
segalanya, karenanya hati mereka pandang sebagai ‘singgasana’ bagi Allah SWT.
Seseorang yang dengan taat menjalani semua ketentuan syariat baik dalam
ragam kegiatan ibadah mahdlah atau kash atau pun dalam bidang mu’amalat atau
hidup sosial, tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali ia mampu menyentuh
dimensi esotorik dari segala tindakan yang eksoterik. Aqidah iman bukan sekedar
mengucap dua kalimat syahadat yaitu persaksian tentang keesaan Tuhan dan
kerasulan Muhammad Saw dan tindakan ragawi, melainkan harus disertai kehadiran
spritual-ruhaniyah di dalam hati atau kalbu. Tindakan fisik dalam melakukan shalat,
zakat, puasa, dan haji saja juga belum cukup jika tidak disertai keterlibatan intensif
ruhaniyah-batiniyah yang disebut dalam banyak istilah seperti ke-ikhlasan, kekhusuk-
an, dan tumakminah.
Demikian pula para pengamal ajaran tasawuf (para sufi) tidak seluruhnya sama.
Ada yang berkonsentrasi pada pembentukan akhlak yang mulia, menjadikan diri
sebagai hamba yang taat kepadanya di dalam seluruh aspek kehidupan dengan
senantiasa berpegang teguh kepada tuntunan syariah (Al-qur’an dan Al-Sunnah). Ada
juga yang lebih dari itu, di mana tujuan akhir yaitu bersatu dengan Tuhan baik
dalam bentuk ittihad, hulul dan wahdat al-wujud..
Kritikan pedas Syekh Siti Jenar kapada Wali Songo ialah karena menurut Siti
Jenar para wali ini hanya menyentuh kulit luar syariah tanpa menyentuh dimensi
terdalam yang esotoris dari berbagai ketentuan syariah yang bernilai abadi seperti
keabadian hidup sesudah kematian.
Tidak ada cukup bukti bahwa Syekh Siti Jenar menolak kewajiban syariat,
namun sayangnya informasi umumnya sampai kepada warga publik ajaran
Syekh Siti Jenar di anggap menolak kewajiban syariat. warga publik sering
memandang bahwa ajaran shalat daim berarti shalat sekali seumur hidup atau shalat
sebelum shalat yang selama ini banyak dihubungkan dengan ajaran Siti Jenar. Shalat
daim bisa berarti shalat abadi karena dikaitkan dengan keabadian hidup yang ukuran
waktunya dilihat dari kewaktuan sesudah kematian yang tanpa batas.
Perdebatan mengenai Syekh Siti Jenar seringkali di sempitkan menjadi
persoalaan politik an sich. sehingga yang terjadi menafikan sisi ajaran dan amalan
keagamaannya yang humanis. Keberadaan Kitab Bayan Budiman sebetulnya lebih
meluruskan bentuk stigma, bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu anti-syariah.
Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar yang dijelaskan dalam Kitab Bayan
Budiman yaitu kebersatuan Syariat, Tarekat, dan Hakikat dari ajaran Islam.
Sehingga keterpaduan inilah yang kemudian oleh Syekh Siti Jenar di anggap
seorang muslim sudah mencapai titik kasampurnaan hidup.
Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai konsep keterpaduan antara
Fiqh (Hukum Islam) dan tasawuf, penulis sepakat dengan pendapat Imam Malik
(fukaha) beliau menegaskan: Barang siapa berfiqhi (ber-tauhid) saja tanpa ber-
tasawuf niscaya berlaku fasik (tidak bermoral). Dan barang siapa yang ber-
tasawuf tanpa ber-fiqhi (bertauhid) niscaya ia jadi golongan zindiq (penyeleng
agama). Dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya niscaya ia menjadi
golongan Islam yang hakiki (tulen).
B. Saran-saran
Penolakan praktek peribadatan model Syekh Siti Jenar tidak hanya terjadi
ketika Syekh Siti Jenar masih hidup. Tokoh sebelum dan sesudah Syekh Siti Jenar
hidup pun ada yang ditolak dan di cap sesat oleh ulama dan mayoritas umat Islam.
Sebut saja misalnya Al-Hallaj yang mati di gantung karena keyakinanya bahwa
Tuhan dan dirinya menyatu, maka segala ucapannya yaitu perintah Tuhan.
Sehingga hal ini oleh mayoritas ulama mengaianggap merusak aqidah umat Islam.
Unsur-unsur sufisme (tasawuf) masuk dalam domain fiqh (syariat) bukanlah
barang baru. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali sudah memberikan pondasi yang
kuat tentang keterpaduan keduanya (syariat-tasawuf) seperti yang dijelaskan
dalam Kitab Bayan Budiman.