as ia seorang manusia yang merkemampuan tinggi oleh karena itu
mengaku Pangeran.
Sembahyang lima waktu dengan memuji dan zikir, memiliki pandangan yang jernih
yaitu kehendak pribadi, benar atau salah tanpa dirinya sendiri dan dengan semangat yang
besar. Badan haluslah yang mendorong untuk menjalankannya. Dimana terdapat Hyang
Sukma kecuali hanya pada diriku sendiri. Mengelilingi dunia, cakrawala di atas langit dan
tujuh dunia belum ditemukan ujudnya dzat yang mulia.
Apabila melakukan sembahyang, tetapi berwatak suka mencuri, dan melakukan zikir
tetapi berwatak suka asma, terkadang ingin menghendaki segala amal. Berlainan dengan zat
yang ghaib. Sayalah yang maha suci, benar-benar zat Maulana, yang tidak bisa digambarkan
wujudnya, tiada dapat dipertanyakan. Karena itu Siti Jenar bertabiat sebagai ingkarnasi
(Tuhan) dari kekuasaannya yang lebih tinggi (Widi) Merusak agama yang terpilih.
Bukan perintah nurani, tegak merunduk di masjid dengan pakaian kedodoran,
sedangkan pahala masih jauh di lalu hari, jika sudah hafal luar kepala, sebenarnya tidak
ada sesuatu yang tercapai. Hidup di dunia ini pun tiada berbeda. Karena itu Siti Jenar pun
hanya satu. Gusti yaitu zat yang tinggi dan terhormat. Yang cocok (mengena) dan berguna
bagi kebebasan jiwa, lagi yang meliputi dua puluh perwatakan, semua timbul atas
kehendaknya, mampu menelorkan ilmu kebesaran, kesempurnaan, kebaikan,
keramahtamahan, kekebalan dalam segala bentuk, memerintah rakyat. Wahyu di badannya
tak ada tandingannya : sakti sekali, menguasai manusia, dapat muncul disegala tempat.
Itulah yang dianggap Hyang Widi. Syekh Lemah Bang ,merasa wajib dan menuruti
kehendaknya, sebagai ajaran jabariyah dengan kesungguhan dan konsekuen, sebagaimana
ajaran jabariyah, dengan kesungguhan dan konsekuaen, kuat dalam cita-citanya, kokoh kebal
terhadapnya hal-hal yang tidak suci, berpegang teguh terhadapnya selama hidupnya, tak akan
menyembah terhadap pengertian ciptaan.
Kata Allah tidaklah nyata, sebenarnya membingungkan dan disangsikan
kebenarannya; tidak diketahui hakikat permulaan atas eksistensinya, jadi hanya merupakan
istilah saja, timbullah tata ungkapan mukammadan rasulullah, tanpa ssuatu penejelasan,
karena masih bersifat daging yang dapat membusuk, rapuh luluh dan akhirnya menjadi tanah.
Sedangkan aku inkarnasi dari zat yang luhur yang memiliki semangat, sakti, dan kebal
akan kematian. Dengan hilangnya dunia, Pangeran telah memberi kekuasaan kepadaku dapat
manunggal kepada-Nya, dapat langgeng mengembara melebihi kecepatan peluru. Bukannya
akal bukanya nyawa, bukannya penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan
kemana tujuannya. Zat sejati menguasai ujud penampilanku. Karena kehendak wajarlah
bila tidak mendapat kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lelah (lesu),
tanpa sakit dan lapar, karena ilmu kelepasan diri, tanpa sesuatu daya kekuatan. Semua itu
disebabkan karena jiwaku, tiada bandingannya, secara lahiriah tidak berbuat sesuatu, namun
tiba-tiba sudah berada dilain tempat. Gustiku yang kuikuti, kutaat siang malam dan yang
kuturut segala perintah-Nya, tiada menyembah Tuhan yang lain, kecuali setia terhadap suara
hati nurani. Segala sesuatu terjadi yaitu ungkapan dari kehendak dzat Allah. lalu
disebut Maha Suci, tiada Tuhan selain Allah, itu hanya merupakan istilah (nama) saja. Dapat
disamakan dengan bentuk penampilanku. Di luar merupakan kerangka (wadah) sedang di
dalam yaitu intinya (kerisnya) Hyang Agung yang tak ada bedanya dengan kerangka
(warangka). (Halaman 97).
Dari pemaparan diatas ini tafsir bahwa Tuhan dalam pandangan Siti Jenar yaitu
Dzat yang melingkupi alam materi dan alam non materi sekaligus. Sehingga wujud Tuhan
tidak mampu diindera oleh manusia dan makhluk lain yang diciptakan olehNya. Indera
manusia hanya bisa digunakan untuk mengindera hal-hal yang berwujud materi saja, yang
sangat terbatas jumlahnya. Dzat yang tiada batas kuasa dan kehendaknya.Dzat yang maha
tunggal dan tiada apapun yang menyamainya. Dzat yang jauh sekaligus paling dekat.
Selain dari buku di atas, kajian kosep ketuhanan Syekh Siti Jenar juga terdapat dalam
Suluk Wali Songo. Dalam buku ini dinyatakan bagaimana pandangan Siti Jenar mengenai
makna lambang-lambang ketuhanan. Dari lambang pertama ia menganggap Hyang Widi
sebagai :
“wujud kang nora katon satmata,
lintang abyor sasmitane,
sipat-sipat maujud,
anglangut lamun kaeksi,
warnanya langkung endah,
ujwala umancur,
Syekh Siti Jenar waksita,
tetela trang sasmita jaman linuwih,
marma ngaku Pangeran
Dari kutipan di atas, Seorang peneliti bernama Dalhar Shodiq menyimpulkan bahwa
tembang itu mengandung pengertian : “Tuhan itu yaitu wujud yang tidak dapat dilihat
dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang yang bersinar cemerlang. Sifat-sifat
berwujudnya samar-samar bila dilihat, warnanya indah sekali seperti sinar memancar. Syekh
Siti Jenar tahu segala-galanya sebelum terucapkan (Jawa : ngerti sebelum winarah),
menanfakan bahwa dirinya yaitu orang yang melebihi makhluk-makhluk lain, karena itu
mengaku sebagai Tuhan”.
Syekh Siti Jenar selanjutnya menyatakan mengenai makna lambang kedua yaitu
bahwa :
“Kalihe punang pralambang
, tuwan Tanya wismanira Hyang Widdhi punika tuhu tab ewuh,
Allah manuksweng ing dhat
, datan tebih sing bada karatonipun,
nanging pulih kang uninga muhung punika kang puri.
Maknaning sagunging lapal
ngelmi rasa Pangran Sitibrit ngenting,
dene pralambang ping catur,
warnane mana Mulya,
datan warna satmata tanpa dunung,
mung sasmita aneng jagad warnane Hyang Widdhi”.
Makna kutipan ini ialah bahwa: “Kedua (hal yang tampak), hanya merupakan
perlambang, jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah
berada pada zat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya
orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci. Makna terdalam dari segala
ajaran Syekh Siti Jenar terdapat dalam ilmu rasa. Sedangkan perlambang yang keempat
mengatakan bahwa yang Maha Mulya itu tidak berwarna tidak terlihat, tidak bertempat
tinggal, hanya merupakan tanda, tanda itulah wujud dari Hyang Widi”.
Selanjutnya, konsepsi ketuhanan Syekh Siti Jenar bisa pula dikaji dari buku karya
Tan Khoen Swie yang berjudul Siti Jenar yang dalam halaman 11 - 20 dilukiskan seperti
kutipan di bawah ini.
Apa tembunge maring wang,
ature duta kakalih inggih maksih Syekh Lemah Bang,
Pangeran Siti Jenar angling matura Sunan Giri,
Syekh Lemang Bang yektinipun ing kene nora ana,
among Pangeran Sejati,
langkung ngunngun duta kalih duk miyarsa.
Mring Sunan Giri kedatun,
Pangran dipun timbale,
sarenga salampah kula,
Pangran Siti Jenar angling,
mengki Pangeran tan ana,
ingkang ana Syekh Siti Brit.
Duta tan sawaling wuwus,
sarehning sampun wineling,
inggih mankya Syekh Lemah Bang,
kang dipun timbale, ngandika Syekh Siti Jenar,
Pangeran tan marengi.
Awit Syekh Lemah Bang iku,
wajahing pangeran jati,
nadyan sira ngaturna ing Pangeran kang sajati,
lamun Syekh Lemah ora
mangsa kalakon yekti.
Duta ngungun lajeng matur,
inggih kang dipun aturi,
Pangeran lan Syekh Lemah Bang,
rawuha datang ing Giri,
sabeda musyawaratan lawan sagung para wali.
Pangeran Siti Jenar nurut,
ajeng kering duta kalih,
praptaning ing Giri Gajah pepekan kang para wali,
Pangeran ing Siti Jenar anjujug njeng Sunan Giri.
Kanjeng Molan Magribi,
amedhar ing pangawikan,
kang aran Allah jatine wajibul wujud kang ana,
Syekh Lemah Bang ngandika aja na kakehahan semu,
iya ingsun iki Allah.
Nyata ingsun kang kang sajati,
jujuluk Prabu Satmata,
tan ana liyan jatine,
ingkang aran bangsa Allah,
Molana Magribi mojar,
iku jisim aranipun Syekh Lemah Bang ngandika,
kawula amedar ngelmi,
angraosi katunggalan,
dene jisim sadangune,
mapan jisim nora ana,
dene kang kawicara, mapan sajatining ngelmu,
sami miyak warana.
Lan malih sadaya sami sampun wonten kumalamar,
yekti tan ana bedane salingsingan punapaa,
dening sedya kawula, ngukuhi jenenging ngelmu,
sakabehe iku pada.
Tembang itu dapat diterjemahkan secara terbuka sebagai berikut: “Apa yang
diperintahkan oleh Sunan Giri terhadap saya?”, Kedua utusan itu menjawab, “Masih juga
tentang panggilan terhadap Syekh Lemah Bang.” Pangeran Siti Jenar berkata kepada kedua
utusan ini agar mereka kembali dan melapor bahwa sebenarnya Syekh Lemah Bang
tidak ada, sedangkan yang ada yaitu Tuhan. Kedua utusan itu keheranan waktu mendengar
jawaban semacam itu. Oleh Sunan Giri, Tuhan dipanggil agar menghadap ke kerajaan dan
dipesankan agar bersama-sama kami (duta). Syekh Siti Jenar berkata lagi, “Sekarang Tuhan
tidak ada, yang ada Syekh Lemah Bang.” (Syekh Siti Jenar mau datang bila dengan dua
panggilan: Tuhan dan Syekh Siti Jenar).
Kedua utusan itu tidak berucap apapun karena telah dipesankan bahwa mereka harus
kembali bersama Syekh Lemah Bang, lalu katanya lebih lanjut, “Ya, Syekh Lemah Bang
yang ada sekarang ini dipanggil oleh Sunan Giri.” Syekh Siti Jenar berkata lagi bahwa Tuhan
tidak mengizinkan adanya panggilan itu. Apa sebabnya, karena sebenarnya Syekh Lemah
Bang itu Tuhan yang sejati walaupun kalian memanggilnya dengan sebulan Tuhan, bila
Syekh Lemah Bang tidak mengizinkan, toh panggilan itu juga tidak ada artinya. Kedua
utusan itu heran bercampur cemas, lalu kalanya, “O ... ya yang dipanggil yaitu Tuhan dan
Syekh Lemah Bang, diminta agar datang ke Giri untuk bermusyawarah dengan para wali.”
Dengan panggilan rangkap ini , Pangeran Siti Jenar menurut, diiringi kedua
utusan ini . Sesampainya di Giri Gajah, terlihatlah di sana para wali lengkap berada di
tempat itu. Pangeran Siti Jenar langsung menuju Sunan Giri. Kanjeng Maulana Maghribi
menguraikan (memberi ceramah) tentang pengetahuan yang intinya membentangkan bahwa
apa yang dimaksud dengan Tuhan sebenarnya yaitu sesuatu yang adanya wajib. Syekh
Lemah Bang berkata, “Tak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan. Ya, betul-betul saya ini
yaitu Tuhan sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tak ada bangsa Tuhan
yang lain selain saya.” Berkatalah Maulana Maghribi, “Kalau begitu kami ini yaitu bangkai
(orang yang kotor).”
lalu Syekh Lemah Bang berkata. “Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul
dapat merasakan adanya kemanunggalan, sedangkan bangkai itu selamanya tidak ada.
Adapun yang dibicarakan sekarang ini yaitu ilmu sejati yang dapat membuka tabir
kehidupan. Dan lagi semuanya sama, sudah ada tanda secara samar-samar bahwa benar-benar
tak ada bedanya. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun saya akan tetap mempertahankan
tegaknya ilmu ini di atas.”
berdasar berbagai kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar
menganggap Hyang Widi (Tuhan) itu merupakan suatu wujud yang tak terlihat mata,
dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali. Ia
memiliki dua puluh sifat seperti: sifat ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang-
barang yang baru, hidup sendiri dan tiada memerlukan bantuan sesuatu yang lain, berkuasa,
berkehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, dan berbicara. Sifat-sifat Tuhan yang
berjumlah dua puluh itu terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut dengan “zat”.
Selanjutnya Syekh Siti Jenar menganggap Hyang Widi (Tuhan) itu serupa dirinya. Ia (Syekh
Siti Jenar) merasa dirinya yaitu jelmaan dzat Tuhan dengan dua puluh sifat sebagaimana
sifat dua puluh Tuhan. Karena itu Syekh Siti Jenar percaya bahwa dirinya tidak akan
mengalami sakit dan sehat, dan akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan,
kebaikan dan keramahtamahan.
Dalam pandangan Syekh Siti Jenar, Tuhan yaitu sebuah nama dari sesuatu yang
asing dan sulit dipahami. Nama itu menjadi nyata melalui kehadiran manusia dalam
kehidupan duniawi. Pandangan seperti ini sesungguhnya tidak asing dalam kesadaran hidup
orang Jawa yang menyatakan bahwa orangtua (ayah dan ibu) yaitu “pangeran katon” atau
Tuhan yang terlihat. Jika ini merupakan hasil penyebaran ajaran Syekh Siti Jenar, maka
Syekh Siti Jenar sebenarnya sedang berbicara mengenai konsep ketuhanan sesuai dengan
kesadaran budaya orang Jawa. Karena itu pula ia menyatakan diri sebagai “anak rakyat”.
Gagasan konsep ketuhanan Syekh Siti Jenar juga terdapat dalam Serat Cabolek. S.
Soebardi seorang peneliti memaparkan salah satu ungkapan mistik Syekh Siti Jenar.
Ungkapan ini diucapkan oleh roh Syekh Siti Jenar setelah beliau wafat yang didengar oleh
para wali :
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang
Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.”
Kalimat ini semakin menegaskan bahwa Tuhan sebagai tempat kembalinya
segala makhluknya, tiada yang lain. Hubungan antara hamba dan Tuhan yang seperti inilah
yang lalu memunculkan istilah Manunggaling kawula gusti.
Dalam cerita fiksi tentang Syekh Siti Jenar, Agus sunyoto menggambarkan
bagaimana pengalaman penyatuan hamba dengan Tuhannya sebagai keadaan puncak saat
seseorang mencoba mengenali dirinya sendiri. Proses ini didasarkan atas dalil “man
arofa nafsahu faqot arofa robbahu”, berikut petikan cerita ini :
Abdul Jalil (Siti Jenar) menyadari sesadar-sadarnya bahwa ruh al-idhafi yaitu
manifestasi belaka dari Al-Haqq yang terselubung dalam kerahasiaan paling rahasia. Itu
sebabnya, saat ruh al-idhafi memaparkan berbagai uraian tentang hakikat kebenaran yang
menawarkan kemuliaan, keagungan, kehebatan, kekeramatan serta berbagai kelebihan yang
tak dipunyai manusia lain, dengan tegas ia menolaknya. “Saya berharap agar semua
keinginan saya terhapus. Karena, sesungguhnya hanya Allah saja yang memiliki kehendak.”
“Apakah engkau tidak memiliki keinginan bertemu Rabb-mu?” tanya ruh al-idhafi.
16 Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar : Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti Jenar
(Yogyakarta :Penerbit Narasi,2014), cet. I, hlm.290
“Sesungguhnya, sejak awal perjalanan hidup saya, keinginan saya yang paling tak
terkendali yaitu bertemu dengan Rabb-ku. Namun, sekarang saya sadarbahwa keinginan
kuat yang begitu dasyat menguasai jiwa saya pada dasarnya yaitu atas kehendak-Nya jua.
Itu sebabnya saya pasrahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan hajat hidup saya
kepada-Nya. Dia Mahatahu dan Maha Berkehendak,” Ujar Abdul Jalil.
“Tidakkah engkau ingin tahu hakikat terahasia keberdaanku?”
“Tuan yang berwujud mirip saya, tentu Tuan lebih tahu tentang hakikat kerahasiaan
di balik keberadaan Tuan daripada saya. Namun bagi saya, Tuan yaitu manifestasi belaka
dari keberadaan al-Haqq. Sebab menurut keyakinan saya, al-Haqq tidak akan sama dan
serupa dengan al-Insan. Al Khaliq tidak bisa dibandingkan dengan makhluk. Dia tidak bisa
disertakan dengan sesuatu. Laisa kamitslihi syai’un. Jadi, menurut keyakinan saya, hanya
karena Dia, dengan Dia, melalui Dia dan kehendak Dia semata saya akan menyaksikan
kebenaran wujud-Nya entah itu pada tingkat Asma’-Nya, Shifat-Nya, Af’Al- Nya, maupun
Dzat-Nya. Dan andaikata dia menetapkan bahwa bahwa saya hanya boleh mengenaln-Nya
dalam wujud manifestasi Tuan maka saya menerima itu sebagai anugrah paling berharga
dari-Nya.”
Menyaksikan keteguhan, ketulusan, dan keterbebasan jiwa Abdul Jalil dari pamrih
pribadi, ruh al-ihafi memancarkan cahaya yang sangat terang dari seluruh tubuhnya.
lalu , dengan isyraiyah dia memerintahkan Abdul Jalil masuk ke dalam dirinya melalui
teling kirinya.
Perintah itu membuat Abdul Jalil tercengang sejenak, namun ia tidak membiarkan
ketakjuban dan keheranan mempengaruhi kesadarannya. Dengan gerakan cepat, Abdul Jalil
bergegas melangkah mendekat. Dengan konsentrasi diarahkan ke telinga ruh al-Idhafi, ia
menyaksikan pristiwa menakjubkan. Telinga ruh al-idhafi tiba-tiba menjadi sangat
besaribarat gua. Meski demikian, ia tidak tahu pasti apakah dalam hal itu tubuh ruh al-
idhafi yang meraksaa hingga telinganya pun sebesar gua atau sebaliknya tubuhnya yang
mengecil hingga bisa masuk ke dalam telinga kiri ruh al-Idhafi.
saat berada diambang telinga ruh al-idhafi, tiba-tiba Abdul Jalil merasakan
kesadarannya terisap oleh kekuatan dasyat yang menariknya ke arah dalam. Ia tercekat.
lalu , kesadarannya terasa jungkir balik memasuki kumparan cahaya warna-warni.
Sedetik sesudah itu, ia telah berada di hamparan cahaya yang sangat terang.
Hamparan terang itu tanpa wujud bentuk-bentuk, tanpa bayangan, tanpa beda gelap
dan terang. Abdul Jalil tercengang menyadari keberadaannya di dimensi asing itu. Sejauh
mata batinnya (‘ain al-bashirah) memandang, ia hanya menyaksikan gumpalan kabut putih.
Dimensi ini sangat asing dan aneh karena tanpa arah timur, barat, selatan, dan utara. Ia
bahkan dapat menyaksikan seluruh penjuru cakrawala. Inikah dimensi di dalam ruh al-
idhafi?. Demikian pertanyaannya penuh ketakjuban. Tidak ada apa-apa di dimensi itu: tidak
suara, warna, bau, atau rasa. Yang ada hanya kesenyapan. Kelengangan. Kesunyuian.
Keheningan. Bahkan kehampaan. Anehnya, ia justru meraskan bahwa di dimensi inilah ia
berada dalam keadaan sebebas-bebasnya, terbebas dari segala beban; ia merasakan
kesadarannya laksana sebutir debu yang terbang melayang-layang dibawa embusan angin.
Betapa bebas! Betapa bahagia! Betapa nikmat! .
saat tengah menikmati kelepasbebasan dengan kebahagiaan tiada tara, tiba-tiba
telinga batinnya menangkap al-ima’ yang bergetar dari segenap penjuru cakrawala.
“Inilah Haikal Muqaddas yang merupakan Dar al-Haram persemayaman al-Haqq.
Inilah al-Buthun, “persemayaman” Khazanah Tersembunyi yang ditampakkan oleh-Nya
dalam penciptaan dirimu. Haikal Muqaddas ini tidak berada di mana-mana, kecuali di
dalam dirimu sendiri.”
“Apakah saya diizinkan memasuki altar Haikal Muqaddas agar saya dapat
menyaksikan dan menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya?”
“Aku Hajibur Rahman, penjaga Haikal Muqaddas, tidak akan mengizinkan siapa pun
masuk tanpa izin-Nya.”
“Apakah Tuan mengira kehadiran saya hingga di Haikal Muqaddas ini yaitu
kehendak saya pribadi dan tanpa izin-Nya? Saya yakin bahwa apa yang saya alami ini
yaitu atas kehendak-Nya semata. Karena itu, o Hajibur Rahman, mohonkan kepada-Nya
agar saya diperkenankan masuk.”
Suasana hening. Senyap. Sepi. Hampa. Namun, sesaat sesudah itu tiba-tiba ia
menangkap al-ima’ yang lain lagi.
“Karena Haikal Muqaddas sangat suci dan tidak bisa dimasuki oleh makhluk, maka
engkau, makhluk yang berkeinginan memasuki Haikal Muqaddas, hendaknya suci dari semua
anasir kemanusiaanmu. Karena itu, o makhluk yang dikasihi-Nya, masuklah engkau ke
dalam Haikal Muqaddas melalui pintu al-mir’ah al-hayya’i (cermin memalukan) yang wajib
dilalui siapa pun yang ingin masuk ke dalam sini.”
Ia heran dengan perintah itu. Sebab, di segenap penjuru cakrawala dimensi itu tidak
terlihat bentuk maupun kilasan gambaran apa pun jua. Namun, seiring dengan
keheranannya tiba-tiba gumpalan kabut yang meliputi pandangan mata batinnya menyibak.
lalu terpampanglah bentangan cermin yang tak diketahui batas tepinya.
Ia terkejut setengah mati menyaksikan bentangan cermin yang terhampar di
hadapannya. Sebab, cermin itu tidak saja memantulkan bayangan dirinya, tetapi seluruh
perbuatan yang pernah dilakukannya selama hidup terpampang rinci dengan sangat jelas.
Sebagai manusia biasa yang tak lepas dari dosa dan kesalahan, terutama memasuki masa-
masa remaja, Abdul Jalil tidak mampu menyaksikan rentangan perbuatan yang telah
dilakukannya. Ia sangat malu. Bahkan akibat tidak dapat menahan rasa malu, ia menjerit-
jerit histeris dan berusaha menutup pandangan mata batinnya. Namun, tidak sedikit pun ia
memiliki kekuatan untuk mengatupkan mata batinnya. Puncaknya, ia tidak sadarkan diri.
Entah berapa lama ia pingsan. Namun, saat sadar ia saksikan bentangan cermin lain
yang lebih jernih dari cermin sebelumnya. Bahkan begitu jernihnya sehingga bagaikan
bukan cermin.
Ia baru mengetahui bahwa yang terbentang di hadapannya yaitu cermin yang
sangat jernih setelah menyaksikan bayangan dirinya. Begitu sempurnanya bayangan itu,
seolah ia menyaksikan dirinya kembar dua. Anehnya, di situ tidak ada bayangan lain. Tidak
ada yang lain. Hanya ada dirinya dan bayangan dirinya. Ia tidak dapat berkata-kata, kecuali
tercengang dalam pesona ketakjuban.
Ia merasa bingung karena tidak dapat membedakan mana bayangannya dan mana
dirinya yang sebenarnya. Ini benar-benar pengalaman menakjubkan sekaligus
membingungkan. Ia juga tidak dapat membedakan keakuan dirinya dan keakuan bayangan
dirinya. Ia seolah-olah memiliki keakuan ganda, namun kegandaan yang menyatu dalam satu
keakuan.
“Siapakah engkau?”
“Engkau yaitu aku!”
“Bukahkah engkau hanya bayanganku?”
“Engkaulah yang sebenarnya bayanganku!”
“Jika demikian, siapakah aku dan siapakah engkau?”
“Aku yaitu matahari dan engkau yaitu bayangan matahari di dalam mangkok
berisi air jernih.”
“Apakah engkau Rabb-ku?”
“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu!”
“Jika demikian, siapakah sejatinya engkau ini?”
“Ana al-Haqq!”
Abdul Jalil terperangah takjub. Ia pandangi dirinya sendiri lalu ganti
memandangi bayangan dirinya di cermin. Ia benar-benar tercekam ke dalam pesona
ketakjuban. Kenapa tidak ada wujud lain kecuali aku dan dia, tanyanya keheranan.
Tiba-tiba bayangan dirinya di cermin memancarkan cahaya yang sangat
menyilaukan hingga nyaris membutakan mata batinnya. Seiring dengan pancaran cahaya itu,
dirinya hilang dan bayangan dirinya pun ikut lenyap. Yang tertinggal hanyalah pancaran
cahaya yang sangat terang.
Antara sadar dan tidak, ia merasakan kesadarannya terisap. Bagai memasuki pusat
matahari, demikianlah kesadarannya masuk ke dalam cahaya yang terangnya tidak dapat
diuraikan dengan kata-kata. Entah apa yang terjadi, namun kesadarannya tiba-tiba hilang.
Keakuannya lebur ke dalam keakuan cahaya yang membutakan itu. Dan saat itulah, antara
sadar dan tidak, ia menangkap al-ima’.
“Keakuanmu telah tenggelam ke dalam keakuan al-Haqq, Rabb-mu, seibarat
bersatunya air dengan anggur di dalam gelas. Engkau telah meraih kemenangan. Sebab,
dengan Rabb-mu engkau akan kembali kepada sumber asalmu, Rabb al-Arbab! Inna li Allahi
wa inna ilaihi raji’un!”
B. Kosep Kehidupan bagi Syekh Siti Jenar
Bagi Syekh Siti Jenar ajal yang menjelang merupakan pintu menuju kehidupan sejati.
Sedangkan kehidupan saat di dunia ini merupakan kematian. Hal ini sesuai dalil
Samarkandiyaitu anal mayit pikruhi fayatiju kabiluhu yang artinya bahwa sesungguhnya
orang mati akan menemukan jiwa raga dan memperoleh pahala atau neraka.
Dalam pandangan Syekh Siti Jenar, kehidupan di dunia sekarang ini tidak lebih
sebagai bentuk kematian. Sebaliknya, kematian justru dipandangnya sebagai awal kehidupan
yang lebih abadi (lihat Widji Saksono, hlm. 10). Pandangan semacam ini sesungguhnya juga
banyak tumbuh dalam kesadaran hidup hampir semua orang Jawa dan muslim, walaupun
fungsinya tidak seekstrem seperti ajaran Syekh Siti Jenar. Pandangan ini didasarkan
pada pengertian bahwa kehidupan ini masih dilekati jiwa yang memiliki sifat baru (anyar)
yang nanti pada babak terakhir akan rusak serta memiliki sifat kotor (najis). Sifat rusak
dan kekotoran jiwa itulah yang menjadi penghalang bersatunya manusia dengan Tuhan.
Dalam arti dan fungsi yang agak berbeda, kesucian jiwa ini juga tumbuh dalam
kesadaran orang Jawa dan umumnya kaum Muslim di seluruh dunia Islam.
Berbeda dengan jiwa, Syekh Siti Jenar memandang badan wadag atau raga jasmani
manusia seluruhnya akan rusak dan hancur menjadi tanah. Badan jasmani inilah yang kelak
dibawa kembali untuk menjalani hidup abadi sesudah kematian duniawi saat nyawa (roh)
terlepas dari badan wadag. Badan wadag ini justru dianggap menjadi pengungkung roh atau
jiwa dan bahkan dianggap sebagai beban yang memberatkan serta menyakitkan bagi roh.
Dalam alam sesudah kematian duniawi, manusia akan menerima balasan baik siksa ataupun
pahala.
Pandangan Syekh Siti Jenar seperti ini juga tumbuh dan berkembang dalam kesadaran
hidup orang Jawa dan umumnya pemeluk Islam di seluruh dunia. Bedanya ialah bentuk
kehidupan manusia sesudah kematian duniawi nanti. Demikian pula dalam pandangan Syekh
Siti Jenar yang menyatakan bahwa surga dan neraka bisa terjadi dalam kehidupan duniawi
sekarang ini. Walaupun untuk pandangan ini juga banyak ditemukan di dunia Islam.
“...roning pati suarga nraka,
bagya cilaka pinanggih,
yeko gumlaring donya”.
Ia selanjutnya menyatakan:
"Swarga nraka sami,
nora langgeng bisa lebur,
dene dunungira,
among aneng tyas pribadi,
seneng pareng iku ingkang aran swarga dene neraka tegese,
yeku sak serik ing ati"18
Artinya: Dalam kematian terdapat surga dan neraka, (manusia) menemui kebahagiaan
dan malapetaka, yakni di dunia ini. Surga dapat ditafsirkan sebagai kesenangan dan neraka
ditafsirkan sebagai kesulitan serta rasa marah di hati, yang semuanya itu hanya terdapat
dalam hati saja, tidak bersifat langgeng.
Ajaran Syekh Siti Jenar demikian demikian itu banyak yang ditafsirkan secara salah.
Hal ini membawa murid-murid Syekh Siti Jenar berusaha menjalani “jalan menuju kepada
kehidupan” (“ngudi dalan gesang”). Jalan itu ialah hidup dengan cara saling membunuh,
membuat keonaran dan keributan yang pada intinya agar mendapatkan jalan kelepasan dan
kematian.
Berbagai peristiwa terjadi di mana-mana akibat "jalan menuju kehidupan” yang
ditempuh para murid Syekh Siti Jenar. Kejadian-kejadian itu terjadi di pasar-pasar dan
tempat-tempat keramaian yang banyak mengundang perhatian umum. Sampailah berita itu ke
istana Sultan Bintara, Raja kerajaan Islam Demak. Peristiwa yang demikian ini dianggap
mengganggu dan membahayakan stabilitas kerajaan yang baru saja berdiri dan masih mencari
dan membutuhkan dukungan dari rakyat. Para penguasa pun tidak bisa tinggal diam dan
lalu segera memberantas ajaran Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya. Sang guru pun
dijatuhi hukuman mati, setelah musyawarah antara para wali. Bisa diduga jika hukuman mati
atas Syekh Siti Jenar dan pemberantasan ajarannya itu lebih bermuatan politik daripada
masalah kebenaran ajarannya dan alasan keagamaan itu sendiri.
Kesimpulan semacam itu bisa dikaji dari berbagai informasi mengenai cerita atau
legenda di sekitar kehidupan Syekh Siti Jenar. Seperti tentang kasus cerita Syekh Siti Jenar
yang dikiaskan dengan cerita al Hallaj (atau Husain al Manshur). Demikian pula kisah
hubungan antara Syekh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging. Tak kalah pentingnya ialah
analisis mengenai situasi sosial-politik pada zaman Demak awal.
Dalam kaitannya dengan ajaran tentang kehidupan, Syekh Siti Jenar menyatakan
bahwa setelah roh manusia terlepas atau keluar dari badan wadagnya atau raganya, ia akan
hidup dengan langgeng. Kehidupan abadi tidak dimulai dari lahirnya seseorang dari
perkawinan orang tua mereka. Seluruhnya ia anggap sebagai hal baru yang karenanya tidak
abadi. Ia hidup sendiri di mana segala sesuatu berasal dari kehendak pribadinya sendiri.
Syekh Siti Jenar menyatakan: “idup mulya jumeneng pribadi,
nora lelantaran babu bapa,
saba- rangkarsane dewe,
tari asal angin banyu,
bumi geni kabeh kawadis,
ngalami kerusakan”
C. Ajaran tentang Jiwa dan Manunggaling Kawulo Gusti
Sebelum lebih dalam membahas ajaran Manunggaling Kawulo Gusti hendaknya
dipahami dulu konsep jiwa menurut Syekh Siti Jenar . Di kutip dari buku Falsafah Siti Jenar :
Ciptaning tyas Siti Jenar maksih,
wujudira inganggep mukamad,
mnengku rasul sanyatane,
Mukamad sipat kudus,
anyar urip pada nganyari,
rumaked panca driya, sajatine nggaduh,
yen wus pinundut kang gadah,
dadi lemah bosok mumur dadi najis,
paran dadya gandulan.
Budi pikir angen-angen eling,
tinggal wujud ngakal keneng edan,
susah bingung lali sare,
budi keh nora jujur,
rino wengi mangayuh drengki,
mrih arjane pribadya,
rusaking lyang sukur,
srei paksa nrak durjana,
tur gumunggung amuk temah tibeng nistip,
ngalani wandanira.
Lamun sira kapanggya,
sun pastekke nora oleh,
rehning lagya badan suksma,
mangeningken puja gaib
, kang pinujipuji,
kang dinulii lagya ndulu,
ngadika lagya ngucap,
mosik meneng kumpul siji,
heh ta anak tamu baliya kewala.
(Bratakesawa,hlm 37-38).
Arti tembang itu secara lebih terbuka yaitu seperti berikut ini. “Menurut
anggapannya wujud lahiriyah Siti Jenar yaitu Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad
bersifat kudus (suci), sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat panca indra yang
sebenarnya hanyalah meminjam. Jika sudah diminta kembali oleh pemiliknya akan berubah
menjadi tanah yang busuk, luluh menjadi najis. Tujuannya dijadikannya pegangan hidup”.
Selanjutnya ia menyatakan: “Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu
bentuk akal yang tak kebal atas kegilaan, susah bingung membuat lupa tidur. Akal
kebanyakan tidak jujur, siang malam membuat kepalsuan demi kesejahteraan diri pribadi.
Sedang terhadap kehancuran orang lain bersifat dengki, memaksa, melanggar aturan, yang
jahat dan lagi suka disanjung, sombong, yang akhirnya membuat manusia tidak berharga
sama sekali, menodai penampilannya.” Syekh Siti Jenar menyatakan kepada para utusan
istana: “Jika kau ingin menemuinya, saya pastikan tak akan diperkenankan, karena sedang
berbadan suksma (bersemadi), mengheningkan pujian gaib yang dipuji memuji sedangkan
yang dilihat pun melihat, melakukan interkomunikasi, bergerak maupun diam bersatu padu
(manunggal), maka baiklah kau kembali saja”.
Selain itu, menurut pendapatnya, pandangan Siti Jenar tentang jiwa juga bisa
ditemukan dari buku Suluk Wali Songo seperti di bawah ini :
Ta rungakna lapale kang muni,
kayun daim amanatu abadan,
yeku mangkono tegese,
basa urip tan lampus,
iya langgeng salami-lami,
marma dunya punika,
dudu aran idup, pratandane sira pejah,
aneng dunya ing aran pati, lah mara rasakna.
Wiring isin angger gesang,
lamun siswa Syekh Siti Bang kang wus luwih,
mring retupan tan kapentut, tan sengsem dumlirang rat,
mung angesti trustaning tyas tembe hidup,
tan arsajiwangsun tunggal, ing jisim kang njejemberi.
Nyawa boya saged suda, boten ewah kalawan boten ingsir,
gingsir ugi yen wus lampus yen mangke datan ewah,
yen kalaonga amesti ewah dhatipun,
gripis lir minangsa rayap, panjang yen dipun serati.
Siti Jenar anauri, sira Benang ngundang mareng wang,
ring Bintara ingsun lumah, nora kareh tan kebawah,
anjaga jroning raga,
kang dedawuh sun miturut liyane iku tan arsa.
Pangeran Jenar mangsuli,
heh modang prastawakena tandane urip lapale kayun daim layamuta,
abadan tegesira,
urip wus tan kena lampus,
abadan salamanira.
Ingsun milih uring kang tan mati,
bisa langgeng nora ika-iku,
nanging ingsun emoh milih najan wong arsa hidup,
ing sakarsaningsun pribadi,
tan usah wali arsa,
mulihken mring ingsun,
kaya dudu wong utama,
wong hyun urip njaluk tulung mring sesama,
lah mara saksekna.
Tembang di atas diterjemahkan Dalhar seperti berikut ini. Syekh Siti Jenar berkata:
“Coba dengarkan bunyi lafal (doa) yang berbunyi: kayun daim amanatu abadan, yang artinya
hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, karena itu dunia bukan kehidupan, buktinya ada mati.
Di dunia ini, kehidupan dunia disebut kematian, coba rasakan. Biarpun malu asalkan hidup,
namun pengikut Siti Lemah Abang yang linuwih (melebihi) makhluk lain tak tertarik pada
wajah cantik, tak terpesona dengan keduniawian, hanya mencari senangnya hati untuk hidup
yang akan datang, tak maulah jika saya yang satu-satunya ini menjadi bangkai yang
menjijikkan. Nyawa tak dapat berkurang, tidak berubah dan tidak bergerak, berubah jika
sudah mati. Sekarang tidak berubah, jika nyawa itu berkurang pasti zatnya juga berubah,
berkurang sedikit demi sedikit seperti dimakan rayap, sangat panjang jika dituliskan.”
saat mendengar permintaan agar ia menghadap Sultan yang disampaikan Sunan
Bonang, Syekh Siti Jenar menjawab:
“Hai Bonang Anda memanggil saya ke Bintara, tetapi saya tak ingin menuruti engkau,
saya tak mau diperintah dan dijajah kecuali oleh diriku sendiri. Saya hanya akan menuruti
perintah yang datangnya dari diriku sendiri.”
Pangeran Siti Jenar selanjutnya menjelaskan sikapnya: “Hai Bonang pandanglah
secara luas, tandanya dari suatu kehidupan doanya: kayun daim layamuta abadan, yang
artinya hidup yang tak bisa mati. Saya memilih hidup yang tak bisa mati (kekal) bisa kekal
tidak ada gangguan ini itu, tetapi saya tidak ingin memilih walaupun saya ingin hidup
menurut kehendakku sendiri, tidaklah usah kedelapan wali mengurusiku seakan-akan saya
bukan orang terkemuka saja. Orang yang ingin hidup (dalam arti menemui ajal untuk hidup
abadi) tidak usah minta bantuan kepada sesama, marilah Anda saksikan.”
Dari berbagai kutipan ini , dapatlah dikemukakan bahwa bagi Syekh Siti Jenar
yang disebut jiwa itu yaitu suara hati nurani yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan
yang harus ditaati dan dituruti perintahnya. Syekh Siti Jenar membedakan antara apa yang
disebut jiwa dan akal. Jiwa, selain merupakan ungkapan kehendak Tuhan juga merupakan
penjelmaan dari Hyang Widi (Tuhan) itu di dalamnya jiwa,sehingga badan raga dianggap
sebagai wajah Hyang Widi. Sementara itu, akal yaitu kehendak, angan-angan dan ingatan
yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat dipercaya karena selalu berubah-ubah. Berbeda
dengan akal, jiwa yang berasal dari Tuhan itu memiliki sifat kekal atau langgeng sesudah
manusia mati yang melepaskannya dan belenggu badan manusia.
Manusia yang secara lahiriah maupun batiniah dalam ajaran Manunggaling Kawula
Gusti merupakan suatu bagian yang berasal dari Tuhan. Dalam titik puncaknya
kemanunggalan merupakan puncak dari proses penyederhanaan, dalam hal ini jiwa secara
bertahap diisolasi dari hal-hal asing dengan dirinya sendiri, kecuali terhadap Allah,
sebagaimana tercermin dalam system syahadat Syekh Siti Jenar atau yang biasa disebut
Sasahidan.
D. Sasahidan
Sasahidan yaitu Istilah Jawa untuk Syahadat makrifat. Sebagaimana telah dijelaskan,
salah satu elemen Rukun Islam yaitu syahadat. Namun, syahadat yang diucapkan secara
lahiriah hanyalah kesaksian teologis atau pengakuan orang yang mengucapkan itu sebagai
muslim. Dalam hal ini, syahadat merupakan pengakuan seseorang bahwa dirinya yaitu
anggota atau warga komunitas Islam.
Untuk menjadi Islam memang sangat mudah. Syahadat merupakan baiat bagi orang
yang memeluk agama Islam. Dengan demikian, syahadat seperti halnya KTP atau kartu
pengenal diri bagi orang Islam. Yang dipentingkan yaitu tata krama atau hubungan antar
orang Islam.
Kata sasahidan memang berasal dari syahadat. Namun, ini bukanlah baiat atau kredo
untuk menjadikan seseorang beridentitas muslim. Sasahidan merupakan pelajaran bagi orang-
orang yang ingin menaklukkan tuntutan ragawinya atau orang-orang yang ingin keluar dari
kampung hawa nafsu. Mengapa harus menaklukkan hawa nafsu atau keluar dari kampung
hawa nafsu? Ya agar mereka dapat dengan sungguh-sungguh menaati Allah dan Rasul-Nya.
Sasahidan berarti memahami dengan benar manunggaling kawula klawan Gusti.,
menyatunya hamba dan Tuhan. Tentu hal ini bukan seperti menyatunya semen dan pasir
dalam bangunan tembok. manunggaling kawula klawan Gusti itu diibaratkan seperti
menyatunya emas dan tembaga. Yang dibuat ibarat itu bukanlah menyatunya unsur emas dan
unsur tembaga, tetapi semburatnya cahaya dari persatuan kedua logam itu. Maka, sinar yang
memancar itu bukanlah sinar tembaga, tapi sinar emasnya. Seperti petikan dari pupuh sinom
berikut :
“Wus ilang jeneng dembaga
sumerta araning jene
ananing gumebyar
iku cahyanipun jene
den becek siro niti
pasemon kang kaya iku
pan aja keliru tampa
kang dudu dipun araninya
mandar selameta imanira”
Artinya :
“Hilanglah nama tembaga, begitu juga nama emas.
Tapi yang berkilauan itu sinar emas,
Alangkah baiknya bila kauperhatikan ibarat seperti itu.
Agar tidak salah pengertian, menyebut yang bukan sebenarnya
Malah tidak selamat imanmu”
Yang bersatu yaitu kudrat dan iradatnya. Artinya, sampai pada tahapan hidup
tertentu, hamba hanyalah wadah bagi kudrat dan iradat Allah semata. Ingat kembali Hadis
yang menyatakan bahwa jika Allah mencintai hamba-Nya, maka segenap laku hamba itu
merupakan manifestasi tindakan Allah. Dalam hal ini, kita harus bisa membedakan antara
orang yang menjadi wadah bagi perbuatan Allah, dan orang yang melakukan “klaim” bahwa
ia bertindak atas nama Allah. Dua hal ini pada dasarnya sulit dibedakan. Namun, dalam
hidup ini ada realitas yang kita dapat mengerti. Yaitu, sabda luhur atau firman agung baik
yang tertulis maupun yang bersifat tutur tinular (disebarkan secara lisan), dan dalil-dalil alam
itu sendiri. berdasar firman Tuhan, misalnya, tercantum larangan merusak
bumi/kehidupan setelah Tuhan memperbaikinya. Jadi, perbuatan Tuhan berwujud kebajikan
yang konkret di bumi ini.
Dalam Serat Dewa Ruci penggambaran hamba dan Tuhannya itu digambarkan seperti
berastunya kayu dan api dalam bara. saat bara terlihat, maka kita tidak lagi bisa menyebut
mana kayu dan api. Pada kondsi demikian, Tuhan sudah tidak bisa disebut lagi oleh si hamba
dan lalu hilanglah dualitas hamba dan Tuhan.
Berikut niat Sasahidan :
"Ingsun anakseni ing Datingsun dhewe,
satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun,
lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan ingsun,
iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun,
Rasul iku rahsaning-Sun,
Muhammad iku cahyaning-Sun,
iya Ingsun kang eling tan kena ing lali,
iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji- wiji,
iya Ingsun kang amurba amisesa,
kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti,
byar: sampurna padhang terawangan,
ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa
mung Ingsun kang nglmiputi ing ngalam kabeh,
kalawan kodrating-Sun."
Terjemahan: "Aku angkat saksi di hadapan Zat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada
Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku,
sesungguhnya yang disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Zat yang hidup tidak akan terkena mati, Akulah Zat yang
selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Zat yang kekal tidak akan ada perubahan dalam segala
keadaan, Akulah Zat yang bijaksana, (bagi-Ku) tidak ada yang samar sesuatu pun, Akulah
Zat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian,
sempurna terang-benderang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanyalah Aku
yang meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku."
Ajaran ini disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan. Serat Wirid Hidayat
Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R.Ng. Ranggawarsita. Menurut
Ranggawarsita, naskah ini merupakan wejangan wali ke-8. Wali VIII yang dimaksud
yaitu Sunan Kajenar atau Syekh Siti jenar. Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita
sendiri dalam naskah ini pada halaman 5 dan 6, di mana wejangannya yaitu Sasahidan
atau Pensaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua
angkatan, yakni angkatan pertama di awal kerajaan Demak dan angkatan dua, yakni pada
masa akhir kerajaan Demak.
Dari wejangan Sasahidan itu, tampaklah bahwa pengalaman spiritual dan keadaan
kamanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi
keseluruhan wahana batin Syekh Siti jenar. Tampak juga bahwa dalam intisari ajaran ini ,
konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang
dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga
tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan vang li-rlahir tidak harus ditutup-
tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan
itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
Namun, ternyata sasahidan ini bukanlah satu-satunva syahadat menurut ajaran
dan pengalaman Syekh Siti Jenar. Untuk sampai pada pengalaman yang melahirkan
ungkapan mistik sasahidan, seorang salik harus melampaui berbagai sistem dan tahapan
syahadat ruhani, yang paling tidak mencakup tujuh jenis syahadat. Berikut penulis
kemukakan secara ringkas tahapan dan sistem syahadat yang tujuh ini dalam sistem
ma'rifat Syekh Siti Jenar.
1. Syahadat ke-fana’-an
“Syahadat Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya,
lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirnamulih maring
sejati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.”
Artinya : Syahadat Allah, Allah, Allah bdan lebur menjadi nyawa, nyawa
lebur menjadi cahaya, cahaya lebur menjadi (roh) idhofi, (roh) idhofi lebur menjadi
rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggalah hanya Allah semata yang
abadi tidak terkena kematian.
Syahadat peleburan diucapkan saat (menjalani keheningan=semedhi),
menyatukan diri Allah. Lafal ini lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar saat
memasuki relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya,
sesudah semua nafs dalam dirnya mengalami kasyf.
2. Syahadat "Penata Agama" dalam roh
"Syahadat Panetep Panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana
telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah,
iku wayanganku roh Muhammad, iya iku sajatining manusa, iya iku kang wujud
sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah,
Muhammad Rasulullah."(Mantra Wedha: 54).
Artinya: Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada
di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya
Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku yaitu roh Muhammad, yaitu sejatinya
manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah,
pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.
Syahadat ini yaitu sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan
esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat dan
keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah
berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
3. Syahadat Menyongsong Kematian
"Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat,wus gumanang waluya jati
sirne eling mulya maring tunggal, walaya jati iya sajatining urip, tunggal sajatining
urip, urip sajatining rasa, lan sajatining rasa, lan zat sajatining zat pesthi anane
langgeng tan kenaning owah, zat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah
neng zatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak suksma mulya Maha
Suci."(Mantra Wedha: 53, No. 205)
Artinya: Syahadat Sakarat Sejati, yaitu Syahadat Sakarat [menjelang dan
proses datangnya pintu kematian], sudah nyata penuh keselamatan hilangnya ingatan
kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu yaitu sejatinya
kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa, dan sejatinya rasa, dan zat
sejatinya zat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, zat
sekarat roh menghadap hati memuji nvawa, selalu berada dalam zatullah, sangkar mas
hilang, mengingat raga tidak terkena kerusakan suksma mulia TViaha Suci.
Syahadat Sakarat yaitu syahadat atau persaksian menjelang ke- matian.
Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar yaitu kemampuan
memadukan iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek
kemanunggalan. Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu yaitu ilmu diri
manusia yang manunggal. Maka orang yang sudah manunggal, mencapai al-lnsan al-
Kamil, juga mengetahui kapan saatnva dia meninggalkan alam kematian di dunia ini,
menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah.
Syahadat sakarat yang terpapar di atas, yaitu syahadat sakara t yang bersi fa t umum,
sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti
Jenar, menjadi lafal harian atau zikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam
kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat.
Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekadar ucapan, sebab saat
pengucapan, harus disertai dengan laku (meditasi), dan paling tidak mengheningkan
daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat ini ,
menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam suksma.
4. Syahadat Mengalami Kematian
"Sakarat yujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng- meneng,
iya iku sing ameneng, pati suksma badan, mulya suksma smpurna, mulih maring
zatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa
Rasulullah, iya salat akbar, Muhammad takbirku, Allah pangucapku, salat jati
asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana pangeran, amung iku kawula
tunggal, kang a$ung kang kinasihan."(Mantra Wedha: 53).
"Sekarat itu kemuliaan kematian, maksudnya yaitu napas munculnya napas,
yang hilang berangsur-angsur secara diam- diam, yaitu yang lalu diam,
kematian sebagai suksma badan-wadag, kemuliaan suksma kesempurnaan, kembali
kepada zatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya
yang berwujud Rasulullah, yaitu yaitu shalat yang agung, Muhammad sebagai
takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah,
tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi."
Ini yaitu Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. saat seseorang sudah
melihat akhir hayatnya, maka orang ini diajarkan untuk memperbanyak
melafalkan dan mengamalkan "syahadat sakarat wiwitane pati" ini.
5. Syahadat Kehidupan Sejati
"Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan
kenaning pati,
mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya Rasulullah, tutuga alam
padhang, iya iku hakikating Rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening
tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing
Pangeran." (Mantra Wedha: 54).
Artinya: Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang
hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak
terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain yaitu Rasulullah, selesailah berada di alam
terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempatan wujudnyang hening,
hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-
angan selalu menghadap Tuhan.
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya yaitu syahadat Nur Muhammad.
Suatu pensaksian bahwa kedirian manusia yaitu bagian dari Nur Muhammad. Dari
inti syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau
kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam
pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanva sebagai gerbang menuju kemanunggalan,
dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam
pengalaman kematian itu, orang ini tidaklah kehilangan akan kesadaran
manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal-muasalnya hidup. Oleh karenanya
keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain
manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa'at sang Utusan (Rasulullah) dalam
bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad yaitu roh
kesadaran bagi tiap pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur
Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar
bukan sejenis kematian vang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian
dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan. Kematian itu
yaitu sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan
manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum 'awam
(orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna)
di atas, tampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan kesadaran
kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam pengalaman
kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui
lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian manusia
yaitu proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu
yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang
tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
6. Syahadat “Pecating Nyawa"
"Ini yaitu syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara:
a. saat roh keluar dari jasad, yakni saat roh ditarik sampai pada pusar, maka
bacaan syahadatnya yaitu , "la ilaha illallah, Muhammad Rasulullah."
b. lalu , saat roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya yaitu
"la ilaha illa Anta.”
c. lalu roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya "la ilaha illa Hiuva”.
Maka lalu roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya
keluar roh dalam proses sekaratnya lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak
sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan
seperti itulah manusia terkena cobaan setan, sehingga kebanyakan kelihatan bahwa kalau
tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya
tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh
yaitu "la ilaha illa Ana".(Mantra Wedha: 57, No. 211).
7. Syahadat Eksistensi diri
"Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah-Pangeraningsun, satuhune ora
ana Pangeran anging Ingsun, kang badan nyawa kabeh"Artinya: Ashadu-keberadaanku,
la ilaha - bentuk wajahku, illallah - Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku,
yaitu badan dan nyawa seluruhnya.
Sistem dan berbagai tahapan syahadat dalam ajaran Syekh Siti Jenar ini
mengarah pada proses hasil perjalanan rohani dalam hal rnenyaksikan Yang Maha Ghaib.
Dari penyaksian ini maka • semakin mengenal kesejatian diri dan Tuhannya, tentang
keterpaduan antara keduanya. Sehingga, tampak bahwa sistem syahadat yang dibangun,
merupakan aplikasi dan terjemahan operasional ungkapan sufi "man 'arafa nafsahu,
faqad 'arafa rabbahu".
Namun perlu buru-buru ditandaskan di sini, bahwa ungkapan ini bukanlah
hadis Rasulullah, akan tetapi merupakan warisan dari hikmah tauhid yang dimiliki oleh
para rohaniawan bangsa Yunani kuno, yang lalu menghiasai landasan filosofis
pengalaman para sufi di dunia muslim.
Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini yaitu ungkapan yang
sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan ini lahir dari hati dan rohnya,
sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya
(tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah, bukan sekadar pengenalan akan
nama-nama Allah.
Yang perlu ditandaskan di sini yaitu , bahwa syahadat bagi Syekh Siti Jenar
merupakan proses dan tahapan batin untuk bermuyshadah kepada Allah tahap demi tahap.
Berbagai macam syahadat di atas merupakan pengejawantahan dari makrifat syahadat
utama, yakni syahadat tauhid dan syahadat Rasul. Bagi Syekh Siti Jenar kedua syahadat
ini bukan yang terpisah, tetapi satu sistem kemanunggalan yang harus
dioperasionalisasikan dalam kehidupan manusia di dunia, guna menggapai kehidupan
sejati pada akhiratnya. Dan itulah al-insan al-kamil.
SINKRETISME ISLAM JAWA PADA TOKOH SYEKH SITI
JENAR
A. Masuknya Islam di Jawa
Penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-15 dihadapkan kepada dua jenis
lingkungan, yaitu budaya kejawen (istana Majapahit) yang menyerap unsur-unsur
Hindunisme dan budaya pedesaan. Dalam pada itu terjadi culture contact yang lalu
berbuah akulturasi antara dua arus nilai yang sama besarnya, yaitu asimilasi antara ajaran
Islam dengan budaya Jawa, baik dalam lingkungan keraton maupun pedesaan.
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin (dalam bahasa Arab) dan
kretizen, yang berarti mencampuradukkan unsur-unsur yang saling bertentangan. Sinkretisme
juga ditafsirkan berasal dari bahasa Inggris, yaitu syncretism yang diterjemahkan campuran,
gabungan, paduan, dan kesatuan. Sinkretisme merupakan percampuran antara dua tradisi atau
lebih, dan terjadi lantaran warga mengadopsi kepercayaan baru dan berusaha untuk
tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama. Terjadinya percampuran
ini biasanya melibatkan sejumlah perubahan pada tradisi-tradisi yang diikutsertakan
Proses akulturasi yang berangsur-angsur sedemikian rupa membuat Islam sebagai
ajaran agama dan Jawa sebagai entitas budaya menyatu. Akulturasi yang berusaha
memadukan dua ajaran itulah yang dalam khazanah studi budaya dimanakan sinkretisme.
Dalam hal ini sinkretisme merupakan sebuah pendekatan budaya terkait bagaimana nilai-nilai
asing memasuki suatu ruang dan pengaruhnya terhadap budaya yang berbeda.
Pengaruh Islam yang begitu besar di Jawa saat itu, dan juga kuatnya warga
mempertahankan budaya Jawa, mengharuskan keduanya melebur menjadi satu. Peleburan
dan pencampuran yang merupakan ciri khas sinkretisme dua budaya itu berlangsung secara
damai. Karena di samping pendangan hidup Jawa yang sangat tepo seliro, juga metode
penyebaran Islam oleh pendakwah Islam yang elastis dan akomodatif terhadap unsur-unsur
lokal.
Hal ini terbukti dengan adanya tulisan dalam Serat Wedhatama :
“Nora weruh
Rosing rasa kang rinuruh
Lume-keting angga
Anggere padha marsudi
Kana kene kaanane nora beda”
Artinya : Tidak tahu, bahwa inti ilmu yang dicari, sebenarnya melekat erat dalam
dirinya sendiri. Asalkan diolah dengan kesungguhan hati, dimana pun baik disana (Mekah)
maupun di sini (Jawa) keadaannya tidak berbeda.24
berdasar abstraksi ini , say mencoba mengurai tentang sinkretisme sebagai
bentuk dan ciri islam-jawa yang terdapat pada tokoh Syekh Siti Jenar dan Pusat
Persebarannya sebagai sebuah analisis pustaka terhadap fenomena penyatuan ajaran Islam
dan Jawa yang ada sampai saat ini.
Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan
masuknya Islam di Jawa. Ada tiga hal yang sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan
latar belakang sejarah sinkretisme Islam-Jawa. Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat
dalam periode kemunduran. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258
M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar (Andalusia/Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon
dan Castella pada 1492 M menjadi pertanda kemunduran politik Islam. Begitu juga arus
keilmuan dan pemikiran Islam saat itu terjadi stagnasi.
Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran Islam yang elastis dan adaptif terhadap
kekuatan unsur-unsur lokal, mengingat kekuatan Islam baik secara politik maupun keilmuan
sedang melemah. Bertepatan pada akhir abad XV di mana terjadi Islamisasi secara besar-
besaran di tanah Jawa, maka metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu bercorak
apresiatif dan toleran terhadap budaya dan tradisi setempat.
Kedua, pandangan hidup warga Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka
diri serta berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, warga
Jawa lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa
yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa
sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian senada
dengan filsafat Tantularisme khas Jawa yang mengajarkan humanisme dalam segala bidang
dan menentang segala bentuk ekslusivisme dan sektarianisme.
Pandangan hidup warga Jawa seperti ini lebih mempermudah dalam menerima
ajaran Islam yang kategorinya paham asing. Akhirnya proses interaksi antara keduanya tidak
bersifat konfrontatif, sebaliknya bersifat akomodatif dan toleran. Kedua hal itulah yang
melatarbelakangi sinkretisme Islam dengan budaya kejawen terjadi sangat mudah dan seakan
tanpa sekat. Keterbuakaan orang jawa ini telah menjadi alasan mengapa sinkretisme selalu
lekat dengan orang Jawa.
Dalam pandangan Koentjaraningrat (1984), sinkretisme merupakan watak asli
agama Jawi (Jawa). Hal ini dapat dilihat dalam sejarah perjalanan hidup orang Jawa sampai
sekarang dan bahkan yang akan datang, orang Jawa akan selalu menerima masukan pengaruh
dari luar. Oleh Sujito (pendiri Universitas Gajah Mada), orang Jawa digambarkan seperti
kerbau. Setiap hari, kerbau itu makan rumput dan daun-daunan. Pada malam harinya, semua
jenis makanan yang telah ditelan dikunyah kembali sambil bertiduran. Gambaran kerbau
mengunyah ini dapat diartikan sebagai unsur-unsur budaya asing yang masuk ke Jawa,
semuanya dapat diterima meskipun harus mengalami penyaringan dahulu. Diterimanya
unsur-unsur asing ke dalam budaya Jawa secara Intregasi inilah yang menimbulkan suburnya
sinkretisme dalam budaya warga Jawa. Kebudayaan memang merupakan suatu integrasi,
yaitu terpadunya unsur-unsur atau sifat-sifat budaya yang berbeda-beda dalam suatu
kebudayaan. Tentu saja perpaduan ini bukan sekumpulan kebiasaan-kebiasaan yang
terkumpul secara acak-acakan. Hal ini dikarenakan sifat-sifat atau unsur-unsur yang berbeda
ini dianggap bersumber pada sifat adapatif dari kebudayaan.
Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan
warga yaitu agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme.
Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi system kepercayaan atau agama
tentunya (sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang
mengatur hubungan menusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.
Bahwasanya pada dasarnya semua system kepercayaan maupun agama telah
membangun nilai-nilai universal tentang tatanan hubungan manusia dengan Tuhan maupun
dengan sesamanya, merupakan esensi dan substansi ajaran yang terserap dalam tradisi-tradisi
local di tanah Jawa. Hal ini secara langsung mempengaruhi pemikiran warga Jawa
terhadap nilai baru yang bernama Islam. Untuk meneropong universalisme budaya dan agama
Jawa terhadap substansi ajaran agama lain, dapat kita lihat dengan mendekatkan ajaran-ajaran
ini , yakni Hindu, Budha, animisme dan dinamisme yang menjadi prinsip keberagamaan
warga Jawa Pra-Islam.
Spiritualitas dan religiusitas yang menjadi pijakan keberagamaan orang Jawa yang
terkandung dari keempat unsur ini jika kita benturkan dalam “kesalihan” Jawa tidak lain
yaitu untuk mencapai satu titik tertinggi, yaitu kasunyatan atau kesejatian hidup. Tak
berbeda dengan Islam, sebagai ajaran agama nilai-nilai ajaran yang ada di dalamnya pun
memuat prinsip-prinsip kepercayaan warga Jawa, khususnya berkaitan dengan
keberadaan sang pencipta atau Tuhan. Dalam semua tradisi ini , termasuk Islam, Tuhan
merupakan wujud kekuatan adikodrati yang mengendalikan segala sesuatu yang manusia
harus tunduk kepada-Nya dalam bentuk pengabdian.
B. Syekh Siti Jenar dan pengaruh agama Hindu pada Islam
Setibanya di Jawa Syekh Siti Jenar mengajarkan paham manunggaling kawula Gusti
kepada warga yang disebut warga abangan. Salah satu hal yang mempermudah hal
ini diterima warga Jawa yaitu karena paham ini mendapat pengaruh dari agama Hindu
yang berasal dari India. saat Syekh Siti Jenar mendakwahkan ajarannya, orang Jawa sudah
terbiasa dengan pandangan kemanunggalan yang hampir sama dengan konsep hubungan
antara Atman dan Brahman. Tidak aneh memang karena Sufisme yang diusung Syekh Siti
Jenar masih sejalur dengan Al-Hallaj.
Syekh Siti Jenar pernah memiliki banyak guru keagamaan dan makrifat. Sebagian
yaitu guru-gurunya di indonesia, seperti Syekh Datuk Kahfi, Arya Abdillah (Arya Damar)
dan sebagainya. Ada yang menyebutkan sebagian guru-gurunya yaitu Sunan Ampel, Sunan
Bonang, dan Sunan Giri. Sebenarnya kepada tiga tokoh Walisongo ini Syekh Siti Jenar
hanya memenuhi adab sopan santun sebagai anggota Walisanga.
Silsilah keilmuan dari guru-guru di Indonesia ini, justru sangat sulit untuk dilacak,
karena ketidakadaan dokumen yang mendukungnya. Selain itu, Syekh Siti Jenar juga
melakukan perjalanan keliling dunia untuk mendapatkan wawasan dan pengalam spritual,
yang berujung pada puncak fana’ dan baqa’ billah (manunggal). Guru-guru tersebar dari
India (Gujarat, utamanya) dan Timur Tengah.
Sufisme wujudiyah secara praktis, dalam bentuk pengalaman rohani menyatu dengan
Allah, tidak lepas dari mata rantai pengalam rohani Manshur al-Hallaj hingga Abu yazid
Thayfur bin Isa al-Bustami. Syekh Siti Jenar memiliki beberapa mata rantai ilmu dan
pengalaman makrifat yang mengarah pada jalur Syaikh Imam Abu al-Qasim al-Junayd bin
Muhammad bin al-Junayd al-Baghdadi (w.910 M), yang menjadi titik temu dari berbagai
mata rantai ilmu tasawuf, baik tarekat maupun filsafat.
Junayd al-Baghdadi sendiri memiliki dua orang murid yang sama-sama beraliran
sufisme wujudiyah, walaupun berbeda dalam keberanian ekspresinya, yaitu Ibn Manshur al-
Hallaj (w. 922) dan Abu Bakar bin Dulaf bin Jahdar al-Syibili (w.945). Manshur al-Hallaj
sendiri memiliki sikap berbeda dengan ekspresi mistik, karena selain kepada al-Junayd al-
Baghdadi, al-Hallaj juga berguru kepada Abu Muhammad bin Sahl bin ‘Abdullah al-Tusari
dan ‘Amr bin ‘Utsman al-Makki, yang merwariskan keberanian ekspresif tentang mistik.
Sementara al-Syibli hanya berguru kepada Junayd yang lebih bersifat tenang dan lunak.
Umumnya, hampir sebagian besar silsilah sufi memakai jalur Abu Bakar al-Syibli,
karena memang dari segi sejarah trauma dengan nasib yang menimpa al-Hallaj yang dihukum
mati oleh penguasa dan ulama syariat. Pemakaian jalur silsilah kepada al-Syibli ini yaitu
untuk menghindari risiko sebagaimana yang sudah terjadi kepada al-Hallaj.
Secara kebetulan, sewaktu di Gujarat, Baghdad, Damaskus, Basyrah dan Makkah,
Syekh Siti Jenar menjalin kontak keilmuandengan para ulama yang memiliki jalur silsilah
spritual dari Junayd al-Baghdadi, baik dari jalur Manshur al-Hallaj, maupun dari jalur Abu
Bakar al-Syibli. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar mewarisi warisan spritual Junayd al-
Baghdadi, baik dari jalur Manshur al-Hallaj, maupun dari jalur Abu Bakar al-Syibili.
Berikut hasil penelitian penulis tentang silsilah spiritual Syekh Siti Jenar yang
berujung sufisme Junayd Al-Baghdadi.
Sebagaimana diketahui, Junaid al-Baghdadi memiliki dua orang murid, yakni Abu
Manshur al-Hallaj (yang juga murid Sahl al Tustari dan Abu ‘Amr al-Makki) dan Abu Bakar
al Syiblu. Al-Hallaj memiliki murid Ibn Khalaf al-Syirazi.
Al-Syirazi dan al-Sybli bersama-sama memiliki murid Abu al-Qasim Ibrahim al-
Nasrabadi (w. 979), lalu berturut-turut kepada Abu ‘Ali al-Daqqaq (w. 1016), Abu al-
Qasim al-Qusyairi (w. 1074), Abu ‘Ali al-Farmadi al-Thusi (w. 477/ 1084), dan kepada
mistikus besar Ahmad bun Muhammad al-Ghazali al-Thusi.
Sampai pada silsilah ini, tampak bahwa Al-Nasrabadi mewarisi dua jalur sekaligus,
yakni dari a-Shirazi murid al-Hallaj, dan dari al-Syibili. Sementara sampai pada ‘Ali al –
Farmadzi, sebenarnya juga sudah terdapat jalur lain, yang menyampaikan silsilah
keilmuwannya kepada Abu Yazid al-Busthami, yang menjadi salah satu murid spritual Syekh
Imam Ja’far al-Shadiq, mealalui Abu al-Hasan ‘Ali al-Kharaqani (w.425/1034)
Ahmad al-Ghazali juga berguru kepada Abu Bakar al-Nassaj al-Thusi (w. 487/1094),
yang murid dari Abu al-Qasim al-Jurjani (w.469/1094), yang murid dari Abu al-Qasim al-
Jurjani (w.469/1076), murid dari Abu ‘Utsman Sa’id al-Maghribi (w.984), murid dari Abu
‘Amr Muhammad al-Zayyad (384/955). Jadi tiga jalur silsilah dari Junaid al-Baghdadi
bertemu dan berkumpul kembali dalam pribadi Ahmad al-Ghazali.
Syekh Aham al-Ghazali, lalu memiliki empat murid utama, yang lalu
menjadi sumber dari beberapa tarekat besar. Dua orang murid Ahmad al-Ghazali, yakni ‘Ain
al-Quddat al-Hamadani (w. 525 1131), dan Abu al-Najib al-Suhrawardi (w.563/1168)
bersama=sama menjadi guru dari Abu Hafs al-Suhrawardi Syaikh al-lIsyraq al-Maqtul (w.
632/1234). Murid ketiga Ahmad al-Ghazali, Abu Fadhl al-Baghdadi menjadi guru Abu
al_Barakat, yang meurunkan silsilah kepada Yunus al-Shaibani (w.1222) dan menjadi jalur
silsilah dari Sa’d al-Din Jibawi (w. 1335). Adapun murid keempat, Ahmad al-Khatibi al-
Nalkhi menurunkan silsilah berturut-turut kepada Husain Jalal al-Din al-Rumi (1207-1273).
Sufisme kemungkinan bukan murni ajaran dari dalam Islam semata. Namun
memiliki banyak pengaruh dari luar Islam. Seperti yang dikatakan Prof.Dr.H.Abubakar Aceh
bahwa Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat
Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah
dan pemeluknya, Islam lalu menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-
pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran
kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan
perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama
masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian
diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya
beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria
yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim
karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri
pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari
makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli
dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada
permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India
perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam.27
Pengaruh Hindu sendiri bisa kita lihat dalam Veda. Dalam agama Hindu, tuhan
dikenal dengan sebutan Brahman. Brahman yaitu penguasa tertinggi dalam konsep
ketuhanan Hindu. Brahman bersifat kekal, tidak berwujud, imanen, tak terbatas, tak berawal
dan tak berakhir juga menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan
segala isi yang ada didalamnya.
Secara etimologi, kata Brahman berasal dari akar kata “brh” yang berarti tumbuh
atau brhati dan menyebakan tumbuh atau brhmayati. Atharvairas Upanisad menyebutkan,
“Brhati, brhmayati tasmad, ucyate parabrahma” yang artinya, “Itu disebut brahma karena
itu bertumbuh dan menyebabkan tumbuh”.
berdasar Taittiriya Upanisad, Brahman memiliki pengertian tunggal. Sebagai
jawaban atas permintaan Bhrgu kepada ayanhnya Varuna untuk mengajarkan kepadanya
tentang Brahman. Varuna menawarkan pengertian sebagai berikut, “Yang daripadaNya
segala mahluk dilahirkan, yang olehNya dan kepadaNya mereka hidup, saat berangkat
mereka masuk, mencari tahu itu, yang yaitu Brahman”. berdasar Upanisad, Brahman
merupakan penyebab utama serta fungsi kosmis utama, yaitu asal mula atau srsti, kehidupan
atau sthiti dan kematian atau pralaya alam semesta.
Dalam Taittiriya Upanisad dijabarkan bagaiman sifat Brahman “Satyam jnnam
anantam Brahman”, Satya berarti kesejatian, jnana berarti pengetahuan dan ananta berarti
tidak terbatas (Bahadur, 1979 ; 23). Ketiga istilah ini menunjukkan sifat-sifat dasar Brahman,
yaitu svarupa atau mengacu pada pembedaan sifat-sifat Brahman atau svarupanirupaka
dharma sebagai sebuah pernyataan yang menberikan definisi tentang Brahman yang
tampaknya menjadi tujuan Upanisad, istilah-istilah ini menyampaikan tiga sifat dasar
Brahman yang dapat membuktikan, bahwa mereka merupakan esensi alam atau svarupa dan
juga sifat-sifat Brahman atau dharma.
Penjelasan yang lebih jelas dalam Taittiriya Upanisad sebagai berikut:
“Brahmavid apnoti param tad esa bhyukta
Satyam jnanam anantam Brahma veda
Nihitam guhayah parame vyman so ‘ snute
Kaman vipascita iti”
(Taittiriya Upansad 2.1.1)
Artinya: “Ia yang mengetahui Brahman sebagai kebenaran, Pengetahuan dan tidak
terbatas. Ia yang bersembunyi di dalam rongga hati dan Ia yang sangat jauh di angkasa. Ia
yang terpenuhi segala keinginannya dalam kesatuan dengan Brahman, Ia yang Maha
Mengtahui”.
Brahma itulah kenyataan tertinggi, tak diselami oleh akal budi dan panca indra. Ia tida
mengenal dirinya sendiri maupun sesuatu diluarnya, karena mengenal berarti dualitas antara
subyek dan obyek.
Brahman merupakan segalanya dan ada di dalam segala hal. Brahman yaitu esa,
tidak ada Brahman yang kedua, apalagi ketiga, keempat dan seterusnya. Brahman yaitu
Kebenaran Tertinggi, Realitas Absolut. Sejuta nama pun kita berikan untuk Brahman, Dia
tetaplah esa, Brahman Yang Maha Esa. Mencipta, memelihara, melebur, merahasiakan dan
mewahyukan yaitu lima kekuatanNya.
Brahman itu nyata adanya, kita dapat memahamiNya dalam tiga kesempurnaan, yaitu
Brahman sebagai Realitas Absolut, Kesadaran Murni dan Jiwa Utama. Sebagai Realitas
Absolut, Brahman tak termanifestasikan, tidak pernah berubah dan, Brahman sebagai
Brahman itu sendiri, di luar waktu, bentuk dan ruang. Sebagai Kesadaran Murni, Brahman
yaitu substansi utama yang nyata, kasih dan cahaya suci yang mengalir di segala wujud, ada
di mana-mana di semua tempat, ada di semua waktu, tidak ada saat di mana Brahman tidak
ada.
Brahman yaitu segalanya dan ada di dalam segala hal, jauh melampaui pengertian
pikiran kita, misteri suci yang hanya dapat diketahui dalam penunggalan langsung. Brahman
yaitu asal dari segala hal yang berasal, sumber dari sumbernya sumber, tak dapat
direnungkan tapi harus direnungkan, karena kerinduan jiwa bukan lahir dari perenungan
melainkan dari kehendak Sang Brahman sebagi sumber dari segala renungan. Apabila
mengenal Brahman, semuanya bisa dipahami, semua bisa dimaklumi.
Sedangkan Atman atau Atma dalam Hindu merupakan percikan kecil dari Brahman
yang berada di dalam setiap makhluk hidup. Atman di dalam badan manusia disebut:
Jiwatman atau jiwa atau roh yaitu yang menghidupkan manusia.Demikianlah atman itu
menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini).Indria tak dapat bekerja bila tak
ada atman.Atman itu berasal dari Brahman, bagaikan matahari dengan sinarnya.Brahman
sebagai matahari dan atman-atman sebagai sinar-Nya yang terpencar memasuki dalam hidup
semua makhluk.
Kata Atman berasal dari akar kata “an” yang berarti bernafas. Dengan demikian,
dapat disimpulkan, bahwa nafas merupakan suatu kehidupan.
berdasar pengertian istilah Atman ini , pengkajian mengenai Atman semakin
berkembang pada segala aspek kehidupan, roh dan pribadi roh itu sendiri, di mana Atman
merupakan hakikat dasar dalam kehiduan manusia yang menyebabkan manusia itu hidup,
mengalami rasa senang dan duka. Seperti yang dijelaskan oleh Sankara, di mana Atman juga
berarti “memperoleh”, “makan”, “melingkupi segalanya”.
Berdasrakan Kitab Prasna Upanisad, Atman dikatakan sebagai sumber yang
menyebabkan mahluk itu hidup. Atman bersemayam dalam tubuh manusia atau mahluk
hidup dan seseorang yang mengerti akan Atman akan dapat mencapai Brahman atau Moksa.
“Atmana esa prano jayate
Yatha isa puruse
Chayaitasminnta atatam
Mano krtena yatyasmin sarire”
Prasna Upanisad III. 3.
“Prana ini dilahirkan dari Atman, ibarat bayang-bayang mengikuti badan, demikian Prana
terikan pada Atman, ia memasuki (menghidupi) tubuh sesuai dengan pikirannya, baik atau
buruk perbuatannya”
berdasar kitab –kitab Upanisad, Atman yaitu percikan terkecil dari Brahman yang
memiliki sifat dan keadaan yang sama seperti Brahman, sehingga disebutkan Atman dan
Brahman itu tunggal Atmabrahma Aikyam.
Menurut Manduka Upanisad, terdapat syair yang berbunyi:
“Dva suparna sayujya sakhaya
Samanam vrksam parisasvajate
Tayor anyah pippalam svadv
atty anasnann anyo’ bhicakasiti”.
Manduka Upanisad III.1.
“Ada dua ekor burung yang selalu berkeadaan menjadi satu , yang dijuluki dengan
satu nama yang sama, yang tinggal di sebuah pohon. Salah satu dari kedua burung itu
menghayati kenikmatan dalam memakan buah dari pohon itu, sedang yang satunya lagi
mengawasinya sebagai Sang Saksi”
Syair di atas mengandung sebuah pengertian, di mana burung yang sedang memakan
buah digambarkan sebagai Tman, sedangkan burung yang satu lagi degambarkan sebagai
Brahman yang bertugas mengawasi Atman.
Kesadaran terhadap tunggalnya Atman dan Brahman juga terdapat dalam ajaran
Tattwamasi (chandogya Upanisad V.8.7) yang berbunyi:
“Dia yaitu engkau, engkau yaitu mereka juga, aku engkau dan mereka juga, aku
engkau dan mereka yaitu juga sama, yakni sama-sama berasal dari Brahman dan hakikatnya
akan kembali kepada Brahman”.
1. Ia yaitu Syekh Siti Jenar alias Siti Brit, alias San Ali, Alias Abdul Jalil. Diperkirakan
Syekh Siti Jenar dilahirkan pada tahun 1426 dilingkungan pakuwunan Cirebon
(Keraton Cirebon sekarang). Orang tuanya bernama bernama Syekh Datuk Sholeh bin
Syekh ‘Isa Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah
Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malik al-Qazam yang merupakan salah satu
keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari Al-‘Alawi, yang semuanya
keturunannya bertebaran di berbagai penjuru dunia untuk mendakwahkan agama
Islam. Jika diruntut sampai ke atas silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina
Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah.
Pada masa kecil, Syekh Siti Jenar bernama San Ali. Nama ini diberikan
oleh bapak tiri Syekh Siti Jenar yaitu Ki Danusela yang beragama hindu. Hal ini
karena sesungguhnya saat masih bayi, Syekh Siti Jenar sudah menjadi yatim. Selain
Ki Danusela, Syekh Siti Jenar juga diasuh oleh Ki Samadullah alias Pangeran
Walangsungsang. Syekh Datuk Kahfi inilah yang juga lalu menjadi guru Syekh
Siti Jenar.
Setelah berguru di pesantren yang dinaungi Syekh Datuk Kahfi dan Arya
Damar, Syekh Siti Jenar lalu mengembara ke Timur tengah untuk mendalamkan
ilmunya. Puncaknya Ia mendapatkan pengalaman ruhaniah ke Makkah.
Bermodal pengalaman itu ia lalu mengajarkannya kepada Orang-orang
Jawa secara terbuka, meskipun lalu mendapat kecaman dari Walisongo dan
Kasultanana Demak.
Konstroversi banyak dijumpai pada naskah-naskah yang menceritakan Syekh
Siti Jenar. Dari beberapa naskah ini , ada sebuah kemungkinan bahwa itu hasil
pesanan penjajah Belanda pada masa Penjajahan untuk mengadu domba Orang Jawa.
Hal ini menambah pengaburan sejarah yang pada awalnya sudah kabur oleh para
penguasa. Baik penguasa yang berasal dari Bangsawan (Raja) maupun yang berlatar
beakang agama.
2. Dalam pandangan Syekh Siti Jenar, Tuhan itu dzat yang berwujud mutlak yang
memiliki Kekuasaan, kehendak, serta ilmu, kehidupan, pendengaran, penglihatan,
berkuasa, berkehendak dan berilmu yang jumlahnya dua puluh buah dikumpulkan di
dalam budi lestari menjadi wujud mutlak, tak ada ujung pangkalnya, tidak ada asal
serta tujuannya.
Menurut Syekh Siti Jenar yang disebut jiwa itu yaitu suara hati nurani yang
merupakan ungkapan dari dzat Tuhan yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Jiwa, selain merupakan ungkapan kehendak Tuhan juga merupakan penjelmaan dari
Hyang Widi (Tuhan) itu di dalamnya jiwa,sehingga badan raga dianggap sebagai
wajah Hyang Widi.
Manusia yang secara lahiriah maupun batiniah dalam ajaran Manunggaling
Kawula Gusti merupakan suatu bagian yang berasal dari Tuhan. Dalam titik
puncaknya kemanunggalan merupakan puncak dari proses penyederhanaan, dalam hal
ini jiwa secara bertahap diisolasi dari hal-hal asing dengan dirinya sendiri, kecuali
terhadap Allah, sebagaimana tercermin dalam system syahadat Syekh Siti Jenar atau
yang biasa disebut Sasahidan.
Sasahidan merupakan sebuah sahadat makrifat. Sahadat ini bertujuan untuk
menguatkan serta menyatakan kesungguhan niat hati untuk melatih diri dari proses
penyucian sebagai langkah menuju Manunggaling Kawulo Gusti.
3. Sinkretisme Islam dan Jawa terjadi karena paham agama Hindu sudah lebih dahulu
muncul di Jawa. Orang Jawa yang begitu terbuka dengan masukan dari luar, sangat
mempermudah menerima ajaran Islam tasawuf yang dibawa dari daerah Gujarat. Hal
ini karena adanya kesamaan konsep-konsep dalam agama Hindu serupa dengan Islam.
Kesamaan ini terletak pada konsep Brahman dan Atman pada Hindu dan konsep
Tuhan dan Jiwa pada Islam. Kedua agama ini bertemu tidak hanya pada India
saja, namun juga di Jawa yang lalu melahirkan Islam Kejawen.
Setiap manusia dan karyanyamemiliki kesalahan dan kekurangan, oleh karena
itu penulis berharap siapapun yang membaca skripsi ini dapat memberikan saran
maupun kritik kepada penulis.
Penulis sadar, masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini, sehingga perlu
dipahami secara mendalam khusunya tema Sinkretisme ajaran Islam dan Jawa pada
tokoh Syekh Siti Jenar.
Mudah-mudahan saran atau kritik yang ditujukan kepada penulis dan skripsi
ini dapat mengisi kekurangannya. Akhirnya penulis berharap hal ini datang
sebagai sebuah pelengkap terhadap skripsi ini, sehingga skripsi ini mendapat
tambahan informasi tentang Sinkretisme ajaran Islam dan Jawa pada tokoh Syekh
Siti Jenar.