teologi 5
Sesobek percakapan yang dijumput dari Upanishad di atas dengankental menggambarkan sebuah perjalanan kesadaran pengetahuan
manusia yang mencoba bercakap-cakap dengan realitas, yaitu bagaimana
pengetahuan manusia bisa sampai pada realitas yang sesungguhnya, realitas
yang absolut. Namun, dalam kacamata penulis, kisah di atas juga bisa dilihat2
atau dibaca ulang sebagai sebuah perjalanan bahasa (teologis) dalam
usahanya 'menangkap' realitas Allah, bahasa yang mengosongkan diri.
Bila buah dari pohon Nyagrodha digambarkan sebagai konsep atau
bahasa, yaitu semacam representasi realitas yang sesungguhnya, maka yang
pertama kali dilakukan agaknya adalah mengambil sang buah, memegang
bahasa– . Bila berhenti di sini, maka kisah ini berbicara tentang“Here it is, sir”
bahasa katapatis, sebuah Teologi Positif, di mana bahasa dianggap bisa3
menangkap dan merepresentasikan realitas, di sini sangat dimungkinkan
terjadi proses predikatif atas apa yang telah ditangkapnya. Masalahnya,
ternyata usaha ini tidak memadai untuk sampai pada intensi yang
sesungguhnya. Maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah
mendekonstruksi bahasa katapatis yang ada itu – “ . ProsesBreak it”
dekonstruksi ini tidak berhenti, ia adalah proses yang terus berlangsung.
Bisa dikatakan bahwa proses ini adalah sebuah usaha untuk mengganti
bahasa katapatis dengan bahasa apopatis. Pada ujung bahasa apopatis,
akhirnya, lahirlah ketiadaan – . Bila berhenti di sini, dalam“Nothing, sir”
wilayah teologi, ini berarti sebuah Teologi Negatif, di mana segala usaha
berbahasa manusia untuk sampai pada realitas ilahi adalah sia-sia, dan kalau
pun hendak berbahasa, haruslah menggunakan bahasa yang menampik,
yang non-predikatif.
Namun kisah ini tidak berhenti di sini. Kisah ini, hendak berbicara
tentang sebuah bahasa yang memiliki elegansa karena disertai kesadaran
akan 'ada'nya sesuatu yang 'tidak hadir', - –, yang hendak“you do not see”
dibahasakan melalui bahasa yang mencoba setia terhadap ketidakhadiran
itu, sebuah absensia. Sebuah kesadaran yang tak memiliki pretensi untuk
'melihat yang tak terlihat', atau 'membiarkan tak terlihat', tetapi, menyadari
bahwa 'tidak melihat pun juga sebuah penglihatan', atau dengan ungkapan
lain yang lebih pas: manusia mampu 'mendengarkan yang tak terlihat'.
Bila yang disebut sebagai 'paradigma' – demikian T. Kuhn – adalah
keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang
terdapat dan saling dibagikan dalam sebuah komunitas tertentu, terma
“Paradigma Absensia” mau mengacu pada pengertian paradigma yang
macam demikian. Ini berarti bahwa absensi menjadi sebuah paradigma;
sebuah kepercayaan, nilai, teknik, atau apa pun yang menjadikan absensi
sebagai salah satu cara berfikir yang terdapat dan dibagikan dalam sebuah
komunitas tertentu, dalam hal ini teologi. Maka, kata Teologi Absensia, mau
mengacu pada metode berteologi yang menggunakan paradigma absensia.
Paradigma ini tentu saja bukan hal yang baru. Para pemikir yang
memiliki perhatian yang sungguh di bidang teologi dan filsafat sudah
mencapai titik ini, hanya saja mereka belum menemukan sebuah istilah yang
memadai untuk paradigma ini, sebuah paradigma yang akan menghantar
manusia tidak saja sekedar berkata-kata Allah, namun, berbincangtentang
dengan Allah. Sekedar contoh dari beberapa teolog dan filosof yang telah
sampai pada paradigma ini akan sekilas penulis paparkan. Psedo-Dionysius
membentangkan “jalan ketiga” dalam berteologi yang persis menggamit
serentak menampik gaya berteologi apopatik dan katapatik. Menurutnya,
baik apopatik (negatif) maupun katapatik (affirmatif) adalah sama-sama
penting namun juga serentak sama-sama tidak penting, dimana yang satu
tidak bisa lebih unggul daripada yang lain. Katapatik tanpa apopatik akan
mereduksi Allah ke dalam imaji-imaji manusia sendiri mengenai Allah dan
lantas lahirlah (pemberhalaan). Apopatik tanpa katapatik pun hanyaidolatry
akan menghantar manusia pada kekosongan, pada keyakinan bahwa tidak
ada satupun yang mampu untuk membahasakan pengalaman akan Allah,
dan di ujungnya lahirlah agnostisisme ataupun atheisme. Keduanya6
haruslah diperlakukan secara dialektik, dimana katapatik akan memberikan
dasar affirmatif mengenai Allah dan apopatik mengambil peran sebagai
pengoreksi dan pemberi pemahaman ulang sejauh mana segala affirmasi itu
memang sungguh-sungguh mengacu pada Allah dan bukan pada imaji
manusia sendiri. Dialektika inilah yang melahirkan “jalan ketiga”. Pada
“jalan ketiga” ini, perkara Allah bukanlah lagi perkara affirmasi atau negasi,
benar atau salah, katapatik atau apopatik, singkatnya jalan ini bukanlah
wacana predikatif yang senantiasa berkata-kata Allah, melainkantentang
sebuah penggunaan bahasa yang pragmatis, yang mencoba berbicara dengan
Allah. Pada jalan ini yang tersisa hanyalah pujian kepada Allah, karena Allah
tidak akan pernah bisa diketahui ( ) juga tidak akan pernah bisaunknowable
dimengerti ( ); Allah adalah yang “tak dikenal” ( ),incomprehensible unknown
bukan karena Ia memiliki , namun justru karenakekurangan kepenuhan
( ) atau Nya ( ) melampaui segala konseptualitas danfullness kelebihan excess
predikasi yang dapat dibuat manusia. Di hadapan Allah yang “tak dikenal”
ini, manusia tidak mampu untuk menyebut nama, namun manusia masih
mampu untuk memanggil ( ) lewat puji-pujian.
Meister Eckhart pernah juga mencoba untuk mentengarai perbedaan
antara apopatik dan katapatik. Bagi Eckhart, Allah adalah (unum Absolute
Unity, Kesatuan Mutlak), yang serentak imanen maupun transenden
berkenaan dengan ciptaanNya. Maksudnya, Allah memiliki karakter yang
keunikannya demikian absolut absolutely distinguishing characteristic( ) yang tiada
lain justru adalah (ketidakmungkinanNya untuk dibedakan his inability to be
distinguished). Dalam artian inilah lantas bisa dipahami bahwa Allah serentak9
terpisah ( ) dan tak terpisah ( ) dari ciptaanNya, dan semakindistinct indistinct
distinct indistinctAllah dari manusia semakin pula Ia dari manusia, juga
sebaliknya. Argumentasi ini memampukan Eckhart untuk melampaui
segala wacana positif dan negatif mengenai Allah karena dengan
argumentasi yang demikian Eckhart memahami bahwa Allah itu transenden
terhadap ciptaanNya justru Allah imanen dalam ciptaannya.karena
Meskipun tidak menciptakan sebuah istilah baru untuk paradigma
absensia ini, Jacques Derrida telah juga mencoba untuk melampaui
persoalan mengenai Teologi Apopatik dan Teologi Katapatik, dengan
mengulang istilah 'Teologi Negatif' namun secara berbeda. Menurut
Derrida, saat Teologi Negatif dibaca secara berbeda, maka teologi tidak lagi
menjadi persoalan atau perdebatan mengenai yang positif atau negatif, yang
affirmatif atau negatif, ada atau tidak ada, melainkan menjadi sebuah usaha
dekonstruksi teologis yang memiliki keterbukaan tak terbatas pada segala
kemungkinan masa depan yang tak bisa diprediksi, bahkan keterbukaan
terhadap sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda. Derrida menambahkan
bahwa dengan Teologi Negatif yang diulangi secara berbeda ini, teologi
mampu untuk mengukuhkan sikap yang sangat dibutuhkan setiap insan
pada masa sekarang ini: hospitalitas.
Contoh-contoh di atas menggambarkan secara sekilas bahwa memang
paradigma absensia bukanlah sebuah hal yang baru dalam usaha manusia
berteologi, namun di sisi lain, kita juga bisa memahami bahwa paradigma
absensia adalah sebuah kerinduan purba yang tak lekang oleh waktu.
Mungkin inilah saatnya untuk semakin menyadari pentingnya paradigma
absensia dalam usaha kita berteologi. Artikel ini mencoba untuk
menghadirkan secara lebih khusus paradigma absensia untuk mendekati
realitas yang ilahi, kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dihadirkan
melalui paradigma absensia. Ini adalah sebuah tawaran atau sebuah
undangan untuk masuk berkubang dalam permasalah absensi dalam
teologi.
Absensia : Skandal dan Sensualitasnya
Hukum rasionalitas manusia mengharuskan manusia untuk
menciptakan dan meyakini bahasa yang secara horisontal memiliki
koherensi logis-konseptual, serentak secara vertikal memiliki
korespondensi empiris antara subyek dan obyek. Dari hukum yang macam
ini, jelaslah yang dituntut adalah : sebuah kepastian yang tak wagu dan – kata
Descartes – tak ragu. Kepastian ( ) adalah istilah yang sangat tepatcertainty
menggambarkan tuntutan dan ruang gerak epistemologi ilmu-ilmu modern
manusia.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pola yang demikian ini
sesungguhnya mengandaikan sebuah metafisika tertentu, yang dirumuskan
sebagai “Metafisika Kehadiran” ( ), sebuah keyakinanMethaphysics of Presence
akan kehadiran “sesuatu” di dalam realitas dan bahasa manusia. Bahkan
yang disebut sesuatu itu tidak bisa tidak pastilah sebuah substansi, entah itu
di luar atau pun di dalam subyek. Dengan keyakinan akan hadirnya sebuah
substansi dalam sesuatu, maka bahasa memiliki tendensi untuk menjemput
serta menangkap substansi itu, lantas kemudian dihadirkan kembali melalui
bahasa.
Kini, dalam pemikiran kontemporer, kita tahu bahwa pemahaman
yang demikian tidak membawa manusia ke mana pun, bahkan menghantar
manusia untuk mengubur realitas dan dirinya sendiri, karena manusia
terbelenggu oleh konstruksi yang dibuatnya sendiri. Manusia mulai melirik
pelbagai kemungkinan yang bisa memberikan kebebasan, salah satunya
adalah mendengarkan suara dari luar kriteria yang ada, di luar ruang logis
yang konvensional. Ketika rasionalitas telah mengerut menjadi kriteria
berbahasa, maka itu semua lantas berarti memberi tempat pada
'irrasionalitas' yang disadari.
Apa yang diandaikan dalam irrasionalitas itu persis bertolak belakang:
sebuah metafisika yang memberi tempat pada ketidak-hadiran (Metaphysics
of Absence). Tidak ada lagi suatu substansi, yang ada adalah relasi dan
adaptasi yang tiada henti. Ini memang bagai 'skandal' bagi rasionalitas
manusia, karena rasionalitas yang awalnya dianggap demikian meyakinkan
dan pasti ternyata mesti tersandung-sandung realitas dan pengalaman yang
demikian kaya, berhadapan dengan begitu banyak anomali. Situasi ini
akhirnya serentak menjadi semacam tuntutan untuk merumuskan ulang
rasionalitas itu sendiri. Namun ini merupakan momentum kearifan juga,.
karena dari sana tampillah peluang untuk menampung segala ketidakpastian
dan kegamangan. Di sini lantas bahasa diturunkan dari kedudukannya
sebagai cerminan rasionalitas ( ) manusia. Bahasa menjadi sebuahLogos
medan yang tak pernah selesai mencerna dan mencairkan apa yang mungkin
ditangkapnya, termasuk didalamnya irrasionalitas, ambiguitas, paradoks
dan hal-hal yang memang tidak mudah ditangkap dan dibahasakan.
Singkatnya, bahasa dikembalikan kepada hidup itu sendiri, pada
pengalaman hidup manusia yang elusif dan senantiasa bergerak.
Apa yang terjadi dalam wilayah teologi bila masuk ke dalam paradigma
absensia adalah jelas: sebuah 'skandal' teologis, sebab teologi seolah menjadi
sesuatu yang 'irrasional', yang membutuhkan klarifikasi dengan kategori-
kategori yang sangat berbeda dari apa yang selama ini dipakai. Paradigma
berteologi macam ini dapat menjadi batu sandungan bagi segala langkah
teologi yang mungkin telah mapan. Itu di satu sisi. Di sisi lain, paradigma
absensia mungkin justru mampu menghantar manusia masuk lebih dalam
ke dasar hidup itu sendiri, yang justru, karena sedemikian kaya dan luas,
memang ditandai berbagai persilangan paradoks, ambiguitas, dan aneka sisi
yang bertegangan. Kehidupan yang senantiasa mengandung 'skandal' itulah
yang akhirnya menuntut skandal metodis pula.
Paradigma absensia akan menghantar manusia pada apa yang saat ini
disebut dengan 'jalan heuristik' ( ). Jalan ini merupakan sebuahheurestic way
cara berfikir yang membetot aturan-aturan baku sebuah ilmu hingga ke
titik-titik yang paling radikal sehingga, lewat segala tegangan yang tercipta,
menyeruaklah kemungkinan yang awalnya tak tampak, kemungkinan untuk
menjangkau realitas yang lebih besar. Fenomena “ ”Theological Turn
(pembalikan teologis) di Perancis adalah contoh bagus tentang hal itu .
Dalam fenomena ini, para pemikir Perancis macam Paul Ricoeur, René
Girard, Emmanuel Levinas, Michel Henry, Derrida, Lyotard, Jean-Luc
Marion, Jean-Yves Lacoste, mencoba untuk 'melanggar batas' disiplin ilmu
yang mereka geluti (filsafat, khususnya fenomenologi). Mereka tidak lagi
berkutat pada persoalan-persoalan fenomenologi filosofis sebagaimana
yang biasa dilakukan, namun mencoba untuk memberikan ruang pada ide-
ide teologis dalam pemikiran mereka. Di ujung pemikiran-pemikiran
mereka, kita mendapati bahwa ternyata Allah masih memiliki ruang di
sebuah dunia yang digerus sekularisme dan atheisme. Dengan demikian19
teologi menjadi sebuah daya yang kreatif, yang terbuka terhadap
kemungkinan-kemungkinan baru, sisi-sisi yang selama ini tidak
diperhitungkan, dan pada akhirnya ini berarti sangat dimungkinkan
ditemukannya kebenaran-kebenaran baru, yang mungkin selama ini tidak
pernah diperhatikan namun justru paling dirindukan.
Teologi dengan paradigma absensi, atau teologi absensia, dengan
demikian mengandung sensualitas, karena di dalamnya segala gairah yang
meletup di dalam hidup manusia tertampung dan dibiarkan mengalir,
bersentuhan dengan manusia apa adanya. Melalui paradigma absensia,
bahasa teologi diajak untuk mencicipi apa yang selama ini enggan untuk
dicicipi; untuk melihat kemungkinan bahwa segala dikotomi dan polaritas
produk rasionalitas dan bahasa manusia macam 'ada' dan 'tiada', 'surga' dan
'neraka', 'putih' dan 'hitam', jangan-jangan hanyalah perbedaan semantik
yang arbitrer.
Menjelajahi Keheningan
Salah satu penyebab krisis kontemporer dalam teologi adalah fideisme
sebagai bentuk perlawanan yang gigih terhadap setiap bentuk “Teologi
Natural”. Krisis tersebut ditandai dengan meningkatnya kesadaran, baik
secara teoritis maupun praktis, bahwa kita tidak memiliki pengetahuan yang
real tentang Allah, dan setiap konsep tentang Allah yang disodorkan pada
kenyataannya cenderung menyangkal transendensi Allah. Akibatnya, setiap
konsep mengenai Allah dimarjinalisasi, dianggap abstraksi yang tidak
mengguratkan sesuatu pun. Heidegger menangkap situasi ini, maka tidak
mengherankan jika ia menandaskan bahwa teologi terlalu di harubiru
paradigma metafisika-kehadiran sehingga yang ada bukanlah teologi,
namun onto-teologi, yaitu situasi dimana teologi tidak pernah bisa beranjak
lebih jauh lagi, keluar dari dirinya sendiri, terkungkung penjara metafisika-
kehadiran. Inilah saat di mana manusia memasuki jaman ,the loss of the gods
sebuah pengalaman historis dimana segala usaha berteologi adalah sebuah
kesia-siaan karena setiap usaha macam itu akan senantiasa berarti serentak
too late too soondan . Akhirnya, menurut Heidegger, manusia tidak lagi bisa
menatap aktivitas Allah di dalam dunia, manusia hanya bisa merasakan
secara subyektif kehadiran Allah di dalam interioritas hatinya.
Namun kita tidak berhenti di sini.
Sebagaimana telah disinggung di atas, manusia adalah mahluk yang
essensinya eksis dengan cara memahami dan pemahaman-diri, maka
manusia hanya dapat berbicara secara bermakna mengenai Allah jika segala
affirmasi ini secara batiniah bertautan dengan pemahaman akan dirinya
sendiri. Adalah tidak mungkin untuk memformulasi pernyataan apa pun
mengenai Allah yang pada saat yang sama bukan sesuatu yang juga
bermakna bagi manusia itu sendiri, atau pernyataan mengenai manusia yang
tidak mengatakan sesuatu pun yang bermakna mengenai Allah. Ini berarti
bahwa sesaat setelah historisitas pengalaman eksistensial manusia diletakan
dalam kerangka refleksi, kita menyadari bahwa bahasa kita mengenai Allah
harus bertumbuh dan berubah bersamaan dengan perkembangan
pengalaman eksistensial kita. Bila tidak demikian maka, setiap bahasa kita
mengenai Allah akan menjadi tidak relevan, tak berarti, dan kosong.
Lebih lanjut ini berarti bahwa Teologi tidak dapat didefinisikan sebagai
relasi eksklusif dengan Allah semata. Teologi hanya dapat didefinisikan
dengan sebuah cara yang spesifik, yang mentransendesikan dirinya sendiri,
yang mendekati totalitas kenyataan dan membantu merealisasikan totalitas
ini dalam kehadiran Allah yang aktif, sebab terkandung dalam kesegeraan
absolut, yang tidak pernah tunduk kepada kehendak manusia. Inilah yang
menjadi aspek otentik yang dapat dimurnikan selalu menjadi cara baru
berbicara tentang Allah pada jaman kontemporer ini – yang menurut
Schillebeeckx – sebuah jalan yang membiarkan Allahkeheningan
menemukan ekspresi di dalam karya nyata kita untuk kesejahteraan saudara-
saudara kita.
Hening akan Allah ini – yang berarti semata-mata membiarkan Allah
menghadirkan diri dalam relasi manusia dan karya-karya manusia di dalam
dunia – bisa berarti berbicara jauh lebih keras daripada kata-kata yang tidak
memiliki relevansi yang sesungguhnya paling penting di dalam hidup
manusia. Hening yang demikian bisa menjadi sumber hidup dari segala
harapan kita.
Setiap upaya teologi dalam membahasakan Allah dalam kerangka
absensi selalu merupakan sebuah perjalanan reflektif yang hening dari siapa
pun yang memiliki kepedulian pada permasalahan ini, dan karenanya
menuntut jerih payah tersendiri, laku yang tak tawar dan bisa panjang,
bahkan mungkin bisa melibatkan hal-hal yang musykil. Teologi Absensia
adalah sebuah penjelajahan bahasa dalam keheningan yang rinai, yang
menciptakan sebuah ruang refleksi: sebuah jeda bagi manusia-manusia
kontemporer yang linglung dan bingung untuk merefleksikan dan
mengucapkan apa yang selama ini mungkin telah hilang. Sebuah penyibakan
ingatan yang rimbun tentang yang sepele tapi konkret, yakni tentang pilihan
bebas manusia untuk “mungkin” memiliki cinta: sebuah kenosis
(pengorbanan) yang tidak masuk akal, kesetiaan yang kerap diselingi ragu,
gundah, dan kadang juga labil. Dengan ruang refleksi yang mampu
dihadirkan oleh teologi absensia, terbentanglah sebuah “suasana” hening,
dan manusia menjelajah di dalamnya. Dengan ini manusia tidak akan
kehilangan keseriusan eksistensialnya, karena ruang refleksi ini membawa
fungsi katarsisnya sendiri : mengikis dan membersihkan identitas spiritual
manusia. Paradigma absensia memberikan sebuah ruang bagi 'teologi'
untuk, meminjam Carl A. Raschke, memekar menjadi 'dialogi' ( ).dialogy
Di akhir penjelajahan keheningan ini, melalui teologi, manusia ditawari
pilihan: atau menerima atau menolak kenyataan bahwa eksistensi manusia
adalah sebuah yang tidak dapat dijelaskan dalam terangjanji keselamatan Being
kongkret manusia. Bila teologi hendak memberikan komitmennya yang
terdalam terhadap dunia, itu berarti teologi harus mampu menghantar
manusia modern untuk menerima Allah sebagai yang ultim.
Peradaban manusia pernah dan masih menjadikan ego sebagai titik
gravitasi kehidupan. Ini adalah sisa-sisa yang tertinggal dari harapan dan
mimpi kaum modernis. Ego adalah titik berangkat dan titik akhir segala-
galanya. Di dalamnya yang ditekankan adalah otonomi individu yang
disertai rasa percaya diri yang berlebihan kepada rasionalitas. Dengan
nuansa yang egologis macam ini tidak mengherankan jika tidak ada tempat
yang cukup untuk menampung segala dimensi yang supranatural dan
suprahuman. Segala aspek misterius, transenden, dan dinamis dari segala
pertautan manusia dengan pengalaman persentuhannya dengan sesuatu
yang sungguh lain ( ) semata-mata dipahami dari sudutthe wholly other
psikologis atau pun seni. Imaji-imaji klasik tersisih, dan dibayangkan sebagai
sisa-sisa mentalitas pra-modern yang kekanak-kanakan. Psikologi dan seni
menjadi wilayah yang mengartikulasikan spiritualitas individu modern, dan
teologi mundur ke belakang menjadi semacam mistifikasi esoteris dari
bahasa yang tak pernah dimengerti dan enggan dimengerti atau malah
sebaliknya, menjadi semacam kemungkinan mencari nafkah dengan cara
menjual nama Allah secara murahan, yang tak jarang menumpahkan darah
dan amarah. Di penghujung egologi macam ini, manusia sendirilah yang
terancam: terjangkiti semacam penyakit disorientasi hidup dan kekosongan
batin yang parah.
Bila teologi hendak membahasakan diri di jaman kontemporer dengan
lebih relevan dan bermakna serta menghantar manusia kepada Allah yang
transenden maka teologi haruslah memiliki kemampuan untuk tersadar
dalam tegangan – meminjam Mark C. Tylor – antara danrevelation re-
veilation36, sehingga tersingkaplah kembali selalu segala apa yang selama ini
begitu melilit ego manusia. Dengan demikian teologi menjadi wacana
tentang potensialitas pengartikulasian tanpa akhir sang Maha Lain yang
senantiasa mengelak diberi nama. Kendati secara historis selalu ada
kecenderungan pergeseran dari (pewahyuan) kerevelation re-veilation
(pengerudungan), ruang refleksi mesti memungkinkan kembali gerak
sebaliknya setiap kali : dari pengerudungan ke pewahyuan atau
penyingkapan kembali. Gerakan terbalik demikian, membuat segala
refleksi teologi tidak terjebak dalam permenungan yang sekedar permainan
pantulan konseptual atau pun intertekstual ( ) yang berputar di dalamreflection
atau tersesat di luar, melainkan sebuah usaha pelenturan kembali ( )re-flexivity
segala apa yang telah kaku dan beku.
Menurut Tylor, segala pergerakan/pergeseran di atas seharusnya
bertujuan “membongkar kedok” fiksional dari segala apa yang kita percayai,
termasuk juga ilusi keutuhan : “Salah satu karakter dari postmodernismeself
adalah matinya ke-diri-an.” Dengan paradigma absensia, teologi dapat
menjadi sebuah “aliran yang tak pernah berhenti”, gerak yang terus
menerus men-transendensi diri. Melalui paradigma absensia, teologi lantas
berarti inkarnasi dari “Kenosis segala kehadiran diri yang absolut”.
Inkarnasi macam ini menampilkan sebuah permainan tanpa henti,
permainan “penyaliban kata” dimana aktivitas penundaan, dekonstruksi,
atau penghapusan, analog dengan pengalaman salib: sebuah gerak
pengosongan diri, dari menuju . Di sini kata atau segalaselfishness selflessness
bahasa yang berasal dari hasrat manusia dilihat sebagai prosesegologi
penopengan diri. Sebuah proses yang cenderung menjerat manusia dalam
matarantai pengelabuan tanpa akhir.
Labirin Berujung Cinta
Berujung dimanakah labirin ini? Atau apakah memang ada yang pantas
disebut 'ujung', bila apa yang disebut labirin saja menampik apa yang disebut
'awal' atau 'tengah'? Tetap harus ada sebuah keputusan, sebuah ujung yang
bukan ujung, ujung yang berarti awal, tengah yang berarti tepi. Karena bila
tidak demikian, teologi akan sampai pada penyakit disorientasi dan tanpa
kebermaknaan di ekstrem yang lain.
Bagaimana menganalogikan teologi absensia ini dalam bentuk yang
real? Analogi yang terbaik, yang memuat unsur kenosis dan absensi, adalah
cinta dan ke- -an ( ). Berikut akan dijelaskan mengapa dua haltanpa withoutness
tersebut bisa dianggap mewakili paradigma absensia.
Mungkin tidak ada sebuah kata yang dalam sepanjang perjalanan
sejarah kesadaran manusia sedemikian abadi, selain cinta. Karena di dalam
terma itu ada gumpalan misteri, yang mendorong dan merongrong hidup
manusia selalu tanpa henti. Cinta tetap merupakan sesuatu yang tak
terjelaskan, dan senantiasa mengundang interpretasi. Saat ini memang40
harus diakui bahwa terma itu telah sedemikian diinterpretasikan sebagai
melulu bersifat fisik dan seksual, yaitu bercinta. Namun sesungguhnya,
bila cinta dibongkar aspek-aspek badaniahnya, kita bisa sampai pada
sebentuk jiwa yang mampu menganalogikan Allah. Menurut Marion, ada
dua ciri dari sesuatu yang dapat disebut sebagai cinta. , cinta itu selaluPertama
berarti pemberian diri ( ). Dan pemberian diri itu adalah satu arah:gives itself
tanpa memandang apakah si penerima ( ) layak atau tidakinterlocutor
menerimanya, sanggup atau tidak. Singkatnya, cinta adalah pemberian diri
yang tanpa syarat, tanpa batas, dan tanpa menunggu kesiapan dari si
penerima. , adalah hanya cinta (sebagai sebuah konsep), yang43 Kedua
memiliki kekuatan performatif, yaitu memiliki potensi untuk menggerakan,
mengubah, mencairkan kebekuan, dan untuk berbuat sesuatu yang lebih
daripada cinta itu sendiri (sebagai konsep).44
Paradigma absensia adalah paradigma cinta; bahasa absensia adalah
bahasa cinta, Allah dalam teologi absensia adalah Cinta. Walau pun cinta
bersifat tak bersyarat ( ), namun sesungguhnya ia memiliki satuunconditional
tuntuntan: pengosongan diri, karena hanya dengan pengosongan diri itu
cinta dimungkinkan. Cinta tanpa pengosongan diri adalah – meminjam
Caputto – bualan kosong, rayuan gombal yang hanya layak diucapkan oleh
mereka yang kesepian. Oleh karena itu cinta memang berurusan dengan
ketidakmungkinan, batas-batas eksistensial yang absolut dan dengan cinta
manusia didorong sampai pada batas-batas yang mungkin, sepenuhnya
berkembang melampaui kemampuan kita, melampaui kekuatan kehendak
kita, didorong sampai pada titik di mana hanya gairah iman, harapan dan
cinta sendirilah yang menyala-nyala. Dan hanya satu kriteria untuk menilai
kebenaran cinta, yaitu dengan apa yang disebut oleh Agustinus sebagai
“ ”, “membuat” atau “melakukan” kebenaran. Secara lebihfacere veritatem
jelas dapat dikatakan cinta adalah perkara tindakan/perbuatan. Pada
akhirnya, cinta akan menggiring manusia pada tindakan tulus untuk terbuka
terhadap yang lain, yang asing, yang berbeda; cinta memampukan teologi
untuk mendorong manusia untuk mampu dan berani berkata – meminjam
istilah Michel de Certeau – .'yes, in the foreign land'
Terma lain, yang cukup dapat mencerminkan paradigma ini adalah
kata “tanpa” ( ), sebuah kata yang persis berada di tengah antarawith_out
“adalah” ( ) dan “bukan” ( ). Karena ia ada di tengah, maka ia bukanlahis is not
is is not out withoutdan juga bukan : inilah aspek ' ' dari kata ' '. Tetapi ia serentak49
adalah rangkulan mesra diantara keduanya : inilah aspek dari katawith
' '. Meskipun Marion sendiri tidak menggunakan algoritma katawithout
macam ini secara eksplisit, namun sesungguhnya ini sebuah permainan
bahasa yang mampu mencerminkan paradigma absensia. Misalnya: “God
is is notBeing” adalah pernyataan affirmatif; sedangkan pernyataan “God
Being” adalah pernyataan negatif; sedangkan “God Being”, mauwithout
merangkul kedua arti pernyataan itu, serentak menampik kedua pernyatan
sebelumnya. Dalam buku Marion sendiri, pernyataan terakhir itu
diungkapkan sebagai yang disilang, God. Baik kata “God” mau punGod
“silang”, keduanya harus tetap dicatat/tertulis, karena kedua-duanya
penting, namun serentak tidak penting. Dengan kata “tanpa” suatu konsep
tidak akan pernah membeku dan menjadi – meminjam Marion –, karenaidol
dengan demikian kita selalu diingatkan akan adanya kemungkinan lain,
diingatkan bahwa selalu ada unsur fiktif dalam konsep-konsep yang kita
pegang, bahwa selalu ada realitas lebih jauh di baliknya yang harus dikejar.
Teologi mudah terperangkap dalam 'idol'. Yang diperlukan adalah
'ikon'. Idol membekukan realitas, ikon menyingkapkan, mewahyukan,
namun serentak tetap membiarkan yang terwahyukan tersebut sebagai
misteri yang tak tertembus. Contoh bagus ikon adalah Yesus Kristus –
eikōn tou theou aoratou. Yesus Kristus mewahyukan Allah, bahkan,
dengan melihat Dia kita melihat Allah, namun, Ia tetap menampilkan sisi
misterius Allah juga. Dalam Yesus Allah tetaplah Allah yang ganjil, tak
lazim, tak terpermanai, sulit dimengerti.
Mencintai Misteri
Teologi absensia menggiring manusia pada :possibility of the impossibility
bahwa Allah tetaplah misteri, dan kita diundang untuk mencintai misteri ini.
Kita mencintai misteri tidak dengan 'mengerti' atau 'memahami', namun
'mengenal' dengan 'menarikannya'. Bila dikatakan bahwa Allah adalah53
misteri (padahal jelas bahwa Allah mewahyukan diri pada partikularitas
sejarah manusia) itu mau menegaskan bahwa misteri bukan soal Allah,
tetapi soal manusia, soal keterbatasan manusia (terutama rasionalitas dan
bahasanya).l
Keterbatasan manusia ini menciptakan penderitaan batin tersendiri
bagi manusia yang bersikukuh mencari jawab, karena seolah-olah Allah
adalah Dewa Janus, dewa berwajah dua: Allah yang dimengerti (secara
kognitif) versus Allah yang dialami (secara afektif). Allah yang bernegosiasi
dengan Musa dengan Allah yang muncul dalam mimpi dan berkelahi
dengan Yakub dan tak mengijinkan diriNya diberi nama. Allah yang
transenden dan Allah yang imanen; yang personal dan yang impersonal;
yang bisa diajak bicara dan yang hadir dalam musik dan mantra. Allah yang
ditemui dalam sesama di keramaian dan Allah yang hadir dalam samadi di
sudut sunyi. Dan justru di situlah misteri Allah, bahwa Ia dialami sebagai
real, namun tak dapat ditangkap. Misteri, karena kepenuhan realitas ilahi
tak pernah secara tuntas bisa ditangkap oleh manusia, juga tidak di dalam
kepenuhan eskatologis; namun serentak semua itu mengandaikan adanya
komunikasi Allah yang real dengan manusia.56
Dengan paradigma absensia, teologi niscaya mampu mentransenden-
sikan keterbatasan manusia justru melalui cara yang imanen, melalui cara
yang sangat mungkin dilakukan manusia: mencintai. Teologi absensia
mengundang manusia untuk mencintai misteri ilahi, dalam doa yang
merangkul segala elusivitas, ambiguitas dan kontradiksi, dalam keheningan
yang tak kuasa mengungkapkan sepatah kata pun; dalam doa yang tidak
menyebut dan memperkatakan nama Allah, namun memanggilNya
Sejalan dengan ini, Emmanuel Levinas memberikan jembatan bagi
teologi untuk menghantar manusia sampai pada rasa cinta terhadap misteri,
karena bagi Levinas teologi hanya mungkin untuk diterima jika teologi
mampu untuk menghadirkan wacana yang secara konstan mengkritisi,
menkoreksi bahkan membatalkan dirinya sendiri. Levinas memberikan59
alasan yang sederhana: karena Allah adalah yang misteri, mencintai Allah
adalah mencintai misteri itu sendiri. Beranjak dari situasi etis manusia saat
berjumpa, berkonfrontasi, dan berdialog dengan sesamanya, manusia bisa
menyadari adanya pihak ketiga yang selalu hadir namun telah “berlalu”
( ), yaitu Allah, atau “jejak” Allah dalam diri sesama. “Jejak”passed by absolutely
ini akan menghantar manusia pada struktur relasi non-resiprokal kepada
sesamanya. Struktur inilah yang bisa disebut sebagai situasi cinta.
Di sisi lain, dengan konsep ini, Levinas mengingatkan bahwa Allah
tetaplah bukan sebuah fenomena yang tampak dihadapan manusia, hadir di
depan wajah manusia, yang bisa diobservasi, dirumuskan, atau
ditematisasikan. Singkatnya, Allah tetaplah misteri. Namun, dihadapan62
misteri itu dimungkinkan tercipta rasa “takjub” ( ) – sebuah situasiwonder
yang menampik hasrat untuk mengeksplorasi sesuatu sebagai informasi,
sebagai pengetahuan, atau menampik kontrol – yang bisa menenggelamkan
manusia ke dasar misteri, bersentuhan secara lebih intim dalam relasi
dengan misteri itu sendiri. Rasa takjub ini tidaklah menuntut pengetahuan63
logis, jawaban atas segala tanya; namun sebuah ajakan untuk terus menerus
mencari dan menghasrati . Allah yang misteri adalah Allah yang menuntut64
“semangat keterbukaan budi yang total”.
Bila Emmanuel Levinas bertolak dari situasi etis untuk sampai pada
cinta akan Allah yang misteri, yang meski tak bisa dijumpai secara langsung
namun kita mampu untuk merasakan jejakNya dalam perjumpaan dengan
sesama, Michel Henry (1922 – 2002) menyarankan sesuatu yang jauh lebih
radikal. Sebagai seorang fenomenolog, Henry meyakini bahwa dengan
“fenomenologi radikal” kita bisa mendekati Allah. Bagi Henry, setelah66
menemukan bahwa fenomenologi pada hakekatnya adalah semacam proses
pewahyuan , maka Allah adalah Hidup itu sendiri. Karenanya, pencarian67
akan Allah sesungguhnya berarti pencarian akan sesuatu yang telah selalu
ditemukan namun senantiasa dilupakan. Di sini, Henry mengajak orang
untuk menyadari Allah sebagai Hidup dari hidup kita sendiri. Dengan68
memahami Allah sebagai Hidup, Henry menampilkan kembali kesempatan
yang selalu hadir, namun senantiasa luput, untuk menjumpai Allah: bahwa
perkara teologi adalah perkara ( ) hidup itu sendiri.pengalaman experience
Mencandrai pengalaman macam ini, hanya dimungkinkan melalui pasi
( , : gairah, jerih- payah ). Di dalam pasi tiada subyek ataupathos passion
obyek karena pasi merupakan manifestasi-diri yang paling murni.
Sebagaimana hidup, pasi tidak pernah bisa direduksi. Kita hanya bisa
membandingkan pasi dengan pasi itu sendiri: pasi tidak akan pernah bisa
direpresentasikan, dan karenanya kita (manusia) tidak akan pernah
'memiliki' pasi, namun kita 'adalah' pasi itu sendiri.
Pemikiran Michel Henry di atas membuka kesadaran bagi teologi
bahwa berteologi berarti perkara gerak kembali kepada hidup itu sendiri,
yang terbentang luas dengan segala paradoks, ambiguitas, tegangan, atau
ketidakmungkinan; hidup dengan segala misterinya. Singkatnya, teologi
adalah sebuah panggilan untuk kembali mencintai hidup, dan itu berarti
memiliki pasi kepada Allah yang misteri.