teologi 6
Teologi Kontemporer sebagai teologia masa kini yang berkembang di Eropa Barat dan
Amerika.
Pada tulisan ini, penulis lebih condong kepada pengertian Teologia
Kontemporer menurut Pontas Pardede. Dengan alasan lebih obyektif melihat sebuah ajaran
teologia dan terbatas pada wilayah yang memiliki pengaruh global dalam hal teologia.
Dengan demikian ulasan yang akan diberikan tidak akan mendeskreditkan sebuah ajaran
teologia lain tanpa dasar dan terkesan tendensius untuk mengagungkan teologia sendiri
sebagai yang paling benar. Hal ini mengandung konsekuensi adanya “standart penghakiman”
yang tidak picik berdasar asumsi tetapi lebih kepada Alkitab sebagai dasar kebenaran.
Sedangkan ajaran teologia kontemporer yang akan dibahas dalam tulisan
singkat ini adalah Teologi Pengharapan. Pembahasan yang akan meliputi latar belakang
Teologia Pengharapan, pemikiran-pemikiran yang muncul pada tokoh-tokoh penganut
Teologi Pengharapan dan tanggapan penulis tentang Teologi Pengharapan ini. Tentu saja
pandangan yang akan diberikan penulis akan mengacu kepada Alkitab sebagai sumber
pengetahuan. Terutama hal-hal terkait dengan eskatologi dan janji-janji Allah tenatng
kehidupan di masa depan.
Teologi pengharapan muncul pada akhir tahun 1960-an, yang keberadaannya
terkait dengan hadirnya teologi “Allah mati”6 (bahasa Jerman: "Gott ist tot") yang
dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche. Meskipun, sebenarnya Hegel-lah filsuf besar pertama
yang mengembangkan tema tentang kematian Tuhan itu. Menurut Hegel, bagi suatu bentuk
pengalaman, Tuhan sudah mati. Heinrich Heine juga berbicara tentang “Tuhan yang sedang
sekarat”. Pemikiran Heine tersebut sangat mempengaruhi Nietzsche. Dan sejak Heine dan
Nietzsche mengungkapkan pemikirannya itulah, ungkapan Kematian Tuhan kemudian
menjadi popular pada masa itu. Dalam bukunya Die fröhliche Wissenschaft 7, Nietzsche
menyatakan gagasan radikalnya sebagai berikut:
Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah
kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci
dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati
di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita?
Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah,
permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari
perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-
tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?
Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125
Dalam teologi pengharapan, eksistensi Allah dan eskatologi memiliki
pengertian yang sangat berbeda dengan pemahaman tradisional. Dimana teologi pengharapan
ini berakar dari pandangan eskatologi Albert Schweitzer pada awal abad 208, dengan
penafsiran yang radikal. Titik berat teologi pengharapan adalah masa depan. Masa kini akan
berarti bila berhubungan dengan peluang adanya pengharapan dimasa depan. Dan
pengharapan Kristen pada masa depan dipenuhkan oleh penggenapan janji Tuhan yang telah
diberikan kepada manusia dalam Kristus. Seperti marxisme, teologi pengharapan berada
diluar teologia tradisional, dengan sebisa mungkin berperan dalam semua aspek kehidupan
dunia, termasuk bidang politik, sosiologi, etik dan biologi. Pemikiran teologi pengharapan
banyak berpengaruh pada pemikiran teolog di dunia ketiga. Tokoh-tokoh dari teologi
pengharapan ini adalah Jurgen Moltmann (Reformed), Wolfhart Pennenberg (Lutheran)
dan Johannes Metz (Katolik Roma)9.
JURGEN MOLTMANN adalah seorang professor teologia sistematika dari
Universitas Tubingen. Teologianya bertumbuh dalam suasana Eropa pasca perang dunia ke
dua. Moltmann sangat dipengaruhi oleh filsafat Ernst Bloch dan dialog Markisme-Kristen
yang diadakan di kampus Tubingen. Hasilnya, ia mampu menghasilkan tiga buah buku
teologi yang sangat berpengaruh, yaitu Theology of Hope (1965), The Crucified God (1974)
dan The Church in the Power of the Holy Spirit (1977).
Premis yang dikemukakan Moltmann: “Kekristenan adalah eskatologi, adalah
pengharapan, memandang ke depan, bergerak ke depan, dan juga merevolusi dan
mentransformasi keadaan sekarang”. Dari premis itulah pandangan Moltmann dapat disarikan
sebagai berikut:
1. Semua teologia Kristen harus berdasar eskhatologi.
Eskatologi disini memiliki pengertian yang berbeda dengan pengertian tradisional. Bagi
Moltmann eskatologi adalah sebagai obyek pengharapan dan juga sumber inspirasi dari
pengharapan itu sendiri. Maksudnya; eskhatologi bukanlah antisipasi tradisional akan
kedatangan Yesus untuk kali yang kedua, tetapi sebagai keterbukaan terhadap masa
depan. Penekanan eskhatologi adalah pada kematian dan kebangkitan Kristus. Tetapi
bukan pada kejadian historis pada masa lalu yang penting, tetapi masa yang akan datang.
Sehingga sintesis atas kematian dan kebangkitan adalah adanya janji dari Tuhan untuk
mengadakan transformasi pada masa yang akan datang.
2. Allah harus tunduk pada proses waktu.
Dalam proses ini, Allah menjadi satu bagian dari waktu yang bergerak maju menuju ke
masa depan. Sehingga Allah tidak mempunyai kendali atas hari esok. Allah beserta segala
mahkluk ciptaan bersama “terperangkap” dalam kubangan waktu yang mengalir liar tanpa
kendali.
3. Pandangan di atas berakibat pada munculnya pemahaman tentang Allah yang terbatas.
a. Allah tunduk pada waktu, bukan berdiri diluar waktu seperti pandangan tradisional
b. Allah tidak menyatakan siapa Dia kini, tetapi siapa Dia yang akan datang
c. Allah hanya hadir dalam janji-janji dan pengharapan
d. Allah akan menjadi Allah bila janji-Nya digenapi
4. Pandangan tentang dosa: dosa berakar dari ketiadaan pengharapan.
Jika iman berdasar pengharapan, hal ini cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa
“dosa ketidak percayaan adalah manifestasi ketiadaan harapan”. Dosa ketiada harapan
dinyatakan dalam dua jalan: anggapan atau keputusasaan. Jika seorang memiliki
pengharapan dari Tuhan tanpa janji-Nya, maka hal itu sebagai permainan dari anggapan.
Tetapi jika seseorang yang mengantisipasi ketidak tergenapan janji-Nya, maka hal itu
adalah permainan keputusasaan.
5. Gereja ikut berpartisipasi dalam misi mesianik Kristus dan dalam misi kreatif Roh Kudus.
Yaitu ketika gereja bertanggung jawab terhadap kebebasan dan rekonsiliasi dunia, untuk
terciptanya kesatuan manusia dengan sesama, manusia dengan alam dan dalam kesatuan
dengan ciptaan Tuhan.
Sedangkan WOLFHART PANNENBERG meletakkan teorinya tentang teologi
pengharapan dimulai dari Kerajaan Allah. Sama dengan Moltmann, Pannenberg melihat
bahwa iman Kristen adalah didalam eskhatologi. Hanya saja dia memulai teologinya dengan
Kerajaan Allah, dimana pemahaman tentang masa depan eskhatologi akan membawa kepada
Tuhan sendiri. Keberadaan Tuhan dan Kerajaan-Nya hadir bersamaan dan tidak bisa dipisah-
pisah. Konsep eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan dengan benar didalam kerajaan-Nya
dimasa depan. Pengalaman kebangkitan Kristus pada masa lalu, hendaknya bukan merupakan
sesesuatu yang muncul pada waktu kini, tetapi sebagai pengharapan dimasa depan. Gereja
hanya dapat dipahami ketika terkait dalam hubungan dengan dunia. Poin utama gereja
haruslah Kerajaan Allah,yang dikerjakan bersama dengan masa depan dunia.
Teologi pengharapan yang dikemukakan oleh JOHANNES B METZ lebih
memberikan penekanan pada perbaikan system politik dan ekonomi dari masyarakat
kontemporer. Gereja sangat diharapkan Metz menjadi satu dengan dunia. Gereja hadir untuk
semua orang, sebab semua orang menjadi subjek didalamnya.
Pandangan eskatologi dari teolog pengharapan telah kehilangan dasar
Alkitabiahnya. Eskatologi Alkitabiah yang berpusat pada kedatangan Kristus untuk kedua
kalinya untuk menyelamatkan umat-Nya telah diganti dengan harapan adanya kesempatan
hidup dimasa mendatang, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tindakan
penyelamatan Kristus. Dengan demikian, teologi pengharapan menyangkali bahwa waktu-
waktu sekarang ini adalah “hari-hari terakir”, yang tidak lama lagi akan berakir. Sejarah
dalam pandangan Kristen sebagai sebuah garis lurus dimana ada awal dan ada juga akhir,
telah dibuat melingkar oleh teologi Pengharapan hingga tiada ujung. Karena sejarah dalam
Kristen adalah berupa garis lurus, bukan merupakan proses kehidupan yang berputar-putar
seperti halnya konsep dalam agama Hindu.
“Demikianlah juga pada akhir zaman: Malaikat-malaikat akan datang
memisahkan orang jahat dari orang benar, 50 lalu mencampakkan orang jahat
ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi.” (Mat
13:49-50)
“Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap
dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam
nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. (2 Ptr
3:10)
“Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu
sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan
pada zaman akhir.” (1Ptr 1:5)
“ …maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan
perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima
segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.” (Ibr. 1:2).
Sedangkan eskatologi teologi pengharapan lebih kepada futurology. Dimana
janji Tuhan pada masa depan akan tergenapi untuk hidup lebih baik. Oleh karena itu,
Kerajaan Allah juga akan mampu dipercepat dengan melalui proses politik dan revolusi,
bukan melalui proklamasi Injil. Hal ini disebabkan karena teologi pengharapan membangun
pada aksioma filsafat bahwa waktu adalah substansi realitas, maka ia harus membangun
kembali konsep Allah (teologia) yang cocok dengan konsep realitas waktu yang sempit itu.
Hal tersebut berimplikasi pengkerdilan sifat Allah yang tak terbatas. Allah yang kekal telah
dikotakkan dalam keterbatasan.
Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? TUHAN ialah Allah kekal yang
menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak
menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya. (Yes 40:28).
Eskatologi dalam Alkitab mengandung nilai praktis yang menuntut orang
untuk senantiasa hidup benar dihadapan Tuhan dan menjaga kesucian sesuai perintah-Nya.
Karena hal kedatangan-Nya untuk kedua kali akan seperti pencuri yang masuk tanpa terlebih
dahulu mengetok pintu sambil menunggu pintu dibukakan. Kedatangan-Nya “seketika” dan
tidak ada yang yang sanggup mencegah-Nya.
“Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan
salehnya kamu harus hidup 12 yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat
kedatangan hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-
unsur dunia akan hancur karena nyalanya. 13 Tetapi sesuai dengan janji-Nya,
kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat
kebenaran. 14 Sebab itu, saudara-saudaraku yang kekasih, sambil menantikan
semuanya ini, kamu harus berusaha, supaya kamu kedapatan tak bercacat dan
tak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia.” (2 Ptr 3:11-14)
“…karena kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang seperti
pencuri pada malam. 3 Apabila mereka mengatakan: Semuanya damai dan
aman maka tiba-tiba mereka ditimpa oleh kebinasaan, seperti seorang
perempuan yang hamil ditimpa oleh sakit bersalin mereka pasti tidak akan
luput.” (1 Tes 5:2-3)
Pandangan teologi pengharapan yang meragukan kebangkitan tubuh Kristus,
berimplikasi pada tidak adanya kuasa yang mampu menyelamatkan seluruh umat manusia
dari kematian dan kebangkitan Kristus. Padahal kematian dan kebangkitan Kristus ini adalah
merupakan jaminan Allah akan adanya kebangkitan yang akan datang. Yaitu suatu fakta
sejarah yang memberi makna pada masa depan bagi orang-orang percaya. Kristus yang sudah
bangkit itu adalah “buah sulung kebangkitan”.
Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang
mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal. Sebab
sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga
kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena sama
seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula
semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.
Tetapi tiap-tiap orang menurut urutannya: Kristus sebagai buah sulung;
sesudah itu mereka yang menjadi milik-Nya pada waktu kedatangan-Nya.
(1 Kor 15:20-23)
Orang-orang itu sangat marah karena mereka mengajar orang banyak dan
memberitakan, bahwa dalam Yesus ada kebangkitan dari antara orang mati.
(Kis 4:2)
Kristus datang kembali ke dunia untuk menerima milik-Nya sendiri dan
bersekutu dengan umat pilihan-Nya sampai selama-lamanya (Yoh 14:3). Ketika itulah kita
akan menerima tubuh baru dan bersama-sama dengan Tuhan semanya (1Kor 15:35-54, 2Kor
5:1-5, 1Tes 4:17). Dan orang-orang yang sudah mati dalam Kristus akan dibangkitkan pada
hari kedatangan-Nya dan orang-orang yang masih hidup akan diubahkan dalam kemuliaan
(1Kor 15:52, 1Tes 4:17).
Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati
semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, 52 dalam sekejap mata, pada
waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang
mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua
akan diubah. (1 Kor 15:51-52)
Teologi pengharapan memiliki beberapa pelanggaran prinsip-prinsip
hermeneutic dan dibangun diatas pra-anggapan naturalisme. Kesalahan tersebut terutama
dalam menafsirkan tentang makna kematian dan kebangkitan Kristus, yang juga akan
berimplikasi pada konsep tentang dosa.
Pengajaran yang dibangun diatas filsafat naturalism Moltmann itu
berimplikasi juga pada penyelewengan pengajaran tentang eskatologi. Sehingga pengharapan
eskatologis teologi pengharapan sama sekali tidak mempunyai dasar untuk berharap. Kristus
bukanlah dasar untuk berharap bagi teologi pengharapan dan Allah bagi mereka bukanlah
Yang Maha Kuasa. Hal ini merupakan bentuk ketidak percayaan yang bersumber dari cinta
pada diri sendiri, bukannya cinta kepada Allah. Ketidak percayaan yang mencoba untuk
berlindung dibawah pengharapan Kristen, tetapi sekaligus menyangkali kebenaran dari
kepercayaan Kristen tersebut.
Dengan demikian pengajaran teologia pengharapan harus ditolak dan tidak
layak dianggap sebagai teologi yang berdasar kepada penyataan Allah dalam Alkitab.