teologi 4




 Leonardo Boff adalah salah satu pelopor teologi pembebasan Amerika Latin berkebangsaan Brasil. Oleh sebab terbitannya yang berjudul The Church: Charism and Power (1985), Boff terkena sanksi Kongregasi Doktrin Iman Vatikan di bawah komando Kardinal Joseph Ratzinger. Dalam buku ini, Boff mengritik keras hirarki Gereja Katolik, dan menawarkan pandangan gereja yang lebih egaliter meski masih berpusatkan pada sakramen gerejawi, khususnya Ekaristi. Jeannine Hill Fletcher adalah seorang teolog feminis dari Amerika Serikat yang mendedikasikan risetnya dalam teologi konstruktif dan pluralisme agama. Dilahirkan sebagai seorang perempuan kulit putih Katolik, Hill Fletcher menerjunkan diri ke area yang kerap dipandang tabu: masalah rasisme dan supremasi kulit putih. Dua penulis berikutnya berasal dari dua benua yang berlainan. Mitri Raheb adalah seorang teolog Lutheran berkebangsaan Palestina. Beberapa tahun terakhir ini Raheb membaktikan tulisan-tulisannya untuk mengungkap supremasi Israel dan pembebasan bangsa Palestina, sedangkan Suzanne Watts Henderson adalah seorang pendeta dan dosen, berasal dari Amerika Serikat dan dari tradisi Christian Church (Disciples of Christ).  Apa yang menjadi tema yang mengikat ketiga buku ini? Suara pembebasan global. Para penulis buku ini tidak dapat dikatakan sebagai kaum marginal, karena mereka memiliki privilese-privilese seperti: berprofesi sebagai profesor dan berpendidikan tinggi. Akan tetapi, para penulis ini berupaya menemukan kembali suara pembebasan Kristiani yang berpusatkan pada berita Injil Yesus. Dengan menyandingkan St. Fransiskus dari Asisi dengan Paus Fransiskus, hati Boff melembak kegirangan karena melihat Yesus yang miskin dan yang mewartakan kabar baik pertama-tama kepada kaum miskin terefleksikan dalam kedua Fransiskus. Hill Fletcher percaya bahwa berita Kristus yang tersalib bersama dengan kaum yang tersingkir oleh segregasi rasial adalah sumber berita damai bagi dunia yang berbeban berat. Demikian juga Raheb dan Henderson, keduanya melihat bahwa janji
pemulihan Allah, yang mereka sebut sebagai “sejarah keselamatan” (salvation history) hanya dapat ditemukan dalam Allah yang tersalib yang berbagi derita dengan bangsa Palestina. Tampak sentral di ketiganya yaitu isu Kristologis dan antropologis. Kaum miskin dan orang yang teraniaya menjadi subjek utama sejarah, dan Allah berkarya bagi mereka. Boff, yang sempat menyebut Kardinal Ratzinger sebagai “teroris religius” dan mengritik tajam hirarki serta skandal Gereja Katolik, kini dengan terpilihnya Kardinal Bergoglio dari Argentina, terkesima dengan sosok Fransiskus yang salah satu ucapan pertamanya adalah ingin menjadikan sebuah “gereja papa bagi kaum papa.” St. Fransiskus pada waktu hidupnya tidak pernah membuat gereja, namun membangun sebuah komunitas dina Fransiskan yang hidup seperti dan bersama kaum papa. Bagi Fransiskus, miskin bukan berarti tak berharta, tetapi memberi lebih dan lebih lagi, sampai seseorang memberikan segalanya. Visi Fransiskan yang Boff yakini hidup dalam diri Paus Fransiskus adalah bukan menjadi gereja administratif-birokratis, tetapi menjadi gembala bagi orang-orang miskin, yang memberi makan dan merawat mereka dengan cinta-kasih. Menurut Boff, gereja sekarang tidak mungkin dapat menjadi gereja mirip kaum miskin, tetapi gereja dapat menjadi gereja bagi dan bersama kaum miskin. Sebagai teolog berlatar Fransiskan, Boff percaya bahwa dunia dapat diselamatkan melalui sosok dina-papa Yesus dari Nazaret. Bahkan, bukan hanya dunia, sosok ini pula yang akan menyelamatkan gereja dari penyimpangan dan beban sejarah kelam.  Namun, beban masa lampau seperti ini tidak hanya merupakan bagian gereja. Hill Fletcher menyebut dengan keras Amerika Serikat sebagai sebuah “bangsa Kristen Kulit Putih.” Teologi turut memainkan perannya sebagai pelegitimasi supremasi kulit putih. Misalnya, Amerika disebut sebagai pemenuhan nubuat kitab suci. Teologi masuknya bangsa Israel dan pemeliharaan Allah dipakai untuk melihat orang-orang yang telah ada di tanah itu sebagai manusia yang lebih rendah daripada orang-orang Kristen Eropa. Teologi juga melegitimasi pandangan bahwa orang-orang Kristen lebih tinggi daripada bangsa Sarasen (Islam), kafir, para musuh Kristus, dan orang-orang kulit hitam. Kala itu, dipandang tepat jika orang-orang ini dibawa kepada Kristus dengan cara dijadikan budak orang Kristen kulit putih. Ringkasnya, teologi yang mengiringi berdirinya Amerika Serikat yaitu bahwa Allah kaum Kristen memiliki rencana keselamatan untuk semua orang. Keselamatan ini tersedia hanya bagi orang-orang Kristen; sementara non-Kristen menjadi target penghukuman Tuhan. Dengan blak-blakan, Hill Fletcher menyatakan bahwa orang-orang Kristenlah yang menciptakan kondisi supremasi kulit putih di Amerika Serikat.  Kristus, bagi Hill Fletcher, adalah Allah yang menjadi manusia dan tersalib. Allah tidak tinggal di negeri antah-berantah tetapi menyatakan kepeduliaan-Nya dengan cara mendekat kepada ciptaan-Nya. Cara mendekat Allah di dalam pribadi Kristus ini nyata dalam keberpihakan-Nya pada para korban, dan menanggung kematian di bawah keputusan legal negara. Jadi, Kristus mati dalam sebuah sistem yang mematikan. Kendati salib dalam sejarah iman Kristen dapat ditafsirkan dengan berbagai cara dan 
membuahkan beragam makna, namun di dalam Kristus yang tubuh-Nya tercabik-cabik dan darah-Nya tertumpah oleh karena dosa struktural, Allah hendak tinggal bersama mereka yang tersiksa. Allah mengubah kematian menjadi kehidupan. Kontribusi Hill Fletcher dalam Kristologi adalah ghostly grace. Mendulang pemikiran mistikus abad ketiga belas Mechtild dari Hackeborn tentang kehadiran Kristus yang menghantui, Hill Fletcher melihat bahwa Kristus yang teraniaya ini kembali hadir dan menghantui mereka yang hidup. Bersama Ignacio Ellacuría, Hill Fletcher memandang bahwa narasi Kristiani tidak berhenti pada kematian Yesus di atas salib, tetapi Yesus yang menyatakan diri-Nya kepada para pengikut-Nya, Kristus yang menunjukkan bekas luka di tangan, kaki, dan lambung-Nya. Maka, hantu-hantu dari para korban yang sekarang menghantui dapat dilihat sebagai kehadiran Kristus di antara para pengikut-Nya. Melintas kini ke Timur Tengah, tanah Palestina adalah situs penuh konflik, konflik yang hingga saat ini belum tiba ke resolusi. Kolaborasi Raheb dan Henderson melahirkan permenungan Kristologis di tengah-tengah erangan bangsa Palestina. Kedua penulis seperti membagi tugas, Henderson merampungkan kajian biblis dalam lensa anti-imperialisme, sedangkan Raheb menyuguhkan pembacaan kontekstual bagaimana membaca narasi Injil dalam bingkai penderitaan bangsanya. Paparan Raheb tampaknya lebih menarik karena menampilkan cara baca kitab suci yang unik.    Raheb ingin membaca kondisi bangsanya bersama dengan umat Israel di Perjanjian Lama. Palestina adalah tanah yang di atasnya tumpah darahnya selalu mengaduh dan mengeluh, “Wenak, ya Allah?” Di mana Engkau, ya Allah? Berapa lama lagi, ya Allah? Upaya-upaya resolusi perdamaian PBB tampak terbang bersama angin. Bangsa Palestina terus menghadapi ancaman agresi dan agitasi. Apa artinya salib dan derita Kristus di tengah kondisi yang demikian? Yang menarik, ternyata derita dan wafat Kristus tidak hanya direnungkan oleh orang-orang Kristen; kaum Muslim pun turut mengambil bagian dalam merenungkan derita Kristus.  Suatu kali di tahun 2002, pasca-agresi Israel pada April tahun tersebut, dengan bantuan koleganya Faten, Raheb mengadakan sayembara pameran lukisan bertajuk Kristus bagi bangsa Palestina. Dari sekian lukisan yang terkumpul, 60%-nya adalah dari seniman Muslim, dan hampir semua pelukis Muslim tersebut (kecuali satu orang) melukis Kristus yang tersalib. Sebaliknya, sisanya 40% dari kalangan seniman Kristen, hanya satu orang yang melukis tentang Kristus yang tersalib. Bagi Raheb, fenomena ini berbicara sangat dalam.  Dalam teologi Islam, tidak dikenal Yesus mati disalibkan. Lalu, mengapa para seniman Muslim ini merefleksi sosok Yesus yang tersalib sebagai tema lukisan mereka? Raheb melihat imajinasi para seniman Muslim ini terpikat oleh sosok Yesus yang benar-benar manusia, yang turut mengambil duka dan sengsara manusia: di dalam luka dan deritanya, ia mengenal dengan sungguh-sungguh luka dan derita umat manusia. Dalam sosok manusia yang lemah dan tersalib itu, para seniman ini merasakan 
penghiburan yang besar. Namun, bagi Raheb, mereka tidak mampu melihat “kuasa dari Kristus yang tak-berkuasa” di atas salib itu.  Selain ini, Raheb juga menemukan tema salib bertebaran dalam karya-karya sastrawan ulung Muslim Palestina Mahmoud Darwish (m. 2008). Raheb bahkan menyebut Darwish sebagai salah seorang teolog kontekstual paling brilian. Hidup dan karya Darwish dapat dibagi ke dalam empat fase, namun dalam semua fase ini seorang pembaca akan melihat tema salib sebagai “ekspresi terbaik tentang identitas bangsanya.” Bagi Darwish muda, salib adalah simbol kemartiran dan kematian bagi rakyat Palestina; dan di masa tuanya, Darwish mulai melihat kemartiran sebagai panggilan untuk berani hidup layaknya seorang martir. Sepanjang hidupnya, Darwish sendiri selalu berada dalam bayang-bayang maut; namun, sebagai seorang Muslim, ia mampu melintaskan teologinya dan menyelam ke dalam narasi Kristiani: menemukan Yesus yang tersalib dan penuh keberanian hidup dalam kuasa salib. Bagi Raheb, Darwish telah menyeberangkan berita derita salib kepada kebangkitan: Dalam ancaman teror, ia berani hidup untuk orang lain. Palestina juga situs ambiguitas. Allah tampak berdiam diri terhadap derita bangsa Palestina. Tembok yang memisahkan wilayah Israel dan Palestina berdiri tinggi, dan para pengunjung dan pelancong yang menangkap adanya segregasi dan diskriminasi di tempat ini kerap hati mereka menjadi luluh. Akan tetapi, tak lama kemudian, ketika mereka melanjutkan tur, mereka akan segera melihat pemandangan anak-anak Palestina berjoget dalam riang. Para gadis muda Palestina, Kristen maupun Muslim, bermain sepak bola dalam semangat dan canda. Orang-orang yang lebih tua menuliskan kisah-kisah mereka untuk diwariskan kepada generasi muda. Raheb merenungkan hal ini sebagai karya Allah yang misterius, karya ilahi di tempat-tempat yang tak terduga. Inti penyataan salib yaitu bahwa tidak adanya satu tempat pun dalam sejarah dunia yang tidak dapat dipakai sebagai situs penyataan Allah. Allah tetap berada di sana kendati tak seorang pun yang mengharapkan-Nya, Allah tetap hadir kendati tak seorang pun memedulikannya, dan Ia tetap hadir kendati pun pengharapan tampak sirna. Dari ketiga buku ini, pembaca akan menemukan bahwa karya Boff adalah yang paling mudah dibaca. Buku setebal 160 hlm. ini dibagi dalam 39 bab, dan tiap bab seperti renungan harian. Sementara, yang paling berat adalah Hill Fletcher. Pembaca diajak melintasi sejarah agama dan teologi di Amerika Serikat, tetapi juga melewati diskusi metodologis (via Francis Schüssler Fiorenza dan Mark Lewis Taylor). Raheb dan Henderson berada di antaranya. Meskipun Henderson lebih banyak membicarakan kajian biblis kontemporer, yaitu pembacaan anti-imperialisme, pembaca tidak akan dibiarkan terhilang dalam rimba diskusi teknis teologis. Namun, di sini juga tantangan Raheb dan Henderson. Berhasilkah mereka menyuguhkan buku ini sebagai dialog dua penulis berbeda latar belakang? Adakah perspektif yang unik bila dibandingkan buku Raheb terdahulu, Faith in the Face of Empire: The Bible through Palestinian Eyes (2014)? Saya merasa isi buku Faith lebih integral ketimbang cara penyajian di buku ini, yang di dalamnya kedua penulis menyajikan perspektif masing-masing secara 
selang-seling. Akhirnya, pembaca tidak digiring kepada kesimpulan bahwa keduanya sedang berdialog. Catatan yang perlu diperhatikan bagi pembaca buku Hill Fletcher yaitu bahwa buku ini adalah karya seorang teolog kulit putih. Bukan berarti teolog kulit putih tidak boleh menulis tentang diskriminasi rasial di Amerika Serikat. Secara tepat Hill Fletcher memakai judul “dosa supremasi kulit putih.” Di sini, tidak saja ia membedah kenyamanan dan hak istimewa golongan kulit putih, tetapi juga, sebagai seorang teolog, ia membongkar teologi yang melandasi perilaku rasisme di negaranya. Tetapi, adakah hal yang terluput dari seorang penulis putih seperti dia? Tentu ada, yaitu keengganan untuk berbicara dari pengalaman pribadi dan lokasi sosialnya. Kecenderungan penulis kulit putih adalah menuliskan hal-hal yang normatif (seperti Henderson juga) dan tidak berbicara mengenai keterlibatan pribadi atau komunitasnya dalam dosa struktural. Hal lain yang terlupakan oleh Hill Fletcher yaitu bahwa teolog feminis konstruktif Shelly Rambo telah mengakomodasi gagasan “hantu” dan “menghantui” dalam karya-karyanya, dengan meminjam pemikiran sosiolog Avery Gordon. Hill Fletcher tampaknya tidak tahu menahu mengenai kajian ini.  Salah satu isu yang tidak dibahas di buku Boff adalah fakta bahwa St. Fransiskus adalah penganjur Perang Salib dan berupaya keras untuk mempertobatkan Sultan Malik Al-Kamil. Bila disandingkan dengan Paus Fransiskus, bagaimana kira-kira refleksi Sri Paus terhadap sikap prokekerasan dan konversionis dari sang patron?  Namun demikian, ketiga buku ini sangat inspiratif. Meskipun buku Boff tampak sederhana dan reflektif, namun tampak gaya Boff yang memiliki cakrawala teologi yang luas. Setiap pembaca, baik yang berprofesi sebagai teolog maupun praktisi teologi, akan mendapat banyak masukan baru untuk khotbah, pengajaran, ataupun devosi pribadi. Setiap pembaca pada akhirnya diarahkan untuk menjawab pertanyaan ini: Untuk siapakah sesungguhnya teologi digarap dan didiskusikan?