teologi 3





Peristiwa Pencerahan (Aufklarung atau Enlightement) di Eropa pada abad
ke-18. Pada peristiwa ini  terjadi perubahan dramatis dalam kebu-
dayaan Eropa. Di Eropa orang makin percaya pada terang akal dan
daya pikir. Akal dipandang sebagai terang yang membimbing manusia.
Semua tradisi dalam berbagai bidang kehidupan (termasuk politik dan
ilmu pengetahuan) diteliti secara kritis dalam terang akal budi.
Pencerahan ini di samping mempengaruhi politik, ilmu pengetahuan,
dan pendidikan, juga mempengaruhi gereja. Semua tuntutan terhadap
kekuasaan dikaji dan diteliti dalam terang akal budi. Apa yang sebelum-
nya diterima sebagai hukum ilahi mulai dipertanyakan. Makin banyak
bidang kehidupan yang tidak lagi dikuasai oleh gereja atau didominasi
ajaran agama (proses sekularisasi). Ilmu teologi pun dipengaruhi oleh
paradigma ini.
Kondisi itu menjadikan menarik dikaji oleh penulis. Menurut
penulusuran penulis bahwa perubahan pemikiran teologi Kristen
Pemikiran teologi Kristen modern di Eropa berkaitan erat dengan
perkembangan aliran filsafat, ilmu pengetahuan, teknologi, sosial,
politik, dan seni-budaya yang ada di Eropa pada era modern.
Pemikiran teologi Friederich Schliermacher, Adolf von Harnack, dan
Rudolf Bultmann bercorak liberal. Mereka berusaha menafsirkan Injil
dari perspektif filsafat, science dan teknologi, sosial, politik, seni dan
budaya yang ada pada era modern. Pemikiran teologi Karl Barth
bercorak neo-ortodoks. Ia mengabaikan semua penafsiran yang
dilakukan oleh para teolog liberal. Ia memandang Injil sebagai sesuatu
yang unik yang tidak bisa ditafsirkan model teolog liberal.

Timbulnya pemikiran teologi
modern di Kristen analogi dengan
perkembangan pemikiran modern dalam
Islam. Masing-masing punya latar
belakang atau konteks yang mendasari
pemikirannya. Misalnya di Islam ada latar
belakang perjumpaan dengan budaya
Barat dan situasi intern yang ada pada
umat Islam di negara atau daerahnya
masing-masing. Di kalangan Kristenpun
demikian, pemikiran modernnya ber-
kaitan dengan situasi atau konteks yang
terjadi di negara atau daerahnya masing-
masing. Pemikiran modernnya masing-
masing merupakan jawaban terhadap
masalah yang timbul di negara atau
daerahnya berkaitan dengan perjumpaan
dengan budaya atau situasi intern
umatnya.
Timbulnya pemikiran teologi
Kristen modern di Eropa tidak lepas dari
situasi yang terjadi di Eropa. Situasi
ini  antara lain peristiwa Pencerahan
(Aufklarung atau Enlightement) di
Eropa pada abad ke-18. Pada peristiwa
ini  terjadi perubahan dramatis
dalam kebudayaan Eropa. Di Eropa
orang makin percaya pada terang akal
dan daya pikir. Akal dipandang sebagai
terang yang membimbing manusia.
Semua tradisi dalam berbagai bidang
kehidupan (termasuk politik dan ilmu
pengetahuan) diteliti secara kritis dalam
terang akal budi.
Pencerahan ini di samping mem-
pengaruhi politik, ilmu pengetahuan, dan
pendidikan, juga mempengaruhi gereja.
Semua tuntutan terhadap kekuasaan
dikaji dan diteliti dalam terang akal budi.
Apa yang sebelumnya diterima sebagai
hukum ilahi mulai dipertanyakan. Makin
banyak bidang kehidupan yang tidak lagi
dikuasai oleh gereja atau didominasi
ajaran agama (proses sekularisasi). Ilmu
teologi pun dipengaruhi oleh paradigma
ini. Dogma-dogma gereja mulai diperiksa
secara kritis.
Pada masa Reformasi, tradisi
gerejawi akan ditolak jika tidak sesuai
dengan Alkitab, sedang pada masa
Pencerahan, Alkitablah yang dikaji
secara kritis terlepas dari ajaran gere-
jawi. Kalau pada abad ke-16 tradisi-
tradisi Kristen menekankan perbedaan
antara satu dengan yang lain, sedang pada
abad ke-17 dan seterusnya terutama
bagaimana mempertahankan teologi dan
iman Kristen umumnya di tengah ke-
cenderungan ilmu pengetahuan yang
hanya mengakui otonomi akal. Banyak
ahli yang menganut prinsip-prinsip
pencerahan menentang kekuasaan gereja
dan iman Kristen berdasar  wahyu
ilahi. Oleh sebab itu dapat dimengerti jika
banyak teolog yang menentang sikap dan
pandangan ini . Meskipun demikian,
dapat diakui bahwa periode Pencerahan
sangat mempengaruhi metode ilmu
teologi hingga kini. Di samping itu
penelitian ilmiah obyektif juga makin
mempengaruhi dalam studi teologi.
Namun metode dan pendekatan ini
berkembang dalam konteks kebudayaan
tertentu.
Ada suatu kenyataan yang tidak
dapat dielakkan, bahwa dalam beberapa
fakultas teologi terjadi pergumulan hebat
di sekitar pendekatan Pencerahan.
Banyak pihak tidak menyetujui pen-
dekatan ini  dan bertanya: apakah
iman bersifat rasional belaka? Jika tidak,
bagaimana hal ini dapat dijelaskan?.1
Di samping Pencerahan, ada hal
lain yang mempengaruhi teologi modern
Eropa, yaitu peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada abad ke-20. Beberapa
peristiwa ini  antara lain pecahnya
Perang Dunia Pertama pada tahun 1914.
Perang Dunia Pertama merupakan
pengalaman kolektif bagi manusia Eropa
dan Amerika bahwa zaman baru sung-
guh-sungguh telah mulai. Mereka ke-
hilangan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
sebelumnya. Kebenaran yang dianggap
kebenaran yang tertinggi selama ber-
abad-abad hancur dengan tiba-tiba.
Di samping pengalaman pahit,
abad ke-20 juga memperlihatkan be-
berapa perkembangan yang sangat
dahsyat dan luas, yang tidak ada
bandingannya dalam seluruh sejarah umat
manusia. Hal yang sangat menonjol
yaitu  perkembangan di bidang teknik.
Perkembangan dari kapal terbang
sampai pesawat ruang angkasa; dari
kereta kuda sampai mobil-mobil paling
mewah; perkembangan komunikasi
sampai kepada transistor dan TV.
Demikian juga perkembangan dalam
bidang ilmu pengetahuan. Hampir setiap
bidang ilmu berkembang dengan dahsyat
bila dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya. Misalnya dalam bidang ilmu
kedokteran, ilmu alam, ilmu hayat,
sosiologi, dan seterusnya.
Pada abad ke-20 juga ada per-
tambahan jumlah penduduk yang sangat
besar, kemerdekaan bangsa-bangsa
baru atau dengan kata lain akhir dari
kolonialisme dan imperialsme abad-abad
sebelumnya. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa pada abad ke-20 ini
memperlihatkan beberapa perkembang-
an yang sangat besar sehingga meng-
goncangkan struktur, bukan hanya dari
salah satu bangsa atau benua tetapi
struktur seluruh dunia. Tidak mengheran-
kan bahwa beberapa perkembangan
ini  ikut juga mempengaruhi pe-
mikiran-pemikiran teologi.2
Para Teolog Kristen Modern di
Eropa.
Ada beberapa teolog Kristen
modern di Eropa yang mengungkapkan
pemikiran- pemikiran teologisnya.
Mereka berusaha menjawab tantangan
zaman dengan mengaitkannya pada Injil.
Secara praktis mereka ingin meng-
ungkapkan iman Kristennya dalam
konteks zaman modern di Eropa. Tidak
semua pemikir teologi Kristen di Eropa
dibahas di sini. Hanya beberapa teolog
saja yang dibahas di sini yaitu Friederich
Schliermacher, Adolfvon Harnack,
Rudolf Bultmann, dan Karl Bath.
1. Friederich Schliermacher (1768-
1834)
a. Riwayat Hidup
Friederich Schliermacher lahir di
Breslau, di selatan Polandia. Ayahnya
seorang pendeta Reformed-calvinisme
di Prassian Army (North Germany) yang
sangat dipengaruhi Pietisme dari kaum
Moravian.
Schliermacher memiliki  per-
jalanan iman yang unik. Ia mengalami
depresi setelah meninggalkan kelompok
Moravian dan dipengaruhi oleh pemi-
kiran Immanuel Kant (ia bertemu dengan
Kant pada tahun 1791 di Koningberg)
yang menekankan bahwa “man’s god is
simply to fulfil his moral duty here and
now without reference either to God or
a here-after.” Selanjutnya imannya hidup
lagi karena pengaruh temannya yang
saleh, Count Dohna, yang mengajar
privat anaknya. Tetapi ia meninggalkan
pengalaman imannya yang indah ini 
dan kembali terpengaruh oleh Kant dan
Spinoza, selanjutnya karena pengaruh
mereka Schlier-macher mengembangkan
Phantheisme sepanjang sisa hidupnya.
Ia dua kali mengambil ujian untuk
menjadi pendeta Gereja Reformed dan
selanjutnya melayani di Berlin.
Schliermacher begitu terkenal
pada zamannya. Ia menjadi Dekan
pertama di Universitas Berlin dan men-
jadi dosen Etika, Ekesgese Perjanjian
Baru, Dogmatika dan Filsafat. Ia meni-
kah dengan janda yang bernama Von
Willlich. Kemati-an anak laki-laki satu-
satunya menimbulkan kesedihan yang
sangat mendalam dalam hidupnya.
Ia menulis buku Reden Uber die
religion und die Gebeldeten unter
ibren Verachteren. Buku ini  terbit
pada tahun 1799. Pada cetakan pertama
ia belum berani mencantumkan namanya
dan masih memakai nama samaran.
Buku ini sangat laku, sampai dicetak tiga
kali (tahun 1805, 1821, dan 1831)
semasa ia hidup, dan tetap diterbitkan
sampai abad ke-20 baik dalam bahasa
aslinya maupun terjemahannya. Ia pun
menulis buku yang lebih tebal dan lebih
sistematis yang bejudul Dar Christliche
Galeube atau Akidah Kristen, terbit
pada tahun 1821.
b. Pemikiran Teologinya
1) Doktrin tentang Allah
Pemikiran teologi Schliermacher
didasarkan pada persangkaan bahwa
antara manusia dengan Allah ada jurang
pemisah yang tidak mungkin dijembatani
oleh manusia. Manusia yang pem-
bawaannya tidak berbeda dengan
binatang tidak mungkin bisa memiliki 
pengetahuan (knowledge) mengenai hal-
hal yang supranatural. Ia juga percaya
bahwa Allah tidak mungkin menjadi Allah
yang dikenal manusia bila Allah menya-
takan diri-Nya melalui hal-hal yang
supranatural, misalnya melalui miracles
(keajaiban-keajaiban).
Schliermacher percaya bahwa
Allah tidak mungkin dapat dikenal oleh
manusia bila kehadiran dan penyataan
diri-Nya berada di seberang daya
kemampuan pemahaman dan persepsi
manusia. Pemikiran ini tampaknya ingin
melepaskan sama sekali iman Kristen
mengenai supra-natural God yang
disaksikan Alkitab. Baginya realitas
adanya pengetahuan tentang Allah dalam
diri manusia terjadi karena knowledge
of God itu sendiri menyatu di dalam
perkembangan pengetahuan dan penga-
laman manusia dengan dunia di luar
dirinya. Dengan pemikiran seperti itu ia
akhirnya sampai pada konsep Allah yang
pantheistik.
Menurut Schliermacher penga-
laman dengan Allah selalu ditandai
dengan munculnya perasaan kehangatan
kasih spontanitas atau tidak dibuat-buat
dan keterlibatan pribadi secara penuh.
Bagaimana mungkin hal itu dapat dialami
manusia? Schliermacher menyatakan
bahwa pengalaman agama hanya dapat
dialami bila manusia mengasihi se-
samanya. Pada saat orang Kristen benar-
benar mengasihi sesama manusia, orang
Kristen akan merasa bahagia dan saat-
saat seperti ini tidak lain yaitu  mo-
ments of enco-untering with God yang
kalau disadari akan memberikan feeling
of absolute dependency atau perasaan
ketergantungan mutlak kepada Allah.
Dalam hal ini ia menyatakan
bahwa untuk menerima kehidupan dunia
Spirit di dalam dirinya sendiri dan dengan
demikian menjadi beragama, seseorang
pertama harus mengerti kemanusiaan,
dan ini hanya dapat dia lakukan di dalam
cinta dan melalui cinta. Inilah mengapa
antara kemanusiaan dan agama sangat
dekat kaitannya. Kerinduan untuk cinta,
sungguh-sungguh memenuhi dan ber-
ulang, membawa seseorang tak terelak-
kan menjadi beragama.5 Selanjutnya ia
mengatakan bahwa Allah dapat dikenal
manusia melalui perenungan atau kon-
templasi.6
2) Doktrin tentang Gereja dan Kristus
Gereja bagi Schliermacher hanya-
lah merupakan wujud dari salah satu
agama yang memiliki  keunikan ter-
sendiri, sama seperti agama-agama lain
di dunia ini. Keunikan Gereja terletak
dalam semangatnya mendemonstrasikan
persekutuan dan kesatuan antar anggota-
nya secara murni. Suatu manifestasi yang
hanya terjadi karena gereja merupakan
bagian dari agama yang positif (benar).
Menurut Schliermacher ada dua
macam agama. Pertama, agama yang
positif (benar) seperti agama Yahudi dan
agama Kristen. Kedua, agama yang
negatif (palsu). Agama yang benar
menurut Schliermacher yaitu  agama
yang menerima bentuknya (identitasnya,
tradisinya, hukum-hukumnya, dsb.)
hanya dari inti agama yaitu Allah bagai-
mana secara essensial dan manusia dapat
bersekutu. Segala sesuatu yang ada
dalam agama ini  haruslah merupa-
kan ekspresi dari the essensial nature
of Divine-human lations ini .
Pandangan Schleiermacher ten-
tang Kristus yaitu  sebagai berikut.
Kristus aslinya yaitu  manusia dan
seperti semua manusia dalam kebaikan
kemanusiaannya, tetapi kemanusiaannya
sama sekali super dalam memiliki
kesadaran yang jelas terhadap Tuhan.8
Kristus berbeda dengan manusia lainnya
karena manusia biasa aslinya sem-purna
sekaligus penuh dosa. Dengan ke-
sempurnaannya manusia memahami
kecenderungan asli dan kecenderungan
yang masih universal terhadap kesadaran
terhadap Tuhan, dan kemampuan untuk
menkomunikasikan kesadaran ini 
dalam persahabatan dengan manusia lain.
Dengan penuh dosanya manusia, dia
memahami ketidakmampuannya yang
natural untuk kebaikan yang timbul dari
eksistensi daging manusia, dan penga-
laman dari kenyataan bahwa daging
ini  merupakan realitas yang sangat
kuat lama sebelum kesanggupan ke-
sadaran spiritual manusia berkembang.
Kondisi dosa asal manusia menjadikan
kesadaran manusia terhadap Tuhan
dimanapun rusak, dan kehidupan spiritual
manusia cenderung didominasi oleh
daging. Kondisi manusia yang seperti
inilah yang perlu penebusan Kristus.9
Kristus bebas dari segala sesuatu
yang timbul dari dosa di dalam dirinya.
Berhubung dengan terbebasnya dari dosa
warisan kesadaran Kristus terhadap
Tuhan berkembang sejak masa kanak-
kanak dan tidak terganggu untuk menge-
tahui Tuhan.
3) Pandangannya tentang Yesus.
Schliermacher dalam bukunya
Reden Uber die Religion and die
Gebeldeten unter ibren Verachtern
menyatakan bahwa di dalam agama tentu
ditemukan guru dan murid. Akan tetapi
para murid tidak terikat kepada gurunya
dengan ikatan yang buta saja. Bukan
gurunya yang yang mengambil muridnya,
tetapi seseorang baru dapat menjadi
guru, karena dia dipilih oleh muridnya.
Pernyataan ini memang dapat me-
nimbulkan kesan, seakan-akan ber-
tentangan dengan Injil Yoh. 15, 15 di
mana Yesus menyatakan bahwa “Bukan
kalian yang memilih saya. Sayalah yang
memilih kalian.” Tetapi setelah itu para
murid menyatakan bahwa mereka
bersedia mengikuti Yesus, sehingga
mereka juga membuktikan bahwa
mereka mengambil Yesus sebagai guru-
nya. Apalagi Yesus bertanya kepada
mereka, apakah mereka juga kecewa
terhadapnya, sebagaimana beberapa
murid lain dikemudian hari pergi begitu
saja. Tetapi mereka tetap mengakui
Yesus sebagai guru. Dengan demikian
jelaslah bahwa ketaatan mereka meru-
pakan tingkah laku yang diambil dengan
bebas dan sadar.
Adapun di dalam bukunya Dar
Christliche Gleube (Akidah Kristen)
ajaran tentang Yesus dikemukakan
secara lebih mendalam dan sistematis.
Menurut Schliermacher istilah Yesus
digunakan untuk menunjukkan manusia
yang pernah hidup di bumi ini, sedang
istilah Kristus digunakan untuk menun-
jukkan Yesus yang sudah “diisi”, yang
sudah secara menyeluruh dipenuhi oleh
Ketuhanan. Hanya istilah yang kedua ini
yang penting untuk kesadaran beriman
dan yang akan dibicarakan. Schlier-
macher kadang-kadang memberikan
gelar Anak Allah kepada Kristus, seba-
gaimana Injil Yohannes juga memberikan
gelar kepadanya Anak Allah. Tetapi
menurutnya Anak Allah tidak merupakan
wujud yang secara abadi sudah berada
di pihak Tuhan. Kristus sebagai Anak
Allah baru muncul pada saat manusia
yang hidup pada suatu saat tertentu itu
(Yesus) dipenuhi oleh Ketuhanan.
berdasar  pemaparan di atas
tampaklah bahwa Scliermacher lebih
memusatkan pembahasan teologinya
pada bidang Teologi Dogma, yaitu
menguraikan ajaran-ajaran pokok dalam
iman Kristen, khususnya di cabang
Kristologi, yaitu tentang siapa Allah dan
siapa Yesus Kristus, dan cabang Ekle-
siologi, yaitu tentang Gereja.
Scliermacher membahas masalah
doktrin tentang Allah, Gereja dan
Kristus, dan Yesus. Konteks yang
dihadapi Schliermacher yaitu  para
cendekiawan yang tidak percaya pada
ajaran-ajaran Kristen. Jawaban-jawaban
teologisnya pada para cendekiawan
ini  banyak dipengaruhi oleh
Immanuel Kant dan Spinoza, meskipun
ia berlatar belakang Pietisme dan
Moravian.
2. Adolf von Harnack (1851-1930)
a. Riwayat Hidup
Adolf Harnack lahir di Dorpat
(kini Estonia) pada tahun 1851. Ia anak
seorang professor teologi Jerman. Ia
mengikuti jejak ayahnya dan menjadi
professor di Leipzig (1876), Giessen
(1879), Marburg (1886) dan akhirnya
di Berlin (1888-1921). Tetapi ia tidak
lagi didukung oleh penguasa gereja
karena pandangannya yang liberal dan
mereka berusaha menghalang-halangi
penempatannya di Berlin. Tetapi ia
disenangi oleh pemerintah sehingga pada
tahun 1914 Kaisar Wilhelm II meng-
angkatnya menjadi bangsawan Adolf
von Harnack.
Adolf von Harnack terutama ahli
di bidang sejarah dogma. Karya ung-
gulannya yaitu  Sejarah Dogma, terdiri
dari tiga jilid (1886-1889). Di dalam
karyanya ia menulis sampai sesudah
Luther, tetapi ia mengkhususkan diri
pada gereja purba. Ia merupakan pakar
terkemuka pada zamannya mengenai
Bapa-bapa gereja purba. Bersama
dengan Ritschl ia berpendapat bahwa
Injil telah dirusak karena pengaruh filsafat
Yunani yang asing itu. Ia mencoba
menelusuri proses “pe-Yunani-an” atau
“helenisasi” ini. Agama sederhana yang
dianut oleh Yesus telah diubah, khususnya
oleh Paulus, menjadi agama mengenai
Yesus. Hal ini pada gilirannya diubah
menjadi dogma penjelmaan Allah Anak.
Adolf von Harnack menyatakan
pandangan-pandangannya dalam be-
berapa ceramahnya yang diberikan pada
musim dingin tahun 1899/1900. Seorang
dari para hadirin membuat catatan
steno dari ceramah-cerahmnya ini 
yang kemudian diterbitkan dengan judul
Apakah Agama Kristen itu ? Harnack
mencoba menjawab pertanyaan ini
bukan sebagai pembela atau filsuf, tetapi
sebagai sejarawan. Sumber-sumbernya
terutama dari Yesus dan Injilnya.
b. Pemikiran Teologinya
Karel A. Steenbrink menganalisis
pemikiran teologi Adolf von Harnack
sebagai berikut:
1) Pengertian Yesus sebagai Anak Allah
Hal ini Adolf von Harnack mene-
gaskan bahwa ia tidak akan menyelidiki
bagaimana pendapat murid-murid Yesus
dan perkembangan gereja kemudian,
tetapi bagaimana rasa-diri Yesus sendiri.
Menurut von Harnack Yesus tidak
meminta pengikutnya supaya percaya
kepadanya. Dia hanya meminta agar
mereka ikut perintahnya (Yoh. 15, 10;
Mat. 7, 21).
Yesus menggambarkan Bapanya
lebih besar dari pada dia sendiri. Yesus
berdoa kepada-Nya antara lain dengan
doa Bapa kami, dan menyerahkan diri
kepada-Nya sebelum penyaliban (Lukas
22, 42). Di dalam perasaan, doa, dan
penderitaan ini, Yesus menyamakan diri
dengan manusia lain.
Istilah Anak Allah, di dalam dunia
Yahudi, memang memiliki  pengertian
sebagai mahdi atau ‘ratu adil’, yaitu
juru selamat yang akan datang menjelang
hari kiamat. Dunia Yahudi pada zaman
itu memiliki  banyak gelar untuk tokoh
ini, antara lain Messias, Nabi Elia, Anak
Manusia, Anak Daud. Sebenarnya Yesus
tidak memakai gelar Anak Allah dalam
arti yang biasa berlaku pada saat itu, yaitu
dalam pengertian eschatologis, tetapi dia
hanya memakai gelar ini untuk menunjuk
hubungan dia (dan manusia lain) dengan
Allah Bapanya (Matius. 11, 27). Jadi,
pengetahuan tentang Allah yaitu  unsur
yang menentukan pengertian istilah Anak
Allah. Kalau Yesus memiliki  ke-
sadaran, bahwa dia yaitu  anak Allah,
hal itu tidak penting untuk mengenal
Yesus, tetapi khusus memberikan in-
formasi tentang Allah sebagai Bapa.
2)  Pengertian tentang Hari Kiamat
Yesus dan dunia sekitarnya pada
saat itu memiliki  banyak fikiran tentang
juru selamat yang akan datang menjelang
hari kiamat. Ada yang mengharapkan
Nabi Musa atau Elia. Lainnya ber-
pendapat Yohannes Pembaptis akan
datang kembali. Ada juga yang ber-
pendapat bahwa Yesus merupakan
reinkarnasi mereka (Markus 8, 27-31).
Ada beberapa penafsiran tentang
Yesus melarang pengikutnya meng-
umumkan tentang dia. Salah satu penafsir
menyatakan bahwa Yesus membenarkan
bahwa dia yaitu  messias. Kalau hal itu
diumumkan, Yesus pasti akan dicari-cari
oleh tentara Romawi dan akan dibunuh-
nya. Penafsir yang lain menyatakan
bahwa Yesus sama sekali tidak menye-
tujui pendapat murid-muridnya, menegur
mereka, agar mereka tidak boleh
mengatakan hal yang kurang benar
tentang dirinya.
Dalam hal ini von Harnack mene-
kankan bahwa pikiran tentang messias
dan lain-lain memiliki  variasi. Ada yang
sangat bercorak politik, yaitu dengan
pengharapan seseorang yang datang dari
langit, lengkap dengan tentara malaikat
dan senjata yang paling hebat, sehingga
bangsa dan tentara Romawi cepat
dihancurkan dan kerajaan Yahudi seperti
di bawah raja Daud dapat ditegakkan
kembali. Golongan ini menerapkan gelar
Anak Daud bagi Yesus. Sebaliknya ada
juga yang berpendapat, bahwa ke-
datangan kerajaan Ilahi tidak akan terjadi
begitu spektakuler. Golongan ini ber-
pendapat bahwa Messias yaitu  tokoh
agama dan bukan tokoh politik. Messias
sebenarnya hanyalah seorang guru yang
menunjukkan jalan untuk menemui Tuhan
di dalam hati nurani dan keyakinan
manusia.
3) Perbedaan antara Yesus dan Paulus
a) Yesus mengajarkan tentang kerajaan
Ilahi yang akan datang, sedang
Paulus mengajarkan tentang kese-
lamatan yang sudah jadi dan sudah
bisa dinikmati. Yesus memperingat-
kan manusia tentang hukuman ter-
akhir yang akan datang kelak, tetapi
Paulus mengajarkan bahwa hukuman
itu sudah selesai, bahwa manusia
sudah selamat dengan penyaliban dan
kebangkitan Yesus (1 kor. 1, 20-25).
b) Sikap terhadap Taurat Nabi Musa
Yesus menekankan agar manusia
hidup menurut jiwa atau maksud dari
Taurat (Matius 5, 17-18).
Berbeda dengan Yesus, Paulus
menjelaskan bahwa sesudah Yesus,
Taurat Nabi Musa tidak diperlukan
lagi, sehingga orang-orang Yunani
yang mau masuk Kristen, tidak wajib
disunatkan atau mengikuti peraturan
Yahudi atau Taurat Nabi Musa.
Menurut von Harnack perbedaan ini
tidak begitu penting, sebab Yesus
memberikan inti ajarannya, sedang
kulit atau konsekuensinya (seperti,
bahwa sebenarnya Taurat Musa tidak
berlaku lagi) boleh saja diambil oleh
Paulus.
c) Pandangan Kristen terhadap orang
di luar bangsa Yahudi
Yesus sebenarnya tidak akan men-
dirikan agama atau syariat baru. Dia
hanya merupakan gerakan reformis-
me di dalam agama Yahudi. Agama
Yahudi menganggap dirinya agama
yang secara otomatis dapat disama-
kan dengan suatu bangsa, yaitu
bangsa Yahudi, rakyat pilihan Tuhan
(Matius 15, 24).
Berbeda dengan Yesus, Paulus
mengabarkan Injil Yesus kepada orang-
orang Yunani dan Romawi. Menurut
Paulus “tidak ada bedanya antara orang
Yahudi dengan orang-orang bangsa lain.
Allah yang satu itu yaitu  Tuhan untuk
semua orang. Ia memberikan berlimpah-
limpah kepada semua orang yang
meminta tolong kepadanya . . . “(Roma
10, 12).
Menurut Adolf von Harnack
perbedaan ini tidak begitu penting, di
mana Paulus mengambil konsekuensi
terakhir dari inti agaran Yesus
berdasar  uraian di atas tam-
paklah bahwa Adolf von Harnack lebih
memfokuskan teologinya di bidang Tafsir
Kitab Suci atau Eksegese, yaitu me-
nafsirkan secara ilmiah iman Kristiani
sejauh terungkap di dalam Alkitab.
Khususnya Tafsir Perjanjian Baru.
Dengan kajiannya ini  ia
mengemukakan pandangannya tentang
Yesus sebagai Anak Allah, Hari Kiamat,
dan Perbedaan antara Yesus dengan
Paulus. Penafsirannya dibantu dengan
keahliannya sebagai ahli sejarah, khusus-
nya sejarah gereja purba.
3. Rudolf Bultmann
a. Riwayat Hidup
Rudolf Bultman lahir pada tahun
1884 di Jerman, dari keluarga pendeta
Lutheran (German Evangelical Church).
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen,
kemudian di Berlin, dan terakhir di
Universitas Marburg. Di Universitas
Marburg dia belajar di bawah bimbingan
Wilhelm Herman yang teologinya men-
jadi dasar dari seluruh pemikiran teologi
Bultmann. Ia memilih bidang Perjanjian
Baru karena terpengaruh oleh Johannes
Weiss yang juga berasal dari Universitas
Marburg.
Pada tahun 1908 Rudolf Bultmann
menjadi guru besar di Marburg, dimana
dia berkenalan dengan Wilhelm
Heitmuller yang mendorongnya untuk
melakukan spesialisasi di bidang History
of Religions School. Secara khusus, ia
kemudian mempelajari tiulisan-tulisan
dari Perjanjian Baru kemudian diper-
bandingkan dengan catatan-catatan
tentang agama-agama yang ada pada
zaman gereja mula-mula, antara lain
dengan Hellenistic Gnosticism, Jewish
Apokalyptic, dan agama-agama rahasia
atau mystery religions.
Pada tahun 1916 ia diangkat
menjadi guru besar luar biasa di Breslau.
Empat tahun kemudian, tahun 1920, ia
pindah ke Giessen sebagai pengganti
Professor Wilhelm Bousset dan pada
tahun 1921 ia pindah ke Marburg sebagai
guru besar di bidang Perjanjian Baru dan
Sejarah Agama Kristen Kuno.14
Beberapa tulisannya yang terkenal
mulai ditulis pada tahun dua-puluhan,
antara lain The History of the Synoptic
Tradition (1921). Di dalam buku ini ia
membuat analisis yang baru yang disebut
dengan istilah Form History atau Form
Criticism. Di dalam analisis ini ia
membedakan antara ketiga lapisan
tradisi oral atau lisan yang ada di
belakang injil-injil sinoptis. Ia menyim-
pulkan bahwa cerita tentang kehidupan
Yesus (yang mula-mula ada di Markus)
sebenarnya karangan dari jemaat Helle-
nistic (dengan latar belakang Greek
speaking church). Kumpulan mitos ini
berbeda sekali baik dalam waktu,
bahasa, maupun kebudayaan dengan
Palestinian Origin di mana Yesus hidup.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa melalui injil-injil Sinoptis saja,
orang Kristen tidak dapat mengenal
tentang historical Jesus atau kehidupan
Yesus dari Nazareth yang sesungguhnya.
Dengan dasar historical Studies
ini pulalah ia menyimpulkan bahwa “iman
Kristen” yang disaksikan dalam Alkitab,
baru mulai dikenal setelah munculnya
Gereja-gereja yang berbahasa dan
berkebudayaan Yunani. Sedangkan
orang-orang yang benar-benar mengenal
historical Jesus yaitu  angota-anggota
dari jemaah-jemaah Palestinian yang
justru termasuk dalam sekte-sekte agama
Yahudi, dan mereka tidak dikenal
sebagai gereja-gereja atau jemaat
Kristen pada jaman itu. Segala sesuatu
yang dikenal sebagai agama Kristen
sebenarnya mulai dari gereja-gereja
Yunani yang mula-mula atau Primitive
Hellenistic Christianity.
Pada tahun 1924-1925, di
Marburg, ia bertemu dengan Paul Tillich
dan Martin Heidegger yang sedang
menulis bukunya Sein und Zeit. Ia sangat
tertarik pada filsafat Heidegger. Filsafat
ini kemudian memiliki  arti yang
menentukan. Bundel pertama dari
bukunya Glauben und Verstehen ia
persembahkan kepada Heidegger seba-
gai peringatan waktu, di mana mereka
bersama-sama di Marburg. Persaha-
batannya dengan Heidegger putus saat 
Heidegger pada tahun 1933 menjadi
penganut sosialisme-nasionalis Jerman
dan diangkat sebagai rektor Universitas
di Freiburg. Pada saat itu Bultmann
dekat sekali dengan Karl Barth dalam
kalangan ahli-ahli teologi dalam majalah
“Zwischen den Zeiten.” Di dalam majalah
ini  ada beberapa karangan dari
Bultmann. Kemudian hubungan antara
Barth dengan Bultmann semakin lama
semakin renggang. Sebab Barth melihat
Entmythologisierung dari Bultmann
sebagai lanjutan dari teologi liberal abad
ke-19. Sesudah perpisahan ini 
hidup Bultmann seperti biasa, tanpa
kejadian-kejadian yang mengejutkan.
Sungguhpun ia menentang “Kerajaan
Ketiga” dari Hitler, ia dapat melanjutkan
pekerjaannya di Marburg sampai pensiun
(1954). Ia merupakan salah satu wakil
yang paling penting dari penelitian-historis
yang ilmiah dan radikal tentang Alkitab
di Jerman.16
b. Pemikiran Teologinya
1) Pandangannya tentang Entmytholo-
gisierung (Demythologizing atau
Demitologisasi).
Kata entmythologisierung ber-
asal dari bahasa Jerman, yang berarti
bahwa mitologi (kumpulan mitos-mitos)
perlu dihilangkan (ent). Mitos yaitu 
suatu cerita kuno, yang di dalamnya
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-
jawaban tentang hal-hal yang pokok
tentang hidup dan mati, tentang Allah dan
manusia dan lain-lain dipikirkan dan
diteruskan dalam bentuk cerita. Per-
janjian Baru pada pokoknya terdiri dari
cerita-cerita semacam itu.
Demythologizing menurut Bult-
mann merupakan metode hermeneutik
yang berusaha menyingkapkan rahasia di
belakang mitos-mitos yang digunakan di
dalam Perjanjian Baru.18 Hal ini dilaku-
kan untuk dapat memberikan suatu
pemahaman pada pikiran manusia pada
abad duapuluh yang tidak lagi berpikir
dalam konsep-konsep mitos.
Adapun pandangan Bultmann
tentang demitologisasi (Demytolo-
gizing atau Entmythologisierung)
yaitu  sebagai berikut:
1) Pusat dari konsep demitologisasi
yaitu  pendirian Bultmann yang
menemukan dua hal di dalam Per-
janjian Baru, yaitu: a) Injil Kristen,
dan b) pandangan orang pada abad
pertama yang bercirikan mitos.
Hakekat Injil, oleh Bultmann disebut
dengan kerugma (Yunani = isi yang
dikhotbahkan), merupakan inti yang
tidak dapat dipersempit lagi. Orang
jaman modern ini harus dihadapkan
dengan inti ini  dan harus
mempercayainya. Namun orang
modern tidak dapat menerima ke-
rangka yang bersifat mitos yang
membungkus hakekat Injil. Oleh
karena itu teologia harus berusaha
untuk melepaskan berita kerugma
dari kerangka yang bersifat mitos.
Menurutnya kerangka yang bersifat
mitos tidak selalu berkaitan dengan
Kekristenan.
Demitologisasi Bultmann berpusat
pada dua hal dalam Perjanjian Baru,
yaitu Injil Kristus dan pandangan
orang pada abad pertama yang
bersifat mitos. Hakikat Injil (kerugma
atau isi yang dikhotbahkan) dalam
Perjanjian Baru dibungkus dengan
mitos yang merupakan ciri berpikir
orang pada abad pertama. Agar
orang modern dapat memahami
hakikat Injil, maka hakikat Injil
(kerugma) harus dilepaskan dari
kerangka berpikir mitos.
a) Menurut Bultmann, mitos merupakan
cerita yang tidak membedakan fakta
dari yang bukan fakta dalam isinya,
dan yang berasal dari suatu jaman
pra-ilmiah. Tujuan mitos yaitu 
untuk menyatakan pengertian ma-
nusia tentang dirinya sendiri, bukan
untuk menyatakan gambaran obyek-
tif tentang dunia. Mitos menggunakan
perumpamaan dan istilah-istilah yang
diambil dari dunia ini untuk menya-
takan keyakinan-keyakinan tentang
pengertian manusia akan dirinya
sendiri. Pada abad pertama, orang
Yahudi memahami dunia ini sebagai
suatu sistem terbuka kepada Allah
dan kuasa-kuasa supranautral.
Alam semesta pada abad pertama
dinyatakan dalam tiga tingkat, yaitu
surga di atas, bumi, dan neraka di
bawah bumi. Bultmann berpendapat
bahwa gambaran dunia seperti ini
merupakan pandangan semesta yang
ada  di dalam Alkitab. Dalam hal
ini sistem hukum alam seringkali
diganggu oleh intervensi supra-
natural.
b) Menurut Bultmann perubahan dunia
yang bersifat mitos ini  juga telah
digunakan untuk merubah Yesus.
Pribadi Yesus yang ada di dalam
sejarah diubah menjadi suatu mitos
dalam kekristenan yang mula-mula.
Oleh karena itu Bultman menyatakan
bahwa pengenalan historis tentang
manusia Yesus tidak relevan lagi
untuk iman Kristen. Mitos inilah yang
dihadapkan pada orang Kristen
dalam gambaran Perjanjian Baru
tentang Yesus. Fakta-fakta sejarah
tentang Yesus telah diubah menjadi
cerita mitos tentang suatu oknum ilahi
yang berpraeksistensi yang ber-
inkarnasi dan dengan darah-Nya
menebus dosa-dosa manusia, bang-
kit dari kematian, naik ke surga, dan
menurut kepercayaan mereka ia
akan segera kembali untuk meng-
hakimi dunia dan memulai jaman
baru. Cerita utama ini juga telah
dibumbui dengan cerita-cerita muk-
jizat, cerita-cerita tentang suara dari
surga, kemenangan-kemenangan
atas setan dan lain-lainnya.
Menurut Bultmann semua peng-
gambaran tentang Yesus dalam
Perjanjian Baru bukanlah sejarah
melainkan hanya mitos, yaitu pemi-
kiran dari orang-orang yang
menciptakan mitos-mitos ini 
untuk mengerti diri sendiri dengan
lebih baik. Itu semua merupakan
mitos-mitos yang tidak cocok lagi
bagi manusia abad ke-20, yang
percaya kepada rumah sakit dan
bukan mukjizat, pinisilin dan bukan
doa. Untuk mengkomunikasikan Injil
secara efektif kepada manusia
modern, kita harus mengupas mitos
dari Perjanjian Baru dan mencoba
untuk menyingkap tujuan mula-mula
di balik mitos ini . Proses
penyingkapan ini disebut demi-
tologisasi.
Penggambaran yang bersifat mitos
bukan hanya berlaku pada dunia,
tetapi juga kepada pribadi Yesus.
Penggambaran Yesus dalam Per-
janjian Baru bukanlah sejarah tetapi
bersifat mitos, yaitu pemikiran orang-
orang yang menciptakan mitos-mitos
untuk mengerti diri sendiri dengan
lebih baik. Cerita praeksistensi Yesus
yang berinkarnasi dan menebus
dosa-dosa manusia dengan darah-
nya, bangkit dari kematian, naik ke
surga, kembali ke dunia menghakimi
manusia dan memulai zaman baru,
merupakan mitos bukan sejarah.
Mitos ini  tidak cocok bagi
manusia abad duapuluh. Untuk
menkomunikasikan Injil secara
efektif pada manusia modern, mitos
dalam Perjanjian Baru harus dikupas
sehingga tersingkap tujuan mula-mula
di balik mitos ini . Proses
penyingkapan inilah yang disebut
demitologisasi.
c) Proses ini, menurut Bultman, bukan
berarti menyangkal mitologinya.
Demitologisasi ini berarti penafsiran
secara eksistensial, yaitu menurut
pengertian manusia terhadap keber-
adaannya sendiri, dan dengan istilah-
istilah yang dapat dipahami oleh
orang modern sendiri. Bultman
melakukan proses ini dengan meng-
gunakan konsep-konsep eksisten-
sialis Jerman, Martin Heidegger.
Contohnya, yang disebut mitos
mengenai kelahiran Kristus dari anak
dara dikatakan sebagai suatu usaha
untuk menjelaskan arti Yesus bagi
orang beriman. Mereka mengatakan
bahwa Kristus datang kepada manu-
sia sebagai tindakan Allah. Salib
Kristus tidak memiliki  arti yang
menunjukkan Yesus menanggung
dosa bagi orang lain. Hal itu hanya
memiliki  pemenjelaskan penger-
tian sebagai suatu symbol dari
manusia yang mengambil suatu hidup
yang baru, yaitu menyerahkan semua
rasa aman duniawi untuk mendapat-
kan suatu hidup baru yang ber-
gantung pada yang transenden.
Demitologisasi bukanlah menyang-
kal mitologinya, tetapi melakukan
penafsiran eksistensialis, yaitu
menurut pengetian manusia dalam
keberadaannya sendiri dan dengan
istilah-istilah yang dapat difahami oleh
orang modern. Proses ini dilakukan
dengan menggunakan konsep-
konsep filsafat eksistensialis Martin
Heidegger. Misalnya mitos kelahiran
Yesus dari anaka dara, maknanya
sebagai usaha untuk menjelaskan arti
yesus bagi orang beriman. Selanjut-
nya penyaliban Kristus tidak berarti
Yesus menanggung dosa manusia
lain. Ini hanya menjelaskan symbol
dari manusia yang mengambil hidup
yang baru,yaitu hidup yang bergan-
tung kepada suatu yang transenden.
d) Bultman pada dasarnya menyatakan
bahwa gambaran dasar dari mitologi
Perjanjian Baru berpusat pada dua
macam pengertian diri. Pertama,
hidup di luar iman, dan yang lain hidup
di dalam iman. Istilah-istilah dosa,
daging, ketakutan dan kematian
merupakan penjelasan-penjelasan
mitologis tentang hidup di luar iman.
Dalam istilah-istilah eksistensial, hal
itu berarti hidup di dalam keterikatan
pada realitas yang nyata, yang
nampak dan akan binasa. Sebalik-
nya, hidup di dalam iman berarti
meninggalkan ketergantungan pada
realitas yang dapat dilihat dan nyata.
Ini berarti melepaskan diri dari masa
lalu dan membuka diri pada masa
depan Allah. Menurut Bultmann, ini
merupakan satu-satunya arti eska-
tologi yang sebenarnya. Kehidupan
eskatologis yang benar dikatakannya
sebagai hidup dalam pembaharuan
yang terus menerus melalui keputusan
dan ketaatan
Dalam konsep demitologisasi ini
Bultmann membantu mengingatkan
kaum Kristen tentang pentingnya
memahami orang modern, pen-
dengar khotbahnya. Ia juga meng-
ingatkan bahwa kepentingan orang
Kristen tidak hanya memberitakan
Injil tetapi juga menerapkannya
dengan tepat dan teliti pada pen-
dengar.
2) Pandangan tentang Allah.
Allah memperlihatkan kepada
orang yang percaya selalu sebagai yang
tak dikenal, dalam hubungan jarak dan
ketegangan. Allah paling baik di-
identifikasikan sebagai Wholly Other.21
Jadi menurutnya, secara eksistensial ada
jurang yang memisahkan secara mutlak
antara Allah dengan manusia. Allah yang
hidup selalu berada di luar penangkapan
persepsi dan akal manusia. Dengan
pemahaman Allah seperti ini Bultmann
punya corak Pantheistik. Menurut dia
Allah hadir dalam segala sesuatu, tetapi
berada di luar daya persepsi manusia.
Allah tidak dapat dikekang dengan
rumusan-rumusan doktrin para teolog
ataupun gereja. Manusia yang terbatas
tidak dapat merumuskan Allah yang tidak
terbatas.
Pemahaman Allah seperti di atas
Bultmann juga menafikan adanya mi-
racle. Ia menyatakan bahwa rangkaian
kejadian yang terjadi di dalam sejarah
tidak berkaitan dengan campur tangan
supranatural maupun kekuatan yang
transenden. Oleh karena itu tidak ada
miracle di dalam kejadian sejarah.
berdasar  penjelasan di atas
tampaklah bahwa Rudolf Bultmann
memfokuskan pemikiran teologisnya
pada bidang Tafsir, khususnya Tafsir
Perjanjian Baru. Berbeda dengan
Adolf von Harnack, Bultmann dengan
keahliannya di bidang Sejarah Kristen
Kuno, dia menafsirkan Perjanjian Baru
dengan analisis historical studies, atau
lebih khasnya dengan istilah analisis form
history atau form criticism. Usaha dia
dalam menafsirkan Perjanjian Baru
dengan analisis form history ini dikenal
dengan istilah Entmytologisierung atau
Demithologizing atau Demitologisasi.
Selanjutnya penafsirannya dikemas
dengan bantuan filsafat eksistensialis dari
Martin Heidegger. Di samping itu ada
beberapa tokoh di Universitas Marburgh
yang mempengaruhi pemikirannya,
misalnya Wilhelm Herman, Yohannes
Weiss, Wilhelm Hertmuller, dan Paul Tillich.
  Wilhelm Herman 
 Johannes Weiss 
Wilhelm Heitmuller 

4. Karl Barth (1886-1968)
a. Riwayat Hidup
Karl Barth lahir pada tanggal 10
Mei 1886 di Basel. Ayahnya, Fritz Barth
(1856-1912) yaitu  seorang pendeta
dan dosen di Sekolah Pendidikan
Pendeta di Basel.23 Setelah belajar di
Universitas Bern, Berlin, Tubingen dan
Marburg ia menjadi pendeta Calvinis di
Swis. Sewaktu melayani gereja di
Safenwil, dekat Aarau, ia menulis tafsiran
Surat Paulus kepada Jemaat Roma,
terbit pada tahun 1919. Buku ini menurut
seorang Katolik dampaknya bagaikan
ledakan bom di tempat bermain para
teolog. Barth menjadi pemimpin reaksi
Ortodoksi Baru terhadap liberalisme
abad ke-19. Ia menjadi guru besar
teologi di Universitas Gottingen, Munster
dan Bonn. Bersamaan dengan me-
nanjaknya bintang Adolf Hitler ia menjadi
pemimpin Gereja yang Mengaku dan
pemrakarsa utama dari Deklarasi Bre-
men pada tahun 1934. Pada tahun 1935
ia diberhentikan oleh Hitler dan di-
kembalikan ke Swis. Di sana ia menjadi
guru besar teologi di Basel sampai ia
pensiun pada tahun 1962. Ia meninggal
pada tahun 1968.
Barth dididik oleh banyak teolog
liberal terkemuka dari awal abad ke-20.
Namun selama Perang Dunia I ia mulai
mempertanyakan ajaran mereka. Ke-
kejaman perang menyebabkan opti-
misme liberal tentang kemajuan dan
kesempurnaan manusia ditantang. Barth
sangat terkejut, karena hampir semua
mantan gurunya pada awal bulan Agustus
1914 telah menandatangani proklamasi
yang mendukung politik perang dari
kaisar Jerman. Oleh sebab itu ia ber-
pendapat bahwa teologi abad ke-19
tidak lagi memiliki  masa depan. Barth
terpengaruh teman-temannya, yaitu
Christoph Blumhart dan Edward Thur-
neysen, di samping karya Kierkegaard
dan Dostoyevski, dan khususnya dengan
membaca Alkitab sendiri. Ia sampai
pada suatu pendapat bahwa liberalisme
sudah bangkrut. Liberalisme yang
menyanjung manusia dengan mengor-
bankan Allah, yang lebih mempelajari
agama manusia dari pada penyataan
Allah. Ia mengatakan bahwa kapal
hampir kandas, sudah tiba saatnya untuk
banting stir 180 derajat. Hal inipun
dilakukan oleh Barth dalam karyanya
Surat kepada Jemaat Roma. Ia mene-
kankan keilahian Allah, “Allah sama
sekali lain,” “perbedaan kualitatif yang tak
terbatas” antara Allah dan manusia. Kita
tidak akan mengatakan “Allah” dengan
mengatakan “manusia” dengan suara
nyaring. Teologi bukan penyelidikan
filsafat atau pengalaman keagamaan
manusia, tetapi pelajaran firman Allah.
Pada tahun 1927 Barth mener-
bitkan jilid pertama dari serial buku
mengenai Dogmatika Kristen. Tetapi
buku ini dicela karena berdasar  pada
filsafat eksistensialis. Oleh karena itu
Barth memutuskan untuk mulai kembali
dan pada tahun 1932 muncullah jilid
pertama dari Dogmatika Gerejawi.
Selama hidupnya tidak kurang dari 12
jilid yang tebal dari Dogmatika Gere-
jawi telah diterbitkan, yang secara kasar
kurang lebih 6 juta kata. Bagian-bagian
dari jilid ke-13 yang tidak lengkap
kemudian diterbitkan oleh Barth dan
kawan-kawannya. Dogmatika Gereja-
wi tidak ada bandingannya dalam hal
panjang dan ketelitiannya. Bahkan
Ikhtisar Teologi karya Thomas Aquino
kelihatan kecil bila dibandingkan karya
ini. Paus Pius XII, yang membuat
rumusan “yang tidak dapat salah” dari
kenaikan Maria ke Surga dalam
tulisannya Munificentissimus Deus,
menyebut Barth sebagai teolog terbesar
setelah Santo Thomas Aquino, suatu
penghormatan yang luar biasa. Sungguh
menarik, meskipun Barth sangat kritis
terhadap Katolisisme-Roma, tulisan-
tulisannya mendapat perhatian dan
penilaian positif dari banyak sarjana
Katolik, seperti Hans Kung. Barth sendiri
memberi komentar bahwa uraian yang
paling komprehensif, analisis yang paling
mendalam, bahkan evaluasi yang paling
menarik dari Dogmatika Gerejawi dan
karya lainnya sampai sekarang (1958)
datang dari kubu Katolik, memang ada
beberapa pengecualian misalnya
Berkouwer.
b. Pandangan Teologinya
1). Kritik terhadap teologi Liberal
Salah satu ciri pemikiran awal
Barth yang menyolok yaitu  pem-
berontakan neo-ortodoks terhadap
liberalisme. Barth pernah belajar pada
beberapa teolog liberal yang terkenal,
misalnya Harnack dan Hermann. Bahkan
sebelum terbit buku tafsirannya tam-
paknya Barth juga mengikuti cara
pemikiran mereka. Yesus yang digam-
barkan oleh Harnack bukanlah Anak
Allah yang unik supranatural, tetapi hanya
personifikasi kasih dan cita-cita manusia
yang paling ideal. Alkitab, menurut
Hermann, bukanlah Firman Allah yang
tanpa salah, tetapi kitab biasa saja, penuh
kesalahan, sehingga apabila hendak
menemukan kebenaran di dalamnya
harus dilakukan keritik-kritik yang
radikal. Ukuran untuk kebenaran yaitu 
pengalaman, perasaan. Teologi Harnack
dan Hermann yaitu  Idealisme, yang
ditandai oleh garis pietisme yang dalam
dan mementingkan pengalaman Kristen
yang praktis.
Pada tahun 1919 (dan lebih kuat
lagi dalam revisi tahun 1921), Barth
mencoba menolak sebagian besar
liberalisme klasik. Perasaan ngeri dalam
Perang Dunia I telah menolong meng-
hancurkan dunia mimpinya. Ia menyadari
bahwa Jerman yang berbudaya, Inggris
yang liberal, dan Perancis yang beradab,
saling bertempur bagaikan binatang gila.
saat  perang mulai meletus, para dosen
Barth mengikuti orang-orang yang
mendukung Jerman. Guru-guru Barth
yang liberal ini  telah dibuka
kedoknya sebagai guru agama dari suatu
kebudayaan dan terikat pada kebu-
dayaan ini .
Melalui tafsiran surat Roma
ini  Barth mencoba menolak ajaran
mantan gurunya. Dalam liberalisme, Allah
dianggap imanen (hadir) di dalam dunia.
Sebaliknya Barth menunjukkan Allah
hanya sebagai “Yang Mutlak Berbeda”
dari manusia (the Wholly Other).
Subyektivitas liberalisme pada abad ke-
19 telah menempatkan manusia sebagai
pengganti Allah. Barth menyatakan
bahwa biarlah Allah tetap sebagai Allah
dan bukan manusia. Liberalisme telah
meninggikan penggunaan agama yang
berbudaya, sedangkan Barth mengutuk
agama sebagai dosa yang utama. Libe-
ralisme membangun teologi di atas dasar
etika. Sebaliknya Barth membangun etika
di atas dasar teologi.
2). Pandangan tentang Wahyu
Tafsiran Barth pada tahun 1921
mencanangkan suatu pandangan baru
tentang penyataan atau wahyu yang
masih dominan pada masa itu. Ber-
lawanan dengan liberalisme sebelumnya,
ia menekankan bahwa manusia memer-
lukan wahyu. Oleh karena itu ia memilih
istilah “teologia Firman Allah” untuk ide-
ide barunya. Meskipun demikian, dalam
tekanannya pada penyataan ini , ia
sangat hati-hati membedakan Alkitab
dari identifikasi mutlak dengan Firman
Allah. Hal ini merupakan warisan dari
Kant. Menurut Barth seorang bisa saja
membaca Alkitab tanpa mendengar
Firman Allah. Alkitab hanyalah suatu
tanda atau symbol, tetapi paling tidak
merupakan symbol dan melalui symbol
ini  Firman Allah datang kepada
manusia. Hubungan antara Allah dengan
Alkitab tetap nyata, tetapi tidak langsung.
Menurut Barth, Alkitab yaitu  Firman
Allah sejauh Allah berbicara melaluinya.
Alkitab dengan demikian menjadi Firman
Allah di dalam peristiwa ini. Sebelum
menjadi nyata bagi manusia, sebelum
terpancar di dalam kehidupan manusia,
sebelum berbicara kepada manusia
dalam situasi eksistensial, Alkitab
bukanlah Firman Allah. Oleh sebab itu,
menurut Barth, Allah merupakan suatu
catatan penyataan masa lalu, dan janji
untuk penyataan masa yang akan datang.
3) Metode Dialektika dalam Teologi
Tafsiran Barth memperkenalkan
suatu metode baru untuk menjelaskan
teologi, yaitu dialektika. Istilah ini segera
dihubungkan dengan pemikiran Barth,
meskipun metode ini  dipinjam dari
beberapa tulisan filsuf Eksistensialis
Kierkegaard. Kierkegaard pernah
menyatakan bahwa semua penyataan
teologi berciri paradoks dan tidak dapat
dipadukan. Manusia hanya dapat meme-
gang kedua unsur paradoks ini dalam
keadaan tetap berlawanan, dan meme-
gangnya secara demikian dilakukan
melalui iman (yang didefinisikan sebagai
emosi manusia yang tertinggi). Pene-
rimaan paradoks itulah yang disebut
sebagai loncatan iman.
Barth sangat dipengaruhi oleh
konsep ini saat  ia menyiapkan revisi
untuk edisi kedua tafsiran surat Roma.
Barth menyatakan bahwa selama ada di
dunia ini, para teolog tidak dapat
melakukan hal lain dalam teologi kecuali
dengan menggunakan metode “per-
nyataan dan lawan pernyataan.” Para
teolog tidak berani mengucapkan secara
mutlak kata akhirnya. Paradoks bukan-
lah suatu kebetulan dalam teologi Kristen.
Paling tidak hal itu termasuk salah satu
bagian inti pemikiran teologi.
Menurut Barth, sifat penyataan
yang sebenarnya berlanjut melalui
pradoks: Allah yang tersembunyi namun
dinyatakan, pengenalan manusia akan
Allah dan pengenalan manusia akan dosa,
setiap orang dipilih tetapi juga ditolak
sebab berdosa di dalam Kristus, Yesus
sekaligus sebagai Ya dan Tidaknya Allah,
manusia dibenarkan oleh Allah, tetapi
pada saat yang sama dia yaitu  sorang
yang berdosa. Salah seorang pengamat
pernah berkata dengan tepat bahwa
menurut teologi dialektika Barth, penya-
taan yang datang dari atas kepada
manusia di dalam kontradiksi dosa dan
di dalam keterbatasan hanya dapat
mengena pada pikiran manusia sebagai
serangkain paradoks.
4) Transendensi Allah Yang Mutlak
Tafsiran Barth mencoba memu-
lihkan konsep transendensi Allah yang
mutlak. Sesungguhnya, metode di-
alektika Barth ini tampaknya ber-
hubungan dengan pemikirannya bahwa
Allah itu senantiasa Subyek, tidak
pernah Obyek. Bagi Barth, Allah bukan-
lah satu bagian di dalam dunia benda-
benda. Allah yaitu  Yang Mutlak
Berbeda (Wholly Other) yang tidak
terbatas dan juga berdaulat, yang dapat
dikenal hanya apabila Ia berbicara
kepada manusia. Ia tidak dapat di-
jelaskan sebagaimana suatu benda dapat
dijelaskan, manusia hanya dapat ber-
bicara kepada-Nya. Oleh karena itu,
teologi dilarang mengukur-Nya melalui
pemikiran yang langsung atau sempit.
Manusia tidak dapat berbicara tentang
Allah, manusia hanya dapat berbicara
kepada Allah. Menurut Barth, sifat Allah
menuntut supaya peryataan manusia
kepada-Nya harus selalu berselubungkan
kontradiksi. Manusia tidak dapat me-
nyebut Dia dekat, kecuali menyebutnya
jauh.
Tema utama Barth yang diduga
berlawanan dengan liberalisme yaitu 
perbedaan kwalitatif yang tak terbatas
antara kekekalan dan waktu, surga dan
bumi, Allah dan manusia. Allah tidak
boleh diidentifikasikan dengan apapun di
dalam dunia, bahkan tidak juga dengan
perkataan-perkataan Alkitab. Allah
mengunjungi manusia seumpama garis
singgung yang tampaknya menyentuh
lingkaran, namun sesungguhnya tidak
menyentuhnya. Allah berbicara kepada
manusia seperti sebuah bom yang
meledak di bumi. Sesudah meledak, yang
tertinggal yaitu  kawah hangus di tanah.
Kawah itu yaitu  Gereja.
5) Historie dan Geschichte
Tafsiran Barth juga menekankan
suatu sikap baru yang tidak peduli
terhadap sejarah dalam dunia teologi.
Tologi abad ke-19 telah mencoba
menemukan Yesus Historis di belakang
Kristus Supranatural di dalam Alkitab.
Teolog-teolog liberal klasik seperti
Harnack telah mencoba menemukan inti-
inti yang bersifat fakta sejarah tentang
Yesus di dalam Injil-injil yang mereka
anggap tidak dapat dipercaya. Barth
mencela penyelidikan ini  sebagai
suatu yang tidak penting. Penyataan tidak
memasuki sejarah. Penyataan hanya
menyentuh sejarah seperti sebuah garis
singgung menyinggung lingkaran. Di
dalam sejarah tidak ada sesuatu apapun
yang dapat menjadi dasar iman. Iman
yaitu  ruang kosong yang diisi, tidak dari
sejarah yang di bawah, melainkan dari
penyataan yang dari atas. Barth,
sebagaimana Kierkegaard dan Franz
Overbeck, membagi sejarah menjadi dua
tingkat, yaitu Historie dan Geschichte.
Historie merupakan kumpulan seluruh
fakta historis masa lalu, yang secara
obyektif dapat dibuktikan benar. Sedang
Geschichte berhubungan dengan hal-hal
yang menyentuh saya secara eksistensial,
menuntut sesuatu dan menghendaki janji
setia dari saya. Kebangkitan Yesus
termasuk dalam lingkup Geschichte,
bukan Historie. Barth menganggap
lingkup Historie tidak bernilai bagi orang
Kristen, Yesus harus ditemui dalam
lingkup Geschichte.
6) Iman dan Religi
Di dalam bukunya Romerbrief,
Barth menyatakan bahwa iman ialah
ketakjuban manusia terhadap incognito
Ilahi. Iman ialah kasih kepada Allah
berdasar  kesadaran akan perbedaan
manusia secara kualitatif dengan Allah.
Iman merupakan pengaminan (peng-ia-
an) manusia akan penolakan Allah
terhadap manusia yang dilakukan di
dalam Kristus. Iman berarti bahwa orang
secara terharu berhenti di hadapan Allah
dan menyadari akan kehinaaannya. Iman
berarti berakhirnya segala penyerbuan
yang idealistis terhadap Allah, akhir
segala pretensi yang menganggap telah
melihat dan mengerti Allah. Iman bersifat
paradoksal. Pengalaman keagamaan
tidak memberi kepastian iman. Siapa saja
yang beriman, ia menanti di ambang, ia
bahkan tidak boleh menentukan bahwa
ia beriman, ia hanya percaya bahwa ia
beriman.
berdasar  uraian di atas,
Barth menentang apa yang disebut religi.
Menurut Barth, religi merupakan ke-
balikan dari pada iman, sebab religi
merupakan usaha manusia untuk meng-
hampiri Allah. Di dalam religi manusia
melanggar garis batas yang mematikan,
yang memisahkan Allah dengan manusia.
Di dalam religi segala jarak dikaburkan,
karena manusia bermaksud mendahului
untuk memiliki apa yang seharusnya
ditunggu datangnya dari Allah. Oleh
karena itu religi merupakan pem-
berontakan manusia terhadap Allah. Di
dalam religi manusia ingin menjadi seperti
Allah. Gejala religi berlaku juga bagi
agama Kristen, bahkan di dalam agama
Kristen ada jurang yang menganga, yang
memisahkan Allah dengan manusia.
Gereja sebenarnya merupakan religi
yang diorganisasikan untuk memper-
hatikan beberapa kepentingan manusia
terhadap Allah. Gereja merupakan alat
manusia manusia untuk mengatur mem-
pertahankan dan memperjuangkan
hubungan manusia dengan Allah. Gereja
dalam kenyataannya tidak mau menjadi
orang asing di dunia ini, bahkan senan-
tiasa mencoba menarik perhatian dunia.
Gereja lapar dan dahaga terhadap hasil-
hasil yang positif di dalam dunia, takut
kesepian di padang gurun dunia ini. Oleh
karena itu, Gereja sebenarnya ateis.
Meskipun demikian, menurut
Barth, Gereja memang harus ada. Sebab
bagaimanapun juga di dalam Gereja ada
Injil. Padahal Injil itu harus diberitakan
kepada manusia. Gereja sebagai suatu
kemungkinan yang bersifat religius
gerejawi tidak dapat dihindari, tetapi
Gereja juga merupakan tempat Allah
menyalurkan karya-Nya kepada ma-
nusia. Maka orang Kristen tidak boleh
keluar dari Gereja. Ia harus tetap di
Gereja, tetapi dengan kesadaran bahwa
ada perbedaan yang sangat besar antara
Injil dan Gereja.
 Gereja berdiri di tengah-tengah
bencana yang tidak dapat dielakkan.
Pendeta di dalam Gereja harus berfungsi
sebagai komandan yang berdiri di pos
yang sebenarnya tidak dapat diper-
tahankan lagi. Ia tidak boleh mengo-
kohkan posnya, ia harus membiarkan
posnya tetap menjadi pos yang tidak
dapat dipertahankan lagi. Hal ini sama
kedudukannya dengan kemah per-
janjian di padang gurun. Kemah terus
bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Kemah tidak boleh dijadikan Bait Allah,
tidak dapat dijadikan kuil seperti yang
terjadi pada bangsa-bangsa kafir.26
7) Ajaran tentang Trinitas (Allah Tri-
tunggal)
Sebelum menulis bukunya Kirch-
liche Dogmatik, Barth terinspirasi oleh
Anselmus dari Canterbury melalui
bukunya Cur Deus (Mencari Penge-
tahuan). Anselmus mengajarkan bahwa
“Fides quaerit intellectum” (Iman mencari
pengetahuan). Terutama dengan ajaran-
nya ini telah mempengaruhi pikiran-
pikiran teologis Barth dalam bukunya
Kirchliche Dogmatik. Di dalam buku
ini  Barth berbicara panjang lebar
tentang Trinitas (Allah Tritunggal).
Pertanyaan pokok dalam pembahasan-
nya ialah “Apakah ajaran tentang Trinitas
yang dahulu dianggap benar, sekarang
tidak berlaku lagi? Apakah manusia pada
waktu ini hidup –dan terus hidup- tanpa
Allah? Bagaimanakah manusia dapat
memenuhi perintah untuk mengasihi Allah,
kalau ia tidak mengetahui apa-apa
tentang Allah?
Menurut Barth, ajaran tentang
Trinitas bukanlah produk atau hasil dari
kesombongan manusia -juga bukan
bentuk pemikiran metafisis, yang pada
waktu itu telah usang- tetapi berdasar
dari Injil. Ajaran ini mau mengatakan
kepada manusia bahwa Allah tidak sama
dengan manusia. Allah tidak sepi atau
sunyi dalam diri-Nya sendiri, seperti
manusia. Allah tidak tergantung pada
sesuatu yang berhadapan dengan Dia,
seperti manusia. Allah juga tidak mem-
butuhkan manusia (sebagai ciptaan).
Sungguhpun demikian Ia menghendaki-
nya, seperti yang diucapkan oleh Ange-
lus Silesius bahwa “saya tahu, bahwa
Allah tanpa saya sama-sekali tidak dapat
hidup, kalau seandainya saya tidak ada,
Ia akan mati.” Itu berarti bahwa Allah,
karena kasih dan kebaikan-Nya yang
berlimpah-limpah, memberikan juga
kehidupan kepada manusia sebagai
ciptaan. Karena itu ajaran tentang Trinitas
menurut Barth harus merupakan alasan
bagi manusia untuk merasa kagum
terhadap kasih Allah dan untuk me-
ngasihi-Nya dan mempersembahkan
puji-pujian kepada-Nya.
8) Ajaran tentang Predestinasi
Ajaran predestinasi anugerah
Allah menjadi ajaran sentral Barth.
Berbicara tentang predestinasi Kristen,
yaitu  berbicara tentang kemuliaan kasih
dan anugerah Allah dalam Yesus Kristus
bagi manusia. Barth dengan keras
mengkritik ajaran tradisioanal tentang
predestinasi, sebab ajaran ini  lebih
dekat pada ajaran tentang takdir. Kalau
predestinasi Kristen dipahami sebagai
takdir, maka Allah digambarkan sebagai
kuasa yang menakutkan. Padahal Allah
yaitu  Allah yang Mahakasih. Bukan
saja dalam Yesus Kristus Ia menyatakan
diri-Nya, juga di dalam Dia Ia telah
mempredestinasikan (telah memilih)
manusia. Karena itu manusia tidak boleh
bimbang. Yesus Kristus yaitu  jaminan
manusia. Di Golgota Ia menanggung
hukuman Allah, sambil menjadi manusia
yang ditolak oleh Allah. Ia bukan saja
telah mati, tetapi Ia juga telah dibang-
kitkan Allah dan dimuliakan. Sebagai
wakil manusia Ia dipilih oleh Allah untuk
menerima kemuliaan. Bersama-sama
dengan Dia semua orang turut di-
selamatkan. Di dalam Dia mereka dipilih
(dipredestinasi) oleh Allah untuk me-
nerima kemuliaan dan keselamatan yang
kekal. Barth berusaha membangkitkan
orang Kristen untuk mengagumi kasih
Allah yang tidak terbatas itu dan untuk
memuji nama-Nya. Menurut banyak
komentator, usaha ini menjadi motif
utama dalam karyanya yang begitu besar.
Karena Barth tidak henti-hentinya
merasa kagum, selanjutnya tidak henti-
hentinya memuji Allah dan bersaksi
melalui beberapa khotbah dan karya
dogmatisnya, tentang perbuatan-per-
buatan-Nya yang besar.

berdasar  uraian di atas tam-
paklah bahwa Karl Barth dalam pemi-
kiran teologinya lebih memfokuskan
pada bidang Teologi Dogma, yaitu
menguraikan ajaran-ajaran pokok dalam
iman Kristen. Ia membahas masalah
metode dialektika dalam teologi, tran-
sendensi Allah yang Mutlak, historie dan
gesschichte, iman dan religi, Trinitas, dan
predestinasi. Meskipun ia belajar pada
beberapa teolog liberal seperti Harnack
dan Hermann, tetapi ia justru menentang
pemikiran guru-gurunya ini . Ia
menekankan pendekatan dialektika
dalam mempelajari Alkitab. Ia mengkritik
para teolog liberal lebih banyak menem-
bangkan pendekatan monolog, bukan
dialog dengan Alkitab. Aliran Karl Barth
dikenal sebagai neo-ortodoks. Pemi-
kiran Karl Barth dipengaruhi oleh
beberapa temannya misalnya Cristoph
Blumhart dan Edward Thurneysen dan
karangan Kierkegaard dan Dostoyevski,
tetapi terutama karena membaca Alkitab
itu sendiri.