teologi 10
By tuna at Januari 19, 2024
teologi 10
Tulisan ini menitikberatkan pembahasan pada dua tradisi Abrahamic
religion, Islam dan Kristen yang memiliki ajaran dan doktrin
yang kurang lebih sama. Di antara kesamaan ajaran dan doktrin
tersebut adalah sifat-sifat Tuhan. Berbagai aliran dalam teologi Islam
berbeda pendapat mengenai eksistensi sifat-sifat tersebut. Ada yang
mengatakan qadim dan ada yang mengatakan hadits demikian halnya
pada tradisi Kristen. Di samping itu tulisan ini juga mengelaborasi
pendapat Mu’tazilah yang meyakini bahwa sifat Tuhan sebagai hadits
yang kontras dengan pendapat Asy’ariyah. Sementara dalam tradisi
Kristen yang memiliki ajaran yang senada dengan Mu’tazilah adalah
paham mengenai kemanusiaan Yesus.
Agama Kristen merupakan agama wahyu yang memiliki
kepercayaan monoteistik yang diwarisi oleh Ibrahim, sebagaimana
Yahudi dan Islam. Bahkan agama yang dibawa oleh Yesus Kristus
atau yang dalam Islam dikenal dengan Isa al-Masih ini merupakan
penerus dari agama Yahudi sebelumnya. Adalah niscaya jika
Kristen mengajarkan bahwa segala hukum Taurat dan kitab-kitab
perjanjian lama serta tradisi-tradisi lama yang hidup pada masa
sebelumnya wajib ditaati oleh pemeluknya.1 Yang membedakan
agama Kristen dengan kedua agama lainnya adalah adanya unsur
keselamatan yang dilakukan Yesus Kristus untuk umatnya. Unsur
inilah yang kemudian melahirkan doktrin trinitas.
Sebagai pewaris dari agama Ibrahim (Abrahamic Religion),
Kristen pada awalnya memiliki konsepsi monoteisme yang sama
dengan Islam, namun sepeninggal Yesus pembawa agama ini
dan masuknya budaya luar serta faktor politik dari penguasa saat
itu, konsepsi monoteisme dalam agama semitis ini menjadi kabur
dengan munculnya doktrin trinitas, yakni doktrin kepercayaan
Trinitas dan Sifat Tuhan....
terhadap tiga oknum ketuhanan: oknum Bapak, Putra dan Roh
Kudus atau tiga sifat ketuhanan, dan ketiga oknum ini bersifat
kekal atau qadim.
Dalam sejarah, konsepsi trinitas yang difahami oleh umat
Kristen tersebut menimbulkan reaksi keras baik dari kalangan
Kristen sendiri seperti Arianisme serta beberapa sekte dari
kalangan Islam seperti Asy`ariah, Salafiyah maupun Mu`tazilah.
Dan Mu`tazilah memiliki karakteristik tersendiri dalam merespon
trinitas. Mereka mengkritik dan menolaknya dengan konsep ta`til
yaitu penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan.
Sebenarnya mereka tidak mengingkari keberadaan sifat-
sifat Allah tetapi mereka menolak adanya sifat-sifat yang qadim
dan difahami sebagai tambahan atas zatNya. Konsepsi penolakan
terhadap sifat-sifat Tuhan yang qadim yang terpisah dari zatNya
ini merupakan antithesis dan counter terhadap trinitas Kristen yang
oknum-oknumnya difahami sebagai yang qadim, bahkan terhadap
golongan-golongan Islam sendiri yang meyakini sifat-sifat Tuhan
sebagai yang qadim.
Penolakan Mu`tazilah tersebut tidak berlebihan ketika kita
menengok sejarah gereja Kristen. Trinitas bukanlah risalah yang
dibawa oleh Yesus Kristus tetapi merupakan produk pemikiran
para tokoh gereja klasik yang dilembagakan sebagai doktrin
gereja Ortodoks pada abad ke-4 Masehi. Dan doktrin tersebut
tidak lepas dari pengaruh Helenisme yang saat itu menjadi
wacana global.
Pada abad kedua dan ketiga masehi, kepercayaan Kristen
sudah terpengaruh dengan kebudayaan Yunani dan mulai
bergumul dengan gnosis. Apalagi perkembangan Kristologi
pada abad pertama yang menggeser posisi Yesus, yang melalui
kebangkitannya dinyatakan sebagai anak Allah. Pada diri
Anak Allah ini firmanNya sudah ada sebelum tampil di bumi.
Pendekatan ini mudah diterima oleh penganut gnosis Yunani.
Dan sebaliknya, pandangan gnosis tidak menerima jika Yesus
juru selamat adalah seorang manusia.
Benih trinitas tersebut tumbuh dan dipupuk dalam
perguruan Aleksandria, yaitu perguruan tinggi pertama dan
terpenting didirikan di kota Aleksandria Mesir. Mazhab
Aleksandria bergerak dalam alam pemikiran filsafat yang
berpangkal pada Plato dan terpengaruh oleh gnosis Yunani.
Sedangkan yang menentang keazalian oknum-oknum adalah
(ketuhanan Yesus) adalah perguruan tinggi Teologi Antiokhia di
Syria. Mazhab Antiokhia juga bergerak dalam pemikiran filsafat
Yunani tetapi lebih terpengaruh oleh filsafat Aristoteles yang
bersifat positivistik, kurang mistik dan bersifat lebih rasional
daripada mazhab Aleksandria. Dalam eksegese (hermeneutik),
mazhab Antiokhia menegaskan segi historisitas harfiah kitab
suci serta kurang gemar akan alegorese.4Namun kecenderungan
monotheistik mazhab ini kemudian dianggap bid`ah dan
menyimpang dengan diresmikannya doktrin trinitas oleh
Konstantin penguasa Romawi saat itu dalam Konsili Nicea tahun
325 Masehi.
Melalui penelitian ini, disamping dalam rangka mengetahui
doktrin trinitas dalam tradisi Kristen Klasik, penulis ingin mengkaji
lebih dalam doktrin sifat-sifat Tuhan dalam tradisi teologi
Islam kususnya Mu`tazilah dan membandingkannya dengan
doktin trinitas dalam teologi Kristen. Karena sekte ini dianggap
paling konsisten dalam mempertahankan ajaran monotheisme
dibandingkan sekte-sekte Islam lainnya. Kritik dan penolakan
mereka terhadap sifat Tuhan yang qadim berimbas pada kritik
mereka terhadap doktrin trinitas dalam teologi Kristen.
Berbeda dengan kajian Kristologi sebelumnya yang
cenderung bias dan terkesan mendiskriditkan agama lain, sehingga
Trinitas dan Sifat Tuhan....
tidak dapat menimbulkan dialog yang sehat dengan sesamanya
yang beragama lain. Terlepas dari kekeliruan yang dialamatkan
pada keyakinan Kristen tersebut, penulis tidak akan menyoroti
kekeliruan tersebut tetapi lebih memfokuskan pada hubungan
erat antara doktrin trinitas dengan sifat Tuhan dalam dua tradisi
Kristen dan Islam. Kesepahaman dan ketidaksepahaman antara
dua tradisi tersebut.
Penulis merasa tergugah untuk meneliti kajian ini mengingat
stereotip-stereotip yang muncul karena ketidaktahuandan sikap
penuh dengan prasangka negatif baik tentang Islam maupun
tentang Kristen sendiri yang berlangsung selama ratusan tahun.
Sedangkan perhatian sarjana-sarjana muslim terhadap Barat
(tradisi Kristiani) selama ini tidak sebanding apabila dibandingkan
perhatian intelektual Barat terhadap Timur (tradisi Islam). Maka
adalah niscaya ketika ada kesalahpahaman-kesalahpahaman atau
klaim-klaim yang muncul di kalangan umat Islam mengenai
keyakinan agama Kristen. Fenomena ini sangat merugikan umat
Islam sendiri. Maka perlu diadakan kajian teologis terhadap
keyakinan agama Kristen dengan melihat persamaannya dan
perbedaannya dalam konsepsi teologi Islam, yakni persamaan
oknum-oknum trinitas dengan sifat-sifat Tuhan.
Pengidentikan oknum-oknum dengan sifat-sifat ini
sebenarnya sudah tidak asing lagi dalam teologi Kristen dan
Islam abad pertengahan. Saat kedua teolog dari kedua agama
tersebut hidup berdampingan di bawah kekuasaan Islam. Namun
setelah abad pertengahan berlalu, pengidentikan dua term dari
dua tradisi agama yang berbeda ini mulai terkubur dan dilupakan
oleh para teolognya baik dalam Islam maupun dalam Kristen
sendiri, apalagi dalam konteks keindonesiaan. Dengan demikian,
di sinilah letak urgensi dari penelitian ini.Kajian ini difokuskan
pada doktrin trinitas dan sifat Tuhan dalam teologi Kristen dan
Islam. Secara teologis dalam kedua agama ini memiliki persamaan
dan perbedaan konsep mengenai kedua ajaran tersebut.
Sri Dahlia
Dalam teologi Kristen Allah telah menyatakan dan
memperkenalkan dirinya sebagai yang Esa. Di dalam ajaran
Kristen, Allah yang dengan firman dan karyaNya menyatakan
atau memperkenalkan diri sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Keyakinan ini disebut trinitas atau tritunggal. Ajaran trinitas,
Allah bukanlah suatu kebenaran yang diperoleh melalui akal
budi atau yang dikenal dengan istilah teologi natural, tetapi suatu
kebenaran yang dapat diketahui melalui penyataan atau wahyu.
Bentuk Yunani dari trinitas adalah trias. Dan istilah ini pertama
kali digunakan oleh Tertulianus (w. 220M).
Dalam teologi Kristen, istilah trinitas berarti ada tiga
oknum yang kekal dalam hakikat Allah yang Esa. Masing-masing
dikenal sebagai Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Tiga oknum ini
dikenal sebagai tiga kepribadian Allah. Ketiganya adalah kesatuan
yang merupakan satu kebenaran yang Esa. Menurut rumusan
gereja Kristen, keyakinan yang demikian tidak boleh disebut
sebagai politeisme tetapi harus dikatakan sebagai suatu model dari
monoteisme, sebab oknum kedua dan ketiga merupakan bagian
dari Allah sang Bapa. Dengan istilah lain bahwa ketiganya adalah
dalam keesaan atau keesaan dalam ketigaan.5 Dua pengertian
ini secara umum dapat memberikan penekanan yang berbeda
terhadap doktrin trinitas dalam sejarah perkembangannya.
Maka terdapat dua tipologi kecenderungan terhadap trinitas,
yaitu kecenderungan teologi Yunani dan Latin. Kecenderungan
pertama lebih menekankan pada substansi oknum-oknumnya,
sedangkan yang kedua lebih menekankan pada keesaan ketiga
oknum-oknum tersebut. maksudnya adalah kesempurnaan
ketuhanan terletak pada kesatuan oknum-oknumnya. Pendekatan
ini desebut modalisme, yakni oknum tersebut hanya modus dari
keesaan Tuhan,6 atribut atau dalam Islam disebut dengan sifat
Tuhan.
Dalam mengkaji sifat Tuhan, penulis lebih memfokuskan
pada ajaran Mu`tazilah. Karena teologi ini sangat jelas dan
tegas dalam menyuarakan konsep monoteismenya. Dengan
rasionalismenya, Mu`tazilah memperjuangkan monoteisme atau
tauhid murni melalui penolakannya terhadap sifat-sifat Tuhan
yang dianggap qadim dan memiliki eksistensi sendiri di luar
dzatNya.
Sebenarnya Mu`tazilah tidak mengingkari keberadaan
sifat-sifat Allah tetapi mereka menolak adanya sifat-sifat yang
qadim dan difahami sebagai tambahan atas zatNya. Dengan
berpegang pada pemahaman mengenai keesaan Tuhan, mereka
mengakui adanya penyatuan antara zat dan sifat.
Penolakan Mu`tazilah terhadap sifat Tuhan yang qadim
ini merupakan landasan teori mereka dalam mengkritik doktrin
trinitas dalam teologi Kristen. Karena oknum-oknum atau
dalam teologi Islam lebih dikenal dengan sifat, oleh teologi
Kristen difahami sebagai yang qadim atau kekal. Pemahaman ini
berimplikasi pada naiknya posisi yesus sebagai firman kepada
derajat ketuhanan.
Dalam memurnikan monoteisme ini, Mu`tazilah tidak
hanya mendapatkan perlawanan dari teolog Kristen, tetapi
mendapatkan perlawanan juga dari sesama teolog muslim
terutama dari teolog Asy`ariah yang meyakini sifat sebagai yang
qadim. Dan para teolog Mu`tazilah mengkhawatirkan para teolog
Asy`ariah yang meyakini sifat sebagai yang qadim akan mengikuti
jejak keyakinan trinitas Kristen.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
deskriptif dan komparatif analisis, yaitu dengan mengumpulkan
data-data dari sumber-sumber yang ditentukan dengan
menghubungkan satu sumber dengan sumber yang lain lalu
kemudian menganalisisnya. Dengan demikian pengumpulan data
dilakukan dengan cara survey buku (library research). Sedangkan
sumber penulisan, penulis berpedoman kepada buku-buku yang
tercantum dalam daftar pustaka.
Penulis memahami sudah tentu kajian ini sangat
diharapkan keautentikanya, yakni pembahasanya terhadap karya-
karya para teolog Kristen maupun Islam. Dari teologi Kristen,
penulis menggunakan buku-buku karangan para teolog Kristen
dan Barat seperti C. Groenen, Karl Barth, Auster G Mc Graft.
Dan dari teologi Islam, penulis mengambil sumber data dari
karya-karya teolog Mutazilah klasik maupun modern dari Harun
Nasution,Zuhdi Jarullah, Al-Khayyat, Qhadi Abd dan Jabbar.
Sedangkan sumber data perbandingan antara Trinitas dan Sifat
Tuhan penulis dapatkan dari para teolog dari kedua tradisi
tersebut, Kristen dan Islam seperti Karen Amstrong, CJ. Bleeker,
W.M. Watt,Anton Wessels,Harry A. Wolfson, Syalabi, Nasri Sihab,
Muhammad Arkoun, dan Sayyed Husen Nasr.
Dalam penelitian ini, penulis memposisikan diri bukan
sebagai pihak luar (out sider) sebagai pihak Mu`tazilah yang
mengkritik doktrin Trinitas, tetapi sebagai orang dalam (insider)
atau yang lebih tepat lagi melalui study from within yaitu sebagai pihak
yang mencoba memahami trinitas dengan mempertimbangkan
backrground tradisi Kristen dan kemudian dikomparasikan
dengan pemikiran sifat Tuhan Mu`tazilah dalam tradisi Islam.
Penelitian ini memiliki tujuan teoritis dan praktis. Tujuan
teoritisnya adalah pertama, dalam rangka memperkaya khazanah
ilmu-ilmu pengetahuan dan keagamaan bagi akademisi dalam
rangka memahami ajara-ajaran agama lain secara obyektif.
Kedua, memfaktualkan ilmu-ilmu klasik yang berkaitan dengan
perbandingan agama disaat bermunculanya kajian ilmu-
ilmu modern dewasa ini. Sedangkan tujuan praktisnya adalah
membiasakan para akademisi muslim untuk berfikir filosofis
dalam menghadapi realitas yang ada. Karena dengan paradigma
filsafat, umat Islam lebih rasional dalam menyikapi realitas yang
ada dalam masyarakat. Tidak mudah emosi dan terpancing
dengan pemahaman-pemahaman yang dangkal dalam wacana
teologis khususnya. Sehingga diharapkan paradigma penelitian
ini diharapkan dapat memberikan solusi konstruktif alternatif
terhadap persoalan-persoalan konflik keagamaan yang sering
terjadi di Indonesia maupun dunia lainya.
Pembahasan
Sekte-Sekte Kristen klasik1.
Agama Kristen yang ditemui nabi Muhammad dan kaum
muslimin awal dapat dikatakan amat berbeda dengan agama
Kristen yang kita kenal sekarang. Sekitar tahun 600an M ada
sekelompok khusus umat Kristen yang melembagakan gereja
besar yang belakangan terpisah dan kini terpecah menjadi gereja
Katolik Roma, gereja ortodoks Timur dan gereja Protstan. Namun
ada pula segolong umat Kristen yang telah keluar dari gereja besar
tersebut seperti golongan heretik (bid`ah). Yang disebut terakhir
ini sering disebut sebagai golongan Monofisit (golongan Yakobit
dan Copt) dan golongan Nestorian. Keduanya dianut oleh sebagian
besar umat Kristen Mesir, Palestina, Syiria dan Iraq (Watt: 1996,1)
serta wilayah lainya yang diperintah kekhalifahan Islam. Namun
bukan berarti penyimpangan mereka karena terpengaruh oleh
pemikiran Islam,7 tetapi lebih terpengaruh oleh kecenderungan
budaya masing-masing yang sangat berbeda dengan gereja bsar
(orthodox state). Karena Islam datang kemudian dan bertemu
dengan Kristen setelah agama ini melewati masa-masa kritisnya
di abad 3,4 dan 5M dalam konsili-konsili yang menganggap
keduanya sebagai heretik. Misalnya di wilayah Syam dan Mesir
yang telah dikuasai Islam. Islam bertemu mereka dalam kondisi
sudah mapan, karena sudah memeluknya sejak zaman jahiliayah
melalui para rahib dan misionaris (Subhi: 1969,24). Dianggap
heretik karena menentang dan menyimpang dari ajaran gereja
besar. Adapun sekte-sekte Kristen klasik adalah:
Istilah orthodox diambil dari bahasa Yunani ortodoxy
yang mempunyai arti kepercayaan yang benar, yakni kepercayaan
dan ajaran yang diakui oleh gereja sebagai yang berdasar pada
pewahyuan dari Allah dalam Yesus Kristus. Ortodoksi masuk
dalam perbendaharaan kata gerejani ketika terjadi perbedaan
pendapat besar-besaran mengenai Kristologi dan tritunggal
pada abad 3,4 dan 5M. Di Timur istilah ini digunakan untuk
menyebut gereja-gereja yang bersatu dengan Konstantinopel dan
Roma, dilawankan dengan Nestorian dan Monofisit . Atau gereja
ortodoks ini disebut juga dengan gereja ortodoks Bizantium
(Melkitis), Chalcedonis, Ortodoksi keras atau ortodoksi Yunani
yang kini telah benar-benar menjadi gereja ortodoks.8 Dikatakan
ortodoksi Yunani karena sekte atau ajaran ini berada di bawah
payung kebudayaan Yunani yang sangat percaya kepada ortodoksi.
Maka tak pelak lagi kalau kawasan timur gereja besar ini dikenal
sebagai gereja ortodoksi, yang karenanya dapat dikatakan di sini
bahwa persetujuan-persetujuan paripurna kepada kepercayaan
tersebut diyakini menjadi landasan bagi persatuan umat Kristen.
Visi ortodoks dari homogenitas komunitas pada iman dan
persatuan dalam peribadatan adalah penting bagi gereja sebagai
suatu keseluruhan, namun pada prakteknya visi ini dapat
diselewengkan kepada alat mayoritas yang dominan untuk berbuat
tirani kepada minoritas. Ortodoksi menjadi berarti pengakuan
rumus-rumus kredal. Dan dari pengertian inilah subyek negosiasi
antara berbagai macam golongan pada konsili-konsili ekumenikal
terjadi. Dalam negosiasi ini golongan minoritas seperti masyarakat
Kristen Mesir dan Syiria yang tidak mendapat tempat, lalu harus
memilih antara meninggalkan sebagian kepercayaan mereka yang
paling mendalam atau meninggalkan gereja besar
Aliran ortodoksi ini memiliki kekuasaan di Romawi
yang mayoritas penduduknya menganut mazhab tersebut.
Diantara tokohnya adalah Klement (w. 215) dari Aleksandria
yang tentu saja mau meneruskan tradisi mewartakan seorang
Yesus Kristus dari Yunani. Ia sangat menonjolkan sisi keilahian
Yesus sedemikian rupa sehingga sisi kemanusiaanya yang secara
formal dipertahankan nyatanya diserap oleh ciri ilahi. Misalnya
ia bekata bahwa Yesus Kristus makan dan minum bukanlah
karena membutuhkanya sebab daya penyangga Yesus adalah
logos (firman) ilahi. Yesus makan dan minum supaya orang
sekitarnya tidak mendapat kesan bahwa kejasmanianya hanya
bayangan saja.
Tokoh lain yang tergabung dalam aliran ini menurut Watt
adalah Gregory dan Nyssa (w.359M). Mereka adalah salah seorang
yang bertanggungjawab akan munculnya doktrin trinitas dalam
konsili Konstantinopel tahun 381M. Dalam konsili ini dinyatakan
bahwa Kristus adalah manusia seperti kita. Namun sebagai Bapa
tidak sama seperti manusia biasa. Gregory menekankan bahwa
pada diri Yesusterlihat watak oprasional yang identik dengan
diri sang Bapa, yakni memberi kehidupan dan kesehatan yang
membersihkan dosa dan memberikan petunjuk.
Secara umum sekte ini meyakini bahwa kalimat bersatu
dalam tubuh Yesus dan mengenakan tubuh kemanusiaanya.
Penyatuan ini tidak sempurna. Bercampurnya kalimat dalam
tubuh Yesus seperti bercampurnya air dengan susu. Sekte
ini menegaskan bahwa substansi bukanlah oknum-oknum
sebagaimana yang disifati (mausuf) bukanlah sifat itu sendiri.
Dengan demikian mereka membedakan antara Bapa, Putra dan
Roh Kudus dan menetapkan trinitas. Menurut mereka Yesus
adalah qadim sejak azali. Maria telah melahirkan Tuhan yang azali,
maka ia adalah ibu Tuhan. Pembunuhan dan penyaliban terjadi
pada lahut dan nasut secara bersamaan.
Ya`kubiyah (b. monofisit church)
Istilah monofisit berasal dari bahasa Yunani yang berarti
monos (satu) dan physys (kodrat) satu kodrat. Yaitu suatu gereja
yang memiliki ajaran bahwa pada diri Yesus hanya ada satu
kodrat. Akibat persatuan logos ilahi dengan kemanusiaan
Yesus maka yang tinggal hanya satu kodrat, yakni kodrat ilahi.
Sebab kemanusiaanya diresapkan ke dalam keilahian laksana
setetes air madu jatuh ke dalam samudra. Sehingga rumusan
konsili Ekumenis Efesus (431M) bahwa kodrat ilahi dan kodrat
manusiawi Kristus tidak bercampur dan tidak terpisahkan, dan
bahwa kodrat manusiawi dimiliki oleh pribadi ilahi disangkal oleh
Eutikes sebagai tokoh utamanya. Ajaranya ini dianggap ekstrim
dan dikutuk konsili ekumenis Chalcedon (451M).13Tokoh gerejani
lain yang berkecenderungan monofisit adalah Appolinaris yang
sejak 361M menjadi uskup di Lordikea. Dan Athanasius (373M)
juga termasuk ke dalam aliran ini.
Pendukung fanatik sekte ini sangat memusuhi para
pengikut Nestorius, dan menyatakan satu tabiat serta meniadakan
kemanusiaan Putra Tuhan yang menjelma dalam tubuh Yesus.
Sehingga mereka dikatakan sebagai golongan Monofisit (satu
tabiat). Kesatuan sempurna antara lahut dan nasut menjadi satu
substansi. Yesus menurut mereka adalah Tuhan yang benar.
Yakni dari substansi Bapaknya. Kemanusiaanya merupakan
penampakan dari substansi ketuhanan, maka ia menjadi Tuhan.
Manusia menjadi Tuhan seperti halnya bara yang menyala
menjadi api. Dan pembunuhan terjadi pada tabiat yang satu, yaitu
penyatuan antara lahut dan nasut.14
Nusturiyah (c. Nestorian Church)
Nestorian merupakan nama gereja Timur kuno abad
ke-5 yang pada abadke-19 ini berubah namanya menjadi
Assyrian.15Nestorian adalah aliran Kristen yang dipelopori oleh
Nestorius dan dianggap sebagai ajaran heretik oleh gereja besar.
Ajaran seorang rahib dari Antiokhia yang menjadi patrikh di
Konstantinopel (428-431) ini dikutuk pada tahun 431 dalam
konsili Efesus, karena mengajarkan dalam diri Yesus ada
dua pribadi yang berbeda, manusiawi dan ilahi.16 Kemudian
manusiawi Yesus menyatu dengan oknum kedua. Penyatuan yang
dimaksud bukanlah dengan dengan pembauran sehingga menjadi
satu, atau bukan penyatuan yang hakiki tetapi bermakna majazi.
Dengan tegas Nestor menegaskan bahwa Yesus adalah manusia
bukan Tuhan. Akibatnya ia dikeluarkan dari gereja, dipecat dan
dinyatakan sebagai orang yang terlaknat.
Sekte ini meyakini bahwa kalimat menjelma dalam tubuh
Yesus tidak melalui percampuran tetapi seperti halnya sinar
matahari pada Kristal atau seperti munculnya cetakan cincin
pada lilin. Ia adalah manusia yang lahir dari manusia. Akan tetapi
berbeda dengan para rosul lainnya, anugrah ketuhanan diberikan
kepadanya selamanya. Yaitu selama kalimat ketuhanan Nampak
jelas dalam tabiat kemanusiaanya sebagaimana sinar matahari di
atas Kristal. Kristal tidak menjadi matahari seperti halnya cetakan
cincin di atas lilin,tidak membuat lilin ini menjadi cincin. Ia
hanya gambar cincin, begitu juga dengan pertemuan ketuhanan.
Setelah bertemu dengan kalimat, Yesus tidak menjadi Tuhan.
Karena pertemuan itu tidak menggugurkan keazalian lahut dan
kemakhlukan nasut. Sedangkan pembunuhan terjadi hanya pada
nasut tidak pada lahut. Maria, ibu Yesus adalah manusia dan
Yesus disebut Putra Allah karena pengangkatan atau anugrah
bukan kelahiran atau penyatuan. Kecederungan semacam
ini menyebabkan pengusiran Nestor. Akan tetapi peikiranya
ini telah menyebar dalam masyarakat Syiria, dan merupakan
revolusi atas imperium Romawi dan sekte kerajaan (Mulkaniyah).
Setelah dibantai oleh imperium Romawi, golongan ini menetap
di wilayah Timur dan dilindungi oleh imperium Persia karena
motif politis.
Menurut golongan ini Tuhan itu kekal abadi dan tidak
dapat dilampaui. Berdasarkan alasan tersebut maka golongan ini
memberi obyek kepada Term Theodoks atau “Tuhan beranak” yang
dikembalikan pada Maria. Karena Tuhan itu kekal abadi maka
Tuhan tidak mungkin menjadi seorang bayi yang pernah dilahirkan
manusia. Nestorius dan pengikutnya memberi penekanan pada
hakikat kemanusiaan Yesus. Sebab pendapat kemanusiaan inilah
yang membawa kemenangan atas setan. Karena sebagai manusia
ia digoda, namun godaan-godaan yang diarahkan kepadanya
selalu menemui kegagalan dengan adanya pribadi ilahi.
Bersatunya firman dengan Yesus bukan melalui
perpaduan seperti yang diyakini oleh Mulkaniyah. Dan juga
bukan merupakan penampakan diri sebagaimana yang difahami
Ya`kubiyah, akan tetapi bagaikan sinar matahari di dalam
memancarkan sinarnya kepada benda yang dapat mengembalikan
sinarnya kepada benda yang dapat mengembalikan sinarnya
secara rata dan teratur.18Karena dalam rangka penyatuanya
dengan firman Tuhan atau Yesus pra eksisten atau Putra Tuhan
sebenarnya, difahami sebagai pengangkatan bukan kelahiran
sebagaimana diekspresikan oleh pelopornya yang lain Theodore
Mopsuestia.19Pemahaman terhadap pengangkatan Anak Yesus
ini membedakan dengan pemahaman sekte Mulkaniyah dan
Ya`kubiyah yang menganggapnya sebagai anak kelahiran. Maka
pantas sekte yang satu ini dianggap sebagai sekte yang memiliki
pemahaman yang benar mengenai Yesus, paling tidak oleh
Ibn Haith dan Hadatsi dari kalangan teolog muslim. Mereka
menyebutkan bahwa kepercayaan yang benar mengenai Yesus
bukan Mulkaniyah, bukan pula Ya`kubiyah tetapi Nestorian.
Ketiga sekte Kristen ini sepakat bahwa Allah satu dari
segi esensi dan tiga dari segi oknum. Oknum-oknum merupakan
sifat-sifat wujud, ilmu dan hayat atau merupakan pribadi-pribadi:
Bapak, Putra dan Roh Kudus. Oknum kedua yang merujuk pada
ilmu menjelma dalam tubuh Yesus, maka bertemulah ketuhanan
dan kemanusiaan. Bagaimana Maria yang hadits (makhluk) dapat
melahirkan Tuhan sedangkan Tuhan adalah qadim.
Pada umumnya orang Arab Kristen adalah pengikut
gereja Timur (Nestorian), tetapi ada juga yang berada di bawah
penganut Yakobit. Rahib Bahira yang diduga pernah bertemu
dengan nabi Muhammad pada masa remajanya, menurut satu
pendapat ia adalah seorang Nestorian dan menurut yang lain
adalah seorang Yakobit.
Melalui jalur perdagangan bangsa Arab berhubungan
dengan bangsa-bangsa Syiria, Persi, Habsyi, Mesir (Qibthi)
dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari
kebudayaan Hellenisme. Aliran Kristen yang masuk ke Jazirah
Arab adalah aliran Nestorian di Hirah dan aliran Jakob Barady
(monofisit) di Ghassan. Daerah Kristen yang terpenting adalah
Najran, sebuah daerah yang subur. Penganut agama Kristen
tersebut berhubungan dengan Habasyah (Ethiopia), Negara
yang melindungi agama ini. Penganut aliran Nestorianlah yang
bertindak sebagai penghubung antara kebudayaan Yunani dan
kebudayaan Arab pada masa awal kebangkitan Islam.21
Trinitas dan Sifat Tuhan2.
Dalam tradisi Kristen Klasik, sebenarnya sudah ada
formulasi trinitas yang tidak sulit dipahami oleh akal sehat
khususnya oleh beberapa teolog muslim. Yaitu ketika oknum-
oknum tersebut dikaitkan dengan sifat Tuhan. Seperti dalam
formulasi trinitas Neoplatonisme yang kemudian dikenal oleh
teolog muslim sebagaimana asal penjelasan trinitas yang dikutip
dari Victorianus dan Erigene. Istilah Arab Jud. Zat dan Wujud
digunakan sebagai gambaran dari oknum pertama trinitas
Neoplatonisme Yunani. Istilah Arab hayat, hikmat, nutk dan
ilm digunakan sebagai ekspresi dari oknum kedua dan ketiga.
Sedangkan istilah qudroh digunakan sebagai gambaran dari oknum
ketiga trinitas Yunani.
Adapun yang termasuk tokoh Kristen Neoplatonis
adalah Jamblichus, Theodore of Asine dan Proclus. Jamblichus
sebagaimana yang dikutip oleh Damaskus, menggambarkan
trinitasnya sebagai Bapa atau substansi (Zat), kekuasaan (qudrah),
dan intelek (`aqal). Dan Theodore Asine sebagaimana dikutip
oleh Proclus menggambarkan trinitasnya sebagai eksistensi
(wujud), intelegensi (`aqal) dan hidup (hayat). Sedangkan Proclus
sendiri mengungkapkan trinitasnya sebagai esensi, substansi
atau eksistensi, hidup atau kuasa dan intelek atau intelegensi.
Di sisi lain juga ia menggambarkan trinitasnya sebagai goodness
(jud), power atau pengetahuan (`ilm). Model yang disebut terakhir
ini berkaitan dengan trinitasnya Yahya Ibn `Adisebagai generosity
(goodness), Wisdom (`ilm), dan Power.23Dan munculnya keyakinan
bahwa ketiganya adalah Tuhan berawal dari konsepsi eternalitas,
keazalian dan keqadiman sifat-sifat Tuhan tersebut.
Konsepsi mengenai keqadiman sifat-sifat Tuhan tersebut
yang kemudian dalam teologi Kristen diformulasikan menjadi
doktrin trinitas memiliki pengaruh terhadap konsepsi sifat Tuhan
dalam sekte ortodoks Islam seperti `Asyariah, Sifatiyah dan
sebagainya. Maka sekte-sekte Islam inipun meyakini keqadiman
sifat-sifat Tuhan. Namun demikian, mereka tidak sampai
menganggap sifat-sifat tersebut sebagai Tuhan.
Kristen merupakan agama yang besar pengaruhnya
terhadap teologi Islam terutama Mu`tazilah. Dalam masalah
ketuhanan, kelompok ini terpengaruh oleh Bapak-Bapak gereja
Timur yang pada masa Daulah Umayah diberi kedudukan
tinggi dalam pemerintahan seperti Sargius Ibn Mansur al-Rumi.
Muawiyah pendiri daulah ini menjadikanya seorang sekretaris
dan penasehat pribadinya. Dan Yazid sebagai penerusnya
tetap memuliakan dan selalu meminta petuah-petuahnya.
Sepeninggalnya, Sargius mewariskan kedudukan tersebut kepada
anaknya John Damaskus (Yahya al-Dimaski). Ia mengabdi pada
pemerintahan Umawi selama beberapa tahun. Setelah berhenti
dari pengabdianya, ia menghabiskan usianya dengan menyibukan
diri dengan diskusi-diskusi dan kajian-kajian serta menyusun kitab
ketuhanan. Demikian pula al-Akhtal, seorang penyair Kristen
yang diagungkan oleh Yazid. Ia diberi kedudukan tinggi sebagai
penyair istana.
Asimilasi umat Islam dengan umat Kristen pada saat itu
memberikan pengaruh yang besar terhadap kedua tradisi ini.
Apalagi dari sosok legendaris John Damaskus yang merupakan
teolog besar terakhir di gereja Timur dan teolog terbesar di
kekristenan Timur. Karya-karyanya dijadikan panduan pada gereja-
gereja tersebut sebagaimana yang dikatakan J.C. Ayer. Bahkan
menurut M.C. Giffert, teologi Kristen mencapai puncaknya
pada masa Damaskus. Dari karyanya Al-Iman al-Urtuduksi
kita bisa mengetahui posisinya bagaimana ia menyandarkan
pembelaan terhadap akidah-akidah agama pada argumentasi
rasio. Untuk menguatkan argumentasinya ia menulis sebuah
buku tafsir ketuhanan Kristen yang didasarkan pada filsafat
logika Aristoteles. Dengan demikian pengaruh Damaskus tidak
terbatas pada kekristenan Timur tetapi juga kekristenan Barat dan
bukunya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Banyak
teolog Barat yang memberikan apresiasi dan mempelajarinya
seperti Thomas Aquinus, teolog Barat terbesar
jika pengaruhnya sampai tembus ke Barat, kenapa tidak bangsa
Arab Muslim yang membesarkanya mendapat pengaruh juga
darinya. Pengaruh-pengaruh tersebut sampai ke umat Islam
terutama melalui diskusi-diskusi dan perdebatan-perdebatan
yang diadakannya. Fenomena ini lazim muncul pada masa Bani
Umayah pertama. Mereka sangat toleran terhadap agama sehingga
tidak mencegah adanya diskusi-diskusi semacam ini. Toleransi ini
mencapai puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah khususnya
pemerintahan al-Ma`mun yang memberikan penghargaan besar
terhadap ilmu. Tidak hanya itu, ia sering menghadiri diskusi-
diskusi yang dilakukan oleh kedua tradisi tersebut seperti
diskusi yang diadakan oleh Theodore Abu Qurroh, seorang
Uskup Harran dan murid John Damaskus, dengan para teolog
Muslim Irak, Syam dan lainya. Theodore memiliki posisi yang
tinggi diantara teolog Barat, karena ia mengikuti jejak gurunya
dan menggunakan metodenya sehingga menjadi penulis Gereja
genius terbesar.
Masa kekuasaan al-Ma`mun inipun dikenang sebagai
masa kegemilangan Islam, dimana perkembangan ilmu dan
toleransi terhadap agama lain sangat tinggi. Realitas ini bukan
sekedar romantisme sejarah bagi umat Islam yang membidaninya
tetapi juga diakui oleh semua tradisi, termasuk tradisi Barat dan
Kristen sendiri.
Sifat Tuhan dalam Teologi Islam4.
Monoteisme Mu`tazilaha.
Semua sekte dalam Teologi Islam mengajarkan monoteisme
atau tauhid. Namun dalam hal ini Mu`tazilah yang paling tegas
dan konsisten dalam menegakan monotesme dibandingkan
sekte-sekte Islam lainya. Dalam mempertahankan monoteisme
absolut atau tauhid murni, Mu`tazilah mengembangkan teologi
via negative, yaitu menahan diridari memberi sifat atau kualitas
apapun kepada Tuhan, dan memilih menyatakan apa-apa yang
bukan sifat-sifat Tuhan. Karena pemikiran rasional mereka tidak
membenarkan jika Tuhan bersifat dengan sifat yang qadim yang
bukan zatNya. Penafian terhadap sifat-sifat ini bukan berarti
mereka tidak mengakui Tuhan maha tahu, maha kuasa, maha
melihat dan sebagainya. Tetapi supaya mereka tidak mengakui
sifat-sifatNya terpisah dan berbeda dari zatNya. Alasanya jika
sifat-sifat tersebut tidak dianggap identik dengan zatNya akan
menimbulkan qadim yang banyak. Dan hal ini akan mengotori
kemahaesaan Allah. Karena itu mereka menafikan sifat-sifat Allah
agar tidak ada qadim lain yang menyerupaiNya.
Menurut golongan ini, kalau dikatakan Tuhan memiliki
sifat, maka dalam diri Tuhan ada unsur yang banyak, yaitu unsur
zat yang disifati dan unsur zat yang melekat pada sifat. Jika
dikatakan Tuhan memiliki dua puluh sifat, berarti dia tersusun dari
dua puluh satu unsur. Bila empat puluh sifat berarti unsurnya akan
berjumlah empat puluh satu. Dan kalau Sembilan puluh Sembilan
sifat berarti Tuhan akan terdiri dari seratus unsur. Pemberian sifat
kepada Tuhan menurut Mu`tazilah akan membawa banyaknya
jumlah yang qadim.Sedangkan dalam paham teologi yang qadim
itu Esa. Kalau iman dalam ajaran biasa adalah tiada Tuhan selain
Allah. Maka iman dalam teologi mengambil bentuk tiada yang
qadim selain Allah. Oleh karena itu, paham banyak yang qadim
membawa paham kepada syirik dan syirik dalam Islam merupakan
dosa terbesar yang tidak bisa diampuni Tuhan.26
Pemikiran Mu`tazilah ini merupakan antithesis dan
ditujukan sebagai counter terhadap pemikiran yang ada baik
Sifatiyah,Musyabbihah, Mujassimah dan `Asyariah dari kalangan
Islam maupun trinitas Kristen. Bagi Mu`tazilah, pernyataan
`Asyariah bahwa Allah mengetahui dengan ilmu dan hidup
dengan sifat hidupNya yang qadim akan memberikan jalan
untuk membenarkan trinitas Kristen.karena ketiga oknumnya :
Bapak, Putra dan Roh Kudus oleh mereka dianggap sebagai sifat
Tuhan yang qadim dan berdiri sendiri. Latar belakang inilah yang
menjadikan Yesus disembah oleh mereka.
Dari sini sangat jelas rasionalisme yang digunakan
Mu`tazilah dalam mempertahankan dan membela monoteisme
absolut. Maka tidak berlebihan jika para orientalis yang banyak
menulis tentang peradaban Islam klasik, golongan ini dijuluki
sebagai kaum rasionalis Islam. Dalam sejarah pemikiran Islam,
golongan ini meletakan dan menggunakan asas metode rasional
(almanhaj al-`aqli) dan metode dialektis (almanhaj al-jadali)dalam
memformulasikan pokok-pokok akidah dari sumber aslinya
al-quran. Metode rasional yang digunakan Mu`tazilah dalam
mengesakan Tuhan ini telah membuka jalan bagi munculnya para
filosof di kalangan Islam. Tidak mengherankan jika Abu Yusuf
Ibn Ishak al-Kindi (w.260H/873M) yang dianggap sebagai filosof
pertama adalah penganut faham Mu`tazilah di bidang akidah. Dan
filosof setelahnya Abu Nashar Muhammad Ibn Muhammad al-
Farabi (w.339H/950M) maupun Abu Ali al-Hussen Ibn Abdullah
Ibn al-Hasan Ibn Ali Ibn Sina (w.428H/1037M) juga adalah
seorang Mu`tazilah.
Rasionalisme pemikiran Mu`tazilah dalam rangka
mengesakan Allah terpengaruh oleh konsepsi ketuhanan
Aristoteles mengenai actus purus, sedangkan dalam konsepsi
sifat dan zat, pemikiran dan obyeknya, bahwa yang transenden
hanya diketahui secara negatif, terpengaruh oleh pemikiran
Plotinus.Namun sungguh aneh jika pemikiran yang berasal dari
filosof Yunani kuno sebelum Aristoteles dan Plotinus, yakni
Empedokles ini secara umum dibanggakan oleh pemikir-pemikir
Muslim dalam mengesakan Tuhan melalui kesatuan sifat dan zat
pada diri Tuhan.Fenomena seperti ini menurut Fazlur Rahman
adalah suatu dalam rangka membela Islam dari serangan-serangan
pihak luar. Dalam melakukan untuk pertama kalinya mereka
terpaksa membuat sebuah pikiran yang secara sistematis di luar
kredo agama Islam. Dan mereka sukses membersihkan umat
Islam dari apa yang kemudian disebut “kebudayaan rendah”
agama Islam oleh Schleiermacher dalam konteks yang sama pada
Kristen abad XIX.29 Meskipun kesuksesan ini hanya dinikmati
oleh kaum elit akademisi dan itupun dibatasi oleh sekat-sekat
teologis dan filosofis. Artinya masyarakat awam yang merupakan
mayoritas umat yang tidak berkecimpung dalam permasalahan
teologis dan filosofis tidak dapat mencicipi rasionalisme mereka.
Sebaliknya, dalam lingkungan tradisional yang merupakan basis
`Asyariah, aliran Mu`tazilah cenderung dimusuhi dan dianggap
sebagai sekte yang menyimpang dari ajaran Islam. Buku-bukunya
dilarang untuk dipelajari. Maka sumber yang tersedia hanya dari
penulis dari teolog Asyariah saja seperti Maqolat al-Islamiyyin karya
al-Asyari, al-Farqu Bainal Firaq karya al-Baghdadi dan Al-Milal wa
an-Nihal karya al-Syarastani.
Sifat-sifat Tuhan perspektif Mu`tazilahb.
Mu`tazilah merupakan sekte Islam yang tumbuh dan
berkembang dalam kebudayaan kosmopolit, saat berkembangnya
pengetahuan khususnya helenisme di dunia Islam. Melalui asimilasi
yang merupakan hukum alam. Adalah niscaya jika Mu`tazilah
terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran para filosof Yunani
dalam membela dan mempertahankan monoteisme absolut dari
serangan golongan-golongan lain seperti trinitas Kristen.
Akidah yang dianut Mu`tazilah dalam mengkaji sifat-sifat
Tuhan berbeda dengan golongan Islam lainya terutama akidah
Hanbaliyah dan Ahli Sunnah. Islam pada awalnya mengharuskan
adanya tauhid, namun hal ini tidak melarang adanya nama-nama
yang baik (al-Asma al-Husna) yang dikonsepsikan kepada Tuhan
seperti yang diterapkan pada manusia, begitu juga dengan adanya
sifat-sifatNya.
Dalam mengatasi ancaman yang bisa menjerumuskan
pada politeisme, Wasil bin Atha sebagai pendiri Mu`tazilah
menolak eksistensi sifat-sifat Tuhan seperti mengetahui, berkuasa,
berkehendak dan hidup. Hal ini tidak berarti bahwa Wasil dan
pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat
Tuhan. Sebagai orang Islam yang percaya bahwa al-Qur`an adalah
wahyu yang disampaikan Tuhan kepada nabi Muhammad, mereka
menerima kebenaran ayat-ayat ini bersama dengan kebenaran
seluruh ayat lainya. Hanya penafsiran mereka tentang ayat-ayat
itu berlainan dengan aliran para teolog lainya. Bagi Mu`tazilah
al-Rahman, al-Rahim, al-qadir, al-`Alim dan sebagainya bukanlah
sifat Tuhan tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan. Bagi mereka
Tuhan mengetahui bukan melalui sifat pengetahuan tetapi melaui
zatNya. Dengan penafsian seperti ini kaum Mu`tazilah memberi
gambaran yang Esa kepada diri Tuhan, diri yang tidak tersusun
dari lapisan zat dan lapisan sifat tetapi dari satu zat yang memiliki
berbagai aspek. Yang dituju kaum Mu`tazilah dengan peniadaan
sifat-sifat ialah penegasan diri Tuhan. Dengan demikian mereka
menjauhi pengertian politeisme.
Sebenarnya Mu`tazilah tidak mengingkari keberadaan
sifat-sifat Allah tetapi mereka menolak adanya sifat-sifat yang
qadim dan dipahami sebagai tambahan atas zatNya. Dengan
berpegang pada pemahaman mengenai keesaan Tuhan, mereka
mengakui adanya penyatuan antara zat dan sifat. Artinya menurut
mereka zat Allah tidak tesusun dari sesuatu apapun, isi atau
lainya. Karena jika zat Tuhan tersusun niscaya masing-masing
bagian membutuhkan bagian-bagian lainya. Sementara itu Allah
adalah satu dan mempunyai kesempurnaan sehingga Dia tidak
membutuhkan yang lain. zatNya tidak terdiri dari betuk dan sisi
apapun. Sifat tersebut adalah zat itu sendiri dalam arti zat Allah
dan sifatNya satu. Allah maha hidup, mengeahui dan beruasa
melalui zatNya. Tidak melalui sifat ilmu, sifat kuasa, sifat hayat
dan sifat-sifat lainya yang merupakan tambahan atas zatNya.
Berdasarkan argumen ini, kalangan Mu`tazilah menyatakan
seperti Abu Hudzail dan Ibrahim Annazzam (w.356H), jika
Allah mengetahui dengan sifat ilmu berarti sifat itu merupakan
tambahan atas zatNya sebagaimana kita lihat pada diri manusia.
Di sana pasti ada sifat dan yang disifati. Ciri-ciri tersebut hanya
terjadi pada jisim, padahal Allah bukan jisim. Jika dikatakan
sifat-sifat itu berdiri sendiri niscaya akan berakibat pada
berbilangnya yang qadim, sedang berbilangnya yang qadim berarti
berbilangnya Tuhan.
Tokoh Mu`tazilah lainya Abu Hasyim menolak untuk
menggunakan kata sifat dan mengantinya dengan istilah modus.
Dia mengatakan sifat-sifat bukanlah sesuatu maupun zat. Ia
tidak maujud maupun ma`dum dan dapat diketahui kecuali jika
dikaitkan dengan zat. Karena dia menganggap hal lebih ringan
dari sifat dan lebih sedikit perananya.
Berbeda dengan Abu Hasyim yang memahami sifat
sebagai modus, Ma`mar Ibn Ibad (w.144H) pendahulunya,
menafsirkan sifat sebagai konsepsi (ma`na) sehingga ia dijuluki
seorang konseptualis (ashabul ma`ani). Menurutnya konsep lebih
ringan daripada substansi sifat. Dengan demikian ia mengatakan
Allah mengetahui dengan ilmu dan ilmuNya memiliki konsepsi,
begitu juga dengan sifat lainya. Dia ingin menjadikan zat Tuhan
sebagai suatu yang qadim dan menganggap sifat-sifat terebut
hanya sebagai konsepsi kedua yang tidak penting.32
Dari sini dapat kita lihat kaum Mu`tazilah telah berbeda
pendapat mengenai eksistensi sifat-sifat Allah. Ada yang
mengatakan sifat Allah merupakan zatNya, zat itu sendiri. Ada
juga yang berpendapat sifat-sifat Allah merupakan modus-modus
dan sebuah konsepsi. Namun demikian, mereka sepakat sifat-sifat
itu tidak terpisah dari zatNya. Kesepakatan pendirian Mu`tazilah
ini adalah dalam rangka memurnikan keesaan Tuhan yang
sedang terancam terutama oleh trinitas Kristen dengan oknum-
oknumnya yang merupakan sifat-sifat yang qadim: wujud, `ilmu dan
hayat dalam bentuk pribadi Bapak, Putra dan Roh Kudus. Ketiga
sifat atau pribadi ini diyakini qadimsehingga masing-masing
menerima penyembahan yang sama.
Kedua alasan Mutazilah, yakni segala sesuatu yang qadim
adalah Tuhan dan tauhid meniadakan dan menolak adanya
banyak Tuhan meskipun yang banyak ini menyatu dan tidak bisa
dipisahkan dari keazaliaNya, memiliki latar belakang sejarah pada
filosof Yahudi Philo melalui bapak-bapak gereja. Alasan pertama
Mu`tazilah merupakan perinsip yang dikatakan Philo bahwa
Tuhan sendiri qadim. Implikasinya adalah segala sesuatu yang
qadim harus menjadi Tuhan. Prinsip ini kemudian diteruskan oleh
bapak-bapak gereja seperti Tertullian. Ia mengatakan qadim adalah
sifat Tuhan. Ia hanya dimiliki oleh Tuhan sendiri. Pandangan
Philonik tersebut juga digunakan oleh bapak-bapak gereja dalam
melawan dan menentang adanya yang qadim selain Tuhan.
Kristologi Mu`tazilahc.
Bisyr Ibn Mu`tair (210H), al-Jahid, Abu Ali al-Jubbai dan
muridnya Qhadi Abd al-Jabbar merupakan generasi Mu`tazilah
penerus yang mengkritik trinitas. Mereka pernah mengadakan
kontak langsung dan berdebat dalam forum-forum ilmiah dengan
sekte-sekte Kristen ortodoks. Dan hasil interaksi ini dituangkan
dalam sebuah buku. Namun sayang sekali karya-karya mereka
hilang ditelan masa seiring dengan berlarut-larutnya kebencian
umat pada golongan ini. Nampaknya yang masih ada sekarang
dan sampai kepada kita adalah al-Mughni karya Abd al-Jabbar yang
di dalamnya menjelaskan juga pemikiran kritis gurunya Abu Ali
al-Jubbai dan tokoh Mu`tazilah lainya terhadap doktrin trinitas.34
Kedua tokoh Mu`tazilah ini hidup di alam dimana
Mu`tazilah telah mengalami kemajuan pesat di bidang teologi.
Mereka menggunakan metode kritik pendahulunya yang sudah
bergulat dan mengkaji trinitas dengan bantuan filsafat Yunani
dalam membela tauhid. Meskipun sudah ada ayat al-Qur`an yang
mengkritik trinitas dan mengkafirkanya, namun menurut penulis
mereka tidak menggunakan ayat-ayat ini untuk melegitimasi
kritiknya. Karena dalam Al-Mughni, abd al-Jabbar tidak pernah
menyebut argumentasi literal kitab suci al-Quran. Yang ada hanya
argumentasi teologis rasional. Yaitu argumentasi rasional yang
dihasilkan dari kajian-kajian konsepsi mereka terhadap sifat-sifat
Tuhan. Berbeda dengan Ibn Hazm yang mengunakan argumentasi
literalis kitab suci dalam menunjukan kekeliruan doktrin ini.
Dalam Kristologinya, al-Jubbai menyadari adanya
satu eksistensi yang qadim dalam keyakinan umat Kristen.
Namun menurut mereka kepercayaan ini bertentangan dengan
kepercayaan umat Kristen itu sendiri menganai tiga oknum, yang
ketiganya adalah qadim. Sebenarnya keberadaan tiga oknum ini
basa saja dibenarkan kalau ketiga oknum tersebut tidak menunjuk
oknum tertentu. Yakni hanya sifat saja seperti keberadaan Allah
yang hidup, mengetahui dan sebagainya. Akan tetapi dalam
keyakinan Kristen, oknum-oknum tersebut dipahami sebagai
eksistensi yang menunjuk pada zat tertentu. Konsekuensi dari
keazalian oknum-oknum tersebut adalah Bapa memiliki sifat yang
dimiliki Putra dan Ruh begitu juga sebaliknya. Hal ini menuntut
keberadaan Bapa sebagai Putra, Putra sebagai Bapa, Bapa sebagai
Ruh dan Ruh sebagai Bapa.
Melalui logika tersebut, al-Jubbai menegaskan Putra
seharusnya sebagai Putra sendiri. Jika Putra sama dengan Bapa
dalam keazalianya, maka ia harus sama juga dengan Bapa dari
segi zatNya. Bila Putra sebagai Bapa sepantasnya ia memiliki
Putra juga, yaitu ilmu dan kalimat. Dan posisi sebagai Putra
meniscayakan adanya Putra yang lain, yakni ilmu dan kalimat
dan seterusnya sampai tidak terbatas. Begitu juga terjadi pada
Ruh. Hal ini sama kalau Putra memiliki Ruh, ia memiliki Putra
sebagaimana Bapa memiiki Putra dan Ruh, karena kesamaan
keduanya dari segi keazalian.
Doktrin adanya tiga yang qadim ini bertentangan dengan
keyakinan lainnya dalam agama Kristen, yakni yang qadim hanya
pencipta saja. Karena ketika mereka meyakini Putra dan Ruh
sama qadimnya dengan Bapa sang pencipta. Keyainan yang kedua
ini merupakan counter thesis yang pertama mengingat sifatnya
yang kontradiktif. Kalau keberadaan apa harus disertai dengan
sifat Ruh dan mengetahui harus dengan sifat ilmu. Kenapa
tidak kedua oknum ini ditetapkan sebagai kalimat dan ruh saja
dan tidak sebagai Tuhan. Jika semuanya dianggap Tuhan, maka
niscaya akan muncul tuhan-tuhan yang lain yang tidak terbatas.
Sebagaimana tidak terbatasnya sifat-sifat yang diatributkan kepada
Tuhan seperti berkuasa, berkehendak dan sebagainya.37
Menurut umat Kristen, penetapan terhadap tiga oknum
ini tidak berarti menetapkan tiga Tuhan (triteis). Karena ketiganya
merupakan satu substansi. Dan penetapan ketiga oknum ini dari
segi keberadaanya, bukan dari segi substansi.
Untuk meyakinkan umat Islam mengenai kebenaran
trinitas dan dalam rangka mendamaikan antara trinitas dan
monoteisme. Timotius seorang Nestorian yang pernah berdebat
dengan khalifah al-Mahdi mengenai doktrin ini menggambarkan
satu substansi dengan tiga oknum sebagai seorang raja dengan
titah dan spiritnya yang tidak dapat dipisahkan darinya. Dia
merupakan satu raja yang memiliki satu titah dan spirit. Dan
tidak dikatakan sebagai tiga raja. Seperti juga matahari yang yang
tidak dapat dipisahkan dengan sinar dan panasnya. Fenomena
ini tidak dapat dikatakan sebagai tiga matahari. Meskipun
pribadi-pribadi trinitas ini nyata dan bukan sekedar nama, Tuhan
masih satu. Argumentasi tersebut mencerminkan monoteisme
(tauhid) bersifat relatif. Yakni monoteisme yang di dalamnya
diperbolehkan adanya bagian-bagian yang qadim, berbeda dan
tidak bisa dipisahkan. Analogi seperti ini sudah pernah digunakan
oleh bapak-bapak gereja dalam menjelaskan dan membuktikan
monoteisme trinitas.
Studi Analisis
Sebelum para teolog Muslim mengkaji dan mengkritik
doktrin trinitas, al-Qur`an sudah terlebih dahulu membicarakan
dan mengkritiknya. Ayat 73 dari QS. Al-Maidah membicarakan
dan mengkritik keyakinan kepada tiga Tuhan (triteisme) yang
diungkapkan dengan istilah tsalisu salasah, yaitu ketiga dari
tiga. Secara literal frase ini dapat dipahami bahwa al-Qur`an
mengkafirkan pihak-pihak yang meyakini kepada keberadaan
tiga Tuhan, bukan pada keberadaan tiga oknum. Mengingat
misi utama Islam bahkan misi semua nabi sebelumnya termasuk
Yesus sendiri adalah tauhid (monoteisme) yang mengharamkan
adanya tuhan-tuhan lain yang disembah selain Tuhan yang Esa.
namun Permasalahanya adalah, seringkali ayat-ayat ini ditafsirkan
oleh para sarjana Muslim klasik maupun modern sebagai
kritik dan pengkafiran terhadap trinitas, yang di dalam Kristen
sendiri ditolak dan dianggap sebagai bid`ah. Memang menurut
Watt, selama abad-abad itu mungkin sudah ada orang Kristen
berpikiran sederhana dan berpendidikan rendah yang kepercayaan
efektifnya sebenarnya berupa triteisme. Dan mungkin juga sudah
ada beberapa orang seperti itu di Arab pada masa Muhammad.
Sepanjang hal ini terjadi demikian dan al-Qur`an menerang
triteisme, maka berarti menyerang bid`ah Kristen dan orang
Kristen ortodoks seiring dengan kritik-kritiknya. Umat Kristen
tidak terima jika keyakinan mereka disamakan dengan triteis
sebagaimana diungkapkan Yahya Ibn `Adi. Mereka menganggap
trinitas merupakan salah satu bentuk monoteisme.
Adalah tidak adil jika kita menyamakan kepercayaan
triteisme dengan trinitas, mengingat yang pertama mengingkari
keberadaan yang Esa sedangkan yang kedua mengakui
keberadaanya meskipun harus menyertakan oknum-oknumnya
yang tiga: Bapa, Putra dan Roh Kudus atau sifat-sifatNya yang
tiga: wujud, ilmu dan hayat. Kategori yang terakhir ini sebagaimana
yang pertama kali diperkenalkan Yahya Ibn `Adi dapat
memberikan pemahaman yang jelas terhadap trinitas khususnya
kepada umat Islam. Karena sifat-sifat Tuhan tersebut tidak asing
di telinga seorang muslim yang hidup di lingkungan tradisional
yang semenjak kecil dituntut menghafalkan sifat-sifat Tuhan yang
dua puluh. Namun sangat disayangkan ketika komparasi oknum-
oknum dengan sifat-sifat yang pernah dilakukan oleh Bapak gereja
Timur ini tidak dilanjutkan oleh generasi penerusnya dari para
teolog Kristen. Sehingga mayoritas umat Islam setelahnya tidak
dapat memahami formulasi trinitas. Padahal pemahaman yang
benarlah yang tidak menjadikan umat ini merasa benar sendiri.
Penulis menganggap Mu`tazilah tidak mengkritisi
keberadaan oknum-oknum trinitas, tetapi mereka menolak
eksistensinya yang qadim yang berada di luar zat. Artinya jika
oknum-oknum tersebut dipahami sebagai yang hadits bisa saja
mereka membenarkan trinitas seperti sifat-sifat Tuhan. Keyakinan
kepada oknum yang qadim ini menyebabkan penyembahan
terhadap Yesus, sang firman Tuhan. Kalau saja firman Tuhan
dipahami sebagai yang muhdats maka tidak akan pernah ada
penyembahan terhadap diri Yesus.
Sekte-sekte Kristen yang mempercayai kemahlukan
Yesus sebenarnya sudah ada beberapa abad sebelum munculnya
Mu`tazilah. Mereka adalah Sabellian, Arian dan Macedonian yang
di kalangan ortodoks40 dianggap sebagai golongan heterodoks
(bid`ah) sebagaimana Mu`tazilah dianggap heterodoks oleh Islam
ortodoks (`Asyariah). Karena ketiga sekte Kristen heterodoks
ini tidak menganggap Yesus sebagai Tuhan dan tidak pula
menyembahnya. Mereka menganggapnya hanya sebagai manusia
biasa dan utusan Tuhan. Bahkan Wolfson dalam bukunya The
Philosophy of Kalamnya menemukan titik temu persamaan
argumentasi kedua gologan heterodoks dari dua tradisi agama
yang berbeda tersebut, Islam dan Kristen khususnya mengenai
kemakhlukan sifat kalam Tuhan (al-Qur`an:Yesus). Ini merupakan
indikasi kuat adanya pengaruh pemikiran golongan Kristen
heterodoks pada Islam heterodoks.
Memang benar pada masa pergumulan teologi Kristen
terdapat arus kekristenan heterodoks yang diwakili oleh
Arianisme, Sabelianisme dan Macedonianisme. Mereka
kebanyakan lulusan perguruan tinggi Antiokhia yang beraliran
Aristotelian dan bersifat positivis, kurang mistik dan lebih
rasional daripada mazhab Aleksandria yang beraliran Platonis
yang bersifat gnostis. Maka adalah niscaya ketika Mu`tazilah
mengkritik pemikiran yang berpangkal pada pemikiran Plato
dan gnosis Yunani tersebut karena memiliki epistemologi dan
paradigma yang berbeda denganya.
SimpulanC.
Kajian trinitas dan sifat Tuhan yang telah dipaparkan di atas
merupakan kajian perbandingan teologis filosofis antara kedua
tradisi Kristen dan Islam. Tidak cukup hanya dengan pendekatan
teologis saja yang sering menyebabkan berat sebelah dan tidak
Secara literal ortodoks berarti yang benar dan lurus tetapi secara ist -
lah menunjukkan kejumudan, stagnan dan status quo, berlawanan dengan hetero-
fair dalam mengkaji kedua tradisi ini, tetapi juga dibutuhkan
pendekatan filosofis yang menjadikan kajian ini berimbang dan
dapat memberikan kontribusi pada umatnya untuk bersikap.
Maka sebagai umat Islam dengan rasionalitasnya yang tinggi
mampu memahami konsep trinitas yang diyakini umat Kristen.
Ketika memahami eksistensi oknum-oknumnya, nalar kita mudah
mengakses dengan menghubungkannya dengan konsep sifat
Tuhan yang sejak lama kita akui dan pahami keberadaannya.