teologi 10

 



Tulisan ini menitikberatkan pembahasan pada dua tradisi Abrahamic 
religion, Islam dan Kristen yang memiliki ajaran dan doktrin 
yang kurang lebih sama. Di antara kesamaan ajaran dan doktrin 
tersebut adalah sifat-sifat Tuhan. Berbagai aliran dalam teologi Islam 
berbeda pendapat mengenai eksistensi sifat-sifat tersebut. Ada yang 
mengatakan qadim dan ada yang mengatakan hadits demikian halnya 
pada tradisi Kristen. Di samping itu tulisan ini juga mengelaborasi 
pendapat Mu’tazilah yang meyakini bahwa sifat Tuhan sebagai hadits 
yang kontras dengan pendapat Asy’ariyah. Sementara dalam tradisi 
Kristen yang memiliki ajaran yang senada dengan Mu’tazilah adalah 
paham mengenai kemanusiaan Yesus.

Agama Kristen merupakan agama wahyu yang memiliki 
kepercayaan monoteistik yang diwarisi oleh Ibrahim, sebagaimana 
Yahudi dan Islam. Bahkan agama yang dibawa oleh Yesus Kristus 
atau yang dalam Islam dikenal dengan Isa al-Masih ini merupakan 
penerus dari agama Yahudi sebelumnya. Adalah niscaya jika 
Kristen mengajarkan bahwa segala hukum Taurat dan kitab-kitab 
perjanjian lama serta tradisi-tradisi lama yang hidup pada masa 
sebelumnya wajib ditaati oleh pemeluknya.1 Yang membedakan 
agama Kristen dengan kedua agama lainnya adalah adanya unsur 
keselamatan yang dilakukan Yesus Kristus untuk umatnya. Unsur 
inilah yang kemudian melahirkan doktrin trinitas.
Sebagai pewaris dari agama Ibrahim (Abrahamic Religion), 
Kristen pada awalnya memiliki konsepsi monoteisme yang sama 
dengan Islam, namun sepeninggal Yesus pembawa  agama ini 
dan masuknya budaya luar serta faktor politik dari penguasa saat 
itu, konsepsi monoteisme dalam agama semitis ini menjadi kabur 
dengan munculnya doktrin trinitas, yakni doktrin kepercayaan 
Trinitas dan Sifat Tuhan....
terhadap tiga oknum ketuhanan: oknum Bapak, Putra dan Roh 
Kudus atau tiga sifat ketuhanan, dan ketiga oknum ini bersifat 
kekal atau qadim.
Dalam sejarah, konsepsi trinitas yang difahami oleh umat 
Kristen tersebut menimbulkan reaksi keras baik dari kalangan 
Kristen sendiri seperti Arianisme serta beberapa sekte dari 
kalangan Islam seperti Asy`ariah, Salafiyah maupun Mu`tazilah. 
Dan Mu`tazilah memiliki karakteristik tersendiri dalam merespon 
trinitas. Mereka mengkritik dan menolaknya dengan konsep ta`til 
yaitu penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan.
Sebenarnya mereka tidak mengingkari keberadaan sifat-
sifat Allah  tetapi mereka  menolak adanya sifat-sifat yang qadim 
dan difahami sebagai tambahan atas zatNya. Konsepsi penolakan 
terhadap sifat-sifat Tuhan yang qadim  yang terpisah dari zatNya 
ini merupakan antithesis dan counter terhadap trinitas Kristen yang 
oknum-oknumnya difahami sebagai yang qadim, bahkan terhadap 
golongan-golongan Islam sendiri yang meyakini sifat-sifat Tuhan 
sebagai yang qadim.
Penolakan Mu`tazilah tersebut tidak berlebihan ketika kita 
menengok sejarah gereja Kristen. Trinitas bukanlah risalah yang 
dibawa oleh Yesus Kristus tetapi merupakan produk pemikiran 
para tokoh gereja klasik yang dilembagakan sebagai doktrin 
gereja Ortodoks pada abad ke-4 Masehi. Dan doktrin tersebut 
tidak lepas dari pengaruh Helenisme yang saat itu menjadi 
wacana  global.
Pada abad kedua dan ketiga masehi, kepercayaan Kristen 
sudah terpengaruh dengan kebudayaan Yunani dan mulai 
bergumul dengan gnosis. Apalagi perkembangan Kristologi 
pada abad pertama yang menggeser posisi Yesus, yang melalui 
kebangkitannya dinyatakan sebagai anak Allah. Pada diri 
Anak Allah ini firmanNya sudah ada sebelum tampil di bumi. 
Pendekatan ini mudah diterima oleh penganut gnosis Yunani. 
Dan sebaliknya, pandangan gnosis tidak menerima jika Yesus 
juru selamat adalah seorang manusia.
Benih trinitas tersebut tumbuh dan dipupuk dalam 
perguruan Aleksandria, yaitu perguruan tinggi pertama dan 
terpenting didirikan di kota Aleksandria Mesir. Mazhab 
Aleksandria bergerak dalam alam pemikiran filsafat yang 
berpangkal pada Plato dan terpengaruh oleh gnosis Yunani. 
Sedangkan yang menentang keazalian oknum-oknum adalah 
(ketuhanan Yesus) adalah perguruan tinggi Teologi Antiokhia di 
Syria. Mazhab Antiokhia juga bergerak dalam pemikiran filsafat 
Yunani tetapi lebih terpengaruh oleh filsafat Aristoteles yang 
bersifat positivistik, kurang mistik dan bersifat lebih rasional 
daripada mazhab Aleksandria. Dalam eksegese (hermeneutik), 
mazhab Antiokhia menegaskan segi historisitas harfiah kitab 
suci serta kurang gemar akan alegorese.4Namun kecenderungan 
monotheistik mazhab ini kemudian dianggap bid`ah dan 
menyimpang dengan diresmikannya doktrin trinitas oleh 
Konstantin penguasa Romawi saat itu dalam Konsili Nicea tahun 
325 Masehi.
Melalui penelitian ini, disamping dalam rangka mengetahui 
doktrin trinitas dalam tradisi Kristen Klasik, penulis ingin mengkaji 
lebih dalam doktrin sifat-sifat Tuhan dalam tradisi teologi 
Islam kususnya Mu`tazilah dan membandingkannya dengan 
doktin trinitas dalam teologi Kristen. Karena sekte ini dianggap 
paling konsisten dalam mempertahankan ajaran monotheisme 
dibandingkan sekte-sekte Islam lainnya. Kritik dan penolakan 
mereka terhadap sifat Tuhan yang qadim berimbas pada kritik 
mereka terhadap doktrin trinitas dalam teologi Kristen.
Berbeda dengan kajian Kristologi  sebelumnya yang 
cenderung bias dan terkesan mendiskriditkan agama lain, sehingga 
Trinitas dan Sifat Tuhan....
tidak dapat menimbulkan dialog yang sehat dengan sesamanya 
yang beragama lain. Terlepas dari kekeliruan yang dialamatkan 
pada keyakinan Kristen tersebut, penulis tidak akan menyoroti 
kekeliruan tersebut tetapi lebih memfokuskan pada hubungan 
erat antara doktrin trinitas dengan sifat Tuhan dalam dua tradisi 
Kristen dan Islam. Kesepahaman dan ketidaksepahaman antara 
dua tradisi tersebut. 
Penulis merasa tergugah untuk meneliti kajian ini mengingat 
stereotip-stereotip yang muncul karena ketidaktahuandan sikap 
penuh dengan prasangka negatif  baik tentang Islam maupun 
tentang Kristen sendiri yang berlangsung selama ratusan tahun. 
Sedangkan perhatian sarjana-sarjana muslim terhadap Barat 
(tradisi Kristiani) selama ini tidak sebanding apabila dibandingkan 
perhatian intelektual Barat terhadap Timur (tradisi Islam). Maka 
adalah niscaya ketika ada kesalahpahaman-kesalahpahaman atau 
klaim-klaim yang muncul  di kalangan umat Islam mengenai 
keyakinan agama Kristen. Fenomena ini sangat merugikan umat 
Islam sendiri. Maka perlu diadakan kajian teologis terhadap 
keyakinan agama Kristen dengan melihat persamaannya dan 
perbedaannya dalam konsepsi teologi Islam, yakni persamaan 
oknum-oknum trinitas dengan sifat-sifat Tuhan.
Pengidentikan oknum-oknum dengan sifat-sifat ini 
sebenarnya sudah tidak asing lagi dalam teologi Kristen  dan 
Islam abad pertengahan. Saat kedua teolog dari kedua agama 
tersebut hidup berdampingan di bawah kekuasaan Islam. Namun 
setelah abad pertengahan berlalu, pengidentikan dua term dari 
dua tradisi agama yang berbeda ini mulai terkubur dan dilupakan 
oleh para teolognya baik dalam Islam maupun dalam Kristen 
sendiri, apalagi dalam konteks keindonesiaan. Dengan demikian, 
di sinilah letak urgensi dari penelitian ini.Kajian ini difokuskan 
pada doktrin trinitas dan sifat Tuhan dalam teologi Kristen dan 
Islam. Secara teologis dalam kedua agama ini memiliki persamaan 
dan perbedaan konsep mengenai kedua ajaran tersebut.
Sri Dahlia
Dalam teologi Kristen Allah telah menyatakan dan 
memperkenalkan dirinya sebagai yang Esa. Di dalam ajaran 
Kristen, Allah yang dengan  firman dan karyaNya menyatakan 
atau memperkenalkan diri sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus. 
Keyakinan ini disebut trinitas atau tritunggal. Ajaran trinitas, 
Allah bukanlah suatu kebenaran yang diperoleh melalui akal 
budi atau yang dikenal dengan istilah teologi natural, tetapi suatu 
kebenaran yang dapat diketahui melalui penyataan atau wahyu. 
Bentuk Yunani dari trinitas adalah trias. Dan istilah ini pertama 
kali digunakan oleh Tertulianus (w. 220M).
Dalam teologi Kristen, istilah trinitas berarti ada tiga 
oknum yang kekal dalam hakikat Allah yang Esa. Masing-masing 
dikenal sebagai Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Tiga oknum ini 
dikenal sebagai tiga kepribadian Allah. Ketiganya adalah kesatuan 
yang merupakan satu kebenaran yang Esa. Menurut rumusan 
gereja Kristen, keyakinan yang demikian tidak boleh disebut 
sebagai politeisme tetapi harus dikatakan sebagai suatu model dari 
monoteisme, sebab oknum kedua dan ketiga merupakan bagian 
dari Allah sang Bapa. Dengan istilah lain bahwa ketiganya adalah 
dalam keesaan atau keesaan dalam ketigaan.5 Dua pengertian 
ini secara umum dapat memberikan penekanan yang berbeda 
terhadap doktrin trinitas dalam sejarah perkembangannya. 
Maka terdapat dua tipologi kecenderungan terhadap trinitas, 
yaitu kecenderungan teologi Yunani dan Latin. Kecenderungan 
pertama lebih menekankan pada substansi oknum-oknumnya, 
sedangkan yang kedua lebih menekankan pada keesaan ketiga 
oknum-oknum tersebut. maksudnya adalah kesempurnaan 
ketuhanan terletak pada kesatuan oknum-oknumnya. Pendekatan 
ini desebut modalisme, yakni oknum tersebut hanya modus dari 
keesaan Tuhan,6 atribut atau dalam Islam disebut dengan sifat 
Tuhan. 
Dalam mengkaji sifat Tuhan, penulis lebih memfokuskan 
pada ajaran Mu`tazilah. Karena teologi ini sangat jelas dan 
tegas dalam menyuarakan konsep monoteismenya. Dengan 
rasionalismenya, Mu`tazilah memperjuangkan monoteisme atau 
tauhid murni melalui penolakannya terhadap sifat-sifat Tuhan 
yang dianggap qadim dan memiliki eksistensi sendiri di luar 
dzatNya. 
Sebenarnya Mu`tazilah tidak mengingkari keberadaan 
sifat-sifat Allah tetapi mereka menolak adanya sifat-sifat yang 
qadim dan difahami sebagai tambahan atas zatNya. Dengan 
berpegang pada pemahaman mengenai keesaan Tuhan, mereka 
mengakui adanya penyatuan antara zat dan sifat. 
Penolakan Mu`tazilah terhadap sifat Tuhan yang qadim 
ini merupakan landasan teori mereka dalam mengkritik doktrin 
trinitas dalam teologi Kristen. Karena oknum-oknum atau 
dalam teologi Islam lebih dikenal dengan sifat, oleh teologi 
Kristen difahami sebagai yang qadim atau kekal. Pemahaman ini 
berimplikasi pada naiknya posisi yesus sebagai firman kepada 
derajat ketuhanan.
Dalam memurnikan monoteisme ini, Mu`tazilah tidak 
hanya mendapatkan perlawanan  dari teolog Kristen, tetapi 
mendapatkan perlawanan juga dari sesama teolog muslim 
terutama dari teolog Asy`ariah yang meyakini sifat sebagai yang 
qadim. Dan para teolog Mu`tazilah mengkhawatirkan para teolog 
Asy`ariah yang meyakini sifat sebagai yang qadim akan mengikuti 
jejak keyakinan trinitas Kristen.  
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode 
deskriptif  dan komparatif  analisis, yaitu dengan mengumpulkan 
data-data dari sumber-sumber yang ditentukan dengan 
menghubungkan satu sumber dengan sumber yang lain lalu 
kemudian menganalisisnya. Dengan demikian pengumpulan data 
dilakukan dengan cara survey buku (library research). Sedangkan 
sumber penulisan, penulis berpedoman kepada buku-buku yang 
tercantum dalam daftar pustaka. 
Penulis memahami sudah tentu kajian ini sangat 
diharapkan keautentikanya, yakni pembahasanya terhadap karya-
karya para teolog Kristen maupun Islam. Dari teologi Kristen, 
penulis menggunakan buku-buku karangan para teolog Kristen 
dan Barat seperti C. Groenen, Karl Barth, Auster G Mc Graft. 
Dan dari teologi Islam, penulis mengambil sumber data dari 
karya-karya teolog Mutazilah klasik maupun modern dari Harun 
Nasution,Zuhdi Jarullah, Al-Khayyat, Qhadi Abd dan Jabbar. 
Sedangkan sumber data perbandingan antara Trinitas dan Sifat 
Tuhan penulis dapatkan dari para teolog dari kedua tradisi 
tersebut, Kristen dan Islam seperti Karen Amstrong, CJ. Bleeker, 
W.M. Watt,Anton Wessels,Harry A. Wolfson, Syalabi, Nasri Sihab, 
Muhammad Arkoun, dan Sayyed Husen Nasr.  
Dalam penelitian ini, penulis memposisikan diri bukan 
sebagai pihak luar (out sider) sebagai pihak Mu`tazilah yang 
mengkritik doktrin Trinitas, tetapi sebagai orang dalam (insider) 
atau yang lebih tepat lagi melalui study from within yaitu sebagai pihak 
yang mencoba memahami trinitas dengan mempertimbangkan 
backrground tradisi Kristen dan kemudian dikomparasikan 
dengan pemikiran sifat Tuhan Mu`tazilah dalam tradisi Islam.
Penelitian ini memiliki tujuan teoritis dan praktis. Tujuan 
teoritisnya adalah pertama, dalam rangka memperkaya khazanah 
ilmu-ilmu pengetahuan dan keagamaan bagi akademisi dalam 
rangka memahami ajara-ajaran agama lain secara obyektif. 
Kedua, memfaktualkan ilmu-ilmu klasik yang berkaitan dengan 
perbandingan agama disaat bermunculanya kajian ilmu-
ilmu modern dewasa ini. Sedangkan tujuan praktisnya adalah 
membiasakan para akademisi muslim untuk berfikir filosofis 
dalam menghadapi realitas yang ada. Karena dengan paradigma 
filsafat, umat Islam lebih rasional dalam menyikapi realitas yang 
ada dalam masyarakat. Tidak mudah emosi dan terpancing 
dengan pemahaman-pemahaman yang dangkal dalam wacana 
teologis khususnya. Sehingga diharapkan paradigma penelitian 
ini diharapkan dapat memberikan solusi konstruktif  alternatif  
terhadap persoalan-persoalan konflik keagamaan yang sering 
terjadi di Indonesia maupun dunia lainya.
Pembahasan
Sekte-Sekte Kristen klasik1. 
Agama Kristen yang ditemui nabi Muhammad dan kaum 
muslimin awal dapat dikatakan  amat berbeda dengan agama 
Kristen yang kita kenal sekarang. Sekitar tahun 600an M ada 
sekelompok khusus umat Kristen yang melembagakan gereja 
besar yang belakangan terpisah dan kini terpecah menjadi gereja 
Katolik Roma, gereja ortodoks Timur dan gereja Protstan. Namun 
ada pula segolong umat Kristen yang telah keluar dari gereja besar 
tersebut seperti golongan heretik (bid`ah). Yang disebut terakhir 
ini sering disebut sebagai golongan Monofisit (golongan Yakobit 
dan Copt) dan golongan Nestorian. Keduanya dianut oleh sebagian 
besar umat Kristen Mesir, Palestina, Syiria dan Iraq (Watt: 1996,1) 
serta wilayah lainya yang diperintah kekhalifahan Islam. Namun 
bukan berarti penyimpangan mereka karena terpengaruh oleh 
pemikiran Islam,7 tetapi lebih terpengaruh oleh kecenderungan 
budaya masing-masing yang sangat berbeda dengan gereja bsar 
(orthodox state). Karena Islam datang kemudian dan bertemu 
dengan Kristen setelah agama ini melewati masa-masa kritisnya 
di abad 3,4 dan 5M dalam konsili-konsili yang menganggap 
keduanya sebagai heretik. Misalnya di wilayah Syam dan Mesir 
yang telah dikuasai Islam. Islam bertemu mereka dalam kondisi 
sudah mapan, karena sudah memeluknya sejak zaman jahiliayah 
melalui para rahib dan misionaris (Subhi: 1969,24). Dianggap 
heretik karena  menentang dan menyimpang dari ajaran gereja 
besar. Adapun sekte-sekte Kristen klasik  adalah:
Istilah orthodox diambil dari bahasa Yunani ortodoxy 
yang mempunyai arti kepercayaan yang benar, yakni kepercayaan 
dan ajaran yang diakui oleh gereja sebagai yang berdasar pada 
pewahyuan dari Allah dalam Yesus Kristus. Ortodoksi masuk 
dalam perbendaharaan kata gerejani ketika terjadi perbedaan 
pendapat besar-besaran mengenai Kristologi dan tritunggal 
pada abad 3,4 dan 5M. Di Timur istilah ini digunakan untuk 
menyebut gereja-gereja yang bersatu dengan Konstantinopel dan 
Roma, dilawankan dengan Nestorian dan Monofisit . Atau gereja 
ortodoks ini disebut juga dengan gereja ortodoks Bizantium 
(Melkitis), Chalcedonis, Ortodoksi keras atau ortodoksi Yunani 
yang kini telah benar-benar menjadi gereja ortodoks.8 Dikatakan 
ortodoksi Yunani karena sekte atau ajaran ini berada di bawah 
payung kebudayaan Yunani yang sangat percaya kepada ortodoksi. 
Maka tak pelak lagi kalau kawasan timur gereja besar ini dikenal 
sebagai gereja ortodoksi, yang karenanya dapat dikatakan di sini 
bahwa persetujuan-persetujuan paripurna kepada kepercayaan 
tersebut diyakini menjadi landasan bagi persatuan umat Kristen. 
Visi ortodoks dari homogenitas komunitas pada iman dan 
persatuan dalam peribadatan adalah penting bagi gereja sebagai 
suatu keseluruhan, namun pada prakteknya visi ini dapat 
diselewengkan kepada alat mayoritas yang dominan untuk berbuat 
tirani kepada minoritas. Ortodoksi menjadi berarti pengakuan 
rumus-rumus kredal. Dan dari pengertian inilah subyek negosiasi 
antara berbagai macam golongan pada konsili-konsili ekumenikal 
terjadi. Dalam negosiasi ini golongan minoritas seperti masyarakat 
Kristen Mesir dan Syiria yang tidak mendapat tempat, lalu harus 
memilih antara meninggalkan sebagian kepercayaan mereka yang 
paling mendalam atau meninggalkan gereja besar
Aliran ortodoksi ini memiliki kekuasaan di Romawi 
yang mayoritas penduduknya menganut mazhab tersebut. 
Diantara tokohnya adalah Klement (w. 215) dari Aleksandria 
yang tentu saja mau meneruskan tradisi mewartakan seorang 
Yesus Kristus dari Yunani. Ia sangat menonjolkan sisi keilahian 
Yesus sedemikian rupa sehingga sisi kemanusiaanya yang secara 
formal dipertahankan nyatanya diserap oleh ciri ilahi. Misalnya 
ia bekata bahwa Yesus Kristus makan dan minum bukanlah 
karena membutuhkanya sebab daya penyangga Yesus adalah 
logos (firman) ilahi. Yesus makan dan minum supaya orang 
sekitarnya tidak mendapat kesan bahwa kejasmanianya hanya 
bayangan  saja.
Tokoh lain yang tergabung dalam aliran ini menurut Watt 
adalah Gregory dan Nyssa (w.359M). Mereka adalah salah seorang 
yang bertanggungjawab akan munculnya doktrin trinitas dalam 
konsili Konstantinopel tahun 381M. Dalam konsili ini dinyatakan 
bahwa Kristus adalah manusia seperti kita. Namun sebagai Bapa 
tidak sama seperti manusia biasa. Gregory menekankan bahwa 
pada diri Yesusterlihat watak oprasional yang identik dengan 
diri sang Bapa, yakni memberi kehidupan dan kesehatan yang 
membersihkan dosa dan memberikan petunjuk.
Secara umum sekte ini meyakini bahwa kalimat bersatu 
dalam tubuh Yesus dan mengenakan tubuh kemanusiaanya. 
Penyatuan ini tidak sempurna. Bercampurnya kalimat dalam 
tubuh Yesus seperti bercampurnya air dengan susu. Sekte 
ini menegaskan bahwa substansi bukanlah oknum-oknum 
sebagaimana yang disifati (mausuf) bukanlah sifat itu sendiri. 
Dengan demikian mereka membedakan antara Bapa, Putra dan 
Roh Kudus dan menetapkan trinitas. Menurut mereka Yesus 
adalah qadim sejak azali. Maria telah melahirkan Tuhan yang azali, 
maka ia adalah ibu Tuhan. Pembunuhan dan penyaliban terjadi 
pada lahut dan nasut secara bersamaan.
Ya`kubiyah (b. monofisit church)
Istilah monofisit berasal dari bahasa Yunani yang berarti 
monos (satu) dan physys (kodrat) satu kodrat. Yaitu suatu gereja 
yang memiliki ajaran bahwa pada diri Yesus hanya ada satu 
kodrat. Akibat persatuan logos ilahi dengan kemanusiaan 
Yesus maka yang tinggal hanya satu kodrat, yakni kodrat ilahi. 
Sebab kemanusiaanya diresapkan ke dalam keilahian laksana 
setetes air madu jatuh ke dalam samudra. Sehingga rumusan 
konsili Ekumenis Efesus (431M) bahwa kodrat ilahi dan kodrat 
manusiawi Kristus tidak bercampur dan tidak terpisahkan, dan 
bahwa kodrat manusiawi dimiliki oleh pribadi ilahi disangkal oleh 
Eutikes sebagai tokoh utamanya. Ajaranya ini dianggap ekstrim 
dan dikutuk konsili ekumenis Chalcedon (451M).13Tokoh gerejani 
lain yang berkecenderungan monofisit adalah Appolinaris yang 
sejak 361M menjadi uskup di Lordikea. Dan Athanasius (373M) 
juga termasuk ke dalam aliran ini. 
Pendukung fanatik sekte ini sangat memusuhi para 
pengikut Nestorius, dan menyatakan satu tabiat serta meniadakan 
kemanusiaan Putra Tuhan yang menjelma dalam tubuh Yesus. 
Sehingga mereka dikatakan sebagai golongan Monofisit (satu 
tabiat). Kesatuan sempurna antara lahut dan nasut menjadi satu 
substansi. Yesus menurut mereka adalah Tuhan yang benar. 
Yakni dari substansi Bapaknya. Kemanusiaanya merupakan 
penampakan dari substansi ketuhanan, maka ia menjadi Tuhan. 
Manusia menjadi Tuhan seperti halnya bara yang menyala 
menjadi api. Dan pembunuhan terjadi pada tabiat yang satu, yaitu 
penyatuan antara lahut dan nasut.14
Nusturiyah (c. Nestorian Church)
Nestorian merupakan nama gereja Timur kuno abad 
ke-5 yang pada abadke-19 ini berubah namanya menjadi 
Assyrian.15Nestorian adalah aliran Kristen yang dipelopori oleh 
Nestorius dan dianggap sebagai ajaran heretik oleh gereja besar. 
Ajaran seorang rahib dari Antiokhia yang menjadi patrikh di 
Konstantinopel (428-431) ini dikutuk pada tahun 431 dalam 
konsili Efesus, karena mengajarkan dalam diri Yesus ada 
dua pribadi yang berbeda, manusiawi dan ilahi.16 Kemudian 
manusiawi Yesus menyatu dengan oknum kedua. Penyatuan yang 
dimaksud bukanlah dengan dengan pembauran sehingga menjadi 
satu, atau bukan penyatuan yang hakiki tetapi bermakna majazi. 
Dengan tegas Nestor menegaskan bahwa Yesus adalah manusia 
bukan Tuhan. Akibatnya ia dikeluarkan dari gereja, dipecat dan 
dinyatakan sebagai orang yang terlaknat.
Sekte ini meyakini bahwa kalimat menjelma dalam tubuh 
Yesus tidak melalui percampuran tetapi seperti halnya sinar 
matahari pada Kristal atau seperti munculnya cetakan cincin 
pada lilin. Ia adalah manusia yang lahir dari manusia. Akan tetapi 
berbeda dengan para rosul lainnya, anugrah ketuhanan diberikan 
kepadanya selamanya. Yaitu selama kalimat ketuhanan Nampak 
jelas dalam tabiat kemanusiaanya sebagaimana sinar matahari di 
atas Kristal. Kristal tidak menjadi matahari seperti halnya cetakan 
cincin di atas lilin,tidak membuat lilin ini menjadi cincin. Ia 
hanya gambar cincin, begitu juga dengan pertemuan ketuhanan. 
Setelah bertemu dengan kalimat, Yesus tidak menjadi Tuhan. 
Karena pertemuan itu tidak menggugurkan keazalian lahut dan 
kemakhlukan nasut. Sedangkan pembunuhan terjadi hanya pada 
nasut tidak pada lahut. Maria, ibu Yesus adalah manusia dan 
Yesus disebut Putra Allah karena pengangkatan atau anugrah 
bukan kelahiran atau penyatuan. Kecederungan semacam 
ini menyebabkan pengusiran Nestor. Akan tetapi peikiranya 
ini telah menyebar dalam masyarakat Syiria, dan merupakan 
revolusi atas imperium Romawi dan sekte kerajaan (Mulkaniyah). 
Setelah dibantai oleh imperium Romawi, golongan ini menetap 
di wilayah Timur dan dilindungi oleh imperium Persia karena 
motif   politis.
Menurut golongan ini Tuhan itu kekal abadi dan tidak 
dapat dilampaui. Berdasarkan alasan tersebut maka golongan ini 
memberi obyek kepada Term Theodoks atau “Tuhan beranak” yang 
dikembalikan pada Maria. Karena Tuhan itu kekal abadi maka 
Tuhan tidak mungkin menjadi seorang bayi yang pernah dilahirkan 
manusia. Nestorius dan pengikutnya memberi penekanan pada 
hakikat kemanusiaan Yesus. Sebab pendapat kemanusiaan inilah 
yang membawa kemenangan atas setan. Karena sebagai manusia 
ia digoda, namun godaan-godaan yang diarahkan kepadanya 
selalu menemui kegagalan dengan adanya pribadi ilahi. 
Bersatunya firman dengan Yesus bukan melalui 
perpaduan seperti yang diyakini oleh Mulkaniyah. Dan juga 
bukan merupakan penampakan diri sebagaimana yang difahami 
Ya`kubiyah, akan tetapi bagaikan sinar matahari di dalam 
memancarkan sinarnya kepada benda yang dapat mengembalikan 
sinarnya kepada benda yang dapat mengembalikan sinarnya 
secara rata dan teratur.18Karena dalam rangka penyatuanya 
dengan firman Tuhan atau Yesus pra eksisten  atau Putra Tuhan 
sebenarnya, difahami  sebagai pengangkatan bukan kelahiran 
sebagaimana diekspresikan oleh pelopornya yang lain Theodore 
Mopsuestia.19Pemahaman terhadap pengangkatan Anak Yesus 
ini membedakan dengan pemahaman sekte Mulkaniyah dan 
Ya`kubiyah yang menganggapnya sebagai anak kelahiran. Maka 
pantas sekte yang satu ini dianggap sebagai sekte yang memiliki 
pemahaman yang benar mengenai Yesus, paling tidak oleh 
Ibn Haith dan Hadatsi dari kalangan teolog muslim. Mereka 
menyebutkan bahwa kepercayaan yang benar mengenai Yesus 
bukan Mulkaniyah, bukan pula Ya`kubiyah tetapi Nestorian.
Ketiga sekte Kristen ini sepakat bahwa Allah satu dari 
segi esensi dan tiga dari segi oknum. Oknum-oknum merupakan 
sifat-sifat wujud, ilmu dan hayat atau merupakan pribadi-pribadi: 
Bapak, Putra dan Roh Kudus. Oknum kedua yang merujuk pada 
ilmu menjelma dalam tubuh Yesus, maka bertemulah ketuhanan 
dan kemanusiaan. Bagaimana Maria yang hadits (makhluk) dapat 
melahirkan Tuhan sedangkan Tuhan adalah qadim.
Pada umumnya orang Arab Kristen adalah pengikut 
gereja Timur (Nestorian), tetapi ada juga yang berada di bawah 
penganut Yakobit. Rahib Bahira yang diduga pernah bertemu 
dengan nabi Muhammad pada masa remajanya, menurut satu 
pendapat ia adalah seorang Nestorian dan menurut yang lain 
adalah seorang  Yakobit.
Melalui jalur perdagangan bangsa Arab berhubungan 
dengan bangsa-bangsa Syiria, Persi, Habsyi, Mesir (Qibthi) 
dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari 
kebudayaan Hellenisme. Aliran Kristen yang masuk ke Jazirah 
Arab adalah aliran Nestorian di Hirah dan aliran Jakob Barady 
(monofisit) di Ghassan. Daerah Kristen yang terpenting adalah 
Najran, sebuah daerah yang subur. Penganut agama Kristen 
tersebut berhubungan dengan Habasyah (Ethiopia), Negara 
yang melindungi agama ini. Penganut aliran Nestorianlah yang 
bertindak sebagai penghubung antara kebudayaan Yunani dan 
kebudayaan Arab pada masa awal kebangkitan Islam.21
Trinitas dan Sifat Tuhan2. 
Dalam tradisi Kristen Klasik, sebenarnya sudah ada 
formulasi trinitas yang  tidak sulit dipahami oleh akal sehat 
khususnya oleh beberapa teolog muslim. Yaitu ketika oknum-
oknum tersebut dikaitkan dengan sifat Tuhan. Seperti dalam 
formulasi trinitas Neoplatonisme yang kemudian dikenal oleh 
teolog muslim sebagaimana asal penjelasan trinitas yang dikutip 
dari Victorianus dan Erigene. Istilah Arab Jud. Zat dan Wujud 
digunakan sebagai gambaran dari oknum pertama trinitas 
Neoplatonisme Yunani. Istilah Arab hayat, hikmat, nutk dan 
ilm digunakan sebagai ekspresi dari oknum kedua dan ketiga. 
Sedangkan istilah qudroh digunakan sebagai gambaran dari oknum 
ketiga trinitas Yunani.
Adapun yang termasuk tokoh Kristen Neoplatonis 
adalah Jamblichus, Theodore of  Asine dan Proclus. Jamblichus 
sebagaimana yang dikutip oleh Damaskus, menggambarkan 
trinitasnya sebagai Bapa atau substansi (Zat), kekuasaan (qudrah), 
dan intelek (`aqal). Dan Theodore Asine sebagaimana dikutip 
oleh Proclus menggambarkan trinitasnya sebagai eksistensi 
(wujud), intelegensi (`aqal) dan hidup (hayat). Sedangkan Proclus 
sendiri mengungkapkan trinitasnya sebagai esensi, substansi 
atau eksistensi, hidup atau kuasa dan intelek atau intelegensi. 
Di sisi lain juga ia menggambarkan trinitasnya sebagai goodness 
(jud), power atau pengetahuan (`ilm). Model yang disebut terakhir 
ini berkaitan dengan trinitasnya Yahya Ibn `Adisebagai generosity 
(goodness), Wisdom (`ilm), dan Power.23Dan munculnya keyakinan 
bahwa ketiganya adalah Tuhan berawal dari konsepsi eternalitas, 
keazalian dan keqadiman sifat-sifat Tuhan tersebut.
Konsepsi mengenai keqadiman sifat-sifat Tuhan tersebut 
yang kemudian dalam teologi Kristen diformulasikan menjadi 
doktrin trinitas memiliki pengaruh terhadap konsepsi sifat Tuhan 
dalam sekte ortodoks Islam seperti `Asyariah, Sifatiyah dan 
sebagainya. Maka sekte-sekte Islam inipun meyakini keqadiman 
sifat-sifat Tuhan. Namun demikian, mereka tidak sampai 
menganggap sifat-sifat tersebut sebagai Tuhan.

Kristen merupakan agama yang besar pengaruhnya 
terhadap teologi Islam terutama Mu`tazilah. Dalam masalah 
ketuhanan, kelompok ini terpengaruh oleh Bapak-Bapak gereja 
Timur yang pada masa Daulah Umayah diberi kedudukan 
tinggi dalam pemerintahan seperti Sargius Ibn Mansur al-Rumi. 
Muawiyah pendiri daulah ini menjadikanya seorang sekretaris 
dan penasehat pribadinya. Dan Yazid sebagai penerusnya 
tetap memuliakan dan selalu meminta petuah-petuahnya. 
Sepeninggalnya, Sargius mewariskan kedudukan tersebut kepada 
anaknya John Damaskus (Yahya al-Dimaski). Ia mengabdi pada 
pemerintahan Umawi selama beberapa tahun. Setelah berhenti 
dari pengabdianya, ia menghabiskan usianya dengan menyibukan 
diri dengan diskusi-diskusi dan kajian-kajian serta menyusun kitab 
ketuhanan. Demikian pula al-Akhtal, seorang penyair Kristen 
yang diagungkan oleh Yazid. Ia diberi kedudukan tinggi sebagai 
penyair istana.
Asimilasi umat Islam dengan umat Kristen pada saat itu 
memberikan pengaruh yang besar terhadap kedua tradisi ini. 
Apalagi dari sosok legendaris John Damaskus yang merupakan 
teolog besar terakhir di gereja Timur dan teolog terbesar di 
kekristenan Timur. Karya-karyanya dijadikan panduan pada gereja-
gereja tersebut sebagaimana yang dikatakan J.C. Ayer. Bahkan 
menurut M.C. Giffert, teologi Kristen mencapai puncaknya 
pada masa Damaskus. Dari karyanya Al-Iman al-Urtuduksi 
kita bisa mengetahui posisinya bagaimana ia menyandarkan 
pembelaan terhadap akidah-akidah agama pada argumentasi 
rasio. Untuk menguatkan argumentasinya ia menulis sebuah 
buku tafsir ketuhanan Kristen yang didasarkan pada filsafat 
logika Aristoteles. Dengan demikian pengaruh Damaskus tidak 
terbatas pada kekristenan Timur tetapi juga kekristenan Barat dan 
bukunya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Banyak 
teolog Barat yang memberikan apresiasi dan mempelajarinya 
seperti Thomas Aquinus, teolog Barat terbesar 
jika pengaruhnya sampai tembus ke Barat, kenapa tidak bangsa 
Arab Muslim yang membesarkanya mendapat pengaruh juga 
darinya. Pengaruh-pengaruh tersebut sampai ke umat Islam 
terutama melalui diskusi-diskusi dan perdebatan-perdebatan 
yang diadakannya. Fenomena ini lazim muncul pada masa Bani 
Umayah pertama. Mereka sangat toleran terhadap agama sehingga 
tidak mencegah adanya diskusi-diskusi semacam ini. Toleransi ini 
mencapai puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah khususnya 
pemerintahan al-Ma`mun yang memberikan penghargaan besar 
terhadap ilmu. Tidak hanya itu, ia sering menghadiri diskusi-
diskusi yang dilakukan oleh kedua tradisi tersebut seperti 
diskusi yang diadakan oleh Theodore Abu Qurroh, seorang 
Uskup Harran dan murid John Damaskus, dengan para teolog 
Muslim Irak, Syam dan lainya. Theodore memiliki posisi yang 
tinggi diantara teolog Barat, karena ia mengikuti jejak gurunya 
dan menggunakan metodenya sehingga menjadi penulis Gereja 
genius terbesar.
Masa kekuasaan al-Ma`mun inipun dikenang sebagai 
masa kegemilangan Islam, dimana perkembangan ilmu dan 
toleransi terhadap agama lain sangat tinggi. Realitas ini bukan 
sekedar romantisme sejarah bagi umat Islam yang membidaninya 
tetapi juga diakui oleh semua tradisi, termasuk tradisi Barat dan 
Kristen  sendiri.
Sifat Tuhan dalam Teologi Islam4. 
Monoteisme Mu`tazilaha. 
Semua sekte dalam Teologi Islam mengajarkan monoteisme 
atau tauhid. Namun dalam hal ini Mu`tazilah yang paling tegas 
dan konsisten dalam menegakan monotesme dibandingkan 
sekte-sekte Islam lainya. Dalam mempertahankan monoteisme 
absolut atau tauhid murni, Mu`tazilah mengembangkan teologi 
via negative, yaitu menahan diridari memberi sifat atau kualitas 
apapun kepada Tuhan, dan memilih menyatakan apa-apa yang 
bukan sifat-sifat Tuhan. Karena pemikiran rasional mereka tidak 
membenarkan jika Tuhan bersifat dengan sifat yang qadim yang 
bukan zatNya. Penafian terhadap sifat-sifat ini bukan berarti 
mereka tidak mengakui Tuhan maha tahu, maha kuasa, maha 
melihat dan sebagainya. Tetapi supaya mereka tidak mengakui 
sifat-sifatNya terpisah dan berbeda dari zatNya. Alasanya jika 
sifat-sifat tersebut tidak dianggap identik dengan zatNya akan 
menimbulkan qadim yang banyak. Dan hal ini akan mengotori 
kemahaesaan Allah. Karena itu mereka menafikan sifat-sifat Allah 
agar tidak ada qadim lain yang menyerupaiNya.
Menurut golongan ini, kalau dikatakan Tuhan memiliki 
sifat, maka dalam diri Tuhan ada unsur yang banyak, yaitu unsur 
zat yang disifati dan unsur zat yang melekat pada sifat. Jika 
dikatakan Tuhan memiliki dua puluh sifat, berarti dia tersusun dari 
dua puluh satu unsur. Bila empat puluh sifat berarti unsurnya akan 
berjumlah empat puluh satu. Dan kalau Sembilan puluh Sembilan 
sifat berarti Tuhan akan terdiri dari seratus unsur. Pemberian sifat 
kepada Tuhan menurut Mu`tazilah akan membawa banyaknya 
jumlah yang qadim.Sedangkan dalam paham teologi yang qadim 
itu Esa. Kalau iman dalam ajaran biasa adalah tiada Tuhan selain 
Allah. Maka iman dalam teologi mengambil bentuk tiada yang 
qadim selain Allah. Oleh karena itu, paham banyak yang qadim 
membawa paham kepada syirik dan syirik dalam Islam merupakan 
dosa terbesar yang tidak bisa diampuni Tuhan.26
Pemikiran Mu`tazilah ini merupakan antithesis dan 
ditujukan sebagai counter terhadap pemikiran yang ada baik 
Sifatiyah,Musyabbihah, Mujassimah dan `Asyariah dari kalangan 
Islam maupun trinitas Kristen. Bagi Mu`tazilah, pernyataan 
`Asyariah bahwa Allah mengetahui dengan ilmu dan hidup 
dengan sifat hidupNya yang qadim akan memberikan jalan 
untuk membenarkan trinitas Kristen.karena ketiga oknumnya : 
Bapak, Putra dan Roh Kudus oleh mereka dianggap sebagai sifat 
Tuhan yang qadim dan berdiri sendiri. Latar belakang inilah yang 
menjadikan Yesus disembah oleh mereka.
Dari sini sangat jelas rasionalisme yang digunakan 
Mu`tazilah dalam mempertahankan dan membela monoteisme 
absolut. Maka tidak berlebihan jika para orientalis yang banyak 
menulis tentang peradaban Islam klasik, golongan ini dijuluki 
sebagai kaum rasionalis Islam. Dalam sejarah pemikiran Islam, 
golongan ini meletakan dan menggunakan asas metode rasional 
(almanhaj al-`aqli) dan metode dialektis (almanhaj al-jadali)dalam 
memformulasikan pokok-pokok akidah dari sumber aslinya 
al-quran. Metode rasional yang digunakan Mu`tazilah dalam 
mengesakan Tuhan ini telah membuka jalan bagi munculnya para 
filosof  di kalangan Islam. Tidak mengherankan jika Abu Yusuf  
Ibn Ishak al-Kindi (w.260H/873M) yang dianggap sebagai filosof  
pertama adalah penganut faham Mu`tazilah di bidang akidah. Dan 
filosof  setelahnya Abu Nashar Muhammad Ibn Muhammad al-
Farabi (w.339H/950M) maupun Abu Ali al-Hussen Ibn Abdullah 
Ibn al-Hasan Ibn Ali Ibn Sina (w.428H/1037M) juga adalah 
seorang Mu`tazilah.
Rasionalisme pemikiran Mu`tazilah dalam rangka 
mengesakan Allah terpengaruh oleh konsepsi ketuhanan 
Aristoteles mengenai actus purus, sedangkan dalam konsepsi 
sifat dan zat, pemikiran dan obyeknya, bahwa yang transenden 
hanya diketahui secara negatif, terpengaruh oleh pemikiran 
Plotinus.Namun sungguh aneh jika pemikiran yang berasal dari 
filosof  Yunani kuno sebelum Aristoteles dan Plotinus, yakni 
Empedokles ini secara umum dibanggakan oleh pemikir-pemikir 
Muslim dalam mengesakan Tuhan melalui kesatuan sifat dan zat 
pada diri Tuhan.Fenomena seperti ini menurut Fazlur Rahman 
adalah suatu dalam rangka membela Islam dari serangan-serangan 
pihak luar. Dalam melakukan untuk pertama kalinya mereka 
terpaksa membuat sebuah pikiran yang secara sistematis di luar 
kredo agama Islam. Dan mereka sukses membersihkan  umat 
Islam dari apa yang kemudian disebut “kebudayaan rendah” 
agama Islam oleh Schleiermacher dalam konteks yang sama pada 
Kristen abad XIX.29 Meskipun kesuksesan ini hanya dinikmati 
oleh kaum elit akademisi dan itupun dibatasi oleh sekat-sekat 
teologis dan filosofis. Artinya masyarakat awam yang merupakan 
mayoritas umat yang tidak berkecimpung dalam permasalahan 
teologis dan filosofis tidak dapat mencicipi rasionalisme mereka. 
Sebaliknya, dalam lingkungan tradisional yang merupakan basis 
`Asyariah, aliran Mu`tazilah cenderung dimusuhi dan dianggap 
sebagai sekte yang menyimpang dari ajaran Islam. Buku-bukunya 
dilarang untuk dipelajari. Maka sumber yang tersedia hanya dari 
penulis dari teolog Asyariah saja seperti Maqolat al-Islamiyyin karya 
al-Asyari, al-Farqu Bainal Firaq karya al-Baghdadi dan Al-Milal wa 
an-Nihal karya al-Syarastani.
Sifat-sifat Tuhan perspektif  Mu`tazilahb. 
Mu`tazilah merupakan sekte Islam yang tumbuh dan 
berkembang dalam kebudayaan kosmopolit, saat berkembangnya 
pengetahuan khususnya helenisme di dunia Islam. Melalui asimilasi 
yang merupakan hukum alam. Adalah niscaya jika Mu`tazilah 
terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran para filosof  Yunani 
dalam membela dan mempertahankan monoteisme absolut dari 
serangan golongan-golongan lain seperti trinitas  Kristen.
Akidah yang dianut Mu`tazilah dalam mengkaji sifat-sifat 
Tuhan berbeda dengan golongan Islam lainya terutama akidah 
Hanbaliyah dan Ahli Sunnah. Islam pada awalnya mengharuskan 
adanya tauhid, namun hal ini tidak melarang adanya nama-nama 
yang baik (al-Asma al-Husna) yang dikonsepsikan kepada Tuhan 
seperti yang diterapkan pada manusia, begitu juga dengan adanya 
sifat-sifatNya.
Dalam mengatasi ancaman yang bisa menjerumuskan 
pada politeisme, Wasil bin Atha sebagai pendiri Mu`tazilah 
menolak eksistensi sifat-sifat Tuhan seperti mengetahui, berkuasa, 
berkehendak dan hidup. Hal ini tidak berarti bahwa Wasil dan 
pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat 
Tuhan. Sebagai orang Islam yang percaya bahwa al-Qur`an adalah 
wahyu yang disampaikan Tuhan kepada nabi Muhammad, mereka 
menerima kebenaran ayat-ayat ini bersama dengan kebenaran 
seluruh ayat lainya. Hanya penafsiran mereka tentang ayat-ayat 
itu berlainan dengan aliran para teolog lainya. Bagi Mu`tazilah 
al-Rahman, al-Rahim, al-qadir, al-`Alim dan sebagainya bukanlah 
sifat Tuhan tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan. Bagi mereka 
Tuhan mengetahui bukan melalui sifat pengetahuan tetapi melaui 
zatNya. Dengan penafsian seperti ini kaum Mu`tazilah memberi 
gambaran yang Esa kepada diri Tuhan, diri yang tidak tersusun 
dari lapisan zat dan lapisan sifat tetapi dari satu zat yang memiliki 
berbagai aspek. Yang dituju kaum Mu`tazilah dengan peniadaan 
sifat-sifat ialah penegasan diri Tuhan. Dengan demikian mereka 
menjauhi pengertian politeisme.
Sebenarnya Mu`tazilah tidak mengingkari keberadaan 
sifat-sifat Allah tetapi mereka menolak adanya sifat-sifat yang 
qadim dan dipahami sebagai tambahan atas zatNya. Dengan 
berpegang pada pemahaman mengenai keesaan Tuhan, mereka 
mengakui adanya penyatuan antara zat dan sifat. Artinya menurut 
mereka zat Allah tidak tesusun dari sesuatu apapun, isi atau 
lainya. Karena jika zat Tuhan tersusun niscaya masing-masing 
bagian membutuhkan bagian-bagian lainya. Sementara itu Allah 
adalah satu dan mempunyai kesempurnaan sehingga Dia tidak 
membutuhkan yang lain. zatNya tidak terdiri dari betuk dan sisi 
apapun. Sifat tersebut adalah zat itu sendiri dalam arti zat Allah 
dan sifatNya satu. Allah maha hidup, mengeahui dan beruasa 
melalui zatNya. Tidak melalui sifat ilmu, sifat kuasa, sifat hayat 
dan sifat-sifat lainya yang merupakan tambahan atas zatNya. 
Berdasarkan argumen ini, kalangan Mu`tazilah menyatakan 
seperti Abu Hudzail dan Ibrahim Annazzam (w.356H), jika 
Allah mengetahui dengan sifat ilmu berarti sifat itu merupakan 
tambahan atas zatNya sebagaimana kita lihat pada diri manusia. 
Di sana pasti ada sifat dan yang disifati. Ciri-ciri tersebut hanya 
terjadi pada jisim, padahal Allah bukan jisim. Jika dikatakan 
sifat-sifat itu berdiri sendiri niscaya akan berakibat pada 
berbilangnya yang qadim, sedang berbilangnya yang qadim berarti 
berbilangnya  Tuhan.
Tokoh Mu`tazilah lainya Abu Hasyim menolak untuk 
menggunakan kata sifat dan mengantinya dengan istilah modus. 
Dia mengatakan sifat-sifat bukanlah sesuatu maupun zat. Ia 
tidak maujud maupun ma`dum dan dapat diketahui kecuali jika 
dikaitkan dengan zat. Karena dia menganggap hal lebih ringan 
dari sifat dan lebih sedikit perananya.
Berbeda dengan Abu Hasyim yang memahami sifat 
sebagai modus, Ma`mar Ibn Ibad (w.144H) pendahulunya, 
menafsirkan sifat sebagai konsepsi (ma`na) sehingga ia dijuluki 
seorang konseptualis (ashabul ma`ani). Menurutnya konsep lebih 
ringan daripada substansi sifat. Dengan demikian ia mengatakan 
Allah mengetahui dengan ilmu dan ilmuNya memiliki konsepsi, 
begitu juga dengan sifat lainya. Dia ingin menjadikan zat Tuhan 
sebagai suatu yang qadim dan menganggap sifat-sifat terebut 
hanya sebagai konsepsi kedua yang tidak penting.32
Dari sini dapat kita lihat kaum Mu`tazilah telah berbeda 
pendapat mengenai eksistensi sifat-sifat Allah. Ada yang 
mengatakan sifat Allah merupakan zatNya, zat itu sendiri. Ada 
juga yang berpendapat sifat-sifat Allah merupakan modus-modus 
dan sebuah konsepsi. Namun demikian, mereka sepakat sifat-sifat 
itu tidak terpisah dari zatNya. Kesepakatan pendirian Mu`tazilah 
ini adalah dalam rangka memurnikan keesaan Tuhan yang 
sedang terancam terutama oleh trinitas Kristen dengan oknum-
oknumnya yang merupakan sifat-sifat yang qadim: wujud, `ilmu dan 
hayat dalam bentuk pribadi Bapak, Putra dan Roh Kudus. Ketiga 
sifat atau pribadi ini diyakini qadimsehingga masing-masing 
menerima penyembahan yang sama. 
Kedua alasan Mutazilah, yakni segala sesuatu yang qadim 
adalah Tuhan dan tauhid meniadakan dan menolak adanya 
banyak Tuhan meskipun yang banyak ini menyatu dan tidak bisa 
dipisahkan dari keazaliaNya, memiliki latar belakang sejarah pada 
filosof  Yahudi Philo melalui bapak-bapak gereja. Alasan pertama 
Mu`tazilah merupakan perinsip yang dikatakan Philo bahwa 
Tuhan sendiri qadim. Implikasinya adalah segala sesuatu yang 
qadim harus menjadi Tuhan. Prinsip ini kemudian diteruskan oleh 
bapak-bapak gereja seperti Tertullian. Ia mengatakan qadim adalah 
sifat Tuhan. Ia hanya dimiliki oleh Tuhan sendiri. Pandangan 
Philonik tersebut juga digunakan oleh bapak-bapak gereja dalam 
melawan dan menentang adanya yang qadim selain Tuhan.
Kristologi Mu`tazilahc. 
Bisyr Ibn Mu`tair (210H), al-Jahid, Abu Ali al-Jubbai dan 
muridnya Qhadi Abd al-Jabbar merupakan generasi Mu`tazilah 
penerus yang mengkritik trinitas. Mereka pernah mengadakan 
kontak langsung dan berdebat dalam forum-forum ilmiah dengan 
sekte-sekte Kristen ortodoks. Dan hasil interaksi ini dituangkan 
dalam sebuah buku. Namun sayang sekali karya-karya mereka 
hilang ditelan masa seiring dengan berlarut-larutnya kebencian 
umat pada golongan ini. Nampaknya yang masih ada sekarang 
dan sampai kepada kita adalah al-Mughni karya Abd al-Jabbar yang 
di dalamnya menjelaskan juga pemikiran kritis gurunya Abu Ali 
al-Jubbai dan tokoh Mu`tazilah lainya terhadap doktrin trinitas.34
Kedua tokoh Mu`tazilah ini hidup di alam dimana 
Mu`tazilah telah mengalami kemajuan pesat di bidang teologi. 
Mereka menggunakan metode kritik pendahulunya yang sudah 
bergulat dan mengkaji  trinitas dengan bantuan filsafat Yunani 
dalam membela tauhid. Meskipun sudah ada ayat al-Qur`an yang 
mengkritik trinitas dan mengkafirkanya, namun menurut penulis 
mereka tidak menggunakan ayat-ayat ini untuk melegitimasi 
kritiknya. Karena dalam Al-Mughni, abd al-Jabbar tidak pernah 
menyebut argumentasi literal kitab suci al-Quran. Yang ada hanya 
argumentasi teologis rasional. Yaitu argumentasi rasional yang 
dihasilkan dari kajian-kajian konsepsi mereka terhadap sifat-sifat 
Tuhan. Berbeda dengan Ibn Hazm yang mengunakan argumentasi 
literalis kitab suci dalam menunjukan kekeliruan doktrin ini.
Dalam Kristologinya, al-Jubbai menyadari adanya 
satu eksistensi yang qadim dalam keyakinan umat Kristen. 
Namun menurut mereka kepercayaan ini bertentangan dengan 
kepercayaan umat Kristen itu sendiri menganai tiga oknum, yang 
ketiganya adalah qadim. Sebenarnya keberadaan tiga oknum ini 
basa saja dibenarkan kalau  ketiga oknum tersebut tidak menunjuk 
oknum tertentu. Yakni hanya sifat saja seperti keberadaan Allah 
yang hidup, mengetahui dan sebagainya. Akan tetapi dalam 
keyakinan Kristen, oknum-oknum tersebut dipahami sebagai 
eksistensi yang menunjuk pada zat tertentu. Konsekuensi dari 
keazalian oknum-oknum tersebut adalah Bapa memiliki sifat yang 
dimiliki Putra dan Ruh begitu juga sebaliknya. Hal ini menuntut 
keberadaan Bapa sebagai Putra, Putra sebagai Bapa, Bapa sebagai 
Ruh dan Ruh sebagai Bapa.
Melalui logika tersebut, al-Jubbai menegaskan Putra 
seharusnya sebagai Putra sendiri. Jika Putra sama dengan Bapa 
dalam keazalianya, maka ia harus sama juga dengan Bapa dari 
segi zatNya. Bila Putra sebagai Bapa sepantasnya ia memiliki 
Putra juga, yaitu ilmu dan kalimat. Dan posisi sebagai Putra 
meniscayakan adanya Putra yang lain, yakni ilmu dan kalimat 
dan seterusnya sampai tidak terbatas. Begitu juga terjadi pada 
Ruh. Hal ini sama kalau Putra memiliki Ruh, ia memiliki Putra 
sebagaimana Bapa memiiki Putra dan Ruh, karena kesamaan 
keduanya dari segi keazalian.
Doktrin adanya tiga yang qadim ini bertentangan dengan 
keyakinan lainnya dalam agama Kristen, yakni yang qadim hanya 
pencipta saja. Karena ketika mereka meyakini Putra dan Ruh 
sama qadimnya dengan Bapa sang pencipta. Keyainan yang kedua 
ini merupakan counter thesis yang pertama mengingat sifatnya 
yang kontradiktif. Kalau keberadaan apa harus disertai dengan 
sifat Ruh dan mengetahui harus dengan sifat ilmu. Kenapa 
tidak kedua oknum ini ditetapkan sebagai kalimat dan ruh saja 
dan tidak sebagai Tuhan. Jika semuanya dianggap Tuhan, maka 
niscaya akan muncul tuhan-tuhan yang lain yang tidak terbatas. 
Sebagaimana tidak terbatasnya sifat-sifat yang diatributkan kepada 
Tuhan seperti berkuasa, berkehendak dan sebagainya.37
Menurut umat Kristen, penetapan terhadap tiga oknum 
ini tidak berarti menetapkan tiga Tuhan (triteis). Karena ketiganya 
merupakan satu substansi. Dan penetapan ketiga oknum ini dari 
segi keberadaanya, bukan dari segi substansi.
Untuk meyakinkan umat Islam mengenai kebenaran 
trinitas dan dalam rangka mendamaikan antara trinitas dan 
monoteisme. Timotius seorang Nestorian yang pernah berdebat 
dengan khalifah al-Mahdi mengenai doktrin ini menggambarkan 
satu substansi dengan tiga oknum sebagai seorang raja dengan 
titah dan spiritnya yang tidak dapat dipisahkan darinya. Dia 
merupakan satu raja yang memiliki satu titah dan spirit. Dan 
tidak dikatakan sebagai tiga raja. Seperti juga matahari yang yang 
tidak dapat dipisahkan dengan sinar dan panasnya. Fenomena 
ini tidak dapat  dikatakan sebagai tiga matahari. Meskipun 
pribadi-pribadi trinitas ini nyata dan bukan sekedar nama, Tuhan 
masih satu. Argumentasi tersebut mencerminkan monoteisme 
(tauhid) bersifat relatif. Yakni monoteisme yang di dalamnya 
diperbolehkan adanya bagian-bagian yang qadim, berbeda dan 
tidak bisa dipisahkan. Analogi seperti ini sudah pernah digunakan 
oleh bapak-bapak gereja dalam menjelaskan dan membuktikan 
monoteisme trinitas.
Studi Analisis
Sebelum para teolog Muslim mengkaji dan mengkritik 
doktrin trinitas, al-Qur`an sudah terlebih dahulu membicarakan 
dan mengkritiknya. Ayat 73 dari QS. Al-Maidah membicarakan 
dan mengkritik keyakinan  kepada tiga Tuhan (triteisme) yang 
diungkapkan dengan istilah tsalisu salasah, yaitu ketiga dari 
tiga. Secara literal frase ini dapat dipahami bahwa al-Qur`an 
mengkafirkan pihak-pihak yang meyakini kepada keberadaan 
tiga Tuhan, bukan pada keberadaan tiga oknum. Mengingat 
misi utama Islam bahkan misi semua nabi sebelumnya termasuk 
Yesus sendiri adalah tauhid (monoteisme) yang mengharamkan 
adanya tuhan-tuhan lain yang disembah selain Tuhan yang Esa. 
namun Permasalahanya adalah, seringkali ayat-ayat ini ditafsirkan 
oleh para sarjana Muslim klasik maupun modern sebagai 
kritik dan pengkafiran terhadap trinitas, yang di dalam Kristen 
sendiri ditolak dan dianggap sebagai bid`ah. Memang menurut 
Watt, selama abad-abad itu mungkin sudah ada orang Kristen 
berpikiran sederhana dan berpendidikan rendah yang kepercayaan 
efektifnya sebenarnya berupa triteisme. Dan mungkin juga sudah 
ada beberapa orang seperti itu di Arab pada masa Muhammad. 
Sepanjang hal ini terjadi demikian dan al-Qur`an menerang 
triteisme, maka berarti menyerang bid`ah Kristen dan orang 
Kristen ortodoks seiring dengan kritik-kritiknya. Umat Kristen 
tidak terima jika keyakinan mereka disamakan dengan triteis 
sebagaimana diungkapkan Yahya Ibn `Adi. Mereka menganggap 
trinitas merupakan salah satu bentuk monoteisme.
Adalah tidak adil jika kita menyamakan kepercayaan 
triteisme dengan trinitas, mengingat yang pertama mengingkari 
keberadaan yang Esa sedangkan yang kedua mengakui 
keberadaanya meskipun harus menyertakan oknum-oknumnya 
yang tiga: Bapa, Putra dan Roh Kudus atau sifat-sifatNya yang 
tiga: wujud, ilmu dan hayat. Kategori yang terakhir ini sebagaimana 
yang pertama kali diperkenalkan Yahya Ibn `Adi dapat 
memberikan pemahaman yang jelas terhadap trinitas khususnya 
kepada umat Islam. Karena sifat-sifat Tuhan tersebut  tidak asing 
di telinga seorang muslim yang hidup di lingkungan tradisional 
yang semenjak kecil dituntut menghafalkan sifat-sifat Tuhan yang 
dua puluh. Namun sangat disayangkan ketika komparasi oknum-
oknum dengan sifat-sifat yang pernah dilakukan oleh Bapak gereja 
Timur ini tidak dilanjutkan oleh generasi penerusnya dari para 
teolog Kristen. Sehingga mayoritas umat Islam setelahnya tidak 
dapat memahami   formulasi trinitas. Padahal pemahaman yang 
benarlah yang tidak menjadikan umat ini merasa benar  sendiri. 
Penulis menganggap Mu`tazilah tidak mengkritisi 
keberadaan oknum-oknum trinitas, tetapi mereka menolak 
eksistensinya yang qadim yang berada di luar zat. Artinya jika 
oknum-oknum tersebut dipahami sebagai yang hadits bisa saja 
mereka membenarkan trinitas seperti sifat-sifat Tuhan. Keyakinan 
kepada oknum yang qadim ini menyebabkan penyembahan 
terhadap Yesus, sang firman Tuhan. Kalau saja firman Tuhan 
dipahami sebagai yang muhdats maka tidak akan pernah ada 
penyembahan terhadap diri Yesus.
Sekte-sekte Kristen yang mempercayai kemahlukan 
Yesus sebenarnya sudah ada beberapa abad sebelum munculnya 
Mu`tazilah. Mereka adalah Sabellian, Arian dan Macedonian yang 
di kalangan ortodoks40 dianggap sebagai golongan heterodoks 
(bid`ah) sebagaimana Mu`tazilah dianggap heterodoks oleh Islam 
ortodoks (`Asyariah). Karena ketiga sekte Kristen heterodoks 
ini tidak menganggap Yesus sebagai Tuhan dan tidak pula 
menyembahnya. Mereka menganggapnya hanya sebagai manusia 
biasa dan utusan Tuhan.  Bahkan Wolfson dalam bukunya The 
Philosophy of  Kalamnya menemukan titik temu persamaan 
argumentasi kedua gologan heterodoks dari dua tradisi agama 
yang berbeda tersebut, Islam dan Kristen  khususnya mengenai 
kemakhlukan sifat kalam Tuhan (al-Qur`an:Yesus). Ini merupakan 
indikasi kuat adanya pengaruh pemikiran golongan Kristen 
heterodoks pada Islam heterodoks.
Memang benar pada masa pergumulan teologi Kristen 
terdapat  arus kekristenan heterodoks yang diwakili oleh 
Arianisme, Sabelianisme dan Macedonianisme. Mereka 
kebanyakan lulusan perguruan tinggi Antiokhia yang beraliran 
Aristotelian dan bersifat positivis, kurang mistik dan lebih 
rasional daripada mazhab Aleksandria yang beraliran Platonis 
yang bersifat gnostis. Maka adalah niscaya ketika Mu`tazilah 
mengkritik pemikiran yang berpangkal pada pemikiran Plato 
dan gnosis Yunani tersebut karena memiliki epistemologi dan 
paradigma yang berbeda denganya.
SimpulanC. 
Kajian trinitas dan sifat Tuhan yang telah dipaparkan di atas 
merupakan kajian perbandingan teologis filosofis antara kedua 
tradisi Kristen dan Islam. Tidak cukup hanya dengan pendekatan 
teologis saja yang sering menyebabkan berat sebelah dan tidak 
 Secara literal ortodoks berarti yang benar dan lurus tetapi secara ist -
lah menunjukkan kejumudan, stagnan dan status quo, berlawanan dengan hetero-
fair  dalam mengkaji kedua tradisi ini, tetapi juga dibutuhkan 
pendekatan filosofis yang menjadikan kajian ini berimbang dan 
dapat memberikan kontribusi pada umatnya untuk bersikap. 
Maka sebagai umat Islam dengan rasionalitasnya yang tinggi 
mampu memahami konsep trinitas yang diyakini umat Kristen. 
Ketika memahami eksistensi oknum-oknumnya, nalar kita mudah 
mengakses dengan menghubungkannya dengan konsep sifat 
Tuhan yang sejak lama kita akui dan pahami  keberadaannya.