teologi 11


Hubungan Kristen-Islam di negara kita  menjadi salah satu studi  
yang paling menarik untuk dicermati. studi  atasnya semakin bergerak 
menuju kesadaran bahwa relasi Kristen-Islam dalam sejarahnya tidak 
pernah murni sebagai studi  teologis. studi nya pun menjadi studi  lintas 
bidang dan lintas ilmu. Rupanya banyak faktor yang turut membentuk 
dan mengkondisikan bangunan relasi itu. Apalagi sangat sulit menjumpai 
sebuah agama tanpa terkait dengan kepentingan kelembagaan, kekuasaan, 
dan interests tertentu, betapa pun tingginya nilai sosial yang dikandung oleh 
kepentingan tersebut. Di negara kita , fenomena ini sangat mudah dijumpai. 
Sederet faktor kemudian dicatat dan dianalisis. Selain untuk kepentingan 
pengembangan studi  ilmiah itu sendiri, hal ini juga menjadi kesadaran baru 
umat beragama terkait kerentanan untuk gagal dalam usaha membangun 
dialog dan memelihara kerukunan hidup bersama.
Di negara kita , relasi Kristen-Islam telah mengalami pasang-
surut seturut dengan sejarah perjumpaan keduanya. Banyak studi telah 
memperjelas sejarah relasi yang problematis di antara keduanya . Seperti dicatat di atas, setiap studi  atas relasi 
Kristen-Islam semakin bergerak ke arah studi  yang bersifat lintas ilmu. 
Kesadaran ini tentu saja menunjukkan perkembangan yang baik. Justru 
karena itu, setiap studi  lintas agama diharapkan dapat menyentuh akar 
persoalan (fundamental ideas), mengapa semakin rumit dan kompleks 
relasi agama-agama di negara kita . Apalagi, dalam konteks masyarakat yang 
keberagamaannya bersifat heterogen (majemuk, plural), persoalan hidup 
bersama tentu cukup menggelisahkan. Hal ini sering tidak disadari bahwa 
antara wilayah “normativitas” dan “historisitas” hidup keberagamaan sering 
campur aduk, overlapped, yang perlu diklariļ¬ kasi secara akademis untuk 
menghindarkan dari praktik keberagamaan yang patologis ,
Salah satu studi  yang menyadari studinya sebagai “studi  lintas 
ilmu” yaitu  apa yang ditulis oleh Julianus Mojau. Tulisan Mojau yang 
berjudul Meniadakan atau Merangkul? merupakan studi teologi sosial 
yang cukup mendalam. Studinya bermaksud memperlihatkan aneka 
model/tipe respon dari teolog-teolog Kristen Protestan dan lembaga 
(PGI) dalam mengatasi “identitas kolonial” Kristen Protestan negara kita  
berhadapan dengan Islam (politik). Yang menarik ialah—di beberapa 
tempat—sang penulis menyadari betul bahwa mendekati subjek studi 
tentang Kristen Protestan dan pergulatannya dengan Islam (politik), bila 
hanya murni teologis, tidak akan tiba pada apa masalah (fundamental 
ideas) yang selama ini menjadi “titik tengkar” keduanya. Karena itu, 
aspek sosiologis dan politis menjadi penting ditelisik untuk masuk ke 
rimba gelap relasi yang patologis antara keduanya dalam sejarah negara kita  
 Teks-teks teologi sosial yang diselidiki secara kritis juga tidak 
berangkat dari dan dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil pergulatan 
teologis dari dan dalam konteks sosial tertentu. Karenanya, Mojau secara 
sadar menggunakan pendekatan kritik-ideologi (ideological-criticism 
approach) dan kecurigaan hermeneutis (hermeneutics-suspicion) untuk 
membongkar wacana-wacana ideologis di balik rumitnya relasi Kristen-
Islam di negara kita  ,Tulisan Mojau jadinya relevan disebut 
sebagai teologi sosial, yaitu berteologi di tengah realitas sosial yang 
kompleks. Kompleks karena kait-kelindannya antara yang “sakral” 
dan yang “profan” lewat cara berpikir, interpretasi, dan tafsiran orang 
perorang dan kelompok perkelompok keagamaan, yang kemudian hendak 
diberlakukan secara “paksa” kepada pihak lain. Mengatasinya diperlukan 

cara berpikir kritis, tidak terjebak dalam sektarianisme konsep dan praktik, 
dan mampu berjarak (neutral) pada perebutan posisi status quo, hingga 
pentingnya mengedepankan sikap toleran dalam arti praktis maupun 
ilmiah.
Tulisan Julianus Mojau awalnya yaitu  disertasi pada program 
Doctor of Theology dari South East Asia Graduate School of Theology 
(SEAGST), tahun 2004. Disertasi ini menganalisis secara kritis teks-teks 
teologis sosial Kristen Protestan untuk menggambarkan upaya gereja-
gereja Protestan di negara kita  pada periode Orde Baru dalam mengatasi 
dan keluar dari tantangan konteks, secara khusus hubungannya dengan 
Islam (politik). Sayangnya, tulisan Mojau ini—seperti yang penulis akui 
sendiri—baru diterbitkan untuk konsumsi pembaca umum setelah delapan 
tahun tinggal sebagai karya akademik (hlm. 405). Soal relevansinya, tulisan 
ini saya kira merupakan sebuah sumbangan penting, tidak hanya di tataran 
praktik politik bagi pencarian format pemikiran dan aksi politik Kristen 
berhadapan dengan konteks, namun secara akademik menghubungkannya 
dengan beberapa karya yang telah dibuat pada periode sebelumnya terkait 
relasi Kristen dengan konteks sosial-politik di negara kita  (misalnya: Ngelow disebut “teolog sosial pluralis”). Setidaknya 
sampai satu dasawarsa akhir era Orde Baru, kita mendapat informasi kaya 
mengenai respon Kristen terhadap konteks sosialnya. 
Yang menarik dicermati yaitu  apa yang ditulis oleh Gerrit Singgih 
dalam edisi revisi Dari Israel ke Asia (2012). Singgih mencatat bahwa Julianus 
Mojau yaitu  orang yang telah melakukan pemetaan terhadap teologi politik 
Kristen Protestan di negara kita  Penjelasan ini 
menjadi penting saat  ditempatkan dalam konteks perkembangan pemikiran 
teologi kontekstual di negara kita . Salah satu peta yang diungkap oleh Singgih 
dalam perjalanan teologi kontekstual Kristen di negara kita  ke depan yaitu  
mengembangkan pemikiran di bidang politik. Dua peta yang lain yaitu  
postmodernitas dan globalisasi. Masih dalam catatan Singgih, ia menegaskan 
ulang pentingnya arah pengembangan teologi politik ke depan dalam sebuah 
dialog dengan Majalah Wara Duta, katanya: “Kontekstualisasi baru diartikan 
ke budaya tradisional saja, belum ke arah sosial, yaitu pemulihan harkat dan 
martabat manusia. Jadi ke depan tugas gereja-gereja yaitu  mengarahkan 
kontekstualisasi teologia ke konteks sosial”  Konteks 
sosial juga berarti konteks politik. 
Mengapa catatan di atas demikian penting? Rupanya selama 
ini diskursus politik secara umum atau politik Kristen secara khusus 
sering luput dari percaturan pemikiran dan refl eksi Kristen. Akibatnya, 
konteks sekitar tidak pernah ditanggapi secara kritis, selain membeo 
pada keadaan atau bersikap memusuhi konteks. Pengalaman di masa lalu 
telah membuktikan bagaimana orang-orang Kristen mengambil posisi pro 
status quo dan jauh dari keresahan sekitar. Faktor penyebab lain yaitu  
besarnya kecurigaan pada politik, yang asalnya merupakan akar warisan 
kolonial yang belum sempat ditransformasi. Padahal, sebagaimana kita 
tahu, politik Kristen yang sering tidak cerdas dan tidak santunlah yang 
selama ini memelihara “identitas kolonial” Kristen dalam relasinya dengan 
kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama lain, khususnya Islam. Atau, 
seperti yang dicatat secara kritis oleh Mojau bahwa optimisme teologi sosial 
model modernisme/pembangunan justru yang memperparah kebuntuan 
relasi Kristen-Islam, menguatkan ketidakadilan struktural di masyarakat, 
meningkatkan citra sosial negatif terhadap Kristen dan menciptakan 
“identitas neo-kolonial” Kristen (hlm. 22). Melampaui situasi di atas, 
kita berharap bahwa percakapan tentang politik yang semakin luas dalam 
diskursus teologi Kristen, secara kritis dan akademis-ilmiah, akan memberi 
banyak kesempatan lahirnya pemikiran-pemikiran baru yang refl ektif dan 
semakin toleran. Mojau sendiri bermaksud melangkah lebih jauh, bahwa 
konteks realisme sosial masa kini di negara kita  memerlukan sebuah model 
teologi sosial yang melampaui (beyond) ketiga model teologi sosial yang 
dianalisisnya dalam rentang 1970-1990-an (hlm. 23, 405). Upaya ini pada 
akhirnya akan membebat dan menyembuhkan banyaknya luka budaya dan 
religi yang selama ini ditebar oleh kekristenan yang bermental kolonial atau 
neo-kolonial. 
Hal penting lain yang disuguhkan oleh karya Mojau yaitu  bahwa 
karya ini mengisi mata rantai perkembangan teologi Kristen Protestan 
selama masa Orde Baru. Penegasan ini bermanfaat untuk kita rangkaikan 
dengan salah satu tulisan penting dari Alle G. Hoekema, Berpikir Dalam 
Keseimbangan yang Dinamis (1997). Studi Hoekema yang meneliti 
rentang waktu satu abad (1860-1960) pergulatan Kristen Protestan dengan 
teologi nampak minus kesadaran akan konteks agama-agama (terutama 
Islam). Memang Hoekema sedikit meluaskan pandangan melampaui 
waktu penelitian disertasinya dengan mewawancarai Harun Hadiwijono. 
Dan, menurut Hoekema, baru tahun 1970-an, tepatnya tahun 1973, saat 
diterbitkannya karya Iman Kristen oleh Harun, sebagai penanda munculnya 
usaha sistematisasi teologi kontekstual yang sadar akan konteks agama-
agama  Mata rantai yang saya maksud 
yaitu  bahwa studi Mojau melanjutkan studi Hoekema dan mengisi fase 
penting pergulatan Kristen dengan konteksnya di era Orde Baru (1970-1990-
an). Yang dilanjutkan Mojau dari studi Hoekema, menurut Gerrit Singgih, 
yaitu  bahwa dalam kurun waktu antara 1860-1960 ada dua hal yang tidak 
nampak dalam kesadaran teologi Kristen, yaitu konteks agama-agama 
(terutama Islam) dan konteks kemiskinan (Singgih, 2005: 406). Di sini, 
Mojau mengisinya pada konteks yang pertama. Sehingga, apa yang selama 
ini dikuatirkan seolah terjadi diskontinuitas antara prototheologie dengan 
teologi-teologi setelahnya, tidak terjadi. Kalaupun Mojau sendiri mungkin 
tidak menyadarinya (?), maka kita dapat mengatakan bahwa studi tentang 
prototheologie yang Hoekema lakukan menjadi inspirasinya (?). Saya kira 
itu juga mengapa Hoekema kemudian memberi kata sambutan bagi buku 
Mojau ini (hlm. xv-xix). 
Isi Buku dan Beberapa Catatan Kritis yang Bersahabat
Studi Julianus Mojau tentang teologi sosial Kristen secara sadar 
menggunakan tipologi (modernis, liberatif, pluralis) sebagai “pembedaan 
kategoris” yang hampir tak terhindarkan untuk subjek studi  yang demikian 
kompleks  Di sana-sini ada pesimisme soal 
penggunaan tipologi karena dianggap tidak akan dapat mendekati masalah 
(subjek studi ) yang demikian kompleks, karena justru mereduksi dan 
mengaburkan masalah yang ada. namun  kita dapat memahami pilihan Mojau 
sebagai sesuatu yang argumentasinya kuat. Penjelasannya yaitu  bahwa 
tipologi itu sama dengan analogi “kandang” (ļ¬ gura) dalam ļ¬ lsafat Paul 
Ricoeur Dalam ļ¬ lsafatnya, Ricoeur juga mengatakan 
bahwa membuat “batas” (kandang) merupakan kecenderungan manusia 
yang tidak tahan dengan banyaknya kemungkinan dan ketidakpastian. 
Realitas terlalu “kaya akan makna-makna” (surplus of meaning). Yang 
penting disadari bahwa setiap tipologi atau “kandang” tidak pernah akan 
mengungkap persis-tepat realitas yang kompleks (contingent). Setiap 
tipologi atau kandang hanyalah “alat bantu” membatasi jagat pergulatan 
dalam model-model studi sosial apa pun. Studi Mojau ini sekaligus mewakili 
salah satu perspektif—dari banyaknya kemungkinan (appropriation)—
mendekati realitas yang terlampau kaya sehingga tidak dapat dimutlakkan. 
Jika demikian, “teologi sosial” yang Mojau gunakan pun yaitu  tipologi. 
Ini semacam “alat bantu” memahami realitas relasi Kristen-Islam yang 
kompleks. Mojau sendiri menyebutnya “model” sebagai pembedaan 
kategoris dalam mengidentiļ¬ kasi dan cara menafsir tipe-tipe atau ciri khas 
pemikiran teologi sosial yang dikembangkan di kalangan Kristen Protestan 
negara kita  selama 1970-1990-an. Catatan pentingnya bahwa setiap tipologi 
(kandang) tidak dapat dimutlakkan dan selalu dimungkinkan untuk diganti 
dengan tipologi (kandang) yang lain.
Setelah bagian Pendahuluan, uraian Mojau masuk ke model-model 
teologi sosial. Di Bab 1 diuraikan pemikiran-pemikiran teologi sosial 
yang dirumuskan sejajar dengan proyek modernisasi Orde Baru. Melalui 
pemikiran tokoh-tokoh seperti O. Notohamidjojo, T.B. Simatupang, P.D. 
Latuihamallo, S.A.E. Nababan, dan Eka Darmaputera, terbangunlah teologi 
sosial modernisme. Selain kelima tokoh, diuraikan juga model teologi sosial 
yang dikembangkan oleh PGI (hlm. 27-142). Uraian Bab 1 ini menarik 
karena hipotesis yang dikembangkan oleh Mojau mengatakan bahwa teologi 
sosial model modernisme-lah yang selama ini memperparah hubungan yang 
buntu antara Kristen-Islam (hlm. 22-23). Model ini menjadi “titik tengkar”, 
ketimbang “titik temu”, di antara keduanya. Model ini juga menguatkan 
ketidakadilan struktural di masyarakat, meningkatkan citra sosial negatif 
terhadap Kristen dan menciptakan “identitas neo-kolonial” Kristen. Stigma 
sosial sebagai pendukung peradaban kolonial akhirnya menjadi identitas 
yang melekat dalam diri kekristenan. Hipotesis Mojau mengatakan bahwa 
model teologi sosial modernisme-lah yang hendak “dipatahkan” (Mojau: 
“diterobos”) oleh dua model teologi sosial lainnya, yaitu liberatif dan 
pluralis (hlm. 142). Akhirnya, Mojau mengusulkan sebuah teologi sosial 
sintesis.
Saya ingin memberikan catatan lain atas pilihan Mojau pada kelima 
tokoh yang disebut dalam hipotesisnya sebagai pemikiran teologi sosial 
yang tidak mendukung hubungan baik Kristen-Islam. Malahan, pemikiran 
mereka mendukung gerakan modernisasi Orde Baru yang berarti pro status 
quo kekuasaan Orde Baru (hlm. 21). Dengan dekat pada kekuasaan yang 
kala itu sedang tumbuh, kekristenan dapat membenarkan praktik-praktik 
ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim yang baru. Yang saya ingin 
katakan bahwa, sikap pro status quo pada kekuasaan dan mengembangkan 
pemikiran teologis yang tidak mendukung hubungan baik Kristen-Islam, 
nampaknya sulit untuk dipertahankan jika maksudnya itu yaitu  S.A.E. 
Nababan dan Eka Darmaputera. 
Berdasar penilaian Sumartana, Mojau mengatakan bahwa Nababan 
memiliki watak sosial yang primordialistis—buktinya merestui pendirian 
HKBP di Minahasa —yang mengkristal dalam bentuk fobia 
terhadap Islam politik (hlm. 94-95). Atas seluruh uraian terhadap Nababan, 
di satu sisi, kritik atas wacana yang dikembangkan Nababan sangat kuat 
ditunjukkan oleh Mojau. Namun, di sisi lain, kita masih bisa bertanya, 
mengapa uraian Mojau tidak menyebut kiprah Nababan dalam konteks 
perseteruan dengan PT. Indo Rayon, yang di mata masyarakat sangat 
menghisap alam dan berlaku tidak adil terhadap masyarakat. Saya berbeda 
dengan Mojau, bahwa uraian kecil konfl ik Soeharto dan Nababan awal tahun 
1990-an (hlm. 95), saya kira—saya bisa salah—belum terlalu jelas dan utuh 
menggambarkan sosok lain Nababan, bukan sebagai pendukung status quo 
rezim penguasa waktu itu, melainkan pelawan kekuasaan. Setidaknya kalau 
bukan di tataran wacana (“teks” yang dikritik Mojau), kita melihat praktik 
politis Nababan, sebagai anti penguasa yang lalim, melalui keberpihakannya 
pada penderitaan rakyat di sekitar PT. Indo Rayon. Kalau benar demikian, 
Nababan rasanya tidak pas disebut hidup “jauh dari jeritan pilu” rakyat 
(hlm. 95). Justru ia yaitu  penyambung lidah rakyat yang menderita.
Terhadap Eka Darmaputera, Mojau pun menunjukkan bahwa 
Eka punya sikap fobia terhadap Islam politik (hlm. 118), yang membuat 
pesan Kerajaan Allah mandul tanpa daya transformatif. Melihat teks-teks 
yang ditelusuri secara kritis, penilaian Mojau ini mungkin ada benarnya, 
namun  kita tidak boleh lupa bahwa sikap fobia Eka, juga Nababan, dan 
teolog lainnya, terhadap tampilan Islam politik (hlm. 14-15: “Islam 
fundamentalis”?) yang formalistik dan skripturalistik yaitu  merupakan 
sikap umum yang mulai tumbuh dan semakin menguat di kalangan generasi 
Islam akhir 1960-an dan awal 1970-an. “Kegagalan” kaum modernis Islam 
dalam memperjuangkan Islam negara menjadi bahan refl eksi generasi baru 
Islam (hingga ke generasi 1980 dan 1990-an) untuk mewacanakan jalan 
baru Islam ,Gerakan pembaharuan pemikiran Islam 
(neo-modernisme) yang dimotori oleh Nurcholish Madjid dan tumbuh 
di era awal Orde Baru, selain sempat dicap tidak kritis, dituduh memberi 
legitimasi teologis pada kekuasaan, namun telah memberikan dasar teologis 
yang paling cerdas bagi umat Islam untuk memikirkan ulang politik Islam 
sebagai politik kesantunan dan jauh dari mematok mutlak kekuasaan 
sebagai tujuan satu-satunya menjadi Muslim. “Islam Yes, Partai Islam No” 
yaitu  simbol teologis bagi pembaharuan pemikiran dan aksi politik Islam 
ke arah yang lebih substansial. 
Kesan Mojau bahwa neo-modernisme Islam meng-exclude-kan Islam 
politik (hlm. 297), menurut saya, tidak terbukti, karena upaya pembaharuan 
teologi lebih sebagai gerakan moral-intelektual. Di samping itu, pembaharuan 
teologi itu telah meretas juga lahirnya Islam kultural, sebuah praksis Islam, 
yang salah satunya concern dengan isu-isu ketidakadilan (sosial-ekonomi). 
Dalam beberapa bagian (misalnya hlm. 370), dialog yang dimaksud Mojau 
antara Kristen-Islam soal ketidakadilan, mungkin bukan dengan Islam 
politik melainkan Islam kultural. Studi Bahtiar Effendi, saya kira, juga 
telah membuktikan bahwa wajah Islam politik tidak saja substansial namun  
juga skriptural (Effendi, 1998). Pada wajah yang skriptural (hlm. 14-15: 
“fundamentalis”), yang penuh dengan interest, sebagai dampak warisan 
konfl ik Kristen-Islam masa lalu, dan bersifat ideologis-tertutup, rasanya 
tidak ada satu orang Islam pun yang mendukungnya (Hasan, 2006: 221), 
apalagi seorang Kristen seperti Nababan, Eka, dan para teolog lainnya. 
Meminjam uraian Gerrit Singgih, ia mengatakan bahwa syariat 
Islam saja bisa diterima orang Kristen jika kebenaran, keadilan, dan 
kasih menjadi premis nilai. Tak kalah penting, dapatkah orang Kristen 
di wilayah yang memperlakukan syariat Islam menjadi ketua RT, camat, 
hingga presiden? Bila tidak, maka kita pun menolaknya  Kesan ini juga dapat dirasakan dari uraian Mojau sendiri. 
Katanya, kita perlu sikap kritis pada kemungkinan retorika Islam politik 
yang sebetulnya jauh dari pro keadilan dan pembebasan (hlm. 393). Kritis 
bahwa Islam politik hanya dapat diterima karena ekspresinya yang nir-
kekerasan (hlm. 413). namun , di sinilah optimisme Mojau, semua daya kritis 
itu tidak boleh menghalangi upaya mencari “titik temu” Kristen dengan 
Islam politik demi mengembangkan teologi sosial liberatif-transformatif 
 Masih terkait ini, kita dapat 
mempertanyakan “sumber kearifan sikap mental sosial rekonsiliatif” yang 
ditawarkan Mojau dari 2 Korintus 5:17-19 (hlm. 397). Saya cuma mau 
mengatakan bahwa bisa jadi basis ini memang tidak relevan (?) dan dalam 
konteks polemik teologis justru dapat menjadi ganjalan dengan kalangan 
Islam politik. Menurut saya, titik tolak dari dialog bisa bersumber dari 
nilai-nilai sekular (walaupun nilai-nilai sekular sering dasarnya juga dari 
nilai-nilai agama), yang juga beberapa kali disebut oleh Mojau sebagai 
nilai-nilai humanitas. Dalam pembicaraan di seputar komunitas basis, ini 
dimasukkan dalam Basic Human Community (BHC), di mana orang diikat 
dalam praksis sosial oleh nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam perspektif baru, wajah Islam politik telah bergerak 
meruwat diri hingga bermakna kultural dan substansial sebagai praksis 
emansipatoris dan transformatif. Jauh meninggalkan wajah lama Islam 
politik (Islamisme), yang ideologis dan tertutup, menjadi wajah Islam 
politik baru (post-Islamisme) yang terbuka dan toleran (Bayat, 2011). Post-
Islamisme yang toleran, juga terbuka bagi kerjasama agama-agama dalam 
semangat humanisme. Yang menarik yaitu  bahwa arus perubahan format 
Islam politik (Islamisme) ini dalam banyak hal tidak dikarenakan faktor 
luar, antara lain tekanan demokratisasi dan penegakan HAM di Barat, 
melainkan perubahan internal umat Islam sendiri di bidang politik untuk 
menjadi kontekstual dengan nalar publik masyarakat modern ,Artinya, harapan Mojau agar kita tidak 
perlu galau dan khawatir dengan Islam politik (hlm. 407), dibenarkan 
dengan realitas demokratisasi internal di kalangan umat Islam sendiri 
berupa praksis “mengnegara kita kan Islam” ,
Catatan lain bahwa, sebagai teologi yang berangkat dari konteks, 
maka pemikiran teologis dan sikap politis Nababan dan Eka yaitu  teologi 
kontekstual. Dalam berteologi kontekstual, kita tidak hanya melakukan 
konfrontasi atas konteks (misalnya: Orde Baru), namun tak jarang juga 
bersikap konfi rmatif/afi rmatif. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa 
sikap pro kekuasaan itu pasti benar, namun  jangan lupa, berteologi bukan 
hanya soal orang yang berteologi, ia juga soal konteks yang melahirkan 
setiap pemikiran teologis. Selain kita kritis karena kita mengambil jarak dan 
memotretnya dari masa kini, kita juga dapat mengerti pergulatan yang tidak 
sederhana dari setiap pemikir dan pemikirannya. Kritik besar atas pemikiran 
teologi seseorang juga seringkali muncul karena pendekatan yang digunakan. 
Setahu saya—saya bisa salah—kritik ideologi (ideological-criticism-
approach) yang Mojau gunakan (hlm. 24-25), yang bersifat dekonstruktif, 
sangat kurang memberi apresiasi seimbang atas konteks lahirnya sebuah 
pemikiran. Apresiasi baru muncul saat  wacana itu telah habis-habisan 
dibongkar, itu pun dengan maksud menunjukkan lubang-lubangnya ,Saya juga merasa penilaian Mojau soal empat karakter teologi 
sosial modernis sebagai “kabar angin dari langit”, “menguatkan kekuasaan 
hegemoni Orde Baru”, “membunuh kesadaran kritis umat”, dan “sungguh-
sungguh menjadi pabrik opium bagi rakyat” (hlm. 140-141), sangatlah 
berlebihan. Sebab ada banyak faktor internal dan eksternal yang lebih 
strategis untuk menguatkan kekuasaan hegemoni rezim Orde Baru. 
Mojau juga bisa tidak konsisten saat ia mengevaluasi pemikiran teks-
teks teologi sosial-politik yang dikembangkan oleh lima teolog model modernis 
berhadapan dengan ideologi negara, Pancasila. Menurutnya, pemikiran 
mereka jauh dari kritis dan hanya menguatkan kekuasaan rezim Orde Baru. 
namun , dalam akhir seluruh uraian, kesan saya, Mojau merekomendasikan 
arah hidup menggereja sintesis yang karakternya pluralis, transformatif, 
dan rekonsiliatif, juga dalam kerangka kesadaran dan semangat kebangsaan 
negara kita , yang juga bersifatkan ideologi negara pasca Orde Baru dan 
pasca amandemen UUD 1945 (hlm. 403). Kita belum terlalu jelas dengan 
uraian Mojau ini, apakah maksudnya bahwa format ideologi pasca Orde 
Baru dan pasca amandemen itu berarti ideologi yang telah ditransformasi 
(Mojau: “format baru”), sehingga OK-OK saja menjadi titik tolak teologi 
sosial (lihat kesan itu di hlm. 402). Dalam postcriptum, Mojau memang tidak 
menyarankan bahwa titik tolak teologi sosial pluralis-liberatif-emansipatif-
rekonsiliatif itu berdasar pada format ideologi Pancasila seperti zaman Orde 
Baru. Hanya kesan saya, Mojau agak berhati-hati. Di satu sisi, ia sadar 
bahwa selama ini ideologi Pancasila telah dipakai sebagai alat kekuasaan, 
dan orang-orang Kristen telah turut menggores luka pada umat Islam dengan 
sikapnya yang mendompleng kekuasaan (teologi sosial modernis). Di sisi 
lain, ada harapan besar bahwa dialog dengan kalangan Islam politik tidak lagi 
berbasis ideologis (teologi sosial liberatif dan pluralis), melainkan didasarkan 
pada cara memandang mereka sebagai sesama manusia dalam Keluarga 
Allah (hlm. 409-410). Kalau masalahnya terletak pada ideologi Pancasila, 
agak aneh, bahwa apa yang ingin dilampaui bersama kalangan Islam politik 
justru dikatakan “mereka (Islam politik–pen.) dapat menerima Pancasila” 
sebagai artikulasi politik mereka (hlm. 411). Saya menduga, Mojau masih 
sangat optimis dengan Pancasila (?). Kesan optimis Mojau ini nampak saat ia 
mengatakan perlunya mengembangkan rasa kebangsaan kerakyatan, sebagai 
rasa kebangsaan alternatif, yang dapat didialogkan dengan rasa kebangsaan 
pihak Islam, yaitu pada nilai liberatif dan emansipatoris (hlm. 376, diulang 
dalam postcriptum hlm. 412). Ia juga positif—disertai nada kritis: “sayang 
sekali”—terhadap amandemen Batang Tubuh UUD 1945 demi negara kita  
baru (hlm. 378). Apakah ini tidak berarti bahwa dua-duanya toh bisa jadi 
titik tolak bagi pengembangan teologi sosial pluralis-liberatif-emanisipatoris-
rekonsiliatif. Dari pada terkesan tidak konsisten, katakan saja: titik tolak 
humanisme, OK! (Mojau), titik tolak ideologis, juga OK! (Yewangoe) (hlm. 
407-408). Dengan demikian, bukankah masalahnya toh berpulang pada praktik 
ideologi yang sering bergerak jauh dari ideologi itu sendiri. Sehingga yang 
terpenting yaitu  memperbaiki ideologi dan praktiknya sekaligus supaya bisa 
menjadi titik temu (bukan “titik tengkar”) antar seluruh komponen bangsa 
untuk hidup adil, sejahtera, dan merdeka. 
Simatupang pernah berkata: “The fi ve (Pancasila) are a wide enough 
umbrella for everybody. No body has anything against them, people can 
accept them, we can all live together under them” , Kalau benar demikian, bukankah Eka Darmaputera juga sudah 
merumuskannya  Saya masih 
ingin mengutip uraian Banawiratma yang sekiranya penting dan menolong 
memahami titik tolak berteologi sosial dari pendekatan ideologi yang 
ditransformasi.1 Katanya:
Di era Orde Baru, Pancasila dimanipulasikan demi kepentingan 
kekuasaan yang represif. Di era reformasi ditenggelamkan oleh globalisasi 
neoliberalis (dibiarkan oleh negara centeng, negara makelar)… Sekarang 
ini: bukan masalah indoktrinasi melalui kurikulum atau institusi mana pun, 
melainkan masalah praktek: nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila 
itu diperjuangkan oleh negara dan oleh semua warga negara. Bagi iman 
Kristen = ikut dalam gerakan Kerajaan Allah yang diperjuangkan oleh 
Yesus: kerajaan keadilan, cinta kasih, kebenaran, persaudaraan semua 
orang. Bagi iman Kristen perwujudan nilai-nilai Pancasila merupakan 
penghayatan hidup mengasihi Allah dan sesama. Siapa itu sesama? Lukas 
10:25-37. Mengasihi sesama yaitu  sesama manusia dari orang yang jatuh 
ke tangan penyamun (ay. 36), 
Dua titik tolak ini (humanisme dan ideologi), saya kira juga yang 
Singgih tawarkan bagi sikap politik Kristen di negara kita  sekarang, yang 
disebutnya sebagai “jalan tengah”, yakni negara tidak berasal dari Allah 
namun  ada (exist), karena itu kita taat kepada negara, namun  kedaulatan negara 
berada di bawah kedaulatan Allah. “Jalan tengah” ini mencoba tidak jatuh 
pada dua ekstrem, di satu sisi sikap memisahkan diri atau melawan negara, 
di sisi lain sikap menganggap negara berasal dari Allah, tidak peduli bahwa 
negara itu jahat dan sering anti kemanusiaan ,
Mojau diakhir studinya merekomendasikan jalan keluar eklesiologis 
yang mendesak untuk mengatasi identitas kolonial Kristen Protestan 
di negara kita  (hlm. 403). Setahu saya, ada pemikiran eklesiologi Eka 
Darmaputera—sayang tidak tercantum dalam uraian halaman 96-119, 
dan di daftar pustaka—yang sangat diapresiasi positif oleh teman-teman 
Katolik (Keuskupan Agung Semarang). Salah satunya yaitu  kata-kata Eka 
dalam Sinode Agung Gereja Katolik negara kita  (SAGKI) tahun 2000, bahwa 
gereja-gereja di negara kita  menghadapi situasi krisis yang amat serius “ke 
dalam tidak signiļ¬ kan dan ke luar tidak relevan” 
Pemikiran Eka ini rasanya jauh dari apa yang disebut Mojau, “mandul tanpa 
daya transformatif” (hlm. 110, 118). Sementara itu, kata-kata kritis Eka 
di atas yaitu  juga yang diinginkan Mojau bahwa studinya ini bertujuan 
eklesial sebagai evaluasi diri (autokritik) menuju panggilan liberatif dan 
rekonsiliatif (hlm. 23). Demikian pula, mendukung maksud di akhirnya studi 
Mojau sendiri tentang pembaruan eklesiologi untuk mengatasi identitas 
kolonial Kristen Protestan (hlm. 403). Atau, jangan-jangan kritik yang tidak 
berimbang ini makin membenarkan apa yang Banawiratma sering sebut 
dalam perkuliahannya bahwa Eka Darmaputera lebih mendapat tempat di 
kalangan Katolik daripada di Protestan sendiri (?).
Berikut saya akan menjelaskan dua bab selanjutnya, saya memiliki argumen yang kuat sehingga 
secara sambil lalu saya akan memberi catatan kritis. Dalam Bab 2, Mojau 
memperlihatkan bagaimana pemikiran teologi sosial dirumuskan dalam 
rangka solidaritas dan pembebasan terhadap mereka yang menjadi korban 
pembangunan ideologis. Melalui enam teolog, antara lain J.L.Ch. Abineno, 
Josef  Widiatmadja, F. Ukur, E.G. Singgih, dan A.A. Yewangoe, tergambar 
teologi sosial terhadap kaum miskin, dan Marianne Kattopo mengembangkan 
teologi sosial terhadap masalah keadilan gender. Bersama dengan teks-
teks teologi sosial PGI tersusunlah teologi sosial liberatif. Dalam Bab 3, 
Mojau paling jelas dalam uraiannya tentang pemikiran-pemikiran Kristen 
tentang Islam. Melalui tokoh-tokoh, seperti: Victor Tanja, Th. Sumartana, 
E.G. Singgih, Zakaria J. Ngelow, Ioanes Rakhmat, dan teks-teks resmi PGI, 
tercerminlah teologi sosial pluralis.
Pilihan Mojau pada tokoh-tokoh teologi sosial pluralis sangat 
menarik dicermati. Mojau mengatakan bahwa ada alasan yang membuatnya 
harus memilah di antara sekian banyak teolog, yaitu disertasi dan karangan 
teologisnya mencerminkan posisi pandangan dan perspektif teologi kristiani. 
Jika tidak, maka dengan sengaja diabaikan (hlm. 283). Salah satu yang 
sengaja diabaikan yaitu  Djaka Soetapa, karena disertasinya cenderung 
menjadi ilmu agama murni dan tidak memperlihatkan pandangan dan sikap 
Djaka Soetapa terhadap hubungan Kristen-Islam , Saya 
ingin menunjukkan perspektif lain melihat Djaka Soetapa—juga membaca 
disertasinya—yang membuatnya layak dimasukkan dalam deretan teolog 
pluralis (atau mungkin modernis karena menyinggung Pancasila?). Teologi 
Djaka Soetapa dapat dicerna melalui beberapa tulisannya. Yang utama 
yaitu  disertasinya. Dalam disertasi ini, Djaka memberi evaluasi kritis soal 
pemaknaan sempit ummah sebagai din wa dawlah. Studi Djaka bermaksud 
menemukan warna lain dalam teologi Islam tentang ummah yang dalam 
konteks ke-“bhineka tunggal ika”-an negara kita  dapat mengisi peran kreatif, 
positif, dan konstruktif melalui transformasi konsep ummah eksklusif 
menjadi “ummah negara kita ” inklusif. 
Bagi Djaka Soetapa, konteks menentukan. Ummah yang semula 
eksklusif diperluas dalam perjumpaan Islam dengan konteks kenegara kita an 
yang majemuk. Pancasila yaitu  pengikatnya. Di mana Islam menjadi 
sumber etika dan moral bagi hidup sosial-politik. Islam menjadi sumber 
nilai dan moral bagi kemanusiaan dan kenegara kita an. Potensi ini ada pada 
sikap toleran Islam terhadap “pandangan dunia primal” penduduk setempat. 
Katanya, usaha-usaha pembaruan Islam (puritanisme atau modernisme) 
nyatanya tidak menghilangkan jati diri Islam negara kita  yang heterogen dan 
toleran Menurut saya, Djaka sedang membayangkan 
sebuah “Islam sinkretik?”—seperti yang Sumartana pikirkan—yaitu Islam 
toleran yang membangun harmoni dengan menerima unsur-unsur lokal, 
berdialog dengan unsur keragaman lain dan memperluas medan dialog 
melampaui konsep dan teologi din wa dawlah (negara Islam).4
Masih menurut Djaka Soetapa, ada 7 (tujuh) sumbangan 
(“kejeniusan”) Islam bagi kenegara kita an , yaitu: 
ummah wasat (umat penengah); umat teladan; gotong royong dan etika 
sosial; Islam sebagai sikap pasrah, menjadi hamba Allah, dan mengabdi 
pada sesama; pengakuan terhadap ummah “yang lain”; toleransi beragama 
dan anti fanatisme agama; dan jihad sebagai kesukaan bekerja keras. 
Pemikiran Djaka Soetapa ini sangat afi rmatif (lawan konfrontatif) terhadap 
potensi Islam sebagai agama mayoritas. Djaka melampaui paradigma lama 
misi Kristen yang konfrontatif-ideologis, yang berarti mengecilkan potensi 
Islam. Untuk “jenius” Islam yang kelima (pengakuan Islam terhadap umat 
lainnya), Djaka Soetapa menantang teologi Kristen untuk memikirkan 
ulang tempat “yang lain” (Islam) dalam kerangka teologinya. Justru 
teologi Kristen yang progresif-pluralis telah selesai dengan tempat agama-
agama lain, dan menjadikan dialog sebagai kesempatan diperkaya bahkan 
dipertobatkan dari gambaran karikatur atas “yang lain”  Dan karena Islam yaitu  agama 
yang paling bertetangga dengan Kristen, maka tempat Islam selesai dalam 
rangka berteologi Kristen. Sejauh ini, penilaian Hoekema bahwa disertasi 
Djaka Soetapa—walau menurutnya tidak mempunyai visi Kristen dan 
mungkin ini yang diikuti oleh Mojau—merupakan “bukti adanya sikap baru 
gereja (terhadap Islam)”, mengandung kebenaran Bila kita utuh melihat alur pemikiran dalam karangan-karangan 
teologisnya, tidak hanya disertasinya (seperti yang dilakukan Mojau), maka 
Djaka Soetapa layak dikategorikan sebagai teolog sosial pluralis, demikian 
“pedialog” agama-agama ,
Catatan kritis lain yaitu  apa yang Mojau kategorikan sendiri. Ia 
memasukkan Th. Sumartana dalam tipologi “teolog sosial pluralis” . Tulisan Trisno Sutanto tentang “Perihal Kristen Liberal di 
negara kita ” nampaknya luput dari perhatian Mojau 
(dalam daftar pustaka Mojau tidak ada). Mungkin alasan paling masuk akal 
yaitu  bahwa tulisan Sutanto muncul setelah studi Mojau selesai. Karena studi 
Mojau selesai tahun 2004 dan tulisan Sutanto muncul tahun 2004 juga. Hanya 
saja bahwa, sub judul pembahasan Mojau atas Sumartana menyebut beberapa 
kali “liberatif” dan bukan “pluralis” . Artinya, 
bukankah ini malah mendukung apa yang ditulis Sutanto bahwa Sumartana 
yaitu  teolog Kristen liberal. Atau, dua-duanya bisa benar buat Sumartana (?): 
teolog sosial liberal (Sutanto) dan teolog sosial pluralis (Mojau).
Sekarang saya masuk dan ingin memberi catatan dari uraian Mojau 
di Bab 4, “Retrospeksi dan Prospek Teologi Sosial Pasca Orde Baru”. Mojau 
mengatakan dua kali di halaman 400 bahwa oleh “kebesaran hati pihak umat 
Kristen di sana (di Halmahera–pen.) untuk mau berdamai” maka perdamaian 
terwujud dan ini yaitu  contoh menggereja rekonsiliatif. Memang Mojau 
menyebut peran pemerintah, lembaga adat, dan LSM dalam proses rekonsiliasi, 
namun ada pertanyaan mendasar: di mana tempat saudara-saudara Muslim 
dalam proses penyelesaian konfl ik ini? Apalagi, teologi sosial, yang juga 
menyentuh teologi agama-agama, ingin merefl eksikan “bagaimana tempat 
agama-agama dalam kerangka wawasan agama Kristiani” Jangan-jangan solusi konfl ik yaitu  solusi satu pihak. Menurut saya, 
sebagai studi yang fokus pada teks-teks atau wacana teologi sosial, sudah 
tidak seharusnya umat Islam Halmahera tidak disebut dan seolah di-exclude-
kan. Padahal upaya membangun “teologi politik perangkulan” (theology of 
embracing-politics) dan tidak meng-exclude-kan siapa pun (termasuk Islam 
politik) menjadi benang merah dalam studi Mojau ,
Saya juga beroleh kesan—saya bisa salah—bahwa akhirnya 
penyelesaian konfl ik menggunakan pendekatan lama, win-win solution. 
Di sini kita dapat mempertimbangkan ide Henri Nouwen dalam bukunya 
Yang Terluka yang Menyembuhkan (Nouwen, 1988). Gerrit Singgih, saya 
kira salah satu teolog yang mengambil inspirasi Nouwen lalu menerapkan 
pemahaman penyembuh yang terluka ini pada proses kesembuhan 
rekonsiliasi, yang hanya bisa terjadi di antara dua pihak yang sama-
sama kalah atau sama-sama korban, dan bukan yang sama-sama menang 
 Aspek rekonsiliatif ini mengingatkan para pegiat 
resolusi konfl ik –baik konfl ik etnis atau agama—untuk sadar bahwa 

konteks kasus menderita karena kekerasan dan usulan penyelesaiannya 
dengan win-win solution, ternyata solusi tersebut tidak mungkin bisa 
dijalankan. Kutipan di atas sekaligus mau mengatakan bahwa kritik 
Mojau terhadap teologi sosial pluralis sebagai kurang menekankan 
aspek rekonsiliatif (hlm. 379) tidak terbukti pada Singgih (setidaknya 
pada tulisannya kemudian dan disebut Mojau di halaman 414). Bahasan 
dalam buku Nouwen juga memberi perspektif lain (dari kesan saya 
terhadap Mojau), dan menolong untuk memotret konteks di negara kita , 
yang disadari berbeda dengan konteks Nouwen, bahwa kita semua –tidak 
mengenal latar agama apa pun— sama-sama sedang menderita karena 
polarisasi masyarakat, menjadi korban kekerasan dan teror yang dilakukan 
oleh sesama bangsa.5 Orang-orang Kristen pengajur model teologi sosial 
modernis yaitu  korban karena sikap fobia terhadap Islam politik yang 
beragendakan negara Islam, demikian kalangan Islam politik yaitu  
korban karena sikap fobia terhadap bahaya kristenisasi ,
Mojau dalam Bab 4, saya kira sudah memberi sinyal bagi upaya 
membangun titik temu Kristen-Islam atas dasar keprihatinan sosial 
bersama (hlm. 395-396). Sinyal itu yaitu  pentingnya membangun 
komunitas-komunitas liberatif-transformatif lintas budaya dan agama 
demi perjuangan hidup bersama yang damai dan adil. Hanya saja, menurut 
saya, walaupun studi Mojau juga menyinggung pemikiran teologi sosial 
lembaga seperti PGI dan lembaga di dalamnya, namun masih besar 
ruang pembahasan diberikan kepada pemikiran tokoh-tokoh (15 tokoh, 
Singgih disebut dua kali) dari mana teologi sosial itu muncul ,Mojau sendiri menyebut porsi singkat uraian tentang PGI 
demikian: “Seperti halnya kedua model teologi sosial lain... saya akan 
memeriksa secara singkat...” (hlm. 284, 145). Bagi saya, ini menguatkan 
pandangan dalam kesimpulan studi saya—tesis magister teologi di Duta 
Wacana: Teologi Progresif—bahwa pemikiran teologi Kristen Protestan 
masih berkutat pada tokoh dan belum menjadi sebuah “gerakan sosial” 
 Lalu saya mengusulkan dalam studi saya bahwa 
pembaruan teologi Kristen ke depan (saya secara sadar menggunakan 
tipologi “teologi progresif”), yang berdaya bagi transformasi sosial, 
haruslah berwujud “kerja kolektif”. “Kerja kolektif” yaitu  gerakan 
pembaruan teologi pasca “kerja individu”, bersama dengan “kerja-kerja 
kolektif” dari komponen sekular dan umat beragama lain (lintas iman 
dan lintas budaya) untuk mengatasi aneka patologi globalisasi melalui 
mobilisasi religius. Kesadaran ini, menurut saya, punya nilai strategis 
untuk menghubungkannya dengan apa yang terjadi di dalam internal umat 
Islam. Ahmad Suaedy (aktivis The Wahid Institute) mengatakan bahwa 
pasca Orde Baru, gerakan pembaharuan pemikiran dan sosial Islam 
tampil sebagai “kerja kolektif” dalam lembaga-lembaga ilmiah atau LSM 
intelektual ,Tulisan Budhy Munawar-Rachman 
secara jelas mencatat pertumbuhan 11 (sebelas) lembaga pengarusutamaan 
(mainstreaming) dan diseminasi  Islam progresif-kontekstual di negara kita  
. Fakta ini tentu menantang untuk gagasan 
pembaruan Kristen diinstitusionalisasi menjadi “kerja-kerja kolektif” 
dalam lembaga-lembaga pengarusutamaan (mainstreaming) gerakan 
sosial liberatif-transformatif Kristen.6 Ini juga yang saya kira dicermati 
oleh Hoekema, yang ia katakan dalam “Kata Sambutan”  buku Mojau, 
bahwa ke depan arah perkembangan teologi Kristen Protestan yaitu  
dengan memberi perhatian pada “bengkel-bengkel” (“kerja kolektif”–
pen.), di mana aneka gagasan dan refl eksi teologis itu dipraktikkan 
dalam dialog dengan umat lain dan di banyak tempat (Hoekema, “Kata 
Sambutan”, dalam Mojau, 2012: xviii-xix). 
Hal lain yang menurut saya perlu dicermati yaitu  kritik Mojau 
bahwa teologi sosial Kristen sepanjang Orde Baru tidak punya kerangka 
metodologi yang jelas, terlalu menekankan isi teologi, abstrak, tidak 
menolong orang-orang (umat, gereja) mengalami langsung situasi, sering 
kali hanya membenarkan situasi yang mapan, dan akhirnya akan tinggal 
retorika belaka (hlm. 381). Penilaian ini menurut saya tidak bisa tinggal 
seperti ini tanpa penjelasan. Karena bisa diartikan semua pemikiran para 
teolog yang dianalisisnya sama saja (hlm. 373). Sebab, anggapan bahwa 
pengutamaan isi teologi hanya akan membenarkan kemapanan, menurut 
saya yaitu  prasangka Mojau. Karena, kita pun bisa mengatakan sebaliknya, 
bahwa tekanan pada metode—sesuatu yang ditawarkan Mojau (hlm. 380-
381)—juga bisa menindas. Sejarah teologi Barat yang diterapkan pada 
zaman kolonial rasanya contoh baik betapa teologi dan seluruh perangkat 
metodologinya telah dipakai membenarkan kolonialisme . Saya setuju dengan Mojau bahwa 
berteologi perlu metodologi. Itu juga yang ia kritisi pada warisan teologi 
yang dimiliki para teolog (khususnya model modernis) yang mengontrol 
bawah sadar mereka sehingga menghasilkan teks-teks yang kabur dari 
keprihatinan konteks. namun  jangan seolah ada dikotomi berlebihan—kesan 
membaca halaman 381: “Hal ini penting sebab...”—karena baik isi dan 
metode sama-sama penting bagi berteologi kontekstual. Yang tak kalah 
penting bahwa, baik isi dan metode teologi, sama-sama tidak bebas kritik. 
Penerapan dan relevansinya dalam ruang publik teologi akan ditentukan 
oleh dialog publik dan keterbukaan pada kritik. 
Berangkat dari uraian di atas, kritik Mojau bahwa teologi sosial 
Kristen sepanjang Orde Baru tidak punya kerangka metodologi yang jelas 
dan abstrak, menurut saya, tidak terlalu mengena jika maksudnya tertuju pada 
pemikiran Gerrit Singgih, misalnya. Memang Mojau sudah menguraikan 
salah satu kesadaran metodologis yang ada pada Singgih: “konfrontasi”  
dan “konļ¬ rmasi”. Mojau juga sudah memberi evaluasi kritis dan positif 
bahwa Singgih yaitu  pengecualian teolog, baik modernis dan liberatif, 
yang punya metodologi jelas dalam berteologi (hlm. 203-204). saat  
mengusulkan jalan keluar mengatasi kebuntuan hubungan Kristen-Islam 
berupa langkah metodologis yang disebut “lingkaran hermeneutik” (hlm. 
384), saya kira Mojau sejalan dengan Gerrit Singgih  namun  saya ingin memberi catatan lain, bahwa 
kritik terhadap metodologi teologi sosial era Orde Baru (termasuk bila itu 
Singgih [?]) datang karena Mojau tidak dapat membedakan antara isi wacana 
teologi sosial (tataran diskursus pemikiran) dan praktik wacana. Menurut 
saya, sebagai sebuah wacana, isi teologi bisa saja abstrak. namun  isi tersebut 
juga konkret karena berangkat dari pengalaman komunitas. Sementara itu, 
praktik wacana sebagai konkretisasi isi wacana yaitu  langkah berikut. 
Setahu penulis, kesadaran metodologis Singgih banyak yang berangkat 
dari pengalamannya yang konkret, antara lain sewaktu memimpin LPM 
Duta Wacana (1987-1993) dan beberapa waktu sebagai pendeta jemaat 
(beberapa tulisan Singgih berbicara tentang GPIB, GKJ, GKP). Ini yang 
tidak dilihat Mojau dan mungkin yang Hoekema maksudkan dalam Kata 
Sambutannya dengan menyebut “bengkel-bengkel” (hlm. xviii), yaitu 
“tempat” di mana isi wacana (diskursus pemikiran) dan refl eksi teologis 
hendak didaratkan, menjadi konkret (tidak abstrak), populis dan akhirnya 
menolong umat dan gereja mengalami langsung situasi hidupnya. Hanya 
saja, menurut saya, “bengkel-bengkel kerja” ini juga yaitu  upaya lanjutan, 
dan itulah yang mungkin Hoekema sarankan buat isi wacana teologi yang 
digagas oleh Mojau (teologi sosial sintesis), untuk akhirnya konkret, tidak 
abstrak, dan menolong umat dan gereja. Konkretnya isi sebuah wacana 
teologi (termasuk teologi sosial sintesis) yaitu  dengan institusionalisasi 
gagasan dan penguatan lembaga-lembaga progresif-liberatif-transformatif 
yang semakin lintas iman dan lintas budaya. Gerrit Singgih rasanya sudah 
mencatatnya, antara lain, tugas sekolah teologi seperti “tukang bengkel” 
yang mereparasi teologi umat atau gereja, sehingga umat atau gereja 
kemudian berdaya dalam memerankan fungsi liberatifnya . Hanya saja kritik Mojau bisa ada benarnya karena Gerrit 
Singgih memang baru menulis antologi, bukan karya teologi yang utuh. 
Sehingga bukan asli dari pemikirannya sendiri 
Mojau juga berpendapat bahwa: “Sejauh pengetahuan saya, selama 
Orde Baru belum ada rekonsiliasi antara umat Islam dengan umat Kristen 
di negara kita ” (hlm. 401). Bagi saya, maksud kalimat di atas belum terlalu 
jelas. namun , kalau yang diharapkan yaitu  rekonsiliasi yang sifatnya 
formalisme-seremonial dan dikerjakan oleh negara (?), bukankah ini 
justru kemunduran karena makin membenarkan relasi kooptatif yang 
selama ini terjadi dalam sejarah dialog agama-agama semasa Orde 
Baru dan menambah kebuntuan relasi Kristen-Islam. Selain itu, upaya 
rekonsiliatif yang formalistik-seremonial dapat menutup apa yang telah 
dicapai selama ini oleh gerakan-gerakan sosial yang seringkali bersifat 
non-formal dan tidak pernah terencana, karena dihidupi dalam relasi 
keseharian bertetangga. Menurut saya, rekonsiliasi itu sudah terjadi dan 
terus berlangsung dalam gerakan-gerakan sosial non-institusional dan 
institusional non-pemerintah. Selain itu, seperti harapan Mojau, bahwa 
kebuntuan hubungan Kristen-Islam hanya dapat diterobos bila gereja-
gereja dan umat Kristen di negara kita  mau mengambil inisiatif (hlm. 401), 
juga sudah terjadi, walaupun sejauh mana itu diwujudkan masih perlu 
dicermati. Saya ingin menunjukkan contoh inisiatif Kristen yang bersifat 
institusional—halaman 401: Mojau mencontohkan tahun 1974 [?], lihat 
juga contoh halaman 414—pada Sidang Raya XIII PGI di Palangkaraya, 
Maret 2000, yang disebut sebagai “Sidang Pertobatan”.8 Dalam sidang ini 
kita mendengar kata-kata permohonan maaf Sekretaris Umum dan utusan 
Uniting Churches in the Netherlands, Dr. B. Plazier. Kata sambutan itu 
yaitu  juga suara gereja-gereja di negara kita , untuk memohon maaf pada: 
sikap eksklusif yang memperlebar jurang antara Muslim dan Kristen; 
sikap superior atas orang Islam negara kita  yang diwariskan kepada gereja-
gereja di negara kita ; dan sikap menganggap diri orang Kristen tulen 
dengan status teologi dan rohani yang lebih tinggi ,Jadi, sejauh pengamatan saya, secara formal kita sudah 
mempunyai contoh-contoh inisiatif rekonsiliasi yang perlu dijadikan way 
of life (cara hidup) dalam dialog kehidupan (non-formal), untuk meretas 
teologi pertetanggaan bersama dengan umat Islam (termasuk Islam 
politik). Dalam postcriptum, Mojau sudah memperlihatkan perkembangan 
yang menggembirakan dengan munculnya tema-tema rekonsiliatif dalam 
diskursus teologi sosial di negara kita  paling akhir 
Saya berbeda dengan kesimpulan akhir studi Mojau yang melihat 
(hanya [?]) eklesiologi sebagai tema mendesak untuk mengatasi kebuntuan 
hubungan Kristen-Islam di negara kita  ,Studi 
saya, Teologi Progresif, menunjukkan bahwa pembaharuan eklesiologi 
tidak cukup. Secara utuh harus disebut bahwa pembaharuan hermeneutik, 
teologi, eklesiologi, dan misiologi (inspirasi dari Gerrit Singgih) yaitu  
sama-sama dan sejajar dikerjakan untuk pembaharuan praksis berteologi 
Kristen “mengatasi identitas kolonial”, lalu terajut dengan konteks 
negara kita . Uraian Singgih sendiri tentang orientasi baru hermeneutik, 
teologi, eklesiologi, dan misiologi yang kontekstual sejajar dengan apa 
yang dikatakannya dalam “Prakata” buku Bergereja, Berteologi, dan 
Bermasyarakat, bahwa: “bergereja” (dan bukan hanya ke gereja) ini sejajar 
dengan eklesiologi kontekstual, “berteologi” (dan bukan hanya secara pasif 
mengulang-ulang warisan teologis yang diterima dari para pendahulu) ini 
sejajar dengan teologi kontekstual, dan “bermasyarakat” (dan tidak hanya 
memperhatikan soal-soal intern gerejawi saja) ini sejajar dengan misiologi 
kontekstual ,
Terakhir, saya mencatat beberapa kesalahan teknis penulisan yang 
tentu tidak akan mengurangi keseluruhan isinya. Di halaman 16 baris 6 
dari atas, ada  penulisan kata oleh dua kali. Di halaman 141 baris 19 
dari atas, tertulis para kelima teolog, saya kira cukup ditulis para teolog 
atau kelima teolog. Di halaman 187 baris 9 dari bawah, perlu ada tambahan 
kata gereja, sehingga menjadi “pendeta salah satu gereja anggota PGI”. Di 
halaman 326, c.k. 91, buku yang ditulis Gerrit Singgih tertulis judul, Iman 
dan Reformasi dalam Era Reformasi di negara kita , seharusnya Iman dan 
Politik dalam Era Reformasi di negara kita . Di halaman 370 baris 4 dari atas, 
perlu ada tambahan kata belum, sehingga kalimatnya menjadi “penekanan 
teologi sosial liberatif itu belum cukup mendapat tempat yang menonjol ...”.
Penutup
 Saya harus mengakhiri tinjauan ini di sini, seraya menyadari bahwa 
apa yang dilakukan ini yaitu  “upaya coba-coba”, yang tidak bermaksud 
mengurangi sumbangan besar dan relevansi penting yang diberikan oleh 
studi mendalam Dr. Julianus Mojau bagi pengayaan khasanah berteologi 
kontekstual di negara kita . Sebagai “upaya coba-coba” maka saya memastikan 
akan ada kemungkinan lain untuk membaca dan meninjau karya Mojau ini 
secara lebih baik dan mendalam. Dan sudah barang tentu memiliki dan 
membaca langsung buku Meniadakan atau Merangkul? akan jauh lebih 
enak dan mengasyikkan. Olehnya kita dibantu untuk menimbang-nimbang 
dari mana dan mau ke mana (sangkan paran) arah berteologi kontekstual 
kita ke depan. Dari membaca, dan terjadi pertemuan dua horison, kita 
diharapkan arif menjadi umat beragama dalam konteks di mana kita ada.
 Satu hal yang saya kira penting untuk selalu dipikirkan yaitu  soal 
tempat agama-agama lain dalam kerangka berteologi Kristen. Ini yaitu  
kesadaran yang relatif baru. Banyak orang Kristen tidak mau tahu dengan 
keberadaan agama-agama lain. Pergaulan tidak otomatis merupakan 
“pengakuan” mengenai “tempat” (Islam, dll.) di dalam kerangka teologi 
Kristen. Di sini, kita perlu mentransformasi “politik Kristen mayoritas” 
yang ambigu: cenderung mendekat pada kekuasaan dan berarti pula 
menolak untuk mengakui keberadaan diri yang minoritas. Kita perlu 
mempertimbangkan tawaran untuk mengembangkan “politik Kristen 
minoritas”, agar kita belajar ulang menerima keberadaan Kristen sebagai 
minoritas yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan mereka yang 
menjadi mayoritas . Dengan jalan inilah orang-
orang Kristen dapat kembali belajar bergaul dengan mengakui eksistensi 
“yang lain”  (the other). Pengakuan atas eksistensi “yang lain” merupakan 
anugerah!