TAFSIF AL ATZAR 19

 


g


takut susunya akan lisut, atau kempes, lalu enggan menyusukan anaknya,


nyatalah bahwa jalan fikiran perempuan itu tidak lagi dari lingkungan agama.


Seorang sarjana kenamaan Dr. Paul Gyorgy, mengatakan dalam uraiannya


bahwa: "Air susu ibu manusia adalah untuk bayi manusia, dan air susu sapi


adalah untuk sapi!"


Dikemukakannya pendapat tersebut di atas adalah sehubungan dengan


adanya kenyataan bahwa penggunaan air susu ibu untuk anak manusia dewasa


ini mulai kurang populer. Bahkan di negara-negara yang baru berkembang,


antara lain disebutkan Indonesia, Philipina, Brazil, Costa Rica, Libya dan lain￾lain, lebihkurang 80"/o sampai 90"/" dari bayi-bayi yang mendapat susu dari


ibunya sendiri selama kurang lebih sepuluh bulan, kini juga sudah mulai


berkurang. Bahkan di negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat


misalnya, di sana cuma 12 sampai 25ol" saja anak-anak bayi yang menerima susu


dari ibunya sendiri. Kebanyakan mereka mendapqtkan susu berdasarkan


resep-resep yang diberikan oleh dokter untuk mengganti susu ibunya.


Padahal dikatakan oleh sarjana tersebut bahwa penggunaan susu yang


bukan susu ibunya bagi anak-anak bayi mempunyai kemungkinan-kemungki￾nan yang sangat membahayakan bagi kesihatan si bayi.


Demikian saran dari sarjana Dr. Paul, seorang professor dalam pediatrics


pada Rumahsakit Umum di Philadelphia. Semoga pernyataan tersebut men￾dapat perhatian dari ibu-ibu di Indonesia, bahwa sesungguhnya: "Susu manusia


adalah untuk manusia dan susu sapi adalah untuk anak sapi." (Disalin dari


majalah Selecta no. 257: Penjuru Angin).Lalu datang sambungan ayat: "Dan atas mereka yangmempunyai anak


(kewajiban) perbelanjaan ibu-ibu itu dan pakaian mereka dengan sepatut￾nya."


Lanjutan ayat ini memberikan ketegasan bagi siempunya anak, baik dalam


pergaulan suami-isteri yang diliputi kasih mesra, atau sudah bercerai sekalipun,


menanggung belanja dan pakaian isteri atau jandanya yang tengah menyusukan


anaknya itu menurut patutnya (ma'ruf), yaitu besar kayu besar bahan, kecil


kayu kecil bahan, menurut ukuran hidup (standard) yang layak dalam kehidu￾pan perempuan itu. Ingatlah bahwa seorang ibu dalam zaman menyusukan


anak itu adalah memikul beban yang sangat berat meminta tenaganya, rohani


dan jasmani. Cobalah perhatikan perempuan yang telah berkali-kalimengasuh


anak. Lihatlah badannya yang lemah dan susunya yang lisut. Seorang ibu telah


berkorban, sedang anak yang disusukannya ltu menurut kebiasaan dunia,


adalah dari suaminya itu. Menurut ujar Saiyidina Ali bin Abu Thalib:


16 tW; rv3;3 *'t-') q(Jt 3q,,1\3t,


Ibu-ibu manusia itu hanyalah sekedar pundi-pundi.


Tempat menyimpankqn suatu barong; dan onak selalu dibangsokon


kepada ayahnya.


Oleh sebab itu membela isteri dan mencukupkan belanjanya, terlebih-lebih


di dalam saat pengasuhan anak, adalah kewajiban mutlak bagi seorang suami.


Dan kalau dia telah bercerai dari perempuan itu, baik sedang dia hamil, atau


sedang dia menyusukan, amatlah jauh dari budipekerti Islam, kalau yang


empunya anak acuh tak acuh, tidak mau tahu tentang anaknya sendiri yang


telah dibebankannya kepada jandanya. Jangan sampai dia terhalang bersuami


lain, karena mengasuh anakmu. Dan jangan pula anakmu sendiri engkau


jadikan beban kepada laki-laki lain yang akan menggantikan tempatmu. Lalu


datang lanjutan ayat: "Tidaklah diberati satu diri melainkan sekedar kesong￾gupannya." Perbelanjaan dan pakaian isteri atau janda selama mengasuh anak


itu ialah sekedar kekuatan dan kemampuan si suami atau si janda. Perempuan


tidak boleh meminta lebih daripada kesanggupan suamiatau janda itu. Sebalik￾nya si suami janganlah meminta supaya anaknya diasuh dan disusukan tepat


sampai dua tahun, kalau si isteri berhubung dengan kesihatan tidak sanggup


mencukupkan sedemikian.


"Jongan disusohkon seorong ibu dengan enoknya." Misalnya, terjadi


perceraian, lalu dengan gagahnya si suami mencabut anak itu dari ibunya,


padahal suatu kesusahan yang sangat memberatkan hati perempuan jika


diceraikan dengan paksa dengan anaknya yang amat dikasihi, buah hatinya,


permainan matanya itu. Atau dikurangi perbelanjaannya di luar kepatutan.


Atau sebaliknya: "Dan jangan (pula disusahkan) si empunya anok dengan


anaknyo," misalnya karena bercerai, jika ayahnya rindu hendak bertemu


dengan anaknya, dihalang-halangioleh siibu. Atau diminta perbelanjaan lebih


dari kemampuan si ayah.


Kedua ayat inisangat penting artinya bagipendidikan anak. Kerapkali kita


lihat, terutama pada anak-anak yang ibu-bapanya telah bercerai, timbullah

dendam kesumat pada diri anak itu sendiri karena didikan yang tidak baik yang


datang dari si ibu atau si ayah. Rasa dendam mereka berdua dipindahkan


kepada anak yang masih kecil. Sehingga ada anak yang benci kepada ayahnya,


karena selalu ayahnya dibusukkan oleh ibunya di hadapan dia, ataupun sebalik￾nya. Alangkah hiba hati seorang ayah, jika anaknya tidak menghargainya.


"Dan kewajiban warispun seumpama itu pula." Siapa yang dimaksud


dengan waris di sini? Setengah ahli tafsir mengatakan, bahwa yang dimaksud


dengan waris di sini, ialah waris ayah anak itu, jika ayah itu meninggal dunia


sedang anak itu masih kecil. Maka waris ayah itu hendaklah tetap menjaga dan


memelihara anak itu walaupun anak itu telah tinggal dengan ibunya, dan telah


jauh dari tilikan waris si ayah yang lain-lain. Waris yang dimaksud disiniialah


keluarga yang umum, bukan semata-mata waris yang menerima pusaka.


Tegasnya, dengan matinya seorang ayah, janganlah sampai putus silatur￾rahmi yang tinggal buat mendidik, menilik dan melindungianak itu. Sebab itu


maka Imam Ahmad menegaskan lagi bahwa waris itu ialah nenek anak itu, atau


paman-pamannya atau saudara-saudaranya sendiri, setelah ayahnya mati. Ini


dikuatkan lagi dengan ayat-ayat lain tentang penjagaan kepada anak-anak


yatim; baik anak yatim yang kaya, apatah lagi anak yatim yang miskin.


Dalam hal yang demikian, hendaklah semua waris itupun turut membela


anak itu selama dia masih dalam asuhan penyusuan ibunya.


Sekarang datanglah lanjutan ayat. Yaitu bagaimana jadinya kalau kedua￾nya, yaitu suami-isteri itu menimbang, demi kesihatan atau sebab-sebab yang


lain, bahwa anak itu akan dipisahkan dariibunya, dan akan diserahkan kepada


perempuan lain menyusukannya? Untuk menjawab ini datanglah lanjutan ayat.


"Tetapi jika keduanyo," yaitu suami-isteri itu, setelah mempertimbangkan


dengan baik "mengh endaki pemisahan," yaitu menghendaki anak itu terpisah


dari ibunya, tegasnya bercerai susu, sedang waktu dua tahun belum tercapai,


"dari kerledhain mireka berdua dan dengan musyawaiat, makaiidaklah ada


salahnya bagi mereka berdua." Di dalam ungkapan ayat ini bertemulah kata


sepakat suami-isteri di dalam rumahtangga yang bahagia, oleh karena ber￾hubung dengan satu dua hal, misalnya si isteri sakit-sakit, terdapat kata sepakat


bahwa anak ini terpaksa disusukan oleh perempuan lain. Ayat menyatakan,


bahwa kalau kedua pihak sudah sama-sama ridha dan telah dimusyawaratkan


dengan baik, agama tidak melarang lagijika keputusan itu dijalankan. Sebab


pendidikan, pengasuhan dan pembelaan anak adalah tanggungiawab penuh


dari mereka berdua.


Di dalam ayat ini bertemu dua kalimat yang mengandung suasana rela dan


damai; pertama kalimat Taradhin, artinya berkerelaan kedua pihak, kedua


kalimat Tosyawurin, artinya bermusyawarat kedua pihak, bertukar fikiran.


Dalam kedua kalimat ini terdapatlah bahwa di dalam dasar hatirela sama rela,


harga-menghargai, di antara suami-isteri, demi kemuslihatan anak mereka,


mereka memulai musyawarat bagaimana yang akan baik.


Ayat ini mempertegas lagi pelaksanaan ujung ayat 228 di atas, yang telah


kita tafsirkan. Yaitu bahwa si isteri mempunyai hak yang sama dengan suami


dan perlakuan yang sama. Tetapi silaki-lakitempatnya sebagai pimpinan yang


mengambil keputusan terakhir. Di dalam ayat iniditunjukkan cara pelaksanaan


hak dan kewajiban, yaitu di dalam suasana cinta dan musyawarat. Kalau hati


sama-sama terbuka, tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan dan tidakada keruh yang tidak dapat dijernihkan. Hasil keputusan mereka berdua, hasil


dari ridha-meridhai dan musyawarat, diakui dan diridhai pula oleh Tuhan.


Walaupun belum cukup diasuh dua tahun, biarlah kurang, asal itu adalah


keputusan mereka berdua. Sebab mereka berdua lebih tahu keamanan rumah￾tangga dan pendidikan anak-anak mereka. Dan meskipun mereka sudah


bercerai, dan maksud bercerai susu ini terjadi dalam suasana mereka telah


berpisah, namun suka sama suka dan musyawarat itupun masih tetap berlaku,


karena didalam mempertimbangkan soal itu yang mereka perhatikan bukan


kepentingan dan soal diri mereka sendiri-sendiri, tetapi soal hari depan anak


yang masih kecil itu.


"Dan jika kamu menghendaki akan mencari orang yong akan menyusu￾kan anak-anak kamu itu, maka tidaklah ada salahnya atas kamu, apobila


kamu serahkan apa yang akan kamu bayarkan, dengan sepatutnya."


Di sini terdapat kata Kamu untuk orang banyak, tidak lagidihadapkan


kepada suami-isteri berdua saja. Sebab soal ini ditekankan kepada soal mengu￾pah perempuan lain menyusukan seorang anak kecil,.baik karena ibunya


sendiri masih hidup dan masih bersuami, atau ibu anak itu sendiri meninggal


dunia sesudah anak itu dilahirkan, sehingga urusan anak itu telah tinggal pada


seluruh keluarga. Atau ayah anak itu sendiri telah mati, sehingga tempat


musyawarat ibunya telah berpindah kepada keluarga-keluarga yang lain. Itulah


sebabnya maka di ujung ayat iniberalih khitab (tujuan seruan) kepada kamu;


sebab urusan anak itu telah terserah kepada seluruh keluarga. Sebagai hasil


musyawarat bersama, putuslah pertimbangan bahwa anak itu akan diserahkan


menyusukannya kepada perempuan lain. Asal itu sudah keputusan bersama,


tidak pulalah keputusan itu salah kepada pandangan Tuhan; carilah perempuan


lain yang akan menyusukannya itu dan bayarlah kepadanya, dengan sepatut￾nya. Di siniTuhan memperingatkan lagi dengan kata-kata Bil-Ma'rul, sebagaidi


ayat-ayat yang lain telah bertemu dan akan bertemu, selalu dikatakan Bil￾Mq'ruf. Kitapun tahu bahwa ma'ruf itu pada soal artinya ialah yang dikenal,


yang dipandang patut menurut hukum yang umum dalam masyarakat, menilik


ruang dan waktu. Sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan;


yang diupah jangan sampai berkata "Murah amat!" dan yang mengupah jangan


sampai berkata: "Terlalu mahal!" Apatah lagiyang dibicarakan ini adalah soal


kemuslihatan kanak-kanak yang masih kecil. Dan kemuslihatan kanak-kanak


yang masih suci. Itulah sebabnya tanggungjawab yang amat penting ini ditutup


dengan seruas takwa pula:


"Dan takwalah komu sekolian kepada Allah, dan ketahuilah bohwasanya


Allah melihat apa-apa yang kamu kerjakan ifu. " (ujung ayat 233).


Hendaklah kamu sekalian takwa kepada Allah, baik suami-isteriataupun


isteri, atau waris lain yang turut menyaksikan atau perempuan lain yang


bersedia menerima upah itu. Ingatlah bahwa anak kecil ini adalah amanat Allah


atas kamu semuanya. Meskipun kita telah berikrar membuat janji, tertulis hitam


di atas putih namun janji dapat dimungkiri. "Janji biasa mungkir, titian biasa


lapuk", karena kita manusia tidak sunyi daripada lalai dan alpa. Tetapiapabila


kita ingat bahwa segala yang kita kerjakan, tidak lepas dari penglihatan Allah,


hilanglah niat hendak berlaku curang. Apatah lagi semuanya ini adalah seruankepada orang-orang yang telah mengakui beriman kepada Allah dan Rasul dan


kepada pembalasan di akhirat.


Iddoh Berkabung


"Dan orang-orong yang meninggal dori antara komu, sedong mereka


meninggolkan isteri-isteri, hendaklah isteri-isteri itu menahon diri mereka


empat bulan sepuluh hari..." (pangkal ayat 234).


Artinya, Iaki-laki yang meninggal dunia, sedang dia beristeri, maka isteri itu


menahan diri, atau berkabung, lamanya empat bulan sepuluh hari. lnilah yang


dinamai iddah wafat, atau iddah berkabung.


Menurut riwayat, orang zaman Jahiliyahpun mempunyai cara berkabung


demikian yang setahun lamanya. Selama setahun itu isteri yang ditinggalkan


mati oleh suaminya itu berkurung di dalam rumah, tidak boleh keluar-keluar,


tidak boleh berhias, bahkan tidak boleh mandi-mandi, sehingga sampai ada


yang berbau busuk. Maka datanglah peraturan ini, iddah karena berkabung


kematian suami hanya empat bulan sepuluh hari.


Selama 4 bulan 10 hari itu, hendaklah si isteri menyatakan dukacitanya


dengan meninggalkan segala lagak berhias, tidak memakai yang harum-harum


(wangi-wangian) dan tidak bercelak mata. Menurut fatwa Imam Malik dan Imam


Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, jika misalnya perempuan yang sedang ber￾kabung itu mendapat sakit mata, sehingga terpaksa memakai celak, bolehlah


dipakainya celak itu pada malam hari, dan setelah hari siang, hendaklah segera


dihapusnya.


Cara berkabung begini hanya ditentukan untuk menghormati kematian


suami saja, oleh perempuan yang kematian suami. Adapun dalam hal lain,


misalnya kematian saudara, kematian ayah dan ibu, berkabung hanya diizinkan


tiga hari.


Menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Muslim daripada Aisyah,


berkata dia bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:


$,*x a; 4 &G :lfl rlu +\,;i';J1iU^J


Wi,fr'\71;\Yr-;;J


"Tidaklah halal bagi seorang perempuon yangberiian kepada Allah don


hari yang akhir bahwa berkabung otos mayot, lebih dari tiga hari, kecuali


terhadap suaminya, yoitu 4 bulan 10 hari."


Kemudian tersebut pula dalam satu Hadis yang dirawikan oleh al-Baihaqi


bahwasanya Abu Sufyan meninggal dunia, maka puteri beliau Ummul Mu'mi￾nin, ibu kita Ummi Habibah berkabung pula sampaitiga hari. Setelah genap tiga


hari, beliau panggil seorang dayangnya, lalu dimintanya wangi-wangian dan


diminyakinyalah kepalanya lalu berkata beliau: "Demi Allah, aku tidaklah


memerltrkan harum-haruman ini. Cuma aku pernah mendengar Rasulullahs-a.w- bersaMa dari atas mimbar, berkata bahwa tidaklah halal bagi seorang


perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, berkabung atas suatu


kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, yaitu 4 bulan


sepuluh hari." Demikian jugadiriwayatkanorangseketika isteriRasulullahyang


seorang lagi, yaitu Tainab binti Jahasy kematian saudara laki-lakinya. Beliau


inipun berkabung sampai tiga hari. Dan pada hari keempat beliau minta pula


'wangi-wangian dan beliau berkata sebagai perkataan Ummi Habibah itu pula,


bahwa beliau tidaklah memerlukan harum-haruman, sebab beliau mendengar


Rasulullah s.a.w. bersaMa dari atas mimbar, bahwa perempuan yang beriman


kepada Allah dan Hari Akhirat hanya berkabung tiga hari, kecuali terhadap


kematian suaminya, yaitu 4 bulan 10 hari.


Pada hari berkabung yang empat bulan sepuluh hari itu janganlah dia


memakai sutera dan pakaian-pakaian yang bernama berhias dan memakai


perhiasan emas dan perak. Di waktu itu tanggalkanlah dukuh dan gelang.


Terdapat perselisihan ulama tentang perempuan yang ditinggalkan mati


oleh suaminya, padahal dia masih hamil. Setengah berpendapat bahwasanya


bagi perempuan yang tengah hamil, maka iddahnya habis setelah anak yang


dalam kandungannya itu lahir ke dunia. Walaupun anak itu lahir sesaat saja


sesudah suaminya itu wafat. Di saat itu juga dia telah boleh kawin. Mereka yang


berpendapat demikian adalah mengambil alasan dari Hadis yang dirawikan dari


seorang perempuan bernama Subai'ah al-lslamiyah. Dia adalah isteri daripada


Sa'ad bin Khaulah, keturunan Bani Amir bin Lu'ay, salah seorang sahabat yang


hadir dalam perang Badar. Seketika Rasulullah mengadakan hajiwada' (sela￾mat tinggal), di waktu itu meninggallah Sa'ad bin Khaulah itu, sehingga


tinggallah Subai'ah menjadijanda. Sedang dia dalam hamil pula. Maka tidak


lama setelah itu, lahirlah anaknya. Setelah lepas dari masa nifasnya, dipakainya￾lah pakaian indah-indah, menunjukkan pertanda bahwa dia telah bersedia


menerima pinangan orang. Melihat keadaan itu datanglah kepadanya seorang


karabatnya dari Bani Abdid-Daar, namanya Abus-Sanabil bin Ba'kak, lalu


berkata: "Mengapa engkau telah berhias, seakan-akan menunjukkan engkau


sudah ingin kawin lagi, padahalbelum cukup 4 bulan 10 hari suamimu mening￾gal."


Berkata Subai'ah:"Setelah mendapat pertanyaan demikian, berkemaslah


aku, dan sore itu datanglah aku menghadap Rasulullah s.a.w. meminta fatwa


beliau tentang kejadian pada diriku ini. Lalu beliau berfatwa, bahwa aku sudah


lepas dari iddah, sebab anak yang aku kandung sudah lahir dan beliau bolehkan


aku kawin lasi jika aku menghendaki demikian, "Hadis ini dirawikan oleh


Bukhari dan Muslim."


Ibnu Syihab menjelaskan, tidak mengapa perempuan itu nikah setelah


anaknya lahir, meskipun dia masih didalamdarah nifasnya, asalsajalaki-lakiitu


tidak mendekatinya sampai dia suci dari nifas.


Dari jalan ini maka mereka berpendirian bahwasanya ayat berkabung 4


bulan 10 hari ini adalah buat umum, lalu dikecualikan (dikhaskan) dengan ayat


iddah hamil, yang tersebut dalam Surat at-Thalak (Surat 65), bahwa iddah hamil


ialah sampai bila anaknya telah dilahirkannya.Tetapi ada lagi pendapat lain, bahwasanya iddah itu mana yang lebih


panjang. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, seorang perempuan yang


ditinggalkan mati oleh suaminya, walaupun anaknya lahir sejam sesudah suami￾nya wafat, hendaklah dia beriddah dengan iddah berkabung juga, artinya


cukupkan 4 bulan 10 hari. Yang berpendapat begini adalah kedua sahabat yang


alim, Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas.


Dan dari ayat ini dapat pula difahamkan, bahwa umum terkena oleh


peraturan ini, segala isteri, baik isteri yang masih kecil (belum baligh), atau isteri


yang belum disetubuhi, atau isteri yang telah tua, atau isteri merdeka ataupun


isteriyang telah putusasa daripada haidh. Sebab iddah wafat bukanlah semata￾mata diuntukkan untuk mengetahui adanya benih si suami di dalam rahim, yang


iddahnya ialah tiga kalisucitiga kali haidh, sebagaimana diterangkan pada ayat


228 di atas tadi; iddah wafat adalah iddah berkabung, iddah untuk menyatakan


pada berdukacita.


Kemudian datanglah lanjutan ayat'. "Moka arybila telah sompai ianii


mereka ifu," telah habis masa iddah berkabung 4 bulan 10 hari, "tidoklah


mengapa otas kamu, pado apa yang mereka perbuat poda diri mereka dengan


sepatutnya." Sehabis iddah wafat 4 bulan 10 hari itu, maka tidaklah perlu komu


yang lain, yang menjaga dan memeliharanya selama dia dalam iddah jika dia


berhias kembali. Jika dia memakai baju yang bagus, memakaiperhiasan emas


perak, berbedak dan berlangir; asal saja dengan patut! Yaitu berhias secara


orang baik-baik, jangan sebagai orang "genit" yang dengan cara kasar hendak


mencari-cari laki. Sekali lagi di sini terdapat Bil-Ma'rut', dengan sepatutnya:


menjadi dalil yang kuat betapa pandangan mata orang umumpun turut menen￾tukan sopan-santun seseorang. Kemudian dikunci lagi dengan ayat: "Dan Allah


terhadap aW yang kamu kerjakan adalah songo/ tahu." (ujung ayat 234).


Ujung ayat inipun amat luas kandungannya. Segala keluarga yang menjadi


pelindung perempuan itu selama dia di dalam iddah wafat, bertanggungiawab di


hadapan Allah tentang keselamatan dan keamanan p€rempuan itu. Dan perem￾puan itu sendiripun bertanggungiawab atas dirinya di dalam memelihara sopan￾santun dan segala kepatutan selama dalam iddah. Dan setelah dia diizinkan


keluar rumah atau kembali berhias, Allahpun tidak melepaskan tilikanNya


daripadanya. Supaya dia dan semua yang bersangkutan tetap hati-hatimenjaga


ketentuan.


Ayat ini menunjukkan betapa penghargaan Allah kepada tegaknya suatu


rumahtangga, dan betapa pula terjalinnya kisah cinta suami-isteri. Sehingga


perkabungan diakui dan diatur. Maka sebagai tersebut di dalam Hadis yang


dirawikan oleh Aisyah, dikuatkan oleh Hadis yang didengar oleh isteri Ra￾sulullah yang seorang lagi yaitu Ummi Habibah, dan didengar lagi oleh isteri


beliau yang seorang lagi, Zainab binti Jahasy, teranglah bahwa berkabung 4


bulan l0 hari adalah termasuk halyang seharusnya diperhatikan oleh perem￾puan yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul.


Lantaran itu amat salahlah menurut agama, jika perempuan yang tengah


berkabung itu keluar dari rumahnya, bertandang kian kemari dalam masa


berkabung itu. Atau berhias-hias, seakan-akan tidak dapat menahan hatiuntuk


mencari suami yang baru, padahal tanah penggalian kubur suaminya yang lama


masih merah. Dan amat tercelalah kebiasaan baru yang terdapat di beberapa


kota di negeri kita di zaman sekarang, yaitu si perempuan itu sendiri pergi pula


menghantarkan jenazah suaminya ke kuburan, menunggunya sampai terku￾bur. Di sini dia telah menempuh dua kesalahan; pertama melanggar larangan


Nabi, terhadap sekalian perempuan, agar jangan mereka ikut mengantar


jenazah ke kuburan. Kedua dia telah melanggar perintah Allah agar selama 4


bulan 10 haridia berdiam diridalam rumahnya. Padahalkalau iddahberkabung


telah selesai, bolehlah dia berhias untuk menunggu pinangan suami yang baru


kalau dia ingin.


(235) Tidaklah dosa atas kamu darihal


peminangan perempuan yang


kamu sindirkan atau apa yang


kamu simpankan dalam dirimu.


Allah mengetahui bahwasanya


kamu akan mengenang'ngenang


perempuan-perempuan itu. Te￾tapi jangan kamu berjanji dengan


mereka itu secara rahasia. TetaPi


hendaklah kamu katakan kata￾kata yang sopan. Dan jangan


kamu tentukan ikatan nikah, se￾hingga sampai catatan kepada


janjinya (iddah); dan ketahuilah


bahwasanya Allah mengetahui


apa yang ada di dalam dirimu


masing-masing, sebab itu hati'


hatilah terhadapNya. Dan keta￾huilah bahwasanya Allah adalah


Maha Pengampun, lagi Penya￾yang.


(236) Tidaklah ada halangan atas kamu


jika kamu mentalak perempuan,


selama tidak kamu sentuh


mereka, atau sebelum kamu


tentukan kepada mereka (ma￾har) yang difardhukan dan beri￾lah mereka bekal; (yaitu) bagi


orang yang berkelapangan seke'


dar (lapangnya), dan bagi yang


berkesempitan menurut kadar￾nya (pula), yaitu bekalan yang


sepatutnya. Menjadi kewajiban


bagi orang-orang yang ingin ber￾buat kebaikan


Dan jika kamu talak mereka se￾belum kamu menyentuh mereka,


padahal telah kamu tentukan


untuk mereka (mahar) yang di￾fardhukan itu, maka separohlah


dari apa yang kamu fardhukan


itu. Kecuali jika mereka maalkan,


atau memberi maaf yang di￾tangannya terpegang ikatan


nikah itu. Dan bahwa kamu ber￾maaf-maafan itulah dia yang lebih


dekat kepada takwa. Dan


janganlah kamu lupakan kebak￾tian di antara kamu. Sesungguh￾nya Allah terhadap apa yang


kamu kerjakan adalah melihat.


=) ltz I -t at ,r.a. .


,"F i,lJp A Jrr.:llJ'.;:l:


.t r.. . I > z./ z z'. t. rt ) 2-.r,


itu ,4'a.j,)fi st


. r; "j't 


;;X- ;l orr;-;i Yg


"oA.:;.;,rfri;eqt::i;


E


q'fi:'y'g'fiitviri


I zz 2t*


@ reol"i


Terkena Hati Kepada Perempuan


Dolam lddah


Terhadap seorang perempuan yang di dalam iddah kematian suami, atau


perempuan yang telah talak ba'in (tidak dapat surut lagi suaminya yang perta￾ma, sebab sudah talak tiga), bolehlah seorang lakilaki menaruh hati dan ber￾cita-cita kalau telah sampai iddahnya hendak meminang dia.


'Tidakloh doso ofos komu dari hal peminangon perempuan yang kamu


sindirkon atau apa yang kamu simpankan dalom dirimu. Allah mengetahui


bahwasanya kamu mengenang- ngenong perempuon-perempuan itu." (pang￾kal ayat 235). Pada panqkal ayat ini kita diberi petunjuk bahwasanya peraturan


syara' Agama Islam itu bukanlah suatu peraturan yang kaku dan beku, melain￾kan membuka apa yang terbuhul dalam hati seseorang. Dan lahir ayatpun


memberikan petunjuk bagi kita akan kasih-sayang Tuhan kepada hambaNya


laki-laki dan perempuan. Ayat ini menjelaskan bahwasanya seseorang laki-laki


yang "ada hati" kepada seseorang perempuan janda yang masih dalam ber￾kabung, atau perempuan janda dari folok boln (talak tiga yang tidak bisa rujuk


lagi), tidokloh dia berdoso jika dimulainya pinangan atau telangkai secara


sindiran, atau dia simpan saja satu cita-cita dalam hati akan meminang perem￾puan itu jika iddahnya sampai. Tuhan menegaskan, mengapa orang itu tidak


berdosa? Inilah sebab perasaan cinta yang ada dalam hati, adalah tumbuh


sendiri, termasuk tabiat laki-laki terhadap perempuan. Sedangkan menyampai￾kan pinangan dengan sindiran lagi tidak berdosa, apatah lagi hanla menyimpan


perasaan. ltu sebabnya maka Tuhan menjelaskan di lanjutan ayat bahwa Tuhan


mengetahui bahwa kamu selalu terkenang-kenang akan dia. Sebagai pepatah


Melayu; "Mabuk kepayang, siang tidak tersenangkan, malam tidak tertidur￾kan."Di sini kita bertemu beberapa kalimat yang menghendakipengertian dan


pengupasan. Pertama bertemu kata-kata 'Arradh-Tum, yang berasal dari


Ta'ridh, artinya yang kamu sindirkon. Az-Zamakhsyari pengarang Tafsir al￾Kasysyaf, ahli seni yang mendalam rasa seninya dalam hal bahasa, mengatakan


bahwa Ta'ridh, atau sindiran ialah menyebut barang sesuatu, yangorangdapat


memahamkan bahwa yang dimaksud bukan itu! Lalu beliau perbuat sebuah


misal, tentang seorang yang berhajat mengatakan kepada orang tempat dia


berhajat itu; "Saya datang kemari ialah untuk mengucapkan salam kepadamu,


dan karena ingin memandang wajahmu yang mulia." Maka oleh karena perem￾puan itu halus perasaannya, dapatlah dia memahami bahwa dia bukan semata￾mata datang hendak mengucapkan salam atau menantang wajahnya, melain￾kan lebih jauh dan dalam dari itu.


Kata-kata kedua ialah Khitboh, artinya pinangan atau telangkai. Kalau


dibaca dengan kho baris di depan, yaitu Khufboh, berartilah dia pidato. Maka


dalam ayat ini dapatlah kita memahamkan bahwa seorang perempuan yang


masih di dalam iddah berkabung atau iddah ba'in, boleh ditelangkai, boleh


dipinang, asal saja dengan cara sindiran. Jangan memakai kata yang tepat.


Sebab dia sendiripun belum boleh menjawab dan memutuskan pada waktu itu.


Misal yang dikemukakan az'Zamakhsyari di dalam Talsir al'Kasysyo/itu


hanyalah semata-mata misal. Kitapun dapat mencari perkataan sindiran yang


lain lagi. Bahasa dan sopan-santun kitapun mempunyai banyak cara di dalam


menyindir- Misalnya, terlanjur kata perempuan itu: "Ah, nasib saya. Suami saya


sudah meninggal, siapa lagi yang akan sudi melindungi saya!" Lalu disambut


oleh lelaki yang jatuh hatiitu: "serahkanlah diriencik kepadaTuhan. Pastiakan


ada orang yang akan melindungi." Dan lain-lain sebagainya, asal sopan dan


jangan dahulu bertepat-tePat.


Atau suruh perempuan lain yang dekat dengan janda itu mengatakan


kepadanya: "Rupanya si fulan itu ada menaruh hati kepada saudara. Tetapi


didiamkannya sebab saudara masih dalam iddah."


Kemudian datanglah sambungan ayat guna menjaga pinangan orang itu


harus tetap bersikap sindiran, jangan melanggar: "Tetapi jangan kamu berianii


dengan mereka itu secara rahasia." Karena hati telah "mabuk kepayang",


jansanlah sampai melanggar batas. Lalu diadakan pertemuan rahasia dengan


p.re-pran itu, lalu mengikat janii akan kawin, sebab perempuan itu masih


dalam iddah dan adalah jauh daripada kesopanan kalau perasaannya diganggu


dengan kenangannya kepada mendiang suaminya dipecah oleh rayuan lain.


Demikian juga perempuan yang dalam iddah talak ba'in. "Tetapi hendaklah


komu katakan kata-kata yang sopan " Di dalam ilmu nahu "tetapi" di sini


adalah pengecualian yang terputus (istitsna'munqathi'), artinya bahwa kamu


tidak mengadakan perjanjian rahasia dengannya. Yang boleh hanya kata-kata


yang sopan, kata-kata yangma'ruf , yang diakui bahwa kata dan sikap itu tidak


menyalah pada pendapat umum. Tegasnya kembali, kepada cara yang pertama


tadi iuga, yaitu secara sindiran yang halus. oleh sebab itu janganlah kita salah


mengartikan ayat, lalu kita katakan bahwa perjanjian rahasia tidak boleh,


kecuali kalau pertemuan rahasia itu memakai kata-kata yang sopan belaka.


Bukanmaksud ayat yang demikian. Pertemuan rahasia di antara seorang laki￾laki dengan perempuan yang tidak disaksikan oleh orang lain, adalah khalwatyang sangat dilarang syara' dan tidak ma'ruf. Betapapun sopan yang dibicara￾kan, namun bahayanya amat besar. Sedangkan berkhalwat dengan perempuan


lain yang tidak dalam iddah lagi terlarang, apatah lagi berkhalwat dengan


perempuan yang dalam iddah. Kemudian datang larangan yang lebih tegas lagi.


"Dan jangan kamu tentukan ikatan nikah, sehinggo sampai catatan kepada


janjinya." Guna penguatkan keterangan di atas tadi, meskipun dalam kata


sindir-menyindir kedua belah pihak, dengan cara yang sopan-santun, sudah ada


kesepakatan, namun sebelum lepas iddah belumlah boleh mengakad nikah.


Hendaklah kedua belah pihak sama-sama sabar menunggu iddah itu. Lantaran


itu pula maka lanjutan ayat lebih dijelaskan lagi: "Dan ketahuilah bahwasanya


Allah mengetahui apa yang ada dalam diri kamu mosing-mosing, sebob ifu


hatihatilah terhadapNyo." Lanjutan ayat ini adalah menunjukkan kontrol


Tuhan atas jiwa manusia, supaya mereka jangan terlalu memperturutkan


perasaan. Tuhan tidak menutup mati perasaan itu, Tuhan tidak memandang


berdosa jika ada perasaan tersembunyi, bahkan terus menelangkai dengan


sindiran. Tetapi Tuhan akan murka kalau sekiranya perasaan diperturutkan,


lalu melanggar kesopanan, sampai berkata tepat kepada orang di dalam iddah.


Dan pada ayat yang sebelumnyapun telah diperingatkan kepada perempuan


yang dalam iddah berkabung itu supaya dia menahan diri, menjaga kesopanan.


Tuhanpun dengan irama ayat ini dapat kita ketahui, lebih senang jika sehabis


iddahnya perempuan itu mendapat suami yang baru, jangan terlalu lama


hidupnya terlantar. Tetapi "tenggang-menenggang" Tuhan itu janganlah di￾terima dengan salah.


Lalu di akhir ayat Tuhan bersabda: "Dan ketahuilah bahwasanya Allah


Maha Pengampun lagi Penyayang."


Dengan tutupan ayat ini masih dapat kita menyimbahkan rahasia bahwa


"kena hati" dan meminang dengan sindiran itu adalah keadaan yang berha￾dapan dengan beberapa kesulitan. Maka jika terjadibeberapa kejanggalan yang


tidak sengaja, yang bukan sengaja melanggar, dapatlah diampunioleh Tuhan.


Dan ayat inipun memberikan isyarat, bahwa kalau dapat janganlah diperturut￾kan "rasa hati" itu.


Dengan ayat ini pula Tuhan memberikan kesempatan kepada perempuan￾perempuan yang di dalam iddah itu "menerima" dengan diam segala pinangan


yang disindirkan kepadanya, tetapi belum menjawabnya dengan sesuatu kepu￾tusan. Supaya kelak bila sampai iddahnya dia bisa memilih kalau yang memi￾nang sindir itu berdua bertiga. Dan pada masa itu, karena iddahnya telah


sampai, wali penjaganya dalam iddah itu tidak boleh menghambatnya lagikalau


akan keluar, asal menurut yang ma'ruf, sebagai disebut di dalam ayat 240 di atas


tadi.


T alok Sebelu m Disetubuhi


'Tidaklah ada halangan atas kamu jika kamu mentalak perempuan


selama tidak kamu sentuh mereka, atau sebelum kamu tentukan kepada


mereka (mahar) yang dit'ardhuken." (pangkal ayat 236).

untuk mengetahui kedudukan ayat ini, yaitu boleh menceraikan isteri


sebelum "disentuh", tegasnya sebelum dicampuri, dan boleh pula sebelum


maharnya dibayar, hendaklah kita ketahuiadat-istiadat setengah negeri, dalam


Islam, terutama seketika ayat ini turun. seorang gadis mempunyai juga suatu


kewajiban yang mulia di samping akan bercampurgaulnya dengan suaminya,


ialah menghubungkan di antara dua keluarga, supaya lebih akrab. sampai


sekarang di negeri-ttegeri Islam yang belum kemasukan pengaruh barat, atau di


negeri-negeri timur seumumnya masihlah kuat dan penting hubungan ipar


beian di intara kedua keluarga itu, sehingga berkesan menjadi pepatah di


beberapa negeri di Indonesia kita ini: "Yang nikah adalah mempelai sama


mempelai, tetapi yang kawin adalah keluarga dengan keluarga." Kadang￾kadang seorang orang tua yang mempunyai anak perempuan menawarkan


anaknya kepada seorang laki-lakiyang dia sukai, terlebih-lebih untuk memper￾karib persaudaraan, dan laki-laki menerimanya. Kemudian kawinlah mereka.


Kemudian ternyata bahwa perempuan itu tidak suka kepada suaminya, atau si


suami tidak suka kepada perempuan itu, padahal mereka belum lagi campur


sebagai suami-isteri. Maka pada waktu itu, sebelum berlarut-larut bolehlah


mereka bercerai. Dan dalam hal yang lain lagi, meskipun seketika akad-nikah


sudah wajib diterangkan berapa mahar akan dibayar, ada pula yang berjanji


bahwa mahar itu fidok funoi dibayar hari itu melainkan dijanjikan diharilain.


Maka kalau keputusan bercerai (talak) juga akan terjadi, tidaklah mengapa.


Artinya boleh mentalak sebelum mahar dibayar. Tetapi di lanjutan ayat di￾terangkan kewajiban mentalak isteri sebelum dicampuri, atau sebelum mahar


dibayar itu :'Do n b e r il ah mer eka b ekal, (y ait u) bagi or ang y ang b e rkelapangon


sekedar lapangannya." Tegasnya berilah perempuan itu uang pengobat hati￾nya. Kalau engkau orang kaya berilah menurut ukuran kekayaanmu. "Danbagi


yang berkesempitan menurut kadarnya (sekedar kemampuannyapulo). " Lalu


dijelaskan apa macamnya bekalan pengobat hati itu' "Yaitu bekalan yang


sepatutnya." Sekali lagi yang sepatutnya, atau yang ma'ruf . Yaitu yang patut


minurut kebiasaan di tempat itu dan di masa itu. Dan di ujung ayat lebih


ditegaskan lagi'. "Menjadi kewajiban bagi orang-orang yang ingin berbuat


kebaikan." (ujung ayat 236). Inilah pendidikan budipekerti yang sedalam￾dalamnya kepada orang yang beriman.


Sebab meskipun dua suami-isteri tidak jadi melanjutkan pergaulan. Diorak


buhul sebelum berlarut-larut, meskipun akan bercerai, janganlah meninggalkan


jejak yang tidak baik di hati keluarga kedua belah pihak. Jangan menimbulkan


kesan pada orang luaran bahwa bercerai karena perempuan itu tidak baik.


Sehingga walaupun mereka berdua yang bercerai, kekeluargaan kedua belah


pihak masih tetap berbaik-baikan. Dan orang luar tidak mencela.


Lebih baiklah kita berpegang teguh langsung kepada al-Quran ini. Sebab di


kalangan ulama Fiqh memang ada juga pertikaian, setengah mengatakan wajib,


setengah mengatakan mandub atau "sunnat" saja membayar uang pengobat


hati itu. Kita pegang ujung ayat, yaitu bahwa ini adalah kewajiban bagiorang


yang ingin berbuat baik, yaitu muhsinin, dari kata ihson. Bukankah sebagai


Murli* kitu beragama memegang tiga rangka yang tidak terpisah, yaitu (Islom,


Imon dan lhsani) Ihsan ialah beribadat kepada Allah, seakan-akan Allah itu


kelihatan, dan walaupun kita tidak dapat melihat Dia, namun Dia tetap melihatkita. Sebab itu pula maka ahli-ahli Tasauf mengatakan bahwa iman untuk hati,


Islam untuk amal dan Ihsan untuk perasaan. Alangkah malangnya hidup orang


yang tidak berperasaan.


Saiyidina Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah s.a.w. ketika


menceraikan seorang isterinya telah mengirim uang pengobat hati ini 10,000


dirham. Uang 10,000 dirham, dari seorang sebagaiSaiyidina Hasan adalah


ma'ntf, patut. Tetapi seketika menyampaikan uang itu masih beliau berkata


dengan segala kerendahan hati: "Uang itu hanya sedikit, dari seorang kekasih


yang terpaksa berpisah."


Uang obat hati itu dinamai mut'ah. Benar-benar pengobat hati yang luka


karena bercerai, tetapi apa boleh buat; ada masa bertemu, ada masa berpisah.


"Dan jika kamu talak mereka sebelum kamu menyentuh mereka." Artinya


sebelum disetubuhi, "padahal telah kamu tentukan untuk mereka (mahar)


yang dilardhukon itu, maka separohlah dari apa yang difardhukan itu."


(pangkal ayat 237).


Di ayat sebelumnya sudah dinyatakan bahwa kalau bercerai, berilah uang


pengobat hati. Bagaimana tentang mahar? K.rrena belum lagi bercampur, maka


mahar yang telah ditentukan itu hanya wajib dibayarkan separoh. Kalau


misalnya telah dibayar mahar 10,000 maka yang wajib dibayar hanya 5,000.


Kalau mahar ketika nikah telah dibayar habis maka pihak yang perempuan


hendaklah mengembalikan 5,000 dan kalau belum dibayar samasekali. maka si


lelaki wajib menyerahkan 5,000 saja. Ini adalah lain dari mut'ah tadi. "Kecuali


jika mereka moafkan," yaitu perempuan itu memaafkan, "atolt memben maaf


yang di tangonnya terpegang ikotan nikah itu." Yaitu pada laki-laki, sebab dia


berhak menibuka buhulikatan nikah dengan lafaz talaknya. Disinidibuka se￾kali lagi untuk kedua belah pihak pintu berbuat kebaikan; ihson. Peraturan su￾dah ada, mahar yang wajib hanya separoh, sebab belum sampaibersetubuh.


Tetapi peraturan yang ditentukan Allah itu tidak berlaku lagi, karena diantara


kedua belah pihak ada yang memaafkan. Disinididahulukan menyebut "kolau


perempuon itu memaafkon. " Dia dianjurkan lebih dahulu memberimaaf, sebab


dia telah mendapat uang pengobat hati. Tetapi kemungkinan berbuat baik


masih dibukakan bagi yang laki-laki, silahkan pula dia memaafkan. Sehingga


kalau mahar telah dibayarkan kontan beres, dia berkata tidak usah dikembali


kan lagi. Atau dibayarnya samasekali, si perempuan atau walinya sebagai


wakilnya menyatakan tidak usah dibayar lagi yang separoh itu. Sehingga


perceraian meninggalkan suasana yang mengharukan sekali, sebab yang me￾lakukan orang-orang muhsin semua. Kalau sekiranya terjadi tolak-tolakan,


yang perempuan memberi maaf, yang laki-lakipun memberimaaf pula, bolehlah


hakim atau keluarga campurtangan menyelesaikan, sehingga suasana lebih


mengenakan iman. Kemudian Tuhan berfirman di lanjutan ayat;"Bahwa kamu


bermoaf-maafan itulah dio yang lebih dekat kepada takwa." Setiap Muslim


dan Muslimat takwa itulah yang menjadi tujuan hidup mereka. Ditambah lagi


oleh Tuhan anjuranNya: "Dan janganlah kamu lupakan kebaktian di antara


kamu. " Maaf-memaafkan, beri-memberi, sama-sama meninggalkan kesan yang


baik, yang walaupun ada perceraian, namun silaturrahmi kedua belah pihak


masih tetap utuh dan teguh, untuk melanjutkan lagikewajiban-kewajiban laindalam pergaulan hidup. Karena akan ada juga hubungan-hubungan yang lain


dalam waktu yang lain. "Sesungguhnya Allah terhadap apa Wngkamukerja￾kan adalah melihat." (ujung ayat 237).


Samasekali hal yang dihadapi dan diatasi ini tidaklah lepas dari penglihatan


Tuhan dan dalam catatanNya. Perbuatan dan cara pemecahan soal yang baik


dan berjalan lancar itu mendapat restu kasih dariAllah, menjadipahala semua.


Adapun ulama-ulama Salaf yang menghukum mut'ah wajib ialah Ali bin


Abu Thalib, AMullah bin Umar dari sahabat. Dan dari tabi'in ialah Hasan al￾Bishri, Said bin Jubair, Abu Qilabah,az-Zuhry,Qatadah, dan ad-Dhahhak dan


lainlain.


Sahabat Nabi yang memaafkan mahar yang telah dibayarnya ialah Jubair


birt Muth'im. Dia nikah dengan anak perempuan sahabat Rasulullah yang


terkenal, yaitu Sa'ad bin Abu Waqqash, lalu diceraikannya sebelum disetubuhi￾nya. Dan dibayarnya habis mahar semua ketika talak. Maka bertanyalah orang


kepadanya tentang hal itu, lalu dijawabnya: "Beliau minta saja menikahianak￾nya, maka payahlah buat saya menolaknya. Sekarang saya yang menceraikan


anak beliau, maka sayalah yang merasa lebih patut memaafkan semuanya."


Marilah kita perhatikan dengan seksama ayat-ayat ini, terutama tentang


talak, rujuk, ilaa', iddah wafat, bercerai dua kali, bercerai sebelum setubuh,


maaf-memaafkan mahar, mut'ah pengobat hati dan perhatikan pula bahwa


pada tiap-tiap ayat ada peringatan takwa. Rumahtangga yang manakah yang


dicita-citakan Islam? Cobalah perhatikan Islam kepada sumbernya sindiri,


adakah penganiayaan kepada perempuan? Sampai ketika akan menceraisusu￾an anak, dianjurkan berkerelaan dan musyawarat; wahai bagaimanalah bentuk￾nya rumahtangga Islam?


Kadang-kadang termenunglah kita memikirkan keadaan kita kaum Mus￾limin sendiri. Berapa banyak orang yang menceraikan isteri semena-mena.


Berapa banyak pergaulan yang kacau-balau?


Pada pendapat penulis "Tafsir" ini, terlebih dahulu wajiblah kaum Muslimin


belajar peraturan nikah-kawin, talak dan rujuk darial-Quran sendiri, setelah


matang barulah berpindah kepada kitab-kitab Fiqh untuk semata-mata penin￾jauan belaka.


(238) Peliharalah olehmu dengan sung￾guh-sungguh shalat-shalat itu


dan shalat yang paling tengah,


dan berdirilah kamu, karena


Allah dengan khusyu'.


(239) Tetapijika kamu dalam ketaku￾tan, maka (kerjakanlah) dengan


berjalan atau berkendaraan.


Tetapi apabila telah aman kamu,


maka sebutlah nama Allah se￾bagaimana yang telah Dia ajar￾kan kepada kamu, perkara yang


(dahulunya) kamu tidak tahu.R.V. Bodely, seorang pengarang Amerika yang lama mengembara di


Tanah Arab, dalam bukunya meriwayatkan hidup Nabi Muhammad s.a.w.


menerangkan bagaimana kesan pujangga Perancis yang terkenal, yaitu Vol￾taire, seketika mula-mula membaca salinan al-Quran. Voltaire mengatakan


bahwa mula-mula membaca al-Quran itu kita hanya melihat susunan yangtidak


teratur, kacau dan tidak dapat difahami. Tetapi kalau telah dibaca berulang


lengan tenang, kita kian Iama kian terpesona. Demikian kira-kira simpulan


kesan Voltaire tentang al-Quran.


Bagaimana sebabnya dia berkesan demikian? Yah, karena dilihatnya dalam


al-Quran itu sepintas-lalu, nampaknya tidak teratur. Sedang asyik-asyik mem￾bicarakan dari hal iddah, talak, mut'ah, maaf-memaafkan mahar, sekarang tiba￾tiba membicarakan shalat. Tetapisetelah dia baca dengan tenangdan berulang,


baru dia faham dan baru terasa enaknya. Padahal yang dibacinya itu hanya


sa,linan, bukan asli bahasa Arab dan mengetahuimaknanya tidak menampik


ada kekacauan susunan. Al-Quran adalah bacaan untuk dirasakan. Bertambah


dirasakan dan diresapkan, bertambah hilang kekacauan yangadadalam fikiran


ketika membacanya. Rupanya bukan al-Quran yang kacau, tetapi fikiran


sendirilah yang kacau sebelum mendapat kuncinya.


Tadi membicarakan urusan pinang-meminang, nikah-kawin, talak sebelum


bercampur dan mut'ah dan lain-lain. Tetapi semuanya dikunci selalu dengan


takwa kepada Allah, bahwa Allah melihat, Allah mengetahui, Allah Pengampun,


Allah Penyayang.


Bagaimana seorang Muslim dapat merasakan sifat-sifat Allah itu kalau dia


tidak memelihara hubungan jiwanya yang baik dengan Allah? Bagaimana


rumahtangga, suami-isteri, pendidikan anak akan berjalan lancar dengan dasar


takwa, kalau ibadat kepada Tuhan dilalaikan dan diabaikan? Dan tiang agama


ialah shalat! sebab itu jika singgah kepada memperingatkan shalat, bukinlah


dia terpisah dengan ayat yang sebelumnya, dia adalah akibat yang wajar dari


susunannya.


"Peliharalah olehmu dengon sungguh-sungguh s halat-shalat itu dan shalat


yang paling tengah, don berdirilah kamu karena Allah dengan khusyu'. " (ayat


238).


Untuk kepentingan jiwamu sendiri, dan untuk ketenteraman rumahtangga￾mu, supaya kamu merasakan benar-benar bagaimana hubungan diri dengan


Tuhan, peliharalah shalat-shalat itu baik-baik. Allah telah menentukan shalat￾shalat yang mesti kamu pelihara itu, yaitu shalat.shalat lima waktu, yang dikenal


oleh tiap-tiap orang Islam. Adapun shalat yang paling tengah di antara shalat


yang lima waktu itu, menurut penjelasan dari Hadis-hadis yang pernah diurai￾kan pendapat-pendapat ulama padanya sampai 18 macam pendapat, oleh Imam


as-Syaukani didalam Kitab Noilul Authar, maka keterangan yang terkuat ialah


shalat Ashar.


Berkata as-Syaukani di dalam tafsirnya Fathul-Qadir: "Telah berbeda


pendapat ahli-ahli ilmu menentukan yang mana shalat Wustha itu sampai


kepada 18 pendapat, yang semuanya telah aku tuliskan di dalam Syorah al￾Muntaqaa. Tetapi kata yang lebih kuat yang lebih sah ialah pendapat jumhur


(golongan terbanyak), yaitu waktu Ashar. Karena telah tetap menurut Bukhari


dan Muslim dan Ahlus-Sunnah dan lain-lain daripada Hadis Ali, demikianbunyinya: Dia berkata: "Dahulunya kami sangka sholot tengoh itu ialah shalat


fajar (Subuh), sampaiaku dengar Rasulullah s.a.w. berkata:


fiii'ittv 4i trJ Wi e9"$ ;,;W aV$Vi ,\ApW


.Pada hari (peperangan) Ahzab mereka itu (kaum musyrikin) telah


meng[longsJu kita dari "shalat pertengahan", yaitu sholof Ashar. Biarloh Alloh


memenuhi kuburon mereka dan perut mereka dengan api neroka."


Artinya, oleh karena hebatnya pengepungan dan percobaan kaum musyri￾kin mengepung kota Madinah di dalam peperangan Ahzab (lihat surat al￾Ahzab), iehingga Rasulullah dan kaum Muslimin yang tengah mempertahan￾kan khondok Grit)diMadinah terganggu buat mengerjakan shalat Ashar. Dan


memang kejadian itu pada waktu Ashar.


Dan banyak lagi riwayat-riwayat lain yang menerangkan bahwa yang


dimaksud dengan os-Sho/oful Wustha itu memang shalat Ashar.


Mungkin juga kita dapat memahamkan bahwa "waktu tengah" itu memang


shalat Ashar, jika kita ingat bahwa dua waktu, yaitu Subuh dan Zuhur kita


kerjakan di siang hari. Subuh permulaan siang (waktu fajar telah terbit) dan


Zuhur dipertengahan siang. Dan dua waktu pula yang kita keriakan malam hari,


yaitu Maghrib (sesudah matahari terbenam) dan lsya'.


Dengan demikian terletaklah Ashar di petang hari.


Setelah diperingatkan agar shalat lima waktu itu dipelihara sungguh￾sungguh, disembahyangkan tepat pada waktunya, lebih utama lagiwaktunya,


maki di ujung ayat diperingatkan lagi supaya dikerjakan dengan khusyu'.


Berdiri di hadapan Allah dengan muka tunduk dan hati yang patuh, tidak


bercabang kepada yang lain.


Tanda bukti iman yang paling tinggi ialah memelihara shalat lima waktu itu.


Betapapun seorang mengakui dirinya sebagai orang Islam, kalau shalat lima


waktunya tidak terpelihara baik, belumlah dapat dikatakan bahwa orang itu


beriman. sebab iman kepada Tuhan membawa akibat yang wajar bagi khusyu'-


nya hati. Kalau seruan shalat tidak diperhatikan dan tidak diperdulikan, tanda


hitl tidak khusyu', tandanya iman tidak ada. Sebab itu maka dengan tegas


Rasulullah s.a.w. bersabda pada Hadis yang dirawikan oleh lmam Ahmad dan


Muslim pada Shahihnya, Abu Daud, Termidzi dan lbnu Majah, dari Jabir,


bersabda Rasulullah s.a.w.


9fl7\3i+i$t',#i,y$\5


"Di ontara seorang laki-iaki dengon kekaliran ialoh meninggalkon shalat."


Tegasnya apabila seorang yang mengakui dirinya Islam, padahal dia tidak


memelihara shalat, tegaklah dia di antara lslam dengan kafirDiriwayatkan pula oleh lmam Ahmad dan at-Thabranidalam kitab Hadis￾nya al-Kabir dan o[Ausoth dari Hadis Abdullah bin Ash, bahwa padasuatu hari


Rasulullah membicarakan dari hal shalat, di antaranya kata beliau:


"Barongsiapo yang memeliharanya dengan boik-boik, mendapot dia ca"


haya don sinar dan keselamatan di hari kiamot. Tetopi borangsiapo yang


tidak memelihoranya, tidoklah dia akan mendapot cohoya dan sinar dan


keselamatan. Dan di hari kiamot dia okon bersoma-soma dengon Qarun, don


Fir'oun dan Haman dan Ubay bin Khold."


Apa lagi tandanya keislaman kalau shalat yang telah runtuh?


Perhatikanlah dengan seksama, apabila kita masuk ke dalam satu daerah.


Yang kita maksudkan ialah daerah-daerah yang didalam "perhitungan" disebut


daerah yang berpenduduk lslam. Apabila di negeriitu mesjid berdiridan shalat


terpelihara baik, penduduknya aman dari pencuri, perampok dan kicuh tipu


amat berkurang. Muka orang jernih-jernih penghidupannya sederhana dan


kegiatan mencari rezeki tidak kendor. Tetapi kalau kita masuk ke satu daerah


lagi, tegasnya suatu desa atau dusun atau kampung, kalau di sana shalat tidak


berdiri, atau sudah redup cahayanya karena tidak ada yang memimpinkan


agama dengan aktif, di sanalah yang banyak pencurian, penipuan, huru-hara


dan dari sana banyak perempuan melacur ke kota.


Dalam zaman kemajuan ini, karena telah demikian besarnya pengaruh


kehidupan moden, sudah banyak orang bernama lslam tetapi tidak menjalan￾kan shalat lagi, ataupun tidak mengenal shalat lagi. Malahan timbulsuatu kesan


dari keruntuhan jiwal sebab agama yang aktif tidak dipegang lagi, mudahlah


perzinaan, pemabukan, perjudian dan kekacauan. Mudahlah berlaku penco￾petan dan perampokan, sebab orang hanya mengingat asal perut berisi.


Ayat menyuruh memelihara shalat ini bertali dengan ayat yang sebelumnya


tentang hubungan bersuami-isteri beserta anak keturunan dalam rumahtangga


berdasar takwa. Maka rumahtangga yang tidak menjalankan shalat lagi, tidak


mengenal apa yang dikatakan shalat padahalmasih mengakuidiriorang lslam,


dalam rumahtangga beginilah hidup yang hambar, memuakkan, kosong dan


tidak ada tujuan. Mudah melepaskan cerai, mudah melakukan segala macam


usaha asalperut kenyang biar tidak halal sekalipun. Tidak ada kegembiraan jiwa


lain daripada berpiknik, menonton bioskop, membelibaju baru dan mementing￾kan diri sendiri.


Shalat adalah talipengikat seluruh keluarga. Ayah dan anak, dan ibu, suami


dan isteri dan seluruh ahli rumah terikat dalam jamaah didalam rumahtangga.


Di saat anak-anak lain keluar rumah dengan liar, anak-anak dari keluarga yang


mengerjakan shalat bersama-sama di rumah mengerjakan shalat jamaah di￾imami oleh ayahnya sendiri. Di zaman ini di waktu pengaruh kebudayaan


materialistis (kebendaan) masuk pula ke tanahair kita, kehidupan beragamajadi rapuh, sehingga seisi rr.rrnah tidak shalat lagi, meskipun masih bernama


orang Islam. Si ayah keluar sesaknya, dan sepeninggaldia, isterinyapun keluar


pula melepaskan hati dan hawanafsu. Anak-anakpun keluar pula dengan


kenakalannya yang tidak terkendali. Rumahtangga dengan sendirinya hancur￾lebur.


Shalat adalah latihan dirimemusatkan perhatian kepada yang SATU, lima


kali sehari semalam, sekurangnya melepaskan fikiran daripada kerepotan


hidup sehari-hari, untuk menenangkan jiwa kembali. Orang yang tidak shalat


tidak mempunyai masa "istirahat" bagi jiwanya. Sebab itu kalau dia mem￾bubung naik, dia lupa bumi tempat tegaknya, dan kalau dia meluncur turun,


bersama jiwanyapun turun, tidak mempunyai harapan buat naik lagi.


Kehidupan yang moden, kadang-kadang tidak mengenalperhentian kecil


dan perhentian besar; ibarat keretapi, tidak mempunyai stopplat, halte dan


stasiun. Jalan terus sampai berhenti sendiri karena mesin telah rusak. Dengan


shalat diambil kekuatan baru setelah payah dari pagi.


Jiwa orang yang tidak shalat selalu merasa ada yang kurang, selalu merasa


tidak adanya kepuasan, dan payah menenangkan diri. Kegelisahan rohani


bertali dengan jasmani. Penyakit-penyakit jiwa terlalu banyak dalam zaman


moden ini. Ahli-ahli psychosomatik dan psychoterapimengakuihal ini. Bagai￾manalah orang yang mengakui dirinya Islam akan dapat mengurangi penyakit


itu, padahal ahliahli sendiri mengatakan bahwa obat-obat, tablet, puder dan


suntikan saja tidak dapat menolong. Obat yang paling mujarab hanyalah


ketenteraman jiwa.


Bagaimana orang Islam tidak akan larut penyakitnya kalau shalat yangada


padanya, sebagai tiang agamanya itu tidak segera dipakainya.


Shalat penghambat dari kekejian dan kemungkaran; dia adalah pendinding


dari kejahatan. Di tempat terpencil sendiripun orang yang shalat tidak akan


berbuat jahat, sebab dia merasa bahwa Tuhan selalu ada di dekatnya.


Orang yang memelihara shalat bisa dipercaya kalau berjanji, dan suka


mencampurkan diri kepada masyarakat, sebab dia dididik dalam jamaah dan


Jum'at.


Orang yang memelihara shalat adalah orang yang setia. Setia kepada


tanahair dan bangsanya, setia kepada kaum dan keluarganya, sebab dia setia


kepada Tuhan. Dia tidak pembenci, dia tidak pendendam. Bertambah dia tekun


dan khusyu' dalam shalat, bertambah dia menjadi al-lnsan ol-Kamil, manusia


yang sempurna dalam lingkungan kemanusiaannya.


Boleh tuan bantah keterangan ini, karena tuan melihat kenyataan. Tuan


banyak melihat orang shalat yang penipu, bodoh, penuh tahyul, penuh khu￾rafat.


Memang! Sebab yang tuan lihat itu hanya orang yangmemelihoro tubuh


shalat. Tetapi tidak memelihara jiwanya. Hanya badannya menghadap kiblat,


sedang hatinya tidak khusyu' menghadap Tuhan. Tetapikalau kita lihat dalam


keseluruhan, atau pada umumnya, teranglah bahwa kebanyakan orang yang


shalat lebih boleh dipercayai daripada kebanyakan orang yang tidak shalat,


padahalmengaku Islam.


Shalat! Asal orang masih percaya bahwa Tuhan ada, tidaklah dia akan


memungkiri bahwa memang shalatlah yang baik. Kalau ada orang yang me￾ngakui percaya kepada Tuhan, padahal dia tidak mengerjakan shalat, atau


mencemuhkan shalat, demi kalau diperiksa jiwanya dengan seksama, teranglahbahwa hati kecilnya sendiri merasa bahwa kepercayaannya kepada Tuhan


belum lengkap, sebab dia tidak memeliharanya. Cemuhnya kepada shalat


hanyalah untuk menutupi suatu rasa kurang dalam diri. Yang akan menolak


shalat samasekali, lain tidak ialah orang yang tidak percaya samasekaliadanya


Tuhan. Orang-orang otheis. Maka golongan atheis inilah yang karena memung￾kiri adanya Tuhan, atau hendak menunjukkan bencinya kepada Tuhan, yang


tidak berkeberatan berbuat jahat, zalim, kejam, asal mencapai maksudnya.


Shalat adalah pembentuk jiwa, bertali dengan Tuhan dan bertali pula


dengan masyarakat. Sebab itu sebagai orang lslam, tidak ada alasan buat


meninggalkannya.


Shalat wajib berdiri. Kalau sakit dan tak kuat berdiri, boleh duduk. Kalau


tak kuat duduk boleh tidur. Sukar menghadap kiblat, boleh dihadapkan ke


mana terhadapnya.


Shalat wajib berwudhu'; tetapi kalau air tidak ada boleh tayammum.


Shalat dalam perjalanan boleh diqashar dan dijamakkan.


Maka teruslah pada lanjutan ayat:


"Tetapi jiko kamu dolam ketakutan, mako (kerjakanlah) dengan berjalan


atau berkendaraan." (pangkal ayat 239). Dalam ketakutan, entah dikejar


banjir, entah dikejar singa, entah ketakutan yang lain, boleh dikerjakan apa


adanya, sambilberjalan, yaitu berjalan kaki. Sambil berkendaraan, baik kuda,


atau mobil, atau keretapi, atau kapal laut dan udara. Datang waktunya segera


kerjakan. Kerjakan menurut kemungkinan yang ada pada waktu itu.


Penulis "Tafsir" ini pernah naik keretapi berkali-kali dari Jakarta menuju


Yogyakarta atau Surabaya. Kadang-kadang kereta terlalu sempit penulis tokuf


turun di Cirebon atau stasiun lain, yang sejak Indonesia merdeka telah mulai


disediakan mushollo di stasiun-stasiun. Takut ketinggalan keretapi itupun


dapat menghilangkan khusyu shalat. Dan takut akan sakit karena terlalu lama


berdiri bersempit-sempit. Dan takut akan digantikan orang tempat duduk,


karena terlalu amat sempit. Maka setelah waktu zuhur ataupun ashar, penulis


gosokkan keduanya ke dinding keretapi, meneladan Nabi, bertayammum ke


dinding pada satu kali, karena air tak ada dan harikelam. Penulis lakukan shalat


sambil duduk. Sebab agama membolehkan duduk kalau tidak sanggup atau


tidak dapat berdiri. Tidak dapat menetapkan muka ke arah kiblat, karena


tempat duduk kita tepat menghadap kiblat. Dan Nabipun mengizinkannya pula,


bila terdesak. Bahkan sedang berjalan kakipun dibolehkan!


Di kapalterbangpun penulis selalu shalat pada waktunya, sambil duduk


dengan tenteram. Pendeknya, asal waktu panggilan Tuhan datang, kita siap


sedia dan taat menyambut panggilan itu. Menurut setahu penulismeninggalkan


shalat dengan sengaja belum pernah penulis lakukan. Dan belum pernah


penulis mengqadha shalat diwaktu yang lain, sebab tiap-tiap waktu datang, dia


bisa dikerjakan, menurut tuntunan ayat ini. Sehingga dengan menjaga dan ingat


waktu itu sajapun kita menjadi selalu dalam suasana shalat.


Ada teman bertanya: "Apakah setelah sampaidi tempat yang dituju, tidak


diulangi lagi shalat yang dikerjakan cara begitu tadi?"


Jawabnya: "Ayat ini tegas tidak menyuruh mengulang. Sebab waktunya


telah habis di waktu itu dan dia telah sah." Lanjutan ayat dengan tegas


menerangkan:Tetapi apabila telah aman kamu." Baik aman setelah sampai di rumah


kembali, atau telah sampai di tempat perhentian yang dituju, atau di hotel


tempat menginap. "Maka sebutlah nama Allah sebagaimona yang telahDio


ajarkan kepda kamu, perkaro yang (dahulunya) kamu tidak tahu."


Kalau telah sampai di rumah, datang pada waktu shalat, kita shalatlah


sebagaimana biasa, menurut syarat-syarat rukun yang diajarkan Nabi. Dan


kalau telah aman keluar dari tempat yang membawa banyak takut tadi, shalat


pulalah menurut yang diajarkan Nabi tentang shalat dalam musafir, dengan


qashar dan jamaknya.


Di ujung ayat ini diterangkan bahwa dahulu hal itu belum kamu ketahui.


Sebelum diajarkan Nabi, orang belum tahu bagaimana caranya menyembah


Tuhan. Sekarang telah diajarkan. Dan bagi kita yang datang di belakang ini,


shalat di waktu aman telah kita ketahui. Maka dengan tambahan ayat ini,


kitapun dapatlah pimpinan yang tegas, bagaimana cara shalat diwaktu yang


dharurat sebagai demikian. Apatah lagi di zaman moden ini, zaman banyak


perjalanan dan perlawatan. Bagaimanapun kemodenan zaman, namun kita


tidak terhalang buat tetap jadi orang lslam!


Dari sebab inilah sebahagian besar ulama berpendapat bahwa shalat yang


disengaja meninggalkannya tidaklah ada waktunya buat mengqadha. Tidak ada


yang akan diqadha, sebab dia wajib dikerjakan bila tiba waktunya, menurut


kemampuan pada saat itu. Sehingga jelas sekali, dalam ayat ini sendiri, ayat


yang kita tafsirkan ini diizinkan shalat sambil ber.ialan. Apa lagi?


Datang waktu, terdengar oleh jiwa perintah Tuhan "Shalat!"


"Baik, ya Tuhan!" Kita shalat dengan penuh khusyu', melaksanakan


perintah dengan tenaga dan kemungkinan yang ada pada kita waktu itu.


Kila tidak berkata: "Tunggu dulu Tuhan, lain waktu saja!" Tidak!


(240) Dan orang-orangyangmeninggal


dunia di antara kamu, sedang dia


meninggalkan isteri-isteri, hen￾daklah berwasiat untuk isteri￾isteri mereka itu, yaitu supaya


diberi bekal sampai setahun


tidak dikeluarkan mereka. Te￾tapi jika mereka keluar (sendiri)


maka tidak salahnya atas kamu


(membiarkan) apa yang mereka


kerjakan pada diri mereka dari


perkara yang patut. Dan Allah


adalah Maha Gagah, lagi Bijak￾sana.


(241) Dan untuk perempuan-perempu￾an yang ditalak, wajiblah diberi


bekal menurut patutnya; kewa- jiban atas orang-orang yang


takwa.Demikianlah Allah menjr:laskan


ayat-ayatNya kepada kamu,


supaya kamu berfikir.


z -) zlz-)- z2 z zt-


.luL-l'o -fJ nrf iA?. etls


aa . a -


ot):z @ i'ru"


5rJ


Wosiat Tentong Isteri


Tadi pada ayat 234 sudah dijelaskan bahwasanya iddah wafat atau ber￾kabung bagi perempuan'yang kematian suami, ialah empat bulan sepuluh hari.


Selama iddah itu tidak boleh dia berhias-hias, tidak boleh dia memakai-makai


pakaian bagus, tidak boleh keluar rumah dalam tidak sangat penting. Dan


penguasa pada rumah itu wajib menjaga dan melindunginya. Tetapi pada ayat


yang berikutnya diberi izin kepada laki-laki lain yang sudi kepada perempuan itu


jika mengangsur kata, menyindir dengan halus dan sopan, atau menelangkai,


meskipun dia masih dalam iddah, sehingga selepas iddahnya yang 4 bulan l0


hari itu, diperingatkan kepada pengawasnya di rumah itu, bahwa jika dia


hendak keluar, atau apa saja yang dilakukannya perbuatan yang patut, tentu


saja termasuk kawin, tidak salahnya jika dilepaskan baik-baik.


Sekarang datanglah ayat yang 240 menganjurkan lagi kepada suami ketika


telah merasa bahwa ajalnya sudah dekat, supaya meninggalkan wasiat kepada


keluarga yang akan kuasa di rumahnya itu, supaya membiarkan atau memberi


hak perempuan itu tinggal sampai setahun di rumah itu.


Lepas 4 bulan 10 hari niscaya dia tidak berkabung lagi. Dia sudah boleh


berhias, tetapi dia masih diberi hak hendaknya tinggal di rumah itu sampai


setahun. Sebab kadang-kadang tidaklah semasa dalam iddah orang tertarik


kepadanya, tidak orang yang melangkai atau meminang.


Inilah yang diterangkan pada ayat 240: "Dan orong-orang yang meningal


dunia di antara kamu, sedang dia meninggalkon isteri-r-steri, hendaklah ber￾wasiat untuk isteri-isteri mereka itu, yaitu supoyo diberi bekal sampaisetahun


tidak dikeluarkan mereka." Diberi kesempatan tinggal di sana, makan minum


dalam tanggungan yang menguasai rumah itu. "Tetapi jika mereka keluar


(sendiri), maka tidak salahnya mereka atas kamu (membiarkan) apo. yong


mereko kerjakan pada diri mereka dari perkara yang patut." Artinya meski￾pun belum cukup setahun, asal iddah yang 4 bulan 10 hari sudah lepas, bolehlah


kehendaknya hendak keluar itu diberi, asal saja keluarnya itu untuk halyang


patut. Misalnya karena mendapat jodoh, atau pulang ke rumah orang tuanya


dengan baik. Ditekankan "perkara yang patut", karena kalau pergi-pergi saja


dalam batas yang setahun itu, padahal tidak dapat dipertanggungjawabkan,


demi menjaga wasiat si mati, tidaklah boleh yang menguasai rumah melepas￾kan. Tetapi kalau sudah habis setahun, lepaslah penguasa rumah dari tang￾gungjawab. "Dan Allah adalah Moha Gagoh lagiBijaksono. "Gagah Tuhan di


dalam membela kesucian perempuan itu, murka Tuhan kalau dia sampai


terlantar, dikeluarkan dari rumah yang telah sekian lama dia diami, padahal


belum ada tempat bergantung. Bijaksana Tuhan membela nasib si lemah itu,


sehingiga tidakpun sempat mendiang suaminya itu berwasiat, karena ini sudah


kehendak Allah, menjadikewajiban jugalah bagiorang yang tinggaluntuk me￾laksanakannya.

Hal yang begini tentu saja bisa kejadian. Misalnya yang meninggal itu


beristeri lebih dari satu, sampai berempat yang diizinkan oleh agama. Ada isteri


yang tidak beranak di antara mereka. Sedang kalau seorang meninggal, walau￾pun berempa.t isterinya, kalau dia meninggalkan anak, maka keempat isteri


hanya mendapat seperdelapan, sebahagian besar harta jatuh kepada anak,


yang dinamai'ashabah. Maka isteri yang ada anaknya tentu akan dijaminoleh


anak-anaknya. Bagaimana isteri yang tidak beranak? Siapa yang akan men￾jamin dia? Tentu baiklah dia diberi peluang tinggal di rumah itu satu tahun,


supaya dia berkesempatan memikirkan nasibnya, entah kembali ke rumah


orang tuanya atau sanak-saudaranya, entah baik nasibnya karena ada orang


yang meminang.


Dan kalau semangat ihsan dan suasana takwa meliputi rumah itu, niscaya


sampai berapa tahunpun mereka akan dibiarkan oleh wanita-wanita di rumah


itu diam di sana. Bahkan pemah kita melihat isteri yang malang tidak beranak


ifu disamakan pemeliharaan atasnya oleh anak-anak si mati dengan kepada ibu


mereka sendiri, dan tinggal bersama dia sampai mati.


Di sini dapatlah dirasakan dengan mendalam, mengapa maka ayat-ayat ini


yang masih bersambung dengan png sebelumnya, disela-sela di tengahnya


dengan perintah memelihara shalat. Sebab di dalam rumahtangga orang yang


memelihara shalat, ihsan dan kasih-sayanglah yang banyak bertemu, bukan


rasa benci atau dendam, atau masa bodoh kalau kepala rumahtangga sudah


meninggal.


Patut juga kita ketahui perselisihan ulama tentang ayat ini. Sebahagian


ulama (iumhur) berpendapat bahwasanya ayat setahun ini telah monsukh,


tidak berlaku lagi. Sudah dinasikhkan oleh ayat 234 dr atas tadi, yaitu iddah


wafat hanya 4 bulan 10 hari. Tetapi Mujahid, salah seorang ulama tabi'in


berpendapat bahwa ayat ini muhkamoh, tetap berlaku dan tidak mansukh.


Kata beliau: "Memang iddah wafat 4 bulan 10 hari, kemudian Allah menjadikan


untuknya hak wasiat daripada mendiang suaminya buat tinggal dalam rumah itu


ditambah 7 bulan 20 hari lagi. Kalau perempuan itu menghendaki dia boleh


tinggal di rumah itu 7 bulan 20 hari lagi, dan kalau dia menghendaki keluar,


diapun boleh keluar."


Kemudian dijelaskan lagi pendirian Mujahid itu, bahwa ayat iddah 4 bulan


10 hari ialah kewajiban baginya menahan diri, dan ayat setahun ialah hak yang


patut diterimanya, yaitu berdiam di rumah itu selama setahun jika dia mau.


Yang pertama ialah menyatakan kewajibannya dan yang kedua menyatakan


haknya.


Penafsiran kita di atas tadi adalah rnempertemukan dan memperielas


persesuaiannya, sebab kita adalah penganut faham yang telah berkali-kali kita


nyatakan bahwasanya tidak ada ayat yang mansukh di dalam al-Quran. Bahkan


Imam Syafi'i sendiri berpendirian bahwasanya al-Quran tidaklah dapat di￾nasikhkan oleh al-Quran pula.


Mut'oh


"Dsn untuk perempuan-wrempuan yang ditalak,wajiblah diberi bekal


menurut patutnya; kewajiban atas orang-orang yang takwa." (ayat 241)-

Ayat ini untuk menjelaskan lagi. Sebab pada ayat 236 sudah diterangkan


bahwa perempuan yang ditalak sebelum disentuh (disetubuhi), ataupun mahar


belum dibayar, supaya diberi obat hati karena bercerai. Ini sudah terang. Tetapi


dengan ayat ini diterangkan lagi yang tadibelum diterangkan. Yaitu segala isteri


yang diceraikan, bukan saja yang belum disentuh, hendaklah diberi juga


pengobat hati jika dia diceraikan. Yaitu menurut berapa patutnya uang, barang,


emas, perak atau rumah lengkap dengan isinya. Entah pula mobil! Kalau diatas


telah kita ceritakan bahwa Saiyidina Hasan bin Ali bin Abu Thalib pernah


memberikan uang pengobat hati isteri yang diceraikan 10,000 dirham, diiringi


dengan kata terharu: Hanya sedikit kiriman, dari kekasih yang terpaksa


berpisah, maka dia dalam perceraian yang lain pernah mengirim uang obat hati


20,000 dirham. Adapun hikmatnya ialah supaya perceraian jangan menimbul'


kan bisik desus, gunjing dan umpat. Dan menjaditanda bahwa silaki-lakiadalah


seorang yang halus perasaan, tidak membiarkan jandanya terlantar sesudah


bercerai, sampai dia mendapat suami lain, atau jangan dia selama tinggal


dengan orang tuanya menjadibeban berat kepada orang tuanya itu. Didalam


ayat ditegaskan benar-benar bahwa ini adalah kewajiban bagi orang yang


takwa. Karena orang yang takwa kepada Allah itu halus perasaannya. Bukan


orang yang patut dituduh hanya laksana kumbang mencari kembang saja, habis


sarinya diapun terbang.


Memang, ada juga pertikaian pendapat ulama, tentang obat hatibagi isteri


yang diceraikan itu. Setengahnya berpendapat bahwa yang dibayar mut'ahnya


hanyalah isteri yang belum disentuh saja. Kalau isteri yang sudah disentuh,


apatah lagi mahamya sudah dibayar, hanya Sunnot saja. Tetapi sekarang kita


sedang "pulang" kepada sumber pandangan hidup Islam, yaitu al-Quran sen￾diri, mengapa lagi kita berbelok kepada pertikaian ulama? Apatah lagi tersebut


di dalam ayat Khiyar, yaitu kisah Rasulullah disuruh menyampaikan kepada


isteri-isteri beliau, bahwa mereka disuruh memilih apakah mereka inginkan


dunia dengan segala kemewahannya, atau mengikut Rasulullah, sehidup semati


dengan kehidupan apa adanya? (Lihat Surat 21 al-Ahzab, ayat 28 dan 29). Di


ayat 28 itu Nabi disuruh menyampaikan supaya mereka pilih diantara kedua


kehidupan itu. Kalau mereka memilih bercerai, maka mereka akan diceraikan


semua dan akan diberi muf'oh pengobat hati. Oleh sebab itu, meskipun halitu


tidak kejadian, sebab isteri-isteri beliau memilih hidup bersama Nabi apa


adanya, namun mut'ah itu sudahlah rupanya menjadi ketentuan beliau.


"Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepada kamu, supaya


kamu berfikir." (ayat 2421.


Kesempatanlah pada kita sekarang memikirkan ayat'ayat Allah ini, yaitu


peraturan yang telah Allah turunkan, terutama dalam menyusun pergaulan


suami-isteri di rumahtangga akan ditanamlah benih yang akan menurunkan


ummat yang baik, yang akan menjadi teladan yang baik di dalam beribadat


kepada Allah. Celakalah pergaulan kaum Muslimin kalau rumahtangga dan


persuami-isterian mereka hanya asal kawin saja. Cerai asal cerai saia. Demikian


juga sesudah si suami meninggal, sampai setahun di belakangnyapun agama


mewasiatkan agar keluarga memelihara jandanya baik-baik.


Maka kalau sekiranya suatu masa nampak kekeruhan masyarakat Musli￾min, sehingga hancur keperibadiannya, dan sampaidia diinjak-injak oleh bang-sa lain, pastilah bertemu salah satu sebabnya, yaitu karena ayat-ayat Allah


berkenaan dengan pembangunan keluarga tidak diperdulikan ligi.



Tepatlah apa yang pernah dikatakan oleh Sayid Jamaluddin al-Afghani:


'Kemajuan bangsa lain ialah setelah mereka tinggalkan peraturan agamanya.


Dan kemunduran kaum Muslimin ialah setelah mereka meninggal[an pera.


turan agamanya."


(243) Atau tidakkah engkau perhati.


kan orang-orang yang keluar dari


kampung-kampung mereka


padahal mereka beribu-ribu


karena takut mati? Maka ber.


katalah Allah kepada mereka:


Matilah kamu semuanya! Kemu￾dian Dia hidupkan mereka. Se￾sungguhnya Allah adalah mem.


punyai kurnia atas manusia,


akan tetapi kebanyakan manusia


tidaklah bersyukur.


(2441 Dan berperanglah kamu pada


jalan Allah, dan ketahuilah oleh￾mu bahwasanya Allah adalah


Maha Mendengar, lagi Mengeta￾hui.


(245) Siapakah dia, yang sudi memin.


jamiAllah dengan pinjaman yang


baik; supaya Dia gandakan


untuknya dengan pergandaan


yang banyak? Dan Allah mena￾han-nahan dan meluas-lebarkan


(menghamparkan), dan kepada￾Nyalah kamu sekalian akan kem.


bali.


u . o I lz


e.r-) q\rr


a


ol


Llr $il\


'A, iit6 i.A|t,1j1'fr


ultjt'fi\ * *yrt S


'orgi


i'f it7it;*t,W:y,


@*s


Cii'trnt,r;:.,sitti i


24..e/. . , . ,7 )t tz z2z &le a-"9 Ut';t 7 I 



+i*, h!


t 2to) .ztb2 2s2 2 *


it*jlb Lht,4-


Jangan Tokut Mati, Supaya Hidup


Setelah Tuhan menerangkan tentang perkawinan, cerai, talak dan rujuk,


sampai kepada musyawarat suami-isteri di dalam rumahtangga tentang akan


mencerai-susukan anak, sampai tentang hal pinang-meminangdan sampai pula


kepada memelihara perempuan yang ditinggalkan mati oleh suaminya sampai

satu tahun, dan lain-lain yang bersangkut dengan itu, di akhir sekali (ayat 242j


tibalah peringatan supaya ayat-ayat Tuhan itu diperhatikan, difikirkan dan


diakali. Kalau telah difikirkan baik-baik akan mengertilah kamu bagaimana


kehendak Allah terhadapmu, makanya diaturNya kamu sejak dari dasar, yaitu


rumahtangga, sampai kelak menjadi masyarakat yang luas.


Di ujung penafsiran ayat 242 itu telah kita nyatakan bahwasanya kalau


terdapat kemunduran dalam masyarakat Islam, carilah sebab-sebabnya, nis￾caya satu di antaranya yang teramat penting ialah peraturan-peraturan yang


telah diberikan Tuhan mengenaikawin, rujuk, talak, mahar, mut'ah, iddah dan


sebagainya itu tidak diperhatikan, atau diabaikan. Padahaldarisanalahdatang￾nya pembangunan bangsa.


Selesai urusan itu, dengan berangsur Tuhan Allah membelokkan fikiran


kita kepada urusan kemasyarakatan. Kalau peribadi dan perkawinan yang


teratur telah ada, bangsa atau kaum atau ummatpun telah tegak. Tetapi barulah


masyarakat luas itu mempunyai peribadi yang dapat diketengahkan, yang tegak


dengan kokoh kalau pada kaum itu ada semangat berani mati untuk hidup.


Oleh sebab itu supaya suatu kaum tetap hidup, hendaklah berani mati. Kaum


yang takut mati, karena ingin mempertahankan hidup, maka yang akan tinggal


pada dirinya hanyalah hidup yang tidak berarti, hidup yang terinjak dan


tertindas, hidup yang diperbudak. Apabila keperibadian suatu kaum telah


hilang, samalah artinya dengan telah mati, walaupun anggota-anggota bekas


kesatuan kaum itu masih ada. Walaupun masih hidup, tetapi tidak ada se￾mangat yang hidup, sama saja dengan telah mati. Oleh sebab itu, untuk


mempertahankan hidup yang sejati itu, hendaklah berani berperang menegak￾kan cita-cita. Dan cita-cita yang menjadi puncak dari segala cita, dan tidak ada di


atasnya lagi, yaitu cita menegakkan jalan Allah, dan sudi mengorbankan apa


yang ada, harta dan jiwa untuk menegakkan jalan Allah itu. Siapa yang sudi


berkorban, niscaya akan diganti Tuhan berlipatganda. Untuk menarik per￾hatian akan soal ini. Tuhan bersabda:


" Atau tidakkah engkau perhotikan kepoda orang-orong yang keluar dari


kampung-kompung mereka, padahal mereka beribu-ribu karena takut mati?"


(pangkal avat 243). Tuhan di dalam ayat inimenyuruh RasulNya dan ummatnya


memperhatikan suatu kaum, beribu-ribu banyaknya. Mereka keluar dari kam￾pung halaman mereka, karena mereka takut mati.


Kita yang telah mengalami masa-masa peralihan, terutama jatuhnya keraja￾an Hindia-Belanda dan rpasuknya tentara Jepang dapat merasakan apa yang


dikatakan oleh ayat ini. Sebab kita melihat bahkan mengalami seketika telah


jatuh Singapura, runtuhlah semangat tentara Belanda dan Bangsa Belanda


yang selama ini merasa sombong di Indonesia ini, yang merasakan bahwa negeri


ini mereka yang empunya, dan benci kepada rakyat yang empunya negeri


sebenarnya, tidak percaya buat menyerahkan senjata kepada mereka untuk


mempertahankan diri. Ketika itulah kita melihat beribu-ribu orang berduyun￾duyun meninggalkan rumahtangga dan kampung halaman karena takut mati,


terutama orang Belanda dan serdadu Hindia-Belanda, sehingga kita rakyat asli


yang tidak bersenjatapun ikut ketularan penyakit takut mati itu. Keluar dari


dalam rumah bukan buat pergi bertahan, tetapi pergi memelihara nyawa.


Ketika itulah kita baru mendengar apa yang dinamai evacuatie menjadi bahasa


kita epakuasi, atau mengungsi, atau lari habis!

Akhimya karena tidak ada pertahanan yang berarti, bahkan segala senjata


yang dalam tangan dibawa lari ke hutan, maka musuh itupun masuklah; semua


dia hantam, dia tindas, dia jadikan tawanan, dia perbudak. Alamat hidup suatu


bangsa ialah apabila mereka masih mempunyai pemerintahan yang teratur.


Kalau pemerintahannya tidak ada lagi, sebab petnegang-pemegang pemerintah


itu telah dibunuh atau ditawan, dan kekuatan telah pindah dengan serta-merta


ke tangan musuh yang memasuki negeri itu, berartilah bahwa sejak waktu itu


negeri itu telah moti walaupun orang-orangnya masih ada. Maka dilanjutkanlah


keadaan yang diderita mereka oleh bunyi ayat: "Maka berkatalah Allah kepada


mereka: *Matilah kamu semuanyo." Yaitu bahwa tanda-tanda hidup sebagai


suatu kaum tidak ada lagi. Semisal kejatuhan pemerintahan Hindia-Belanda


tadi; mulai tentara Jepang masuk, bendera Belanda tidak naik lagi, sebab


kekuasaan mereka telah mati, yang naik ialah bendera Jepang. Gubernur


Jenderal Belanda tidak ada lagi, sebab sudah masuk tawanan, yang naik ialah


Saiko Sikikan, penguasa tertinggi Jepang. Alat-alat negara Hindia-Belanda yang


selama ini memegang senjata menjaga keamanan sudah dilucuti senjatanya,


yang tentara sudah ditawan, dan yangpolisi sudah diberi band tangan bertulisan


huruf Kanji, tandanya mereka sudah jadi alat kekuasaan pemerintah baru.


Pemerintahan yang lama sudah disuruh matioleh Tuhan.


Kita sengaja mengemukakan permisalan ini, karena sebahagian besar di


antara kita sudah ada pada waktu itu dan sudah menyaksikan sendiri. Sehingga


lebih dekatlah penafsiran ayat-ayat ini kepada ingatan kita.


Pemerintah Belanda yang telah jatuh itu, dihidupkan oleh Tuhan 350 tahun


lamanya, ialah sesudah matinya pemerintah-pemerintah suku-suku Indonesia.


Dengan naiknya kekuasaan Belanda itu, telah lama bangsa Indonesia yang


dahulunya mempunyai pemerintahan-pemerintahan yang hidup, mempunyai


alamat hidup. Sejak zaman Sriwijaya, zaman Majapahit dan zaman Islam.


Dapatnya bangsa Belanda memerintah sebahagian besar ialah karena beribu￾ribu ummat keluar dari kampung halaman mereka karena takut mati. Lantaran


takut mati, namun mereka terus hidup dalam kenangan. Maka berkatalah


sambungan ayat: "Kemudian Dia hidupkan mereka."


Kita teruskan dahulu perbandingan ini untuk menjelaskan penafsiran￾penafsiran; pemerintah Hindia-Belanda terus mati, kar0na haknya untuk hidup


memang tidak ada lagi. Walaupun sehabis perang dunia II mereka mencoba lagi


hendak menghidupkon pemerintahan itu, namun dia telah mati. Tetapi bangsa


Indonesia yang telah dicoba mematikan selama 350 tahun dihidupkan oleh


Tuhan kembali. Yang tua-tua telah sama mati tetapi ada sesuatu yang hidup


yang mereka tinggalkan buat anak-cucu mereka, yaitu semangat ingin hidup


sebagai kaum, sebagai bangsa, sehingga untuk itu, kalau perlu, perseorangan


biar mati. Maka bangsa yang telah dihitung mati itupun hiduplah kembali. Dunia


mengenalnya sebagai bangsa yang hidup. Dia mempunyai tanda-tanda dari


kehidupan, dia mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai kepala negara,


mempunyai batas-batas wilayah. Malahan orang-orang yang hidup di zaman


penjajahan yang boleh dihitung telah mati, menjadi hidup kembali, sebab


mereka telah jadi bangsa merdeka!


Apa sebab mereka yang telah "terkubur" 350 tahun bisa hidup kembali?


Ialah karena bila musuh datang, mereka tidak lagi "keluar dari kampung-

kampung mereka beribu-ribu karena takut mati", melainkan mereka memper￾tahankan negeri mereka dengan harta dan nyawa, meskipun untuk itu perlu


mereka mati. Karena beranimatiitu, maka merekapun diberi hidup oleh Allah.


Kegagalan orang tua-tua dahulu, dan kegagalan pemerintah yang takut mati


dijadikan pengajaran oleh anak-cucu yang datang kemudian; bahwa untuk hi￾dup, beranilah mati, dan untuk mati, takutlah mati. Dan di akhir ayat Tuhan


tegaskanlah SunnahNya: "Sesungguhnya Allah adalah mempunyai kurnia


ofos monusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidaklah bersyukur." (ujung


ayat 243).


Kurnia Tuhan senantiasa tersedia. Dan kalau pandai berjuang mencapai￾nya, niscaya kurnia itu diberikan, tetapi kebanyakan manusia tidak insaf akan


hal ini dan tidak bersyukur, oleh sebab itu jiwanya tidak akan merasai nilai


kurnia itu.


Setelah Tuhan menerangkan satu pokok asaldarisebab-sebab kematian


atau kehidupan suatu bangsa ini, maka berfirmanlah Tuhan selanjutnya:


"Dan berperanglah kamu pada jalan Allahdan ketahuilah olehmu bahwa￾sonyo Allah adalah Maha Mendengar, lagi Mengetahui." (ayat 244).


Apabila telah difahamkan ayat di atas, dapatlah lekas difahamkan pula ayat


lanjutannya ini. Kaum-kaum yang beriman tidak akan dapat melanjutkan


hidupnya sebagai suatu kaum, sebagai suatu ummat, kalau mereka tidak berani


berperang pada jalan Allah. Jalan Allah kadang-kadang perlu disuburkan


dengan darah Mujahidin yang mempertahankan dan menegakkannya.


Berperang pada jalan Allah ialah untuk meninggikan Kalimat Allah, untuk


mengamankan agama dari gangguan musuhnya dan untuk mempertahankan


da'wahnya. Kata Sobilillah, yang berarti Jqlan Allah, adalah mengandung


maksud yang luas sekali. Mempertahankan kemerdekaan bangsapun termasuk


dalam rangka Jalan Allah. Sebab bangsa yang dijajah dan diperbudak, sebagai


tadi telah diketahui pada ayat sebelumnya, artinya telah dibunuh. Maka se￾pakatlah ahli-ahli Fiqh menyatakan bahwa apabila musuh telah masuk ke dalam


negeri orang Islam, menjadi t'ardhu'oinlah berperang pada waktu itu. Semua


tenaga wajib dikerahkan mempertahankannya, tidak boleh ada yang keting￾galan, sehingga segala sesuatunya diurus dengan suasana perang.


Di ujung ayat Tuhan tegaskan laginama dan sifatNya, pertama Dia adalah


Mendengar, kedua Dia adalah Mengetahui. Niscaya didengarNya keluhan


si pengecut yang takut berperang dan diketahuiNya dalih si pemalas yang tidak


mau berkorban. Padahal sebelum. musuk masuk ke suatu negeri Islam, ter￾utama di zaman moden ini, selalu terlebih dahulu mereka membuat propaganda


bahwa mereka hendak membebaskon penduduk negeri itu dari sengsara.


Mereka akan memajukan agama dan sebagainya. Di sinilah orang-orang yang


lemah semangat menjadi ragu-ragu. Di mana sajapun di dunia ini tentu ada yang


tidak memuaskan. Oleh karena jiwa kecil, mereka harapkanlah pertolongan


orang dari luar untuk menghabiskan yang tidak memuaskannya itu, padahal


pertolongan yang diharapkannya itu harus dibelinya dengn membayar kemer￾dekaan negerinya, berganti dengan penjajahan. Kalau musuh telah masuk,


negeri itu jadi jajahan bangsa dan bangsa itu jadi budak. Dan orang-orang yang


mengadu kepada musuh itu, senongloh hidupnya, karena di antara budak￾budak itu hanya mereka yang dikalungi dengan rantai emas.Darisebab itulah maka Tuhan memperingatkan sifat-sifatNya, yaitu men￾dengar segala buah tutur dan percakapan hambaNya; tutur jujur atau tutur


lacui atau cabul. Mengetahui akan gerak-gerik kita serta segala rencana yang


kita perbuat, rencana yang baik ataupun rencana yang jahat.


Berperang menegakkan jalan Allah, niscaya menghendaki pengorbanan.


Kalau musuh telah misuk ke dalam negeri atau telah tumbuh didalam negeri,


semua orang menjadi lardhu'ain turut berperang, masing-masing berperang


menurut ba[at dan bidangnya; berkorban dan memberi. Memberikan harta


dan jiwa, bahkan memberikan anak yang dicintai, biar teu,ras di medan perqng.


Maka datanglah rayuan Tuhan untuk menggerak hati orang-orang yang ber￾iman:


"siapakah dia, yang sudi meminjami Allah dengan piniaman yangbaik?


Supoyo Dia gandakan untuknya dengan penggandaan yangbanyak? Dan


Allah menahan-nahan dan meluas-lebarkan? Dan kepadaNyoloh kamu se￾kalian akan kembali." (ayat 245).


Pengorbanan untuk menegakkan yang hak tidakah akan sia-sia. Namun


Tuhan, karena cinta-kasihNya kepada hambaNya yang beriman, mengatakan


bahwa Dia meminjam. Alangkah terharunya orang mu'min mendengar kata


Tuhan ini, harta siapa yang dipinjam Tuhan, padahal kekayaan yang ada pada


kita, Dialah yang meminjamkan kepada kita untuk sementara? Hati yang


beriman pasti tergetar mendengar sabda Tuhan ini. Tidak ada yang akan


ditahannya lagi kalau kehendak Allah datang supaya dibelanjakan. DanTuhan￾pun berjanji akan menggantinya berlipatganda. Kadang-kadang hartabenda


dikeluarkan, sedang gantinya ialah kemerdekaan ummat, tegaknya agama dan


berjalannya kebenaran Tuhan di muka bumi.


Di dalam ayat ini Tuhanpun mengakui bahwa tingkat hidup manusia tidak


sama, karena Tuhanpun memberikan tidak sama. "Allah menahan-nahan


sehingga setengah orang kecil penghasilannya, miskin hidupnya. Namun ke￾sempitan berbuat baik terbuka buat kedua belah pihak. Dan setengah orang


dilebar-luaskanrezeki untuk dia. Yang menjadi kaya raya. Namun kesempatan


berbuat baik terbuka buat kedua pihaknya. Yang ada harta korbankanlah


harta, pirijamilah Allah dengan harta. Yang ada tenagapun demikian pula.


Bahkan kadang-kadang, ahli-ahli fikir yang membangkitkan semangat per￾juangan ummat kebanyakan bukanlah orang kaya, hidupnya sederhana saja


atau-miskin, tetapi tenaga fikirannya diberikannya sebagai pepatah setengah


orang: "Aku ini hanya kuli pengangkut batu buat mendirikan bangunan besar."


Mes*pun diahanya kuli pengangkut batu, tetapi rumah itu tidak akan berdiri


kalau iidak ada yang mengangkat batu! Semuanya penting, dan semuanya akan


kembali kepada Allah buat menerima pembayaran berganda dariTuhan, untuk


jasanya meminjami Tuhan menegakkan jalan Tuhan.


Demikianlah penemuan kita tentang tafsir ayat ini bilamana kita baca


langsung didalam al-Quran. Tetapi apabila kita baca kembali kepada beberapa


kitab tafsir, bertemulah beberapa riwayat Israiliyat tentang ayat243 diatas tadi,


yaitu orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka beribu-ribu


banyaknya karena takut mati, mereka disuruh matioleh Tuhan. Setelah mati


dihidupkan kembali.Kata satu'di antara riwayat itu, adalah satu kampung, di sana menular


penyakit kolera. Karena takut matidisapu kolera, beribu-ribubanyaknyaorang


lari, dan yang tidak lari memang banyak yang mati. Dan yang masih hidup


ditimpalah oleh penyakit dan berbagai macam bencana. Setelah serangan


penyakit itu mereda dgn hilang, orang-orang yang lari tadi pulang kembali


dengan selamatnya. Maka berkatalah sisa-sisa yang tinggalmenanggung penya￾kit tadi: "Kawan-kawan kita itu selamat, kita celaka begininasib kita, meskipun


hidup namun badan sudah sengsara. Kalau terladilagibahaya penyakit ta'un ini


kita akan keluar pula, supaya selamat." Rupanya memang terjadilah serangan


kolera yang kedua kali, maka larilah mereka 30,000 orang banyaknya. Setelah


mereka keluar dari lembah itu, kedengaranlah suara Malaikat dari sebelah


bawah lembah itu dan kedengaran lagidarisebelah atas, menyerukan: "Matilah


kamu semuanya!" Merekapun mati semuanya mendengar suara itu, sehingga


hancurlah tubuh mereka. Maka lalulah di tempat itu seorang Nabi bernama


Hazqial (Hezekiel), terlihatlah olehnya timbunan bangkaiitu dan terfikirlah dia


akan begitu besar kekuasaan Allah. Maka datanglah wahyu Tuhan kepadanya


"KekuasaanKu menghidupkan mereka kembali?" Nabi itu menjawab: "Me￾mang, ya Tuhan!" Maka kedengaranlah suara: "Hai sekalian tulang-tulang!


Tuhan memerintahkan kamu berkumpul kembali." Tiba-tiba beterbanganlah


tulang-tulang itu di udara, berkumpul mencari pasangan-pasangan masing￾masing, sehingga tersusun. Lalu kedengaran pula suara: "Allah menyuruh


kamu berdiri!" Maka berdirilah semuanya. Sefelah semuanya hidup kembali


maka serentaklah mereka memuji Allah: "Amat Suci Engkau ya Allah ya Tuhan


kami, kami puji Engkau, tidak ada Tuhan melainkan Engkau." Setelah itu


merekapun kembalilah ke kampung masing-masing. Diwajah mereka masing￾masing tetap terlukis tanda bekas mati itu. Setelah beberapa lama kemudian


merekapun matilah menurut ajal masing-masing.


Dari mana sumber cerita ini? Ialah dari seorang yang bernama Muhammad


bin Marwan orang Kaufah, yang disebut juga gelarnya as-Suddi (bukan Ismail


as-Suddi, seorang tabi'in yang riwayatnya dipercayai Imam Ahmad, tetapi


didhaifkan oleh Ibnu Mu'in). Muhammad bin Marwan ini terkenal sebagai


seorang penafsir yang banyak cerita bohongnya.


Sengaja kita salinkan satu di antara cerita semacam ini, karena ada lagi