Iman katolik 6

 


menyampaikan komentar pembukaan lainnya 

kepada orang asing ini yang tidak dicatat oleh Lukas dalam 

kitab Kisah para Rasul. Namun begitu, Filipus digambarkan 

sebagai orang yang ”membuka mulutnya” setelah ia bicara

panjang lebar kepada sida-sida itu, dan memberitakan kepada 

dia kabar baik tentang Yesus. 

Dalam pasal sepuluh kitab Kisah Para Rasul, Lukas men￾catat Petrus mengunjungi rumah seorang non-Yahudi bernama 

Kornelius. Setelah dipanggil oleh Roh Allah (10:19-20) untuk 

pergi ke kota Kornelius (yaitu, Kaisarea), Petrus berangkat

pada hari berikutnya. Setelah kedatangannya, Petrus bicara 

kepada Kornelius tentang beberapa hal (Kisah 10:25-29). Ia 

yang pertama menegur Kornelius karena menyembah dia, 

dengan mengatakan, “Bangunlah, aku hanya manusia saja” 

(10:26). Ia melanjutkan bicara dengan dia tentang hal-hal lain 

yang tidak disebutkan secara spesifik dalam teks itu (10:27). 

Lalu ia mengungkapkan kepada Kornelius dan orang seisi ru￾mahnya bahwa Allah telah menunjukkan kepada dia (seorang 

Yahudi) bahwa bangsa-bangsa lain tidak boleh lagi dianggap 

najis. Setelah beberapa menit (atau bahkan mungkin beberapa 

jam) percakapan antara Petrus dan Kornelius (10:24-33), Lukas 

lalu menulis bahwa “Petrus membuka mulutnya” (10:34) dan 

menyampaikan pembelaan tentang Kristus dan iman Kristen.

Sudahkah mulut Petrus “terbuka” sebelum waktu ini? Sudah. 

Sudahkah ia bicara dengan Kornelius tentang beberapa hal?

Pastinya sudah. Sekarang Petrus benar-benar mulai bicara. Ia 

sudah bicara sejak tadi, tapi sekarang ia ”membuka mulutnya.” 

Sekarang ia memberitakan Injil Kristus. Dalam menyurati gereja di Korintus, Paulus pernah ber￾komentar: “Mulut kami terbuka bagimu, hai orang Korin￾tus” (2Korintus 6:11, ASV, huruf tebal ditambahkan). Pernya￾taan ini jelas membawa makna lebih daripada sekadar, ”Paulus 

bicara kepada gereja Korintus.” Beberapa versi modern terten￾tu menerjemahkan ayat ini dengan menggunakan kata-kata se￾perti ”Secara terbuka” (NKJV) atau “secara bebas” (NIV) untuk 

menggambarkan bagaimana Paulus dan Timotius bicara kepa￾da jemaat Korintus. Ketimbang menekan berbagai kebenaran 

yang bisa bermanfaat bagi gereja di Korintus (bdk. 2Korintus 

4:2-3), mereka bicara secara terbuka dan tanpa menahan diri.

Mereka dengan terus-terang memuji diri sendiri dan pelayan￾an mereka kepada gereja Korintus agar gereja itu mau meneri￾ma pesan mereka (bdk. 2Korintus 6:1-2; lihat Jamieson, et al., 

1997). Ini adalah cara Paulus menggunakan frasa “membuka 

mulut.”

Ketika nabi Yesaya menulis bahwa Hamba yang mender￾ita itu “tidak membuka mulutnya” selagi ditindas dan disiksa 

(Yesaya 53:7), ia tidak bermaksud bahwa Yesus tidak pernah 

mengucapkan sepatah kata sejak Ia ditangkap di taman itu 

sampai kematian-Nya di kayu salib. Pemikiran di balik ungkap￾an ini adalah bahwa Yesus tidak akan bicara dengan bebas

dan secara total membela diri-Nya. Meski Yesus dapat meres￾pons para penuduh-Nya dengan “mulut terbuka“dengan mem￾berikan pembelaan yang kuat dan panjang-lebar atas ketidak￾bersalahan-Nya (mirip dengan bagaimana Filipus, Petrus, dan 

Paulus bersaksi tentang Kristus dan pelayanan mereka sendiri 

dengan ”mulut yang terbuka”), Yesus memilih untuk menahan 

diri di hadapan para penuduh dan penyiksa-Nya. Ketimbang 

memanggil dua belas legiun malaikat untuk berperang mem￾bela Dia (bdk. Matius 26:53), Yesus dengan rendah hati tunduk 

kepada musuh-musuh-Nya. Ketimbang melakukan beberapa mujizat khusus di hadapan Herodes agar Ia dibebaskan (bdk. 

Lukas 23:8), dan ketimbang membutakan mata imam besar 

dalam upaya untuk meyakinkan Sanhredrin bahwa Ia benar￾benar adalah Anak Allah, Yesus menekan kuasa-Nya itu. Ku￾rang dari dua puluh empat jam sebelumnya, Yesus telah me￾mulihkan daun telinga Malkhus yang putus, namun Yesus 

tidak berbuat apa pun untuk meringankan penderitaan-Nya

sendiri selama pengadilan dan penyaliban-Nya—bahkan Ia 

tidak menyebutkan mujizat itu untuk membela keilahian-Nya. 

Dengan mengingat apa yang Kristus dapat lakukan terhadap 

para penuduh-Nya dan pembelaan lisan apa yang Ia sudah da￾pat berikan di hadapan mereka atas nama-Nya sendiri, ketun￾dukan pasif Kristus di hadapan mereka adalah luar biasa.

Sesungguhnya, “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas de￾ngan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, 

tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi de￾ngan adil“ (1Petrus 2:23). 

Bernubuat bahwa Hamba Yang Menderita “tidak mem￾buka mulut-Nya,“ adalah sama dengan menggunakan ungkap￾an hiperbolik yang berarti bahwa Yesus menahan diri untuk 

tidak memberikan pembelaan hukum yang lengkap atas 

nama-Nya sendiri. Selama sebagian besar kesengsaraan dan 

penindasan-Nya Ia sepenuhnya diam (bdk. Matius 26:62-63; 

27:12-14). Di lain kesempatan Ia hanya bicara beberapa kata—

tidak satu pun yang nyaris sebagai semacam pembelaan yang 

sebenarnya dapat Ia ketengahkan atas nama-Nya sendiri sean￾dainya Ia sedang berusaha untuk menghindari penganiaya￾an dan penyaliban.

 

Apakah Yesus Dapat Dipercaya?

Ketika Kristus bicara kepada sekelompok orang Yahudi 

yang memusuhi Dia di Yerusalem tentang Allah Bapa, dan kesetaraan-Nya dengan Dia (Yohanes 5:17-30; bdk. 10:30), Ia 

membela keilahan-Nya dengan menunjuk kepada beberapa 

saksi, termasuk Yohanes Pembaptis, Bapa di sorga, dan Kitab 

Suci (5:33-47). Satu pernyataan yang telah membingungkan 

beberapa pembaca Alkitab tentang pembelaan Yesus mengenai 

keilahan-Nya ditemukan dalam Yohanes 5:31. Yesus memulai 

bagian khotbah-Nya ini dengan mengatakan, “Kalau Aku ber￾saksi tentang diri-Ku sendiri, maka kesaksian-Ku itu tidak 

benar” (huruf tebal ditambahkan). Menurut banyak pengkritik 

Alkitab, pernya-taan ini secara terang-terangan bertentangan 

dengan pernyataan berikut ini yang Ia buat pada kesempatan 

lain ketika bicara dengan orang-orang Farisi. Ia berkata: “Biar￾pun Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, namun kesaksian￾Ku itu benar”(Yohanes 8:14, huruf tebal ditambahkan). Bagai￾mana bisa Ia mengatakan bahwa kedua kesaksian-Nya itu 

adalah benar, dan juga tidak benar, tanpa berbohong? 

Perhatikanlah ilustrasi berikut. Seorang yang tidak bersa￾lah pada pengadilan pembunuhan dinilai bersalah oleh hakim, 

bahkan setelah menyatakan ia tidak bersalah. (Seseorang telah 

menjebak terdakwa atas pembunuhan itu, dan semua bukti 

yang hakim itu dengar menunjuk kepada terdakwa sebagai 

pelaku.) Saat meninggalkan gedung pengadilan, jika orang 

yang dihukum bersalah itu ditanya oleh seorang jurnalis, “Apa￾kah Anda bersalah?,” dan ia menjawab dengan mengatakan, 

”Jika pengadilan mengatakan saya bersalah, saya bersalah,” 

apakah orang itu berbohong? Meski pernyataan, “Aku ber￾salah,” dan “Aku tidak bersalah,” sama sekali berbeda, namun 

kedua pernyataan itu bisa saja tidak bertentangan, tergantung 

pada waktu dan pengertian di mana kedua pernyataan itu 

diucapkan. Setelah persidangan, terdakwa yang dituduh secara 

salah itu hanya mengulangi keputusan hakim. Ia berkata, “Saya bersalah,” dan itu berarti, “Pengadilan telah memutus￾kan saya bersalah.“

Ketika Yesus mengakui kepada orang Yahudi fakta bah￾wa kesaksian-Nya “tidak benar,” Ia sedang tidak menga￾ku sebagai seorang pembohong. Sebaliknya, Yesus sedang ber￾saksi terhadap hukum yang terkenal pada zaman-Nya. Dalam 

hukum Yunani, Romawi, dan Yahudi, kesaksian seorang saksi 

tidak dapat diterima untuk kasusnya sendiri (Robertson, 1997). 

”Saksi kepada siapa pun harus selalu dilakukan oleh orang 

lain“ (Morris, 1995, p. 287). Hukum Musa menyatakan, “Satu 

orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai 

perkara kesalahan apapun atau dosa apapun yang mungkin 

dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi 

perkara itu tidak disangsikan“ (Ulangan 19:15; bdk. Matius 

18:15-17). Orang-orang Farisi memahami dengan baik hukum 

ini, seperti yang dibuktikan dengan pernyataan mereka kepada 

Yesus: “Engkau bersaksi tentang diri-Mu, kesaksian-Mu tidak 

benar“ (Yohanes 8:13). Dalam Yohanes 5:31, “Yesus menunjuk 

kepada ketidakmungkinan bagi kesaksian siapa saja untuk 

diterima atas dasar perkataannya sendiri.… Ia sedang mene￾gaskan bahwa jika diri-Nya sendiri harus bersaksi untuk diri￾Nya sendiri, maka hal itu akan membuat kesaksian-Nya tidak 

benar“ di pengadilan (Morris, p. 287). Jika Yesus tidak punya 

bukti dalam pengadilan tentang keilahan-Nya selain daripada 

kesaksian-Nya sendiri tentang diri-Nya, maka kesaksian-Nya 

itu akan menjadi tidak meyakinkan dan tidak dapat diteri￾ma. Yesus mengerti bahwa para pendengarnya berhak untuk 

mengharapkan lebih banyak bukti daripada sekedar perkata￾an-Nya. Mirip dengan ilustrasi di atas di mana orang yang 

tidak bersalah menerima vonis bersalah dari hakim sebagai 

keputusan tetap, Yesus berkata, “Kesaksian-Ku itu tidak benar,”

dan itu berarti bahwa, sesuai dengan hukum, kesaksian-Nya sendiri yang tidak didukung oleh saksi-saksi lain akan diang￾gap tidak sah (atau tidak cukup untuk menegakkan kebenar￾an). 

Tetapi mengapa belakangan Yesus berkata kepada orang￾orang Farisi bahwa “kesaksian[-Nya] itu benar” (Yoh 8:14)?

Perbedaannya adalah bahwa, dalam contoh ini, Yesus sedang 

menekankan fakta bahwa kata-katanya adalah benar. Bahkan 

jika pengadilan meminta dua orang saksi untuk menegakkan 

suatu fakta (hukum yang Yesus ucapkan dalam ayat 17), hu￾kum itu tidak menghilangkan fakta bahwa Yesus sedang menga￾takan kebenaran, sebagaimana itu juga tidak menghilangkan 

fakta bahwa orang yang didakwa dengan salah yang dising￾gung di atas sedang mengatakan kebenaran selama persidang￾annya. Yesus menyatakan kesaksian-Nya sebagai benar karena 

alasan sederhana bahwa kesaksian-Nya itu mengungkapkan 

fakta sebenarnya tentang Diri-Nya (Lenski, 1961b, p. 599). Ia 

lalu menyusulkan kebenaran ini dengan fakta bahwa ada saksi 

lain—Bapa di sorga yang mengirim Dia ke Bumi (8:16-18). 

Jadi, dalam kenyataannya, kesaksian-Nya itu benar dalam dua 

pengertian: (1) itu benar karena memang faktual; dan (2) 

itu adalah sah karena dikuatkan oleh saksi kedua yang tidak 

dapat disangkal—Bapa. 

Allah Bapa (Yohanes 8:18; 5:37-38), bersama dengan Yo￾hanes Pembaptis (Yohanes 5:33), tanda-tanda mujizatiah oleh 

Yesus (5:36), Kitab Suci (5:39), dan khususnya tulisan-tulisan 

Musa (5:46), semuanya mengautentikasi kebenaran pernyata￾an Yesus tentang keilahan-Nya. Sayangnya, banyak pende￾ngar-Nya menolak bukti itu, sebagaimana juga ditolak oleh 

orang-orang zaman kini.Apakah Yesus Mengabaikan Perintah Keempat?

Seperti halnya banyak pengecam kehidupan Kristus se￾karang ini, orang-orang Farisi abad pertama tentu tidak meng￾anggap Anak Allah tanpa cela. Setelah Yesus memberi makan 

empat ribu orang, orang-orang Farisi datang “mencobai” Dia, 

meminta Dia untuk menunjukkan kepada mereka tanda dari 

sorga (Matius 16:1). Belakangan dalam kitab Matius (19:3 dst.), 

penulis itu mencatat bagaimana “datanglah [juga]orang-orang 

Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: 

‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan 

alasan apa saja?’” Tujuan mereka pada kesempatan ini, seperti 

pada banyak kesempatan lainnya, untuk menjerat Yesus de￾ngan mengajukan pertanyaan yang berpotensi menjebak dia—

yang, jika dijawab dengan cara yang sudah diantisipasi oleh 

orang-orang Farisi itu, bisa mendatangkan murka Herodes 

Antipas ke atas Yesus (bdk. Matius 14:1-12; Markus 6:14-29) 

dan/atau ke atas sebagian sesama orang Yahudi (misalnya, 

sekolah Hillel, atau sekolah Shammai). Kali ketiga orang-orang 

Farisi berusaha untuk ”menjerat Yesus dalam ucapan-Nya” 

(Matius 22:15; NKJV) adalah ketika mereka bertanya, “Apakah 

diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” 

(22:17). Orang-orang Farisi yang iri hati dan munafik itu sangat 

giat dalam upaya mereka untuk menghancurkan pengaruh 

Tuhan, sehingga pada satu kesempatan mereka bahkan menu￾duh para murid Yesus melanggar hukum Taurat sewaktu 

mereka “berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid￾murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya“ (Matius 

12:1 dst.). [CATATAN : “Pengetahuan mereka atas peristiwa 

sepele itu menunjukkan betapa cermatnya mereka mengamati 

semua perbuatan-Nya” (Coffman, 1984, p. 165). Pemeriksaan 

skala mikroskopis atas kehidupan Yesus itu kemungkinan bah￾kan lebih kejam lagi daripada apa yang dialami beberapa selebritis” zaman kini. Dalam satu pengertian, orang-orang 

Farisi itu dapat dianggap sebagai “paparazzi” zaman Yesus.] 

Berdasarkan dugaan, apa yang Yesus izinkan untuk murid-mu￾rid-Nya lakukan pada hari Sabat khusus ini dianggap seba￾gai ”bekerja,” yang dilarang oleh Hukum Musa (Matius 12:2;

bdk. Keluaran 20:9-10; 34:21). 

Yesus merespons kecaman orang-orang Farisi itu dengan 

memberikan kebenaran tentang masalah itu, dan pada saat 

yang sama mengungkapkan kemunafikan orang-orang Farisi 

itu. Seperti sudah menjadi kebiasaan bagi Yesus ketika sedang 

diuji oleh musuh-musuh-Nya (bdk. Matius 12:11-12; 15:3; 

21:24-25; dll.), Ia merespons tuduhan orang-orang Farisi itu 

dengan dua pertanyaan.Pertama, Ia bertanya, “Tidakkah kamu 

baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang 

mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah 

Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak 

boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang me￾ngikutinya, kecuali oleh imam-imam?“ (12: 3-4). Yesus meng￾ingatkan orang-orang Farisi itu tentang suatu peristiwa dalam 

kehidupan Daud (dicatat dalam 1Samuel 21:1 dst.), di mana ia 

dan anak buahnya, sambil melarikan diri dari Saul, memakan 

roti sajian, yang hukum ilahi batasi untuk para imam saja 

(Imamat 24:5-9). Beberapa komentator secara salah menyim￾pulkan bahwa Yesus secara tidak langsung menyatakan Daud 

tidak bersalah (sehingga hukum-hukum Allah tunduk kepada 

kebutuhan manusia—bdk. Zerr, 1952, 5:41; Dummelow, 1937, 

p. 666), dan dengan demikian Ia membela tindakan “melanggar 

hukum” para murid-Nya dengan alasan yang sama. Sebenar￾nya, bagaimanapun, yang terjadi justru sebaliknya. Yesus seca￾ra eksplisit menyatakan bahwa apa yang Daud lakukan adalah 

salah (“melanggar hukum”—12:4), dan apa yang para murid￾Nya lakukan adalah benar—mereka itu ”tidak bersalah” (12:7).Selanjutnya, seperti yang J. W. McGarvey ulas: ”Jika orang 

Kristen boleh melanggar hukum ketika ketaatan terhadapnya

akan melibatkan kesulitan atau penderitaan, maka di sanalah 

berakhir penderitaan untuk nama Kristus, dan berakhirnya 

penyangkalan diri“ (1875, p. 104). Para murid itu tidak diizin￾kan oleh Yesus untuk melanggar hukum pada kesempatan 

ini (atau lainnya) hanya karena hukum itu tidak nyaman (bdk. 

Matius 5:17-19). Orang-orang Farisi itu semata salah dalam 

tuduhan mereka. Seperti juga banyak musuh Yesus sekarang 

ini, “Orang-orang Farisi itu keluar untuk ‘mencari kesalahan’ 

Yesus; dan tuduhan apa saja lebih baik daripada tidak sama 

sekali“ (Coffman, 1984, p. 165). Satu-satunya “hukum” yang 

murid-murid Yesus itu langgar adalah penafsiran hukum 

orang-orang Farisi (yang bagi beberapa orang Farisi lebih sa￾kral daripada hukum Taurat itu sendiri). Dalam merespons

hiperlegalisme seperti itu, Burton Coffman dengan tegas me￾nyatakan, “Menurut pandangan orang-orang Farisi, para mu￾rid itu bersalah karena mengirik gandum! Sikap pamer ilmu, 

nyinyir, dan membesar-besarkan hal-hal sepele seperti itu 

juga akan membuat mereka bersalah karena mengairi tanah, 

jika mereka punya kesempatan menjatuhkan beberapa tetes 

embun saat melewati ladang itu! “(p. 165, huruf tebal ditam￾bahkan). 

Yesus menggunakan instruksi dari 1 Samuel 21 untuk 

membuat orang-orang Farisi itu menyadari ketidaktulusan 

mereka, dan untuk melepaskan murid-muridnya. Daud, orang 

yang tentangnya orang Yahudi selalu bangga, secara terang￾terangan melanggar hukum Allah dengan memakan roti sajian, 

tetapi orang-orang Farisi membenarkan dia. Di sisi lain, murid￾murid Yesus hanya memetik beberapa gandum pada hari Sabat 

sambil berjalan melewati sebuah ladang—suatu tindakan yang 

diizinkan oleh hukum Taurat—namun orang-orang Farisi itu menyalahkan mereka. Andaikan orang-orang Farisi itu tidak 

mendukung perilaku Daud, mereka dapat menjawab dengan 

mengatakan, ”Kalian menghakimi diri kalian sendiri saja. Kali￾an semua adalah orang berdosa.“ Reaksi mereka terhadap per￾tanyaan Yesus—diam saja—adalah reaksi orang-orang muna￾fik yang telah ditelanjangi.

Yesus lalu mengajukan pertanyaan kedua, dengan menga￾takan, “Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa 

pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di 

dalam Bait Allah, namun tidak bersalah?“ (Matius 12:5). Di sini, 

Yesus ingin orang-orang Farisi itu mengetahui bahwa bahkan 

hukum Taurat itu sendiri memaafkan beberapa pekerjaan 

pada hari Sabat. Meski orang-orang Farisi itu bertindak seolah￾olah semua pekerjaan dilarang pada hari Sabat, namun sebe￾narnya hari Sabat adalah hari tersibuk bagi para imam. 

Mereka memanggang dan mengganti roti sajian; 

mereka mengadakan korban-korban sabat (Bil. 

xxviii. 9), dan dua domba disembelih pada hari 

Sabat sebagai tambahan bagi korban harian. Ini 

melibatkan [tugas] menyembelih, menguliti, dan

membersihkan hewan-hewan itu, dan menyalakan 

api untuk membakar habis korban itu. Mereka juga 

menghias kandil emas, membakar ukupan, dan 

melakukan tugas-tugas lain (McGarvey, nd, The 

Fourfold…, p. 211-212). 

 

Salah satu dari “tugas-tugas lain” itu adalah menyu￾nat bayi muda laki-laki ketika usia delapan hari anak itu jatuh 

pada hari Sabat (Imamat 12:3; Yohanes 7:22-23). Tujuan Yesus 

mengutip “pelanggaran” pekerjaan iman ini adalah untuk 

membuktikan bahwa larangan Sabat bukan tanpa pengecua-lian. [ CATATAN: Yesus menggunakan istilah “melanggar,”

bukan karena ada penodaan nyata bait suci oleh para imam 

saat mereka bekerja, tetapi “untuk mengungkapkan apa yang 

benar menurut anggapan keliru orang-orang Farisi tentang 

pekerjaan manual yang dilakukan pada hari Sabat“ (Bullinger, 

1898, p. 676).] Yang benar adalah, hukum Sabat “tidak mela￾rang bekerja sepenuhnya, tetapi [yang dilarang] bekerja un￾tuk keuntungan duniawi. Aktivitas dalam pekerjaan Allah 

adalah diizinkan dan diperintahkan“ (McGarvey, nd, The Four￾fold…, p. 212). Coffman kemudian menyimpulkan: “Sama 

seperti para imam melayani bait suci pada hari Sabat dan tidak 

bersalah, para murid-Nya [Yesus— KB/EL] boleh juga mela￾yani Kristus, Bait Suci Yang Lebih Mulia, tanpa menimbulkan 

kesalahan” (1984, p. 167). Sama seperti para imam yang mela￾yani Allah di dalam bait suci pada hari Sabat sepenuhnya ada 

dalam hukum Taurat, demikian juga dengan murid-murid 

Yesus ketika mereka melayani “Tuhan atas hari Sabat “(Matius 

12:8), yang kekudusan-Nya lebih besar dari pada bait suci itu 

sendiri (12:6).

 

Apakah Yesus Melanggar Perintah Kelima?

Pertimbangkanlah ibu yang menyuruh anaknya untuk 

melakukan sesuatu bagi seorang tetangga, dan anaknya itu 

merespons ibu itu dengan mengatakan, “Perempuan, apakah 

hubungannya hal itu dengan diriku?“ Merespons permintaan 

seorang ibu (atau perempuan mana saja) di Amerika/Indonesia 

abad kedua puluh satu dengan perkataan, ”Perempuan…,” 

terdengar tidak sopan dan menyinggung perasaan. Selanjut￾nya, orang Kristen, yang diperintahkan untuk menghormati

ayah dan ibunya (Efesus 6:2), akan dianggap tidak sopan dalam 

sebagian besar situasi ketika menggunakan ungkapan seperti 

itu ketika bicara langsung dengan ibunya.Dengan mengingat penggunaan kata kasar “perempu￾an” dalam konteks tertentu sekarang ini, beberapa orang mem￾pertanyakan bagaimana Yesus telah dapat bicara kepada ibu￾Nya 2.000 tahun yang lalu dengan menggunakan istilah 

ini tanpa melanggar perintah untuk “hormatilah ayahmu dan 

ibumu“(Keluaran 20:12; bdk. Matius 15:4; Matius 5:17-20). 

Ketika Yesus, para murid-Nya, dan ibunya hadir di pesta per￾nikahan di Kana Galilea di mana persediaan anggur menipis, 

Maria berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur” (Yo￾hanes 2:3). Yesus lalu merespons ibu-Nya, dengan berkata, 

“Perempuan, apakah hubungannya kekhawatiranmu dengan 

diri-Ku? WaktuKu belum tiba“ (Yohanes 2:4). Perhatikanlah 

apa yang seorang skeptis tulis mengenai apa yang Yesus kata￾kan dalam ayat ini. 

Dalam Mat. 15:4 ia [Yesus—KB/EL ] memberitahu 

orang banyak untuk ”Hormatilah ayahmu dan ibu￾mu”; namun, ia adalah orang yang pertama kali 

mengabaikan ajarannya sendiri dengan mengata￾kan kepada ibunya dalam Yohanes 4:24, “Perem￾puan, apakah hubungannya diriku dengan eng￾kau?“ (McKinsey, 1995, p. 44).

Bayangkanlah seseorang bicara kepada ibunya 

sendiri dengan sikap tidak sopan seperti itu dan 

menyapa dia dengan kata benda seperti ‘perempu￾an.’ Simaklah keturunan yang kurang ajar! (p. 134).

Yesus perlu mempraktikkan sikap hormat kepada 

orang tua ... (McKinsey, 2000, p. 251). Tampaknya kasih Yesus menjauh dari dia 

(McKinsey, n.d. “Jesus...”). 

Mengapakah Yesus tidak menghormati ibunya?

Dalam Yohanes 2:4, Yesus menggunakan kata-kata 

yang sama kepada ibunya yang roh-roh jahat gu￾nakan ketika mereka bertemu Yesus. Tentunya 

anak Allah tahu bahwa Maria memiliki berkat dari 

Bapa, bukankah begitu, (dan ia adalah bunda 

Tuhan—Ed.) belum lagi fakta bahwa anak Allah 

tidak akan pernah bersikap kasar? (Mc-Kinsey, n.d., 

“Problems…,” komentar dalam tanda kurung dari 

aslinya). 

 

Seperti yang orang dapat lihat, Mr. McKinsey berkeras bahwa 

Yesus salah. Ia menggunakan kata-kata seperti itu untuk meng￾gambarkan Yesus sebagai orang yang tidak sopan, kurang ajar, 

tidak pengasih, dan kasar. Apakah pendapatnya itu benar? 

Sebagaimana dengan sebagian besar pengecam Kristus, 

Mr. McKinsey juga bersalah karena menilai kata-kata Yesus 

dengan apa yang umum dalam bahasa Inggris abad kedua 

puluh satu, daripada menempatkan komentar Yesus itu dalam 

latar belakang yang benar abad pertama. Seseorang di abad 

pertama yang bicara dengan seorang perempuan dengan ber￾kata, “Perempuan (gunai).…“ adalah tidak kasar atau bukan￾nya tidak patut.” Ini ”adalah cara sapaan yang sangat hormat 

dan penuh kasih“ (Vincent, 1997), ”tanpa pikiran mencela“ 

(Robertson, 1932, 5:34). Alkitab New Internasional Version 

dengan benar menangkap arti kata dalam Yohanes 2:4: “Perem￾puan yang kekasih, mengapa kamu melibatkan Aku?“ (huruf 

tebal ditambahkan). Yesus menggunakan kata ini ketika me￾muji iman hebat perempuan Kanaan (Matius 15:28), ketika de-ngan penuh kasih menyapa Maria Magdalena setelah kebang￾kitan-Nya (Yohanes 20:15), dan ketika bicara kepada ibu-Nya 

yang bersedih untuk terakhir kali dari kayu salib (Yohanes 

19:26). Paulus menggunakan kata yang sama ini ketika bicara 

dengan kaum perempuan Kristen (1Korintus 7:16). Seperti 

yang Adam Clarke tulis: “[P]astinya tidak ada jenis sikap tidak 

hormat yang dimaksudkan, tetapi, sebaliknya, kemenurutan, 

keramahan, kelembutan, dan kepedulian, dan dalam penger￾tian ini digunakan dalam pelbagai penulis terbaik Yunani“

(1996). 

Mengenai alasan Yesus menggunakan istilah “perempu￾an” (gunai) sebagai ganti ”ibu” (meetros) ketika bicara dengan 

Maria (yang bahkan dalam budaya Ibrani dan Yunani abad 

pertama merupakan cara yang tidak biasa untuk menyapa se￾orang ibu), Leon Morris menulis bahwa Yesus kemungkinan 

besar sedang menunjukkan

 

bahwa ada hubungan baru di antara mereka ketika 

ia memasuki pelayanan umumnya.… Tampaknya 

Maria menganggap hubungan akrab rumah tangga 

di Nazareth masih berlaku. Namun Yesus dalam 

pelayanan umum-Nya tidak hanya atau terutama￾nya sebagai anak Maria, tetapi sebagai “Anak Ma￾nusia” yang akan membawa kenyataan sorga kepa￾da manusia di bumi (1:51). Hubungan baru telah 

ditetapkan (1995, p. 159). 

 

R.C.H. Lenski menambahkan: “[M]eski Maria akan selamanya 

tetap menjadi ibunya [Yesus—KB/EL ], dalam panggilannya 

Yesus tidak mengenal ibu atau kerabat duniawi, ia adalah 

Tuhan dan Juruselamat mereka dan juga semua manusia.

Hubungan umum duniawi ditelan dalam keilahian itu“ (1961b, p. 189). Adalah logis untuk menyimpulkan bahwa Yesus hanya 

“memberi tahu” ibu-Nya dengan cara yang penuh kasih bahwa 

ketika Ia mulai melakukan mujizat untuk tujuan membuktikan 

keilahan-Nya dan asal usul ilahiat pesan-Nya, maka hubungan￾Nya dengan ibu-Nya akan berubah. 

Akhirnya, maksud ini juga harus ditekankan bahwa 

menghormati ayah dan ibu tidak berarti seorang anak laki-laki 

atau anak perempuan tidak pernah dapat mengoreksi orang 

tuanya. Koreksi dan kehormatan adalah sama dengan koreksi

dan kasih. Salah satu cara terbaik orang tua mengungkapkan 

kasih mereka kepada anak-anak mereka adalah dengan mengo￾reksi mereka ketika mereka membuat kesalahan (Ibrani 12:6-9; 

Wahyu 3:19). Demikian pula, salah satu cara yang mungkin 

dilakukan oleh anak yang sudah dewasa untuk menghormati 

orang tuanya adalah dengan bicara secara pribadi dengan 

orang tuanya ketika mereka melakukan kesalahan, dan dengan 

penuh kasih menunjukkan kesalahan mereka atau mengawasi 

mereka dalam soal tertentu. Pikirkanlah betapa jauh lebih ter￾hormat tindakan ini daripada tidak mengambil tindakan dan 

membiarkan mereka menempuh jalan salah tanpa memberi 

tahu mereka tentang hal itu. Kita harus ingat bahwa meski 

Maria adalah seorang perempuan hebat yang “beroleh kasih 

karunia di hadapan Allah” (Lukas 1:30), namun ia tidak sem￾purna (bdk. Roma 3:10, 23). Ia bukan Allah, juga bukan ”bunda 

Allah” (yaitu, ia bukan sumber Yesus atau yang mewujudkan 

Dia). Tapi, ia adalah orang yang dipilih untuk mengandung 

Anak Allah di dalam rahimnya. Siapakah yang lebih baik un￾tuk memperbaiki kesalahpahaman yang mungkin ia miliki

selain daripada Anak ini? Apakah Yesus Tidak Mengetahui Perjanjian Lama?

Ketika Yesus bicara kepada Nikodemus tentang perlunya 

“dilahirkan kembali” (Yohanes 3:1-8), Ia juga berusaha menge￾sankan di benak penguasa Yahudi ini bahwa kata-kata-Nya 

berasal dari atas. Yesus bicara tentang hal-hal rohani yang tak 

seorang pun tahu (Matius 13:35; bdk. 7:28-29; Lukas 2:47). Salah 

satu alasan yang Yesus berikan untuk dapat menjelaskan 

kebenaran rohani semacam itu ditemukan dalam Yohanes 3:13.

Di sini, rasul Yohanes menulis bahwa Yesus berkata kepada

Nikodemus, “Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga, 

selain daripada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak 

Manusia“ (Yohanes 3:13). Menurut orang skeptis, pernyataan 

Yesus ini sangat cacat. Karena Perjanjian Lama mengungkap￾kan bahwa Elia luput dari kematian jasmani dan “naik … ke 

sorga dalam angin badai” (2Raja 2:11; bdk. Kejadian 5:24; Ibrani 

11:5), maka diduga Yesus tidak dapat dengan jujur memberi￾tahu Nikodemus, “Tidak ada seorangpun yang telah naik ke 

sorga,” Apakah orang skeptis itu benar? 

Agar pernyataan Yesus bertentangan dengan apa yang 

Perjanjian Lama katakan tentang Elia, orang harus pertama kali 

mengandaikan bahwa Yesus sedang mengacu kepada tempat 

yang persis sama yang ke tempat itu Elia naik. Dapatkah orang 

skeptis itu memastikan bahwa ”sorga” yang Yesus acukan ada￾lah sorga yang sama yang ke tempat itu Elia naik? Kata-kata 

“heaven [sorga]” atau “heavens [langit]” muncul dalam Alkitab 

bahasa Inggris sebanyak 700 kali. Namun begitu, dalam banyak 

nas di mana “heaven(s)” ditemukan, para penulis terilham tidak 

sedang membahas sorga spiritual yang paling sering kita kait￾kan dengan kata itu. Misalnya, dalam Kejadian 1 dan 2, kata 

Ibrani untuk heaven muncul 15 kali dalam 14 ayat. Namun da￾lam setiap contoh, kata itu mengacu kepada sesuatu di luar 

sorga rohani tempat Allah tinggal. Kata “heaven(s)” (Hebrewshamayim, Greek ouranos ) digunakan oleh para penulis Alkitab 

dalam tiga cara berbeda. Istilah ini digunakan untuk mengacu 

kepada langit atmosfer di mana pesawat terbang, burung￾burung terbang, dan awan berkumpul (Kejadian 1:20; Yeremia 

4:25; Matius 6:26, ASV ). ”Heaven(s)” juga digunakan dalam Al￾kitab ketika mengacu kepada cakrawala di mana kita mene￾mukan Matahari, Bulan, dan bintang-bintang—langit yang 

berisi benda-benda angkasa, atau angkasa luar (Kejadian 1:14-

15; Mazmur 19: 4,6; Yesaya 13:10). ”Heaven” yang ketiga yang 

sering disebutkan dalam Alkitab adalah sorga rohani di mana 

Yehovah berada (Mazmur 2:4; Ibrani 9:24), dan di mana, suatu 

hari nanti, orang yang setia akan hidup selamanya (Wahyu 

21:18-23; Yohanes 14:1-3). Konteks Yohanes 3 dengan jelas me￾nunjukkan bahwa yang dimaksud Yesus adalah sorga spiritual 

tempat Allah berada (bdk. Yohanes 3:27). Nas dalam 2 Raja￾Raja 2:11, bagaimanapun, tidak begitu jelas. Penulis 2 Raja 

dengan mudahnya dapat bermaksud bahwa tubuh Elia secara 

mujizatiah diangkat ke udara, tidak pernah dilihat lagi oleh 

siapa pun di Bumi. Tidak di manapun teks itu menunjukkan 

bahwa ia meninggalkan Bumi pada saat itu untuk tinggal di 

hadirat Allah. Ia pasti pergi ke suatu tempat, tetapi kita tidak 

memiliki bukti bahwa ia dipindahkan ke ruang hadirat sebe￾narnya Allah Yang Mahakuasa berada.

Alkitab menunjukkan hal itu ketika hamba-hamba Allah 

yang setia meninggalkan Bumi ini, roh mereka dibawa untuk 

tinggal di tempat yang disebut firdaus (atau “pangkuan Abra￾ham“—Lukas 16:19-31). Ingatlah ketika Yesus dipakukan di 

kayu salib, dan memberitahu pencuri yang menyesal, “Hari ini 

juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam 

Firdaus“ (Lukas 23:43). Kata firdaus adalah turunan dari kata 

Persia, dan artinya ”taman” atau “kebun.” Ke manakah Yesus 

dan pencuri itu pergi? Tak satu pun dari mereka pergi ke soga untuk tinggal bersama Allah Bapa pada hari itu juga, karena 

dalam Yohanes 20:17 setelah kebangkitan-Nya, Yesus meyakin￾kan Maria bahwa Ia belum pergi kepada Bapa. Jadi ke mana￾kah Yesus dan pencuri itu pergi setelah mati di kayu salib?

Petrus memberi jawaban untuk pertanyaan itu dalam khotbah￾nya dalam Kisah Para Rasul 2 ketika ia mengutip Mazmur 16: 

Kisah Para rasul 2:27 menyatakan bahwa Allah tidak akan 

menyerahkan jiwa Kristus dalam hades, dan juga tidak mem￾biarkan Kristus mengalami kebinasaan. Jadi selagi mayat 

Kristus terbaring di dalam kubur selama tiga hari, roh Kristus 

pergi ke hades. [ CATATAN : Kata hades muncul sepuluh 

kali dalam Perjanjian Baru, dan selalu mengacu kepada dunia 

orang mati yang tak terlihat—alam roh tanpa tubuh di mana 

semua orang mati menunggu kedatangan dan penghakim￾an Tuhan. Salah satu bagian hades, tempat Yesus dan pencuri 

itu pergi, dikenal sebagai firdaus.] Petrus berpendapat bahwa 

Daud, yang menulis Mazmur 16, tidak sedang mengacukan

dirinya sendiri, karena mayat Daud masih berada di dalam 

kubur (Kisah 2:29), dan rohnya masih berada di alam hades

(Kisah 2:34). Kisah Para Rasul 2 menunjukkan bahwa seorang 

hamba Allah yang setia tidak pergi langsung ke tempat Allah

Bapa ketika ia mati; sebaliknya, ia pergi ke tempat penam￾pungan di hades yang dikenal sebagai firdaus—tempat yang 

sama yang Abraham tuju setelah ia mati (Lukas 16:22 dst.), dan 

tempat yang sama di mana roh Elia pergi setelah ia diangkat 

dari Bumi. Singkatnya, Alkitab tidak mengajarkan bahwa Elia 

meninggalkan Bumi untuk segera mulai tinggal di hadirat Bapa 

(di mana Yesus berada sebelum inkarnasi-Nya—Yohanes 1: 1). 

Dengan demikian, secara teknis ia tidak naik ke “tempat” di 

mana Yesus datang.

Demi argumentasi, pertimbangkan sejenak bahwa skep￾tis itu benar, dan bahwa roh Elia tidak pergi ke firdaus, tetapi dibawa untuk tinggal di hadirat Allah. Dapatkah Yesus tetap 

membuat pernyataan yang Ia nyatakan itu, namun tidak salah?

Kita percaya begitu. Perhatikan lagi respons terhadap perta￾nyaan Nikodemus, ”Bagaimanakah mungkin hal itu terjadi?” 

Yesus berkata: “Kamu tidak percaya, waktu Aku berkata-kata 

dengan kamu tentang hal-hal duniawi, bagaimana kamu akan 

percaya, kalau Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal 

sorgawi? Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga, 

selain dari pada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak 

Manusia” (Yohanes 3:12-13, huruf tebal ditambahkan). Bisa jadi 

yang Yesus maksudkan tidak lebih daripada bahwa tidak ada 

seorang pun yang pernah naik ke sorga “dengan perbuatan-nya 

sendiri” atau ”dengan caranya sendiri” (lihat Bullinger, 1898, p. 

281-282). Elia dan Henokh telah diangkat oleh Allah, yang ber￾beda dari naik ke atas secara bebas dengan kemampuannya 

sendiri. Selanjutnya, kata-kata Yesus, “tidak ada seorang pun 

yang pernah naik ke sorga,” juga dapat berarti bahwa tidak ada 

orang yang naik ke sorga untuk kemudian kembali dan bicara 

langsung tentang apa yang ia telah lihat, dan untuk menyebar￾kan pesan keselamatan yang sama seperti yang diberitakan 

Yesus. Yesus sedang menekankan kepada Nikodemus bahwa 

tidak ada seorang pun di Bumi pada waktu itu yang mengung￾kapkan kebenaran rohani seperti yang Kristus ungkapkan, 

karena tidak ada orang yang pernah naik ke sorga hanya untuk 

kembali lagi dan bicara tentang apa yang telah ia lihat dan 

ketahui. Tampaknya itulah yang menjadi poin utama yang 

Yesus buat dalam Yohanes 3:13. Tidak ada satu orang pun di 

Bumi yang sudah melihat apa yang Yesus lihat, dan karenanya 

tidak dapat mengajarkan apa yang Ia ajarkan. 

Sesungguhnya, tuduhan skeptis bahwa Yesus berbo￾hong atau keliru tentang komentar-Nya kepada Nikodemus 

mengenai tidak ada satu orang pun yang pernah naik ke sorga adalah tidak terbukti. Mungkin kata sorga yang digunakan 

dalam 2 Raja-Raja 2:11 tidak dimaksudkan untuk menyam￾paikan gagasan tentang sorga rohani di mana Allah berada. 

Atau, dengan mengingat ajaran Alkitab tentang roh-roh orang 

benar yang telah pergi di tempat penampungan yang dikenal 

sebagai firdaus, dan bukan di hadirat sebenarnya Allah yang 

Mahakuasa, maka bisa jadi yang Yesus maksudkan adalah 

tidak ada orang yang pernah naik ke ruang takhta Allah yang 

dari sana Ia datang. Selanjutnya, juga menarik untuk dicatat 

bahwa Nikodemus, sebagai “orang Farisi” (Yohanes 3:1), dan 

dengan demikian orang yang seharusnya sudah sangat me￾ngenal baik rincian Perjanjian Lama, tidak merespons Yesus

dengan mengatakan, “Tunggu sebentar, Rabi. Bagaimana de￾ngan Elia dan Henokh? Bukankah itu tertulis dalam hukum 

Taurat dan para nabi bahwa mereka naik ke sorga?“ Tentunya, 

seandainya Yesus berkontradiksi dengan sesuatu dalam hu￾kum Taurat dan kitab para nabi, hal itu akan sudah diungkap￾kan kepada Dia, terutama oleh seorang Farisi. Namun begitu, 

rasul Yohanes tidak pernah mencatat pernyataan seperti itu.

Harus diakui, sepintas lalu, pernyataan, “naiklah Elia ke 

sorga dalam angin badai” (2 Raja 2:11) dan “Tidak ada 

seorangpun yang telah naik ke sorga” (Yohanes 3:13), seolah￾olah mungkin terlihat tidak sesuai. Namun begitu, ketika

orang mempertimbangkan semua solusi yang memungkinkan 

terhadap segala tuduhan bahwa Yesus tidak mengetahui ke￾naikan Elia dan Henokh, ia harus mengakui bahwa kesimpulan 

seperti itu tidak dapat dibenarkan. 

 

Apakah Yesus Menyangkal Kesempurnaan Moral?

Menjelang akhir pelayanan duniawi Yesus, seorang pe￾nguasa muda yang kaya (yang tidak disebut namanya) datang

kepada Yesus dengan pertanyaan penting. Ketika ia akhirnya sampai kepada Yesus, pemuda itu dengan rendah hati berlutut 

di hadapan Kristus dan bertanya, “Guru yang baik, apa yang 

harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” 

(Markus 10:17). Sebelum Yesus menjawab pertanyaan laki-laki 

itu, pertama-tama Ia menjawab dengan mengatakan, “Menga￾pa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain 

daripada Allah saja“ (Markus 10:18). Yesus lalu melanjutkan 

untuk menjawab pertanyaan orang kaya itu dengan memerin￾tahkan dia untuk mematuhi semua perintah Allah.

Apakah yang Yesus maksudkan ketika Ia menyatakan 

bahwa “tak seorangpun yang baik selain daripada Allah 

saja”? Apakah pertanyaan Tuhan itu dimaksudkan untuk me￾ngajarkan bahwa tidak ada orang lain selain Allah yang harus

disebut “baik”? Apakah pertanyaanNya (“Mengapa kaukata￾kan Aku baik?”) ditanyakan karena Ia tidak percaya bahwa 

Ia baik dalam pengertian Allah adalah baik? Kaum skeptis

menuduh bahwa Yesus sedang menyangkal kesempurnaan 

moral—bahwa Ia bukan benar-benar Allah dalam daging se￾perti yang telah diklaim oleh banyak orang (bdk. Matius 16:16; 

Yohanes 20:28; dll.). Bagaimanakah kebenaran masalahnya? 

Pertama-tama, Yesus sedang tidak mengajarkan bahwa 

kita tidak akan pernah dapat menggambarkan orang lain de￾ngan menggunakan kata sifat “baik.” Jika demikian, maka ini 

tidak hanya bertentangan dengan pernyataan lain oleh Yesus, 

tetapi juga isi lain Kitab Suci. Pemazmur menyatakan bahwa 

orang yang “menaruh belas kasihan dan yang memberi pin￾jaman” adalah “orang baik ” (Mazmur 112:5; NKJV). Orang 

bijak mengatakan bahwa “Orang baik meninggalkan warisan 

bagi anak cucunya” (Amsal 13:22). Dalam sejarahnya tentang

gereja mula-mula, Lukas menulis bahwa “Barnabas adalah

orang baik ” (Kisah 11:24). Bahkan Yesus menyatakan sebelum 

pertemuan-Nya dengan penguasa muda yang kaya itu bahwa “Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari per￾bendaharaannya yang baik“ (Matius 12:35). Jadi, ketika Yesus 

bicara kepada penguasa kaya itu Ia tidak sedang menggunakan 

kata “baik” dalam pengertian manusia adalah “baik.” Sebalik￾nya, Ia sedang menggunakan itu dalam pengertian Allah ada￾lah “amat baik.” Jenis kebaikan yang Ia sedang acukan hanya 

milik Allah saja.

Kita mengerti bahwa Yesus tidak bermaksud kita harus

menghapus kata “baik” dari semua percakapan kecuali kita 

sedang menggambarkan Allah. Tetapi apakah Kristus sedang 

menyiratkan bahwa Ia bukan Allah atau bahwa Ia tidak 

sempurna secara moral? Tidak. Yesus menunjukkan pada bebe￾rapa kesempatan lain bahwa Ia adalah ilah (lih. Markus 14:62; 

Yohanes 9:36-38; 10:10; dll.), maka pernyataan-Nya yang dicatat 

dalam Markus 10:17-22 (serta dalam Matius 19:16-22 dan Lukas 

18: 18-23) tentu tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan ke￾Allahan-Nya. Selanjutnya, Alkitab menyatakan bahwa Yesus 

tidak pernah berbuat dosa—yaitu, Ia sempurna secara moral. Ia 

“telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15). Yesus 

“tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya” 

(1Petrus 2:22). Dalam percakapan-Nya dengan penguasa kaya, 

Yesus tidak bermaksud untuk menyangkal keilahian, sebalik￾nya Ia sebenarnya sedang menyatakan bahwa Ia adalah Allah 

(dan dengan demikian sempurna secara moral). Yesus hanya 

ingin pemuda ini menghargai pentingnya sebutan yang ia telah 

gunakan, dan untuk menyadarkan dia kepada Siapa ia sedang 

bicara. Singkatnya, kata-kata Kristus itu dapat dialihbahasakan 

demikian: ”Apakah engkau tahu arti kata ini yang engkau 

terapkan kepada-Ku dan yang engkau gunakan dengan bebas?

Tidak ada yang baik kecuali Allah; jika engkau menerapkan 

istilah itu kepada-Ku, dan engkau mengerti apa yang engkau maksudkan, maka engkau menegaskan bahwa Aku adalah 

Allah“ (Foster, 1971, p. 1022). 

 

Apakah Yesus Munafik?

Orang yang memerintahkan seseorang untuk menahan 

diri dari melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak pantas, 

tetapi kemudian mulai melakukan hal yang ia larang untuk 

dilakukan oleh orang lain, dianggap sebagai orang munafik. 

Seorang pengkhotbah yang mengajarkan tentang keberdosaan 

mabuk (bdk. Galatia 5:21), tetapi beberapa saat kemudian 

terlihat sempoyongan di jalan, mabuk alkohol, dapat dituduh 

bersalah atas kemunafikan. Beberapa orang menuduh Yesus 

melakukan pengajaran yang tidak tulus seperti itu. Diduga,

dalam khotbah di mana Ia mengecam orang-orang Farisi atas 

kejahatan mereka (Matius 5:20), Yesus mengungkapkan keber￾dosaan-Nya sendiri dengan cara menyalahkan mereka yang 

menggunakan kata yang terkadang Ia ucapkan. Berdasarkan

larangan penggunaan kata “bodoh” dalam Matius 5:22 (NKJV), 

dan penggunaannya atas kata ini di tempat lain, orang-orang 

skeptis menyatakan bahwa Yesus (yang Alkitab klaim ”tidak 

berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya”—Petrus 

2:22; bdk. 2Korintus 5:21), bersalah atas kemunafikan (lihat 

Morgan, 2003; Wells, 2001). Dalam Matius 5:21-22, Yesus 

menyatakan:

 

Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada 

nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang 

membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata 

kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap sau￾daranya harus dihukum; siapa yang berkata kepa￾da saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahka￾mah Agama dan siapa yang berkata: Jahil [bodoh; NKJV]! harus diserahkan ke dalam neraka yang 

menyala-nyala (Matius 5:21-22, huruf tebal ditam￾bahkan).

 

Sementara dalam nas ini Yesus memperingatkan untuk 

tidak menggunakan kata “bodoh,” dalam pasal-pasal lain Ye￾sus secara terbuka menggunakan istilah ini untuk menggam￾barkan berbagai orang. Di penghujung Khotbah di Bukit, Yesus 

menyamakan orang yang mendengarkan ajaran-Nya, tetapi 

tidak menaatinya, dengan “orang bodoh yang mendirikan ru￾mahnya di atas pasir” (Matius 7:26). Ketika mengajar tentang 

perlunya bersiap diri untuk kedatangan-Nya yang kedua, Ye￾sus membandingkan mereka yang tidak siap bagi kedatangan￾Nya dengan lima gadis yang bodoh (Matius 25:1-12). Lalu, 

ketika Yesus sedang mengecam orang-orang Farisi karena keti￾dakkonsistenan mereka dalam masalah agama, Ia menyatakan, 

“Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: 

Bersumpah demi Bait Suci, sumpah itu tidak sah; tetapi ber￾sumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat. Hai kamu 

orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih 

penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu?” 

(Matius 23:16-17; bdk. 23:18-19). Pertanyaan yang diajukan be￾berapa orang sebagai respons terhadap pernyataan munafik ini 

adalah, “Bagaimana bisa Yesus mengutuk penggunaan kata

‘bodoh’ dalam Matius 5:22, tetapi kemudian Ia sendiri melan￾jutkan penggunaan kata ini pada beberapa kesempatan lain?”

Pertama, agar pernyataan Yesus dalam Matius 5:22 ber￾tentangan dengan tindakan-Nya yang dicatat dalam nas-nas 

lain, orang skeptis harus membuktikan bahwa istilah “bodoh,” 

seperti digunakan dalam 5:22 adalah kata yang sama yang di￾gunakan di tempat lain. Kata Yunani “Raca,” yang digunakan 

sebelumnya dalam Matius 5:22, adalah transliterasi istilah Aram yang arti tepatnya diperdebatkan. [Kemungkinan besar, 

itu berarti “orang kosong yang bertindak sebagai orang bo￾doh” (Lenski, 1961a, p. 219; bdk. juga Robertson, 1930, 1:44).] 

Arti tepat istilah “bodoh” (bahasa Yunani more) dalam konteks 

ini juga diperdebatkan. “Kebanyakan sarjana memahaminya, 

seperti versi Siria kuno, sebagai engkau bodoh” (Bauer, et al., 

1957, p. 533, huruf tebal dari aslinya). Meski beberapa orang 

beranggapan bahwa more adalah kata seru dari kata Yunani

moros, kemungkinan besar, sama seperti “Raca” adalah bukan 

kata Yunani, demikian pula kata more yang Yesus gunakan di 

sini. Jika demikian, maka itu adalah kata yang bagi telinga 

orang Yahudi berarti “memberontak (melawan Allah)” atau 

“murtad”; itu adalah kata yang dalam kegusaran Musa guna￾kan terhadap orang Israel yang tidak merasa puas di padang 

gurun Zin … (Bilangan 20:10). Karena kata-kata kasar ini, yang 

diucapkan di bawah provokasi yang intens itu, Musa tidak da￾pat masuk ke dalam Tanah Perjanjian (Kaiser, et al., 1996, p. 

359). 

Dengan demikian, sangat mungkin bahwa more (diterje￾mahkan “[E]ngkau bodoh” dalam Matius 5:22) bukan kata Yu￾nani normal moros (bodoh) yang Yesus terapkan kepada orang￾orang Farisi pada kesempatan lain (Matius 23:17,19), tetapi 

mewakili kata Ibrani moreh (bdk. Bilangan 20:10). [Untuk alasan 

ini, para penerjemah dari American Standard Version menam￾bahkan catatan pinggir untuk kata ini dalam Matius 5:22: 

“Atau, Moreh, ungkapan kata Ibrani untuk penghukuman.”] 

Jelasnya, jika dua kata yang berbeda itu dipertimbangkan, 

Yesus secara logis tidak dapat dianggap munafik.

Kedua, harus diingat bahwa komentar Yesus dalam Mati￾us 5:22 dibuat dalam konteks di mana Ia mengutuk kemarahan 

yang tidak benar (5:21-26). Meski orang-orang Farisi menghu￾kum pembunuhan, tetapi mereka mengabaikan emosi dan sikapjahat yang kadang-kadang menimbulkan penumpahan darah 

orang tidak bersalah, Yesus mengutuk tindakan dan pikiran 

itu. Alih-alih hanya menangani masalah “luarnya,” Yesus ma￾suk ke dalam inti masalahnya. Sebagai orang yang “tahu apa 

yang ada di dalam hati manusia” (Yohanes 2:25), Yesus lebih 

daripada memenuhi syarat untuk menyatakan hukuman ke 

atas orang-orang Farisi yang munafik (bdk. Yohanes 12:48). 

Sebagaimana kefasikan yang menjadi ciri perbuatan sedekah 

(Matius 6:1-4), doa (6:5-15), puasa (6:16-18), dan penghakiman 

(7:1-5) orang-orang Farisi, Yesus juga mengecam amarah mere￾ka yang tidak benar. [ CATATAN: Yesus tidak mengecam se￾mua kemarahan (bdk. Efesus 4:26; Yohanes 2:13-17), hanya

kemarahan yang tidak benar.] Dalam konteks inilah Yesus 

memperingatkan agar tidak menggunakan kata “bodoh.” Ye￾sus sedang tidak melarang orang menyebut seseorang “bodoh” 

jika itu dilakukan dengan cara yang tepat (bdk. Mazmur 14:1), 

tetapi Ia melarang penggunaan kata itu ketika dilakukan de￾ngan semangat penghinaan yang jahat. Ia “memperingatkan 

agar tidak menggunakan kata bodoh sebagai bentuk peleceh￾an” yang menunjukkan “kebencian dalam hati seseorang terha￾dap orang lain“ (“Bodoh,“ 1986; bdk. Matius 5:43-48). Seperti 

dalam banyak situasi lain, yang menjadi fokus larangan itu 

tampaknya adalah sikap seseorang ketimbang kata-kata yang 

sebenarnya. 

Meski ayat ini, ketika dipahami dalam konteksnya, ter￾lihat konsisten dengan perkataan dan tindakan Yesus yang 

dicatat di tempat lain dalam catatan injil, namun larangan-Nya 

tentang cara sebuah kata digunakan tidak boleh diabaikan da￾lam upaya para pembela untuk membela keilahan Kristus (atau 

doktrin Alkitab lainnya). Kita bisa menyebut seorang ateis se￾bagai orang “bodoh” karena tidak mengakui keberadaan Allah

(Mazmur 14:1), tetapi melakukan hal itu dengan cara penuh kebencian, jahat adalah berdosa. Ingat, orang Kristen dipanggil 

untuk “memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang” 

dengan semangat yang “lemah lembut dan hormat” (1Petrus 

3:15). 

 

Apakah Yesus Mendorong Pencurian?

Bermacam-macam nas Kitab Suci mengajarkan—baik se￾cara tersirat maupun tersurat—tentang dosa pencurian. Salah 

satu dari Sepuluh Perintah yang Allah berikan kepada Israel 

adalah: “Jangan mencuri” (Keluaran 20:15). Dalam Kitab Ima￾mat, orang dapat membaca di mana “TUHAN berfirman kepa￾da Musa: ‘Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan kata￾kan kepada mereka:… Janganlah kamu mencuri, janganlah 

kamu berbohong dan janganlah kamu berdusta seorang kepada 

sesamanya.… Janganlah engkau memeras sesamamu manusia 

dan janganlah engkau merampas’“ (19:1-2,11,13). Jika seorang 

pencuri kedapatan membobol sebuah rumah pada malam hari 

dan dipukuli hingga ia mati, hukum lama menyatakan bahwa 

“si pemukul tidak berhutang darah” (Keluaran 22:2). Di bawah 

perjanjian baru, rasul Paulus menyurati gereja di Efesus, de￾ngan mengatakan, “Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri 

lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan 

yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat memba￾gikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan“ (4:28). Dan 

kepada umat Kristen di Korintus, Paulus menulis bahwa para 

pencuri “tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah?” 

(1Korintus 6:9-11). Jadi, Allah jelas menganggap pencurian 

sebagai pelanggaran atas hukum-Nya.

Namun begitu, para pengkritik keilahan Kristus menyat￾akan bahwa Yesus pernah memerintahkan murid-muridnya 

untuk mencuri seekor keledai dan keledai muda sebelum me￾masuki Yerusalem selama minggu terakhir kehidupan-Nya. Menurut catatan injil Matius, Yesus menyuruh murid-murid￾Nya, dengan berkata, “Ketika Yesus dan murid-murid-Nya 

telah dekat Yerusalem dan tiba di Betfage yang terletak di Bukit 

Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya dengan pesan: 

‘Pergilah ke kampung yang di depanmu itu, dan di situ kamu 

akan segera menemukan seekor keledai betina tertambat dan 

anaknya ada dekatnya. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah 

keduanya kepada-Ku. Dan jikalau ada orang menegor kamu, 

katakanlah: Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengem￾balikannya” (Matius 21:1-3). Lukas menambahkan, “Lalu perg￾ilah mereka yang disuruh itu, dan mereka mendapati segala 

sesuatu seperti yang telah dikatakan Yesus. Ketika mereka 

melepaskan keledai itu, berkatalah orang yang empunya 

keledai itu: ‘Mengapa kamu melepaskan keledai itu?’ Kata 

mereka: ‘Tuhan memerlukannya.’ Mereka membawa keledai 

itu kepada Yesus“ (Lukas 19:32-35). Mengenai kisah ini, skeptis 

Dennis McKinsey bertanya: “Apakah kita harus percaya bahwa 

ini bukan pencurian? Bayangkanlah melihat orang asing mem￾bawa pergi mobil Anda sambil mengklaim Tuhan membutuh￾kannya“ (1985, p. 1). Tampaknya, ”Yesus memberitahu orang￾orang itu untuk mengambil seekor keledai muda… tanpa izin 

pemiliknya.” Dan itu, kata McKinsey, “umumnya dikenal seba￾gai pencurian” (2000, p. 236). Seorang kafir lain bernama Dan 

Barker mengomentari peristiwa ini dalam kehidupan Yesus 

dalam bukunya, Losing Faith in Faith: From Preacher to Atheist, 

dengan mengatakan, “Saya diajari saat kecil bahwa ketika An￾da mengambil sesuatu tanpa memintanya, itu pencurian“ 

(1992, p. 166). Namun apakah Yesus benar-benar mendorong

para murid-Nya untuk mencuri keledai dan keledai muda? 

Dapatkah tindakan-Nya itu dijelaskan secara logis dalam te￾rang beragam pernyataan di seluruh Kitab Suci yang dengan 

jelas mengecam pencurian?Sebelum merespons berbagai kritikan ini, pertimbang￾kanlah hal berikut ini: Jika seorang suami mengirim email 

kepada istrinya dan meminta dia pergi ke rumah seorang 

tetangga dan mengambil truknya untuk dipakai mengangkut 

tungku tua ke tempat barang rongsokan, akankah orang yang 

membaca emailnya itu (mungkin menemukan salinannya yang 

kusut di tempat sampah) dibenarkan dalam menyimpulkan 

bahwa suami ini meminta istrinya untuk mencuri truk? Tentu 

tidak. Karena di dalam email itu tidak ditemukan informasi 

lain selain permintaan kepada istrinya tentang truk tetangga, 

maka orang yang membaca tulisan itu harus memiliki akses 

kepada informasi tambahan untuk sampai pada kesimpulan

bahwa suami itu dan istrinya bersalah atas pencurian. Pembaca 

itu mungkin tidak mengetahui fakta bahwa sehari sebelumnya 

suami itu telah membuat kesepakatan dengan tetangganya 

tentang pengambilan truk itu. Atau, tetangga itu mungkin 

sudah memberitahu suami itu beberapa waktu sebelumnya 

bahwa ia boleh memakai truknya kapan pun ia membutuh￾kannya. 

Apa yang tampaknya tidak pernah dipertimbangkan 

oleh Tuan McKinsey dan para skeptis lainnya dalam mereka 

menafsirkan Kitab Suci adalah bahwa Alkitab tidak mencatat 

setiap rincian dari setiap peristiwa yang disebutkan (bdk. 

Yohanes 21:25). Alkitab tidak dimaksudkan sebagai alur 

waktu kronologis yang lengkap yang mengutip setiap detail 

kehidupan semua orang yang disebutkan di dalamnya. Kitab 

Kisah Para Rasul dalam Perjanjian Baru mencakup periode 

waktu sekitar tiga puluh tahun, tetapi itu sebenarnya hanya 

berisi tentang beberapa tindakan dari beberapa orang Kristen 

mula-mula. Ada banyak hal lain lagi yang tidak dicatat di 

dalamnya oleh Paulus, Petrus, Silas, Lukas, dan orang-orang 

Kristen abad pertama lainnya. Misalnya, Paulus menghabiskan tiga tahun di Arab dan Damsyik setelah pertobatannya (Galatia 

1:16-18), namun Lukas tidak menyebutkan rincian ini, juga

banyak hal yang Paulus capai selama tiga tahun ini. 

Kasus Yesus memberitahu para murid-Nya untuk pergi 

menemukan keledai dan keledai muda tidak membuktikan 

pencurian, sebagaimana juga murid-murid Yesus yang mencari 

dan menempati ”ruang atas” tidak membuat mereka masuk 

tanpa izin (lih. Markus 14:13-15). Ketika mengutus dua murid￾Nya untuk mendapatkan hewan yang diminta itu, Yesus mem￾beritahu mereka dengan tepat ke mana harus pergi dan apa 

yang harus dikatakan, seolah-olah Ia sudah tahu keadaan di 

mana keledai dan keledai muda itu disediakan. Yesus mungkin 

telah membuat pengaturan sebelumnya bagi penggunaan ke￾dua keledai itu. Baik Tuan McKinsey maupun para skeptis lain￾nya tidak dapat membuktikan sebaliknya. Mirip dengan bagai￾mana seorang suami tidak wajib setiap pulang kerja malam 

memberitahu istrinya semua yang ia telah lakukan setiap jam

di tempat kerja, Alkitab juga tidak berkewajiban untuk mengisi 

setiap rincian dari setiap peristiwa, termasuk yang berkaitan 

dengan perolehan dua ekor keledai itu. Tidak ada kontradiksi 

atau tuduhan bersalah yang sah jika rincian keadaan yang tidak 

diceritakan bisa dipostulatkan sehingga dapat menjelaskan in￾formasi tersirat yang diberikan.

Selain itu, kepolosan Yesus dan murid-murid-Nya diper￾kuat oleh fakta bahwa para murid dapat pergi dengan mem￾bawa kedua keledai itu. Seandainya para murid benar-be￾nar mencuri binatang itu, orang akan berpikir bahwa pemi￾liknya tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Juga, tidak 

ada yang dikatakan dalam teks itu tentang apa yang terja￾di pada kedua hewan itu setelah Yesus menunggangi mereka 

ke Yerusalem. Sejauh yang kita tahu, murid-murid Yesus itudapat segera mengembalikan binatang-binatang itu kepada 

pemiliknya.

Kaum skeptis yang menuduh Tuhan mencuri tidak me￾miliki dasar yang kuat untuk dipertahankan. Kecuali dapat di￾buktikan bahwa murid-murid Yesus mengambil keledai itu 

dengan paksa (dan tanpa izin sebelumnya), maka keadilan 

menuntut agar tuduhan bersalah harus ditarik kembali. 

Dalam Hal Apakah Allah Lebih Besar Daripada Yesus?

Karena banyak nas dalam Perjanjian Baru menunjuk￾kan bahwa Yesus adalah ilahi, dan bukan sekadar manusia atau

malaikat (bdk. Yohanes 1:1,14; 10:30; Ibrani 1:5-14), bebera￾pa orang melihat adanya inkonsistensi dalam pelbagai pernya￾taan seperti yang terdapat dalam Yohanes 14:28, di mana Yesus 

menyatakan: “Bapa lebih besar daripada Aku” (Yohanes 14:28). 

Diduga, ayat ini (di antara ayat-ayat lain—bdk. 1Korintus 11:3; 

Markus 13:32; Kolose 3:1) membuktikan bahwa Yesus dan para 

penulis Alkitab saling bertentangan dalam penggambaran me￾reka tentang sifat ilahi Yesus. Yesus tidak dapat menjadi satu 

dengan Allah dan pada saat yang sama lebih rendah daripada 

Allah, bukan? Bagaimanakah cara benar untuk memahami 

Yohanes 14:28? 

Pernyataan-pernyataan yang ditemukan dalam nas-nas 

seperti Yohanes 14:28 (yang menunjukkan Yesus lebih rendah 

daripada Allah), atau dalam Markus 13:32 (di mana Yesus me￾nyatakan bahwa bahkan Ia tidak tahu pada hari apa Kedatang￾an Kedua akan terjadi), harus dipahami dalam terang apa 

yang rasul Paulus tulis kepada gereja di Filipi tentang pemba￾tasan diri Yesus selama masa hidup-Nya di Bumi. Kristus, 

 

meski dalam rupa Allah, tidak menganggap keseta￾raan dengan Allah sebagai perampokan, tetapi mem-buat diri-Nya tidak bereputasi [Ia “mengosongkan 

diri-Nya sendiri”—NASB], dengan mengambil rupa

seorang hamba, dan datang dalam kesamaan de￾ngan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manu￾sia, Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, 

bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:6-8, huruf 

tebal ditambahkan; NKJV). 

 

Sewaktu di Bumi, dan dalam daging, Yesus dengan sukarela

berada dalam posisi yang lebih rendah daripada Bapa. Kristus 

“mengosongkan diri-Nya” (Filipi 2:7; Ia “membuat diri-Nya

kosong”—NIV ). Tidak seperti Adam dan Hawa, yang berupa￾ya merebut kesetaraan dengan Allah (Kejadian 3:5), Yesus, Adam

terakhir (1Korintus 15:47), merendahkan diri, dan dengan pa￾tuh menerima peran seorang hamba. Keterbatasan duniawi 

Yesus (bdk. Markus 13:32), bagaimanapun, bukan akibat dari 

sifat kurang daripada Allah; sebaliknya, keterbatasan itu 

adalah akibat dari ketundukan yang dilakukan sendiri yang

mencerminkan pelaksanaan kehendak-Nya yang berdaulat. 

Sewaktu di Bumi, Yesus mengambil posisi tunduk sepenuh￾nya kepada Bapa, dan menggunakan sifat-sifat ilahi-Nya hanya 

atas permintaan Bapa (lih. Yohanes 8:26,28-29) [Wycliffe... , 

1985]. Seperti yang juga dikomentari oleh A. H. Strong bebe￾rapa tahun yang lalu, Yesus “tidak melepaskan kepemilikan, 

tidak juga penggunaan secara keseluruhan, tetapi lebih pada

penggunaan independen, sifat-sifat ilahi” (1907, p. 703). 

Harus diakui, memahami Yesus sebagai 100% Allah dan 

100% manusia bukan konsep yang mudah dipahami. Ketika 

Yesus datang ke Bumi, Ia menambahkan keinsanian ke dalam 

keilahian-Nya (Ia “dibuat serupa dengan manusia”). Untuk 

pertama kali, Ia mengalami hal-hal seperti kelaparan, kehaus￾an, pertumbuhan (baik fisik maupun mental), kesakitan, pe-nyakit, dan pencobaan (lih. Ibrani 4:15; Lukas 2:52). Namun 

begitu, pada saat yang sama Yesus menambahkan keinsanian 

ke dalam keilahian-Nya, Ia menempatkan diri-Nya dalam posi￾si yang lebih rendah daripada Bapa dalam hal fungsi peranan 

(1Korintus 11:3). Singkatnya, ketika Yesus menegaskan, “Bapa 

lebih besar dari-pada Aku” (Yohanes 14:28), Ia tidak sedang 

menyangkal sifat ilahi-Nya; sebaliknya Ia sedang menyatakan 

bahwa Ia telah menaklukkan diri-Nya secara sukarela kepada 

kehendak Bapa.