menyampaikan komentar pembukaan lainnya
kepada orang asing ini yang tidak dicatat oleh Lukas dalam
kitab Kisah para Rasul. Namun begitu, Filipus digambarkan
sebagai orang yang ”membuka mulutnya” setelah ia bicara
panjang lebar kepada sida-sida itu, dan memberitakan kepada
dia kabar baik tentang Yesus.
Dalam pasal sepuluh kitab Kisah Para Rasul, Lukas mencatat Petrus mengunjungi rumah seorang non-Yahudi bernama
Kornelius. Setelah dipanggil oleh Roh Allah (10:19-20) untuk
pergi ke kota Kornelius (yaitu, Kaisarea), Petrus berangkat
pada hari berikutnya. Setelah kedatangannya, Petrus bicara
kepada Kornelius tentang beberapa hal (Kisah 10:25-29). Ia
yang pertama menegur Kornelius karena menyembah dia,
dengan mengatakan, “Bangunlah, aku hanya manusia saja”
(10:26). Ia melanjutkan bicara dengan dia tentang hal-hal lain
yang tidak disebutkan secara spesifik dalam teks itu (10:27).
Lalu ia mengungkapkan kepada Kornelius dan orang seisi rumahnya bahwa Allah telah menunjukkan kepada dia (seorang
Yahudi) bahwa bangsa-bangsa lain tidak boleh lagi dianggap
najis. Setelah beberapa menit (atau bahkan mungkin beberapa
jam) percakapan antara Petrus dan Kornelius (10:24-33), Lukas
lalu menulis bahwa “Petrus membuka mulutnya” (10:34) dan
menyampaikan pembelaan tentang Kristus dan iman Kristen.
Sudahkah mulut Petrus “terbuka” sebelum waktu ini? Sudah.
Sudahkah ia bicara dengan Kornelius tentang beberapa hal?
Pastinya sudah. Sekarang Petrus benar-benar mulai bicara. Ia
sudah bicara sejak tadi, tapi sekarang ia ”membuka mulutnya.”
Sekarang ia memberitakan Injil Kristus. Dalam menyurati gereja di Korintus, Paulus pernah berkomentar: “Mulut kami terbuka bagimu, hai orang Korintus” (2Korintus 6:11, ASV, huruf tebal ditambahkan). Pernyataan ini jelas membawa makna lebih daripada sekadar, ”Paulus
bicara kepada gereja Korintus.” Beberapa versi modern tertentu menerjemahkan ayat ini dengan menggunakan kata-kata seperti ”Secara terbuka” (NKJV) atau “secara bebas” (NIV) untuk
menggambarkan bagaimana Paulus dan Timotius bicara kepada jemaat Korintus. Ketimbang menekan berbagai kebenaran
yang bisa bermanfaat bagi gereja di Korintus (bdk. 2Korintus
4:2-3), mereka bicara secara terbuka dan tanpa menahan diri.
Mereka dengan terus-terang memuji diri sendiri dan pelayanan mereka kepada gereja Korintus agar gereja itu mau menerima pesan mereka (bdk. 2Korintus 6:1-2; lihat Jamieson, et al.,
1997). Ini adalah cara Paulus menggunakan frasa “membuka
mulut.”
Ketika nabi Yesaya menulis bahwa Hamba yang menderita itu “tidak membuka mulutnya” selagi ditindas dan disiksa
(Yesaya 53:7), ia tidak bermaksud bahwa Yesus tidak pernah
mengucapkan sepatah kata sejak Ia ditangkap di taman itu
sampai kematian-Nya di kayu salib. Pemikiran di balik ungkapan ini adalah bahwa Yesus tidak akan bicara dengan bebas
dan secara total membela diri-Nya. Meski Yesus dapat merespons para penuduh-Nya dengan “mulut terbuka“dengan memberikan pembelaan yang kuat dan panjang-lebar atas ketidakbersalahan-Nya (mirip dengan bagaimana Filipus, Petrus, dan
Paulus bersaksi tentang Kristus dan pelayanan mereka sendiri
dengan ”mulut yang terbuka”), Yesus memilih untuk menahan
diri di hadapan para penuduh dan penyiksa-Nya. Ketimbang
memanggil dua belas legiun malaikat untuk berperang membela Dia (bdk. Matius 26:53), Yesus dengan rendah hati tunduk
kepada musuh-musuh-Nya. Ketimbang melakukan beberapa mujizat khusus di hadapan Herodes agar Ia dibebaskan (bdk.
Lukas 23:8), dan ketimbang membutakan mata imam besar
dalam upaya untuk meyakinkan Sanhredrin bahwa Ia benarbenar adalah Anak Allah, Yesus menekan kuasa-Nya itu. Kurang dari dua puluh empat jam sebelumnya, Yesus telah memulihkan daun telinga Malkhus yang putus, namun Yesus
tidak berbuat apa pun untuk meringankan penderitaan-Nya
sendiri selama pengadilan dan penyaliban-Nya—bahkan Ia
tidak menyebutkan mujizat itu untuk membela keilahian-Nya.
Dengan mengingat apa yang Kristus dapat lakukan terhadap
para penuduh-Nya dan pembelaan lisan apa yang Ia sudah dapat berikan di hadapan mereka atas nama-Nya sendiri, ketundukan pasif Kristus di hadapan mereka adalah luar biasa.
Sesungguhnya, “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam,
tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil“ (1Petrus 2:23).
Bernubuat bahwa Hamba Yang Menderita “tidak membuka mulut-Nya,“ adalah sama dengan menggunakan ungkapan hiperbolik yang berarti bahwa Yesus menahan diri untuk
tidak memberikan pembelaan hukum yang lengkap atas
nama-Nya sendiri. Selama sebagian besar kesengsaraan dan
penindasan-Nya Ia sepenuhnya diam (bdk. Matius 26:62-63;
27:12-14). Di lain kesempatan Ia hanya bicara beberapa kata—
tidak satu pun yang nyaris sebagai semacam pembelaan yang
sebenarnya dapat Ia ketengahkan atas nama-Nya sendiri seandainya Ia sedang berusaha untuk menghindari penganiayaan dan penyaliban.
Apakah Yesus Dapat Dipercaya?
Ketika Kristus bicara kepada sekelompok orang Yahudi
yang memusuhi Dia di Yerusalem tentang Allah Bapa, dan kesetaraan-Nya dengan Dia (Yohanes 5:17-30; bdk. 10:30), Ia
membela keilahan-Nya dengan menunjuk kepada beberapa
saksi, termasuk Yohanes Pembaptis, Bapa di sorga, dan Kitab
Suci (5:33-47). Satu pernyataan yang telah membingungkan
beberapa pembaca Alkitab tentang pembelaan Yesus mengenai
keilahan-Nya ditemukan dalam Yohanes 5:31. Yesus memulai
bagian khotbah-Nya ini dengan mengatakan, “Kalau Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, maka kesaksian-Ku itu tidak
benar” (huruf tebal ditambahkan). Menurut banyak pengkritik
Alkitab, pernya-taan ini secara terang-terangan bertentangan
dengan pernyataan berikut ini yang Ia buat pada kesempatan
lain ketika bicara dengan orang-orang Farisi. Ia berkata: “Biarpun Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, namun kesaksianKu itu benar”(Yohanes 8:14, huruf tebal ditambahkan). Bagaimana bisa Ia mengatakan bahwa kedua kesaksian-Nya itu
adalah benar, dan juga tidak benar, tanpa berbohong?
Perhatikanlah ilustrasi berikut. Seorang yang tidak bersalah pada pengadilan pembunuhan dinilai bersalah oleh hakim,
bahkan setelah menyatakan ia tidak bersalah. (Seseorang telah
menjebak terdakwa atas pembunuhan itu, dan semua bukti
yang hakim itu dengar menunjuk kepada terdakwa sebagai
pelaku.) Saat meninggalkan gedung pengadilan, jika orang
yang dihukum bersalah itu ditanya oleh seorang jurnalis, “Apakah Anda bersalah?,” dan ia menjawab dengan mengatakan,
”Jika pengadilan mengatakan saya bersalah, saya bersalah,”
apakah orang itu berbohong? Meski pernyataan, “Aku bersalah,” dan “Aku tidak bersalah,” sama sekali berbeda, namun
kedua pernyataan itu bisa saja tidak bertentangan, tergantung
pada waktu dan pengertian di mana kedua pernyataan itu
diucapkan. Setelah persidangan, terdakwa yang dituduh secara
salah itu hanya mengulangi keputusan hakim. Ia berkata, “Saya bersalah,” dan itu berarti, “Pengadilan telah memutuskan saya bersalah.“
Ketika Yesus mengakui kepada orang Yahudi fakta bahwa kesaksian-Nya “tidak benar,” Ia sedang tidak mengaku sebagai seorang pembohong. Sebaliknya, Yesus sedang bersaksi terhadap hukum yang terkenal pada zaman-Nya. Dalam
hukum Yunani, Romawi, dan Yahudi, kesaksian seorang saksi
tidak dapat diterima untuk kasusnya sendiri (Robertson, 1997).
”Saksi kepada siapa pun harus selalu dilakukan oleh orang
lain“ (Morris, 1995, p. 287). Hukum Musa menyatakan, “Satu
orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai
perkara kesalahan apapun atau dosa apapun yang mungkin
dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi
perkara itu tidak disangsikan“ (Ulangan 19:15; bdk. Matius
18:15-17). Orang-orang Farisi memahami dengan baik hukum
ini, seperti yang dibuktikan dengan pernyataan mereka kepada
Yesus: “Engkau bersaksi tentang diri-Mu, kesaksian-Mu tidak
benar“ (Yohanes 8:13). Dalam Yohanes 5:31, “Yesus menunjuk
kepada ketidakmungkinan bagi kesaksian siapa saja untuk
diterima atas dasar perkataannya sendiri.… Ia sedang menegaskan bahwa jika diri-Nya sendiri harus bersaksi untuk diriNya sendiri, maka hal itu akan membuat kesaksian-Nya tidak
benar“ di pengadilan (Morris, p. 287). Jika Yesus tidak punya
bukti dalam pengadilan tentang keilahan-Nya selain daripada
kesaksian-Nya sendiri tentang diri-Nya, maka kesaksian-Nya
itu akan menjadi tidak meyakinkan dan tidak dapat diterima. Yesus mengerti bahwa para pendengarnya berhak untuk
mengharapkan lebih banyak bukti daripada sekedar perkataan-Nya. Mirip dengan ilustrasi di atas di mana orang yang
tidak bersalah menerima vonis bersalah dari hakim sebagai
keputusan tetap, Yesus berkata, “Kesaksian-Ku itu tidak benar,”
dan itu berarti bahwa, sesuai dengan hukum, kesaksian-Nya sendiri yang tidak didukung oleh saksi-saksi lain akan dianggap tidak sah (atau tidak cukup untuk menegakkan kebenaran).
Tetapi mengapa belakangan Yesus berkata kepada orangorang Farisi bahwa “kesaksian[-Nya] itu benar” (Yoh 8:14)?
Perbedaannya adalah bahwa, dalam contoh ini, Yesus sedang
menekankan fakta bahwa kata-katanya adalah benar. Bahkan
jika pengadilan meminta dua orang saksi untuk menegakkan
suatu fakta (hukum yang Yesus ucapkan dalam ayat 17), hukum itu tidak menghilangkan fakta bahwa Yesus sedang mengatakan kebenaran, sebagaimana itu juga tidak menghilangkan
fakta bahwa orang yang didakwa dengan salah yang disinggung di atas sedang mengatakan kebenaran selama persidangannya. Yesus menyatakan kesaksian-Nya sebagai benar karena
alasan sederhana bahwa kesaksian-Nya itu mengungkapkan
fakta sebenarnya tentang Diri-Nya (Lenski, 1961b, p. 599). Ia
lalu menyusulkan kebenaran ini dengan fakta bahwa ada saksi
lain—Bapa di sorga yang mengirim Dia ke Bumi (8:16-18).
Jadi, dalam kenyataannya, kesaksian-Nya itu benar dalam dua
pengertian: (1) itu benar karena memang faktual; dan (2)
itu adalah sah karena dikuatkan oleh saksi kedua yang tidak
dapat disangkal—Bapa.
Allah Bapa (Yohanes 8:18; 5:37-38), bersama dengan Yohanes Pembaptis (Yohanes 5:33), tanda-tanda mujizatiah oleh
Yesus (5:36), Kitab Suci (5:39), dan khususnya tulisan-tulisan
Musa (5:46), semuanya mengautentikasi kebenaran pernyataan Yesus tentang keilahan-Nya. Sayangnya, banyak pendengar-Nya menolak bukti itu, sebagaimana juga ditolak oleh
orang-orang zaman kini.Apakah Yesus Mengabaikan Perintah Keempat?
Seperti halnya banyak pengecam kehidupan Kristus sekarang ini, orang-orang Farisi abad pertama tentu tidak menganggap Anak Allah tanpa cela. Setelah Yesus memberi makan
empat ribu orang, orang-orang Farisi datang “mencobai” Dia,
meminta Dia untuk menunjukkan kepada mereka tanda dari
sorga (Matius 16:1). Belakangan dalam kitab Matius (19:3 dst.),
penulis itu mencatat bagaimana “datanglah [juga]orang-orang
Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya:
‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan
alasan apa saja?’” Tujuan mereka pada kesempatan ini, seperti
pada banyak kesempatan lainnya, untuk menjerat Yesus dengan mengajukan pertanyaan yang berpotensi menjebak dia—
yang, jika dijawab dengan cara yang sudah diantisipasi oleh
orang-orang Farisi itu, bisa mendatangkan murka Herodes
Antipas ke atas Yesus (bdk. Matius 14:1-12; Markus 6:14-29)
dan/atau ke atas sebagian sesama orang Yahudi (misalnya,
sekolah Hillel, atau sekolah Shammai). Kali ketiga orang-orang
Farisi berusaha untuk ”menjerat Yesus dalam ucapan-Nya”
(Matius 22:15; NKJV) adalah ketika mereka bertanya, “Apakah
diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?”
(22:17). Orang-orang Farisi yang iri hati dan munafik itu sangat
giat dalam upaya mereka untuk menghancurkan pengaruh
Tuhan, sehingga pada satu kesempatan mereka bahkan menuduh para murid Yesus melanggar hukum Taurat sewaktu
mereka “berjalan di ladang gandum. Karena lapar, muridmurid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya“ (Matius
12:1 dst.). [CATATAN : “Pengetahuan mereka atas peristiwa
sepele itu menunjukkan betapa cermatnya mereka mengamati
semua perbuatan-Nya” (Coffman, 1984, p. 165). Pemeriksaan
skala mikroskopis atas kehidupan Yesus itu kemungkinan bahkan lebih kejam lagi daripada apa yang dialami beberapa selebritis” zaman kini. Dalam satu pengertian, orang-orang
Farisi itu dapat dianggap sebagai “paparazzi” zaman Yesus.]
Berdasarkan dugaan, apa yang Yesus izinkan untuk murid-murid-Nya lakukan pada hari Sabat khusus ini dianggap sebagai ”bekerja,” yang dilarang oleh Hukum Musa (Matius 12:2;
bdk. Keluaran 20:9-10; 34:21).
Yesus merespons kecaman orang-orang Farisi itu dengan
memberikan kebenaran tentang masalah itu, dan pada saat
yang sama mengungkapkan kemunafikan orang-orang Farisi
itu. Seperti sudah menjadi kebiasaan bagi Yesus ketika sedang
diuji oleh musuh-musuh-Nya (bdk. Matius 12:11-12; 15:3;
21:24-25; dll.), Ia merespons tuduhan orang-orang Farisi itu
dengan dua pertanyaan.Pertama, Ia bertanya, “Tidakkah kamu
baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang
mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah
Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak
boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam?“ (12: 3-4). Yesus mengingatkan orang-orang Farisi itu tentang suatu peristiwa dalam
kehidupan Daud (dicatat dalam 1Samuel 21:1 dst.), di mana ia
dan anak buahnya, sambil melarikan diri dari Saul, memakan
roti sajian, yang hukum ilahi batasi untuk para imam saja
(Imamat 24:5-9). Beberapa komentator secara salah menyimpulkan bahwa Yesus secara tidak langsung menyatakan Daud
tidak bersalah (sehingga hukum-hukum Allah tunduk kepada
kebutuhan manusia—bdk. Zerr, 1952, 5:41; Dummelow, 1937,
p. 666), dan dengan demikian Ia membela tindakan “melanggar
hukum” para murid-Nya dengan alasan yang sama. Sebenarnya, bagaimanapun, yang terjadi justru sebaliknya. Yesus secara eksplisit menyatakan bahwa apa yang Daud lakukan adalah
salah (“melanggar hukum”—12:4), dan apa yang para muridNya lakukan adalah benar—mereka itu ”tidak bersalah” (12:7).Selanjutnya, seperti yang J. W. McGarvey ulas: ”Jika orang
Kristen boleh melanggar hukum ketika ketaatan terhadapnya
akan melibatkan kesulitan atau penderitaan, maka di sanalah
berakhir penderitaan untuk nama Kristus, dan berakhirnya
penyangkalan diri“ (1875, p. 104). Para murid itu tidak diizinkan oleh Yesus untuk melanggar hukum pada kesempatan
ini (atau lainnya) hanya karena hukum itu tidak nyaman (bdk.
Matius 5:17-19). Orang-orang Farisi itu semata salah dalam
tuduhan mereka. Seperti juga banyak musuh Yesus sekarang
ini, “Orang-orang Farisi itu keluar untuk ‘mencari kesalahan’
Yesus; dan tuduhan apa saja lebih baik daripada tidak sama
sekali“ (Coffman, 1984, p. 165). Satu-satunya “hukum” yang
murid-murid Yesus itu langgar adalah penafsiran hukum
orang-orang Farisi (yang bagi beberapa orang Farisi lebih sakral daripada hukum Taurat itu sendiri). Dalam merespons
hiperlegalisme seperti itu, Burton Coffman dengan tegas menyatakan, “Menurut pandangan orang-orang Farisi, para murid itu bersalah karena mengirik gandum! Sikap pamer ilmu,
nyinyir, dan membesar-besarkan hal-hal sepele seperti itu
juga akan membuat mereka bersalah karena mengairi tanah,
jika mereka punya kesempatan menjatuhkan beberapa tetes
embun saat melewati ladang itu! “(p. 165, huruf tebal ditambahkan).
Yesus menggunakan instruksi dari 1 Samuel 21 untuk
membuat orang-orang Farisi itu menyadari ketidaktulusan
mereka, dan untuk melepaskan murid-muridnya. Daud, orang
yang tentangnya orang Yahudi selalu bangga, secara terangterangan melanggar hukum Allah dengan memakan roti sajian,
tetapi orang-orang Farisi membenarkan dia. Di sisi lain, muridmurid Yesus hanya memetik beberapa gandum pada hari Sabat
sambil berjalan melewati sebuah ladang—suatu tindakan yang
diizinkan oleh hukum Taurat—namun orang-orang Farisi itu menyalahkan mereka. Andaikan orang-orang Farisi itu tidak
mendukung perilaku Daud, mereka dapat menjawab dengan
mengatakan, ”Kalian menghakimi diri kalian sendiri saja. Kalian semua adalah orang berdosa.“ Reaksi mereka terhadap pertanyaan Yesus—diam saja—adalah reaksi orang-orang munafik yang telah ditelanjangi.
Yesus lalu mengajukan pertanyaan kedua, dengan mengatakan, “Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa
pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di
dalam Bait Allah, namun tidak bersalah?“ (Matius 12:5). Di sini,
Yesus ingin orang-orang Farisi itu mengetahui bahwa bahkan
hukum Taurat itu sendiri memaafkan beberapa pekerjaan
pada hari Sabat. Meski orang-orang Farisi itu bertindak seolaholah semua pekerjaan dilarang pada hari Sabat, namun sebenarnya hari Sabat adalah hari tersibuk bagi para imam.
Mereka memanggang dan mengganti roti sajian;
mereka mengadakan korban-korban sabat (Bil.
xxviii. 9), dan dua domba disembelih pada hari
Sabat sebagai tambahan bagi korban harian. Ini
melibatkan [tugas] menyembelih, menguliti, dan
membersihkan hewan-hewan itu, dan menyalakan
api untuk membakar habis korban itu. Mereka juga
menghias kandil emas, membakar ukupan, dan
melakukan tugas-tugas lain (McGarvey, nd, The
Fourfold…, p. 211-212).
Salah satu dari “tugas-tugas lain” itu adalah menyunat bayi muda laki-laki ketika usia delapan hari anak itu jatuh
pada hari Sabat (Imamat 12:3; Yohanes 7:22-23). Tujuan Yesus
mengutip “pelanggaran” pekerjaan iman ini adalah untuk
membuktikan bahwa larangan Sabat bukan tanpa pengecua-lian. [ CATATAN: Yesus menggunakan istilah “melanggar,”
bukan karena ada penodaan nyata bait suci oleh para imam
saat mereka bekerja, tetapi “untuk mengungkapkan apa yang
benar menurut anggapan keliru orang-orang Farisi tentang
pekerjaan manual yang dilakukan pada hari Sabat“ (Bullinger,
1898, p. 676).] Yang benar adalah, hukum Sabat “tidak melarang bekerja sepenuhnya, tetapi [yang dilarang] bekerja untuk keuntungan duniawi. Aktivitas dalam pekerjaan Allah
adalah diizinkan dan diperintahkan“ (McGarvey, nd, The Fourfold…, p. 212). Coffman kemudian menyimpulkan: “Sama
seperti para imam melayani bait suci pada hari Sabat dan tidak
bersalah, para murid-Nya [Yesus— KB/EL] boleh juga melayani Kristus, Bait Suci Yang Lebih Mulia, tanpa menimbulkan
kesalahan” (1984, p. 167). Sama seperti para imam yang melayani Allah di dalam bait suci pada hari Sabat sepenuhnya ada
dalam hukum Taurat, demikian juga dengan murid-murid
Yesus ketika mereka melayani “Tuhan atas hari Sabat “(Matius
12:8), yang kekudusan-Nya lebih besar dari pada bait suci itu
sendiri (12:6).
Apakah Yesus Melanggar Perintah Kelima?
Pertimbangkanlah ibu yang menyuruh anaknya untuk
melakukan sesuatu bagi seorang tetangga, dan anaknya itu
merespons ibu itu dengan mengatakan, “Perempuan, apakah
hubungannya hal itu dengan diriku?“ Merespons permintaan
seorang ibu (atau perempuan mana saja) di Amerika/Indonesia
abad kedua puluh satu dengan perkataan, ”Perempuan…,”
terdengar tidak sopan dan menyinggung perasaan. Selanjutnya, orang Kristen, yang diperintahkan untuk menghormati
ayah dan ibunya (Efesus 6:2), akan dianggap tidak sopan dalam
sebagian besar situasi ketika menggunakan ungkapan seperti
itu ketika bicara langsung dengan ibunya.Dengan mengingat penggunaan kata kasar “perempuan” dalam konteks tertentu sekarang ini, beberapa orang mempertanyakan bagaimana Yesus telah dapat bicara kepada ibuNya 2.000 tahun yang lalu dengan menggunakan istilah
ini tanpa melanggar perintah untuk “hormatilah ayahmu dan
ibumu“(Keluaran 20:12; bdk. Matius 15:4; Matius 5:17-20).
Ketika Yesus, para murid-Nya, dan ibunya hadir di pesta pernikahan di Kana Galilea di mana persediaan anggur menipis,
Maria berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur” (Yohanes 2:3). Yesus lalu merespons ibu-Nya, dengan berkata,
“Perempuan, apakah hubungannya kekhawatiranmu dengan
diri-Ku? WaktuKu belum tiba“ (Yohanes 2:4). Perhatikanlah
apa yang seorang skeptis tulis mengenai apa yang Yesus katakan dalam ayat ini.
Dalam Mat. 15:4 ia [Yesus—KB/EL ] memberitahu
orang banyak untuk ”Hormatilah ayahmu dan ibumu”; namun, ia adalah orang yang pertama kali
mengabaikan ajarannya sendiri dengan mengatakan kepada ibunya dalam Yohanes 4:24, “Perempuan, apakah hubungannya diriku dengan engkau?“ (McKinsey, 1995, p. 44).
Bayangkanlah seseorang bicara kepada ibunya
sendiri dengan sikap tidak sopan seperti itu dan
menyapa dia dengan kata benda seperti ‘perempuan.’ Simaklah keturunan yang kurang ajar! (p. 134).
Yesus perlu mempraktikkan sikap hormat kepada
orang tua ... (McKinsey, 2000, p. 251). Tampaknya kasih Yesus menjauh dari dia
(McKinsey, n.d. “Jesus...”).
Mengapakah Yesus tidak menghormati ibunya?
Dalam Yohanes 2:4, Yesus menggunakan kata-kata
yang sama kepada ibunya yang roh-roh jahat gunakan ketika mereka bertemu Yesus. Tentunya
anak Allah tahu bahwa Maria memiliki berkat dari
Bapa, bukankah begitu, (dan ia adalah bunda
Tuhan—Ed.) belum lagi fakta bahwa anak Allah
tidak akan pernah bersikap kasar? (Mc-Kinsey, n.d.,
“Problems…,” komentar dalam tanda kurung dari
aslinya).
Seperti yang orang dapat lihat, Mr. McKinsey berkeras bahwa
Yesus salah. Ia menggunakan kata-kata seperti itu untuk menggambarkan Yesus sebagai orang yang tidak sopan, kurang ajar,
tidak pengasih, dan kasar. Apakah pendapatnya itu benar?
Sebagaimana dengan sebagian besar pengecam Kristus,
Mr. McKinsey juga bersalah karena menilai kata-kata Yesus
dengan apa yang umum dalam bahasa Inggris abad kedua
puluh satu, daripada menempatkan komentar Yesus itu dalam
latar belakang yang benar abad pertama. Seseorang di abad
pertama yang bicara dengan seorang perempuan dengan berkata, “Perempuan (gunai).…“ adalah tidak kasar atau bukannya tidak patut.” Ini ”adalah cara sapaan yang sangat hormat
dan penuh kasih“ (Vincent, 1997), ”tanpa pikiran mencela“
(Robertson, 1932, 5:34). Alkitab New Internasional Version
dengan benar menangkap arti kata dalam Yohanes 2:4: “Perempuan yang kekasih, mengapa kamu melibatkan Aku?“ (huruf
tebal ditambahkan). Yesus menggunakan kata ini ketika memuji iman hebat perempuan Kanaan (Matius 15:28), ketika de-ngan penuh kasih menyapa Maria Magdalena setelah kebangkitan-Nya (Yohanes 20:15), dan ketika bicara kepada ibu-Nya
yang bersedih untuk terakhir kali dari kayu salib (Yohanes
19:26). Paulus menggunakan kata yang sama ini ketika bicara
dengan kaum perempuan Kristen (1Korintus 7:16). Seperti
yang Adam Clarke tulis: “[P]astinya tidak ada jenis sikap tidak
hormat yang dimaksudkan, tetapi, sebaliknya, kemenurutan,
keramahan, kelembutan, dan kepedulian, dan dalam pengertian ini digunakan dalam pelbagai penulis terbaik Yunani“
(1996).
Mengenai alasan Yesus menggunakan istilah “perempuan” (gunai) sebagai ganti ”ibu” (meetros) ketika bicara dengan
Maria (yang bahkan dalam budaya Ibrani dan Yunani abad
pertama merupakan cara yang tidak biasa untuk menyapa seorang ibu), Leon Morris menulis bahwa Yesus kemungkinan
besar sedang menunjukkan
bahwa ada hubungan baru di antara mereka ketika
ia memasuki pelayanan umumnya.… Tampaknya
Maria menganggap hubungan akrab rumah tangga
di Nazareth masih berlaku. Namun Yesus dalam
pelayanan umum-Nya tidak hanya atau terutamanya sebagai anak Maria, tetapi sebagai “Anak Manusia” yang akan membawa kenyataan sorga kepada manusia di bumi (1:51). Hubungan baru telah
ditetapkan (1995, p. 159).
R.C.H. Lenski menambahkan: “[M]eski Maria akan selamanya
tetap menjadi ibunya [Yesus—KB/EL ], dalam panggilannya
Yesus tidak mengenal ibu atau kerabat duniawi, ia adalah
Tuhan dan Juruselamat mereka dan juga semua manusia.
Hubungan umum duniawi ditelan dalam keilahian itu“ (1961b, p. 189). Adalah logis untuk menyimpulkan bahwa Yesus hanya
“memberi tahu” ibu-Nya dengan cara yang penuh kasih bahwa
ketika Ia mulai melakukan mujizat untuk tujuan membuktikan
keilahan-Nya dan asal usul ilahiat pesan-Nya, maka hubunganNya dengan ibu-Nya akan berubah.
Akhirnya, maksud ini juga harus ditekankan bahwa
menghormati ayah dan ibu tidak berarti seorang anak laki-laki
atau anak perempuan tidak pernah dapat mengoreksi orang
tuanya. Koreksi dan kehormatan adalah sama dengan koreksi
dan kasih. Salah satu cara terbaik orang tua mengungkapkan
kasih mereka kepada anak-anak mereka adalah dengan mengoreksi mereka ketika mereka membuat kesalahan (Ibrani 12:6-9;
Wahyu 3:19). Demikian pula, salah satu cara yang mungkin
dilakukan oleh anak yang sudah dewasa untuk menghormati
orang tuanya adalah dengan bicara secara pribadi dengan
orang tuanya ketika mereka melakukan kesalahan, dan dengan
penuh kasih menunjukkan kesalahan mereka atau mengawasi
mereka dalam soal tertentu. Pikirkanlah betapa jauh lebih terhormat tindakan ini daripada tidak mengambil tindakan dan
membiarkan mereka menempuh jalan salah tanpa memberi
tahu mereka tentang hal itu. Kita harus ingat bahwa meski
Maria adalah seorang perempuan hebat yang “beroleh kasih
karunia di hadapan Allah” (Lukas 1:30), namun ia tidak sempurna (bdk. Roma 3:10, 23). Ia bukan Allah, juga bukan ”bunda
Allah” (yaitu, ia bukan sumber Yesus atau yang mewujudkan
Dia). Tapi, ia adalah orang yang dipilih untuk mengandung
Anak Allah di dalam rahimnya. Siapakah yang lebih baik untuk memperbaiki kesalahpahaman yang mungkin ia miliki
selain daripada Anak ini? Apakah Yesus Tidak Mengetahui Perjanjian Lama?
Ketika Yesus bicara kepada Nikodemus tentang perlunya
“dilahirkan kembali” (Yohanes 3:1-8), Ia juga berusaha mengesankan di benak penguasa Yahudi ini bahwa kata-kata-Nya
berasal dari atas. Yesus bicara tentang hal-hal rohani yang tak
seorang pun tahu (Matius 13:35; bdk. 7:28-29; Lukas 2:47). Salah
satu alasan yang Yesus berikan untuk dapat menjelaskan
kebenaran rohani semacam itu ditemukan dalam Yohanes 3:13.
Di sini, rasul Yohanes menulis bahwa Yesus berkata kepada
Nikodemus, “Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga,
selain daripada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak
Manusia“ (Yohanes 3:13). Menurut orang skeptis, pernyataan
Yesus ini sangat cacat. Karena Perjanjian Lama mengungkapkan bahwa Elia luput dari kematian jasmani dan “naik … ke
sorga dalam angin badai” (2Raja 2:11; bdk. Kejadian 5:24; Ibrani
11:5), maka diduga Yesus tidak dapat dengan jujur memberitahu Nikodemus, “Tidak ada seorangpun yang telah naik ke
sorga,” Apakah orang skeptis itu benar?
Agar pernyataan Yesus bertentangan dengan apa yang
Perjanjian Lama katakan tentang Elia, orang harus pertama kali
mengandaikan bahwa Yesus sedang mengacu kepada tempat
yang persis sama yang ke tempat itu Elia naik. Dapatkah orang
skeptis itu memastikan bahwa ”sorga” yang Yesus acukan adalah sorga yang sama yang ke tempat itu Elia naik? Kata-kata
“heaven [sorga]” atau “heavens [langit]” muncul dalam Alkitab
bahasa Inggris sebanyak 700 kali. Namun begitu, dalam banyak
nas di mana “heaven(s)” ditemukan, para penulis terilham tidak
sedang membahas sorga spiritual yang paling sering kita kaitkan dengan kata itu. Misalnya, dalam Kejadian 1 dan 2, kata
Ibrani untuk heaven muncul 15 kali dalam 14 ayat. Namun dalam setiap contoh, kata itu mengacu kepada sesuatu di luar
sorga rohani tempat Allah tinggal. Kata “heaven(s)” (Hebrewshamayim, Greek ouranos ) digunakan oleh para penulis Alkitab
dalam tiga cara berbeda. Istilah ini digunakan untuk mengacu
kepada langit atmosfer di mana pesawat terbang, burungburung terbang, dan awan berkumpul (Kejadian 1:20; Yeremia
4:25; Matius 6:26, ASV ). ”Heaven(s)” juga digunakan dalam Alkitab ketika mengacu kepada cakrawala di mana kita menemukan Matahari, Bulan, dan bintang-bintang—langit yang
berisi benda-benda angkasa, atau angkasa luar (Kejadian 1:14-
15; Mazmur 19: 4,6; Yesaya 13:10). ”Heaven” yang ketiga yang
sering disebutkan dalam Alkitab adalah sorga rohani di mana
Yehovah berada (Mazmur 2:4; Ibrani 9:24), dan di mana, suatu
hari nanti, orang yang setia akan hidup selamanya (Wahyu
21:18-23; Yohanes 14:1-3). Konteks Yohanes 3 dengan jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud Yesus adalah sorga spiritual
tempat Allah berada (bdk. Yohanes 3:27). Nas dalam 2 RajaRaja 2:11, bagaimanapun, tidak begitu jelas. Penulis 2 Raja
dengan mudahnya dapat bermaksud bahwa tubuh Elia secara
mujizatiah diangkat ke udara, tidak pernah dilihat lagi oleh
siapa pun di Bumi. Tidak di manapun teks itu menunjukkan
bahwa ia meninggalkan Bumi pada saat itu untuk tinggal di
hadirat Allah. Ia pasti pergi ke suatu tempat, tetapi kita tidak
memiliki bukti bahwa ia dipindahkan ke ruang hadirat sebenarnya Allah Yang Mahakuasa berada.
Alkitab menunjukkan hal itu ketika hamba-hamba Allah
yang setia meninggalkan Bumi ini, roh mereka dibawa untuk
tinggal di tempat yang disebut firdaus (atau “pangkuan Abraham“—Lukas 16:19-31). Ingatlah ketika Yesus dipakukan di
kayu salib, dan memberitahu pencuri yang menyesal, “Hari ini
juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam
Firdaus“ (Lukas 23:43). Kata firdaus adalah turunan dari kata
Persia, dan artinya ”taman” atau “kebun.” Ke manakah Yesus
dan pencuri itu pergi? Tak satu pun dari mereka pergi ke soga untuk tinggal bersama Allah Bapa pada hari itu juga, karena
dalam Yohanes 20:17 setelah kebangkitan-Nya, Yesus meyakinkan Maria bahwa Ia belum pergi kepada Bapa. Jadi ke manakah Yesus dan pencuri itu pergi setelah mati di kayu salib?
Petrus memberi jawaban untuk pertanyaan itu dalam khotbahnya dalam Kisah Para Rasul 2 ketika ia mengutip Mazmur 16:
Kisah Para rasul 2:27 menyatakan bahwa Allah tidak akan
menyerahkan jiwa Kristus dalam hades, dan juga tidak membiarkan Kristus mengalami kebinasaan. Jadi selagi mayat
Kristus terbaring di dalam kubur selama tiga hari, roh Kristus
pergi ke hades. [ CATATAN : Kata hades muncul sepuluh
kali dalam Perjanjian Baru, dan selalu mengacu kepada dunia
orang mati yang tak terlihat—alam roh tanpa tubuh di mana
semua orang mati menunggu kedatangan dan penghakiman Tuhan. Salah satu bagian hades, tempat Yesus dan pencuri
itu pergi, dikenal sebagai firdaus.] Petrus berpendapat bahwa
Daud, yang menulis Mazmur 16, tidak sedang mengacukan
dirinya sendiri, karena mayat Daud masih berada di dalam
kubur (Kisah 2:29), dan rohnya masih berada di alam hades
(Kisah 2:34). Kisah Para Rasul 2 menunjukkan bahwa seorang
hamba Allah yang setia tidak pergi langsung ke tempat Allah
Bapa ketika ia mati; sebaliknya, ia pergi ke tempat penampungan di hades yang dikenal sebagai firdaus—tempat yang
sama yang Abraham tuju setelah ia mati (Lukas 16:22 dst.), dan
tempat yang sama di mana roh Elia pergi setelah ia diangkat
dari Bumi. Singkatnya, Alkitab tidak mengajarkan bahwa Elia
meninggalkan Bumi untuk segera mulai tinggal di hadirat Bapa
(di mana Yesus berada sebelum inkarnasi-Nya—Yohanes 1: 1).
Dengan demikian, secara teknis ia tidak naik ke “tempat” di
mana Yesus datang.
Demi argumentasi, pertimbangkan sejenak bahwa skeptis itu benar, dan bahwa roh Elia tidak pergi ke firdaus, tetapi dibawa untuk tinggal di hadirat Allah. Dapatkah Yesus tetap
membuat pernyataan yang Ia nyatakan itu, namun tidak salah?
Kita percaya begitu. Perhatikan lagi respons terhadap pertanyaan Nikodemus, ”Bagaimanakah mungkin hal itu terjadi?”
Yesus berkata: “Kamu tidak percaya, waktu Aku berkata-kata
dengan kamu tentang hal-hal duniawi, bagaimana kamu akan
percaya, kalau Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal
sorgawi? Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga,
selain dari pada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak
Manusia” (Yohanes 3:12-13, huruf tebal ditambahkan). Bisa jadi
yang Yesus maksudkan tidak lebih daripada bahwa tidak ada
seorang pun yang pernah naik ke sorga “dengan perbuatan-nya
sendiri” atau ”dengan caranya sendiri” (lihat Bullinger, 1898, p.
281-282). Elia dan Henokh telah diangkat oleh Allah, yang berbeda dari naik ke atas secara bebas dengan kemampuannya
sendiri. Selanjutnya, kata-kata Yesus, “tidak ada seorang pun
yang pernah naik ke sorga,” juga dapat berarti bahwa tidak ada
orang yang naik ke sorga untuk kemudian kembali dan bicara
langsung tentang apa yang ia telah lihat, dan untuk menyebarkan pesan keselamatan yang sama seperti yang diberitakan
Yesus. Yesus sedang menekankan kepada Nikodemus bahwa
tidak ada seorang pun di Bumi pada waktu itu yang mengungkapkan kebenaran rohani seperti yang Kristus ungkapkan,
karena tidak ada orang yang pernah naik ke sorga hanya untuk
kembali lagi dan bicara tentang apa yang telah ia lihat dan
ketahui. Tampaknya itulah yang menjadi poin utama yang
Yesus buat dalam Yohanes 3:13. Tidak ada satu orang pun di
Bumi yang sudah melihat apa yang Yesus lihat, dan karenanya
tidak dapat mengajarkan apa yang Ia ajarkan.
Sesungguhnya, tuduhan skeptis bahwa Yesus berbohong atau keliru tentang komentar-Nya kepada Nikodemus
mengenai tidak ada satu orang pun yang pernah naik ke sorga adalah tidak terbukti. Mungkin kata sorga yang digunakan
dalam 2 Raja-Raja 2:11 tidak dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan tentang sorga rohani di mana Allah berada.
Atau, dengan mengingat ajaran Alkitab tentang roh-roh orang
benar yang telah pergi di tempat penampungan yang dikenal
sebagai firdaus, dan bukan di hadirat sebenarnya Allah yang
Mahakuasa, maka bisa jadi yang Yesus maksudkan adalah
tidak ada orang yang pernah naik ke ruang takhta Allah yang
dari sana Ia datang. Selanjutnya, juga menarik untuk dicatat
bahwa Nikodemus, sebagai “orang Farisi” (Yohanes 3:1), dan
dengan demikian orang yang seharusnya sudah sangat mengenal baik rincian Perjanjian Lama, tidak merespons Yesus
dengan mengatakan, “Tunggu sebentar, Rabi. Bagaimana dengan Elia dan Henokh? Bukankah itu tertulis dalam hukum
Taurat dan para nabi bahwa mereka naik ke sorga?“ Tentunya,
seandainya Yesus berkontradiksi dengan sesuatu dalam hukum Taurat dan kitab para nabi, hal itu akan sudah diungkapkan kepada Dia, terutama oleh seorang Farisi. Namun begitu,
rasul Yohanes tidak pernah mencatat pernyataan seperti itu.
Harus diakui, sepintas lalu, pernyataan, “naiklah Elia ke
sorga dalam angin badai” (2 Raja 2:11) dan “Tidak ada
seorangpun yang telah naik ke sorga” (Yohanes 3:13), seolaholah mungkin terlihat tidak sesuai. Namun begitu, ketika
orang mempertimbangkan semua solusi yang memungkinkan
terhadap segala tuduhan bahwa Yesus tidak mengetahui kenaikan Elia dan Henokh, ia harus mengakui bahwa kesimpulan
seperti itu tidak dapat dibenarkan.
Apakah Yesus Menyangkal Kesempurnaan Moral?
Menjelang akhir pelayanan duniawi Yesus, seorang penguasa muda yang kaya (yang tidak disebut namanya) datang
kepada Yesus dengan pertanyaan penting. Ketika ia akhirnya sampai kepada Yesus, pemuda itu dengan rendah hati berlutut
di hadapan Kristus dan bertanya, “Guru yang baik, apa yang
harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
(Markus 10:17). Sebelum Yesus menjawab pertanyaan laki-laki
itu, pertama-tama Ia menjawab dengan mengatakan, “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain
daripada Allah saja“ (Markus 10:18). Yesus lalu melanjutkan
untuk menjawab pertanyaan orang kaya itu dengan memerintahkan dia untuk mematuhi semua perintah Allah.
Apakah yang Yesus maksudkan ketika Ia menyatakan
bahwa “tak seorangpun yang baik selain daripada Allah
saja”? Apakah pertanyaan Tuhan itu dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa tidak ada orang lain selain Allah yang harus
disebut “baik”? Apakah pertanyaanNya (“Mengapa kaukatakan Aku baik?”) ditanyakan karena Ia tidak percaya bahwa
Ia baik dalam pengertian Allah adalah baik? Kaum skeptis
menuduh bahwa Yesus sedang menyangkal kesempurnaan
moral—bahwa Ia bukan benar-benar Allah dalam daging seperti yang telah diklaim oleh banyak orang (bdk. Matius 16:16;
Yohanes 20:28; dll.). Bagaimanakah kebenaran masalahnya?
Pertama-tama, Yesus sedang tidak mengajarkan bahwa
kita tidak akan pernah dapat menggambarkan orang lain dengan menggunakan kata sifat “baik.” Jika demikian, maka ini
tidak hanya bertentangan dengan pernyataan lain oleh Yesus,
tetapi juga isi lain Kitab Suci. Pemazmur menyatakan bahwa
orang yang “menaruh belas kasihan dan yang memberi pinjaman” adalah “orang baik ” (Mazmur 112:5; NKJV). Orang
bijak mengatakan bahwa “Orang baik meninggalkan warisan
bagi anak cucunya” (Amsal 13:22). Dalam sejarahnya tentang
gereja mula-mula, Lukas menulis bahwa “Barnabas adalah
orang baik ” (Kisah 11:24). Bahkan Yesus menyatakan sebelum
pertemuan-Nya dengan penguasa muda yang kaya itu bahwa “Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik“ (Matius 12:35). Jadi, ketika Yesus
bicara kepada penguasa kaya itu Ia tidak sedang menggunakan
kata “baik” dalam pengertian manusia adalah “baik.” Sebaliknya, Ia sedang menggunakan itu dalam pengertian Allah adalah “amat baik.” Jenis kebaikan yang Ia sedang acukan hanya
milik Allah saja.
Kita mengerti bahwa Yesus tidak bermaksud kita harus
menghapus kata “baik” dari semua percakapan kecuali kita
sedang menggambarkan Allah. Tetapi apakah Kristus sedang
menyiratkan bahwa Ia bukan Allah atau bahwa Ia tidak
sempurna secara moral? Tidak. Yesus menunjukkan pada beberapa kesempatan lain bahwa Ia adalah ilah (lih. Markus 14:62;
Yohanes 9:36-38; 10:10; dll.), maka pernyataan-Nya yang dicatat
dalam Markus 10:17-22 (serta dalam Matius 19:16-22 dan Lukas
18: 18-23) tentu tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan keAllahan-Nya. Selanjutnya, Alkitab menyatakan bahwa Yesus
tidak pernah berbuat dosa—yaitu, Ia sempurna secara moral. Ia
“telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15). Yesus
“tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya”
(1Petrus 2:22). Dalam percakapan-Nya dengan penguasa kaya,
Yesus tidak bermaksud untuk menyangkal keilahian, sebaliknya Ia sebenarnya sedang menyatakan bahwa Ia adalah Allah
(dan dengan demikian sempurna secara moral). Yesus hanya
ingin pemuda ini menghargai pentingnya sebutan yang ia telah
gunakan, dan untuk menyadarkan dia kepada Siapa ia sedang
bicara. Singkatnya, kata-kata Kristus itu dapat dialihbahasakan
demikian: ”Apakah engkau tahu arti kata ini yang engkau
terapkan kepada-Ku dan yang engkau gunakan dengan bebas?
Tidak ada yang baik kecuali Allah; jika engkau menerapkan
istilah itu kepada-Ku, dan engkau mengerti apa yang engkau maksudkan, maka engkau menegaskan bahwa Aku adalah
Allah“ (Foster, 1971, p. 1022).
Apakah Yesus Munafik?
Orang yang memerintahkan seseorang untuk menahan
diri dari melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak pantas,
tetapi kemudian mulai melakukan hal yang ia larang untuk
dilakukan oleh orang lain, dianggap sebagai orang munafik.
Seorang pengkhotbah yang mengajarkan tentang keberdosaan
mabuk (bdk. Galatia 5:21), tetapi beberapa saat kemudian
terlihat sempoyongan di jalan, mabuk alkohol, dapat dituduh
bersalah atas kemunafikan. Beberapa orang menuduh Yesus
melakukan pengajaran yang tidak tulus seperti itu. Diduga,
dalam khotbah di mana Ia mengecam orang-orang Farisi atas
kejahatan mereka (Matius 5:20), Yesus mengungkapkan keberdosaan-Nya sendiri dengan cara menyalahkan mereka yang
menggunakan kata yang terkadang Ia ucapkan. Berdasarkan
larangan penggunaan kata “bodoh” dalam Matius 5:22 (NKJV),
dan penggunaannya atas kata ini di tempat lain, orang-orang
skeptis menyatakan bahwa Yesus (yang Alkitab klaim ”tidak
berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya”—Petrus
2:22; bdk. 2Korintus 5:21), bersalah atas kemunafikan (lihat
Morgan, 2003; Wells, 2001). Dalam Matius 5:21-22, Yesus
menyatakan:
Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada
nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang
membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata
kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil [bodoh; NKJV]! harus diserahkan ke dalam neraka yang
menyala-nyala (Matius 5:21-22, huruf tebal ditambahkan).
Sementara dalam nas ini Yesus memperingatkan untuk
tidak menggunakan kata “bodoh,” dalam pasal-pasal lain Yesus secara terbuka menggunakan istilah ini untuk menggambarkan berbagai orang. Di penghujung Khotbah di Bukit, Yesus
menyamakan orang yang mendengarkan ajaran-Nya, tetapi
tidak menaatinya, dengan “orang bodoh yang mendirikan rumahnya di atas pasir” (Matius 7:26). Ketika mengajar tentang
perlunya bersiap diri untuk kedatangan-Nya yang kedua, Yesus membandingkan mereka yang tidak siap bagi kedatanganNya dengan lima gadis yang bodoh (Matius 25:1-12). Lalu,
ketika Yesus sedang mengecam orang-orang Farisi karena ketidakkonsistenan mereka dalam masalah agama, Ia menyatakan,
“Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata:
Bersumpah demi Bait Suci, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat. Hai kamu
orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih
penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu?”
(Matius 23:16-17; bdk. 23:18-19). Pertanyaan yang diajukan beberapa orang sebagai respons terhadap pernyataan munafik ini
adalah, “Bagaimana bisa Yesus mengutuk penggunaan kata
‘bodoh’ dalam Matius 5:22, tetapi kemudian Ia sendiri melanjutkan penggunaan kata ini pada beberapa kesempatan lain?”
Pertama, agar pernyataan Yesus dalam Matius 5:22 bertentangan dengan tindakan-Nya yang dicatat dalam nas-nas
lain, orang skeptis harus membuktikan bahwa istilah “bodoh,”
seperti digunakan dalam 5:22 adalah kata yang sama yang digunakan di tempat lain. Kata Yunani “Raca,” yang digunakan
sebelumnya dalam Matius 5:22, adalah transliterasi istilah Aram yang arti tepatnya diperdebatkan. [Kemungkinan besar,
itu berarti “orang kosong yang bertindak sebagai orang bodoh” (Lenski, 1961a, p. 219; bdk. juga Robertson, 1930, 1:44).]
Arti tepat istilah “bodoh” (bahasa Yunani more) dalam konteks
ini juga diperdebatkan. “Kebanyakan sarjana memahaminya,
seperti versi Siria kuno, sebagai engkau bodoh” (Bauer, et al.,
1957, p. 533, huruf tebal dari aslinya). Meski beberapa orang
beranggapan bahwa more adalah kata seru dari kata Yunani
moros, kemungkinan besar, sama seperti “Raca” adalah bukan
kata Yunani, demikian pula kata more yang Yesus gunakan di
sini. Jika demikian, maka itu adalah kata yang bagi telinga
orang Yahudi berarti “memberontak (melawan Allah)” atau
“murtad”; itu adalah kata yang dalam kegusaran Musa gunakan terhadap orang Israel yang tidak merasa puas di padang
gurun Zin … (Bilangan 20:10). Karena kata-kata kasar ini, yang
diucapkan di bawah provokasi yang intens itu, Musa tidak dapat masuk ke dalam Tanah Perjanjian (Kaiser, et al., 1996, p.
359).
Dengan demikian, sangat mungkin bahwa more (diterjemahkan “[E]ngkau bodoh” dalam Matius 5:22) bukan kata Yunani normal moros (bodoh) yang Yesus terapkan kepada orangorang Farisi pada kesempatan lain (Matius 23:17,19), tetapi
mewakili kata Ibrani moreh (bdk. Bilangan 20:10). [Untuk alasan
ini, para penerjemah dari American Standard Version menambahkan catatan pinggir untuk kata ini dalam Matius 5:22:
“Atau, Moreh, ungkapan kata Ibrani untuk penghukuman.”]
Jelasnya, jika dua kata yang berbeda itu dipertimbangkan,
Yesus secara logis tidak dapat dianggap munafik.
Kedua, harus diingat bahwa komentar Yesus dalam Matius 5:22 dibuat dalam konteks di mana Ia mengutuk kemarahan
yang tidak benar (5:21-26). Meski orang-orang Farisi menghukum pembunuhan, tetapi mereka mengabaikan emosi dan sikapjahat yang kadang-kadang menimbulkan penumpahan darah
orang tidak bersalah, Yesus mengutuk tindakan dan pikiran
itu. Alih-alih hanya menangani masalah “luarnya,” Yesus masuk ke dalam inti masalahnya. Sebagai orang yang “tahu apa
yang ada di dalam hati manusia” (Yohanes 2:25), Yesus lebih
daripada memenuhi syarat untuk menyatakan hukuman ke
atas orang-orang Farisi yang munafik (bdk. Yohanes 12:48).
Sebagaimana kefasikan yang menjadi ciri perbuatan sedekah
(Matius 6:1-4), doa (6:5-15), puasa (6:16-18), dan penghakiman
(7:1-5) orang-orang Farisi, Yesus juga mengecam amarah mereka yang tidak benar. [ CATATAN: Yesus tidak mengecam semua kemarahan (bdk. Efesus 4:26; Yohanes 2:13-17), hanya
kemarahan yang tidak benar.] Dalam konteks inilah Yesus
memperingatkan agar tidak menggunakan kata “bodoh.” Yesus sedang tidak melarang orang menyebut seseorang “bodoh”
jika itu dilakukan dengan cara yang tepat (bdk. Mazmur 14:1),
tetapi Ia melarang penggunaan kata itu ketika dilakukan dengan semangat penghinaan yang jahat. Ia “memperingatkan
agar tidak menggunakan kata bodoh sebagai bentuk pelecehan” yang menunjukkan “kebencian dalam hati seseorang terhadap orang lain“ (“Bodoh,“ 1986; bdk. Matius 5:43-48). Seperti
dalam banyak situasi lain, yang menjadi fokus larangan itu
tampaknya adalah sikap seseorang ketimbang kata-kata yang
sebenarnya.
Meski ayat ini, ketika dipahami dalam konteksnya, terlihat konsisten dengan perkataan dan tindakan Yesus yang
dicatat di tempat lain dalam catatan injil, namun larangan-Nya
tentang cara sebuah kata digunakan tidak boleh diabaikan dalam upaya para pembela untuk membela keilahan Kristus (atau
doktrin Alkitab lainnya). Kita bisa menyebut seorang ateis sebagai orang “bodoh” karena tidak mengakui keberadaan Allah
(Mazmur 14:1), tetapi melakukan hal itu dengan cara penuh kebencian, jahat adalah berdosa. Ingat, orang Kristen dipanggil
untuk “memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang”
dengan semangat yang “lemah lembut dan hormat” (1Petrus
3:15).
Apakah Yesus Mendorong Pencurian?
Bermacam-macam nas Kitab Suci mengajarkan—baik secara tersirat maupun tersurat—tentang dosa pencurian. Salah
satu dari Sepuluh Perintah yang Allah berikan kepada Israel
adalah: “Jangan mencuri” (Keluaran 20:15). Dalam Kitab Imamat, orang dapat membaca di mana “TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka:… Janganlah kamu mencuri, janganlah
kamu berbohong dan janganlah kamu berdusta seorang kepada
sesamanya.… Janganlah engkau memeras sesamamu manusia
dan janganlah engkau merampas’“ (19:1-2,11,13). Jika seorang
pencuri kedapatan membobol sebuah rumah pada malam hari
dan dipukuli hingga ia mati, hukum lama menyatakan bahwa
“si pemukul tidak berhutang darah” (Keluaran 22:2). Di bawah
perjanjian baru, rasul Paulus menyurati gereja di Efesus, dengan mengatakan, “Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri
lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan
yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan“ (4:28). Dan
kepada umat Kristen di Korintus, Paulus menulis bahwa para
pencuri “tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah?”
(1Korintus 6:9-11). Jadi, Allah jelas menganggap pencurian
sebagai pelanggaran atas hukum-Nya.
Namun begitu, para pengkritik keilahan Kristus menyatakan bahwa Yesus pernah memerintahkan murid-muridnya
untuk mencuri seekor keledai dan keledai muda sebelum memasuki Yerusalem selama minggu terakhir kehidupan-Nya. Menurut catatan injil Matius, Yesus menyuruh murid-muridNya, dengan berkata, “Ketika Yesus dan murid-murid-Nya
telah dekat Yerusalem dan tiba di Betfage yang terletak di Bukit
Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya dengan pesan:
‘Pergilah ke kampung yang di depanmu itu, dan di situ kamu
akan segera menemukan seekor keledai betina tertambat dan
anaknya ada dekatnya. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah
keduanya kepada-Ku. Dan jikalau ada orang menegor kamu,
katakanlah: Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengembalikannya” (Matius 21:1-3). Lukas menambahkan, “Lalu pergilah mereka yang disuruh itu, dan mereka mendapati segala
sesuatu seperti yang telah dikatakan Yesus. Ketika mereka
melepaskan keledai itu, berkatalah orang yang empunya
keledai itu: ‘Mengapa kamu melepaskan keledai itu?’ Kata
mereka: ‘Tuhan memerlukannya.’ Mereka membawa keledai
itu kepada Yesus“ (Lukas 19:32-35). Mengenai kisah ini, skeptis
Dennis McKinsey bertanya: “Apakah kita harus percaya bahwa
ini bukan pencurian? Bayangkanlah melihat orang asing membawa pergi mobil Anda sambil mengklaim Tuhan membutuhkannya“ (1985, p. 1). Tampaknya, ”Yesus memberitahu orangorang itu untuk mengambil seekor keledai muda… tanpa izin
pemiliknya.” Dan itu, kata McKinsey, “umumnya dikenal sebagai pencurian” (2000, p. 236). Seorang kafir lain bernama Dan
Barker mengomentari peristiwa ini dalam kehidupan Yesus
dalam bukunya, Losing Faith in Faith: From Preacher to Atheist,
dengan mengatakan, “Saya diajari saat kecil bahwa ketika Anda mengambil sesuatu tanpa memintanya, itu pencurian“
(1992, p. 166). Namun apakah Yesus benar-benar mendorong
para murid-Nya untuk mencuri keledai dan keledai muda?
Dapatkah tindakan-Nya itu dijelaskan secara logis dalam terang beragam pernyataan di seluruh Kitab Suci yang dengan
jelas mengecam pencurian?Sebelum merespons berbagai kritikan ini, pertimbangkanlah hal berikut ini: Jika seorang suami mengirim email
kepada istrinya dan meminta dia pergi ke rumah seorang
tetangga dan mengambil truknya untuk dipakai mengangkut
tungku tua ke tempat barang rongsokan, akankah orang yang
membaca emailnya itu (mungkin menemukan salinannya yang
kusut di tempat sampah) dibenarkan dalam menyimpulkan
bahwa suami ini meminta istrinya untuk mencuri truk? Tentu
tidak. Karena di dalam email itu tidak ditemukan informasi
lain selain permintaan kepada istrinya tentang truk tetangga,
maka orang yang membaca tulisan itu harus memiliki akses
kepada informasi tambahan untuk sampai pada kesimpulan
bahwa suami itu dan istrinya bersalah atas pencurian. Pembaca
itu mungkin tidak mengetahui fakta bahwa sehari sebelumnya
suami itu telah membuat kesepakatan dengan tetangganya
tentang pengambilan truk itu. Atau, tetangga itu mungkin
sudah memberitahu suami itu beberapa waktu sebelumnya
bahwa ia boleh memakai truknya kapan pun ia membutuhkannya.
Apa yang tampaknya tidak pernah dipertimbangkan
oleh Tuan McKinsey dan para skeptis lainnya dalam mereka
menafsirkan Kitab Suci adalah bahwa Alkitab tidak mencatat
setiap rincian dari setiap peristiwa yang disebutkan (bdk.
Yohanes 21:25). Alkitab tidak dimaksudkan sebagai alur
waktu kronologis yang lengkap yang mengutip setiap detail
kehidupan semua orang yang disebutkan di dalamnya. Kitab
Kisah Para Rasul dalam Perjanjian Baru mencakup periode
waktu sekitar tiga puluh tahun, tetapi itu sebenarnya hanya
berisi tentang beberapa tindakan dari beberapa orang Kristen
mula-mula. Ada banyak hal lain lagi yang tidak dicatat di
dalamnya oleh Paulus, Petrus, Silas, Lukas, dan orang-orang
Kristen abad pertama lainnya. Misalnya, Paulus menghabiskan tiga tahun di Arab dan Damsyik setelah pertobatannya (Galatia
1:16-18), namun Lukas tidak menyebutkan rincian ini, juga
banyak hal yang Paulus capai selama tiga tahun ini.
Kasus Yesus memberitahu para murid-Nya untuk pergi
menemukan keledai dan keledai muda tidak membuktikan
pencurian, sebagaimana juga murid-murid Yesus yang mencari
dan menempati ”ruang atas” tidak membuat mereka masuk
tanpa izin (lih. Markus 14:13-15). Ketika mengutus dua muridNya untuk mendapatkan hewan yang diminta itu, Yesus memberitahu mereka dengan tepat ke mana harus pergi dan apa
yang harus dikatakan, seolah-olah Ia sudah tahu keadaan di
mana keledai dan keledai muda itu disediakan. Yesus mungkin
telah membuat pengaturan sebelumnya bagi penggunaan kedua keledai itu. Baik Tuan McKinsey maupun para skeptis lainnya tidak dapat membuktikan sebaliknya. Mirip dengan bagaimana seorang suami tidak wajib setiap pulang kerja malam
memberitahu istrinya semua yang ia telah lakukan setiap jam
di tempat kerja, Alkitab juga tidak berkewajiban untuk mengisi
setiap rincian dari setiap peristiwa, termasuk yang berkaitan
dengan perolehan dua ekor keledai itu. Tidak ada kontradiksi
atau tuduhan bersalah yang sah jika rincian keadaan yang tidak
diceritakan bisa dipostulatkan sehingga dapat menjelaskan informasi tersirat yang diberikan.
Selain itu, kepolosan Yesus dan murid-murid-Nya diperkuat oleh fakta bahwa para murid dapat pergi dengan membawa kedua keledai itu. Seandainya para murid benar-benar mencuri binatang itu, orang akan berpikir bahwa pemiliknya tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Juga, tidak
ada yang dikatakan dalam teks itu tentang apa yang terjadi pada kedua hewan itu setelah Yesus menunggangi mereka
ke Yerusalem. Sejauh yang kita tahu, murid-murid Yesus itudapat segera mengembalikan binatang-binatang itu kepada
pemiliknya.
Kaum skeptis yang menuduh Tuhan mencuri tidak memiliki dasar yang kuat untuk dipertahankan. Kecuali dapat dibuktikan bahwa murid-murid Yesus mengambil keledai itu
dengan paksa (dan tanpa izin sebelumnya), maka keadilan
menuntut agar tuduhan bersalah harus ditarik kembali.
Dalam Hal Apakah Allah Lebih Besar Daripada Yesus?
Karena banyak nas dalam Perjanjian Baru menunjukkan bahwa Yesus adalah ilahi, dan bukan sekadar manusia atau
malaikat (bdk. Yohanes 1:1,14; 10:30; Ibrani 1:5-14), beberapa orang melihat adanya inkonsistensi dalam pelbagai pernyataan seperti yang terdapat dalam Yohanes 14:28, di mana Yesus
menyatakan: “Bapa lebih besar daripada Aku” (Yohanes 14:28).
Diduga, ayat ini (di antara ayat-ayat lain—bdk. 1Korintus 11:3;
Markus 13:32; Kolose 3:1) membuktikan bahwa Yesus dan para
penulis Alkitab saling bertentangan dalam penggambaran mereka tentang sifat ilahi Yesus. Yesus tidak dapat menjadi satu
dengan Allah dan pada saat yang sama lebih rendah daripada
Allah, bukan? Bagaimanakah cara benar untuk memahami
Yohanes 14:28?
Pernyataan-pernyataan yang ditemukan dalam nas-nas
seperti Yohanes 14:28 (yang menunjukkan Yesus lebih rendah
daripada Allah), atau dalam Markus 13:32 (di mana Yesus menyatakan bahwa bahkan Ia tidak tahu pada hari apa Kedatangan Kedua akan terjadi), harus dipahami dalam terang apa
yang rasul Paulus tulis kepada gereja di Filipi tentang pembatasan diri Yesus selama masa hidup-Nya di Bumi. Kristus,
meski dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai perampokan, tetapi mem-buat diri-Nya tidak bereputasi [Ia “mengosongkan
diri-Nya sendiri”—NASB], dengan mengambil rupa
seorang hamba, dan datang dalam kesamaan dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:6-8, huruf
tebal ditambahkan; NKJV).
Sewaktu di Bumi, dan dalam daging, Yesus dengan sukarela
berada dalam posisi yang lebih rendah daripada Bapa. Kristus
“mengosongkan diri-Nya” (Filipi 2:7; Ia “membuat diri-Nya
kosong”—NIV ). Tidak seperti Adam dan Hawa, yang berupaya merebut kesetaraan dengan Allah (Kejadian 3:5), Yesus, Adam
terakhir (1Korintus 15:47), merendahkan diri, dan dengan patuh menerima peran seorang hamba. Keterbatasan duniawi
Yesus (bdk. Markus 13:32), bagaimanapun, bukan akibat dari
sifat kurang daripada Allah; sebaliknya, keterbatasan itu
adalah akibat dari ketundukan yang dilakukan sendiri yang
mencerminkan pelaksanaan kehendak-Nya yang berdaulat.
Sewaktu di Bumi, Yesus mengambil posisi tunduk sepenuhnya kepada Bapa, dan menggunakan sifat-sifat ilahi-Nya hanya
atas permintaan Bapa (lih. Yohanes 8:26,28-29) [Wycliffe... ,
1985]. Seperti yang juga dikomentari oleh A. H. Strong beberapa tahun yang lalu, Yesus “tidak melepaskan kepemilikan,
tidak juga penggunaan secara keseluruhan, tetapi lebih pada
penggunaan independen, sifat-sifat ilahi” (1907, p. 703).
Harus diakui, memahami Yesus sebagai 100% Allah dan
100% manusia bukan konsep yang mudah dipahami. Ketika
Yesus datang ke Bumi, Ia menambahkan keinsanian ke dalam
keilahian-Nya (Ia “dibuat serupa dengan manusia”). Untuk
pertama kali, Ia mengalami hal-hal seperti kelaparan, kehausan, pertumbuhan (baik fisik maupun mental), kesakitan, pe-nyakit, dan pencobaan (lih. Ibrani 4:15; Lukas 2:52). Namun
begitu, pada saat yang sama Yesus menambahkan keinsanian
ke dalam keilahian-Nya, Ia menempatkan diri-Nya dalam posisi yang lebih rendah daripada Bapa dalam hal fungsi peranan
(1Korintus 11:3). Singkatnya, ketika Yesus menegaskan, “Bapa
lebih besar dari-pada Aku” (Yohanes 14:28), Ia tidak sedang
menyangkal sifat ilahi-Nya; sebaliknya Ia sedang menyatakan
bahwa Ia telah menaklukkan diri-Nya secara sukarela kepada
kehendak Bapa.