Iman katolik 4

 


ngsa yang ditemukan yang tidak percaya kepada adanya 

semacam Wujud Tertinggi dan mempraktikkan agama dalam 

bentuk tertentu“ (1944, p. 42). Ia benar sekali. Tapi bukan hanya 

orang percaya yang telah mempresentasikan dan mendoku￾mentasikan jenis informasi ini . Bahkan orang yang tidak per￾caya telah didesak kepada kesimpulan seperti itu oleh bukti 

sejarah dan ilmiah. 

Lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, Clarence Darrow

dan Wallace Rice bergabung untuk mengedit buku berjudul 

Infidels and Heretics: An Agnostic's Anthology. Pada bagian dalam 

sampul depannya, deskripsi tentang isi buku itu mengatakan 

bahwa buku itu berisi ”kumpulan terbaik dari karya-karya 

paling penting dari para agnostik, skeptis, kafir dan bidat 

dunia yang hebat.“ Di halaman 146, para pengumpul tulisan itu 

mengutip skeptis terkenal, John Tyndall: 

Agama hidup bukan dengan kekuatan dan bantuan 

dogma, tetapi karena sudah tertanam dalam sifat 

manusia. Dengan memakai kiasan metalurgi, cetak￾annya telah rusak dan telah dibuat ulang berkali￾kali, tetapi bijih besi cairnya berada dalam sendok 

besar kemanusiaan. Pengaruh yang begitu dalam 

dan permanen itu sepertinya tidak bisa segera 

lenyap … (1929). 

Kira-kira lima puluh tahun kemudian, Edward O. Wilson

dari Universitas Harvard (yang dikenal sebagai “bapak” disi￾plin biologis sosiobiologi) menulis sebuah buku berjudul On Human Nature. Bagian dalam pada sampul depannya menya￾takan bahwa tujuan Wilson adalah “tidak kurang daripada 

untuk menuntaskan revolusi Darwin dengan menghadirkan

pemikiran biologis ke dalam pusat ilmu-ilmu sosial dan kema￾nusian.“ Wilson menulis: “Kecenderungan kepada kepercaya￾an agama adalah kekuatan yang paling kompleks dan kuat

dalam pikiran manusia dan dalam segala kemungkinannya me￾rupakan bagian yang tak terelakkan dari sifat manusia“ (1978, 

p. 167). Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa “kaum 

skeptis terus mengembangkan keyakinan bahwa sains dan 

pembelajaran akan melenyapkan agama, yang mereka anggap 

tidak lebih daripada jaringan ilusi,“ namun gagasan bahwa 

pembelajaran dan teknologi yang ditingkatkan akan melucuti 

umat manusia dari sifat keagamaannya ”tidak pernah terlihat 

sangat sia-sia seperti sekarang ini” (p. 170).








Sebagian besar anak-anak dan orang dewasa dapat de￾ngan mudah mengenal nama Yesus Kristus. Banyak yang bah￾kan dapat menceritakan kisah hidup-Nya. Juga yang dapat 

dengan mudah dikenali adalah nama-nama Peter Pan, Herku￾les, dan Sangkuriang. Dan kebanyakan orang dapat juga men￾ceritakan “fakta-fakta” dari dongeng-dongeng ini. Apakah 

Yesus dari Nazaret merupakan tokoh fiktif yang pantas untuk 

dimasukkan dalam daftar yang berisi para penyihir yang me￾nakjubkan, para pemburu naga yang berani, dan para pah￾lawan terbang anak-anak? Pengkhotbah denominasi yang 

berubah menjadi ateis, Dan Barker menjawab “ya” dengan sua￾ra yang keras ketika ia menulis:

Kisah-kisah dalam Injil tidak lebih bersejarah dari￾pada catatan penciptaan dalam Kejadian yang ber￾sifat sainstifik. Kisah-kisah itu dipenuhi dengan mu￾jizat-mujizat yang dibesar-besarkan, dan propagan￾da yang diakui sendiri. Mereka ditulis selama kon￾teks waktu ketika pelbagai mitos dilahirkan, diper￾tukarkan, diuraikan, dan dikorupsi, dan mereka di￾tulis untuk para pendengar yang rentan terhadap 

dongeng-dongeng seperti itu. Mereka dikerat dari 

sumber yang sama sebagaimana agama-agama dan 

dongeng-dongeng lain waktu itu. Dengan pertim￾bangan itu, masuk akal untuk menyimpulkan 

bahwa Yesus Perjanjian Baru adalah mitos (1992, 

p. 378, huruf tebal ditambahkan). Dan Barker bukan satu-satunya orang skeptis yang menyua￾rakan perlawanan terhadap gagasan tentang Yesus historis.

Timothy Freke dan Peter Gandy berpendapat:

Kami menjadi yakin bahwa kisah Yesus adalah bu￾kan biografi tentang Mesias historis, tetapi mitos 

yang didasarkan pada kisah-kisah Pagan yang aba￾di. Agama Kristen bukan wahyu yang baru dan 

unik tetapi sebenarnya adaptasi Yahudi terhadap 

agama Misteri Pagan kuno. Ini adalah apa yang 

telah kami sebut Tesis Misteri Yesus … (1999, p. 2, 

huruf tebal dari aslinya). 

Begitu juga, skeptis Marshall J. Gauvin menulis: “Keilah￾ian Kristus tidak hanya telah ditinggalkan, tetapi keberadaan￾nya sebagai manusia sedang semakin serius dipertanyakan.

Beberapa sarjana dunia yang paling mumpuni menyangkal 

sama sekali bahwa ia pernah hidup“ (1995-2005). Pada awal 

2006, seorang ateis Italia bahkan menuntut seorang imam Ka￾tolik semata karena mengajarkan bahwa Yesus Kristus pernah 

hidup di Bumi 2.000 tahun yang lalu (lihat Lyman, 2006; 

Owen, 2006). 

Apakah pandangan seperti itu berdasarkan bukti sejarah 

dan oleh sebab itu layak dipertimbangkan dengan serius? Atau 

apakah pandangan itu hanya angan-angan mereka yang lebih 

suka percaya—untuk alasan apa pun—bahwa Kristus tidak 

pernah hidup? Apakah Yesus Kristus adalah manusia yang 

kaki-Nya menjadi kotor dan yang tubuh-Nya kelelahan seperti 

halnya manusia lainnya? Untungnya, pertanyaan-pertanyaan 

semacam itu dapat dijawab dengan memeriksa secara jujur 

bukti sejarah yang tersedia . 

Apakah yang dimaksud dengan manusia “historis”? Mar￾tin Kähler berpendapat: ”Bukankah itu adalah orang yang me-mulai dan mewariskan pengaruh yang permanen? Ia adalah 

salah satu individu yang dinamis yang mengintervensi perja￾lanan peristiwa“ (1896, p. 63). Mengenai historisitas Kristus, 

Marshall Gauvin yang skeptis secara benar menulis, ”Perta￾nyaannya adalah—apakah yang sejarah katakan? Dan perta￾nyaan itu harus diselesaikan dalam pengadilan kritik sejarah. 

Jika dunia yang berpikir ingin mempertahankan pendapat 

bahwa Kristus adalah tokoh nyata, maka harus ada cukup bukti 

untuk menjamin keyakinan itu“ (1995-2005). Apakah ada cukup

catatan untuk mendokumentasikan klaim bahwa Yesus Kristus 

telah “mengintervensi perjalanan peristiwa” yang dikenal seba￾gai sejarah dunia? Sesungguhnya, catatan itu ada.

KESAKSIAN PARA MUSUH

Menariknya, jenis catatan pertama berasal dari apa yang 

dikenal sebagai sumber yang “bermusuhan”—para penulis

yang menyebut Yesus dalam terang negatif atau secara meng￾hina. Para penulis seperti itu tentunya tidak punya kecende￾rungan untuk memajukan kepentingan Kristus atau sebalik￾nya untuk menambah kepercayaan kepada eksistensi-Nya.

Faktanya, yang benar adalah sebaliknya. Mereka menolak 

ajaran-Nya dan sering juga mencerca Dia. Dengan demikian, 

orang dapat memeriksa catatan-catatan itu tanpa tuduhan 

memihak.

Dalam bukunya, The Historical Figure of Jesus, E. P. 

Sanders menyatakan: “Sebagian besar literatur abad pertama 

yang masih ada ditulis oleh para anggota dari kelompok elit 

Kerajaan Romawi yang sangat kecil . Bagi mereka, Yesus (jika 

mereka pernah mendengar tentang dia sama sekali) hanya 

seorang pengacau dan penyihir yang menyusahkan dalam 

belahan dunia yang kecil dan terbelakang“ (1993, p. 49, komentar dalam tanda kurung dari aslinya). Kepada “kelom￾pok elit kecil Kerajaan Romawi“ inilah kita memalingkan 

perhatian kita untuk dokumentasi eksistensi Kristus.

 

Tacitus

Tacitus (sekitar 56-117 M.) harus termasuk yang perta￾ma dari beberapa saksi yang bermusuhan yang dipanggil 

untuk bersaksi. Ia adalah anggota dari kelas atas provinsi 

Romawi yang memiliki pendidikan formal dan menduduki 

beberapa jabatan tinggi di bawah beberapa kaisar yang berbeda 

seperti Nerva dan Trajan (lihat Tacitus, 1952, 15:7). Karyanya 

yang terkenal, Annals, adalah sejarah Roma yang ditulis sekitar 

tahun 115 M. Dalam Annals ia berkisah tentang Api Besar 

Roma, yang terjadi pada 64 M. Nero, kaisar Romawi yang ber￾kuasa pada waktu itu, dicurigai oleh banyak orang sebagai 

yang telah memerintahkan kota itu dibakar. Tacitus menulis:

Nero menciptakan kambing hitam—dan menghu￾kum tanpa ampun orang-orang Kristen yang terke￾nal bejat (sebagaimana sebutan populer mereka). 

Pionir mereka, Kristus, telah dieksekusi dalam peme￾rintahan Tiberius oleh gubernur Yudea, Pontius Pila￾tus. Namun terlepas dari kemunduran sementara ini 

takhayul yang mematikan itu telah merebak lagi, 

tidak hanya di Yudea (di mana kerusakan itu ber￾awal) tetapi bahkan di Roma (1952, 15, 44, komentar 

dalam tanda kurung dari aslinya). 

Tacitus membenci orang Kristen dan yang senama de￾ngan mereka, Kristus. Karena itu ia tidak punya apa-apa yang 

positif untuk dikatakan tentang apa yang ia acukan sebagai 

“takhayul yang mematikan.” Bagaimanapun, ia memang pu￾nya sesuatu untuk dikatakan tentang hal itu. Kesaksiannya menetapkan tanpa keraguan bahwa Agama Kristen tidak hanya 

relevan secara historis, tetapi bahwa Kristus, sebagai pencetus￾nya, adalah tokoh sejarah yang sedemikian menonjol yang dapat 

diverifikasi sehingga Ia bahkan menarik perhatian kaisar Roma￾wi itu sendiri!

Suetonius

Kesaksian bermusuhan tambahan berasal dari Suetoni￾us, yang menulis sekitar 120. M. Robert Graves, sebagai pener￾jemah karya Suetonius, The Twelve Caesars, menyatakan: 

Suetonius beruntung memiliki akses yang disiap￾kan kepada pelbagai arsip Kerajaan dan Senator 

dan kepada tumpukan besar riwayat hidup orang 

sezaman dan dokumen-dokumen umum, dan diri￾nya sendiri juga hidup hampir tiga puluh tahun di 

bawah beberapa kaisar. Sebagian besar informasi￾nya tentang Tiberius, Caligula, Claudius, dan Nero 

berasal dari para saksi mata atas pelbagai peris￾tiwa yang digambarkan itu (Suetonius, 1957, p. 7). 

Kesaksian Suetonius adalah potongan bukti sejarah yang 

dapat diandalkan. Dalam sejarahnya, Suetonius menulis: ”Ka￾rena orang-orang Yahudi di Roma menimbulkan gangguan 

terus-menerus atas dorongan Chrestus, ia [Claudius—KB/EL] 

mengusir mereka dari kota itu“ (Claudius, 25:4; perhatikan bah￾wa dalam ayat 18:2 Lukas menyebutkan pengusiran ini oleh 

Claudius). Sanders berkomentar bahwa Chrestus kemungkin￾an besar adalah ejaan yang salah untuk Christos, “kata Yunani 

itu menerjemahkan kata Ibrani ‘Messiah’“ (1993, pp. 49-

50). Suetonius lebih lanjut menulis: “Hukuman juga dijatuhkan 

ke atas orang Kristen, sebuah sekte yang menganut keyakinan 

agama yang baru dan jahat“ (Nero, 16:2). Sekali lagi, terbukti bahwa Suetonius dan pemerintah Romawi memiliki perasaan 

benci terhadap kumpulan pemberontak yang jahat ini. 

 

Plinius Yang Muda

Bersama Tacitus dan Suetonius, Plinius Yang Muda harus

diizinkan untuk duduk di antara para saksi Romawi yang 

bermusuhan. Sekitar tahun 110-111 M., Plinius diutus oleh kai￾sar Romawi Trajan untuk mengatur urusan di wilayah Bitinia. 

Dari wilayah ini, Plinius berkorespondensi dengan kaisar ten￾tang masalah yang ia anggap cukup serius. Ia menulis: “Kare￾na tidak pernah hadir dalam pengadilan orang Kristen, saya 

tidak mengenal metode dan batasan-batasan yang harus dija￾lankan dalam memeriksa atau menghukum mereka“ (Letters). Ia 

kemudian melanjutkan dengan menyatakan:

Sementara itu, metode yang saya sudah jalankan

untuk mereka yang telah dilaporkan kepada saya

sebagai orang Kristen adalah ini: Saya mengintero￾gasi mereka apakah mereka itu orang Kristen; jika 

mereka mengakuinya, saya mengulang kembali per￾tanyaan itu dua kali, dengan menambahkan ancam￾an hukuman mati; jika mereka tetap bertahan, saya

memerintahkan mereka untuk dieksekusi (Letters).

Plinius menggunakan istilah “orang Kristen” atau 

“orang-orang Kristen” tujuh kali dalam suratnya, dengan begi￾tu menguatkan itu sebagai istilah yang diterima secara 

umum yang diakui oleh Kerajaan Romawi dan kaisarnya. 

Plinius juga menggunakan nama “Kristus” tiga kali untuk 

mengacukan pencetus “sekte” itu. Ia menulis bahwa mereka 

yang telah menganut agama Kristen meneguhkan, bagaimanapun, keseluruhan kesalah￾an mereka, atau kekeliruan mereka, adalah, bahwa 

mereka memiliki kebiasaan berhimpun pada hari 

tertentu yang tetap sebelum fajar, ketika mereka 

bergantian menyanyikan bait-bait sebuah himne 

kepada Kristus, seperti kepada seorang dewa, dan 

mengikatkan diri mereka dengan sumpah yang 

serius, untuk tidak melakukan perbuatan jahat apa 

saja … (Letters). 

Tidak dapat disangkal bahwa kasus orang Kristen, de￾ngan Kristus sebagai pendiri mereka, telah berbiak sedemikian 

rupa sehingga menarik perhatian kaisar dan para hakimnya 

pada waktu surat Plinius ditujukan kepada Trajan. Dalam 

terang bukti ini, tidak mungkin menyangkal fakta bahwa Yesus

Kristus pernah eksis dan diakui oleh para pejabat tertinggi

dalam pemerintahan Romawi sebagai manusia yang aktual, 

historis. 

Beberapa orang telah berusaha meniadakan kesaksian

para saksi Romawi yang bermusuhan ini terhadap historisitas 

Kristus dengan menyarankan bahwa “sumber-sumber Romawi

yang menyebutkan dia semuanya bergantung pada laporan 

orang Kristen“ (Sanders, 1993, p. 49). Misalnya, dalam buku￾nya, The Earliest Records of Jesus, Francis Beare meratap: 

Segala sesuatu yang telah dicatat tentang Yesus

historis dicatat untuk kita oleh orang-orang yang 

kepada siapa Ia adalah Kristus Tuhan; dan kita 

tidak dapat menghapus iman mereka dari catatan 

itu tanpa membuat catatan itu sendiri nyaris kurang

berharga. Tidak ada Yesus yang dikenal dalam seja￾rah kecuali dia yang digambarkan oleh para pengi-kutnya sebagai Kristus, Anak Allah, Juruselamat 

untuk Dunia (1962, p. 19). 

Usulan semacam itu sama anehnya seperti hal yang 

memalukan. Bukan saja tidak ada bukti untuk mendukung 

klaim seperti itu, tetapi semua bukti yang ada menentang klaim 

itu. Lebih jauh lagi, menyarankan bahwa para sejarawan kelas 

atas Romawi seperti itu akan mengajukan untuk memasukkan 

ke dalam tawarikh resmi sejarah Romawi (untuk dilestarikan 

bagi keturunan mereka) fakta-fakta yang terkait dengan diri 

mereka oleh orang-orang pemberontak yang terkenal “nakal,” 

“bejad,” “takhayul” adalah pendapat yang tidak dapat diperta￾hankan.

Bahkan pembaca biasa yang melihat sepintas kesaksi￾an para saksi Romawi yang bermusuhan itu yang memberikan 

kesaksian tentang historisitas Kristus akan dikejutkan oleh fak￾ta bahwa orang-orang kuno ini menggambarkan Kristus itu 

bukan sebagai Anak Allah atau Juruselamat dunia. Mereka 

secara verbal melucuti dia dari gelar-Nya sebagai Anak, me￾nyangkal kemuliaan-Nya, dan mengecilkan keagungan-Nya. 

Mereka menggambarkan Dia bagi orang-orang sezaman mere￾ka, dan bagi keturunan mereka, sebagai manusia biasa. Namun 

demikian meski mereka tidak akurat tentang kebenaran Siapa

Dia sebenarnya, tetapi melalui kecaman pedas mereka bagaima￾napun juga mereka tetap mendokumentasikan bahwa Ia ada.

Dan untuk itu kita berhutang kepada mereka.

KESAKSIAN TENTANG YESUS 

DI KALANGAN ORANG YAHUDI

Meski banyak kesaksian yang bermusuhan tentang eksis￾tensi Yesus berasal dari para saksi di dalam Kerajaan Romawi, namun kesaksian semacam itu bukan satu-satu-nya jenis bukti 

sejarah yang bermusuhan yang tersedia. Siapa saja yang menge￾nal baik sejarah Yahudi akan segera mengenali Mishnah dan 

Talmud. Mishnah adalah kitab hukum tradisi Yahudi yang diko￾difikasi oleh Rabbi Yehuda sekitar tahun 200 M. dan dikenal oleh 

orang Yahudi sebagai “keseluruhan undang-undang yurispru￾densi agama” (Bruce, 1960, p. 100-102). Para rabi Yahudi mem￾pelajari Mishnah dan bahkan menulis sekumpulan komentari 

yang didasarkan pada Mishnah itu yang dikenal sebagai Gemaras. 

Mishnah dan Gemaras dikenal secara kolektif sebagai Talmud

(Bruce, 1960, p. 100-102). Talmud yang lengkap muncul sekitar 

300 M. Jika seseorang yang berpengaruh seperti Yesus pernah 

hidup di tanah Palestina selama abad pertama, tentu-nya para 

rabi akan sudah punya sesuatu untuk dikatakan tentang dia.

Tidak diragukan lagi, orang yang dianggap menantang para

pemimpin agama yang paling cerdas pada zaman-Nya—dan 

menang—akan disebut namanya di antara pendapat orang￾orang yang juga memiliki gelar kerabian-Nya. Seperti yang 

Bruce nyatakan: 

Menurut para Rabi sebelumnya yang pendapatnya

dicatat dalam tulisan-tulisan ini, Yesus dari Naza￾reth adalah seorang pelanggar di Israel, yang mem￾praktikkan sihir, mencemooh kata-kata orang bijak, 

menyesatkan orang-orang, dan mengatakan bahwa 

ia datang tidak untuk menghancurkan hukum 

Taurat tetapi untuk menambahkannya. Ia digan￾tung pada malam Paskah karena bidah dan menye￾satkan orang banyak. Murid-muridnya, yang lima 

dari mereka disebut namanya, menyembuhkan

orang sakit dalam namanya (1953, p. 102). Kutipan Bruce itu merangkum beberapa pemikiran yang 

diambil dari tulisan-tulisan Yahudi yang dikenal sebagai Sanhe￾drin Tractate, di mana para pemimpin Yahudi menulis: “Pada 

malam Paskah Yeshu digantung. Selama empat puluh hari 

sebelum eksekusi terjadi, sebuah kabar menyebar dan berseru, 

‘Ia akan dirajam karena ia telah melakukan sihir dan membujuk 

Israel untuk murtad.… Tapi karena tidak ada yang diutarakan 

untuk mendukung dia maka ia digantung pada malam Pas￾kah“ (Shachter, 43a). [Catatan: Yeshu atau Yeshua adalah ejaan 

Ibrani yang setara untuk nama Yesus.]

Yudaisme abad pertama, sebagian besar, menolak untuk 

menerima Yesus Kristus sebagai Anak Allah. Namun Yudais￾me tidak menolak untuk menerima Dia sebagai manusia histo￾ris dari kota harfiah yang dikenal sebagai Nazareth, atau men￾catat untuk keturunan mereka fakta-fakta yang sangat pen￾ting tentang kehidupan dan kematian-Nya.

 

Josephus

Josephus adalah saksi penting lain dari orang Yahudi. 

Sebagai anak Mattathias, ia lahir dari keluarga imamat Yahu￾di kelas atas sekitar 37 M. Pendidikannya dalam hukum Alki￾tab dan sejarah berada di antara yang terbaik pada zamannya 

(Sanders, 1993, p. 15). Pada usia sembilan belas tahun, ia menja￾di seorang Farisi. Ketika Yerusalem memberontak melawan 

kekuasaan Romawi, ia menjadi komandan pasukan Yahudi di 

Galilea. Setelah kehilangan sebagian besar anak buahnya, ia 

menyerah kepada orang Romawi. Ia mendapat kebaikan dari

orang yang menjadi komandan pasukan Romawi, Vespasianus, 

dengan meramalkan bahwa Vespasianus akan ditinggikan

kepada jabatan kaisar. Ramalan Josephus menjadi kenyataan 

pada pelantikan Vespasianus di tahun 69 M. Setelah Yerusalem 

jatuh, Josephus menerima nama keluarga kaisar (Flavius) danmenetap untuk menjalani kehidupan sebagai pensiunan peme￾rintah. Selama tahun-tahun belakangan ini ia menulis Antiqui￾ties of the Jews antara September 93 dan September 94 (Bruce, 

1960, pp. 102-104). Josephus sendiri memberikan tanggal penu￾lisan itu pada tahun ke tiga belas pemerintahan Domitianus 

(Rajak, 1984, p. 237). Orang-orang sezamannya memandang 

karirnya dengan geram sebagai salah satu pemberontakan 

yang mengkhianati bangsa Yahudi (Bruce, 1960, p. 103). 

Dua kali dalam Antiquities, nama Yesus mengalir dari 

pena Josephus. Antiquities 18:3:3 terbaca sebagai berikut: 

Dan di sekitar waktu ini muncul Yesus, orang bijak,

jika memang kita harus menyebut dia manusia; karena 

ia adalah pelaku pelbagai perbuatan yang menak￾jubkan, seorang guru bagi orang-orang yang mene￾rima kebenaran itu dengan senang hati. Ia menye￾satkan banyak orang Yahudi, dan juga orang Yuna￾ni. Orang ini adalah Kristus. Dan ketika Pilatus telah 

menghukum dia di kayu salib atas dakwaan oleh 

orang-orang terkemuka di antara kita, mereka yang 

mengasihi dia dari awal tidak lenyap; karena ia 

menampakkan diri hidup kembali kepada mereka pada 

hari ketiga, para nabi ilahi telah mengatakan semua ini 

dan ribuan hal-hal indah lainnya tentang dia: dan bah￾kan sekarang kaum Kristen, yang dinamai menurut 

namanya, belum juga lenyap (huruf miring ditam￾bahkan).

Sejumlah sejarawan tertentu menganggap bagian-bagian 

yang diberi huruf miring sebagai “Sisipan Kristen.” Namun 

begitu, tidak ada bukti dari kritik tekstual yang akan menjamin 

pendapat semacam itu (Bruce, 1953, p. 110). Faktanya, setiap 

naskah Yunani yang masih ada mengandung bagian-bagian yang diperdebatkan. Bagian ini juga ada dalam versi bahasa 

Ibrani dan bahasa Arab. Dan meski versi bahasa Arab sedikit 

berbeda, namun masih menunjukkan informasi tentang bagi￾an-bagian yang disengketakan (lihat Chapman, 1981, p. 29; 

Habermas, 1996, pp. 193-196). 

Umumnya ada beberapa alasan yang ditawarkan untuk 

menolak nas itu sebagai asli. Pertama, para penulis Kristen 

mula-mula seperti Justin Martyr, Tertullian, dan Origen tidak 

menggunakan pernyataan Josephus dalam mereka membela 

keilahian Kristus. Habermas mengulas bahwa Origen, pada 

kenyataannya, mendokumentasikan fakta bahwa Josephus 

(meski dirinya adalah orang Yahudi) tidak percaya bahwa Kris￾tus adalah Mesias (1996, p. 192; bdk. Against Celsus, 1:47 oleh 

Origen). Namun begitu, seperti yang juga Habermas tunjukan, 

penulis abad keempat Eusebius, dalam karyanya Ecclesiastical 

History (1:11), mengutip pernyataan Josephus tentang Kristus, 

termasuk kata-kata yang disengketakan. Dan tidak diragukan 

lagi ia memiliki akses kepada sumber-sumber yang jauh lebih 

kuno daripada yang tersedia sekarang.

Lebih jauh lagi, seharusnya tidak terlalu mengejutkan

bahwa para apologis Kristen mula-mula seperti itu tidak meng￾acu kepada Josephus dalam tulisan mereka. Wayne Jackson 

telah mengulas: 

Tulisan-tulisan Josephus mungkin saja tidak bersir￾kulasi secara luas pada saat itu di waktu itu. 

Antiquities karyanya belum selesai hingga sekitar 

93 M. Juga, mengingat fakta bahwa Josephus tidak 

dihormati oleh orang-orang Yahudi, karyanya itu 

mungkin tidak dihargai sebagai alat apologetik 

(1991b, 11:29). Saran semacam itu memiliki bobot. Profesor Bruce Metz￾ger berkomentar: “Karena Josephus dianggap sebagai seorang 

pengkhianat terhadap Yudaisme, maka para ahli Taurat Yahu￾di tidak tertarik untuk melestarikan pelbagai tulisannya untuk 

keturunan [mereka]“ (1968, p. 75). Thomas H. Horne, dalam 

karyanya Critical Introduction to the Study and Knowledge of the

Holy Scriptures, mengacu kepada fakta bahwa sumber bukti 

utama yang sering digunakan oleh apa yang disebut “bapak￾bapak gereja” adalah acuan kepada Perjanjian Lama daripada 

kepada sumber insani (1841, 1:463-464). Bukti itu membenar￾kan kesimpulan Horne. Misalnya, sebuah survei indeks terha￾dap delapan volume dari satu set multi-volume, The Ante￾Nicene Fathers, hanya mengungkapkan sebelas acuan kepada 

Josephus dalam keseluruhan set itu. 

Alasan kedua yang terkadang dikemukakan tentang me￾ngapa nas karya Josephus dalam Antiquities yang disengketa￾kan itu mungkin saja dikarenakan ”Sisipan Kristen” adalah 

fakta bahwa tampaknya tidak mungkin seorang penulis non￾Kristen akan memasukkan pernyataan seperti “orang ini ada￾lah Kristus” atau “jika memang kita harus menyebut dia manu￾sia.“ Tapi meski hal seperti itu bisa saja tidak mungkin, namun 

itu pastinya tidak di luar alam kemungkinan. Sejumlah alasan 

apa saja dapat menjelaskan mengapa Josephus mau menulis￾kan apa yang ia telah tulis. Sebagai contoh, Bruce memboleh￾kan kemungkinan bahwa Josephus mungkin saja sedang bicara 

secara sinis (1953, p. 110). Howard Key berpendapat:

Jika kita berasumsi bahwa Josephus, dalam mem￾buat pernyataan eksplisit tentang Yesus sebagai 

Mesias dan tentang kebangkitan, hanya sedang 

menyampaikan apa yang para pengikut Yesus

klaim atas namanya, maka tidak akan ada alasan untuk menyangkal bahwa ia sudah menuliskan itu 

[yaitu, frasa-frasa yang dianggap sisipan—KB / 

EL] (1970, p. 33). 

Perlu juga dicatat bahwa Josephus sulit untuk memenuhi 

syarat sebagai satu-satunya penulis tentang pernyataan-per￾nyataan seperti itu yang dibuat tentang Kristus oleh mereka 

yang menolak keilahian-Nya. Ernest Renan, misalnya, adalah 

sejarawan Prancis abad kesembilan belas yang bukunya, The 

Life of Jesus, berisi serangan frontal tentang keilahian Kristus 

yang mendapat perhatian besar di seluruh Eropa (lihat Thomp￾son, 1994, 14:5). Namun demikian dalam buku yang sama itu 

Renan menulis: “Orang yang mulia ini, yang setiap hari masih 

mengarahkan takdir dunia, yang bisa kita sebuat ilahi.… Di 

dalam dia terkondensasi semua apa yang baik dan dimuliakan 

dalam sifat kita“ (n.d.). 

Atau pertimbangkanlah H. G. Wells yang, pada tahun 

1931, menulis The Outline of History. Di halaman 270 dari karya 

terkenal itu, Wells menyebut Yesus sebagai “seorang nabi 

kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.“ Tidak ada 

orang yang mengenal Wells (orang yang pastinya tidak percaya 

kepada keilahian Kristus) akan pernah menuduh kisahnya 

itu telah dinodai oleh “sisipan Kristen.” Will Durant, seorang 

humanis terkenal, adalah orang yang mengaku ateis, namun ia 

menulis: “Pertanyaan terbesar di zaman kita bukan komunisme 

vs individualisme, bukan Eropa vs. Amerika, bahkan bukan 

Timur vs. Barat; pertanyaannya adalah apakah manusia dapat 

bertahan hidup tanpa Allah“ (1932, p. 23). Komentar-komentar 

seperti yang berasal dari Renan, Wells, dan Durant mendoku￾mentasikan fakta bahwa, kadang-kadang, bahkan orang-orang 

yang tidak percaya telah menulis pujian tentang Allah dan

Kristus. Lebih jauh lagi, bahkan jika materi yang mengandung 

dugaan sisipan Kristen itu dihapus, kosakata dan tata bahasa 

bagian itu tetap “melekat kuat dengan gaya dan bahasa Jose￾phus“ (Meier, 1990, p. 90). Faktanya, hampir setiap kata (le￾nyapkan sejenak dugaan sisipan itu) dalam karya Josephus 

ditemukan di tempat lain (Meier, p. 90). Seandainya materi 

yang disengketakan itu harus dihapus, kesaksian Josephus itu 

masih akan memverifikasi fakta bahwa Yesus Kristus benar￾benar pernah hidup. Habermas oleh karena itu menyimpulkan:

Ada beberapa indikasi yang baik bahwa sebagian 

besar teks itu adalah asli. Tidak ada bukti tekstual

yang menentang itu, dan, sebaliknya, ada bukti 

naskah yang sangat baik untuk pernyataan tentang 

Yesus ini, sehingga membuat pernyataan itu sulit 

diabaikan. Selain itu, beberapa sarjana terkemuka 

tentang karya-karya Josephus [Daniel-Rops, 1962, 

p. 21; Bruce, 1967, p. 108; Anderson, 1969, p. 20] 

telah bersaksi bahwa bagian ini ditulis dalam gaya 

sejarawan Yahudi ini (1996, p. 193). 

Selain itu, Josephus tidak tinggal diam tentang Kristus 

dalam bagian-bagiannya yang belakangan. Antiquities 20:9:1 

mengisahkan bahwa Ananus membawa ke hadapan Sanhedrin 

“seorang bernama Yakobus, saudara Yesus yang disebut Kris￾tus, dan beberapa orang lain tertentu. Ia menuduh mereka telah 

melanggar hukum Taurat, dan menghukum mereka untuk 

dirajam sampai mati.“ Bruce mengulas bahwa kutipan dari 

Josephus ini “sangat penting sekali karena ia menyebut Yako￾bus saudara Yesus yang disebut ‘Kristus,’ sedemikian rupa

untuk menunjukkan bahwa ia telah membuat acuan kepada 

Yesus. Dan kita menemukan referensi kepada dia dalam semua 

salinan karya Josephus yang masih ada” (Bruce, 1953, p. 109). Meier, dalam sebuah artikel berjudul “Jesus in Josephus,” 

membuat jelas bahwa menolak nas ini sebagai benar-benar 

telah ditulis oleh Josephus menentang penilaian yang aku￾rat atas teks itu (pp. 79-81). Meier juga menambahkan lagi 

pembelaan yang tegas tentang kehandalan historis teks itu 

tentang Kristus dalam Antiquities. 

Pada kenyataannya tidak ada orang yang terkejut 

atau menolak untuk percaya bahwa dalam buku 

yang sama 18 dari The Jewish Antiquities Josephus 

juga memilih untuk menulis uraian yang lebih pan￾jang tentang orang Yahudi lain yang tidak penting, 

pemimpin agama lain yang aneh di Palestina, 

“Yohanes yang disebut Baptis“ (Ant . 18.5.2). Un￾tungnya bagi kita, Josephus memiliki ketertarik￾an yang lebih daripada sepintas saja terhadap 

orang-orang Yahudi yang tidak penting (p. 99). 

Bahkan skeptis Jeffrey Jay Lowder, “salah satu pendiri 

dan mantan Presiden Internet Infidels, Inc., sebuah koalisi non￾teis internasional yang didedikasikan untuk mempromosi￾kan dan membela pandangan dunia yang alami pada Internet,“ 

setelah mencoba untuk menolak banyak bukti historis tentang 

Yesus, harus mengatakan ini tentang kesaksian Josephus: 

“Saya pikir ada banyak bukti untuk menyimpulkan ada Yesus 

historis. Menurut saya, Perjanjian Baru sendiri menyedia￾kan cukup bukti bagi historisitas Yesus, tetapi tulisan-tulisan 

Josephus juga menyediakan dua acuan yang independen,

otentik kepada Yesus” (2000, huruf tebal ditambahkan). 

Fakta sederhananya adalah bahwa sejarawan Yahudi 

yang berpendidikan tinggi ini menulis tentang orang bernama 

Yesus yang benar-benar eksis pada abad pertama. Yamauchi menyimpulkan dengan cukup baik pelbagai temuan dari 

sumber-sumber sekuler mengenai Kristus: 

Bahkan jika kita tidak memiliki Perjanjian Baru atau

tulisan-tulisan Kristen, kita masih akan dapat me￾nyimpulkan dari tulisan-tulisan non-Kristen seper￾ti Josephus, Talmud, Tacitus dan Plinius Yang Muda 

bahwa: (1) Yesus adalah seorang guru Yahudi; (2) 

banyak orang percaya ia melakukan penyembuh￾an dan pengusiran roh jahat; (3) ia ditolak oleh para 

pemimpin Yahudi; (4) ia disalibkan di bawah Pon￾tius Pilatus semasa pemerintahan Tiberius; (5) mes￾ki kematiannya memalukan, para pengikutnya, 

yang percaya bahwa ia masih hidup, menyebar ke 

luar Palestina sehingga ada banyak sekali dari 

jumlah mereka yang menetap di Roma pada 64 

M.; (6) semua jenis orang dari kota-kota dan desa￾desa itu—laki-laki dan perempuan, budak dan 

orang merdeka—menyembah dia sebagai Allah 

pada awal abad kedua (1995, p. 222). 

 

PARA PENULIS PATRISTIK MULA-MULA

Para penulis patristik/bapak gereja mula-mula menyusun 

satu kelompok saksi yang penting bagi historisitas Kristus yang 

harus jangan diabaikan. Kelompok orang ini hidup dan me￾nyusun tulisan-tulisan dari akhir abad pertama sampai abad 

kedelapan M. Meski tulisan-tulisan mereka itu diakui bero￾rientasi Kristen, namun tanggal dari banyak tulisan itu menye￾diakan bukti yang sangat baik bagi historisitas Kristus. 

Misalnya, Polikarpus, seorang Kristen awal yang hidup 

sekitar 69-155 M., menulis beberapa surat, termasuk yang berjudul The Epistle to the Philippians. Di surat ini, ia menyebut 

Yesus setidaknya sebelas kali, menjelaskan bahwa Yesus “bah￾kan menderita sampai mati,” dan mengutip beberapa perintah 

dan komentar dari Yesus (n.d). Irenaeus, penulis patristik 

mula-mula lainnya yang hidup sekitar 120-202 M., mencatat 

beberapa hal menarik tentang Polikarpus, ketika ia menulis: 

Karena saya memiliki ingatan yang lebih jelas ten￾tang apa yang telah terjadi pada saat itu daripada 

kejadian baru-baru ini … sehingga bahkan dapat 

menggambarkan tempat di mana Polikarpus yang 

berbahagia biasa duduk dan berceramah—keluar￾nya, dan juga, kedatangannya—cara umum hidup￾nya dan tampilan pribadinya, bersama dengan ce￾ramah-ceramah yang ia sampaikan kepada orang￾orang; juga bagaimana ia akan bicara tentang hu￾bungan akrabnya dengan Yohanes, dan dengan 

yang lainnya yang pernah melihat Tuhan; dan 

bagaimana ia akan mengutip kata-kata mere￾ka untuk diingat. Hal apa saja yang ia telah dengar 

dari mereka untuk menghormati Tuhan, baik yang 

berkaitan dengan mujizat-mujizat-Nya dan ajaran￾Nya, Polikarpus karena demikian ia telah meneri￾ma [informasi itu] dari para saksi mata Firman 

hidup, akan menceritakan kembali semuanya sela￾ras dengan Kitab Suci (Irenaeus, n.d.). 

Sekumpulan penulis gereja mula-mula lainnya dapat 

didokumentasikan dan diacukan dengan cara yang sama. Ori￾gen hidup sekitar 185-253 M., Justin Martyr dari 100-165 

M., Tertullian dari 160-215 M., dan Clement dari Alexan￾dria dari 150-215 M. Masing-masing dari orang-orang ini, dan 

yang lainnya dari periode waktu yang sebanding, menulis banyak hal tentang Kristus, gereja yang Ia dirikan, dan orang￾orang Kristen. Tulisan-tulisan mereka menawarkan kesaksian 

tambahan bagi historisitas Kristus. (Untuk bacaan yang lebih 

luas tentang para penulis patristik mula-mula dan tulisan￾tulisan mereka yang sebenarnya, lihat Knight, 2004.)




Meski daftar saksi-saksi yang bermusuhan, dari orang 

Yahudi, dan patristik mula-mula membuktikan tanpa keragu￾an bahwa Yesus benar-benar hidup, namun bagaimanapun itu 

bukan satu-satunya bukti historis yang tersedia untuk mereka 

yang tertarik dengan topik ini. Catatan empat injil (Matius, 

Markus, Lukas, dan Yohanes), dan 23 kitab lainnya yang mem￾bentuk Perjanjian Baru, memberikan lebih banyak informasi 

tentang Yesus daripada sumber-(sumber) lain yang tersedia. 

Tetapi bisakah keempat catatan ini dilihat sebagai bukti sejarah, 

atau apakah mereka sebaliknya dilihat sebagai tulisan-tulisan 

yang keandalannya memudar jika dibandingkan dengan jenis￾jenis dokumentasi historis lainnya? Blomberg telah menjelas￾kan mengapa pertanyaan historis empat catatan injil, misalnya, 

harus dipertimbangkan.

Banyak orang yang belum pernah mempelajari injil 

dalam konteks ilmiah percaya bahwa kritik Alki￾tab nyaris telah menyangkal keberadaan [Kristus￾KB/EL]. Oleh sebab itu, pemeriksaan terhadap 

keandalan historis injil harus mendahului penilai￾an yang kredibel tentang siapa Yesus sebenarnya 

(1987, p. xx). 

Tapi seberapa baikkah dokumen-dokumen Perjanjian 

Baru dibandingkan dengan dokumen-dokumen sejarah kuno 

lainnya? F. F. Bruce memeriksa banyak bukti di sekitar perta￾nyaan ini dalam bukunya, The New Testament Documents—Are 

They Reliable? (1967). Seperti yang ia dan para penulis lain-


nya telah catat (misalnya, Metzger, 1968, p. 36; Geisler and 

Brooks, 1990, p. 159), saat ini terdapat 5.300 lebih naskah Per￾janjian Baru Yunani, secara keseluruhan atau sebagian, yang 

berfungsi untuk menguatkan keakurasian Perjanjian Baru.

[CATATAN: Menurut Michael Welte dari Institut for New 

Testament Textual Research di Munster, Jerman, jumlah nas￾kah Yunani pada tahun 2005—seluruhnya dan sebagian—

mencapai sejumlah 5.748 (Welte, 2005).] Beberapa naskah ter￾baik Perjanjian Baru bertanggal sekitar 350 M., dengan kemung￾kinan salah satu yang paling penting dari semua ini adalah 

Codex Vaticanus, “harta utama Perpustakaan Vatikan di 

Roma,” dan Codex Sinaiticus, yang dibeli oleh Inggris dari 

Pemerintah Soviet pada 1933 (Bruce, 1953, p. 20). Selain itu, 

papirus Chester Beatty, yang dipublikasikan pada tahun 1931, 

mengandung sebelas Codex, tiga di antaranya mengandung 

sebagian besar Perjanjian Baru (termasuk empat catatan injil). 

Dua dari codex ini mengaku bertanggal paruh pertama abad 

ketiga, sedangkan sisipan ketiga yang sedikit belakangan, ber￾tanggal paruh akhir abad yang sama (Bruce, 1953, p. 21). 

Perpustakaan John Rylands bahkan mengaku punya bukti 

yang lebih awal. Sebuah codex papirus yang berisi bagian-bagi￾an Yohanes 18 memiliki tanggal era Hadrianus, yang meme￾rintah dari 117 hingga 138 M. (Bruce, 1953, p. 21). 

Pengesahan lain bagi keakuratan dokumen-dokumen 

Perjanjian Baru dapat ditemukan dalam apa yang disebut tulis￾an “bapak-bapak apostolik”—orang-orang yang terutama me￾nulis dari 90-160 M. (Bruce, 1953, p. 22). Irenaeus, Clemens dari 

Aleksandria, Tertullian, Tatian, Clement dari Roma, dan Igna￾tius (yang menulis sebelum akhir abad kedua) semuanya mem￾berikan kutipan dari satu atau lebih catatan injil (Guthrie, 1990, 

p. 24). Saksi-saki lain bagi keaslian awal Perjanjian Baru adalah 

versi-versi kuno, yang terdiri dari teks Perjanjian Baru yangditerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Bahasa 

Latin Lama dan Siria Lama adalah yang paling kuno, yang ber￾asal dari pertengahan abad kedua (Bruce, 1953, p. 23). 

Bukti yang tersedia membuat jelas bahwa semua catatan 

injil diterima sebagai asli di akhir abad kedua (Guthrie, p. 24). 

Mereka sudah lengkap sebelum 100 M., dengan banyak dari 

tulisan-tulisan itu beredar 20-40 tahun sebelum akhir abad per￾tama (Bruce, 1953, p. 16). Linton berkomentar:

Fakta yang diketahui oleh semua orang yang telah 

meluangkan waktu untuk sedikit mempelajari sub￾jek ini adalah bahwa kitab-kitab ini dikutip, dican￾tumkan, dikatalogkan, diselaraskan, dikutip seba￾gai otoritas oleh para penulis yang berbeda, Kristen 

dan Pagan, yang berasal dari zaman para rasul 

(1943, p. 39).

Penilaian semacam itu mutlak benar. Faktanya, Perjanjian 

Baru menikmati jauh lebih banyak dokumentasi historis

daripada kitab-kitab lainnya yang pernah dikenal. Hanya ada 

643 salinan Iliad karya Homer, yang tidak dapat disangkal 

merupakan buku paling terkenal dari Yunani kuno. Tidak ada 

orang yang meragukan teks Gallic Wars dari Julius Caesar, 

tetapi kita hanya memiliki 10 salinannya, yang paling awal 

darinya dibuat 1.000 tahun setelah teks itu ditulis. Memiliki 

keberlimpahan salinan-salinan Perjanjian Baru dalam rentang 

waktu 70 tahun dari asal mula mereka ditulis adalah hal luar 

biasa yang tak dapat dipungkiri (Geisler and Brooks, 1990, pp. 

159-160). 

Seseorang mungkin menuduh dokumen-dokumen Per￾janjian Baru tidak dapat dipercaya karena para penulis itu 

memiliki agenda tersendiri. Tapi hal ini sendiri tidak membuat 

apa yang para penulis itu katakan sebagai tidak jujur, terutama

dalam terang menguatkan bukti dari saksi-saksi yang bermu￾suhan. Ada historis-historis lain yang diterima terlepas dari 

agenda penulisnya. Sebuah “agenda” tidak membatalkan 

kemungkinan adanya pengetahuan historis yang akurat. 

Dalam karyanya, The New Testament Documents—Are 

They Reliable?, Bruce menawarkan perbandingan yang lebih 

mencengangkan. Livy menulis 142 buku sejarah Romawi, yang 

mana hanya 35 buku yang bertahan hidup. Tiga puluh lima 

buku yang dikenal itu diketahui keberadaannya oleh karena 

adanya sekitar 20 naskah, dan hanya satu naskah yang usianya 

setua abad keempat. Kita hanya memiliki dua naskah Histories

dan Annals, karya Tacitus, yang satu dari abad kesembilan dan 

yang satu lagi dari abad kesebelas. History of Thucydides, sebuah 

karya kuno terkenal lainnya, bergantung hanya pada delapan 

naskah, di mana yang tertua bertanggal sekitar 900 M. (bersama 

dengan beberapa potongan papirus bertanggal pada awal era 

Kristen). The History of Herodotus mendapatkan dirinya dalam 

situasi yang sama. ”Namun tidak ada sarjana klasik yang mau 

mendengarkan argumen bahwa keaslian Herodotus atau 

Thucydides diragukan karena naskah paling awal tentang kar￾ya mereka yang berguna bagi kita berusia lebih dari 1.300 tahun 

belakangan daripada naskah aslinya” (Bruce, 1953, p. 20-21). 

Bruce dengan demikian menyatakan: “Ini adalah fakta yang 

mengherankan bahwa para sejarawan sering lebih siap memer￾cayai catatan-catatan Perjanjian Baru daripada banyak teolog” 

(1953 ,p. 19). Seperti yang Linton katakan: 

Tidak ada ruang untuk mempertanyakan bahwa 

catatan-catatan tentang perkataan dan tindakan 

Yesus dari Galilea berasal dari pena orang-orang 

yang, bersama Yohanes, menuliskan apa yang 

mereka “telah dengar” dan “telah lihat” dan tangan mereka telah “meraba Firman kehidupan” (1943, p. 

39-40).

 

FAKTA KEAKURASIAN 

DOKUMEN-DOKUMEN PERJANJIAN BARU

Perjanjian Baru tidak selalu mengklaim sebagai perwa￾kilan sejarah abad pertama yang sistematis. Perjanjian Baru, itu 

sendiri, bukan buku sejarah semata. Bagaimanapun, Perjanjian 

Baru memang mengklaim bahwa fakta-fakta historis yang 

terkait dalam teks itu adalah akurat, tanpa ada ruang kesalahan 

(2 Timotius 3:16-17; Kisah 1:1-3). Aman untuk mengatakan 

bahwa, berdasarkan klaim yang luar biasa ini, Perjanjian Baru 

telah diteliti lebih intens daripada teks lain yang ada (dengan 

kemungkinan pengecualian pada kitab pendampingnya, Per￾janjian Lama). Apakah yang sudah menjadi hasil akhir dari

penelitian cermat seperti itu? 

Hasil luar biasa dari pemeriksaan yang cermat ini adalah 

pasokan yang sangat besar tentang bukti arkeologi yang 

menakjubkan yang membuktikan ketepatan berbagai acuan 

historis dalam Perjanjian Baru. Seperti yang dapat dikatakan 

tentang hampir setiap artikel tentang arkeologi dan Alkitab, 

beberapa halaman berikut yang mendokumentasikan bukti 

arkeologi ini hanya baru menggores permukaan bukti yang 

tersedia. Namun demikian, pemeriksaan atas subjek khusus ini 

menghasilkan kajian yang menarik tentang keakurasian Alki￾tab. Jika catatan-catatan Perjanjian Baru dapat dibuktikan aku￾rat secara fakta dalam setiap kasus yang dapat diperiksa, maka 

kesaksian semua catatan itu tentang Yesus harus diterima seba￾gai akurat dan juga sah. Prasasti Pilatus

Hanya sedikit yang telah membaca kisah Perjanjian Baru

tentang persidangan Yesus dapat melupakan nama Pontius 

Pilatus. Keempat injil membuat acuan kepada Pilatus. Penyeli￾dikannya tentang Yesus, atas desakan gerombolan orang Yahu￾di, tampil sebagai salah satu adegan yang paling berkesan da￾lam kehidupan Yesus. Tidak kurang dari tiga kali, pejabat 

Romawi ini menjelaskan kepada gerombolan orang yang 

berteriak-teriak itu bahwa ia tidak menemukan kesalahan pada 

diri Yesus (Yohanes 18:38; 19:4, 6). Namun begitu, untuk mene￾nangkan orang-orang Yahudi, Pilatus mencuci tangannya da￾lam suatu upacara penegasan bagi dirinya yang tidak bersa￾lah atas darah Kristus, dan kemudian menyerahkan Anak 

Allah itu untuk dicambuk dan disalibkan.

Apakah yang dapat diambil dari sejarah sekular tentang 

Pilatus? Selama sekitar 2.000 tahun, satu-satunya acuan kepada 

Pilatus ditemukan dalam tulisan-tulisan seperti Josephus dan 

Tacitus. Catatan tertulis tentang hidupnya menempatkan dia 

sebagai penguasa Romawi atas Yudea dari 26-36 M. Catatan￾catatan itu menunjukkan bahwa Pilatus sangat gegabah, sering 

bersikap kejam. Catatan Alkitab bahkan menyebutkan bahwa 

Pilatus telah membunuh orang-orang Galilea tertentu selagi 

mereka mempersembahkan korban (Lukas 13:1). Namun begi￾tu, di samping acuan kepada Pilatus yang kadang-kadang 

muncul dalam catatan-catatan tertulis tertentu, tidak ada pra￾sasti atau monumen batu yang mendokumentasikan hidupnya.

Kasus itu tidak berubah sampai 1961. Pada tahun itu, 

Pilatus beralih dari tokoh yang dikenal hanya dari sastra kuno, 

menjadi tokoh yang dibuktikan oleh arkeologi. Para pejabat 

Romawi yang menguasai Yudea di zaman Yesus, kemungkin￾an besar mendirikan markas mereka di kota kuno Kaesarea, 

seperti yang ditunjukkan dengan jelas dari dua acuan kepada

aktivitas militer dan politik Pilatus di kota itu oleh Josephus 

(Finegan, 1992, p. 128). Di Kaisarea terdapat sebuah teater besar 

Romawi yang mulai digali oleh sekelompok arkeolog yang 

disponsori pemerintah Italia pada tahun 1959. Dua tahun ke￾mudian, pada tahun 1961, para peneliti menemukan lempeng￾an batu berukuran sekitar 61 x 91 sentimeter yang telah digu￾nakan “dalam pembangunan koridor antara tangga di deretan 

kursi bertingkat yang disediakan untuk para tamu kehor￾matan“ (lihat McRay, 1991, p. 204). Tulisan Latin pada batu itu, 

bagaimanapun, membuktikan bahwa awalnya, batu itu tidak 

dimaksudkan untuk digunakan sebagai blok bangunan di tea￾ter itu. Pada batu itu, para peneliti menemukan apa yang tersisa 

dari prasasti yang bertuliskan nama Pontius Pilatus. Seluruh 

prasasti itu tidak terbaca, tetapi berkenaan dengan nama Pila￾tus, Finegan berkomentar: “Nama Pontius Pilatus cukup jelas, 

dan itu sangat penting sebagai dokumentasi epigrafis perta￾ma tentang Pontius Pilatus, yang memerintah Yudea pada 26-

36 M. sesuai dengan tanggal yang diterima secara umum“ 

(1992, p. 139). Apa yang pernah ditulis secara lengkap oleh pra￾sasti itu tidak diketahui secara pasti, tetapi ada kesepakatan 

umum bahwa awalnya batu itu mungkin berasal dari sebuah 

kuil atau tempat keramat yang didedikasikan untuk kaisar 

Romawi Tiberius (Blaiklock, 1984, p. 57). Potongan bukti yang 

lebih kuat bagi keakurasian Perjanjian Baru akan sulit ditemu￾kan. Sekarang dikenal secara tepat sebagai “Prasasti Pilatus,” 

lempengan batu ini mendokumentasikan bahwa Pilatus ada￾lah pejabat Romawi yang memerintah Yudea, dan bahkan 

menggunakan namanya yang lebih lengkap Pontius Pilatus, 

seperti yang ditemukan dalam Lukas 3:1. Politarch di Tesalonika

Ketika menulis tentang orang-orang Kristen di Tesalo￾nika yang dituduh telah “mengacaukan seluruh dunia,” Lukas 

mencatat bahwa beberapa saudara telah dibawa ke hadapan 

“penguasa-penguasa kota” (Kisah 17: 5-6). Frasa ”Penguasa￾penguasa kota” (NKJV, ASV; “para otoritas kota”—NASB) 

diterjemahkan dari kata Yunani politarchas, dan hanya muncul 

dalam Kisah 17 ayat 6 dan 8. Selama bertahun-tahun, para 

pengkritik klaim pengilhaman Alkitab oleh ilahi menuduh 

Lukas tidak akurat dalam historis karena ia menggunakan 

gelar politarchas untuk mengacukan para pejabat kota Tesalo￾nika, ketimbang menggunakan istilah yang lebih umum, stra￾teegoi (para hakim) atau exousiais (para penguasa). Untuk men￾dukung tuduhan mereka, mereka menunjukkan bahwa istilah

politarch tidak ditemukan di tempat lain dalam sastra Yunani 

sebagai sebuah gelar resmi. Dengan demikian, mereka menalar 

bahwa Lukas telah membuat kesalahan. Bagaimana bisa orang 

mengacukan suatu jabatan seperti itu jika jabatan itu tidak 

ada? Siapa sajakah yang telah mendengar atau membaca poli￾tarchas dalam bahasa Yunani? Tidak ada seorang pun di zaman 

modern. Artinya, tidak seorang pun di zaman modern pernah 

mendengar istilah itu sampai istilah itu ditemukan tercatat 

dalam berbagai kota di Makedonia—provinsi di mana Tesalo￾nika terletak. 

Pada tahun 1960, Carl Schuler menerbitkan 32 daftar 

prasasti yang berisi istilah politarcha. Sekitar 19 dari 32 daftar 

itu berasal dari Tesalonika, dan setidaknya tiga dari mereka 

bertanggal hingga ke abad pertama (lihat McRay, 1991, 

p. 295). Di Via Egnatia (sebuah jalan ramai utama yang melalui 

Tesalonika kuno), pernah berdiri sebuah Gapura Lengkung 

Romawi yang disebut Gerbang Vardar. Pada 1867, gapura 

lengkung itu diruntuhkan dan digunakan untuk memperbaiki tembok kota (p. 295). Sebuah tulisan pada gapura lengkung ini, 

yang sekarang disimpan di Museum British, tergolong sebagai 

salah satu yang paling penting ketika berkaitan dengan isti￾lah politarcha. Tulisan khusus ini, yang bertanggal antara 30 S. 

M. dan 143 M., dimulai dengan frasa, “Pada waktu Politarchas 

…“ (Finegan, 1959, p. 352). Jadi, gapura lengkung itu kemung￾kinan besar sudah berdiri ketika Lukas menuliskan narasi se￾jarah yang dikenal sebagai Kisah Para Rasul. Dan fakta bahwa 

politarch pernah memerintah Tesalonika pada waktu Paulus 

melakukan perjalanan kini berdiri sebagai hal yang tak dapat 

dibantah. 

 

Sergius Paulus, Prokonsul Siprus

Di sepanjang perjalanan misi Paulus, ia dan teman￾temannya melakukan kontak dengan banyak orang berkedu￾dukan tinggi—termasuk para penguasa Romawi dari wilayah 

di mana para misionaris itu sedang menginjil. Seandainya Lu￾kas memalsukan pelbagai perjalanan ini, ia bisa saja telah mem￾buat banyak acuan yang tidak jelas terhadap para penguasa 

Romawi itu tanpa menyebutkan nama dan gelar tertentu.

Tetapi itu bukan apa yang orang temukan dalam kitab Kisah 

Para Rasul. Sebaliknya, tampaknya Lukas terlibat langsung 

untuk mendokumentasikan kota-kota, tempat-tempat, nama￾nama, dan gelar-gelar tertentu. Oleh karena banyaknya doku￾mentasi ini, kita memiliki banyak contoh untuk memeriksa 

keandalannya sebagai sejarawan.

Salah satu contoh seperti itu ditemukan dalam Kisah Para 

Rasul 13. Dalam pasal itu, Lukas mendokumentasikan perja￾lanan Paulus ke Seleukia, kemudian Siprus dan Salamis, kemu￾dian Pafos. Di Pafos, Paulus dan rekan-rekannya bertemu 

dengan dua orang—seorang Yahudi bernama Baryesus dan 

Sergius Paulus, orang cerdas yang mengundang Paulus dan Barnabas untuk mendengarkan Firman Tuhan (Kisah 13:4-

7). Acuan khusus kepada Sergius Paulus ini menyediakan ujian 

ganda kepada mahasiswa arkeologi tentang keakurasian Lu￾kas. Pertama, apakah wilayah Siprus dan Pafos diperintah oleh 

seorang gubernur/prokonsul sewaktu Paulus menginjil di 

sana? Kedua, apakah ada tokoh bernama Sergius Paulus? 

Selama bertahun-tahun, orang-orang yang skeptis terha￾dap keakurasian Lukas mengklaim bahwa daerah di sekitar Si￾prus tidak akan pernah diperintah oleh seorang prokonsul. 

Karena Siprus merupakan provinsi kekaisaran, maka Siprus 

akan sudah diletakkan di bawah seorang “propraetor,” bukan 

seorang prokonsul (Unger, 1962, pp. 185-186). Meski memang 

benar bahwa Siprus pernah menjadi sebuah provinsi kekai￾saran, namun tidak benar bahwa statusnya tetap seperti itu 

sewaktu Paulus melakukan perjalanan ke sana. Faktanya, 

“dalam 22 S.M. Augustus metransfer Siprus kepada Senat Ro￾mawi, dan karena itu ditempatkan di bawah administrasi pro￾konsul“ (Free and Vos, 1992, p. 269). Sarjana Alkitab F. F. Bruce 

memperluas informasi ini ketika ia menjelaskan bahwa Siprus 

dijadikan provinsi kekaisaran pada 27 S. M., tapi lima tahun 

kemudian Kaisar Augustus memberikan wilayah itu kepada 

Senat sebagai ganti untuk wilayah Dalmatia. Setelah diberikan 

kepada Senat, prokonsul akan sudah memerintah Siprus, sama 

seperti provinsi-provinsi senat lainnya (Bruce, 1990, p. 

295). Seperti yang Thomas Eaves nyatakan: 

Ketika kita berpaling kepada para penulis sejarah 

untuk periode itu, Dia Cassius (History Romawi) 

dan Strabo (The Geografi of Strabo), kita mengetahui 

bahwa Siprus memiliki dua periode sejarah: perta￾ma, Siprus merupakan provinsi kekaisaran yang 

diperintah oleh seorang propraetor, dan kemudian pada 22 S. M., Siprus dijadikan provinsi senat yang 

diperintah oleh prokonsul. Karena itu, para sejara￾wan mendukung Lukas dalam pernyataannya bah￾wa Siprus diperintah oleh seorang prokonsul, kare￾na itu terjadi antara 40-50 M. ketika Paulus mela￾kukan perjalanan misinya yang pertama. Jika kita 

menerima kebenaran sejarah sekuler maka kita juga 

harus menerima sejarah Alkitab, karena keduanya 

sejalan (1980, p. 234). 

Selain fakta yang sudah diketahui bahwa Siprus menja￾di sebuah provinsi senat, para arkeolog juga telah menemukan 

koin-koin tembaga dari daerah yang mengacu kepada prokon￾sul lain yang waktunya tidak terpaut jauh dengan waktu Pau￾lus. Satu koin seperti itu, yang dengan tepatnya disebut “koin 

tembaga prokonsul Siprus,“ menampilkan kepala Kaisar Clau￾dius, dan berisi gelar “Arminius Proclus, Proconsul ... orang 

Siprus“ (McClintock and Strong, 1968, 2:627).

Bahkan yang lebih mengesankan daripada fakta tentang 

Lukas yang telah mencatat secara akurat gelar tertentu, adalah 

fakta tentang bukti yang telah terungkap bahwa catatan ten￾tang Sergius Paulus adalah juga sama akuratnya. Sangat mena￾rik, dalam hal ini, bahwa ada beberapa prasasti yang mung￾kin bisa cocok dengan prokonsul yang dicatat oleh Lukas. Inter￾national Standard Bible Encyclopedia (ISBE) mencatat tiga prasasti 

kuno yang kemungkinan bisa cocok (lihat Hughes, 1986, 

2:728). Pertama, di Soli di utara pantai Siprus, sebuah prasasti 

yang ditemukan itu menyebut nama Paulus, yang adalah seo￾rang prokonsul. Para penulis dan para editor ISBE berpenda￾pat bahwa prasasti ini paling awal dapat diberi tanggal sekitar 

50 M., dan karenanya tidak sesuai dengan Paulus dari Kisah 13. 

Namun begitu, yang lainnya, yakin bahwa ini adalah Paulus dari Kisah Para Rasul yang terkenal itu (Unger, 1962, pp. 185-

186; lihat juga McGarvey, nd, New Commentary …, 2:7). Selain 

penemuan ini, telah juga ditemukan prasasti Latin lainnya yang 

mengacukan Lucius Sergius Paulus yang merupakan “salah 

satu kurator Bank Tiber selama masa pemerintahan Claudius.“ 

Arkeolog terkemuka Sir William Ramsay berpendapat bahwa 

orang ini belakangan menjadi prokonsul Siprus, dan harus 

dikaitkan dengan Kisah Para Rasul 13 (Hughes, 2:728). Akhir￾nya, dari Kythraia di Siprus utara telah ditemukan sebuah 

penggalan tulisan Yunani yang mengacu kepada Quintus 

Sergius Paulus sebagai prokonsul selama pemerintahan Clau￾dius (Hughes, 2:728). Terlepas dari prasasti-prasasti yang mana

yang sebenarnya berkaitan dengan Kisah Para Rasul 13, bukti 

itu menyediakan kecocokan yang masuk akal. Setidaknya ada 

dua orang bernama Paulus yang pernah menjadi prokonsul di 

Siprus, dan setidaknya dua orang yang bernama Sergius Paulus 

adalah pejabat selama pemerintahan Claudius. Akurasi Lukas 

sekali lagi terkonfirmasi.

Galio, Prokonsul Akhaya

Kisah Para Rasul pasal 18 dibuka dengan uraian tentang 

pelayanan Paulus di kota Korintus. Di sanalah ia berjumpa de￾ngan Akwila dan istrinya yang setia Priskila, yang mana kedua￾nya telah diusir dari Roma atas perintah Claudius (bdk. Sueto￾nius, Claudius, 25:4), dan yang, sebagai akibatnya, datang untuk 

menetap di Korintus. Karena mereka itu pembuat kemah, 

seperti Paulus, maka rasul itu tinggal bersama mereka dan 

bekerja sebagai “pelayan kejuruan,” membuat kemah dan 

memberitakan injil. Sebagaimana yang sering terjadi dengan 

penginjilan Paulus, banyak dari orang Yahudi tersinggung, 

dan menentang pemberitaannya. Oleh karena perlawanan ini, 

Paulus memberitahu orang-orang Yahudi itu bahwa mulai saat itu seterusnya ia akan pergi kepada orang-orang bukan Yahu￾di. Setelah itu, Paulus pergi ke rumah seorang bernama Yustus 

yang tinggal di sebelah sinagoga. Segera setelah ia memberi￾takan injil kepada orang bukan Yahudi, Paulus mendapat peng￾lihatan di mana Tuhan memerintahkan dia untuk bicara 

dengan berani, karena tidak ada seorang pun di kota itu yang 

akan menyerang dia. Didorong oleh penglihatan itu, Paulus 

menetap terus di Korintus selama satu tahun enam bulan, 

mengajarkan Firman Allah di antara orang-orang itu.

Setelah Paulus tinggal selama delapan belas bulan lama￾nya di Korintus, perlawanan terhadap penginjilannya itu akhir￾nya meletus menjadi kekerasan, aksi politik. Kisah 18:12-17 

menjelaskan.

Akan tetapi setelah Galio menjadi gubernur di Akha￾ya, bangkitlah orang-orang Yahudi bersama-sama 

melawan Paulus, lalu membawa dia ke depan peng￾adilan. Kata mereka: "Ia ini berusaha meyakinkan 

orang untuk beribadah kepada Allah dengan jalan 

yang bertentangan dengan hukum Taurat." Ketika 

Paulus hendak mulai berbicara, berkatalah Galio 

kepada orang-orang Yahudi itu: "Hai orang-orang 

Yahudi, jika sekiranya dakwaanmu mengenai sua￾tu pelanggaran atau kejahatan, sudahlah sepatut￾nya aku menerima perkaramu, tetapi kalau hal itu 

adalah perselisihan tentang perkataan atau nama 

atau hukum yang berlaku di antara kamu, maka 

hendaklah kamu sendiri mengurusnya; aku tidak 

rela menjadi hakim atas perkara yang demikian." 

Lalu ia mengusir mereka dari ruang pengadilan. 

Maka orang itu semua menyerbu Sostenes, kepala 

rumah ibadat, lalu memukulinya di depan penga-dilan itu; tetapi Galio sama sekali tidak menghirau￾kan hal itu. 

Dari perikop singkat Kitab Suci ini, kita mengetahui bebe￾rapa hal tentang Galio dan kepribadiannya. Yang sangat pen￾ting bagi diskusi kita adalah fakta bahwa Lukas mencatat Galio 

adalah “gubernur/prokonsul Akhaya.” Lagi, di sini Lukas da￾lam mencatat informasi spesifik tentang penguasa politik pada 

zamannya, menyediakan para pembacanya titik acuan yang 

dapat diperiksa. Apakah Galio pernah benar-benar menjadi 

prokonsul Akhaya?

Marianne Bonz, mantan redaktur pelaksana Harvard Theo￾logical Review, memberi penjelasan tentang hal yang sekarang 

merupakan prasasti terkenal tentang Galio. Wanita ini berce￾rita bagaimana, pada tahun 1905, seorang mahasiswa doktoral 

di Paris sedang menyaring koleksi prasasti yang telah dikum￾pulkan dari kota Yunani Delphi. Dalam berbagai macam pra￾sasti ini, ia menemukan empat fragmen yang berbeda, ketika 

disatukan, membentuk sebagian besar isi surat dari Kaisar 

Claudius. Surat dari kaisar itu ditulis tidak lain kepada Galio,

prokonsul Akhaya (Bonz, 1998, p. 8). 

McRay, dalam memberikan porsi bahasa Yunani atas 

prasasti yang sekarang terkenal itu, dan memasok huruf-huruf 

yang hilang di celah-celah teks itu agar dapat dibaca, mener￾jemahkan prasasti itu sebagai berikut:

Tiberius Claudius Caesar Augustus Germanicus,

Pontifex Maximus, dari otoritas pelindung untuk 

kedua belas kalinya, imperator dua puluh enam

kalinya.… Lucius Junius Gallio, temanku, dan pro￾konsul Akhaya (1991, pp. 226-227). Meski bagian tertentu dari prasasti di atas tidak sepe￾nuhnya jelas, namun nama Galio dan jabatannya di Akhaya 

jelas terbaca. Lukas tidak hanya secara akurat mencatat nama 

Galio, tetapi ia juga mencatat jabatan politiknya dengan kete￾patan yang sama. 

Pentingnya prasasti Galio bahkan menjadi semakin lebih 

dalam lagi daripada verifikasi keakuratan Lukas. Temuan khu￾sus ini menunjukkan bagaimana arkeologi dapat memberi kita 

pemahaman yang lebih baik tentang teks Alkitab, khususnya 

dalam bidang kronologi. Sebagian besar sarjana mengenal baik 

pelbagai perjalanan itu dan surat-surat dari rasul Paulus siap 

mengakui bahwa melampirkan tanggal tertentu kepada pelba￾gai kegiatannya tetap menjadi tugas yang sangat sulit dilaku￾kan. Prasasti Galio, bagaimanapun, telah menambahkan sedi￾kit potongan kepada teka-teki kronologi ini. Jack Finegan, da￾lam karya terperincinya tentang kronologi Alkitab, membe￾rikan tahun 52 M sebagai tanggal prasasti itu, awal 51 M. Seba￾gai Galio menjabat prokonsul, dan musim dingin tahun 49/50 

M. Paulus tiba di Korintus. Finegan menyatakan tentang kesim￾pulannya: “Penentuan waktu ini ketika Paulus tiba di Korintus,

dengan demikian menyediakan titik sauh yang penting untuk 

seluruh kronologi Paulus“ (1998, pp. 391-393). 

Berulang kali, pelbagai acuan Alkitab yang dapat diperik￾sa, terbukti akurat secara historis dalam setiap detailnya. Sete￾lah ratusan tahun pemeriksaan secara kritis, baik Perjanjian 

lama dan Baru dalam Alkitab telah membuktikan keaslian dan 

keakuratan mereka di setiap waktu. Sir William Ramsay, dalam 

penilaiannya tentang tulisan-tulisan Lukas di dalam Perjanjian 

Baru, menulis: 

Anda bisa saja menekan kata-kata Lukas hingga 

tingkatan yang melampaui sejarawan lain mana saja, dan kata-kata itu bertahan terhadap penelitan 

yang paling cermat dan perlakuan yang paling 

keras, asalkan kritik itu selalu mengetahui subjek￾nya dan tidak melampaui batas-batas keadilan 

sains (1915, p. 89). 

Hari ini, hampir seratus tahun setelah pernyataan itu

awalnya ditulis, hal yang persis sama dapat dikatakan bahkan 

dengan lebih pasti lagi tentang tulisan-tulisan Lukas—dan 

setiap penulis Alkitab lainnya. Dokumentasi kehidupan Yesus 

Kristus sebagai fakta sejarah oleh catatan-catatan Perjanjian 

Baru tampil sebagai salah satu yang paling luar biasa dalam

ujian terhadap fakta sejarah apa saja dii dalam keseluruhan 

perjalanan sejarah manusia.

 

KESIMPULAN

Ketika seseorang mengajukan pertanyaan, “Apakah kehi￾dupan Yesus Kristus merupakan peristiwa sejarah?,“ orang itu 

harus ingat bahwa “[J]ika kita menegaskan bahwa kehidupan 

Tuhan kita bukan peristiwa sejarah, kita masuk ke dalam 

kesulitan tanpa harapan; akhirnya, kita harus membuang 

semua sejarah kuno dan menyangkal bahwa peristiwa seperti 

pembunuhan Julius Caesar pernah ada” (Monser, 1961, p. 377). 

Dan, kita harus mengingkari keandalan sejarah dokumen￾dokumen Perjanjian Baru.

Dihadapkan dengan bukti yang begitu besar, tentu tidak 

bijaksana untuk menolak posisi bahwa Yesus Kristus sesung￾guhnya pernah berjalan di jalan-jalan di Yerusalem pada abad 

pertama. Seperti yang Harvey pernah katakan, ada beberapa 

fakta tertentu tentang Yesus yang “setidaknya dibuktikan oleh 

bukti yang keandalannya sama banyaknya dengan bukti-bukti lain yang sangat banyak yang diterima begitu saja sebagai 

fakta-fakta sejarah yang kita ketahui dari dunia kuno.“ Na￾mun supaya kita jangan dituduh telah salah mengutip dia, mari 

kita tunjukkan bahwa Harvey selanjutnya berkata, “Masih bisa 

diperdebatkan bahwa kita tidak dapat memiliki pengetahuan 

sejarah yang dapat diandalkan tentang Yesus yang berkaitan 

dengan apa saja yang benar-benar penting“ (1982, p. 6). 

Harvey tidak dapat mengingkari fakta bahwa Yesus per￾nah hidup di atas Bumi ini. Para kritikus tidak suka harus me￾ngakui itu, tetapi mereka tidak dapat berhasil untuk menyang￾kal fakta bahwa Yesus memiliki dampak yang lebih besar ter￾hadap dunia dari-pada satu kehidupan apa saja sebelum￾nya atau setelahnya. Mereka juga tidak dapat menyangkal fak￾ta bahwa Yesus mati di tangan Pontius Pilatus. Harvey dan 

yang lainnya hanya dapat mengatakan bahwa fakta-fakta 

seperti itu “tidak terlalu penting.” Kita berpendapat bahwa 

fakta-fakta yang menetapkan eksistensi Yesus Kristus dari 

Nazareth benar-benar penting. Seperti yang Bruce nyatakan,

”Para penyebar agama Kristen mula-mula menyambut baik 

pemeriksaan paling lengkap terhadap kredensial pesan mere￾ka“ (1953, p. 122). Sewaktu Paulus diadili di hadapan Raja Agri￾pa, ia berkata kepada Festus: “Raja juga tahu tentang segala 

perkara ini, sebab itu aku berani berbicara terus terang kepa￾danya. Aku yakin, bahwa tidak ada sesuatupun dari semuanya 

ini yang belum didengarnya, karena perkara ini tidak terjadi di 

tempat yang terpencil“ (Kisah 26:26).

Sebagaimana para apologis Kristen mula-mula menyam￾but baik pemeriksaan lengkap terhadap kredensial pesan yang 

mereka beritakan, demikian juga kita di zaman kini. Kredensial 

ini telah ditimbang dengan neraca dan didapati tidak terlalu 

ringan. Fakta sederhananya adalah bahwa Yesus Kristus me￾mang pernah eksis dan hidup di antara manusia.

Tidak mungkin untuk mengatakan bahwa tidak 

satu orang pun berhak menjadi agnostik. Tapi tidak 

satu orang pun berhak menjadi agnostik sampai ia 

menangani pertanyaan itu, dan menghadapi kenya￾taan ini dengan pikiran terbuka. Setelah itu, ia bisa 

saja menjadi anagnostik—jika ia bisa (Anderson, 

1985, p. 12).



MESIAS YANG DIRAMALKAN

 

Jika direnungkan kembali, misteri yang baik adalah me￾nyatu dengan sempurna, seperti berbagai potongan teka-teki 

rumit yang hanya butuh satu potongan terakhir untuk meng￾hubungkan potongan-potongan yang membentuk panorama 

utuh yang luar biasa. Hingga potongan terakhir ditambahkan, 

misteri itu hampir mustahil dipahami sepenuhnya. Bahkan, 

saat misteri itu sedang berkembang, tantangan terbesar seorang 

penyelidik adalah menilai dengan benar potongan informasi 

atau bukti mana yang penting dan yang mana yang merupakan 

unsur-unsur dangkal yang tidak menambah akibat kepada ki￾sah itu. Apakah penting bahwa topi Pak Jono tertinggal di sta￾siun kereta? Apakah penting keran air di dapur tiba-tiba tidak 

berfungsi dengan baik? Tidak bisa dihindari, penyelidik yang 

cerdik akan secara akurat menunjukkan unsur-unsur yang sa￾ngat penting itu di dalam kisah itu. Penyelidik yang kurang 

cerdik akan secara tidak akurat menyebutkan peristiwa-peris￾tiwa biasa sebagai penting, atau tidak dapat memahami sepe￾nuhnya peristiwa-peristiwa yang mengandung akibat utama. 

Itulah yang terjadi ketika mendekati studi tentang Mesias 

yang diramalkan, atau, yaitu, ketika memecahkan misteri ten￾tang Mesias itu. Siapa saja yang familier dengan tulisan-tulisan 

Perjanjian Baru akan cukup familier dengan istilah “misteri” 

seperti yang diterapkan pada rencana Allah untuk penebusan

umat manusia melalui Mesias yang diramalkan. Paulus menu￾lis tentang misteri ini: “Tetapi kami menyampaikan hikmat 

Allah dalam misteri, hikmat tersembunyi yang Allah tetapkan sebelum dunia dijadikan untuk kemuliaan kita “(1Korintus 2: 

7; NASB). Dalam suratnya kepada gereja di Kolose, ia menya￾takan: ”Aku telah menjadi pelayan jemaat itu sesuai dengan 

tugas yang dipercayakan Allah kepadaku untuk meneruskan 

firman-Nya dengan sepenuhnya kepada kamu, yaitu [misteri; 

NASB] yang tersembunyi dari abad ke abad dan dari turunan 

ke turunan, tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang￾orang kudus-Nya” (1:25-26). Surat Paulus untuk gereja di Efe￾sus berisi komentar serupa: “Memang kamu telah mendengar 

tentang tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, yang diper￾cayakan kepadaku karena kamu, yaitu bagaimana [misteri itu; 

NASB] dinyatakan kepadaku dengan wahyu, … yang pada za￾man angkatan-angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anak￾anak manusia, tetapi yang sekarang dinyatakan di dalam Roh 

kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang kudus” (3:2-3,5). 

Para penulis Perjanjian Baru mengidentifikasi bagi kita 

beberapa sifat misteri Mesias ini: (1) Misteri itu berkisar di seki￾tar Mesias yang dinubuatkan dan penebusan umat manusia; (2) 

Misteri itu telah disembunyikan dengan berbagai cara dari se￾mua generasi manusia sebelum zaman Perjanjian Baru; (3) Ber￾bagai prinsip mi