ngsa yang ditemukan yang tidak percaya kepada adanya
semacam Wujud Tertinggi dan mempraktikkan agama dalam
bentuk tertentu“ (1944, p. 42). Ia benar sekali. Tapi bukan hanya
orang percaya yang telah mempresentasikan dan mendokumentasikan jenis informasi ini . Bahkan orang yang tidak percaya telah didesak kepada kesimpulan seperti itu oleh bukti
sejarah dan ilmiah.
Lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, Clarence Darrow
dan Wallace Rice bergabung untuk mengedit buku berjudul
Infidels and Heretics: An Agnostic's Anthology. Pada bagian dalam
sampul depannya, deskripsi tentang isi buku itu mengatakan
bahwa buku itu berisi ”kumpulan terbaik dari karya-karya
paling penting dari para agnostik, skeptis, kafir dan bidat
dunia yang hebat.“ Di halaman 146, para pengumpul tulisan itu
mengutip skeptis terkenal, John Tyndall:
Agama hidup bukan dengan kekuatan dan bantuan
dogma, tetapi karena sudah tertanam dalam sifat
manusia. Dengan memakai kiasan metalurgi, cetakannya telah rusak dan telah dibuat ulang berkalikali, tetapi bijih besi cairnya berada dalam sendok
besar kemanusiaan. Pengaruh yang begitu dalam
dan permanen itu sepertinya tidak bisa segera
lenyap … (1929).
Kira-kira lima puluh tahun kemudian, Edward O. Wilson
dari Universitas Harvard (yang dikenal sebagai “bapak” disiplin biologis sosiobiologi) menulis sebuah buku berjudul On Human Nature. Bagian dalam pada sampul depannya menyatakan bahwa tujuan Wilson adalah “tidak kurang daripada
untuk menuntaskan revolusi Darwin dengan menghadirkan
pemikiran biologis ke dalam pusat ilmu-ilmu sosial dan kemanusian.“ Wilson menulis: “Kecenderungan kepada kepercayaan agama adalah kekuatan yang paling kompleks dan kuat
dalam pikiran manusia dan dalam segala kemungkinannya merupakan bagian yang tak terelakkan dari sifat manusia“ (1978,
p. 167). Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa “kaum
skeptis terus mengembangkan keyakinan bahwa sains dan
pembelajaran akan melenyapkan agama, yang mereka anggap
tidak lebih daripada jaringan ilusi,“ namun gagasan bahwa
pembelajaran dan teknologi yang ditingkatkan akan melucuti
umat manusia dari sifat keagamaannya ”tidak pernah terlihat
sangat sia-sia seperti sekarang ini” (p. 170).
Sebagian besar anak-anak dan orang dewasa dapat dengan mudah mengenal nama Yesus Kristus. Banyak yang bahkan dapat menceritakan kisah hidup-Nya. Juga yang dapat
dengan mudah dikenali adalah nama-nama Peter Pan, Herkules, dan Sangkuriang. Dan kebanyakan orang dapat juga menceritakan “fakta-fakta” dari dongeng-dongeng ini. Apakah
Yesus dari Nazaret merupakan tokoh fiktif yang pantas untuk
dimasukkan dalam daftar yang berisi para penyihir yang menakjubkan, para pemburu naga yang berani, dan para pahlawan terbang anak-anak? Pengkhotbah denominasi yang
berubah menjadi ateis, Dan Barker menjawab “ya” dengan suara yang keras ketika ia menulis:
Kisah-kisah dalam Injil tidak lebih bersejarah daripada catatan penciptaan dalam Kejadian yang bersifat sainstifik. Kisah-kisah itu dipenuhi dengan mujizat-mujizat yang dibesar-besarkan, dan propaganda yang diakui sendiri. Mereka ditulis selama konteks waktu ketika pelbagai mitos dilahirkan, dipertukarkan, diuraikan, dan dikorupsi, dan mereka ditulis untuk para pendengar yang rentan terhadap
dongeng-dongeng seperti itu. Mereka dikerat dari
sumber yang sama sebagaimana agama-agama dan
dongeng-dongeng lain waktu itu. Dengan pertimbangan itu, masuk akal untuk menyimpulkan
bahwa Yesus Perjanjian Baru adalah mitos (1992,
p. 378, huruf tebal ditambahkan). Dan Barker bukan satu-satunya orang skeptis yang menyuarakan perlawanan terhadap gagasan tentang Yesus historis.
Timothy Freke dan Peter Gandy berpendapat:
Kami menjadi yakin bahwa kisah Yesus adalah bukan biografi tentang Mesias historis, tetapi mitos
yang didasarkan pada kisah-kisah Pagan yang abadi. Agama Kristen bukan wahyu yang baru dan
unik tetapi sebenarnya adaptasi Yahudi terhadap
agama Misteri Pagan kuno. Ini adalah apa yang
telah kami sebut Tesis Misteri Yesus … (1999, p. 2,
huruf tebal dari aslinya).
Begitu juga, skeptis Marshall J. Gauvin menulis: “Keilahian Kristus tidak hanya telah ditinggalkan, tetapi keberadaannya sebagai manusia sedang semakin serius dipertanyakan.
Beberapa sarjana dunia yang paling mumpuni menyangkal
sama sekali bahwa ia pernah hidup“ (1995-2005). Pada awal
2006, seorang ateis Italia bahkan menuntut seorang imam Katolik semata karena mengajarkan bahwa Yesus Kristus pernah
hidup di Bumi 2.000 tahun yang lalu (lihat Lyman, 2006;
Owen, 2006).
Apakah pandangan seperti itu berdasarkan bukti sejarah
dan oleh sebab itu layak dipertimbangkan dengan serius? Atau
apakah pandangan itu hanya angan-angan mereka yang lebih
suka percaya—untuk alasan apa pun—bahwa Kristus tidak
pernah hidup? Apakah Yesus Kristus adalah manusia yang
kaki-Nya menjadi kotor dan yang tubuh-Nya kelelahan seperti
halnya manusia lainnya? Untungnya, pertanyaan-pertanyaan
semacam itu dapat dijawab dengan memeriksa secara jujur
bukti sejarah yang tersedia .
Apakah yang dimaksud dengan manusia “historis”? Martin Kähler berpendapat: ”Bukankah itu adalah orang yang me-mulai dan mewariskan pengaruh yang permanen? Ia adalah
salah satu individu yang dinamis yang mengintervensi perjalanan peristiwa“ (1896, p. 63). Mengenai historisitas Kristus,
Marshall Gauvin yang skeptis secara benar menulis, ”Pertanyaannya adalah—apakah yang sejarah katakan? Dan pertanyaan itu harus diselesaikan dalam pengadilan kritik sejarah.
Jika dunia yang berpikir ingin mempertahankan pendapat
bahwa Kristus adalah tokoh nyata, maka harus ada cukup bukti
untuk menjamin keyakinan itu“ (1995-2005). Apakah ada cukup
catatan untuk mendokumentasikan klaim bahwa Yesus Kristus
telah “mengintervensi perjalanan peristiwa” yang dikenal sebagai sejarah dunia? Sesungguhnya, catatan itu ada.
KESAKSIAN PARA MUSUH
Menariknya, jenis catatan pertama berasal dari apa yang
dikenal sebagai sumber yang “bermusuhan”—para penulis
yang menyebut Yesus dalam terang negatif atau secara menghina. Para penulis seperti itu tentunya tidak punya kecenderungan untuk memajukan kepentingan Kristus atau sebaliknya untuk menambah kepercayaan kepada eksistensi-Nya.
Faktanya, yang benar adalah sebaliknya. Mereka menolak
ajaran-Nya dan sering juga mencerca Dia. Dengan demikian,
orang dapat memeriksa catatan-catatan itu tanpa tuduhan
memihak.
Dalam bukunya, The Historical Figure of Jesus, E. P.
Sanders menyatakan: “Sebagian besar literatur abad pertama
yang masih ada ditulis oleh para anggota dari kelompok elit
Kerajaan Romawi yang sangat kecil . Bagi mereka, Yesus (jika
mereka pernah mendengar tentang dia sama sekali) hanya
seorang pengacau dan penyihir yang menyusahkan dalam
belahan dunia yang kecil dan terbelakang“ (1993, p. 49, komentar dalam tanda kurung dari aslinya). Kepada “kelompok elit kecil Kerajaan Romawi“ inilah kita memalingkan
perhatian kita untuk dokumentasi eksistensi Kristus.
Tacitus
Tacitus (sekitar 56-117 M.) harus termasuk yang pertama dari beberapa saksi yang bermusuhan yang dipanggil
untuk bersaksi. Ia adalah anggota dari kelas atas provinsi
Romawi yang memiliki pendidikan formal dan menduduki
beberapa jabatan tinggi di bawah beberapa kaisar yang berbeda
seperti Nerva dan Trajan (lihat Tacitus, 1952, 15:7). Karyanya
yang terkenal, Annals, adalah sejarah Roma yang ditulis sekitar
tahun 115 M. Dalam Annals ia berkisah tentang Api Besar
Roma, yang terjadi pada 64 M. Nero, kaisar Romawi yang berkuasa pada waktu itu, dicurigai oleh banyak orang sebagai
yang telah memerintahkan kota itu dibakar. Tacitus menulis:
Nero menciptakan kambing hitam—dan menghukum tanpa ampun orang-orang Kristen yang terkenal bejat (sebagaimana sebutan populer mereka).
Pionir mereka, Kristus, telah dieksekusi dalam pemerintahan Tiberius oleh gubernur Yudea, Pontius Pilatus. Namun terlepas dari kemunduran sementara ini
takhayul yang mematikan itu telah merebak lagi,
tidak hanya di Yudea (di mana kerusakan itu berawal) tetapi bahkan di Roma (1952, 15, 44, komentar
dalam tanda kurung dari aslinya).
Tacitus membenci orang Kristen dan yang senama dengan mereka, Kristus. Karena itu ia tidak punya apa-apa yang
positif untuk dikatakan tentang apa yang ia acukan sebagai
“takhayul yang mematikan.” Bagaimanapun, ia memang punya sesuatu untuk dikatakan tentang hal itu. Kesaksiannya menetapkan tanpa keraguan bahwa Agama Kristen tidak hanya
relevan secara historis, tetapi bahwa Kristus, sebagai pencetusnya, adalah tokoh sejarah yang sedemikian menonjol yang dapat
diverifikasi sehingga Ia bahkan menarik perhatian kaisar Romawi itu sendiri!
Suetonius
Kesaksian bermusuhan tambahan berasal dari Suetonius, yang menulis sekitar 120. M. Robert Graves, sebagai penerjemah karya Suetonius, The Twelve Caesars, menyatakan:
Suetonius beruntung memiliki akses yang disiapkan kepada pelbagai arsip Kerajaan dan Senator
dan kepada tumpukan besar riwayat hidup orang
sezaman dan dokumen-dokumen umum, dan dirinya sendiri juga hidup hampir tiga puluh tahun di
bawah beberapa kaisar. Sebagian besar informasinya tentang Tiberius, Caligula, Claudius, dan Nero
berasal dari para saksi mata atas pelbagai peristiwa yang digambarkan itu (Suetonius, 1957, p. 7).
Kesaksian Suetonius adalah potongan bukti sejarah yang
dapat diandalkan. Dalam sejarahnya, Suetonius menulis: ”Karena orang-orang Yahudi di Roma menimbulkan gangguan
terus-menerus atas dorongan Chrestus, ia [Claudius—KB/EL]
mengusir mereka dari kota itu“ (Claudius, 25:4; perhatikan bahwa dalam ayat 18:2 Lukas menyebutkan pengusiran ini oleh
Claudius). Sanders berkomentar bahwa Chrestus kemungkinan besar adalah ejaan yang salah untuk Christos, “kata Yunani
itu menerjemahkan kata Ibrani ‘Messiah’“ (1993, pp. 49-
50). Suetonius lebih lanjut menulis: “Hukuman juga dijatuhkan
ke atas orang Kristen, sebuah sekte yang menganut keyakinan
agama yang baru dan jahat“ (Nero, 16:2). Sekali lagi, terbukti bahwa Suetonius dan pemerintah Romawi memiliki perasaan
benci terhadap kumpulan pemberontak yang jahat ini.
Plinius Yang Muda
Bersama Tacitus dan Suetonius, Plinius Yang Muda harus
diizinkan untuk duduk di antara para saksi Romawi yang
bermusuhan. Sekitar tahun 110-111 M., Plinius diutus oleh kaisar Romawi Trajan untuk mengatur urusan di wilayah Bitinia.
Dari wilayah ini, Plinius berkorespondensi dengan kaisar tentang masalah yang ia anggap cukup serius. Ia menulis: “Karena tidak pernah hadir dalam pengadilan orang Kristen, saya
tidak mengenal metode dan batasan-batasan yang harus dijalankan dalam memeriksa atau menghukum mereka“ (Letters). Ia
kemudian melanjutkan dengan menyatakan:
Sementara itu, metode yang saya sudah jalankan
untuk mereka yang telah dilaporkan kepada saya
sebagai orang Kristen adalah ini: Saya menginterogasi mereka apakah mereka itu orang Kristen; jika
mereka mengakuinya, saya mengulang kembali pertanyaan itu dua kali, dengan menambahkan ancaman hukuman mati; jika mereka tetap bertahan, saya
memerintahkan mereka untuk dieksekusi (Letters).
Plinius menggunakan istilah “orang Kristen” atau
“orang-orang Kristen” tujuh kali dalam suratnya, dengan begitu menguatkan itu sebagai istilah yang diterima secara
umum yang diakui oleh Kerajaan Romawi dan kaisarnya.
Plinius juga menggunakan nama “Kristus” tiga kali untuk
mengacukan pencetus “sekte” itu. Ia menulis bahwa mereka
yang telah menganut agama Kristen meneguhkan, bagaimanapun, keseluruhan kesalahan mereka, atau kekeliruan mereka, adalah, bahwa
mereka memiliki kebiasaan berhimpun pada hari
tertentu yang tetap sebelum fajar, ketika mereka
bergantian menyanyikan bait-bait sebuah himne
kepada Kristus, seperti kepada seorang dewa, dan
mengikatkan diri mereka dengan sumpah yang
serius, untuk tidak melakukan perbuatan jahat apa
saja … (Letters).
Tidak dapat disangkal bahwa kasus orang Kristen, dengan Kristus sebagai pendiri mereka, telah berbiak sedemikian
rupa sehingga menarik perhatian kaisar dan para hakimnya
pada waktu surat Plinius ditujukan kepada Trajan. Dalam
terang bukti ini, tidak mungkin menyangkal fakta bahwa Yesus
Kristus pernah eksis dan diakui oleh para pejabat tertinggi
dalam pemerintahan Romawi sebagai manusia yang aktual,
historis.
Beberapa orang telah berusaha meniadakan kesaksian
para saksi Romawi yang bermusuhan ini terhadap historisitas
Kristus dengan menyarankan bahwa “sumber-sumber Romawi
yang menyebutkan dia semuanya bergantung pada laporan
orang Kristen“ (Sanders, 1993, p. 49). Misalnya, dalam bukunya, The Earliest Records of Jesus, Francis Beare meratap:
Segala sesuatu yang telah dicatat tentang Yesus
historis dicatat untuk kita oleh orang-orang yang
kepada siapa Ia adalah Kristus Tuhan; dan kita
tidak dapat menghapus iman mereka dari catatan
itu tanpa membuat catatan itu sendiri nyaris kurang
berharga. Tidak ada Yesus yang dikenal dalam sejarah kecuali dia yang digambarkan oleh para pengi-kutnya sebagai Kristus, Anak Allah, Juruselamat
untuk Dunia (1962, p. 19).
Usulan semacam itu sama anehnya seperti hal yang
memalukan. Bukan saja tidak ada bukti untuk mendukung
klaim seperti itu, tetapi semua bukti yang ada menentang klaim
itu. Lebih jauh lagi, menyarankan bahwa para sejarawan kelas
atas Romawi seperti itu akan mengajukan untuk memasukkan
ke dalam tawarikh resmi sejarah Romawi (untuk dilestarikan
bagi keturunan mereka) fakta-fakta yang terkait dengan diri
mereka oleh orang-orang pemberontak yang terkenal “nakal,”
“bejad,” “takhayul” adalah pendapat yang tidak dapat dipertahankan.
Bahkan pembaca biasa yang melihat sepintas kesaksian para saksi Romawi yang bermusuhan itu yang memberikan
kesaksian tentang historisitas Kristus akan dikejutkan oleh fakta bahwa orang-orang kuno ini menggambarkan Kristus itu
bukan sebagai Anak Allah atau Juruselamat dunia. Mereka
secara verbal melucuti dia dari gelar-Nya sebagai Anak, menyangkal kemuliaan-Nya, dan mengecilkan keagungan-Nya.
Mereka menggambarkan Dia bagi orang-orang sezaman mereka, dan bagi keturunan mereka, sebagai manusia biasa. Namun
demikian meski mereka tidak akurat tentang kebenaran Siapa
Dia sebenarnya, tetapi melalui kecaman pedas mereka bagaimanapun juga mereka tetap mendokumentasikan bahwa Ia ada.
Dan untuk itu kita berhutang kepada mereka.
KESAKSIAN TENTANG YESUS
DI KALANGAN ORANG YAHUDI
Meski banyak kesaksian yang bermusuhan tentang eksistensi Yesus berasal dari para saksi di dalam Kerajaan Romawi, namun kesaksian semacam itu bukan satu-satu-nya jenis bukti
sejarah yang bermusuhan yang tersedia. Siapa saja yang mengenal baik sejarah Yahudi akan segera mengenali Mishnah dan
Talmud. Mishnah adalah kitab hukum tradisi Yahudi yang dikodifikasi oleh Rabbi Yehuda sekitar tahun 200 M. dan dikenal oleh
orang Yahudi sebagai “keseluruhan undang-undang yurisprudensi agama” (Bruce, 1960, p. 100-102). Para rabi Yahudi mempelajari Mishnah dan bahkan menulis sekumpulan komentari
yang didasarkan pada Mishnah itu yang dikenal sebagai Gemaras.
Mishnah dan Gemaras dikenal secara kolektif sebagai Talmud
(Bruce, 1960, p. 100-102). Talmud yang lengkap muncul sekitar
300 M. Jika seseorang yang berpengaruh seperti Yesus pernah
hidup di tanah Palestina selama abad pertama, tentu-nya para
rabi akan sudah punya sesuatu untuk dikatakan tentang dia.
Tidak diragukan lagi, orang yang dianggap menantang para
pemimpin agama yang paling cerdas pada zaman-Nya—dan
menang—akan disebut namanya di antara pendapat orangorang yang juga memiliki gelar kerabian-Nya. Seperti yang
Bruce nyatakan:
Menurut para Rabi sebelumnya yang pendapatnya
dicatat dalam tulisan-tulisan ini, Yesus dari Nazareth adalah seorang pelanggar di Israel, yang mempraktikkan sihir, mencemooh kata-kata orang bijak,
menyesatkan orang-orang, dan mengatakan bahwa
ia datang tidak untuk menghancurkan hukum
Taurat tetapi untuk menambahkannya. Ia digantung pada malam Paskah karena bidah dan menyesatkan orang banyak. Murid-muridnya, yang lima
dari mereka disebut namanya, menyembuhkan
orang sakit dalam namanya (1953, p. 102). Kutipan Bruce itu merangkum beberapa pemikiran yang
diambil dari tulisan-tulisan Yahudi yang dikenal sebagai Sanhedrin Tractate, di mana para pemimpin Yahudi menulis: “Pada
malam Paskah Yeshu digantung. Selama empat puluh hari
sebelum eksekusi terjadi, sebuah kabar menyebar dan berseru,
‘Ia akan dirajam karena ia telah melakukan sihir dan membujuk
Israel untuk murtad.… Tapi karena tidak ada yang diutarakan
untuk mendukung dia maka ia digantung pada malam Paskah“ (Shachter, 43a). [Catatan: Yeshu atau Yeshua adalah ejaan
Ibrani yang setara untuk nama Yesus.]
Yudaisme abad pertama, sebagian besar, menolak untuk
menerima Yesus Kristus sebagai Anak Allah. Namun Yudaisme tidak menolak untuk menerima Dia sebagai manusia historis dari kota harfiah yang dikenal sebagai Nazareth, atau mencatat untuk keturunan mereka fakta-fakta yang sangat penting tentang kehidupan dan kematian-Nya.
Josephus
Josephus adalah saksi penting lain dari orang Yahudi.
Sebagai anak Mattathias, ia lahir dari keluarga imamat Yahudi kelas atas sekitar 37 M. Pendidikannya dalam hukum Alkitab dan sejarah berada di antara yang terbaik pada zamannya
(Sanders, 1993, p. 15). Pada usia sembilan belas tahun, ia menjadi seorang Farisi. Ketika Yerusalem memberontak melawan
kekuasaan Romawi, ia menjadi komandan pasukan Yahudi di
Galilea. Setelah kehilangan sebagian besar anak buahnya, ia
menyerah kepada orang Romawi. Ia mendapat kebaikan dari
orang yang menjadi komandan pasukan Romawi, Vespasianus,
dengan meramalkan bahwa Vespasianus akan ditinggikan
kepada jabatan kaisar. Ramalan Josephus menjadi kenyataan
pada pelantikan Vespasianus di tahun 69 M. Setelah Yerusalem
jatuh, Josephus menerima nama keluarga kaisar (Flavius) danmenetap untuk menjalani kehidupan sebagai pensiunan pemerintah. Selama tahun-tahun belakangan ini ia menulis Antiquities of the Jews antara September 93 dan September 94 (Bruce,
1960, pp. 102-104). Josephus sendiri memberikan tanggal penulisan itu pada tahun ke tiga belas pemerintahan Domitianus
(Rajak, 1984, p. 237). Orang-orang sezamannya memandang
karirnya dengan geram sebagai salah satu pemberontakan
yang mengkhianati bangsa Yahudi (Bruce, 1960, p. 103).
Dua kali dalam Antiquities, nama Yesus mengalir dari
pena Josephus. Antiquities 18:3:3 terbaca sebagai berikut:
Dan di sekitar waktu ini muncul Yesus, orang bijak,
jika memang kita harus menyebut dia manusia; karena
ia adalah pelaku pelbagai perbuatan yang menakjubkan, seorang guru bagi orang-orang yang menerima kebenaran itu dengan senang hati. Ia menyesatkan banyak orang Yahudi, dan juga orang Yunani. Orang ini adalah Kristus. Dan ketika Pilatus telah
menghukum dia di kayu salib atas dakwaan oleh
orang-orang terkemuka di antara kita, mereka yang
mengasihi dia dari awal tidak lenyap; karena ia
menampakkan diri hidup kembali kepada mereka pada
hari ketiga, para nabi ilahi telah mengatakan semua ini
dan ribuan hal-hal indah lainnya tentang dia: dan bahkan sekarang kaum Kristen, yang dinamai menurut
namanya, belum juga lenyap (huruf miring ditambahkan).
Sejumlah sejarawan tertentu menganggap bagian-bagian
yang diberi huruf miring sebagai “Sisipan Kristen.” Namun
begitu, tidak ada bukti dari kritik tekstual yang akan menjamin
pendapat semacam itu (Bruce, 1953, p. 110). Faktanya, setiap
naskah Yunani yang masih ada mengandung bagian-bagian yang diperdebatkan. Bagian ini juga ada dalam versi bahasa
Ibrani dan bahasa Arab. Dan meski versi bahasa Arab sedikit
berbeda, namun masih menunjukkan informasi tentang bagian-bagian yang disengketakan (lihat Chapman, 1981, p. 29;
Habermas, 1996, pp. 193-196).
Umumnya ada beberapa alasan yang ditawarkan untuk
menolak nas itu sebagai asli. Pertama, para penulis Kristen
mula-mula seperti Justin Martyr, Tertullian, dan Origen tidak
menggunakan pernyataan Josephus dalam mereka membela
keilahian Kristus. Habermas mengulas bahwa Origen, pada
kenyataannya, mendokumentasikan fakta bahwa Josephus
(meski dirinya adalah orang Yahudi) tidak percaya bahwa Kristus adalah Mesias (1996, p. 192; bdk. Against Celsus, 1:47 oleh
Origen). Namun begitu, seperti yang juga Habermas tunjukan,
penulis abad keempat Eusebius, dalam karyanya Ecclesiastical
History (1:11), mengutip pernyataan Josephus tentang Kristus,
termasuk kata-kata yang disengketakan. Dan tidak diragukan
lagi ia memiliki akses kepada sumber-sumber yang jauh lebih
kuno daripada yang tersedia sekarang.
Lebih jauh lagi, seharusnya tidak terlalu mengejutkan
bahwa para apologis Kristen mula-mula seperti itu tidak mengacu kepada Josephus dalam tulisan mereka. Wayne Jackson
telah mengulas:
Tulisan-tulisan Josephus mungkin saja tidak bersirkulasi secara luas pada saat itu di waktu itu.
Antiquities karyanya belum selesai hingga sekitar
93 M. Juga, mengingat fakta bahwa Josephus tidak
dihormati oleh orang-orang Yahudi, karyanya itu
mungkin tidak dihargai sebagai alat apologetik
(1991b, 11:29). Saran semacam itu memiliki bobot. Profesor Bruce Metzger berkomentar: “Karena Josephus dianggap sebagai seorang
pengkhianat terhadap Yudaisme, maka para ahli Taurat Yahudi tidak tertarik untuk melestarikan pelbagai tulisannya untuk
keturunan [mereka]“ (1968, p. 75). Thomas H. Horne, dalam
karyanya Critical Introduction to the Study and Knowledge of the
Holy Scriptures, mengacu kepada fakta bahwa sumber bukti
utama yang sering digunakan oleh apa yang disebut “bapakbapak gereja” adalah acuan kepada Perjanjian Lama daripada
kepada sumber insani (1841, 1:463-464). Bukti itu membenarkan kesimpulan Horne. Misalnya, sebuah survei indeks terhadap delapan volume dari satu set multi-volume, The AnteNicene Fathers, hanya mengungkapkan sebelas acuan kepada
Josephus dalam keseluruhan set itu.
Alasan kedua yang terkadang dikemukakan tentang mengapa nas karya Josephus dalam Antiquities yang disengketakan itu mungkin saja dikarenakan ”Sisipan Kristen” adalah
fakta bahwa tampaknya tidak mungkin seorang penulis nonKristen akan memasukkan pernyataan seperti “orang ini adalah Kristus” atau “jika memang kita harus menyebut dia manusia.“ Tapi meski hal seperti itu bisa saja tidak mungkin, namun
itu pastinya tidak di luar alam kemungkinan. Sejumlah alasan
apa saja dapat menjelaskan mengapa Josephus mau menuliskan apa yang ia telah tulis. Sebagai contoh, Bruce membolehkan kemungkinan bahwa Josephus mungkin saja sedang bicara
secara sinis (1953, p. 110). Howard Key berpendapat:
Jika kita berasumsi bahwa Josephus, dalam membuat pernyataan eksplisit tentang Yesus sebagai
Mesias dan tentang kebangkitan, hanya sedang
menyampaikan apa yang para pengikut Yesus
klaim atas namanya, maka tidak akan ada alasan untuk menyangkal bahwa ia sudah menuliskan itu
[yaitu, frasa-frasa yang dianggap sisipan—KB /
EL] (1970, p. 33).
Perlu juga dicatat bahwa Josephus sulit untuk memenuhi
syarat sebagai satu-satunya penulis tentang pernyataan-pernyataan seperti itu yang dibuat tentang Kristus oleh mereka
yang menolak keilahian-Nya. Ernest Renan, misalnya, adalah
sejarawan Prancis abad kesembilan belas yang bukunya, The
Life of Jesus, berisi serangan frontal tentang keilahian Kristus
yang mendapat perhatian besar di seluruh Eropa (lihat Thompson, 1994, 14:5). Namun demikian dalam buku yang sama itu
Renan menulis: “Orang yang mulia ini, yang setiap hari masih
mengarahkan takdir dunia, yang bisa kita sebuat ilahi.… Di
dalam dia terkondensasi semua apa yang baik dan dimuliakan
dalam sifat kita“ (n.d.).
Atau pertimbangkanlah H. G. Wells yang, pada tahun
1931, menulis The Outline of History. Di halaman 270 dari karya
terkenal itu, Wells menyebut Yesus sebagai “seorang nabi
kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.“ Tidak ada
orang yang mengenal Wells (orang yang pastinya tidak percaya
kepada keilahian Kristus) akan pernah menuduh kisahnya
itu telah dinodai oleh “sisipan Kristen.” Will Durant, seorang
humanis terkenal, adalah orang yang mengaku ateis, namun ia
menulis: “Pertanyaan terbesar di zaman kita bukan komunisme
vs individualisme, bukan Eropa vs. Amerika, bahkan bukan
Timur vs. Barat; pertanyaannya adalah apakah manusia dapat
bertahan hidup tanpa Allah“ (1932, p. 23). Komentar-komentar
seperti yang berasal dari Renan, Wells, dan Durant mendokumentasikan fakta bahwa, kadang-kadang, bahkan orang-orang
yang tidak percaya telah menulis pujian tentang Allah dan
Kristus. Lebih jauh lagi, bahkan jika materi yang mengandung
dugaan sisipan Kristen itu dihapus, kosakata dan tata bahasa
bagian itu tetap “melekat kuat dengan gaya dan bahasa Josephus“ (Meier, 1990, p. 90). Faktanya, hampir setiap kata (lenyapkan sejenak dugaan sisipan itu) dalam karya Josephus
ditemukan di tempat lain (Meier, p. 90). Seandainya materi
yang disengketakan itu harus dihapus, kesaksian Josephus itu
masih akan memverifikasi fakta bahwa Yesus Kristus benarbenar pernah hidup. Habermas oleh karena itu menyimpulkan:
Ada beberapa indikasi yang baik bahwa sebagian
besar teks itu adalah asli. Tidak ada bukti tekstual
yang menentang itu, dan, sebaliknya, ada bukti
naskah yang sangat baik untuk pernyataan tentang
Yesus ini, sehingga membuat pernyataan itu sulit
diabaikan. Selain itu, beberapa sarjana terkemuka
tentang karya-karya Josephus [Daniel-Rops, 1962,
p. 21; Bruce, 1967, p. 108; Anderson, 1969, p. 20]
telah bersaksi bahwa bagian ini ditulis dalam gaya
sejarawan Yahudi ini (1996, p. 193).
Selain itu, Josephus tidak tinggal diam tentang Kristus
dalam bagian-bagiannya yang belakangan. Antiquities 20:9:1
mengisahkan bahwa Ananus membawa ke hadapan Sanhedrin
“seorang bernama Yakobus, saudara Yesus yang disebut Kristus, dan beberapa orang lain tertentu. Ia menuduh mereka telah
melanggar hukum Taurat, dan menghukum mereka untuk
dirajam sampai mati.“ Bruce mengulas bahwa kutipan dari
Josephus ini “sangat penting sekali karena ia menyebut Yakobus saudara Yesus yang disebut ‘Kristus,’ sedemikian rupa
untuk menunjukkan bahwa ia telah membuat acuan kepada
Yesus. Dan kita menemukan referensi kepada dia dalam semua
salinan karya Josephus yang masih ada” (Bruce, 1953, p. 109). Meier, dalam sebuah artikel berjudul “Jesus in Josephus,”
membuat jelas bahwa menolak nas ini sebagai benar-benar
telah ditulis oleh Josephus menentang penilaian yang akurat atas teks itu (pp. 79-81). Meier juga menambahkan lagi
pembelaan yang tegas tentang kehandalan historis teks itu
tentang Kristus dalam Antiquities.
Pada kenyataannya tidak ada orang yang terkejut
atau menolak untuk percaya bahwa dalam buku
yang sama 18 dari The Jewish Antiquities Josephus
juga memilih untuk menulis uraian yang lebih panjang tentang orang Yahudi lain yang tidak penting,
pemimpin agama lain yang aneh di Palestina,
“Yohanes yang disebut Baptis“ (Ant . 18.5.2). Untungnya bagi kita, Josephus memiliki ketertarikan yang lebih daripada sepintas saja terhadap
orang-orang Yahudi yang tidak penting (p. 99).
Bahkan skeptis Jeffrey Jay Lowder, “salah satu pendiri
dan mantan Presiden Internet Infidels, Inc., sebuah koalisi nonteis internasional yang didedikasikan untuk mempromosikan dan membela pandangan dunia yang alami pada Internet,“
setelah mencoba untuk menolak banyak bukti historis tentang
Yesus, harus mengatakan ini tentang kesaksian Josephus:
“Saya pikir ada banyak bukti untuk menyimpulkan ada Yesus
historis. Menurut saya, Perjanjian Baru sendiri menyediakan cukup bukti bagi historisitas Yesus, tetapi tulisan-tulisan
Josephus juga menyediakan dua acuan yang independen,
otentik kepada Yesus” (2000, huruf tebal ditambahkan).
Fakta sederhananya adalah bahwa sejarawan Yahudi
yang berpendidikan tinggi ini menulis tentang orang bernama
Yesus yang benar-benar eksis pada abad pertama. Yamauchi menyimpulkan dengan cukup baik pelbagai temuan dari
sumber-sumber sekuler mengenai Kristus:
Bahkan jika kita tidak memiliki Perjanjian Baru atau
tulisan-tulisan Kristen, kita masih akan dapat menyimpulkan dari tulisan-tulisan non-Kristen seperti Josephus, Talmud, Tacitus dan Plinius Yang Muda
bahwa: (1) Yesus adalah seorang guru Yahudi; (2)
banyak orang percaya ia melakukan penyembuhan dan pengusiran roh jahat; (3) ia ditolak oleh para
pemimpin Yahudi; (4) ia disalibkan di bawah Pontius Pilatus semasa pemerintahan Tiberius; (5) meski kematiannya memalukan, para pengikutnya,
yang percaya bahwa ia masih hidup, menyebar ke
luar Palestina sehingga ada banyak sekali dari
jumlah mereka yang menetap di Roma pada 64
M.; (6) semua jenis orang dari kota-kota dan desadesa itu—laki-laki dan perempuan, budak dan
orang merdeka—menyembah dia sebagai Allah
pada awal abad kedua (1995, p. 222).
PARA PENULIS PATRISTIK MULA-MULA
Para penulis patristik/bapak gereja mula-mula menyusun
satu kelompok saksi yang penting bagi historisitas Kristus yang
harus jangan diabaikan. Kelompok orang ini hidup dan menyusun tulisan-tulisan dari akhir abad pertama sampai abad
kedelapan M. Meski tulisan-tulisan mereka itu diakui berorientasi Kristen, namun tanggal dari banyak tulisan itu menyediakan bukti yang sangat baik bagi historisitas Kristus.
Misalnya, Polikarpus, seorang Kristen awal yang hidup
sekitar 69-155 M., menulis beberapa surat, termasuk yang berjudul The Epistle to the Philippians. Di surat ini, ia menyebut
Yesus setidaknya sebelas kali, menjelaskan bahwa Yesus “bahkan menderita sampai mati,” dan mengutip beberapa perintah
dan komentar dari Yesus (n.d). Irenaeus, penulis patristik
mula-mula lainnya yang hidup sekitar 120-202 M., mencatat
beberapa hal menarik tentang Polikarpus, ketika ia menulis:
Karena saya memiliki ingatan yang lebih jelas tentang apa yang telah terjadi pada saat itu daripada
kejadian baru-baru ini … sehingga bahkan dapat
menggambarkan tempat di mana Polikarpus yang
berbahagia biasa duduk dan berceramah—keluarnya, dan juga, kedatangannya—cara umum hidupnya dan tampilan pribadinya, bersama dengan ceramah-ceramah yang ia sampaikan kepada orangorang; juga bagaimana ia akan bicara tentang hubungan akrabnya dengan Yohanes, dan dengan
yang lainnya yang pernah melihat Tuhan; dan
bagaimana ia akan mengutip kata-kata mereka untuk diingat. Hal apa saja yang ia telah dengar
dari mereka untuk menghormati Tuhan, baik yang
berkaitan dengan mujizat-mujizat-Nya dan ajaranNya, Polikarpus karena demikian ia telah menerima [informasi itu] dari para saksi mata Firman
hidup, akan menceritakan kembali semuanya selaras dengan Kitab Suci (Irenaeus, n.d.).
Sekumpulan penulis gereja mula-mula lainnya dapat
didokumentasikan dan diacukan dengan cara yang sama. Origen hidup sekitar 185-253 M., Justin Martyr dari 100-165
M., Tertullian dari 160-215 M., dan Clement dari Alexandria dari 150-215 M. Masing-masing dari orang-orang ini, dan
yang lainnya dari periode waktu yang sebanding, menulis banyak hal tentang Kristus, gereja yang Ia dirikan, dan orangorang Kristen. Tulisan-tulisan mereka menawarkan kesaksian
tambahan bagi historisitas Kristus. (Untuk bacaan yang lebih
luas tentang para penulis patristik mula-mula dan tulisantulisan mereka yang sebenarnya, lihat Knight, 2004.)
Meski daftar saksi-saksi yang bermusuhan, dari orang
Yahudi, dan patristik mula-mula membuktikan tanpa keraguan bahwa Yesus benar-benar hidup, namun bagaimanapun itu
bukan satu-satunya bukti historis yang tersedia untuk mereka
yang tertarik dengan topik ini. Catatan empat injil (Matius,
Markus, Lukas, dan Yohanes), dan 23 kitab lainnya yang membentuk Perjanjian Baru, memberikan lebih banyak informasi
tentang Yesus daripada sumber-(sumber) lain yang tersedia.
Tetapi bisakah keempat catatan ini dilihat sebagai bukti sejarah,
atau apakah mereka sebaliknya dilihat sebagai tulisan-tulisan
yang keandalannya memudar jika dibandingkan dengan jenisjenis dokumentasi historis lainnya? Blomberg telah menjelaskan mengapa pertanyaan historis empat catatan injil, misalnya,
harus dipertimbangkan.
Banyak orang yang belum pernah mempelajari injil
dalam konteks ilmiah percaya bahwa kritik Alkitab nyaris telah menyangkal keberadaan [KristusKB/EL]. Oleh sebab itu, pemeriksaan terhadap
keandalan historis injil harus mendahului penilaian yang kredibel tentang siapa Yesus sebenarnya
(1987, p. xx).
Tapi seberapa baikkah dokumen-dokumen Perjanjian
Baru dibandingkan dengan dokumen-dokumen sejarah kuno
lainnya? F. F. Bruce memeriksa banyak bukti di sekitar pertanyaan ini dalam bukunya, The New Testament Documents—Are
They Reliable? (1967). Seperti yang ia dan para penulis lain-
nya telah catat (misalnya, Metzger, 1968, p. 36; Geisler and
Brooks, 1990, p. 159), saat ini terdapat 5.300 lebih naskah Perjanjian Baru Yunani, secara keseluruhan atau sebagian, yang
berfungsi untuk menguatkan keakurasian Perjanjian Baru.
[CATATAN: Menurut Michael Welte dari Institut for New
Testament Textual Research di Munster, Jerman, jumlah naskah Yunani pada tahun 2005—seluruhnya dan sebagian—
mencapai sejumlah 5.748 (Welte, 2005).] Beberapa naskah terbaik Perjanjian Baru bertanggal sekitar 350 M., dengan kemungkinan salah satu yang paling penting dari semua ini adalah
Codex Vaticanus, “harta utama Perpustakaan Vatikan di
Roma,” dan Codex Sinaiticus, yang dibeli oleh Inggris dari
Pemerintah Soviet pada 1933 (Bruce, 1953, p. 20). Selain itu,
papirus Chester Beatty, yang dipublikasikan pada tahun 1931,
mengandung sebelas Codex, tiga di antaranya mengandung
sebagian besar Perjanjian Baru (termasuk empat catatan injil).
Dua dari codex ini mengaku bertanggal paruh pertama abad
ketiga, sedangkan sisipan ketiga yang sedikit belakangan, bertanggal paruh akhir abad yang sama (Bruce, 1953, p. 21).
Perpustakaan John Rylands bahkan mengaku punya bukti
yang lebih awal. Sebuah codex papirus yang berisi bagian-bagian Yohanes 18 memiliki tanggal era Hadrianus, yang memerintah dari 117 hingga 138 M. (Bruce, 1953, p. 21).
Pengesahan lain bagi keakuratan dokumen-dokumen
Perjanjian Baru dapat ditemukan dalam apa yang disebut tulisan “bapak-bapak apostolik”—orang-orang yang terutama menulis dari 90-160 M. (Bruce, 1953, p. 22). Irenaeus, Clemens dari
Aleksandria, Tertullian, Tatian, Clement dari Roma, dan Ignatius (yang menulis sebelum akhir abad kedua) semuanya memberikan kutipan dari satu atau lebih catatan injil (Guthrie, 1990,
p. 24). Saksi-saki lain bagi keaslian awal Perjanjian Baru adalah
versi-versi kuno, yang terdiri dari teks Perjanjian Baru yangditerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Bahasa
Latin Lama dan Siria Lama adalah yang paling kuno, yang berasal dari pertengahan abad kedua (Bruce, 1953, p. 23).
Bukti yang tersedia membuat jelas bahwa semua catatan
injil diterima sebagai asli di akhir abad kedua (Guthrie, p. 24).
Mereka sudah lengkap sebelum 100 M., dengan banyak dari
tulisan-tulisan itu beredar 20-40 tahun sebelum akhir abad pertama (Bruce, 1953, p. 16). Linton berkomentar:
Fakta yang diketahui oleh semua orang yang telah
meluangkan waktu untuk sedikit mempelajari subjek ini adalah bahwa kitab-kitab ini dikutip, dicantumkan, dikatalogkan, diselaraskan, dikutip sebagai otoritas oleh para penulis yang berbeda, Kristen
dan Pagan, yang berasal dari zaman para rasul
(1943, p. 39).
Penilaian semacam itu mutlak benar. Faktanya, Perjanjian
Baru menikmati jauh lebih banyak dokumentasi historis
daripada kitab-kitab lainnya yang pernah dikenal. Hanya ada
643 salinan Iliad karya Homer, yang tidak dapat disangkal
merupakan buku paling terkenal dari Yunani kuno. Tidak ada
orang yang meragukan teks Gallic Wars dari Julius Caesar,
tetapi kita hanya memiliki 10 salinannya, yang paling awal
darinya dibuat 1.000 tahun setelah teks itu ditulis. Memiliki
keberlimpahan salinan-salinan Perjanjian Baru dalam rentang
waktu 70 tahun dari asal mula mereka ditulis adalah hal luar
biasa yang tak dapat dipungkiri (Geisler and Brooks, 1990, pp.
159-160).
Seseorang mungkin menuduh dokumen-dokumen Perjanjian Baru tidak dapat dipercaya karena para penulis itu
memiliki agenda tersendiri. Tapi hal ini sendiri tidak membuat
apa yang para penulis itu katakan sebagai tidak jujur, terutama
dalam terang menguatkan bukti dari saksi-saksi yang bermusuhan. Ada historis-historis lain yang diterima terlepas dari
agenda penulisnya. Sebuah “agenda” tidak membatalkan
kemungkinan adanya pengetahuan historis yang akurat.
Dalam karyanya, The New Testament Documents—Are
They Reliable?, Bruce menawarkan perbandingan yang lebih
mencengangkan. Livy menulis 142 buku sejarah Romawi, yang
mana hanya 35 buku yang bertahan hidup. Tiga puluh lima
buku yang dikenal itu diketahui keberadaannya oleh karena
adanya sekitar 20 naskah, dan hanya satu naskah yang usianya
setua abad keempat. Kita hanya memiliki dua naskah Histories
dan Annals, karya Tacitus, yang satu dari abad kesembilan dan
yang satu lagi dari abad kesebelas. History of Thucydides, sebuah
karya kuno terkenal lainnya, bergantung hanya pada delapan
naskah, di mana yang tertua bertanggal sekitar 900 M. (bersama
dengan beberapa potongan papirus bertanggal pada awal era
Kristen). The History of Herodotus mendapatkan dirinya dalam
situasi yang sama. ”Namun tidak ada sarjana klasik yang mau
mendengarkan argumen bahwa keaslian Herodotus atau
Thucydides diragukan karena naskah paling awal tentang karya mereka yang berguna bagi kita berusia lebih dari 1.300 tahun
belakangan daripada naskah aslinya” (Bruce, 1953, p. 20-21).
Bruce dengan demikian menyatakan: “Ini adalah fakta yang
mengherankan bahwa para sejarawan sering lebih siap memercayai catatan-catatan Perjanjian Baru daripada banyak teolog”
(1953 ,p. 19). Seperti yang Linton katakan:
Tidak ada ruang untuk mempertanyakan bahwa
catatan-catatan tentang perkataan dan tindakan
Yesus dari Galilea berasal dari pena orang-orang
yang, bersama Yohanes, menuliskan apa yang
mereka “telah dengar” dan “telah lihat” dan tangan mereka telah “meraba Firman kehidupan” (1943, p.
39-40).
FAKTA KEAKURASIAN
DOKUMEN-DOKUMEN PERJANJIAN BARU
Perjanjian Baru tidak selalu mengklaim sebagai perwakilan sejarah abad pertama yang sistematis. Perjanjian Baru, itu
sendiri, bukan buku sejarah semata. Bagaimanapun, Perjanjian
Baru memang mengklaim bahwa fakta-fakta historis yang
terkait dalam teks itu adalah akurat, tanpa ada ruang kesalahan
(2 Timotius 3:16-17; Kisah 1:1-3). Aman untuk mengatakan
bahwa, berdasarkan klaim yang luar biasa ini, Perjanjian Baru
telah diteliti lebih intens daripada teks lain yang ada (dengan
kemungkinan pengecualian pada kitab pendampingnya, Perjanjian Lama). Apakah yang sudah menjadi hasil akhir dari
penelitian cermat seperti itu?
Hasil luar biasa dari pemeriksaan yang cermat ini adalah
pasokan yang sangat besar tentang bukti arkeologi yang
menakjubkan yang membuktikan ketepatan berbagai acuan
historis dalam Perjanjian Baru. Seperti yang dapat dikatakan
tentang hampir setiap artikel tentang arkeologi dan Alkitab,
beberapa halaman berikut yang mendokumentasikan bukti
arkeologi ini hanya baru menggores permukaan bukti yang
tersedia. Namun demikian, pemeriksaan atas subjek khusus ini
menghasilkan kajian yang menarik tentang keakurasian Alkitab. Jika catatan-catatan Perjanjian Baru dapat dibuktikan akurat secara fakta dalam setiap kasus yang dapat diperiksa, maka
kesaksian semua catatan itu tentang Yesus harus diterima sebagai akurat dan juga sah. Prasasti Pilatus
Hanya sedikit yang telah membaca kisah Perjanjian Baru
tentang persidangan Yesus dapat melupakan nama Pontius
Pilatus. Keempat injil membuat acuan kepada Pilatus. Penyelidikannya tentang Yesus, atas desakan gerombolan orang Yahudi, tampil sebagai salah satu adegan yang paling berkesan dalam kehidupan Yesus. Tidak kurang dari tiga kali, pejabat
Romawi ini menjelaskan kepada gerombolan orang yang
berteriak-teriak itu bahwa ia tidak menemukan kesalahan pada
diri Yesus (Yohanes 18:38; 19:4, 6). Namun begitu, untuk menenangkan orang-orang Yahudi, Pilatus mencuci tangannya dalam suatu upacara penegasan bagi dirinya yang tidak bersalah atas darah Kristus, dan kemudian menyerahkan Anak
Allah itu untuk dicambuk dan disalibkan.
Apakah yang dapat diambil dari sejarah sekular tentang
Pilatus? Selama sekitar 2.000 tahun, satu-satunya acuan kepada
Pilatus ditemukan dalam tulisan-tulisan seperti Josephus dan
Tacitus. Catatan tertulis tentang hidupnya menempatkan dia
sebagai penguasa Romawi atas Yudea dari 26-36 M. Catatancatatan itu menunjukkan bahwa Pilatus sangat gegabah, sering
bersikap kejam. Catatan Alkitab bahkan menyebutkan bahwa
Pilatus telah membunuh orang-orang Galilea tertentu selagi
mereka mempersembahkan korban (Lukas 13:1). Namun begitu, di samping acuan kepada Pilatus yang kadang-kadang
muncul dalam catatan-catatan tertulis tertentu, tidak ada prasasti atau monumen batu yang mendokumentasikan hidupnya.
Kasus itu tidak berubah sampai 1961. Pada tahun itu,
Pilatus beralih dari tokoh yang dikenal hanya dari sastra kuno,
menjadi tokoh yang dibuktikan oleh arkeologi. Para pejabat
Romawi yang menguasai Yudea di zaman Yesus, kemungkinan besar mendirikan markas mereka di kota kuno Kaesarea,
seperti yang ditunjukkan dengan jelas dari dua acuan kepada
aktivitas militer dan politik Pilatus di kota itu oleh Josephus
(Finegan, 1992, p. 128). Di Kaisarea terdapat sebuah teater besar
Romawi yang mulai digali oleh sekelompok arkeolog yang
disponsori pemerintah Italia pada tahun 1959. Dua tahun kemudian, pada tahun 1961, para peneliti menemukan lempengan batu berukuran sekitar 61 x 91 sentimeter yang telah digunakan “dalam pembangunan koridor antara tangga di deretan
kursi bertingkat yang disediakan untuk para tamu kehormatan“ (lihat McRay, 1991, p. 204). Tulisan Latin pada batu itu,
bagaimanapun, membuktikan bahwa awalnya, batu itu tidak
dimaksudkan untuk digunakan sebagai blok bangunan di teater itu. Pada batu itu, para peneliti menemukan apa yang tersisa
dari prasasti yang bertuliskan nama Pontius Pilatus. Seluruh
prasasti itu tidak terbaca, tetapi berkenaan dengan nama Pilatus, Finegan berkomentar: “Nama Pontius Pilatus cukup jelas,
dan itu sangat penting sebagai dokumentasi epigrafis pertama tentang Pontius Pilatus, yang memerintah Yudea pada 26-
36 M. sesuai dengan tanggal yang diterima secara umum“
(1992, p. 139). Apa yang pernah ditulis secara lengkap oleh prasasti itu tidak diketahui secara pasti, tetapi ada kesepakatan
umum bahwa awalnya batu itu mungkin berasal dari sebuah
kuil atau tempat keramat yang didedikasikan untuk kaisar
Romawi Tiberius (Blaiklock, 1984, p. 57). Potongan bukti yang
lebih kuat bagi keakurasian Perjanjian Baru akan sulit ditemukan. Sekarang dikenal secara tepat sebagai “Prasasti Pilatus,”
lempengan batu ini mendokumentasikan bahwa Pilatus adalah pejabat Romawi yang memerintah Yudea, dan bahkan
menggunakan namanya yang lebih lengkap Pontius Pilatus,
seperti yang ditemukan dalam Lukas 3:1. Politarch di Tesalonika
Ketika menulis tentang orang-orang Kristen di Tesalonika yang dituduh telah “mengacaukan seluruh dunia,” Lukas
mencatat bahwa beberapa saudara telah dibawa ke hadapan
“penguasa-penguasa kota” (Kisah 17: 5-6). Frasa ”Penguasapenguasa kota” (NKJV, ASV; “para otoritas kota”—NASB)
diterjemahkan dari kata Yunani politarchas, dan hanya muncul
dalam Kisah 17 ayat 6 dan 8. Selama bertahun-tahun, para
pengkritik klaim pengilhaman Alkitab oleh ilahi menuduh
Lukas tidak akurat dalam historis karena ia menggunakan
gelar politarchas untuk mengacukan para pejabat kota Tesalonika, ketimbang menggunakan istilah yang lebih umum, strateegoi (para hakim) atau exousiais (para penguasa). Untuk mendukung tuduhan mereka, mereka menunjukkan bahwa istilah
politarch tidak ditemukan di tempat lain dalam sastra Yunani
sebagai sebuah gelar resmi. Dengan demikian, mereka menalar
bahwa Lukas telah membuat kesalahan. Bagaimana bisa orang
mengacukan suatu jabatan seperti itu jika jabatan itu tidak
ada? Siapa sajakah yang telah mendengar atau membaca politarchas dalam bahasa Yunani? Tidak ada seorang pun di zaman
modern. Artinya, tidak seorang pun di zaman modern pernah
mendengar istilah itu sampai istilah itu ditemukan tercatat
dalam berbagai kota di Makedonia—provinsi di mana Tesalonika terletak.
Pada tahun 1960, Carl Schuler menerbitkan 32 daftar
prasasti yang berisi istilah politarcha. Sekitar 19 dari 32 daftar
itu berasal dari Tesalonika, dan setidaknya tiga dari mereka
bertanggal hingga ke abad pertama (lihat McRay, 1991,
p. 295). Di Via Egnatia (sebuah jalan ramai utama yang melalui
Tesalonika kuno), pernah berdiri sebuah Gapura Lengkung
Romawi yang disebut Gerbang Vardar. Pada 1867, gapura
lengkung itu diruntuhkan dan digunakan untuk memperbaiki tembok kota (p. 295). Sebuah tulisan pada gapura lengkung ini,
yang sekarang disimpan di Museum British, tergolong sebagai
salah satu yang paling penting ketika berkaitan dengan istilah politarcha. Tulisan khusus ini, yang bertanggal antara 30 S.
M. dan 143 M., dimulai dengan frasa, “Pada waktu Politarchas
…“ (Finegan, 1959, p. 352). Jadi, gapura lengkung itu kemungkinan besar sudah berdiri ketika Lukas menuliskan narasi sejarah yang dikenal sebagai Kisah Para Rasul. Dan fakta bahwa
politarch pernah memerintah Tesalonika pada waktu Paulus
melakukan perjalanan kini berdiri sebagai hal yang tak dapat
dibantah.
Sergius Paulus, Prokonsul Siprus
Di sepanjang perjalanan misi Paulus, ia dan temantemannya melakukan kontak dengan banyak orang berkedudukan tinggi—termasuk para penguasa Romawi dari wilayah
di mana para misionaris itu sedang menginjil. Seandainya Lukas memalsukan pelbagai perjalanan ini, ia bisa saja telah membuat banyak acuan yang tidak jelas terhadap para penguasa
Romawi itu tanpa menyebutkan nama dan gelar tertentu.
Tetapi itu bukan apa yang orang temukan dalam kitab Kisah
Para Rasul. Sebaliknya, tampaknya Lukas terlibat langsung
untuk mendokumentasikan kota-kota, tempat-tempat, namanama, dan gelar-gelar tertentu. Oleh karena banyaknya dokumentasi ini, kita memiliki banyak contoh untuk memeriksa
keandalannya sebagai sejarawan.
Salah satu contoh seperti itu ditemukan dalam Kisah Para
Rasul 13. Dalam pasal itu, Lukas mendokumentasikan perjalanan Paulus ke Seleukia, kemudian Siprus dan Salamis, kemudian Pafos. Di Pafos, Paulus dan rekan-rekannya bertemu
dengan dua orang—seorang Yahudi bernama Baryesus dan
Sergius Paulus, orang cerdas yang mengundang Paulus dan Barnabas untuk mendengarkan Firman Tuhan (Kisah 13:4-
7). Acuan khusus kepada Sergius Paulus ini menyediakan ujian
ganda kepada mahasiswa arkeologi tentang keakurasian Lukas. Pertama, apakah wilayah Siprus dan Pafos diperintah oleh
seorang gubernur/prokonsul sewaktu Paulus menginjil di
sana? Kedua, apakah ada tokoh bernama Sergius Paulus?
Selama bertahun-tahun, orang-orang yang skeptis terhadap keakurasian Lukas mengklaim bahwa daerah di sekitar Siprus tidak akan pernah diperintah oleh seorang prokonsul.
Karena Siprus merupakan provinsi kekaisaran, maka Siprus
akan sudah diletakkan di bawah seorang “propraetor,” bukan
seorang prokonsul (Unger, 1962, pp. 185-186). Meski memang
benar bahwa Siprus pernah menjadi sebuah provinsi kekaisaran, namun tidak benar bahwa statusnya tetap seperti itu
sewaktu Paulus melakukan perjalanan ke sana. Faktanya,
“dalam 22 S.M. Augustus metransfer Siprus kepada Senat Romawi, dan karena itu ditempatkan di bawah administrasi prokonsul“ (Free and Vos, 1992, p. 269). Sarjana Alkitab F. F. Bruce
memperluas informasi ini ketika ia menjelaskan bahwa Siprus
dijadikan provinsi kekaisaran pada 27 S. M., tapi lima tahun
kemudian Kaisar Augustus memberikan wilayah itu kepada
Senat sebagai ganti untuk wilayah Dalmatia. Setelah diberikan
kepada Senat, prokonsul akan sudah memerintah Siprus, sama
seperti provinsi-provinsi senat lainnya (Bruce, 1990, p.
295). Seperti yang Thomas Eaves nyatakan:
Ketika kita berpaling kepada para penulis sejarah
untuk periode itu, Dia Cassius (History Romawi)
dan Strabo (The Geografi of Strabo), kita mengetahui
bahwa Siprus memiliki dua periode sejarah: pertama, Siprus merupakan provinsi kekaisaran yang
diperintah oleh seorang propraetor, dan kemudian pada 22 S. M., Siprus dijadikan provinsi senat yang
diperintah oleh prokonsul. Karena itu, para sejarawan mendukung Lukas dalam pernyataannya bahwa Siprus diperintah oleh seorang prokonsul, karena itu terjadi antara 40-50 M. ketika Paulus melakukan perjalanan misinya yang pertama. Jika kita
menerima kebenaran sejarah sekuler maka kita juga
harus menerima sejarah Alkitab, karena keduanya
sejalan (1980, p. 234).
Selain fakta yang sudah diketahui bahwa Siprus menjadi sebuah provinsi senat, para arkeolog juga telah menemukan
koin-koin tembaga dari daerah yang mengacu kepada prokonsul lain yang waktunya tidak terpaut jauh dengan waktu Paulus. Satu koin seperti itu, yang dengan tepatnya disebut “koin
tembaga prokonsul Siprus,“ menampilkan kepala Kaisar Claudius, dan berisi gelar “Arminius Proclus, Proconsul ... orang
Siprus“ (McClintock and Strong, 1968, 2:627).
Bahkan yang lebih mengesankan daripada fakta tentang
Lukas yang telah mencatat secara akurat gelar tertentu, adalah
fakta tentang bukti yang telah terungkap bahwa catatan tentang Sergius Paulus adalah juga sama akuratnya. Sangat menarik, dalam hal ini, bahwa ada beberapa prasasti yang mungkin bisa cocok dengan prokonsul yang dicatat oleh Lukas. International Standard Bible Encyclopedia (ISBE) mencatat tiga prasasti
kuno yang kemungkinan bisa cocok (lihat Hughes, 1986,
2:728). Pertama, di Soli di utara pantai Siprus, sebuah prasasti
yang ditemukan itu menyebut nama Paulus, yang adalah seorang prokonsul. Para penulis dan para editor ISBE berpendapat bahwa prasasti ini paling awal dapat diberi tanggal sekitar
50 M., dan karenanya tidak sesuai dengan Paulus dari Kisah 13.
Namun begitu, yang lainnya, yakin bahwa ini adalah Paulus dari Kisah Para Rasul yang terkenal itu (Unger, 1962, pp. 185-
186; lihat juga McGarvey, nd, New Commentary …, 2:7). Selain
penemuan ini, telah juga ditemukan prasasti Latin lainnya yang
mengacukan Lucius Sergius Paulus yang merupakan “salah
satu kurator Bank Tiber selama masa pemerintahan Claudius.“
Arkeolog terkemuka Sir William Ramsay berpendapat bahwa
orang ini belakangan menjadi prokonsul Siprus, dan harus
dikaitkan dengan Kisah Para Rasul 13 (Hughes, 2:728). Akhirnya, dari Kythraia di Siprus utara telah ditemukan sebuah
penggalan tulisan Yunani yang mengacu kepada Quintus
Sergius Paulus sebagai prokonsul selama pemerintahan Claudius (Hughes, 2:728). Terlepas dari prasasti-prasasti yang mana
yang sebenarnya berkaitan dengan Kisah Para Rasul 13, bukti
itu menyediakan kecocokan yang masuk akal. Setidaknya ada
dua orang bernama Paulus yang pernah menjadi prokonsul di
Siprus, dan setidaknya dua orang yang bernama Sergius Paulus
adalah pejabat selama pemerintahan Claudius. Akurasi Lukas
sekali lagi terkonfirmasi.
Galio, Prokonsul Akhaya
Kisah Para Rasul pasal 18 dibuka dengan uraian tentang
pelayanan Paulus di kota Korintus. Di sanalah ia berjumpa dengan Akwila dan istrinya yang setia Priskila, yang mana keduanya telah diusir dari Roma atas perintah Claudius (bdk. Suetonius, Claudius, 25:4), dan yang, sebagai akibatnya, datang untuk
menetap di Korintus. Karena mereka itu pembuat kemah,
seperti Paulus, maka rasul itu tinggal bersama mereka dan
bekerja sebagai “pelayan kejuruan,” membuat kemah dan
memberitakan injil. Sebagaimana yang sering terjadi dengan
penginjilan Paulus, banyak dari orang Yahudi tersinggung,
dan menentang pemberitaannya. Oleh karena perlawanan ini,
Paulus memberitahu orang-orang Yahudi itu bahwa mulai saat itu seterusnya ia akan pergi kepada orang-orang bukan Yahudi. Setelah itu, Paulus pergi ke rumah seorang bernama Yustus
yang tinggal di sebelah sinagoga. Segera setelah ia memberitakan injil kepada orang bukan Yahudi, Paulus mendapat penglihatan di mana Tuhan memerintahkan dia untuk bicara
dengan berani, karena tidak ada seorang pun di kota itu yang
akan menyerang dia. Didorong oleh penglihatan itu, Paulus
menetap terus di Korintus selama satu tahun enam bulan,
mengajarkan Firman Allah di antara orang-orang itu.
Setelah Paulus tinggal selama delapan belas bulan lamanya di Korintus, perlawanan terhadap penginjilannya itu akhirnya meletus menjadi kekerasan, aksi politik. Kisah 18:12-17
menjelaskan.
Akan tetapi setelah Galio menjadi gubernur di Akhaya, bangkitlah orang-orang Yahudi bersama-sama
melawan Paulus, lalu membawa dia ke depan pengadilan. Kata mereka: "Ia ini berusaha meyakinkan
orang untuk beribadah kepada Allah dengan jalan
yang bertentangan dengan hukum Taurat." Ketika
Paulus hendak mulai berbicara, berkatalah Galio
kepada orang-orang Yahudi itu: "Hai orang-orang
Yahudi, jika sekiranya dakwaanmu mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan, sudahlah sepatutnya aku menerima perkaramu, tetapi kalau hal itu
adalah perselisihan tentang perkataan atau nama
atau hukum yang berlaku di antara kamu, maka
hendaklah kamu sendiri mengurusnya; aku tidak
rela menjadi hakim atas perkara yang demikian."
Lalu ia mengusir mereka dari ruang pengadilan.
Maka orang itu semua menyerbu Sostenes, kepala
rumah ibadat, lalu memukulinya di depan penga-dilan itu; tetapi Galio sama sekali tidak menghiraukan hal itu.
Dari perikop singkat Kitab Suci ini, kita mengetahui beberapa hal tentang Galio dan kepribadiannya. Yang sangat penting bagi diskusi kita adalah fakta bahwa Lukas mencatat Galio
adalah “gubernur/prokonsul Akhaya.” Lagi, di sini Lukas dalam mencatat informasi spesifik tentang penguasa politik pada
zamannya, menyediakan para pembacanya titik acuan yang
dapat diperiksa. Apakah Galio pernah benar-benar menjadi
prokonsul Akhaya?
Marianne Bonz, mantan redaktur pelaksana Harvard Theological Review, memberi penjelasan tentang hal yang sekarang
merupakan prasasti terkenal tentang Galio. Wanita ini bercerita bagaimana, pada tahun 1905, seorang mahasiswa doktoral
di Paris sedang menyaring koleksi prasasti yang telah dikumpulkan dari kota Yunani Delphi. Dalam berbagai macam prasasti ini, ia menemukan empat fragmen yang berbeda, ketika
disatukan, membentuk sebagian besar isi surat dari Kaisar
Claudius. Surat dari kaisar itu ditulis tidak lain kepada Galio,
prokonsul Akhaya (Bonz, 1998, p. 8).
McRay, dalam memberikan porsi bahasa Yunani atas
prasasti yang sekarang terkenal itu, dan memasok huruf-huruf
yang hilang di celah-celah teks itu agar dapat dibaca, menerjemahkan prasasti itu sebagai berikut:
Tiberius Claudius Caesar Augustus Germanicus,
Pontifex Maximus, dari otoritas pelindung untuk
kedua belas kalinya, imperator dua puluh enam
kalinya.… Lucius Junius Gallio, temanku, dan prokonsul Akhaya (1991, pp. 226-227). Meski bagian tertentu dari prasasti di atas tidak sepenuhnya jelas, namun nama Galio dan jabatannya di Akhaya
jelas terbaca. Lukas tidak hanya secara akurat mencatat nama
Galio, tetapi ia juga mencatat jabatan politiknya dengan ketepatan yang sama.
Pentingnya prasasti Galio bahkan menjadi semakin lebih
dalam lagi daripada verifikasi keakuratan Lukas. Temuan khusus ini menunjukkan bagaimana arkeologi dapat memberi kita
pemahaman yang lebih baik tentang teks Alkitab, khususnya
dalam bidang kronologi. Sebagian besar sarjana mengenal baik
pelbagai perjalanan itu dan surat-surat dari rasul Paulus siap
mengakui bahwa melampirkan tanggal tertentu kepada pelbagai kegiatannya tetap menjadi tugas yang sangat sulit dilakukan. Prasasti Galio, bagaimanapun, telah menambahkan sedikit potongan kepada teka-teki kronologi ini. Jack Finegan, dalam karya terperincinya tentang kronologi Alkitab, memberikan tahun 52 M sebagai tanggal prasasti itu, awal 51 M. Sebagai Galio menjabat prokonsul, dan musim dingin tahun 49/50
M. Paulus tiba di Korintus. Finegan menyatakan tentang kesimpulannya: “Penentuan waktu ini ketika Paulus tiba di Korintus,
dengan demikian menyediakan titik sauh yang penting untuk
seluruh kronologi Paulus“ (1998, pp. 391-393).
Berulang kali, pelbagai acuan Alkitab yang dapat diperiksa, terbukti akurat secara historis dalam setiap detailnya. Setelah ratusan tahun pemeriksaan secara kritis, baik Perjanjian
lama dan Baru dalam Alkitab telah membuktikan keaslian dan
keakuratan mereka di setiap waktu. Sir William Ramsay, dalam
penilaiannya tentang tulisan-tulisan Lukas di dalam Perjanjian
Baru, menulis:
Anda bisa saja menekan kata-kata Lukas hingga
tingkatan yang melampaui sejarawan lain mana saja, dan kata-kata itu bertahan terhadap penelitan
yang paling cermat dan perlakuan yang paling
keras, asalkan kritik itu selalu mengetahui subjeknya dan tidak melampaui batas-batas keadilan
sains (1915, p. 89).
Hari ini, hampir seratus tahun setelah pernyataan itu
awalnya ditulis, hal yang persis sama dapat dikatakan bahkan
dengan lebih pasti lagi tentang tulisan-tulisan Lukas—dan
setiap penulis Alkitab lainnya. Dokumentasi kehidupan Yesus
Kristus sebagai fakta sejarah oleh catatan-catatan Perjanjian
Baru tampil sebagai salah satu yang paling luar biasa dalam
ujian terhadap fakta sejarah apa saja dii dalam keseluruhan
perjalanan sejarah manusia.
KESIMPULAN
Ketika seseorang mengajukan pertanyaan, “Apakah kehidupan Yesus Kristus merupakan peristiwa sejarah?,“ orang itu
harus ingat bahwa “[J]ika kita menegaskan bahwa kehidupan
Tuhan kita bukan peristiwa sejarah, kita masuk ke dalam
kesulitan tanpa harapan; akhirnya, kita harus membuang
semua sejarah kuno dan menyangkal bahwa peristiwa seperti
pembunuhan Julius Caesar pernah ada” (Monser, 1961, p. 377).
Dan, kita harus mengingkari keandalan sejarah dokumendokumen Perjanjian Baru.
Dihadapkan dengan bukti yang begitu besar, tentu tidak
bijaksana untuk menolak posisi bahwa Yesus Kristus sesungguhnya pernah berjalan di jalan-jalan di Yerusalem pada abad
pertama. Seperti yang Harvey pernah katakan, ada beberapa
fakta tertentu tentang Yesus yang “setidaknya dibuktikan oleh
bukti yang keandalannya sama banyaknya dengan bukti-bukti lain yang sangat banyak yang diterima begitu saja sebagai
fakta-fakta sejarah yang kita ketahui dari dunia kuno.“ Namun supaya kita jangan dituduh telah salah mengutip dia, mari
kita tunjukkan bahwa Harvey selanjutnya berkata, “Masih bisa
diperdebatkan bahwa kita tidak dapat memiliki pengetahuan
sejarah yang dapat diandalkan tentang Yesus yang berkaitan
dengan apa saja yang benar-benar penting“ (1982, p. 6).
Harvey tidak dapat mengingkari fakta bahwa Yesus pernah hidup di atas Bumi ini. Para kritikus tidak suka harus mengakui itu, tetapi mereka tidak dapat berhasil untuk menyangkal fakta bahwa Yesus memiliki dampak yang lebih besar terhadap dunia dari-pada satu kehidupan apa saja sebelumnya atau setelahnya. Mereka juga tidak dapat menyangkal fakta bahwa Yesus mati di tangan Pontius Pilatus. Harvey dan
yang lainnya hanya dapat mengatakan bahwa fakta-fakta
seperti itu “tidak terlalu penting.” Kita berpendapat bahwa
fakta-fakta yang menetapkan eksistensi Yesus Kristus dari
Nazareth benar-benar penting. Seperti yang Bruce nyatakan,
”Para penyebar agama Kristen mula-mula menyambut baik
pemeriksaan paling lengkap terhadap kredensial pesan mereka“ (1953, p. 122). Sewaktu Paulus diadili di hadapan Raja Agripa, ia berkata kepada Festus: “Raja juga tahu tentang segala
perkara ini, sebab itu aku berani berbicara terus terang kepadanya. Aku yakin, bahwa tidak ada sesuatupun dari semuanya
ini yang belum didengarnya, karena perkara ini tidak terjadi di
tempat yang terpencil“ (Kisah 26:26).
Sebagaimana para apologis Kristen mula-mula menyambut baik pemeriksaan lengkap terhadap kredensial pesan yang
mereka beritakan, demikian juga kita di zaman kini. Kredensial
ini telah ditimbang dengan neraca dan didapati tidak terlalu
ringan. Fakta sederhananya adalah bahwa Yesus Kristus memang pernah eksis dan hidup di antara manusia.
Tidak mungkin untuk mengatakan bahwa tidak
satu orang pun berhak menjadi agnostik. Tapi tidak
satu orang pun berhak menjadi agnostik sampai ia
menangani pertanyaan itu, dan menghadapi kenyataan ini dengan pikiran terbuka. Setelah itu, ia bisa
saja menjadi anagnostik—jika ia bisa (Anderson,
1985, p. 12).
MESIAS YANG DIRAMALKAN
Jika direnungkan kembali, misteri yang baik adalah menyatu dengan sempurna, seperti berbagai potongan teka-teki
rumit yang hanya butuh satu potongan terakhir untuk menghubungkan potongan-potongan yang membentuk panorama
utuh yang luar biasa. Hingga potongan terakhir ditambahkan,
misteri itu hampir mustahil dipahami sepenuhnya. Bahkan,
saat misteri itu sedang berkembang, tantangan terbesar seorang
penyelidik adalah menilai dengan benar potongan informasi
atau bukti mana yang penting dan yang mana yang merupakan
unsur-unsur dangkal yang tidak menambah akibat kepada kisah itu. Apakah penting bahwa topi Pak Jono tertinggal di stasiun kereta? Apakah penting keran air di dapur tiba-tiba tidak
berfungsi dengan baik? Tidak bisa dihindari, penyelidik yang
cerdik akan secara akurat menunjukkan unsur-unsur yang sangat penting itu di dalam kisah itu. Penyelidik yang kurang
cerdik akan secara tidak akurat menyebutkan peristiwa-peristiwa biasa sebagai penting, atau tidak dapat memahami sepenuhnya peristiwa-peristiwa yang mengandung akibat utama.
Itulah yang terjadi ketika mendekati studi tentang Mesias
yang diramalkan, atau, yaitu, ketika memecahkan misteri tentang Mesias itu. Siapa saja yang familier dengan tulisan-tulisan
Perjanjian Baru akan cukup familier dengan istilah “misteri”
seperti yang diterapkan pada rencana Allah untuk penebusan
umat manusia melalui Mesias yang diramalkan. Paulus menulis tentang misteri ini: “Tetapi kami menyampaikan hikmat
Allah dalam misteri, hikmat tersembunyi yang Allah tetapkan sebelum dunia dijadikan untuk kemuliaan kita “(1Korintus 2:
7; NASB). Dalam suratnya kepada gereja di Kolose, ia menyatakan: ”Aku telah menjadi pelayan jemaat itu sesuai dengan
tugas yang dipercayakan Allah kepadaku untuk meneruskan
firman-Nya dengan sepenuhnya kepada kamu, yaitu [misteri;
NASB] yang tersembunyi dari abad ke abad dan dari turunan
ke turunan, tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orangorang kudus-Nya” (1:25-26). Surat Paulus untuk gereja di Efesus berisi komentar serupa: “Memang kamu telah mendengar
tentang tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, yang dipercayakan kepadaku karena kamu, yaitu bagaimana [misteri itu;
NASB] dinyatakan kepadaku dengan wahyu, … yang pada zaman angkatan-angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anakanak manusia, tetapi yang sekarang dinyatakan di dalam Roh
kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang kudus” (3:2-3,5).
Para penulis Perjanjian Baru mengidentifikasi bagi kita
beberapa sifat misteri Mesias ini: (1) Misteri itu berkisar di sekitar Mesias yang dinubuatkan dan penebusan umat manusia; (2)
Misteri itu telah disembunyikan dengan berbagai cara dari semua generasi manusia sebelum zaman Perjanjian Baru; (3) Berbagai prinsip mi