Hermenenutika merupakan ilmu menafsir interpretasi Alkitab yang bertujuan untuk menerangkan
sesuatu yang sulit atau tidak dapat dipahami dengan cara menerjemahkannya ke dalam bahasa yang mudah
untuk dimengerti kemudian mengaplikasikan hasil penafsiran tersebut pada situasi kontemporer (Yahya,
2009). Hermeneutika menghubungan pembaca masa kini dengan suatu konteks tertentu pada masa lampau
melalui suatu berita atau teks dalam Alkitab dengan kata lain, hermeneutika berfungsi sebagai pembuka jalan
untuk dapat memahami dengan jelas bagaimana budaya, cita-cita bahkan harapan-harapan yang ada pada
masa lalu melalui teks dalam Alkitab. Interpretasi dibutuhkan guna untuk menjadikan arti suatu pemikiran
ataupun bacaan jadi transparan, cerah, jelas, serta gamblang (Verdianto, 2020).
Pada sejarahnya filsuf Yunani Kuno, Plato, mempergunakan hermeneutika dihubungkan dengan
pekerjaan para penyair sebagai pembawa pesan ilahi. Maka muridnya yaitu Aristoteles menulis traktat
mengenai hermeneutika yang menunjukkan bagaimana kata-kata yang diucapkan dan ditulis merupakan
ekspresi dari pemikiran batin seseorang. Oleh karena itu, hermeneutika tidak dilakukan dengan sembarangan
atau asal-asalan tetapi mengikuti kaidah analisis yang ilmiah sehingga hasil interpretasi yang didapatkan
betul-betul dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat (Zimmerman, 2021).
Dalam kekristenan, Alkitab dipandang sebagai wahyu ilahi yang diberikan Allah kepada manusia dalam
bahasa manusia yang tidak mudah untuk dipahami. Hal ini mengingat bahwa hanya dengan pertolongan Roh
Kudus-lah maka kita dapat memahami firman Allah. Bukan hanya itu, di dalam Alkitab juga terdapat banyak
perbedaan seperti penulis yang bukan hanya satu orang tapi banyak orang (dengan kekhasan mereka masing),
gaya bahasa, genre, konteks sejarah dan termasuk juga kebudayaan yang bervariasi sesuai zamannya. Suatu
tantangan besar untuk memahami Alkitab dengan lintas zaman dan lintas kebudayaan tersebut sehingga
diperlukan ilmu hermeneutika untuk menggali dan menganalisa hingga menemukan arti dan makna
sebagaimana adanya teks tersebut dipahami oleh penulis itu sendiri. Tujuan final dari semua proses ini tentu
supaya orang percaya semakin mengenal Allah mereka dengan sebaik-baiknya, semakin bertumbuh imannya,
semakin baik perilakunya, dan tentu sejauh Allah menyatakan diri-Nya sendiri kepada umat-Nya. Alkitab
dengan jelas menyatakan bahwa Alkitab adalah firman Allah, tanpa salah. Karena Alkitab adalah penyataan
Allah sendiri, ditulis oleh orang-orang pilihan-Nya melalui pengilhaman dan diterima melalui penerangan Roh
Kudus (Wardhani & Jayanthi, 2021).
Tujuan penulisan artikel ini membahas mengenai metode ilmiah dalam sejarah tafsir Alkitab di
dalamnya memperlihatkan pengantar hermeneutik kemudian tafsiran pra kritik historis dan tafsir kritik historis
yang hendak diterapkan dalam Alkitab serta implikasinya terhadap Pendidikan Agama Kristen.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian dalam artikel ini adalah penelitian kepustakaan dengan pendekatan interpretatif yang di
mana makna teks diangkat sebagaimana teks tersebut dapat berbicara (Panjaitan & Manullang, 2022) (Mokalu
et al., 2022). Jenis kepustakaan ini adalah proses pengumpulan data dengan membaca dan mengelola bahan
penelitian, dalam hal ini peneliti juga berhadapan langsung dengan teks dan bukan dengan pengetahuan
langsung dari lapangan atau saksi mata dalam suatu kejadian, orang-orang atau benda lainnya sehingga dapat
disebut sebagai sumber sekunder yaitu di mana peneliti memeroleh data dari tangan kedua dan bukan data
yang orisinil dari tangan pertama di lapangan (Boangmanulu & Mokalu, 2022; Mokalu & Boangmanalu,
2021; Mokalu & Rantung, 2021; Rondo & Mokalu, 2021).Pengantar Hermeneutika Alkitab
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan.
Kata hermeneutika juga sering sekali dikaitkan dengan tokoh yang bernama Hermes, seorang utusan yang
mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti juga
mengalihbahasakan pesan para dewa ke dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh manusia (Said, 2008). Di
dalam pengertiannya hermeneutika berarti menafisir, hal ini berbanding lurus karena ilmu hermeneutik
memang digunakan untuk menafsir teks di dalam Alkitab.
Selain menjadi dasar penafsiran kitab suci (Alkitab) hermenuetik berarti memberikan sebuah proses
pembelajaran tentang menyederhanakan bahasa. Tugas hermeunetik selain memberikan penafsiran yang baik
terhadap pembaca juga memberika bahasa yang sederhana supaya pembaca dapat mengerti apa yang menjadi
pesan dari penafsiran tersebut (Said, 2008).
Tafsir Pra Kritik Historis
Tafsir pra kritik historis ini adalah tafsiran yang digunakan oleh para penafsir kitab sebelum munculnya
metode penafsiran kritik historis secara luas. Secara umum diketahui bahwa metode penafsiran historis kritis
muncul sekitar abad 19 yang juga sebagai dampak dari munculnya pencerahan dan rasionalisme. Sehingga pra
historis kritis menunjuk kepada abad-abad sebelum itu. Ada beberapa metode penafsiran yang digunakan yang
muncul ke permukaan pada abad-abad tersebut yaitu metode tafsir literal, metode penafsiran alegoris,
penafsiran era reformasi dan penafsiran gramatikal.
Tafsir Literal
Metode penafsiran literal atau yang disebut juga metode penafsiran harfiah merupakan metode
penafsiran dasar/awal dan paling tua yang digunakan dalam sejarah tafsir Alkitab. Metode ini digunakan oleh
seorang nabi yang sering disebut sebagai bapak hermeneutik pertama yaitu Ezra yang hidup abad ke 5 SM
(Sutanto, 2007). Pola penafsiran ini digunakan Ezra adalah untuk mengajar dan menerjemahkan kitab Taurat
kepada orang-orang Yahudi yang hanya menguasai bahasa Aram dan tidak menguasai bahasa Ibrani sebagai
salah satu dampak dari pembuangan. Sebab kitab Taurat ditulis dalam bahasa Ibrani (Sariyanto & Chandra,
2021). Proses yang dikerjakan oleh Ezra dan juga para imam pada waktu itu diantaranya:
a. Menghilangkan gab bahasa yaitu menerjemahkan kitab Taurat dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Aram.
b. Usaha penerjemahan dibarengi dengan eksposisi untuk menjelaskan isi-isi kitab khususnya tentang
pelaksanaan hukum-hukum Taurat.
Maksud dari literal atau harafiah sendiri adalah arti yang biasa yang diterima secara sosial dan adatistiadat setempat dalam konteks penulis Alkitab tersebut hidup. Metode penafsiran ini berasumsi bahwa katakata yang dipakai dalam Alkitab adalah kata-kata yang memiliki arti tepat seperti yang dapat dipahami oleh
manusia normal pada umumnya, yang mempunyai arti yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
apabila tak dapat memahami suatu teks tertentu, maka perlu untuk melihat lagi konteks bahasa dan sejarah
penulis itu hidup. Penekanan metode ini yaitu makna harfiah dari teks adalah hal yang paling utama. Maka
perlu untuk melihat gramatikal teks serta meninjau kembali bahasa asli dari penulisan teks tersebut supaya
dapat menemukan arti sebenarnya. Sehingga penafsiran ini melihat bahwa peristiwa dalam Perjanjian Lama
adalah sebuah fakta sejarah yang benar-benar terjadi (Willy, 2012).
Buffet menuliskan, bukan hanya pada zaman Ezra, pola penafsiran literal juga masih digunakan pada
abad-abad berikutnya sampai pada masa Tuhan Yesus, masa para rasul dan para penulis Perjanjian Baru
(Mantiri, 2019). Dimana dengan inspirasi Roh Kudus para penulis Perjanjian Baru dengan tanpa salah
menafsirkan Perjanjian Lama di dalam tulisan-tulisan mereka. Dalam perkembangan berikutnya, melihat pentingnya pemahaman Akitab maka bermunculan sekolah-sekolah menafsir formal seperti Sekolah Yahudi
Palestina dan Sekolah Yahudi Alexandria (Samarenna & Siahaan, 2019).
Sekolah Yahudi Palestina
Sekolah ini mengikuti pola penafsiran Ezra dalam menafsir kitab-kitab Taurat, yaitu menekankan
penafsiran literal. Mereka menerima otoritas mutlak firman Allah dan tujuannya yaitu untuk
menginterpretasikan Hukum-Hukum Taurat. Tulisan yang dihasilkan oleh mereka kemudian bercampur
dengan tradisi yang ada pada masa itu sehingga di kemudian hari tulisan mereka ini disebut dengan Tradisi
Lisan (The Oral Law) (Supriadi, 2021). Dan pada perkembangannya, tradisi lisan ini diberikan kedudukan
yang sejajar dengan kitab suci yang sempat ditegur oleh Tuhan Yesus dalam Matius 15:1-9 (Sutanto, 2000).
Sekolah Yahudi Alexandria
Sekolah ini didirikan oleh kelompok masyarakat Yahudi yang telah bercampur dengan budaya dan
pikiran Yunani atau kaum Hellenis. Tujuan mereka ialah menerjemahkan kitab-kitab Perjanjian Lama ke
dalam bahasa Yunani modern yang sebagai hasilnya ialah Septuaginta (Grant & DKK, 1993). Namun karena
dampak dari berkembangnya filsafat Yunani, mereka mengalami kesulitan dalam menerapkan ajaran yang
sesuai dengan pengajaran Taurat. Dan sebagai jalan tengahnya diterimalah model penafsiran alegoris untuk
menjembatani kedua hal ini (Scheunemann, 2021).
Tafsir Alegoris
Metode alegoris merupakan sebuah pendekatan dalam proses penafsiran teks yang digagas oleh Philo,
seorang penafsir Yahudi yang tinggal di Alexandria pada abad pertama (Awijaya, 2016). Metode ini populer
pada abad pertama hingga abad pertengahan yang datang dari orang-orang Yunani. Alegoris berasal dari kata
Yunani ἄλλο (allo) dan ἀγορεύω (agoreuo) yang berarti berbicara mengenai hal yang lain (Porter, 2007).
KBBI mengartikan alegoris sebagai cerita yang dipakai sebagai lambang (ibarat atau kias) perikehidupan
manusia yang sebenarnya untuk mendidik (terutama moral) (Chia & Juanda, 2020) (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1997).
Secara historis, menurut Ferguson, Philo adalah bapak pendekatan alegoris dalam studi biblika yang
ingin memperdamaikan Septuaginta (Alkitab PL berbahasa Yunani) dengan pemikiran-pemikiran Yunani
(Awijaya, 2016) untuk menjaga martabat kitab Suci. Konsep ini adalah pengaruh dari filsafat Hellenistik yaitu
filsafat Stoa sebagai salah satu dari empat filsafat yang berkembang pesat pada saat itu yakni Platonisme,
Aristotelianisme dan Epikuarianisme yang mewarnai dan menjadi latar belakang dunia Perjanjian Baru.
Filsafat Stoa menekankan tentang hidup bahagia dan sederhana serta mengutamakan kesempurnaan moral dan
intelektual. Kebahagian tidak bersumber pada sesuatu yang bersifat material seperti kekayaan, harta benda
atau daya tarik seksual, melainkan pada kesempurnaan karakter dan moral atau kebajikan (Lie, 2011). Bahkan
khususnya membicarakan perihal seksual dianggap sebagai sesuatu yang tabu, jahat dan kurang beretika sebab
praktek hedonisme juga berkembang pesat pada masa itu. Dan ketika para penafsir hendak menafsirkan kitab
suci khususnya Kidung Agung, maka mereka menemui persoalan yaitu pertentangan antara teks (yaitu kitab
Kidung Agung yang memuat unsur erotis) (Sitorus, 2018) dengan konteks (yakni pemikiran Hellenis yang
menganggap hal-hal erotis sebagai sesuatu yang jahat dan kurang beretika). Sehingga jalan tengahnya
dipakailah metode penafsiran alegoris. Metode ini juga dipakai oleh bapak gereja seperti Origenes (Awijaya,
2016). Metode alegoris berangkat dari suatu asumsi bahwa:
a. Dibalik arti literal (disebut arti pertama) terdapat arti yang sesungguhnya (disebut arti kedua) yang lebih
dalam yang perlu ditemukan oleh orang Kristen yang dewasa.
b. Mengutip tulisan Car, Prabowo dalam artikelnya menjelaskan, dasar metode alegoris adalah ide bahwa
suatu teks tidak mengandung catatan yang faktual dan historis atau peristiwa masa lalu apapun, tetapi
semata-mata sebuah kendaraan bagi kebenaran-kebenaran spiritual yang lebih dalam (Prabowo, 2019).
c. Satu sisi terlihat penafsiran alegoris tidak begitu mementingkan aspek gramatikal dan historikal suatu teks,
sebab mengangapnya hanya sebagai pengantar pada makna rohani yang tersembunyi di dalamnya.
Sehingga dalam metode ini, melihat bahwa setiap teks dipercaya memiliki makna lain yang lebih tinggi
dari pada makna literalnya.
d. Atau dengan kata lain, pendekatan ini merupakan sebuah upaya untuk menyingkapkan pesan teks,
khususnya Alkitab secara alegoris, yaitu dengan mencari makna dibalik kata-kata yang tertulis di dalam
teks tersebut. Sehingga metode alegoris dipakai untuk memaknai cerita yang mengajarkan banyak
kebenaran melalui pelbagai metafora (Vilker, 1988).
Tafsir Era Reformasi
Metode penafsiran yang berkembang pada era reformasi dipelopori oleh Martin Luther dan John
Calvin. Era reformasi ini dilatarbelakangi oleh renaisans dimana bangkitnya kembali bahasa dan budaya
Yunani dan Romawi di Eropa yang telah lama dikuasai oleh Gereja. Kemunculan pemikiran kritis ini juga
mempunyai dampak terhadap penafsiran Alkitab. Menurut Hutabarat, penafsiran era reformasi lebih kepada
literal dan historis. Para reformator terkenal dengan sikap mereka yang sangat menghormati otoritas Alkitab
(Sola Scriptura). Bagi Luther dan Calvin, Alkitab adalah firman Allah yang tidak pernah salah dan memiliki
otoritas tertinggi. Sehingga Alkitab menentukan apa yang harus diajarkan oleh gereja dan juga Alkitab mampu
menafsirkan Alkitab itu sendiri (Sola Scriptura Interpres). Prinsip penafsiran Luhter dan Calvin yaitu:
a. Penafsiran harus mengutamakan iman dan pimpinan Roh Kudus. Yaitu penafsir tidak boleh mengkritik
Alkitab dengan rasionya yang hina, namun sebaliknya mencari makna dengan berdoa dan bermeditasi.
b. Alkitab memiliki otoritas tertinggi yang jauh melebihi otoritas gereja.
c. Alkitab adalah dapat dimengerti dan isinya konsisten. Dengan demikian Luther dan Calvin menolak
penafsiran alegoris dan sebab penafsiran yang tepat harus berdasarkan bahasa asli Alkitab.
d. Alkitab harus ditafsir berdasarkan Alkitab. Dalam prosesnya penafsir harus memperhatikan konteks, tata
bahasa, budaya dan bagian lain Alkitab yang ditafsir.
e. Kristus adalah pusat Alkitab. Sehingga setiap penafsiran harus dibawa kepada Krsitus (Awijaya, 2016;
Tafonao & Yulianto, 2020; Telnoni, 2017).
Tafsir Gramatikal
Metode penafsiran gramatikal historis adalah metode penafsiran yang memusatkan perhatian pada
upaya untuk menafsirkan bagian-bagian Alkitab menurut tata bahasa dari satu kalimat atau lebih. Berangkat
dari pemahaman bahwa Alkitab adalah buku ilahi yang memiliki kesatuan yang sempurna dan pengajaran
yang benar. Sehingga upaya eksegetis dilakukan adalah untuk menemukan makna asli yang dimaksudkan oleh
penulis Alkitab dalam teks tersebut. Langkah yang biasa dilakukan ialah dengan cara memperhatikan arti kata,
hubungan antar kata, hubungan kata tersebut dengan kalimat atau konteksnya. Menarik kesimpulan dari
tulisan Stuart dan Fee (Stuart & Fee, 2011), hal-hal yang diperhatikan dalam penafsiran gramatikal yaitu:
a. Makna kata atau frasa menurut bahasa asli Alkitab (Ibrani untuk PL, Yunani untuk PB)
b. Menafsirkan teks harus sesuai konteksnya. Dalam hal ini harus memperhatikan ayat-ayat di sekitar teks
teks tersebut, memperhatikan pasal sebelum dan sesudahnya (konteks dekat), dan kemudian juga
memperhatikan Alkitab secara keseluruhan (Konteks jauh).
c. Harus menafsir teks sesuai genre/jenis literatur masing-masing (puisi, nubuatan).d. Harus memperhatikan konteks sejarah. Teks dapat dipahami dengan benar apabila dilihat sesuai dengan
masa pembaca hidup. Sehingga teks yang dimengerti sekarang sama dengan yang dimengerti oleh
pembaca pertama dari teks tersebut.
Gramatik dan syntax. Penafsir harus memperhatikan tenses dan juga hubungan kata dengan kata, kata
dengan kalimat atau kalimat dengan kalimat atau paragraf.
Tafsir Kritik Historis
Penafsiran kritik historis adalah salah satu bagian dari kerja eksegeise. Metode penafsiran kritik historis
ini berkembang pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20 yang bertolak dari suatu pandangan kritis terhadap
Alkitab. Kritis dalam artian tidak menerima mentah-mentah setiap hal, tetapi dengan berusaha mengujinya
dengan pertimbangan-pertimbangan yang dalam dari berbagai segi. Metode analisis ini melihat Alkitab
sebagai buku yang di dalamnya berisi kesaksian tentang Allah dan kehendak-Nya, maka sebagai buku, Alkitab
dapat didekati dengan menggunakan metode-metode analisi sastra yang dipergunakan (Labobar, 2017). Selain
itu penafsiran kritik historis membutuhkan pengetahuan, memiliki kecakapan serta belajar menggunakan
karya orang lain yaitu literatur sebagai penunjang untuk keberlangsungan penafsir dalam melakukan kerja
tafsir. Kunci melakukan kerja eksegeise yang baik adalah memahami bacaan Alkitab yang akan di tafsir
dengan bijaksana artinya membaca teks dengan teliti dan mengajukan pertanyaan yang tepat berhubungan
dengan konteks dan isi yang berkenaan dengan sejarah (Stuart & Fee, 2011).
Konteks historis, dari kitab ke kitab didapati berbeda-beda, yang berhubungan dengan beberapa hal:
waktu dan kebudayaan pengarang serta para pembacanya, yaitu faktor-faktor geografis, topografis dan politis
yang relevan dengan lingkungan pengarang dan peristiwa penulis, surat, mazmur, firman nubuat atau gaya
sastra yang lain (Stuart & Fee, 2011). Kritik historis ini memiliki dokumen-dokumen yang didasarkan pada
anggapan bahwa sebuah teks itu bersifat historis minimal dalam dua pengertian, yaitu teks itu berkaitan
dengan sejarah dan juga memiliki sejarahnya sendiri. Atas dasar ini, kita dapat membedakan “sejarah di dalam
teks” dan “sejarah dari teks”. Yang pertama menunjuk pada hal-hal yang berkaitan dengan sejarah yang teks
itu sendiri tuturkan, entah tokoh-tokoh tertentu, peristiwa-peristiwa, keadaan-keadaan sosial, ataupun gagasangagasan. Fungsi teks sebagai sebuah jendela yang melaluinya dapat memandang ke suatu periode sejarah. Bila
secara kritis kita membaca apa yang dikatakan oleh teks, maka kita akan dapat menarik kesimpulan mengenai
kondisi-kondisi keagamaan, sosial dan politik dari suatu jumlah periode sejarah yang di dalamnya teks itu
ditulis. Sedangkan sejarah dari teks menunjuk pada sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan apa yang teks
sendiri kisahkan atau gambarkan, yaitu riwayat atau sejarah teks itu sendiri: bagaimana teks itu muncul,
mengapa, di mana, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana; siapa penulisnya dan untuk siapa ditulis,
disusun, disunting, dihasilkan dan dipelihara; mengapa sampai teks itu ditulis, lalu hal apa saja yang
mempengaruhi kemunculan, pembentukan, perkembangan, pemeliharaan dan penyebarluasannya (Hayes &
Holladay, 2016).
Menurut Dr. A. A. Sitompul memberikan sebuah penguraian yang luas mengenai cara menggunakan
metode ini (Sitompul, 2006). Ada 9 tahap analisis yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Analisis Nas (Txtual Criticism)
2. Analisis Sastra (Literer Criticism)
3. Analisis hadist lisan atau analisis sejarah tradisi lisan (traditional criticism, khususnya oral tradition)
4. Analisis sejarah tradisi (bistorical tradition criticism)
5. Analisis sejarah peredaksian (bistorical redaction criticism)
6. Analisis bentuk (form critical mothod atau form criticism)
7. Tempat dan waktu
8. Tafsiran ayat demi ayat
9. Tujuan: skopus atau maksud nas.Implikasinya Terhadap PAK
Dalam hermeneutik, interpretasi adalah “hati” dari pemahaman. Pandangan ini akan cocok bagi
Pendidikan Agama Kristen karena perannya adalah untuk memahami manusia dan kreasi-kreasinya. Bagian
yang paling penting dari seluruh prinsip hermeneutik adalah tujuan aplikasi/penerapan, karena kita harus ingat
bahwa tujuan utama Hermeneutik adalah melaksanakan Firman Tuhan dalam Alkitab yang telah kita pelajari
dan tafsirkan tersebut. Seseorang dapat belajar dan mengerti banyak tentang teori bagaimana menafsir dengan
baik dan benar secara sistematis. Tapi seseorang baru bisa dikatakan mengerti dengan sungguh-sungguh kalau
ia akhirnya memberikan respon terhadap apa yang ia pelajari.
Alkitab membawa berita kebenaran bukan hanya untuk kepentingan pribadi saja, tetapi untuk
kepentingan orang-orang pada jaman dimana Alkitab ditulis dan juga untuk pembaca/penafsir Alkitab pada
generasi jaman ini. Dari hasil penafsiran yang kita lakukan, kita harus bisa membawa kebenaran itu berbicara
kepada diri kita, kepada masyarakat di sekitar kita, dan akhirnya kepada dunia modern ini (Hakh, 2010;
Supriadi, 2021).
Berbicara Homeletika bukan berarti selalu berbicara tentang khotbah, namun khotbah tersebut adalah
salah satu bentuk-bentuk dari homeletika itu sendiri termasuk Pendidikan Agama Kristen (PAK) (Kristanto,
2006). Perkembangan Pendidikan Agama Kristen pada zaman 4.0 semakin dalam dan mencakup semua
golongan. Alkitab semakin terbuka dan mengikuti perkembangan zaman yang ada. Untuk itu seseorang dapat
belajar dan mengerti banyak tentang teori bagaimana menafsir dengan baik dan benar secara sistematis. Tapi
seseorang baru bisa dikatakan mengerti sungguh-sungguh kalau ia akhirnya memberikan respon terhadap apa
yang dipelajari (Boehlke, 2013).
Dasar teologis Pendidikan Agama Kristen adalah alasan Alkitabiah tentang pentingnya pendidikan
agama yang terdiri dari tugas, proses dari tujuan pendidikan agama. Dasar teologis terdapat dalam Amanat
Agung Tuhan Yesus (Matius 28:19-20). Dengan memperhatikan perintah-perintah Tuhan Yesus Kristus
kepada murid-murid-Nya sebelum kenaikan-Nya ke surga, yaitu “pergilah”, “jadikanlah” semua bangsa
murid-Ku “baptislah” dan “ajarlah”. Dengan kata lain ada tiga hal yang harus dilakukan para murid Kristus,
yaitu memberitakan Injil, membaptis dan mengajar artinya Pendidikan Agama Kristen berhubungan dengan
mengajar. Proses Pendidikan Agama Kristen adalah memuridkan (2Timotius 2:2). Ayat tersebut menekankan
bahwa tujuan mengajar adalah agar dapat mengajar kepada orang lain. Inilah yang dimaksud dengan
pemuridan (Stuart & Fee, 2011; Verdianto, 2020; Yahya, 2009). Para pendidik Kristen terpanggil untuk tetap
setia di dalam teori dan praktek yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Kristen. Alkitab adalah
instrummen kritis yang mampu membedakan dan menilai para pendidik, peserta didik, serta proses pendidikan
(Pazmino, 2012).
Alkitab memiliki ragam bahasa yang dilihat sebagai suatu kekayaan dalam penggunaan bahasa. Sangat
jelas Alkitab memberi suatu gambaran bahwa semua ragam bahasa yang muncul dan yang dikenal sekarang
ini tidaklah sama dengan penggunaan bahasa dalam penulisan kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Perkembangan sekarang membawa para pembaca dapat memahami isi Alkitab dengan bahasa yang mudah
dimengerti. Hal ini dikarenakan adanya para penafsir yang mempu memberi pemahaman tentang bagaimana
memahami teks Alkitab dan dalam pemahaman tersebut dapat mengangkat suatu implikasi yang sangat
relevan.
Kerja hermeneutik adalah ilmu yang mempelajari tentang interpretasi dalam sebuah penafsiran Alkitab
yang dapat membantu untuk memahami suatu teks dalam Alkitab. Sejarah hermeneutuk memperlihatkan dasar
penafsiran Alkitab hermenuetik memberikan sebuah proses pembelajaran tentang menyederhanakan bahasa
yang bisa dilihat melalui metode ilmiah yang dikembangkan oleh para mulai dari tafsir pra Kritik Historis
dampai pada tafsir kritik histori. Hermeneutik digunakan secara luas diberbagai bidang misalnya filologi, seni
lukis, kesastraan, musik, penerjemahan, sejarah, arkeologi, sosiologi, dan masih banyak yang lain. Definisi
hermeneutik mengalami perubahan dari masa ke masa, dan menjadi tidak sama dalam tangan sarjana yang
tidak sama. Namun demikian, definisi sederhana bagi hermeneutik, yang menunjuk pada prinsip dan metode
penafsiran masih tetap berlaku. Pembacaan dan penafsiran Alkitab tidak seharusnya menjadi hak khusus bagi
sebagian orang Kristen saja. Namun demikian, untuk menjadi penafsir yang baik, seorang Kristen
membutuhkan persiapan yang memadai. Dia sebaiknya adalah orang yang mendapat pendidikan yang cukup.
Diharapkan dia dapat membaca dengan lancar, berpikir dengan jernih dan memiliki pengetahuan umum yang
cukup luas.
Melihat kerja hermeneutik dipandang perlu untuk diterapkan dalam pendididkan agama Kristen karena
dasar Pendidikan Agama Kristen adalah Alkitab yang memberi pengajaran. Proses Pendidikan Agama Kristen
adalah memuridkan sebagaimana yang tertulis dalam 2Timotius 2:2 “Apa yang telah engkau dengar dari
padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga
cakap mengajar orang lain”. Ayat tersebut menekankan bahwa tujuan mengajar adalah agar dapat mengajar
kepada orang lain. Para pendidik Kristen di dalam gereja maupaun lembaga pendidikan terpanggil untuk tetap
setia di dalam teori dan praktek yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Kristen. Sesungguhnya Alkitab
adalah instrumen kritis yang mampu membedakan dan menilai para pendidik, peserta didik, serta proses
pendidikan sehingga dapat memberi makna untuk kehidupan sebagai orang Kristen.
Hermenenutik merupakan ilmu penafsiran atau interpretasi yang bertujuan untuk menerangkan sesuatu yang
sulit atau tidak dapat dipahami dengan cara menerjemahkannya ke dalam bahasa yang mudah untuk
dimengerti. Artikel ini membahas tentang metode ilmiah dalam sejarah tafsir Alkitab dan implikasinya bagi
pendidikan agama Kristen melalui studi literatur. Berdasarkan sejarah penafsiran Alkitab menguraikan metode
ilmiah yang dipakai baik dalam penafsiran pra kritik historis dan kritik historis. Seorang penafsir pendahulu
berdasarkan sejarah punya metode masing-masing untuk memahami sebuah teks Alkitab sehingga itu juga
yang berlaku sampai saat ini sehingga dalam dunia pendidikan semakin memberi pemahaman yang baik
terhadap teks dalam Alkitab melalui kerja tafsir. Tujuan penulisan artikel ini membahas mengenai metode
ilmiah dalam sejarah tafsir Alkitab di dalamnya memperlihatkan pengantar hermeneutik kemudian tafsiran pra
kritik historis dan tafsir kritik historis. Kesimpulannya adan metode ilmiah penafsiran Alkitab dapat menjadi
pedoman kepada seseorang yang melaksanakan kerja tafsir sehingga dalam Pendidikan Agama Kristen
seseorang mampu memberi interpretasi yang baik teks Alkitab dan dapat memberi makna yang baik bagi
pembaca.