Hermenenutik

 




Hermenenutika merupakan ilmu menafsir interpretasi Alkitab yang bertujuan untuk menerangkan 

sesuatu yang sulit atau tidak dapat dipahami dengan cara menerjemahkannya ke dalam bahasa yang mudah 

untuk dimengerti kemudian mengaplikasikan hasil penafsiran tersebut pada situasi kontemporer (Yahya, 

2009). Hermeneutika menghubungan pembaca masa kini dengan suatu konteks tertentu pada masa lampau 

melalui suatu berita atau teks dalam Alkitab dengan kata lain, hermeneutika berfungsi sebagai pembuka jalan 

untuk dapat memahami dengan jelas bagaimana budaya, cita-cita bahkan harapan-harapan yang ada pada 

masa lalu melalui teks dalam Alkitab. Interpretasi dibutuhkan guna untuk menjadikan arti suatu pemikiran 

ataupun bacaan jadi transparan, cerah, jelas, serta gamblang (Verdianto, 2020).

Pada sejarahnya filsuf Yunani Kuno, Plato, mempergunakan hermeneutika dihubungkan dengan 

pekerjaan para penyair sebagai pembawa pesan ilahi. Maka muridnya yaitu Aristoteles menulis traktat 

mengenai hermeneutika yang menunjukkan bagaimana kata-kata yang diucapkan dan ditulis merupakan 

ekspresi dari pemikiran batin seseorang. Oleh karena itu, hermeneutika tidak dilakukan dengan sembarangan 

atau asal-asalan tetapi mengikuti kaidah analisis yang ilmiah sehingga hasil interpretasi yang didapatkan 

betul-betul dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat (Zimmerman, 2021).

Dalam kekristenan, Alkitab dipandang sebagai wahyu ilahi yang diberikan Allah kepada manusia dalam 

bahasa manusia yang tidak mudah untuk dipahami. Hal ini mengingat bahwa hanya dengan pertolongan Roh 

Kudus-lah maka kita dapat memahami firman Allah. Bukan hanya itu, di dalam Alkitab juga terdapat banyak 

perbedaan seperti penulis yang bukan hanya satu orang tapi banyak orang (dengan kekhasan mereka masing), 

gaya bahasa, genre, konteks sejarah dan termasuk juga kebudayaan yang bervariasi sesuai zamannya. Suatu 

tantangan besar untuk memahami Alkitab dengan lintas zaman dan lintas kebudayaan tersebut sehingga 

diperlukan ilmu hermeneutika untuk menggali dan menganalisa hingga menemukan arti dan makna 

sebagaimana adanya teks tersebut dipahami oleh penulis itu sendiri. Tujuan final dari semua proses ini tentu 

supaya orang percaya semakin mengenal Allah mereka dengan sebaik-baiknya, semakin bertumbuh imannya, 

semakin baik perilakunya, dan tentu sejauh Allah menyatakan diri-Nya sendiri kepada umat-Nya. Alkitab 

dengan jelas menyatakan bahwa Alkitab adalah firman Allah, tanpa salah. Karena Alkitab adalah penyataan 

Allah sendiri, ditulis oleh orang-orang pilihan-Nya melalui pengilhaman dan diterima melalui penerangan Roh 

Kudus (Wardhani & Jayanthi, 2021).

Tujuan penulisan artikel ini membahas mengenai metode ilmiah dalam sejarah tafsir Alkitab di 

dalamnya memperlihatkan pengantar hermeneutik kemudian tafsiran pra kritik historis dan tafsir kritik historis

yang hendak diterapkan dalam Alkitab serta implikasinya terhadap Pendidikan Agama Kristen.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian dalam artikel ini adalah penelitian kepustakaan dengan pendekatan interpretatif yang di 

mana makna teks diangkat sebagaimana teks tersebut dapat berbicara (Panjaitan & Manullang, 2022) (Mokalu 

et al., 2022). Jenis kepustakaan ini adalah proses pengumpulan data dengan membaca dan mengelola bahan 

penelitian, dalam hal ini peneliti juga berhadapan langsung dengan teks dan bukan dengan pengetahuan 

langsung dari lapangan atau saksi mata dalam suatu kejadian, orang-orang atau benda lainnya sehingga dapat 

disebut sebagai sumber sekunder yaitu di mana peneliti memeroleh data dari tangan kedua dan bukan data 

yang orisinil dari tangan pertama di lapangan (Boangmanulu & Mokalu, 2022; Mokalu & Boangmanalu, 

2021; Mokalu & Rantung, 2021; Rondo & Mokalu, 2021).Pengantar Hermeneutika Alkitab

Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan. 

Kata hermeneutika juga sering sekali dikaitkan dengan tokoh yang bernama Hermes, seorang utusan yang 

mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti juga 

mengalihbahasakan pesan para dewa ke dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh manusia (Said, 2008). Di 

dalam pengertiannya hermeneutika berarti menafisir, hal ini berbanding lurus karena ilmu hermeneutik 

memang digunakan untuk menafsir teks di dalam Alkitab.

Selain menjadi dasar penafsiran kitab suci (Alkitab) hermenuetik berarti memberikan sebuah proses 

pembelajaran tentang menyederhanakan bahasa. Tugas hermeunetik selain memberikan penafsiran yang baik 

terhadap pembaca juga memberika bahasa yang sederhana supaya pembaca dapat mengerti apa yang menjadi 

pesan dari penafsiran tersebut (Said, 2008). 

Tafsir Pra Kritik Historis

Tafsir pra kritik historis ini adalah tafsiran yang digunakan oleh para penafsir kitab sebelum munculnya 

metode penafsiran kritik historis secara luas. Secara umum diketahui bahwa metode penafsiran historis kritis 

muncul sekitar abad 19 yang juga sebagai dampak dari munculnya pencerahan dan rasionalisme. Sehingga pra 

historis kritis menunjuk kepada abad-abad sebelum itu. Ada beberapa metode penafsiran yang digunakan yang 

muncul ke permukaan pada abad-abad tersebut yaitu metode tafsir literal, metode penafsiran alegoris, 

penafsiran era reformasi dan penafsiran gramatikal.

Tafsir Literal

Metode penafsiran literal atau yang disebut juga metode penafsiran harfiah merupakan metode 

penafsiran dasar/awal dan paling tua yang digunakan dalam sejarah tafsir Alkitab. Metode ini digunakan oleh 

seorang nabi yang sering disebut sebagai bapak hermeneutik pertama yaitu Ezra yang hidup abad ke 5 SM

(Sutanto, 2007). Pola penafsiran ini digunakan Ezra adalah untuk mengajar dan menerjemahkan kitab Taurat 

kepada orang-orang Yahudi yang hanya menguasai bahasa Aram dan tidak menguasai bahasa Ibrani sebagai 

salah satu dampak dari pembuangan. Sebab kitab Taurat ditulis dalam bahasa Ibrani (Sariyanto & Chandra, 

2021). Proses yang dikerjakan oleh Ezra dan juga para imam pada waktu itu diantaranya:

a. Menghilangkan gab bahasa yaitu menerjemahkan kitab Taurat dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Aram.

b. Usaha penerjemahan dibarengi dengan eksposisi untuk menjelaskan isi-isi kitab khususnya tentang 

pelaksanaan hukum-hukum Taurat. 

Maksud dari literal atau harafiah sendiri adalah arti yang biasa yang diterima secara sosial dan adat￾istiadat setempat dalam konteks penulis Alkitab tersebut hidup. Metode penafsiran ini berasumsi bahwa kata￾kata yang dipakai dalam Alkitab adalah kata-kata yang memiliki arti tepat seperti yang dapat dipahami oleh 

manusia normal pada umumnya, yang mempunyai arti yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga 

apabila tak dapat memahami suatu teks tertentu, maka perlu untuk melihat lagi konteks bahasa dan sejarah 

penulis itu hidup. Penekanan metode ini yaitu makna harfiah dari teks adalah hal yang paling utama. Maka 

perlu untuk melihat gramatikal teks serta meninjau kembali bahasa asli dari penulisan teks tersebut supaya 

dapat menemukan arti sebenarnya. Sehingga penafsiran ini melihat bahwa peristiwa dalam Perjanjian Lama 

adalah sebuah fakta sejarah yang benar-benar terjadi (Willy, 2012). 

Buffet menuliskan, bukan hanya pada zaman Ezra, pola penafsiran literal juga masih digunakan pada 

abad-abad berikutnya sampai pada masa Tuhan Yesus, masa para rasul dan para penulis Perjanjian Baru

(Mantiri, 2019). Dimana dengan inspirasi Roh Kudus para penulis Perjanjian Baru dengan tanpa salah 

menafsirkan Perjanjian Lama di dalam tulisan-tulisan mereka. Dalam perkembangan berikutnya, melihat pentingnya pemahaman Akitab maka bermunculan sekolah-sekolah menafsir formal seperti Sekolah Yahudi 

Palestina dan Sekolah Yahudi Alexandria (Samarenna & Siahaan, 2019).

Sekolah Yahudi Palestina

Sekolah ini mengikuti pola penafsiran Ezra dalam menafsir kitab-kitab Taurat, yaitu menekankan 

penafsiran literal. Mereka menerima otoritas mutlak firman Allah dan tujuannya yaitu untuk 

menginterpretasikan Hukum-Hukum Taurat. Tulisan yang dihasilkan oleh mereka kemudian bercampur 

dengan tradisi yang ada pada masa itu sehingga di kemudian hari tulisan mereka ini disebut dengan Tradisi 

Lisan (The Oral Law) (Supriadi, 2021). Dan pada perkembangannya, tradisi lisan ini diberikan kedudukan 

yang sejajar dengan kitab suci yang sempat ditegur oleh Tuhan Yesus dalam Matius 15:1-9 (Sutanto, 2000).

Sekolah Yahudi Alexandria

Sekolah ini didirikan oleh kelompok masyarakat Yahudi yang telah bercampur dengan budaya dan 

pikiran Yunani atau kaum Hellenis. Tujuan mereka ialah menerjemahkan kitab-kitab Perjanjian Lama ke 

dalam bahasa Yunani modern yang sebagai hasilnya ialah Septuaginta (Grant & DKK, 1993). Namun karena 

dampak dari berkembangnya filsafat Yunani, mereka mengalami kesulitan dalam menerapkan ajaran yang 

sesuai dengan pengajaran Taurat. Dan sebagai jalan tengahnya diterimalah model penafsiran alegoris untuk 

menjembatani kedua hal ini (Scheunemann, 2021).

Tafsir Alegoris

Metode alegoris merupakan sebuah pendekatan dalam proses penafsiran teks yang digagas oleh Philo, 

seorang penafsir Yahudi yang tinggal di Alexandria pada abad pertama (Awijaya, 2016). Metode ini populer 

pada abad pertama hingga abad pertengahan yang datang dari orang-orang Yunani. Alegoris berasal dari kata 

Yunani ἄλλο (allo) dan ἀγορεύω (agoreuo) yang berarti berbicara mengenai hal yang lain (Porter, 2007). 

KBBI mengartikan alegoris sebagai cerita yang dipakai sebagai lambang (ibarat atau kias) perikehidupan 

manusia yang sebenarnya untuk mendidik (terutama moral) (Chia & Juanda, 2020) (Departemen Pendidikan 

dan Kebudayaan, 1997).

Secara historis, menurut Ferguson, Philo adalah bapak pendekatan alegoris dalam studi biblika yang 

ingin memperdamaikan Septuaginta (Alkitab PL berbahasa Yunani) dengan pemikiran-pemikiran Yunani

(Awijaya, 2016) untuk menjaga martabat kitab Suci. Konsep ini adalah pengaruh dari filsafat Hellenistik yaitu 

filsafat Stoa sebagai salah satu dari empat filsafat yang berkembang pesat pada saat itu yakni Platonisme, 

Aristotelianisme dan Epikuarianisme yang mewarnai dan menjadi latar belakang dunia Perjanjian Baru. 

Filsafat Stoa menekankan tentang hidup bahagia dan sederhana serta mengutamakan kesempurnaan moral dan 

intelektual. Kebahagian tidak bersumber pada sesuatu yang bersifat material seperti kekayaan, harta benda 

atau daya tarik seksual, melainkan pada kesempurnaan karakter dan moral atau kebajikan (Lie, 2011). Bahkan 

khususnya membicarakan perihal seksual dianggap sebagai sesuatu yang tabu, jahat dan kurang beretika sebab 

praktek hedonisme juga berkembang pesat pada masa itu. Dan ketika para penafsir hendak menafsirkan kitab 

suci khususnya Kidung Agung, maka mereka menemui persoalan yaitu pertentangan antara teks (yaitu kitab 

Kidung Agung yang memuat unsur erotis) (Sitorus, 2018) dengan konteks (yakni pemikiran Hellenis yang 

menganggap hal-hal erotis sebagai sesuatu yang jahat dan kurang beretika). Sehingga jalan tengahnya 

dipakailah metode penafsiran alegoris. Metode ini juga dipakai oleh bapak gereja seperti Origenes (Awijaya, 

2016). Metode alegoris berangkat dari suatu asumsi bahwa:

a. Dibalik arti literal (disebut arti pertama) terdapat arti yang sesungguhnya (disebut arti kedua) yang lebih 

dalam yang perlu ditemukan oleh orang Kristen yang dewasa.

b. Mengutip tulisan Car, Prabowo dalam artikelnya menjelaskan, dasar metode alegoris adalah ide bahwa 

suatu teks tidak mengandung catatan yang faktual dan historis atau peristiwa masa lalu apapun, tetapi 

semata-mata sebuah kendaraan bagi kebenaran-kebenaran spiritual yang lebih dalam (Prabowo, 2019). 

c. Satu sisi terlihat penafsiran alegoris tidak begitu mementingkan aspek gramatikal dan historikal suatu teks, 

sebab mengangapnya hanya sebagai pengantar pada makna rohani yang tersembunyi di dalamnya. 

Sehingga dalam metode ini, melihat bahwa setiap teks dipercaya memiliki makna lain yang lebih tinggi 

dari pada makna literalnya.

d. Atau dengan kata lain, pendekatan ini merupakan sebuah upaya untuk menyingkapkan pesan teks, 

khususnya Alkitab secara alegoris, yaitu dengan mencari makna dibalik kata-kata yang tertulis di dalam 

teks tersebut. Sehingga metode alegoris dipakai untuk memaknai cerita yang mengajarkan banyak 

kebenaran melalui pelbagai metafora (Vilker, 1988).

Tafsir Era Reformasi 

Metode penafsiran yang berkembang pada era reformasi dipelopori oleh Martin Luther dan John 

Calvin. Era reformasi ini dilatarbelakangi oleh renaisans dimana bangkitnya kembali bahasa dan budaya 

Yunani dan Romawi di Eropa yang telah lama dikuasai oleh Gereja. Kemunculan pemikiran kritis ini juga 

mempunyai dampak terhadap penafsiran Alkitab. Menurut Hutabarat, penafsiran era reformasi lebih kepada 

literal dan historis. Para reformator terkenal dengan sikap mereka yang sangat menghormati otoritas Alkitab 

(Sola Scriptura). Bagi Luther dan Calvin, Alkitab adalah firman Allah yang tidak pernah salah dan memiliki 

otoritas tertinggi. Sehingga Alkitab menentukan apa yang harus diajarkan oleh gereja dan juga Alkitab mampu 

menafsirkan Alkitab itu sendiri (Sola Scriptura Interpres). Prinsip penafsiran Luhter dan Calvin yaitu:

a. Penafsiran harus mengutamakan iman dan pimpinan Roh Kudus. Yaitu penafsir tidak boleh mengkritik 

Alkitab dengan rasionya yang hina, namun sebaliknya mencari makna dengan berdoa dan bermeditasi.

b. Alkitab memiliki otoritas tertinggi yang jauh melebihi otoritas gereja.

c. Alkitab adalah dapat dimengerti dan isinya konsisten. Dengan demikian Luther dan Calvin menolak 

penafsiran alegoris dan sebab penafsiran yang tepat harus berdasarkan bahasa asli Alkitab.

d. Alkitab harus ditafsir berdasarkan Alkitab. Dalam prosesnya penafsir harus memperhatikan konteks, tata 

bahasa, budaya dan bagian lain Alkitab yang ditafsir.

e. Kristus adalah pusat Alkitab. Sehingga setiap penafsiran harus dibawa kepada Krsitus (Awijaya, 2016; 

Tafonao & Yulianto, 2020; Telnoni, 2017). 

Tafsir Gramatikal 

Metode penafsiran gramatikal historis adalah metode penafsiran yang memusatkan perhatian pada 

upaya untuk menafsirkan bagian-bagian Alkitab menurut tata bahasa dari satu kalimat atau lebih. Berangkat

dari pemahaman bahwa Alkitab adalah buku ilahi yang memiliki kesatuan yang sempurna dan pengajaran 

yang benar. Sehingga upaya eksegetis dilakukan adalah untuk menemukan makna asli yang dimaksudkan oleh 

penulis Alkitab dalam teks tersebut. Langkah yang biasa dilakukan ialah dengan cara memperhatikan arti kata, 

hubungan antar kata, hubungan kata tersebut dengan kalimat atau konteksnya. Menarik kesimpulan dari 

tulisan Stuart dan Fee (Stuart & Fee, 2011), hal-hal yang diperhatikan dalam penafsiran gramatikal yaitu:

a. Makna kata atau frasa menurut bahasa asli Alkitab (Ibrani untuk PL, Yunani untuk PB)

b. Menafsirkan teks harus sesuai konteksnya. Dalam hal ini harus memperhatikan ayat-ayat di sekitar teks 

teks tersebut, memperhatikan pasal sebelum dan sesudahnya (konteks dekat), dan kemudian juga 

memperhatikan Alkitab secara keseluruhan (Konteks jauh). 

c. Harus menafsir teks sesuai genre/jenis literatur masing-masing (puisi, nubuatan).d. Harus memperhatikan konteks sejarah. Teks dapat dipahami dengan benar apabila dilihat sesuai dengan 

masa pembaca hidup. Sehingga teks yang dimengerti sekarang sama dengan yang dimengerti oleh 

pembaca pertama dari teks tersebut.

Gramatik dan syntax. Penafsir harus memperhatikan tenses dan juga hubungan kata dengan kata, kata 

dengan kalimat atau kalimat dengan kalimat atau paragraf.

Tafsir Kritik Historis

Penafsiran kritik historis adalah salah satu bagian dari kerja eksegeise. Metode penafsiran kritik historis 

ini berkembang pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20 yang bertolak dari suatu pandangan kritis terhadap 

Alkitab. Kritis dalam artian tidak menerima mentah-mentah setiap hal, tetapi dengan berusaha mengujinya 

dengan pertimbangan-pertimbangan yang dalam dari berbagai segi. Metode analisis ini melihat Alkitab 

sebagai buku yang di dalamnya berisi kesaksian tentang Allah dan kehendak-Nya, maka sebagai buku, Alkitab 

dapat didekati dengan menggunakan metode-metode analisi sastra yang dipergunakan (Labobar, 2017). Selain 

itu penafsiran kritik historis membutuhkan pengetahuan, memiliki kecakapan serta belajar menggunakan 

karya orang lain yaitu literatur sebagai penunjang untuk keberlangsungan penafsir dalam melakukan kerja 

tafsir. Kunci melakukan kerja eksegeise yang baik adalah memahami bacaan Alkitab yang akan di tafsir 

dengan bijaksana artinya membaca teks dengan teliti dan mengajukan pertanyaan yang tepat berhubungan 

dengan konteks dan isi yang berkenaan dengan sejarah (Stuart & Fee, 2011).

Konteks historis, dari kitab ke kitab didapati berbeda-beda, yang berhubungan dengan beberapa hal: 

waktu dan kebudayaan pengarang serta para pembacanya, yaitu faktor-faktor geografis, topografis dan politis 

yang relevan dengan lingkungan pengarang dan peristiwa penulis, surat, mazmur, firman nubuat atau gaya 

sastra yang lain (Stuart & Fee, 2011). Kritik historis ini memiliki dokumen-dokumen yang didasarkan pada 

anggapan bahwa sebuah teks itu bersifat historis minimal dalam dua pengertian, yaitu teks itu berkaitan 

dengan sejarah dan juga memiliki sejarahnya sendiri. Atas dasar ini, kita dapat membedakan “sejarah di dalam 

teks” dan “sejarah dari teks”. Yang pertama menunjuk pada hal-hal yang berkaitan dengan sejarah yang teks 

itu sendiri tuturkan, entah tokoh-tokoh tertentu, peristiwa-peristiwa, keadaan-keadaan sosial, ataupun gagasan￾gagasan. Fungsi teks sebagai sebuah jendela yang melaluinya dapat memandang ke suatu periode sejarah. Bila 

secara kritis kita membaca apa yang dikatakan oleh teks, maka kita akan dapat menarik kesimpulan mengenai 

kondisi-kondisi keagamaan, sosial dan politik dari suatu jumlah periode sejarah yang di dalamnya teks itu 

ditulis. Sedangkan sejarah dari teks menunjuk pada sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan apa yang teks 

sendiri kisahkan atau gambarkan, yaitu riwayat atau sejarah teks itu sendiri: bagaimana teks itu muncul, 

mengapa, di mana, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana; siapa penulisnya dan untuk siapa ditulis, 

disusun, disunting, dihasilkan dan dipelihara; mengapa sampai teks itu ditulis, lalu hal apa saja yang 

mempengaruhi kemunculan, pembentukan, perkembangan, pemeliharaan dan penyebarluasannya (Hayes & 

Holladay, 2016).

Menurut Dr. A. A. Sitompul memberikan sebuah penguraian yang luas mengenai cara menggunakan 

metode ini (Sitompul, 2006). Ada 9 tahap analisis yang perlu dilakukan, yaitu:

1. Analisis Nas (Txtual Criticism)

2. Analisis Sastra (Literer Criticism)

3. Analisis hadist lisan atau analisis sejarah tradisi lisan (traditional criticism, khususnya oral tradition)

4. Analisis sejarah tradisi (bistorical tradition criticism)

5. Analisis sejarah peredaksian (bistorical redaction criticism)

6. Analisis bentuk (form critical mothod atau form criticism)

7. Tempat dan waktu

8. Tafsiran ayat demi ayat

9. Tujuan: skopus atau maksud nas.Implikasinya Terhadap PAK

Dalam hermeneutik, interpretasi adalah “hati” dari pemahaman. Pandangan ini akan cocok bagi 

Pendidikan Agama Kristen karena perannya adalah untuk memahami manusia dan kreasi-kreasinya. Bagian 

yang paling penting dari seluruh prinsip hermeneutik adalah tujuan aplikasi/penerapan, karena kita harus ingat 

bahwa tujuan utama Hermeneutik adalah melaksanakan Firman Tuhan dalam Alkitab yang telah kita pelajari 

dan tafsirkan tersebut. Seseorang dapat belajar dan mengerti banyak tentang teori bagaimana menafsir dengan 

baik dan benar secara sistematis. Tapi seseorang baru bisa dikatakan mengerti dengan sungguh-sungguh kalau 

ia akhirnya memberikan respon terhadap apa yang ia pelajari.

Alkitab membawa berita kebenaran bukan hanya untuk kepentingan pribadi saja, tetapi untuk 

kepentingan orang-orang pada jaman dimana Alkitab ditulis dan juga untuk pembaca/penafsir Alkitab pada 

generasi jaman ini. Dari hasil penafsiran yang kita lakukan, kita harus bisa membawa kebenaran itu berbicara 

kepada diri kita, kepada masyarakat di sekitar kita, dan akhirnya kepada dunia modern ini (Hakh, 2010; 

Supriadi, 2021).

Berbicara Homeletika bukan berarti selalu berbicara tentang khotbah, namun khotbah tersebut adalah 

salah satu bentuk-bentuk dari homeletika itu sendiri termasuk Pendidikan Agama Kristen (PAK) (Kristanto, 

2006). Perkembangan Pendidikan Agama Kristen pada zaman 4.0 semakin dalam dan mencakup semua 

golongan. Alkitab semakin terbuka dan mengikuti perkembangan zaman yang ada. Untuk itu seseorang dapat 

belajar dan mengerti banyak tentang teori bagaimana menafsir dengan baik dan benar secara sistematis. Tapi 

seseorang baru bisa dikatakan mengerti sungguh-sungguh kalau ia akhirnya memberikan respon terhadap apa 

yang dipelajari (Boehlke, 2013).

Dasar teologis Pendidikan Agama Kristen adalah alasan Alkitabiah tentang pentingnya pendidikan 

agama yang terdiri dari tugas, proses dari tujuan pendidikan agama. Dasar teologis terdapat dalam Amanat 

Agung Tuhan Yesus (Matius 28:19-20). Dengan memperhatikan perintah-perintah Tuhan Yesus Kristus 

kepada murid-murid-Nya sebelum kenaikan-Nya ke surga, yaitu “pergilah”, “jadikanlah” semua bangsa 

murid-Ku “baptislah” dan “ajarlah”. Dengan kata lain ada tiga hal yang harus dilakukan para murid Kristus, 

yaitu memberitakan Injil, membaptis dan mengajar artinya Pendidikan Agama Kristen berhubungan dengan 

mengajar. Proses Pendidikan Agama Kristen adalah memuridkan (2Timotius 2:2). Ayat tersebut menekankan 

bahwa tujuan mengajar adalah agar dapat mengajar kepada orang lain. Inilah yang dimaksud dengan 

pemuridan (Stuart & Fee, 2011; Verdianto, 2020; Yahya, 2009). Para pendidik Kristen terpanggil untuk tetap 

setia di dalam teori dan praktek yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Kristen. Alkitab adalah 

instrummen kritis yang mampu membedakan dan menilai para pendidik, peserta didik, serta proses pendidikan

(Pazmino, 2012).


Alkitab memiliki ragam bahasa yang dilihat sebagai suatu kekayaan dalam penggunaan bahasa. Sangat 

jelas Alkitab memberi suatu gambaran bahwa semua ragam bahasa yang muncul dan yang dikenal sekarang 

ini tidaklah sama dengan penggunaan bahasa dalam penulisan kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 

Perkembangan sekarang membawa para pembaca dapat memahami isi Alkitab dengan bahasa yang mudah 

dimengerti. Hal ini dikarenakan adanya para penafsir yang mempu memberi pemahaman tentang bagaimana 

memahami teks Alkitab dan dalam pemahaman tersebut dapat mengangkat suatu implikasi yang sangat 

relevan.

Kerja hermeneutik adalah ilmu yang mempelajari tentang interpretasi dalam sebuah penafsiran Alkitab 

yang dapat membantu untuk memahami suatu teks dalam Alkitab. Sejarah hermeneutuk memperlihatkan dasar 

penafsiran Alkitab hermenuetik memberikan sebuah proses pembelajaran tentang menyederhanakan bahasa 

yang bisa dilihat melalui metode ilmiah yang dikembangkan oleh para mulai dari tafsir pra Kritik Historis


dampai pada tafsir kritik histori. Hermeneutik digunakan secara luas diberbagai bidang misalnya filologi, seni 

lukis, kesastraan, musik, penerjemahan, sejarah, arkeologi, sosiologi, dan masih banyak yang lain. Definisi 

hermeneutik mengalami perubahan dari masa ke masa, dan menjadi tidak sama dalam tangan sarjana yang 

tidak sama. Namun demikian, definisi sederhana bagi hermeneutik, yang menunjuk pada prinsip dan metode 

penafsiran masih tetap berlaku. Pembacaan dan penafsiran Alkitab tidak seharusnya menjadi hak khusus bagi 

sebagian orang Kristen saja. Namun demikian, untuk menjadi penafsir yang baik, seorang Kristen 

membutuhkan persiapan yang memadai. Dia sebaiknya adalah orang yang mendapat pendidikan yang cukup. 

Diharapkan dia dapat membaca dengan lancar, berpikir dengan jernih dan memiliki pengetahuan umum yang 

cukup luas.

Melihat kerja hermeneutik dipandang perlu untuk diterapkan dalam pendididkan agama Kristen karena 

dasar Pendidikan Agama Kristen adalah Alkitab yang memberi pengajaran. Proses Pendidikan Agama Kristen 

adalah memuridkan sebagaimana yang tertulis dalam 2Timotius 2:2 “Apa yang telah engkau dengar dari 

padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga 

cakap mengajar orang lain”. Ayat tersebut menekankan bahwa tujuan mengajar adalah agar dapat mengajar 

kepada orang lain. Para pendidik Kristen di dalam gereja maupaun lembaga pendidikan terpanggil untuk tetap 

setia di dalam teori dan praktek yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Kristen. Sesungguhnya Alkitab 

adalah instrumen kritis yang mampu membedakan dan menilai para pendidik, peserta didik, serta proses 

pendidikan sehingga dapat memberi makna untuk kehidupan sebagai orang Kristen.



Hermenenutik merupakan ilmu penafsiran atau interpretasi yang bertujuan untuk menerangkan sesuatu yang 

sulit atau tidak dapat dipahami dengan cara menerjemahkannya ke dalam bahasa yang mudah untuk 

dimengerti. Artikel ini membahas tentang metode ilmiah dalam sejarah tafsir Alkitab dan implikasinya bagi 

pendidikan agama Kristen melalui studi literatur. Berdasarkan sejarah penafsiran Alkitab menguraikan metode 

ilmiah yang dipakai baik dalam penafsiran pra kritik historis dan kritik historis. Seorang penafsir pendahulu 

berdasarkan sejarah punya metode masing-masing untuk memahami sebuah teks Alkitab sehingga itu juga 

yang berlaku sampai saat ini sehingga dalam dunia pendidikan semakin memberi pemahaman yang baik 

terhadap teks dalam Alkitab melalui kerja tafsir. Tujuan penulisan artikel ini membahas mengenai metode 

ilmiah dalam sejarah tafsir Alkitab di dalamnya memperlihatkan pengantar hermeneutik kemudian tafsiran pra 

kritik historis dan tafsir kritik historis. Kesimpulannya adan metode ilmiah penafsiran Alkitab dapat menjadi 

pedoman kepada seseorang yang melaksanakan kerja tafsir sehingga dalam Pendidikan Agama Kristen 

seseorang mampu memberi interpretasi yang baik teks Alkitab dan dapat memberi makna yang baik bagi 

pembaca.