teologi 19

 
 
Abad 21. yaitu  salah satu abad yang menantang pemikiran manusia 
terutama dalam memahami dan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan 
Allah. Mengapa? Salah satu ciri dalam abad iniyaitu  pencapaian yang luar biasa 
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sedemikian rupa sehingga orang menjadi 
lebih bergantung pada semua pencapaian ini  yang nyata-nyata menolong dan 
meningkatkan efektifitas bahkan kualitas hidup. Teknologi seolah-olah telah 
menjadi jawaban bagi semua kebutuhan manusia modern. Ruang dan waktu tidak 
lagi menjadi batasan antar manusia untuk saling membangun hubungan. Informasi 
bergerak dengan cepat melalui sambungan internet. Dunia yangs emual tersekat 
oleh politik, budaya dan batas teritorial berubah menjadi global dan menyatu dalam 
gerak dinamis teknologi yang semakin merasuk di dalam segala aspek kehidupan 
manusia. Perkembangan ini  memperlihatkan tanggap positif di satu sisi 
selama teknologi itu dipakai  untuk mempermudah kehidupan manusia. Tetapi 
tanggap negatif akan muncul manakala semua kemajuan ini , ternyata berbalik 
menjadikan manusia sebagai objeknya, tersandera oleh hasil pikirannya sendiri 
melalui beberapa  produk teknologi dan justru mereduksi makna Allah yang 
transenden.  
Salah satu contohnya yaitu , kecenderungan manusia untuk semakin 
berpikir praktis (pragmatisme), berorientasi pada pengetahuan atau akalnya 
(rasionalisme) dan meringkas berbagai kerumitan, proses tradisional yang rumit 
dan bertele-tele, dalam sebuah shortcut teknologi sehingga bukan saja tenaga dan 
waktu yang di hemat, melainkan efektifitas dan efisiensi, termasuk didalamnya 
urusan modal dan sumber daya manusia. Orientasi manusia berubah karena 
mengarah pada hal-hal yang bisa dibuktikan, melibatkan pengalaman dan hasil 
pengamatan yang otentik (empirisme). Berdasarkan hal ini  di atas, maka dua 
aliran filsafat yang pernah muncul di abad pertengahan (rasionalisme dan 
empirisme) dan satu aliran filsafat abad sembilan belas (pragmatisme), seolah 
kembali mendapat tempat di dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. 
Inilah yang kelak membentuk kecenderungan baru teologi abad ke-21 yang 
berusaha menyingkirkan Tuhan dari panggung aktifitas manusia dan membawa 
Pemikiran dan pola hidup untuk semakin pragmatis dengan 
sendirinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan  di abad ke 21. Masyarakat 
Amerikayaitu  contoh sangat konkret mengenai perilaku pragmatis melalui 
American Ethos.1 Pengaruh dalam aliran ini dibentuk oleh filsafat pragmatis 
yang salah satunya digagas oleh John Dewey (1859-1952). Dalam perilaku 
keseharian, pragmatisme menjadi nilai-nilai vital kehidupan yang ikut 
mengatur perilaku dan cara pandang masyarakat, terutama dalam 
berhubungan dengan orang lain.2 Bagi masyarakat Amerika, sesuatu yang 
penting, sebagaimana ditekankan oleh aliran filsafat ini,yaitu  konkrit, 
terukur dan jelas penggunaanya.3 Dalam sudut pandang filsafat 
pragmatisme, kebenaran sebuah teori dan pengetahuan harus bisa 
dibuktikan melalui pengalaman dan tindakan manusia.4 Melalui pengalaman 
ini , kebenaran dapat diuji untuk diterima atau ditolak.
Bukan hanya soal pragmatisme, abad ke 21 juga mengantar manusia 
untuk menjadi semakin rasional di dalam memahami segala sesuatu. 
Rasionalismeyaitu  sebuah pandangan filsafat yang menekankan rasio 
manusia sebagai penentu kebenaran.6 Dalam pandangan ini, segala sesuatu 
dihakimi berdasarkan akal dan pikiran. Jika sesuatu mendapat penjelasan 
secara rasional, maka sesuatu itu dapat diterima. Demikian sebaliknya. 
Aliran ini pada awalnya dikembangkan oleh Descartes (1596-1650) seorang 
filsuf Perancis sebagai responnya terhadap berbagai pergumulan dunia.
Satu aliran terakhir yang memberi ciri abad ke 21yaitu  empirisme.8 Aliran 
ini menekankan pengalaman sebagai titik tolak kebenaran. Empirismeyaitu  
kebenaran yang diterima melalui pengalaman, percobaan, penemuan dan 
pengamatan yang telah dilakukan. Menurut Brown, berbeda dengan orang 
rasionalis yang berusaha menegakkan sistem filsafat dengan memakai pikiran 
berdasarkan kebenaran-kebenaran yang menurut dugaan orang terbukti dengan 
sendirinya,  penekanan empiris justru pada pengalaman yang datang melalui indera 
manusia Beberapa tokohnya antara lain John Locke (1632-1704), George Berkeley 
(1685-1753) dan David Hume (1711-1776). 
Menguatnya aliran filsafat seperti dikemukakan di atas hanyalah 
sebuah contoh untuk mengantar memasuki pokok utama makalah ini, yakni 
perkembangan teologi Kristen di dekade awal abad 21. Sesuatu yang 
menguat akan mengarah pada sebuah kecenderungan. Jika kecenderungan 
manusia abad 21 mengarah pada kekuatan pikirannya, pengalamannya dan 
hal-hal yang praktis di dalam hidupnya, maka paling tidak hal itu akan 
mempengaruhi cara pandang mereka dan rancang bangun teologis yang 
mereka buat.  

 Zaman yang berubah menuntut penyesuaian. Termasuk didalamnya gereja, 
perlu melakukan tanggap terhadap perubahan yang demikian cepat yang 
berlangsung disekitarnya. Gereja sendiriyaitu  hasil dari perubahan. Sebagai hasil 
dari perubahan, gereja memiliki sejarah dan terus berkembang seiring perlananan 
waktu.  Menurut  Th. Van den End sejarah gerejayaitu  kisah tentang 
perkembangan-perkembangan dan perubahan yang dialami oleh gereja selama di 
dunia ini. Yaitu kisah tentang pergumulan antara Injil dengan bentuk-bentuk yang 
dipakai untuk mengabarkan Injil. End menganalogikan gereja sebagai sebuah pohon 
yang awalnya merupakan sebuah tunas kecil, kemudian tumbuh dengan batang 
yang besar dengan dahan, cabang dan ranting yang banyak, tidak sama ukurannya 
dan bentuknya. Begitu pula halnya dengan gereja-gereja yang lahir dari jemaat 
pertama yang berlainan: dalam hal tata gereja, tata kebaktian, dan ajaran (red. 
teologinya). Tetapi semuanya itu berakar dalam tanah yang sama.”10 Sejak zaman 
pantekosta berlangsung, gereja mengalami perubahan yang sangat pesat, baik dari 
segi jumlah pengikutnya, tata caranya, organisasinya dan juga ajaran-ajarannya 
(dalam hal ini katakan sebagai teologinya). Bahkan hingga kini gereja tumbuh di 
dalam berbagai denominasi dan aliran yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Hal 
ini  membuktikan bahwa gereja dalam sejarahnya, telah mengalami 
perkembangan yang demikian pesat sebagai tubuh Kristus di dunia. Dalam 
perkembangan itu sendiri, gereja bukan hanya bertahan membangun dirinya dari 
dalam, juga mempertahankan dirinya dari berbagai musuh yang secara sistematis 
berniat menghancurkan gereja terutama dalam menghadapi ajaran-ajaran yang 
                                                          
tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Fakta sejarah membuktikan, gereja mampu 
bertahan dari gejolak-gejolak yang berlangsung secara internal.   
 
 Setiap masa yang berbeda akan menghasilkan tantangan dan persoalan 
yang berbeda pula. Demikian juga di abad ke 21, yang dicirikan sebagai sebuah masa 
dimana orang akan semakin pragmatis, rasional dan empiris, gereja akan 
menghadapi tantangan tersendiri yang menuntut respon gereja untuk 
mempersiapkan diri menghadapi semua itu. Injil yang menjadi sentra pemberitaan 
gereja tentu akan banyak mengalami gugatan dari sudut pandang ilmu pengetahuan 
dan pendekatan rasionalistik. Hal ini juga sekaligus merupakan tantangan bagi 
gereja untuk semakin aktual dan mewujudkan perannya secara nyata, di tengah 
masyarakat modern yang justru sedang bergerak ke arah sekular.  
 
 Penyesuaian apa yang dapat dilakukan oleh gereja? Paling tidak ada dua hal. 
Pertama penyesuaian strategis, untuk merubah apa yang dipandang perlu dalam hal 
ajaran, tata cara, organisasi dan strategi pemberitaan Injil; dan kedua, penyesuaian 
yang bersifat konsolidatif, sebuah usaha untuk merapatkan barisan dan 
memperkokoh ajaran gereja (yakni Injil) di tengah situasi dan alam pikiran manusia 
yang secara tegas menarik batas antara hal-hal dunia (yang nyata, yang dimengerti 
dan real) dengan hal-hal rohani (yang dianggap abstrak dan tidak nalar). Untuk hal 
yang kedua ini, gereja perlu membangun kembali satu teologi yang benar-benar 
berdiri atas kebenaran firman. 
 Setiap zaman yang bergerak secara linier selalu menghasilkan satu corak 
tertentu sebagai ciri dari zaman itu. Corak ini  akan mewarnai pokok pikiran 
apa yang dihasilkan di zaman itu. Sebagai contoh, ketika Zaman Renaissance 
berlangsung, orang begitu mengagungkan karya seni sebagai sebuah prestasi dari 
pencapaian manusia. Maka pada zaman itu, kehebatan manusia melalui karya seni 
menjadi warna dari pola pikir manusia dalam menyusun rancang bangun 
teologisnya. Sebagai sebuah ilmu yang memperbincangkan tentang Allah, teologi 
juga menjadi sebuah arus yang mengalir kuat (dan tidak stagnan) di sepanjang garis 
waktu.11 Pergerakan zaman, sekaligus memberikan gambaran dari perubahan, 
perkembangan dan perbedaan teologis dari masa ke masa. Di dalam perubahan 
itulah gereja dituntut untuk selalu mereposisi kembali dirinya. 
 
 Manusia selalu berusaha memahami Allahnya dan mempercakapkan 
tentang Dia. Inilah yang menjadi salah satu alasan klasik, mengapa teologi tidak 
pernah mati tetapi selalu berkembang. Warna dari rancang bangun teologi amat 
ditentukan oleh corak zaman yang melahirkannya, termasuk latar belakang para 
                                                           
pemikir yang menggagas ide-ide ini  dan situasi-situasi yang berlangsung pada 
waktu itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkembangan teologi paling 
tidak ditentukan oleh (a) corak zaman, (b) latar belakang para pemikir dan (c) 
kebutuhan mendesak yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran teologis ini . 
 
Teologi selalu berkembang bahkan erat kaitannya dengan sejarah gereja 
tempat dimana teologi itu tumbuh dan berkembang. Demikian sebaliknya, selama 
gereja bergerak di dalam jalur sejarah, maka teologi juga akan mengalami 
perkembangan. Selama manusia hidup dan memikirkan tentang Allah-nya, maka 
akan selalu lahir pemikiran dan perkembangan terbaru teologi. Yang membuat 
perbedaanyaitu  sumber-sumber yang dipakai  oleh para penggagas teologi 
tidaklah sama. Ada yang menggunakan Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran 
tetapi lebih banyak juga yang menggunakan sumber-sumber lain. Di dalam 
perjalanan sejarah perkembangan teologi, kita mengenal misalnya Agustinus, 
Aquinas dan Hooker menggunakan Alkitab dan tradisi, filsafat serta ilmu 
pengetahuan sebagai sumber dalam menciptakan sintesa-sintesa mereka yang 
terpenting. Maka ketika setiap zaman menghasilkan aliran filsafat yang berbeda, 
kemajuan pengetahuan yang berbeda, sistem dan tantangan yang berbeda, maka 
dipastikan, sintesa yang kemudian lahir sebagai sebuah produk teologi, juga 
mengalami perbedaan dari masa sebelumnya, mengalami perubahan dan 
berkembang sesuai kebutuhan.  
 
Aguinas dan beberapa tokoh sezamannya banyak sekali dipengaruhi oleh 
filsafat Aristoteles. Hooker dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan tetang 
tradisi yang berasal dari Aquinas dan gagasan baru dari zaman Renaisance. 
Schleiermacher sangat kuat dipengaruhi oleh situasi pencerahan, filsafat Kant dan 
aliran baru dari romantisisme dan immanentisme. Itu beberapa contoh dari sisi 
teolog. Dari sisi bentuk teologi, kita mengenal lahirnya teologi reform sebagai reaksi 
radikal atas berbagai kesalahan dan pelanggaran dalam lingkup gereja pada waktu 
itu. Demikian halnya munculnya teologi politik, teologi kontemporer, dan berbagai 
bentuk lain dari teologi, semua dipengaruhi oleh situasi dan kebutuhan zaman pada 
waktu itu dan muncul sebagai jawaban terhadap tantangan iman yang timbul atas 
situasi tertentu. Hasilnya, rancang bangun dan keanekaragaman teologis. Menurut 
Avis, keanekaragaman teologi ini yaitu  wajar dan muncul sebagai akibat 
yang tak terelakkan dari dua sifat teologi itu sendiri. Pertama, hal ini  
merefleksikan sifat dinamis dan kreatif teologi, yang didalamnya individu 
menjawab dengan seluruh keberadaannya, dengan segenap hati dan pikiran, 
pengungkapan Allah dalam alam yang kudus. Kedua, keanekaragaman ungkapan 
teologi merefleksikan keanekaragaman keadaan yang didalamnya teologi 
dijalankan.12 Meskipun demikian, arah dari semua pergerakan itu menuju ke satu 
titik yakni tanggap iman manusia tentang Allah, terhadap Allah dan karya-Nya.  
 
Percakapan sejarah teologi tidak dapat dilepas dari percakapan tentang 
sejarah gereja karena hubungannya yang sangat erat.  Di dalam bab ini akan dibahas 
secara singkat perkembangan rancang bangunteologi di dalam sejarah gereja dari 
abad pertama dan ajaran-ajaran teologi apa yang muncul serta tanggap (reaksi) 
gereja terhadap perkembangan ini . Untuk membantu memahami uraian di 
dalam makalah ini, pertama-tama akan diuraikan dahulu defenisi teologi dan 
                                                           
sejarah teologi, kemudian tujuan dan maksud sejarah teologi dan yang terakhir 
pembahasan singkat tentang periodisasi sejarah teologi. 
 
Definisi  Teologi dan Sejarah Teologi 
Para teolog memberikan beragam pendapat mereka tentang defenisi dari 
teologi. Berikut ini beberapa rumusan yang diungkapkan oleh para teolog ini  
tentang pemahaman mereka tentang apakah defenisi dari teologi itu. 
Eka Darmaputra mengatakan, teologiyaitu  upaya untuk mempertemukan 
secara dialektis, kreatif secara esensial antara “teks” dan “konteks,”  antara 
“kerygma yang universal dan kenyataan hidup yang kontekstual. Juga didefenisikan 
sebagai, upaya untuk merumuskan penghayatan iman Kristen pada konteks, ruang,  
dan waktu yang tertentu.
E. Farley mengatakan teologiyaitu  suatu istilah yang menggambarkan 
lingkup seluruh pokok studi, penelitian (tentang PL, PB, sejarah gereja, teologi 
sistematika, ilmu berkhotbah, pendidikan agama Kristen dan konseling) dan 
aplikasi dalam pendidikan atas sekolah teologi.14 (= arti luas).  
B.B. Warfield (1851-1921) teolog ortodoks dari Princeton Seminary 
mengatakan bahwa teologiyaitu  ilmu yang membicarakan Allah dan hubungan 
antara Allah dan alam semesta. 
W.G.T. Shedd (Guru besar Teologi Sistematis di Union Theological Seminary 
tahun 1874-1890) mengatakan, teologiyaitu  suatu ilmu yang berhubungan 
dengan Yang Tak Terbatas dan yang terbatas, dengan Allah dan alam semesta.”
A.H. Strong  (teolog Baptis) mengatakan bahwa teologiyaitu  ilmu tentang 
Allah dan hubungan-hubungan antara Allah dan alam semesta.
F. Schleiermacher (pionir teologi Liberal, 1768-1834) mengatakan bahwa 
teologiyaitu  usaha menganalisis pengalaman kesadaran religius, yaitu perasaan 
ketergantungan kepada yang mutlak.
Paul Tillich (1886-1965) mengatakan bahwa teologiyaitu  interpretasi 
metodologikal dari materi pokok iman Kristen.19 
Louis Berkhoft mengatakan bahwa teologiyaitu  pengetahuan sistematis 
tentang Allah, yang dari-Nya, oleh-Nya, melalui-Nya dan bagi-Nya segala sesuatu 
berada.
Harun Hadiwijono, salah seorang teolog negara kita  mengatakan, teologi 
adalah usaha manusia dengan pikirannya untuk meneliti Alkitab dengan 
menggunakan alat-alat ilmu pengetahuan, agar dapat mengetahui kebenaran-
kebenaran ilahi.
Paul Avis mengatakan bahwa teologiyaitu  berpikir dan berbicara tentang 
Allah.
Daniel Lukas Lukito: pengetahuan yang sistematis tentang Allah dan 
hubungannya dengan ciptaan-Nya seperti dipaparkan dalam Alkitab.
Berdasarkan beberapa  definisi di atas, maka dapatlah dirumuskan bahwa 
teologi memiliki lingkup utama tentang Allah. Segala sesuatu yang membicarakan 
tentang Allah dengan berbagai pendekatannya, disebut sebagai teologi. Hasil dari 
perbincangan ini terangkum dalam sebuah rancang bangun teologi. 
Sedangkan sejarah teologi merupakan pengungkapan tentang teologi 
Kristen sepanjang berabad-abad yang meliputi perkembangan, pertumbuhan, dan 
perubahan teologi Kristen, yang mempelajari formasi (susunan) doktrin-doktrin 
utama tentang Allah, Kristus, Roh Kudus, Keselamatan, Gereja, dan lainnya, untuk 
melihat bagaimana doktrin-doktrin telah diformulasikan dan berkembang.24 Enns 
menekankan bahwa arah dari gereja telah dipengaruhi oleh arah dari teologi. 
Dengan demikian menjadi jelas bahwa mengikuti perkembangan teologi dari masa 
ke masa akan dengan sendirinya menjelaskan arah perkembangan gereja. Maka 
dengan melihat posisi teologi di awal abad 21, posisi dan perkembangan gereja juga 
dapat dengan sendirinya dipetakan (maping).  
 
Tujuan Sejarah Teologi 
Menurut Enns, sejarah teologi bertujuan untuk “menjabarkan asal usul 
sejarah dogma dari gereja dan menelusuri rentetan perubahan dan 
perkembangannya.”25  Dengan kata lain sejarah teologiyaitu  sebuah usaha yang 
menjelaskan gerakan teologi yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Karena 
itu sejarah teologi mempunyai beberapa usaha. Pertama, berusaha untuk 
memahami formasi doktrin-doktrin, perkembangan, dan perubahannya, apakah 
menjadi lebih baik ataukah lebih buruk. Yang sudah terjadiyaitu : 
1. Skolastikisme yang menekankan penalaran mempengaruhi teologi untuk 
menjauhi kedaulatan Allah;  
2. Reformasi mengembalikan kepada sentralitas Alkitab (Sola Scriptura), juga 
mengembalikan teologi untuk menekankan anugerah (Sola Gracia), juga 
mengembalikan teologi untuk menekankan iman (sola fide);  
3. Pencerahan mengarahkan teologi ke arah kecenderungan kepada anti 
supranatural.  Sebagai dampaknya: 
a. muncul sikap menolak Alkitab sebagai firman Allah yang diilhami oleh Allah.   
                                                          
b. Muncul sikap menolak Alkitab sebagai yang berotoritas atas hidup manusia 
dan menggantikan akal manusia sebagai penentu segala-galanya (yang 
berotoritas). 
Kedua, selain berusaha untuk  memahami formasi (susunan) doktrin-
doktrin, perkembangan, dan perubahannya, sejarah teologi juga menjelaskan 
gerakan teologi selama berabad-abad.  Hasilnya bermafaat bagi kita untuk 
mengetahui asal mula  doktrin, serta bagaimana berkembang, dan bagaimana 
doktrin itu kadang-kadang menyimpang dari kebenaran yang Alkitabiah dan 
muncullah bidat.26 Sebetulnya, maksud Enns dengan sejarah teologiyaitu  usaha 
yang memudahkan kita memahami perkembangan teologi yang berlangsung dari 
setiap zaman. Melaluinya kita dapat mengetahui pencapaian teologi apa saja yang 
telah terjadi, bagaimana bentuknya dan apakah dampak dari pencapaian ini . 
Beberapa pertanyaan pentingnyayaitu , ajaran apa saja yang muncul, apakah 
doktrinnya bertentangan atau mendapat legitimasi Alkitab? Serta, bagaimana 
respon gereja menghadapinya. 
Banyak teolog yang membagi sejarah teologi. Tetapi dalam makalah ini 
hanya dipakai  satu saja, seperti yang dikelompokkan oleh Paul Enns. 
Pengelompokkan  lain dibuat oleh Tony Lane tidak beda terlalu jauh dan lebih terinci 
karena Lane masih menambahkan beberapa rincian waktu yang secara spesifik 
membagi masing-masing periode ini .27  Enns membagi empat kurun waktu 
sejarah teologi yakni Teologi Abad Permulaan (1 s/d 590 AD); Teologi Abad 
Pertengahan (590 s/d 1517 AD); Teologi Reformasi (1517 s/d 1750) dan Teologi 
Modern (1750 s/d sekarang).
Teologi Abad Permulaanyaitu  teologi yang dikembangkan melalui para 
Bapa Apostolik. Inilah masa dimana rancang bagun teologi Alkitabiah tersusun 
secara sistematis. Teologi ini sangat signifikan dan biblikal karena dikembangkan 
oleh orang-orang yang masih hidup dan dekat dengan peristiwa-peristiwa 
kehidupan Kristus dan rasul-rasul. Sumbangan yang mereka sampaikanyaitu  isu 
penting tentang trinitas, keilahian dan kekekalan Kristus dan keselamatan. Pada 
masa ini sudah muncul beberapa pengajaran yang menyimpang dari iman Kristen 
seperti sekte-sekte Yahudi yang mencoba mempertahankan hukum Musa, ajaran-
ajaran Gnostik yang bertentangan dengan Injil, Marcions yang membentuk kanon 
sendiri dan gerakan Montanis. Dalam Tulisan karangan Bapa-bapa Rasuli yang 
dikenal dengan tulisan teologis pastoral seperti Didache dan Surat-surat Clemens 
beredar dalam periode ini. Karangan-karangan ini  membahas soal yang 
                                                           
perkembangan teologi dengan sedikit perbedaan:   I. Gereja Bapa-Bapa Gereja sampai Tahun 
500 M; II. Tradisi Timur Sejak Tahun 500 M; III. Gereja Barat pada Abad Pertengahan tahun 
500 – 1500 M; IV. Reformasi dan Reaksi, 1500 – 1800; dari jaman ini dimunculkan penjelasan 
tentang kelompok Lutheran, Calvinis, Anabaptis, dan reaksi Gereja Katolik Roma; V. Pemikiran 
Kristen di Dunia Modern setelah Tahun 1800.  Selama dua ratus tahun bermunculan berbagai 
aliran: 1) Kaum Liberal, 2) Kelompok Evanglikal, 3) Neo-Ortodoksi, 4) Para Eksistensialis, 5) 
Teologi Kontemporer, 6) Teologi pihak Katolik Roma,  dan 7) Iman Se-Dunia. Berdasarkan dua 
pembagian itu dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, dua pembagian itu tidak berbeda. Jika 
tampak berbeda, itu disebabkan Tony Lane merinci isi beberapa periode ke dalam bagian-
bagiannya. Dan rincian itu menjadikan pembagian zaman itu lebih jelas. Pembagian ini dibahas 
lengkap dalam buku Tony Lane, Runtut Pijar – Sejarah Pemikiran Kristiani 
dihadapi jemaat Kristen pada waktu itu, misalnya apa makna PL bagi gereja 
Kristen.
Secara spesifik, periode abad permulaan ini dibagi lagi dalam 4 kelompok 
oleh Cairns.30 Pembagiannyayaitu  sebagai berikut :  
(a)   Abad Pertama – masa para Bapa Apostolik yang menyusun ajaran-ajaran 
dasar kekristenan. Tokoh yang muncul di wilayah Baratyaitu  Clement 
of Rome sedangkan dari wilayah Timur seperti Polykarpus, Ignatius, 
Papias.  
(b)   Abad Kedua – masa para apologet dimana kekristenan dan ajarannya 
dikukuhkan, dipertahankan dan dibela. Di wilayah Barat muncul 
Tertullian sedangkan dari wilayah Timur muncul Aristides, Justin 
Martyr, Tatian, Theopilus. 
(c)   Abad Ketiga – masa para Bapa Gereja, dimana terjadi polemik antar 
ajaran dan serangan dari doktrin palsu yang menyesatkan terhadap 
doktrin dasar kekristenan. Pada era ini, pengajaran yang berbasis tradisi 
mencoba menyusup masuk ke dalam ajaran asli. Tokoh Barat yang 
munculyaitu  Irenius, Tertulian dan Cyprian. Sedangkan tokoh Timur 
yang munculyaitu  Clement dan Origen. Pada masa ini gereja terbagi 
dua secara kontras dan sistemaris yakni Wilayah Timur di Alexandria 
dan Wilayah Barat di Antiokhia. Di kedua kota inilah kemudian 
berkembang dua mahzab teologi yang pengaruhnya dirasakan hingga 
sekarang. 
(d)  Abad Keempat – masa keemasan dimana Alkitab mengalami 
penyelidikan secara serius. Dogmatika muncul di masa ini. Tokoh gereja 
Barat antara lain Jerome, Ambrose dan Augustine. Sedangkan dari 
wilayah Timur muncul Athanasius dan Basil dari Caesarea. 
Kelompok sejarah bagian keduayaitu  abad pertengahan. Di dalam era abad 
ini, rancang bangun teologi mengandung banyak sekali distorsi pengajaran Alkitab, 
terutama pada paruh pertama abad pertengahan saat renaissance berkembang 
pesat. Pandangan para tokoh renaissance sangat berpengaruh dalam kehidupan 
berteologi, dimana pengaruh dari kombinasi antara filsafat Plato dan Humanisme 
telah melahirkan kebangkitan kebebasan individu yang menjadi pusat dari 
segalanya. Akibatnya terjadi pengagungan ‘human nature’, sehingga menghilangkan 
kepercayaan manusia kepada standar kebenaran absolut. Otoritas gereja dalam 
pendidikan moral juga menjadi lemah. Bahkan teologi yang berkembang pada masa 
itu tidak memiliki pertanggung –jawaban biblika yang kuat.31 Namun demikian 
kondisi itu justru menjadi benih ‘Reformasi’ yang berbuah pada abad  ke-16-17.32  
Perubahan secara signifikan dalam teologi baru terjadi pada paruh terakhir abad 
pertengahan. Bibit reformasi mulai digulirkan di dalam gereja akibat sikap gereja 
yang sudah sangat duniawi (disebut sebagai masa masa kegelapan – berlangsung 
antara tahun 500 s/d 1500). Inilah yang kemudian mengawali gerakan reformasi 
oleh Marthin Luther yang dilakukannya dengan berani. Skolastik sebagai usaha para 
                                                          
sarjana membelas imannya dengan pandangan rasional, muncul di abad ini. Salah 
satu skolastik yang terkenalyaitu  Thomas Aquinas. Kalau pada zaman sebelumnya 
teologi belum mengalami perkembangan, justru di abad pertengahan terjadi hal 
yang sebaliknya. Mulai tahun 1100 s/d 1500, perkembangan yang sangat pesat 
terjadi dalam bidang teologi. Mengapa? Kalau dulu teologi hanya dipelajari kalangan 
terbatas di dalam gereja dan biara (sehingga penafsirannya sepihak), kini bisa 
dipelajari dan dikembangkan oleh awam melalui fakultas-fakultas teologia yang 
muncul di berbagai universitas Eropa.  
Dalam periode ini juga terjadi perdebatan tentang filioque yang kemudian 
memisahkan gereja Barat dan Timur. Gereja Barat mengakui bahwa Roh Kudus 
keluar dari Bapa dan dari Anak (la filioque) sedangkan Gereja Timur tidak mengakui 
itu. Perbedaan yang makin kontras antara gereja Barat dan Timur sudah tidak bisa 
dikompromikan lagi. Pada tahun 1054 terjadi pemisahan. Gereja Barat berpusat di 
Roma sedangkan Gereja Timur berpusat di Konstantinopel.
Periode ketigayaitu  reformasi. Periode ini mrupakan satu titik balik 
terpenting dalam rancang bangun teologi yang membawa Alkitab sebagai satu-
satunya kebenaran dan dasar pijakan utama. Pada masa ini berkembang teologi 
yang mendorong kembali pada Alkitab dan menegakkan ajaran yang benar tentang 
kekristenan (akibat penyimpangan yang terlalu jauh dari praktek dalam gereja 
katolik yang mengutamakan tradisi). Tokoh yang munculyaitu  Marthin Luther, 
John Calvin, Ulrich Zwingli. Merekalah yang berperan dalam memunculkan teologi 
protestan yang pengaruhnya berlangsung hingga saat ini. Dalam periode ini, ilmu 
pengetahuan juga semakin maju dan berkembang. Ajaran gereja yang menyebutkan 
bahwa bumi sebagai pusat tata surya diruntuhkan oleh lahirnya teori Copernicus 
yang ternyata membuktikan bahwa justru mataharilah yang menjadi pusat tata 
surya dan bumi mengelilingi matahari. Kolombus juga berhasil mendarat di benua 
Amerika sehingga membuktikan bahwa teori bumi datar tidaklah benar. Gereja 
Katolik mulai digugat dengan gerakan kembali ke sumber iman Kristen yakni 
Alkitab dan menggeser secara radikal posisi tradisi dalam gereja. Keinginan untuk 
memperbaiki gereja semakin kuat dan menyebar di seluruh Eropa. 35 Gereja 
protestan sebagai buah kandung reformasi tumbuh dengan pesat dan 
mengembangkan sendiri rancang bangun teologinya, yang sama sekali berbeda 
dengan teologi katolik. 
Bagian terakhir dari periodisasi Ernnsyaitu  teologi zaman modern. Pada 
awalnya teologi ini dipengaruhi oleh zaman pencerahan yang membawa orang-
orang pada sentralitas manusia dan kemampuan penalarannya. Pada masa                                                          
reformasi, suatu tradisi gereja akan ditolak jika tidak sesuai Alkitab. Tetapi di zaman 
pencerahan, Alkitablah yang justru dikaji secara kritis terlepas dari ajaran 
gerejawi.  Dalam fase ini berkembang berbagai ajaran teologi seperti melalui 
beberapa  teolog modern seperti Immanuel Kant, Friedrich Schleiermacher, George 
Hegel. Kemudian pada awal tahun 1900 terjadi perubahan baru dengan munculnya 
Karl Bath dengan neo-ortodoksnya, Paul Tillich dengan Systematic Theology-nya.  
Dalam kurun waktu ini juga muncul berbagai aliran baru dalam teologi 
modern seperti teologi liberal dan teologi-teologi yang bersifat lokal. Jika 
dibandingkan dengan periodisasi pertama, sejarah teologi memperlihatkan kepada 
kita, telah terjadi perubahan yang demikian besar dalam dinamika dan arus teologi 
disetiap zaman. Teologi masa abad pertama misalnya yang sangat menekankan 
kemurnian ajaran, sudah tidak mendapat tempat lagi di abad modern dimana yang 
terjadi justru sebaliknya; keilahian Kristus dipertanyakan, hal-hal yang semula 
diagungkan di abad pertama seperti kematian dan kebangkitannya secara jasmani, 
digugat dalam perkembangan teologi modern.  
Satu yang menarik dalam periodisasi iniyaitu  berlangsungnya Konsili 
Vatikan II yang kemudian merombak platform teologi Gereja Katolik secara 
mengejutkan. Sejak reformasi berlangsung, gereja ini semakin tertutup dalam 
ajarannya dan perubahan. Tetapi melalui konsili II, modernitas menjadi isu penting 
dalam gereja. Perubahan akibat modernitas tidak lagi dipandang sebagai sebuah 
momok tetapi didekati melalui sebuah dialog untuk menciptakan perjumpaan, 
terutama terhadap berbagai hal yang berlangsung atau terjadi di luar gereja. Gereja 
menjadi lebih terbuka untuk usaha-usaha dialog yang ekumenis. Sebelum Vatikan 
II, gereja terkesan hati-hati dengan gerakan ekumenis ini . Tetapi pasca Vatikan 
II, gereja Katolik terlihat aktif dan mendorong dialog eikumenis dengan gereja-
gereja yang terpisah dari tahta apostolik Roma seperti gereja-gereja Timur, gereja-
gereja Barat dan gereja-gereja lain. Hubungan antar- gereja menjadi harmonis dan 
komunikatif. Bahkan sebelum penutupan konsili, sudah terbentuk Kelompok Kerja 
Sama (Joint Working Group) antara gereja Katolik Roma dengan Dewan Gereja-
gereja Sedunia.39 Hal baru semacam ini telah membuat gereja secara institusional 
tidak lagi berjarak dengan dunia, tetapi justru ikut mewarnai dunia. Gereja juga 
membuka wawasan baru di dalam hal misi. Salah satu dokumenyaitu  Ad Gentes, 
dekrit tentang kegiatan misioner gereja. Gereja bukan lagi dianggap sebagai pusat 
misi itu sendiri melainkan Kerajaan Allah. Dalam hal ini, konsili memberi hormat 
dan tempat pada pusat-pusat kebudayaan lokal, agama-agama lain dan sikap positif 
pada dunia; yang dianggap oleh gereja sebagai tempat dimana Allah aktif bekerja 
dalam usaha penyelamatan-Nya. Satu langkah ke arah pluralisme juga sudah 
dilakukan melalui Konsili Vatikan II ini. Para Bapa Konsili mengakui adanya unsur-
unsur yang baik dan benar di dalam agama-agama lain, serta ada hal-hal yang 
berharga, baik secara keagaamaan maupun manusiawi. Di dalam agama-agama lain 
itu juga ada kebenaran iman dan benih-benih Sabda Allah. Oleh karena itu 
gereja mengajak dan mendorong pendekatan dialogis terhadap penganut agama lain 
dan kerja sama yang tulus dengan mereka.
Teologi di abad ke-20 semakin berkembang ke arah yang baik tetapi tidak 
semua yang baik dapat dipertanggung-jawabkan secara biblikal. Fenomena 
munculnya arus teologi liberal, neo-liberal, neo-ortodoks dan berbagai faham 
teologi lain sebagai hasil historis kritis (seperti teologi eksistensial, teologi Allah 
mati, teologi proses, teologi pembebasan) justru menghilangkan firman Tuhan yang 
berotoritas itu sebagai sebuah kedaulatan tertinggi. 
Mengamati timeline ringkas perkembangan teologi di atas bukan saja 
membuat kita memahami dinamika di dalam lingkup teologi sejak abad pertama 
hingga modern, tetapi mengerti perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam 
arus utama teologi yang secara signifikan membawa dampak bagi gereja. 
 
 Jika timeline perkembangan teologi diamati dengan seksama maka muncul 
satu pertanyaan penting, bagaimanakah perkembangan rancang bangun teologi 
modern di dekade pertama abad ke-21? Itulah yang akan di bahas di dalam bab 
berikut ini. Pembahasannya disampaikan dalam bentuk bagian demi bagian.  
 
Kecenderungan Menuju Teologi Imanensi 
Dengan memperhatikan berbagai fenomena yang ada dan tren yang muncul 
di dalam abad ke-21 sebagai abad dimana ajaran filsafat pragmatisme, rasionalisme 
dan empirisme kembali mendapat tempatnya, manusia akan memiliki 
kecenderungan untuk menyimpulkan segala sesuatu dengan bertitik tolak semata-
mata pada alam dan natur manusia yakni akal budi. Inilah yang disebut dengan 
teologi imanensi.  
Kamus Besar  Bahasa negara kita  memberi penjelasan bahwa imanen artinya 
berada dalam kesadaran atau akal budi.41 Secara harafiah artinya ‘tinggal di dalam’. 
Penjelasan dari Tom Jacobs sangat bagus tentang arti kata ini. Dikatakannya, imanen 
adalah salah satu sifat Alllah dimana Dia tidak hanya berada di atas sana dan 
terpisah dengan ciptaanNya (transenden) melainkan juga ada di dalam dunia 
meskipun tidak berasal dari dunia (imanen). 42 Daniel Lukito menangkap memang 
ada satu kecenderungan teologi di abad ke-21yang dibangun di atas landasan 
imanensi. Sebagai akibatnya, Allah yang transenden itu menjadi hilang dan lebih 
banyak menjelma di dalam kehidupan manusia di dunia.  Keberadaan Allah 
dianggap menyerap dan berbaur di dalam seluruh alam, peristiwa dan kehidupan 
manusia.43 Bahaya dari bangun teologi semacam iniyaitu  menghilangkan setiap 
aspek transendensi Allah dan mereduksi Allah yang transenden itu ke dalam hal-hal 
praktis, terlihat dan terukur bahkan terancam dijadikan sama dengan dunia. Sifat 
kemahakuasaan dan supernatural Allah tidak diterima di dalam lingkup teologi 
imanensi. Memusatkan bangun teologi atas imanensi, seperti kata Jacobs, membawa 
                                                          
bahaya monisme atau bahkan panteisme. Yang menjadi pertanyaanyaitu , 
mengapa imanensi ini mendapat tempat? Orang modern yang semakin rasional, 
empirik dan pragmatis dalam kehidupannya sehari-hari, juga akan cenderung 
berpikiran sama di dalam memaknai Allah dan hubungannya dengan Allah. 
Ditambah dengan arah pergerakan dunia dan semua produknya ke hal-hal yang 
semakin praktis akan membuat dasar pijakan yang kokoh bagi teologi ini untuk 
berkembang. Pertanyaan selanjutnyayaitu , bagaimana seharusnya? 
 Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh Grenz dalam bukunya yang sangat 
bagus tentang 20th Century Theology. Teologi Kristen terbaikyaitu  teologi yang 
harus dibangun secara seimbang antara dua kebenaran ilahi yang paling hakiki 
yakni transendensi dan imanensi. Pada satu tangan, Allah terhubung dengan dunia 
secara transenden. Karena itu, Dia bukan bagian dari dunia dan melebihi alam 
semesta. Pengkhotbah mengatakan bahwa “Allah ada di Surga dan engkau di bumi” 
(Pkh 5:1). Sementara itu di tangan yang lain, Allah tampil sebagai pribadi yang 
imanen, yang artinya hadir di dalam ciptaan-Nya. Dia ada di dalam sejarah manusia, 
mengatur dan mengontrol alam semesta dan berada di dalam setiap proses yang 
berlangsung dalam dunia ini. Seperti Rasul Paulus katakan dalam salah satu 
kotbahnya kepada orang-orang Yunani dalam sebuah pertemuan di Aeropagus, “di 
dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kisah 17:28).46 Penekanan pada 
imanensi hanya akan membuat teologi berkembang mendukung perkembangan 
zaman yang makin sekular dan makin jauh dari kebenaran hakiki yang 
sesungguhnya yakni firman Allah. 
 
Menguatnya Teologi Sekularisasi 
Teologia sekularisasi akan menjadi salah satu pilar teologi abad ke-21 
dimana akan banyak orang yang semakin berpikir, bertindak dan berperilaku 
dengan cara memisahkan secara radikal dan tegas antara hal-hal sekular dan hal-
hal yang sakral. Akibatnya, hal-hal yang sakral ini  akan semakin terkunci di 
ruang yang paling pribadi dan dalam pengaruh yang makin dipersempit areanya47. 
Sebagai abad yang bercorak teknologi, agama yang sakral dan segala sesuatu yang 
sifatnya supernatural, tidak mendapat tempat dalam sistem budaya dan sosial. 
Sekularisasi banyak mengambil alih paradigma, nilai dan bahkan tindakan manusia. 
Orang mulai fokus pada hal-hal yang duniawi, yang ada di dalam dunia ini daripada 
urusan supernatural di dalam gereja. Dampaknya, pandangan orang mengenai iman 
Kristen mulai berubah dan mengalami pergeseran. Masyarakat berpaling pada azas-
azas ideologi lain sebagai sebuah tanggap sejarah atas perkembangan pemikiran 
baru di tengah arus modernitas. Salah satu penyebabnyayaitu  struktur 
pembentukan masyarakat Barat yang di awali dengan pra-anggapan pra-anggapan 
                                                          
sekuler (non-keagaamaan) dimana aktifitas beragama dipandang sebagai sebuah 
pilihan yang sangat pribadi bagi individu.48  
Dalam pandangan Karel Dobbelaere sekularisasiyaitu  suatu proses dalam 
masyarakat yang telah mengalami perubahan-perubahan struktural, di dalam mana 
suatu sistem keagamaan yang transenden dan mencakup segalanya disusutkan 
menjadi suatu subsistem dari masyarakat yang ada bersama subsistem-subsistem 
lainnya; proses ini membuat klaim-klaim tentang pencakupan segalanya itu 
kehilangan relevansinya. Dengan demikian, lembaga agama termarjinalisasi dan 
terprivatisasi.49  Dengan kata lain, aturan-aturan keagamaan tradisional, atau 
norma-norma yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan, akan semakin 
digantikan oleh norma-norma sekular atau betul-betul tersingkir, menjadi tidak 
dapat dipakai di dalam subsistem-subsistem pendidikan, keluarga, politik, 
hubungan sosial, ekonomi, dan sains, yang berbeda-beda.50 Bahaya dari teologi yang 
dibangun dengan cara seperti ini sangat jelas. Manusia sesungguhnya diarahkan 
semakin menjauh dari Tuhan. Jika dibiarkan terus tanpa kontrol, maka pintu bagi 
sekularisme menjadi terbuka selebar-lebarnya.51  Titik tolak teologi sekularisasi 
adalah munculnya penafsiran baru soal kehidupan kekristenan. Teologi iniyaitu  
hasil dari pemikiran para teolog Barat yang dipengaruhi oleh semangat modernisme 
yaitu rasionalisme dan sekularisme, yang sebetulnyayaitu  ciri masyarakat  abad 
ke-20.   
 Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada 
alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Para teolog ini 
beranggapan bahwa alam yang lebih nyata dan kerajaan yang sebenarnyayaitu  
realitas yang ada saat ini yaitu dunia. Sebagai milik Allah, manusia bukan berarti 
tanpa dunia. Manusia tinggal dan berada di dalam dunia dan harus menemukan 
sikap yang sebenarnya terhadap Allah dan dunia. Sikap yang benar ituyaitu  
membiarkan Allah tetap Allah dan dunia tetap dunia.52 Sebagai akibat semakin 
                                                           
Sekularisasi tentu saja berbeda dengan sekularisme. Pengertian yang sangat 
radikal dari sekularismeyaitu  sebuah upaya penolakan atau pengusiran agama dan 
pemikiran religius dari kehidupan manusia. Bahkan dapat mengarah pada usaha untuk 
menyangkal Tuhan seutuhnya (atheis). Pusat kehidupan sepenuhnyayaitu  dunia ini 
melalui akal budi manusia. Sekularisme menekankan pada usaha yang menggeser 
bahkan menyingkirkan Allah dari realitas kehidupan. Akibatnya, Allah tidak lagi 
dipandang sebagai sesuatu yang ada, Allah menjadi sesuatu yang abstrak dan tak 
terjangkau; sebaliknya, segala sesuatu dianggap lahir dari proses alamiah, natural; atau, 
sebagai proses yang berlangsung dalam dunia ini, yang dapat dipahami secara rasional 
berkat kemampuan akal budi manusia yang melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan 
teknologi. Bedanya dengan sekularisasiyaitu  posisi agama yang masih diakui walau 
tidak lagi mendapat peran publik. Sekularisasi tidak langsung menyangkal eksistensi 
Allah dan menginjinkan seseorang memeluk agamanya secara pribadi. Keyakinan 
seseorang melalui agamanya tidak boleh mencampuri berbagai persoalan yang ada di 
tengah masyarakat.  
sekulernya masyarakat di zaman modern, terjadi perubahan radikal di dalam 
memandang gereja, ajarannya dan terhadap kitab suci. Gereja dan otoritas kitab suci 
mulai dipertanyakan dan beberapa isinya dianggap tidak relevan lagi. Muncul 
pendekatan baru terhadap kita suci dengan memperlakukannya sebagai produk 
literer. Dalam anggapan ini, Alkitab diperlakukan sebagai dokumen-dokumen yang 
lahir dari sejarah. Inilah yang kemudian melahirkan pendekatan yang bersifat kritis-
historis terhadap Alkitab. ada banyak tokoh dan teolog yang ikut menggagas 
teologi sekularisasi seperti Thomas J.J Altizer, William Hamilton, Gabriel Vahanian 
dan Richard Rubenstein.53 Pokok pikiran mereka mendukung konsep Allah mati di 
dalam dunia modern.54 
Salah seorang teolog yang mencoba melakukan pendekatan baru dengan 
dengan dunia modernyaitu  Friederich Gogarten (1887), seorang pakar di dalam 
ilmu teologi. Gogarten memikirkan suatu konfrontasi iman Kristen dengan  realitas 
dunia yang telah berubah menjadi sekuler. Menurutnya, sekularisasiyaitu  produk 
iman Kristen sendiri; sebuah gejala post-Kristen sebagai akibat yang wajar terjadi. 
Iman Kristen mendorong manusia untuk menguasai dan mengelola bumi. Manusia 
bukan hanya manusia yang tanpa Allah melainkan juga bukan manusia yang tanpa 
dunia. Manusia berada di antara Allah dan dunia dan harus menemukan sikap yang 
sebenarnya terhadap keduanya. Itulah sebabnya Gogarten setuju membiarkan Allah 
tetap Allah dan manusia tetap manusia. Untuk itu, Gogarten membedakan dua 
macam sekularisasi. Yang pertamayaitu  sekularisasi yang tetap terikat pada iman 
Kristen dan itulah yang harus diperjuangkan. Jangan sampai sekularisasi berubah 
jadi sekularisme (bentuk kedua), yakni sekularisasi yang melepaskan diri dari iman 
Kristiani. Sekularisme merupakan penyelewengan dari sekularisasi. Inilah yang 
menjadi tugas iman Kristen di dalam teologi sekularisasi, melindungi sekularisasi 
agar tidak menyeleweng menjadi sekularisme. 
Tokoh kedua yang mendukung teologi sekularisasi ialah Dietrich 
Bonhoeffer (1906-1945). Belajar teologi di Union Theological Seminary New York 
sebelum akhirnya menjadi dosen teologi di Berlin. Ia juga sempat belajar di 
Universitas Tubingen. Saat kembali ke Jerman Bonhoefferyaitu  salah seorang 
penentang Nazi dan arogansi Hitler dengan ras Arya-nya. Aktifitas politiknya 
membuat ia dilarang berbicara di depan umum dan juga dilarang menulis atau 
mengedarkan buku. Ia ditangkap dan dipenjarakan tahun 1943 dan dihukum mati 
oleh Nazi pada tahun 1945, beberapa hari sebelum Jerman menyerah pada sekutu. 
Di dalam penjara ia menulis sebuah karya yang terkenal Letters and Papers from 
Prison. Pemikirannya sangat terinspirasi oleh Karl Bath. Bonhoeffer mendukung 
pemikiran Gogarten mengenai kemampuan akaliah manusia yang telah 
                                                          
berkembang sehingga menjadikan dunia menjadi sekuler. Ituyaitu  bagian dari 
sejarah yang mau tidak mau harus disikapi. Dalam pandangan Bonhoeffer, 
sekularisasi telah mengakhiri keberadaan agama. Dalilnya yang terkenal 
menyebutkan bahwa zaman sekarang iniyaitu  zaman akhir religi karena sudah 
bukan zamannya lagi orang dipengaruhi dengan kata-kata yang saleh.
Bagaimanapun teologi sekularisasi bukanlah teologi yang membawa 
kembali otoritas Alkitab sebagai firman Allah yang hidup. Pandangan orang sekuler 
terhadap Alkitab justru bertolak belakang dengan misi dan keberadaan Alkitab itu 
sendiri sebagai penyataan khusus Allah kepada manusia. Bahkan kalau dunia ini 
disebut sekular, maka tugas orang Kristen bukanlah menjadi ikut sekular seperti 
dunia tetapi justru mengubah dunia dengan menggaraminya menggunakan firman 
Allah. 
 
Berkembangnya Teologi Akhir Zaman 
Abad ke-21yaitu  abad dimana teologi eskatologis (dari bahasa Yunani 
yang berarti ‘terakhir’) akan kembali menjadi isyu teologi terpenting. Baru-baru ini 
film tentang akhir zaman berjudul 2012 menjadi bahan pembicaraan yang ramai. 
Film itu diangkat dari beberapa  buku konspiratif yang disusun berdasarkan 
penanggalan kalender suku bangsa Maya yang meramalkan bahwa pada tanggal 21 
bulan 12 tahun 2012, terjadi pergantian menuju tahun baru dalam penanggalan 
Maya. Hebohnya penanggalan ini muncul karena bangsa Maya meyakini bahwa 
dalam siklus penanggalan mereka, tanggal ini  sekaligus menandai era baru di 
dalam sejarah manusia.57 Pada titik inilah teori konspirasi mulai muncul dan seperti 
efek domino, kiamat tahun 2012 menjadi topik paling hangat. Berbagai pakar mulai 
melihat kemungkinan itu dari sudut pandangan keilmuan masing-masing. Apalagi 
dalam konteks kebudayaan Maya, disetiap akhir siklus kalender mereka, 
menyongsong abad yang baru, selalu terjadi bencana alam, saking hebatnya dapat 
menghancurkan sebuah peradaban.58 Apakah ini yang disebut kiamat? 
Persoalan yang selalu terulang dari sebuah teologi eskatologisyaitu  tidak 
ada seorangpun yang mampu meramalkan dengan tepat kapan sebetulnya kiamat 
atau akhir zaman itu berlangsung dan dengan cara apa Tuhan bekerja. Banyak bidat-
bidat dan pengajaran Kristiani yang sesat dalam membangun teologi akhir 
zamannya, selalu berakhir dalam situasi yang sama, ramalan mereka akhirnya tidak 
terbukti. Pertanyaannya, mengapa ini menjadi sebuah tren di abad ke 21? Bisa jadi, 
pragmatisme, rasionalisme dan empirisme telah mengikis sikap peduli manusia 
terhadap hal-hal yang sakral. Sementara itu, dalam pergumulan menjalani hidup di 
dunia ini terbukti bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan oleh manusia dengan 
segala kehebatan dan kepintarannya. Artinya, natur manusia yang terbatas itu 
selalu mengikuti pencapaian apapun yang telah berhasil dilakukan manusia. Itulah 
sebabnya muncul pengharapan akan keadaan yang jauh lebih baik, pengharapan 
akan masa depan yang menjamin kehidupan kekal.  
Ciri khusus dari eskatologi Kristenyaitu  sifat sentralitas Kristus. 
Kedatangan-Nya yang kedua kalinya akan menandai berakhirnya era manusia dan 
mulainya era pemerintahan seribu tahun. Eskatologis bukan hanya mengajak orang 
untuk merenungkan secara pribadi tentang nasib akhir dirinya, tetapi lebih untuk 
                                                           
membiarkan perspektif pengharapan yang ada didalamnya mempengaruhi 
kehidupan secara menyeluruh. Jika teologi semacam ini yang dibangun, maka 
tentulah alkitabiah. Tetapi perkembangan teologi akhir zaman yang berkembang 
belakangan ini justru tidak memiliki ciri eskatologi Kristen dan terjebak pada 
konspirasi yang dirancang oleh pandangan agama lain, para ilmuwan dan scientific 
dan juga oleh penulis-penulis buku popular. Bahaya membangun teologi eskatologi 
yang melenceng dari natur kekristenan sangat mengerikan. Terjadi penipuan dan 
rekayasa, bahkan munculnya sikap manipulatif untuk membentuk opini manusia, 
termasuk dalam membentuk opini orang percaya melalui kutipan firman Tuhan. 
Eskatologis akhir zaman seharusnya membangkitkan pengharapan 
mesianik yang kuat dan bukan justru membangun ketakutan atau kekuatiran. 
Alkitab memang secara tegas menyatakan bahwa akhir zaman akan tiba secara 
misterius. Tetapi Alkitab sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang kapan 
tepatnya terjadi. Misteri di dalam tema ekstatologis telah menarik banyak minat 
teolog dari masa ke masa yang telah mencoba mengembangkan dan 
menafsirkannya. Besar kemungkinan bahwa dalam menyongsong paruh kedua abad 
ke-21 yang akan datang, tema eskatologis ini akan semakin menjadi bahan 
pembicaraan sekaligus perdebatan baik di kalangan teolog, gereja maupun awam. 
Di antara beberapa  alasannya, faktor melemahnya teologi kemakmuran yang 
sempat mendominasi pengajaran teologi abad kedua puluh, telah membuka 
kesempatan bagi hadirnya tema eskatologis sebagai rancang bangun pengganti yang 
akan populer. 
 
Bentuk Baru Teologi Liberal 
 Bursa buku teologi di negara kita  akhir-akhir ini menjadi semakin ramai 
dengan hadirnya beberapa  bacaan yang selama ini terkesan tabu dibicarakan dalam 
lingkup teologi gereja. Bacaan-bacaan yang oleh gereja mula-mula digolongkan 
sebagai bidat dan ajaran sesat, justru telah menarik minat kalangan akademik untuk 
menyelidikinya dan memperkaya pengetahuannya. Setelah dunia teologi 
dihebohkan dengan penemuan makam Talpiot maka bermunculan berbagai teori 
konspiratif tentang Yesus, kredibilitas keilahian-Nya dan orisinalitas ajaran-Nya 
dalam Injil. Hadirnya buku-buku yang membeberkan injil-injil tersembunyi seperti 
Injil Filipus, Injil Maria Magdalena, Injil Yudas dan juga keberadaan surat-surat yang 
selama ini tertutup dari kalangan awam seperti Surat Henokh, telah memancing 
perdebatan seru tentang keilahian Yesus Kristus. 
 Sebetulnya isu ini  di atas bukan hal yang baru dalam dunia teologi. 
Tetapi melihat tren yang ada dalam perkembangan pengetahuan (penemuan-
penemuan baru dari naskah-naskah kuno dan sifat publisitasnya yang gencar), 
tantangan Injili yang terbesar di abad ke-21yaitu  menghadapi rancang bangun 
teologi liberal yang makin solid dan meluas. Salah satu usaha dari kelompok liberal 
iniyaitu  membuang semua unsur yang bersifat supernatural dalam kekristenan. 
Usaha yang paling nyata dilakukan oleh kelompok Yesus Seminar. 
 Yesus Seminar yaitu  kelompok para sarjana Alkitab liberal yang bergabung 
dengan satu tujuan yakni mengkaji keotentikan kitab-kitab Injil melalui 
penyelidikan ilmiah mengenai perbuatan dan perkataan Yesus. Asumsi mereka 
                                                          
adalah Injil tidak otentik kecuali jika dibuktikan terbalik.61 Kesimpulan dari 
kelompok ini sangat mencengangkan. Menurut mereka, Yesus tidak pernah 
menuntut diri-Nya sebagai Mesias dan tidak bernubuat tentang akhir zaman. 
Ucapan Yesus pada malam perjamuan kudus dianggap sebagai rekaan para murid, 
dan doa bapa kami tidak diajarkan oleh Yesus melainkan disusun oleh para 
pengikut-Nya.62 Kelompok ini semula terdiri dari 200 anggota tetapi berkurang 
menjadi 74 orang pada saat mereka mempublikasikan buku penelitian mereka The 
Five Gospels. Mereka dengan seksama memeriksa keempat Injil (termasuk juga Injil 
Thomas) dan berusaha menemukan autentisitas setiap perkataan Yesus.63 Berbeda 
dengan edisi tradisional yang menggunakan warna merah untuk perkataan Yesus, 
kelompok Yesus seminar menggunakan empat warna. Jika itu berwarna merah, 
maka ituyaitu  perkataan Yesus. Merah muda berarti, kedengarannya seperti 
perkataan Yesus. Warna abu-abu artinya, itu mungkin perkataan Yesus. Sedangkan 
warna hitam artinya, telah terjadi kesalahan. 
 Rancang bangun teologi liberal di abad ke-21 akan semakin mencari bentuk-
bentuknya yang baru dan tentu saja semua usaha itu akan langsung menyerang inti 
Kekristenan yang selama ini bertahan hingga ribuan tahun yakni keilahian Yesus 
Kristus. Dengan dipadukannya berbagai disiplin ilmu seperti antropologi, sosiologi, 
sejarah dan penelitian ilmiah ke dalam ilmu teologi, maka tidak tertutup 
kemungkinan di abad ke-21 akan terjadi banyak gugatan yang lebih sistematis 
dengan bobot yang lebih besar terhadap isu-isu dasar kekristenan. Teologi liberal 
dapat menjelma di dalam berbagai forum dan sekolah-sekolah Alkitab untuk 
menghancurkan dasar kekristenan yang paling hakiki. 
 Hadirnya beberapa  Injil tersembunyi dalam ranah publik patut diwaspadai 
sebagai usaha teologi liberal yang tersamar dalam memberikan informasi 
menyesatkan kepada masyarakat yang selama ini menjadikan Alkitab sebagai 
pegangan satu-satunya terhadap kebenaran. Keberadaan buku-buku ini  dapat 
menggoncang iman. Melihat berbagai tanda dan ciri perkembangan masyarakat 
modern di abad ke-21, maka dapat disimpulkan bahwa gugatan demi gugatan 
terhadap Alkitab dan kebenaran ilahi Yesus Kristus akan semakin mengkristal. 
Inilah tantangan utama bagi gereja agar umat Tuhan tidak terpengaruh oleh 
berbagai situasi ini  dan tetap memegang teguh kepercayaannya. 
 ada banyak kecenderungan dan perkembangan lain yang mungkin 
menjadi ciri rancang bangun teologi abad ke-21 tetapi paling tidak, empat analisis 
di atas dapat membuka wawasan kita mengenai bentuk teologi apa yang 
                                                         
berkembang di zaman modern ini dan dapat membaca kemana arahnya. Melalui 
fenomena ini , gereja tentu saja dituntut untuk bersikap dan memposisikan 
diri.   
Dalam bagian penutup ini akan dibahas bagaimana sebaiknya gereja 
membangun suatu rancangn bangun teologi di tengah berbagai tantangan dan 
derasnya konsekuensi akibat kemajuan zaman di abad ke-21. 
Pertama, gereja perlu membangun kembali teologi Kristen abad ke-21 yang 
memberikan jawaban terhadap berbagai perkembangan dan kemajuan di dalam 
penelitian Alkitab. Dalam hal ini, gereja tidak perlu takut goncang ataupun 
terintimidasi. Fakta sejarah selalu membuktikan bahwa Allah ikut membela gereja-
Nya dan itulah yang akhirnya membuat gereja bisa bertahan di sepanjang sejarah 
yang penuh dengan pergolakan. Jika pada masa-masa sebelumnya pernah terjadi 
usaha para bapa Apologetik membela imannya, maka tantangan kontroversial yang 
mengguncang iman Kristen di abad ke-21 ini hanya dapat dihadapi dengan 
kontruksi ajaran yang benar dan usaha untuk tetap berdiri di atas ajaran itu. 
Rancangan bangun teologi abad ke-21 memang menjadi sebuah kebutuhan 
mendesak yang perlu dipikirkan gereja supaya usaha menggarami dunia ini tidak 
terhambat dengan berbagai perkembangan yang justru bertolak belakang dari iman 
dan ajaran Kristen yang ada. 
Kedua, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah rancang bangun teologi 
selalu disusun berdasarkan kebutuhan zaman. Maka kebutuhan zaman di abad ke-
21 perlu diidentifikasi oleh teolog-teolog Injili supaya melalui rancangan bangun 
ini , teologi Injili dapat menjadi jawaban ditengah derasnya arus modernisasi 
dan globalisasi dunia. Kini semua orang bisa menafsirkan Alkitab secara bebas dan 
bebas pula menggunakannya untuk kepentingan apapun. Bahkan semua orang bisa 
bebas untuk percaya Alkitab atau tidak. Melalui rancang bangun teologia abad ke-
21, kekristenan akan dilahirkan dalam zaman yang serba post-modern ini sebagai 
satu-satunya jalan bagi kebahagiaan, kebenaran dan keselamatan. Munculnya 
agama-agama lain dan agama-agama alternatif sebagai ciri masyarakat modern 
jangan dianggap sebagai ancaman terhadap kekristenan. Justru melalui fenomena 
ini , kekristenan dapat memposisikan  dirinya sebagai satu-satunya teologi 
tahan uji yang membawa pada jalan keselamatan. 
Ketiga, teologi yang muncul di abad ke-21 tidak lagi bersifat holistik. Juga 
tidak akan muncul teolog-teolog dunia seperti yang pernah terjadi masa 
sebelumnya. Yang bermunculanyaitu  teolog-teolog lokal yang terkonsentrasi 
untuk membahas isu-isu lokal. Untuk itu perlu dipersiapkan jalur formal yang 
memadai bagi para teolog lokal ini, misalnya melalui jalur pendidikan resmi, agar 
saat berteologi, mereka memiliki dasar pijakan yang kokoh dan tidak goyah 
menghadapi arus liberalisme dalam kekristenan. 
Keempat, salah satu fenomena yang harus disikapi oleh teologi Kristen di 
abad ke-21yaitu  kecenderungan manusia untuk mempertanyakan transendensi 
Allah dan sifat-sifat supernatural-Nya. Hal ini terjadi karena manusia sudah 
terkooptasi oleh kemajuan berpikir sainstik dan teknologi dan lebih berpusat pada 
dirinya sendiri. Usaha-usaha yang menggugat kekristenan akan menjadi agenda 
terpenting disepanjang abad ini. Maka gereja perlu merapatkan barisan dan tidak 
lagi terpecah di dalam denominasi sehingga bersaing memperebutkan jemaat. 
Kelima, salah satu keberhasilan gereja mula-mula di zaman para rasul dan 
Bapa Apostolikyaitu  kuatnya mereka dalam memegang ajaran dan tidak 
bersandar pada pengertiannya sendiri. Inilah yang seharusnya menjadi landasan 
utama bagi penyusunan ajaran teologi abad ke-21, sebuah teologi yang membawa 
kita semua mendekat dan lebih dekat lagi pada-Nya. Seperti firman Tuhan ajarkan, 
dalam Yeremia  9:23-24,   "Janganlah orang bijaksana bermegah karena 
kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah 
orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, 
baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, 
bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di 
bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN."