teologi 16
By tuna at Januari 19, 2024
teologi 16
Hubungan budaya dan teologi dipahami secara beragam. Deskripsi budaya secara
sempit telah membedakan dan memisahkannya dari teologi. Sebaliknya deskripsi teologi
yang sempit juga mengesampingkan budaya. Tulisan ini bermaksud mendeskripsikan budaya
dan teologi secara proporsional baik secara umum maupun alkitabiah. Kemudian
mendeskripsikan korelasi antara budaya dan teologi serta menetapkan apa peran teologi
terhadap budaya. Khususnya dalam konteks paradigma ’multikultur’ yang sarat dengan
konflik antar etnis dan religi di dunia pada umumnya dan negara kita pada khususnya,
bagaimana teologi berperan memberi alternatif solusi. Untuk itu diusulkan terbentuknya
rancang bangun ’Teologi Multikultur’ yaitu suatu teologi yang didisain berbasis prinsip-
prinsip alkitab yang menjadi pedoman bagi orang kristen dalam membangun hubungan
dengan orang lain yang berbeda etnis dan religi. Prinisp-prinsip ini bermaksud untuk
mempertemukan segala perbedaan dalam masyarakat pada tataran etis, yang didasarkan pada
prinsip teologis.
Berteologi dan berbudaya acapkali dianggap sebagai dua aktifitas yang terpisah karena
keduanya diklaim memiliki karakteristik yang berbeda. Secara ekstrim ada yang memilih
sikap ’dualistik’ dimana keduanya dipandang sebagai fenomena yang berbeda sama sekali.
Dalam perspektif seperti itu, berteologi berarti hanya berurusan dengan Tuhan saja
(vertikalisme). Sedangkan berbudaya yaitu aktifitas antar sesama manusia dan
lingkungannya (horisontalisme). Memang selain sikap dualistik, sejarah gereja mencatat
beragam sikap iman Kristen (baca: ’berteologi’) terhadap budaya. Ada sikap ’Antagonis’
yaitu sikap menentang kebudayaan. Ada sikap ’Akomodatif’ yaitu sikap dimana gereja
mengakomodir budaya. Ada juga sikap ’dominatif’ yaitu sikap gereja yang mendominir nilai-
nilai dan praktik budaya. Namun ada juga sikap ’revisionis’ dimana iman Kristen berperan
’merevisi’ budaya.
Sejatinya aktifitas berteologi dan berbudaya terfokus pada ’subyek’ yang sama yaitu
’manusia’. Manusialah yang berteologi dan berbudaya. Karena keduanya dilakukan oleh
pribadi yang sama, maka interaksi keduanya tak terhindarkan. Itu sebabnya para teolog
berteologi bersama budaya. Sebaliknya, para budayawan tak dapat menghindarkan budaya
dari aspek teologi. Yang menjadi pertanyaan yaitu bagaimana keduanya dikorelasikan? Bagi
teolog Kristen, berteologi berarti memandang dan mengelola budaya manusia dalam
perspektif iman Kristen yang berbasis pada Alkitab. Dalam arah itu, para teolog telah dan
sedang berteologi sekaligus berbudaya. Misalnya karya-karya tahun 1950-an, Richard
Niebuhr menulis bukunya yang berjudul “Christ and Culture” (1951). Paul Tillich juga
menulis buku berjudul “Theology of Culture” (1954). Karya-karya selanjutnya yang
menyusul di antaranya: karya Charles Kraft berjudul “Christianity and Culture” (1979),
karya Aylward Shorter berjudul “Toward a Theology of Inculturation” (1988), dan karya
Louis Luzbetak berjudul “The Church and Cultures” (1988).
Karena itu tulisan ini bermaksud mengonfirmasi hakikat peran atau fungsi teologi
terhadap budaya. Untuk itu, perlu dideskripsikan terlebih dahulu pengertian ‘budaya’ secara
umum dan alkitabiah, paradigma multikultur, dan kemudian dijelaskan bagaimana tugas
teolog dalam merancang bangun teologi multikultural.
menanam, menghias, mendiami”. Dari arti dasar ini , bangsa Romawi
menggunakannya dalam relasinya dengan pengerjaan tanah (agricultur: pertanian),
pemeliharaan, pengembangan dan penyemaian bakat rohani (cultura-animi). Bahasa
negara kita mengadopsi kata cultura (Inggris: culture) menjadi ‘kultur’ untuk menyebutkan
hal-hal yang berhubungan dengan pengusahaan dan pemeliharaan hal-hal material seperti:
sawah, ladang, tanah liat, batu, tubuh manusia dan hewan. Namun kemudian pengertian kata
‘kultur’ juga digunakan untuk hal-hal rohani, akal budi, kesenian, ilmu pengetahuan dan
sebagainya. Dalam bahasa negara kita kata ‘kultur’ sering disebut juga sebagai “peradaban,
cara hidup dan kebudayaan.” Dari tiga padanan kata ini kata ‘kultur’ lebih banyak
dimengerti sebagai ‘kebudayaan’.
Istilah ‘kebudayaan’ itu sendiri dibentuk dari kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu:
‘budi’ dan ‘daya’. Kata ‘budi’ dimengerti sebagai ‘roh’ atau ‘akal’, sehingga tidak hanya
dimengerti sebatas rasio. Pada dasarnya kebudayaan menunjuk kepada segala sesuatu yang
diciptakan oleh budi manusia. Dalam perkembangannya pengertian kebudayaan menjadi
sangat beragam. Ada yang mendefinisikannya secara sempit yaitu sebatas ‘kesenian’ saja.
Sebaliknya, para antropolog dan sosiolog mengartikannya secara luas. Edward Tailor
mendefinisikan,“Culture is that complex whole included knowledge, belief, art, morals, law,
custom and any other capabilities and habits aquared by man as member of society”.
Definisi ini dikembangkan lagi menjadi,“Culture is learned and shared attitudes,
values, and way of behavior of the members of society”. Itu menunjukkan bahwa ruang
lingkup kata ‘kultur’ mencakup seluruh aspek dari kehidupan manusia. Mengingat pengertian
kebudayaan yang sedemikian luas, maka Kuntjoroningrat mensinyalir adanya 160 definisi
tentang kebudayaan. Namun Kuntjoroningrat sendiri mengklasifikasi bahwa pada dasarnya
kebudayaan itu berisi,“sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, sistem
teknologi dn peralatan.” Kesemuanya itu mewujud dalam kompleks ide-ide atau nilai-nilai,
kompleks aktivitas kelakuan berpola dan benda-benda hasil karya. Dari wujud ini
diketahui bahwa kultur meliputi baik yang bersifat ‘material’ maupun ‘non material’.
Akhirnya ia sendiri menyimpulkan kebudayaan sebagai,“Keseluruhan gagasan dan karya
manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya itu”. Kesimpulan ini menunjukkan aspek ‘asal’ atau ‘dasar’ budaya, proses
budaya dan hasil budaya. pengertian
kebudayaan dari beberapa antropolog terkini dengan definisi:
Culture is that integrated pattern of socially acquired knowledge, particularly
Ideas, belief, and values (ideology) mediated through language, which a people
uses to interpret experience and generate patterns of behavior- technological,
economic, social, political, religious, and artistic – so that it can survive by
adapting to relentlessly changing circumstances.
Pada dasarnya definisi Larkin hendak merangkum aspek-aspek hidup manusia secara
menyeluruh.
Selain para Antropolog dan Sosiolog, para teolog juga memandang kebudayaan secara
luas. Misalnya, Louis Luzbetak dalam bukunya “The Church and Culture” seperti
dipaparkan ulang oleh Agus G. Satyaputra:
Budaya yaitu “a design for living” yang merupakan suatu rencana dimana
sebuah masyarakat mengadaptasikan diri kepada lingkungan fisik, sosial dan ide.
Rencana untuk mengatasi lingkungan fisik meliputi hal memproduksi makanan,
semua pengetahuan dan ketrampilan teknologi. Sistem politik, kekerabatan dan
organisasi keluarga serta hukum merupakan contoh dari adaptasi sosial yakni
rencana yang menyangkut hubungan dengan orang lain. Sedangkan cara manusia
mengatasi lingkungan ide yaitu melalui pengetahuan, seni, ilmu magis, ilmu
pengetahuan, filsafat dan agama. Secara essensial, budaya merupakan jawaban
terhadap masalah-masalah manusia.
Meski Luzbetak mencoba merinci korelasi di antara aspek-aspek dalam kehidupan
masyarakat, namun secara esensial ia menyetujui bahwa budaya meliputi keseluruhan aspek
hidup manusia. Hanya saja ia memberi penekanan bahwa budayalah yang mendisain
kehidupan. Dengan kata lain tanpa budaya tidak mungkin ada suatu tata kelola kehidupan
manusia.
Seluruh pengertian di atas menunjukkan bahwa kebudayaan mencakup seluruh aspek
hidup manusia atau dapat dikatakan kebudayaan merupakan aktualisasi totalitas eksistensi
manusia itu sendiri.
ada di sekitarnya, baik kepada Allah, sesamanya manusia maupun alam semesta. Karena itu,
Allah memberi tugas budaya kepada mereka. Verkuyl menjelaskan hal ini:
Allah yang hidup yaitu Allah yang menciptakan manusia dengan mata yang
dapat melihat, dengan otak yang dapat berpikir, dengan tangan yang dapat
membangun, supaya manusia itu, atas nama Tuhan, menakhlukkan dunia
kepadanya. Allah Sang Pencipta, yaitu pula Pemberi tugas kebudayaan.
Penjelasan ini hendak menegaskan adanya potensi pada diri manusia yang
memungkinkannya untuk berkreasi memelihara keberlangsungan kehidupannya. Pada
umumnya, para teolog dan etikus, memulai pembicaraan mengenai kebudayaan dari Kejadian
1:28 yang kemudian disebut sebagai Mandat Kebudayaan yang lengkapnya berbunyi:
Allah memberkati mereka lalu Allah berfirman kepada mereka: ”Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan takhlukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan
di laut dan burung-burung di udaradan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
Kata kunci ayat di atas ialah ”kabash” ( Inggris: subdue) artinya, ”takhlukkanlah
atau jadikan mereka hamba”. Kata ini dipakai 15 kali dalam PL yang diartikan
’menundukkan lawan’ atau ’menakhlukkan lawan’. Bila ditelusuri akar kata kerjanya berarti
’menginjak’. Sebab itu, laki-laki diciptakan untuk memerintah dengan cara yang
memperlihatkan kekuasaannya (jika perlu dengan paksa) dan kedudukannya sebagai tuan atas
segala ciptaan. Kata ini bisa bermakna negatif karena bisa berarti pemakaian kekuatan
secara sewenang-wenang. Namun dapat juga dalam pengertian positif yaitu: memikirkan,
mengerjakan, mengusahakan, mengolah alam dengan melestarikannya. Dalam konteks
Kejadian 1:28 pastilah Allah memaksudkan kata ’kabash’ dalam arti positif agar dengan
mengelola alam secara bertanggung jawab manusia memenuhi segala kebutuhannya bahkan
bermanfaat untuk generasi berikutnya.
Mandat kebudayaan ini sudah diberikan Allah sebelum manusia jatuh dalam
dosa. Allah menempatkan mereka di taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara tanah
itu (Kej 2:15). Di taman itulah untuk pertama kalinya manusia mengeksplorasi sumber
kebudayaan dan sumber kerjanya. Karena itu bekerja yaitu perintah Allah, bukan akibat
dosa. Allah telah menjadikan kerja sebagai hakikat hidup manusia.184 Dengan mandat
kebuduyaan itu, manusia mengembangkannya dalam semua bidang ilmu pengetahuan dan
kebudayaan untuk tujuan memuliakan Allah dan menyatakan kasih kepada sesama manusia
agar menjadi hamba Allah yang lebih benar, lebih pandai, dan lebih mulia. Namun sesudah
kejatuhan manusia dalam dosa mandat kebudayaan ini tidak pernah dicabut. A.F.
Glasser menegaskan hal ini seperti dikutip oleh Petrus Octavianus:
”Walaupun manusia jatuh ke dalam dosa, amanat kebudayaan tidak pernah
ditarik kembali...Manusia bahkan di dalam kejatuhannya sekalipun tetap berada
terus di bawah kewajiban serta dorongan ilahi untuk menemukan serta memakai
kekuatan-kekuatan alam di sekitarnya dan untuk melibatkan dirinya di segala
segi keberadaan manusia.”186
Untuk itu dalam keberdosaannya manusia terus melaksanakan mandat
kebudayaannya. Alkitab mencatat berbagai keahlian yang dikembangkan manusia, seperti:
Yabal sebagai orang yang tinggal di kemah dan peternak, Yubal sebagai pemain kecapi dan
seruling, dan Tubal Kain sebagai penempa tembaga dan besi (Kej 4:17-22). Namun demikian,
karena akibat dosanya manusia tidak lagi menghasilkan kebudayaan yang selaras dengan
kemuliaan Tuhan. Karya budaya manusia justru memberontak Allah.187 Ini nampak dalam
kehidupan generasi berikutnya, yaitu ketika Kain membunuh Habel karena kultusnya dengan
mempersembahkan hasil kulturnya tidak diterima Allah (Kej 4). Selain peristiwa itu,
pemberontakan ’menara Babel’ juga menunjukkan aktualisasi budaya manusia yang
183Sihombing, 77-78
184A.A.Sitompul, Manusia dan Budaya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 4.
185Verkuyl, 2.
186Petrus Octavianus, Identitas Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman Allah (Batu-Malang: YPPII, 1985), 12.
187Ibid., 12.
128
memberontak Allah. Akibatnya mereka dikacaukan dan diserakkan dengan berbagai bahasa
(Kej 11). Sejak itu pengaruh dosa telah merasuk ke seluruh aspek budaya manusia. Bahkan
kebudayaan telah menjadi bagian integral keberdosaan. Stephen Tong menyebut keadaan itu
dengan menyatakan,”Kebudayaan telah didistorsi oleh dosa, bayang-bayang kejatuhan berada
di dalam kebudayaan.”188 Hubungan antara ’kultur’ dan ’kultus’ manusia telah rusak.189
Bahkan segala kecenderungan hati manusia membuahkan kejahatan semata-mata, sehingga
telah membuat Allah merasa menyesal telah menciptakan manusia (Kej 6:7).
Namun demikian Allah tetap mengasihi manusia. Ia tetap merindukan untuk
bersekutu dengan manusia yang diciptakan-Nya menurut gambar dan rupa-Nya (Kej 1:26-
27). Sesaat sesudah kejatuhan Adam dan Hawa, Ia segera menyatakan rencana karya
penyelamatan-Nya dalam Kejadian 3:15 yang kemudian dikenal sebagai ’proto
euanggelion’. Rancangan penyelamatan Allah itu mulai dinyatakan dengan pemilihan dan
panggilan Abraham sebagai bapa orang beriman (Kej 12) dan melahirkan bangsa Israel yang
dipilih sebagai umat-Nya. Puncak karya-Nya digenapi di dalam dan melalui Yesus Kristus
sebagai inkarnasi Allah (Yoh 1:1-3, 14). Melalui karya salib-Nya (Flp 2:6-8) Allah menebus
manusia berdosa untuk melepaskan mereka dari kuasa kegelapan dan memindahkannya ke
dalam kerajaan Anak-Nya yang kekasih (Kol 1:13). Siapa yang menerima Kristus telah
menjadi ciptaan baru (2Kor 5:17) dan terus menerus mengalami pembaharuan budinya (Rm
12:2).
Karya Kristus telah memungkinkan pemulihan relasi antara manusia dengan Allah
yang terputus akibat dosa. Pemulihan hubungannya dengan Allah ini terefleksi dalam seluruh
kebudayaannya, karena karya Kristus juga memulihkan seluruh aspek kebudayaannya untuk
kembali kepada kemuliaan Allah. Petrus Octavianus menyatakan:
Peranan orang Kristen dalam kebudayaan yaitu unik. Sebab oleh anugerah
Allah di dalam Yesus Kristus, matanya dicelikkan kepada pernyataan Allah yang
khusus tentang kehendak Allah bagi umat manusia. sesudah menjawab penggilan
Allah, seharusnya orang Kristen tidak meninggalkan kebudayaannya. Tetapi
menilainya kembali dalam terang firman Allah yang supra-kulturil dan
multikulturil (Supra-kultural karena merupakan kaidah yang mutlak untuk
menilai segala kebudayaan dan peradaban manusia. Multi-kulturil sebab
mencakup semua kebudayaan dan juga relevan terhadap semua kebudayaan).
Karena itulah manusia yang telah diperbaharui memiliki sikap yang baru dalam
memandang kebudayaan, seperti dilakukan Yesus Kristus ketika hidup sebagai orang Yahudi
dan tinggal dalam konteks budaya Yahudi. Sikap Yesus terhadap kebudayaan ini sudah
dijelaskan oleh H Richard Nieburh dalam bukunya Christ and Culture dalam lima sikap
yaitu: 1) Christ against culture (Kristus lawan kebudayaan), 2) Christ of Culture (Kristus dari
kebudayaan, 3) Christ above culture (Kristus di atas kebudayaan), 4) Christ and culture in
paradox (Kristus dan kebudayaan dalam paradoks), 5) Christ, the transformer of culture
(Kristus mentranformasi kebudayaan). Sedangkan Charles H. Kraft dalam bukunya,
Christianity in Culture: A Study in Dynamic Biblical Theologizing in Cross Cultural
Perspective memperluas klasifikasi Niebuhr. Menurut Kraft, 1) Posisi Allah melawan
kebudayaan ada dua macam yaitu: Allah sebagai Pahlawan budaya dan Allah sebagai
Penganjur salah satu kebudayaan, 2) Posisi Allah di atas kebudayaan dibagi dalam lima sikap:
Allah di atas kebudayaan dan tidak peduli terhadapnya, pandangan sintetik, dualis,
conversionis, dan Allah di atas tetapi melalui kebudayaan.
Kraft sendiri berdiri pada pandangan yang ia sebut ”The God above but through
culture position”.192 Allah dipahami bersifat transenden-absolut yang secara mutlak berada di
luar budaya. Allah berada di atas semua budaya namun memakai budaya untuk berinteraksi
dengan manusia. Budaya itu sendiri secara esensial bersifat netral dan menjadi alat bagi
manusia meskipun telah dipengaruhi dosa, sehingga pemakaian seluruh aspek budaya tidak
lagi murni. Tentang hal ini Kraft memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang berada di luar
diri manusia yang bersifat netral. Sherwood Lingenfelter tidak sependapat mengenai
kenetralan budaya ini. Menurutnya, Kraft kurang menangkap presensi dosa dalam dosa dalam
pikiran dan kehidupan manusia. Budaya bagaikan ’slot machine’ yang hanya melayani interes
dan keuntungan pribadi dan kelompok.
Namun pada prinsipnya Allah yang menciptakan budaya, sehingga Ia berada di luar
budaya, tetapi Ia bekerja di dalam dan melalui budaya. Ia tidak dikuasai budaya, melainkan
secara bebas memilih menggunakan budaya untuk berinteraksi dengan manusia. Ia tetap
menghendaki agar manusia berdosa diselamatkan bersama seluruh aspek-aspek budaya pada
dirinya, sehingga melalui pembaharuannya itu orang percaya menjadi transformator terhadap
kebudayaan manusia.
Sikap Allah terhadap kebudayaan ini telah diimplementasikan dengan sikap yang
berbeda dalam sejarah gereja. Verkuyl mencatat lima sikap gereja terhadap kebudayaan,
yaitu:
1. Sikap Antagonistis (sikap menentang). Sikap ini merupakan sikap negatif terhadap
kebudayaan, yaitu melihat adanya pertentangan yang tak terdamaikan antara iman Kristen
dengan kebudayaan. Sikap seperti ini terjadi pada abad permulaan gereja, sehingga
Tertulianus mengucapkan, ”Apakah sangkut paut Yerusalem dengan Athena”.
Maksudnya, antara iman Kristen dan kebudayaan tidak ada kompromi, karena semua
kebudayaan ada ikatan dengan penyembahan berhala. Karena itu segala bentuk
permainan, tari, sandiwara, kemiliteran dan lain-lain harus dihindari.
2. Sikap Akomodasi dan kapitulasi. Sikap ini menunjukkan adanya upaya menyesuaikan diri
dengan kebudayaan yang ada. Akibatnya hakikat kekristenan dikorbankan demi
kepentingan kebudayaan yang ada. Misalnya, di abad ketiga, dalam tulisan tentang
teologi dan filsafat, Clement dari Alexandria dan Origenes berupaya menyesuaikan Injil
dengan isi filsafat Plato. Hal serupa dilakukan Petrus Abelardus (1079-1142) yang
mengganti ’iman’ dengan ’rasio’ untuk menentukan segala sesuatu. Akibatnya ia
membuktikan bahwa ajaran Yesus ”sesuai benar dengan apa yang diajarkan oleh Sokrates
dan Plato”.
3. Sikap Dominasi. Sikap ini menunjukkan adanya dominasi gereja terhadap kebudayaan,
baik secara teori maupun praktiknya. Sikap ini sangat menonjol dalam masa Katolik
Roma yang sangat mendominir kebudayaan Katolik Roma. Sikap ini didasarkan pada
pandangan Thomas Aquinas mengenai perbedaan ordo naturalis dan ordo supranaturalis.
Karena dosa, manusia kehilangan anugerah supranaturalis, namun kodrat naturalisnya
tidak rusak sehingga masih dapat memelihara kebaikan dan kecakapan lainnya sebagai
manusia. Namun menurut Thomas, tujuan hidup manusia bukan kepada ordo naturalis
(kebudayaan) melainkan kepada ordo supranaturalis (anugerah- gereja). Jalan untuk
mecapai tujuan itu ialah sakramen gerejawi. Karena itu kebudayaan, secara hierarkhis,
harus berada di bawah gereja. Kebudayaan harus ’disucikan’ oleh gereja.
4. Sikap Dualistis (mendua). Sikap ini bermaksud memisahkan sama sekali iman Kristen
dan kebudayaan. Keduanya berdiri sendiri-sendiri tanpa berelasi. Sikap ini berpendapat
bahwa dalam hidup orang Kristen ada kepercayaan kepada pekerjaan Allah di dalam dan
melalui Yesus Kristus. Tetapi pada saat yang sama, manusia sendiri bisa berdiri sendiri
dengan usaha kebudayaannya Anugerah tidak mempengaruhi kebudayaan manusia.
Sikap ini nampak dalam pandangan Marcion, di masa gereja mula-mula, mengenai ’dua
Allah’, yaitu: Allah pencipta langit bumi yang penuh anugerah dan ’demiurgos’ sebagai
’allah’ penguasa alam (budaya). Keduanya tidak saling mempengaruhi. Dalam budaya
tidak terdapat tanda-tanda pengaruh rahmat Allah.
5. Sikap Pengudusan. Sikap ini menekankan pentingnya ’pengudusan’ di bidang
kebudayaan oleh anugerah Allah. Sikap ini didasarkan pada prinsip kesatuan asasi antara
ciptaan (creation) dan pembaharuan ciptaan (recreation). Allah datang untuk
menyelamatkan alam dari dosa dan iblis. Ia menguduskan manusia berdosa menjadi
manusia baru supaya menjadi terang dan garam bagi dunia (kebudayaan) manusia yang
gelap.
Dengan ragam sikap iman Kristen terhadap kebudayaan ini , maka untuk
memudahkan menentukan sikap yang harus dipilih Donald Mc Gavran membedakan
kekristenan dalam empat wilayah. Christianity One, yaitu wilayah yang meliputi doktrin
kepercayaan tentang Allah, kehidupan kekal, kebenaran, keselamatan dalam Kristus dan
berbagai doktrin fundamental. Di wilayah ini semua aspek budaya harus tunduk di bawah
kebenaran-kebenaran absolut. Christianity Two, merupakan wilayah Etika Kristen, yaitu
aplikasi praktis sistem evaluasi norma yang sifatnya relatif atau bergantung kepada nilai
kultural setempat. Christianity Three, merupakan wilayah yang meliputi hal-hal tradisi gereja
dalam beribadat, liturgi, lagu-lagu yang dinyanyikan, dan bentuk arsitektur gereja.
Christianity Four, merupakan wilayah tradisi gereja lokal. Jadi menurut McGavran, sikap
gereja terhadap kebudyaan sangat ditentukan oleh wilayah Christianity mana yang sedang
dihadapi.
Jadi, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya yang diperlengkapi
dengan kemampuan mengaktualisasi diri dalam hubungannya dengan Tuhan, dirinya sendiri,
dan alam sekitarnya untuk keberlangsungan hidupnya. Karena itulah manusia disebut sebagai
makhluk yang berbudaya. Namun karena dosa mengakibatkan seluruh aspek
kebudayaannyapun dipengaruhi dosa, sehingga tidak lagi tertuju memuliakan Allah. Meski
demikian Allah tetap mengasihi manusia, maka Ia berinkarnasi di dalam dan melalui Yesus
Kristus untuk menyelamatkannya beserta seluruh aspek budayanya. Penyelamatan ini
merupakan pemulihan relasi baik dengan Allah, sesamanya dan alam lingkungannya. Untuk
itu orang yang sudah diselamatkan oleh karya pengudusan Kristus akan berfungsi
merefleksikan karya kristus di seluruh sektor kebudayaannya, agar manusia dan budayanya
kembali memuliakan Allah Sang Pencipta.
3. Paradigma ’multikultur’.
Pada masa kini, budaya tidak lagi dipahami sebagai ’monokultur’ melainkan
’multikultur’ yaitu suatu fenomena keragaman budaya dalam sebuah komunitas tertentu.
Istilah ‘multikultur’ digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat
yang berbeda dalam suatu negara.
negara kita juga merupakan negara dengan sistem sosial dan budaya yang beraneka
ragam. Multikulturalitas bangsa negara kita telah menempuh perjalanan sejarah yang amat
panjang. Jauh sebelum masa kolonialisme Eropa masuk ke Nusantara, keanekaragaman itu
sudah menjadi pengalaman berbudaya di Nusantara. Banyak monumen historis yang dapat
dicatat sebagai bukti adanya multikulturalitas bangsa. Misalnya, pendirian Candi Borobudur
sebagai salah satu pusat ibadah kaum Budhis ternyata dibangun pada masa Dinasti Syailendra
yang beragama Hindu Syiwa. Fakta ini membuktikan bahwa keanekaragaman itu sudah
terpatri sebagai sikap normatif dalam melihat diversitas masyarakat. Disinyalir kelompok-
kelompok beragama di negara kita sudah berkembang sebagai sistem keagamaan lokal yang
terus dipelihara oleh pemeluknya. Agama-agama lokal ini menyebar di berbagai wilayah
propinsi. Diperkirakan jumlah suku bangsa di negara kita mencapai lebih dari enam ratus
entitas. Jika masing-masing komunitas ini memiliki sistem keyakinan keagamaannya
sendiri-sendiri, maka dapat disimpulkan betapa kuatnya keragaman sistem keagamaan di
negara kita .
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, bangsa negara kita juga mengalami
kemajuan di bidang pemeliharaan sikap dan toleransi dalam mengakui diversitas di
masyarakat. Walaupun Islam memasuki Nusantara diiringi dengan pertumpahan darah di
beberapa tempat, namun puritanisme dan ortodoksi dalam beragama tidak menjadi pilihan
utama massa-rakyat di Nusantara. Di Jawa misalnya, tradisi dan ritual pra-Islam masih
diminati bahkan diakomodasi sebagai bagian dari nilai-nilai Islam Jawa. Di beberapa tempat,
unsur lokalitas juga mendapat penghargaan yang sama seperti di Sulawesi Selatan, Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan lain-lain.197 Itu berarti hampir tidak ditemukan lagi suatu nilai budaya
tunggal dalam komunitas budaya.
Pemahaman tentang diversitas juga dapat ditelusuri dari forum yang cukup fenomenal
karena sukses mempertemukan beberapa pemuda dari berbagai daerah di Nusantara. Forum
itu kemudian dikenal dengan "Sumpah Pemuda 1928". Forum ini berhasil
mengumpulkan berbagai pemuda, sekaligus membuat ikrar bersama yang dikenal teksnya
sekarang sebagai, teks Sumpah Pemuda. Ketika Kolonialisme mendapat ancaman krisis
moneter global di sekitar paruh pertama abad ke-20, jaringan elite pribumi semakin
meningkatkan konsolidasinya di tengah keanekaragaman budaya, agama, dan etnisitas
196 SEKOLAH MULTIKULTURAL DESANTARA (ANGKATAN 2008), Belajar Bersama
Menulis Keanekaragaman Masyarakat Berdasarkan Pengalaman dan Perspektif Multikultural
197Ibid
134
masyarakat. Misalnya ketika momentum pembentukan dasar dan falsafah negara Pancasila
dalam proses perdebatan, elemen-elemen yang terlibat nyaris mengenyampingkan gagasan-
gagasan ekstrim yang kontraproduktif dengan sifat keanekaragaman masyarakat negara kita .
Ini membuktikan bahwa Pancasila yang kemudian disepakati dengan lima sila, sebagian besar
diserap berdasarkan aspirasi masyarakat yang bhinneka.198
Sayangnya, sejarah keindahan mozaik keanekaragaman di atas semakin pupus oleh
kebijakan politik dari rezim yang menyebalkan. Kebijakan penertiban, pendisiplinan bertubi-
tubi muncul di masa Soeharto. Orde Baru bahkan dikenal sebagai rezim otoriter. Konstitusi
yang dijabarkan ke dalam sistem perundang-undangan gagal memediasi secara obyektif dan
netral dalam mengelola perbedaan dan pertentangan kepentingan antar kelompok di
masyarakat. Kebijakan bernuansa SARA bahkan melekat secara erat selama kepemimpinan
Soeharto. Kelompok Cina misalnya kesulitan mendapatkan akses yang setara dalam
pelayanan publik, seperti di bidang pendidikan, pencatatan sipil, dan kebebasan beragama.
Kriminalisasi agama dalam bentuk delik penodaan agama (blasphemy) sering digunakan
untuk menciduk kelompok/individu yang dianggap sesat, membahayakan kepentingan umum
karena aliran kepercayaan, atau nilai-nilai keagamaan yang ia anut.199
Pendeknya, kehidupan agama dan kebudayaan di negara kita semakin terancam karena
diversitas semakin memudar lantaran kesalahan membuat kebijakan. Faktanya sampai saat
ini, di era reformasi ini, kondisi kebebasan beragama dan diversitas di masyarakat masih
belum berubah. Mendung masih menyelimuti suasana batin kelompok minoritas beragama,
aliran kepercayaan dan komunitas-komunitas kecil yang masih dianggap ‘liyan’ (other).
Kebebasan mereka terancam karena isu penodaan agama kerap meluncur dari fatwa MUI,
aparat kepolisian dan Kejaksaan. Tidak jarang, milisi sipil terlibat aksi kekerasan sembari
meneriakkan gema keagamaan. Menurut sebagian sumber, selama masa pemerintahaan SBY-
Kalla, sudah terjadi lebih dari 170 kali aksi kekerasan terhadap kelompok agama/ budaya
minoritas.
Jadi multikulturalitas yaitu fakta yang tidak bisa dipungkiri. Meskipun demikian,
adanya fakta bahwa kehidupan di negara kita memiliki sejumlah perbedaan, harusnya tidak
merintangi terjaminnya hak hidup dan pengejewantahan nilai-nilai kemanusiaan individu dan
kelompok di masyarakat. Multikulturalisme yaitu konsep, paradigma, sekaligus pengalaman
bagaimana diversitas ini dimaknai.
Di negara kita pemakaian istilah ‘Multikultural’ juga dipakai dalam konteks politik
yaitu dikaitkan dengan proses demokratisasi menuju masyarakat civil society yang kemudian
juga banyak disinggung dalam hubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Khususnya
multikultural dipakai guna menangkal berbagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok
minoritas di suatu negara atau wilayah tertentu. Selain itu multikulturalisme juga
dibicarakan lebih gencar di dunia pendidikan, karena pendidikan dianggap sebagai alat paling
efektif penanaman nilai-nilai. Abdul Munir Mulkhan mendeskripsikan kondisi pendidikan
multikultural sebagai berikut:
Pendidikan multikultural mengandaikan sekolah dan kelas dikelola sebagai
suatu simulasi arena hidup nyata yang plural, terus berubah dan berkembang.
Institusi sekolah dan kelas yaitu wahana hidup dengan pemeran utama peserta
didik di saat guru dan seluruh tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator.
Pembelajaran dikelola sebagai dialog dan pengayaan pengalaman hidup unik,
sehingga bisa tumbuh pengalaman dan kesadaran kolektif setiap warga dan
peserta didik yang kelak menjadi dasar etika politik berbasis etika kewargaan.
Dengan demikian pengertian dan penerapan istilah multikultural mencakup aspek-aspek yang
sangat luas.
Melihat begitu luasnya aspek-aspek multikultural, maka untuk maksud tulisan ini,
pengertian multikultur perlu dibatasi pada multietnis dan multireligi. Pembatasan ini
didasarkan pada beberapa alasan, yaitu:
Pertama, Ini sesuai dengan keadaan yang dihadapi gereja masa kini, seperti yang
ditegaskan dalam tulisan Gospel and Culture: New Focus for Mission, bahwa gereja sekarang
memiliki jemaat yang berasal dari berbagai budaya, sehingga gereja terdorong untuk menjadi
lebih multikultural. Karenanya agenda paling signifikan yang dihadapi gereja dalam konteks
kontemporer yaitu pergumulan gereja dengan budaya yang khusus, etnis, dan identitas
keagamaan tertentu.203 Dengan kata lain gereja harus merespon secara kreatif dan sensitif
fenomena multietnis dan multireligi. Kedua, etnis dan religi merupakan dua aspek kultural
yang menjadi motif dasar berbagai konflik dan merupakan konteks masalah yang sedang
dibicarakan, seperti telah dikemukakan di bagian terdahulu. Ketiga, pemilihan etnis
bersesuaian dengan maksud pembicaraan ini yaitu untuk memproklamasikan Injil kepada
segala bangsa (Mat. 28:19). Istilah ‘segala bangsa’ diterjemahkan dari frasa Yunani panta ta
etne. Jadi yang dimaksud ‘bangsa’ ialah etne atau etnis (suku bangsa), dan kata ‘segala’
menunjuk jumlah yang banyak atau ‘multi’. Sehingga panta ta etne dapat dikatakan
menunjuk kepada pengertian multietnis yang berarti juga multikultur. Craig S. Keener
mempertegas maksud Allah dalam hubungannya dengan multikultur
Kutipan itu menunjukkan bahwa Allah yang menciptakan multikultur pernah hadir
sebagai Person kultural di dalam Yesus Kristus untuk menyatakan diri-Nya untuk
mengemban amanat misi multikultural (multietnis). Keempat, kultur tidak bisa dipisahkan
dari aspek religi. Clifford Geertz, seorang antropolog, menganggap agama sebagai sebuah
sistem kebudayaan. Menurutnya kebudayaan yaitu :
Suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam
simbol-simbol, suatu sistem konsep-konsep yang diwariskan yang terungkap
dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasi,
melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan
dan sikap-sikap terhadap kebudayaan.
Sedangkan yang ia maksudkan dengan agama yaitu :
(1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan
motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia
dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan
(4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga
(5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.206
Dari kedua definisi ini nampak bahwa kebudayaan dan agama tidak dapat
dipisahkan, karena keduanya dianggap bersentuhan dengan simbol-simbol. Para teolog juga
sudah lama menyetujui ketakterpisahan agama dan kebudayaan.
Notes Toward the Definition of Culture menyatakan bahwa natur kebudayaan pada dasarnya
bersifat religius. Secara kasar kebudayaan sinonim dengan agama. Keberadaan kebudayaan
pada dasarnya yaitu inkarnasi agama dalam suatu masyarakat. Kebudayaan tidak dapat
berjalan tanpa agama dan sebaliknya.207 Paul Tillich juga menyatakan, “agama yaitu
substansi kebudayaan; kebudayaan yaitu bentuk agama…siapa yang dapat membaca gaya
sebuah kebudayaan akan dapat menemukan perhatian utama atau substansi religius
kebudayaan ini ”. Namun demikian, menurut Van Der Leeuw hubungan antara agama
dengan kebudayaan tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis. Menurutnya hubungan itu
mengalami empat tingkatan: Pertama, hubungan agama dan kebudayaan sangat erat.
Keduanya dianggap sama. Kedua, masa peralihan, yaitu keadaan dimana keduanya masih
berhubungan namun sudah semakin menjauh satu sama lain. Ketiga, masa pertikaian yaitu
dimana keduanya saling berlawanan untuk menunjukkan dominasinya masing-masing.
Keempat, masa pemulihan yaitu perlunya integrasi antara agama dan kebudayaan.209 Dengan
demikian multietnis dan multireligi menjadi semacam dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan untuk dapat memahami multikultur.
5. Hubungan ‘kultur’ dan ‘teologi’
Selanjutnya, bagaimanakah hubungan kultur dengan teologi? Menjawab pertanyan ini
perlu dipahami beberapa hal berikut yang dikemukakan oleh para teolog.
Pertama, Cornelius Van Til menyatakan,“realita tidak pernah merupakan fakta yang
tidak diinterpretasikan. Realita sudah sarat dengan makna karena Tuhan telah
menginterpretasikannya. Tugas teolog ialah “berpikir dengan cara pikir Tuhan”. Pernyataan
ini menegaskan dua hal, yaitu: adanya interpretasi Allah terhadap realitas dan upaya
teolog memahami interpretasi Allah terhadap realitas ini .
Tentang realitas yang sudah mengandung makna sebagaimana Allah
meinginterpretasikannya menunjukkan bahwa semua realitas (baca: ‘budaya’) telah diberi
makna oleh Tuhan. Makna ini merupakan wujud interpretasi Allah. Interpretasi Allah
menunjukkan ‘cara pikir Allah’ dan cara pikir Allah yaitu ‘Teologi’ itu sendiri. Itu berarti
bahwa tidak ada satu realitas (budaya) pun yang tidak dipikirkan Tuhan. Apa yang dipikirkan
Tuhan itulah ‘Teologi’. Jika demikian kebudayaan bukanlah fakta dan aktivitas netral yang
bersifat non-teologis. Hal ini mesti dipahami dalam konteks Allah sebagai Pencipta segala
sesuatu. Jika mengacu pada hakikat budaya sebagai upaya manusia mengelola sumber daya
yang ada pada dirinya dan alam di sekitarnya, maka nampak jelas integrasi teologi dan
budaya yang dipersatukan oleh Allah sendiri. Itu berarti secara esensial seuluruh aspek yang
terkandung dalam budaya telah memiliki maknanya sendiri sesuai cara pikir Allah. Hal kedua
yang ditegaskan van Till yaitu bahwa tugas teolog yaitu ‘berpikir dengan cara pikir Allah’.
Tegasnya, ketika teolog berteologi maka ia harus menemukan makna dari budaya
sebagaimana Allah memaknainya. Hal ini mesti ditempuh dengan menemukan cara pikir
Allah tentang budaya ini . Untuk menemukan cara pikir Allah, maka teolog haruslah
mengacu kembali kepada kebenaran Alkitab. Realitas yang tercatat dalam Alkitab merupakan
korelasi antara manusia dengan Tuhan yang sarat dengan makna-makna yang Allah
maksudkan. Itu berarti, berteologi yaitu upaya menemukan kembali (rediscovery) prinsip-
prinsip interpretasi Allah terhadap budaya, dan mengimplementasikannya ke dalam realitas
kekinian. Tugas para teolog ini tidak pernah berakhir selagi ada kehidupan budaya manusia.
Merelasikan teks (interpretasi Allah terhadap budaya dalam Alkitab) dan konteks kekinian
sebagai realitas budaya yang perlu diinterpretasi berdasarkan prinsip Alkitab.
Kedua, Abraham Kuyper menegaskan,“Saya yakin bahwa yang mendominasi seluruh
sistem kehidupan umum yaitu interpretasi dari relasi manusia dengan Allah” Pernyataan
ini menegaskan dua frase sekaligus, yaitu: ‘sistem kehidupan umum’ dan ‘interpretasi
dari relasi manusia dengan Allah’. Sistem kehidupan umum merupakan
Artinya, seluruh aspek kehidupan manusia selalu berkorelasi dengan Theos, dan
karenanya tidak ada realitas manusia yang non-teologis. Relasi manusia dengan Allah yaitu
salah satu aspek dari budaya manusia. Dengan kata lain bahwa yang dimaksudkan dengan
‘Sistem kehidupan umum’ dapat dimengerti sebagai realitas kebudayaan yang esensinya
yaitu interpretasi terhadap relasi manusia dengan Allah. Karena itu berteologi berarti upaya
menemukan interpretasi relasi manusia dengan Allah.
Ketiga, Yohanes Calvin dikenal dengan teologinya yang bersentral pada ‘kedaulatan
Allah’ atas seluruh aspek kehidupan dan karenanya Kristus juga yaitu Tuhan atas
kebudayaan, artinya Ketuhanan Kristus berada (berwewenang) di dalam seluruh aspek
hidup. Itu berarti kebudayaan dapat dipahami dalam perspektif baik Teosentris maupun
Kristosentris.
bahwa Teologi memiliki tugas penting
menjelaskan kebudayaan. Tentang hal ini Vanhoozer menyatakan:
Gereja masa kini justru membutuhkan teologi. Tetapi apa yang diberikan teologi?
Bagaimana seharusnya teologi bereaksi terhadap penghancuran cerita, teks dan
seluruh kebudayaan? Teologi harus terlibat dalam rekonstruksi kebudayaan.
Teologi harus meletakkan fondasi intelektual bagi agama Alkitab yang
dipraktekkan. Teologi harus melayani komunitas para penafsir yang percaya
bahwa Alkitab yaitu saksi tindakan Allah dalam dunia ini dan dalam Firman-
Nya, Yesus Kristus. Dalam reruntuhan zaman ini, interpretasi Alkitabiah
merupakan alat terbaik untuk membangun kembali kebudayaan yang pada
awalnya memang dibangun di atas Alkitab.
Penegasan Vanhoozer ini mencatat tiga hal penting, yaitu: 1). Teologi harus
terlibat dalam rekonstruksi kebudayaan dan menjadi fondasi intelektual bagi praktik religi
Alkitab. Ini berarti bahwa konstruksi sebuah kebudayaan harus dibangun dan didasarkan pada
sumbangsih teologi di dalamnya. Untuk itu Teologi terus harus berusaha memformulasikan
rumusannya guna menyokong konstruksi kebudayaan. Dengan demikian, dalam tugas yang
serupa, teologi juga harus turut terlibat dalam merekonstruksi realitas multikultur. 2).
Teologi harus berdasar pada realitas tindakan Allah dalam dunia dan melalui Yesus Kristus.
Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa kultur atau multikultur harus dipahami dalam
perspektif tindakan Allah secara universal atas dunia ini (dimensi Teosentris) dan dalam
perspektif karya Kristus (dimensi Kristosentris). Keduanya mesti dilihat secara seimbang
karena kultur telah mengalami sejarah panjang dan tidak lagi dalam keadaan seperti ketika
manusia belum berdosa di taman Eden. Memandang kultur secara Teosentris akan
memberikan perspektif umum (universal), sedangkan Kristosentris (partikularitas) akan
menempatkan budaya dalam konteks penyelamatan. Teologi dan Kristologi tidaklah terpisah
dan bertentangan, karena universalitas Allah tidak meniadakan partikularitas Kristus.
Demikian juga sebaliknya, partikularitas Kristus tidak meniadakan universalitas Allah.
Karena itu tidak perlu dirancang sebuah rumusan Kristologi baru untuk disesuaikan dengan
kebutuhan masa kini seperti yang dikemukakan Th. Sumartana demikian:
Pertanyaan yang utama dalam ajaran Kristen yaitu bagaimana kita
menempatkan dan memikirkan hubungan antara kristologi dan teologi.
Kristologi kita anggap sebagai bagian dari keunikan partikulariat sedang teologi
bagian dari universalitas. Soalnya yaitu bagaimana kita menafsirkan kristologi
secara baru sehingga mampu memberi tempat bagi agama-agama? Secara umum
bisa kita katakan bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan dalam konteks
pluralisme agama-agama seperti yang sekarang ini. Mungkin disinilah tepatnya
kita mengatakan bahwa yang kita butuhkan yaitu teologi agama-agama dan
bukan kristologi agama-agama. Sebab, tekanan yang hendak kita berikan yaitu
universalitas itu.
Dengan menekankan Teologi, Sumartana akhirnya justru harus memisahkan Kristologi. Ini
dapat berakibat pada hilangnya hakikat keunikan Kristus demi agama-agama lain. Ketiga,
interpretasi Alkitabiah merupakan alat terbaik untuk membangun kembali kebudayaan. Ini
hendak menegaskan bahwa Teologi yang dipakai sebagai fondasi rekonstruksi kebudayaan
haruslah merupakan hasil dari interpretasi Alkitabiah. Artinya bahwa Teologi itu haruslah
Alkitabiah. Demikian juga mengenai multikultur haruslah mendapatkan dukungan secara
Alkitabiah.
Ketiga catatan ini di atas berguna untuk merancang bangun sebuah ‘Teologi
Multikultural’ yaitu,“Teologi yang dibangun berdasarkan hasil interpretasi Alkitabiah (PL dan
PB) mengenai cara pikir dan tindakan Allah dan Kristus terhadap realitas multikultur (ragam
budaya: multietnis dan multireligi) manusia.” Dengan kata lain, ‘Teologi Multikultural’
yaitu teologi yang merumuskan bagaimana pikiran, sikap dan tindakan Allah terhadap
fenomena multikultur baik secara umum sebagai Pencipta dan Penguasa segala ciptaan,
maupun sebagai Juruselamat (Kristus) manusia berdosa.
Secara khusus Teologi Multikultural hendak memberi perhatian pada masalah
kebudayaan yang menyangkut masalah ‘hubungan manusia dengan sesamanya’. Hal ini
juga dikemukakan oleh D.A. Peransi seperti dikutip oleh L. Sihombing yang
menyatakan,“salah satu unsur terpenting dalam kebudayaan yaitu pandangan yang hidup
dalam suatu kebudayaan tentang hakikat manusia, hubungan antar manusia serta sangkan
parannya”.216 ‘Hubungan antar sesama manusia’ (antar etnis dan antar religi) ini merupakan
masalah yang harus mendapatkan jawaban secara teologis, seperti dikemukakan oleh Olaf H.
Schumann demikian:
Salah satu masalah teologis konkret dan kontekstual sekarang dan yang teramat
penting serta memerlukan penjelasan mantap ialah: bagaimana kita harus
bersikap terhadap orang lain di luar umat kita, yang dulunya disebut orang asing
atau kafir? Bagaimana ia harus dinilai menurut iman (Kristen)? …pengajaran
Kristen Protestan (Teologi) tentang agama-agama jika dilakukan secara tepat dan
benar harus memungkinkan dinamika ini, mengubah mentalitas getho yang
penuh ketakutan dan perlawanan terhadap orang lain menjadi respek keterbukaan
dan cinta kasih. Pengajaran seperti ini dapat dikatakan “misioner” karena
menyumbangkan sesuatu yang sifatnya kristiani…t bahwa ada lima masalah utama
yang menyangkut nilai budaya, yaitu: masalah hakikat hidup manusia, masalah hakikat karya manusia, masalah hakikat dan kedudukan manusia dalam ruang dan waktu,
masalah hubungan manusia dengan alam sekitar, masalah hubungan manusia dengan sesamanya.
Realitas perbedaan etnis dan agama memang harus mendapatkan penjelasan teologis
yang memadai. Pertanyaan siapakah ‘sesama manusia yang beda etnis dan agama’ dan
bagaimana harus berelasi dengan mereka? harus dijawab secara teologis. Namun demikian
usaha Schumann menjawab pertanyaan ini dalam konteks pluralitas agama di negara kita
bisa kebablasan. Ia menempuh jalan dialog teologis untuk mencoba memahami kebenaran
‘kita’ dalam perspektif agama lain, demikian juga sebaliknya. Dalam dialog itu masing-
masing agama berdiri pada pandangan agamanya sendiri, namun Schumann menambahkan
bahwa,”posisi semacam itu tidak boleh menjadi dogma kaku, melainkan ia harus dinamis
untuk dapat menyesuaikan dan mewujudkan diri dalam situasi yang berubah-ubah”.218 Dalam
hal ini nampak bahwa acuan utama dalam dialog bukan pada keabsahan teologi Kristen
melainkan bergantung kepada kondisi (kebutuhan) yang berubah-ubah. Jika demikian
kebenaran-kebenaran Kristiani sebagai kebenaran absolut akan terancam kekhasannya.
Untuk itulah diperlukan Teologi Multikultural yang akan memberi acuan teologis bagi
orang percaya untuk berpikir, bersikap dan bertindak terhadap sesamanya manusia yang
berbeda ‘etnis’ dan ‘religi’ berdasarkan Alkitab dalam perspektif Teosentris sekaligus
Kristosentris. Perspektif Teosentris (universal) dapat mengacu kepada kebenaran-kebenaran
Kosmologis (Mandat Budaya), Antropologis (manusia sebagai gambar dan rupa Allah),
Teologis (Kedaulatan Allah, Providensia Allah, Keadilan Allah dan Kekudusan Allah).
Sedangkan dimensi Kristosentris (Partikular) mengacu kepada aspek-aspek: Inkarnasi,
Univeralitas Soteriologi, Teokrasi-Presentis, Universalitas Pneumatologis, Naturalitas Gereja
dan Multikulturalitas Eskatologis.
:
Berbudaya dan berteologi tidak dapat dipisahkan. Berteologi merupakan bagian
integral dari berbudaya. Teologi memiliki tanggung jawab merekontruksi budaya. Budaya
masa kini berada dalam paradigma Multikultural. Masyarakat multikultural sarat dengan
berbagai konflik etnik dan religi. Konflik etnik dan religi ini perlu solusi multidimensi
termasuk solusi teologis teologis. Diusulkan sebuah upaya teologis unytuk meretas rancang
bangun Teologi Multikultural yang berbasis pada dimensi Teosentris dan Kristoisentrin.
Dimensi Teosentris bermaksud guna memberi ruang bagi prinsip-prinsip universal sehingga
berguna dalam membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang berbeda. Sedangkan
dimensi Kristosentris bermaksud mempertahankan nilai-nilai khas kristiani. Keseimbangan
kedua dimensi ini memberi dasar bagi upaya berelasi dengan semua pihak yang berbeda
tanpa harus meniadakan kekhasan iman Kristen.