teologi 16



Hubungan budaya  dan teologi  dipahami  secara  beragam.  Deskripsi  budaya  secara
sempit  telah  membedakan  dan memisahkannya  dari  teologi.  Sebaliknya  deskripsi  teologi
yang sempit juga mengesampingkan budaya. Tulisan ini bermaksud mendeskripsikan budaya
dan  teologi  secara  proporsional  baik  secara  umum  maupun  alkitabiah.  Kemudian
mendeskripsikan  korelasi  antara  budaya  dan  teologi  serta  menetapkan  apa  peran  teologi
terhadap  budaya.  Khususnya  dalam  konteks  paradigma  ’multikultur’  yang  sarat  dengan
konflik  antar  etnis  dan  religi  di  dunia  pada  umumnya  dan  negara kita   pada  khususnya,
bagaimana  teologi  berperan  memberi  alternatif  solusi.  Untuk  itu  diusulkan  terbentuknya
rancang  bangun  ’Teologi  Multikultur’  yaitu  suatu  teologi  yang  didisain  berbasis  prinsip-
prinsip  alkitab  yang  menjadi  pedoman  bagi  orang  kristen  dalam  membangun  hubungan
dengan orang lain yang berbeda etnis dan religi. Prinisp-prinsip ini  bermaksud untuk
mempertemukan segala perbedaan dalam masyarakat pada tataran etis, yang didasarkan pada
prinsip teologis.
Berteologi  dan  berbudaya  acapkali  dianggap  sebagai  dua  aktifitas  yang  terpisah   karena
keduanya diklaim memiliki  karakteristik  yang berbeda.  Secara ekstrim ada yang memilih
sikap ’dualistik’ dimana keduanya dipandang sebagai fenomena yang berbeda sama sekali.
Dalam  perspektif  seperti  itu,  berteologi  berarti  hanya  berurusan  dengan  Tuhan  saja
(vertikalisme).  Sedangkan  berbudaya  yaitu   aktifitas  antar  sesama  manusia  dan
lingkungannya  (horisontalisme).  Memang  selain  sikap  dualistik,  sejarah  gereja  mencatat
beragam sikap iman Kristen (baca:  ’berteologi’)  terhadap budaya.  Ada sikap ’Antagonis’
yaitu  sikap  menentang  kebudayaan.  Ada  sikap  ’Akomodatif’  yaitu  sikap  dimana  gereja
mengakomodir budaya. Ada juga sikap ’dominatif’ yaitu sikap gereja yang mendominir nilai-
nilai dan praktik budaya. Namun ada juga sikap ’revisionis’ dimana iman Kristen berperan
’merevisi’ budaya. 
Sejatinya aktifitas berteologi dan berbudaya terfokus pada ’subyek’ yang sama yaitu
’manusia’.  Manusialah  yang  berteologi  dan  berbudaya.  Karena  keduanya  dilakukan  oleh
pribadi  yang  sama,  maka  interaksi  keduanya  tak  terhindarkan.  Itu  sebabnya  para  teolog
berteologi bersama budaya. Sebaliknya, para budayawan tak dapat menghindarkan budaya
dari aspek teologi. Yang menjadi pertanyaan yaitu  bagaimana keduanya dikorelasikan? Bagi
teolog  Kristen,  berteologi  berarti  memandang  dan  mengelola  budaya  manusia  dalam
perspektif iman Kristen yang berbasis pada Alkitab. Dalam arah itu, para teolog telah dan
sedang  berteologi  sekaligus  berbudaya.  Misalnya  karya-karya  tahun  1950-an,  Richard
Niebuhr  menulis  bukunya  yang  berjudul  “Christ  and Culture”  (1951).  Paul  Tillich  juga
menulis  buku  berjudul  “Theology  of  Culture”  (1954).  Karya-karya  selanjutnya  yang
menyusul  di  antaranya:  karya  Charles  Kraft berjudul  “Christianity  and Culture”  (1979),
karya Aylward Shorter berjudul  “Toward a Theology of Inculturation”  (1988),  dan karya
Louis Luzbetak berjudul “The Church and Cultures” (1988). 
Karena itu  tulisan ini  bermaksud mengonfirmasi hakikat peran atau fungsi teologi
terhadap budaya. Untuk itu, perlu dideskripsikan terlebih dahulu pengertian ‘budaya’ secara
umum dan  alkitabiah,  paradigma  multikultur,  dan  kemudian  dijelaskan  bagaimana  tugas
teolog dalam merancang bangun teologi multikultural.
menanam,  menghias,  mendiami”. Dari  arti  dasar  ini ,  bangsa  Romawi
menggunakannya  dalam  relasinya  dengan  pengerjaan  tanah  (agricultur:  pertanian),
pemeliharaan,  pengembangan  dan  penyemaian  bakat  rohani  (cultura-animi). Bahasa
negara kita  mengadopsi kata  cultura (Inggris:  culture)  menjadi ‘kultur’ untuk menyebutkan
hal-hal yang berhubungan dengan pengusahaan dan  pemeliharaan hal-hal material  seperti:
sawah, ladang, tanah liat, batu, tubuh manusia dan hewan. Namun kemudian pengertian kata
‘kultur’ juga digunakan untuk hal-hal  rohani,  akal  budi,  kesenian,  ilmu pengetahuan dan
sebagainya. Dalam bahasa negara kita  kata ‘kultur’ sering disebut juga sebagai “peradaban,
cara hidup dan kebudayaan.” Dari tiga padanan kata ini  kata ‘kultur’ lebih banyak
dimengerti sebagai ‘kebudayaan’. 
Istilah ‘kebudayaan’ itu sendiri  dibentuk dari kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu:
‘budi’ dan ‘daya’.  Kata ‘budi’  dimengerti sebagai ‘roh’ atau ‘akal’, sehingga tidak hanya
dimengerti sebatas rasio. Pada dasarnya kebudayaan menunjuk kepada segala sesuatu  yang
diciptakan oleh budi manusia. Dalam perkembangannya pengertian kebudayaan menjadi
sangat beragam.  Ada yang mendefinisikannya secara sempit yaitu sebatas ‘kesenian’ saja.
Sebaliknya,  para  antropolog  dan  sosiolog  mengartikannya  secara  luas.  Edward  Tailor
mendefinisikan,“Culture is that complex whole included knowledge, belief, art, morals, law,
custom and any other  capabilities  and habits  aquared by man as member of  society”.
Definisi  ini   dikembangkan  lagi  menjadi,“Culture  is  learned  and  shared  attitudes,
values, and way of  behavior of the members of society”. Itu menunjukkan bahwa ruang
lingkup kata ‘kultur’ mencakup seluruh aspek dari kehidupan manusia. Mengingat pengertian
kebudayaan yang sedemikian luas, maka Kuntjoroningrat mensinyalir  adanya 160 definisi
tentang kebudayaan. Namun Kuntjoroningrat sendiri mengklasifikasi bahwa pada dasarnya
kebudayaan  itu  berisi,“sistem  religi  dan  upacara  keagamaan,  sistem  organisasi
kemasyarakatan,  sistem  pengetahuan,  bahasa,  kesenian,  sistem  mata  pencaharian,  sistem
teknologi dn peralatan.” Kesemuanya itu mewujud dalam kompleks ide-ide atau nilai-nilai,
kompleks  aktivitas  kelakuan  berpola  dan  benda-benda  hasil  karya.  Dari  wujud  ini 
diketahui  bahwa  kultur  meliputi  baik  yang  bersifat  ‘material’  maupun   ‘non  material’.
Akhirnya  ia  sendiri  menyimpulkan kebudayaan  sebagai,“Keseluruhan gagasan dan karya
manusia,  yang  harus  dibiasakan  dengan  belajar,  beserta  keseluruhan  dari  hasil  budi  dan
karyanya itu”. Kesimpulan ini  menunjukkan aspek ‘asal’ atau ‘dasar’ budaya, proses
budaya dan hasil  budaya.  pengertian
kebudayaan dari beberapa antropolog terkini dengan definisi: 
Culture is that integrated pattern of socially acquired knowledge, particularly
Ideas, belief, and values (ideology) mediated through language, which a people
uses to interpret experience and generate patterns of behavior- technological,
economic,  social,  political,  religious,  and artistic  – so that  it  can survive by
adapting to relentlessly changing circumstances.
Pada dasarnya definisi  Larkin hendak merangkum aspek-aspek hidup manusia secara
menyeluruh. 
Selain para Antropolog dan Sosiolog, para teolog juga memandang kebudayaan secara
luas.  Misalnya,  Louis  Luzbetak  dalam  bukunya  “The  Church  and  Culture”  seperti
dipaparkan ulang oleh Agus G. Satyaputra:   
Budaya  yaitu   “a design  for  living” yang  merupakan suatu  rencana dimana
sebuah masyarakat mengadaptasikan diri kepada lingkungan fisik, sosial dan ide.
Rencana untuk mengatasi lingkungan fisik meliputi hal memproduksi makanan,
semua pengetahuan dan ketrampilan teknologi. Sistem politik, kekerabatan dan
organisasi  keluarga serta  hukum merupakan contoh dari  adaptasi  sosial  yakni
rencana yang menyangkut hubungan dengan orang lain. Sedangkan cara manusia
mengatasi  lingkungan ide yaitu  melalui pengetahuan, seni,  ilmu magis, ilmu
pengetahuan, filsafat dan agama. Secara essensial, budaya merupakan jawaban
terhadap masalah-masalah manusia. 
Meski  Luzbetak  mencoba  merinci  korelasi  di  antara  aspek-aspek  dalam  kehidupan
masyarakat, namun secara esensial ia menyetujui bahwa budaya meliputi keseluruhan aspek
hidup  manusia.  Hanya  saja  ia  memberi  penekanan  bahwa  budayalah  yang  mendisain
kehidupan. Dengan kata lain tanpa budaya tidak mungkin ada suatu tata kelola kehidupan
manusia.   
Seluruh pengertian  di atas menunjukkan bahwa kebudayaan mencakup seluruh aspek
hidup manusia atau dapat dikatakan kebudayaan merupakan  aktualisasi  totalitas eksistensi
manusia itu sendiri. 
ada di sekitarnya, baik kepada Allah, sesamanya manusia maupun alam semesta. Karena itu,
Allah memberi tugas budaya kepada mereka. Verkuyl menjelaskan hal ini: 
Allah yang hidup yaitu  Allah yang menciptakan manusia dengan mata yang
dapat  melihat,  dengan  otak  yang  dapat  berpikir,  dengan  tangan  yang  dapat
membangun,  supaya  manusia  itu,  atas  nama  Tuhan,  menakhlukkan  dunia
kepadanya. Allah Sang Pencipta, yaitu  pula Pemberi tugas kebudayaan.
Penjelasan  ini   hendak  menegaskan  adanya  potensi  pada  diri  manusia  yang
memungkinkannya  untuk  berkreasi  memelihara  keberlangsungan  kehidupannya.  Pada
umumnya, para teolog dan etikus, memulai pembicaraan mengenai kebudayaan dari Kejadian
1:28 yang kemudian disebut sebagai Mandat Kebudayaan yang lengkapnya berbunyi:  
Allah memberkati mereka lalu Allah berfirman kepada mereka: ”Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan takhlukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan
di laut dan burung-burung di udaradan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
Kata kunci ayat di atas ialah  ”kabash”  ( Inggris:  subdue) artinya, ”takhlukkanlah
atau  jadikan  mereka  hamba”. Kata  ini  dipakai  15  kali  dalam  PL  yang  diartikan
’menundukkan lawan’ atau ’menakhlukkan lawan’. Bila ditelusuri akar kata kerjanya berarti
’menginjak’.  Sebab  itu,  laki-laki  diciptakan  untuk  memerintah  dengan  cara  yang
memperlihatkan kekuasaannya (jika perlu dengan paksa) dan kedudukannya sebagai tuan atas
segala ciptaan. Kata ini bisa bermakna negatif karena bisa berarti pemakaian  kekuatan
secara  sewenang-wenang.  Namun dapat  juga dalam pengertian  positif  yaitu:  memikirkan,
mengerjakan,  mengusahakan,  mengolah  alam  dengan  melestarikannya.  Dalam  konteks
Kejadian  1:28  pastilah  Allah  memaksudkan kata  ’kabash’ dalam arti  positif  agar  dengan
mengelola alam secara bertanggung jawab manusia memenuhi segala kebutuhannya bahkan
bermanfaat untuk generasi berikutnya.    
Mandat  kebudayaan ini   sudah diberikan  Allah  sebelum manusia  jatuh  dalam
dosa. Allah menempatkan mereka di taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara tanah
itu  (Kej  2:15).  Di  taman  itulah  untuk  pertama  kalinya  manusia  mengeksplorasi  sumber
kebudayaan dan sumber kerjanya.  Karena itu bekerja yaitu  perintah Allah,  bukan akibat
dosa.  Allah  telah  menjadikan  kerja  sebagai  hakikat  hidup  manusia.184 Dengan  mandat
kebuduyaan itu, manusia mengembangkannya dalam semua bidang ilmu pengetahuan dan
kebudayaan untuk tujuan memuliakan Allah dan menyatakan kasih kepada sesama manusia
agar menjadi hamba Allah yang lebih benar, lebih pandai, dan lebih mulia. Namun sesudah 
kejatuhan  manusia  dalam  dosa  mandat  kebudayaan  ini   tidak  pernah  dicabut.  A.F.
Glasser menegaskan hal ini seperti dikutip oleh Petrus Octavianus: 
”Walaupun  manusia  jatuh  ke  dalam  dosa,  amanat  kebudayaan  tidak  pernah
ditarik kembali...Manusia bahkan di dalam kejatuhannya sekalipun tetap berada
terus di bawah kewajiban serta dorongan ilahi untuk menemukan serta memakai
kekuatan-kekuatan alam di sekitarnya  dan untuk melibatkan dirinya di segala
segi keberadaan manusia.”186
Untuk  itu  dalam  keberdosaannya  manusia  terus  melaksanakan  mandat
kebudayaannya. Alkitab mencatat  berbagai keahlian yang dikembangkan manusia,  seperti:
Yabal sebagai orang yang tinggal di kemah dan peternak, Yubal sebagai pemain kecapi dan
seruling, dan Tubal Kain sebagai penempa tembaga dan besi (Kej 4:17-22). Namun demikian,
karena akibat dosanya manusia tidak lagi menghasilkan kebudayaan yang  selaras dengan
kemuliaan Tuhan. Karya budaya manusia justru memberontak Allah.187 Ini  nampak dalam
kehidupan generasi berikutnya, yaitu ketika Kain membunuh Habel karena kultusnya dengan
mempersembahkan  hasil  kulturnya  tidak  diterima  Allah  (Kej  4).  Selain  peristiwa  itu,
pemberontakan  ’menara  Babel’  juga  menunjukkan  aktualisasi  budaya  manusia  yang
183Sihombing, 77-78
184A.A.Sitompul, Manusia dan Budaya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 4.
185Verkuyl, 2.
186Petrus Octavianus,  Identitas Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman Allah (Batu-Malang: YPPII, 1985), 12. 
187Ibid., 12.
128
memberontak Allah. Akibatnya mereka dikacaukan dan diserakkan dengan berbagai  bahasa
(Kej 11). Sejak itu pengaruh dosa telah merasuk ke seluruh aspek budaya manusia. Bahkan
kebudayaan telah menjadi bagian integral keberdosaan. Stephen Tong menyebut keadaan itu
dengan menyatakan,”Kebudayaan telah didistorsi oleh dosa, bayang-bayang kejatuhan berada
di  dalam  kebudayaan.”188 Hubungan  antara  ’kultur’  dan ’kultus’ manusia  telah  rusak.189
Bahkan segala kecenderungan hati manusia membuahkan kejahatan semata-mata, sehingga
telah membuat Allah merasa menyesal telah menciptakan manusia (Kej 6:7). 
 Namun  demikian  Allah  tetap  mengasihi  manusia.  Ia  tetap  merindukan  untuk
bersekutu dengan manusia yang diciptakan-Nya menurut gambar dan rupa-Nya (Kej 1:26-
27).  Sesaat  sesudah   kejatuhan  Adam  dan  Hawa,  Ia  segera  menyatakan  rencana  karya
penyelamatan-Nya  dalam  Kejadian  3:15  yang  kemudian  dikenal  sebagai   ’proto
euanggelion’. Rancangan penyelamatan Allah itu  mulai dinyatakan dengan pemilihan dan
panggilan Abraham sebagai bapa orang beriman (Kej 12) dan melahirkan bangsa Israel yang
dipilih sebagai umat-Nya. Puncak karya-Nya digenapi di dalam dan melalui Yesus Kristus
sebagai inkarnasi Allah (Yoh 1:1-3, 14). Melalui karya salib-Nya  (Flp 2:6-8) Allah menebus
manusia berdosa untuk melepaskan mereka dari kuasa kegelapan dan memindahkannya ke
dalam kerajaan  Anak-Nya  yang  kekasih  (Kol  1:13).  Siapa  yang  menerima  Kristus  telah
menjadi ciptaan baru (2Kor 5:17) dan terus menerus mengalami pembaharuan budinya (Rm
12:2). 
Karya Kristus telah memungkinkan pemulihan relasi  antara manusia dengan Allah
yang terputus akibat dosa. Pemulihan  hubungannya dengan Allah ini terefleksi dalam seluruh
kebudayaannya, karena karya Kristus juga memulihkan seluruh aspek kebudayaannya untuk
kembali kepada kemuliaan Allah. Petrus Octavianus menyatakan: 
Peranan  orang  Kristen  dalam kebudayaan  yaitu   unik.  Sebab  oleh  anugerah
Allah di dalam Yesus Kristus, matanya dicelikkan kepada pernyataan Allah yang
khusus tentang kehendak Allah bagi umat manusia. sesudah  menjawab penggilan
Allah,  seharusnya  orang  Kristen  tidak  meninggalkan  kebudayaannya.  Tetapi
menilainya  kembali  dalam  terang  firman  Allah  yang  supra-kulturil  dan
multikulturil   (Supra-kultural  karena  merupakan  kaidah  yang  mutlak  untuk
menilai  segala  kebudayaan  dan  peradaban  manusia.  Multi-kulturil  sebab
mencakup semua kebudayaan dan juga relevan terhadap semua kebudayaan).  
Karena  itulah  manusia  yang  telah  diperbaharui  memiliki  sikap  yang  baru  dalam
memandang kebudayaan, seperti dilakukan Yesus Kristus ketika hidup sebagai orang Yahudi
dan  tinggal  dalam  konteks  budaya  Yahudi.  Sikap  Yesus  terhadap  kebudayaan  ini  sudah
dijelaskan oleh H Richard  Nieburh dalam bukunya  Christ  and Culture dalam lima sikap
yaitu: 1) Christ against culture (Kristus lawan kebudayaan), 2) Christ of Culture (Kristus dari
kebudayaan, 3)  Christ above culture (Kristus di atas kebudayaan), 4)  Christ and culture in
paradox  (Kristus dan kebudayaan dalam paradoks), 5)  Christ,  the  transformer of culture
(Kristus  mentranformasi  kebudayaan). Sedangkan  Charles  H.  Kraft  dalam  bukunya,
Christianity  in  Culture:  A  Study  in  Dynamic  Biblical  Theologizing  in  Cross  Cultural
Perspective  memperluas  klasifikasi  Niebuhr.  Menurut  Kraft,  1)  Posisi  Allah  melawan
kebudayaan  ada  dua  macam  yaitu:  Allah  sebagai  Pahlawan  budaya  dan  Allah  sebagai
Penganjur salah satu kebudayaan, 2) Posisi Allah di atas kebudayaan dibagi dalam lima sikap:
Allah  di  atas  kebudayaan  dan  tidak  peduli  terhadapnya,  pandangan  sintetik,  dualis,
conversionis, dan Allah di atas tetapi melalui kebudayaan. 
Kraft  sendiri  berdiri  pada pandangan yang ia  sebut  ”The God above but  through
culture position”.192  Allah dipahami bersifat transenden-absolut yang secara mutlak berada di
luar budaya. Allah berada di atas semua budaya namun memakai budaya untuk  berinteraksi
dengan manusia.  Budaya  itu  sendiri  secara  esensial  bersifat  netral  dan  menjadi  alat  bagi
manusia meskipun telah dipengaruhi dosa, sehingga pemakaian  seluruh aspek budaya tidak
lagi murni. Tentang hal ini Kraft memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang berada di luar
diri  manusia  yang  bersifat  netral.  Sherwood  Lingenfelter  tidak  sependapat  mengenai
kenetralan budaya ini. Menurutnya, Kraft kurang menangkap presensi dosa dalam dosa dalam
pikiran dan kehidupan manusia. Budaya bagaikan ’slot machine’ yang hanya melayani interes
dan keuntungan pribadi dan kelompok.
Namun pada prinsipnya Allah yang menciptakan budaya, sehingga Ia berada di luar
budaya, tetapi Ia bekerja di dalam dan melalui budaya. Ia tidak dikuasai budaya, melainkan
secara  bebas  memilih  menggunakan  budaya  untuk  berinteraksi  dengan  manusia.  Ia  tetap
menghendaki agar manusia berdosa diselamatkan bersama seluruh aspek-aspek budaya pada
dirinya, sehingga melalui pembaharuannya itu orang percaya menjadi transformator terhadap
kebudayaan manusia. 
Sikap  Allah  terhadap  kebudayaan  ini  telah  diimplementasikan  dengan  sikap  yang
berbeda  dalam sejarah  gereja.  Verkuyl  mencatat  lima  sikap  gereja  terhadap  kebudayaan,
yaitu:   
1. Sikap  Antagonistis (sikap  menentang).  Sikap  ini  merupakan  sikap  negatif  terhadap
kebudayaan, yaitu melihat adanya pertentangan yang tak terdamaikan antara iman Kristen
dengan  kebudayaan.  Sikap  seperti  ini  terjadi  pada  abad  permulaan  gereja,  sehingga
Tertulianus  mengucapkan,  ”Apakah  sangkut  paut  Yerusalem  dengan  Athena”.
Maksudnya,  antara  iman Kristen  dan kebudayaan tidak  ada  kompromi,  karena semua
kebudayaan  ada  ikatan  dengan  penyembahan  berhala.  Karena  itu  segala  bentuk
permainan, tari, sandiwara, kemiliteran dan lain-lain harus dihindari.    
2. Sikap Akomodasi dan kapitulasi. Sikap ini menunjukkan adanya upaya menyesuaikan diri
dengan  kebudayaan  yang  ada.  Akibatnya  hakikat  kekristenan  dikorbankan  demi
kepentingan  kebudayaan  yang  ada.  Misalnya,  di  abad  ketiga,  dalam  tulisan  tentang
teologi dan filsafat, Clement dari Alexandria dan Origenes  berupaya menyesuaikan Injil
dengan  isi  filsafat  Plato.  Hal  serupa  dilakukan  Petrus  Abelardus  (1079-1142)  yang
mengganti   ’iman’  dengan  ’rasio’  untuk  menentukan  segala  sesuatu.  Akibatnya  ia
membuktikan bahwa ajaran Yesus  ”sesuai benar dengan apa yang diajarkan oleh Sokrates
dan Plato”.
3. Sikap Dominasi. Sikap ini menunjukkan adanya dominasi gereja terhadap kebudayaan,
baik  secara  teori  maupun praktiknya.  Sikap  ini  sangat  menonjol  dalam masa  Katolik
Roma yang sangat  mendominir  kebudayaan Katolik  Roma.  Sikap ini  didasarkan pada
pandangan Thomas Aquinas mengenai perbedaan ordo naturalis dan ordo supranaturalis.
Karena  dosa,  manusia  kehilangan  anugerah  supranaturalis,  namun kodrat  naturalisnya
tidak rusak sehingga masih dapat memelihara kebaikan dan kecakapan lainnya sebagai
manusia. Namun menurut Thomas, tujuan hidup manusia bukan kepada ordo naturalis
(kebudayaan)  melainkan  kepada  ordo  supranaturalis  (anugerah-  gereja).  Jalan  untuk
mecapai tujuan itu ialah sakramen gerejawi. Karena itu kebudayaan, secara hierarkhis,
harus berada di bawah gereja. Kebudayaan harus ’disucikan’ oleh gereja. 
4. Sikap Dualistis  (mendua). Sikap ini bermaksud memisahkan sama sekali iman Kristen
dan kebudayaan. Keduanya berdiri sendiri-sendiri tanpa berelasi. Sikap ini berpendapat
bahwa dalam hidup orang Kristen ada kepercayaan kepada pekerjaan Allah di dalam dan
melalui Yesus Kristus. Tetapi pada saat yang sama, manusia sendiri bisa berdiri sendiri
dengan  usaha  kebudayaannya  Anugerah  tidak  mempengaruhi  kebudayaan  manusia.
Sikap ini nampak dalam pandangan Marcion, di masa gereja mula-mula, mengenai ’dua
Allah’, yaitu: Allah pencipta langit bumi yang penuh anugerah dan ’demiurgos’ sebagai
’allah’  penguasa alam (budaya). Keduanya tidak saling mempengaruhi. Dalam budaya
tidak terdapat tanda-tanda pengaruh rahmat Allah.
5. Sikap  Pengudusan.  Sikap  ini  menekankan  pentingnya  ’pengudusan’  di  bidang
kebudayaan oleh anugerah Allah. Sikap ini didasarkan pada prinsip kesatuan asasi antara
ciptaan  (creation)  dan  pembaharuan  ciptaan  (recreation).  Allah  datang  untuk
menyelamatkan alam dari  dosa  dan iblis.  Ia  menguduskan  manusia  berdosa  menjadi
manusia baru supaya menjadi terang dan garam bagi dunia (kebudayaan) manusia yang
gelap.  
Dengan  ragam  sikap  iman  Kristen  terhadap  kebudayaan  ini ,  maka  untuk
memudahkan   menentukan  sikap  yang  harus  dipilih  Donald  Mc  Gavran  membedakan
kekristenan dalam empat wilayah.  Christianity One,  yaitu  wilayah yang meliputi doktrin
kepercayaan  tentang  Allah,  kehidupan  kekal,  kebenaran,  keselamatan  dalam Kristus  dan
berbagai doktrin fundamental. Di wilayah ini semua aspek budaya harus tunduk di bawah
kebenaran-kebenaran  absolut.  Christianity  Two,  merupakan  wilayah  Etika  Kristen,  yaitu
aplikasi  praktis  sistem evaluasi  norma yang  sifatnya  relatif  atau  bergantung kepada nilai
kultural setempat. Christianity Three, merupakan wilayah yang meliputi hal-hal tradisi gereja
dalam  beribadat,  liturgi,  lagu-lagu  yang  dinyanyikan,  dan   bentuk  arsitektur  gereja.
Christianity Four,  merupakan wilayah tradisi  gereja lokal.  Jadi menurut McGavran, sikap
gereja terhadap kebudyaan sangat ditentukan oleh wilayah Christianity  mana  yang sedang
dihadapi.      
Jadi, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya yang diperlengkapi
dengan kemampuan mengaktualisasi diri dalam hubungannya dengan Tuhan, dirinya sendiri,
dan alam sekitarnya untuk keberlangsungan hidupnya. Karena itulah manusia disebut sebagai
makhluk  yang  berbudaya.  Namun  karena  dosa  mengakibatkan  seluruh  aspek
kebudayaannyapun dipengaruhi dosa, sehingga tidak lagi tertuju memuliakan Allah. Meski
demikian Allah tetap mengasihi manusia, maka Ia berinkarnasi di dalam dan melalui Yesus
Kristus  untuk  menyelamatkannya  beserta  seluruh  aspek  budayanya.  Penyelamatan  ini
merupakan pemulihan relasi baik dengan Allah, sesamanya dan alam lingkungannya. Untuk
itu  orang  yang  sudah  diselamatkan  oleh  karya  pengudusan  Kristus  akan  berfungsi
merefleksikan karya kristus di seluruh sektor kebudayaannya, agar manusia dan budayanya
kembali memuliakan Allah Sang Pencipta.  
3. Paradigma ’multikultur’.
Pada  masa  kini,  budaya  tidak  lagi  dipahami  sebagai  ’monokultur’  melainkan
’multikultur’  yaitu  suatu  fenomena  keragaman  budaya  dalam sebuah  komunitas  tertentu.
Istilah ‘multikultur’ digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis  masyarakat
yang berbeda dalam suatu negara.   
negara kita  juga merupakan negara dengan sistem sosial  dan budaya yang beraneka
ragam.  Multikulturalitas  bangsa  negara kita   telah  menempuh  perjalanan sejarah  yang amat
panjang. Jauh sebelum masa kolonialisme Eropa masuk ke Nusantara, keanekaragaman itu
sudah menjadi pengalaman berbudaya di Nusantara. Banyak monumen historis yang dapat
dicatat sebagai bukti adanya multikulturalitas bangsa. Misalnya, pendirian Candi Borobudur
sebagai salah satu pusat ibadah kaum Budhis ternyata dibangun pada masa Dinasti Syailendra
yang beragama Hindu Syiwa. Fakta ini  membuktikan bahwa keanekaragaman itu sudah
terpatri  sebagai sikap normatif dalam melihat diversitas masyarakat. Disinyalir kelompok-
kelompok beragama di negara kita  sudah berkembang sebagai sistem keagamaan lokal yang
terus  dipelihara  oleh  pemeluknya.  Agama-agama lokal  ini  menyebar  di  berbagai  wilayah
propinsi. Diperkirakan  jumlah  suku bangsa  di  negara kita   mencapai  lebih  dari  enam ratus 
entitas.  Jika masing-masing komunitas ini   memiliki  sistem keyakinan keagamaannya
sendiri-sendiri,  maka  dapat  disimpulkan  betapa  kuatnya  keragaman  sistem keagamaan  di
negara kita .      
Pada  masa  pemerintahan  Hindia  Belanda,  bangsa  negara kita   juga  mengalami
kemajuan  di  bidang  pemeliharaan  sikap  dan  toleransi  dalam  mengakui  diversitas  di
masyarakat.  Walaupun  Islam memasuki  Nusantara  diiringi  dengan  pertumpahan  darah  di
beberapa tempat, namun puritanisme dan ortodoksi dalam beragama tidak menjadi pilihan
utama  massa-rakyat  di  Nusantara.  Di  Jawa  misalnya,  tradisi  dan  ritual  pra-Islam  masih
diminati bahkan diakomodasi sebagai bagian dari nilai-nilai Islam Jawa. Di beberapa tempat,
unsur lokalitas juga mendapat penghargaan yang sama seperti di Sulawesi Selatan, Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan lain-lain.197 Itu berarti hampir tidak ditemukan lagi suatu nilai budaya
tunggal dalam komunitas budaya. 
  
Pemahaman tentang diversitas juga dapat ditelusuri dari forum yang cukup fenomenal
karena sukses mempertemukan beberapa pemuda dari berbagai daerah di Nusantara. Forum
itu  kemudian  dikenal  dengan  "Sumpah  Pemuda  1928".  Forum  ini   berhasil
mengumpulkan berbagai  pemuda,  sekaligus membuat  ikrar bersama yang dikenal teksnya
sekarang  sebagai,  teks  Sumpah  Pemuda.  Ketika  Kolonialisme  mendapat  ancaman  krisis
moneter  global  di  sekitar  paruh  pertama  abad  ke-20,  jaringan  elite  pribumi  semakin
meningkatkan  konsolidasinya  di  tengah  keanekaragaman  budaya,  agama,  dan  etnisitas
196 SEKOLAH MULTIKULTURAL DESANTARA (ANGKATAN 2008), Belajar Bersama 
Menulis Keanekaragaman Masyarakat Berdasarkan Pengalaman dan Perspektif Multikultural
197Ibid
134
masyarakat. Misalnya ketika momentum pembentukan dasar dan falsafah negara Pancasila
dalam proses perdebatan, elemen-elemen yang  terlibat nyaris mengenyampingkan gagasan-
gagasan ekstrim yang kontraproduktif dengan sifat keanekaragaman masyarakat negara kita .
Ini membuktikan bahwa Pancasila yang kemudian disepakati dengan lima sila, sebagian besar
diserap berdasarkan aspirasi masyarakat yang bhinneka.198  
Sayangnya, sejarah keindahan mozaik keanekaragaman di atas  semakin pupus oleh
kebijakan politik dari rezim yang menyebalkan. Kebijakan penertiban, pendisiplinan bertubi-
tubi muncul di masa Soeharto. Orde Baru bahkan dikenal sebagai rezim otoriter. Konstitusi
yang dijabarkan ke dalam sistem perundang-undangan gagal memediasi secara obyektif dan
netral  dalam  mengelola  perbedaan  dan  pertentangan  kepentingan  antar  kelompok  di
masyarakat. Kebijakan bernuansa SARA bahkan melekat secara erat selama kepemimpinan
Soeharto.  Kelompok  Cina  misalnya  kesulitan  mendapatkan  akses  yang  setara  dalam
pelayanan publik, seperti di bidang pendidikan, pencatatan sipil, dan kebebasan beragama.
Kriminalisasi  agama  dalam bentuk  delik  penodaan  agama  (blasphemy)  sering  digunakan
untuk menciduk kelompok/individu yang dianggap sesat, membahayakan kepentingan umum
karena aliran kepercayaan, atau nilai-nilai keagamaan yang ia anut.199 
Pendeknya, kehidupan agama dan kebudayaan di negara kita  semakin terancam karena
diversitas semakin memudar lantaran kesalahan membuat kebijakan.  Faktanya sampai saat
ini,  di era reformasi ini,  kondisi kebebasan beragama dan diversitas di masyarakat masih
belum berubah. Mendung masih menyelimuti suasana batin kelompok minoritas  beragama,
aliran  kepercayaan  dan  komunitas-komunitas  kecil  yang  masih  dianggap  ‘liyan’ (other).
Kebebasan mereka terancam karena isu penodaan agama kerap meluncur dari fatwa MUI,
aparat kepolisian dan Kejaksaan. Tidak jarang, milisi sipil terlibat aksi kekerasan sembari
meneriakkan gema keagamaan. Menurut sebagian sumber, selama masa pemerintahaan SBY-
Kalla, sudah terjadi lebih dari 170 kali aksi kekerasan terhadap kelompok agama/ budaya
minoritas. 
Jadi multikulturalitas yaitu  fakta yang tidak bisa dipungkiri.  Meskipun demikian,
adanya fakta bahwa kehidupan di negara kita  memiliki sejumlah perbedaan, harusnya tidak
merintangi terjaminnya hak hidup dan pengejewantahan nilai-nilai kemanusiaan individu dan
kelompok di masyarakat. Multikulturalisme yaitu  konsep, paradigma, sekaligus pengalaman
bagaimana diversitas ini dimaknai. 
Di negara kita  pemakaian  istilah  ‘Multikultural’ juga  dipakai dalam konteks politik
yaitu dikaitkan dengan proses demokratisasi menuju masyarakat civil society  yang kemudian
juga banyak disinggung dalam hubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Khususnya
multikultural  dipakai  guna  menangkal  berbagai  bentuk  diskriminasi  terhadap  kelompok
minoritas  di  suatu  negara  atau  wilayah  tertentu.  Selain  itu  multikulturalisme  juga
dibicarakan lebih gencar di dunia pendidikan, karena pendidikan dianggap sebagai alat paling
efektif  penanaman nilai-nilai.  Abdul  Munir  Mulkhan mendeskripsikan kondisi  pendidikan
multikultural sebagai berikut: 
Pendidikan   multikultural mengandaikan  sekolah  dan  kelas  dikelola  sebagai
suatu simulasi  arena hidup nyata yang plural,  terus berubah dan berkembang.
Institusi sekolah dan kelas yaitu  wahana hidup dengan pemeran utama peserta
didik di saat guru dan seluruh tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator.
Pembelajaran dikelola  sebagai  dialog  dan pengayaan pengalaman hidup unik,
sehingga  bisa  tumbuh  pengalaman  dan  kesadaran  kolektif  setiap  warga  dan
peserta didik yang kelak menjadi dasar etika politik berbasis etika kewargaan.  
Dengan demikian pengertian dan penerapan istilah multikultural mencakup aspek-aspek yang
sangat luas.
Melihat  begitu luasnya aspek-aspek multikultural,  maka untuk maksud  tulisan  ini,
pengertian  multikultur  perlu  dibatasi  pada  multietnis dan  multireligi.  Pembatasan  ini
didasarkan pada beberapa alasan, yaitu: 
Pertama,  Ini  sesuai  dengan keadaan yang dihadapi  gereja  masa kini,  seperti  yang
ditegaskan dalam tulisan Gospel and Culture: New Focus for Mission, bahwa gereja sekarang
memiliki jemaat yang berasal dari berbagai budaya, sehingga gereja terdorong untuk menjadi
lebih multikultural. Karenanya agenda paling signifikan yang dihadapi gereja dalam konteks
kontemporer  yaitu   pergumulan  gereja  dengan  budaya  yang  khusus,  etnis, dan  identitas
keagamaan tertentu.203 Dengan kata lain gereja harus merespon secara kreatif  dan sensitif
fenomena multietnis dan multireligi.  Kedua,  etnis dan religi merupakan dua aspek kultural
yang menjadi  motif  dasar berbagai konflik  dan merupakan konteks  masalah yang sedang
dibicarakan,  seperti  telah  dikemukakan  di  bagian  terdahulu.  Ketiga,  pemilihan  etnis
bersesuaian  dengan maksud pembicaraan ini  yaitu  untuk memproklamasikan Injil  kepada
segala bangsa (Mat. 28:19). Istilah ‘segala bangsa’ diterjemahkan dari frasa Yunani panta ta
etne.  Jadi  yang dimaksud ‘bangsa’ ialah  etne atau  etnis (suku bangsa),  dan kata  ‘segala’
menunjuk  jumlah  yang  banyak  atau  ‘multi’.  Sehingga  panta  ta  etne dapat  dikatakan
menunjuk  kepada  pengertian  multietnis  yang  berarti  juga  multikultur.  Craig  S.  Keener
mempertegas maksud Allah dalam hubungannya dengan multikultur 
Kutipan itu menunjukkan bahwa Allah yang menciptakan multikultur pernah hadir
sebagai  Person  kultural  di  dalam  Yesus  Kristus  untuk  menyatakan  diri-Nya  untuk
mengemban amanat misi multikultural (multietnis).  Keempat,  kultur tidak bisa dipisahkan
dari aspek religi.  Clifford Geertz, seorang antropolog, menganggap agama sebagai sebuah
sistem kebudayaan. Menurutnya kebudayaan yaitu :
Suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam
simbol-simbol,  suatu  sistem  konsep-konsep  yang  diwariskan  yang  terungkap
dalam  bentuk-bentuk  simbolis  yang  dengannya  manusia  berkomunikasi,
melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan
dan sikap-sikap terhadap kebudayaan. 
Sedangkan yang ia maksudkan dengan agama yaitu : 
(1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan
motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia
dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan
(4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga
(5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.206
Dari  kedua  definisi  ini   nampak  bahwa  kebudayaan  dan  agama  tidak  dapat
dipisahkan, karena keduanya dianggap bersentuhan dengan simbol-simbol.  Para teolog juga
sudah lama menyetujui ketakterpisahan agama dan kebudayaan. 
Notes Toward the Definition of Culture menyatakan bahwa natur kebudayaan pada dasarnya
bersifat religius. Secara kasar kebudayaan sinonim dengan agama. Keberadaan kebudayaan
pada  dasarnya  yaitu   inkarnasi  agama  dalam suatu  masyarakat.  Kebudayaan  tidak  dapat
berjalan  tanpa  agama  dan  sebaliknya.207 Paul  Tillich  juga  menyatakan,  “agama  yaitu 
substansi kebudayaan; kebudayaan yaitu  bentuk agama…siapa yang dapat membaca gaya
sebuah  kebudayaan  akan  dapat  menemukan  perhatian  utama  atau  substansi  religius
kebudayaan ini ”. Namun demikian, menurut Van Der Leeuw hubungan antara agama
dengan  kebudayaan  tidaklah  bersifat  statis,  tetapi  dinamis.  Menurutnya  hubungan  itu
mengalami  empat  tingkatan:  Pertama,  hubungan  agama  dan  kebudayaan  sangat  erat.
Keduanya dianggap sama.  Kedua, masa peralihan, yaitu keadaan dimana keduanya masih
berhubungan namun sudah semakin menjauh satu sama lain.  Ketiga, masa pertikaian yaitu
dimana  keduanya  saling  berlawanan  untuk  menunjukkan  dominasinya  masing-masing.
Keempat, masa pemulihan  yaitu perlunya integrasi antara agama dan kebudayaan.209  Dengan
demikian  multietnis  dan   multireligi  menjadi  semacam  dua  sisi  mata  uang  yang  tidak
terpisahkan untuk dapat memahami multikultur.
5. Hubungan ‘kultur’ dan ‘teologi’
Selanjutnya, bagaimanakah hubungan kultur dengan teologi? Menjawab pertanyan ini
perlu dipahami beberapa hal berikut yang dikemukakan oleh para teolog. 
Pertama, Cornelius Van Til menyatakan,“realita tidak pernah merupakan fakta yang
tidak  diinterpretasikan.  Realita  sudah  sarat  dengan  makna  karena  Tuhan  telah
menginterpretasikannya. Tugas teolog ialah “berpikir dengan cara pikir Tuhan”. Pernyataan
ini  menegaskan dua hal, yaitu: adanya interpretasi  Allah terhadap realitas dan upaya
teolog memahami interpretasi Allah terhadap realitas ini .  
Tentang  realitas  yang  sudah  mengandung  makna  sebagaimana  Allah
meinginterpretasikannya menunjukkan bahwa semua realitas  (baca:  ‘budaya’)  telah diberi
makna oleh Tuhan. Makna ini  merupakan wujud interpretasi Allah. Interpretasi Allah
menunjukkan ‘cara pikir Allah’ dan cara pikir Allah yaitu  ‘Teologi’ itu sendiri. Itu berarti
bahwa tidak ada satu realitas (budaya) pun yang tidak dipikirkan Tuhan. Apa yang dipikirkan
Tuhan itulah ‘Teologi’. Jika demikian kebudayaan  bukanlah fakta dan aktivitas netral yang
bersifat non-teologis. Hal ini mesti dipahami dalam konteks Allah sebagai Pencipta segala
sesuatu. Jika mengacu pada hakikat budaya sebagai upaya manusia mengelola sumber daya
yang  ada  pada  dirinya  dan  alam di  sekitarnya,  maka  nampak  jelas  integrasi  teologi  dan
budaya yang dipersatukan oleh Allah sendiri. Itu berarti secara esensial seuluruh aspek yang
terkandung dalam budaya telah memiliki maknanya sendiri sesuai cara pikir Allah. Hal kedua
yang ditegaskan van Till yaitu bahwa tugas teolog yaitu  ‘berpikir dengan cara pikir Allah’.
Tegasnya,  ketika  teolog  berteologi  maka  ia  harus  menemukan  makna  dari  budaya
sebagaimana Allah  memaknainya.  Hal  ini  mesti  ditempuh dengan menemukan cara  pikir
Allah tentang budaya ini .  Untuk menemukan cara pikir  Allah,  maka teolog haruslah
mengacu kembali kepada kebenaran Alkitab. Realitas yang tercatat dalam Alkitab merupakan
korelasi  antara  manusia  dengan  Tuhan  yang  sarat  dengan  makna-makna  yang  Allah
maksudkan. Itu berarti, berteologi yaitu  upaya menemukan kembali (rediscovery) prinsip-
prinsip interpretasi Allah terhadap budaya, dan mengimplementasikannya ke dalam realitas
kekinian. Tugas para teolog ini tidak pernah berakhir selagi ada kehidupan budaya manusia.
Merelasikan teks (interpretasi Allah terhadap budaya dalam Alkitab) dan konteks kekinian
sebagai realitas budaya yang perlu diinterpretasi berdasarkan prinsip Alkitab.        
Kedua, Abraham Kuyper menegaskan,“Saya yakin bahwa yang mendominasi seluruh
sistem kehidupan umum yaitu  interpretasi dari relasi manusia dengan Allah” Pernyataan
ini  menegaskan dua frase sekaligus, yaitu: ‘sistem kehidupan umum’ dan ‘interpretasi
dari relasi manusia dengan Allah’. Sistem kehidupan umum merupakan   
Artinya,  seluruh  aspek  kehidupan  manusia  selalu  berkorelasi  dengan  Theos,  dan
karenanya tidak ada realitas manusia yang non-teologis. Relasi manusia dengan Allah yaitu 
salah satu aspek dari budaya manusia. Dengan kata lain bahwa yang dimaksudkan dengan
‘Sistem kehidupan  umum’ dapat  dimengerti  sebagai  realitas  kebudayaan  yang  esensinya
yaitu   interpretasi terhadap relasi manusia dengan Allah. Karena itu berteologi berarti upaya
menemukan interpretasi relasi manusia dengan Allah. 
Ketiga, Yohanes Calvin dikenal dengan teologinya yang bersentral pada ‘kedaulatan
Allah’  atas  seluruh  aspek  kehidupan  dan  karenanya  Kristus  juga  yaitu   Tuhan  atas
kebudayaan,  artinya  Ketuhanan  Kristus  berada  (berwewenang)  di  dalam  seluruh  aspek
hidup.  Itu berarti kebudayaan dapat dipahami dalam perspektif baik  Teosentris maupun
Kristosentris. 
bahwa Teologi memiliki tugas penting
menjelaskan kebudayaan. Tentang hal ini Vanhoozer menyatakan:  
Gereja masa kini justru membutuhkan teologi. Tetapi apa yang diberikan teologi?
Bagaimana seharusnya teologi bereaksi terhadap penghancuran cerita, teks dan
seluruh  kebudayaan?  Teologi  harus  terlibat  dalam  rekonstruksi  kebudayaan.
Teologi  harus  meletakkan  fondasi  intelektual  bagi  agama  Alkitab  yang
dipraktekkan.  Teologi  harus  melayani  komunitas  para  penafsir  yang  percaya
bahwa Alkitab yaitu  saksi tindakan Allah dalam dunia ini dan dalam Firman-
Nya,  Yesus  Kristus.  Dalam  reruntuhan  zaman  ini,  interpretasi  Alkitabiah
merupakan  alat  terbaik  untuk  membangun  kembali  kebudayaan  yang  pada
awalnya memang dibangun di atas Alkitab.   
              Penegasan Vanhoozer ini  mencatat tiga hal penting, yaitu: 1). Teologi harus
terlibat dalam rekonstruksi kebudayaan dan menjadi fondasi intelektual bagi praktik religi
Alkitab. Ini berarti bahwa konstruksi sebuah kebudayaan harus dibangun dan didasarkan pada
sumbangsih teologi di dalamnya. Untuk itu Teologi terus harus berusaha memformulasikan
rumusannya guna menyokong konstruksi kebudayaan. Dengan demikian, dalam tugas yang
serupa,   teologi  juga  harus  turut  terlibat  dalam merekonstruksi  realitas  multikultur.   2).
Teologi harus berdasar pada realitas tindakan Allah dalam dunia dan melalui Yesus Kristus.
Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa kultur atau multikultur harus dipahami dalam
perspektif  tindakan  Allah  secara  universal  atas  dunia  ini  (dimensi  Teosentris)  dan  dalam
perspektif  karya Kristus (dimensi Kristosentris).  Keduanya mesti dilihat secara seimbang
karena kultur telah mengalami sejarah panjang dan tidak lagi dalam keadaan seperti ketika
manusia  belum  berdosa  di  taman  Eden.  Memandang  kultur  secara  Teosentris  akan
memberikan  perspektif  umum  (universal),  sedangkan  Kristosentris  (partikularitas)  akan
menempatkan budaya dalam konteks penyelamatan. Teologi dan Kristologi tidaklah terpisah
dan  bertentangan,  karena  universalitas  Allah  tidak  meniadakan  partikularitas  Kristus.
Demikian  juga  sebaliknya,  partikularitas  Kristus  tidak  meniadakan  universalitas  Allah.
Karena itu tidak perlu dirancang sebuah rumusan Kristologi baru untuk disesuaikan dengan
kebutuhan masa kini seperti yang dikemukakan Th. Sumartana  demikian:  
Pertanyaan  yang  utama  dalam  ajaran  Kristen  yaitu   bagaimana  kita
menempatkan  dan  memikirkan  hubungan  antara  kristologi  dan  teologi.
Kristologi kita anggap sebagai bagian dari keunikan partikulariat sedang teologi
bagian dari universalitas. Soalnya yaitu  bagaimana kita menafsirkan kristologi
secara baru sehingga mampu memberi tempat bagi agama-agama? Secara umum
bisa kita katakan bahwa kristologi  yang ada tidak dirumuskan dalam konteks
pluralisme agama-agama seperti yang sekarang ini. Mungkin disinilah tepatnya
kita  mengatakan bahwa yang kita  butuhkan yaitu   teologi  agama-agama dan
bukan kristologi agama-agama. Sebab, tekanan yang hendak kita berikan yaitu 
universalitas itu.
Dengan menekankan Teologi, Sumartana akhirnya justru harus memisahkan Kristologi.  Ini
dapat berakibat pada hilangnya hakikat keunikan Kristus demi agama-agama lain.  Ketiga,
interpretasi Alkitabiah merupakan alat terbaik untuk membangun kembali kebudayaan. Ini
hendak menegaskan bahwa Teologi yang dipakai sebagai fondasi rekonstruksi kebudayaan
haruslah merupakan hasil  dari  interpretasi  Alkitabiah.  Artinya bahwa Teologi itu haruslah
Alkitabiah.  Demikian  juga  mengenai  multikultur  haruslah  mendapatkan  dukungan  secara
Alkitabiah. 
Ketiga  catatan  ini   di  atas  berguna untuk merancang bangun sebuah ‘Teologi
Multikultural’ yaitu,“Teologi yang dibangun berdasarkan hasil interpretasi Alkitabiah (PL dan
PB) mengenai cara pikir dan tindakan Allah dan Kristus terhadap realitas multikultur (ragam
budaya:  multietnis  dan  multireligi)  manusia.”  Dengan  kata  lain,  ‘Teologi  Multikultural’
yaitu   teologi  yang  merumuskan bagaimana pikiran,  sikap  dan tindakan Allah  terhadap
fenomena  multikultur  baik  secara  umum  sebagai  Pencipta  dan  Penguasa  segala  ciptaan,
maupun sebagai Juruselamat (Kristus) manusia berdosa.
Secara  khusus  Teologi  Multikultural  hendak  memberi  perhatian  pada  masalah
kebudayaan yang menyangkut masalah ‘hubungan manusia dengan sesamanya’.  Hal ini
juga  dikemukakan  oleh  D.A.  Peransi  seperti  dikutip  oleh  L.  Sihombing  yang
menyatakan,“salah satu unsur terpenting dalam kebudayaan yaitu  pandangan yang hidup
dalam suatu kebudayaan tentang hakikat  manusia,  hubungan antar manusia serta sangkan
parannya”.216 ‘Hubungan antar sesama manusia’ (antar etnis dan antar religi) ini merupakan
masalah yang harus mendapatkan jawaban secara teologis, seperti dikemukakan oleh Olaf H.
Schumann demikian:   
Salah satu masalah teologis konkret dan kontekstual sekarang dan yang teramat
penting  serta  memerlukan  penjelasan  mantap  ialah:  bagaimana  kita  harus
bersikap terhadap orang lain di luar umat kita, yang dulunya disebut orang asing
atau kafir?  Bagaimana ia harus dinilai  menurut  iman (Kristen)? …pengajaran
Kristen Protestan (Teologi) tentang agama-agama jika dilakukan secara tepat dan
benar  harus  memungkinkan  dinamika  ini,  mengubah  mentalitas  getho  yang
penuh ketakutan dan perlawanan terhadap orang lain menjadi respek keterbukaan
dan  cinta  kasih.  Pengajaran  seperti  ini  dapat  dikatakan  “misioner”  karena
menyumbangkan sesuatu yang sifatnya kristiani…t bahwa ada lima masalah utama 
yang menyangkut nilai budaya, yaitu: masalah hakikat hidup manusia, masalah hakikat karya manusia, masalah hakikat dan kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, 
masalah hubungan manusia dengan alam sekitar, masalah hubungan manusia dengan sesamanya. 
Realitas perbedaan etnis dan agama memang harus mendapatkan penjelasan teologis
yang  memadai.  Pertanyaan  siapakah  ‘sesama  manusia  yang  beda  etnis  dan  agama’ dan
bagaimana harus berelasi dengan mereka? harus dijawab secara teologis. Namun demikian
usaha Schumann menjawab pertanyaan ini  dalam konteks pluralitas agama di negara kita 
bisa kebablasan. Ia menempuh jalan dialog teologis untuk mencoba memahami kebenaran
‘kita’ dalam perspektif  agama lain,  demikian  juga  sebaliknya.  Dalam dialog  itu  masing-
masing agama berdiri pada pandangan agamanya sendiri, namun Schumann menambahkan
bahwa,”posisi  semacam itu tidak boleh  menjadi dogma kaku, melainkan ia harus dinamis
untuk dapat menyesuaikan dan mewujudkan diri dalam situasi yang berubah-ubah”.218 Dalam
hal  ini  nampak bahwa acuan utama dalam dialog  bukan pada  keabsahan  teologi  Kristen
melainkan  bergantung  kepada  kondisi  (kebutuhan)  yang  berubah-ubah.  Jika  demikian
kebenaran-kebenaran Kristiani sebagai kebenaran absolut akan terancam kekhasannya. 
Untuk itulah diperlukan Teologi Multikultural yang akan memberi acuan teologis bagi
orang  percaya  untuk  berpikir,  bersikap  dan  bertindak  terhadap  sesamanya  manusia  yang
berbeda  ‘etnis’ dan  ‘religi’ berdasarkan  Alkitab  dalam  perspektif  Teosentris  sekaligus
Kristosentris. Perspektif Teosentris (universal) dapat mengacu kepada kebenaran-kebenaran
Kosmologis  (Mandat  Budaya),  Antropologis  (manusia  sebagai  gambar  dan  rupa  Allah),
Teologis  (Kedaulatan  Allah,  Providensia  Allah,  Keadilan  Allah  dan  Kekudusan  Allah).
Sedangkan  dimensi  Kristosentris  (Partikular)  mengacu  kepada  aspek-aspek:  Inkarnasi,
Univeralitas Soteriologi, Teokrasi-Presentis, Universalitas Pneumatologis, Naturalitas Gereja
dan Multikulturalitas Eskatologis. 
:
Berbudaya  dan  berteologi  tidak  dapat  dipisahkan.  Berteologi  merupakan  bagian
integral dari  berbudaya.  Teologi memiliki tanggung jawab merekontruksi budaya.  Budaya
masa  kini  berada  dalam paradigma  Multikultural.  Masyarakat  multikultural  sarat  dengan
berbagai konflik etnik dan religi. Konflik etnik dan religi ini  perlu solusi multidimensi

termasuk solusi teologis teologis. Diusulkan sebuah upaya teologis unytuk meretas rancang
bangun  Teologi  Multikultural  yang  berbasis  pada  dimensi  Teosentris  dan  Kristoisentrin.
Dimensi Teosentris bermaksud guna memberi ruang bagi prinsip-prinsip universal sehingga
berguna dalam membangun komunikasi  dengan berbagai  pihak yang berbeda.  Sedangkan
dimensi Kristosentris bermaksud mempertahankan nilai-nilai khas kristiani. Keseimbangan
kedua dimensi ini  memberi dasar bagi upaya berelasi dengan semua pihak yang berbeda
tanpa harus meniadakan kekhasan iman Kristen.