teologi 1
Teologi Praktika yaitu sebuah bidang ilmu dalam disiplin
ilmu teologi yang pernah menduduki posisi sangat penting karena
memiliki relasi-relasi dengan berbagai disiplin ilmu, baik dalam ilmu
teologi itu sendiri maupun bidang ilmu lainnya. Dalam sebuah
ulasan penting tentang pembagian ilmu teologi, Schleiermacher
menyusun disiplin ilmu teologi menjadi tiga bagian besar (dengan
memakai analogi pohon), yakni: teologi filosofis, teologi historis,
dan teologi praktika. Di bagian dasar/akar pohon, ditempatkanlah
Teologi Filosofis yang membahas hal-hal esensi, tentang konsep dan
prinsip-prinsip utama, atau dengan kata lain “Ide” dari Kekristenan
(seringkali disebut sebagai the root of all theology). Di bagian batang
tubuh dari pohon, ditempatkanlah Teologi Historika, termasuk di
dalamnya studi biblika, sejarah gereja, dogmatika atau teologi
sistematika, merupakan penelusuran ke dalam komunitas iman
Kristen, dahulu dan sekarang (seringkali disebut sebagai the trunk of
theological studies). Sedangkan di bagian paling atas yakni
dedaunan dan buah, ditempatkanlah Teologi Praktika, yang
merupakan disiplin ilmu yang dilihat sebagai sebuah organisme yang
hidup karena banyak membicarakan praksis kehidupan komunitas
iman (seringkali disebut sebagai the crown of theological studies).1
Melihat analogi ini, tentulah dapat dipahami bahwa Teologi Praktika
berposisi dimana buah dari sebuah pohon dapat ditemukan.
Seharusnya tempat itu merupakan bagian yang paling terasa hidup
dan bergerak dinamis. Namun dalam perkembangannya, Teologi
Praktika mendapat banyak sorotan yang cenderung negatif dan
bahkan diangkap sebagai ilmu minor dalam teologi.
Disandingkannya istilah “praktika” dengan “teologi” sangat
mungkin menimbulkan kecenderungan kekeliruan dalam
pemaknaan terhadap istilah “teologi praktika” itu sendiri. Istilah
“praktika” atau “praktis” seringkali dimaknai sebagai pelaksanaan
konkrit yang tidak mengarah pada dunia konseptual atau teori yang
lebih bersifat abstrak. Untuk waktu yang cukup lama penamaan
Teologi Praktika mengundang kesalah-mengertian yang tidak
sederhana. Hal ini terjadi ketika kata “praktika” dilihat sebagai
lawan dari kata “teoretika,” karena memang secara umum dipahami
bahwa praktik yaitu lawan dari teori.2 Sehingga akibatnya yaitu
kebanyakan orang melihat Teologi Praktika sebagai ilmu pragmatis
yang lebih menuntut pembuktian-pembuktian yang bersifat empiris
daripada melihat Teologi Praktika sebagai bidang partikular ilmu
Teologi yang menuntut pemahaman, teori dan konsep dasar sebagai
ilmu dengan latar belakang pemahaman teologis-filosofis.
Kesalahan-kesalahan dalam pemahaman konsep (miskonsepsi)
terhadap Teologi Praktika akan memberikan penyesatan lebih jauh
apabila tidak dilakukan pembenahan atau pelurusan terhadap
makna yang sesungguhnya.
Cara berpikir semacam ini sangatlah lazim di kalangan
pembelajar teologi mengenai Teologi Praktika. Misalnya,
kebanyakan orang berpikir bahwa permasalahan yang terjadi dalam
komunitas iman merupakan persoalan empiris yang menyebabkan
arah penyelesaian yang diperlukan yaitu dengan melakukan
tindakan-tindakan praktis (modern empirical science) yang dapat
langsung dirasakan oleh pengalaman seseorang atau komunitas
ini . Padahal persoalan dalam komunitas iman, secara prinsip
tidak dapat diselesaikan oleh ilmu pengetahuan praktis dengan
langkah-langkah penyelesaian tertentu, tetapi harusnya kembali
kepada prinsip dasar tentang komunitas iman itu berdasar
interpretasi teologis tentang komunitas iman itu sendiri. Maka
sebenarnya, dari sejak masa Aquinas sampai Abad Pencerahan
(Enlightenment), Teologi Praktika dipahami sebagai aplikasi dari
prinsip-prinsip akal budi (reason) kepada pengalaman (experience).
Bagi Aquinas, pikiran (the mind) memahami prinsip-prinsip
fundamental dari akal budi (reason). Kesadaran (the conscience)
menghubungkan antara persepsi, kehendak dan akal budi sehingga
memiliki kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu
yakni menerima dengan benar suatu situasi dalam kaitan dengan
pengertian yang benar akan prinsip-prinsip dasar etika yang benar
pula.3 Masih dalam catatan James N. Poling dan Donald E. Miller,
masuknya paham skeptisisme dari Hume dan Abad Pencerahan
(Enlightenment) menghancurkan kaitan erat antara pemahaman
teologi dan aplikasi. Sehingga timbullah banyak ilmu pengetahuan
empiris modern (modern empirical science) yang mencoba untuk
merasionalisasi pengalaman. Hal ini menjadi masalah baru. Sebagai
konsekuensinya, Teologi Praktika sebagai satu kesatuan disiplin ilmu
teologi konseptual telah banyak ditinggalkan. Sebagai gantinya,
muncullah berbagai disiplin ilmu praktis tentang pelayanan yang
sebagian besar di bawah acuan semacam ilmu empiris praktis pada
umumnya. Sebagai hasilnya, Teologi Praktika telah digantikan oleh
sejumlah rangkaian disiplin ilmu pelayanan praktis.4
Kekeliruan yang lain dalam memahami Teologi Praktika
yaitu cara melihat obyek dari disiplin ilmu ini, yaitu sangat sedikit
memperlihatkan karakter teologis di dalamnya. Unsur “praktika”
yang nampaknya menjadi problem dalam pengistilahan, seharusnya
dipahami bukan sebagai obyek disiplin ilmunya. Obyek dari ilmu ini
yaitu “teori praksis.”5 Secara khusus Heitink memberi catatan
bahwa praxis tidak berarti practice tetapi action, activity.6 Bahkan
dalam kaitan dengan nama Yunani salah satu kitab dalam Alkitab
Perjanjian Baru, Kisah Para Rasul – praxeis apostolōn, yang diartikan
dengan tindakan Allah melalui pelayanan dari para rasul; dan Roma
12:4 yang menunjuk pada fungsi yang berbeda (praxeis) dari
anggota-anggota gereja sebagai tubuh Kristus. Jadi, Teologi Praktika
yaitu sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan aktivitas Allah
melalui pelayanan umat manusia.7
Tulisan ini juga akan memberikan dasar-dasar pemahaman
bagaimana mempelajari Teologi Praktika secara tepat untuk
mendapatkan hasil pemikiran dan tindakan yang juga maksimal dan
bersifat transformatif. Beberapa tinjauan perlu dilakukan, baik dari
segi hermeneutik, jenis-jenis pendekatan dalam Teologi Praktika,
serta metodenya.
Tinjauan Hermeneutik
Memahami teologi tidak mungkin terlepas dari sebuah
interpretasi. Interpretasi biasanya akan membentuk persepsi.
Persepsi dan interpretasi disusun sedemikian rupa bukan sekedar
untuk membentuk perspektif terhadap suatu obyek tertentu, tetapi
lebih kepada penemuan makna yang mendalam, yang kemudian
mendorong lahirnya tindakan atau perbuatan yang benar. Sebagai
ilmu atau teori menafsir, hermeneutik biasanya dihubungkan
dengan teori menafsirkan teks. Namun dalam perkembangannya,
“hermeneutik menjadi sebuah ilmu yang mengalami perluasan,
sehingga penafsiran dapat juga dilakukan terhadap fenomena non-
tekstual, misalnya terkait dengan ekspresi hidup, seperti kata-kata
yang diucapkan, bahasa tubuh dan perilaku, serta fenomena historis
dan sosial.”8
Dalam Teologi Praktika, teori interpretasi diperhadapkan
pada pertanyaan utama berkenaan dengan mediasi antara tradisi
dan pengalaman. Bagaimana teks-teks dalam Kitab Suci, yang
sangat berguna bagi orang-orang dalam konteks masa lalu, juga
dapat dialami dalam konteks masa kini sebagai sesuatu yang
menghibur dan membebaskan, serta dapat menjadi sumber
inspirasi bagi setiap tindakan atau perilaku? Bagaimana teks-teks itu
dapat menolong banyak orang untuk memiliki pengetahuan tentang
Allah dan pengetahuan tentang diri mereka sendiri? Bagaimana
proses pemahaman ini terjadi melalui mediasi ini dapat
membawa makna dan perubahan, serta pembaharuan hidup?
Aspek krusial dalam komunitas Kristen justru terletak pada
interpretasi teologis.
Teologi menjadi praksis ketika memampukan
komunitas ini berefleksi atas dan terbimbing perbuatannya
oleh tindakan Allah yang berkesinambungan. Di situlah letak peran
dari teologi praktika, yaitu ketika dapat memberi jalan keluar atas
gap yang terjadi antara kehidupan dalam komunitas dan disiplin
ilmu teologi itu sendiri. Akan menjadi problem yang besar apabila
disiplin ilmu teologi sepertinya terpisah dan tidak berhubungan satu
sama lain dengan kehidupan komunitas Kristen.
Penerapan proses interpretasi dalam Teologi Praktika
banyak dipengaruhi oleh metode interpretasi dari teologi, filsafat
dan ilmu sosial. Secara partikular teori penafsiran yang digunakan
yaitu model hermeneutic circle, dimana elemen-elemen
penafsirannya untuk mencapai sebuah pengertian/pemaknaan
terdiri dari: “prejudgement – observation/experience –
interpretation/discourse – discovering meaning – action.mengutip
contoh yang diberikan oleh F. de Lange yang mengatakan bahwa kisah
Rasul Paulus yaitu contoh yang baik tentang penerapan hermeneutic
circle. Setelah mengalami perjumpaan dengan Kristus di Damascus, Paulus
menghadapi tantangan untuk memahami apa yang terjadi pada dirinya.
melakukan observasi baik terhadap pembacaan yang bersifat
tekstual maupun non-tekstual, hal utama yang ditekankan yaitu
elemen dari konteks kultural atau sosial, meskipun akan muncul
ketidakjelasan/bias dalam pengertiannya. Di sinilah tahap
prejudgement telah berlangsung. Observasi ini kemudian akan
memimpin kepada pengalaman (religius), yang merupakan hasil dari
interpretasi khusus dari segmen kecil sebuah realita. Tentu saja hal
ini membuka peluang pada unsur subjektivitas yang cukup tinggi.
Karena itu, pengertian pribadi yang muncul dalam bentuk
subjektivitas harus diuji dengan membandingkan atau
mengkorelasikannya dengan pemahaman yang lain, yakni dari unsur
historis ataupun sosiologis. Sehingga ketika telah terjadi
internalisasi pemahaman, maka akan timbul interaksi simbolik yang
Dia berjumpa dengan sesuatu atau seseorang yang memberikan tuduhan
atasnya dan menuntutnya atas perbuatannya; namun pengalamannya
akan Kristus yaitu lebih penting dibandingkan apapun juga. Produktivitas
dan karya kreatif dari Paulus sang Teolog diperlukan agar supaya ia
mengetahui apa (atau siapa) yang telah dia alami itu dan apa arti dari
pengalaman itu. Jarak antara pengertian kita dan peristiwa perjumpaan
Paulus dengan Kristus itu harus dijembatani oleh proses interpretasi. Kita
harus memasuki lingkaran pengertian, jika kita ingin bicara penuh makna
tentang klaim religius atas peristiwa ini dalam hubungannya dengan kita,
dan akhirnya dapat menafsirkan dan mengarahkan sesuai dengan bahasa
kita (aplikasi) … Dalam peristiwa Paulus kita juga melihat bagaimana
interpretasi terhadap peristiwa Kristus itu tidak hanya menyentuh
kemampuannya untuk membaca dan mengerti tetapi juga mempengaruhi
eksistensi dirinya secara total, antara firman (kerygma) dan kehidupan
keseharian membantu untuk saling menerangkan, serta tidak terpisah dari
keadaan yang unik “di dalam Kristus.” Hermeneutik teologi jelas bukanlah
sekedar persoalan eksegesis, tetapi juga setidaknya mencakup persoalan
etika.
kemudian masuk ke dalam komunikasi religius. Sampai di sini,
mediasi telah mencapai pengalaman spiritual yang kemudian tiba
pada penyediaan makna untuk persiapan sebuah
tindakan/perbuatan.12 Jelas di sini terlihat bahwa hermeneutik
menunjuk kepada sebuah proses interpretasi yang membawa
kepada pengertian. Jadi dalam hal ini proses hermeneutik sebagai
sebuah percakapan, sangatlah penting untuk mencapai kepada
pengertian tentang kedalaman iman yang dimiliki seseorang. Selain
itu, proses hermeneutik juga penting untuk memahami berbagai
perspektif dan makna dari berbagai pemahaman yang kita lawan
atau setujui dalam konteks masyarakat yang majemuk ini.13
Dapat disimpulkan, pola interpretasi dalam Teologi Praktika
berbasis pada situasi yang sedang berlangsung (konteks), yang
dipakai sebagai kerangka penemuan makna, lalu menjadi pintu
masuk untuk sampai kepada praksis iman dan perbuatan.
Model Pendekatan Teologi Praktika
Model pendekatan dalam Teologi Praktika merupakan hal
yang penting untuk dipahami, karena menyangkut strategi
pembelajaran dan orientasi pemikiran sebagai dasar pemaparan
deskriptif dari Teologi Praktika. Idealnya, pembagian jenis
pendekatan terdiri dari dua aspek besar, yaitu pertama, metode
kritik (critical methods) yang digunakan untuk membawa bersama-
sama berbagai interpretasi yang ada dalam tradisi Kristen dan
budaya. Aspek kedua, hubungan antara gereja dan masyarakat.
Relasi antara gereja dan masyarakat dapat dijelaskan sebagai
horizon sosial dan konteks lokus dari praksis.14
Dalam tipologi metode kritik, ada tiga jenis metode kritik
yang biasa dipakai dalam ilmu Teologi Praktika, yaitu:15
(1) Critical scientific method, metode ini meletakkan disiplin
ilmu sekular sebagai kerangka dan norma bagi teologi
praktika, dan tradisi memainkan peran sekunder.
(2) Critical correlational method, metode ini berupaya
mencapai dialog kolaboratif antara tradisi Kristen dengan
disiplin ilmu sekular yang keduanya dapat saling menantang
satu sama lain sehingga dapat berkontribusi baik dalam
pernyataan-pernyataan deskriptif ataupun normatif, lalu
sampailah kepada pemahaman yang lebih dalam setelah
melalui dialog esensial yang setara.
(3) Critical confessional method, metode ini menekankan tradisi
Kristen yaitu yang utama secara normatif, hermeneutik
untuk menafsirkan tradisi itu memagang peranan yang
sangat penting, dan disiplin ilmu sekular tidaklah secara
utama menempati tempat yang penting, dan ilmu-ilmu
sekular digunakan dengan sangat hati-hati agar
meminimalisasi pengaruh norma-norma asing terhadap
tradisi Kristen.
Untuk aspek yang kedua, hubungan gereja dan masyarakat,
ada berbagai cara untuk mengkarakterisasi hubungan di antara
keduanya. Tujuan dari kesinambungan antara gereja dan
masyarakat yaitu fokus pada gereja sebagai kelompok konkrit
dalam pergumulannya untuk tetap menjadi setia di tengah dunia
modern ini. Bagaimana gereja dapat secara efektif memberikan
pengaruh yang positif bagi masyarakat dunia. Apapun pengaruhnya,
tujuannya yaitu gereja tetap menjadi pusat komunitas yang
membagikan praktik hidupnya secara bersama-sama dan juga
bermisi kepada dunia sebagai pengaruh yang menyembuhkan. Misi
gereja akan memperkaya dan mentransformasi tatanan sosial
masyarakat dengan menjadi bagian dari dialog publik. Gereja harus
secara aktif menyampaikan perspektifnya kepada arena publik, dan
pasti hal itu beresiko terhadap identitasnya, namun tetap harus
dilakukan demi masyarakat dunia dapat mengenal Kristus melalui
gereja.16
Ada juga sistem lain dalam memahami model pendekatan
dalam Teologi Praktika yang dapat memperluas wawasan
sehubungan dengan pengenalan terhadap teologi praktika yang
dikembangkan oleh Paul Ballard dan John Pritchard dalam buku
mereka Practical Theology in Action. Model pertama yang
dipaparkan disebut dengan applied theory. Teori ini muncul di
zaman Pencerahan atau yang sering disebut sebagai zaman yang
mengagungkan logika. Kalimat kunci yang muncul pada pemikiran
zaman ini yaitu “knowledge and truth give power and wisdom.”
Dalam Teologi Praktika, teori ini muncul dalam dua bentuk. Bentuk
pertama yaitu melakukan penerapan langsung hasil dari disiplin
ilmu sosial ke dalam situasi pastoral. Misalnya, teori konseling
Rogerian (teori konseling sekular) dan semua keterampilan dalam
ilmu konseling ini dipakai sebagai dasar metodologi pastoral untuk
konseling. Bahayanya yaitu teori sosial atau psikologi itu akan
mendikte dan mengarahkan pola praktik pastoral. Bentuk kedua
dari model applied theory yaitu model yang lebih dapat diterima
secara luas dalam kaitan dengan teologi itu sendiri. Di sini, otoritas
dan kebenaran yaitu poin pertama yang dibangun, tetapi tidak
berlandaskan pada ilmu sosial atau psikologi, namun lebih kepada
ilmu teologi itu sendiri yang memimpin. Pandangannya yaitu
Alkitab sebagai materi yang sangat cukup dalam kaitan dengan iman
dan moral, atau sebagai pengajaran yang berotoritas bagi Gereja,
atau untuk lingkaran yang lebih liberal, mengatakan bahwa teologi
natural dibangun oleh pemikiran logis. Sekali otoritas itu diterima,
semua tindakan dan obligasi disimpulkan pada dasar otoritas itu.
Misalnya, orang-orang Kristen diharapkan untuk mematuhi perintah
Allah, atau tugas pemuridan yaitu ketaatan. Maka semua
penjelasan deskriptif tentang teologi mengarah kepada otoritas itu.
Kekuatan dari model ini yaitu menempatkan otoritas dengan
serius. Kelemahannya yaitu prosesnya searah, dari teori ke praktis.
Model ini mendahulukan teori, sehingga membuat hal yang praktis
hanya semata-mata sebagai turunannya saja.
Ballard dan Pritchard juga memberikan ulasan serta
pembagian ekspresi dalam memahami metode kritik korelasi
(method of critical correlation). Pendekatan ini pada awalnya
berangkat dari metode korelasi dari Paul Tillich, kemudian banyak
dikembangkan di wilayah Amerika Utara, secara khusus di Chicago
oleh Don Browning. Tillich menyarankan bahwa setiap pertanyaan
manusia yang menyangkut makna dan eksistensi, akan menemukan
jawabannya dari Injil yang diwahyukan oleh Allah di dalam Kristus.
Jadi dialog dirancang berdasar pertanyaan dan jawaban; dan
jawabannya harus berkorelasi dengan wahyu Allah (revelation).
Inilah yang kemudian menjadi ekspresi pertama dalam metode
kritik korelasi, dimana pendekatan ini yaitu tentang dialog antara
situasi saat ini dengan tradisi atau perspektif teologi. Jadi pelaku
Teologi Praktika berdiri di antara pemahaman dari hikmat
Kekristenan yang didasarkan pada Alkitab dan tradisi, dan realitas
saat ini. Metode ini mendialogkan antara Injil dan realitas sosial.
Ekspresi kedua dari metode korelasi yaitu membawa secara
bersama-sama perhatian pada isu pastoral dan etika. Relasi
interpersonal yaitu hal yang paling esensi dari etika. Sangat jarang
keputusan etis itu ada di garis yang jelas, tetapi lebih kepada
bagaimana kita menghargai orang, bagaimana norma dan
ekspektasi yang kita miliki satu sama lain, apa yang masyarakat
harapkan, dan apa yang sedang kita cari. Perilaku etis bergantung
pada kualitas orang: apakah mereka dapat dipercaya, baik, terbuka;
atau apakah mereka yaitu orang yang licik, pemarah, egois? Tugas
Teologi Praktika di sini yaitu mewaspadai betapa perbedaan-
perbedaan level personalitas dan pengalaman jatuh pada situasi
tertentu; dan bagaimana kita dapat memiliki pengertian yang lebih
baik supaya memampukan orang mengambil keputusan yang lebih
Kristiani. Untuk melakukan hal ini, maka kita perlu mengetahui
sesuatu yang berkaitan dengan konteks sosial dan personal.
Ekspresi ketiga dari metode korelasi yaitu berdasar pada
kemampuan hermeneutik. Hermeneutik yaitu proses interpretasi.
Terkait dengan korelasi ini, yang lebih diperhatikan yaitu
bagaimana manusia berkomunikasi, bagaimana sebuah makna,
maksud dan kebenaran dapat disampaikan dan dibagikan. Misalnya,
terkait dengan penafsiran teks. Teks sebagai produk manusia,
dimana satu orang berkomunikasi dengan orang lainnya. Seperti
yang telah diketahui, bahwa menafsirkan teks tidak dapat secara
lurus dilakukan begitu saja. Ada banyak problem penafsiran, seperti
penerjemahan, kesenjangan historis dan kultur, dan sebagainya.
Tetapi yang menjadi kewaspadaannya yaitu bagaimana kita
melihat teks itu, bagaimana teks itu digunakan, apa yang kita cari
dari teks ini dan dalam otoritas yang seperti apa teks itu
diberikan. Jadi Alkitab itu dibaca dan ditafsirkan dalam konteks yang
kompleks, berbeda, dan dinamis. Melalui pendekatan dengan model
hermeneutik, tujuannya yaitu menyediakan semacam kerangka
untuk melakukan dialog yang penuh makna. Melalui model ini,
pelaku teologi praktika diperhadapkan pada pertanyaan, apa yang
sedang terjadi di antara dua belah pihak atau lebih dalam level
dialog yang berbeda dari segi: kultural, historis, sosial, psikologi,
metafisik, etika, dan sebagainya.
Model lain dalam teologi praktika yang digagas oleh Ballard
dan Pritchard yaitu praxis model dan habitus model. Istilah praksis
muncul dalam tradisi Marxist, yang mencoba untuk mengatasi
perbedaan rasionalistik antara teori dan praktis. Praksis itu lebih
dari praktis, dengan pemahaman tidak ada aktivitas manusia yang
bebas dari nilai. Poin utama dari pendekatan ini yaitu situasi
terkini (present, current situation). Apa yang terjadi hari ini yaitu
ekspresi dari asumsi-asumsi manusia tentang bagaimana sesuatu
seharusnya terjadi. Mungkin contoh paling baik dari metode ini
yaitu komunitas di Amerika Latin. Alkitab dan sakramen menjadi
inspirasi dan pemaknaan tersendiri sehubungan dengan situasi kritis
yang mereka hadapi saat itu. Kemiskinan dilihat sebagai
ketidakadilan dan pemuridan terjadi dalam pergumulan untuk
sebuah perubahan. Inilah yang disebut dengan jantung praktika dari
Teologi Pembebasan. Maka melalui pendekatan ini, muncullah
ekspresi pemuridan yang radikal di antara orang-orang Injili
konservatif. Kekuatan dari metode ini yaitu berjangkar kuat pada
hal yang praktis. Aktivitas teologis, termasuk di dalamnya studi
teoritis dari Alkitab dan doktrin, dilakukan untuk tujuan praksis. Di
sini teologi harus mendengar bagaimana orang-orang mengalami
keyakinan/kepercayaannya. Itu sebabnya studi sosiologis dan
psikologis mengenai keimanan yang praktis menjadi sangat penting
di sini.
Yang terakhir menjadi catatan penting dalam model
pendekatan dalam Teologi Praktika yaitu model habitus. Habitus
berasal dari kata habit, yang berarti sesuatu (kebiasaan) yang
dilakukan tanpa berpikir lagi, atau di luar kontrol. Dalam pemikiran
etika klasik, habit merupakan sebuah pola pikir (mind-set) yang
terbentuk, yang kemudian muncul sebagai sifat dalam diri
seseorang, yang keberadaannya didukung oleh pembinaan atau
pelatihan yang panjang. Terkait model pendekatan ini, tugas dari
Teologi Praktika secara khusus bukan pada penyediaan metodologi
dan keterampilan, tetapi melatih pikiran dan hati. Tujuannya yaitu
membangun Tubuh Kristus. Ini merupakan perjalanan panjang dan
terus menerus, yang menuntut kepedulian dan komitmen tinggi dari
pelakunya; yang melibatkan bukan hanya faktor intelektual tetapi
juga keseluruhan personalitas. Tentang hal ini Ballard dan Pritchard
menuliskan,
It is good, therefore, to remember that practical theology is
not only about the demands of discipleship and the task of
the Church in the world. It is not only about the needs of
persons and communities. It is also about oneself, of
growing into Christ and of living in the fellowship of saints.
It is also about losing oneself in God.
Teologi Praktika yaitu ilmu teologi yang sangat beragam
bidangnya, sehingga melibatkan begitu banyak pendekatan yang
berbeda pula dalam metode penelitiannya. Tentu hal ini dapat
membingungkan apabila tidak cukup jelas pemahaman yang dimiliki
tentang Teologi Praktika itu sendiri serta berbagai pendekatan yang
dapat diterapkan dalam sebuah pemikiran akademik ataupun
sebuah karya ilmiah. Kemungkinan untuk jatuh pada melihat isu
dalam teologi praktika secara empiric science, hampir tidak
terhindarkan. Bahkan hal ini telah menjadi fenomena yang
membentuk sikap seorang pelaku atau pembelajar Teologi Praktika
dalam melakukan studi terhadap isu-isu di dunia Teologi Praktika.
Beberapa elemen penting dalam pembelajaran Teologi
Praktika sebagai disiplin ilmu yang dialektik dan berkorelasi,
semestinya dipegang sebagai prinsip dasar dalam melahirkan karya-
karya ilmiah yang bertanggungjawab dan bersifat akademik dalam
bidang studi Teologi Praktika. Beberapa elemen itu dapat dicatat
sebagai berikut: (1) Mampu mendialogkan secara kreatif antara
teori dan praktik; (2) Memiliki pemahaman akan tradisi teologi
Kristen yang ada di masa lalu dan melihat korelasinya dengan
pengalaman keagamaan yang bersifat kontemporer; (3) Mampu
melihat realitas situasional tertentu dan prinsip-prinsip teoretikal
umum yang berlaku; (4) Mampu menyeimbangkan apa yang berupa
realitas dan apa yang seharusnya terjadi; (5) Mampu membedakan
apa yang bersifat deskriptif (what is) dan apa yang bersifat
preskriptif (what ought to be); (6) Mampu menafsirkan apa yang
berupa teks dan yang berupa non-teks dalam pengalaman saat
berlangsung; (7) Mampu mengkorelasikan antara teologi dan
disiplin ilmu lain; (8) Mampu mengkorelasikan antara komunitas
Kristen dan komunitas/masyarakat dunia di luar Kekristenan.22
Dengan menuliskan dan menyampaikan secara tepat dan
benar berbagai isu dalam teologi praktika yang banyak menyangkut
buah dari kehidupan, berteologi secara praksis, seharusnya ini
menjadi terobosan penting dalam keilmuan Teologi Praktika di masa
kini dan di masa depan.