maria magdalena 2

 


Tradisi kristiani awal menempatkan Maria Magdalena sebagai perempuan suci, yang karena kesuciaannya 

Allah melayakkannya menjadi saksi kebangkitan. Dengan menggunakan perspektif hermeneutik, 

berhadapan dengan Alkitab, metode Paul Ricoeur secara jelas membedakan antara aktivitas membaca 

(reading) dan menafsir (interpreting), “eksegese” dan “hermeneutik”. Jika “menafsir” berorientasi ke masa 

lalu (eksegese), maka “membaca” menghasilkan orientasi ke masa kini (hermeneutik). Jadi, “tafsir” bukan 

hanya berarti “eksegese”, tetapi “eksegese” sekaligus “hermeneutik”. Dengan hermeneutik produktif 

diusung sebuah tesis, yaitu posisi iman yang mengandung pilihan etis yang membebaskan. Dalam terang 

seperti itulah Maria Magdalena dan hidupnya hendak dilihat dalam perspektif hermeneutis untuk 

menibakan pada panggilan etis emansipatoris. Dalam perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit, Maria 

Magdalena diperkenalkan sebagai perempuan dengan nilai-nilai pedagogis yang luhur. Dalam perspektif 

pedagogis, nilai-nilai hidup Maria adalah: kepekaan hati-belarasa, panggilan misional-agen perubahan, 

dan kreativitas yang bijaksanaTulisan ini bermaksud menelaah hidup seorang tokoh perempuan di dalam Alkitab, yaitu Maria 

Magdalena. Baik Maria Magdalena maupun Maria ibu Yesus, keduanya menjadi ibu bagi semua orang 

Kristen pada era patristik awal. Keibuan mereka lalu ditransfer kepada gereja (Hovorun, 2015; Krueger, 

2019). Gambaran gereja sebagai ibu diterima luas dalam oecumene Kristen, khususnya di Afrika Utara. Di 

Aleksandria, khususnya, Klemen memperkenalkan gereja sebagai ibu dengan mengambil referensi pada 

kata-kata Yesaya: “Sebab beginilah firman Tuhan: Sesungguhnya, Aku mengalirkan kepadanya 

keselamatan seperti sungai, dan kekayaan bangsa-bangsa seperti batang air yang membanjir; kamu akan 

menyusu, akan digendong, akan dibelai-belai di pangkuan. Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu; kamu akan dihibur di Yerusalem” (Yesaya 66:12-13) 

(Hovorun, 2015). Seorang ibu akan membawa anaknya dekat dengannya. Kita pun menyebut ibu kita 

dengan gereja.

Gambaran ibu menjadi populer dalam dunia Kristen sebagai reaksi atas perpecahannya: ibu yang 

menyatukan anak-anaknya. Siapa yang menolak gereja akan membahayakan keselamatannya, 

sebagaimana diungkapan oleh Cyprianus dari Kartago dengan kata-katanya yang terkenal: “Ia yang tidak 

mengaku Allah sebagai Bapa, ia juga tidak mengakui gereja sebagai ibunya” (Hovorun, 2015). Gambaran 

perempuan ini menjadi sangat kuat dalam mengamankan kesatuan gereja. Pada saat yang sama, 

gambaran ini berkontribusi untuk mempersepsikan gereja sebagai bernilai dalam dirinya, jika tidak 

terpisah dari Kristus.

Maria Magdalena tentu bukan sosok perempuan biasa (Chung Yen, 2005). Ada 12 ayat dalam 

keempat Injil kanonik, yang berasal dari tahun 70-100 M, yang berisi rujukan pada Maria Magdalena atau 

Maria dari Magdala. Ayat-ayat berikut menyebutkan panggilan nama tersebut: Matius 27:56; 27:61; 28:1; 

Markus 15:40; 15:47; 16:1; 16:9; Lukas 8:1; 24:10; Yohanes 19:25; 20:1; 20:18. Tradisi kristiani awal 

menempatkan Maria Magdalena sebagai perempuan suci, yang karena kesuciaannya Allah 

melayakkannya menjadi saksi kebangkitan. 

Penghormatan pertama atas Maria Magdalena muncul di Gereja-gereja Timur. Tahun 889 M, kaisar 

Bizantium, Leo VI membangun rilikui (devosi/penghormatan) untuk Maria Magdalena di Gereja En￾Topois, di Konstantinopel. Di Gereja-gereja Barat, devosi/penghormatan atas Maria Magdalena sangat 

awal terjadi dan betul-betul berkembang setelah Paus Gregorius (590-604 M) dalam dua kesempatan 

berbeda mendukung dan meresmikan devosi populer terhadapnya. Untuk meyakinkan Gereja Katolik, ia 

berkata: "Ketika saya memikirkan pertobatan Maria, rasanya saya ingin menangis. Ia betul-betul 

memperhitungkan apa yang telah ia buat dan apa yang akan dia lakukan. Dengan mencintai kebenaran, 

dia menghapus dosa-dosanya dengan air matanya sendiri" (Tardelly, 2011). Puncaknya pada 20 April 

1050, Paus Leo IX mengeluarkan sebuah bulla(keputusan suci dari Paus) yang menetapkan Maria seorang 

santa dan dikukuhkan ulang oleh Paus Stefanus IX pada 6 Maret 1058. Begitulah tradisi Katolik 

memandang Maria Magdalena sebagai perempuan kudus (santa, orang kudus) yang paling banyak 

diumpat karena kontroversinya, namun diberkati dan layak menjadi salah satu pengantara umat dan atau 

gereja untuk datang kepada Allah (Callahan, 2006; Tripp, 2019, pp. 253–276). Namun, ia jelas adalah 

seorang penginjil perempuan mula-mula yang turut menjadi saksi dari peristiwa kebangkitan Yesus. 

Karena ia adalah saksi dari kebangkitan, maka ia dapat disejajarkan dengan rasul-rasul lainnya, sebagai 

seorang rasul perempuan (Callahan, 2006). Maria menjadi contoh bagi banyak orang yang terjaga dalam 

iman mencari Dia di pagi hari Paskah. Dia juga model dari gereja dalam peziarahan mencari Tuhan.

Beberapa studi terdahulu tentang Maria Magdalena dilakukan oleh beberapa ahli. Lie Chung Yen 

mendalami sosok Maria Magdalena dengan perspektif historis. Ia mendalami konteks pemberontakan 

yang silih berganti terjadi. Magdala, tempat di mana Maria hidup, lalu dikenal sebagai “tanah yang diliputi 

bayangan kematian”. Yen juga memperkenalkan Maria sebagai sosok pelacur yang bertobat. Konteks ini 

membuat Maria menjadi sosok yang terbiasa dengan dunia yang keras, yang menempanya menjadi 

pribadi yang tangguh dan militan ketika menjadi para pengikut Yesus (Chung Yen, 2005). Tokoh lain 

Sidney Callahan dengan perspektif historis menggali konteks Palestina dengan sistem sosial dan 

ekonominya yang menindas. Masyarakat Yudea di mana Maria hidup adalah yang bertatanan sangat tidak 

adil. Kekerasan dan penindasan sangat biasa terjadi di sini, lebih lagi itu tertuju pada kaum perempuan 

yang sering mengalami marginalisasi. Inilah konteks di mana Maria tumbuh sebagai perempuan yang 

terbiasa hidup menderita dan mengikuti gerakan Yesus dengan satu visi untuk ikut mentransformasi masyarakat menjadi adil dan sejahtera (Callahan, 2006). Sementara itu Reynaldo Fulgentio Tardelly, 

dengan menggunakan analisis semiotik (kebahasaan), menjelaskan kata Magdala sebagai sebuah jalur 

perdagangan yang ramai dan tempat orang berjualan ikan. Tujuan analisis semiotik ini adalah untuk 

memperlihatkan latar belakang kehidupan Maria sebagai seorang nelayan --seperti umumnya para murid 

Yesus-- yang sehari-harinya bergelut dengan kehidupan yang keras sehingga ia menjadi pribadi dewasa 

dan matang oleh pengalaman (Tardelly, 2011). Tokoh lain Sr. M. Henrika dengan menggunakan perspektif 

misiologis mengatakan bahwa perjumpaan dengan Yesus telah mengubah hidup Maria. Rasa sedih karena 

penindasan menjadi sukacita yang mendalam, dan keputusasaan karena menjadi sasaran ketidakadilan 

diubah menjadi pengharapan. Lebih dari itu, Yesus memanggil, memberi kepercayaan dan penugasan

kepada Maria untuk menghadirkan damai sejahtera (Henrika, FSGM, 2011). Terakhir Bronwen Wilson, 

dengan perspektif teologis menjelaskan konteks yang keras dan cenderung seksis terhadap para 

perempuan menempatkan Maria Magdalena tumbuh menjadi seorang pembimbing yang sangat baik 

untuk orang kristiani dewasa ini yang berusaha menjadi orang yang sungguh mengasihi Allah dan sesama. 

Maria mewakili perempuan misionaris yang bersemangat besar untuk mencari dan menemukan 

kebenaran. Inilah yang dalam dunia teologi dikenal sebagai "fides quarens intellectum", yaitu iman yang 

mencari terus-menerus pengetahuan akan kebenaran Allah dan diwujudkan dengan upaya keras tanpa 

lelah hingga sampai mendapatkannya (Wilson, 2019). Yang berbeda dalam penelitian ini adalah bahwa 

penulis menggunakan perspektif hermeneutik pedagogis, untuk menggali nilai-nilai pedagogis dari 

pengalaman hidup Maria Magdalena bagi hidup manusia di hari ini. Perspektif ini sekaligus kebaruan yang 

membedakan antara tulisan ini dengan tulisan-tulisan terdahulu.

Melalui penelusuran ini akan dicari apa yang menjadi nilai-nilai pedagogis yang diperjuangkan oleh 

seorang Maria Magdalena. Tesis tulisan ini adalah bahwa nilai-nilai hidup yang dijalani Maria Magdalena 

itu sangat penting untuk hidup pribadi dan komunitas di hari ini di tengah perjuangan hidup beriman yang 

tidak mudah. Melalui penelusuran hermeneutis, didapati bahwa semua nilai itu penting untuk 

menginspirasi sebuah tindakan iman konkret di dalam konteks yang dihidupi.

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah hermeneutik, secara khusus titik 

beratnya pada hermeneutik Paul Ricoeur. Hermeneutik sebagai penafsiran atas teks kitab suci sangat 

dekat dengan persoalan seseorang menerapkan hasil-hasil penafsiran teks agamanya dalam ruang-ruang 

publik (Ariarajah, 2005; Frederiks, 2005; Moyaert, 2017). Dapat dikatakan bahwa penafsiran atas teks￾teks keagamaan bukanlah aktivitas sepi dari hubungan dengan orang-orang lain dan bagaimana orang lain 

digambarkan berdasar pada hasil penafsiran itu. Hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneuein, yang 

berarti "menafsirkan" (to interpret). Dari sini muncul perluasan makna kata menjadi "mengungkapkan" 

(to express), "menjelaskan" (to explain), "menerjemahkan" (to translate) (Palmer, 1980). Kata ini juga 

didefinisikan secara beragam dan bertingkat.

Ragam dan tingkat pertama adalah hermeneutik reproduktif (Mantzavinos, 2020)(Warnke, 2020). 

Friedrich Schleiermacher dianggap menjadi tokoh kunci hermeneutik reproduktif yang ingin kembali ke 

masa lalu dengan proyek rekonstruksi dan reproduksi. Tugas hermeneutik adalah menghubungkan 

seseorang dengan "ekspresi genius" atau "pengarang serba tahu" (omniscient author) –bahkan 

“pengarang dianggap tidak dapat salah”— dan menjadikannya itu sezaman dengan orang tersebut 

(pembaca). Jarak antara pengarang dan pembaca cenderung dianggap negatif, dan harus diatasi. Upaya 

mengatasi jarak menyebabkan alih-alih makna menjadi jelas, yang ada adalah pengulangan (copy-paste, 

reproduktif) masa lalu untuk dihadirkan di hari ini. William Dilthey (1833-1911) meneruskan proyek hermeneutik reproduksi. Menurut Dilthey "the ultimate aim of hermeneutics is to understand the author 

better than he understands himself" (tujuan akhir hermeneutik adalah memahami pengarang lebih baik 

daripada pemahamannya tentang dirinya sendiri) (Ricoeur, 1982). Lewat pernyataan di atas, tergambar 

bahwa hermeneutik memang didedikasikan memahami yang lain (dhi. teks atau pengarang), tetapi saat 

bersamaan melupakan diri sendiri. Hermeneutik reproduktif lalu jatuh pada arogansi makna tunggal.

Ragam dan tingkat kedua adalah hermeneutik produktif (Mantzavinos, 2020) (Warnke, 2020). 

Tokoh kunci hermeneutik produktif adalah Hans-Georg Gadamer. Ia mengatakan: “[...] the meaning of a 

text goes beyond it's author [...] That is why understanding is not merely a reproductive, but always a 

productive attitude as well” (arti dari sebuah teks melampaui pengarangnya […] Itulah mengapa 

pemahaman bukan hanya reproduksi, tetapi selalu merupakan sikap produktif juga” (Gadamer, 1975). 

Hermeneutik produktif ini mendobrak penunggalan makna dan membuka perspektif “keragaman makna” 

(surplus of meaning). Hermeneutik ini mencapai puncaknya pada pemikiran filsafat hermeneutik Paul 

Ricoeur. Dasarnya adalah apa yang Ricoeur katakan “meaning of a text lies not behind the text but in front 

of it” (Makna teks sendiri tidak terletak di belakang teks melainkan di depannya) (Ricoeur, 1982). Karena 

makna ada di depan teks, makna melampaui intensi pengarang, yang berarti membuka kemungkinan bagi 

polisemi makna. 

Hermeneutik produktif mengusung sebuah tesis, yaitu posisi iman yang memuat panggilan etis 

yang membebaskan (Ricoeur, 1980). Teks yang bersifat produktif dapat membuka diri 

(penafsir/pembaca) di hadapan teks yang mendorong kehendak untuk bertindak. Tindakan yang 

dimaksud adalah tindakan etis emansipatoris. Inilah prinsip etika emansipasi Ricoeur yang dihasilkan 

melalui proses penafsiran teks, yang dasarnya adalah "cinta dan keadilan" (love and justice) (Simon, 2019)

(Ricoeur, 1995). Di sinilah hidup sehari-hari ditransfigurasi oleh perjumpaan dengan teks dan mengantar 

pada tindakan etis tentang cinta dan keadilan. Dalam terang seperti itulah Maria Magdalena dan hidupnya 

hendak dilihat dalam perspektif hermeneutik produktif untuk menibakan pada panggilan etis 

emansipatoris.

Dalam kajian hermeneutik produktif, berhadapan dengan Alkitab, Ricoeur secara jelas 

membedakan antara aktivitas “membaca” (reading) dan “menafsir” (interpreting), “eksegese” 

(=menempatkan teks dalam konteks masa lalu) dan “hermeneutik” (=menempatkan teks dalam konteks 

masa kini)” (Ricoeur, 1982). “Membaca” menekankan pada pembaca teks yang mempunyai perspektif 

atau pendekatan tertentu terhadap teks. “Menafsir” menekankan pada kemampuan menggali teks dan 

makna yang terdapat di dalam atau di belakang teks. Jika yang terakhir, “menafsir”, dikembangkan oleh 

metode tafsir historis-kritis yang berorientasi ke masa lalu (eksegese), maka “membaca” menghasilkan 

pendekatan yang sekarang disebut reader’s response yang orientasinya ke masa kini (hermeneutik). Jadi, 

“tafsir” bukan hanya berarti “eksegese”, tetapi “eksegese” sekaligus “hermeneutik”.

Secara teknis, urutan penafsiran yang Ricoeur lakukan adalah pertama-tama prefiguration, 

kemudian configuration dan akhirnya refiguration. Dalam langkah pertama, prefiguration, kita berpikir 

naïf atau pra-kritis. Tahap ini sering juga disebut membaca dari dekat (close reading), memahami teks dan 

menggali makna secara intuitif dalam rangka sebuah keyakinan. Dalam langkah kedua, configuration, kita 

memasuki pemikiran kritis. Pada tahap ini seorang penafsir mulai mendiskusikan hasil bacaannya atas 

teks dengan bahan-bahan tafsir dari para ahli yang mengusung tujuan ganda, yaitu kritis pada teks dan 

kritis pada sejarah penafsiran teks. Sedangkan dalam langkah ketiga, refiguration, kita memasuki 

pemikiran pasca-kritis. Pada tahap ini hasil penafsiran pada tahap sebelumnya dipakai untuk 

mengonstruksi pesan-pesan moral-etis-emansipatoris bagi hidup di masa kini (Stiver, 2001)(Colby & H. 

Bodily, 2018). Dalam ketiga tahap ini tekanan diletakkan pada si pembaca. Pembaca dan pengalamannya 

merayakan kekayaan makna (surplus of meaning). Memberi tempat kepada pembaca untuk menentukan 

makna sebuah teks akan melahirkan suatu eisegese, yaitu penyelundupan pikiran pembaca ke dalam teks 

(Setio, 2010) (Setio, 2006). Secara metodik, perkembangan hermeneutik postmodern semakin 

mengaburkan perbedaan klasik antara eksegese (mengeluarkan makna) dan eisegese (memasukkan 

makna). Eisegese dapat ditoleransi jika penyelundupan pikiran bahkan kepentingan dari pembaca itu 

terjadi sejauh diletakkan dalam komunitas sehingga yang muncul adalah kepentingan komunitas 

(interpretive community). Terselip keyakinan bahwa di dalam komunitas inilah kepentingan yang lebih 

besar, yaitu kepentingan kerajaan Allah tentang keadilan (termasuk keadilan gender), perdamaian dan 

keutuhan ciptaan, tersimpan dan melampaui segala bentuk kepentingan pribadi (Gschwandtner, 2017). 

Pada dasarnya jenis penafsiran ini memahami bahwa pembaca perlu diberi ruang yang lebih leluasa untuk 

menentukan manfaat penafsiran yang diketemukan sedekat-dekatnya dengan konteks hidupnya dan 

menjawabnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Urutan hasil dan pembahasan dengan memakai perspektif pedagogis Paul Ricoeur melalui metode 

penafsirannya adalah sebagai berikut. Pertama-tama akan dipaparkan kedudukan Maria Magdalena di 

dalam konteks yang dihidupinya. Bagian ini merupakan gabungan langkah pertama dan kedua dari 

metode tafsir Ricoeur, yaitu prefiguration dan configuration. Kemudian menjelaskan arti penting Maria 

Magdalena dalam gerakan Yesus. Bagian ini merupakan langkah kedua, yaitu configuration. Dan akhirnya 

menjelaskan Maria Magdalena dan nilai-nilai pedagogis yang diwariskannya. Bagian ini merupakan 

langkah ketiga, yaitu refiguration. Sebagai penutup akan dipaparkan beberapa kesimpulan.

Maria Magdalena dan Konteks Hidupnya

Inggrid Maisch, teolog perempuan Katolik asal Jerman, berpendapat bahwa nama Maria dari 

Magdala jauh lebih objektif ketimbang nama Maria Magdalena. Yang terakhir ini cukup sarat dengan bias 

jender, khususnya pandangan laki-laki atas perempuan tidak baik dan tidak bermoral. Padahal Maria dari 

Magdala jauh lebih dari itu, mempunyai karakter: berani, solider, penghibur orang berduka, tekun dan 

setia (Tardelly, 2011). Bahkan Sidney Callahan menjelaskan bahwa dari analisis bahasa dan budaya,nama 

Maria dari Magdala sangat jelas bahwa ia adalah seorang terpandang atau terkemuka di tengah 

masyarakat(Callahan, 2006). Bahkan besar kemungkinan bahwa Maria adalah pemimpin sebuah jemaat 

kristiani perdana. 

Maria dari Magdala hidup dalam zaman yang bergolak di bawah pemerintahan bangsawan militer 

di Roma. Maria hidup di sebuah provinsi Roma di kawasan Laut Tengah yang banyak diterjang 

pemberontakan kaum petani dan perang saudara di antara raja-raja wilayah atau raja-raja boneka Roma. 

Pemberontakan orang Yahudi atas Raja Shalmanaser II asal Asyur (728 SM) dicatat dalam Hosea 10:13b-

14. Pemberontakan Makabe terjadi tahun 167-143 SM (lihat Makabe 9:2). Pemberontakan Yahudi 

terakhir terjadi tahun 66-70 M yang membuat kehancuran Yerusalem. Magdala sendiri hancur tahun 67 

M. Panglima militer Roma, Vespasianus, dan anaknya, Titus, membantai habis penduduk Magdala. 

Pengalaman ini membuat Magdala dikenang sebagai "tanah yang diliputi bayangan kematian"(Chung Yen, 

2005)Di zaman Maria hidup, Yudea diperintah oleh HerodesAgung (37-40 sM) yang terkenal bengis dan 

haus darah. Keadaan di Palestina pada abad pertama adalah contoh sistem sosial dan ekonomi yang 

bersifat menindas (Callahan, 2006). Keadaan-keadaan tersebut menunjukkan masyarakat yang bertatanan sangat tidak adil. Orang kaya menjadi semakin kaya dan orang miskin semakin tergilas dan 

melarat. Kekerasan yang tidak mengenal hukum dan penindasan yang kejam adalah hal biasa.

Dalam bahasa Ibrani "Mar" berarti gemuk, tebal, pahit, kuat dan suka berontak. "Mar" dalam bahasa 

Ibrani menjadi Miryam, bahasa Aram menjadi Maryam, bahasa Yunani menjadi Mariam, dan dalam bahasa 

Latin menjadi Maria (Chung Yen, 2005). Makna namanya itu yang kiranya tercermin dalam kenyataan 

bahwa Maria Magdalena atau disebut juga Maria dari Magdala hidup dalam zaman dan tempat yang rumit, 

yang telah memikat semua orang yang berusaha memahami Yesus dari Nazaret. Masyarakat kota yang 

berkembang pesat dan bersifat Yunani-Helenistik, yang terdiri dari orang Yunani, Romawi dan Yahudi, 

hidup di Palestina berdampingan dengan, atau menindas, masyarakat petani agraris Yahudi. Semua 

kelompok ini hidup di bawah kuk kekuasaan Romawi yang memerintah dengan tangan besi. 

Jalan-jalan perdagangan membentang melalui Palestina dari peradaban-peradaban Timur menuju 

pelabuhan-pelabuhan laut di kawasan Laut Tengah. Agama yang berbeda-beda, baik dari Timur maupun 

Barat, memengaruhi kehidupan beragama orang Yahudi. Perpecahan internal yang bergolak menandai 

Yudaisme pada zaman itu. Ada sekte-sekte asketik, seperti kaum Esseni, yang memilih mengasingkan diri 

dari keramaian, di samping golongan keras, Zelotes, yang memberontak melawan Roma, namun akhirnya 

ditumpas dan musnah oleh militer Roma.

Dalam konteks yang keras itu, nasib Maria tidak jauh dengan rakyat kebanyakan. Ia hidup penuh 

dengan kepahitan. Hidup Maria sebanding dengan hidup mertua Ruth yang mengakibatkan ia dinamai 

Mara yang berarti kepahitan dan bukan Naomi yang artinya menyenangkan. "Mara" adalah bentuk lain 

dari "Mar", yang dalam bahasa Ibrani berarti "pahit", yang mencerminkan kepahitan hidup yang dialami 

oleh Maria (Chung Yen, 2005). Magdalena kerap dilukiskan dengan tengkorak, mungkin karena ia berdiri 

di bawah Salib di Bukit Tengkorak (Golgata), bisa juga karena ia dianggap akrab dengan kematian.

Magdala sebagai tempat asal Maria adalah sebuah kota besar di tepi danau Galilea atau karena 

luasnya disebut Laut Kinneret (Chung Yen, 2005). Magdala terletak di persilangan jalan utama 

perdagangan internasional Via Maris (Latin: Jalan Laut) antara Mesir dan Damaskus, Siria. Kota ini 

menyerupai kota singgah yang bersifat internasional karena menjadi pertemuan orang dari berbagai 

bangsa sambil membawa perilaku dan sistem kepercayaan mereka masing-masing. Secara moralitas 

sesungguhnya kota ini sangat rusak. Sihir dan perzinahan merajalela. Mungkin karena reputasi kota asal 

Maria ini, sehingga di kemudian hari Maria selama berabad-abad dikenal sebagai mantan pelacur (Chung 

Yen, 2005). Sekalipun muncul pula pandangan sebaliknya yang melihat Maria secara apresiatif dari

Elisabeth S. Fiorenza, yang mengatakan,"the pre-Lukan tradition identifies Mary of Magdala as a woman 

'from whom he has cast out seven demons' (cf. Mark 16:9 and Luke 8:2), then she is not thereby 

characterized as a 'sinner', but as someone who has experienced the unlimited (seven) liberating power of 

the basileia in her own life" [tradisi pra-Lukas mengidentifikasi Maria dari Magdala sebagai seorang 

perempuan ‘dari siapa Dia telah mengusir tujuh setan’ (band. Markus 16:9 dan Lukas 8:2), maka dia 

dengan demikian tidak dikategorikan sebagai ‘orang berdosa,’ tetapi sebagai seseorang yang telah 

mengalami kekuatan pembebas kuasa Allah yang tak terbatas dalam hidupnya sendiri] (Fiorenza, 1985). 

Basileia adalah kuasa Allah yang membebaskan. Visi basileia Yesus membuat orang seperti Maria pulih, 

sehat, tahir dan kuat kembali.

Dinamai Magdala (Ibrani "Migdal": menara) karena di sini berdiri menara pengawas milik militer 

Roma untuk mengamati seluruh rute utama perdagangan. Di sini juga para nelayan berlabuh dan menjual 

ikan mereka. Karena itu kota Magdala juga sering disebut "menara ikan" (Ibrani: Magdal Nunaiya) atau 

orang berbahasa Yunani menyebutnya "tempat ikan diasinkan" (Yunani: Tarichea) atau dikeringkanSemua hasil olahan ikan itu dijual ke pasar-pasar di Yerusalem dan di ekspor hingga ke 

kota Roma.

Seperti jelas pada bagian sebelumnya, Ricoeur secara jelas membedakan antara aktivitas membaca 

(reading) dan menafsir (interpreting). “Menafsir” menekankan pada kemampuan menggali teks dan 

makna yang terdapat di dalam atau di belakang teks.“Membaca” menghasilkan pendekatan yang sekarang 

disebut reader’s response yang basisnya adalah hermeneutik produktif, menambah dan menggandakan 

makna. Apa hasil hermeneutik terkait dengan hidup Maria? Hasilnya dapat dilihat dan ditemukan dalam 

makna bahwa konteks yang keras dan cenderung seksis para perempuan menempatkan Maria Magdalena 

menjadi pembimbing yang sangat baik untuk orang kristiani dewasa ini yang berusaha menjadi orang 

yang sungguh mengasihi Allah dan sesama. Maria mewakili perempuan misionaris yang bersemangat 

besar untuk mencari dan menemukan kebenaran (Wilson, 2019). Padanya iman yang diterminologikan 

sebagai "fides quarens intellectum", yaitu iman yang mencari terus-menerus pengetahuan akan kebenaran 

(Allah) diwujudkan dengan upaya keras tanpa lelah hingga sampai mendapat pembuktiannya. Sebelum 

dan sesudah kebangkitan, ia dapat berbalik menuju dunia baru dan melangkah untuk menempuh jalan 

kemuridan yang progresif dan revolusioner, yang maju dan mengubah keadaan.

Tempat Maria Magdalena dalam Gerakan Yesus

Dalam Lukas 8:1-3, Maria Magdalena memiliki tempat istimewa dalam gerakan Yesus. Ia 

diperkenalkan sebagai pribadi yang mengenal dan mengikuti Yesus bersama dengan kedua belas murid 

berjalan berkeliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan Allah (Clifford, 

2002). Maria menderita dengan tujuh setan yang selalu mengganggunya. Namun, menurut apa yang 

sering terjadi, penderitaan itu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan orang-orang yang kerasukan 

legion, yang berarti kurang lebih seribu setan sebagaimana yang terjadi pada orang di Gerasa. Yang jelas 

ia telah disembuhkan dari tujuh roh jahat atau roh jahat yang sempurna (angka 7) dalam kejahatannya, 

juga dari berbagai penyakit lainnya (Tardelly, 2011). Ia mengalami dan mengenali Yesus sebagai Ia yang 

dekat, yang menyembuhkan atau menyelamatkan. Yesus adalah orang yang selalu sama, penuh cinta, 

dekat dengan para murid-Nya, selalu mencari dan mencintai orang berdosa, mudah bergaul dengan siapa 

saja, tetapi pada saat yang sama setia pada panggilan-Nya, yang sering kali begitu sulit dipahami. Maria 

Magdalena juga bersama dengan perempuan-perempuan lainnya melayani rombongan Yesus dengan 

talenta, karunia dan berkat berupa kekayaan yang mereka miliki (ayat 2). Ia termasuk dari penginjil atau 

misionaris perempuan pertama yang diperkenalkan oleh Injil yang menjadi saksi yang setia dari kuasa 

kebangkitan Yesus (Ricci, 1994). Ketika hampir semua murid-Nya lari meninggalkan Yesus, Maria 

Magdalena bersama Yohanes dan Maria ibu Yesus, menyaksikan kematian-Nya di Kalvari (Matius 27:55-

56; Markus 15:40-41, Yohanes 19:25).

Dalam Yohanes 20:11-18, Maria Magdalena mengalami perasaan kehilangan Yesus. Kemudian 

menemukan kembali Yesus. Ia berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Perjumpaan itu menjadi pola bagi 

perjalanan hidup, khususnya panggilan para perempuan, di mana Yesus mempercayai dan mengutus 

Maria, menunjuk pada bagaimana para perempuan pun diutus untuk ikut serta mengemban misi gereja 

dalam setiap tempat dan kesempatan (Johnson, 2003).

Narasi Yohanes 20:11-18 sangat menarik dicermati. Pagi-pagi menjelang fajar pada hari sesudah 

sabat, Maria Magdalena atau Maria dari Magdala, bergegas-gegas pergi menuju ke kuburan tempat Yesus 

dimakamkan. Dalam perjalanan itu, ia terus menangis. Ini merupakan ungkapan emosional dari 

pengalaman kehilangan karena kedekatan sebuah relasi antara Yesus dengan para murid tak terkecuali dengan Maria. Gelombang kepedihan dan kedukaan melingkupi hatinya. Lagi dan lagi gambaran tentang 

penangkapan, pengadilan dan penyaliban Yesus menyerbu hatinya.

Ketika memasuki kompleks pekuburan, Maria terkejut karena menemukan batu penutup pintu 

masuk makam telah terguling ke samping. Makam itu telah kosong. Dalam keadaan kuatir dan bingung, 

Maria berlari untuk memberi tahu para murid yang lain, katanya: "Tuhan, telah diambil orang dari 

kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan" (Yohanes 20:2).

Petrus dan Yohanes berlari untuk melihat dan membuktikan sendiri makam yang kosong, 

kemudian pulang lagi. Akan tetapi Maria tetap tinggal di situ. Ia tidak mundur selangkah pun untuk 

memenuhi maksudnya. Ia bertekad bulat dan berdaya kuat untuk menemukan tubuh Guru yang amat 

dihormati dan dikasihinya. Dari hati yang paling dalam, Maria ingin memberikan upacara penghormatan 

atas tubuh Yesus, sesudah diperlakukan dengan amat kejam, diolok-olok, disesah dan amat menderita, 

dengan upacara pemakaman yang lazim untuk orang mati dalam tradisi Yahudi.

Ketika sedang menunggu di luar kubur, Maria terus menangis dan berdukacita. Terasa segala 

sesuatunya telah sirna. Musuh yang pendendam dan iri hati, pemimpin yang bejat, pengkhianatan 

sahabat-sahabat dekat (Petrus dan Yudas), semua itu telah membantu si penindas Roma menjatuhkan 

hukuman yang tidak adil bagi Yesus, yaitu hukuman mati di salib yang hina. Kematian seolah mengalahkan 

kehidupan. Hati Maria remuk redam karena keputusasaan dan tertindih ketidakberdayaan. Dalam hari￾hari terakhir ini, ia, yang sebelumnya selalu mampu mengurus dan melayani orang-orang lain, menjadi 

kehilangan daya tanpa mampu berbuat apa-apa selain bersedih dan berdiri sebagai saksi di tempat 

eksekusi itu dan sekarang di kuburan ini.

Namun, ia mengalami suatu penglihatan. Dua orang malaikat berpakaian putih tampak dan 

bertanya kepadanya (Yohanes 20:12). Perhatian Maria sepenuhnya tertuju pada misinya sehingga ia tidak 

merasa panik. Maria dengan tenang menerangkan bahwa ia sedang mencari tubuh Yesus, dan ia meminta 

bantuan. Ketika sedang berbicara, ia tergerak untuk berputar ke arah sosok manusia yang ia lihat di 

dekatnya. Itu Yesus. Tetapi mula-mula Maria menganggapnya seorang tukang kebun. Yesus dengan sopan 

bertanya mengapa Maria menangis. Maria menjawab dan menerangkan usaha pencariannya. Kemudian 

Yesus berkata: "Maria". Maria mengenali sapaan itu. "Rabuni!" teriaknya dengan menggunakan sapaan 

penuh kerinduan, yang berarti "Guruku". Dalam jawaban-Nya, Yesus memberi tahu Maria untuk tidak 

menjamah atau memeluk-Nya, tetapi menyuruhnya pergi dengan segera dan memberi pesan kepada 

saudara-saudara yang lain bahwa "Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan 

Allahmu" (Yohanes 20:17).

Kisah larangan Kristus pada Maria untuk tidak menyentuh-Nya pasca kebangkitan (Yohanes 20:17) 

banyak menarik perhatian para Bapa Gereja (Tardelly, 2011). Hieronimus (abad ke-4) melihat ini sebagai 

transformasi iman dari seorang yang tidak percaya pada kebangkitan kepada orang yang percaya. 

Yohanes Kristostomus (abad ke-4) menjelaskan perkembangan itu demikian, dari "kepercayaan duniawi"

(dalam adegan memeluk kaki Yesus) ke kepercayaan penuh akan keilahian Yesus (dalam adegan larangan 

menyentuh Yesus). Sementara itu, Gregorius Agung melihat adegan larangan menyentuh Yesus sebagai 

undangan untuk "menyentuh secara spiritual". Bapa Agustinus menjelaskannya sebagai metafor bangsa￾bangsa kafir yang akhirnya percaya kepada Yesus.

Maria pergi. Ia memberitakan kepada para pengikut Yesus lainnya bahwa ia telah melihat Tuhan 

dan menyampaikan kepada mereka pesan yang harus disampaikannya. Apa yang dilakukan Maria ini 

dicatat dalam tradisi Gereja Barat dengan menyebut Maria Magdalena sebagai "Rasul kepada para rasul", 

"Rasul para Rasul atau "Rasul utama" (Apostola Apostolorum). Di Gereja Timur, ia disebut sebagai "Setara 

Rasul" (Isapostola) (Chung Yen, 2005). Kedua gelar kehormatan ini diberikan karena dalam tradisi dikisahkan bahwa Kristus yang bangkit menampakkan diri pertama kali kepada Maria Magdalena dan 

mengutus dia untuk mewartakan kabar gembira tentang kebangkitan tersebut.

Pengalaman Maria dari Magdala, yaitu persahabatannya yang memerdekakan dengan Tuhan, 

mengubah hidup dan pribadinya menjadi baru (Callahan, 2006). Dewasa ini, kita dapat membayangkan 

Maria sebagai orang yang menyambut baik tuntunan-tuntunan Roh dalam jemaat yang menghormati 

martabat perempuan, menghargai tubuh manusia, dan mendorong persamaan serta persahabatan antara 

laki-laki dan perempuan. Akhirnya, umat yang dimetaforakan sebagai kawanan yang berziarah dapat 

belajar dari Maria dari Magdala yang terus berharap akan bertemu dengan Guru yang telah mengubah 

hidupnya menjadi baru dan berarti. Itulah hakikat dari gereja yang hidup, yakni gereja yang terus mencari 

kebenaran Allah yang hidup.

Maria Magdalena dan Nilai-nilai Pedagogis

Bagian ketiga ini dapat disebut prefiguration, yakni proses menempatkan teks dalam konteks masa 

kini atau yang disebut hermeneutik. Proses menempatkan teks, yaitu Maria Magdalena, dalam konteks 

masa kini ini akan menghasilkan makna berupa nilai-nilai pedagogis melalui teladan hidup Maria 

Magdalena bagi hidup di masa kini. 

Maria Magdalenan, melebihi perempuan lain mana pun yang diketahui, mengambil bagian 

sepenuhnya dalam pelayanan Yesus. Ia mengalami saat yang paling revolusioner dan memerdekakan 

dalam sejarah manusia. Ia adalah saksi pertama dari peristiwa kebangkitan dan saksi dari pengalaman 

tentang kekuatan cinta kasih di balik peristiwa kebangkitan itu. Tentang Maria Magdalena, Elisabeth S. 

Fiorenza menuliskan refleksinya bahwa: "Mary of Magdala was the most prominent of the Galilean 

disciples, because according to tradition she was the first one to receive a vision of the resurrected Lord" 

(Maria dari Magdala adalah yang paling menonjol di antara para murid dari Galilea, karena menurut tradisi 

dia adalah yang pertama menerima penglihatan tentang Tuhan yang telah bangkit) (Fiorenza, 1985). 

Maria juga digambarkan berdiri di antara para pengikut dan anggota keluarga Yesus yang paling setia. 

Maria adalah model iman yang tanpa lelah mencari pengertian iman dengan setia. Kesaksiannya yang 

kokoh dan berani dipertentangkan dengan para pengikut laki-laki yang meninggalkan Yesus karena takut. 

Keberanian, prakarsa, dan arti penting Maria ditekankan terus-menerus dan teks-teks Kitab Suci.

Maria unik karena tidak diidentifikasikan sebagai ibu, saudara, anak, istri atau kekasih seseorang. 

Menurut Callahan, Maria dari Magdala adalah model seorang janda yang dewasa dan enerjik, yang sukses 

menjalankan usaha keluarga, barangkali usaha pertenunan (Callahan, 2006). Magdala, kota tempat 

tinggalnya, adalah sebuah pelabuhan yang ramai di pantai danau Galilea dan tampaknya merupakan pusat 

perdagangan, khususnya terkenal karena hasil-hasil tenunnya. Maria dapat dibayangkan dengan sangat 

mudah sebagai seorang janda, sebab dengan demikian akan lebih mudah baginya untuk mengendalikan 

harta kekayaannya sendiri, dan ia juga akan lebih bebas untuk bepergian. Karena Maria mempunyai uang 

yang dapat digunakannya untuk membantu mendukung kelompok para murid (bdk. Lukas 8:3b), ia pasti 

telah menjalankan perusahaannya dengan menghasilkan keuntungan. Dalam Lukas 8:1-3 juga disebut 

Yohana istri dari Khuza bendahara Herodes (Sutanto, 1999, pp. 36–47). Ia berani melawan kutukan, 

amarah dan ancaman hukuman dari masyarakat dengan meninggalkan suaminya untuk mengikut Yesus. 

Di dalam masyarakat Yahudi yang menganut sistem patriakhal, adalah tidak mungkin bagi seorang 

perempuan bersuami meninggalkan suaminya untuk pergi mengikuti seseorang dan pergi mengadakan 

perjalanan bersamanya. Sebab seorang istri harus tunduk dan melayani suaminya (bnd. Amsal 31:10-31).

Sangat besar kemungkinannya bahwa Maria adalah seorang pemimpin sebuah jemaat kristiani 

perdana. Atau setidaknya di antara para perempuan, kata Elisabeth S. Fiorenza, "Mary of Magdala seems to have been the leader among them, since she is usually mentioned first" (Maria dari Magdala tampaknya 

telah menjadi pemimpin di antara mereka, karena dia biasanya disebut pertama) (Fiorenza, 1985). 

Kepemimpinan Maria dalam jemaat kristiani perdana juga dapat disimpulkan dari kedudukannya yang 

menonjol dalam teks-teks kristiani non-kanonik yang masih tersimpan, yaitu teks-teks yang beredar di 

akhir abad pertama. Misalnya ada yang disebut "Injil Maria" (Callahan, 2006). Ia diakui sebagai sahabat 

karib Yesus yang menyertai-Nya sebagai kawan dalam pelayanan-Nya. Pengalaman Maria dari Magdala 

ini, yaitu tentang persahabatannya yang memerdekakan dengan Tuhan, mengubah hidup dan pribadinya 

menjadi baru. Dewasa ini, kita dapat membayangkan Maria sebagai orang yang menyambut baik tuntunan 

Roh dalam jemaat yang menghormati martabat perempuan dan mendorong persamaan serta 

persahabatan antara laki-laki dan perempuan.

Bagi Maria Magdalena, perjumpaan dengan Yesus mengubah semuanya. Rasa sedih menjadi 

sukacita yang mendalam, dan keputusasaan menjadi pengharapan. Lebih dari itu semua, Yesus 

memanggil, memberi kepercayaan dan penugasan: "Pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah 

kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapa-mu, kepada Allah-Ku dan 

Allahmu" (Yohanes 20:17). Dengan penugasan langsung dari Yesus mulailah panggilan kemuridan yang 

sejati bagi Maria Magdalena. Kemuridan yang dijiwai oleh terang kebangkitan yang telah hidup dalam 

dirinya. Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit ini kiranya dapat menjadi pola bagi perempuan di mana 

pun dalam keikutsertaannya dalam mengemban misi gereja. Dalam perjumpaannya dengan Yesus yang 

bangkit, Maria Magdalena diperkenalkan sebagai perempuan dengan nilai-nilai hidup luhur (Henrika, 

FSGM, 2011, pp. 233–270). Dalam perspektif pedagogis, nilai-nilai hidup tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, nilai pedagogis berupa kepekaan hati dan belarasa. Relasi antara Yesus dan Maria 

Magdalena adalah relasi yang terjalin sangat mendalam. Relasi itu memberi kepekaan hati dan belarasa 

bagi Maria Magdalena untuk senantiasa mengenali kehadiran dan keprihatinan Yesus di mana pun dan 

dalam kondisi apapun. Bagi Maria sendiri kehadiran Yesus adalah kehadiran yang memerdekakan, yang 

membawa siapa saja murid-Nya untuk peka hati dan berbelarasa mengusahakan pembebasan hidupketika 

di situ tidak ada kemerdekaan. Maria pun menganggap perempuan sederajat dengan kaum laki-laki dalam 

partisipasi mereka di dalam gerakan Yesus. Maria peka dan berbelarasa pada Yesus yang 

mentransformasi (membarui) tradisi di masa-Nya. Tradisi Yahudi melarang tidak hanya terhadap 

perempuan asing yang dijumpai, bahkan terhadap istri sendiri laki-laki Yahudi dilarang berbicara di 

tempat-tempat umum. Laki-laki Yahudi yang sedang mendalami hukum Taurat terkena larangan keras 

tidak boleh berbicara dengan perempuan yang dianggap dapat membawa pengaruh jahat pada dirinya 

(brings evil upon himself). Bahkan sebuah literatur Rabinik yang sangat tua mengungkap sebuah doa 

harian yang dinaikkan oleh laki-laki Yahudi, demikian: "Blessed art thou, O Lord [...] who hast not made 

me a woman" (Syukur pada-Mu, Tuhan [...] yang tidak menciptakanku perempuan) (Irudaya, 2006). 

Bahkan tradisi seksis yang terpelihara di dalam gereja-gereja Reformasi tak luput dari spirit pembaruan 

Yesus. Yohannes Calvin, misalnya, dengan mengutip Kejadian 1:26, menjelaskan bahwa yang diciptakan 

sebagai gambar Allah hanyalah laki-laki, sedangkan perempuan bukan. Ia juga mengutip Kejadian 2:16 

dan menafsirkannya sebagai bukti bahwa status perempuan adalah a secondary degree (makhluk kedua). 

Akhirnya ia menarik kesimpulan bahwa status perempuan memang lebih rendah daripada laki-laki, 

perempuan berasal dari dan untuk laki-laki, sepanjang waktu bahkan untuk kekekalan statusnya lebih 

rendah daripada laki-laki (Moko, 2018; Sinulingga, 1999). Semua tradisi tersebut membenarkan 

kedudukan kelas dua bagi kaum perempuan, yang dibarui Yesus dengan menghadirkan relasi baru laki￾laki dan perempuan di dalam sebuah masyarakat baru, yaitu masyarakat Kerajaan Allah.Kedua, nilai pedagogis berupa panggilan misional dan agen perubahan. Setelah sekian lama 

Maria mencari Yesus, dan setelah Yesus menyapanya, ia menemukan dan mengenali Yesus kembali. Maria 

berada dalam sukacita serta kegentaran dan keterpesonaan (tremendum et facinosum) yang mendalam. 

Namun, ia tidak membiarkan diri mandeg dalam kekaguman atau keterpesonaan tetapi dengan tegas ia 

berani keluar dari diri (dari zona nyaman), menjalankan panggilan misionalnya, masuk ke dalam dunia 

dan membawa manusia lain untuk juga dibawa dan berjumpa dengan Yesus. Inilah peran Maria sebagai 

agen perubahan dan pembawa berkat Ilahi bagi yang lain. Belajar dari Maria, Elisabeth S. Fiorenza 

merefleksikan bahwa:

The movement of woman as the people of God, therefore, must recover the meaning of religious 

initiation into the ekklesia of woman. It can provide 'godmothers" who become intimately involved 

with the upbringing and socialization of children and young people. It must provide a feminist 

ecclesial community of adults that models itself on the discipleship of equals [...]

(Karena itu, gerakan perempuan sebagai umat Allah, harus memulihkan makna inisiasi agama ke 

dalam gereja perempuan. Ini dapat mengayakan ‘ibu baptis’ yang secara intim terlibat dalam 

pengasuhan dan sosialisasi anak-anak dan orang muda. Ini harus menyediakan komunitas gereja 

perempuan orang dewasa yang mencontohkan dirinya pada pemuridan yang sederajat […]) 

(Fiorenza, 1985).

Ketiga, nilai pedagogis berupa kreativitas yang bijaksana. Maria Magdalena adalah pribadi yang 

tidak mengenal putus asa, yang terus mencoba tetapi dalam kreativitasnya ia bertindak bijaksana. Ketika 

ia menyadari bahwa Yesus tidak ada di tempat di mana Ia dibaringkan dan ia menyadari kemampuan dan 

keterbatasannya, ia tidak diam pasif melainkan ia bertanya, mencari di mana Yesus diletakkan, dan 

dengan bijaksana ia memberitahu kepada para murid tentang peristiwa itu. Dan perjumpaan Maria 

dengan Yesus yang bangkit mengubah semuanya. Ia adalah saksi pertama, yang dalam tradisi gereja 

disebut "Rasul para Rasul atau "Rasul utama" (Apostola Apostolorum),demikian ia disebut sebagai "Setara 

Rasul" (Isapostola). Setelah menjadi saksi peristiwa kebangkitan itu, ia pun mendapat keyakinan penuh 

untuk menjadi pewarta yang memberkati banyak orang yang disapanya.

Gerakan emansipasi perempuan masih panjang dikerjakan. Masih kuatnya penafsiran seksis dan 

tidak adil gender terhadap teks-teks Alkitab menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah diatasi. 

Dampaknya antara lain, sampai kini di dalam Gereja Katolik belum diterima tahbisan perempuan sebagai 

imam; juga masih kuatnya budaya patriarkhal dijadikan rujukan menolak secara sadar kedudukan dan 

peran perempuan dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan dalam Gereja-gereja Protestan. Di 

sinilah diperlukan kacamata baru, yaitu masukan yang berasal dari hermeneutik kritis, yang tugasnya 

bukan lagi reproduktif (mengulang makna berupa narasi tidak adil gender), melainkan produktif

(menambah makna baru yang lebih adil gender). Gereja-gereja sebagai pihak yang pertama-tama 

berkepentingan mengusahakan narasi emansipasi perempuan dan melanjutkan narasi Maria sebagai

“rasul perempuan,” sangat didorong untuk konsisten pada perjuangan yang digemakan Injil Yesus Kristus 

ini. Bila tidak, maka gereja hanya akan mengalami insignifikansi internal (tidak signifikan ke dalam umat 

sendiri karena menjadi sebab ketidakadilan gender) dan irrelevansi eksternal (tidak relevan bagi 

masyarakat luas karena dianggap menyembunyikan dominasi gender laki-laki atas perempuan dan anti 

gerakan emansipasi), antara lain karena tidak memperjuangkan keadilan bagi hak-hak perempuan.Dasar Injili dari hidup dan pelayanan gereja terdapat dalam hubungan khas yang oleh Yesus dalam 

hidup-Nya dijalin dengan para murid-Nya. Ia memanggil mereka tidak hanya untuk menyongsong Kerajaan Allah ke dalam hidup mereka sendiri, melainkan juga untuk mengabdikan hidup mereka kepada￾Nya dengan meninggalkan segala sesuatu dan dari dekat meneladan cara hidup-Nya sendiri.

Bersama dengan Maria Magdalena, para perempuan dalam hidupnya dipanggil untuk terus berani 

mengungkapkan ide dan kreativitasnya di dalam komunitas yang namanya gereja. Di mana gereja sendiri 

mendandani dirinya terus untuk mengakui kedudukan dan peran perempuan. Tidak boleh lagi terjadi 

dalam hidup gereja, cerita seorang perempuan yang sekalipun dikenang selama Injil diwartakan, tetapi 

namanya tidak pernah diakui dan disebut, seperti kata Markus 14:9,"And truly I say to you, whereever the 

gospel is preached in the whole world, what she done will be told in memory of her" (Aku berkata 

kepadamu: Sesungguhnya di mana saja Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan 

disebut juga untuk mengingat dia) . Seharusnya, bukan karena ia perempuan maka ia dilupakan dan tidak 

disebut, tetapi di dalam gereja semua orang, termasuk perempuan, disebut, diakui dan diterima dengan 

nama dan kepribadiannya. Maria, contohnya, adalah model perempuan yang menjadikan pengalaman 

imannya yang menyelamatkan menjadi pengalaman iman komunitas atau bersama. Lalu, secara bersama￾sama kita berjalan dalam usaha mencari Allah yang hidup itu dengan menjadikan diri sebagai berkat bagi 

banyak orang.

Bersama Maria, para perempuan di zaman ini diajak mengemban panggilan dan pengutusan yang 

seluas apapun peluang dan kesempatannya. Nilai pedagogis yang Maria wariskan, yakni kepekaan￾belarasa, misional-agen perubahan dan kreativitas yang bijaksana, adalah modal sosial (social capital) 

berharga untuk para perempuan menjalani pengutusan sebagai rasul-rasul Kristus di masa kini.