• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

maria magdalena 1

 


Perempuan selalu didiskriminasi sebagai the second class dalam

budaya patriarki Yahudi. Maria Magdalena yang seharusnya menjadi satu

di antara murid-murid Yesus tersubordinasi oleh tulisan-tulisan yang

memojokkannya. Padahal dalam komunitas Yesus ia telah memasuki

sebuah komunitas pemuridan yang sederajat. Memanfaatkan beberapapendapat dari para teobg feminis, maka tulisan ini bertujuan melihat teks

Yoh 20:11-18 sebagai teks androsentrik yang sarat akan bias patriarkal

untuk ditafsir dengan pendekatan hermeneutik feminis dengan

memanfaatkan studi hermeneutik kecurigaan feminis dari Schiissier

Fiorenza dan kriteria pengalaman dari Ruether. Studi ini diharapkan

bermuara pada rekonstruksi bahwa perempuan dan laki-laki dipanggil

dalam kesederajatan untuk tergabung dalam basileia Allah dan memasuki

sebuah komunitas inklusif.

Penafsiran teks dalam perpektifteologi feminis

Teobgi Feminis

Teologi feminis merupakan usaha untuk mengembalikan

perempuan kepada sejarah dan sejarah kepada perempuan. Sementara

sebagian teks Perjanjian Baru mendiamkan perempuan, teologi feminis

berusaha menemukan suara perempuan di dalam teks-teks yang ditulis

oleh perempuan dan membaca berbagai teks tentang perempuan yang

ditulis oleh laki-laki.1

Teologi feminis ini tidak saja dibangun oleh

perempuan tetapi juga oleh laki-laki yang ingin perempuan dijadikan

subjek. Selanjutnya, teologi feminis dibangun oleh perempuan yang

sedang berusaha mencari sejarah dan jati did, tidak bersedia

menyamakan dirinya dengan laki-laki, dan berusaha membebaskan

dirinya dari pola-pola lama yang membelenggu yang ditentukan oleh laki￾laki.2

Beberapa ahli mendefinisikan teobgi feminis dalam beberapa

pengertian. Anne M Clifford mendefinisikannya sebagai gerakan yang

memperjuangkan pembebasan bagi kaum perempuan dari semua bentuk

seksisme dengan memperhatikan pengalaman relasi kaum perempuan

dengan Allah.3 Anna Nasimiyu-Wasika mengatakan bahwa feminisme

menuju suatu masyarakat yang di dalamnya semua orang mampu

mewujudkan keutuhan hidupnya.4

Phyllis Trible mendefinisikannya tidak

saja sebagai sebuah kritik terhadap budaya dalam terang misogini

(pembend perempuan] melainkan juga melibatkan kritik teobgis.5

Rosemary R. Ruether menekankan prinsip teobgi feminis, yakni the full

humanity of women, perempuan menuntut prinsip kemanusiaan penuh

bagi dirinya sendiri.6

Semua usaha teobg feminis ini diarahkan pada

rekonstruksi paradigma gender agar perempuan dapat terlibat secaraperempuan dapat terlibat secara penuh dan setara dalam peran

kemanusiaan. Dalam rangka mencapai tujuan dalam semua definisi ini,

para teolog feminis telah berupaya membangun teologi feminis

berdasarkan pemahaman dan metcdenya masing-masing. Ruether

dengan lingkaran hemeneutik, Elisabeth Schiissier Fiorenza dengan

hermeneutik feminis, Stanton dengan'The Woman's Bible dan Ti ible

dengan penafsiran retorik.

Cara Pandang dan Pernaknaan Terhadap Teks

Anne Clifford rnengemukakan tiga cara pandang orang Kristen

terhadap Alkitab. Pertama, orang yang memandang Alkitab sebagai

firman Allah yang harus diterbna tanpa syarat. Kedua, orang yang

memandang Alkitab sebagai wa' u ilahi dalam rekaman manusia yang

ditulis di masa lalu oleh orang-orang yang bergumul tentang persoalan

hidup dan iman. Alkitab diterima sebagai firman Allah tetapi diberi

makna baru. Ketiga, orang yang bingung menentukan sikap terhadap

Alkitab. Berdiri pada cara pandang yang kedua, para teolog feminis

reformis mengernbangkan dengan bebas pandangannya terhadap teks

Alkitab dan dengannya membangun metode untuk rekonstruksi teks.

Clifford melihat teks Alkitab sebagai teks kuno yang ditulis selama

beberapa abad yang berbeda, di tempat berbeda, oleh para pengarang

yang berbeda untuk tujuan yang berbeda juga yang membentuk sebuah

perpustakaan teks-teks religius.7

la memaknai teks Alkitab dengan

memperlihatkan keandrosentrikan teks Alkitab sekaligus peluang besar

untuk melihat realitas historis teks Alkitab.

Letty M. Russel memahami Alkitab sebagai kabar baik, tuhsan

rahasia karena berfungsi sebagai tulisan atau semangat hidup, yakni

undangan Tuban untuk bergabung dalam pemulihan keutuhan,

kedamaian, keadilan di dunia. Bersama Schiissier Fiorenza, Russel yakin

bahwa Alkitab memberikan sebuah bentuk dasar bagi kisah hidupnya

yang membentuk pengalaman emosional dan ajakan transformasi.

Russel percaya bahwa di mata Tuhan ia bukanlah marginal tetapi seperti

orang kulit hitam dan hispanik ia adalah ciptaan Allah dan terpanggil

pada janji Alkitab untuk menjadi seperti yang Tuhan inginkan, yakni

menjadi rekan dalam pemulihan ciptaan.Phyllis Trible memilih untuk memusatkan perhatian pada teks

Alkitab dan menolak usaha apa pun untuk membedakan teks dari tradisi,

bentuk dan isi secara metodobgis dan menekankan pada struktur teks

Alkitab. Baginya, Alkitab adalah seorang pengembara yang berkenala

melalui sejarah untuk menggabungkan masa lampau dan masa kini dan

suara Allah identik dengan teks Alkitab. Untuk menemukan niat Allah, ia

harus 'mendengarkan' dan menafsirkan teks seakurat mungkin dan ia

memilih metode penafsiran kritik retorik untuk memusatkan perhatian

pada gerak teks.9

Pembacaan kembali berciri retoris dan penerapan

hermeneutik kecurigaan dan kenangan ini menolongnya memberikan

sebuah tafsiran rekonstruktif dengan peluang kebebasan, seperti tafsiran

baru terhadap Kej 2;4b-3;24.10

Katharina Doob Sakenfeld memperkenalkan tiga pendekatan

bagaimana seorang feminis harus membaca Alkitab, pertama,

memperhatikan nas Alkitab yang bertentangan dengan nas yang biasa

dipakai untuk mernbatasi perempuan, kedua, memperhatikan seluruh

Alkitab untuk memperoleh suatu perspektif teobgis yang kritis terhadap

patriarki, ketiga, memperhatikan naskah tentang perempuan dari sejarah

dan cerita perempuan (duiu/kini) yang hidup dalam suatu lingkungan

masyarakat patriarkal.11

Schiissier Fiorenza mengusulkan hal yang lain. Melihat kenyataan

bahwa pada satu sisi teks-teks Alkitab bersifat androsentrik dan di sisi

lain teks-teks ini menjadi sumber kekuatan bagi perempuan untuk

menemukan uraian historis yang hilang dan menentukan realitas

kehidupan yang seharusnya bagi perempuan baik dalam pengalaman

yang sebenarnya pada masa Alkitab maupun pengalaman masa kini, ia

menegaskan betapa metode hermeneutik kecurigaan dan hermeneutik

kenangan adalah suatu kebutuhan mendesak terhadap teks-teks Alkitab.12

Hermeneutik kecurigaan feminis membangkitkan semangat yang

menuntut seseorang untuk turut mempertimbangkan pengaruh dari

berbagai peran dan pola sikap menyangkutjenis kelamin yang ditentukan

secara kultural terhadap Alkitab. Titik tolaknya adalah pengandaian

bahwa patriarkat secara mendalam berdarnpak atas teks-teks Alkitab dan

tafsiran-tafsiran atasnya di dalam tradisi Kristen yang mencakupbagaimana teks-teks Alkitab memperlakukan perempuan di dalam

berbagai penuturan kisahnya dan sama sekali mengabaikan pengalaman

perempuan tidak saja mengenai apa yang dikatakan tetapi juga apa yang

didiamkan mengenai kaum ini. Sedangkan hermeneutik kenangan

merupakan sisi lain dari hermeneutik feminis yang mengakui

perendahan martabat, pembuangan, penganiayaan dan perbudakan masa

lampau yang dialami oleh kaum perempuan dan menjadikan pengalaman

tersebut sebagai kenangan yang berbahaya guna menyediakan khazanah

yang kaya bagi kita saat ini untuk merancang sebuah teologi zaman ini

yang menyembuhkan penderitaan dan kemerdekaan dalam perjuangan.

Sejalan dengan ini maka aturan-aturan metodofogis berikut ini sangat

diperlukan.13 Pertama, teks-teks dan sumber-sumber historis Yahudi

maupun Kristen harus dibaca sebagai teks-teks androsentrik. Kedua,

pengagungan maupun penghinaan atau marginalisasi perempuan dalam

teks-teks Yahudi harus dipahami sebagai bangunan realitas sosial dalam

pengertian patriarkal atau sebagai proyeksi tentang realitas lelaki. Ketiga,

kanon-kanon resmi dari hukum patriarkal yang dikodifikasikan pada

umumnya lebih membatasi dibandingkan dengan interaksi dan hubungan

yang sesungguhnya antara perempuan dan laki-laki dan realitas sosial

yang diaturnya. Keempat, status sosial-keagamaan perempuan yang

sesungguhnya harus ditentukan melalui tingkatan onotomi ekonomi dan

peranan-peranan sosial mereka daripada oleh pernyataan-pernyataan

ideologis ataupun apa yang seharusnya. Dengan demikian penafsiran

feminis bertugas menempatkan semua perempuan di tengah-tengah

rekonstruksi historis sebagai tanggapan perempuan terhadap perubahan

sosial yang mempengaruhi hidup mereka, serta di tengah-tengah upaya

perempuan untuk mentransformasikan dan mengubah struktur dan

pranata kemasyarakatan.

Ruether menekankan bahwa kanon Alkitab merupakan langkah

pertama untuk mencari akar pengalaman perempuan yang

termarginalkan dalam tradisi gereja dan teologi tradisional dalam rangka

membangun teologi feminis.14 Metodologi yang digunakan adalah metode

lingkaran hermeneutik untuk menguji pengalaman unik perempuan yang

merupakan kekuatan bagi teori kritis dalam menguji teologi tradisional

dan tradisi gereja. Kriteria pengalamannya adalah pengalamanperempuan berdasarkan pengalaman dalam tradisi laki-laki, pengalaman

laki-laki yang telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang

mengadopsinya, pengalaman universal, pengalaman penuh laki-laki dan

perempuan setara dalam pengertian hukum. Manusia tidak hanya diukur

dan diisi oleh pengalaman imajinasi laki-laki tetapi juga keduanya baik

laki-laki maupun perempuan sama-sama menjadi subjek dalam

pembentukan kualitas manusia. Ruether membuat hal ini penting karena

ia menentukan posisi, prinsip norma dan sumber teologi sebagai pijakan

untuk melihat pengalaman unik perempuan dalam tradisi.

Langkah-Langkah Studi Hermeneutik Feminis

Berdasarkan berbagai macam cara pandang, pemaknaan, dan

metode yang dikembangkan dalam upaya melakukan rekonstruksi teks￾teks Alkitab, maka penulis menentukan langkah-langkah dalam

melakukan suatu studi hermeneutik feminis terhadap teks Yob 20:11-18

seperti berikut

1. Teks Yob 20:11-18 harus dipahami sebagai tulisan basil refleksi

penulis terhadap sesuatu hal untuk kepentingan tertentu, sebagai

produk budaya patriarkal dan ia memperolah bias-bias patriarkaL

Sepenggal kisah ini akan menjadi pintu masuk untuk melihat gunung

es yang tersembunyi di bawah realitas historis yang nampak dari teks.

2. Melakukan studi hermeneutik feminis terhadap teks dengan

menerapkan metode hermeneutik kecurigaan dari Schiissier Fiorenza

dengan memperhatikan kriteria pengalaman menurut Ruether

3. Merekonstruksi model pemuridan yang sederajat dari kisah Maria

Magdalena dalam teks Yob 20:11-18 berdasarkan basil studi

hermeneutik feminis yang telah dilakukan.

Memahami Maria Magdalena Dari Studi Hermeneutik Feminis

LatarBelakang Injil Yohanes

Saya setuju dengan pendapat para ahli bahwa penulis injil

Yohanes adalah seseorang yang diidentifikasi sebagai murid yang dikasihi

Yesus dalam injil Yohanes. Tetapi ia tidak dapat diketahui secara pasti

karena tidak mencantumkan identitasnya dalam injil Yohanes. Ia hanya

dapat dikatakan berasal dari kebmpok Yohanin yang masih memelihara


tradisi Yahudi dan hidup ketika kekristenan sudah tersebar luas dan

menuliskan tradisi dan ajaran Yohanes untuk kepentingan tertentu.

Terhadap kemungkinan penulis, ada tiga tokoh yang dapat dirujuk.

Pertama, ditulis oleh Yohanes, sang Rasul (Yoh bin Zebedeus). Yohanes

adalah orang yang paling mungkin diidentifikasi sebagai murid terkasih

dengan pertimbangan nama Yohanes tidak pernah disebut dalam injil

keempat dan kerendahan hati sebagai alasan Yohanes rasul tidak

menyebutkan namanya,15 Kedua, ditulis oleh Yohanes penatua dari

Efesus. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa murid yang dikasihi

Yesus memang adalah Yohanes rasul tetapi ia bukanlah penulis injil

keempat. Yohanes penatualah yang menulis injil keempat berdasarkan

pemikiran dan ingatan Yohanes rasuL16 Ketiga, ditulis oleh Maria

Magdalena. Hipotesa ini dikemukakan oleh Ramon A Jusino berdasarkan

pertimbangan pada teks-teks gnostik. Teks-teks gnostik memang

menyebut Maria Magdalena sebagai murid yang dikasihi Yesus. Teks pra￾kanonik dari injil Yohanes menurutnya, memang menyebutkan Maria

Magdalena sebagai murid yang dikasihi Yesus tetapi kemudian teks ini

direvisi oleh kelompok Apostolik untuk kepentingan diterima dalam

kanon sehingga memunculkan dua pribadi yang berbeda dalam peristiwa

yang sama, yakni memisahkan Maria Magdalena dan murid yang dikasihi

Yesus sebab tidak mungkin gereja akan menerima sebuah tulisan yang

ditulis oleh seorang perempuan karena pelayanan kerasulan seorang

perempuan tidak diakui.17

Membandingkan kemungkinan pengidentifikasian murid yang

dikasihi Yesus sebagai Yohanes anak Zebedeus, Yohanes sang Penatua

dan Maria Magdalena merupakan hal yang sukar. Jika membandingkan

dengan tempat penulisan dan penanggalan surat, yang terjadi di Efesus18

sekitar tahun 100 ZB19 maka kemungkinan kepenulisan atas diri mereka

disangsikan sebab tulisan ini ditujukan pada orang Kristen generasi

kedua atau ketiga. Hal ini akan menjadi lebih rumit lagi jika

memperhatikan karakteristik injil Yohanes yang sudah sangat

dipengaruhi oleh budaya dan filsafat Yunani. Selain itu, setiap ucapan

Yesus dalam injil Yohanes lebih tepat untuk dilihat sebagai ipsissima verba

(ucapan yang ditempelkan dalam mulut Yesus) sebab injil Yohanes tidak

sedang bercerita mengenai laporan historis dari kejadian di masa lalumelainkan berdasarkan pendapat banyak penafsir bahwa khotbah atau

pengajaran dalam injil Yohanes bukan berasal dari Yesus, tetapi dari

penulis yang diletakkan di dalam mulut Yesus.

Kedudukan Perempuan dalam Budaya Yahudi, Yunani dam Injil Yohanes

Dalam budaya Yahudi, perempuan tidak dianggap sebagai manusia

yang memiliki nilai, arti, dan hak yang sama seperti laki-laki. Hampir

semua penafsiran diarahkan pada sebuah kesimpulan bahwa perempuan

adalah the second claSs. Kebudayaan Yunani (Aristoteles] menganggap

perempuan sebagai laki-laki yang tidak sempurna. Dunia Perjanjian Baru

pun menempatkan perempuan di bawah kuasa laki-laki (patria

potestas).20 Injil Yohanes menawarkan sesuatu yang berbeda. Injil ini

merangkum beberapa bagian dari pengalaman kaum perempuan.

Yohanes mengawali dan mengakhiri injilnya dengan menyebut peran

perempuan.21 Perempuan-perempuan ini disebut karena mereka

memiliki peran yang besar dan bahwa tindakan mereka patut menjadi

potret bagi pemuridan dalam komunitas Yesus. di tengah budaya

patriarkal yang sangat kentaL Injil Yohanes muncul dengan padangan dan

pemahaman yang berbeda terhadap perempuan. Injil Yohanes sangat

menaruh perhatian terhadap pergerakan perempuan.

Studi Hermeneutik Feminis Terhadap Yoh 20:11-18

History in text belum tentu mewakili apa yang sebenarnya sedang

terjadi. Informasi yang muncul ke atas permukaan teks hanya sebagian

kecil dari gunung es yang tersembunyi di bawah permukaan.22 Oleh

gereja Katholik Roma, Maria Magdalena dikenal sebagai seorang pelacur

yang bertobat, perempuan yang dari padanya Yesus pernah mengusir

tujuh roh jahat, oleh Paus Gregory I pada abad 6 diidentifikasi sebagai

perempuan yang mencuci kaki Yesus dengan rambutnya dalam Lukas

7:37 dan dinobatkan sebagai salah satu orang kudus berdasarkan

kesetiaan yang ditunjukkannya pada Yesus di sekitar kubur Yesus.

Rekaman data ini menuju prapaham teks Yoh 20:11-18 yang

menempatkan Maria Magdalena pada posisi sebagai perempuan berdosa

yang memperoleh kasih karunia dari Allah. Yesus yang bangkit dilihat

pertama kali oleh Maria Magdalena dan menjadikan Maria Magdalena

sebagai saksi kebangkitan karena kesetiaan yang ditunjukannya disekitar kubur Yesus. Namun, saya tidak setuju dengan prapaham teks ini.

Kemungkinan besar prapaham teks mengenai menonjolnya peran Maria

Magdalena sebagai saksi pertama kebangkitan hanyalah puncak dari

gunung es yang muncul di permukaan laut sedangkan gunung es yang

sesungguhnya tersembunyi di bawah permukaan laut. Untuk itu, teks Yob

20:11-18 akan ditafsirkan berdasarkan metode hermeneutik kecurigaan

feminis dengan menekankan pada beberapa poin berikut

1. Maria Magdalena Dan Pemuridan Yang Sederajat

Meskipun Yesus berasal dari Yahudi dan tumbuh dalam latar

belakang kehidupan Yahudi, namun la berani melakukan perubahan

terhadap kebudayaan Yahudi melalui gerakannya. Gerakan Yesus

merupakan gerakan yang berbagi meja dengan mereka yang

tersingkir (orang-orang mlskin, lemah, tidak dianggap, sampah

masyarakat Palestina) yang tidak tergolong dalam bangsa yang kudus.

Kepada mereka Yesus memberitakan visi eskatologis dan realitas

pengalaman yang akan datang dan yang sudah hadir. Mereka yang

hampir mati kelaparan dan putus asa karena tidak melihat jalan keluar

dari kemiskinan mereka ke masa depan dijanjikan basileia bahwa

Allah akan menjadikan perjuangan mereka keprihatinan Allah

sendiri.23 Gerakan Yesus tidak memanggil orang-orang saleh dari Israel

melainkan mereka yang cacat secara keagamaan dan secara sosial

kaum pecundang dan pemanggilan ini ingin menyatakan kesederajatan

antara orang benar dan orang berdosa, miskin dan kaya, laki-laki dan

perempuan, orang farisi dan murid Yesus, serta kesederajatan antar

bangsa yang diprakarsai oleh seorang perempuan yang diikuti oleh

murid-murid perempuan yang lain yang tetap setia mengikut Yesus ke

jalan salib saat semua murid laki-laki melarikan diri. Perempuan

menjadi saksi pertama kebaikan Allah dalam Yesus Kristus. Murid￾murid perempuan meneruskan ajaran Yesus setelah kematianNya dan

Maria Magdalena agaknya adalah pemimpin dari gerakan Yesus sebab

ialah orang pertama yang menerima penglihatan dari Tuhan yang

bangkit.24

Penerimaan menjadi anggota dalam kemuridan yang sederajat ini

menuntut baik laki-laki maupun perempuan untuk menyerahkan diri

yang penuh pada Yesus. Anggota ini terbebas dari pengaruh dominasikekuasaan laki-laki terhadap perempuan dalam keluarganya. Mereka

tidak lagi menghargai ikatan keluarga patriarkal sehingga terbentuk

sebuah keluarga altruistik yang terdiri dari saudara-saudari dan ibu

serta Allah sebagai Bapa untuk semua dimana bapa-bapa patriarkal

tidak dapat mendominasi lagi. Dan Maria Magdalena menjadi bagian

dari kemuridan ini.

2. Peran Maria Magdalena Dalam Teks Yob 20:11-18

Solidaritas dalam Kesederajatan

Sebuah artikel yang ditulis dari sudut pandang Maria Magdalena

memberikan sebuah gambaran baru mengenai dirinya yang bukan

seperti rekaman data gereja Katholik Roma. la hanya seorang

perempuan yang berdukacita dan Yesus mengubah hidupnya,

mengampuni, menyembuhkan dan menyelamatkannya dari depresi,

ketakutan, kecintaan terhadap diri sendiri, keraguan, kemalasan,

kebencian dan mengasihani diri sendiri.25 Penerimaan Maria

Magdalena menjadi bukti bahwa gerakan Yesus menerima perempuan

sebagai anggota yang sederajat dalam komunitasNya. Penerimaan

karena etos bela rasa ini melahirkan rasa solidaritas yang tinggi di

antara sesama anggota yang tergabung dalam komunitas Yesus.

Eksekusi terhadap Yesus terjadi atas tuduhan sebagai

pemberontak politik yang membuat para pengikutnya menghilang.

Tentu mengaku sebagai anggota dari gerakan Yesus seperti yang

dilakukan oleh Maria Magdalena adalah sebuah keputusan berbahaya

apalagi melakukan tindakan berisiko pada hari Paskah untuk

mengunjungi kubur seseorang yang tereksekusi karena alasan politik.

Hal ini, menurut Schottroff hanya dapat dilakukan karena sebuah rasa

solidaritas yang tinggi terhadap Yesus yang kemudian menjadi awal

dari proklamasi kebangkitan Yesus.26

Sikap Maria Magdalena pada ayat 11 mengindikasikan dua haL

Pertama, menurut peraturan waktu dan tradisi Yahudi, waktu Yahudi

dibagi menjadi 4 bagian, yakni pagi, siang, sore dan malam. Hari

pertama dimulai pada pukul 6 sore saat matahari terbenam dan

berakhir pada pukul 6 sore berikutnya.27 Pemilihan waktu pada pagi

hari ketika keadaan masih gelap untuk merempahi mayat Yesus tentumerupakan pilihan yang tepat. Waktu dimana orang-orang belum

terjaga, waktu yang tepat bagi seorang perempuan Yahudi untuk

berada di luar rumah terutama untuk alasan Maria Magdalena dapat

kembali ke rumah sebelum batas waktu keluar bagi perempuan

berakhir. Agaknya perkiraan ini meleset karena mayat Yesus hilang

dan Maria Magdalena harus menempuh perjalanan pulang dan

memberitahu murid-murid Iain mengenai hilangnya mayat Yesus.

Rentang waktu ini menyebabkan Maria Magdalena masih berada di

luar rumah hingga waktu keluar rumah bagi seorang perempuan

Yahudi berakhir. Jika dilihat dari sudut pandang ini maka penulis injil

Yohanes sedang menggambarkan Maria Magdalena sebagai seorang

perempuan "pembangkang/pelacur" karena melanggar tradisi.28

Kedua, jika dilihat dari sudut pandang Maria Magdalena, ia

memilih menentang tradisi itu agar dapat mencari mayat Yesus.

Penentangan terhadap tradisi ini dilakukan atas dasar rasa solidaritas

yang dialami Maria Magdalena bersama Yesus. Ia menunjukkan bahwa

cara Yesus membuatnya berharga dalam kesederajatan yang dialami

dalam kornunitas Yesus jauh lebih berharga dari tradisi Yahudi dan

hukum pentahirannya. Pada sisi lain, penulis injil memang berusaha

menampilkan profil Maria Magdalena sebagai perempuan

pembangkang terhadap tradisi tetapi di sisi yang lain ia sedang

memaparkan alasan penting dibalik sikap pembangkang Maria

Magdalena. Rasa solidaritas yang lahir dari etos bela rasa mengalahkan

ketakutan seorang perempuan, memberi keberanian menanggung

risiko dan penolakan atas pertanyaan malaikat (13) dan pertanyaan

Yesus (15). Sikap yang tidak ditunjukkan oleh para murid laki-laki

Yesus.

Teladan Kemuridan Sejati

Gerakan Yesus merupakan kesederajatan yang membuka

peluang bagi perempuan untuk berperan terutama dalam ranah

keagamaan dengan tidak ditafsirkan secara seksual tetapi altruistik.

Dalam pengaruh helenisme yang memberikan peluang bagi

perempuan untuk memimpin, gerakan Yesus juga melakukan hal yang

sama dengan membuka peluang bagi Maria Magdalena untukmemimpin. Ayat 16 menunjukkan bahwa dibalik metafor 'Gembala

yang baik' yang diciptakan penulis injil Yohanes untuk meredam peran

perempuan, ayat ini sedang menunjukkan fakta dan posisi Maria

Magdalena sebagai seorang murid Yesus dengan sapaannya "Rabbuni".

Kata rabbuni berasal dari kata rabbouni yang dalam bahasa Aram

disebut r'abbi, dan dalam bahasa Yunani menggunakan kata didaskale.

Kata rabbouni dalam bahasa inggris diterjemahkan dengan master dan

kata didaskale juga diterjemahkan teacher atau rabbi yang berarti guru.

Kata ini sering digunakan oleh murid laki-laki Yesus ketika mereka

menyapa Yesus karena mereka sedang menempatkan diri sebagai

murid. Posisi ini juga berlaku bagi seorang perempuan seperti Maria

Magdalena ketika ia menyapa Yesus dengan sebutan Guru. Dengan

sapaan ini Maria Magdalena mendeklarasikan dirinya sebagai murid

Yesus. Lagipula sapaan ini diucapkan dalam bahasa Aram rabbouni

bukan dalam bahasa Yunani didaskale seperti yang lazim digunakan

oleh murid-murid lain. Dalam hemat saya, penggunaan kata rabbuni

mengindikasikan bahwa kata ini benar berasal dari zaman gerakan

dan komunitas Yesus dan Maria Magdalena adalah murid Yesus yang

pada masa itu menggunakan bahasa Aram sebagai bahasa percapakan

sehari-hari.

Di dalam PB, pemuridan berarti berada dalam perjalanan

bersama Yesus, yakni menjadi seorang pengelana, seseorang yang

sementara saja tinggal di suatu tempat, menjadi seseorang yang tidak

memiliki tempat untuk membaringkan kepala. Pemuridan

mengharuskan seseorang berbela rasa. Kaum perempuan yang

mengikut Yesus menunjukkan ciri pemuridan ini. Oleh Borg, mereka

digolongkan sebagai murid-murid yang paling setia hingga kematian

Yesus.29

Dalam konteks injil Yohanes, pemuridan ini ditunjukkan oleh

Maria Magdalena. Ia tidak saja melakukan perjalanan bersama Yesus,

berkelana, menyokong pelayanan Yesus dengan kekayaannya, tetapi ia

menunjukkan kesetiaan melakukan perjalanan yang tuntas bersama

Yesus dan membuktikan diri sebagai murid yang mampu berbela rasa

tidak saja kepada orang lain tetapi juga terutama terhadap Yesus

sebagai guru dikala murid-murid yang lain tidak mampuDalam konteks injil Yohanes, pemuridan ini ditunjukkan oleh

Maria Magdalena. la tidak saja melakukan perjalanan bersama Yesus,

berkelana, menyokong pelayanan Yesus dengan kekayaannya, tetapi

ia menunjukkan kesetiaan melakukan perjalanan yang tuntas

bersama Yesus dan membuktikan did sebagai murid yang mampu

berbela rasa tidak saja kepada orang lain tetapi juga terutama

terhadap Yesus sebagai guru dikala murid-murid yang lain tidak

mampu melakukannya. Kesetiaan dan bela rasa Maria Magdalena

hingga kematian dan kebangkitan Yesus dalam hemat saya adalah

alasan penting mengapa Maria Magdalena perlu mendapatkan gelar

sebagai teladan kemuridan yang sejati.

Apostle Apostolarum: Aku Telah M- 'iihat Tuhan

Tidak dapat disangkal bahwa Maria Magdalenalah merupakan

saksi pertama kebangkitan Yesus. Mengenai hal ini ayat 18

mengatakannya dengan jelas; "aku telah melihat Tuhan". Kata melihat

yang digunakan dalam bagian ini menggunakan kata etopccKa dari kata

dasar o opato yang digunakan berulang kali dalam injil Yohanes. Kata

ini dalam injil Yohanes digunakan sebagian besar untuk merujuk

pada arti melihat sesuatu yang selalu berkaitan dengan yang ilahi,

seperti melihat Tuhan [1:18], melihat Roh Kudus (1:33). melihat.

Yesus (1:34). Kata ini dipakai penulis injil Yohanes untuk

menunjukkan bahwa Maria Magdalena telah melihat (kopaKa) Yesus

dalam gambaran ilahi, dalam kemuliaanNya sebagaimana kata etopocKa

hanya digunakan untuk kata kerja yang menunjuk pada pekerjaan￾pekerjaan Allah. Sebuah penafsiran lain dari Sanrie de Beer dan Julian

MGDller mengatakan bahwa kebangkitan Yesus hanyalah sebuah visi

yang diterirna Maria Magdalena dalam sebuah mimpi. Menurutnya,

bagi Maria Magdalena kebangkitan Yesus hanyalah simbol kelahiran

kembali dengan memberi Maria Magdalena sebuah keberanian

menghadapi Petrus dan Yohanes yang mempertanyakan

peranannya.30

Penafsiran ini tidak sejalan dengan ayat 18 sebab kata

ewpara menggambarkan aktifitas menyaksikan/melihat secara kasat

mata sebuah pekerjaan Allah. Penggunaan kata ini menegaskan

bahwa Maria Magdalena benar-benar telah berjumpa denganYesus.untuk membuktikan kesaksian Maria Magdalena ketika mendengarnya

mengatakan bahwa mayat Yesus telah diambil orang. Namun jika

memperhatikan hal ini dengan seksama, respon yang ditunjukkan oleh

Petrus dan murid yang dikasihi Yesus adalah reaksi yang wajar bagi

seorang murid untuk membuktikan kabar kehilangan sang guru.

Tetapi menurut saya, hal ini justru menunjukkan bahwa kesaksian

Maria Magdalena dipercaya oleh murid-murid laki-laki sehingga

mereka segera berlari ke kubur Yesus. Dengan kata lain, tradisi

kesaksian seorang perempuan yang tidak dianggap sah tidak berlaku

dalam komunitas Yesus. Hal ini menjelaskan alasan Maria Magdalena

memberi kesaksian kepada murid-murid lain tanpa ragu-ragu.

Kesaksiannya tidak mempertimbangkan tradisi karena tradisi

tersebut tidak berlaku dalam komunitas Yesus dimana penerimaan

terhadap laki-laki dan perempuan berlaku dalam komunitas pemuridan

yang sederajat.33 Perjumpaan dan kesaksiannya ini mengantarnya

pada sebuah penemuan terbesar, yakni menemukan gamban- i

kemanusiaan yang utuh terhadap dirinya sendiri dan penegakan

kedudukannya sebagai murid Yesus yang tidak lagi terpengaruh oleh

pandangan, sikap dan perlakuan laki-laki dan lingkungan sekitar

terhadap dirinya. la menyadari bahwa citra dirinya sebagai

perempuan adalah citra diri yang mewakili citra Allah. Penyetaraan ini

dipertegas dengan perkataan Yesus: "pergilah kepada saudara￾saudaraku". la diutus dalam kenyataan bahwa ia adalah seorang

perempuan yang setara dalam pemuridan yang sederajat dalam

komunitas Yesus.

3. Meredam Peran Maria Magdalena

Siapakah yang Engkau Cari?

Sebuah usaha pembungkaman terbesar terhadap peran

seseorang diperlihatkan dengan cara mematikan usaha yang sedang

diperjuangkan olehnya. Pertanyaan malaikat pada Maria Magdalena

"Ibu, mengapa engkau menangis?" termasuk dalam bentuk

pembungkaman terhadap peran Maria Magdalena. Kalimat yang dalam

bahasa Yunani berbunyi yvvai, tl KXaieic;; memperlihatkan sebuah

kesedihan mendalam yang dialami oleh Maria Magdalena. Kata KAxueic;

menggambarkan sebuah kepedihan mendalam, tangisan dan ratapan,

yang tidak dapat dihibur oleh siapa pun karena sesuatu yang telah

hilang tidak akan mungkin ditemukan kembali. Terdapat penggunaan

akar kata yang sama dalam Mat 2:18 untuk menunjukkan kepedihan

yang sama yang dialami Rahel karena ditinggal mati oleh anak￾anaknya. Pertanyaan para malaikat merupakan sebuah

pembungkaman peran perempuan sebab ia sama sekali tidak

mengapresiasi usaha yang sedang dilakukan oleh Maria Magdalena.

Pertanyaan Yesus, "Ibu, mengapa engkau menangis? Siapakah

yang engkau car/.7

" memperjelas usaha pembungkaman terhadap

Maria Magdalena. Sebuah tradisi yang berlaku terhadap perempuan

pada masa itu seolah-olah tersirat dalam pertanyaan Yesus ini. Dalam

tradisi Yahudi, makan di luar rumah, tanpa keluarga hanya dapat

dilakukan kaum pria saja (dan jika perempuan hadir di acara makan￾makan di luar rumah, maka ia akan dipandang sebagai pelacur￾pelacur). Jati did seorang perempuan ada di dalam did ayah atau

suaminya.34 Dan pertanyaan Yesus ini menimbulkan kesan

keberpihakan pada tradisi semacam ini. Hal ini memang tidak dapat

dibuktikan secara jelas namun bias-bias yang ditimbulkan adalah

kesan terhadap keberpihakan terhadap tradisi yang 'melindungi'

perempuan.

Metafor: 'Gembala yang baik'

Beberapa teolog seperti Barclay, A.W Pink, J Wesley Brill,35

sepakat menafsirkan ayat 16 dalam kerangka pemahaman Yesus

sebagai gembala yang baik yang mengenal domba-dombaNya dan

respon Maria Magdalena yang mengenal gembalanya. Bahkan

Schiissier Fiorenza pun menafsirkan hal yang sama. Penafsiran atas

bagian ini didasarkan pada pasal 10 mengenai gembala yang baik

adalah gembala yang mengenal domba-dombanya dan memanggil

mereka dengan namanya satu per satu dan pasal 20 ketika penulis Injil

berbicara mengenai perintah Yesus kepada Simon Petrus untuk

menggembalakan kawanan domba. Beberapa penafsir terjebak dalam

kerangka pemikiran semacam ini dengan menempatkan konteks ayat

16 pada konteks pasal 10 dan pasal 20. Berdasarkan tatanan seperti

itu, maka ayat 16 dapat dengan mudah menimbulkan kesan Yesus

sebagai gembala yang baik. Dalam hemat penulis, kesan yangditimbulkan oleh ayat ini adalah kesan yang dihasilkan karena

penggunaan metafor Yesus adalah gembala yang baik dalam injil

Yohanes.

Penggunaan metafor mengakibatkan usaha peredaman

terhadap peran Maria Magdalena luput dari pandangan dan penafsiran

para ahli sehingga seringkali oknum yang di'salahkan dalam penafsiran

terhadap bagian ini adalah Maria Magdalena karena ia tidak mampu

tnengenali Yesus yang bangkit, juga oleh penafsiran yang

memojokkannya dengan mengatakan bahwa Maria Magdalena terlalu

fokus pada permasalahan yang dialaminya sehingga sulit melihat

Yesus dengan jelas. Kenyataan ini memaksa para pembaca untuk

mernahami sebuah teks berdasarkan konteks sehingga tidak terjebak

dalam kesan umum yang dihadirkan oleh penulis teks sebab hal ini

akan mengaburkan maksud sebenarnya yang ingin diuangkapkan oleh

teks. Metafora Yesus gembala yang baik adalah kesan yang digunakan

agar usaha peredaman terhadap peran Maria Magdalena yang

ditempelkan ke mulut Yesus oleh penulis Injil tidak terlihat

sebagaimana adanya.

Hal ini tidak dapat disalahkan, karena bagaimana pun juga

seorang penulis penulis teks bersikap netral dan mendukung

perempuan, ia berada dalam konteks masyarakat patriarkal yang bias￾bias dominasi terhadap perempuan masih terlihat. Hal ini menjelaskan

alasan mengapa teks ini menonjolkan perempuan tetapi pasa saat

yang sama ia menunjukkan usaha-usaha peredaman terhadap peran

perempuan.

Jangan Sentuh Aku, Perempuan!

Tradisi Yahudi mengharuskan seorang rabbi untuk tidak

bersinggungan dengan perempuan yang bukan isteri atau saudarinya

dan tidak boleh memiliki murid perempuan.36 Perempuan diberi

kesempatan untuk masuk ke dalam sinagoge tetapi tidak dapat menjadi

murid seorang rabbi mana pun kecuali jika suami atau ayahnya adalah

seorang rabbi. Sepanjang tradisi Yahudi tidak pernah ada perempuan

yang meninggalkan keluarganya dan melakukan perjalanan bersama

seorang guru. Maria Magdalena dan beberapa perempuan tidak sajameninggalkan rumah melainkan bergabung dalam komunitas Yesus

dan menyertaiNya dalam perjalananNya. Yesus tidak saja 'melawan'

terhadap tradisi semacam ini tetapi menunjukkan penolakan terhadap

ajaran rabbi Yahudi yang mendiskriminasi perempuan karena gender

dan alasan biobgis.37 Dalam konteks komunitas yang berbela rasa

terhadap persamaan derajat, Yesus menunjukkan bahwa perempuan

pantas dan berhak memasuki sebuah komunitas pemuridan. Namun

sikap Yesus pada ayat 17 yang tidak mau disentuh oleh Maria

Magdalena patut dipertanyakan. Yesus seolah-olah berdiri pada tradisi

para rabbi Yahudi. Kata Yunani yang dipakai adalah airtou yang dapat

diterjemahkan ignite; midd, take hold of, touch yang berarti menyentuh

dalam arti fisik. Yesus tidak mau disentuh Maria Magdalena dengan

alasan Yesus belum naik kerada Bapa yang jika dilihat dari sudut

pandang tradisi Yahudi, tindakan ini berkaitan dengan hukum

pentahiran bagi seorang perempuan untuk boleh bersentuhan dengan

laki-laki. Argumentasi ini diperkuat dengan kenyataan bahwa delapan

hari kemudian Yesus memberi dirinya disentuh oleh Thomas, seorang

laki-laki (20:20]. Dalam hemat penulis, perintah untuk tidak

menyentuh Yesus merupakan salah satu cara penulis injil

memberitakan bahwa sekali pun perempuan telah memasuki

hubungan yang sederajat dengan laki-laki, perempuan tidak dapat

benar-benar melupakan masalah pentahiran diri. Hal ini oleh

Schiissier Fiorenza disebut sebagai imajinasi teobgis yang masih

bersifat androsentrik sebab penulis baik laki-laki maupun perempuan

disosialisasikan dalam alam pemikiran yang sama, yakni

kepengarangan maskulin.38

Relevansi Pemuridan Yang Sederajat Bagi Kehidupan Bergereja Di

Indonesia

Membaca Teks Yoh 20:11-18 Dari Sudut Pandang Teologi Feminis

Injil Yohanes merupakan jendela bagi penafsir untuk dapat

melihat dengan lebih jelas ke dalam kehidupan komunitas Yesus,

bagaimana komunitas Yesus dibangun dan dipertahankan serta lebih

kritis terhadap peran dan kedudukan perempuan yang dalam tulisan inidiwakilkan oleh Maria Magdalena. Teks Yob 20:11-18 merupakan sebuah

kesaksian iman dari penulis Injil untuk mengungkapkan komunitas Yesus

yang sederajat dan usaha-usaha seorang penulis yang berjiwa feminis

dalam memperjuangkan dan menegakkan peran dan kedudukan Maria

Magdalena. Harus diakui tulisan ini dihasilkan oleh 'seorang feminis'

dalam konteks budaya patriarkal sehingga meninggalkan bias-biasnya

yang saya golongkan sebagai bentuk peredaman terhadap peran Maria

Magdalena sehingga usaha yang dilakukan penulis Injil Yob tidak benar￾benar berdasarkan kasih yang altruistik melainkan kasih yang

dikondisikan dan disosialisasikan dalam kerangka berpikir androsentrik

yang menekankan kepengarangan maskulin.

Karena itu, saya mengusulkan cara baru untuk membaca teks Yoh

20:11-18. Ketika membaca sebuah teks, pembaca tidak benar-benar

meninggalkan konteks dimana ia hidup dan dibesarkan. Asumsi,

pengetahuan, dan pengalaman pembaca dibawa masuk sebagai

prapaham ketika membaca teks dan tidak jarang prapaham ini membuat

penafsiran yang dilakukan tidak pernah benar-benar objektif dan jujur.

Keterbukaan untuk mengakui dan jujur menerima konteks pembaca saat

ini sebagai sebuah konteks yang memang bermasalah karena tidak

benar-benar memperhatikan keutuhan kemanusiaan antara laki-laki dan

perempuan akan memberikan kacamata yang baru agar dapat membaca

teks ini dari sudut pandang yang baru dan membebaskan seperti yang

telah penulis lakukan dengan studi hermeneutik feminis. Teks ini harus

didekati dengan pendekatan yang berbeda dengan pertama-tama

menggunakan hermeneutik kecurigaan dan menempatkan diri pada

sudut pandang seorang perempuan Yahudi agar penafsiran yang

dilakukan berjiwa feminis sekali pun dihasilkan dalam kepengarangan

maskulin dan membebaskan perempuan (Maria Magdalena) terutama

bagi konteks saat ini.

Relevansi Pemikiran Pemuridan Yang Sederajat

Tulisan ini dapat direlevansikan dalam berbagai aspek kehidupan

dimana perempuan dan laki-laki mengambil peran di dalamnya. Namun

pada tulisan ini, penulis hanya akan memaparkan relevansi pemuridan

yang sederajat bagi kehidupan bergereja di Indonesia. Sepanjang sejarahkekristenan sebelum lahirnya teobgi feminis, perempuan selalu

tersubordinasi di bawah kaum laki-laki. Gereja turut andil dalam posisi

subordinasi perempuan sehingga bertahun-tahun lamanya perempuan

tidak dapat menduduki jabatan kepemimpinan dalam gereja. Keadaan ini

baru berakhir di akhir abad 20 dengan pengakuan pada kepemimpinan

kaum perempuan dalam gereja tetapi pengecualian pada gereja Katholik

Roma. Sebagai sebuah lembaga, gereja memiliki jabatan struktural

dimana dibutuhkan pemimpin-pemimpin untuk mengisi jabatan

tersebut. Tetapi berdasarkan keputusan Sidang Raya PGI di Surabaya

pada Oktober 1989 bahwa perempuan harus menduduki 30% jabatan

kepemimpinan dalam gereja maka dapat disimpulkan bahwa presentasi

keterlibatan perempuan dalam lembaga gereja masih sangat minim

meskipun pengunjung gereja 1' V.h banyak kaum perempuan.39 Hal ini

disebabkan oleh budaya organisasi yang patriarki dan persepsi yang salah

mengenai perempuan yang mengakibatkan ketidaklayakan seorang

perempuan untuk menduduki jabatan kepemimpinan.

Di sisi lain, secara spiritual, gereja pun bertanggung jawab

terhadap ajarannya mengenai peran kaum laki-laki dan perempuan.

Peran ini bersumber dari tiga hal, Alkitab, Zending yang datang ke

Indonesia, dan budaya Indonesia yang cukup mendukung.40 Dari Alkitab

orang kristen belajar mempercayai Allah yang monoteis dalam Yahudi.

Kepercayaan Monoteis ini berakar dari sistem patriarkat dimana unsur

maskulin dominan terhadap unsur feminine. Cerita-cerita Alkitab sangat

menekankan pada hukum pentahiran bagi seorang perempuan sehingga

terdapat banyak pantangan bagi perempuan untuk datang mendekat dan

menjalin relasi yang lebih intim dengan Allah baik dalam kebaktian

sinagoge maupun dalam jabatan keimaman. Kedatangan Zending yang

mengkristenkan suku-suku di Indonesia juga mendukung hal ini dengan

pembagian kerja menurut jenis kelamin yang sukar diubah hingga kini

karena budaya setempat ikut mendukung hal ini. Tidak dapat dipungkiri

bahwa gereja-gereja di Indonesia terutama gereja suku sangat kental

dengan kebiasaan ini. Kaum yang dipercaya mampu memimpin dan

mewakili Allah adalah kaum laki-laki karena sebagian besar suku di

Indonesia mengutamakan keutamaan seorang laki-laki daripada

perempuan. Hal ini menyebabkan laki-laki dapat dengan mudahmemperoleh jabatan kepemimpinan dan keimanan dalam gereja tanpa

memperhitungkan kemampuan dan potensi kaum perempuan untuk

jabatan tersebut. Padahal jika mengacu pada gerakan Yesus dan gerakan

Kristen, kaum perempuan diberikan kesempatan yang sama dengan

kaum laki-laki untuk menjadi anggota dan berperan aktif di dalamnya,

bahkan dari teladan Maria Magdalena dalam 'solidaritas dalam

kesederajatan' menunjukkan bahwa kaum perempuan membuktikan diri

memiliki potensi dan kepekaan yang seringkali melebihi kaum laki-laki.

Gereja-gereja masa kini perlu belajar dari kemuridan yang sederajat ini.

Hukum pentahiran tidak lagi relevan untuk masa kini. Gerakan Yesus telah

memungkinkan semua perempuan untuk tahir secara utuh dan

dengannya dapat memasuki sebuah hubungan intim dengan Allah dalam

kebaktian dan jabatan keimaman. Perempuan menjadi layak karena Allah

dalam Yesus melayakkannya.

Mengenai kepemimpinan, tidak ada yang salah dengan

kepemimpinan perempuan. Kesalahan utama terletak pada respon dan

ketidakpercayaan gereja untuk membiarkan laki-laki dan perempuan

bergandengan tangan memasuki pemuridan yang sederajat dari gerakan

Yesus karena pada dasarnya kaum perempuan pun adalah anggota jemaat

Allah. Gelar apostle apostolarum dianugerahkan kepada Maria Magdalena

karena ia pantas memperolehnya. Jika gereja peka, gelar ini seharusnya

dikenakan kembali pada perempuan dan laki-laki yang telah

menunjukkan dedikasi pelayanannya dalam perjalanan pemuridan

bersama Yesus di dalam gereja.


Studi hermeneutik feminis terhadap teks Yob 20:11-18

menghasilkan sebuah pemahaman baru bahwa pemuridan yang

sederajat mencakup perempuan dan laki-laki, kaya dan miskin, orang

sehat dan orang sakit, orang benar dan orang berdosa, dan orang Yahudi

dan non Yahudi. Tulisan ini terutama didedikasikan bagi perempuan￾perempuan Kristen yang sedang berjuang menemukan dan menegakkan

kembali gambaran kemanusiaannya yang utuh mengenai diri sendiri dan

kesadaran bahwa di dalam dirinya sebagai perempuan, Allah ingin setiap

perempuan menegaskan citra diri Allah tersebut dalam peran-perannyadi keluarga, gereja dan masayarakat. Perempuan tidak lagi terbelenggu

oleh pemahaman bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki melainkan

pada usaha bagaimana menegaskan keperempuannya: perempuan

memiliki potensi yang hanya dapat diekspresikan dan direalisasikan oleh

dirinya sendiri. Allah telah memungkinkan dia melalui kisah Maria

Magdalena dan kini saatnya perempuan harus bertanggung jawab

terhadap kemungkinan yang dianugerahkan Allah tersebut.

Bag! gereja, gereja perlu melihat perempuan sebagaimana Allah

melihat perempuan, membaca Alkitab dari sudut pandang perempuan

untuk memungkinkan setiap perempuan memasuki relasi yang benar

dan jujur dengan Allah. Bagi keluarga yang masih menekankan

keutamaan anak laki-laki sepertf keluarga Sumba, Batak, dan Toraja agar

menyadari bahwa anak perempuan pun anugerah Allah yang perlu

diterima, diakui, dan dihargai. Untuk sekolah, agar merevisi kurikulum

dan buku ajar agar lebih bersikap adil terhadap peran perempuan dan

laki-laki, memosisikan mereka dalam pemuridan yang sederajat dari

gerakan Yesus, memberi peluang dan kepercayaan bagi perempuan dan

laki-laki untuk mengasah kemampuan dan mengembangkan bakatnya

serta membimbing mereka untuk dapat meneladani model pemuridan

yang sederajat seperti Maria Magdalena.


maria magdalena 2

 


Tradisi kristiani awal menempatkan Maria Magdalena sebagai perempuan suci, yang karena kesuciaannya 

Allah melayakkannya menjadi saksi kebangkitan. Dengan menggunakan perspektif hermeneutik, 

berhadapan dengan Alkitab, metode Paul Ricoeur secara jelas membedakan antara aktivitas membaca 

(reading) dan menafsir (interpreting), “eksegese” dan “hermeneutik”. Jika “menafsir” berorientasi ke masa 

lalu (eksegese), maka “membaca” menghasilkan orientasi ke masa kini (hermeneutik). Jadi, “tafsir” bukan 

hanya berarti “eksegese”, tetapi “eksegese” sekaligus “hermeneutik”. Dengan hermeneutik produktif 

diusung sebuah tesis, yaitu posisi iman yang mengandung pilihan etis yang membebaskan. Dalam terang 

seperti itulah Maria Magdalena dan hidupnya hendak dilihat dalam perspektif hermeneutis untuk 

menibakan pada panggilan etis emansipatoris. Dalam perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit, Maria 

Magdalena diperkenalkan sebagai perempuan dengan nilai-nilai pedagogis yang luhur. Dalam perspektif 

pedagogis, nilai-nilai hidup Maria adalah: kepekaan hati-belarasa, panggilan misional-agen perubahan, 

dan kreativitas yang bijaksanaTulisan ini bermaksud menelaah hidup seorang tokoh perempuan di dalam Alkitab, yaitu Maria 

Magdalena. Baik Maria Magdalena maupun Maria ibu Yesus, keduanya menjadi ibu bagi semua orang 

Kristen pada era patristik awal. Keibuan mereka lalu ditransfer kepada gereja (Hovorun, 2015; Krueger, 

2019). Gambaran gereja sebagai ibu diterima luas dalam oecumene Kristen, khususnya di Afrika Utara. Di 

Aleksandria, khususnya, Klemen memperkenalkan gereja sebagai ibu dengan mengambil referensi pada 

kata-kata Yesaya: “Sebab beginilah firman Tuhan: Sesungguhnya, Aku mengalirkan kepadanya 

keselamatan seperti sungai, dan kekayaan bangsa-bangsa seperti batang air yang membanjir; kamu akan 

menyusu, akan digendong, akan dibelai-belai di pangkuan. Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu; kamu akan dihibur di Yerusalem” (Yesaya 66:12-13) 

(Hovorun, 2015). Seorang ibu akan membawa anaknya dekat dengannya. Kita pun menyebut ibu kita 

dengan gereja.

Gambaran ibu menjadi populer dalam dunia Kristen sebagai reaksi atas perpecahannya: ibu yang 

menyatukan anak-anaknya. Siapa yang menolak gereja akan membahayakan keselamatannya, 

sebagaimana diungkapan oleh Cyprianus dari Kartago dengan kata-katanya yang terkenal: “Ia yang tidak 

mengaku Allah sebagai Bapa, ia juga tidak mengakui gereja sebagai ibunya” (Hovorun, 2015). Gambaran 

perempuan ini menjadi sangat kuat dalam mengamankan kesatuan gereja. Pada saat yang sama, 

gambaran ini berkontribusi untuk mempersepsikan gereja sebagai bernilai dalam dirinya, jika tidak 

terpisah dari Kristus.

Maria Magdalena tentu bukan sosok perempuan biasa (Chung Yen, 2005). Ada 12 ayat dalam 

keempat Injil kanonik, yang berasal dari tahun 70-100 M, yang berisi rujukan pada Maria Magdalena atau 

Maria dari Magdala. Ayat-ayat berikut menyebutkan panggilan nama tersebut: Matius 27:56; 27:61; 28:1; 

Markus 15:40; 15:47; 16:1; 16:9; Lukas 8:1; 24:10; Yohanes 19:25; 20:1; 20:18. Tradisi kristiani awal 

menempatkan Maria Magdalena sebagai perempuan suci, yang karena kesuciaannya Allah 

melayakkannya menjadi saksi kebangkitan. 

Penghormatan pertama atas Maria Magdalena muncul di Gereja-gereja Timur. Tahun 889 M, kaisar 

Bizantium, Leo VI membangun rilikui (devosi/penghormatan) untuk Maria Magdalena di Gereja En￾Topois, di Konstantinopel. Di Gereja-gereja Barat, devosi/penghormatan atas Maria Magdalena sangat 

awal terjadi dan betul-betul berkembang setelah Paus Gregorius (590-604 M) dalam dua kesempatan 

berbeda mendukung dan meresmikan devosi populer terhadapnya. Untuk meyakinkan Gereja Katolik, ia 

berkata: "Ketika saya memikirkan pertobatan Maria, rasanya saya ingin menangis. Ia betul-betul 

memperhitungkan apa yang telah ia buat dan apa yang akan dia lakukan. Dengan mencintai kebenaran, 

dia menghapus dosa-dosanya dengan air matanya sendiri" (Tardelly, 2011). Puncaknya pada 20 April 

1050, Paus Leo IX mengeluarkan sebuah bulla(keputusan suci dari Paus) yang menetapkan Maria seorang 

santa dan dikukuhkan ulang oleh Paus Stefanus IX pada 6 Maret 1058. Begitulah tradisi Katolik 

memandang Maria Magdalena sebagai perempuan kudus (santa, orang kudus) yang paling banyak 

diumpat karena kontroversinya, namun diberkati dan layak menjadi salah satu pengantara umat dan atau 

gereja untuk datang kepada Allah (Callahan, 2006; Tripp, 2019, pp. 253–276). Namun, ia jelas adalah 

seorang penginjil perempuan mula-mula yang turut menjadi saksi dari peristiwa kebangkitan Yesus. 

Karena ia adalah saksi dari kebangkitan, maka ia dapat disejajarkan dengan rasul-rasul lainnya, sebagai 

seorang rasul perempuan (Callahan, 2006). Maria menjadi contoh bagi banyak orang yang terjaga dalam 

iman mencari Dia di pagi hari Paskah. Dia juga model dari gereja dalam peziarahan mencari Tuhan.

Beberapa studi terdahulu tentang Maria Magdalena dilakukan oleh beberapa ahli. Lie Chung Yen 

mendalami sosok Maria Magdalena dengan perspektif historis. Ia mendalami konteks pemberontakan 

yang silih berganti terjadi. Magdala, tempat di mana Maria hidup, lalu dikenal sebagai “tanah yang diliputi 

bayangan kematian”. Yen juga memperkenalkan Maria sebagai sosok pelacur yang bertobat. Konteks ini 

membuat Maria menjadi sosok yang terbiasa dengan dunia yang keras, yang menempanya menjadi 

pribadi yang tangguh dan militan ketika menjadi para pengikut Yesus (Chung Yen, 2005). Tokoh lain 

Sidney Callahan dengan perspektif historis menggali konteks Palestina dengan sistem sosial dan 

ekonominya yang menindas. Masyarakat Yudea di mana Maria hidup adalah yang bertatanan sangat tidak 

adil. Kekerasan dan penindasan sangat biasa terjadi di sini, lebih lagi itu tertuju pada kaum perempuan 

yang sering mengalami marginalisasi. Inilah konteks di mana Maria tumbuh sebagai perempuan yang 

terbiasa hidup menderita dan mengikuti gerakan Yesus dengan satu visi untuk ikut mentransformasi masyarakat menjadi adil dan sejahtera (Callahan, 2006). Sementara itu Reynaldo Fulgentio Tardelly, 

dengan menggunakan analisis semiotik (kebahasaan), menjelaskan kata Magdala sebagai sebuah jalur 

perdagangan yang ramai dan tempat orang berjualan ikan. Tujuan analisis semiotik ini adalah untuk 

memperlihatkan latar belakang kehidupan Maria sebagai seorang nelayan --seperti umumnya para murid 

Yesus-- yang sehari-harinya bergelut dengan kehidupan yang keras sehingga ia menjadi pribadi dewasa 

dan matang oleh pengalaman (Tardelly, 2011). Tokoh lain Sr. M. Henrika dengan menggunakan perspektif 

misiologis mengatakan bahwa perjumpaan dengan Yesus telah mengubah hidup Maria. Rasa sedih karena 

penindasan menjadi sukacita yang mendalam, dan keputusasaan karena menjadi sasaran ketidakadilan 

diubah menjadi pengharapan. Lebih dari itu, Yesus memanggil, memberi kepercayaan dan penugasan

kepada Maria untuk menghadirkan damai sejahtera (Henrika, FSGM, 2011). Terakhir Bronwen Wilson, 

dengan perspektif teologis menjelaskan konteks yang keras dan cenderung seksis terhadap para 

perempuan menempatkan Maria Magdalena tumbuh menjadi seorang pembimbing yang sangat baik 

untuk orang kristiani dewasa ini yang berusaha menjadi orang yang sungguh mengasihi Allah dan sesama. 

Maria mewakili perempuan misionaris yang bersemangat besar untuk mencari dan menemukan 

kebenaran. Inilah yang dalam dunia teologi dikenal sebagai "fides quarens intellectum", yaitu iman yang 

mencari terus-menerus pengetahuan akan kebenaran Allah dan diwujudkan dengan upaya keras tanpa 

lelah hingga sampai mendapatkannya (Wilson, 2019). Yang berbeda dalam penelitian ini adalah bahwa 

penulis menggunakan perspektif hermeneutik pedagogis, untuk menggali nilai-nilai pedagogis dari 

pengalaman hidup Maria Magdalena bagi hidup manusia di hari ini. Perspektif ini sekaligus kebaruan yang 

membedakan antara tulisan ini dengan tulisan-tulisan terdahulu.

Melalui penelusuran ini akan dicari apa yang menjadi nilai-nilai pedagogis yang diperjuangkan oleh 

seorang Maria Magdalena. Tesis tulisan ini adalah bahwa nilai-nilai hidup yang dijalani Maria Magdalena 

itu sangat penting untuk hidup pribadi dan komunitas di hari ini di tengah perjuangan hidup beriman yang 

tidak mudah. Melalui penelusuran hermeneutis, didapati bahwa semua nilai itu penting untuk 

menginspirasi sebuah tindakan iman konkret di dalam konteks yang dihidupi.

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah hermeneutik, secara khusus titik 

beratnya pada hermeneutik Paul Ricoeur. Hermeneutik sebagai penafsiran atas teks kitab suci sangat 

dekat dengan persoalan seseorang menerapkan hasil-hasil penafsiran teks agamanya dalam ruang-ruang 

publik (Ariarajah, 2005; Frederiks, 2005; Moyaert, 2017). Dapat dikatakan bahwa penafsiran atas teks￾teks keagamaan bukanlah aktivitas sepi dari hubungan dengan orang-orang lain dan bagaimana orang lain 

digambarkan berdasar pada hasil penafsiran itu. Hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneuein, yang 

berarti "menafsirkan" (to interpret). Dari sini muncul perluasan makna kata menjadi "mengungkapkan" 

(to express), "menjelaskan" (to explain), "menerjemahkan" (to translate) (Palmer, 1980). Kata ini juga 

didefinisikan secara beragam dan bertingkat.

Ragam dan tingkat pertama adalah hermeneutik reproduktif (Mantzavinos, 2020)(Warnke, 2020). 

Friedrich Schleiermacher dianggap menjadi tokoh kunci hermeneutik reproduktif yang ingin kembali ke 

masa lalu dengan proyek rekonstruksi dan reproduksi. Tugas hermeneutik adalah menghubungkan 

seseorang dengan "ekspresi genius" atau "pengarang serba tahu" (omniscient author) –bahkan 

“pengarang dianggap tidak dapat salah”— dan menjadikannya itu sezaman dengan orang tersebut 

(pembaca). Jarak antara pengarang dan pembaca cenderung dianggap negatif, dan harus diatasi. Upaya 

mengatasi jarak menyebabkan alih-alih makna menjadi jelas, yang ada adalah pengulangan (copy-paste, 

reproduktif) masa lalu untuk dihadirkan di hari ini. William Dilthey (1833-1911) meneruskan proyek hermeneutik reproduksi. Menurut Dilthey "the ultimate aim of hermeneutics is to understand the author 

better than he understands himself" (tujuan akhir hermeneutik adalah memahami pengarang lebih baik 

daripada pemahamannya tentang dirinya sendiri) (Ricoeur, 1982). Lewat pernyataan di atas, tergambar 

bahwa hermeneutik memang didedikasikan memahami yang lain (dhi. teks atau pengarang), tetapi saat 

bersamaan melupakan diri sendiri. Hermeneutik reproduktif lalu jatuh pada arogansi makna tunggal.

Ragam dan tingkat kedua adalah hermeneutik produktif (Mantzavinos, 2020) (Warnke, 2020). 

Tokoh kunci hermeneutik produktif adalah Hans-Georg Gadamer. Ia mengatakan: “[...] the meaning of a 

text goes beyond it's author [...] That is why understanding is not merely a reproductive, but always a 

productive attitude as well” (arti dari sebuah teks melampaui pengarangnya […] Itulah mengapa 

pemahaman bukan hanya reproduksi, tetapi selalu merupakan sikap produktif juga” (Gadamer, 1975). 

Hermeneutik produktif ini mendobrak penunggalan makna dan membuka perspektif “keragaman makna” 

(surplus of meaning). Hermeneutik ini mencapai puncaknya pada pemikiran filsafat hermeneutik Paul 

Ricoeur. Dasarnya adalah apa yang Ricoeur katakan “meaning of a text lies not behind the text but in front 

of it” (Makna teks sendiri tidak terletak di belakang teks melainkan di depannya) (Ricoeur, 1982). Karena 

makna ada di depan teks, makna melampaui intensi pengarang, yang berarti membuka kemungkinan bagi 

polisemi makna. 

Hermeneutik produktif mengusung sebuah tesis, yaitu posisi iman yang memuat panggilan etis 

yang membebaskan (Ricoeur, 1980). Teks yang bersifat produktif dapat membuka diri 

(penafsir/pembaca) di hadapan teks yang mendorong kehendak untuk bertindak. Tindakan yang 

dimaksud adalah tindakan etis emansipatoris. Inilah prinsip etika emansipasi Ricoeur yang dihasilkan 

melalui proses penafsiran teks, yang dasarnya adalah "cinta dan keadilan" (love and justice) (Simon, 2019)

(Ricoeur, 1995). Di sinilah hidup sehari-hari ditransfigurasi oleh perjumpaan dengan teks dan mengantar 

pada tindakan etis tentang cinta dan keadilan. Dalam terang seperti itulah Maria Magdalena dan hidupnya 

hendak dilihat dalam perspektif hermeneutik produktif untuk menibakan pada panggilan etis 

emansipatoris.

Dalam kajian hermeneutik produktif, berhadapan dengan Alkitab, Ricoeur secara jelas 

membedakan antara aktivitas “membaca” (reading) dan “menafsir” (interpreting), “eksegese” 

(=menempatkan teks dalam konteks masa lalu) dan “hermeneutik” (=menempatkan teks dalam konteks 

masa kini)” (Ricoeur, 1982). “Membaca” menekankan pada pembaca teks yang mempunyai perspektif 

atau pendekatan tertentu terhadap teks. “Menafsir” menekankan pada kemampuan menggali teks dan 

makna yang terdapat di dalam atau di belakang teks. Jika yang terakhir, “menafsir”, dikembangkan oleh 

metode tafsir historis-kritis yang berorientasi ke masa lalu (eksegese), maka “membaca” menghasilkan 

pendekatan yang sekarang disebut reader’s response yang orientasinya ke masa kini (hermeneutik). Jadi, 

“tafsir” bukan hanya berarti “eksegese”, tetapi “eksegese” sekaligus “hermeneutik”.

Secara teknis, urutan penafsiran yang Ricoeur lakukan adalah pertama-tama prefiguration, 

kemudian configuration dan akhirnya refiguration. Dalam langkah pertama, prefiguration, kita berpikir 

naïf atau pra-kritis. Tahap ini sering juga disebut membaca dari dekat (close reading), memahami teks dan 

menggali makna secara intuitif dalam rangka sebuah keyakinan. Dalam langkah kedua, configuration, kita 

memasuki pemikiran kritis. Pada tahap ini seorang penafsir mulai mendiskusikan hasil bacaannya atas 

teks dengan bahan-bahan tafsir dari para ahli yang mengusung tujuan ganda, yaitu kritis pada teks dan 

kritis pada sejarah penafsiran teks. Sedangkan dalam langkah ketiga, refiguration, kita memasuki 

pemikiran pasca-kritis. Pada tahap ini hasil penafsiran pada tahap sebelumnya dipakai untuk 

mengonstruksi pesan-pesan moral-etis-emansipatoris bagi hidup di masa kini (Stiver, 2001)(Colby & H. 

Bodily, 2018). Dalam ketiga tahap ini tekanan diletakkan pada si pembaca. Pembaca dan pengalamannya 

merayakan kekayaan makna (surplus of meaning). Memberi tempat kepada pembaca untuk menentukan 

makna sebuah teks akan melahirkan suatu eisegese, yaitu penyelundupan pikiran pembaca ke dalam teks 

(Setio, 2010) (Setio, 2006). Secara metodik, perkembangan hermeneutik postmodern semakin 

mengaburkan perbedaan klasik antara eksegese (mengeluarkan makna) dan eisegese (memasukkan 

makna). Eisegese dapat ditoleransi jika penyelundupan pikiran bahkan kepentingan dari pembaca itu 

terjadi sejauh diletakkan dalam komunitas sehingga yang muncul adalah kepentingan komunitas 

(interpretive community). Terselip keyakinan bahwa di dalam komunitas inilah kepentingan yang lebih 

besar, yaitu kepentingan kerajaan Allah tentang keadilan (termasuk keadilan gender), perdamaian dan 

keutuhan ciptaan, tersimpan dan melampaui segala bentuk kepentingan pribadi (Gschwandtner, 2017). 

Pada dasarnya jenis penafsiran ini memahami bahwa pembaca perlu diberi ruang yang lebih leluasa untuk 

menentukan manfaat penafsiran yang diketemukan sedekat-dekatnya dengan konteks hidupnya dan 

menjawabnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Urutan hasil dan pembahasan dengan memakai perspektif pedagogis Paul Ricoeur melalui metode 

penafsirannya adalah sebagai berikut. Pertama-tama akan dipaparkan kedudukan Maria Magdalena di 

dalam konteks yang dihidupinya. Bagian ini merupakan gabungan langkah pertama dan kedua dari 

metode tafsir Ricoeur, yaitu prefiguration dan configuration. Kemudian menjelaskan arti penting Maria 

Magdalena dalam gerakan Yesus. Bagian ini merupakan langkah kedua, yaitu configuration. Dan akhirnya 

menjelaskan Maria Magdalena dan nilai-nilai pedagogis yang diwariskannya. Bagian ini merupakan 

langkah ketiga, yaitu refiguration. Sebagai penutup akan dipaparkan beberapa kesimpulan.

Maria Magdalena dan Konteks Hidupnya

Inggrid Maisch, teolog perempuan Katolik asal Jerman, berpendapat bahwa nama Maria dari 

Magdala jauh lebih objektif ketimbang nama Maria Magdalena. Yang terakhir ini cukup sarat dengan bias 

jender, khususnya pandangan laki-laki atas perempuan tidak baik dan tidak bermoral. Padahal Maria dari 

Magdala jauh lebih dari itu, mempunyai karakter: berani, solider, penghibur orang berduka, tekun dan 

setia (Tardelly, 2011). Bahkan Sidney Callahan menjelaskan bahwa dari analisis bahasa dan budaya,nama 

Maria dari Magdala sangat jelas bahwa ia adalah seorang terpandang atau terkemuka di tengah 

masyarakat(Callahan, 2006). Bahkan besar kemungkinan bahwa Maria adalah pemimpin sebuah jemaat 

kristiani perdana. 

Maria dari Magdala hidup dalam zaman yang bergolak di bawah pemerintahan bangsawan militer 

di Roma. Maria hidup di sebuah provinsi Roma di kawasan Laut Tengah yang banyak diterjang 

pemberontakan kaum petani dan perang saudara di antara raja-raja wilayah atau raja-raja boneka Roma. 

Pemberontakan orang Yahudi atas Raja Shalmanaser II asal Asyur (728 SM) dicatat dalam Hosea 10:13b-

14. Pemberontakan Makabe terjadi tahun 167-143 SM (lihat Makabe 9:2). Pemberontakan Yahudi 

terakhir terjadi tahun 66-70 M yang membuat kehancuran Yerusalem. Magdala sendiri hancur tahun 67 

M. Panglima militer Roma, Vespasianus, dan anaknya, Titus, membantai habis penduduk Magdala. 

Pengalaman ini membuat Magdala dikenang sebagai "tanah yang diliputi bayangan kematian"(Chung Yen, 

2005)Di zaman Maria hidup, Yudea diperintah oleh HerodesAgung (37-40 sM) yang terkenal bengis dan 

haus darah. Keadaan di Palestina pada abad pertama adalah contoh sistem sosial dan ekonomi yang 

bersifat menindas (Callahan, 2006). Keadaan-keadaan tersebut menunjukkan masyarakat yang bertatanan sangat tidak adil. Orang kaya menjadi semakin kaya dan orang miskin semakin tergilas dan 

melarat. Kekerasan yang tidak mengenal hukum dan penindasan yang kejam adalah hal biasa.

Dalam bahasa Ibrani "Mar" berarti gemuk, tebal, pahit, kuat dan suka berontak. "Mar" dalam bahasa 

Ibrani menjadi Miryam, bahasa Aram menjadi Maryam, bahasa Yunani menjadi Mariam, dan dalam bahasa 

Latin menjadi Maria (Chung Yen, 2005). Makna namanya itu yang kiranya tercermin dalam kenyataan 

bahwa Maria Magdalena atau disebut juga Maria dari Magdala hidup dalam zaman dan tempat yang rumit, 

yang telah memikat semua orang yang berusaha memahami Yesus dari Nazaret. Masyarakat kota yang 

berkembang pesat dan bersifat Yunani-Helenistik, yang terdiri dari orang Yunani, Romawi dan Yahudi, 

hidup di Palestina berdampingan dengan, atau menindas, masyarakat petani agraris Yahudi. Semua 

kelompok ini hidup di bawah kuk kekuasaan Romawi yang memerintah dengan tangan besi. 

Jalan-jalan perdagangan membentang melalui Palestina dari peradaban-peradaban Timur menuju 

pelabuhan-pelabuhan laut di kawasan Laut Tengah. Agama yang berbeda-beda, baik dari Timur maupun 

Barat, memengaruhi kehidupan beragama orang Yahudi. Perpecahan internal yang bergolak menandai 

Yudaisme pada zaman itu. Ada sekte-sekte asketik, seperti kaum Esseni, yang memilih mengasingkan diri 

dari keramaian, di samping golongan keras, Zelotes, yang memberontak melawan Roma, namun akhirnya 

ditumpas dan musnah oleh militer Roma.

Dalam konteks yang keras itu, nasib Maria tidak jauh dengan rakyat kebanyakan. Ia hidup penuh 

dengan kepahitan. Hidup Maria sebanding dengan hidup mertua Ruth yang mengakibatkan ia dinamai 

Mara yang berarti kepahitan dan bukan Naomi yang artinya menyenangkan. "Mara" adalah bentuk lain 

dari "Mar", yang dalam bahasa Ibrani berarti "pahit", yang mencerminkan kepahitan hidup yang dialami 

oleh Maria (Chung Yen, 2005). Magdalena kerap dilukiskan dengan tengkorak, mungkin karena ia berdiri 

di bawah Salib di Bukit Tengkorak (Golgata), bisa juga karena ia dianggap akrab dengan kematian.

Magdala sebagai tempat asal Maria adalah sebuah kota besar di tepi danau Galilea atau karena 

luasnya disebut Laut Kinneret (Chung Yen, 2005). Magdala terletak di persilangan jalan utama 

perdagangan internasional Via Maris (Latin: Jalan Laut) antara Mesir dan Damaskus, Siria. Kota ini 

menyerupai kota singgah yang bersifat internasional karena menjadi pertemuan orang dari berbagai 

bangsa sambil membawa perilaku dan sistem kepercayaan mereka masing-masing. Secara moralitas 

sesungguhnya kota ini sangat rusak. Sihir dan perzinahan merajalela. Mungkin karena reputasi kota asal 

Maria ini, sehingga di kemudian hari Maria selama berabad-abad dikenal sebagai mantan pelacur (Chung 

Yen, 2005). Sekalipun muncul pula pandangan sebaliknya yang melihat Maria secara apresiatif dari

Elisabeth S. Fiorenza, yang mengatakan,"the pre-Lukan tradition identifies Mary of Magdala as a woman 

'from whom he has cast out seven demons' (cf. Mark 16:9 and Luke 8:2), then she is not thereby 

characterized as a 'sinner', but as someone who has experienced the unlimited (seven) liberating power of 

the basileia in her own life" [tradisi pra-Lukas mengidentifikasi Maria dari Magdala sebagai seorang 

perempuan ‘dari siapa Dia telah mengusir tujuh setan’ (band. Markus 16:9 dan Lukas 8:2), maka dia 

dengan demikian tidak dikategorikan sebagai ‘orang berdosa,’ tetapi sebagai seseorang yang telah 

mengalami kekuatan pembebas kuasa Allah yang tak terbatas dalam hidupnya sendiri] (Fiorenza, 1985). 

Basileia adalah kuasa Allah yang membebaskan. Visi basileia Yesus membuat orang seperti Maria pulih, 

sehat, tahir dan kuat kembali.

Dinamai Magdala (Ibrani "Migdal": menara) karena di sini berdiri menara pengawas milik militer 

Roma untuk mengamati seluruh rute utama perdagangan. Di sini juga para nelayan berlabuh dan menjual 

ikan mereka. Karena itu kota Magdala juga sering disebut "menara ikan" (Ibrani: Magdal Nunaiya) atau 

orang berbahasa Yunani menyebutnya "tempat ikan diasinkan" (Yunani: Tarichea) atau dikeringkanSemua hasil olahan ikan itu dijual ke pasar-pasar di Yerusalem dan di ekspor hingga ke 

kota Roma.

Seperti jelas pada bagian sebelumnya, Ricoeur secara jelas membedakan antara aktivitas membaca 

(reading) dan menafsir (interpreting). “Menafsir” menekankan pada kemampuan menggali teks dan 

makna yang terdapat di dalam atau di belakang teks.“Membaca” menghasilkan pendekatan yang sekarang 

disebut reader’s response yang basisnya adalah hermeneutik produktif, menambah dan menggandakan 

makna. Apa hasil hermeneutik terkait dengan hidup Maria? Hasilnya dapat dilihat dan ditemukan dalam 

makna bahwa konteks yang keras dan cenderung seksis para perempuan menempatkan Maria Magdalena 

menjadi pembimbing yang sangat baik untuk orang kristiani dewasa ini yang berusaha menjadi orang 

yang sungguh mengasihi Allah dan sesama. Maria mewakili perempuan misionaris yang bersemangat 

besar untuk mencari dan menemukan kebenaran (Wilson, 2019). Padanya iman yang diterminologikan 

sebagai "fides quarens intellectum", yaitu iman yang mencari terus-menerus pengetahuan akan kebenaran 

(Allah) diwujudkan dengan upaya keras tanpa lelah hingga sampai mendapat pembuktiannya. Sebelum 

dan sesudah kebangkitan, ia dapat berbalik menuju dunia baru dan melangkah untuk menempuh jalan 

kemuridan yang progresif dan revolusioner, yang maju dan mengubah keadaan.

Tempat Maria Magdalena dalam Gerakan Yesus

Dalam Lukas 8:1-3, Maria Magdalena memiliki tempat istimewa dalam gerakan Yesus. Ia 

diperkenalkan sebagai pribadi yang mengenal dan mengikuti Yesus bersama dengan kedua belas murid 

berjalan berkeliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan Allah (Clifford, 

2002). Maria menderita dengan tujuh setan yang selalu mengganggunya. Namun, menurut apa yang 

sering terjadi, penderitaan itu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan orang-orang yang kerasukan 

legion, yang berarti kurang lebih seribu setan sebagaimana yang terjadi pada orang di Gerasa. Yang jelas 

ia telah disembuhkan dari tujuh roh jahat atau roh jahat yang sempurna (angka 7) dalam kejahatannya, 

juga dari berbagai penyakit lainnya (Tardelly, 2011). Ia mengalami dan mengenali Yesus sebagai Ia yang 

dekat, yang menyembuhkan atau menyelamatkan. Yesus adalah orang yang selalu sama, penuh cinta, 

dekat dengan para murid-Nya, selalu mencari dan mencintai orang berdosa, mudah bergaul dengan siapa 

saja, tetapi pada saat yang sama setia pada panggilan-Nya, yang sering kali begitu sulit dipahami. Maria 

Magdalena juga bersama dengan perempuan-perempuan lainnya melayani rombongan Yesus dengan 

talenta, karunia dan berkat berupa kekayaan yang mereka miliki (ayat 2). Ia termasuk dari penginjil atau 

misionaris perempuan pertama yang diperkenalkan oleh Injil yang menjadi saksi yang setia dari kuasa 

kebangkitan Yesus (Ricci, 1994). Ketika hampir semua murid-Nya lari meninggalkan Yesus, Maria 

Magdalena bersama Yohanes dan Maria ibu Yesus, menyaksikan kematian-Nya di Kalvari (Matius 27:55-

56; Markus 15:40-41, Yohanes 19:25).

Dalam Yohanes 20:11-18, Maria Magdalena mengalami perasaan kehilangan Yesus. Kemudian 

menemukan kembali Yesus. Ia berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Perjumpaan itu menjadi pola bagi 

perjalanan hidup, khususnya panggilan para perempuan, di mana Yesus mempercayai dan mengutus 

Maria, menunjuk pada bagaimana para perempuan pun diutus untuk ikut serta mengemban misi gereja 

dalam setiap tempat dan kesempatan (Johnson, 2003).

Narasi Yohanes 20:11-18 sangat menarik dicermati. Pagi-pagi menjelang fajar pada hari sesudah 

sabat, Maria Magdalena atau Maria dari Magdala, bergegas-gegas pergi menuju ke kuburan tempat Yesus 

dimakamkan. Dalam perjalanan itu, ia terus menangis. Ini merupakan ungkapan emosional dari 

pengalaman kehilangan karena kedekatan sebuah relasi antara Yesus dengan para murid tak terkecuali dengan Maria. Gelombang kepedihan dan kedukaan melingkupi hatinya. Lagi dan lagi gambaran tentang 

penangkapan, pengadilan dan penyaliban Yesus menyerbu hatinya.

Ketika memasuki kompleks pekuburan, Maria terkejut karena menemukan batu penutup pintu 

masuk makam telah terguling ke samping. Makam itu telah kosong. Dalam keadaan kuatir dan bingung, 

Maria berlari untuk memberi tahu para murid yang lain, katanya: "Tuhan, telah diambil orang dari 

kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan" (Yohanes 20:2).

Petrus dan Yohanes berlari untuk melihat dan membuktikan sendiri makam yang kosong, 

kemudian pulang lagi. Akan tetapi Maria tetap tinggal di situ. Ia tidak mundur selangkah pun untuk 

memenuhi maksudnya. Ia bertekad bulat dan berdaya kuat untuk menemukan tubuh Guru yang amat 

dihormati dan dikasihinya. Dari hati yang paling dalam, Maria ingin memberikan upacara penghormatan 

atas tubuh Yesus, sesudah diperlakukan dengan amat kejam, diolok-olok, disesah dan amat menderita, 

dengan upacara pemakaman yang lazim untuk orang mati dalam tradisi Yahudi.

Ketika sedang menunggu di luar kubur, Maria terus menangis dan berdukacita. Terasa segala 

sesuatunya telah sirna. Musuh yang pendendam dan iri hati, pemimpin yang bejat, pengkhianatan 

sahabat-sahabat dekat (Petrus dan Yudas), semua itu telah membantu si penindas Roma menjatuhkan 

hukuman yang tidak adil bagi Yesus, yaitu hukuman mati di salib yang hina. Kematian seolah mengalahkan 

kehidupan. Hati Maria remuk redam karena keputusasaan dan tertindih ketidakberdayaan. Dalam hari￾hari terakhir ini, ia, yang sebelumnya selalu mampu mengurus dan melayani orang-orang lain, menjadi 

kehilangan daya tanpa mampu berbuat apa-apa selain bersedih dan berdiri sebagai saksi di tempat 

eksekusi itu dan sekarang di kuburan ini.

Namun, ia mengalami suatu penglihatan. Dua orang malaikat berpakaian putih tampak dan 

bertanya kepadanya (Yohanes 20:12). Perhatian Maria sepenuhnya tertuju pada misinya sehingga ia tidak 

merasa panik. Maria dengan tenang menerangkan bahwa ia sedang mencari tubuh Yesus, dan ia meminta 

bantuan. Ketika sedang berbicara, ia tergerak untuk berputar ke arah sosok manusia yang ia lihat di 

dekatnya. Itu Yesus. Tetapi mula-mula Maria menganggapnya seorang tukang kebun. Yesus dengan sopan 

bertanya mengapa Maria menangis. Maria menjawab dan menerangkan usaha pencariannya. Kemudian 

Yesus berkata: "Maria". Maria mengenali sapaan itu. "Rabuni!" teriaknya dengan menggunakan sapaan 

penuh kerinduan, yang berarti "Guruku". Dalam jawaban-Nya, Yesus memberi tahu Maria untuk tidak 

menjamah atau memeluk-Nya, tetapi menyuruhnya pergi dengan segera dan memberi pesan kepada 

saudara-saudara yang lain bahwa "Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan 

Allahmu" (Yohanes 20:17).

Kisah larangan Kristus pada Maria untuk tidak menyentuh-Nya pasca kebangkitan (Yohanes 20:17) 

banyak menarik perhatian para Bapa Gereja (Tardelly, 2011). Hieronimus (abad ke-4) melihat ini sebagai 

transformasi iman dari seorang yang tidak percaya pada kebangkitan kepada orang yang percaya. 

Yohanes Kristostomus (abad ke-4) menjelaskan perkembangan itu demikian, dari "kepercayaan duniawi"

(dalam adegan memeluk kaki Yesus) ke kepercayaan penuh akan keilahian Yesus (dalam adegan larangan 

menyentuh Yesus). Sementara itu, Gregorius Agung melihat adegan larangan menyentuh Yesus sebagai 

undangan untuk "menyentuh secara spiritual". Bapa Agustinus menjelaskannya sebagai metafor bangsa￾bangsa kafir yang akhirnya percaya kepada Yesus.

Maria pergi. Ia memberitakan kepada para pengikut Yesus lainnya bahwa ia telah melihat Tuhan 

dan menyampaikan kepada mereka pesan yang harus disampaikannya. Apa yang dilakukan Maria ini 

dicatat dalam tradisi Gereja Barat dengan menyebut Maria Magdalena sebagai "Rasul kepada para rasul", 

"Rasul para Rasul atau "Rasul utama" (Apostola Apostolorum). Di Gereja Timur, ia disebut sebagai "Setara 

Rasul" (Isapostola) (Chung Yen, 2005). Kedua gelar kehormatan ini diberikan karena dalam tradisi dikisahkan bahwa Kristus yang bangkit menampakkan diri pertama kali kepada Maria Magdalena dan 

mengutus dia untuk mewartakan kabar gembira tentang kebangkitan tersebut.

Pengalaman Maria dari Magdala, yaitu persahabatannya yang memerdekakan dengan Tuhan, 

mengubah hidup dan pribadinya menjadi baru (Callahan, 2006). Dewasa ini, kita dapat membayangkan 

Maria sebagai orang yang menyambut baik tuntunan-tuntunan Roh dalam jemaat yang menghormati 

martabat perempuan, menghargai tubuh manusia, dan mendorong persamaan serta persahabatan antara 

laki-laki dan perempuan. Akhirnya, umat yang dimetaforakan sebagai kawanan yang berziarah dapat 

belajar dari Maria dari Magdala yang terus berharap akan bertemu dengan Guru yang telah mengubah 

hidupnya menjadi baru dan berarti. Itulah hakikat dari gereja yang hidup, yakni gereja yang terus mencari 

kebenaran Allah yang hidup.

Maria Magdalena dan Nilai-nilai Pedagogis

Bagian ketiga ini dapat disebut prefiguration, yakni proses menempatkan teks dalam konteks masa 

kini atau yang disebut hermeneutik. Proses menempatkan teks, yaitu Maria Magdalena, dalam konteks 

masa kini ini akan menghasilkan makna berupa nilai-nilai pedagogis melalui teladan hidup Maria 

Magdalena bagi hidup di masa kini. 

Maria Magdalenan, melebihi perempuan lain mana pun yang diketahui, mengambil bagian 

sepenuhnya dalam pelayanan Yesus. Ia mengalami saat yang paling revolusioner dan memerdekakan 

dalam sejarah manusia. Ia adalah saksi pertama dari peristiwa kebangkitan dan saksi dari pengalaman 

tentang kekuatan cinta kasih di balik peristiwa kebangkitan itu. Tentang Maria Magdalena, Elisabeth S. 

Fiorenza menuliskan refleksinya bahwa: "Mary of Magdala was the most prominent of the Galilean 

disciples, because according to tradition she was the first one to receive a vision of the resurrected Lord" 

(Maria dari Magdala adalah yang paling menonjol di antara para murid dari Galilea, karena menurut tradisi 

dia adalah yang pertama menerima penglihatan tentang Tuhan yang telah bangkit) (Fiorenza, 1985). 

Maria juga digambarkan berdiri di antara para pengikut dan anggota keluarga Yesus yang paling setia. 

Maria adalah model iman yang tanpa lelah mencari pengertian iman dengan setia. Kesaksiannya yang 

kokoh dan berani dipertentangkan dengan para pengikut laki-laki yang meninggalkan Yesus karena takut. 

Keberanian, prakarsa, dan arti penting Maria ditekankan terus-menerus dan teks-teks Kitab Suci.

Maria unik karena tidak diidentifikasikan sebagai ibu, saudara, anak, istri atau kekasih seseorang. 

Menurut Callahan, Maria dari Magdala adalah model seorang janda yang dewasa dan enerjik, yang sukses 

menjalankan usaha keluarga, barangkali usaha pertenunan (Callahan, 2006). Magdala, kota tempat 

tinggalnya, adalah sebuah pelabuhan yang ramai di pantai danau Galilea dan tampaknya merupakan pusat 

perdagangan, khususnya terkenal karena hasil-hasil tenunnya. Maria dapat dibayangkan dengan sangat 

mudah sebagai seorang janda, sebab dengan demikian akan lebih mudah baginya untuk mengendalikan 

harta kekayaannya sendiri, dan ia juga akan lebih bebas untuk bepergian. Karena Maria mempunyai uang 

yang dapat digunakannya untuk membantu mendukung kelompok para murid (bdk. Lukas 8:3b), ia pasti 

telah menjalankan perusahaannya dengan menghasilkan keuntungan. Dalam Lukas 8:1-3 juga disebut 

Yohana istri dari Khuza bendahara Herodes (Sutanto, 1999, pp. 36–47). Ia berani melawan kutukan, 

amarah dan ancaman hukuman dari masyarakat dengan meninggalkan suaminya untuk mengikut Yesus. 

Di dalam masyarakat Yahudi yang menganut sistem patriakhal, adalah tidak mungkin bagi seorang 

perempuan bersuami meninggalkan suaminya untuk pergi mengikuti seseorang dan pergi mengadakan 

perjalanan bersamanya. Sebab seorang istri harus tunduk dan melayani suaminya (bnd. Amsal 31:10-31).

Sangat besar kemungkinannya bahwa Maria adalah seorang pemimpin sebuah jemaat kristiani 

perdana. Atau setidaknya di antara para perempuan, kata Elisabeth S. Fiorenza, "Mary of Magdala seems to have been the leader among them, since she is usually mentioned first" (Maria dari Magdala tampaknya 

telah menjadi pemimpin di antara mereka, karena dia biasanya disebut pertama) (Fiorenza, 1985). 

Kepemimpinan Maria dalam jemaat kristiani perdana juga dapat disimpulkan dari kedudukannya yang 

menonjol dalam teks-teks kristiani non-kanonik yang masih tersimpan, yaitu teks-teks yang beredar di 

akhir abad pertama. Misalnya ada yang disebut "Injil Maria" (Callahan, 2006). Ia diakui sebagai sahabat 

karib Yesus yang menyertai-Nya sebagai kawan dalam pelayanan-Nya. Pengalaman Maria dari Magdala 

ini, yaitu tentang persahabatannya yang memerdekakan dengan Tuhan, mengubah hidup dan pribadinya 

menjadi baru. Dewasa ini, kita dapat membayangkan Maria sebagai orang yang menyambut baik tuntunan 

Roh dalam jemaat yang menghormati martabat perempuan dan mendorong persamaan serta 

persahabatan antara laki-laki dan perempuan.

Bagi Maria Magdalena, perjumpaan dengan Yesus mengubah semuanya. Rasa sedih menjadi 

sukacita yang mendalam, dan keputusasaan menjadi pengharapan. Lebih dari itu semua, Yesus 

memanggil, memberi kepercayaan dan penugasan: "Pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah 

kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapa-mu, kepada Allah-Ku dan 

Allahmu" (Yohanes 20:17). Dengan penugasan langsung dari Yesus mulailah panggilan kemuridan yang 

sejati bagi Maria Magdalena. Kemuridan yang dijiwai oleh terang kebangkitan yang telah hidup dalam 

dirinya. Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit ini kiranya dapat menjadi pola bagi perempuan di mana 

pun dalam keikutsertaannya dalam mengemban misi gereja. Dalam perjumpaannya dengan Yesus yang 

bangkit, Maria Magdalena diperkenalkan sebagai perempuan dengan nilai-nilai hidup luhur (Henrika, 

FSGM, 2011, pp. 233–270). Dalam perspektif pedagogis, nilai-nilai hidup tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, nilai pedagogis berupa kepekaan hati dan belarasa. Relasi antara Yesus dan Maria 

Magdalena adalah relasi yang terjalin sangat mendalam. Relasi itu memberi kepekaan hati dan belarasa 

bagi Maria Magdalena untuk senantiasa mengenali kehadiran dan keprihatinan Yesus di mana pun dan 

dalam kondisi apapun. Bagi Maria sendiri kehadiran Yesus adalah kehadiran yang memerdekakan, yang 

membawa siapa saja murid-Nya untuk peka hati dan berbelarasa mengusahakan pembebasan hidupketika 

di situ tidak ada kemerdekaan. Maria pun menganggap perempuan sederajat dengan kaum laki-laki dalam 

partisipasi mereka di dalam gerakan Yesus. Maria peka dan berbelarasa pada Yesus yang 

mentransformasi (membarui) tradisi di masa-Nya. Tradisi Yahudi melarang tidak hanya terhadap 

perempuan asing yang dijumpai, bahkan terhadap istri sendiri laki-laki Yahudi dilarang berbicara di 

tempat-tempat umum. Laki-laki Yahudi yang sedang mendalami hukum Taurat terkena larangan keras 

tidak boleh berbicara dengan perempuan yang dianggap dapat membawa pengaruh jahat pada dirinya 

(brings evil upon himself). Bahkan sebuah literatur Rabinik yang sangat tua mengungkap sebuah doa 

harian yang dinaikkan oleh laki-laki Yahudi, demikian: "Blessed art thou, O Lord [...] who hast not made 

me a woman" (Syukur pada-Mu, Tuhan [...] yang tidak menciptakanku perempuan) (Irudaya, 2006). 

Bahkan tradisi seksis yang terpelihara di dalam gereja-gereja Reformasi tak luput dari spirit pembaruan 

Yesus. Yohannes Calvin, misalnya, dengan mengutip Kejadian 1:26, menjelaskan bahwa yang diciptakan 

sebagai gambar Allah hanyalah laki-laki, sedangkan perempuan bukan. Ia juga mengutip Kejadian 2:16 

dan menafsirkannya sebagai bukti bahwa status perempuan adalah a secondary degree (makhluk kedua). 

Akhirnya ia menarik kesimpulan bahwa status perempuan memang lebih rendah daripada laki-laki, 

perempuan berasal dari dan untuk laki-laki, sepanjang waktu bahkan untuk kekekalan statusnya lebih 

rendah daripada laki-laki (Moko, 2018; Sinulingga, 1999). Semua tradisi tersebut membenarkan 

kedudukan kelas dua bagi kaum perempuan, yang dibarui Yesus dengan menghadirkan relasi baru laki￾laki dan perempuan di dalam sebuah masyarakat baru, yaitu masyarakat Kerajaan Allah.Kedua, nilai pedagogis berupa panggilan misional dan agen perubahan. Setelah sekian lama 

Maria mencari Yesus, dan setelah Yesus menyapanya, ia menemukan dan mengenali Yesus kembali. Maria 

berada dalam sukacita serta kegentaran dan keterpesonaan (tremendum et facinosum) yang mendalam. 

Namun, ia tidak membiarkan diri mandeg dalam kekaguman atau keterpesonaan tetapi dengan tegas ia 

berani keluar dari diri (dari zona nyaman), menjalankan panggilan misionalnya, masuk ke dalam dunia 

dan membawa manusia lain untuk juga dibawa dan berjumpa dengan Yesus. Inilah peran Maria sebagai 

agen perubahan dan pembawa berkat Ilahi bagi yang lain. Belajar dari Maria, Elisabeth S. Fiorenza 

merefleksikan bahwa:

The movement of woman as the people of God, therefore, must recover the meaning of religious 

initiation into the ekklesia of woman. It can provide 'godmothers" who become intimately involved 

with the upbringing and socialization of children and young people. It must provide a feminist 

ecclesial community of adults that models itself on the discipleship of equals [...]

(Karena itu, gerakan perempuan sebagai umat Allah, harus memulihkan makna inisiasi agama ke 

dalam gereja perempuan. Ini dapat mengayakan ‘ibu baptis’ yang secara intim terlibat dalam 

pengasuhan dan sosialisasi anak-anak dan orang muda. Ini harus menyediakan komunitas gereja 

perempuan orang dewasa yang mencontohkan dirinya pada pemuridan yang sederajat […]) 

(Fiorenza, 1985).

Ketiga, nilai pedagogis berupa kreativitas yang bijaksana. Maria Magdalena adalah pribadi yang 

tidak mengenal putus asa, yang terus mencoba tetapi dalam kreativitasnya ia bertindak bijaksana. Ketika 

ia menyadari bahwa Yesus tidak ada di tempat di mana Ia dibaringkan dan ia menyadari kemampuan dan 

keterbatasannya, ia tidak diam pasif melainkan ia bertanya, mencari di mana Yesus diletakkan, dan 

dengan bijaksana ia memberitahu kepada para murid tentang peristiwa itu. Dan perjumpaan Maria 

dengan Yesus yang bangkit mengubah semuanya. Ia adalah saksi pertama, yang dalam tradisi gereja 

disebut "Rasul para Rasul atau "Rasul utama" (Apostola Apostolorum),demikian ia disebut sebagai "Setara 

Rasul" (Isapostola). Setelah menjadi saksi peristiwa kebangkitan itu, ia pun mendapat keyakinan penuh 

untuk menjadi pewarta yang memberkati banyak orang yang disapanya.

Gerakan emansipasi perempuan masih panjang dikerjakan. Masih kuatnya penafsiran seksis dan 

tidak adil gender terhadap teks-teks Alkitab menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah diatasi. 

Dampaknya antara lain, sampai kini di dalam Gereja Katolik belum diterima tahbisan perempuan sebagai 

imam; juga masih kuatnya budaya patriarkhal dijadikan rujukan menolak secara sadar kedudukan dan 

peran perempuan dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan dalam Gereja-gereja Protestan. Di 

sinilah diperlukan kacamata baru, yaitu masukan yang berasal dari hermeneutik kritis, yang tugasnya 

bukan lagi reproduktif (mengulang makna berupa narasi tidak adil gender), melainkan produktif

(menambah makna baru yang lebih adil gender). Gereja-gereja sebagai pihak yang pertama-tama 

berkepentingan mengusahakan narasi emansipasi perempuan dan melanjutkan narasi Maria sebagai

“rasul perempuan,” sangat didorong untuk konsisten pada perjuangan yang digemakan Injil Yesus Kristus 

ini. Bila tidak, maka gereja hanya akan mengalami insignifikansi internal (tidak signifikan ke dalam umat 

sendiri karena menjadi sebab ketidakadilan gender) dan irrelevansi eksternal (tidak relevan bagi 

masyarakat luas karena dianggap menyembunyikan dominasi gender laki-laki atas perempuan dan anti 

gerakan emansipasi), antara lain karena tidak memperjuangkan keadilan bagi hak-hak perempuan.Dasar Injili dari hidup dan pelayanan gereja terdapat dalam hubungan khas yang oleh Yesus dalam 

hidup-Nya dijalin dengan para murid-Nya. Ia memanggil mereka tidak hanya untuk menyongsong Kerajaan Allah ke dalam hidup mereka sendiri, melainkan juga untuk mengabdikan hidup mereka kepada￾Nya dengan meninggalkan segala sesuatu dan dari dekat meneladan cara hidup-Nya sendiri.

Bersama dengan Maria Magdalena, para perempuan dalam hidupnya dipanggil untuk terus berani 

mengungkapkan ide dan kreativitasnya di dalam komunitas yang namanya gereja. Di mana gereja sendiri 

mendandani dirinya terus untuk mengakui kedudukan dan peran perempuan. Tidak boleh lagi terjadi 

dalam hidup gereja, cerita seorang perempuan yang sekalipun dikenang selama Injil diwartakan, tetapi 

namanya tidak pernah diakui dan disebut, seperti kata Markus 14:9,"And truly I say to you, whereever the 

gospel is preached in the whole world, what she done will be told in memory of her" (Aku berkata 

kepadamu: Sesungguhnya di mana saja Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan 

disebut juga untuk mengingat dia) . Seharusnya, bukan karena ia perempuan maka ia dilupakan dan tidak 

disebut, tetapi di dalam gereja semua orang, termasuk perempuan, disebut, diakui dan diterima dengan 

nama dan kepribadiannya. Maria, contohnya, adalah model perempuan yang menjadikan pengalaman 

imannya yang menyelamatkan menjadi pengalaman iman komunitas atau bersama. Lalu, secara bersama￾sama kita berjalan dalam usaha mencari Allah yang hidup itu dengan menjadikan diri sebagai berkat bagi 

banyak orang.

Bersama Maria, para perempuan di zaman ini diajak mengemban panggilan dan pengutusan yang 

seluas apapun peluang dan kesempatannya. Nilai pedagogis yang Maria wariskan, yakni kepekaan￾belarasa, misional-agen perubahan dan kreativitas yang bijaksana, adalah modal sosial (social capital) 

berharga untuk para perempuan menjalani pengutusan sebagai rasul-rasul Kristus di masa kini.


maria magdalena 3

 



Kebangkitan Yesus Kristus telah berdiri sebagai pusat dari iman Kristen.1

 

Kebangkitan Yesus bersifat hakiki, bukan hanya bagi para penulis Perjanjian Baru, tetapi 

juga bagi kekristenan pada masa kini.2

 Bahkan kebangkitan Yesus menjadi inti dari 

pengajaran para penulis Perjanjian Baru, seperti Petrus dan Paulus.3

 Petrus mengatakan 

bahwa kebangkitan Yesus adalah titik tolak di mana orang percaya berpindah dari maut 

kepada hidup yang berpengharapan.4

 Paulus berkata bahwa mempercayai kebangkitan 

Yesus dengan hati adalah tanda bahwa manusia sudah diselamatkan oleh Allah.5

 Paulus

bahkan dengan tegas mengatakan dalam 1 Korintus 15:14: “Andaikata Kristus tidak 

dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu.”

Menyadari signifikansi berita kebangkitan, tidak serta merta menjadikan berita 

kebangkitan Yesus mudah diterima oleh banyak orang. Berita kebangkitan Yesus menjadi satu kontroversi yang terus-menerus diperdebatkan hingga masa kini. Pihak-pihak yang 

hendak menjatuhkan kekristenan selalu menyerang berita kebangkitan Yesus. Pertanyaan 

demi pertanyaan dilontarkan seiring dengan penyebaran berita kebangkitan ini: 

Mungkinkah seseorang yang sudah mati, dapat hidup kembali? Seseorang memang 

mengalami kelahiran dan kematian, namun bagaimana mungkin seorang yang sudah mati 

dapat menggulingkan batu besar, lalu keluar dari dalam kuburnya? Bagaimana caranya? 

Adakah yang melihat bagaimana proses kebangkitan tersebut dapat terjadi? Apakah Yesus 

memang benar-benar mati sebelum Dia dikuburkan? Pertanyaan-pertanyaan sejenis terus 

bergulir sejak munculnya berita kebangkitan Yesus hingga kini.

Seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir, beberapa sanggahan pun muncul 

bersamaan sebagai wujud penolakan terhadap berita kebangkitan. Penolakan ini muncul 

untuk menyediakan alternatif pemikiran yang rasional akan kebangkitan yang terjadi pada 

Yesus.6

 Sanggahan-sanggahan yang diberikan untuk menolak kebenaran kebangkitan 

Yesus adalah sebagai berikut: pertama, Yesus hanya mengalami koma setelah kematian, 

sehingga Ia dapat bangun kembali, keluar dari kubur, lalu menjumpai murid-murid-Nya.7

 

Kedua, Yesus diculik oleh murid-murid-Nya.8

 Sanggahan ini menjadi teori pertama yang 

diungkapkan oleh para pengkritik Yesus, yaitu para pemimpin Yahudi ketika Yesus 

ditemukan tidak ada lagi di dalam kubur dan masih terus beredar dalam kalangan pemimpin 

Yahudi hingga tahun 150 M.9

Ketiga, perempuan-perempuan datang ke kubur yang salah, bukannya kubur 

Yesus.10

 Perempuan-perempuan dikatakan menjadi kebingungan ketika menemukan 

kubur yang kosong. Mereka memang menemukan kubur kosong, namun kubur tersebut 

bukanlah kubur Yesus. Setelah mereka memberitahukan murid-murid Yesus dan murid￾murid datang, mereka juga datang ke kubur yang salah, namun mereka memberitakan 

kepada masyarakat bahwa Yesus sudah bangkit berdasarkan kuburan yang salah tersebut.11

 

Keempat, murid-murid hanya mengalami delusi12 atau ilusi13 atau halusinasi14

ketika mereka mengatakan bahwa mereka berjumpa dengan Yesus.15

 Teori sanggahan ini 

mengatakan bahwa Yesus sesungguhnya tidak bangkit dan menampakkan diri kepada 

murid-murid. Murid-murid-Nya hanya mengalami gangguan psikologis karena kesedihan 

mendalam yang mereka alami ketika ditinggal mati oleh Yesus.16

Kelima, kebangkitan Yesus adalah sebuah legenda yang dikarang oleh gereja mula￾mula.17

 Gereja mula-mula mendapatkan visi penglihatan atau mimpi berkenaan dengan Yesus yang bangkit, lalu emosi dan pengalaman spiritual yang mereka alami menuntun 

mereka untuk menyusun sebuah cerita kebangkitan untuk mendukung iman mereka.18

Selain alasan-alasan rasional yang menjadikan berita kebangkitan sulit diterima 

oleh masyarakat umum, alasan lain yang memberatkan adalah bahwa tidak ada satu catatan 

pun yang menuliskan proses kebangkitan Yesus selain dari catatan Injil dan surat rasul￾rasul. Catatan Injil dan surat rasul hanya dipenuhi oleh kesaksian yang berisikan 

pemberitahuan bahwa Yesus telah bangkit. Catatan kesaksian ini dipandang lemah dalam 

membuktikan kebangkitan Yesus karena dianggap pro Yesus sehingga tidak akan mungkin 

bisa untuk memberikan kesaksian yang netral. John Loftus dalam bukunya yang berjudul 

Why I Became an Atheist mengutip Michael R. Licona, seorang apologet Kristen, 

demikian:

When it comes to the evidence that Jesus rose from dead let’s first consider what 

we don’t have, but would like to. Christian apologist Michael Licona admits that 

we don’t have anything written directly by Jesus himself or any of his original 

disciples, nor do we have anything written by the apostle Paul before he converted, 

which would tell us about the church he was persecuting, nor do we have anything 

written by the Jewish leaders of that time Jesus or Paul , nor do we have anything 

written by the Romans that mention Jesus, the content of his preaching, why he was 

killed, or what they thought about the claims that he had been resurrected. This 

means we have no written responses to Jesus from the Pharisees, Sadducees, 

scribes, or teachers of the law. . . . We also lack testimonies from Ananias, 

Caiaphas, Herod, or Pilate about the events we find in the Gospel. We have no 

records that they were converted either.19

Ketiadaan bukti-bukti yang diakui oleh apologet Kristen ini semakin meyakinkan pihak 

yang kontra dengan kekristenan untuk mempertanyakan tentang kebangkitan Kristus. Kekristenan diperhadapkan pada sebuah kenyataan bahwa apa yang dimilikinya untuk 

membuktikan kebangkitan Yesus hanyalah bukti kesaksian di dalam Injil. Yang 

melemahkan kebenaran ini adalah bahwa kesaksian-kesaksian tersebut bukan datang dari 

seseorang yang menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung.20

Keadaan ini diperkeruh dengan fakta bahwa keempat Injil menyajikan cerita yang 

berbeda satu dengan yang lainnya. Keberatan yang dimunculkan adalah: jika keempat Injil 

ditulis dengan satu sumber yang sama, yaitu sumber Q, seharusnya ada kesesuaian dalam 

setiap peristiwa yang muncul dalam keempat Injil tersebut. Contoh ketidakcocokkan yang 

muncul adalah reaksi perempuan-perempuan setelah bertemu dengan malaikat. Matius, 

Lukas, dan Yohanes mengatakan bahwa perempuan-perempuan mengalami ketakutan, lalu 

mereka berlari untuk memberitakan bahwa kubur Yesus kosong dan Yesus sudah bangkit. 

Berbeda dengan Matius, Lukas, dan Yohanes, Markus mengatakan dalam Markus 16:8 

bahwa perempuan-perempuan tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun karena mereka 

mengalami ketakutan yang besar. Walau Markus 16:9 mengatakan bahwa perempuan￾perempuan menyampaikan berita kebangkitan kepada murid-murid, namun Injil Markus 

dipercaya berakhir pada ayat 8 dan sisanya adalah tambahan redaksional yang dituliskan 

kemudian. Hal ini membuka peluang untuk menyatakan bahwa berita kebangkitan tidaklah 

sah karena perbedaan-perbedaan yang muncul dalam penulisannya.

Perbedaan-perbedaan yang muncul dalam kisah kebangkitan di keempat Injil 

menimbulkan pertanyaan apakah ada satu Injil yang memiliki nilai kebenaran lebih dari 

Injil lainnya? Jika bagian ini dijawab, jawabannya akan melemahkan otoritas Alkitab karena Alkitab dianggap bisa salah dan ini bertentangan dengan iman Kristen yang 

menyatakan bahwa Alkitab tidak mungkin salah. Hal ini yang diyakinkan oleh pihak 

pengkritik sebagai sumber dari pernyataan bahwa Injil tidak dapat dipercaya karena 

menyajikan informasi-informasi yang berbeda sehingga melemahkan otoritas Alkitab.

Tidak adanya catatan langsung dari saksi pertama serta banyaknya variasi catatan 

kesaksian tentang kebangkitan Yesus bukanlah alasan yang tepat untuk langsung menolak 

dan meniadakan peristiwa kebangkitan Yesus dari deretan kebenaran sejarah. Dengan 

mengarahkan kembali pandangan serta argumentasi kepada fakta dan bukti yang ada, yaitu 

pada warisan sejarah yang terdokumentasi dengan baik dalam catatan Injil, kebenaran 

peristiwa kebangkitan masih tetap dapat dipertahankan. Secara sederhana, keberbedaan 

yang muncul dalam keempat Injil ini dapat dijelaskan melalui berbedanya maksud, tujuan, 

serta sasaran atau pembaca pertama dari masing-masing Injil. Selain itu, walaupun 

terdapat perbedaan di balik semua kisah kebangkitan dalam Injil, ada satu garis merah yang 

konsisten dari semua kisah berbeda ini, salah satunya yaitu kemunculan Maria Magdalena 

sebagai saksi kunci atas kebangkitan Kristus. 

Maria Magdalena adalah seorang perempuan yang namanya muncul dalam semua 

Injil yang menceritakan peristiwa kebangkitan Yesus, baik Injil Sinoptik ataupun Yohanes 

walau kisah yang dihasilkan adalah kisah yang beragam. Maria Magdalena bahkan 

dinyatakan sebagai orang pertama yang menyaksikan bahwa kubur Yesus kosong. Ia 

bertemu dengan malaikat yang memintanya untuk mengabarkan berita kebangkitan Yesus 

kepada para murid. Kemunculan seorang perempuan sebagai saksi mata menghadapi banyak 

pertentangan. Kesaksian seorang perempuan dianggap tidak wajar oleh tradisi masyarakat 

Yahudi pada masa tersebut. Menjadi hal yang tidak wajar pula karena perempuanlah yang 

akhirnya dipilih untuk menjadi saksi mata dari kisah kebangkitan Yesus. N. T. Wright 

dalam tulisannya di dalam buku berjudul Hari-hari Terakhir Yesus menyatakan bahwa 

suka atau tidak suka, para perempuan dianggap bukanlah saksi mata yang tepercaya dalam 

tradisi Yahudi.21

 Pada masa tradisi Yahudi, perempuan dipandang sebagai kaum minoritas 

rendahan yang kesaksiannya patut untuk dipertanyakan dan pasti kredibilitasnya berada di 

bawah kesaksian laki-laki.22

 Banyak tulisan yang muncul dari abad tersebut yang 

mengatakan bahwa kesaksian perempuan disamakan dengan kesaksian perampok.23

 

Kesaksian perempuan tidak dapat dianggap benar karena kaum perempuan dianggap 

sembrono.24

 

Walaupun demikian, sangat unik bahwa Yesus memilih untuk menyatakan diri 

pertama kali pascakebangkitan-Nya kepada perempuan. Apakah keistimewaan 

perempuan-perempuan ini, khususnya Maria Magdalena, sehingga Yesus memilihnya 

untuk menjadi saksi kunci kebangkitan-Nya? Mengingat posisi perempuan yang lemah 

pada masa dan kebudayaan Yahudi, akan lebih baik jika peristiwa kebangkitan dinyatakan 

kepada kaum pria, namun Yesus memilih untuk menyatakan diri dan kebangkitan-Nya 

kepada perempuan ini. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, jika kesaksian kaum perempuan tidak 

dapat dipercaya, apakah kesaksian Maria Magdalena dapat dianggap sah untuk 

membuktikan kebangkitan Yesus? Dengan adanya pro dan kontra terhadap keberadaan 

kaum perempuan pada masa itu dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan yang satu ini, 

yaitu Maria Magdalena, pasti bukanlah wanita yang biasa tetapi ia berperan penting dalam 

peristiwa kebangkitan Yesus karena namanya dimuat di dalam keempat Injil. Fakta ini 

menjadi salah satu sumber kuat untuk membuktikan kebangkitan Yesus. 

Masalah lain yang mencuat seiring mencuatnya nama Maria Magdalena adalah 

ketidakmunculan namanya dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus dalam 1 Korintus 

15:3-9. Dalam bagian ini, Paulus menulis bahwa Yesus telah mati, dikuburkan dan 

dibangkitakan, lalu menunjukkan diri-Nya kepada beberapa pihak, di antaranya adalah 

kepada Kefas, lalu kepada kedua belas murid Yesus, lalu kepada lima ratusan saudara 

sekaligus, lalu kepada Yakobus dan terakhir adalah kepada Paulus. Pertanyaan yang 

muncul, adalah di manakah nama Maria Magdalena dan perempuan lainnya di dalam 

penulisan surat Paulus kepada jemaat di Korintus? Apa yang sesungguhnya terjadi? 

Apakah perempuan-perempuan, khususnya Maria Magdalena, memang pernah menjadi 

saksi kebangkitan Yesus? Kalau memang benar, mengapa namanya tidak tertulis dalam 

surat tulisan Paulus? Apakah nama perempuan-perempuan ini sengaja dihilangkan diam￾diam karena jika perempuan harus menjadi saksi, hal ini akan memalukan publik pada 

masa tersebut, apalagi perempuan yang dimaksud adalah Maria Magdalena dengan reputasi 

yang “luar biasa” di tengah masyarakat?25

 Apakah ini membuktikan bahwa salah satu bagian Alkitab mengalami kesalahan ataukah peristiwa Yesus sebenarnya hanyalah reka￾rekaan manusia saja karena terdapat beberapa perbedaan tentang kisah saksi kunci 

kebangkitan Yesus?

Di antara sejumlah pertanyaan di atas, muncul lagi satu pertanyaan, apakah 

sebenarnya kisah kebangkitan Yesus memang pernah terjadi dan bukan hanya sebuah 

isapan jempol semata? Apakah dengan kurangnya bukti tertulis di luar Alkitab 

kebangkitan menjadikan peristiwa ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya? 

Apakah dengan banyaknya variasi tulisan Injil menyatakan bahwa peristiwa kebangkitan 

ini tidak sah kebenarannya? Bagaimanakah sumbangsih peranan Maria Magdalena dalam 

pembuktian akan kebangkitan Yesus dan seberapa siginifikankah peranan Maria 

Magdalena? Apakah tradisi yang berlaku pada masa tersebut, yaitu memandang rendah 

kesaksian perempuan, membuat keabsahan kesaksian Maria Magdalena berkurang?

Mengingat betapa siginifikannya pembuktian dari berita kebangkitan, maka penulis 

terdorong untuk melakukan studi dan penelitian yang berhubungan dengan signifikansi 

peran Maria Magdalena dalam pembuktian peristiwa kebangkitan Yesus. Penulis berharap 

melalui penelitian ini orang-orang Kristen dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan 

sekaligus tantangan-tantangan yang muncul dari isu-isu seputar kebangkitan Yesus. Selain 

itu, iman mereka dapat semakin diperteguh dengan semakin dibuktikannya kebenaran dari 

kebangkitan Yesus.

Secara umum, penelitian ini ditulis untuk menunjukkan: pertama, signifikansi 

Maria Magdalena dalam peristiwa kebangkitan Yesus. Kedua, sumbangsih yang 

ditunjukkan melalui peran Maria Magdalena dalam menjawab keraguan tentang kebangkitan Yesus. Ketiga, sumbangsih pembuktian kebangkitan Yesus melalui peran 

Maria Magdalena bagi gereja dan kekristenan masa kini. Gambaran ini diharapkan akan 

menjadi sebuah berita peneguhan iman, serta berita pengharapan bagi orang percaya 

mengenai kepastian kebangkitan Yesus dari antara orang mati.

RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH

Berdasarkan pertimbangan latar belakang di atas, penulis akan membahas beberapa 

hal penting yang menjadi rumusan masalah, yaitu: pertama, bagaimanakah pandangan 

tradisi Yahudi mengenai kebangkitan tubuh dan kesaksian yang diberikan kaum 

perempuan; kedua, apa yang kitab-kitab Injil nyatakan mengenai kehadiran Maria 

Magdalena; ketiga, apa hasil dari pembuktian terhadap kebangkitan Yesus melalui 

kesaksian Maria Magdalena.

Topik mengenai kesaksian berkaitan dengan kebangkitan Yesus merupakan topik 

yang cukup luas. Berbicara tentang kesaksian dan kebangkitan biasanya akan berkaitan 

dengan kesaksian dari murid-murid Yesus atau kesaksian Paulus dalam 1 Korintus 15, 

siapa saja yang menjadi saksi dari penampakkan diri Yesus, apakah Yesus bangkit secara 

tubuh atau hanya spiritual saja.

Mengingat luasnya kajian konsep kesaksian tentang kebangkitan Yesus, penulis 

akan membatasi tulisan ini hanya berfokus kepada hal-hal yang berkaitan dengan kesaksian 

yang diberikan oleh kaum perempuan saja dan pengaruhnya terhadap berita kebangkitan 

Yesus, terutama ditinjau dari tradisi Yahudi dan keempat kitab Injil. Melalui pembahasan kehadiran Maria Magdalena dalam empat kitab Injil akan didapatkan sebuah implikasi 

yang terfokus pada pembuktian mengenai sahnya berita kebangkitan Yesus.

METODOLOGI DAN SISTEMATIKA PENULISAN

Guna mencapai tujuan penelitian ini, penulis akan menggunakan metode library 

research, yaitu suatu metode pengumpulan data literatur untuk bahan penelitian dengan 

melakukan penelitian literatur baik berupa buku ataupun artikel.26

 Dalam metode ini, 

penulis akan mengumpulkan literatur-literatur utama yang berkaitan dengan konteks 

budaya masyarakat Perjanjian Baru abad pertama, baik konsep tentang kebangkitan, peran 

kaum perempuan, dan juga memberikan kesaksian di dalam masyarakat. Semua data yang 

diperlukan akan dikumpulkan, dianalisis dan akhirnya disimpulkan sehingga tujuan umum 

dari studi ini dapat tercapai.

Pada bagian pembahasan tentang kemunculan Maria Magdalena dalam keempat 

kitab Injil, penulis akan menggunakan metode khusus lainnya, yaitu metode eksposisi. 

Dalam metode eksposisi ini, penulis akan melakukan penggalian Alkitab dengan cara 

memaparkan bagian Alkitab yang ada untuk mendapatkan pesan yang dimaksudkan. 

Metode yang digunakan dalam eksposisi ini adalah metode eksposisi Alkitab secara 

induktif, analitis dan kritis. Yang dimaksud dengan induktif adalah bahwa pemaparan yang 

diberikan dalam tulisan ini bertitik tolak dari Alkitab sebagai landasan dasar terutama dari 

kebenaran-kebenaran dalam teologi.

27

 Yang dimaksud dengan analitis adalah penulis akan melakukan analisis konteks, analisis kata, analisis latar belakang, analisis historis, analisis

sosial budaya dan analisis lain yang diperlukan.28

 Yang terakhir, kritis maksudnya adalah 

hasil yang akan dicapai dalam tulisan ini akan dikaji ulang dan dievaluasi sampai 

menghasilkan hasil yang seobjektif mungkin.29

Sistematika penulisan ini akan disusun sebagai berikut: bab pertama berisi tentang 

pendahuluan yang akan memaparkan dan menguraikan latar belakang penulisan. Melalui 

latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka penulis akan membuat tujuan 

penulisan, rumusan masalah dan menetapkan batasan permasalahannya. Bab pertama ini 

akan diakhiri dengan penjelasan tentang metodologi yang akan dipakai dalam penelitian 

ini dan memperlihatkan sistematika dari penulisan ini.

Pada bab kedua, penulis akan membahas tentang konteks budaya masyarakat 

Perjanjian Baru abad pertama, berkaitan dengan konsep kebangkitan, peran kaum 

perempuan, serta konsep memberikan kesaksian dalam masyarakat pada umumnya. 

Penulis akan membahas pula tentang konteks pembahasan kitab-kitab Injil, baik Injil-Injil 

Sinoptik dan Injil Yohanes.

Pada bab ketiga, penulis akan memberikan pembahasan signifikansi kemunculan 

Maria Magdalena bagi pembuktian kebenaran tentang kebangkitan Yesus. Dalam bab 

keempat, penulis akan memberikan pembuktian keabsahan dari peristiwa kebangkitan 

Yesus melalui peran Maria Magdalena, serta implikasi praktis pembuktian kebangkitan Yesus dalam kehidupan orang percaya dan bagi gereja. Skripsi ini akan ditutup dengan 

kesimpulan.





Kebangkitan Yesus adalah peristiwa yang sangat signifikan bagi kehidupan orang 

Kristen. Paulus dalam 1 Korintus 15:14 mengatakan: andaikata Kristus tidak dibangkitkan, 

maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu. Tanpa peristiwa 

kebangkitan, kekristenan hanya akan menjadi sebuah kebodohan belaka karena seluruh 

dasar iman Kristen dipertaruhkan di dalam kepercayaan bahwa Yesus bangkit dari 

kematian dan mengalahkan maut. 

Fakta kebangkitan ini tidak semudah itu diterima oleh pihak-pihak non-Kristen atau 

pihak-pihak skeptis. Keragu-raguan ini muncul dengan pertimbangan bahwa tidak 

mungkin ada orang yang sudah meninggal, lalu hidup kembali. Berkenaan dengan keragu￾raguan ini, banyak asumsi dimunculkan tentang kosongnya kubur Yesus, tentang 

perjumpaan Yesus dengan pengikut-pengikut-Nya, dan tentang narasi kebangkitan Yesus 

di dalam Injil, antara lain: mayat Yesus dicuri oleh murid-murid-Nya; pengikut Yesus 

hanya mengalami halusinasi, atau kitab Injil hanyalah tulisan yang dibuat oleh gereja mula￾mula dan hanya sebuah tulisan yang subjektif. Asumsi-asumsi yang dikeluarkan ini 

membawa pengaruh kepada pertahanan kepercayaan dan iman orang-orang Kristen. 

Banyak orang akhirnya menjadi ragu dan meninggalkan kekristenan. 

Berkaitan dengan keragu-raguan berbagai pihak, perlu ada pembuktian dari 

peristiwa kebangkitan Yesus tersebut. Kesaksian perempuan, khususnya kehadiran Maria 

Magdalena yang memberikan kesaksian tentang kebangkitan Yesus menjadi salah satu 

sarana untuk membuktikan bahwa peristiwa kebangkitan Yesus memang benar pernah 

terjadi dan bukan hanya isapan jempol semata. Perempuan yang pada masa tersebut 

dianggap sebagai pihak minoritas dan tidak dipandang oleh masyarakat sekitar, namun 

dipercayakan dan dititipkan sebuah berita besar bagi keberlangsungan iman orang Kristen. 

Pertanyaan mulai muncul apakah kesaksian dari pihak minoritas dan tidak dianggap 

masyarakat ini dapat dipercaya, khususnya untuk membuktikan sahnya kebangkitan Yesus. 

Dengan hadirnya pembuktian atas peristiwa kebangkitan sekali lagi, akan menolong gereja 

dan orang-orang Kristen untuk beriman dengan sungguh akan Kristus dan kebangkitan￾Nya yang menyelamatkan.