Perempuan selalu didiskriminasi sebagai the second class dalam
budaya patriarki Yahudi. Maria Magdalena yang seharusnya menjadi satu
di antara murid-murid Yesus tersubordinasi oleh tulisan-tulisan yang
memojokkannya. Padahal dalam komunitas Yesus ia telah memasuki
sebuah komunitas pemuridan yang sederajat. Memanfaatkan beberapapendapat dari para teobg feminis, maka tulisan ini bertujuan melihat teks
Yoh 20:11-18 sebagai teks androsentrik yang sarat akan bias patriarkal
untuk ditafsir dengan pendekatan hermeneutik feminis dengan
memanfaatkan studi hermeneutik kecurigaan feminis dari Schiissier
Fiorenza dan kriteria pengalaman dari Ruether. Studi ini diharapkan
bermuara pada rekonstruksi bahwa perempuan dan laki-laki dipanggil
dalam kesederajatan untuk tergabung dalam basileia Allah dan memasuki
sebuah komunitas inklusif.
Penafsiran teks dalam perpektifteologi feminis
Teobgi Feminis
Teologi feminis merupakan usaha untuk mengembalikan
perempuan kepada sejarah dan sejarah kepada perempuan. Sementara
sebagian teks Perjanjian Baru mendiamkan perempuan, teologi feminis
berusaha menemukan suara perempuan di dalam teks-teks yang ditulis
oleh perempuan dan membaca berbagai teks tentang perempuan yang
ditulis oleh laki-laki.1
Teologi feminis ini tidak saja dibangun oleh
perempuan tetapi juga oleh laki-laki yang ingin perempuan dijadikan
subjek. Selanjutnya, teologi feminis dibangun oleh perempuan yang
sedang berusaha mencari sejarah dan jati did, tidak bersedia
menyamakan dirinya dengan laki-laki, dan berusaha membebaskan
dirinya dari pola-pola lama yang membelenggu yang ditentukan oleh lakilaki.2
Beberapa ahli mendefinisikan teobgi feminis dalam beberapa
pengertian. Anne M Clifford mendefinisikannya sebagai gerakan yang
memperjuangkan pembebasan bagi kaum perempuan dari semua bentuk
seksisme dengan memperhatikan pengalaman relasi kaum perempuan
dengan Allah.3 Anna Nasimiyu-Wasika mengatakan bahwa feminisme
menuju suatu masyarakat yang di dalamnya semua orang mampu
mewujudkan keutuhan hidupnya.4
Phyllis Trible mendefinisikannya tidak
saja sebagai sebuah kritik terhadap budaya dalam terang misogini
(pembend perempuan] melainkan juga melibatkan kritik teobgis.5
Rosemary R. Ruether menekankan prinsip teobgi feminis, yakni the full
humanity of women, perempuan menuntut prinsip kemanusiaan penuh
bagi dirinya sendiri.6
Semua usaha teobg feminis ini diarahkan pada
rekonstruksi paradigma gender agar perempuan dapat terlibat secaraperempuan dapat terlibat secara penuh dan setara dalam peran
kemanusiaan. Dalam rangka mencapai tujuan dalam semua definisi ini,
para teolog feminis telah berupaya membangun teologi feminis
berdasarkan pemahaman dan metcdenya masing-masing. Ruether
dengan lingkaran hemeneutik, Elisabeth Schiissier Fiorenza dengan
hermeneutik feminis, Stanton dengan'The Woman's Bible dan Ti ible
dengan penafsiran retorik.
Cara Pandang dan Pernaknaan Terhadap Teks
Anne Clifford rnengemukakan tiga cara pandang orang Kristen
terhadap Alkitab. Pertama, orang yang memandang Alkitab sebagai
firman Allah yang harus diterbna tanpa syarat. Kedua, orang yang
memandang Alkitab sebagai wa' u ilahi dalam rekaman manusia yang
ditulis di masa lalu oleh orang-orang yang bergumul tentang persoalan
hidup dan iman. Alkitab diterima sebagai firman Allah tetapi diberi
makna baru. Ketiga, orang yang bingung menentukan sikap terhadap
Alkitab. Berdiri pada cara pandang yang kedua, para teolog feminis
reformis mengernbangkan dengan bebas pandangannya terhadap teks
Alkitab dan dengannya membangun metode untuk rekonstruksi teks.
Clifford melihat teks Alkitab sebagai teks kuno yang ditulis selama
beberapa abad yang berbeda, di tempat berbeda, oleh para pengarang
yang berbeda untuk tujuan yang berbeda juga yang membentuk sebuah
perpustakaan teks-teks religius.7
la memaknai teks Alkitab dengan
memperlihatkan keandrosentrikan teks Alkitab sekaligus peluang besar
untuk melihat realitas historis teks Alkitab.
Letty M. Russel memahami Alkitab sebagai kabar baik, tuhsan
rahasia karena berfungsi sebagai tulisan atau semangat hidup, yakni
undangan Tuban untuk bergabung dalam pemulihan keutuhan,
kedamaian, keadilan di dunia. Bersama Schiissier Fiorenza, Russel yakin
bahwa Alkitab memberikan sebuah bentuk dasar bagi kisah hidupnya
yang membentuk pengalaman emosional dan ajakan transformasi.
Russel percaya bahwa di mata Tuhan ia bukanlah marginal tetapi seperti
orang kulit hitam dan hispanik ia adalah ciptaan Allah dan terpanggil
pada janji Alkitab untuk menjadi seperti yang Tuhan inginkan, yakni
menjadi rekan dalam pemulihan ciptaan.Phyllis Trible memilih untuk memusatkan perhatian pada teks
Alkitab dan menolak usaha apa pun untuk membedakan teks dari tradisi,
bentuk dan isi secara metodobgis dan menekankan pada struktur teks
Alkitab. Baginya, Alkitab adalah seorang pengembara yang berkenala
melalui sejarah untuk menggabungkan masa lampau dan masa kini dan
suara Allah identik dengan teks Alkitab. Untuk menemukan niat Allah, ia
harus 'mendengarkan' dan menafsirkan teks seakurat mungkin dan ia
memilih metode penafsiran kritik retorik untuk memusatkan perhatian
pada gerak teks.9
Pembacaan kembali berciri retoris dan penerapan
hermeneutik kecurigaan dan kenangan ini menolongnya memberikan
sebuah tafsiran rekonstruktif dengan peluang kebebasan, seperti tafsiran
baru terhadap Kej 2;4b-3;24.10
Katharina Doob Sakenfeld memperkenalkan tiga pendekatan
bagaimana seorang feminis harus membaca Alkitab, pertama,
memperhatikan nas Alkitab yang bertentangan dengan nas yang biasa
dipakai untuk mernbatasi perempuan, kedua, memperhatikan seluruh
Alkitab untuk memperoleh suatu perspektif teobgis yang kritis terhadap
patriarki, ketiga, memperhatikan naskah tentang perempuan dari sejarah
dan cerita perempuan (duiu/kini) yang hidup dalam suatu lingkungan
masyarakat patriarkal.11
Schiissier Fiorenza mengusulkan hal yang lain. Melihat kenyataan
bahwa pada satu sisi teks-teks Alkitab bersifat androsentrik dan di sisi
lain teks-teks ini menjadi sumber kekuatan bagi perempuan untuk
menemukan uraian historis yang hilang dan menentukan realitas
kehidupan yang seharusnya bagi perempuan baik dalam pengalaman
yang sebenarnya pada masa Alkitab maupun pengalaman masa kini, ia
menegaskan betapa metode hermeneutik kecurigaan dan hermeneutik
kenangan adalah suatu kebutuhan mendesak terhadap teks-teks Alkitab.12
Hermeneutik kecurigaan feminis membangkitkan semangat yang
menuntut seseorang untuk turut mempertimbangkan pengaruh dari
berbagai peran dan pola sikap menyangkutjenis kelamin yang ditentukan
secara kultural terhadap Alkitab. Titik tolaknya adalah pengandaian
bahwa patriarkat secara mendalam berdarnpak atas teks-teks Alkitab dan
tafsiran-tafsiran atasnya di dalam tradisi Kristen yang mencakupbagaimana teks-teks Alkitab memperlakukan perempuan di dalam
berbagai penuturan kisahnya dan sama sekali mengabaikan pengalaman
perempuan tidak saja mengenai apa yang dikatakan tetapi juga apa yang
didiamkan mengenai kaum ini. Sedangkan hermeneutik kenangan
merupakan sisi lain dari hermeneutik feminis yang mengakui
perendahan martabat, pembuangan, penganiayaan dan perbudakan masa
lampau yang dialami oleh kaum perempuan dan menjadikan pengalaman
tersebut sebagai kenangan yang berbahaya guna menyediakan khazanah
yang kaya bagi kita saat ini untuk merancang sebuah teologi zaman ini
yang menyembuhkan penderitaan dan kemerdekaan dalam perjuangan.
Sejalan dengan ini maka aturan-aturan metodofogis berikut ini sangat
diperlukan.13 Pertama, teks-teks dan sumber-sumber historis Yahudi
maupun Kristen harus dibaca sebagai teks-teks androsentrik. Kedua,
pengagungan maupun penghinaan atau marginalisasi perempuan dalam
teks-teks Yahudi harus dipahami sebagai bangunan realitas sosial dalam
pengertian patriarkal atau sebagai proyeksi tentang realitas lelaki. Ketiga,
kanon-kanon resmi dari hukum patriarkal yang dikodifikasikan pada
umumnya lebih membatasi dibandingkan dengan interaksi dan hubungan
yang sesungguhnya antara perempuan dan laki-laki dan realitas sosial
yang diaturnya. Keempat, status sosial-keagamaan perempuan yang
sesungguhnya harus ditentukan melalui tingkatan onotomi ekonomi dan
peranan-peranan sosial mereka daripada oleh pernyataan-pernyataan
ideologis ataupun apa yang seharusnya. Dengan demikian penafsiran
feminis bertugas menempatkan semua perempuan di tengah-tengah
rekonstruksi historis sebagai tanggapan perempuan terhadap perubahan
sosial yang mempengaruhi hidup mereka, serta di tengah-tengah upaya
perempuan untuk mentransformasikan dan mengubah struktur dan
pranata kemasyarakatan.
Ruether menekankan bahwa kanon Alkitab merupakan langkah
pertama untuk mencari akar pengalaman perempuan yang
termarginalkan dalam tradisi gereja dan teologi tradisional dalam rangka
membangun teologi feminis.14 Metodologi yang digunakan adalah metode
lingkaran hermeneutik untuk menguji pengalaman unik perempuan yang
merupakan kekuatan bagi teori kritis dalam menguji teologi tradisional
dan tradisi gereja. Kriteria pengalamannya adalah pengalamanperempuan berdasarkan pengalaman dalam tradisi laki-laki, pengalaman
laki-laki yang telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang
mengadopsinya, pengalaman universal, pengalaman penuh laki-laki dan
perempuan setara dalam pengertian hukum. Manusia tidak hanya diukur
dan diisi oleh pengalaman imajinasi laki-laki tetapi juga keduanya baik
laki-laki maupun perempuan sama-sama menjadi subjek dalam
pembentukan kualitas manusia. Ruether membuat hal ini penting karena
ia menentukan posisi, prinsip norma dan sumber teologi sebagai pijakan
untuk melihat pengalaman unik perempuan dalam tradisi.
Langkah-Langkah Studi Hermeneutik Feminis
Berdasarkan berbagai macam cara pandang, pemaknaan, dan
metode yang dikembangkan dalam upaya melakukan rekonstruksi teksteks Alkitab, maka penulis menentukan langkah-langkah dalam
melakukan suatu studi hermeneutik feminis terhadap teks Yob 20:11-18
seperti berikut
1. Teks Yob 20:11-18 harus dipahami sebagai tulisan basil refleksi
penulis terhadap sesuatu hal untuk kepentingan tertentu, sebagai
produk budaya patriarkal dan ia memperolah bias-bias patriarkaL
Sepenggal kisah ini akan menjadi pintu masuk untuk melihat gunung
es yang tersembunyi di bawah realitas historis yang nampak dari teks.
2. Melakukan studi hermeneutik feminis terhadap teks dengan
menerapkan metode hermeneutik kecurigaan dari Schiissier Fiorenza
dengan memperhatikan kriteria pengalaman menurut Ruether
3. Merekonstruksi model pemuridan yang sederajat dari kisah Maria
Magdalena dalam teks Yob 20:11-18 berdasarkan basil studi
hermeneutik feminis yang telah dilakukan.
Memahami Maria Magdalena Dari Studi Hermeneutik Feminis
LatarBelakang Injil Yohanes
Saya setuju dengan pendapat para ahli bahwa penulis injil
Yohanes adalah seseorang yang diidentifikasi sebagai murid yang dikasihi
Yesus dalam injil Yohanes. Tetapi ia tidak dapat diketahui secara pasti
karena tidak mencantumkan identitasnya dalam injil Yohanes. Ia hanya
dapat dikatakan berasal dari kebmpok Yohanin yang masih memelihara
tradisi Yahudi dan hidup ketika kekristenan sudah tersebar luas dan
menuliskan tradisi dan ajaran Yohanes untuk kepentingan tertentu.
Terhadap kemungkinan penulis, ada tiga tokoh yang dapat dirujuk.
Pertama, ditulis oleh Yohanes, sang Rasul (Yoh bin Zebedeus). Yohanes
adalah orang yang paling mungkin diidentifikasi sebagai murid terkasih
dengan pertimbangan nama Yohanes tidak pernah disebut dalam injil
keempat dan kerendahan hati sebagai alasan Yohanes rasul tidak
menyebutkan namanya,15 Kedua, ditulis oleh Yohanes penatua dari
Efesus. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa murid yang dikasihi
Yesus memang adalah Yohanes rasul tetapi ia bukanlah penulis injil
keempat. Yohanes penatualah yang menulis injil keempat berdasarkan
pemikiran dan ingatan Yohanes rasuL16 Ketiga, ditulis oleh Maria
Magdalena. Hipotesa ini dikemukakan oleh Ramon A Jusino berdasarkan
pertimbangan pada teks-teks gnostik. Teks-teks gnostik memang
menyebut Maria Magdalena sebagai murid yang dikasihi Yesus. Teks prakanonik dari injil Yohanes menurutnya, memang menyebutkan Maria
Magdalena sebagai murid yang dikasihi Yesus tetapi kemudian teks ini
direvisi oleh kelompok Apostolik untuk kepentingan diterima dalam
kanon sehingga memunculkan dua pribadi yang berbeda dalam peristiwa
yang sama, yakni memisahkan Maria Magdalena dan murid yang dikasihi
Yesus sebab tidak mungkin gereja akan menerima sebuah tulisan yang
ditulis oleh seorang perempuan karena pelayanan kerasulan seorang
perempuan tidak diakui.17
Membandingkan kemungkinan pengidentifikasian murid yang
dikasihi Yesus sebagai Yohanes anak Zebedeus, Yohanes sang Penatua
dan Maria Magdalena merupakan hal yang sukar. Jika membandingkan
dengan tempat penulisan dan penanggalan surat, yang terjadi di Efesus18
sekitar tahun 100 ZB19 maka kemungkinan kepenulisan atas diri mereka
disangsikan sebab tulisan ini ditujukan pada orang Kristen generasi
kedua atau ketiga. Hal ini akan menjadi lebih rumit lagi jika
memperhatikan karakteristik injil Yohanes yang sudah sangat
dipengaruhi oleh budaya dan filsafat Yunani. Selain itu, setiap ucapan
Yesus dalam injil Yohanes lebih tepat untuk dilihat sebagai ipsissima verba
(ucapan yang ditempelkan dalam mulut Yesus) sebab injil Yohanes tidak
sedang bercerita mengenai laporan historis dari kejadian di masa lalumelainkan berdasarkan pendapat banyak penafsir bahwa khotbah atau
pengajaran dalam injil Yohanes bukan berasal dari Yesus, tetapi dari
penulis yang diletakkan di dalam mulut Yesus.
Kedudukan Perempuan dalam Budaya Yahudi, Yunani dam Injil Yohanes
Dalam budaya Yahudi, perempuan tidak dianggap sebagai manusia
yang memiliki nilai, arti, dan hak yang sama seperti laki-laki. Hampir
semua penafsiran diarahkan pada sebuah kesimpulan bahwa perempuan
adalah the second claSs. Kebudayaan Yunani (Aristoteles] menganggap
perempuan sebagai laki-laki yang tidak sempurna. Dunia Perjanjian Baru
pun menempatkan perempuan di bawah kuasa laki-laki (patria
potestas).20 Injil Yohanes menawarkan sesuatu yang berbeda. Injil ini
merangkum beberapa bagian dari pengalaman kaum perempuan.
Yohanes mengawali dan mengakhiri injilnya dengan menyebut peran
perempuan.21 Perempuan-perempuan ini disebut karena mereka
memiliki peran yang besar dan bahwa tindakan mereka patut menjadi
potret bagi pemuridan dalam komunitas Yesus. di tengah budaya
patriarkal yang sangat kentaL Injil Yohanes muncul dengan padangan dan
pemahaman yang berbeda terhadap perempuan. Injil Yohanes sangat
menaruh perhatian terhadap pergerakan perempuan.
Studi Hermeneutik Feminis Terhadap Yoh 20:11-18
History in text belum tentu mewakili apa yang sebenarnya sedang
terjadi. Informasi yang muncul ke atas permukaan teks hanya sebagian
kecil dari gunung es yang tersembunyi di bawah permukaan.22 Oleh
gereja Katholik Roma, Maria Magdalena dikenal sebagai seorang pelacur
yang bertobat, perempuan yang dari padanya Yesus pernah mengusir
tujuh roh jahat, oleh Paus Gregory I pada abad 6 diidentifikasi sebagai
perempuan yang mencuci kaki Yesus dengan rambutnya dalam Lukas
7:37 dan dinobatkan sebagai salah satu orang kudus berdasarkan
kesetiaan yang ditunjukkannya pada Yesus di sekitar kubur Yesus.
Rekaman data ini menuju prapaham teks Yoh 20:11-18 yang
menempatkan Maria Magdalena pada posisi sebagai perempuan berdosa
yang memperoleh kasih karunia dari Allah. Yesus yang bangkit dilihat
pertama kali oleh Maria Magdalena dan menjadikan Maria Magdalena
sebagai saksi kebangkitan karena kesetiaan yang ditunjukannya disekitar kubur Yesus. Namun, saya tidak setuju dengan prapaham teks ini.
Kemungkinan besar prapaham teks mengenai menonjolnya peran Maria
Magdalena sebagai saksi pertama kebangkitan hanyalah puncak dari
gunung es yang muncul di permukaan laut sedangkan gunung es yang
sesungguhnya tersembunyi di bawah permukaan laut. Untuk itu, teks Yob
20:11-18 akan ditafsirkan berdasarkan metode hermeneutik kecurigaan
feminis dengan menekankan pada beberapa poin berikut
1. Maria Magdalena Dan Pemuridan Yang Sederajat
Meskipun Yesus berasal dari Yahudi dan tumbuh dalam latar
belakang kehidupan Yahudi, namun la berani melakukan perubahan
terhadap kebudayaan Yahudi melalui gerakannya. Gerakan Yesus
merupakan gerakan yang berbagi meja dengan mereka yang
tersingkir (orang-orang mlskin, lemah, tidak dianggap, sampah
masyarakat Palestina) yang tidak tergolong dalam bangsa yang kudus.
Kepada mereka Yesus memberitakan visi eskatologis dan realitas
pengalaman yang akan datang dan yang sudah hadir. Mereka yang
hampir mati kelaparan dan putus asa karena tidak melihat jalan keluar
dari kemiskinan mereka ke masa depan dijanjikan basileia bahwa
Allah akan menjadikan perjuangan mereka keprihatinan Allah
sendiri.23 Gerakan Yesus tidak memanggil orang-orang saleh dari Israel
melainkan mereka yang cacat secara keagamaan dan secara sosial
kaum pecundang dan pemanggilan ini ingin menyatakan kesederajatan
antara orang benar dan orang berdosa, miskin dan kaya, laki-laki dan
perempuan, orang farisi dan murid Yesus, serta kesederajatan antar
bangsa yang diprakarsai oleh seorang perempuan yang diikuti oleh
murid-murid perempuan yang lain yang tetap setia mengikut Yesus ke
jalan salib saat semua murid laki-laki melarikan diri. Perempuan
menjadi saksi pertama kebaikan Allah dalam Yesus Kristus. Muridmurid perempuan meneruskan ajaran Yesus setelah kematianNya dan
Maria Magdalena agaknya adalah pemimpin dari gerakan Yesus sebab
ialah orang pertama yang menerima penglihatan dari Tuhan yang
bangkit.24
Penerimaan menjadi anggota dalam kemuridan yang sederajat ini
menuntut baik laki-laki maupun perempuan untuk menyerahkan diri
yang penuh pada Yesus. Anggota ini terbebas dari pengaruh dominasikekuasaan laki-laki terhadap perempuan dalam keluarganya. Mereka
tidak lagi menghargai ikatan keluarga patriarkal sehingga terbentuk
sebuah keluarga altruistik yang terdiri dari saudara-saudari dan ibu
serta Allah sebagai Bapa untuk semua dimana bapa-bapa patriarkal
tidak dapat mendominasi lagi. Dan Maria Magdalena menjadi bagian
dari kemuridan ini.
2. Peran Maria Magdalena Dalam Teks Yob 20:11-18
Solidaritas dalam Kesederajatan
Sebuah artikel yang ditulis dari sudut pandang Maria Magdalena
memberikan sebuah gambaran baru mengenai dirinya yang bukan
seperti rekaman data gereja Katholik Roma. la hanya seorang
perempuan yang berdukacita dan Yesus mengubah hidupnya,
mengampuni, menyembuhkan dan menyelamatkannya dari depresi,
ketakutan, kecintaan terhadap diri sendiri, keraguan, kemalasan,
kebencian dan mengasihani diri sendiri.25 Penerimaan Maria
Magdalena menjadi bukti bahwa gerakan Yesus menerima perempuan
sebagai anggota yang sederajat dalam komunitasNya. Penerimaan
karena etos bela rasa ini melahirkan rasa solidaritas yang tinggi di
antara sesama anggota yang tergabung dalam komunitas Yesus.
Eksekusi terhadap Yesus terjadi atas tuduhan sebagai
pemberontak politik yang membuat para pengikutnya menghilang.
Tentu mengaku sebagai anggota dari gerakan Yesus seperti yang
dilakukan oleh Maria Magdalena adalah sebuah keputusan berbahaya
apalagi melakukan tindakan berisiko pada hari Paskah untuk
mengunjungi kubur seseorang yang tereksekusi karena alasan politik.
Hal ini, menurut Schottroff hanya dapat dilakukan karena sebuah rasa
solidaritas yang tinggi terhadap Yesus yang kemudian menjadi awal
dari proklamasi kebangkitan Yesus.26
Sikap Maria Magdalena pada ayat 11 mengindikasikan dua haL
Pertama, menurut peraturan waktu dan tradisi Yahudi, waktu Yahudi
dibagi menjadi 4 bagian, yakni pagi, siang, sore dan malam. Hari
pertama dimulai pada pukul 6 sore saat matahari terbenam dan
berakhir pada pukul 6 sore berikutnya.27 Pemilihan waktu pada pagi
hari ketika keadaan masih gelap untuk merempahi mayat Yesus tentumerupakan pilihan yang tepat. Waktu dimana orang-orang belum
terjaga, waktu yang tepat bagi seorang perempuan Yahudi untuk
berada di luar rumah terutama untuk alasan Maria Magdalena dapat
kembali ke rumah sebelum batas waktu keluar bagi perempuan
berakhir. Agaknya perkiraan ini meleset karena mayat Yesus hilang
dan Maria Magdalena harus menempuh perjalanan pulang dan
memberitahu murid-murid Iain mengenai hilangnya mayat Yesus.
Rentang waktu ini menyebabkan Maria Magdalena masih berada di
luar rumah hingga waktu keluar rumah bagi seorang perempuan
Yahudi berakhir. Jika dilihat dari sudut pandang ini maka penulis injil
Yohanes sedang menggambarkan Maria Magdalena sebagai seorang
perempuan "pembangkang/pelacur" karena melanggar tradisi.28
Kedua, jika dilihat dari sudut pandang Maria Magdalena, ia
memilih menentang tradisi itu agar dapat mencari mayat Yesus.
Penentangan terhadap tradisi ini dilakukan atas dasar rasa solidaritas
yang dialami Maria Magdalena bersama Yesus. Ia menunjukkan bahwa
cara Yesus membuatnya berharga dalam kesederajatan yang dialami
dalam kornunitas Yesus jauh lebih berharga dari tradisi Yahudi dan
hukum pentahirannya. Pada sisi lain, penulis injil memang berusaha
menampilkan profil Maria Magdalena sebagai perempuan
pembangkang terhadap tradisi tetapi di sisi yang lain ia sedang
memaparkan alasan penting dibalik sikap pembangkang Maria
Magdalena. Rasa solidaritas yang lahir dari etos bela rasa mengalahkan
ketakutan seorang perempuan, memberi keberanian menanggung
risiko dan penolakan atas pertanyaan malaikat (13) dan pertanyaan
Yesus (15). Sikap yang tidak ditunjukkan oleh para murid laki-laki
Yesus.
Teladan Kemuridan Sejati
Gerakan Yesus merupakan kesederajatan yang membuka
peluang bagi perempuan untuk berperan terutama dalam ranah
keagamaan dengan tidak ditafsirkan secara seksual tetapi altruistik.
Dalam pengaruh helenisme yang memberikan peluang bagi
perempuan untuk memimpin, gerakan Yesus juga melakukan hal yang
sama dengan membuka peluang bagi Maria Magdalena untukmemimpin. Ayat 16 menunjukkan bahwa dibalik metafor 'Gembala
yang baik' yang diciptakan penulis injil Yohanes untuk meredam peran
perempuan, ayat ini sedang menunjukkan fakta dan posisi Maria
Magdalena sebagai seorang murid Yesus dengan sapaannya "Rabbuni".
Kata rabbuni berasal dari kata rabbouni yang dalam bahasa Aram
disebut r'abbi, dan dalam bahasa Yunani menggunakan kata didaskale.
Kata rabbouni dalam bahasa inggris diterjemahkan dengan master dan
kata didaskale juga diterjemahkan teacher atau rabbi yang berarti guru.
Kata ini sering digunakan oleh murid laki-laki Yesus ketika mereka
menyapa Yesus karena mereka sedang menempatkan diri sebagai
murid. Posisi ini juga berlaku bagi seorang perempuan seperti Maria
Magdalena ketika ia menyapa Yesus dengan sebutan Guru. Dengan
sapaan ini Maria Magdalena mendeklarasikan dirinya sebagai murid
Yesus. Lagipula sapaan ini diucapkan dalam bahasa Aram rabbouni
bukan dalam bahasa Yunani didaskale seperti yang lazim digunakan
oleh murid-murid lain. Dalam hemat saya, penggunaan kata rabbuni
mengindikasikan bahwa kata ini benar berasal dari zaman gerakan
dan komunitas Yesus dan Maria Magdalena adalah murid Yesus yang
pada masa itu menggunakan bahasa Aram sebagai bahasa percapakan
sehari-hari.
Di dalam PB, pemuridan berarti berada dalam perjalanan
bersama Yesus, yakni menjadi seorang pengelana, seseorang yang
sementara saja tinggal di suatu tempat, menjadi seseorang yang tidak
memiliki tempat untuk membaringkan kepala. Pemuridan
mengharuskan seseorang berbela rasa. Kaum perempuan yang
mengikut Yesus menunjukkan ciri pemuridan ini. Oleh Borg, mereka
digolongkan sebagai murid-murid yang paling setia hingga kematian
Yesus.29
Dalam konteks injil Yohanes, pemuridan ini ditunjukkan oleh
Maria Magdalena. Ia tidak saja melakukan perjalanan bersama Yesus,
berkelana, menyokong pelayanan Yesus dengan kekayaannya, tetapi ia
menunjukkan kesetiaan melakukan perjalanan yang tuntas bersama
Yesus dan membuktikan diri sebagai murid yang mampu berbela rasa
tidak saja kepada orang lain tetapi juga terutama terhadap Yesus
sebagai guru dikala murid-murid yang lain tidak mampuDalam konteks injil Yohanes, pemuridan ini ditunjukkan oleh
Maria Magdalena. la tidak saja melakukan perjalanan bersama Yesus,
berkelana, menyokong pelayanan Yesus dengan kekayaannya, tetapi
ia menunjukkan kesetiaan melakukan perjalanan yang tuntas
bersama Yesus dan membuktikan did sebagai murid yang mampu
berbela rasa tidak saja kepada orang lain tetapi juga terutama
terhadap Yesus sebagai guru dikala murid-murid yang lain tidak
mampu melakukannya. Kesetiaan dan bela rasa Maria Magdalena
hingga kematian dan kebangkitan Yesus dalam hemat saya adalah
alasan penting mengapa Maria Magdalena perlu mendapatkan gelar
sebagai teladan kemuridan yang sejati.
Apostle Apostolarum: Aku Telah M- 'iihat Tuhan
Tidak dapat disangkal bahwa Maria Magdalenalah merupakan
saksi pertama kebangkitan Yesus. Mengenai hal ini ayat 18
mengatakannya dengan jelas; "aku telah melihat Tuhan". Kata melihat
yang digunakan dalam bagian ini menggunakan kata etopccKa dari kata
dasar o opato yang digunakan berulang kali dalam injil Yohanes. Kata
ini dalam injil Yohanes digunakan sebagian besar untuk merujuk
pada arti melihat sesuatu yang selalu berkaitan dengan yang ilahi,
seperti melihat Tuhan [1:18], melihat Roh Kudus (1:33). melihat.
Yesus (1:34). Kata ini dipakai penulis injil Yohanes untuk
menunjukkan bahwa Maria Magdalena telah melihat (kopaKa) Yesus
dalam gambaran ilahi, dalam kemuliaanNya sebagaimana kata etopocKa
hanya digunakan untuk kata kerja yang menunjuk pada pekerjaanpekerjaan Allah. Sebuah penafsiran lain dari Sanrie de Beer dan Julian
MGDller mengatakan bahwa kebangkitan Yesus hanyalah sebuah visi
yang diterirna Maria Magdalena dalam sebuah mimpi. Menurutnya,
bagi Maria Magdalena kebangkitan Yesus hanyalah simbol kelahiran
kembali dengan memberi Maria Magdalena sebuah keberanian
menghadapi Petrus dan Yohanes yang mempertanyakan
peranannya.30
Penafsiran ini tidak sejalan dengan ayat 18 sebab kata
ewpara menggambarkan aktifitas menyaksikan/melihat secara kasat
mata sebuah pekerjaan Allah. Penggunaan kata ini menegaskan
bahwa Maria Magdalena benar-benar telah berjumpa denganYesus.untuk membuktikan kesaksian Maria Magdalena ketika mendengarnya
mengatakan bahwa mayat Yesus telah diambil orang. Namun jika
memperhatikan hal ini dengan seksama, respon yang ditunjukkan oleh
Petrus dan murid yang dikasihi Yesus adalah reaksi yang wajar bagi
seorang murid untuk membuktikan kabar kehilangan sang guru.
Tetapi menurut saya, hal ini justru menunjukkan bahwa kesaksian
Maria Magdalena dipercaya oleh murid-murid laki-laki sehingga
mereka segera berlari ke kubur Yesus. Dengan kata lain, tradisi
kesaksian seorang perempuan yang tidak dianggap sah tidak berlaku
dalam komunitas Yesus. Hal ini menjelaskan alasan Maria Magdalena
memberi kesaksian kepada murid-murid lain tanpa ragu-ragu.
Kesaksiannya tidak mempertimbangkan tradisi karena tradisi
tersebut tidak berlaku dalam komunitas Yesus dimana penerimaan
terhadap laki-laki dan perempuan berlaku dalam komunitas pemuridan
yang sederajat.33 Perjumpaan dan kesaksiannya ini mengantarnya
pada sebuah penemuan terbesar, yakni menemukan gamban- i
kemanusiaan yang utuh terhadap dirinya sendiri dan penegakan
kedudukannya sebagai murid Yesus yang tidak lagi terpengaruh oleh
pandangan, sikap dan perlakuan laki-laki dan lingkungan sekitar
terhadap dirinya. la menyadari bahwa citra dirinya sebagai
perempuan adalah citra diri yang mewakili citra Allah. Penyetaraan ini
dipertegas dengan perkataan Yesus: "pergilah kepada saudarasaudaraku". la diutus dalam kenyataan bahwa ia adalah seorang
perempuan yang setara dalam pemuridan yang sederajat dalam
komunitas Yesus.
3. Meredam Peran Maria Magdalena
Siapakah yang Engkau Cari?
Sebuah usaha pembungkaman terbesar terhadap peran
seseorang diperlihatkan dengan cara mematikan usaha yang sedang
diperjuangkan olehnya. Pertanyaan malaikat pada Maria Magdalena
"Ibu, mengapa engkau menangis?" termasuk dalam bentuk
pembungkaman terhadap peran Maria Magdalena. Kalimat yang dalam
bahasa Yunani berbunyi yvvai, tl KXaieic;; memperlihatkan sebuah
kesedihan mendalam yang dialami oleh Maria Magdalena. Kata KAxueic;
menggambarkan sebuah kepedihan mendalam, tangisan dan ratapan,
yang tidak dapat dihibur oleh siapa pun karena sesuatu yang telah
hilang tidak akan mungkin ditemukan kembali. Terdapat penggunaan
akar kata yang sama dalam Mat 2:18 untuk menunjukkan kepedihan
yang sama yang dialami Rahel karena ditinggal mati oleh anakanaknya. Pertanyaan para malaikat merupakan sebuah
pembungkaman peran perempuan sebab ia sama sekali tidak
mengapresiasi usaha yang sedang dilakukan oleh Maria Magdalena.
Pertanyaan Yesus, "Ibu, mengapa engkau menangis? Siapakah
yang engkau car/.7
" memperjelas usaha pembungkaman terhadap
Maria Magdalena. Sebuah tradisi yang berlaku terhadap perempuan
pada masa itu seolah-olah tersirat dalam pertanyaan Yesus ini. Dalam
tradisi Yahudi, makan di luar rumah, tanpa keluarga hanya dapat
dilakukan kaum pria saja (dan jika perempuan hadir di acara makanmakan di luar rumah, maka ia akan dipandang sebagai pelacurpelacur). Jati did seorang perempuan ada di dalam did ayah atau
suaminya.34 Dan pertanyaan Yesus ini menimbulkan kesan
keberpihakan pada tradisi semacam ini. Hal ini memang tidak dapat
dibuktikan secara jelas namun bias-bias yang ditimbulkan adalah
kesan terhadap keberpihakan terhadap tradisi yang 'melindungi'
perempuan.
Metafor: 'Gembala yang baik'
Beberapa teolog seperti Barclay, A.W Pink, J Wesley Brill,35
sepakat menafsirkan ayat 16 dalam kerangka pemahaman Yesus
sebagai gembala yang baik yang mengenal domba-dombaNya dan
respon Maria Magdalena yang mengenal gembalanya. Bahkan
Schiissier Fiorenza pun menafsirkan hal yang sama. Penafsiran atas
bagian ini didasarkan pada pasal 10 mengenai gembala yang baik
adalah gembala yang mengenal domba-dombanya dan memanggil
mereka dengan namanya satu per satu dan pasal 20 ketika penulis Injil
berbicara mengenai perintah Yesus kepada Simon Petrus untuk
menggembalakan kawanan domba. Beberapa penafsir terjebak dalam
kerangka pemikiran semacam ini dengan menempatkan konteks ayat
16 pada konteks pasal 10 dan pasal 20. Berdasarkan tatanan seperti
itu, maka ayat 16 dapat dengan mudah menimbulkan kesan Yesus
sebagai gembala yang baik. Dalam hemat penulis, kesan yangditimbulkan oleh ayat ini adalah kesan yang dihasilkan karena
penggunaan metafor Yesus adalah gembala yang baik dalam injil
Yohanes.
Penggunaan metafor mengakibatkan usaha peredaman
terhadap peran Maria Magdalena luput dari pandangan dan penafsiran
para ahli sehingga seringkali oknum yang di'salahkan dalam penafsiran
terhadap bagian ini adalah Maria Magdalena karena ia tidak mampu
tnengenali Yesus yang bangkit, juga oleh penafsiran yang
memojokkannya dengan mengatakan bahwa Maria Magdalena terlalu
fokus pada permasalahan yang dialaminya sehingga sulit melihat
Yesus dengan jelas. Kenyataan ini memaksa para pembaca untuk
mernahami sebuah teks berdasarkan konteks sehingga tidak terjebak
dalam kesan umum yang dihadirkan oleh penulis teks sebab hal ini
akan mengaburkan maksud sebenarnya yang ingin diuangkapkan oleh
teks. Metafora Yesus gembala yang baik adalah kesan yang digunakan
agar usaha peredaman terhadap peran Maria Magdalena yang
ditempelkan ke mulut Yesus oleh penulis Injil tidak terlihat
sebagaimana adanya.
Hal ini tidak dapat disalahkan, karena bagaimana pun juga
seorang penulis penulis teks bersikap netral dan mendukung
perempuan, ia berada dalam konteks masyarakat patriarkal yang biasbias dominasi terhadap perempuan masih terlihat. Hal ini menjelaskan
alasan mengapa teks ini menonjolkan perempuan tetapi pasa saat
yang sama ia menunjukkan usaha-usaha peredaman terhadap peran
perempuan.
Jangan Sentuh Aku, Perempuan!
Tradisi Yahudi mengharuskan seorang rabbi untuk tidak
bersinggungan dengan perempuan yang bukan isteri atau saudarinya
dan tidak boleh memiliki murid perempuan.36 Perempuan diberi
kesempatan untuk masuk ke dalam sinagoge tetapi tidak dapat menjadi
murid seorang rabbi mana pun kecuali jika suami atau ayahnya adalah
seorang rabbi. Sepanjang tradisi Yahudi tidak pernah ada perempuan
yang meninggalkan keluarganya dan melakukan perjalanan bersama
seorang guru. Maria Magdalena dan beberapa perempuan tidak sajameninggalkan rumah melainkan bergabung dalam komunitas Yesus
dan menyertaiNya dalam perjalananNya. Yesus tidak saja 'melawan'
terhadap tradisi semacam ini tetapi menunjukkan penolakan terhadap
ajaran rabbi Yahudi yang mendiskriminasi perempuan karena gender
dan alasan biobgis.37 Dalam konteks komunitas yang berbela rasa
terhadap persamaan derajat, Yesus menunjukkan bahwa perempuan
pantas dan berhak memasuki sebuah komunitas pemuridan. Namun
sikap Yesus pada ayat 17 yang tidak mau disentuh oleh Maria
Magdalena patut dipertanyakan. Yesus seolah-olah berdiri pada tradisi
para rabbi Yahudi. Kata Yunani yang dipakai adalah airtou yang dapat
diterjemahkan ignite; midd, take hold of, touch yang berarti menyentuh
dalam arti fisik. Yesus tidak mau disentuh Maria Magdalena dengan
alasan Yesus belum naik kerada Bapa yang jika dilihat dari sudut
pandang tradisi Yahudi, tindakan ini berkaitan dengan hukum
pentahiran bagi seorang perempuan untuk boleh bersentuhan dengan
laki-laki. Argumentasi ini diperkuat dengan kenyataan bahwa delapan
hari kemudian Yesus memberi dirinya disentuh oleh Thomas, seorang
laki-laki (20:20]. Dalam hemat penulis, perintah untuk tidak
menyentuh Yesus merupakan salah satu cara penulis injil
memberitakan bahwa sekali pun perempuan telah memasuki
hubungan yang sederajat dengan laki-laki, perempuan tidak dapat
benar-benar melupakan masalah pentahiran diri. Hal ini oleh
Schiissier Fiorenza disebut sebagai imajinasi teobgis yang masih
bersifat androsentrik sebab penulis baik laki-laki maupun perempuan
disosialisasikan dalam alam pemikiran yang sama, yakni
kepengarangan maskulin.38
Relevansi Pemuridan Yang Sederajat Bagi Kehidupan Bergereja Di
Indonesia
Membaca Teks Yoh 20:11-18 Dari Sudut Pandang Teologi Feminis
Injil Yohanes merupakan jendela bagi penafsir untuk dapat
melihat dengan lebih jelas ke dalam kehidupan komunitas Yesus,
bagaimana komunitas Yesus dibangun dan dipertahankan serta lebih
kritis terhadap peran dan kedudukan perempuan yang dalam tulisan inidiwakilkan oleh Maria Magdalena. Teks Yob 20:11-18 merupakan sebuah
kesaksian iman dari penulis Injil untuk mengungkapkan komunitas Yesus
yang sederajat dan usaha-usaha seorang penulis yang berjiwa feminis
dalam memperjuangkan dan menegakkan peran dan kedudukan Maria
Magdalena. Harus diakui tulisan ini dihasilkan oleh 'seorang feminis'
dalam konteks budaya patriarkal sehingga meninggalkan bias-biasnya
yang saya golongkan sebagai bentuk peredaman terhadap peran Maria
Magdalena sehingga usaha yang dilakukan penulis Injil Yob tidak benarbenar berdasarkan kasih yang altruistik melainkan kasih yang
dikondisikan dan disosialisasikan dalam kerangka berpikir androsentrik
yang menekankan kepengarangan maskulin.
Karena itu, saya mengusulkan cara baru untuk membaca teks Yoh
20:11-18. Ketika membaca sebuah teks, pembaca tidak benar-benar
meninggalkan konteks dimana ia hidup dan dibesarkan. Asumsi,
pengetahuan, dan pengalaman pembaca dibawa masuk sebagai
prapaham ketika membaca teks dan tidak jarang prapaham ini membuat
penafsiran yang dilakukan tidak pernah benar-benar objektif dan jujur.
Keterbukaan untuk mengakui dan jujur menerima konteks pembaca saat
ini sebagai sebuah konteks yang memang bermasalah karena tidak
benar-benar memperhatikan keutuhan kemanusiaan antara laki-laki dan
perempuan akan memberikan kacamata yang baru agar dapat membaca
teks ini dari sudut pandang yang baru dan membebaskan seperti yang
telah penulis lakukan dengan studi hermeneutik feminis. Teks ini harus
didekati dengan pendekatan yang berbeda dengan pertama-tama
menggunakan hermeneutik kecurigaan dan menempatkan diri pada
sudut pandang seorang perempuan Yahudi agar penafsiran yang
dilakukan berjiwa feminis sekali pun dihasilkan dalam kepengarangan
maskulin dan membebaskan perempuan (Maria Magdalena) terutama
bagi konteks saat ini.
Relevansi Pemikiran Pemuridan Yang Sederajat
Tulisan ini dapat direlevansikan dalam berbagai aspek kehidupan
dimana perempuan dan laki-laki mengambil peran di dalamnya. Namun
pada tulisan ini, penulis hanya akan memaparkan relevansi pemuridan
yang sederajat bagi kehidupan bergereja di Indonesia. Sepanjang sejarahkekristenan sebelum lahirnya teobgi feminis, perempuan selalu
tersubordinasi di bawah kaum laki-laki. Gereja turut andil dalam posisi
subordinasi perempuan sehingga bertahun-tahun lamanya perempuan
tidak dapat menduduki jabatan kepemimpinan dalam gereja. Keadaan ini
baru berakhir di akhir abad 20 dengan pengakuan pada kepemimpinan
kaum perempuan dalam gereja tetapi pengecualian pada gereja Katholik
Roma. Sebagai sebuah lembaga, gereja memiliki jabatan struktural
dimana dibutuhkan pemimpin-pemimpin untuk mengisi jabatan
tersebut. Tetapi berdasarkan keputusan Sidang Raya PGI di Surabaya
pada Oktober 1989 bahwa perempuan harus menduduki 30% jabatan
kepemimpinan dalam gereja maka dapat disimpulkan bahwa presentasi
keterlibatan perempuan dalam lembaga gereja masih sangat minim
meskipun pengunjung gereja 1' V.h banyak kaum perempuan.39 Hal ini
disebabkan oleh budaya organisasi yang patriarki dan persepsi yang salah
mengenai perempuan yang mengakibatkan ketidaklayakan seorang
perempuan untuk menduduki jabatan kepemimpinan.
Di sisi lain, secara spiritual, gereja pun bertanggung jawab
terhadap ajarannya mengenai peran kaum laki-laki dan perempuan.
Peran ini bersumber dari tiga hal, Alkitab, Zending yang datang ke
Indonesia, dan budaya Indonesia yang cukup mendukung.40 Dari Alkitab
orang kristen belajar mempercayai Allah yang monoteis dalam Yahudi.
Kepercayaan Monoteis ini berakar dari sistem patriarkat dimana unsur
maskulin dominan terhadap unsur feminine. Cerita-cerita Alkitab sangat
menekankan pada hukum pentahiran bagi seorang perempuan sehingga
terdapat banyak pantangan bagi perempuan untuk datang mendekat dan
menjalin relasi yang lebih intim dengan Allah baik dalam kebaktian
sinagoge maupun dalam jabatan keimaman. Kedatangan Zending yang
mengkristenkan suku-suku di Indonesia juga mendukung hal ini dengan
pembagian kerja menurut jenis kelamin yang sukar diubah hingga kini
karena budaya setempat ikut mendukung hal ini. Tidak dapat dipungkiri
bahwa gereja-gereja di Indonesia terutama gereja suku sangat kental
dengan kebiasaan ini. Kaum yang dipercaya mampu memimpin dan
mewakili Allah adalah kaum laki-laki karena sebagian besar suku di
Indonesia mengutamakan keutamaan seorang laki-laki daripada
perempuan. Hal ini menyebabkan laki-laki dapat dengan mudahmemperoleh jabatan kepemimpinan dan keimanan dalam gereja tanpa
memperhitungkan kemampuan dan potensi kaum perempuan untuk
jabatan tersebut. Padahal jika mengacu pada gerakan Yesus dan gerakan
Kristen, kaum perempuan diberikan kesempatan yang sama dengan
kaum laki-laki untuk menjadi anggota dan berperan aktif di dalamnya,
bahkan dari teladan Maria Magdalena dalam 'solidaritas dalam
kesederajatan' menunjukkan bahwa kaum perempuan membuktikan diri
memiliki potensi dan kepekaan yang seringkali melebihi kaum laki-laki.
Gereja-gereja masa kini perlu belajar dari kemuridan yang sederajat ini.
Hukum pentahiran tidak lagi relevan untuk masa kini. Gerakan Yesus telah
memungkinkan semua perempuan untuk tahir secara utuh dan
dengannya dapat memasuki sebuah hubungan intim dengan Allah dalam
kebaktian dan jabatan keimaman. Perempuan menjadi layak karena Allah
dalam Yesus melayakkannya.
Mengenai kepemimpinan, tidak ada yang salah dengan
kepemimpinan perempuan. Kesalahan utama terletak pada respon dan
ketidakpercayaan gereja untuk membiarkan laki-laki dan perempuan
bergandengan tangan memasuki pemuridan yang sederajat dari gerakan
Yesus karena pada dasarnya kaum perempuan pun adalah anggota jemaat
Allah. Gelar apostle apostolarum dianugerahkan kepada Maria Magdalena
karena ia pantas memperolehnya. Jika gereja peka, gelar ini seharusnya
dikenakan kembali pada perempuan dan laki-laki yang telah
menunjukkan dedikasi pelayanannya dalam perjalanan pemuridan
bersama Yesus di dalam gereja.
Studi hermeneutik feminis terhadap teks Yob 20:11-18
menghasilkan sebuah pemahaman baru bahwa pemuridan yang
sederajat mencakup perempuan dan laki-laki, kaya dan miskin, orang
sehat dan orang sakit, orang benar dan orang berdosa, dan orang Yahudi
dan non Yahudi. Tulisan ini terutama didedikasikan bagi perempuanperempuan Kristen yang sedang berjuang menemukan dan menegakkan
kembali gambaran kemanusiaannya yang utuh mengenai diri sendiri dan
kesadaran bahwa di dalam dirinya sebagai perempuan, Allah ingin setiap
perempuan menegaskan citra diri Allah tersebut dalam peran-perannyadi keluarga, gereja dan masayarakat. Perempuan tidak lagi terbelenggu
oleh pemahaman bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki melainkan
pada usaha bagaimana menegaskan keperempuannya: perempuan
memiliki potensi yang hanya dapat diekspresikan dan direalisasikan oleh
dirinya sendiri. Allah telah memungkinkan dia melalui kisah Maria
Magdalena dan kini saatnya perempuan harus bertanggung jawab
terhadap kemungkinan yang dianugerahkan Allah tersebut.
Bag! gereja, gereja perlu melihat perempuan sebagaimana Allah
melihat perempuan, membaca Alkitab dari sudut pandang perempuan
untuk memungkinkan setiap perempuan memasuki relasi yang benar
dan jujur dengan Allah. Bagi keluarga yang masih menekankan
keutamaan anak laki-laki sepertf keluarga Sumba, Batak, dan Toraja agar
menyadari bahwa anak perempuan pun anugerah Allah yang perlu
diterima, diakui, dan dihargai. Untuk sekolah, agar merevisi kurikulum
dan buku ajar agar lebih bersikap adil terhadap peran perempuan dan
laki-laki, memosisikan mereka dalam pemuridan yang sederajat dari
gerakan Yesus, memberi peluang dan kepercayaan bagi perempuan dan
laki-laki untuk mengasah kemampuan dan mengembangkan bakatnya
serta membimbing mereka untuk dapat meneladani model pemuridan
yang sederajat seperti Maria Magdalena.