• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

ramalan kristen





 Kekristenan dalam warga  etnis 

Tionghoa di Indonesia dihadapkan pada 

suatu cara hidup yang komplek. Unsur 

budaya dan kepercayaan nenek moyang 

masih sangat kuat dan sangat sulit 

dihilangkan. Seringkali didapati jemaat 

Kristen yang masih mempercayai dan 

melakukan ritual budaya nenek moyang. 

Dalam hal ini praktek ramalan berdasarkan 

Shio khususnya. Mengapa jemaat Kristen 

etnis Tionghoa sulit melepaskan diri dari 

mitos, kebudayaan, dan agama nenek 

moyang mereka? Bangsa China yaitu  

bangsa yang amat bangga atas kebesaran dan 

kejayaan budayanya. Budaya Tionghoa sejak 

dari zaman dahulu kala begitu mengikat para 

pengikutnya. Meskipun di kurun waktu ini 

China telah mengalami perubahan besar, 

termasuk masuknya komunisme ke China, 

kebajikan dan kebesaran lama China tidak 

akan lenyap dan bahwa peradaban yang telah 

berlangsung lebih dari empat ribu tahun itu 

tak dapat dengan mudah dihancurkan. 1

Pada era yang sudah sangat modern 

seperti ini, sudah seharusnya ramalan (ilmu 

metafisika), menjadi lapuk dan hilang ditelan 

waktu. Namun kenyataannya mengapa justru 

berlaku hal sebaliknya? Ramalan  

mendapatkan tempat spesial di hati manusia 

dan semakin popular. Padahal Alkitab secara 

jelas mengatakan tidak boleh umat Tuhan 

melakukan telaah atau ramalan (Im. 19:26b). 

Sebut saja ‘shio’, banyak orang yang 

mengenalnya. Kalau direnungkan, ramalan 

yang asal usulnya dari China, nyaris tak lepas 

dari perhitungan rumit astronomi, 

matematika, fisika, kimia, dan lain-lain. 

Dengan demikian, jika ada gelar untuk 

ramalan yang paling unik dan komplek, maka 

ramalan China pasti juaranya.2

Pada awal ide tentang penanggalan, 

masa itu para petani membutuhkan suatu 

kalender yang dapat dijadikan pedoman bagi 

masa tanam dan masa panen. Semua kegiatan 

yang dapat mengikuti musim dari tahun ke 

tahun. Singkatnya mereka membutuhkan 

kalender matahari. Astronom kuno pada saat 

itu menemukan kalender matahari – bulan 

(Lunii Solar Calender) yang ternyata dapat 

memenuhi keinginan petani secara sederhana 

dan tepat. Namun perkembangan dari 

kalender dan adanya musim, hari libur dan 

perayaan, serta hari raya agama Konghucu 

maupun ilmu-ilmu ilmiah yang rumit bagi 

warga  untuk dipahami, memunculkan 

sejumlah cerita legenda dan fiksi yang 

dikembangkan untuk menyederhanakan 

penjelasan itu Seorang pakar “shio” terkenal, dalam 

buku yang ditulisnya mengatakan bahwa 

menghitung jodoh, rezeki, dan peruntungan 

menurut shio (Liok Hap-Shio) yaitu  bidang 

lain dari ilmu pengetahuan praktis China dan 

bukan soal ramal-meramal, namun  

perhitungan berdasarkan pada situasi dan 

kondisi alam semesta, terutama pada saat saat tertentu yang mempengaruhi hidup dan 

kehidupan seseorang berdasarkan 

penanggalan China.4 Benarkah demikian? 

Alam semesta diciptakan Tuhan dengan 

begitu sempurna dan menjadi satu kesatuan 

harmoni yang saling melengkapi dan 

berkaitan satu dengan yang lain. Semua 

diciptakan untuk kepentingan hidup manusia 

(Ul. 4:19), namun  dalam praktek ramalan shio, 

astrologi, dan lain-lainnya, unsur maupun 

tanda-tanda alam seringkali di kultuskan, 

dianggap bahwa kehidupan manusia 

bergantung pada unsur, kedudukan dan 

proses alam. 

Dalam perkembangan penanggalan 

China, perlambangan dengan shio itu 

dianggap lebih mudah dan kemudian 

berkembang dengan pesat dalam kehidupan  berwarga  di Tiongkok sebagai penanda 

umur seseorang. Selain itu, binatang yang 

mewakili cabang bumi dikaitkan dengan 

melihat arah mata angin, waktu dari unsur 

binatang ini . Hal ini  juga dikaitkan 

dengan waktu kelahiran bayi ini . Jika 

bertepatan, maka akan semakin kuat unsur 

dan karakteristiknya. Dalam kepercayaan 

warga  Tionghoa, juga mempercayai 

Yin dan Yang sebagai simbol keseimbangan 

dan keserasian dalam kehidupan.


Adapun metode penelitian ini yaitu  

metode kualitatif etnografi6

dengan 

pendekatan eksposisi. Metode kualitatif 

yaitu  penelitian yang menggunakan latar 

alamiah, dengan maksud menafsirkan 

fenomena yang terjadi dengan 

menggambarkan adanya suatu variable, 

gejala atau keadaan, Yang meliputi 

pengumpulan data, analisa, dan interpretasi 

tentang arti suatu kata. Sedangkan 

pendekatan eksposisi mengandung arti 

sebuah karangan yang menyajikan sejumlah 

pengetahuan atau informasi. Adapun  

tujuannya agar pembaca mendapat 

pengetahuan atau informasi yang sejelas jelasnya saat  membaca penelitian yang 

dibuat. 

Permasalahan ini menunjukan bahwa 

patokan yang diambil dalam menentukan 

watak, peruntungan, perjodohan, dan lain lain, yaitu  Shio, elemen, serta unsur dalam 

elemen ini . Kenyataan ini sudah 

menjadi tradisi turun temurun kaum 

Tionghoa. Walaupun sudah menjadi tradisi, 

bukan berarti menjadi jaminan kebenaran, 

karena dalam tradisi juga dapat terjadi 

kesalahan, selain juga memperhitungkan 

faktor perkembangan (karena penemuan baru 

yang berkaitan dengan banyak sumber, 

sarana dan pemahaman yang berbeda dapat 

terjadi kurang sesuai dan keterikatan kepada 

tradisi yang kaku), maka dari itu perlu sikap 

kritis terhadap tradisi.

Kaum Kristen Tionghoa khususnya 

perlu menjaga agar tradisi (dalam 

penggunaan Shio), dan ilmu pengetahuan 

(dalam ilmu penanggalan Tionghoa) tidak 

sampai menggantikan otoritas Allah. Orang-orang Kristen mula-mula juga memiliki 

pengalaman yang sama yaitu memisahkan 

nubuat yang benar dari yang salah melalui isi 

berita berkenaan dengan pribadi Yesus 

Kristus (I Yoh. 4:1-3; I Kor. 12:1-3).11

Analisa Telaah atau Ramalan tehadap 

“Shio”

Kekristenan umat Tionghoa 

menghadapi masalah saat  jemaat mulai 

ragu akan masa depan dan menginginkan 

segala sesuatu serba cepat dan instan tanpa 

ingin melewati proses yang dirasa lama.12

Kenyataan ini membawa orang-orang 

Kristen berpaling pada ramalan Shio yang 

tidak lebih dari okultisme. Meramal yaitu  

praktek meminta nasehat kepada 

seseorang, secara ilahi, kepada manusia 

ataupun arwah, ataupun benda-benda 

dengan cara meneliti suatu obyek atau 

tingkah laku, untuk mendapat informasi 

tentang masa depan atau masalah-masalah 

lainnya diluar pengetahuan normal.

Tenung berarti mencoba mengetahui 

sebelumnya atau dari jauh suatu peristiwa 

yang tidak dapat dilihat dengan cara 

biasa. 

 

Meramal, ramalan dan telaah dicela 

di seluruh Alkitab, sebab gagasan ini 

sampai pada pendirian bahwa tidak ada 

seseorang atau sesuatupun yang berkuasa, 

semua ditentukan oleh takdir, yang menjadi 

tujuan akhir segala sesuatu, termasuk juga 

akhir para ilah atau dewa (band. Ul. 18:9-

12)15. Gagasan seperti ini menyangkal 

bahwa Tuhan yaitu  yang empunya segala 

kuasa, merendahkan dasar pewahyuan 

bahwa YAHWEH yaitu  Allah yang Maha 

Tinggi, Pencipta yang Maha Kuasa.

Manusia diciptakan Allah seturut gambar Nya (Kej. 1:27), gambar diri manusia harus 

mengacu kepada Allah, jika 

mengasosiasikan kepada Shio maka 

gambar diri manusia mengacu kepada 

makhluk yang lebih rendah, kepada 

kefanaan, dan kehinaan (Rm. 1:22-23). 

Penggunaan Shio sendiri tidak membuat 

bangsa China lebih menghargai keberadaan 

manusia disbanding bangsa lain pada 

umumnya.

Allah melarang umat-Nya 

mencondongkan telinga kepada ramalan 

okultisme atau tenung (Ul. 18:13-14) 

termasuk menjadi simpatisan horoskop  ataupun Shio (Yes. 44:25; Ul. 4:19; 2Raj. 

17:7-8). Tanda-tanda di langit bisa menjadi 

ramalan yang menakutkan bagi bangsa bangsa kafir. Kristen sejati menyandarkan 

hidupnya kepada Allah, nasibnya 

ditentukan imannya dan bukan ramalan 

(Gal. 4:8-10; 1Yoh. 4:4; Im. 19:31, 20:6).

Jikalau ramalan Shio benar, maka orang 

yang lahir di hari dan jam yang sama akan 

sama juga nasibnya. namun  fakta 

membuktikan bahwa dua anak yang 

lahirnya pada waktu yang sama atau anak 

kembar sekalipun, bisa saja nasibnya 

berbeda atau bertentangan.

Analisa Telaah atau Ramalan Terhadap 

Penanggalan Tionghoa

Pada awal mulanya Shio digunakan 

sebagai sarana untuk menetapkan sistem 

perhitungan musim, masa panen, dan waktu 

kelahiran, yang selanjutnya digunakan 

sebagai sistem kalender yang pertama. 

Merrill C Tenney, menuliskan bahwa sistem 

kalender yaitu  salah satu praktek ilmu 

pengetahuan yang tertua. Tujuannya bukan 

hanya untuk pencatatan, namun  juga untuk 

memprediksi perkembangan-perkembangan  alam dan kehidupan. Dalam komunitas 

dimana kehidupan mereka bergantung pada 

kemungkinan hidup di setiap musim (untuk 

menanam, berburu, yang berganti-ganti tiap 

musim) mereka harus tahu waktu yang tepat 

untuk beraksi atau bertindak. 

Pada sekitar 2.679 SM, Kaisar Huang 

Ti (黃帝; Kaisar Kuning) memerintahkan 

salah seorang menterinya, Da Nao (大撓) 

beserta para ahli astronomi kerajaan, untuk 

mempelajari bintang-bintang guna 

menetapkan sistim perhitungan musim, masa 

panen, dan waktu kelahiran. Da Nao (大撓) 

mempersiapkan kalender pertama yang 

disebut Gan Zi atau Jia Zi, yang 

menggabungkan Batang Langit (Wu Xing; 

lima elemen) dan Cabang Bumi (12 shio), 

yang diumumkan sekitar tahun ke-61 masa 

pemerintahannya.20

Sama seperti agama atau kepercayaan 

dinamisme lainnya, bahwa ramalan sistem 

penghitungan musim merupakan jaminan 

sukses akan masa tanam atau berburu. Dan 

saat  sukses, warga  ini  harus 

mengadakan syukuran semeriah mungkin. 

Dalam kepercayaan yang benar semua itu 

palsu. Pengamatan-pengamatan harus 

dibuatkan daftar perencanaan yang 

memungkinkan komunitas itu bersatu dalam 

persaudaraan, pentahbisan atau pengabdian.  Secara teologis sistem kalender bergantung 

kepada imam untuk mengatur kalender, 

dengan kalkulasi yang bergantung pada 

bagian-bagian teks yang benar dari instruksi, 

terbagi sesuai dengan keahlian yang hanya 

dipunyai oleh seorang imam. Suatu tugas 

yang nyata-nyata diluar kemampuan bagi 

yang tidak berpengetahuan tentangnya.

warga  Perjanjian Lama 

memiliki  cara untuk mengukur perjalanan 

waktu. Kata Mo’ed, akar katanya berarti 

‘menentukan’, dan dipakai dan dipakai untuk 

masa-masa seperti bulan baru (Ul. 11:14; 

Mzm. 145:15; Yes. 49:8; Yer. 18:23). 

Alkitab tidak menekankan kesinambungan 

waktu yang abstrak, melainkan menekankan 

isi yang diberikan Allah terhadap waktu waktu tertentu dalam sejarah. Waktu ini 

disebut ‘linear’ (lurus memanjang) bukan 

‘siklis’ (berputar-putar) yang biasa dipakai 

oleh bangsa dan budaya lain di dunia kuno. 

Allah bergerak untuk mencapai penggenapan 

tujuan-Nya. Peristiwa-peristiwa itu tidak 

berlangsung begitu saja atau kembali ke titik 

awalnya, Allah berdaulat dalam menentukan 

saat-saat ini, bahkan Anak-Nya sendiri 

selama pelayanan jabatan-Nya di bumi tidak 

mengetahui hari atau saat dari penggenapan 

tujuan Allah (Mrk. 13:32; Kis. 1:7).  Kedaulatan Allah mencakup juga saat-saat 

dari hidup perseorangan.

Dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus 

berkata pada orang banyak: “Apabila kamu 

melihat awan naik di sebelah barat, segera 

kamu berkata: Akan datang hujan, dan hal itu 

memang terjadi. Dan apabila kamu melihat 

angin selatan bertiup, kamu berkata: Hari 

akan panas terik, dan hal itu memang terjadi. 

Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan 

langit kamu tahu menilainya, mengapakah 

kamu tidak dapat menilai zaman ini?” (Luk. 

12:54-56). Kalimat “menilai zaman ini” 

(Yunani:  ; Inggris: an appointed time, 

season; Ind: suatu masa, musim) pada ayat 56 

di implementasikan dengan membandingkan 

antara mengobservasi perubahan cuaca 

dengan “waktu” Tuhan akan masa itu, 

dimana Tuhan berbicara tentang kesempatan 

dan tanggungjawab. Disini, kata “orang 

munafik” memberi tekanan akan 

ketidakmampuan mereka mengerti, menaati 

Kitab Suci, tidak mengandalkan Tuhan,

sehingga menimbulkan ketidakmampuan 

mereka menterjemahkan keadaan “waktu 

sekarang”.

Sekalipun orang Ibrani memakai 

kalender yang didasarkan atas perhitungan 

bulan (kalender solar), namun mereka 

sebagai petani cenderung menyebut bagian bagian tahun dengan musim daripada dengan 

nama-nama atau bilangan-bilangan bulan.

Tahun (syana) pertama dihitung mulai 

dengan bulan musin rontok (yang ketujuh 

pada tabel), yaitu bulan Tisyri (Kel. 23:16; 

34:22), juga awal tahun sabat (Im. 25:8-10). 

Perhitungan bulan dimulai sejak bulan sabit 

terkecil pertama kali muncul setelah matahari 

terbenam. Karena tahun yang 

perhitungannya berdasarkan peredaran bulan 

kurang sebelas hari lebih pendek dibanding 

tahun berdasarkan peredaran bumi, maka 

secara berkala disisipkan bulan ketigabelas 

agar hari tahun baru tidak jatuh pada hari 

sebelum musim semi tahun itu (Maret-April).

Mengamati waktu siang dan waktu 

malam salah satu hari musim rontok, yaitu 

pada akhir tahun (Kel. 23:16) dan mengamati 

waktu siang dan waktu malam salah satu hari 

musim semi, yang disebut pergantian tahun 

(2 Taw. 36:10) penting bagi pengaturan 

kalender, dan demikian juga bagi pengaturan 

hari raya. Analisa Jalan Hidup Manusia sebagai 

Kedaulatan Tuhan

Berdasar atas pikiran orang China 

yang sangat dipengaruhi oleh dua kebutuhan 

fundamental berikut: ketertiban dan harmoni 

dalam kehidupan berwarga . Ketertiban 

dan harmoni berwarga  yaitu  ajaran inti 

Konfusius, yang percaya bahwa hanya 

ketertiban yang dapat memberikan 

kebebasan sejati.27 Selain itu, orang 

Tionghoa percaya bahwa sukses dalam 

kehidupan didasarkan pada lima pengaruh 

yang urutannya sebagai berikut: Nasib 

(Ming), Keberuntungan (Yun) , Lingkungan 

(Feng Shui), Sifat dan kebajikan (Dao de), 

Usaha dan pendidikan (Du Shu).Terhadap 

pemberlakuan Shio dalam hidup dan 

kehidupan warga  Tionghoa 

menunjukan kenyataan yang kurang 

menggembirakan. Memakai perlambang 

binatang dalam menandai tahun kelahiran 

manusia, peruntungan, dan nasib seseorang 

pada kelanjutannya bukanlah suatu yang 

bijaksana. Jikalau orang-orang mencoba 

memperlakukan binatang dan manusia secara 

sama atau sejajar, akibatnya dalam dunia  nyata, bukannya bahwa binatang akan 

diperlakukan dengan lebih hormat sejak saat 

itu, melainkan bahwa manusia akan 

diperlakukan dengan kurang hormat.

Manusia ditempatkan pada posisi pada 

tempat tertinggi dalam ciptaan, dimahkotai 

sebagai raja atas ciptaan yang lebih rendah.

Karena manusia terbatas dan Allah 

tidak terbatas, apabila manusia akan 

mengenal Allah, maka pengenalan itu 

haruslah terjadi oleh pernyataan Allah atau 

manifestasi Allah sehingga manusia dapat 

mengenal Allah serta bersekutu dengan-Nya. 

Pernyataan Allah secara umum melalui: 

alam, sejarah, dan susunan manusia (Mzm. 

19:2; Rm. 1:20).31

Variabel Kedaulatan Tuhan atas 

Keselamatan

Setiap orang yaitu  makhluk ciptaan 

Allah yang dibuat menurut gambar dan rupa 

Allah. Mengenai jiwanya, manusia 

diciptakan dengan napas Allah (Kej. 1:26; 

Ayub 33:4; Peng. 12:7).32 Allah 

mengaruniakan kepada setiap manusia 

kekuatan-kekuatan personalitas atau kepribadian yang memungkinkan digunakan 

segenap kekuatan dan kemampuan untuk 

memuja dan melayani Allah Sang Pencipta. 

Kemampuan ini  ialah kecerdasan 

berpikir, sensibilitas, dan kehendak, bersama 

dengan kemampuan untuk membedakan 

serta memberikan dorongan, yang kita sebut 

hati nurani.33 Kemanusiaan yang sepenuhnya 

terjadi apabila kita berhubungan dengan 

Allah, melaksanakan kehendak-Nya dengan 

sempurna, sehingga menjadi manusia 

sempurna yang seutuhnya. Charles Hodge 

mengatakan:

“Allah yaitu  Roh, jiwa manusia yaitu  roh 

juga. Sifat-sifat hakiki dari roh ialah akal 

budi, hati nurani, dan kehendak. Roh yaitu  

unsur yang mampu bernalar, bersifat moral, 

dan oleh karena itu juga berkehendak bebas. 

saat  menciptakan manusia menurut 

gambar-Nya Allah menganugerahkan 

kepadanya sifat-sifat yang dimiliki-Nya 

sendiri sebagai roh. Dengan demikian 

manusia berbeda dari semua makhluk lain 

yang mendiami bumi ini, serta berkedudukan 

jauh lebih tinggi daripada mereka. Manusia 

termasuk golongan yang sama dengan Allah 

sendiri sehingga ia mampu berkomunikasi 

dengan Penciptanya. Kesamaan sifat antara 

Allah dengan manusia ini, juga merupakan 

keadaan yang diperlukan untuk mengenal 

Allah dan karena itu merupakan dasar dari 

kesalehan kita. Bila kita tidak diciptakan 

menurut gambar Allah, kita tidak dapat 

mengenal Dia. Kita akan sama dengan 

binatang-binatang yang akhirnya binasa. Roma 5: 16-17, 24; ayat-ayat ini 

menjelaskan bahwa orang yang menjadi 

milik Kristus Yesus, yang di dalamnya telah 

dihuni Roh Kudus, tetap masih memiliki 

daging, bahkan dagingnya masih luar biasa 

kuatnya. Ayat 24, “Siapa saja yang menjadi 

milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan 

daging dengan segala hawa nafsu dan 

keinginannya”, ayat ini khusus 

memperhatikan aspek dosa daging. 

Sedangkan ayat 17, “… Sebab keinginan 

daging berlawanan dengan keinginan Roh 

dan keinginan Roh berlawanan dengan 

keinginan daging ”, ayat ini memperhatikan 

aspek ego daging. Dua ayat ini menjelaskan, 

melalui salib, Kristus membebaskan orang 

yang percaya dari kuasa dosa, hingga dosa 

tidak berkuasa lagi, sedang melalui 

berhuninya Roh Kudus di batin orang 

percaya, dari hari ke hari membuat mereka 

mengalahkan ego, hingga mereka mutlak taat 

kepada-Nya. Perhatikan bagaimana kerasnya 

ilustrasi yang Tuhan Yesus berikan tentang 

ketidaktaatan.36 Terlepas dari dosa yaitu  

perkara yang telah genap, sedangkan 

menyangkal ego yaitu  perkara yang harus 

dikerjakan setiap hari. Variabel Kedaulatan Tuhan atas Kesuksesan

Jaminan utama keberhasilan hidup 

orang Kristen yaitu  Tuhan (Ul. 28:1-14). 

Kebenaran ini didasarkan atas Janji berkat 

Tuhan dimana dia telah menyiapkan berkat 

yang melimpah “…bagaikan sumber air 

yang tidak pernah kering – kepada umat Nya”. Suatu hal yang pasti dari Tuhan bagi 

umat-Nya ialah ditetapkannya rancangan 

berkat dengan damai sejahtera yang penuh 

bagi umat-Nya (Yer. 29:11). Seperti sikap 

Bartimeus kepada Tuhan Yesus (Mark. 10: 

46-52). Bartimeus yang buta, tidak 

membiarkan kebutaan menghalangi berkat 

Tuhan. Bartimeus bertindak menggapai apa 

yang diberi Tuhan. Inilah contoh sikap iman 

yang menjadi dasar penopang umat untuk 

berhasil dalam hidup.

 

Tuhan sendiri telah menjanjikan 

sukses itu kepada segenap umatnya (kej. 

12:1-3; Bil. 27; 28: 1-14) yang diperlukan 

yaitu  keberanian untuk mempercayai 

Tuhan atas kesuksesan ini  dengan 

melakukan keyakinan ini  dalam 

kehidupan dengan tindakan nyata.39 Dunia 

melihat sukses sebagai tujuan hidup, tapi 

perlu disadari oleh orang percaya bahwa 

sukses yaitu  sebuah akibat, tidak lebih dari 

itu.

 Orang dunia, khususnya kaum 

Tionghoa, sebagian besar selalu menekankan 

secara ekstrem tentang kekayaan materi 

sebagai lambang kesuksesan, dan banyak

orang Kristen beranggapan bahwa 

kemiskinan yaitu  jalan yang yang 

berlawanan dengan dunia dan dikehendaki 

Tuhan (I Sam. 2:7). Tuhan tidak pernah 

mengatakan bahwa orang miskin yaitu  

umatNya.40 Disamping itu, mulai banyak 

paham yang berasumsi bahwa kemiskinan 

yaitu  buruk dan tidak rohani dan kekayaan 

identik dengan dengan pertumbuhan rohani. 

Allah harus membuat mereka kaya agar 

nama Allah terjaga dan tidak dipermalukan. 

Mereka juga ingin menunjukan bahwa 

kekayaan materi yaitu  kesaksian hidup 

bersama Allah. Dan apabila Allah tidak 

menjadikan mereka kaya, mereka berusaha 

menolong Allah dengan menggunakan 

kemampuan dan rencana sendiri.

Kenyataan ini yang mengakibatkan 

Kekristenan suku Tionghoa masih diwarnai 

sinkritisme tentang usaha mereka 

menggunakan Shio sebagai sarana menelaah 

atau meramal untuk mencari peruntungan 

dalam usaha dan karir mereka. 

Kekayaan yang sesungguhnya 

dimaksud oleh Alkitab yaitu  berupa 

kekayaan rohani, yaitu, mengenal Kristus,  menderita karena Kristus (Ibr. 11:26; Mat. 

5:11-12), memiliki kasih yang melimpah 

(1Tes. 3:12), suka memberi dan membagi (II 

Kor. 8:2-3), kaya dalam iman, pengetahuan 

dan perkataan (Kol. 2:2-3, II Kor. 8:7).42

Variabel Kedaulatan Tuhan atas Pernikahan

Pernikahan Kristen yaitu  

pernikahan yang unik dan tidak sama dengan 

pernikahan-pernikahan yang lain, oleh 

karena iman keselamatan di dalam Tuhan 

Yesus Kristus dan kehidupan yang 

didasarkan atas kesaksian Alkitab 

menghasilkan keunikan-keunikan yang tidak 

dimiliki dunia. Pernikahan Kristen yaitu  

inisiatif Allah oleh karena kesaksian Alkitab 

bahwa pada mulanya Allah yang berinisiatif 

untuk mendirikan lembaga pernikahan (Kej. 

2:18,24). Mengetahui bahwa pernikahan 

yaitu  inisiatif Allah akan membawa 

dampak yang luas, baik dalam pengertian 

tentang motivasi dan tujuan setiap 

pernikahan, maupun dalam penilaian atas 

setiap aspek kehidupan pernikahan itu 

sendiri.

Bandingkan dengan warga  

Tionghoa yang sebagian besar berpatokan 

kepada ramalan Shio. Banyak pantangan 

bagi pasangan Tionghoa yang mau menikah Pada waktu gadis dilamar, jika umur atau 

Shio pemuda ‘jiong’ menurut ramalan Shio 

maka pinangannya akan ditolak.

Mengakui bahwa pernikahan 

merupakan inisiatif Allah berarti mengakui 

adanya tujuan Allah yang agung dari 

pernikahan. Pernikahan Kristen bukan hanya 

proses munculnya kematangan pribadi, 

keinginan untuk mempertanggungjawabkan 

kebutuhan seksual, membentuk rumah 

tangganya sendiri, bekerja dan 

mengumpulkan harta benda, menikmati 

kehidupan keluarga, melahirkan dan 

mendidik anak-anaknya. Kalau Allah yang 

hidup yaitu  Allah yang berinisiatif untuk 

membentuk lembaga pernikahan, maka 

pastilah lembaga pernikahan memiliki  

tujuan yang agung, lebih daripada sekedar 

manifestasi dari hukum alam. Allah 

memiliki  tujuan yang kekal dengan 

pernikahan, dan tujuan itu hanya dapat 

dipahami jikalau pernikahan ditempatkan di 

dalam konteks keselamatan Allah dalam 

Kristus.

Di bawah ini dijelaskan pernikahan 

yang berhasil menurut iman Kristen. 

Pertama, di luar keselamatan dalam Kristus, 

pernikahan tidak memiliki keunikan sama 

sekali. Kasih Agape yang menyatukan  pasangan hanya ada dalam Kristus, tujuan 

pernikahan untuk mengerjakan pekerjaan 

Allah hanya dapat dimengerti oleh mereka 

yang sudah hidup dalam Kristus, melahirkan 

dan mendidik anak-anak bagi kemuliaan 

Allah sama sekali asing bagi mereka yang 

tidak mengenal janji anugerah Allah dalam 

Kristus, panggilan Allah bagi suami untuk 

menjadi kepala dan istri menjadi penolong 

yang sepadan hanya dapat diterima oleh 

mereka yang takut akan Allah, dan Alkitab 

sebagai standart yang mutlak untuk menilai 

motivasi, sikap, dan tingkah laku akan 

kehilangan nilainya sebagai Firman Allah 

dan menjadi relatif jikalau pasangan tidak 

hidup dalam Kristus. Kedua, di luar Kristus, 

pernikahan Kristen hanya memiliki 

perbedaan, dan bukan keunikan, karena di 

luar keselamatan dalam Kristus, apa yang 

disebut pernikahan Kristen hanyalah 

pernikahan dengan upacara Kristen di dalam 

gereja. Ketiga, di luar Kristus manusia tidak 

akan mengakui bahwa pernikahan mereka 

yaitu  inisiatif Allah seperti yang disaksikan 

Alkitab, karena tidak ada dasar untuk 

pengakuan ini . Hanya pasangan yang 

sudah mengalami keselamatan dalam Kristus 

yang bersedia mempertanggungjawabkan 

kehidupan pernikahan mereka kepada Allah. 

Tingkah laku, kata-kata, cara hidup, 

keputusan-keputusan yang diambil dan 

setiap jalan kehidupan pernikahan akan 

mendapatkan keunikannya tersendiri oleh  karena kepercayaan mereka kepada Kristus 

dan Firman-Nya. Keempat, bagi pernikahan 

di luar Kristus, pernikahan seringkali 

hanyalah bagian dari proses alamiah. Lain 

halnya dengan pernikahan Kristen. Allah ada 

dan Dia memberikan diri-Nya menjadi 

inisiator dari pernikahan anak-anak-Nya. 

Pimpinan nyata pada saat anak-anak-Nya 

berjalan dalam terang kebenaran Firman-Nya 

dan bukan berjalan dalam selera dan 

kemauan pribadinya semata-mata. 

Pengakuan akan kasih, kebijaksanaan dan 

kedaulatan Allah membuat mereka rela 

bergaul secara Kristiani dengan setiap orang 

percaya yang dilibatkan Allah dengan dirinya 

(termasuk dengan mereka yang tidak sesuai 

dengan seleranya, atau yang ‘jiong’ 

Shionya). Karena melalui proses pergaulan 

yang bersih dan jujur itulah mereka dipimpin 

Allah, melihat tanda-tanda sebagai dasar 

pertimbangan, dan akan menemukan jodoh 

yang disediakan baginya. Dengan demikian 

dapat dipahami bahwa pernikahan atas dasar 

inisiatif Allah, akan menimbulkan 

penghargaan atas apa yang sudah 

dipersatukan Allah. Dan sebagai orang 

percaya, dapat menerima dan menjalani kata kata Tuhan Yesus bahwa, “apa yang telah  dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan 

manusia” (Mat. 19:6).

Temuan Biblikal terhadap Ramalan

Nabi-nabi di Alkitab bernubuat 

bukan meramal, karena: pertama, mereka 

yaitu  pelayan Firman Allah. Kedua, nubuat 

timbul karena nabi-nabi berbicara atas nama 

Yang Mahakudus Pemerintah sejarah. 

Ketiga, nubuat tampaknya termasuk dalam 

gagasan asasi dari pelayanan kenabian (Ul. 

18:9).

Dalam Alkitab, ramalan dilakukan 

oleh nabi-nabi palsu. Pada saat Mikha dan 

Zedekia berhadapan dengan raja Ahab, yang

seorang memperingatkan akan terjadi 

kekalahan, sedang yang seorang lagi 

menjanjikan kemenangan, padahal keduanya 

berdasarkan “ramalan” mereka atas 

kewibawaan Tuhan (1 Raj. 22). Bagaimana 

dapat membedakan mana yang benar dan 

mana yang palsu?49 Perhatikan saat  

Yeremia menghadap Hananya, Yeremia 

membungkuk di bawah sebuah gandar 

melambangkan perbudakan, tapi Hananya  mematahkan gandar itu melambangkan 

kebebasan (Yer. 28). Suatu peristiwa yang 

lebih ekstrim, seperti nabi tua di Betel 

membawa kembali ‘abdi Allah’ dari Yehuda 

dengan amanat palsu, dan kemudian 

menghadapkannya dengan firman Allah 

yang benar (1 Raj. 13:18-22). Hal 

membedakan nabi sama sekali tidak bersifat 

akademis, tapi sepenuhnya penting secara 

rohani. Sifat-sifat lahiriah tertentu yang 

umum pada seseorang nabi atau peramal 

disarankan untuk membedakan antara yang 

benar dan yang palsu. Pertama, bahwa 

ekstase50 kenabian itu menjadi tanda nabi 

yang palsu. Dicatat bahwa ekstase kelompok 

menjadi tanda umum ‘navi’ pada zaman 

Samuel (1 Sam. 9-10). Kedua, bahwa nabi nabi palsu yaitu  pelayan-pelayan yang 

mengabdi kepada raja demi kepentingan 

mereka, bukan kepentingan Allah. Jadi 

mereka hanya mengucapkan kata-kata yang 

akan menyenangkan raja. Ketiga, amanat 

mereka. Amanat itu ialah amanat damai dan 

optimisme yang dangkal (Yeh. 13:10-16), 

dan tanpa isi moral, mendukakan orang yang  benar, dan meninggikan yang jahat (Yeh. 

14:4-5), sebab firman Tuhan senantiasa 

yaitu  firman yang menentang dosa (Yeh. 

14:7-8).

Dalam masa kini, bagaimana umat 

Kristen menghadapi dan menyikapi masa 

depan yang dirasa tidak menentu? Firman 

Tuhan berkata bahwa Tuhan akan 

memelihara kita di masa-masa sulit sekalipun 

(Yes. 46:4). Janji Tuhan dalam Yohanes 

14:16-18, bahwa Tuhan akan memberikan 

Roh Kudus yang akan menolong, menyertai, 

dan diam di dalam umat-Nya, dan tidak akan 

meninggalkan umat-Nya sebagai yatim piatu. 

Dalam polemik dunia yang semakin tidak 

menentu inipun, umat Kristen dituntut bijak 

“membaca zaman” tanpa meninggalkan 

kebenaran Firman Tuhan, metode ilmiah ini 

akan memberikan wawasan tentang apa yang 

akan terjadi di tahun-tahun mendatang. 

Pertama, pertumbuhan ekonomi global 

masih akan melambat dikarenakan Amerika 

belum bangkit sepenuhnya dari krisis 

finansial mulai tahun 2008, sementara krisis 

hutang yang menghantam Yunani dan

merembet ke Portugal dan Spanyol mulai 

mengindikasikan adanya krisis finansial 

global jilid 2 yang lebih parah dari krisis 

tahun 2008. Kedua, perdagangan dunia yang 

diwarnai dengan perang kurs antar negara  dalam rangka melindungi kepentingan 

nasional masin-masing Negara, terutama 

Amerika dan China yang mengarah pada 

krisis ekonomi yang diakibatkan oleh inflasi. 

Ketiga, politik internasional yang suram 

dengan dengan berbagai perang dan ancaman 

teroris radikal. Keempat, perubahan iklim 

yang ekstrem mempengaruhi hasil tanam, 

baik pertanian, perkebunan, dan perikanan. 

Bahkan terjadi badai dan bencana yang 

melanda berbagai negara seperti China, 

Filipina, dan bahkan Indonesia.

Jadi untuk mengetahui masa depan, 

nasib, dan peruntungan, sebagai umat Kristen 

sangat tidak tepat jika berpaling kepada 

ramalan yang membawa kepada okultisme. 

Yang diperlukan yaitu  ketaatan kepada 

Firman Tuhan, doa dalam kerendahan hati 

kepada Tuhan disertai perenungan terhadap 

Firman Tuhan, agar mendapat bimbingan 

dari Roh Kudus. Maka apapun situasinya, 

Allah akan membawa umat-Nya mengatasi 

masa-masa sulit dalam damai sejahtera 

kasih-Nya (Mzm. 1:1-6). 

Temuan Biblikal terhadap Penanggalan 

Kanaan sering disebut tanah yang 

subur (berlimpah susu dan madu). Allah 

memberikan tanah itu bukan semata-mata 

tanpa usaha sebagai prosesnya, melainkan  semua itu dapat dinikmati oleh Israel bila ia 

mengusahakan tanah ini . Implikasinya 

yaitu  bahwa manusia memang harus 

bekerja keras dan berusaha untuk mendapat 

makanan atau mempertahankan hidupnya.

saat  budaya Tionghoa 

mempraktekan Shio dalam penanggalan, 

seperti dijelaskan diatas bahwa sejarah 

mencatat kebudayaan Israel dan bangsa bangsa lain yang ada  di Alkitab 

mempraktekannya juga. Allah sendiri 

membuat peraturan yang harus dipelihara 

bangsa Israel tentang perayaan hari-hari raya 

dan musim menabur dan menuai (Kel. 23:14-

17). Dari ineransi Alkitab tentang 

pemahaman praktek penanggalan dapat 

dipakai sebagai tolak ukur bagi umat Kristen 

Tionghoa untuk mempraktekan Shio sebagai 

tanda pada penanggalan.

Temuan Biblikal terhadap Jalan Hidup 

Manusia

Variabel Keselamatan dalam Jalan Hidup

Alkitab menyajikan hanya satu 

langkah menuju keselamatan. saat  kepala 

penjara di Filipi bertanya “…. Apakah yang 

harus aku perbuat, susaha  aku selamat?” 

Paulus menjawab, “Percayalah kepada 

Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan 

selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kis.  16:30-31). Iman kepada Yesus Kristus 

sebagai Juruselamat yaitu  satu-satunya 

langkah kepada keselamatan. Berita Alkitab 

sudahlah jelas, semua manusia sudah berdosa 

kepada Allah (Rm. 3:23). Karena dosa, 

manusia terpisah dengan Allah untuk selama lamanya (Rm. 6:23). Hanya karena kasih Nya (Yoh. 3:16), Allah mengambil wujud 

manusia dan mati menanggung hukuman 

yang sepantasnya diterima manusia (Rm. 

5:8; 2Kor. 5:21). Oleh anugerah melalui 

iman, Allah menjanjikan pengampunan dosa 

dan hidup kekal di surga bagi semua yang 

menerima Yesus sebagai Juruselamat (Yoh. 

1:12; 3:16; 5:24, Kis. 16:31).54

Sebagaimana bangsa Israel sebagai 

umat Tuhan menerima tanah perjanjian 

sebagai anugerah dan harus hidup di 

dalamnya dengan penuh tanggungjawab, 

umat Kristen juga menerima keselamatan 

sebagai anugerah dan dengan “takut dan 

gentar” menghasilkan buah-buah 

keselamatan dalam segala perbuatan baik. 

Keselamatan dalam Kristus tidak cuma 

berlaku di bumi sekarang ini, namun  juga 

bumi yang akan dibarui. Memang 

kebangkitan dari orang mati merupakan 

puncak hidup dalam Kristus (Yoh. 6:39, 44, 

54). Namun secara keseluruhan, Injil 

menekankan hidup selamat di bumi, hidup  benar di bumi, hidup sejahtera di bumi, dan 

pada akhirnya hidup bersama Tuhan di Surga 

kekal abadi.

Variabel Kesuksesan dalam Peruntungan 

(Hokki)

Sukses yaitu  konsekuensi, bukan 

kebetulan semata-mata. Itu yaitu  

konsekuensi tindakan kita yang tepat waktu 

dan kepercayaan kita yang tidak lekang oleh 

zaman. Lama sebelum ilmu mengemukakan 

prinsip bahwa semua aksi punya reaksi 

(konsekuensi), Alkitab sudah menjajikan hal 

yang sama.56

Sebagai seorang Kristen, menakar 

kesuksesan berdasarkan Shio merupakan 

langkah yang terlalu tergesa-gesa dan 

merendahkan harkat manusia sebagai 

“gambar dan citra Allah”. Gambaran diri 

manusia bersifat rasional, namun  sangat 

mempengaruhi sikap setiap orang. Sehingga 

rasio dan rasionalisasi positif akan 

mewujudkan sikap yang positif juga. 

Pertama, pengembangan pikiran positif. 

Kembangkan kemauan untuk memikirkan 

hal-hal positif (Kol. 3:1-2; Fil. 4:8-9). 

Selanjutnya, kembangkan kebiasaan untuk 

memikirkan hal positif (I Kor. 15:31; Rm. 

12:1-2, 9-21). Kedua, pengembangan sikap 

positif, melalui cara: (1) Sikap proaktif dan  antisipatif, untuk siap berkembang 

menghadapi kemungkinan yang ada. (2) 

Sikap inovatif dan kreatif, menemukan hal 

baru guna bekerja lebih baik. (3) Sikap 

sinergetis, untuk berpikir komprehensif 

(luas, meliputi banyak hal). (4) Sikap selektif 

proporsional, untuk mengambil tindakan 

yang tepat. (5) Sikap antusias untuk 

membangkitkan dan mempertahankan 

semangat hidup serta kerja dalam segal 

kondisi. (6) Sikap asertif, kemampuan untuk 

melihat aspek negative dan positif serta 

mengambil keputusan yang tepat. (7) Gaya 

perseverans, untuk mengembangkan 

ketabahan guna bertahan dalam segala 

kondisi atau situasi. (8) Sikap kritis untuk 

tidak terjebak, yang menolong untuk 

membuat penilaian dan keputusan yang 

tepat. (9) Sikap pragmatis-produktif, untuk 

terus mendatangkan atau mencipta hal-hal 

yang membangun serta membawa 

keberhasilan.

Pengembangan diri dari sisi 

psikologis, kalahkan sikap pesimis dengan 

berkata saya akan bangkit, kalahkan perasaan 

kuatir dalam diri dengan berkata masih ada 

cara lain untuk maju dan berhasil, berikanlah 

semangat kepada diri sendiri, jadikan setiap 

hari sebagai hari yang baik, tolaklah sikap 

menanti nasib. Dari sisi rohani, awali setiap  hari dengan doa, doakanlah semua hal, dan 

semua orang yang berkaitan langsung dengan 

anda, ucapkanlah keinginan dalam doa untuk 

berbuat baik kepada semua orang pada setiap 

saat (Mat. 7:12; Gal. 6:9-10). Dari sisi sosial, 

binalah hubungan baik dengan semua orang, 

perbaiki hubungan yang retak, berpantanglah 

untuk menyalahkan orang lain, situasi dan 

kondisi yang dihadapi dan siap mengoreksi 

diri, mulailah dengan senyum atau sopan dan 

ramah kepada siapa saja, bukalah mata untuk 

mengenal orang lain, tahu tempat dan waktu, 

bicaralah sepatutnya. Dari sisi ekonomi, 

bekerja dengan benar, baik, keras dan lebih 

setia. Menciptakan iklim kerja yang kondusif 

bagi diri sendiri dan orang lain. Uang bukan 

tujuan akhir, namun  uang digunakan untuk 

mencapai tujuan. Tidak mengalah pada 

kegagalan melainkan bangkit untuk berhasil. 

Sukses yaitu  bagian dari kerja, bukan tujuan 

akhir.

Variabel Kesuksesan dalam Pasangan Hidup 

atau Pernikahan

Untuk memulai suatu hubungan yang 

baik, ada teori yang Alkitabiah yang akan 

menjamin kelangsungan suatu hubungan 

ini , yaitu: dari sisi psiko-emosional, 

menyangkut sikap diri terhadap diri sendiri. 

Sikap ini berkenaan dengan rasa hormat 

(esteem) kepada diri berdasarkan nilai-nilai, 

serta harga sosial yang telah dibakukan  dalam diri yang bersifat subyektif. Hakekat 

dan nilai diri bisa membuat seseorang tegak 

dan tegar, namun  bisa juga membuat orang 

menjadi inferior serta cenderung menyesali 

serta menyusahkan diri sendiri. Secara 

Kristen, sikap penghargaan subyektif bagi 

diri dapat dikembangkan dengan cara 

berikut: kenyataan rohani, yakin bahwa diri 

bernilai atau berharga di mata Tuhan (Ul. 

16:15). Menerima diri sebagai anugerah 

Tuhan dan mensyukurinya. Bersyukur atas 

pengampunan Tuhan. Bersyukur atas 

anugerah menjadi manusia baru bagi-Nya (II 

Kor. 5:17). Kenyataan psikologis, menolak 

kecenderungan memikirkan masa lalu yang 

suram, yang gagal, yang memalukan, yang 

merendahkan, yang mungkin dipendam 

selama ini. Tolak perasaan yang 

meremehkan diri sendiri. Tersenyum dan 

yakin bahwa masa depan pasti cerah. 

Kenyataan sosial budaya, Tolak pikiran 

bahwa status sosial diri lebih rendah atau 

lebih tinggi dari orang lain. Percaya diri 

untuk belajar menempatkan diri secara layak 

di tengah warga . Tolak sikap 

menganggap diri penting, bersikaplah wajar, 

sehingga menjadi individu yang relevan bagi 

diri dan orang lain. Buktikan diri dengan 

kesetiaan, dalam perkataan dan perbuatan, 

semua ini akan bersaksi, menjadikan diri 

layak dipercaya, layak diandalkan.  Kenyataan individu, lebih mengenal diri 

sehingga tahu apa yang terbaik bagi diri 

sendiri. bercermin dari sikap orang lain 

terhadap diri, karena sikap orang lain yaitu  

reaksi atau pencerminan sikap diri seseorang. 

Menghargai diri sendiri dan orang lain. Buat 

daftar kekuatan dan kelemahan diri, coret 

daftar kelemahan dengan tinta merah dan 

berkata, “Kekuatanku telah menelan 

kelemahanku oleh kasih Tuhan”.

Dalam pernikahanpun, ada  

kunci-kunci yang Alkitabiah mengenai 

tingkah laku yang akan sangat membantu 

keberhasilah hubungan suatu pernikahan, 

yaitu: pertama, kedewasan. Inti dari 

kedewasaan yaitu  ketidakegoisan. Jika 

seseorang tidak diberi disiplin yang 

sebagaimana mestinya, maka dia akan 

memasuki pernikahan dalam keadaan tidak 

dewasa, sehingga kemauannya harus selalu 

dituruti dalam hampir setiap situasi. Sikap 

seperti ini, akan sangat sukar disadari dan 

diakui oleh orang yang tidak dewasa, dan 

merupakan suatu hal yang akan 

mencelakakan pernikahan. Cara untuk 

mengatasi egoisme yaitu : akuilah bahwa 

egoisme itu dosa dan jangan mencoba 

bersembunyi di balik kesuksesan akdemis 

maupun ekonomi untuk menutupi 

egoisme.60 Konflik biasanya disebabkan oleh 

keinginan-keinginan yang berbeda yang  membutuhkan ketidakegoisan untuk 

menyesuaikan diri. Justru perkawinan yang 

tidak pernah mengalami pertengkaran pada 

umumnya merupakan perkawinan yang kaku 

ataupun tidak serasi dimana ada aspek yang 

disembunyikan dan telah dikompromikan 

dalam usaha untuk menipu orang lain bahwa 

ada perdamaian dan keharmonisan dalam 

pernikahan. Masalah yaitu  ujian untuk 

menguji kedewasaan. Tapi belum tentu juga 

pertengkaran merupakan jawaban yang 

benar. Menurut sistem perekonomian Tuhan, 

seseorang tidak akan pernah mendapatkan 

sesuatu dengan cara mengharapkan saja akan 

memperolehnya dari orang lain. Cara 

mendapatkan sesuatu yaitu  dengan 

memberikan hal itu kepada orang lain. 

Sebagai contoh, jika menginginkan cinta 

kasih, jangan mencarinya tapi berikanlah 

cinta kasih. Jika menginginkan teman, jangan 

mencoba mencarinya tapi jadilah orang yang

ramah tamah. Kedua, tunduk. Tuhan 

menghendaki pria sebagai kepala rumah 

tangga. Jika ini tidak terjadi maka pria tidak 

akan memiliki rasa tanggungjawab, dan di 

bawah sadarnya pria akan merasa menikah 

dengan ibunya yang kedua. Anak-anaknya 

akan segera mengetahui siapa bos dalam 

rumah tangga, dan mereka tidak atau kurang 

menghormati ayah mereka lagi. 

Sesungguhnya, rasa hormat yang alamiah  pada anak-anak terhadap ayahnya 

merupakan hal yang penting bagi 

penyesuaian diri mereka terhadap kehidupan. 

 Ketiga, kasih. Alkitab berkata bahwa 

kasih seorang suami terhadap istrinya 

seharusnya sama dengan kasih terhadap 

dirinya sendiri dan dengan penuh 

pengorbanan (Ef. 5:25). Tidak ada seorang 

wanita pun yang tidak berbahagia bila 

diberikan kasih semacam itu. Dan suami 

yang memberikan kasih semacam itu akan 

menjadi penerima suatu bentuk kasih yang 

penuh pengorbanan.63 Keempat, komunikasi. 

Semua perbedaan dan persoalan dalam suatu 

pernikahan tidak merupakan hal yang 

berbahaya. Yang berbahaya ialah, 

ketidakmampuan untuk berkomunikasi 

mengenai segala perbedaan atau persoalan 

itu. Alkitab mengajarkan untuk “menyatakan 

kebenaran dengan hati penuh kasih” (Ef. 

4:15, terj. Kabar Baik) yang dapat 

ditunjukkan dengan dua kata, yaitu: maafkan 

aku, dan aku mengasihimu. Kelima, doa. 

Kunci dari pernikahan yang berbahagia 

tidaklah lengkap bila tidak menyertakan doa. 

Doa kepada Allah Bapa di Surga yaitu  alat 

komunikasi yang paling baik diantara dua  orang. Yang terakhir yaitu  Kristus.Bila 

dua orang secara pribadi berhubungan 

dengan tepat kepada Kristus, mereka 

kemungkinan akan menjadi sangat besar 

untuk berhubungan dengan tepat satu pada 

yang lain. Yesus Kristus sebagai Juruselamat 

pribadi, akan menjadi Tuhan dan Juruselamat 

dalam pernikahan yang lestari.65 Bila ini 

terjadi, rumah tangga akan berjalan di dalam 

damai dan berkat yang kekal.66

Tanda-tanda pertumbuhan dalam 

pernikahan Kristen: pertama, pertumbuhan 

dalam kebenaran Firman Allah. Dari 

orientasi praktis menjadi berorientasi 

teologis dimana sikap dan tingkah laku suami 

istri berorientasi pada kebenaran Firman 

Allah. Kedua, pertumbuhan dalam kasih. 

Merupakan proses peralihan dari kasih 

natural yang subyektif menjadi kasih yang 

obyektif. Ketiga, pertumbuhan dalam 

komunikasi, yang juga ditandai dengan 

peralihan dari komunikasi monologis, ke 

komunikasi dialogis. Keempat, pertumbuhan 

dalam iman Kristen. Pertumbuhan yang 

sejati dalam hubungan suami istri ditandai 

dengan proses peralihan dari kasih dengan 

jiwa legalitas yang bersyarat, menjadi kasih  dengan jiwa anugerah Allah dalam Kristus 

yang tidak bersyarat, Sehingga masing masing mereka dapat dengan tulus berkata, 

“Aku mengasihimu sebagaimana engkau 

ada, pada saat sehat maupun sakit, pada saat 

engkau menyenangkan perasaanku maupun 

pada saat engkau tidak berhasil menyukakan 

hatiku”. Inilah yang Galatia 5:13 disebut 

sebagai “kemerdekaan untuk mengasihi”.

Hasil mengenai makna “Janganlah 

kamu melakukan telaah atau ramalan” 

menurut Imamat 19:26b dan Pengaruhnya 

terhadap “Shio” pada budaya Tionghoa bagi 

umat Kristen, sebagai berikut: Pertama, 

Penerapan makna kitab Imamat 19:26b 

tentang “Janganlah kamu melakukan telaah 

atau ramalan” yaitu , mereka yang 

mempraktekkan “Shio” sebagai ramalan 

sama dengan sinkritisme, melakukan nubuat 

kosong, sama dengan berpaling kepada roh roh peramal, dan melakukan praktek 

okultisme. Allah menegaskan bahwa 

perbuatan ramal tidak boleh ada pada hidup 

orang percaya. Kedua, Tidak ada seorangpun 

di dunia ini yang dapat meramal apa yang 

dapat terjadi, karena Allah sendiri yang 

merencanakan dan mengatur segala sesuatu. 

Kristen sejati menyandarkan hidupnya 

kepada Allah, nasibnya ditentukan imannya  dan bukan ramalan (Gal. 4:8-10; 1Yoh. 4:4; 

Im. 19:31, 20:6). Kejadian-kejadian yang 

ada  dalam Alkitab bukanlah ramalan 

namun  nubuatan. Nabi-nabi di Perjanjian 

Lama maupun di Perjanjian Baru 

melakukannya atas arahan Allah. Misalnya: 

Abraham (nubuat Abimelekh kepada raja 

Gerar mengenai Sara. Kej. 20:7), nabi Yoel 

(bernubuat pada masa penguasa Raja Yoas, 

Amazia, dan Uzia), Amos (bernubuat pada 

masa pemerintahan Yerobeam II), Yunus 

(bernubuat pada pemerintahan Yerobeam II), 

nabi Hosea (bernubuat masa Yerobeam II, 

Zakharia, Salum, Menahem, Pekahya, Pekah, 

dan Hosea), sampai pada Maleakhi. Semua 

nabi-nabi itu pilihan Allah dan bernubuat 

atas arahan Allah. Ketiga, Sistem 

penghitungan musim dan kalender yaitu  

salah satu praktek ilmu pengetahuan yang 

tertua yang merupakan jaminan sukses akan 

masa tanam atau berburu. warga  

Perjanjian Lama memiliki  cara untuk 

mengukur perjalanan waktu (Ul. 11:14; 

Mzm. 145:15; Yes. 49:8; Yer. 18:23). Allah 

menekankan isi yang diberikan terhadap 

waktu tertentu dalam sejarah yang bersifat 

linear (lurus memanjang) dalam mencapai 

penggenapan-Nya, bukan secara siklis 

(berputar-putar). Dalam Perjanjian Baru, 

Tuhan Yesus mengimplementasikan 

observasi alam dengan membandingkan  perubahan cuaca dengan “waktu” Tuhan 

akan masa itu. Dimana umat Tuhan mengerti 

akan tanda-tanda alam secara harafiah namun  

tidak mampu menerjemahkan menurut Kitab 

Suci. Seperti umat Israel, warga  

Tionghoapun mempelajari bintang-bintang 

guna menetapkan sistem perhitungan musim, 

masa panen, dan waktu kelahiran. Cabang 

Bumi yang disimbolkan dengan 12 Shio, 

digabungkan dengan Batang Langit (lima 

elemen), dipersiapkan sebagai kalender 

pertama yang disebut Gan Zi atau Jia Zi. 

Keempat, Karena manusia terbatas dan Allah 

tidak terbatas, apabila manusia akan 

mengenal DIA maka pengenalan itu haruslah 

terjadi oleh pernyataan Allah atau 

manifestasi Allah sehingga manusia dapat 

mengenal DIA serta bersekutu dengan-Nya. 

Itulah yang dinamakan kedaulatan Allah. 


ilmu ushul fiqh 7

 



lehkan berbuka atau tidak berpuasa,  tanpa melihat 

                                                           

apakah swaktu safar ada  masyaqqah  (kesulitan) atau tidak. 

Sudah barang tentu dengan kewajiban mengqadha atau 

menggantikannya pada hari yang lain.   

Nabi Muhammad saw. terkadang membukakan puasanya 

dalam safar dan terkadang beliau berpuasa. selanjutnya beliau tidak 

memberi batasan tentang safar dan tidak menentukannya ada 

disebutkan dalam hadis yang sahih, bahwa penduduk Makkah 

pernah pergi beserta nabi ke Arafah, di sana mereka mengqashar 

shalat karena jarak Arafah dari Makkah hanya 21,367 km saja. Dan 

sahabat nabi berbuka ketika mereka mulai akan menempuh safar itu, 

dengan tidak mengingat apakah mereka telah keluar dari kota 

ataupun belum. 

Keterangan ini dilihat dalam sunan Abu Dawud dan Musnad 

Ahmad dan berita ini pula diakui baiknya oleh Tirmidzi. Suatu 

perjalanan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak 

dipermasalahkan  apakah mereka mereka telah keluar dari kota 

ataupun belum.  

Keterangan  ini dilihat dalam sunan Abi Dawud dan Musnad 

Ahmad dan berita ini pula diakuinya baiknya oleh Tirmidzi suatu 

perjalan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak 

pulang ke rumah sendiri pada hari itu juga diperbolehkan melakukan 

hukum rukhshah . 

Imam Al-Syafi’i, Malik dan Ahmad mensyaratkan safar yang 

berhak mendapatkan rukhshah  yaitu  safar yang mubah, yakni safar 

yang dibolehkan oleh syariat Islam, bukan safar dengan tujuan 

maksiat. Oleh karena itu bila  seseorang yang bepergian dengan 

niat untuk merampok atau memerangi umat Islam, maka tidak 

berhak atas atas rukhshah seperti mengqashar shalat atau tidak 

puasa pada bulan ramadhan. Hal ini  dikarenakan keringan an 

hokum itu tidak boleh dikaitkan dengan kemaksiatan atau 

membantu kemaksiatan. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah safar 

itu telah cukup menjadi alasan rukhshah, apakah safar itu hukumnya 

mubah atau maksiat. 

apakah swaktu safar ada  masyaqqah  (kesulitan) atau tidak. 

Sudah barang tentu dengan kewajiban mengqadha atau 

menggantikannya pada hari yang lain.   

Nabi Muhammad saw. terkadang membukakan puasanya 

dalam safar dan terkadang beliau berpuasa. selanjutnya beliau tidak 

memberi batasan tentang safar dan tidak menentukannya ada 

disebutkan dalam hadis yang sahih, bahwa penduduk Makkah 

pernah pergi beserta nabi ke Arafah, di sana mereka mengqashar 

shalat karena jarak Arafah dari Makkah hanya 21,367 km saja. Dan 

sahabat nabi berbuka ketika mereka mulai akan menempuh safar itu, 

dengan tidak mengingat apakah mereka telah keluar dari kota 

ataupun belum. 

Keterangan ini dilihat dalam sunan Abu Dawud dan Musnad 

Ahmad dan berita ini pula diakui baiknya oleh Tirmidzi. Suatu 

perjalanan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak 

dipermasalahkan  apakah mereka mereka telah keluar dari kota 

ataupun belum.  

Keterangan  ini dilihat dalam sunan Abi Dawud dan Musnad 

Ahmad dan berita ini pula diakuinya baiknya oleh Tirmidzi suatu 

perjalan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak 

pulang ke rumah sendiri pada hari itu juga diperbolehkan melakukan 

hukum rukhshah . 

Imam Al-Syafi’i, Malik dan Ahmad mensyaratkan safar yang 

berhak mendapatkan rukhshah  yaitu  safar yang mubah, yakni safar 

yang dibolehkan oleh syariat Islam, bukan safar dengan tujuan 

maksiat. Oleh karena itu bila  seseorang yang bepergian dengan 

niat untuk merampok atau memerangi umat Islam, maka tidak 

berhak atas atas rukhshah seperti mengqashar shalat atau tidak 

puasa pada bulan ramadhan. Hal ini  dikarenakan keringan an 

hokum itu tidak boleh dikaitkan dengan kemaksiatan atau 

membantu kemaksiatan. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah safar 

itu telah cukup menjadi alasan rukhshah, apakah safar itu hukumnya 

mubah atau maksiat. 

e. Kh atha’   (tersalah tidak sengaja)  

Khatha’  yaitu  perkataan atau perbuatan yang timbul dari 

seseorang karena ketidaksengajaan atau tidak cermat ketika 

melakukannya. Sebagai contoh, bila  seseorang berkumur-kumur 

dengan sengaja di dalam bulan ramadan dan tanpa disengaja air 

masuk ke dalam kerongkongannya. atau menembak burung, tetapi 

tertembak manusia, maka orang itu di hukum salah karena kurang 

hati-hati,  akan tetapi  hukumanya diringankan. 

Khatha’  ini menjadi alasan atau penghalang ahliyah atau 

kecakapan hukum seseorang, berdasar  hadis Nabi saw. : 

 

 )٠ٗحشـزطُح ٙحٝس( ِٚ ـ٤َْـَِػ ح ْٞ ُـِٛش ٌْ ُـظـْعح خـ َٓ  َٝ  ِٕ َخ٤ْغ ّـِ٘ـُح َٝ  ِؤَطـَخُْ ح ِٖ ـَػ َغِـكُس213 

 

Artinya : Dihilangkan (kecakapan hkumnya) dari orang yang 

tersalah, lupa atau terpaksa. (HR Al -Thabrani). 

  

berdasar  hadis di atas, para fukaha telah  sepakat bahwa 

khatha’ ini dapat menghilangkan dosa ukhrawi, karena dalam redaksi 

hadis di atas ada  kata yang tersembunyi setelah kata “ rufi’a ”, 

yaitu kata “ itsm ” yang berarti dosa.    

Dalam pada itu harus diketahui pula, apakah pekerjaan yang 

dirusakkan dengan tidak sengaja itu merupakan hak Allah ataukah 

hak hamba. bila  berupa hak Allah, maka  dimaafkan dan puasanya 

tidak rusak, karena kesilapan itu dipandang suatu uzur syarak, 

asalkan kesalahan itu benar-benar terjadi. Sebaliknya jika kerusakan 

itu terkait dengan hak manusia,  maka orang yang silap itu tidak 

dilepaskan sama sekali dari tanggung jawab. Hanya dialihkan 

hukumnya dari tanggung jawab orang yang bersengaja. Jika orang 

yang tertembak itu mati, ia dituntut membayar dengan seratus unta, 

tidak boleh dituntut qishas  (bela jiwa atau anggota) dan di suruh pula 

orang yang silap untuk membayar kafarat. 

f. Hu tang  

Dalam soal ini ini berlaku perselisihan seperti yang terjadi 

dalam soal safah menurut Abu H anifah, tidak boleh dibayarkan 

orang yang mempunyai hutang.  Abu Yusuf membolehkan kita 

membayarkan orang yang berutang dengan perintah hakim, jika 

utang itu menghabiskan hartanya dan diminta pula oleh orang yang 

berpiutang  kepadanya menurut pendapat Malik, boleh diampu 

dengan tidak memerlukan putusan hakim. boleh pemberi utang 

membatalkan tasarruf orang yang berhutang kalau  memelaratkan 

pemberi hutang ini , Syaikhulislam Taimiyah memilih pendapat 

Malik ini. Kata Ibnu Qayyim: “bila  utang -utang itu menghabiskan 

hartanya, tidaklah sah tabarrunya yang memberi melarat kepada 

para pengutang,baik telah di bayarkan oleh hakim maupun tidak. 

Inilah mazhab Maliki dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam.  

 

g. Paksaan  

Paksaan ialah mendesak seseoramg untuk mengerjakan atau 

mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak menginginkannya. Oleh 

karena dia tidak menginginkannya, sudah barang tentu dia tidak 

rela, karena keterpaksaan dan kerelaan tidak akan pernah 

menyatu.

Sebelum melanjutkan hal ini, baiklah kita bicarakan arti ikhtiar 

dan ridha. Ikhtiar ialah melakukan  sesuatu atas kehendak sendiri, 

sedang ridha ialah bersenang hati melakukannya. Segenap pekerjaan 

yang muncul  dari diri manusia yang sadar, tentu dengan 

kehendaknya. Hanya saja  ada kalanya kehendak itu benar, yaitu 

adakalanya pula kehendak itu tidak benar. H al yang sangat lazim 

yaitu  bahwa tidak semua perbuatan manusia itu dikerjakan dengan 

ridha serta suka hati, suatu saat seseorang akan melakukan suatu 

perbuatan karena keterpaksaan. 

Para ahli ushul H anafiyah membagi paksaan kepada dua 

bagian, yaitu: 

                                                          

f. Hu tang  

Dalam soal ini ini berlaku perselisihan seperti yang terjadi 

dalam soal safah menurut Abu H anifah, tidak boleh dibayarkan 

orang yang mempunyai hutang.  Abu Yusuf membolehkan kita 

membayarkan orang yang berutang dengan perintah hakim, jika 

utang itu menghabiskan hartanya dan diminta pula oleh orang yang 

berpiutang  kepadanya menurut pendapat Malik, boleh diampu 

dengan tidak memerlukan putusan hakim. boleh pemberi utang 

membatalkan tasarruf orang yang berhutang kalau  memelaratkan 

pemberi hutang ini , Syaikhulislam Taimiyah memilih pendapat 

Malik ini. Kata Ibnu Qayyim: “bila  utang -utang itu menghabiskan 

hartanya, tidaklah sah tabarrunya yang memberi melarat kepada 

para pengutang,baik telah di bayarkan oleh hakim maupun tidak. 

Inilah mazhab Maliki dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam.  

 

g. Paksaan  

Paksaan ialah mendesak seseoramg untuk mengerjakan atau 

mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak menginginkannya. Oleh 

karena dia tidak menginginkannya, sudah barang tentu dia tidak 

rela, karena keterpaksaan dan kerelaan tidak akan pernah 

menyatu.215  

Sebelum melanjutkan hal ini, baiklah kita bicarakan arti ikhtiar 

dan ridha. Ikhtiar ialah melakukan  sesuatu atas kehendak sendiri, 

sedang ridha ialah bersenang hati melakukannya. Segenap pekerjaan 

yang muncul  dari diri manusia yang sadar, tentu dengan 

kehendaknya. Hanya saja  ada kalanya kehendak itu benar, yaitu 

adakalanya pula kehendak itu tidak benar. H al yang sangat lazim 

yaitu  bahwa tidak semua perbuatan manusia itu dikerjakan dengan 

ridha serta suka hati, suatu saat seseorang akan melakukan suatu 

perbuatan karena keterpaksaan. 

Para ahli ushul H anafiyah membagi paksaan kepada dua 

bagian, yaitu: 

                                                           

1. Paksaa n yang mematikan, yaitu sesuatu paksaan, bila  

tidak dituntut binasalah jiwa atau anggota atau sesuatu 

paksaan yang tidak dapat diderita. 

2. Paksaan yang bila  tidak dituruti tidak mengakibatkan 

kematian, tidak membawa kepada hilangnya jiwa atau 

rusaknya anggota badan.  

 

Paksaan yang pertama, menghilangkan ikhtiar (kehendak) dari 

ridha (kerelaan) dan paksaan yang kedua, menghilangkan ridha tidak 

menghilangkan kebebasan berkehendak. Paksaan itu terjadi pada 

tiga perkara: 1) Perkataan yang tak dapat difasahk an; 2) Perkataan 

yang dapat difasahkan; 3) Perbuatan. Paksaan yang di bagian 

pertama (yang tak dapat difasahkan), menghasilkan maksud si 

pemaksa, umpamanya bila  seseorang memaksa kita menceraikan 

istri kita, jatuhlah talaknya. Paksaan yang di bagian  ke dua (yang 

dapat difasahkan) tidak  mewujudkan hukum, umpamanya: bila 

seseorang memaksa kita untuk menjual barang kita, maka penjualan 

yang kita lakukan itu tidak sah.  

 Adapun paksaan pada perbuatan, maka dibagi kepada 2 ( dua) 

macam, yaitu: 

1. Paksaan yang ti dak mungkin bahwa pelakunya menjadi alat 

atau berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pemaksaan. 

Hukum melakukan paksa makan atau berzina, merusakkan 

puasa. Hukum melakukan kesalahan di sini, tidak mengenai si 

pemaksa, karena itu rusaklah puasa yang tidak puasa  karena 

dipaksa. Tinggal lagi karena zina itu dilakukan dengan 

paksaan, ia dilepaskan dari hukum siksa. 

2.  P aksaan yang mungkin pelakunya menjadi alat atau ikut 

sereta dalam pemaksaan. Paksaan ini ada dua macam pula.  

a. Paksaan yang lazim karena mamandang s i terpaksa sebagai 

alat, berganti tempat kesalahan, atau berganti yang 

menerima kerusakan, maka pekerjaan yang dilakukan dengan 

paksaan semacam ini, tidak dialamatkan kepada si pemaksa, 

hanya kepada orang yang dipaksa sendiri. Sebagai contoh, 

                                                           

bila  seseorang yang sedang ihram, di mana tidak boleh 

membunuh binatang buruan, memaksa seseorang kawannya 

yang sedang berihram supaya   membunuh binatang buruan, 

padahal perbuatan itu satu kesalahan yang merusakkan 

ihram. Maksud si pemaksa supaya   ihram orang yang ter paksa 

itu rusak, maka jika kita memandangnya sebagai alat, yang 

rusak itu ihram si pemaksa, tetapi yang demikian itu bukan 

yang di paksakan untuknya. Karena itu batalah paksaan itu. 

Dalam hal ini ulama fiqh berpendapat bahwa lazim ayat 

orang yang membunuh binatang buruan dengan paksaan itu, 

membayar ganti terhadap apa yang ia bunuh. 

b. Paksaan y ang tidak mungkin pelakunya sebagai alat, berganti 

tempat, tidak berganti orang yang menerima kesalahan 

pekerjaan.  Maka jika paksaan disini paksaan keras, kesalahan 

ini disebangsakan dengan si pemaksa. Umpamanya, kita 

dipaksakan untuk membunuh orang lain, atau merusakkan 

kita itu dan dialah yang mesti menerima tuntutan qishash. 

Jika paksaan itu bukan paksaan keras, kesalahan 

mengerjakannya dipukul oleh orang yang berbuat sendiri.  

Sesuatu pekerjaan yang dipaksa supaya   kita melakukannya, 

ada kalanya pekerjaan yang  tetap haram selama-lamanya,tak 

ada jalan untuk membolehkannya,seperti: 

membunuh,melukai dan berzina maka pekerjaan -pekerjaan 

ini tidak dihalalkan oleh paksaan itudan jika pekerjaan yang 

haram  itu bukan haram yang tetap selama-lamanya, ada 

pengecualian, seperti makan bangkai dibolehkan karena 

terpaksa, maka paksaan di sini menghalalkannya. 

  

Adapun pekerjaan yang di bolehkan dalam agama kita 

melakukannya bila terpaksa, sedang haramnya tidak berubah, 

seperti mengucapkannya kalimat kufur, merusak harta orang. 

Demikian pula yang boleh jadi hilang haram meningalkanya, bila ada 

uzur,  seperti shalat, puasa, zakat dan haji,  maka menjadi boleh 

meninggalkannya  lantaran paksaan itu. 

                                                           

bila  seseorang yang sedang ihram, di mana tidak boleh 

membunuh binatang buruan, memaksa seseorang kawannya 

yang sedang berihram supaya   membunuh binatang buruan, 

padahal perbuatan itu satu kesalahan yang merusakkan 

ihram. Maksud si pemaksa supaya   ihram orang yang ter paksa 

itu rusak, maka jika kita memandangnya sebagai alat, yang 

rusak itu ihram si pemaksa, tetapi yang demikian itu bukan 

yang di paksakan untuknya. Karena itu batalah paksaan itu. 

Dalam hal ini ulama fiqh berpendapat bahwa lazim ayat 

orang yang membunuh binatang buruan dengan paksaan itu, 

membayar ganti terhadap apa yang ia bunuh. 

b. Paksaan y ang tidak mungkin pelakunya sebagai alat, berganti 

tempat, tidak berganti orang yang menerima kesalahan 

pekerjaan.  Maka jika paksaan disini paksaan keras, kesalahan 

ini disebangsakan dengan si pemaksa. Umpamanya, kita 

dipaksakan untuk membunuh orang lain, atau merusakkan 

kita itu dan dialah yang mesti menerima tuntutan qishash. 

Jika paksaan itu bukan paksaan keras, kesalahan 

mengerjakannya dipukul oleh orang yang berbuat sendiri.

Sesuatu pekerjaan yang dipaksa supaya   kita melakukannya, 

ada kalanya pekerjaan yang  tetap haram selama-lamanya,tak 

ada jalan untuk membolehkannya,seperti: 

membunuh,melukai dan berzina maka pekerjaan -pekerjaan 

ini tidak dihalalkan oleh paksaan itudan jika pekerjaan yang 

haram  itu bukan haram yang tetap selama-lamanya, ada 

pengecualian, seperti makan bangkai dibolehkan karena 

terpaksa, maka paksaan di sini menghalalkannya. 

  

Adapun pekerjaan yang di bolehkan dalam agama kita 

melakukannya bila terpaksa, sedang haramnya tidak berubah, 

seperti mengucapkannya kalimat kufur, merusak harta orang. 

Demikian pula yang boleh jadi hilang haram meningalkanya, bila ada 

uzur,  seperti shalat, puasa, zakat dan haji,  maka menjadi boleh 

meninggalkannya  lantaran paksaan itu. 

                                                           

Demikian penetapan ushul Hanafiyah (kaidah -kaidah hukum 

yang di pegang ulama Hanafiyah) tentang masalah paksaan, 

sedangkan menurut ulama ushul Syafi’iyah paksaan itu ada dengan 

jalan  yang benar dan ada pula  dengan jalan yang tidak benar. 

Paksaan yang dibolehkan  seperti memaksa  membayar utang tetap 

digabungkan kepada yang dipaksa. Paksaan yang tidak dibolehkan 

ada dua macam, yaitu: 

a. Pertama, paksaan melakukan pekerjaan yang dibolehkan 

syarak;  bagian ini tidak di golongkan kepada orang yang 

terpaksa, baik perkataan maupun perbuatannya, hanya 

mungkin di golongkan kepada orang yang memaksa, seperti 

paksaan memusnahkan harta orang, maka wajiblah atas si 

pemaksa, membayarnya. bila  paksaan itu tidak dapat di 

golongkan kepada si pemaksa, percumalah paksaan itu, yakni 

tidak memberi bekas apa-apa. Bila kita dipaksa mentalak istri 

kita, talak itu tidak jatuh: bila dipaksa kita menjual, penjualan 

itu tidak sah. 

b. Kedua, paksaan melakukan sesuatu perbuatan yang tidak di 

bolehkan syara seperti: membunuh orang dan berzina. Maka 

bagian ini tetap digolongkan kepada orang yang terpaksa, 

karena ia yang melakukan walaupun yang memaksa turut di 

bunuh juga. Paksaan dengan memenjarakan seumur hidup, 

pukulan yang menumpahkan darah dan pembunuhan, sama 

hukumnya dalam pandangan al-Syafi’i.

Dalam literatul   , pada umumnya pembahasan 

‘azimah dan rukhshah  dibicarakan sesudah membahas hukum-

hukum wadh’i . Pada dasarnya hukum syarak diturunkan oleh Allah 

swt. yaitu  sebagai rahmat bagi hamba-Nya dan rahmat Allah  

ini  merata diberikan tanpa kecuali. Oleh karena itu pada 

asalnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia muka llaf tanpa 

ada pengecualian. Di samping itu, hukum Allah juga mengandung 

pembatasan-pembatasan, perintah-perintah dan larangan-larangan 

yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan muka llaf 

untuk melaksanakannya, karena Allah tidak membebani seseorang 

kecuali dalam batas kemampuannya, sesuai dengan firman Allah swt 

dalam QS Al-Baqarah : 286 sbb :  

 

  : سشـوـزـُح( خَـٜـَؼـْع ُٝ  ََّلَا خًغـْلَـٗ ُﷲ ُقِِّ ٌَ ُـ٣ ََلَ286) 

 

Artinya :  Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai 

dengan kemampuannya.  

 

Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum tentu saja 

berbeda-beda tingkatannya. Perbuatan  yang dapat dilakukan oleh 

seseorang dalam keadaan biasa (normal) mungkin bagi orang lain 

dan dalam keadaan tertentu dirasakan sangat berat dan berada 

diluar kemampuannya. Oleh karena itu untuk mewujudkan 

kemaslahatan bagi manusia, Allah swt. mengecualikan pihak-pihak 

  

Dalam literatul   , pada umumnya pembahasan 

‘azimah dan rukhshah  dibicarakan sesudah membahas hukum-

hukum wadh’i . Pada dasarnya hukum syarak diturunkan oleh Allah 

swt. yaitu  sebagai rahmat bagi hamba-Nya dan rahmat Allah  

ini  merata diberikan tanpa kecuali. Oleh karena itu pada 

asalnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia muka llaf tanpa 

ada pengecualian. Di samping itu, hukum Allah juga mengandung 

pembatasan-pembatasan, perintah-perintah dan larangan-larangan 

yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan muka llaf 

untuk melaksanakannya, karena Allah tidak membebani seseorang 

kecuali dalam batas kemampuannya, sesuai dengan firman Allah swt 

dalam QS Al-Baqarah : 286 sbb :  

 

  : سشـوـزـُح( خَـٜـَؼـْع ُٝ  ََّلَا خًغـْلَـٗ ُﷲ ُقِِّ ٌَ ُـ٣ ََلَ286) 

 

Artinya :  Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai 

dengan kemampuannya.  

 

Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum tentu saja 

berbeda-beda tingkatannya. Perbuatan  yang dapat dilakukan oleh 

seseorang dalam keadaan biasa (normal) mungkin bagi orang lain 

dan dalam keadaan tertentu dirasakan sangat berat dan berada 

diluar kemampuannya. Oleh karena itu untuk mewujudkan 

kemaslahatan bagi manusia, Allah swt. mengecualikan pihak-pihak 

tertentu itu dari tuntutan yang berlaku umum. Pengecualian itu 

dijelaskan sendiri oleh Allah dalam suatu petunjuk yang berbeda 

dengan hukum yang ditetapkan sebelumnya. Dengankata lain, 

ada  hukum-hukum yang penerapanya sesuai dengan dalil 

semula, dan ada pula hukum-hukum yang penerapannya berbeda 

dengan dalil semula. 

Ditinjau dari segi sesuai atau tidaknya dengan dalil semula, 

hukum itu terbagi dua, yaitu: pertama ‘azimah  dan kedua rukhshah.  

B erikut akan diuraikan mengenai kedua istilah ini . 

 

1.  Pengertian ‘azimah dan rukhshah  

Hukum ‘azimah  ialah hukum yang ditetapkan oleh Allah swt. 

berlaku secara umum sejak awal mulanya, dalam pengertian tidak 

ada pengecualian bagi sebagian orang atau suatu keadaan.220  

Menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘azimah  yaitu  hukum untuk 

pertama kalinyaatau tahap awalnya dan dalam pelksanaanya tidak 

menemukan kendala.221  Sedangkan pengertian hukum rukhshah  

yaitu  hukum yang ditetapkan karena adanya sebab yang 

membolehkan untuk meninggalkan hukum asal.222   

Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa yang dimaksud 

dengan rukhshah  yaitu  hukum yang ditetapkan oleh Allah swt. 

untuk memberi keringanan kepada mukallaf dalam keadaan tertentu 

yang memang menghendaki adanya dispensasi, atau hukum itu 

ditetapkan karena adanya kesulitan pada kondisi tertentu. Rukhshah 

juga dapat berupa membolehkan mengerjakan hal-hal yang dilarang 

karena adanya alas an-alasan yang dibenarkan oleh syarak.223  

Dengan kata lain, rukhshah  ialah hukum yang berlaku menyalahi 

dalil yang ada karena adanya dalil atau “ uzur ” atau alasan yang 

dibenarkan oleh syarak. 

Sebagai contoh hukum ‘azimah yaitu  ibadah shalat lima kali 

sehari semalam pada waktu yang ditentukan yang diwajibkan secara 

                                                           

mutlak dan umum kepada setiap orang pada setiap keadaan. 

Demikian pula halnya tentang kewajiban puasa pada bulan Ramadan, 

zakat fitrah, haji dan kewajiaban -kewajiban syarak yang lain.  

Sedangkan contoh hokum rukhshah  yaitu  boleh menjamak dua 

shalat dikerjakan dalam satu waktu, atau mengqashar jumlah rakaat 

shalat wajib, boleh tidak puasa pada bulan Ramadan bagi orang 

musafir, dan lain sebagaianya. 

berdasar  penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa 

sejak awal mula memang Allah swt. bermaksud menetapkan hukum 

taklifi  yang demikian kepada hamba tanpa didahului oleh ketentuan 

hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahului maka 

namanya di-nasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan 

demikian, hukum ‘azimah ini berlaku sebagai hukum asal sejak awal, 

sedangkan hukum rukhshah  merupakan hukum pengecualian karena 

adanya sebab-sebab tertentu yang ditetapkan oleh Syari’ . 

ada  sejumlah faktor yang dapat menyebabkan adanya 

hukum rukhshah , di antaranya yaitu  : 

e. Keadaan darurat; seperti orang yang dalam keadaan kelaparan 

yang teramat sangat dan dikhawatirkan akan meninggal dunia 

serta tidak ditemukan makanan apapun selain bangkai. Maka 

bagi orang ini  hukumnya boleh memakan bangkai, bahkan 

hukumnya menjadi sebuah keharusan guna mempertahankan 

hidupnya. 

f. Untuk menghilangkan kesulitan serta kepayahan, seperti boleh 

tidak berpuasa pada bulan Ramadan atau boleh bagi dokter laki -

laki melihat aurat pasien perempuan ketika dalam proses 

pengobatan.

2.  Macam- macam Rukhshah  

a. Rukhshah  dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi 

menjadi dua yaitu rukhsha h “melaksanakan” dan rukhshah  

“meninggalka n”. 

mutlak dan umum kepada setiap orang pada setiap keadaan. 

Demikian pula halnya tentang kewajiban puasa pada bulan Ramadan, 

zakat fitrah, haji dan kewajiaban -kewajiban syarak yang lain.  

Sedangkan contoh hokum rukhshah  yaitu  boleh menjamak dua 

shalat dikerjakan dalam satu waktu, atau mengqashar jumlah rakaat 

shalat wajib, boleh tidak puasa pada bulan Ramadan bagi orang 

musafir, dan lain sebagaianya. 

berdasar  penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa 

sejak awal mula memang Allah swt. bermaksud menetapkan hukum 

taklifi  yang demikian kepada hamba tanpa didahului oleh ketentuan 

hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahului maka 

namanya di-nasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan 

demikian, hukum ‘azimah ini berlaku sebagai hukum asal sejak awal, 

sedangkan hukum rukhshah  merupakan hukum pengecualian karena 

adanya sebab-sebab tertentu yang ditetapkan oleh Syari’ . 

ada  sejumlah faktor yang dapat menyebabkan adanya 

hukum rukhshah , di antaranya yaitu  : 

e. Keadaan darurat; seperti orang yang dalam keadaan kelaparan 

yang teramat sangat dan dikhawatirkan akan meninggal dunia 

serta tidak ditemukan makanan apapun selain bangkai. Maka 

bagi orang ini  hukumnya boleh memakan bangkai, bahkan 

hukumnya menjadi sebuah keharusan guna mempertahankan 

hidupnya. 

f. Untuk menghilangkan kesulitan serta kepayahan, seperti boleh 

tidak berpuasa pada bulan Ramadan atau boleh bagi dokter laki -

laki melihat aurat pasien perempuan ketika dalam proses 

pengobatan.  

 

2.  Macam- macam Rukhshah  

a. Rukhshah  dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi 

menjadi dua yaitu rukhsha h “melaksanakan” dan rukhshah  

“meninggalka n”. 

1)  Rukhshah  “melaksanakan”  ialah keringanan untuk melakukan 

sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. 

Dalam bentuk ini asal perbuatan yaitu  terlarang dan haram 

hukumya. Inilah hukum azimah - nya. Dalam keadaan darurat 

atau hajat, perbuatan yang terlarang itu menjadi boleh 

hukumnya. 

Allah SWT. berfirman dalam surah QS Al-Baqarah (2) ayat 173  

 

 ِش٣ِْضـْ٘ ـِخُْ ح َْ َْلُ َٝ  َّ َّذُح َٝ  ََشظ٤ْ َٔ ُْ ح ُْ ٌُ ٤َِْـَػ َّ َّشـَك خ َٔ َِّٗا خ َٓ َٝ  ُأ ِﷲِش٤ْـ َـ ُِ ِٚ ِر ََّ ـِٛ 

  ٍدخَػ َلَ َّٝ  ٍؽَخرَش٤ْـَؿ َُّشطْػح ِٖ َٔ َـك  ََلًك   ِٚ ٤َِْـَػ َْ ِْػا 

 

Artinya : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasmu 

memakan bangkai, darah dan daging babi serta 

apa-apa yang disebutkan (waktu menyembelihnya) 

nama selain Allah. Barang siapa yang terpaksa, 

tidak ada aniaya dan tidak pula melampaui batas, 

tiada dosa atasnya.  

 

Berdasarakan ayat ini  diketahui bahwa Allah swt telah 

menetapkan sejumlah jenis makanan yang diharamkan, yaitu 

bangkai, darah dan daging babi serta sembelihan yang tidak 

sesuai dengan syariat Islam. Akan tetapi, dalam kondisi 

darurat, hanya ada  barang haram ini  dan bila  

tidak mengonsumsi barang haram ini  akan 

mengakibatkan kematian, maka hukumnya menjadi tidak 

haram. 

2) Rukhshah  meninggalkan ialah keringanan untuk 

meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘ azimah -nya 

yaitu  wajib atau nadb  (sunah). Dalam bentuk asalnya, 

hukumnya yaitu  wajib atau sunah, tetapi dalam keadaan 

tertentu si mukalaf tidak dapat melakukannya,  dengan arti 

bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya. 

Dalam kondisi yang demikian ini, maka dibolehkan dia 

meninggalkannya. 

   

Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah (2) ayat 184  

 

 ُشَُخأ ٍّ خَّ٣َأ ْٖ ِٓ  ٌسَّذـَِؼك ٍشَـلَع ٠ََِػ ْٝ َأ خًؼ٣ِْش َٓ  ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ  َٕ خ ًَ  ْٖ َٔ َـك ٍصحَد ْٝ ُذـْؼ َٓ  خ ًٓ خَّ٣َأ 

 

Artinya : Beberapa hari yang telah ditentukan, maka siapa 

diantaramu sakit atau dalam perjalanan, hendaklah 

ia memperhitungkannya dihari lain. 

 

berdasar  ayat ini , ada  keringanan atau 

rukhshah bagi orang yang akit atau dalam keadaan musafir 

untuk tidak puasa pada bulan Ramadan, dengan catatan 

bahwa orang ini  harus membayarnya pada hari lain di 

luar bulan Ramadan.  

Dan dalam QS al-Nisa’ (4) ayat 101  

 

ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٢ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرح  ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ 

 

Artinya “Bila kamu dalam perjalanan maka tiada halangan  

bagi kamu untuk meng-qashar shalatmu.”  

 

berdasar  ayat ini , bagi orang yang dalam keadaan 

musafir, diberi keringanan untuk meringkas jumlah rakaat 

shalat yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat.  

 

b. Rukhshah  ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan, 

maka dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk yaitu:  

1) Keringanan seperti bolehnya meninggalkan shalat  jum’at, 

haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur.  

2) Keringanan seperti meng -qashar  shalat empat rakaat 

menjadi dua rakaat bagi orang yang berada dalam perjalanan. 

3) Keringanan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan 

tayamum karena tidak ada air, mengganti kewajiban berdiri 

dalam shalat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat 

dalam keadaan tidak mampu, mengganti puasa wajib dengan 

Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah (2) ayat 184  

 

 ُشَُخأ ٍّ خَّ٣َأ ْٖ ِٓ  ٌسَّذـَِؼك ٍشَـلَع ٠ََِػ ْٝ َأ خًؼ٣ِْش َٓ  ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ  َٕ خ ًَ  ْٖ َٔ َـك ٍصحَد ْٝ ُذـْؼ َٓ  خ ًٓ خَّ٣َأ 

 

Artinya : Beberapa hari yang telah ditentukan, maka siapa 

diantaramu sakit atau dalam perjalanan, hendaklah 

ia memperhitungkannya dihari lain. 

 

berdasar  ayat ini , ada  keringanan atau 

rukhshah bagi orang yang akit atau dalam keadaan musafir 

untuk tidak puasa pada bulan Ramadan, dengan catatan 

bahwa orang ini  harus membayarnya pada hari lain di 

luar bulan Ramadan.  

Dan dalam QS al-Nisa’ (4) ayat 101  

 

ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٢ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرح  ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ 

 

Artinya “Bila kamu dalam perjalanan maka tiada halangan  

bagi kamu untuk meng-qashar shalatmu.”  

 

berdasar  ayat ini , bagi orang yang dalam keadaan 

musafir, diberi keringanan untuk meringkas jumlah rakaat 

shalat yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat.  

 

b. Rukhshah  ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan, 

maka dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk yaitu:  

1) Keringanan seperti bolehnya meninggalkan shalat  jum’at, 

haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur.  

2) Keringanan seperti meng -qashar  shalat empat rakaat 

menjadi dua rakaat bagi orang yang berada dalam perjalanan. 

3) Keringanan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan 

tayamum karena tidak ada air, mengganti kewajiban berdiri 

dalam shalat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat 

dalam keadaan tidak mampu, mengganti puasa wajib dengan 

memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak 

mampu berpuasa. 

4) Keringanan seperti pelaksaan shalat dzuhur dalam waktu 

ashar pada jama’  ta’khir  karena dalam perjalanan. 

Menangguhkan pelaksaan puasa ramadhan kewaktu 

sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam 

perjalanan.  

5) Keringanan seperti mendahulukan mengerjakan shalat ashar 

pada waktu zuhur dalam jama’taqdim  di perjalanan.  

6) Keringanan seperti cara -cara pelaksaan shalat dalam perang 

yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat 

khauf . 

7) Keringanan seperti membolehkan mengerjakan perbuatan 

haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena ada udzur, 

seperti yang telah dijelaskan di atas. 

 

c. Rukhshah  ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku 

padanya rukhshah . Maksutnya apakah masih berlaku pada waktu 

itu atau tidak. Dalam hal ini ulama Hanafiyah membagi rukhshah 

menjadi dua macam yaitu rukhshah tarfih  dan rukhshah 

isqath. 226  

1) Rukhshah tarfih  ialah rukhshah yang meringankan dari 

pelaksanaan hukum ‘azimah tetapi hukum ‘azimah  berikut 

dalilnya tetap berlaku. Contohnya yaitu saat mengucapkan 

ucapan yang mengkafirkan yang terlarang dalam hukum 

‘azimah , itu dibolehkan bagi orang yang dalam keadaan 

terpaksa, selama hatinya tetap dalam keimanan. Hal ini 

ini  dalam firman Allah swt. dalam QS  Al-Nahl (16) ayat 

106 

 

 ْٖ َٓ  ْٖ ٌِ َُ َٝ  ِٕ خ َٔ ٣ْ ِْلِْخر ٌّٖ ِج َٔ ْط ُٓ  ُُٚزِْ َـه َٝ  َِٙش ًْ ُح ْٖ َٓ  َِّلَا ِٚ ِٗخ َٔ ٣ِْا ِذـَْؼر ْٖ ِٓ  ِللَِّخر َشَـلـ ًَ  ْٖ َٓ

 َفَشَش   ٌْ ٤ِْظـَػ ٌدحَزَػ ْْ َُُٜ َٝ  ِﷲ َٖ ِٓ  ٌذَؼـَؿ ْْ ِٜ ٤َِْـََؼك حًسْذَط ِشـْلـ ٌُ ُْ ِخر 

 

                                                           

Artinya “ Siapa yang kafir terhadap Allah sed angkan hatinya 

tetap tenang dalam keimanan, tetapi siapa secara 

terang kafir dalam dadanya, atasnya kemarahan 

Allah bagi mereka azab yang pedih”  

2) Rukhshah isqath  ialah menggugurkan hukum azimah 

terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung. 

Conto hnya yaitu meng-qashar shalat dalam 

perjalanan.berdasar  firman Allah dalam surat QS Al-Nisa’ 

(4) ayat 101  

 

 ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ  ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٠ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرا 

 

Artinya : Bila kamu berada dalam perjalanan tidak ada 

halangan bila kamu meng-qhasar shalatmu. 

 

Abu Ishak al-Syathibi dalam kitabnya  al- Muwafaqat  

memakai  bentuk lain dalam pembagian rukhshah  dari segi 

tingkat masyaqqah  (kesukaran dalam melakukan hukum ‘azimah ):

1. Dalam menghadapi kesukaran itu seorang muka llaf tidak 

mungkin melakukan kesabaran dalam menghadapinya. 

Umpamanya orang sakit yang tidak mungkin melaku kan rukun 

shalat secara sempurna, atau melakukan puasa karena khawatir 

akan mencelakakan dirinya, orang yang terpaksa memakan 

daging babi saat tidak menemukan makanan halal lain. Dan ia 

khawatir akan celaka kalau tidak memakan yang terlarang itu. 

Rukhshah  dalam bentuk ini kembali kepada hak Allah swt. dan 

oleh karenanya diharuskan memakan babi dalam keadaan ini 

menurut pendapat sebagian ulama yaitu  wajib. Orang yang 

tidak mau memakannya lantas ia mati, ia berdosa. 

2.  Dalam menghadapi kesukaran itu mukalaf dapat berlaku sabar 

karena secara langsung tidak akan membahayakan diri 

pelakunya. Rukhshah  dalam bentuk ini kembali kepada hak 

hamba untuk memperoleh kemudahan dari Allah swt. dan kasih 

                                                          

Artinya “ Siapa yang kafir terhadap Allah sed angkan hatinya 

tetap tenang dalam keimanan, tetapi siapa secara 

terang kafir dalam dadanya, atasnya kemarahan 

Allah bagi mereka azab yang pedih”  

2) Rukhshah isqath  ialah menggugurkan hukum azimah 

terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung. 

Conto hnya yaitu meng-qashar shalat dalam 

perjalanan.berdasar  firman Allah dalam surat QS Al-Nisa’ 

(4) ayat 101  

 

 ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ  ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٠ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرا 

 

Artinya : Bila kamu berada dalam perjalanan tidak ada 

halangan bila kamu meng-qhasar shalatmu. 

 

Abu Ishak al-Syathibi dalam kitabnya  al- Muwafaqat  

memakai  bentuk lain dalam pembagian rukhshah  dari segi 

tingkat masyaqqah  (kesukaran dalam melakukan hukum ‘azimah ):

1. Dalam menghadapi kesukaran itu seorang muka llaf tidak 

mungkin melakukan kesabaran dalam menghadapinya. 

Umpamanya orang sakit yang tidak mungkin melaku kan rukun 

shalat secara sempurna, atau melakukan puasa karena khawatir 

akan mencelakakan dirinya, orang yang terpaksa memakan 

daging babi saat tidak menemukan makanan halal lain. Dan ia 

khawatir akan celaka kalau tidak memakan yang terlarang itu. 

Rukhshah  dalam bentuk ini kembali kepada hak Allah swt. dan 

oleh karenanya diharuskan memakan babi dalam keadaan ini 

menurut pendapat sebagian ulama yaitu  wajib. Orang yang 

tidak mau memakannya lantas ia mati, ia berdosa. 

2.  Dalam menghadapi kesukaran itu mukalaf dapat berlaku sabar 

karena secara langsung tidak akan membahayakan diri 

pelakunya. Rukhshah  dalam bentuk ini kembali kepada hak 

hamba untuk memperoleh kemudahan dari Allah swt. dan kasih 

                                                          

sayang-Nya. Rukhshah  dalam bentuk ini dibagi menjadi dua 

bentuk yaitu: 

a. B erlaku padanya tuntutan secara umum sehingga 

persoalan dalam keadaan sukar atau tidak, tidak 

diperhitungkan. Seperti berkumpul di Arafah untuk 

sahnya perbuatan haji. Ini berlaku untuk semua 

pelaksanaan ibadah haji, bahkan bagi yang tidak mampu 

fasiknya pun harus ke Arafah agar sah. 

b. Tidak berlaku secara khusus tuntutan, tetapi tetap 

menurut asal keringanan dan menghilangkan kesulitan 

hukumnya boleh. Bagi seorang mukallaf boleh mengambi 

hukum asal ‘azimah meskipun ia dalam keadaan 

menanggung kesulitan dan boleh mengambil rukhshah. 

 

3.  Hukum Mengamalkan Rukhshah  

Hukum rukhshah  yaitu  “ jawaz ”, yakni boleh mengerjakannya.  

Dalam posisi hukum yang demikian, maka seseorang boleh memilih 

antara mengerjakan hukum asal yang ‘azimah  atau mengerjakan 

hukum rukhshah  yang diberi keringanan.  Oleh karena itu bagi 

seorang musafir pada bulan Ramadan, boleh baginya memilih antara 

mengerjakan hukum ‘ azimah  yang asal yaitu berpuasa, atau 

memanfaatkan dispensasi rukhshah  untuk tidak berpuasa. 

Ketentuan hukum yang demikian yaitu  kare na nash syarak yang 

ada  dalam Alquran atau Hadis Nabi telah menempatkana 

rukhshah  pada posisi kebebasan memilih opsi dan memberikan 

kemudahan merupakan bagian dari maqashid al - syari’ah , 

sebagaimana firman Allah swt. dalam  sebagai berikut :  

 

 َؼـَؿ خ َٓ : ؾلُح( ٍؽَشـَك ْٖ ـ ِٓ  ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ِك ْْ ٌُ ـ٤َْـَِػ ََ ـ7 8) 

 

Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam 

agama suatu kesempitan (QS Al-Hajj : 78)  

 

 

                                                          

 : سشوزُح ( َشْغـُؼـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُذـ٣ِْشُـ٣ َلَ َٝ  َشْغُـ٤ـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُﷲ ُذـ٣ِْشُـ٣185) 

 

Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak 

menghendaki kesukaran bagimu (QS Al-Baqarah : 185)  

 

Namun dalam hal memakai  hukum rukhshah bagi orang 

yang telah memenuhi syarat ada  perbedaan pendapat di 

kalangan ulama. 

Jumhur ula ma berpendapat bahwa hukum mengamalkan 

rukhshah  itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan 

adanya rukhshah  itu. Dengan demikian, memakai  hukum 

rukhshah  dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang 

tidak mendapatkan makanan halal, sedangkan ia khawatir 

seandainya tidak memakai  rukhshah akan mencelakakan 

dirinya. Hukum rukhshah  ada pula yang sunah seperti berbuka puasa 

ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula 

yang semata-mata ibahah seperti jual beli salam.  

Imam al-Syathibi berpendapat, bahwa hukum rukhshah  yaitu  

boleh atau ibahah  secara mutlak. Untuk pendapat ini Imam al -

Syathibi mengemukakan argumentasinya  yang menimbulkan 

polemik dengan jumhur ulama, yaitu: 

Pertama; rukhshah  itu asalnya hanyalah keringanan atau 

mengangkat kesulitan sehingga mukallaf  mempunyai kelapangan 

dan pilihan antara memakai  hukum ‘azimah  atau mengambil 

rukhshah  hal ini berarti mubah. Ketentuan ini sesuai dengan dalil 

juz’ i (rinci) seperti “tidak berdosa” memakan bangkai, firman Allah  

swt. dalam QS Al-Baqarah (2) : 173. Begitu pula ucapan “tidak ada 

halangan”  meng -qashar shalat bagi musafir dalam firman Allah swt 

dala QS An-Nisa (4) : 101 

Argumentasi ini disanggah oleh jumhur ulama yang 

mengatakan, bahwa tidaklah mesti dari ucapan Allah “tidak berdosa” 

atau “tidak ada halangan” berarti perbuatan itu hukumnya mubah. 

Dalam Alquran kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” 

dapat berarti wajib seperti dalam firman Allah QS al-Baqarah (2) 

 : سشوزُح ( َشْغـُؼـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُذـ٣ِْشُـ٣ َلَ َٝ  َشْغُـ٤ـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُﷲ ُذـ٣ِْشُـ٣185) 

 

Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak 

menghendaki kesukaran bagimu (QS Al-Baqarah : 185)  

 

Namun dalam hal memakai  hukum rukhshah bagi orang 

yang telah memenuhi syarat ada  perbedaan pendapat di 

kalangan ulama. 

Jumhur ula ma berpendapat bahwa hukum mengamalkan 

rukhshah  itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan 

adanya rukhshah  itu. Dengan demikian, memakai  hukum 

rukhshah  dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang 

tidak mendapatkan makanan halal, sedangkan ia khawatir 

seandainya tidak memakai  rukhshah akan mencelakakan 

dirinya. Hukum rukhshah  ada pula yang sunah seperti berbuka puasa 

ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula 

yang semata-mata ibahah seperti jual beli salam.  

Imam al-Syathibi berpendapat, bahwa hukum rukhshah  yaitu  

boleh atau ibahah  secara mutlak. Untuk pendapat ini Imam al -

Syathibi mengemukakan argumentasinya229  yang menimbulkan 

polemik dengan jumhur ulama, yaitu: 

Pertama; rukhshah  itu asalnya hanyalah keringanan atau 

mengangkat kesulitan sehingga mukallaf  mempunyai kelapangan 

dan pilihan antara memakai  hukum ‘azimah  atau mengambil 

rukhshah  hal ini berarti mubah. Ketentuan ini sesuai dengan dalil 

juz’ i (rinci) seperti “tidak berdosa” memakan bangkai, firman Allah  

swt. dalam QS Al-Baqarah (2) : 173. Begitu pula ucapan “tidak ada 

halangan”  meng -qashar shalat bagi musafir dalam firman Allah swt 

dala QS An-Nisa (4) : 101 

Argumentasi ini disanggah oleh jumhur ulama yang 

mengatakan, bahwa tidaklah mesti dari ucapan Allah “tidak berdosa” 

atau “tidak ada halangan” berarti perbuatan itu hukumnya mubah. 

Dalam Alquran kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” 

dapat berarti wajib seperti dalam firman Allah QS al-Baqarah (2) 

 َؼَش ْٖ ِٓ  َس َٝ ْش َٔ ُْح َٝ  ٠َل َّظُح َّٕ ِا ِٚ٤َِْـَػ َفَخ٘ـُؿ ََلًك َش َٔ َـظـْػحِٝ َأ َض٤َْـزُْ ح َّؾَك ْٖ َٔ َـك ِﷲ ِِشثخـ

خ َٔ ِٜ ِر َف َّٞ ّـَطَّ٣ ْٕ َأ 

 

Artinya  “ Bahwa sesungguhnya sa’i antara safa dan marwa itu yaitu  

syiar Allah maka siapa yang haji ke baitullah atau umrah 

tidak ada halangan bila i a thawaf ..  

 

Dalam ayat ini untuk thawaf pada haji dan umrah disebut 

dengan ucapan “tidak ada halangan” padahal thawaf itu hukumnya 

yaitu  wajib. 

Kadang -kadang kata “tidak berdosa” itu berarti sunah seperti 

firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 203  

 

 ِٚ ٤َِْـَػ َْ ِْػا ََلًك ِٖ ٤ْ َٓ ْٞ َ٣ ٠ِك ََ ّـَ ـَؼَـط ْٖ َٔ َـك 

 

Artinya  “Siapa yang cepat menyelesaikan dua hari tiada dosa 

atasnya.  

 

Bersegera dalam dua hari dalam ayat ini dengan memakai  

kata “tidak berdosa”, padahal bersegera itu hukumnya yaitu  sunah 

menurut ulama, bukan mubah. 

Atas sanggahan ini al-Syathibi memberikan jawaban bahwa 

kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” dalam 

memakai  dan kaidah bahasa arab bila tidak ditemukan qarinah  

(keterangan) yang memberi petunjuk bahwa artinya bukan untuk itu, 

hanya berarti “izin untuk berbuat sesuatu”. Bila tidak ada petunjuk 

yang memalingkannya dari pemakaian  hukum aslinya, tidak dapat 

di pahami lebih dari izin.  

Sebagai contoh, hukum thawaf  pada haji dan umrah yaitu  

wajib, tetapi hukum wajib itu tidaklah dipahami dari firman-Nya, 

tetapi dari firman-Nya yang ada  diujung pangkal ayat itu atau 

dari petunjuk lain.  

Kedua; kalau memakai  rukhshah  itu diperintahkan baik 

dalam bentuk wajib atau sunah maka hukumnya akan berubah 

menjadi ‘azimah , tidak lagi rukhshah , karena hukum wajib itu    

merupakan keharusan pasti yang tidak mengandung pilihan lain. 

Dengan demikian, berarti menghimpunkan aturan perintah dan 

rukhshah . Ini namanya menghimpun dua hal yang berlawanan. 

Alasan yang dikemukakan al-Syathibi ini disanggah oleh 

jumhur ulama yang mengatakan, bahwa ulama telah mewajibkan 

memakan bangkai atas orang yang terpaksa yang ia khawatir akan 

celaka bila tidak memakannya. Sebuah hadis Nabi menjelaskan 

bahwa Allah swt. lebih senang hamba-Nya memakai  rukhshah 

sebagaimana ia senang hamba-Nya memakai  ‘azimah . 

Sanggahan ini dijawab oleh al-Syathibi, ia mengatakan bahwa 

mengumpulkan rukhshah  dengan perintah berarti mengumpulkan 

dua hal yang berlawanan. Yang demikian yaitu  mustahil. Oleh 

karena itu perintah wajib itu haruslah dikembalikan kepada asal 

‘azimah  dan tidak kepada rukhshah  itu sendiri. Bahwa seseorang 

dalam keadaan terpaksa yang tidak menemukan makanan halal 

untuk menutupi keterpaksaannya itu diperbolehkan memakan 

bangkai untuk menolak keterpaksaannya. Kalau dalam keadaan 

terpaksa itu ia khawatir akan celaka bila  tidak memakannya, 

maka ia diperintahkan untuk memelihara diri atau jiwanya 

sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Nisa (4) : 38  

 

 ْْ ٌُ َُغلْٗ َأ ح ْٞ ُُِـظـْوَـط َلَ 

Artinya : “ Janganlah kamu bunuh dirimu”  

 

Larangan bunuh diri yang berarti perintah untuk melindungi 

kehidupan itu tidak lagi berarti rukhshah  karena ia kembali kepada 

prinsip umum yang semula, yaitu kewajiban menjaga diri. 

Di samping membagi hukum rukhshah  itu kepada wajib, sunah, 

dan mubah dengan menyanggah argumentasi al-Syathibi, jumhur 

ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu 

yaitu  sebagaimana argumen dan jawaban yang dipakai  serta 

disampaikan oleh al-Syathibi. 

Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan al -Syathibi 

dalam menetapkan hukum ruhshah itu kelihatan pengaruhnya dalam 

contoh kasus seseorang yang tidak menemukan makanan halal 

merupakan keharusan pasti yang tidak mengandung pilihan lain. 

Dengan demikian, berarti menghimpunkan aturan perintah dan 

rukhshah . Ini namanya menghimpun dua hal yang berlawanan. 

Alasan yang dikemukakan al-Syathibi ini disanggah oleh 

jumhur ulama yang mengatakan, bahwa ulama telah mewajibkan 

memakan bangkai atas orang yang terpaksa yang ia khawatir akan 

celaka bila tidak memakannya. Sebuah hadis Nabi menjelaskan 

bahwa Allah swt. lebih senang hamba-Nya memakai  rukhshah 

sebagaimana ia senang hamba-Nya memakai  ‘azimah . 

Sanggahan ini dijawab oleh al-Syathibi, ia mengatakan bahwa 

mengumpulkan rukhshah  dengan perintah berarti mengumpulkan 

dua hal yang berlawanan. Yang demikian yaitu  mustahil. Oleh 

karena itu perintah wajib itu haruslah dikembalikan kepada asal 

‘azimah  dan tidak kepada rukhshah  itu sendiri. Bahwa seseorang 

dalam keadaan terpaksa yang tidak menemukan makanan halal 

untuk menutupi keterpaksaannya itu diperbolehkan memakan 

bangkai untuk menolak keterpaksaannya. Kalau dalam keadaan 

terpaksa itu ia khawatir akan celaka bila  tidak memakannya, 

maka ia diperintahkan untuk memelihara diri atau jiwanya 

sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Nisa (4) : 38  

 

 ْْ ٌُ َُغلْٗ َأ ح ْٞ ُُِـظـْوَـط َلَ 

Artinya : “ Janganlah kamu bunuh dirimu”  

 

Larangan bunuh diri yang berarti perintah untuk melindungi 

kehidupan itu tidak lagi berarti rukhshah  karena ia kembali kepada 

prinsip umum yang semula, yaitu kewajiban menjaga diri. 

Di samping membagi hukum rukhshah  itu kepada wajib, sunah, 

dan mubah dengan menyanggah argumentasi al-Syathibi, jumhur 

ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu 

yaitu  sebagaimana argumen dan jawaban yang dipakai  serta 

disampaikan oleh al-Syathibi. 

Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan al -Syathibi 

dalam menetapkan hukum ruhshah itu kelihatan pengaruhnya dalam 

contoh kasus seseorang yang tidak menemukan makanan halal 

untuk memenuhi kebutuhannya, ia lebih mementingkan mati 

kelaparan dari pada memakan yang haram.  Menurut jumhur ulama 

yang membagi rukhshah  itu kepada wajib, sunah, dan mubah orang 

yang kelaparan itu seharusnya memakan bangkai untuk memelihara 

jiwanya. Bila ia tidak memakannya lantas ia mati karenanya, maka ia 

fasik atau berdosa karena meninggalkan wajib. 

Al-Syathibi yang mengatakan bahwa hukum rukhshah 

hanyalah ibahah, berpendapat bahwa masalah ini harus dilihat 

secara rinci karena perintah untuk memelihara jiwa itu bersifat 

umum. Tidak ada nash yang secara pasti mengharuskan memakan 

bangkai hingga ia akan fasik atau berdosa jika meninggalkannya. 

Oleh karena itu, bila ia ternyata mati karena menahan makan 

bangkai, maka ia tidak fasik dan tidak berdosa, karena ia telah 

berbuat sesuai dengan ketentuan hukum rukhshah . 

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Alquran 

dan Sunah yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dan 

terutama mengandung nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang 

berfungsi sebagai guidanc e bagi kehidupan manusia dalam 

menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah saw. bersabda 

 ٖ٤ج٤ش ٌْ٤ك ضًشط  : ٍخه ِْع ٝ ٚـ٤ِـػ اللَّ ٠ِط اللَّ ٍٞـعس ٕأ سش٣شـٛ ٠رأ ٖػ

٠ظ٘ع ٝ اللَّ دخظً خٔٛذؼر حِٞؼط ُٖ )ًْخـلُح ٙحٝس(  231 

 

Artinya : Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu 

sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya, 

yaitu Kitab Allah dan Sunahku.  

 

Akan tetapi Alquran dan Sunah tidak akan memiliki 

kebermaknaan tanpa pemahaman dan pengamalan yang benar oleh 

umatnya karena keduanya nyaris tidak pernah diamalkan menurut 

arti harfiahnya. Nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang 

terkandung dalam Alquran dan Sunah merupakan ide samawi  yang 

memerlukan interpretasi, internalisasi, dan implementasi oleh 

umatnya untuk bisa landing  dalam perikehidupan. Oleh karena itu, 

problem yang paling mendasar bagi umat Islam yaitu  bagaimana 

                                                          

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Alquran 

dan Sunah yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dan 

terutama mengandung nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang 

berfungsi sebagai guidanc e bagi kehidupan manusia dalam 

menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah saw. bersabda 

 ٖ٤ج٤ش ٌْ٤ك ضًشط  : ٍخه ِْع ٝ ٚـ٤ِـػ اللَّ ٠ِط اللَّ ٍٞـعس ٕأ سش٣شـٛ ٠رأ ٖػ

٠ظ٘ع ٝ اللَّ دخظً خٔٛذؼر حِٞؼط ُٖ )ًْخـلُح ٙحٝس(  231 

 

Artinya : Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu 

sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya, 

yaitu Kitab Allah dan Sunahku.  

 

Akan tetapi Alquran dan Sunah tidak akan memiliki 

kebermaknaan tanpa pemahaman dan pengamalan yang benar oleh 

umatnya karena keduanya nyaris tidak pernah diamalkan menurut 

arti harfiahnya. Nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang 

terkandung dalam Alquran dan Sunah merupakan ide samawi  yang 

memerlukan interpretasi, internalisasi, dan implementasi oleh 

umatnya untuk bisa landing  dalam perikehidupan. Oleh karena itu, 

problem yang paling mendasar bagi umat Islam yaitu  bagaimana 

                                                           

proses interpretasi, internalisasi, dan aplikasi pesan-pesan Alquran 

dan Sunah ke dalam realitas kehidupan.  

Ketika Rasulullah saw. masih hidup, kompetensi untu k 

menetapkan dan atau memutuskan hukum ada pada pribadi 

Rasulullah saw. sendiri. Dengan bimbingan wahyu.  Rasulullah saw. 

menjadi referensi tunggal ketika umat Islam menghadapi 

permasalahan hukum. Dalam sejarah yurisprudensi hukum Islam, 

periode ini dikenal sebagai periode tasyri‘  atau peletakan dan 

pembentukan dasar-dasar hukum Islam.232 Namun, setelah 

Rasulullah saw. wafat, otomatis wahyu terhenti dan Sunah tidak 

mungkin akan muncul lagi. Sebab, Muhammad yaitu  Nabi dan 

Rasul terakhir yang berarti bahwa per iode tasyri‘ dalam pengertian 

yang sebenarnya telah berakhir sesuai dengan firman Allah swt. 

yang ada  dalam Q.S. al-Ma’idah [5]: 3 sebagai berikut :  

 

 ِٖ َٔ َك ًخ٘٣ِد َّ َلًْع ِْلْح ُْ ٌُ َُ ُض٤ِػَس َٝ  ٢ِظ َٔ ِْؼٗ ْْ ٌُ ٤ََِْػ ُض ْٔ َٔ َْطأ َٝ  ْْ ٌُ َ٘٣ِد ْْ ٌُ َُ ُضِْ َٔ ًْ َأ َّ ْٞ َ٤ ُْ ح

 ٌْ ٤ِكَس ٌسُٞلَؿ َ َّﷲ َّٕ ِ َبك ٍْ ْػ ِِلْ ٍِقٗخ َـ َظ ُٓ  َش٤َْؿٍشَظ َٔ ْخ َٓ  ٢ِك َُّشطْػح. 

 

Artinya:  Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, 

dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat -Ku, dan telah 

Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka, barang siapa 

terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, 

sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha 

Penyayang.  

 

Menurut Sobhi Mahmassani,  set elah Alquran dan Sunah 

terhenti, pada saat yang sama perilaku, budaya, dan peradaban 

manusia tumbuh dan berkembang secara dinamis. Hal ini 

mengandung makna bahwa akan terjadi ketidakseimbang-an antara 

ayat-ayat Alquran dan Sunah yang terbatas dengan masalah-                                                        

masalah sosial keagamaan yang tidak terbatas.  Sebagai 

konsekuensinya, umat Islam akan menghadapi masalah penentuan 

dan atau penetapan hukum berkenaan dengan problematika yang 

tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam Alquran 

dan atau Sunah.  

Dalam kondisi yang demikian, para ulama sebagai ahli waris 

para Nabi (waratsat al- anbiya’ ) diberi perkenan oleh Syari ‘  untuk 

berijtihad guna menentu-kan dan atau menetapkan hukum Islam.  

Referensi yang relevan dengan justifikasi ijtihad ini ialah kisah 

Mua dz bin Jabal ketika akan diutus oleh Nabi saw. sebagai hakim di 

Yaman sebagai berikut:  

 

 اللَّ ٍٞعس ٕأ َزؿ ٖر رخؼٓ ٖػ-  ِْعٝ ٚ٤ِػ اللَّ ٠ِط-  ٖٔ٤ُح ٠ُا ٚؼؼر خُٔ

 ُْ ٕبك :ٍخه ،اللَّ دخظٌر ٢ؼهأ :ٍخه ؟ءخؼه يُ عشػ حرا ٢ؼوط ق٤ً :ٍخه

ٞعس ش٘غزك :ٍخه ؟اللَّ دخظً ٢ك ذـط ؟اللَّ ٍٞعس ش٘ع ٢ك ذـط ُْ ٕبك :ٍخه ، اللَّ ٍ

 ٢ػش٣ خُٔ اللَّ ٍٞعس ٍٞعس نكٝ ١زُح للَّ ذٔلُح :ٍخهٝ  ٢٣أس ذٜظؿأ :ٍخه

اللَّ ٍٞعس. 235 

 

Artinya: (Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah 

saw. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada 

Muadz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika 

dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab, “Dengan kitab 

Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana bila  tidak 

Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, 

“berdasar  Sunah Rasulullah.”  

                                                           

 Ibnu Khaldun menyatakan bahwa hal ihwal umat manusia, adat kebiasaan, dan 

per-adabannya tidaklah pada satu gerak dan khittah yang tetap, melainkan berubah dan 

berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan. yaitu  sebagaimana halnya 

dengan manusia itu sendiri waktu dan tempat, maka keadaan itu terjadi pula pada dunia 

dan negara. Sungguh bahwa sunnatullah berlaku pada hamba-Nya. Lihat Sobhi 

Mahmassani, Filsafat, 

masalah sosial keagamaan yang tidak terbatas.  Sebagai 

konsekuensinya, umat Islam akan menghadapi masalah penentuan 

dan atau penetapan hukum berkenaan dengan problematika yang 

tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam Alquran 

dan atau Sunah.  

Dalam kondisi yang demikian, para ulama sebagai ahli waris 

para Nabi (waratsat al- anbiya’ ) diberi perkenan oleh Syari ‘  untuk 

berijtihad guna menentu-kan dan atau menetapkan hukum Islam.  

Referensi yang relevan dengan justifikasi ijtihad ini ialah kisah 

Mua dz bin Jabal ketika akan diutus oleh Nabi saw. sebagai hakim di 

Yaman sebagai berikut:  

 

 اللَّ ٍٞعس ٕأ َزؿ ٖر رخؼٓ ٖػ-  ِْعٝ ٚ٤ِػ اللَّ ٠ِط-  ٖٔ٤ُح ٠ُا ٚؼؼر خُٔ

 ُْ ٕبك :ٍخه ،اللَّ دخظٌر ٢ؼهأ :ٍخه ؟ءخؼه يُ عشػ حرا ٢ؼوط ق٤ً :ٍخه

ٞعس ش٘غزك :ٍخه ؟اللَّ دخظً ٢ك ذـط ؟اللَّ ٍٞعس ش٘ع ٢ك ذـط ُْ ٕبك :ٍخه ، اللَّ ٍ

 ٢ػش٣ خُٔ اللَّ ٍٞعس ٍٞعس نكٝ ١زُح للَّ ذٔلُح :ٍخهٝ  ٢٣أس ذٜظؿأ :ٍخه

اللَّ ٍٞعس. 235 

 

Artinya: (Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah 

saw. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada 

Muadz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika 

dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab, “Dengan kitab 

Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana bila  tidak 

Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, 

“berdasar  Sunah Rasulullah.”  

                                                           

 

Rasulullah saw. bertanya lagi, “B agaimana bila  tidak 

engkau dapati dasarnya dalam Sunah?” Muadz menjawab, 

“Saya akan berijtihad berdasar  pemikiran saya.” 

Rasulullah saw. bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah 

menunjukkan utusan Rasulullah atas sesuatu yang diridai 

Rasulullah .”  

 

Ilustrasi kisah ini menunjukkan bahwa ijtihad menempati 

posisi strategis dan signifikan dalam mengawal eksistensi serta 

keberlangsungan hukum Islam dalam  mengatasi problem hukum 

yang muncul.  

 

1.  Pengertian Ijtihad  

Dalam  perspektif    , ijtihad diidentifikasi 

sebagai berikut : 

 

 ٠ِك خ َٓ ِا َٝ  ِشَّ٤ِػْشَّشُح ِّ خ ٌَ َْكْلْح ِىْسَد ٠ِك خ َّٓ ِا ِغْع ُٞ ُْ ح َِش٣خَؿ ٍُ َْزر َٝ  ِذْٜ ُـ ُْ ح ُؽحَشـْلِـظِْعا

َخِٜو٤ِْزَْطط. 236 

 

Artinya : Mengerah -kan segala kesungguhan dan mencurahkan 

segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum 

syarak atau untuk mengimplementasikannya.  

 

Dengan kata lain, ijtihad merupakan suatu aktivitas ulama 

untuk mengintroduksi dan meng-eksplorasi makna serta materi 

hukum ( maqashid al - syarui‘ah ) yang terkandung dalam Alquran dan 

atau Sunah. Ijtihad juga dapat dimaknai sebagai kerja secara 

optimal-profesiaonal dan progresif-ilmiah guna memberikan solusi 

hukum yang tepat dan benar, agar nilai-nilai normatif yang 

terkandung dalam Alquran dan Sunah mampu membimbing perilaku 

                                                           

manusia sesuai dengan situasi dan kondisi.  Dengan demikian, 

dapat dikatakan bahwa pemahaman dan pengamalan wahyu Ilahi 

dalam realitas kehidupan akan berjalan linier dengan aktivitas dan 

dinamika ijtihad itu sendiri. Di sinilah posisi strategis dan 

signifikansi ijtihad dalam proses pembinaan dan pembaruan hukum 

Islam guna menemukan kepastian hukum.  

 

2.  Pengertian Mujtahid  

Dalam kitab Jam‘u al - Jawami‘  disebutkan bahwa yang 

dimaksud dengan mujtahid itu yaitu  ahli fiqh.  Meskipun tidak 

dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahli fiqh, akan tetapi jika 

dikaitkan dengan penjelasan terminologis fiqh yang tak lain yaitu  

pemahaman tentang hukum syarak yang diambil dari diperoleh dari 

dalil-dalil yang terperinci berkenaan dengan perilaku seseorang, 

maka dapat dikatakan bahwa mujtahid itu yaitu  seseorang yang 

memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menggali hukum-hukum 

syarak dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan/atau Sunah.  

Al-Jurjani dalam kitab al- Ta‘rifat  juga menjelaskan bahwa yang 

dimaksud dengan mujtahid yaitu  orang yang menguasai ilmu 

Alquran dan ilmu tafsir yang sangat diperlukan dalam memahami 

makna ayat-ayat Alquran, menguasai ilmu riwayah dan dirayah 

hadis sehingga mempu menjelaskan maksud suatu hadis, mampu 

melakukan penalaran analogis, dan tanggap terhadap problem-

problem kekinian.  

 

3.  Syarat - syarat Mujtahid  

Ali Abd al-Kafi as -Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab 

al- Ibhaj fi Syarh al - Minhaj  menjelaskan kriteria mujtahid yaitu : (a) 

menguasai ilmu ‘aqliyah  (bahasa, ushul fiqh, dan sebagainya) yang 

dapat mempertajam akal dan nuraninya sehingga memiliki kapasitas 

                                                           

manusia sesuai dengan situasi dan kondisi.237  Dengan demikian, 

dapat dikatakan bahwa pemahaman dan pengamalan wahyu Ilahi 

dalam realitas kehidupan akan berjalan linier dengan aktivitas dan 

dinamika ijtihad itu sendiri. Di sinilah posisi strategis dan 

signifikansi ijtihad dalam proses pembinaan dan pembaruan hukum 

Islam guna menemukan kepastian hukum.  

 

2.  Pengertian Mujtahid  

Dalam kitab Jam‘u al - Jawami‘  disebutkan bahwa yang 

dimaksud dengan mujtahid itu yaitu  ahli fiqh.  Meskipun tidak 

dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahli fiqh, akan tetapi jika 

dikaitkan dengan penjelasan terminologis fiqh yang tak lain yaitu  

pemahaman tentang hukum syarak yang diambil dari diperoleh dari 

dalil-dalil yang terperinci berkenaan dengan perilaku seseorang, 

maka dapat dikatakan bahwa mujtahid itu yaitu  seseorang yang 

memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menggali hukum-hukum 

syarak dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan/atau Sunah.  

Al-Jurjani dalam kitab al- Ta‘rifat  juga menjelaskan bahwa yang 

dimaksud dengan mujtahid yaitu  orang yang menguasai ilmu 

Alquran dan ilmu tafsir yang sangat diperlukan dalam memahami 

makna ayat-ayat Alquran, menguasai ilmu riwayah dan dirayah 

hadis sehingga mempu menjelaskan maksud suatu hadis, mampu 

melakukan penalaran analogis, dan tanggap terhadap problem-

problem kekinian.  

 

3.  Syarat - syarat Mujtahid  

Ali Abd al-Kafi as -Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab 

al- Ibhaj fi Syarh al - Minhaj  menjelaskan kriteria mujtahid yait