ilmu kalam
By tuna at Januari 24, 2024
ilmu kalam
agama dipahami sebagai intellectual expression of religion, atau keterangan
tentang kata-kata agama yang bersifat pikiran. Karena itu teologi biasanya diikuti
dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Teologi Kristen dan juga
Teologi Islam (Ilm Kalam).
Dalam buku Ilmu Kalam karya Ahmad Hanafi ini, merupakan gagasan
untuk memperkenalkan ilmu kalam sebagai Teologi Islam. Suatu istilah yang
belum begitu banyak dikenal oleh pembaca di Indonesia, untuk Ilmu Kalam atau
Ilmu Tauhid.5 Ahmad Hanafi menjelaskan, bahwa ruang lingkup pembahasan
ilmu kalam sama dengan ruang lingkup pembahasan teologi. Sebagaimana ilmu
kalam juga berbicara tentang sekitar Tuhan, ada-Nya, keesaan-Nya, sifat-sifat-
Nya dari segala segi hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, berupa keadilan
dan kebijaksanaan, qadla dan qadar, pengutusan rasul-rasul sebagai penghubung
antara Tuhan dan manusia dan soal-soal yang bertalian dengan kenabian,
kemudian tentang keakhiratan.6 Dari kajian tersebut, sangat tampak bahwa
Hanafi, banyak memfokuskan kajian pada perkembangan pemikiran akidah atau
metafisika.
Ruang lingkup pembahasan ilmu kalam tentang keyakinan ber-Tuhan
inilah yang juga dinamakan “teologi”.7 Hanya saja karena ruang lingkup
pembahasannya berdasarkan prinsip dasar ajaran agama, maka dinamakan teologi
agama. Untuk itu, ilmu kalam yang memiliki dimensi bahasan tentang ketuhanan
(keyakinan atau teologi), yang berdasarkan dan bersumber pada prinsip-prinsip
ajaran agama islam maka dinamakan sebagai Teologi Islam.8 Perubahan dari ilmu
kalam ke teologi Islam ini menurut Prof. Amin Abdullah, bahwasannya telah
terjadi akulturasi dan inkulturasi (pergeseran pemikiran) keagamaan yang begitu
jelas terutama di Indonesia.9 Berangkat dari kegelisahan di atas, Ahmad Hanafi
menghadirkan 3 pokok kajian pembahasan ilmu kalam atau teologi Islam,
sebagaimana rumusan masalah berikut, yaitu: Bagaimana perkembangan aliran-
aliran ilmu kalam? Dan bagaimana aliran-aliran kalam dan falsafah berbicara
dalam persoalan akidah?
KAJIAN TEOLOGI SEBELUMNYA
Dalam kacamata penulis, bahwa kajian teologi Islam di Indonesia sudah banyak
diperkenalkan, sebagaimana beberapa karya berikut:
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya.10 Buku ini banyak menjelaskan kajian kalam dari dimensi
sejarah, ajaran, dan perkembangannya, akan tetapi tidak menghadirkan secara
komparatif pemikiran akidah dari aliran kalam dengan falsafah Islam. Uraiannya
cenderung bersifat deskriptif-historis.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan
Perbandingan. Buku ini banyak merespon tentang sejarah pemikiran sekaligus
gerakan kalam secara kritis. Akan tetapi buku ini tidak menguraikan secara
mendalam tentang pergesaran dan perkembangan istilah “kalam” ke “teologi”,
khususnya di Indonesia.
METODE TEOLOGI ISLAM AHMAD HANAFI
Berdasarkan kesungguhan dan kegelisahan akademik, Ahmad Hanafi ingin
menghadirkan suasana baru dalam lapangan ilmu kalam. Dalam dua segi buku
Theology Islam (Ilmu Kalam) ini dikatakan baru, yakni dari segi metode dan
materi. Dari segi metode, Hanafi membagi kajian teologinya menjadi 3 bagian,
pertama, membicarakan sejarah pembinaan (lahirnya) ilmu kalam atau teologi
Islam. Kedua, khusus membicarakan aliran-aliran ilmu kalam. Ketiga,
membicarakan beberapa persoalan ilmu kalam.
Ruang lingkup kajian13 buku Theologi Islam Hanafi ini tidak lagi
mengikuti sistem buku-buku ilmu kalam yang ada, yaitu yang hanya menekankan
segi persoalan ilmu kalam, tanpa memberikan perhatiannya sama sekali terhadap
sejarah pembinaaanya. Dalam segi materi diusahakan sedapat-dapatnya agar tiap-
tiap persoalan dibahasa seluas mungkin tidak hanya terbatas pada aliran tertentu.
Pembicaraan lebih bersifat perbandingan, bukan saja antara aliran-aliran ilmu
kalam sendiri, melainkan juga dengan filsafat Islam.
Melihat kegigihan dan semangat tulisan dalam karya ini dalam
memperkenalkan istilah Theology Islam sebagai Ilmu Kalam. Ahmad Hanafi
menggunakan metode Historis-Komparatif dalam menjelaskan dan menguraikan
persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam teologi Islam/Ilmu Kalam.
STRUKTUR TEOLOGI ISLAM AHMAD HANAFI
1. Bagian Pertama; Pengantar Ilmu Kalam
a. Definisi Ilmu Kalam
Ilmu Kalam15 ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud-wujud Tuhan (Allah),
sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-
sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan,
untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada
padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin
terdapat padanya.16
Menurut Ibn Khaldun, Ilmu Kalam adalah ilmu yang mengandung
argumentasi rasional yang digunakan untuk membela akidah-akidah imaniyyah
dan mengandung penolakan terhadap pandangan ahli bid‟ah yang di dalam
akidah-akidahnya menyimpang dari mazhab al-Salaf al-S}a>lih} dan ahl sunnah,
untuk kemudian masuk pada keyakinan hakiki yang menjadi rahasia dari tauhid.
Mengenai asal usul Ilmu kalam, ilmu kalam juga disebut ilmu tauhid18 (percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sekutu-Nya). Ilmu kalam juga
dinamakan „ilm „aqa>‟id atau „ilm us}u>l al-di >n. Hal ini karena persoalan
kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama.19 Ilmu kalam juga sama dengan
ilmu teologi bagi orang-orang Masehi.
Secara lebih jelas, beberapa argumentasi mengapa keilmuan ini dinamakan
ilmu kalam. Al-Tafta>zza>ni > menerangkan, bahwa disebut ilmu kalam karena
persoalan-persoalan pertama yang dibahas, dalam sejarahnya, adalah berkenaan
dengan Kalam Allah, yaitu apakah kalam Allah bersifat hadis atau qadim.
Hasbie ash-Shiddieqy menyebutkan beberapa alasan, problematika yang
diperselihkan sehingga menyebabkan umat Islam terpecah ke dalam beberapa
golongan, materi-materi ilmu kalam tidak ada yang diwujudkan dalam kenyataan
atau diamalkan, dalam menerangkan cara atau jalan ilmu kalam serupa dengan
mantiq, dan terakhir ulama-ulama muta‟akhirin membicarakan dalam ilmu ini halhal yang tidak dibicarakan oleh ulama salaf, seperti penakwilan ayat-ayat
mutasha>biha>t, pengertian qad}a>‟, kala>m, dan lain lain.
b. Sebab-sebab berdirinya Ilmu Kalam
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi
Muhammad SAW. maupun pada masa sahabat. Akan tetapi baru muncul atau
dikenal pada masa berikutnya, setelah banyak orang yang membicarakan
persoalan metafisikAhmad Hanafi menerangkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya ilmu kalam terbagi menjadi dua, yakni faktor-faktor
yang datang dari dalam Islam dan kaum muslimin dan faktor-faktor yang datang
dari luar mereka, karena adanya kebudayaan-kebudayaan lain dan agama-agama
yang bukan Islam.
Faktor-faktor dari dalam, pertama, al-Qur‟an sendiri mengajak kepada
tauhid dan kenabian, dan juga golongan-golongan tentang kepercayaan tauhid.
Kedua, ketika kaum muslim selesai membuka negeri-negeri baru untuk masuk
Islam, dan mulai muncul persoalan agama dan berusaha menjawabnya. Dan
ketiga, persoalan-persoalan politik.
Sedangkan faktor-faktor dari luar Islam dan kaum muslimin, yaitu
pertama, banyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama
Yahudi, Masehi, dan lain lain, apalagi sudah menjadi ulama‟, kemudian masuk
Islam. kedua, golongan Islam yang dulu, terutama golongan Mu‟tazilah,
memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan
mereka yang memusuhi Islam. dan ketiga, para mutakallimin hendak
mengimbangi lawan-lawannya yang menggunakan filsafat, maka mereka terpaksa
mempelajari logika dan filsafat, terutama segi Ketuhanan.
c. Perbedaan Metode antara Ilmu Kalam dan Filsafat
Antara ilmu kalam dan filsafat terdapat banyak perbedaan, walaupun keduanya
memiliki beberapa kesamaan seperti sama-sama menggunakan akal dalam
eksplorasi kebenaran dan sama-sama mengambil argumen dari luar Islam seperti
Yunani, Persia dan lain-lain. Adapun di antara perbedaan-perbedaanya adalah:
1. Mutakallimin (penganut ilmu kalam) lebih dahulu percaya kepada pokok
persoalan dan mempercayai kebenarannya, kemudian menerapkan dalil-dalil
pikiran untuk membuktikannya. Sedangkan filsafat lepas dari pengaruh-
pengaruh dan kepercayaan-kepercayaan, dan dalam melakukan penyelidikan
menyusun dalil-dalil pikiran sampai mencapai suatu hasil, bagaimanapun
juga adanya hasilnya ini mereka pegangi kuat-kuat.
2. Dari segi pembinaannya, ilmu kalam timbul berangsur-angsur dan mula-
mula hanya merupakan persoalan yang terpisah-pisah. Sedangkan filsafat,
melalui fase pertumbuhan di Yunani sendiri maupun di negeri-negeri
lainnya.
d. Perbedaan Metode antara al-Qur’an dan Ilmu Kalam
Ahmad Hanafi menerangkan, bahwa al-Qur‟an tidak menyusun dalil-dalilnya
secara logika, yang terdiri dari premis minor (muqaddimah al-sughra >), dan premis
mayor (al-muqaddimah al-kubra >) dan konklusi (nati >jah). Qur‟an juga tidak
menggunakan istilah filsafat, seperti jauhar, arad } dan sebagainya dan tidak
mengurai problem pemikiran dengan panjang lebar, karena agama tidak hanya
untuk para filsuf dan orang-orang pandai saja. Kalau ilmu pengetahuan dan logika
semata-mata yang digunakan al-Qur‟an, tentu hanya segolongan kecil manusia
saja yang akan iman kepada agama.
e. Teologi Islam dengan Teologi Yahudi
Penegasan Hanafi tentang faktor timbulnya ilmu kalam, yakni adanya golongan-
golongan agama sebelum Islam, baik agama Aria seperti Brahma, Budha dan
Persia ataupun agama Smit, yaitu agama Yahudi dan Masehi. Antara Teologi
Islam dan Yahudi terdapat tiga persoalan yang asama, yaitu:
f. Teologi Masehi
Orang-orang Masehi mulai menafsiri kepercayaan-kepercayaan mereka dan mulai
mempertemukan kata-kata injil yang kelihatannya saling bertentangan, sehingga
muncullah apa yang dinamakan “ajaran Masehi yang difilsafatkan”. Lingkungan
Masehi dengan demikian mengenal dua golongan, yaitu golongan pemeluk
Masehi pada umumnya dan gereja di satu pihak dan golongan-golongan ahli pikir
atau rasionalis dipihak lain. Tokoh-tokoh yang terkenal ialah Origen (185-251
atau 254), Arius (256 - 336 M, Nesterius meninggal 450 M, Diskors, dan Yacob
Baradaens (490 – 577M).29
2. Bagian Kedua; Aliran-Aliran Ilmu Kalam
a. Mu’tazilah
Aliran Mu‟tazilah adalah aliran pikiran Islam yang terbesar dan tertua, yang telah
memainkan peranan sangat penting orang yang hendak mengetahui filsafat Islam
yang sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah pemikiran
Islam. Aliran Mu‟tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijriah di
kota Basrah, pusat ilmu dan peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka
kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
Dalam buku Teologi Islam Hanafi menguraikan ruang kajian Mu‟tazilah,
mulai dari asal usul nama Mu‟tazilah, suasana lahirnya Mu‟tazilah, ajaran-
ajarannya, filsafat aliran Mu‟tazilah, tokoh-tokoh Mu‟tazilah (Wa>s }il bin „At }a> al-
Ghaza>li >, Abu> Huzail al-Alla>f, Ibra>hi >m bin Sayyar an-Nazza>m, dan Mu‟ammar bin
„Abbad as-Sulmay), dan terakhir tentang kemunduran golongan Mu‟tazilah.
b. Aliran Ash’ariyah
Dalam suasana ke-Mu‟tazilah-an yang keruh, muncullah al-‟Ash‟ari}, dibesarkan
dan dididik, sampai mencapai umur lanjut. Ia telah membela aliran Mu‟tazilah
sebaik-baiknya, akan tetapi aliran tersebut kemudian ditinggalkannya, bahkan
memberinya pukulan-pukulan hebat dan menganggapnya lawan yang berbahaya.
Aliran ini didirikan oleh „Abd H}asan „Ali > bin Isma>‟il al-‟Ash‟ari}>, keturunan Abu>
Mu>sa> al-‟Ash‟ari}>.
Hanafi menguraikan lebih dalam lagi, bermula dari riwayat hidupnya,
karyanya, madzhab dan corak pemikirannya, perkembangan aliran al-‟Ash‟ari }yah,
dan terakhir tokoh-tokoh aliran al-‟Ash‟ari}yah (al-Baqi >lani>, al-Juwain >, al-Ghaza>li >,
dan al-Sanu >si >).
c. Aliran Maturidiyah
Aliran al-Maturidiyah, seperti aliran al-Ash‟ariyah, masih tergolong Ahl al-
sunnah. Pendirinya ialah Muh }ammad bin Muh}ammad Abu> Mans}u>r. Ia dilahirkan
di Maturid, sebuah kota keci di daerah Samarqand (termasuk daerah Usbekistan
Suviet sekarang) kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan meninggal
di Samarqand tahun 332 H.34
Al-Maturidi > mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal kepercayaan
kepada pikiran-pikiran Islam Ima >m Abu> H{ani >fah yang tercantum dalam kitabnya
“al-fiqh al-akbar” dan “al-fiqh al-absat” dan memberikan ulasan-ulasannya
terhadap kedua kitab tersebut al-Maturidi } meninggalkan karangan-karangan yang
banyak dan sebagian besarnya dalam lapangan ilmu Tauhid. Lebih lanjut Ahmad
Hanafi banyak berbicara, Sistim pemikirannya.
d. Ibn Rushd
Ia adalah Abu al-Walid Muh }ammad bin Ah }mad bin Muh }ammad bin Rushd. Ia
dilahirkan di Cordova (Spanyol), dari satu keluarga yang terkenal. Ibn Rushd
waktu kecil mempekajari ilm kalam, seperti yang difahamkan, diuraikan dan
dibela oleh aliran al-‟Ash‟ari}yah, pada ulama-ulama negerinya. Kemudian
mempelajari fiqh menurut madzhab Maliki dan belajar hadits pada ayahnya
sendiri. Kitabnya yang terkenal dalam fiqh, “Bida >yatul Mujtahid”.Lebih dalam
Ahmad Hanafi berbicara tentang, Ibn Rushd dan Filsafat, Pertemuan Agama dan
Filsafat.
3. Bagian Ketiga; Beberapa Persoalan Ilmu Kalam
a. Wujud Tuhan
Seseorang yang menghargai akal-pikirannya dan ingin mempertemukannya
dengan ajaran-ajaran agama. Hendaklah ia pertama-tama mencari bukti-bukti
adanya Tuhan, yang menjadi pangkal soal-soal lainnya, mengutus rasul-rasul dan
soal-soal keakhiratan. Pembuktian adanya Tuhan benar-benar telah dibicarakan
golongan-golongan Islam, baik aliran-aliran ilmu kalam maupun filsuf-filsuf
Islam. golongan-golongan yang telah mengambil bagian dalam soal “wujud
Tuhan”, Ahmad Hanafi, menguraikan 4 aliran: Aliran Mu‟tazilah dan al-
‟Ash‟ari}yyah, Aliran Maturidi >, Aliraan Tasawuf, dan Aliran Ibn Rushd.
b. Keesaan Tuhan
Dalil keesaan Tuhan, Ahmad Hanafi memberikan uraian dari 3 macam penjelasan,
yakni dalil filsuf-filsuf Islam, dalil ulama kalam dan dalil Ibn Rushd.
c. Zat dan Sifat
Kaum muslimin abad pertama Hijrah kalau bertemu dengan ayat-ayat
mutasha>biha>t atau ayat-ayat yang membicarakan sifat-sifat Tuhan, seperti ayat-
ayat yang berisi tangan tempat bagi Tuhan, tidak mau membicarakan isinya, juga
tidak mau menakwilkan, meskipun mereka berpendirian seharusnya, karena
Tuhan maha suci dan tidak bisa disamakan dengan makhluk. Perdebatan itu
kemudian beralih menjadi pembicaraan golongan-golongan Islam, sebagaimana
golongan-golongan yang di uraikan Ahmad Hanafi, yakni Mushabbihah,
Mu‟tazilah, Filsuf-filsuf Islam, Al-‟Ash‟ari}yah, dan Ibn Rushd.
d. Sifat-sifat Aktif
Sifat-sifat aktif (sifat-sifat perbuatan), ulama kalam tidak sama pendapatnya
tentang sifat Tuhan berupa perbuatan, baik definisinya maupun tentang hadis-
hadisnya. Ahmad Hanafi menguraikan dari tiga aliran, yakin Mu‟tazilah, al-
‟Ash‟ari}yah, dan Maturidiyah.
e. Sifat Ilmu
Dalam membicarakan sifat Ilmu, Ahmad Hanafi menguraikan dari 4 aliran, yaitu
Mu‟tazilah, al-‟Ash‟ari }yah, Maturidiyah, dan Ibn Rushd.
f. Sifat Kalam
Perkataan Tuhan (Kalam) ialah apa yang diwahyukan kepada manusia melalui
orang-orang pilihan-Nya, yaitu rasul dan nabi-nabi berisi peraturan-peraturan
untuk kebahagiaan manusia, berupa kepercayaan Allah, syariat dan akhlak.
Seluruhnya ini dinamai perkataan Allah, baik dinyatakan dalam bahasa Ibrani atau
bahasa Arab dan berbeda-beda caranya. Apakah firman Tuhan tersebut qadim
seperti qadimnya Tuhan sendiri, sumber firman itu, ataukah sebaliknya, baru dan
diadakan?. Ahmad Hanafi memetakan perdebatan kalam dari beberapa golongan,
yakni Aliran Mu‟tazilah, Ibn H}anbal, Ash‟ariyah, Maturidiyah, dan Ibn Rushd.
g. Kejisiman Tuhan
Dalam soal ke-Jisim-an, Ahmad Hanafi, menguraikan dari 3 aliran, yakni aliran
Mushabbihah, ulama kalam, dan Ibn Rushd.
h. Arah
Perbedaan pendapat antara kaum muslimin dalam soal “arah” adalah perbedaan
yang prinsipil, tidak seperti dalam soal-soal lain yang hingga kini hanya
perbedaan lahir, karena salah memahami persoalan atau karena perbedaan cara
memandangnya. Dalam soal arah, Ahmad Hanafi membagi dua blok atau kubu
pemahaman, yakni, pertama, blok yang menetapkan arah, yaitu golongan
Mushabbihah, Karramiyah, al-‟Ash‟ari }yyah dan Ibn Rushd. Kedua, blok yang
mengingkari arah, yaitu aliran Mu‟tazilah, Maturidiyah dan aliran al-‟Ash‟ari }yah
(pengikut-pengikutnya).
i. Ru’yat
Soal Ru‟yat (melihat Tuhan dengan mata-kepala), bertalian erat dengan soal ke-
jisim-an dan menjadi salah satu bahan perselisihan yang penting antara aliran-
aliran Islam, meskipun masing-masing aliran tersebut mendasarkan pendapatnya
kepada Qur‟an. Sebab utama dari perselisihan tersebut ialah perbedaan gambaran
masing-masing terhadap zat Tuhan dan gambaran terhadap pertalian antara orang
yang melihat dan yang dilihat. Dalam buku Theologi Islam, Ahmad Hanafi
diperbincangkan 4 golongan, yakni Mu‟tazilah, al-‟Ash‟ari}yah, Maturidiyah, dan
Ibn Rushd.
j. Keadilan Tuhan
Ulama muslimin tidak sama pemahamannya terhadap iradah Tuhan
(kemauan/kehendak Tuhan). Apakah kehendak Tuhan mutlak, tidak tunduk
kepada norma-norma baik dan buruk, adil dan dzalim dan kebijaksanaan, ataukah
tunduk kepada hal-hal semua itu. Berhubung dengan hal-hal tersebut, maka
persoalan yang akan dibicarakan adalah kebijaksanaan Tuhan, baik dan buruk
menurut pertimbangan akal, keburukan di dunia, dan qad}a>‟ dan qadr. Persoalan-
persoalan tersebut diuraikan Ahmad Hanafi dari 4 golongan, yakni Mu‟tazilah, al-
‟Ash‟ari}yyah, Maturidi >, dan Ibn Rushd.
k. Qad}a>’ dan Qadar
Persoalan qad}a>‟ dan qadr tidak habis-habisnya dibicarakan orang hingga sekarang
tidak ada kesepakatan pendapat. Al-Qur‟an sendiri, disatu pihak beberapa ayat
menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain
beberapa ayat menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan segala sesatu. Ahmad
Hanafi, menguraikannya dari golongan Jabariyyah, Mu‟tazilah, Al-‟Ash‟ari }yah,
Maturidiyah, dan Ibn Rushd.
SUMBANGAN DALAM KEILMUAN
Kajian kalam Ahmad Hanafi dalam bukunya Theologi Islam, memberikan
khazanah dan sumbangsih yang sangat berarti bagi kekayaan keilmuan Islam.
Terlepas dari kajian teeologi yang berkembang, Ahmad Hanafi berusaha
memperkenalkan ilmu kalam sebagai bagian dari khazanah pemikiran Islam.
Kemasan kajiannya menjadi sangat menarik ketika Hanafi menghadirkan kalam
dari sisi historis-komparatif, sekaligus menghadirkan wacana falsafah keislaman.
Terlebih lagi wacana teologi sedang berkembang menuju era
antroposentrisme. Proyek gagasan ini mengaruskan serta mengantarkan semua
pengiat kajian kalam untuk berpikir ke depan, selalu terbuka, dan terus belajar,
arus kehidupan manusia menuntut untuk bersentuhan dengan ilmu-ilmu lain,
seperti sosiologi, antropologi dan juga psikologi. Hal ini dilakukan dengan tujuan
agar semua visi keislaman –s }a>lih li kulli zama >n wa maka >n– benar-benar terealisasi
tidak hanya pada tataran teoritis-metodologis melainkan praksis-interpretatif.
Sebagaimana ditegaskan oleh H {asan H {anafi}, bahwa orang-orang terdahulu
telah bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan mereka dan sesuai dengan kondisi
sosial yang melingkarinya untuk menjadikan “kalam” sebagai objek kajian ilmu-
ilmu klasik yang terkait dengan masalah bahasa. Sedangkan kalam kini sudah
saatnya menjadi objek kajian bagi ilmu-ilmu kemanusiaan modern.50 Dari sinilah
kemudian berkembang gagasan, “dari teosentrime ke antroposentrisme”, dari
nilai-nilai Ketuhanan menuju nilai-nilai kemanusiaan.
Kalam kontemporer dengan demikian, mesti berdialog dengan realitas yang
berkembang dalam konteks kekinian sebagai wujud pengembalian nilai vital dan
kebaruannya. H{asan H {anafi> menjelaskan bahwa falsafah Islam, termasuk kalam,
perlu bergumul, bersentuhan dan berinteraksi dengan diskursus falsafah yang
hidup dalam kesadaran dan kebudayaan Eropa, yang telah berhasil membedah
persoalan-persoalan kemanusiaan (antropologi) dan menempatkannya sebagai
persoalan yang lebih pokok untuk ditelaah dan dikaji, daripada hanya terjebak
pada persoalan-persoalan ketuhanan klasik semata.
Pembaharuan kalam yang lebih membumi dan berdimensi sosiologis
kemanusiaan merupakan keniscayaan sejarah. Kalam “baru” mesti di orientasikan
untuk menjawab problem-problem kemanusiaan kontemporer dan tidak perlu lagi
bersusah-susah dalam membela dimensi “ketuhanan” yang bersifat transeden-
spekulatif.
Perkembangan dan perluasan pemikiran dari peradaban manusia. Pastinya
menuntut adanya perubahan seiring dengan majunya kehidupan manusia. Akidah
atau teologi sudah pasti terlibat secara langsung, untuk menjawab segala persoalan
manusia, yang berdimensi sosiologis, antropologis, politis, dan budaya.
Perubahan, pergeseran dan perluasan makna “kalam” ke “teologi” berusaha
diperkenalkan oleh Ahmad Hanafi melalui karyanya Theologi Islam (Ilmu
Kalam). Karya ini menarik, memberikan kajian yang segar dengan
memperkenalkan istilah teologi Islam sebagai ilmu kalam. Apalagi dalam
bukunya menggunakan kajian historis-komparatif, serta melengkapi kajian dengan
keilmuan falsafah islam.
Kajian kalam terlebih lagi telah mengalami perkembangan dari berbagai
sisi, pertama, kalam pernah berkembang dengan menghadirkan diskusi tentang
Keesaan Tuhan, zat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan segala aspek tentang keyakinan.
Kedua, perdebatan kalam memasuki gelombang perdebatan antar aliran, yang
mana masing-masing memiliki prinsip dan dasar pemikirannya yang unik dan
menguatkan. Ketiga, perdebatan kalam tidak harus lagi melingkar hanya pada isu-
isu sekitar dimensi ketuhanan, melainkan harus bersentuhan dengan dimensi
kemanusiaan.
Ahmad Hanafi mencoba mengantarkan atau melemparkan wacana
perkembangan ilmu kalam ke arah yang lebih maju lagi. Terbukti dalam karyanya
ini, Hanafi banyak bicara juga tentang falsafah (filsafat Islam), serta pergeseran
paradigma kalam. Pergeseran paradigma kalam ke teologi ini kemudian banyak
diamini oleh generasi berikutnya. Generasi selanjutnya kemudian telah banyak
menghadirkan kajian kalam yang lebih banyak berbicara kepada nilai-nilai
kemanusiaan, pembelaan terhadap kemanusiaan, bukan ketuhanan.
Proses akulturasi dan inkulturasi (pergesaran paradigma keilmuan) –
meminjam bahasanya Prof. Amin Abdullah – akan terus terjadi seiring
perkembangan keilmuan dan peradaban manusia. Perkembangan ini akan menjadi
ujian bagi paradigma keilmuan yang berkembang, yang bertahan dan mampu
menjadi solusi bagi setiap masalah peradaban manusia akan bertahan dan terus
mengalami evolusi bahkan revolusi. Perkembangan ini tidak hanya pada tataran
wacana kalam saja, melainkan juga fiqh, tasawuf dan filsafat.