• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

Naskah Gulungan Laut mati

 


Naskah Gulungan Laut Mati merupakan naskah tertua yang ditemukan di antara manuskrip￾manuskrip yang sudah sebagai bukti keaslian Kitab Suci yang digunakan umat Kristiani hingga saat 

ini. Maka dari itu, studi untuk mempelajari Kitab Suci menjadi sangat menarik dengan adanya bukti 

perbandingan dari Gulungan Laut Mati. Meskipun masih ada yang meragukan keaslian Kitab Suci 

umat Kristiani, tetapi dengan bukti-bukti dari segi historis, filologi, arkeologis, serta analisis kritis 

dari para sarjana Kitab Suci sudah sangat membuktikan bahwa Kitab Suci yang dipakai hingga saat 

ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah 

metode kualitatif dengan analisis deskriptif dan verifikasi sebagai pemaparan dan pembuktian dari 

sumber yang sudah tersedia. Dari hasil pembahasan ditemukan bahwa naskah Gulungan Laut Mati 

bersama manuskrip tertua yang dimiliki gereja seperti Ben Ezra atau Geniza, Hallap atau Allepo 

Syria, dan Codex Leninghard menjadi bukti yang tak terbantahkan bahwa Kitab Suci sejak ribuan 

tahun lalu hingga saat ini memiliki reliabilitas yang valid. Dengan kata lain penemuan dari Gulungan 

Laut Mati ini menjadi bukti yang saling melengkapi dan saling terkait bahwa Kitab Suci yang 

selama ini dipakai oleh umat Kristiani tidak dapat diragukan keasliannya. Namun demikian tidak 

menutup bagi orang yang masih meragukan keaslian Kitab Suci dengan mempelajarinya melalui 

penemuan naskah-naskah Gulungan Laut Mati ini. Penemuan ini dapat dijadikan suatu 

studi banding dalam mempelajari Kitab Suci Perjanjian Lama dan bahkan keseluruhan isi dari Kitab 

Suci umat Kristiani terutama Kitab Suci Kanon Katolik. Oleh karena itu, harapan besar melalui 

tulisan ini dapat menambah pengetahuan mengenai esensi dari Kitab Suci Perjanjian Lama, proses 

ditemukannya Gulungan Laut Mati, proses kanonisasi hingga menjadi Kitab Suci yang dipakai oleh 

umat Katolik pada umumnya.Kitab Suci merupakan buku iman yang 

mengisahkan perjalanan umat Israel dan umat Allah 

dalam merefleksikan hubungan yang mendalam antara 

Allah dan ciptaan-Nya. Allah menyejarah di dalam 

Kitab Suci dengan cara menunjukkan kebesaran-Nya 

dalam karya keselamatan dan keadilan. Allah yang 

menyelamatkan itu kemudian tercatat sedemikian 

mendalam melalui ilham Roh Kudus. Namun dalam 

perjalanan waktu, eksistensi Kitab Suci sebelumnya 

dalam rupa perkamen-perkamen atau gulungan￾gulungan tidak lepas dari situasi sosial politik yang 

terjadi dalam sejarah umat Israel. Umat Israel telah 

mengalami penjajahan berkali-kali oleh bangsa-bangsa 

lain sebagai hukuman dari Allah atas ketidaktaatan. 

Akibatnya, gulungan-gulungan kitab ini juga 

mengalami imbasnya. Adanya potensi rusak atau 

hilangnya gulungan-gulungan kitab karena keadaan 

seperti pengungsian, penjarahan, maupun perbudakan. 

Selain itu gulungan-gulungan dari papirus yang ada 

telah mengalami kerusakan atau pembusukan seiring 

waktu. Meskipun demikian, ada ribuan naskah-naskah 

asli yang kemudian disalin oleh penulis profesional 

dan kemudian diuji serta ditegaskan melalui ilmu 

sejarah dan arkeologi. Dalam artikel ini, Dead Sea 

Scrolls (DSS) atau Gulungan Laut Mati menjadi salah 

satu bukti bahwa Kitab Suci yang dipakai oleh umat 

Kristiani hingga saat ini dapat dipertanggungjawabkan 

keasliannya. Maka dari itu, Gulungan Laut Mati sangat 

menarik untuk dipelajari mengingat dari segi usia, 

penemuannya, dan tentu saja isinya sama dengan Kitab 

Suci yang dipakai umat Kristiani saat ini. 

Rumusan masalah dalam artikel ini adalah 

bagaimana latar belakang ditemukannya Gulungan 

Laut Mati, sejarah ditemukannya, sosial masyarakat 

Qumran berdasarkan penemuan Gulungan Laut Mati? 

Bagaimana reliabilitas Kitab Suci dari penemuan 

Gulungan Laut Mati? Mengapa penemuan Gulungan 

Laut Mati sangat penting bagi Studi Kitab Suci?

Penelitian yang digunakan dalam penulisan 

artikel ini melalui metode kualitatif dengan analisis 

deskriptif dan verifikasi sebagai pemaparan dan 

pembuktian dari sumber yang sudah tersedia. 

Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Suyadi 

Tjhin dari Sekolah Tinggi Teologi Iman Jakarta 

dengan judul Dead Sea Scrolls dan Reliabilitas Kitab 

Suci Dalam Perspektif Injili. Hasil dari penelitiannya 

memperoleh beberapa temuan antara lain: Dead Sea 

Scrolls ditinjau dari perspektif Injili (Alkitabiah), 

temuan manuskrip-manuskrip non-Kitab Suci 

memperlihatkan kehidupan masyarakat Qumran yang 

menunjukkan kesamaan dengan kehidupan umat 

Yahudi dan Kristen di abad pertama, penemuan Dead 

Sea Scrolls ini menjadi bahan kajian para sarjana Kitab 

Suci tentang teks-teks Kitab Suci dan mempertegas 

keyakinan iman Kristiani bukanlah fiksi tetapi fakta 

sejarah. Pada artikel ini, penulis mempertegas bukti 

deskripsi objek dengan validasi dari komparasi 

berbagai sumber pustaka.

PEMBAHASAN

Pengertian Kitab Suci

Alkitab dalam bahasa Yunani disebut biblos

(Βύβλος) atau biblion (Βύβλiοv), sementara bahasa 

Latin menyebutnya dengan biblia yang berarti 

gulungan buku yang terbuat dari papirus yang merujuk 

pada bahan yang sering dipakai orang untuk menulis. 

Alkitab juga disebut sebagai perpustakaan, atau 

kumpulan tulisan mengenai Allah dan hubungan-Nya 

dengan dunia(S., 2016).

Menurut Wardoyo, Kitab Suci merupakan 

sejarah keselamatan umat Israel yang berasal dari 

inspirasi Allah mengenai kehendak dan kebenaran 

tentang Allah yang dimuat dalam suatu catatan-catatan 

yang awalnya diceritakan secara lisan secara turun 

temurun, kemudian didokumentasikan dalam rupa 

tulisan-tulisan dan biasanya dibacakan dalam rumah￾rumah ibadat sebagai sumber pedoman hidup bagi 

umat beriman (Wardoyo, 2021).. 

Sementara menurut Grudem yang dikutip oleh 

Reynaldi mendefinisikan Kitab Suci atau Alkitab 

sebagai segala perkataan dan wahyu Allah yang cukup 

untuk diketahui oleh umat-Nya, dan di dalam Alkitab 

terkandung berbagai macam hal yang diperlukan untuk 

memimpin umat-Nya kepada keselamatan, 

kepercayaan serta ketaatan penuh kepada-Nya

(Reynaldi, 2019).

Berdasarkan pendapat di atas, Alkitab 

merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang berisi 

perkataan, wahyu Allah dan inspirasi Allah mengenai 

kehendak dan kebenaran tentang Allah yang 

terkandung sejarah keselamatan umat-Nya, yang 

diimani dengan kepercayaan serta ketaatan penuh 

kepada-Nya. Gulungan Laut Mati (The Dead Sea Scrolls)

Menurut Fati Aro Zega, Gulungan Laut Mati 

atau Naskah Laut Mati yang diberi nama The Dead Sea 

Scrolls adalah naskah-naskah kuno yang ditulis 

sebelum Tarikh Masehi yang ditemukan paling akhir di 

antara tulisan-tulisan kuno lainnya yang telah beredar 

lebih dahulu dan kemudian diterbitkan. Gulungan Laut 

Mati ini menjadi acuan dalam penyalinan Kitab Suci. 

Meskipun demikian, dengan ditemukannya Gulungan 

Laut Mati ini tidak mengubah kekristenan, akan tetapi 

menjadi peristiwa yang sangat penting bagi kekristenan 

sehingga memberikan peneguhan pada kanonisasi 

Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru(Zega, 2021). 

Gulungan Laut Mati atau disebut juga sebagai 

naskah Qumran menjadi salah satu sejarah yang sangat 

penting dalam dunia kekristenan. Meskipun Gulungan 

Laut Mati baru ditemukan pada tahun 1947, tetapi 

penemuan ini memberikan peneguhan bagi kekristenan 

atau teologi kristiani. Ada banyak karya yang berkaitan 

erat dengan Dead Sea Scrolls ini. Beberapa karya 

ini dapat ditemukan pada para Teolog Biblika 

maupun Historika, antara lain Andrew E. Hill, John H. 

Walton, John Allegro, Merrill C, Tenney, Geza 

Vermes, dan Millar Burrows. Karya-karya mereka 

ini memperlihatkan betapa pentingnya Gulungan 

Laut Mati bagi reliabilitas Kitab Suci(Tjhin, 2018).

Dengan ditemukannya naskah-naskah Qumran 

atau Gulungan Laut Mati, hal ini menambah kekayaan 

historis dalam kekristenan. Sejarah ini tidak 

berarti menghadirkan manuskrip-manuskrip kuno saja 

tetapi membuka peluang untuk studi banding terhadap 

naskah-naskah yang telah tersedia bersamaan dengan 

Kitab Suci yang sudah dikanoniksasi. Namun 

demikian, Gulungan Laut Mati juga memberikan 

kesempatan bagi kaum yang tidak menerima Alkitab 

sebagai Firman Allah yang diinspirasikan oleh Roh 

Kudus dan tanpa salah (ineransi). Bahkan kritikan 

terhadap teks yang ada di dalam Kitab Suci. Hal ini 

juga tidak mengurangi kewibawaan Kitab Suci yang 

sudah ada dan telah dikanonisasi. Sebaliknya, 

Gulungan Laut Mati sendiri tidak mengurangi ataupun 

menambahkan kitab-kitab yang ada dalam Kitab Suci. 

Sebagai contoh, Kitab Ester yang ditemukan dalam 

Gulungan Laut Mati, tidak mempengaruhi kitab Ester

yang ada di dalam Kitab Suci. Selain itu, 

ditemukannya juga naskah-naskah Alkitabiah dan non￾Alkitabiah (seperti hukum-hukum) yang 

menggambarkan kehidupan masyarakat Qumran 

memberikan gambaran tegas pada apa yang 

digambarkan di dalam Kitab Suci. Maka dari itu, 

pembahasan mengenai Gulungan Laut Mati ini tidak 

hanya mencakup bidang studi bahasa atau teks-teks 

saja, tetapi juga bagi perkembangan iman Kristiani 

hingga saat ini (Tjhin, 2018).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa naskah 

Perjanjian Lama bahasa Ibrani yang dimiliki umat 

Kristiani adalah salinan pada abad ke-9 SM dari 

Pentateukh yang merupakan lima kitab pertama dari 

Kitab Suci, termasuk kitab sejarah serta kitab para 

Nabi. Menurut Paul Enns, sebelum ditemukannya 

naskah Qumran, manuskrip yang tertua diperkirakan 

berusia 900 sesudah masehi. Sementara beberapa 

naskah Gulungan Laut Mati, salah satunya adalah kitab 

Yesaya, Habakuk, dan lainnya memiliki usia jauh lebih 

tua yakni 125 SM. Artinya manuskrip Gulungan Laut 

Mati ini berusia 1.000 tahun lebih tua dari yang 

semula tersedia. Selanjutnya, tidak ada perbedaan yang 

mencolok antara gulungan kitab Yesaya di Qumran 

dengan teks Ibrani Masoretik yang berusia seribu tahun 

setelahnya(Rumbekwan, 2020).

Sejarah Penemuan Gulungan Laut Mati di 

Qumran

Sebelumnya, dalam pelaksanaan penyalinan 

naskah Kitab Suci yang dilakukan secara berulang￾ulang di masa silam masih memiliki kendala berupa 

kesalahan-kesalahan tertentu. Hal ini dijelaskan I 

Nyoman Murah dalam Brando V. Kondoj bahwa 

penyalinan yang terjadi berabad-abad lalu mengalami 

banyak kesalahan-kesalahan dikarenakan bahwa 

naskah-naskah ini disalin secara manual 

menggunakan tangan (selama kurang lebih 1.400 

tahun). Kondisi ini terjadi karena pada masa itu 

memang belum ada percetakan seperti yang ada 

sekarang ini. Proses penyalinan tanpa kesalahanan 

adalah hal yang mustahil. Sebagai contoh, jika 

menyalin satu atau dua halaman buku menggunakan 

tulisan tangan, setidaknya ada kemungkinan besar 

terjadinya kesalahan ataupun kekeliruan dalam menulis 

sebuah kata dalam suatu kalimat. Kemungkinan lain 

bahwa penyalin bisa saja memendekkan suatu kata. 

Kemudian bisa juga terjadi kesalahan yang tidak 

disengaja maupun yang disengaja dan hal ini 

terjadi oleh dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu. 

Alasan kekeliruan lainnya dapat disebab oleh cara 

menulis huruf-huruf terdahulu yang berbeda dengan cara menulis huruf-huruf saat ini. Kekeliruan dapat 

juga terjadi pada penyalin yang menulis dari bentuk 

tulisan kuno menjadi tulisan dalam bentuk baru. Selain 

itu, karena proses waktu dapat membuat tulisan-tulisan 

yang ada menjadi kabur atau rusak. Penulisan 

konsonan-konsonan Ibrani yang hampir sama 

bentuknya, memungkinkan para penyalin keliru dalam 

menulis salinan kitab ini. Penyalin juga memiliki 

kemungkinan untuk keliru dalam proses pembuatan 

salinan dikarenakan kesalahan pemahaman kata atau 

maksud dari suatu kalimat yang berakar pada 

kebudayaan dan kebiasaan masyarakat setempat pada 

zaman itu. Hal ini disebabkan karena setiap kata 

ataupun ungkapan pada teks memiliki pemahaman 

sendiri yang berdasarkan pada tempat dan konteks 

zaman tertentu (Kondoj, 2017).

Gulungan Laut Mati (The Dead Seas Scrolls)

memiliki penanggalan dari 250 SM – 67 M. Pada tahun 

1946-1956, gulungan-gulungan ini ditemukan di gua￾gua Qumran oleh gembala suku Baduin yang bernama 

Mohammed ed-Dhib, Khalil Musa, dan Jum‟a 

Mohammed1

. Suatu hari, para gembala ini kehilangan 

seekor domba di padang Gurun Yudea yang panas dan 

mereka mencari domba itu. Suatu hari mereka 

berhadapan dengan medan yang unik, bukit-bukit 

berkapur, dasar sungai yang kering, tidak merata, dan 

terdapat banyak gua. Suatu ketika untuk 

menghilangkan kebosanan dan rasa frustasi, seorang 

dari mereka melempar sebuah batu ke atas gundukan 

dan mendengarkan suara gemerincing dari sesuatu. 

Kemudian mereka memeriksa bunyi aneh dari batu

yang mereka lempar dan menemukan gua yang sudah 

lama tidak ditempati dan tertutup reruntuhan batu. 

Ketika mereka masuk, mereka melihat sepuluh guci 

tembikar, delapan di antaranya kosong, yang ke 

sembilan berisi debu, dan guci terakhir berisi tiga 

lembar gulungan, dua di antaranya terbungkus kain 

sedangkan yang ketiga tidak. Gembala itu kemudian 

membawa guci-guci itu beserta gulungannya ke 

perkemahan mereka. Tidak lama kemudian, beberapa 

anggota suku Baduin itu kembali ke gua dan 

menemukan empat gulungan lainnya. Mereka 

kemudian membawa semua gulungan-gulungan itu ke 

perkemahan. Karena suku Baduin tidak bisa membaca, 

maka mereka menjualnya ke pedagang dekat daerah 

Betlehem untuk mencari pembeli. Pada akhirnya para 

 

gembala ini berjumpa dengan pedagang barang antik 

bernama Jalil “Kando” Iskandar Shalim. Kando 

kemudian membeli gulungan-gulungan itu dari 

gembala Baduin. Kando sendiri bukanlah seorang 

kolektor tetapi lebih sebagai seorang pedagang biasa, 

maka ia berencana untuk menjual gulungan-gulungan 

ini. Ia selanjutnya menjual gulungan-gulungan itu 

kepada arkhimandrit Biara St. Markus Ortodox Siria, 

Athanasius Yeshue Samuel di Yerusalem dengan harga 

24 lira (sekitar $110 saat itu) untuk membeli empat 

dari ketujuh gulungan (1QISa

, 1QpHab, 1QS, dan 

1QapGen (Wardoyo, 2021)). Singkat cerita, ia juga 

berusaha menjual kembali gulungan-gulungan kitab 

ini di Yerusalem dan menyebutnya sebagai 

Gulungan-gulungan Yerusalem. Kando selanjutnya 

menemukan seorang pembeli dari gulungan yang 

tersisa. Pembeli itu adalah Eliezer Sukenik, profesor 

Arkeologi di Hebrew University dan seorang Direktur 

University Museum of Jewish Antiqueties. Sukenik 

kemudian menyelamatkan gulungan terakhir itu 

(1QISb

, 1QH, dan 1QM (Wardoyo, 2021)) bersama 

dengan dua guci lain yang disimpan2

Pada akhirnya, penemuan ini membuat 

John Trever dari American School of Oriental 

Research (ASOR) berminat untuk menggali dan 

mencari manuskrip-manuskrip di gua-gua 

lainnya(Hoffman, 2014). Sehingga pada tahun 1956 

ditemukanlah manuskrip-manuskrip lain di gua yang

ke sebelas. Maka dari itu, gua tempat penyimpanan 

guci-guci berisi manuskrip ini ada sebelas 

gua(Wardoyo, 2021). 

Gulungan-gulungan yang telah difragmentaris 

seluruhnya berjumlah 40.000 gulungan dari naskah 

Perjanjian Lama, kecuali kitab Ester Yahudi di awal 

Kekristenan, sejarah Yudaisme dan akhir kehidupan. 

Naskah-naskah ini terbuat dari papirus, kulit hewan 

dan perunggu. Hasil penemuan ini memberikan bukti 

bahwa naskah Perjanjian Lama sudah ada lebih dari 

1000 tahun dari naskah tertua yang ada sebelumnya 

pada abad 9-10 M yang disalin oleh kaum Masoret 

atau kelompok penyalin Yahudi (Simanjuntak, 2021).

Kehidupan Masyarakat Qumran Dalam Naskah 

Gulungan Laut Mati

Menurut Eisenman dalam Victor Christianto, 

rujukan langsung mengenai masa hidup kaum Qumran terdapat dalam teks yang ditemukan pada Gulungan 

Laut Mati yang disebut pesharim (tunggal: pesher). 

Kata pesher berarti interpretasi, dan pesharim adalah 

kumpulan komentar kuno yang ada pada beberapa 

bagian dari Kitab Suci yaitu Kitab Kejadian, Kitab 

Mazmur dan Kitab Nabi-nabi tertentu. Konteks sejarah 

asli dari teks biblikal sepenuhnya diabaikan dan teks 

pesharim dipandang sebagai rujukan satu-satunya 

mengenai kaum Qumran. Contohnya saja, saat Kitab 

Suci menyebut Asyur, kata ini tidak selalu 

mengarah kepada bangsa Asyur kuno yang dulu pernah 

menghancurkan Kerajaan Israel di tahun 722 SM. Kata 

ini justru mengarah kepada bangsa Yunani dan 

Romawi yang menjadi para musuh kaum Qumran saat 

itu. Berdasarkan dokumen Damaskus menjelaskan 

bahwa masyarakat itu mulai muncul sekitar 

pertengahan abad kedua SM (150 SM)(Christianto, 

2018).

Selanjutnya berdasarkan naskah Gulungan 

Laut Mati (4Q246) menjelaskan mengenai iman para 

kaum Qumran akan Mesias yang Ilahi yang merupakan 

Anak Allah. Apabila kaum Qumran dianggap mewakili 

setidaknya sebagian masyarakat Yahudi, hal ini 

menunjukkan bahwa pengharapan pada Mesias ini 

berakar dalam masyarakat Yahudi. Ada dua bukti 

bahwa kaum Qumran memiliki pengharapan besar 

akan Mesias. Pertama, sosok Mesias pada naskah￾naskah Qumran (4Q246) diharapkan akan datang 

sebagai sosok Sang Mesias Ilahi, yang berkuasa di 

surga dan di bumi, Mesias disebut sebagai Putera Allah 

Yang Mahatinggi. Pendekatan pandangan yang sangat 

mirip dengan iman Kristiani mengenai Yesus Kristus 

sungguh-sungguh ada dan cukup mengherankan karena 

kemiripan dengan pengharapan mesianik mazhab 

Eseni ini. Naskah Putra Allah (Bereh di El) yang 

memuat paham mesianik dalam bahas Aramaik yang 

ditemukan di Gua ke empat dan diumumkan pada 6 

September 1992. Kedua, pengharapan Israel akan 

sosok Mesias Ilahi juga termuat dalam kitab Yesaya

(Christianto, 2018).

Ada beberapa kesamaan-kesamaan masyarakat 

Qumran dengan umat Kristen abad pertama3

:

Kaum Qumran menggunakan pesher untuk 

menafsirkan Kitab Suci yaitu dengan memindahkan 

dan menerapkan situasi sejarah yang ditemukan dalam 

 

ayat-ayat nubuah ke dalam zaman dan konteks atau 

situasi masyarkat.

Untuk mendapatkan keselamatan, kaum 

Qumran menggunakan doktrin keselamatan berupa 

iman pada Guru Kebenaran (Guru yang Benar) dan 

pemenuhan hukum,

Kecenderungan untuk melawan semua 

kejahatan dan kekuatan gelap, sikap separatisme ini 

juga tampak dalam kebencian terhadap semua musuh, 

dan murka Tuhan atas semua orang yang berada di luar 

sekte Qumran. (Manuel of Discipline 3:13-4:26)

Banyaknya undang-undang dan peraturan 

sebagai gaya hidup disiplin yang tinggi. Upacara 

pembasuhan diri sendiri dapat dilakukan dengan 

berulang-ulang. Imam memimpin penyelenggaraan 

makan roti dan anggur bersama dan tempat duduk 

diatur sedemikian rupa berdasarkan tingkatannya. Ini 

disebut juga sebagai waktu beribadat bersama

sekaligus bertukar pikiran. (Manual of Discipline 6:1-

6)

Orientasi akan keakhiratan sungguh kuat dan 

diarahkan kepada kerajaan Allah yang akan datang. 

Melalui suatu peperangan selama empat puluh tahun 

antara pasukan terang dan gelap, pemerintahan ini akan

berdiri. Kedua belah pihak yang bermusuhan 

dilibatkan dalam suatu pertentangan (masyarakat 

melawan musuh-musuhnya), dan pasukan adikodrati 

(para malaikat). Peperangan akhir ini (bdk. Yeh. 38-

39) diberi atribut militer, meniru pola taktik serta 

strategi militer Romawi (Dokumen perang anak-anak 

terang dan anak-anak gelap). Kata-kata dalam penutup 

dokumen ini bertuliskan,” Engkaulah yang 

berkuasa, dan di dalam tangan-Mu terletak hasil 

peperangan ini, dan tidak ada yang mampu menahan 

Engkau” (War Scroll 18:15).

Pengharapan akan Nabi yang akan datang 

berkaitan dengan pengharapan keakhiratan (bdk. Ul. 

18:18) dengan Mesias sebagai imam dan manusia 

biasa. Tafsiran hukum yang benar, dan pengertian 

untuk dianugerahkan (diwahyukan) oleh Allah 

diajarkan melalui pemimpin-pemimpin yang dipilih 

Allah yang disebut sebagai Guru yang Benar (bdk. Ul. 

33:9-10) sembari menanti pengharapan akan 

kedatangan Mesias ini.

Dokumen Damaskus (Zadokit) menguraikan 

struktur masyarakat yang sangat teratur: imam, Lewi, 

awam, pengikut baru (procelytes). Susunan tempat 

duduk dalam acara-acara bersama ditentukan dari tingkatan ini. Pembagian tugas-tugas: seorang 

imam memimpin kebaktian (harus berusia antara 30-60 

tahun dan menguasai seluruh peraturan), seorang 

pemimpin perkampungan (berusia antara 30-50 tahun 

dan mahir dalam aneka bahasa dan kemanusiaan). 

Menurut Manual of Discipline, ketetapan dalam 

pertemuan-pertemuan umum para imam menduduki 

posisi utama, yang diikuti oleh para penatua, kemudian 

anggota lainnya seturut tingkatan masing-masing. 

Tidak ada seorangpun dapat berbicara sebelum 

mendapatkan giliran pada tingkatnya masing-masing.

Kaum Qumran sangat menjaga kesucian 

sehingga apabila terjadi pelanggaran moral atau 

pelanggaran peraturan harus dihukum dengan berbagai 

disiplin. Apabila ada anggota yang menghujat nama 

yang Kudus, atau mengkhianati persekutuan, sang 

pelaku harus dikeluarkan dan tidak boleh lagi menjadi 

anggota masyarakat lagi (Manual 6:26; 7:16,23)

Berdasarkan kehidupan masyarakat Qumran di 

atas, diperlihatkan beberapa ajaran atau prinsip-prinsip 

kehidupan yang didasari oleh Kitab Suci:

Metode pesher dilakukan oleh jemaat Kristen 

di abad pertama, contohnya Petrus yang mengutip Yoel 

2:28-32 pada saat Pentakosta terjadi di Yerusalem 

(Kis. 2:17-21)

Iman kepada Guru yang Benar dan pemenuhan 

hukum merupakan doktrin keselamatan ajaran 

Yudaisme sebab Yudaisme adalah bentuk reaksi Israel 

setelah kembali dari masa pembuangan di Babel 

setelah 70 tahun, selanjutnya Israel melaksanakan 

hukum di bawah kepemimpinan Ezra, kondisi ini 

terjadi pada umat Israel hingga masa Perjanjian Baru.

Gerakan separatis antara terang dan gelap 

secara implisif dalam Perjanjian Lama umat Israel 

telah mengalaminya, tetapi secara eksplisit terdapat 

kontradiksi mengenai gelap dan terang yang 

digambarkan oleh Yohanes. Gambaran ini lebih 

dikaitkan mengenai peperangan antara Tuhan dengan 

si jahat atau Iblis.

Penyelenggaraan makan roti dan minum 

anggur bersama mengingatkan pada perjamuan 

terakhir Tuhan Yesus bersama para murid-Nya. 

Kebiasaan ini bahkan masih berlaku pada abad 

pertama dalam jemaat Korintus. Tempat duduk saat 

perjamuan makan juga diatur sesuai dengan tingkatan 

dalam masyarakat.

Hari terakhir dan kerajaan Allah merupakan 

hal yang sangat kontras diajarkan di dalam Kitab Suci. 

Bahkan kedua hal ini baik Perjanjian Lama 

maupun Perjanjian Baru menjadi topik yang sangat 

signifikan khususnya dalam dunia teologi. 

Pengharapan akan hari terakhir dan kerajaan Allah 

pada masyarakat Qumran memperlihatkan dasar iman 

dan kepercayaan yang berkaitan erat dengan Kitab 

Suci dan iman Kristiani.

Dua jenis kepemimpinan baik imam dan 

pemimpin masyarakat dimulai pada usia 30 tahun. 

Mengingatkan kita pada karya pelayanan awal Yesus 

pada usia 30 tahun. 

Mengenai moral serta penghujatan nama yang 

Mahakudus mengingatkan pada sepuluh perintah 

Allah. Hal ini terdapat dalam hukum ke-2 yaitu 

“Jangan menyebut Tuhan Allahmu dengan tidak 

hormat”. Sementara hukum ke-4 hingga ke-10 

merupakan hukum moral (moral law). Kehidupan 

masyarakat Qumran yang didasari oleh peraturan￾peraturan (law) memperlihatkan kesamaan dengan 

prinsip kehidupan umat Israel. Berdasarkan hal 

ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat 

Qumran didasarkan pada aturan-aturan Perjanjian 

Lama.

Naskah-Naskah Qumran

Menurut Wardoyo, pada kesebelas Gua yang 

berada di wilayah Qumran ini ditemukan 

sebanyak 818 teks. Teks-teks ini kemudian dibagi 

dalam dua pengelompokkan, yaitu teks Kitab Suci dan 

teks non-Kitab Suci (extra biblical). Dari gua ke empat 

ditemukan 584 fragmen, dan 127 fragmen ini 

berisi teks Kitab Suci. Teks-teks ini lebih banyak 

ditulis dalam bahasa Ibrani dan sisanya ditulis dalam 

bahasa Aram (Wardoyo, 2021). 

Teks-teks yang ada ini masih berkaitan 

dengan Perjanjian Lama, terdiri atas Targum yaitu 

penerjemahan teks Perjanjian Lama ke dalam bahasa 

Aram, teks-teks lainnya dalam bahasa Yunani. Di gua 

yang ke empat ditemukan Kitab Yubelium dan 

pesharim yang adalah komentar pada teks Perjanjian 

Lama. Teks-teks non-Kitab Suci lainnya yang sama 

sekali tidak berkaitan dengan Perjanjian Lama antara 

lain: Manual Disiplin, Gulungan Perang, Dokumen 

Kairo Genizah, Mazmur-mazmur Ucapan Syukur, dan 

lain sebagainya. Orang-orang Yahudi menjadikan 

semua teks-teks ini sebagai literatur atau 

intertestamental. Ada juga teks kesusastraan Yahudi yang bersifat parabiblical yang disebut 1Enok dan 

Testamen dua belas Patriak(Wardoyo, 2021). 

Pada tahun 1972, Jose O‟Callaghan, S.J. 

berhasil mengidentifikasi sembilan fragmen lainnya 

sebagai teks Perjanjian Baru. Usahanya ini 

menimbulkan sebuah kontroversial sebagaimana yang 

diajukannya bahwa semua dari sembilan fragmen￾fragmen ini merupakan teks Perjanjian Baru yang 

terdiri dari 7Q4,1&2 dab 7Q8. Sebagaimana 

O‟Callaghan temukan bahwa 7Q4, 1&2 merupakan 

bagian dari 1Tim.3:16-4:3 dan 7Q8 merupakan bagian 

dari Yak. 1:23-24(Nebe, Muro and Puech, 2006). 

Selanjutnya menurut Callaghan dalam Wardoyo, 7Q5 

merupakan bagian dari teks Mrk. 6:52-53, 7Q6 1 berisi 

teks Mrk. 4:28, 7Q6 2 adalah teks Kis. 28:38, 7Q7 

berisi teks Mrk. 12:17, 7Q9 merupakan teks Rm. 5:11-

12, 7Q10 berisi teks 2Ptr. 1:15 dan 7Q16 adalah teks 

Mrk. 6:48 (Wardoyo, 2021). 

Dari pendapat para ahli di atas, penemuan 

Gulungan Laut Mati yang ada di gua-gua Qumran 

menunjukkan bahwa teks-teks ini tidak hanya 

berkaitan dengan Kitab Suci Perjanjian Lama tetapi 

juga Kitab Suci Perjanjian Baru sehingga memberikan 

bukti kuat mengenai keaslian dari teks-teks Kitab Suci 

yang sudah tersedia saat ini. 

Verifikasi atas Reliabilitas Kitab Suci dari 

Penemuan Gulungan Laut Mati di Qumran

Dari temuan Gulungan Laut Mati ini, 

memberikan gambaran bahwa Kitab Suci yang dipakai 

saat ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. 

Bukan karena temuan Gulungan Laut Mati yang 

menjadi tolok ukur asli ataupun tidak Kitab Suci, 

melainkan sebaliknya bahwa Kitab Suci adalah buku 

iman yang otentik dan diperkuat reliabilitasnya dengan 

temuan Gulungan Laut Mati yang ada di Qumran.

Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan, 

dapat ditegaskan kembali reliabilitas Kitab Suci dari 

penemuan Gulungan Laut Mati dari bukti-bukti 

sebagai berikut:

Menurut Noorsena, Bukti keaslian dari salinan 

yang beredar sekarang ini didapat dari naskah-naskah 

yang berbentuk Gulungan Laut Mati (Dead Sea 

Scrolls) yang berusia kurang lebih 2.200 tahun

(Noorsena, 2007). Bahkan belum ada agama satupun 

yang memiliki bukti dokumenter yang otentik seperti 

Gulungan Laut Mati. 

Menurut Wardoyo, Sebelum ditemukannya 

Gulungan Laut Mati, Kitab Suci Perjanjian Lama yang 

dipakai gereja Katolik sebagai versi Ibrani yang tertua 

adalah Codex Leningrad yang berasal dari keluarga 

Ben Asher yang berusia 1008 M. Dengan demikian, 

Gulungan Laut Mati dari Qumran menjadi teks yang 

usianya seribu tahun lebih tua dibandingkan Codex 

Leningrad yakni ditulis sektiar 150 SM sampai tahun 

68 M (Wardoyo, 2021). Selanjutnya, Bambang 

Noorsena juga mengatakan bahwa teks Masoret

ini berasal dari abad kesembilan dan kesepuluh 

masehi. Teks-teks ini antara lain, manuskrip Ben 

Ezra atau Geniza Cairo tahun 895 M, manuskrip 

Hallap atau Allepo Syria tahun 925 M, dan manuskrip 

Leninghard bertahun 1008 M (Noorsena, 2007). Oleh 

karena itu, penemuan Gulungan Laut Mati ini 

menambah keotentikan dari Kitab Perjanjian Lama 

yang ada karena kesamaan teks antara teks-teks 

Masoret ini.

Menurut Hill dan Walton sebagaimana dikutip 

oleh Andrew dan John, penemuan Gulungan Laut Mati 

ini menambah manuskrip-manuskrip tertua Perjanjian 

Lama yang telah ada ribuan tahun lebih tua 

dibandingkan manuskrip manapun sebelumnya. 

Artinya hal ini tidak hanya meningkatkan 

kredibilitas dari manuskrip-manuskrip Masoret yang 

menjadi dasar semua terjemahan bahasa Inggris yang 

sekarang, tetapi juga informasi penting dalam 

penyebaran teks Perjanjian Lama (Andrew and John, 

2013). Maka dari itu, Gulungan Laut Mati menjadi 

pembanding yang terbaik di antara manuskrip￾manuskrip yang ada.

Menurut Fati Aro Zega, meskipun masih ada 

rahasia dan belum tersingkap di dalamnya, Kitab Suci 

tidak memerlukan apapun dan siapapun untuk 

membuktikan kebenarannya. Ada kemungkinan 

ditemukannya penemuan-penemuan lain yang lebih 

meneguhkan atau lebih sahih menggunakan autografa. 

Tidak masalah apabila disalin dalam bahasa apa saja, 

tetapi fakta bahwa Kitab Suci yang beredar secara 

resmi saat ini adalah inerransi (Zega, 2021).

Martin Abegg direktur institut Naskah Laut 

Mati di Trinity Western University di British 

Columbia, Kanada, telah merekam dan menandai 

semua teks gulungan naskah non-Alkitab. Teks 

ini tersedia pada perangkat genggam melalui 

aplikasi yang dibuat oleh Olive Tree Bible Software, 

pada Mac OS melalui emulator Accordance dengan seperangkat referensi silang, dan pada Windows

melalui aplikasi yang dibuat Logos Bible Software dan 

BibleWorks(Qumran (non-biblical texts), no date). 

Selain itu, penerbit E.J. Brill pada tahun 2005 juga 

merilis hampir keseluruhan teks non biblika dari 

naskah Gulungan Laut Mati dalam media CD-ROM. 

Donal W. Parry dan Emanuel Tov menjadi tim 

editorial dalam publikasi yang terdiri dari 6 jilid 

dengan total 2.400 halaman. Editor mengurutkan teks￾teks Penemuan di Gurun Yudea menurut genre yang 

mencakup hukum agama, teks parabiblika, teks

kebijaksaan dan penanggalan, karya liturgi dan 

puisi(The Dead Sea Scrolls Reader (6 vols), 2004). 

Dengan adanya publikasi digital ini menambah ruang 

terbuka bagi khalayak ramai dalam mempelajari 

reliabiltitas Kitab Suci dari referensi Gulungan Laut 

Mati melalui media digital. 


Dari seluruh penjabaran ini, maka dapat 

ditarik beberapa kesimpulan sesuai dengan rumusan 

dan pembahasan masalah bahwa:

Latar belakang ditemukannya Gulungan Laut 

Mati adalah untuk menambah kekayaan historis dalam 

kekristenan. Sejarah ini tidak berarti 

menghadirkan manuskrip-manuskrip kuno saja tetapi 

membuka peluang untuk studi banding terhadap 

naskah-naskah yang telah tersedia bersamaan dengan 

Kitab Suci yang sudah dikanoniksasi. Sejarah 

ditemukannya Gulungan Laut Mati berawal dari para 

gembala Baduin yang sedang mencari domba dan 

kemudian menemukan gulungan-gulungan naskah 

ini di dalam gua-gua yang berada di Qumran pada 

1946-1956. Gulungan Laut mati ini memiliki 

penanggalan dari sekitar 250 SM – 67 M. Seluruh 

gulungan berjumlah 40.000 yang berisi naskah 

Perjanjian Lama, kecuali kitab Ester. Mengenai 

masyarakat Qumran berdasarkan penemuan Gulungan 

Laut Mati ditemukan banyak kemiripan terutama 

dalam ajaran dan prinsip kehidupan berdasarkan Kitab 

Suci Perjanjian Lama seperti orang Yahudi pada 

umumnya. 

Reliabilitas Kitab Suci dari penemuan 

Gulungan Laut Mati melalui studi komparasi antara 

teks manuskrip yang sudah ada dengan naskah 

Gulungan Laut Mati. Dari hasil perbandingan ini, 

naskah Gulungan Laut Mati menjadi teks yang usianya 

seribu tahun lebih tua dibandingkan Codex Leningrad

yakni ditulis sektiar 150 SM sampai tahun 68 M, 

bahkan lebih tua dibandingkan manuskrip Ben Ezra

atau Geniza Cairo tahun 895 M, manuskrip Hallap

atau Allepo Syria tahun 925 M, dan Codex Leninghard

bertahun 1008 M.

Penemuan Gulungan Laut Mati menjadi sangat 

penting bagi Studi Kitab Suci karena menjadi bukti 

yang otentik dari teks Perjanjian Lama yang dimiliki 

saat ini. Hal ini dapat ditelusuri melalui kesamaan 

teks antara naskah Gulungan Laut Mati dan teks 

Masoret Codex Leningrad. Selain itu, naskah 

Gulungan Laut Mati juga dapat menjadi pembanding 

yang terbaik di antara manuskrip-manuskrip yang ada.