Naskah Gulungan Laut Mati merupakan naskah tertua yang ditemukan di antara manuskripmanuskrip yang sudah sebagai bukti keaslian Kitab Suci yang digunakan umat Kristiani hingga saat
ini. Maka dari itu, studi untuk mempelajari Kitab Suci menjadi sangat menarik dengan adanya bukti
perbandingan dari Gulungan Laut Mati. Meskipun masih ada yang meragukan keaslian Kitab Suci
umat Kristiani, tetapi dengan bukti-bukti dari segi historis, filologi, arkeologis, serta analisis kritis
dari para sarjana Kitab Suci sudah sangat membuktikan bahwa Kitab Suci yang dipakai hingga saat
ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah
metode kualitatif dengan analisis deskriptif dan verifikasi sebagai pemaparan dan pembuktian dari
sumber yang sudah tersedia. Dari hasil pembahasan ditemukan bahwa naskah Gulungan Laut Mati
bersama manuskrip tertua yang dimiliki gereja seperti Ben Ezra atau Geniza, Hallap atau Allepo
Syria, dan Codex Leninghard menjadi bukti yang tak terbantahkan bahwa Kitab Suci sejak ribuan
tahun lalu hingga saat ini memiliki reliabilitas yang valid. Dengan kata lain penemuan dari Gulungan
Laut Mati ini menjadi bukti yang saling melengkapi dan saling terkait bahwa Kitab Suci yang
selama ini dipakai oleh umat Kristiani tidak dapat diragukan keasliannya. Namun demikian tidak
menutup bagi orang yang masih meragukan keaslian Kitab Suci dengan mempelajarinya melalui
penemuan naskah-naskah Gulungan Laut Mati ini. Penemuan ini dapat dijadikan suatu
studi banding dalam mempelajari Kitab Suci Perjanjian Lama dan bahkan keseluruhan isi dari Kitab
Suci umat Kristiani terutama Kitab Suci Kanon Katolik. Oleh karena itu, harapan besar melalui
tulisan ini dapat menambah pengetahuan mengenai esensi dari Kitab Suci Perjanjian Lama, proses
ditemukannya Gulungan Laut Mati, proses kanonisasi hingga menjadi Kitab Suci yang dipakai oleh
umat Katolik pada umumnya.Kitab Suci merupakan buku iman yang
mengisahkan perjalanan umat Israel dan umat Allah
dalam merefleksikan hubungan yang mendalam antara
Allah dan ciptaan-Nya. Allah menyejarah di dalam
Kitab Suci dengan cara menunjukkan kebesaran-Nya
dalam karya keselamatan dan keadilan. Allah yang
menyelamatkan itu kemudian tercatat sedemikian
mendalam melalui ilham Roh Kudus. Namun dalam
perjalanan waktu, eksistensi Kitab Suci sebelumnya
dalam rupa perkamen-perkamen atau gulungangulungan tidak lepas dari situasi sosial politik yang
terjadi dalam sejarah umat Israel. Umat Israel telah
mengalami penjajahan berkali-kali oleh bangsa-bangsa
lain sebagai hukuman dari Allah atas ketidaktaatan.
Akibatnya, gulungan-gulungan kitab ini juga
mengalami imbasnya. Adanya potensi rusak atau
hilangnya gulungan-gulungan kitab karena keadaan
seperti pengungsian, penjarahan, maupun perbudakan.
Selain itu gulungan-gulungan dari papirus yang ada
telah mengalami kerusakan atau pembusukan seiring
waktu. Meskipun demikian, ada ribuan naskah-naskah
asli yang kemudian disalin oleh penulis profesional
dan kemudian diuji serta ditegaskan melalui ilmu
sejarah dan arkeologi. Dalam artikel ini, Dead Sea
Scrolls (DSS) atau Gulungan Laut Mati menjadi salah
satu bukti bahwa Kitab Suci yang dipakai oleh umat
Kristiani hingga saat ini dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya. Maka dari itu, Gulungan Laut Mati sangat
menarik untuk dipelajari mengingat dari segi usia,
penemuannya, dan tentu saja isinya sama dengan Kitab
Suci yang dipakai umat Kristiani saat ini.
Rumusan masalah dalam artikel ini adalah
bagaimana latar belakang ditemukannya Gulungan
Laut Mati, sejarah ditemukannya, sosial masyarakat
Qumran berdasarkan penemuan Gulungan Laut Mati?
Bagaimana reliabilitas Kitab Suci dari penemuan
Gulungan Laut Mati? Mengapa penemuan Gulungan
Laut Mati sangat penting bagi Studi Kitab Suci?
Penelitian yang digunakan dalam penulisan
artikel ini melalui metode kualitatif dengan analisis
deskriptif dan verifikasi sebagai pemaparan dan
pembuktian dari sumber yang sudah tersedia.
Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Suyadi
Tjhin dari Sekolah Tinggi Teologi Iman Jakarta
dengan judul Dead Sea Scrolls dan Reliabilitas Kitab
Suci Dalam Perspektif Injili. Hasil dari penelitiannya
memperoleh beberapa temuan antara lain: Dead Sea
Scrolls ditinjau dari perspektif Injili (Alkitabiah),
temuan manuskrip-manuskrip non-Kitab Suci
memperlihatkan kehidupan masyarakat Qumran yang
menunjukkan kesamaan dengan kehidupan umat
Yahudi dan Kristen di abad pertama, penemuan Dead
Sea Scrolls ini menjadi bahan kajian para sarjana Kitab
Suci tentang teks-teks Kitab Suci dan mempertegas
keyakinan iman Kristiani bukanlah fiksi tetapi fakta
sejarah. Pada artikel ini, penulis mempertegas bukti
deskripsi objek dengan validasi dari komparasi
berbagai sumber pustaka.
PEMBAHASAN
Pengertian Kitab Suci
Alkitab dalam bahasa Yunani disebut biblos
(Βύβλος) atau biblion (Βύβλiοv), sementara bahasa
Latin menyebutnya dengan biblia yang berarti
gulungan buku yang terbuat dari papirus yang merujuk
pada bahan yang sering dipakai orang untuk menulis.
Alkitab juga disebut sebagai perpustakaan, atau
kumpulan tulisan mengenai Allah dan hubungan-Nya
dengan dunia(S., 2016).
Menurut Wardoyo, Kitab Suci merupakan
sejarah keselamatan umat Israel yang berasal dari
inspirasi Allah mengenai kehendak dan kebenaran
tentang Allah yang dimuat dalam suatu catatan-catatan
yang awalnya diceritakan secara lisan secara turun
temurun, kemudian didokumentasikan dalam rupa
tulisan-tulisan dan biasanya dibacakan dalam rumahrumah ibadat sebagai sumber pedoman hidup bagi
umat beriman (Wardoyo, 2021)..
Sementara menurut Grudem yang dikutip oleh
Reynaldi mendefinisikan Kitab Suci atau Alkitab
sebagai segala perkataan dan wahyu Allah yang cukup
untuk diketahui oleh umat-Nya, dan di dalam Alkitab
terkandung berbagai macam hal yang diperlukan untuk
memimpin umat-Nya kepada keselamatan,
kepercayaan serta ketaatan penuh kepada-Nya
(Reynaldi, 2019).
Berdasarkan pendapat di atas, Alkitab
merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang berisi
perkataan, wahyu Allah dan inspirasi Allah mengenai
kehendak dan kebenaran tentang Allah yang
terkandung sejarah keselamatan umat-Nya, yang
diimani dengan kepercayaan serta ketaatan penuh
kepada-Nya. Gulungan Laut Mati (The Dead Sea Scrolls)
Menurut Fati Aro Zega, Gulungan Laut Mati
atau Naskah Laut Mati yang diberi nama The Dead Sea
Scrolls adalah naskah-naskah kuno yang ditulis
sebelum Tarikh Masehi yang ditemukan paling akhir di
antara tulisan-tulisan kuno lainnya yang telah beredar
lebih dahulu dan kemudian diterbitkan. Gulungan Laut
Mati ini menjadi acuan dalam penyalinan Kitab Suci.
Meskipun demikian, dengan ditemukannya Gulungan
Laut Mati ini tidak mengubah kekristenan, akan tetapi
menjadi peristiwa yang sangat penting bagi kekristenan
sehingga memberikan peneguhan pada kanonisasi
Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru(Zega, 2021).
Gulungan Laut Mati atau disebut juga sebagai
naskah Qumran menjadi salah satu sejarah yang sangat
penting dalam dunia kekristenan. Meskipun Gulungan
Laut Mati baru ditemukan pada tahun 1947, tetapi
penemuan ini memberikan peneguhan bagi kekristenan
atau teologi kristiani. Ada banyak karya yang berkaitan
erat dengan Dead Sea Scrolls ini. Beberapa karya
ini dapat ditemukan pada para Teolog Biblika
maupun Historika, antara lain Andrew E. Hill, John H.
Walton, John Allegro, Merrill C, Tenney, Geza
Vermes, dan Millar Burrows. Karya-karya mereka
ini memperlihatkan betapa pentingnya Gulungan
Laut Mati bagi reliabilitas Kitab Suci(Tjhin, 2018).
Dengan ditemukannya naskah-naskah Qumran
atau Gulungan Laut Mati, hal ini menambah kekayaan
historis dalam kekristenan. Sejarah ini tidak
berarti menghadirkan manuskrip-manuskrip kuno saja
tetapi membuka peluang untuk studi banding terhadap
naskah-naskah yang telah tersedia bersamaan dengan
Kitab Suci yang sudah dikanoniksasi. Namun
demikian, Gulungan Laut Mati juga memberikan
kesempatan bagi kaum yang tidak menerima Alkitab
sebagai Firman Allah yang diinspirasikan oleh Roh
Kudus dan tanpa salah (ineransi). Bahkan kritikan
terhadap teks yang ada di dalam Kitab Suci. Hal ini
juga tidak mengurangi kewibawaan Kitab Suci yang
sudah ada dan telah dikanonisasi. Sebaliknya,
Gulungan Laut Mati sendiri tidak mengurangi ataupun
menambahkan kitab-kitab yang ada dalam Kitab Suci.
Sebagai contoh, Kitab Ester yang ditemukan dalam
Gulungan Laut Mati, tidak mempengaruhi kitab Ester
yang ada di dalam Kitab Suci. Selain itu,
ditemukannya juga naskah-naskah Alkitabiah dan nonAlkitabiah (seperti hukum-hukum) yang
menggambarkan kehidupan masyarakat Qumran
memberikan gambaran tegas pada apa yang
digambarkan di dalam Kitab Suci. Maka dari itu,
pembahasan mengenai Gulungan Laut Mati ini tidak
hanya mencakup bidang studi bahasa atau teks-teks
saja, tetapi juga bagi perkembangan iman Kristiani
hingga saat ini (Tjhin, 2018).
Dijelaskan lebih lanjut bahwa naskah
Perjanjian Lama bahasa Ibrani yang dimiliki umat
Kristiani adalah salinan pada abad ke-9 SM dari
Pentateukh yang merupakan lima kitab pertama dari
Kitab Suci, termasuk kitab sejarah serta kitab para
Nabi. Menurut Paul Enns, sebelum ditemukannya
naskah Qumran, manuskrip yang tertua diperkirakan
berusia 900 sesudah masehi. Sementara beberapa
naskah Gulungan Laut Mati, salah satunya adalah kitab
Yesaya, Habakuk, dan lainnya memiliki usia jauh lebih
tua yakni 125 SM. Artinya manuskrip Gulungan Laut
Mati ini berusia 1.000 tahun lebih tua dari yang
semula tersedia. Selanjutnya, tidak ada perbedaan yang
mencolok antara gulungan kitab Yesaya di Qumran
dengan teks Ibrani Masoretik yang berusia seribu tahun
setelahnya(Rumbekwan, 2020).
Sejarah Penemuan Gulungan Laut Mati di
Qumran
Sebelumnya, dalam pelaksanaan penyalinan
naskah Kitab Suci yang dilakukan secara berulangulang di masa silam masih memiliki kendala berupa
kesalahan-kesalahan tertentu. Hal ini dijelaskan I
Nyoman Murah dalam Brando V. Kondoj bahwa
penyalinan yang terjadi berabad-abad lalu mengalami
banyak kesalahan-kesalahan dikarenakan bahwa
naskah-naskah ini disalin secara manual
menggunakan tangan (selama kurang lebih 1.400
tahun). Kondisi ini terjadi karena pada masa itu
memang belum ada percetakan seperti yang ada
sekarang ini. Proses penyalinan tanpa kesalahanan
adalah hal yang mustahil. Sebagai contoh, jika
menyalin satu atau dua halaman buku menggunakan
tulisan tangan, setidaknya ada kemungkinan besar
terjadinya kesalahan ataupun kekeliruan dalam menulis
sebuah kata dalam suatu kalimat. Kemungkinan lain
bahwa penyalin bisa saja memendekkan suatu kata.
Kemudian bisa juga terjadi kesalahan yang tidak
disengaja maupun yang disengaja dan hal ini
terjadi oleh dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Alasan kekeliruan lainnya dapat disebab oleh cara
menulis huruf-huruf terdahulu yang berbeda dengan cara menulis huruf-huruf saat ini. Kekeliruan dapat
juga terjadi pada penyalin yang menulis dari bentuk
tulisan kuno menjadi tulisan dalam bentuk baru. Selain
itu, karena proses waktu dapat membuat tulisan-tulisan
yang ada menjadi kabur atau rusak. Penulisan
konsonan-konsonan Ibrani yang hampir sama
bentuknya, memungkinkan para penyalin keliru dalam
menulis salinan kitab ini. Penyalin juga memiliki
kemungkinan untuk keliru dalam proses pembuatan
salinan dikarenakan kesalahan pemahaman kata atau
maksud dari suatu kalimat yang berakar pada
kebudayaan dan kebiasaan masyarakat setempat pada
zaman itu. Hal ini disebabkan karena setiap kata
ataupun ungkapan pada teks memiliki pemahaman
sendiri yang berdasarkan pada tempat dan konteks
zaman tertentu (Kondoj, 2017).
Gulungan Laut Mati (The Dead Seas Scrolls)
memiliki penanggalan dari 250 SM – 67 M. Pada tahun
1946-1956, gulungan-gulungan ini ditemukan di guagua Qumran oleh gembala suku Baduin yang bernama
Mohammed ed-Dhib, Khalil Musa, dan Jum‟a
Mohammed1
. Suatu hari, para gembala ini kehilangan
seekor domba di padang Gurun Yudea yang panas dan
mereka mencari domba itu. Suatu hari mereka
berhadapan dengan medan yang unik, bukit-bukit
berkapur, dasar sungai yang kering, tidak merata, dan
terdapat banyak gua. Suatu ketika untuk
menghilangkan kebosanan dan rasa frustasi, seorang
dari mereka melempar sebuah batu ke atas gundukan
dan mendengarkan suara gemerincing dari sesuatu.
Kemudian mereka memeriksa bunyi aneh dari batu
yang mereka lempar dan menemukan gua yang sudah
lama tidak ditempati dan tertutup reruntuhan batu.
Ketika mereka masuk, mereka melihat sepuluh guci
tembikar, delapan di antaranya kosong, yang ke
sembilan berisi debu, dan guci terakhir berisi tiga
lembar gulungan, dua di antaranya terbungkus kain
sedangkan yang ketiga tidak. Gembala itu kemudian
membawa guci-guci itu beserta gulungannya ke
perkemahan mereka. Tidak lama kemudian, beberapa
anggota suku Baduin itu kembali ke gua dan
menemukan empat gulungan lainnya. Mereka
kemudian membawa semua gulungan-gulungan itu ke
perkemahan. Karena suku Baduin tidak bisa membaca,
maka mereka menjualnya ke pedagang dekat daerah
Betlehem untuk mencari pembeli. Pada akhirnya para
gembala ini berjumpa dengan pedagang barang antik
bernama Jalil “Kando” Iskandar Shalim. Kando
kemudian membeli gulungan-gulungan itu dari
gembala Baduin. Kando sendiri bukanlah seorang
kolektor tetapi lebih sebagai seorang pedagang biasa,
maka ia berencana untuk menjual gulungan-gulungan
ini. Ia selanjutnya menjual gulungan-gulungan itu
kepada arkhimandrit Biara St. Markus Ortodox Siria,
Athanasius Yeshue Samuel di Yerusalem dengan harga
24 lira (sekitar $110 saat itu) untuk membeli empat
dari ketujuh gulungan (1QISa
, 1QpHab, 1QS, dan
1QapGen (Wardoyo, 2021)). Singkat cerita, ia juga
berusaha menjual kembali gulungan-gulungan kitab
ini di Yerusalem dan menyebutnya sebagai
Gulungan-gulungan Yerusalem. Kando selanjutnya
menemukan seorang pembeli dari gulungan yang
tersisa. Pembeli itu adalah Eliezer Sukenik, profesor
Arkeologi di Hebrew University dan seorang Direktur
University Museum of Jewish Antiqueties. Sukenik
kemudian menyelamatkan gulungan terakhir itu
(1QISb
, 1QH, dan 1QM (Wardoyo, 2021)) bersama
dengan dua guci lain yang disimpan2
.
Pada akhirnya, penemuan ini membuat
John Trever dari American School of Oriental
Research (ASOR) berminat untuk menggali dan
mencari manuskrip-manuskrip di gua-gua
lainnya(Hoffman, 2014). Sehingga pada tahun 1956
ditemukanlah manuskrip-manuskrip lain di gua yang
ke sebelas. Maka dari itu, gua tempat penyimpanan
guci-guci berisi manuskrip ini ada sebelas
gua(Wardoyo, 2021).
Gulungan-gulungan yang telah difragmentaris
seluruhnya berjumlah 40.000 gulungan dari naskah
Perjanjian Lama, kecuali kitab Ester Yahudi di awal
Kekristenan, sejarah Yudaisme dan akhir kehidupan.
Naskah-naskah ini terbuat dari papirus, kulit hewan
dan perunggu. Hasil penemuan ini memberikan bukti
bahwa naskah Perjanjian Lama sudah ada lebih dari
1000 tahun dari naskah tertua yang ada sebelumnya
pada abad 9-10 M yang disalin oleh kaum Masoret
atau kelompok penyalin Yahudi (Simanjuntak, 2021).
Kehidupan Masyarakat Qumran Dalam Naskah
Gulungan Laut Mati
Menurut Eisenman dalam Victor Christianto,
rujukan langsung mengenai masa hidup kaum Qumran terdapat dalam teks yang ditemukan pada Gulungan
Laut Mati yang disebut pesharim (tunggal: pesher).
Kata pesher berarti interpretasi, dan pesharim adalah
kumpulan komentar kuno yang ada pada beberapa
bagian dari Kitab Suci yaitu Kitab Kejadian, Kitab
Mazmur dan Kitab Nabi-nabi tertentu. Konteks sejarah
asli dari teks biblikal sepenuhnya diabaikan dan teks
pesharim dipandang sebagai rujukan satu-satunya
mengenai kaum Qumran. Contohnya saja, saat Kitab
Suci menyebut Asyur, kata ini tidak selalu
mengarah kepada bangsa Asyur kuno yang dulu pernah
menghancurkan Kerajaan Israel di tahun 722 SM. Kata
ini justru mengarah kepada bangsa Yunani dan
Romawi yang menjadi para musuh kaum Qumran saat
itu. Berdasarkan dokumen Damaskus menjelaskan
bahwa masyarakat itu mulai muncul sekitar
pertengahan abad kedua SM (150 SM)(Christianto,
2018).
Selanjutnya berdasarkan naskah Gulungan
Laut Mati (4Q246) menjelaskan mengenai iman para
kaum Qumran akan Mesias yang Ilahi yang merupakan
Anak Allah. Apabila kaum Qumran dianggap mewakili
setidaknya sebagian masyarakat Yahudi, hal ini
menunjukkan bahwa pengharapan pada Mesias ini
berakar dalam masyarakat Yahudi. Ada dua bukti
bahwa kaum Qumran memiliki pengharapan besar
akan Mesias. Pertama, sosok Mesias pada naskahnaskah Qumran (4Q246) diharapkan akan datang
sebagai sosok Sang Mesias Ilahi, yang berkuasa di
surga dan di bumi, Mesias disebut sebagai Putera Allah
Yang Mahatinggi. Pendekatan pandangan yang sangat
mirip dengan iman Kristiani mengenai Yesus Kristus
sungguh-sungguh ada dan cukup mengherankan karena
kemiripan dengan pengharapan mesianik mazhab
Eseni ini. Naskah Putra Allah (Bereh di El) yang
memuat paham mesianik dalam bahas Aramaik yang
ditemukan di Gua ke empat dan diumumkan pada 6
September 1992. Kedua, pengharapan Israel akan
sosok Mesias Ilahi juga termuat dalam kitab Yesaya
(Christianto, 2018).
Ada beberapa kesamaan-kesamaan masyarakat
Qumran dengan umat Kristen abad pertama3
:
Kaum Qumran menggunakan pesher untuk
menafsirkan Kitab Suci yaitu dengan memindahkan
dan menerapkan situasi sejarah yang ditemukan dalam
ayat-ayat nubuah ke dalam zaman dan konteks atau
situasi masyarkat.
Untuk mendapatkan keselamatan, kaum
Qumran menggunakan doktrin keselamatan berupa
iman pada Guru Kebenaran (Guru yang Benar) dan
pemenuhan hukum,
Kecenderungan untuk melawan semua
kejahatan dan kekuatan gelap, sikap separatisme ini
juga tampak dalam kebencian terhadap semua musuh,
dan murka Tuhan atas semua orang yang berada di luar
sekte Qumran. (Manuel of Discipline 3:13-4:26)
Banyaknya undang-undang dan peraturan
sebagai gaya hidup disiplin yang tinggi. Upacara
pembasuhan diri sendiri dapat dilakukan dengan
berulang-ulang. Imam memimpin penyelenggaraan
makan roti dan anggur bersama dan tempat duduk
diatur sedemikian rupa berdasarkan tingkatannya. Ini
disebut juga sebagai waktu beribadat bersama
sekaligus bertukar pikiran. (Manual of Discipline 6:1-
6)
Orientasi akan keakhiratan sungguh kuat dan
diarahkan kepada kerajaan Allah yang akan datang.
Melalui suatu peperangan selama empat puluh tahun
antara pasukan terang dan gelap, pemerintahan ini akan
berdiri. Kedua belah pihak yang bermusuhan
dilibatkan dalam suatu pertentangan (masyarakat
melawan musuh-musuhnya), dan pasukan adikodrati
(para malaikat). Peperangan akhir ini (bdk. Yeh. 38-
39) diberi atribut militer, meniru pola taktik serta
strategi militer Romawi (Dokumen perang anak-anak
terang dan anak-anak gelap). Kata-kata dalam penutup
dokumen ini bertuliskan,” Engkaulah yang
berkuasa, dan di dalam tangan-Mu terletak hasil
peperangan ini, dan tidak ada yang mampu menahan
Engkau” (War Scroll 18:15).
Pengharapan akan Nabi yang akan datang
berkaitan dengan pengharapan keakhiratan (bdk. Ul.
18:18) dengan Mesias sebagai imam dan manusia
biasa. Tafsiran hukum yang benar, dan pengertian
untuk dianugerahkan (diwahyukan) oleh Allah
diajarkan melalui pemimpin-pemimpin yang dipilih
Allah yang disebut sebagai Guru yang Benar (bdk. Ul.
33:9-10) sembari menanti pengharapan akan
kedatangan Mesias ini.
Dokumen Damaskus (Zadokit) menguraikan
struktur masyarakat yang sangat teratur: imam, Lewi,
awam, pengikut baru (procelytes). Susunan tempat
duduk dalam acara-acara bersama ditentukan dari tingkatan ini. Pembagian tugas-tugas: seorang
imam memimpin kebaktian (harus berusia antara 30-60
tahun dan menguasai seluruh peraturan), seorang
pemimpin perkampungan (berusia antara 30-50 tahun
dan mahir dalam aneka bahasa dan kemanusiaan).
Menurut Manual of Discipline, ketetapan dalam
pertemuan-pertemuan umum para imam menduduki
posisi utama, yang diikuti oleh para penatua, kemudian
anggota lainnya seturut tingkatan masing-masing.
Tidak ada seorangpun dapat berbicara sebelum
mendapatkan giliran pada tingkatnya masing-masing.
Kaum Qumran sangat menjaga kesucian
sehingga apabila terjadi pelanggaran moral atau
pelanggaran peraturan harus dihukum dengan berbagai
disiplin. Apabila ada anggota yang menghujat nama
yang Kudus, atau mengkhianati persekutuan, sang
pelaku harus dikeluarkan dan tidak boleh lagi menjadi
anggota masyarakat lagi (Manual 6:26; 7:16,23)
Berdasarkan kehidupan masyarakat Qumran di
atas, diperlihatkan beberapa ajaran atau prinsip-prinsip
kehidupan yang didasari oleh Kitab Suci:
Metode pesher dilakukan oleh jemaat Kristen
di abad pertama, contohnya Petrus yang mengutip Yoel
2:28-32 pada saat Pentakosta terjadi di Yerusalem
(Kis. 2:17-21)
Iman kepada Guru yang Benar dan pemenuhan
hukum merupakan doktrin keselamatan ajaran
Yudaisme sebab Yudaisme adalah bentuk reaksi Israel
setelah kembali dari masa pembuangan di Babel
setelah 70 tahun, selanjutnya Israel melaksanakan
hukum di bawah kepemimpinan Ezra, kondisi ini
terjadi pada umat Israel hingga masa Perjanjian Baru.
Gerakan separatis antara terang dan gelap
secara implisif dalam Perjanjian Lama umat Israel
telah mengalaminya, tetapi secara eksplisit terdapat
kontradiksi mengenai gelap dan terang yang
digambarkan oleh Yohanes. Gambaran ini lebih
dikaitkan mengenai peperangan antara Tuhan dengan
si jahat atau Iblis.
Penyelenggaraan makan roti dan minum
anggur bersama mengingatkan pada perjamuan
terakhir Tuhan Yesus bersama para murid-Nya.
Kebiasaan ini bahkan masih berlaku pada abad
pertama dalam jemaat Korintus. Tempat duduk saat
perjamuan makan juga diatur sesuai dengan tingkatan
dalam masyarakat.
Hari terakhir dan kerajaan Allah merupakan
hal yang sangat kontras diajarkan di dalam Kitab Suci.
Bahkan kedua hal ini baik Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru menjadi topik yang sangat
signifikan khususnya dalam dunia teologi.
Pengharapan akan hari terakhir dan kerajaan Allah
pada masyarakat Qumran memperlihatkan dasar iman
dan kepercayaan yang berkaitan erat dengan Kitab
Suci dan iman Kristiani.
Dua jenis kepemimpinan baik imam dan
pemimpin masyarakat dimulai pada usia 30 tahun.
Mengingatkan kita pada karya pelayanan awal Yesus
pada usia 30 tahun.
Mengenai moral serta penghujatan nama yang
Mahakudus mengingatkan pada sepuluh perintah
Allah. Hal ini terdapat dalam hukum ke-2 yaitu
“Jangan menyebut Tuhan Allahmu dengan tidak
hormat”. Sementara hukum ke-4 hingga ke-10
merupakan hukum moral (moral law). Kehidupan
masyarakat Qumran yang didasari oleh peraturanperaturan (law) memperlihatkan kesamaan dengan
prinsip kehidupan umat Israel. Berdasarkan hal
ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat
Qumran didasarkan pada aturan-aturan Perjanjian
Lama.
Naskah-Naskah Qumran
Menurut Wardoyo, pada kesebelas Gua yang
berada di wilayah Qumran ini ditemukan
sebanyak 818 teks. Teks-teks ini kemudian dibagi
dalam dua pengelompokkan, yaitu teks Kitab Suci dan
teks non-Kitab Suci (extra biblical). Dari gua ke empat
ditemukan 584 fragmen, dan 127 fragmen ini
berisi teks Kitab Suci. Teks-teks ini lebih banyak
ditulis dalam bahasa Ibrani dan sisanya ditulis dalam
bahasa Aram (Wardoyo, 2021).
Teks-teks yang ada ini masih berkaitan
dengan Perjanjian Lama, terdiri atas Targum yaitu
penerjemahan teks Perjanjian Lama ke dalam bahasa
Aram, teks-teks lainnya dalam bahasa Yunani. Di gua
yang ke empat ditemukan Kitab Yubelium dan
pesharim yang adalah komentar pada teks Perjanjian
Lama. Teks-teks non-Kitab Suci lainnya yang sama
sekali tidak berkaitan dengan Perjanjian Lama antara
lain: Manual Disiplin, Gulungan Perang, Dokumen
Kairo Genizah, Mazmur-mazmur Ucapan Syukur, dan
lain sebagainya. Orang-orang Yahudi menjadikan
semua teks-teks ini sebagai literatur atau
intertestamental. Ada juga teks kesusastraan Yahudi yang bersifat parabiblical yang disebut 1Enok dan
Testamen dua belas Patriak(Wardoyo, 2021).
Pada tahun 1972, Jose O‟Callaghan, S.J.
berhasil mengidentifikasi sembilan fragmen lainnya
sebagai teks Perjanjian Baru. Usahanya ini
menimbulkan sebuah kontroversial sebagaimana yang
diajukannya bahwa semua dari sembilan fragmenfragmen ini merupakan teks Perjanjian Baru yang
terdiri dari 7Q4,1&2 dab 7Q8. Sebagaimana
O‟Callaghan temukan bahwa 7Q4, 1&2 merupakan
bagian dari 1Tim.3:16-4:3 dan 7Q8 merupakan bagian
dari Yak. 1:23-24(Nebe, Muro and Puech, 2006).
Selanjutnya menurut Callaghan dalam Wardoyo, 7Q5
merupakan bagian dari teks Mrk. 6:52-53, 7Q6 1 berisi
teks Mrk. 4:28, 7Q6 2 adalah teks Kis. 28:38, 7Q7
berisi teks Mrk. 12:17, 7Q9 merupakan teks Rm. 5:11-
12, 7Q10 berisi teks 2Ptr. 1:15 dan 7Q16 adalah teks
Mrk. 6:48 (Wardoyo, 2021).
Dari pendapat para ahli di atas, penemuan
Gulungan Laut Mati yang ada di gua-gua Qumran
menunjukkan bahwa teks-teks ini tidak hanya
berkaitan dengan Kitab Suci Perjanjian Lama tetapi
juga Kitab Suci Perjanjian Baru sehingga memberikan
bukti kuat mengenai keaslian dari teks-teks Kitab Suci
yang sudah tersedia saat ini.
Verifikasi atas Reliabilitas Kitab Suci dari
Penemuan Gulungan Laut Mati di Qumran
Dari temuan Gulungan Laut Mati ini,
memberikan gambaran bahwa Kitab Suci yang dipakai
saat ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
Bukan karena temuan Gulungan Laut Mati yang
menjadi tolok ukur asli ataupun tidak Kitab Suci,
melainkan sebaliknya bahwa Kitab Suci adalah buku
iman yang otentik dan diperkuat reliabilitasnya dengan
temuan Gulungan Laut Mati yang ada di Qumran.
Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan,
dapat ditegaskan kembali reliabilitas Kitab Suci dari
penemuan Gulungan Laut Mati dari bukti-bukti
sebagai berikut:
Menurut Noorsena, Bukti keaslian dari salinan
yang beredar sekarang ini didapat dari naskah-naskah
yang berbentuk Gulungan Laut Mati (Dead Sea
Scrolls) yang berusia kurang lebih 2.200 tahun
(Noorsena, 2007). Bahkan belum ada agama satupun
yang memiliki bukti dokumenter yang otentik seperti
Gulungan Laut Mati.
Menurut Wardoyo, Sebelum ditemukannya
Gulungan Laut Mati, Kitab Suci Perjanjian Lama yang
dipakai gereja Katolik sebagai versi Ibrani yang tertua
adalah Codex Leningrad yang berasal dari keluarga
Ben Asher yang berusia 1008 M. Dengan demikian,
Gulungan Laut Mati dari Qumran menjadi teks yang
usianya seribu tahun lebih tua dibandingkan Codex
Leningrad yakni ditulis sektiar 150 SM sampai tahun
68 M (Wardoyo, 2021). Selanjutnya, Bambang
Noorsena juga mengatakan bahwa teks Masoret
ini berasal dari abad kesembilan dan kesepuluh
masehi. Teks-teks ini antara lain, manuskrip Ben
Ezra atau Geniza Cairo tahun 895 M, manuskrip
Hallap atau Allepo Syria tahun 925 M, dan manuskrip
Leninghard bertahun 1008 M (Noorsena, 2007). Oleh
karena itu, penemuan Gulungan Laut Mati ini
menambah keotentikan dari Kitab Perjanjian Lama
yang ada karena kesamaan teks antara teks-teks
Masoret ini.
Menurut Hill dan Walton sebagaimana dikutip
oleh Andrew dan John, penemuan Gulungan Laut Mati
ini menambah manuskrip-manuskrip tertua Perjanjian
Lama yang telah ada ribuan tahun lebih tua
dibandingkan manuskrip manapun sebelumnya.
Artinya hal ini tidak hanya meningkatkan
kredibilitas dari manuskrip-manuskrip Masoret yang
menjadi dasar semua terjemahan bahasa Inggris yang
sekarang, tetapi juga informasi penting dalam
penyebaran teks Perjanjian Lama (Andrew and John,
2013). Maka dari itu, Gulungan Laut Mati menjadi
pembanding yang terbaik di antara manuskripmanuskrip yang ada.
Menurut Fati Aro Zega, meskipun masih ada
rahasia dan belum tersingkap di dalamnya, Kitab Suci
tidak memerlukan apapun dan siapapun untuk
membuktikan kebenarannya. Ada kemungkinan
ditemukannya penemuan-penemuan lain yang lebih
meneguhkan atau lebih sahih menggunakan autografa.
Tidak masalah apabila disalin dalam bahasa apa saja,
tetapi fakta bahwa Kitab Suci yang beredar secara
resmi saat ini adalah inerransi (Zega, 2021).
Martin Abegg direktur institut Naskah Laut
Mati di Trinity Western University di British
Columbia, Kanada, telah merekam dan menandai
semua teks gulungan naskah non-Alkitab. Teks
ini tersedia pada perangkat genggam melalui
aplikasi yang dibuat oleh Olive Tree Bible Software,
pada Mac OS melalui emulator Accordance dengan seperangkat referensi silang, dan pada Windows
melalui aplikasi yang dibuat Logos Bible Software dan
BibleWorks(Qumran (non-biblical texts), no date).
Selain itu, penerbit E.J. Brill pada tahun 2005 juga
merilis hampir keseluruhan teks non biblika dari
naskah Gulungan Laut Mati dalam media CD-ROM.
Donal W. Parry dan Emanuel Tov menjadi tim
editorial dalam publikasi yang terdiri dari 6 jilid
dengan total 2.400 halaman. Editor mengurutkan teksteks Penemuan di Gurun Yudea menurut genre yang
mencakup hukum agama, teks parabiblika, teks
kebijaksaan dan penanggalan, karya liturgi dan
puisi(The Dead Sea Scrolls Reader (6 vols), 2004).
Dengan adanya publikasi digital ini menambah ruang
terbuka bagi khalayak ramai dalam mempelajari
reliabiltitas Kitab Suci dari referensi Gulungan Laut
Mati melalui media digital.
Dari seluruh penjabaran ini, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan sesuai dengan rumusan
dan pembahasan masalah bahwa:
Latar belakang ditemukannya Gulungan Laut
Mati adalah untuk menambah kekayaan historis dalam
kekristenan. Sejarah ini tidak berarti
menghadirkan manuskrip-manuskrip kuno saja tetapi
membuka peluang untuk studi banding terhadap
naskah-naskah yang telah tersedia bersamaan dengan
Kitab Suci yang sudah dikanoniksasi. Sejarah
ditemukannya Gulungan Laut Mati berawal dari para
gembala Baduin yang sedang mencari domba dan
kemudian menemukan gulungan-gulungan naskah
ini di dalam gua-gua yang berada di Qumran pada
1946-1956. Gulungan Laut mati ini memiliki
penanggalan dari sekitar 250 SM – 67 M. Seluruh
gulungan berjumlah 40.000 yang berisi naskah
Perjanjian Lama, kecuali kitab Ester. Mengenai
masyarakat Qumran berdasarkan penemuan Gulungan
Laut Mati ditemukan banyak kemiripan terutama
dalam ajaran dan prinsip kehidupan berdasarkan Kitab
Suci Perjanjian Lama seperti orang Yahudi pada
umumnya.
Reliabilitas Kitab Suci dari penemuan
Gulungan Laut Mati melalui studi komparasi antara
teks manuskrip yang sudah ada dengan naskah
Gulungan Laut Mati. Dari hasil perbandingan ini,
naskah Gulungan Laut Mati menjadi teks yang usianya
seribu tahun lebih tua dibandingkan Codex Leningrad
yakni ditulis sektiar 150 SM sampai tahun 68 M,
bahkan lebih tua dibandingkan manuskrip Ben Ezra
atau Geniza Cairo tahun 895 M, manuskrip Hallap
atau Allepo Syria tahun 925 M, dan Codex Leninghard
bertahun 1008 M.
Penemuan Gulungan Laut Mati menjadi sangat
penting bagi Studi Kitab Suci karena menjadi bukti
yang otentik dari teks Perjanjian Lama yang dimiliki
saat ini. Hal ini dapat ditelusuri melalui kesamaan
teks antara naskah Gulungan Laut Mati dan teks
Masoret Codex Leningrad. Selain itu, naskah
Gulungan Laut Mati juga dapat menjadi pembanding
yang terbaik di antara manuskrip-manuskrip yang ada.