• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

syeh siti jenar 1

 



Konon, Seorang ulama Islam, bernama Syeh Abdul Jalil, datang

ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati ( Daerah Cirebon

sekarang ). Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi,

seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan

Jati. Ulama sepuh inilah guru dari Pangeran Walang Sungsang

dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabhu Silih Wangi,

Raja Pajajaran.

Setelah  menetap  berdekatan  dengan  Syeh  Dzatul  Kahfi,  Syeh

Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau

mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Banyak

yang tertarik dengan ajaran beliau yang bernuansa spiritual

murni. Sama sekali berbeda dengan para ulama-ulama lain yang

juga mengurusi kenegaraan. Sibuk ingin mendirikan Kekhalifahan

Islam.

Di Pesantren Krendhasawa, para santri tidak menemui nuansa

politik seperti itu. Ajaran tassawuf begitu kental. Nuansa

kedamaian sangat terasa.

Kehadiran  Syeh  Abdul  Jalil,  menyita  perhatian  Dewan  Wali

Sangha yang berpusat di Ampeldhenta ( Daerah Surabaya sekarang

). Sudah menjadi kesepakatan bersama, seyogyanya, para ulama

yang menetap di Jawa, masuk menjadi anggota Dewan Wali. Syeh

Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu. Beliau bersedia masuk

menjadi anggota Dewan Wali Sangha.

Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan

Syeh Lemah Abang atau Syeh Ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang

= Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat

gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah Jawa bagian

barat yang terkenal tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan,

beda dengan tanah jawa bagian tengah dan bagian timur. Kata

KSITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI. Maka

terkenallah beliau dengan sebutan Syeh Siti Jenar atau Syeh

Lemah Abang atau Sunan Kajenar.

Beliau bukan keturunan bangsawan. Kebanyakan, para ulama yang

waktu itu dikenal dengan sebutan Wali, berasal dari kalangan

bangsawan.  Sebut  saja  Sunan  Ampel,  dia  berdarah  bangsawan

Champa. Sunan Benang ( lama-lama berubah menjadi Bonang ),

Sunan Darajat ( lama-lama berubah menjadi Drajat ), Sunan

Lamongan,  ketiganya  putra  Sunan  Ampel,  berdarah  bangsawan

Champa dan Tuban ( karena istri Sunan Ampel masih keturunan

Kadipaten  Tuban  ),  begitu  juga  Sunan  Kalijaga  (  berdarah

Tuban), Sunan Giri ( berdarah Blambangan ), dll.

Syeh Siti Jenar, tidak berdarah biru. Namun beliau memiliki

‘kecemerlangan’ melebihi para menak berdarah keraton. Mungkin

ini juga yang menjadi salah satu faktor sehingga beliau sama

sekali tidak tertarik dengan tetek bengek urusan perpolitikan,

selain memang ‘kesadaran’ beliau yang benar-benar tinggi.

Konon, Syeh Siti Jenar adalah putra Syeh Datuk Sholeh yang

bermukim di Malaka. Syeh Datuk Sholeh putra dari Syeh Datuk

Isa. Syeh Datuk Isa putra Syeh Khadir Khaelani. Syeh Khadir

Khaelani  adalah  putra  Abdullah  Khannuddin.  Dan  Abdullah

Khannuddin putra Ashamat Khan atau Syeh Abdul Malik, yang

konon tinggal di India sebelah barat yang sekarang wilayah

Pakistan.  (  Nah,  bisa  diketahui  kan,  kebijaksanaan  beliau

berasal dari mana? : Damar Shashangka ).

Namun, status keanggotaan Syeh Siti Jenar didalam Dewan Wali

Sangha tidak-lah berlangsung lama. Sebab, begitu melihat para

ummat Islam yang semula benar-benar murni memperbaiki akhlaq,

lama-lama  terpengaruh  gerakan  militansi  Islam  yang  mulai

digalang oleh Sunan Giri, santri senior Sunan Ampel. Ditambah

lagi,  hal  serupa  juga  tengah  dilakukan  oleh  Pangeran

Cakrabhuwana,  penguasa  Carbon  Girang.

Kegiatan-kegiatan ruhani Islami, kini berubah diwarnai dengan

latihan-latihan  tempur.  Fokus  utama  memperbaiki  diri,  kini

berubah menjadi out action, menyalahkan fihak lain. Suasana

damai  antara  penganut  Islam,  Hindhu  dan  Buddha,  lama-lama

mulai goncang.

Syeh Siti Jenar tidak menyukai hal ini. Dimana-mana, aksi

sepihak  dari  ummat  Islam  membuat  suasana  menjadi  panas.

Penganut  Hindhu  dan  Buddha  yang  selama  ini  merasa  damai

bersanding dengan penganut agama baru ini, mulai terusik.

Syeh Siti Jenar, melayangkan surat protesnya ke Ampeldhenta.

Namun Sunan Ampel meyakinkan, semua masih wajar dan tidak

berlebihan. Namun, bagi Syeh Siti Jenar, apa yang dikatakan

Sunan Ampel tidaklah sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Ada seorang ulama yang menyuarakan hal serupa, dialah Sunan

Kalijaga.  Bersama  Syeh  Siti  Jenar,  Sunan  Kalijaga  mencoba

membendung  gerakan-gerakan  ummat  Islam  yang  kini  berubah

radikal.  Mau  tidak  mau,  diam-diam,  ummat  Islam  terpecah

menjadi dua kubu. Kubu yang militan dan merasa dirinya paling

benar karena katanya mengikuti anjuran Al-Qur’an dan Hadist

secara kaffah di dipimpin Sunan Giri, Sunan Giri menyatakan,

siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang tengah

gencar-gencarnya  saat  ini,  sama  saja  menjalankan  ajaran

bid’ah.  Sunan  Giri  mengklaim,  golongannya  adalah  golongan

PUTIHAN  (Kaum  Putih),  dan  ummat  Islam  yang  tidak  sepaham

dengan golongannya, di tuduh sebagai penganut bid’ah, golongan

ABANGAN (Kaum Merah).

Untuk  mengukuhkan  pengakuannya,  pengikut  Sunan  Giri  bahkan

menyebarkan desas-desus bahwa Syeh Siti Jenar adalah seorang

penganut ilmu sihir dari India. ( Jelas diceritakan dalam

Babad Tanah Jawa, Syeh Siti Jenar mencuri dengar wejangan

agama dari Sunan Bonang yang kala itu tengah mewejang Sunan

Kalijaga. Syeh Siti Jenar konon berubah menjadi cacing tanah.

Sunan Benang sendiri yang menambal bagian perahu yang sedikit

berlobang kala hendak berlayar ke tengah laut untuk sekedar

memberikan  wejangan  rahasia  kepada  Sunan  Kalijaga.  Sunan

Benang menambalnya dengan segenggam tanah. Padahal, didalam

tanah yang sudah tergenggam itu, ada Syeh Siti Jenar yang

berwujud cacing. Sunan Benang tahu, tapi dia diam saja. Begitu

selesai  mewejang  barulah  Sunan  Benang  menyuruh  cacing  itu

berubah menjadi manusia. Simbolisasi ini sangat jelas sekali,

bahwasanya  masuknya  Syeh  Siti  Jenar  ke  Dewan  Wali  Sangha

adalah  atas  prakarsa  Sunan  Benang,  disimbolkan  dengan

mengambil tanah berisi cacing. Dan Syeh Siti Jenar dianggap

hanyalah  rakyat  jelata  yang  sama  dengan  cacing.  Perahu

melambangkan Dewan Wali. Di bagian jawa sebelah barat, ada

kekosongan  pimpinan  ummat  Islam.  Syeh  Dzatul  Kahfi  sudah

sepuh.  Pangeran  Cakrabhuwana  bukanlah  seorang  ulama,  dia

seorang politikus, ( Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung

Jati, belum datang ke Cirebon. Dia masih di Mesir. Dengan

datangnya ’sang rakyat jelata Syeh Siti Jenar’, kekosongan

pemimpin agama bisa ditutupi, tak mengapa walau yang mengisi

kekosongan adalah ’seekor cacing’. Cacing ini, rakyat jelata

ini,  berubah  menjadi  manusia  atas  anugerah  Sunan  Benang.

Seorang rakyat jelata, kini disegani sederajat dengan para

bangsawan, itu karena andil Sunan Benang. Dan sang cacing ini,

sangat dekat dengan Sunan Kalijaga. : Damar Shashangka )

Simbolisasai ini jelas-jelas muncul dikemudian hari setelah

Syeh Siti Jenar difatwakan sesat oleh Dewan Wali. Ada ungkapan

diskriminatif  di  Jawa  “  Wong  ya  pancene  godhong  Krokot,

diunggahna  nganti  dhuwur  ya  tetep  wae  cukule  melorot.”  (

Namanya juga daun Krokot, walaupun diangkat setinggi mungkin,

tumbuhnya tetep saja melorot kebawah. ) Ungkapan ini biasanya

mencerminkan kekesalan seseorang yang telah berjasa mengangkat

orang lain dari kesengsaraan namun kemudian lupa daratan. Dan

manakala  Syeh  Siti  Jenar,  yang  dulu  bukan  apa-apa,  dan

dimasukkan  ke  Dewan  Wali  oleh  Sunan  Benang,  sehingga

kedudukannya terangkat, namun dikemudian hari berani menentang

Para Wali yang lain, maka kerluarlah ungkapan kekesalan secara

simbolik ini. Namanya saja rakyat jelata, bagaimanapun juga,

tetep saja kelakuannya seperti rakyat jelata, seperti cacing.

Kurang lebih seperti itu.

Padahal, tingkat ’spiritualitas’ seseorang tidak bisa diukur

oleh pangkat dan derajatnya di masyarakat. Para Wali lupa.

Karena  mereka  memang  tengah  terfokus  pada  duniawi.  Pada

Kekhalifahan  semata.  Namun,  tidak  demikian  dengan  Sunan

Kalijaga. Sunan Kalijaga, sangat menghormati Syeh Siti Jenar

karena tingkat spiritualitasnya benar-benar tinggi.

Kubu Sunan Giri dan kubu Sunan Kalijaga, tidak pernah sepaham

dimana-mana. Dan manakala Sunan Giri memberontak ke Majapahit

dan  ingin  mendirikan  Kekhalifahan  Islam  di  Jawa,  walaupun

lantas  bisa  dihancurkan  oleh  Majapahit,  Syeh  Siti  Jenar,

menyampaikan protes keras. Bahkan beliau kemudian menyatakan,

keluar dari Dewan Wali Sangha.

Pada tahun 1475, Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah

Muda’im, datang dari Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda’im adalah

nama  muslim  Dewi  Rara  Santang.  Dia  adalah  adik  kandung

Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.

Mendengar kedatangan Syarif Hidayatullah, Sunan Giri segera

mengirim utusan untuk memintanya bergabung bersama Dewan Wali

Sangha  yang  berpusat  di  Ampeldhenta.  Syarif  Hidayatullah

menyetujuinya. Lantas dia dikenal dengan nama Sunan Gunung

Jati. Dengan adanya Sunan Gunung Jati, kekosongan kepemimpinan

Islam di jawa bagian barat yang semula di jabat Syeh Siti

Jenar, tertutupi sudah.

Maka kini, ada dua kekuatan besar di Cirebon. Satu Syeh Siti

Jenar dan yang kedua Sunan Gunung Jati.

Pada awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Pimpinan Dewan Wali

Sangha berpindah ke tangan Sunan Giri. Hubungan Syeh Siti

Jenar dan Sunan Giri yang selama ini terkenal tidak bagus,

begitu kepemimpinan Dewan Wali berganti, maka hubungan ini

semakin meruncing.

Bahkan, manakala terdengar bahwa Syeh Siti Jenar, mengajarkan

Ilmu  Tassawwuf  tingkat  tinggi  kepada  murid-muridnya,  yang

sesungguhnya semua wali juga paham akan Ilmu tersebut, oleh

Sunan  Giri,  hal  itu  dijadikan  alasan  untuk  mencari-cari

kesalahan Syeh Siti Jenar.

Syeh Siti Jenar, dipanggil menghadap ke Giri Kedhaton. Dan

kisahnya  tercatat  dalam  Pupuh  (  Bait-Bait  )  Tembang  Jawa

seperti dibawah ini :

Sinom

Pagurone Syeh Lemah Bang,

Wejangane tanpa rericik,

Lan wus atinggal sembahyang,

Rose kewala liniling,

Meleng tanpa aling-aling,

Wus dadya Paguron Agung,

Misuwur kadibyannya,

Denira talabul’ilmi,

Wus tan beda lan sagunging aulia.

Sangsaya kasusreng janma,

Akeh kang amanjing murid,

Ing praja praja myang desa,

Malah sakehing ulami,

Kayungyun ngayun sami,

Kasoran kang Wali Wolu,

Gunging Paguronira,

Pan anyuwungaken masjid,

Karya suda kang amrih agama mulya.

Santri kathah keh kebawah,

Mring Lemah Bang manjing murid,

Ya ta Sang Syeh Siti Jenar,

Sangsaya gung kang andasih,

Dadya imam pribadi,

Mangku sa-reh bawahipun,

Paguroning Ilmu Khaq,

Kawentar prapteng nagari,

Lajeng karan Sang Pangeran Siti Jenar.

Satedhaking Majalengka,

Kalawan dharahing Pengging,

Keh prapta apuruhita,

Mangalap kawruh sejati,

Nenggih Ki Ageng Tingkir,

Kalawan Pangeran Panggung,

Buyut Ngerang Ing Betah,

Lawan Ki Ageng Pengging,

Samya tunggil paguron mring Siti Jenar.

Ing lami-lami kawarta,

Mring Jeng Susuhunan Giri,

Gya utusan tinimbalan,

Duta wus anandhang weling,

Mangkat ulama’ kalih,

Datan kawarna ing ngenu,

Wus prapta ing Lemah Bang,

Duta umarek mangarsa,

Wus apanggih lan Pangeran Siti Jenar.

Nandukken ing praptaning,

Dinuteng Jeng Sunan Giri,

Lamun mangkya tinimbalan,

Sarenga salampah mami,

Wit Jeng Sunan miyarsi,

Yen paduka dados guru,

Ambawa Imam Mulya,

Marma tuwan den timbali,

Terang sagung ing pra Wali sadaya.

Prelu musyawaratan,

Cundhuking masalah ilmi,

Sageda nunggil seserepan,

Sampun wonten kang sak serik,

Nadyan mawi rericik,

Apralambang pasang semu,

Sageda salingsingan,

Pangeran Siti Jenar angling,

Ingsun tinimbalan Sunan Giri Gajah.

Apa tembunge maring wang,

Ature duta kekalih,

Inggih maksih Syeh Lemah Bang,

Pangeran Siti Jenar angling,

Matura Sunan Giri,

SYEH LEMAHBANG YEKTINIPUN,

ING KENE ORA ANA,

AMUNG PANGERAN SEJATI,

Langkung ngungun duta kalih duk miyarsa.

Andikane Syeh Lemah Bang,

Wasana matus aris,

Kados pundi karsandika,

Teka makaten kang galih,

Wangsulan kang sayekti,

Pangeran ngandika arum,

Sira iku mung saderma,

Aja nganggo mamadoni,

INGSUN IKI JATINING PANGERAN MULYA.

Duta kalih lajeng mesat,

Lungane datanpa pamit,

Sapraptaning Giri Gajah,

Marek ing Jeng Sunan Giri,

Duta matur wot sari,

Dhuh pukulun Jeng Sinuhun,

Amba sampun dinuta,

Animbali Syeh Siti Brit,

Aturipun sengak datan kanthi nalar.

Terjemahan :

Perguruan Syeh Lemah Bang,

Wejangannya  tanpa  menggunakan  perlambang  (  simbolisasi  dan

langsung ke inti sarinya ilmu ),

Sholat syari’at tidak dipentingkan,

Inti sarinya saja yang dihayati,

Sangat gamblang, jelas dan tidak ditutup-tutupi lagi,

Sudah menjadi Perguruan Besar,

Terkenal kehebatannya,

Kedalaman Ilmu beliau,

Sudah tak ada beda dengan para Aulia.

Semakin terkenal ditengah masyarakat,

Banyak yang datang menjadi murid,

Berasal dari kota sampai ke pelosok pedesaan,

Bahkan banyak para ulama,

terpikat dan masuk menjadi pengikut,

Kalahlah Delapan Wali yang lain,

Karena kebesaran perguruannya,

Masjid para wali ditinggalkan,

Membuat surut pengikut para Wali yang katanya membawa agama

paling mulia.

Banyak para santri yang menjadi pengikut,

Menjadi murid Syeh Lemah Bang,

Adapun Sang Syeh Siti Jenar,

Semakin banyak yang mencintai,

Beliau menjadi Imam tunggal,

Jadi panutan para murid,

Perguruannya mengajarkan Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ),

Terkenal diseluruh wilayah negara,

Beliau mendapat sebutan,

Sang Pangeran Siti Jenar.

Seluruh keturunan Majalengka ( Majapahit ),

Termasuk keturunan dari Pengging,

Banyak yang terpikat oleh beliau,

Datang menimba ilmu pengetahuan sejati,

Seperti Ki Ageng Tingkir,

Juga Pangeran Panggung,

Buyut Ngerang dari daerah Butuh,

serta Ki Ageng Pengging,

Menjadi satu paham dengan beliau.

Lama-lama terdengar juga,

Oleh Kangjeng Susuhunan Giri,

Beliau segera memanggil utusan,

Sang duta sudah mendapatkan pesan yang harus disampaikan,

Berangkatlah dua orang ulama,

Tidak diceritakan di perjalanan,

Sudah sampai di Lemah Bang,

Sang duta mendekat dihadapan,

Setelah bertemu langsung dengan Pangeran Siti Jenar.

Menyampaikan maksud kedatangannya,

Diutus Jeng Sunan Giri,

Bahwasanya Pangeran Siti Jenar diharapkan menghadap,

Berangkat bersama kami,

Sebab Jeng Sunan Giri telah mendengar,

Bahwasanya paduka ( Pangeran Siti Jenar ) telah menjadi Guru

Agung,

Menjadi Imam Mulia,

Oleh karena itu tuan dipanggil,

Untuk bermusyawarah menyelesaikan kesalah pahaman dengan Para

Wali semua.

Berembug untuk menyatukan pemahaman,

Supaya tidak terjadi perpecahan,

Agar tercapai kesepahaman,

Jangan sampai timbul fitnah,

Walaupun Ilmu yang diajarkan memakai metode berbeda,

menggunakan kata-kata kiasan dan perlambang,

Intisari-nya jangan sampai berbeda makna,

Pangeran Siti Jenar berkata,

Aku dipanggil Sunan Giri Gajah,

( Sunan Giri Gajah, salah satu nama lain Sunan Giri Kedhaton.

Ada cerita simbolik mengenai hal ini.Konon, Sunan Giri tengah

menggendong anaknya yang terus-terusan menangis. Karena tak

juga berhenti, maka Sunan Giri menyabda sebuah batu menjadi

gajah. Melihat batu berubah menjadi gajah. Anak Sunan Giri

diam  tangisannya.  Namun,  gajah  tersebut  kemudian  berubah

menjadi batu lagi Simbolisasinya, Sunan Giri didesak oleh para

ulama-ulama  yang  lain  untuk  segera  membentuk  Kekhalifahan

Islam. Sunan Giri menurutinya. Dan, diamlah desakan-desakan

itu. Walaupun ternyata, kebesaran Giri Kedhaton yang seumpama

besarnya seekor gajah, ternyata hanya sekejap saja. : Damar

Shashangka )

Apa panggilan Sunan Giri kepadaku?,

Kedua duta menjawab,

Beliau memanggil Syeh Lemah Bang,

Pangeran Siti Jenar berkata,

Katakan kepada Sunan Giri,

SYEH LEMAH BANG SESUNGGUHNYA,

DISINI TIDAK ADA,

YANG ADA PANGERAN SEJATI ( TUHAN YANG SESUNGGUHNYA ),

Terkejut keheranan kedua duta.

Mendengar kata-kata Syeh Lemah Bang,

Lantas berkata,

Bagaimana maksud anda ?

Sampai bisa berkata demikian?

Tolong berikan penjelasan kepada kami,

Pangeran Siti Jenar berkata lembut,

Kalian hanyalah utusan,

Jangan membantah,

INGSUN (AKU) INI SESUNGGUHNYA PANGERAN MULYA ( TUHAN YANG MAHA

MULIA ).

Kedua utusan lantas keluar,

Pergi tanpa berpamitan,

Sesampainya di Giri Gajah,

Mendekat kepada Jeng Sunan Giri,

Utusan menghaturkan hasil tugasnya dari awal sampai akhir,

Dhuh Yang sangat kami hormati dan yang menjadi junjungan kami,

Kami sudah tuan utus,

Memanggil Syeh Siti Brit ( Brit ; Merah ),

Jawaban beliau memanaskan telinga dan tidak memakai nalar.

( Bersambung )

Memasak  dan  mengurus  rumah

itu kewajiban suami

Siapa bilang memasak dan mengurus rumah tangga itu kewajiban

seorang istri? Itu adalah persepsi yang salah. Setidaknya,

kalaupun itu betul, itu hanyalah tradisi orang Indonesia, yang

menganggap bahwa kewajiban seorang Istri adalah “Dapur, Sumur,

Kasur.” Mengapa? Karena dalam Islam menafkahi adalah kewajiban

seorang suami, bukan istri! Tak ada satupun keterangan bahwa

menafkahi itu adalah kewajiban seorang istri. Jadi, dari sini

saja sudah ada yang harus diluruskan.

Nah, menafkahi itu apa?

Pertama,  memberi  tempat  bernaung  yang  layak.  Merangkap  di

dalamnya merawat rumah hingga tetap nyaman untuk ditempati.

Jadi, kalau rumah berantakan, suamilah yang wajib membersihkan

dan merapikannya. Kalau ada piring kotor dan sampah menumpuk,

tugas suamilah untuk membersihkan dan menjaganya tetap bersih.

Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi!

Kemudian,  tugas  selanjutnya  adalah  memberikan  pakaian  yang

layak, termasuk di dalamnya merawat pakaian agar tetap layak

pakai. Jadi, kalau pakaian istri sudah kotor, suamilah yang

harus mencucinya. Kalau lusuh, ialah yang harus menyetrikanya.

Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi!

Kemudian,  tugas  selanjutnya  adalah  memberikan  makanan  yang

halal dan thayyib kepada istrinya. Itu artinya halal, enak,

sehat  dan  bergizi.  Termasuk  di  dalamnya  belanja  kebutuhan

sehari-hari,  lalu  memasak  dan  menghidangkan  makanan  untuk

istrinya. Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi!

Lalu, mengurus anak juga adalah tugas dari suami. Seorang ibu

bahkan berhak untuk berhenti menyusui anaknya jika ia merasa

berat dan kepayahan. Dan ayahnya hendaknya mencarikan seorang

ibu  susu  untuk  si  bayi  jika  ingin  menyempurnakan  masa

persusuannya.

Anda  tidak  percaya?  Saya  kutipkan  satu  ayat  di  surat  Al

Baqarah: 233

Wa ‘alal mauluudi lahu rizquhunna wakiswa tuhunna bilma’ruufi

Yang maknanya, “… dan kewajiban ayahlah memberi makan dan

pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf…”

Ini hanyalah satu contoh ayat yang menegaskan bahwa kewajiban

suamilah semua tugas rumah tangga itu, meliputi di dalamnya

membersihkan  dan  merawat  rumah,  memasak,  mencuci,  mengurus

anak, dan yang semisalnya….

Lalu, apa dong tugas seorang istri?

Dalam rumah tangga, tugas istri sebetulnya hanya satu, dan itu

sangat mudah: nurut sama suami!

Jadi, jika istri disuruh memasak, ia harus nurut!

Disuruh mencuci pakaian, ia harus nurut!

Disuruh membereskan rumah, ia harus nurut!

Disuruh mengurus anak, ia harus nurut!

Nah, Lho…?!

Mohon  maaf  sebelumnya.  Ini  memang  sebuah  guyonan,  tapi

esensinya  adalah  kebenaran.  Di  sinilah  Islam  mengajarkan

prinsip keadilan serta keseimbangan. Mengangkat wanita pada

derajat  yang  semestinya  dan  mendidik  setiap  suami  untuk

bertanggung jawab. Menikah bukanlah sekedar saling menuntut

hak, tetapi juga berbagi kasih sayang.

Seorang  suami  yang  sadar  bahwa  istrinya  telah  mengerjakan

semua tugas dan tanggung jawabnya, akan menjadikan sang suami

menghormati dan makin menyayangi istrinya itu. Siapa lagi yang

lebih dermawan dari seorang istri yang mengerjakan tugas-tugas

suaminya tanpa meminta bayaran sedikitpun? Padahal itu bukan

tugasnya sama sekali, dan secara aturan ia berhak meminta

bayaran atas pekerjaannya itu.

Pemahaman semacam itu akan menjadikan suami bersungguh-sungguh

dalam  bekerja  serta  menafkahi  keluarganya,  karena  ia  tahu

bahwa  di  rumahnya  seseorang  yang  berhati  mulia  telah

menantinya dengan penuh kerinduan. Sungguh Allah akan meliputi

mereka dengan barokah serta kasih sayang.

Dan  seorang  istri  yang  bersungguh-sungguh  melaksanakan

pekerjaan  rumah  tangganya  dengan  penuh  keikhlasan,  telah

menjadi manusia paling mulia dengan mengerjakan tugas yang

seharusnya dikerjakan suaminya. Semuanya ia lakukan atas dasar

cinta  dan  ketaatan,  dan  pemahaman  bahwa  dalam  pernikahan

semuanya adalah tentang berbagi dan tolong menolong. Setiap

pekerjaan yang ia lakukan dengan ikhlas akan dibalas oleh

Allah dengan balasan yang berlipat-lipat ganda.

Inilah  yang  seharusnya  senantiasa  kita  terapkan  dalam

kehidupan  rumah  tangga  kita.  Saling  menghargai  dan

mengingatkan dalam kebaikan. Allah mengingatkan kita dengan

firmannya di surat Al Baqarah:237,

Yang maknanya, “dan janganlah saling melupakan keutamaan di

antara kalian! Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang

kalian kerjakan.”

Wallahu A’lam


5 Obyek Berpikir dan 5 Pengaruhnya

Berpikir merupakan salah satu aktifitas yang dianjurkan oleh

Islam. Berbagai ayat mengindikasikan hal ini seperti afala

ya’qilun, afala yatafakkarun, afala tubshirun dan masih banyak

lagi lainnya. dalam salah satu haditsnya Rasulullah saw pernah

bersabda:

Berpikir sesa’at lebih baik dari pada beribadah selama enam

puluh tahun.

Para  arif  bijaksana  mengqiyaskan  keutamaan  berpikir  dengan

bahasa lain bahwa berpikir bagaikan lentera hati, barang siapa

yang kehilangan pikiran, maka jadi gelaplah hatinya.

Dalam kitab Nashaihul Ibad dikelompokkan lima objek berpikir

yang akan membawa pada lima kebaikan.

Pertama: berpikir tentang tanda-tanda kebesaran Allah swt. di

alam  (ayat  kauniyyah)  akan  melahirkan  rasa  yakin  akan

keesaannya. Keyakinan bahwa Alah hanya satu-satunya tuhan yang

mampu  mencipta  alam  lengkap  dengan  berbagai  hikmah  yang

terkandung di dalamnya. Berbagai keajaiban dan keistimewaan

setiap makhluk di dunia mulai dari benda terkecil di dalam

lubang tanah hingga makhluk berbintang di langit dan juga para

malaikat. Karena itulah dalam sebuah ayat diterangkan yang

atinya, jikalau kita benar-benar memikirkan berbagai ciptaan

Allah swt, maka akan menimbulkan pemahaman sifat-sifat Allah

swt. Misalkan Allah Zat Sang Maha Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq)

akan terbukti kebesarannya ketika kita memikirkan wujud cicak

yang menempel dinding tanpa ada sayap dengan berbagai nyamuk

yang berterbangan sebagai santapannya. Begitulah lain-lainnya.

Kedua berpikir akan segala ni’mat akan melahirkan perasaan

cinta dan syukur kepada-Nya. Bagaimana kita tidak bersyukur

jika  setiap  saat  kita  dapat  bernafas  dan  menikmati  udara

dengan bebas tanpa ada pajak dan pungutan. Bagaimana tidak

bersyukur  jika  mata  kita  mampu  melihat  segala  warna-warni

dunia? Andaikan semua itu dicabut Allah swt. apa yang dapat

kita lakukan sebagai manusia?

Maka  bersyukur  dengan  sepenuh  hati,  berterimakasih  dengan

sepenuh jiwa bukanlah terasa belum cukup bila dibandingkan

segala nikmat yang terlah diberikannya. Padahal jumlah nikmat

yang  ada  tidak  akan  mampu  dihitung  oleh  manusia  demikian

firman Allah swt

Ketiga, berpikir dan berangan-angan akan berbagai pahala dan

surga yang dijanjikan oleh Allah swt. kepada orang-orang yang

beramal baik, akan menambah nilai kepribadian seorang hamba

sehingga  ia  akan  berakhlaq  lebih  mulia,  bertindak  sedekat

mungkin dengan apa yang dianjurkan Allah dan agama-Nya

Keempat, berpikir dan mengingat-ingat segala pembalasan yang

disiapkan Allah untuk mereka yang dhalim dan selalu berada

pada  barisan  ‘musuh  Allah’  karena  senantiasa  mengapresiasi

ajakan iblis dn syetan, akan menambah perasaan takut seorang

hamba. Takut akan siksa neraka dan ancamannya.

Sebagaimana layaknya orang yang takut tentu ia akan menghindar

dan melarikan diri dari sesuatu yang ditakuti. Orang yang

takut neraka tentunya akan menghindar dan menjauhi perkara

yang berbau neraka. Berbagai maksiat dan kedurhakaan.

Kelima, berpikir tentang ketaatan seorang hamba dan kebaikan

Allah swt kepadanya akan menjadikan hidup ini lebih bermakna.

Artinya kesadaran akan keluasan ilmu Allah swt yang selalu

ikut  berperan  dalam  kehidupan  ini,  seolah  Allah  swt  ikut

mempermudah  diri  seorang  hamba  dalam  beribadah.  Akan

memantapkan  perasaan  pasrahnya  diri  kepada-Nya.


Nabi Muhammad SAW pernah ditanya istri Nabi, Aisyah, mengenai

doa apa yang mesti dibaca saat Lailatul Qadar, Nabi Menjawab,

“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni”. Doa

ini dalam bahasa Indonesia kira-kira, “Ya Allah, ya Tuhanku;

sungguh  Engakau  Maha  Pengampun,  suka  mengampuni,  maka

ampunilah  aku.”

Maha  pengampun-Nya  Allah  dan  kesukaan-Nya  mengampuni  tidak

hanya tercermin dalam asma-asma-Nya seperti Al-Ghafuur, al-

Ghaffaar, dan Al-‘Afwu, tetapi juga dapat diketahui melalui

banyak firman-Nya di al Quran dan sabda Rasul-nya dalam hadis-

hadis-Nya.

Salah  satu  firman-Nya  bahkan  menyeru  hamba-hamba-Nya  yang

berdosa agar tidak berputus harapan akan pengampunan-Nya dan

menegaskan bahwa Dia mengampuni dosa-dosa, semuanya (Q39:53).

Bahkan sedemikian sukanya Allah mengampuni sehingga Rasul-Nya

dalam bahasa sahih bersumber dari sahabat Abu Hurairah dan

riwayat imam Muslim-bersumpah bahwa seandainya “kalian semua

tidak ada yang berdoa, Allah SWT akan menghilangkan kalian dan

menggantinya  dengan  kaum  yang  berdosa  yang  memohon  ampun

kepada Allah lalu Ia pun mengampuni mereka”.

Maka,  kita  melihat  “lembaga  pengampunan”  Allah  yang  dapat

menghapuskan dosa, begitu banyak. Allah Yang Maha Pengasih dan

Penyayang  menjadikan  banyak  amalan  sebagai  penghapus  dosa,

mulai  dari  istighfar,  shalat,  puasa,  hingga  berbuat  baik

lainnya, semuanya dapat menghapus dosa. Ini sangat kontras

dengan perangai “khalifah”nya di bumi yang namanya manusia

ini.

Manusia-setidaknya  kebanyakan  mereka-dari  satu  sisi  suka

berbuat kesalahan, dan disisi lain gampang tersinggung dan

sangat sulit memaafkan kesalahan.

Bahkan,  dalam  banyak  diantara  mereka  yang  merasa  “dekat”

dengan Tuhan pun tidak tampak lebih pemaaf daripada yang lain.

Malah  sering  kali  justru  lebih  terlihat  sempit  dada  dan

tengik.

Yang aneh, terhadap Allah yang begitu baik dan Maha Pengampun,

kita ini begitu hati-hati. Namun kepada sesama manusia yang

tersinggung  dan  begitu  sulit  memaafkan,  kita  malah  sering

sembrono,  padahal,  dibandingkan  dengan  dosa  yang  langsung

berhubungan dengan Allah, kesalahan terhadap sesama manusia

jauh lebih sulit menghapusnya. Allah tidak akan mengampuni

dosa orang yang mengetahui kesalahan kepada saudaranya sesama

manusia sebelum saudaranya itu memaafkan.

Makna halalbihalal

Ada sebuah hadis sahih yang sungguh membuat mukmin yang sehat

pikirannya akan merasa khawatir merenungkannya. Yaitu hadis

sahih-dari sahabat Abu Hurairah yang diriwatkan oleh Bukhari

dan Muslim-tentang betapa tragisnya orang yang saat datang di

hari  kiamat  membawa  seabrek  (pahala)  amal,  seperti  shalat

puasa,  dan  zakat,  sementara  ketika  hidup  di  dunia  banyak

berbuat kejahatan kepada sesama.

Digambarkan, nanti orang yang pernah dicacinya, orang yang

pernah difitnahnya, yang pernah dimakan hartanya, yang pernah

dilukainya,  dan  pernah  dipukulnya  akan  beramai-ramai

menggerogoti  (pahala)  amalnya  yang  banyak  itu.

Bahkan apabila (pahala) amalnya itu sudah habis dan masih ada

orang yang pernah dizalimi dan belum terlunasi dosa orang ini

pun akan ditimpukkan kepadanya sebelum akhirnya dia dilempar

ke neraka. Orang yang malang ini disebut Rasulullah sebagai

orang yang bangkrut yang sebenarnya.

Lihatlah orang yang bangkrut itu disebutkan membawa seabrek

(pahala) shalat, puasa, dan zakat. Berarti dari sisi ini, dia

adalah orang yang taat beribadah. Namun, karena perangainya

yang buruk terhadap sesama, justru hasil ibadahnya itu sirna.

Maka,  bagi  kaum  beriman,  berhati-hati  dalam  pergaulan  itu

sangat penting. Kaum beriman tidak hanya mengandalkan amal

ibadahnya  tanpa  menjaga  akhlak  pergaulannya  dengan  sesama.

Apalagi,  karena  bangga  terhadap  amal  ibadahnya,  lalu

merendahkan  dan  menyepelekan  sesamanya.  Na’idzubillah  min

dzaalik.

Masih ada satu hadis sahih lagi yang senada dengan hadis di

atas yang menganjurkan kita segera meminta halal dari orang

yang pernah kita zalimi (falyatahallalhu minhu), apakah itu

berkenan dengan kehormatannya atau yang lain.

Saya  pikir,  bertolak  dari  sinilah  bermula  istilah  halal

bihalal (menulisnya tidak dipisah-pisah). Anjuran Nabi untuk

meminta  halal  dari  saudara  kita  yang  penah  kita  zalimi

tentunya berlaku juga bagi saudara kita.

Seperti kita ketahui, kata kita ini assembling dari bahasa

Arab.  Asalnya  halaal-bi-halaal  (dalam  kamus  Arab  sendiri,

tidak ditemukan entri halaal-bi-halaal ini). Jadi, ini murni

rakitan bangsa Indonesia. Semua mempunya makna harfiah halal

dengan halal, kemudian menjadi saling menghalalkan.

Begitulah tradisi silaturahmi (Arabnya silaturrahim) di hari

raya Idul Fitri pun diisi dengan acara halalbihalal. Saling

menghalalkan alias saling memaafkan. Halalbihalal-lah terutama

mendorong  orang  bersemangat  melakukan  silaturrahim  di  hari

raya  Idul  Fitri.  Sampai-sampai  kemudian  melahirkan  tradisi

lain yang kita sebut mudik.

Kalau  tujuannya  saling  memaafkan,  mengapa  halalbihalal  ini

(hanya)  dilakukan  di  hari  raya  Idul  Fitri  atau  di  bulan

Syawal, tidak setiap saat.

Boleh jadi ini ada kaitannya dengan “watak” bangsa kita yang

sulit  mengaku  salah  dan  sulit  memaafkan.  Jadi,  diperlukan

timing yang tepat untuk saling meminta dan memberi maaf. Lalu

kapan itu? Nah, tidak ada saat yang lebih tepat melebihi saat

setelah puasa Ramadhan.

Mengapa? Karena sesuai janji Rasulullah SAW, barangsiapa yang

berpuasa di bulan Ramadhan semata-mata karena iman dan mencari

pahala Allah, diampuni dosa-dosanya yang sudah-sudah.

Tentunya ini dosa-dosa yang berkaitan dengan Allah langsung.

Orang yang tidak memiliki  dosa kepada Allah karena dosa-

dosanya sudah diampuni, dadanya menjadi lapang. Mungkin ini

bisa menjelaskan mengapa setelah usai puasa Ramadhan, orang-

orang Islam menjadi terbuka, ringan menerima maaf, dan mudah

memaafkan.

Maka,  dosa-dosa  berat  yang  diakibatkan  kesembronoan  dalam

pergaulan hidup dengan sesama hamba Allah diharapkan dengan

mudah dilebur. Nah, kesempatan bersilaturrahim di hari raya

Idul  Fitri  ini  sangat  sampai  kita  lewatkan  untuk

berhalalbihalal,  saling  menghalalkan  dan  saling  memaafkan.

Sehingga di Lebaran ini, leburkan semua dosa-dosa kita semoga.

Selamat  Iful  Fitri  1435  Hijriah.  Mohon  maaf  lahir  batin.

(artikel ini telah dimuat di harian Kompas, Sabtu, 26 Juli

2014)