kecemasan 4

Nigg & Goldsmith, 1994). Namun, meningkatnya angka kejadian 
gangguan kepribadian skizotipal juga terdapat pada kerabat tingkat pertama para 
pasien yang menderita depresi unipolar, menunjukkan bahwa gangguan kepribadian 
skizotipal tidak hanya berhubungan dengan skizofrenia (Squires-Wheeler dkk, 
1993).
 Berbagai studi keluarga mengenai gangguan kepribadian paranoid sebagian besar 
menemukan tingkat kejadian yang lebih tinggi dari rata-rata pada kerabat para pasien 
yang menderita skizofrenia atau gangguan waham (Bernstein, Useda, & Siever, 
1993).
 Tidak ditemukan pola yang jelas dalam penelitian perilaku-genetik mengenai 
gangguan kepribadian skizoid meskipun sebuah studi keluarga menemukan bahwa 
prevalensi gangguan kepribadian skizoid meningkat di kalangan kerabat orang-orang 
yang mengalami gangguan kepribadian skizotipal (Battaglia dkk., 1995).
B. KELOMPOK DRAMATIK/ERATIK :
1. Gangguan Kepribadian Ambang (Borderline Personality Disorder – BPD)
Pada awalnya, istilah ini mengacu pada kondisi pasien yang berada di ambang batas 
antara neurosis dan skizofrenia. Namun konseptualisasi kepribadian ambang yang 
digunakan saat ini berasal dari dua sumber utama
Kajian literatur penelitian yang ada dan berbagai studi wawancara terhadap pasien 
yang dianggap mengalami gangguan kepribadian ambang yang disusun oleh 
Gunderson, Klob, dan Austin (1981).
- Sebuah studi terhadap kerabat para pasien skizofrenia yang dilakukan oleh Spitzer 
dkk (1979).
Ciri-ciri utama gangguan ini:
 Impulsivitas
 Ketidakstabilan hubungan dengan orang lain
 Ketidakstabilan mood
 Emosinya eratik dan dapat mendadak berubah total (terutama dari idealisasi yang 
penuh gelora menjadi kemarahan yang merendahkan)
Karakteristik pasien dengan Gangguan Kepribadian Ambang:
 Argumentatif
 Mudah tersinggung
 Sarkastik
 Cepat menyerang
 Secara keseluruhan sangat sulit untuk hidup bersama mereka
 Perilaku tidak dapat diprediksi dan impulsif
 Tidak memiliki rasa diri yang jelas dan konsisten
 Tidak pernah memiliki kepastian dalam nilai-nilai, loyalitas, dan pilihan karier 
mereka
 Tidak tahan berada dalam kesendirian
 Takut diabaikan
 Menuntut perhatian
 Mudah depresi dan perasaan kosong yang kronis
 Sering mencoba bunuh diri dan melakukan tindakan memutilasi diri sendiri 
Gangguan kepribadian ambang umumnya bermula pada masa remaja atau dewasa 
awal, dengan prevalensi sekitar 1%, dan banyak terjadi pada perempuan. Prognosisnya 
buruk, dan para pasian gangguan kepribadian ambang memiliki kemungkinan mengalami 
aksis I yaitu gangguan mood, dan orang tua mereka memiliki kemungkinan lebih besar 
dari rata-rata untuk mengalami gangguan mood. Juga ditemukan kormobitas dengan 
penyalahgunaan zat, PTSD, gangguan makan, dan gangguan kepribadian dalam 
kelompok aneh/eksentrik.
Etiologi Gangguan Kepribadian Ambang
Faktor-faktor biologis
Gangguan ini dapat memiliki komponen genetik, pasien juga dapat memiliki 
neurotisisme yang tinggi suatu trait yang diketahui diturunkan secara genetik. Beberapa 
data menunjukkan pada pasien gangguan kepribadian ambang adanya kelemahan lobus 
frontalis (berperan dalam perilaku impulsif) dan kadar metabolisme glukosa yang rendah 
pada lobus frontalis. Mereka juga mengalami peningkatan aktivasi amigdala (berperan 
dalam emosi yang intens pada pasien gangguan kerpibadian ambang). Ditemukan juga 
bahwa system serotonin pada pasien gangguan kepribadian ambang sulit diaktivasi.
Object Relations Theory
Fokusnya adalah pada cara anak-anak mengidentifikasi diri dengan orang-orang yang 
memiliki kelekatan emosional kuat dengan mereka. Orang yang diintroyeksi tersebut 
menjadi bagian dari ego seseorang, namun mereka dapat menimbulkan konflik dengan 
harapan, tujuan dan idealisme ketika ia tumbuh dewasa. Para teoritis Object relations
mengemukakan hipotesis bahwa orang bereaksi terhadap dunia melalui perspektif orang￾orang penting di masa lalu mereka, terutama orang tua atau pengasuh utama.
Kriteria Gangguan Kepribadian Ambang dalam DSM-IV-TR
Terdapat 5 atau lebih dari kriteria dibawah ini:
 Berupaya keras untuk mencegah agar tidak diabaikan, terlepas dari benar￾benar diabaikan atau hanya dalam bayangannya.
 Ketidakstabilan dan intensitas ekstrem dalam hubungan interpersonal, 
ditandai dengan perpecahan, yaitu mengidealkan orang lain dalam satu 
waktu dan beberapa waktu kemudian menistakannya.
 Rasa diri (sense of self) yang tidak stabil.
 Perilaku impulsive, termasuk sangat boros dan perilaku seksual yang tidak 
pantas.
 Perilaku bunuh diri (baik hanya berupa sinyal maupun sungguh-sungguh 
mencoba) dan mutilasi diri yang berulang.
 Kelabilan emosional yang ekstrem.
 Perasaan kosong yang kronis.
 Sangat sulit mengendalikan kemarahan.
 Pikiran paranoid dan simtom-simtom disosiatif yang dipicu stres.
Kenberg (1985) berpendapat bahwa pengalaman masa kanak-kanak yang tidak 
menyenangkan menyebabkan anak-anak mengembangkan ego yang tidak merasa aman, 
sebuah ciri utama gangguan kepribadian ambang. Meskipun demikian, merekaa tetap 
memiliki kemampuan untuk menguji realitas. Mereka seringkali melakukan mekanisme 
pertahanan yang disebut pembelahan, yaitu mendikotomikan objek menjadi sepenuhnya 
baik atau buruk, memandang dunia termasuk dirinya sendiri sebagai hitam atau putih.
Teori Diathesis Stress Linehan
Linehan berpendapat bahwa gangguan kepribadian ambang terjadi bila orang yang 
memiliki diathesis biologis (kemungkinan genetik) berupa kesulitan mengendalikan 
emosi dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menginvalidasi.
Lingkungan yang menginvalidasi adalah lingkungan dimana keinginan dan perasaan 
seseorang tidak dipertimbangkan dan tidak dihargai; berbagai upaya untuk 
mengkomunikasikan perasan tidak diterima atau bahkan dihukum. Bentuk invalidasi 
ekstrem adalah penyiksaan anak, seksual maupun non seksual.
2. Gangguan Kepribadian Histrionik
Diagnosis kepribadian histrionik sebelumnya disebut dengan kepribadian histerikal, 
ditegakkan bagi orang-orang yang terlalu dramatis dan mencari perhatian. Mereka 
seringkali menggunakan cirri-ciri penampilan fisik, seperti pakaian yang tidak umum, rias 
wajah, atau warna rambut untuk menarik perhatian orang kepada mereka. Pada individu 
tersebut, meskipun menunjukkan emosi yang berlebihan, diperkirakan memiliki 
kedangkalan emosi.
Mereka berpusat pada diri sendiri, terlalu memedulikan daya tarik fisik mereka, dan 
merasa tidak nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian. Mereka dapat sangat provokatif 
dan tidak senonoh secara seksual tanpa memedulikan kepantasan dan mudah dipengaruhi 
orang lain. Bicaranya seringkali tidak tepat dan kurang memiliki detail.
Prevalensi untuk gangguan ini sebesar 2% dan lebih banyak terjadi pada perempuan. 
Gangguan ini lebih banyak terjadi pada orang-orang yang mengalami perpisahan dengan 
pasangannya, dan dihubungkan dengan depresi serta kesehatan fisik yang buruk. 
Memiliki kormobitas dengan gangguan kepribadian ambang.
Kriteria Gangguan Kepribadian Histrionik dalam DSM-IV-TR
Terdapat 5 atau lebih ciri-ciri dibawah ini:
 Kebutuhan besar untuk menjadi pusat perhatian.
 Perilaku tidak senonoh secara seksual yang tidak pantas.
 Perubahan ekspresi emosi yang secara cepat.
 Memanfaatkan penampilan fisik untuk menarik perhatian orang lain.
 Bicaranya sangat tidak tepat, penuh semangat mempertahankan pendapat 
yang kurang detail.
 Berlebihan, ekspresi emosional yan
Etiologi Gangguan Kepribadian Histrionik
Teori psikoanalisis mendominasi pada etiologi gangguan kepribadian histrionik, 
mengemukakan bahwa emosionalitas dan ketidaksenonohan perilaku secara seksual 
didorong oleh ketidaksenonohan orang tua, terutama ayah pada anak perempuannya. 
Pasien dengan gangguan kepribadian histrionik dibesarkan dalam keluarga dimana orang 
tua berbicara tentang seks sebagai sesuatu yang kotor, namun berperilaku seolah seks 
adalah sesuatu yang menyenangkan atau diinginkan.
Ekspresi emosi yang berlebihan pada orang-orang kepribadian histrionik dipandang 
sebagai simtom-simtom konflik tersembunyi tersebut, dan kebutuhan sebagai pusat 
perhatian dipandang sebagai cara untuk mempertahankan diri dan perasaan yang 
sebenarnya yaitu harga diri rendah.
3. Gangguan Kepribadian Narsistik
Orang-orang dengan gangguan kepribadian narsistik memandang keunikan dan 
kemampuan mereka secara berlebihan; mereka berfokus pada berbagai fantasi 
keberhasilan besar. Mereka menghendaki perhatian dan pemujaan berlebihan yang 
hampir tanpa henti dan yakin bahwa mereka hanya dapat dimengerti oleh orang-orang 
yang istimewa atau memiliki status tinggi. Hubungan interpersonal mereka terhambat 
karena kurangnya empati, perasaan iri dan arogansi, dan memanfaatkan orang lain, serta 
perasaan bahwa mereka dapat mendapatkan segala sesuatu.
Kepribadian narsistik sangat sensitif terhadap kritik dan sangat takut pada kegagalan. 
Hubungan pribadi mereka sangat sedikit dan dangkal, jika orang lain tidak mampu 
memenuhi harapan mereka, mereka akan marah dan menyingkirkan orang tersebut. 
Prevalensi untuk gangguan ini kurang dari 1% dan paling sering dialami bersamaan 
dengan gangguan kepribadian ambang.
Kriteria Gangguan Kepribadian Narsistik dalam DSM-IV-TR
Terdapat 5 atau lebih karakteristik di bawah ini:
 Pandangan yang dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri, 
arogansi.
 Terfokus pada keberhasilan, kecerdasan, kecantikan diri.
 Kebutuhan ekstrim untuk dipuja.
 Perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapatkan segala sesuatu.
 Kecenderungan memanfaatkan orang lain.
 Iri pada orang lain.
Etiologi Gangguan Kepribadian Narsistik
Heinz Kohut, orang yang menjadi sentral dalam minat terhadap narsisme di era 
kontemporer telah menciptakan suatu varian psikoanalisis yang dikenal sebagai self￾psychology. Menurut Kohut, kegagalan untuk mengembangkan harga diri yang sehat 
terjadi bila orang tua tidak merespon dengan baik kompetensi yang ditunjukkan anak￾anak mereka, yaitu si anak tidak dihargai berdasarkan makna dirinya sendiri, namun 
dihargai sebagai alat untuk membangun harga diri orang tua. 
Bila orang tua merespon anaknya dengan penghargaan, kehangatan, dan empati, 
mereka menumnuhkan rasa makna diri yang normal dan harga diri yang sehat pada si 
anak. Namun, bila orang tua memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan bukannya secara 
langsung menghargai anak mereka, akibatnya dapat berupa terbentuknya kepribadian 
narsistik. Anak-anak yang diabaikan dengan cara initidak mengembangkan harga diri 
yang terintenalisasi dan sehat serta sulit menerima berbagai kekurangan mereka sehingga 
mereka berjuang untuk melambungkan rasa diri mereka dengan menhejar cinta dan 
penghargaan dari orang lain tanpa henti.
4. Gangguan Kepribadian Antisosial dan Psikopati
 Karakteristik Gangguan Kepribadian Antisosial
Konsep gangguan kepribadian antisosial dalam DSM IV – TR mencakup dua 
komponen yaitu :
- Terdapat gangguan tingkah laku sebelum usia 15 tahun, membolos, sering 
berbohong, melakukan pembakaran, dan dengan sengaja merusak kepemilikan 
merupakan simtom – simtom utama gangguan tingkah laku.
- Terus berlanjutnya pola perilaku antisosial tersebut pada masa dewasa..
Penelitian menunjukan sedikit perbedaan antara mereka yang memenuhi kriteria 
GKA pada orang dewasa yang di masa kanak – kanaknya mengalami gangguan tingkah 
laku dan mereka yang memenuhi kriteria bagi orang dewasa, namun tanpa gangguan 
tingkah laku. Orang dewasa yang mengalami GKA menunjukan perilaku tidak 
bertanggung jawab dan antisosial dengan bekerja secara tidak konsisten, melanggar 
hukum, mudah tersinggung dan agresif secara fisik, tidak mau membayar utang, dan 
sembrono ceroboh.
Diperkirakan sekitar 3% laki – laki dewasa dan 1% perempuan di Amerika Serikat 
memiliki kepribadian antisosial. Angka kejadiannya jauh lebih tinggi di kalangan anak 
– anak muda daripada di kalangan orang dewasa yang lebih tua, dan gangguan ini lebih 
umum terjadi di kalangan orang – orang dengan status sosioekonomi rendah. Gangguan 
kepribadian antisosial komorbid dengan sejumlah diagnosis lain, terutama 
penyalahgunaan zat. 
 Karakteristik Psikopati
Konsep psikopati berkaitan erat dengan berbagai artikel Hervey Cleckley dan buku 
klasiknya The Mask of Sanity (1976). Salah satu karakteristi utama psikopatik adalah 
kemiskinan emosi, baik positif maupun negatif. Orang – orang psikopati tidak memiliki 
rasa malu, bahkan perasaan mereka yang tampak positif pada orang lain hanyalah 
sebuah kepura – puraan. Kadar kecemasan yang rendah membuat psikopat tidak 
mungkin belajar dari kesalahannya, dan kurangnya emosi positif mendorong mereka 
berperilaku secara tidak bertanggung jawab dan sering kali secara kejam kepada orang 
lain. Poin utama dalam deskripsi Cleckly adalah perilaku antisosial pada psikopat 
dilakukan secara impulsif, yang memberikan kesenangan baginya seperti suatu 
keuntungan finansial.
Sebagian besar peneliti mendiagnosis psikopati menggunakan daftar uji yang 
dikembangkan oleh Hare dan para rekannya, yang menidentifikasikan dua kelompok 
utama perilaku psikopati, yaitu:
- Ketidaklekatan emosional dan sama dengan gangguan kepribadian narsistik, 
digambarkan sebagai individu yang egois dan tidak memiliki penyesalan, dengan 
harga diri yang melambung yang mengeksploitasi orang lain.
- Gaya hidup antisosial yang ditandai dengan impulsivitas dan ketidakbertanggung 
jawaban.
Psikopati lebih banyak terjadi pada laki – laki dibanding perempuan. Psikopati 
sering kali komorbid dengan penyalahgunaan alkohol dan obat – obatan lain.
Penelitian dan Teori mengenai Etiologi Gangguan Kepribadian Antisosial dan 
Psikopati
- Peran Keluarga
Kurangnya afeksi dan penolakan berat oleh orang tua merupakan penyebab 
utama perilaku psikopatik. Beberapa studi lain menghubungkan perilaku 
psikopatik dengan tidak konsistennya orang tua dalam mendisiplinkan anak –
anak mereka dan dalam mengajarkan tanggung jawab terhadap orang lain, 
penyiksaan fisik, dan kehilangan orang tua. Diketahui beberapa aspek lain yang 
berpengaruh, seperti juga perilaku antisosial sang ayah.
- Korelasi Genetik Gangguan Kepribadian Antisosial
Adopsi dan orang kembar, termasuk kembar yang dibesarkan secara terpisah, 
mengindikasikan bahwa faktor – faktor genetik memainkan peran penting 
berkaitan dengan kemungkinan seseorang akan melakukan tindakan kriminal. 
Studi adopsi mengungkap prevalesi perilaku antisosial yang lebih tinggi dari 
normal pada anak – anak adopsi yang memiliki orang tua kandung yang 
mengalami gangguan kepribadian antsosial dan penyalahgunaan zat. Lingkungan 
memainkan peran peting dalam gangguan kepribadian antisosial.
- Emosi dan Psikopati
Definisi sindrom psikopatik, yaitu ketidakmampuan orang seperti itu unuk 
mengambil hikmah dari pengalaman atau bahkan dari hukuman; mereka 
tampaknya tidak mempu menghindari konsekuensi negatif perilaku sosial yang 
salah. Mereka tampaknya kebal terhadap kecemasan atau kepedihan hati nurani 
yang membantu mencegah sebagian besar diantara manusia untuk melanggar 
hukum atau berbohong atau mencederai orang lain, dan mereka sulit 
mengendalikan impuls. Psikopat memiliki sedikit hambatan untuk melakukan 
tindakan antisosial karena mereka sangat sedikit mengalami kecemasan atau 
dengan kata lain memiliki kadar kecemasan yang rendah. Psikopat sangat ahli 
mengabaikan stimuli tertentu, bahkan memfokuskan perhatian pada hal – hal yang 
menarik bagi mereka. Hukuman tidak menimbulkan emosi kuat pada psikopat 
sehingga tidak dapat menghalangi perilaku antisosial. Dengan demikian, psikopat 
tampak memiliki empati yang rendah terhadap penderitaan orang lain.
- Modulasi Respon, Impulsivitas, dan Psikopati
Sebuah tambahan penting bagi pemikiran yang ada saat ini mengenai 
penyebab psikopati adalah dimasukkannya suatu faktor yang akan menstimulasi 
atau mendorong perilaku antisosial. Impulsivitas muncul bila psikopat dihadapkan 
pada tugas yang dirancang untuk menguji kemampuan mereka untuk 
memodifikasi respon – respon mereka berdasarkan keberhasilan atau kegagalan. 
Selain berhubungan dengan impulsivitas, karena interaksi sosial sangat 
bergantung pada konteks, kurangnya sensitivitas terhadap sinyal kontekstual dapat 
berhubungan erat dengan insensitivitas psikopat terhadap orang lain. Berbagai 
studi menunjukan bahwa psikopat memiliki reaksi yang berbeda dengan sebagian 
besar diantara manusia. Secara khusus, mereka hanya memiliki sedikit kecemasan, 
sehingga kecemasan hanya memberikan sedikit efek penghambat dalam perilaku 
antisosial. Perlakuan mereka terhadap orang lain semata – mata karna kurangnya 
empati. Psikopat kurang mampu menggunakan informasi kontekstual dan 
membuat perencanaan, karena itu perilaku mereka menjadi impulsif. Hal itu 
kemungkinan merupakan penyebab psikopat bertingkah laku salah tanpa menyesal 
dan mencari kesenangan tanpa menghargai berbagai aturan masyarakat. 
Kriteria Gangguan Kepribadian Antisosial dalam DSM – IV – TR
Pola pervasif dalam hal tidak menghargai hak orang lain sejak berusia 15 
tahun dan seurang – kurangnya 3 karakteristik antara1 hingga 7 ditambah 8 
hingga 10 :
 Berulangkali melanggar hukum
 Menipu, berbohong
 Impulsivitas
 Mudah tersinggung dan agresif
 Tidak memedulikan keselamatan diri sendiri dan orang lain
 Tidak bertanggung jawab seperti terlihat dalam riwayat pekerjaan yang 
tidak reliabel atau tidak memenuhi tanggung jawab keuangan
 Kurang memiliki rasa penyesalan
 Berusia minimal 18 tahun
 Terdapat bukti mengenai gangguan tingkah laku sebelum berusia 15 tahun
 Perilaku antisosial yang tidak terjadi secara eksklusif dalam episode 
skizofrenia atau man
C. KELOMPOK PENCEMAS/KETAKUTAN
1. Gangguan Kepribadian Menghindar(Avoidant Personality Disorder)
Diagnosis gangguan kepribadian menghindar ditegakkan bagi orang-orang yang 
sangat takut terhadap kemungkinan munculnya kritikan, penolakan, atau ketidak setujuan 
dari orang lain, sehingga enggan menjalin hubungan.Mereka bahkan menghindari 
pekerjaan yang mengharuskan mereka melakukan kontak interpersonal, yakin bahwa diri 
mereka tidak kompeten, dan lebih rendah daripada orang lain.Prevalensi gangguan 
kepribadian menghindar adalah sekitar 5 persen (Torgersen, Kronglen, & Cramer, 2001) 
dan komorbid dengan gangguan kepribadian dependen (Trull, Widiger, & Frances, 1987), 

gangguan kepribadian ambang (Morey, 1988), serta komorbid dengan Aksis I yaitu 
depresi dan fobia sosial menyeluruh (Alpert dkk., 1997).
Gangguan kepribadian menghindar dan fobia sosial berhubungan dengan sindrom 
yang terjadi di Jepang, yang disebut taijin kyoufu (taijin berarti interpersonal dan kyoufu
berarti takut). Individu yang mengalamai taijin kyoufu terlalu sensitif dan menghindari 
kontak interpersonal, cenderung merasa gugup atau malu mengenai dampak yang mereka 
timbulkan pada orang lain, contohnya, wajah buruk atau baubadan (Ono dkk., 1996).
2. Gangguan Kepribadian Dependen(Dependent Personality Disorder)
Ciri utama gangguan kepribadian dependen adalah kurangnya kepercayaan diri dan 
perasaan otonom. Pasien dengan gangguan kepribadian dependen memandang diri 
mereka sebagai orang yang lemah dan orang lain penuh kekuatan, kebutuhan yang sangat 
kuat untuk diurus orang lain, tidak nyaman bila sendiri, dan bila hubungan dekat berakhir,
mereka sesegera mungkin berupaya menjalin hubungan baru untuk menggantikan 
hubungan yang telah berakhir. Kriteria dalam DSM menggambarkan orang-orang dengan 
gangguan kepribadian dependen sebagai orang yang sangat pasif (sulit memulai suatu 
proyek atau segala sesuatu sendiri, tidak mampu tidak setuju dengan orang lain, serta 
membiarkan orang lain membuat keputusan bagi mereka). Gangguan kepribadian 
dependen sering dialami bersamaan dengan gangguan kepribadian ambang, schizoid, 
histrionic, skizopital, dan menghindar, serta diagnosis Aksis I yaitu gangguan bipolar, 
depresi, gangguan anxietas, dan bulimia. Prevalensi gangguan kepribadian dependen 
sekitar 1,5 persen (Torgersen, Kringlen, & Cramer, 2001).Gangguan ini lebih banyak 
terjadi pasa perempuan
Kriteria Gangguan Kepribadian Menghindar dalam DSM-IV-TR
Terdapat minimal empat dari ciri berikut:
 Menghindari kontak interpersonal karena takut terhadap kritikan atau 
penolakan
 Keengganan untuk menjalin hubungan dengan orang lain kecuali dirinya 
pasti disukai
 Membatasi diri dalam hubungan intin karena takut dipermalukan atau 
diperolok
 Penuh kekhawatiran akan dikritik atau ditolak
 Merasa tidak adekuat
 Merasa rendah diri
 Keengganan ekstrem untuk mencoba hal-hal baru karena takut 
dipermalukan
Kriteria Gangguan Kepribadian Dependen dalam DSM-IV-TR
Terdapat minimal lima dari ciri berikut:
 Sulit mengambil keputusan tanpa saran dan dukungan berlebihan dari orang 
lain
 Membutuhkan orang lain untuk mengambil tanggung jawab atas sebagian 
besar aspek kehidupannya yang utama
 Sulit tidak menyetujui orang lain karena takut kehilangan dukungan mereka
 Melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan sebagai suatu cara untuk 
mendapatkan persetujuan dan dukungan orang lain
 Merasa tidak berdaya bila sendirian karena kurangnya rasa percaya terhadap 
kemampuannya untuk menangani segala sesuatu tanpa intervensi orang lain
 Berupaya untuk sesegera mungkin menjalin hubungan baru bila hubungan 
yang dimilikinya saat ini berakhir
 Dipenuhi ketakutan bila harus mengurus sendiri
3. Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif(Obsesive-Compulsive Personality 
Disorder)
Kepribadian obsesif-kompulsif adalah seorang perfeksionis, terfokus berlebihan pada 
detail, aturan, jadwal, dan sejenisnya. Orang-orang tersebut tidak pernah menyelesaikan 
proyek. Mereka berorientasi pada pekerjaan dan bukan pada kesenangan, serta sulit 
mengambil keputusan (karena takut salah) dan mengalokasikan waktu (takut terfokus 
pada hal yang salah). “Gila kendali” adalah istilah popular bagi orang-orang tersebut. 
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif cukup berbeda dari gangguan obsesif-kompulsif 
dalam hal gangguan ini tidak mencakup obsesif dan kompulsi yang menandai gangguan 
obsesif-kompulsif. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif lebih banyak ditemukan di 
kalangan pasien yang menderita GOK dibanding di kalangan pasien yang menderita 
gangguan panik atau depresi (Diaferia dkk., 1997), namun hanya ditemukan pada 
minoritas kasus GOK (Baer & Jenike, 1992). Prevalensi gangguan ini sekitar 2 persen 
dan paling tinggi komborbiditasnya dengan gangguan kepribadian menghindar (Lassano, 
del Buoeno, & Latapano, 1993; Torgersen, Kringlen, & Craner, 2001).
Kriteria Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif dalam DSM-IV-TR
Terdapat minimal empat dari ciri berikut:
 Terfokus secara berlebihan pada aturan dan detail hingga poin utama suatu 
aktivitas terabaikan
 Perfeksionisme ekstrem hingga ke tingkat yang membuat berbagai proyek 
jarang terselesaikan
 Pengabdian yang berlebihan pada pekerjaan hingga mengabaikan 
kesenangan dan persahabatan
 Tidak fleksibel tentang moral
 Sulit membuang benda-benda yang tidak berarti
 Enggan mendelegasikan kecuali jika orang lain dapat memenuhi 
standarnya
 Kikir
 Rigid dan keras kepala
Etiologi Kelompok Pencemas/Ketakutan
Hanya terdapat sedikit data mengenai gangguan kepribadian dalam kelompok ini. 
Spekulasi terfokus pada hubungan orang tua-anak. Ada pendapat bahwa gangguan 
kepribadian dependen dilakukan oleh pola asuh yang terlalu melindungi dan otoriter yang 
menghambat perkembangan perasaan self-efficacy (Borstein, 1997). Gangguan 
kepribadian dependen juga merupakan refleksi dari masalah kelekatan (Livesly, 
Schroeder, & Jackson, 1990). Perilaku lekat abnormal yang terdapat dalam kelompok 
kepribadian dependen mencerminkan suatu kegagalan dalam proses perkembangan umum 
karena terganggunya hubungan orang tua-anak yang disebabkan oleh kematian, 
pengabaian, penolakan, atau terlalu melindungi. Sehingga, orang dengan gangguan 
kepribadian dependen melakukan sejumlah taktik untuk mempertahankan hubungan 
dengan orang tua mereka maupun orang lain dengan cara apapun (Stone,1993).
Gangguan kepribadian menghindar dapat mencerminkan pengaruh lingkungan di 
mana anak diajari untuk takut pada orang lain dan situasi yang sebagian besar di antara 
kita menganggapnya tidak berbahaya.Karakteristik gangguan kepribadian obsesif￾kompulsif menurut Freud disebabkan oleh fiksasi pada tahap anal dalam perkembangan 
psikoseksualnya. Teori psikodinamika yang lebih kontemporer menekankan pada 
ketakutan kehilangan kendali, yang diatasi dengan kompensasi berlebihan.
D. Terapi Gangguan Kepribadian
Seorang terapis yang menangani pasien gangguan kepribadian umumnya juga 
mempertimbangkan gangguan Aksis I. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar pasien dengan 
gangguan kepribadian menjalani penanganan karena gangguan Aksis I, bukan karena 
gangguan kepribadian. Contohnya; seseorang yang mengalami gangguan kepribadian 
antisosial kemungkinan memiliki masalah penyalahgunaan zat. 
Para pasien yang mengalami gangguan Aksis I dan gangguan kepribadian biasanya tidak 
mengalami gangguan Aksis I setelah ditangani dengan berbagai macam psikoterapi (Reich & 
Vasile, 1993; Crist-Christoph & Barber, 2002). Penyebabnya jelas; orang-orang yang 
mengalami gangguan pada kedua aksis kondisinya lebih parah dibanding mereka yang hanya 
mengalami gangguan Aksis I sehingga membutuhkan terapi yang lebih intensif (karena 
gangguan kepribadian terjadi dalam waktu lama) dan lebih ekstensif (difokuskan pada 
banyak masalah psikologis). 
Obat-obatan psikoaktif sering kali digunakan untuk menangani berbagai jenis gangguan 
kepribadian (Koenigsberg, Woo-Ming, & Siever, 2002). Obat yang digunakan ditentukan 
berdasarkan masalah Aksis I yang mirip dengan gangguan kepribadian yang dialami. Para 
terapis psikodinamika menetapkan tujuan untuk mengubah pandangan pasien terhadap 
berbagai masalah pasien masa kanak-kanak yang diasumsikan mendasari gangguan perilaku. 
Para terapis behavioral dan kognitif, sesuai dengan fokus mereka pada situasi dan bukan pada 
karakteristik, tidak banyak mengemukakan pendapat hingga dewasa ini tentang penanganan 
spesifik untuk gangguan kepribadian yang tercantum dalam DSM (Howes & Vallis, 1996). 
Para terapis tersebut cenderung menganalisis berbagai masalah individual yang secara 
bersama-sama membentuk gangguan kepribadian.
1. Terapi Kepribadian Ambang
Berbagai masalah yang dialami orang-orang yang berkepribadian ambang dengan 
orang lain juga terjadi di dalam ruang konsultasi. Bagi pasien ambang, luar biasa sulit 
untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan sehingga menghambat hubungan 
terapeutik. Pasien berubah dari mengidealkan menjadi merendahkan terapis, pada satu 
saat menuntut perhatian dan pertimbangan istimewa. Misalnya sesi-sesi terapi pada jam￾jam yang tidak bisaa dan sangat sering menelpon ketika mengalami krisis tertentu, dan 
pada saat berikutnya menolak untuk memenuhi jadwal pertemuan, meminta pengertian 
dan dukungan, namun memaksa bahwa beberapa topik tertentu dilarang untuk 
dibicarakan. Dalam sebuah kasus, bunuh diri selalu menjadi resiko serius, rawat inap di 
rumah sakit sering kali diperlukan bila perilaku pasien tidak dapat lagi dikendalikan 
dengan rawat jalan atau bila kemungkinan bunuh diri tidak dapat ditangani tanpa 
pengawasan lebih ketat yang hanya mungkin dilakukan dalam lingkungan rumah sakit 
jiwa yang terkendali. Dalam pendekatan kognitif behavioral terhadap terapi untuk 
ambang, Linehan memasukkan jenis konsultasi berkelanjutan ini sebagai bagian integral 
penanganan. Sejumlah obat-obatan telah diujicobakan dalam farmakoterapi untuk 
gangguan kepribadian ambang, terutama antidepresan dan antipsikotik. 
 Psikoterapi Objek-Hubungan
Teori objek-hubungan memfokuskan pada cara anak-anak 
mengidentifikasikan diri dengan orang lain yang memiliki kelekatan emosi kuat 
dengan mereka. Kernberg (1985) bekerja berdasarkan asumsi dasar bahwa orang￾orang yang berkepribadian ambang memiliki ego yang lemah sehingga sangat sulit 
menoleransi pertanyaan mendalam yang diajukan dalam penanganan psikoanalisis. 
Penanganan analitis yang dimodifikasikan Kernberg bertujuan untuk menguatkan ego 
pasien yang lemah sehingga ia tidak menjadi korban pertahanan dirinya dalam bentuk 
pembelahan (splitting), atau pendikotomian (Kernberg dkk., 1989). Pembelahan 
dianggap sebagai akibat ketidakmampuan untuk membentuk berbagai pemikiran 
kompleks (representasi objek) yang tidak cocok dengan dikotomibaik-buruk yang 
sederhana.
Namun, pendekatan Kernberg lebih keras dibanding pendekatan sebagian besar 
analis. Selain menginterpretasi perilaku defensive, ia memberikan saran konkret 
kepada pasien untuk berperilaku secara lebih adaptif dan ia akan merumahsakitkan 
pasien yang perilakunya berbahaya bagi dirinya maupun orang lain. Pendapat 
Kernberg bahwa pasien semacam itu tidak sesuai untuk psikoanalisis klasik karena 
ego mereka yang lemah konsisten dengan sebuah studi jangka panjang yang 
dilakukan di institusi mental berorientasi analitis yang terkenal di seluruh dunia yaitu 
Menninger Clinic (Stone, 1987).
 Terapi Perilaku Dialektikal (Dialectical Behavior Therapy-DBT)
Sebuah pendekatan yang mengombinasikan empati dan penerimaan yang terpusat 
pada klien dengan penyelesaian masala kognitif behavioral dan pelatihan 
keterampilan sosial diperkenalkan oleh Marsha Linehan (1987). Pendekatan yang 
disebutnya terapi perilaku dialektikal memiliki tiga tujuan menyeluruh bagi para 
individu ambang:
1. mengajari mereka untuk mengubah dan mengendalikan emosionalitas dan 
perilaku ekstrem mereka;
2. mengajari mereka untuk menoleransi perasaan tertekan;
3. membantu mereka memercayai pikiran dan emosi mereka sendiri.
Konsep dialektik berasal dari filsuf Jerman Hegel (1770-1831). Dialektik 
merupakan suatu pandangan terhadap dunia yang menyatakan realitas adalah hasil 
ketegangan konstan antara dua hal yang bertentangan. Setiap peristiwa disebut tesis 
cenderung menciptakan suatu kekuatan yang bertentangan dengannya disebut 
antitesis. 
Tujuan DBT adalah mengajari pasien untuk mengadopsi pandangan dialektikal 
terhadap dunia, suatu pemahaman bahwa hidup selalu berubah dan segala sesuatu 
tidak sepenuhnya buruk atau sepenuhnya baik. DBT berpusat pada penerimaan 
sepenuhnya terhadap orang-orang berkepribadan ambang oleh terapis dengan segala 
kontradiksi dan kepura-puraan mereka, secara empatis memvalidasi keyakinan 
mereka (yang menyimpang) dengan sikap “sebagai suatu fakta” terhadap perilaku 
untuk bunuh diri dan perilaku disfungsional mereka yang lain. Aspek kognitif 
behavioral dalam penanganan tersebut, yang dilakukan secara individual maupun 
kelompok, meliputi membantu pasien belajar menyelesaikan masalah, menguasai cara 
yang lebih efektif dan lebih diterima secara sosial untuk mengatasi berbagai maslah 
kehidupna sehari-hari dan mengendalikan emosi. Juga diberikan terapi untuk 
meeningkatkan keterampilan interpersonal dari mengendalikan kemarahan serta 
kecemasan mereka. Linehan dan para rekannya memublikasikan hasil-hasil studi yang 
pertama kali menggunakan metode random dan terkendali mengenai suatu intervensi 
psikologis untuk gangguan kepribadian ambang (Linehan dkk,. 1991). Para pasien 
secara random ditempatkan dalam kelompok terapi perilaku dialektikal atau 
kelompok penanganan bisaa. Di akir terapi yang berlangsung selama satu tahun para 
pasien pada kedua kelompok dibandingkan kemudian (Linehan, Heard, & Amstrong, 
1993). Berbagai hasil temuan setelah penanganan mengungkapkan bahwa DBT jauh 
lebih baik pada berbagai pengukuranterhadap perilaku mencederai diri sendiri secara 
sengaja termasuk upaya bunuh diri, berhenti dari penanganan, dan lama rawat inap di 
rumah sakit. 
2. Terapi untuk Psikopati
Sebagian besar para ahli dari berbagai orientasi teoritis selama bertahun-tahun 
menyatakan bahwa tidak ada gunanya mengubah karakteristik psikopat yang semena￾mena dan tanpa penyesalan (Cleckey, 1976; Gacono dkk., 2001; McCord & McCord, 
1964; Palmer, 1984). Pada kenyataannya, memang tidak mungkin para psikopat itu 
sendiri ingin menjalani terapi. Alasan utama ketidakcocokan untuk menjalani psikoterapi 
adalah mereka tidak mampu dan tidak termotivasi untuk membangun segala bentuk 
hubungan saling percaya dan jujur dengan terapis. Seorang ahli klinis yang 
berpengalaman menangani psikopat mengusulkan tiga prinsip utama bagi para terapis 
yang menangani pasien ini. 
Pertama, terapis harus selalu waspada berkaitan dengan manipulasi yang mungkin 
dilakukan pasien. Kedua, ia harus berasumsi, hingga terbukti tidak benar, bahwa 
informasi yang di berikan padanya oleh pasien mengandung distorsi dan direkayasa. 
Ketiga, ia harus memahami bahwa kerja sama terjalin, jika ada, dengan amat sangat 
lambat dalam setiap hubungan terapeutik dengan seseorang psikopat (Lion, 1978).



SIMTOM KLINIS SKIZOFRENIA
A. Simtom Positif
Mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan delusi. Simtom￾simtom ini sebagian besar menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia. 
Delusi (atau dikenal dengan istilah waham). Yaitu keyakinan yang berlawanan 
dengan kenyataan. Gambaran delusi berikut ini dikutip dari Mellor (1970) , 
 Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan berasal dari dirinya dimasukkan ke dalam 
pikirannya oleh suatu sumber eksternal. 
 Pasien yakin bahwa pikiran mereka disiarkan dan ditransmisikan sehingga orang 
lain mengetahui apa yang mereka pikirkan. 
 Pasien berpikir bahwa pikiran mereka telah dicuri secara tiba-tiba dan tak terduga 
oleh suatu kekuatan eksternal. 
 Beberapa pasien yakin bahwa perasaan atau perilaku mereka dikendalikan oleh 
suatu kekuatan eksternal. 
Halusinasi dan Gangguan Persepsi Lain. Halusinasi adalah suatu pengalaman 
indrawi tanpa adanya stimulus dari lingkungan. Tipe-tipe halusinasi tersebut antara lain 
seperti dibawah ini (dikutip dari Mellor, 1970). 
 Beberapa pasien skizofrenia menuturkan bahwa mereka mendengar pikiran 
mereka diucapkan oleh suara lain. 
 Beberapa pasien mengklaim bahwa mereka mendengar suara-suara yang saling 
berdebat. 
 Beberapa pasien mendengar suara-suara yang mengomentari perilaku mereka. 
B. Simtom Negatif 
Simtom-simtom negatif skizofrenia mencakup bebagai defisit behavioral, seperti 
avolition, alogia, anhedonia, afek datar dan asosialitas. Banyaknya simtom negatif 
merupakan prediktor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (a.l., ketidakmampuan 
bekerja, hanya memiliki sedikit teman) dua tahun setelah dirawat di rumah sakit. (Ho 
dkk., 1998). 
Avolition. Apati atau avolition merupakan kondisi kurangnya energi dan ketiadaan 
minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa yang biasanya merupakan 
aktivitas rutin. Pasien dapat menjadi tidak tertarik untuk berdandan dan menjaga 
kebersihan diri. Mereka mengalami kesulitan untuk tekun melakukan aktivitas sehari-hari 
dalam pekerjaan, sekolah dan rumah tangga, serta dapat menghabiskan sebagian besar 
waktunya dengan duduk-duduk tanpa melakukan apapun. 
Alogia. Merupakan suatu gangguan pikiran negatif. Dalam miskin percakapan, 
jumlah total percakapan sangat jauh berkurang. Dalam miskin isi percakapan, jumlah 
percakapan memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung 
membingungkan serta diulang-ulang. 
Anhedonia. Merupakan ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan. Tercermin 
dalam kurangnya minat dalam melakukan berbagai aktivitas rekreasional, gagal untuk 
mengembangkan hubugan dekat dengan orang lain, dan kurangnya minat dalam hubungan 
seks. Pasien sadar akan simtom-simtom ini dan menuturkan bahwa apa yang biasanya 
dianggap aktivitas yang menyenangkan tidaklah demikian bagi mereka. 
Afek Datar. Pada pasien yang memiliki afek datar, hampir tidak ada stimulus yang 
dapat memunculkan respon emosional. Pasien menatap dengan pandangan kosong, otot￾otot wajah kendur, dan mata mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab 
dengan suara datar dan tanpa nada. 
Asosialitas. Beberapa pasien skizofrenia mengalami ketidakmampuan yang parah 
dalam hubungan sosial, yang disebut asosialitas. Mereka hanya memiliki sedikit teman, 
keterampilan sosial yang rendah, dan sangat kurang berminat untuk berkumpul bersama 
orang lain. 
C. Simtom Disorganisasi
Simtom disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku aneh 
(bizzare)
Disorganisasi Pembicaraan. Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, 
merujuk pada masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan permasalahan dalam 
berbicara. Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi longgar, 
atau keluar jalur (derailment), dalam hal ini pasien dapat lebih berhasil dalam 
berkomunikasi dengan seorang pendengar, namun mengalami kesulitan untuk tetap pada 
satu topik. 
Perilaku Aneh. Perilaku aneh dapat terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat 
meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dapat dimengerti, memakai 
pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang 
konyol, menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan perilaku seksual 
yang tidak pantas seperti melakukan masturbasi didepan umum. Mereka tampak 
kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka dan menyesuaikannya dengan 
berbagai standar masyarakat. Mereka mengalami kesulitan melakukan tugas-tugas sehari￾hari dalam hidup. 
D. Simtom Lain
Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah katatonia dan afek yang tidak sesuai. 
Katatonia. Beberapa abnormalitas motorik menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat 
melakukan suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan yang aneh, dan kadang 
kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan yang sering kali tampaknya memiliki 
tujuan tertentu. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan yang tidak biasa pada 
keseluruhan aktivitas, termasuk sangat riang, menggerakkan anggota badan secara liar, 
dan mengeluarkan energi yang sangat besar seperti yang terjadi pada mania. Di ujung lain 
spektrum ini adalah imobilitas katatonik. : pasien menunjukkan berbagai postur yang tidak 
biasa dan tetap dalam posisi demikian untuk waktu yang sangat lama. Pasien dapat berdiri 
pada satu kaki dengan kaki lain ditekuk kearah pantat, dan tetap pada posisi tersebut 
hampir sepanjang hari. 
Afek yang Tidak Sesuai. Respon-respon emosional pasien dapat berada diluar 
konteks. Pasien dapat tertawa saat mendengar kabar bahwa ibunya baru saja meninggal. 
Atau marah ketika ditanya dengan pertanyaan sederhana, misalnya apakah baju barunya 
cocok untuknya. Para pasien tersebut dapat dengan cepat berubah dari satu kondisi 
emosional ke kondisi emosional lain tanpa alasan yang jelas. 
Sejarah Konsep Skizofrenia
A. Gambaran Awal 
Kraeplin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox,
istilah awal untuk skizofrenia, pada tahun 1898. Dia membedakan dua kelompok 
utama psikosis yang disebutnya endogenik, atau disebabkan secara internal : penyakit 
manik-depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencakup beberapa konsep 
diagnostik-demensia paranoid, katatonia, dan hebefrenia yang dianggap sebagai 
enttitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade terdahulu. Meskipun 
berbagai gangguan tersebut secara simptomatik berbeda, Kraeplin yakin mereka 
mempunyai satu kesamaan inti dan istilah dementia praecox mencerminkan apa yang 
diyakininya merupakan inti tersebut – yaitu terjadi pada usia awal (praecox) dan 
perjalanan memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual progresif (dementia) . 
Demensia dalam dementia praecox tidak sama dengan demensia pada usia tua yang 
ditandai oleh kerusakan memori yang parah, sedangkan istilah Kraeplin merujuk pada 
“kelemahan mental” pada umumnya.
Figur penting berikutnya adalah Bleuler yang memiliki pandangan berbeda 
dengan Kraeplin menyangkut dua poin utama : Ia yakin bahwa gangguan tersebut 
tidak selalu terjadi pada usia dini dan ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak akan 
berkembang menjadi demensia tanpa dapat dihindari. Dengan demikian istilah 
dementia praecox tidak sesuai lagi dan pada tahun 1908 Bleuler mengajukan 
istilahnya sendiri yaitu skizofrenia yang berasal dari bahasa Yunani schizein yang 
artinya “membelah” dan phren yang artinya “akal pikiran” untuk mencerminkan 
karakteristik utama kondisi tersebut.
B. Konsep yang Diperluas di Amerika Serikat
Bleuler memberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia dalam 
perkembangannya di Amerika Serikat. Selama paruh pertama abad ke-20 diagnosis 
tersebut semakin meluas. Di New York State Psychiatric Insitute, contohnya, sekitar 
20 persen pasien didiagnosis sebagai skizofrenik pada tahun 1930-an. Angka tersebut 
meningkat disepanjang tahun 1940-an dan pada tahun 1952 memuncak hingga 
mencapai angka 80 persen. Secara kontras, konsep skizofrenia yang umum di Eropa 
tetap lebih sempit. Persentase pasien yang didiagnosis sebagai skizofrenik di Rumah 
Sakit Maudsley di London, contohnya, relatif konstan, yaitu 20 persen, dalam kurun 
waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming, & Garland, 1974).
Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat 
dapat diketahui dengan mudah. Beberapa figur penting di dunia psikiatri AS lebih 
memperluas konsep skizofrenia Bleuler yang pada dasarnya sudah luas. Contohnya, 
pada tahun 1933, Kasanin menggambarkan sembilan pasien yang didiagnosis men￾derita dementia praecox. Pada mereka gangguan tersebut timbul secara mendadak dan 
penyembuhannya relatif cepat. Mengamati bahwa gangguan yang mereka alami dapat 
dikatakan sebagai kombinasi skizofrenik dan simtom-simtom afektif, Kasanin 
mengajukan istilah psikosis skizoafektif untuk menggambarkan berbagai gangguan 
yang dialami para pasien tersebut. Diagnosis tersebut kemudian menjadi bagian 
konsep skizofrenia di AS dan dicantumkan dalam DSM-I (1952) dan DSM-II (1968). 
Konsep skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik 
diagnosis.
1. Para ahli klinis AS cenderung mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham 
dan halusinasi. Karena simtom-simtom ini, terutama delusi, juga terjadi dalam 
gangguan mood, banyak pasien yang menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan 
DSM-II sebenarnya mengalami gangguan mood-(Cooper dkk., 1972).
2. Para pasien yang dewasa ini akan didiagnosis mengalami gangguan 
kepribadian (terutama skizotipal, skizoid, ambang, dan gangguan kepribadian 
paranoid, didiagnosis sebagai skizofrenik berdasarkan kriteria DSM-II.
3. Para pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara 
akut dengan kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia. 
C. Diagnosis DSM-IV-TR
Berawal dari DSM-III (American Psychiatric Association, 1980) dan berlanjut 
dalam DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994) dan DSM-IV-TR 
(American Psychiatric Association, 2000), konsep skizofrenia di AS mengalami 
perubahan besar dari definisi terdahulu yang luas melalui lima hal berikut:
1. Kriteria diagnostik disajikan dalam detail yang eksplisit dan substansial.
2. Para pasien yang mengalami simtom-simtom gangguan mood secara 
spesifik dipisahkan. Skizofrenia, tipe skizoafektif, sekarang dicantumkan sebagai 
gangguan skizoafektif di bagian yang berbeda sebagai salah satu gangguan psikotik. 
Gangguan skizoafektif mencakup gabungan simtom-simtom skizofrenia dan 
gangguan mood.
3. DSM-1V-TR mensyaratkan bahwa gangguan terjadi sekurangkurangnya 
enam bulan untuk diagnosis ini. Periode enam bulan tersebut harus mencakup suatu 
episode akut atau fase aktif selama sekurang-kurangnya sate bulan, ditandai dengan 
adanya minimal dua dari hal-hal berikut: waham, halusinasi, disorganisasi 
pernbicaran, disorganisasi perilaku yang sangat nyata atau perilaku katatonik, dan 
simtom-simtom negatif. (Hanya diperlukan satu dari simtom-simtom di atas jika 
wahamnya aneh atau jika halusinasi mencakup suara-suara yang mengomentari atau 
mendebat). Sisa waktu yang diperlukan bagi diagnosis dapat terjadi sebelum atau 
sesudah fase aktif. Berbagai masalah yang terjadi pada fase ini mencakup penarikan 
diri dari hubungan sosial, hendaya/dalam keberfungsian peran, afek yang tumpul atau 
tidak sesuai, kurangnya inisiatif, cara bicara yang membingungkan dan tidak dapat 
dimengerti, gangguan dalam kebersihan dan kerapihan diri, keyakinan yang aneh atau 
pikiran magis, dan pengalaman perseptual yang tidak wajar. Kriteria-kriteria tersebut 
mengeliminasi pasien yang mengalami episode psikotik singkat, yang sering kali 
berhubungan dengan stres, dan sembuh dengan cepat. Episode skizofrenik akut dalam 
sekarang didiagnosis sebagai gangguan skizofreniform atau gangguan psikotik 
singkat, yang juga dicantumkan di suatu bagian barn dalam DSM-IV-TR. Simtom￾simtom gangguan skizofreniform sama dengan skizofrenia, namun hanya berlangsung 
selama satu hingga enam bulan. Gangguan psikotik singkat berlangsung selama satu 
hari hingga satu bulan dan sering kali disebabkan oleh stes ekstrem, seperti duka yang 
sangat dalam.
4. Beberapa gangguan yang pada DSM-II dianggap sebagai bentuk ringan 
skizofrenia sekarang didiagnosis sebagai gangguan kepribadian, contohnya, gangguan 
kepribadian skizotipal.
5. DSM-IV-TR membedakan antara skizofrenia paranoid, akan dibahas secara 
singkat nanti, dan gangguan waham. Orang yang menderita gangguan waham 
terganggu oleh waham kejaran yang terus-menerus atau oleh waham cemburu, yaitu 
tuduhan yang tidak berdasar bahwa pasangan atau kekasih mereka tidak setia. Waham 
lain mencakup waham merasa dibuntuti, waham erotomania (yakin bahwa ia dicintai 
seseorang, biasanya orang yang sama sekali tidak dikenal dengan status sosial yang 
lebih tinggi), dan waham somatik (yakin bahwa ada organ tubuh yang tidak 
berfungsi). Tidak seperti orang yang menderita skizofrenia paranoid, orang yang 
menderita gangguan waham tidak mengalami disorganisasi bicara atau halusinasi, dan 
waham yang dialaminya tidak terlalu aneh. Gangguan waham jarang ditemukan dan 
umumnya terjadi pada usia lebih tua dibanding skizofrenia. Dalam sebagian besar 
studi keluarga gangguan ini tampaknya memiliki kaitan dengan skizofrenia, mungkin 
secara genetik (Kendler & Diehl,1993).
Sesuai dengan data yang diperoleh dari studi World Health Organization di negara-negara 
industri dan negara berkembang (Jlablonsky dkk., 1994), kriteria-kriteria simtomatik tersebut 
dapat diterapkan untuk semua budaya. Meskipun demikian, para pasien di negara-negara 
berkembang memiliki kejadian yang lebih akut dan perjalanan penyakit yang lebih baik
dibanding para pasien di masyakarat industri. Penyebab temuan yang menarik tersebut masih 
belum diketahui (Sasser 6t Wanderling, 1994).
D. Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR
Tiga tipe gangguan skizofrenik yang tercantum dalam DSM-IV-TR yaitu 
disorganisasi, katatonik, dan paranoid pertama kali dikemukakan oleh Kraepelin 
bertahun-tahun lalu. Deskripsi saat ini mengenai tipe-tipe yang dikemukakan 
Kraepelin menunjukkan keragaman besar pada perilaku yang berhubungan dengan 
diagnosis skizofrenia.
1. Skizofrenia Disorganisasi
Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan Kraepelin disebut 
skizofrenia disorganisasi dalam DSM-IV-TR. Cara bicara mereka mengalami 
disorganisasi dan sulit dipahami oleh pendengar. Pasien dapat berbicara secara 
tidak runut, menggabungkan kata-kata yang terdengar sama dan bahkan 
menciptakan kata-kata baru, sering kali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat 
memiliki afek datar atau terus-menerus mengalami perubahan emosi, yang 
dapat meledak menjadi tawa atau tangis yang tidak dapat dipahami. Perilaku 
pasien secara umum tidak terorganisasi atau tidak bertujuan
2. Skizofrenia Katatonik
Simtom-simtom skizofrenia katatonik yang paling jelas adalah 
simtom-simtom katatonik yang disebutkan sebelumnya. Pasien umumnya 
bergantian mengalami imobilitas katatonik dan keriangan yang liar, namun 
salah satunya dapat lebih dominan. Para pasien tersebut menolak perintah dan 
saran dan sering kali menirukan kata-kata orang lain. Onset reaksi katatonik 
dapat lebih tiba-tiba dibanding onset bentuk-bentuk lain skizofrenia, meskipun 
orang yang bersangkutan kemungkinan sebelumnya telah menunjukkan 
semacam apati dan menarik diri dari kenyataan. Anggota badan orang yang 
mengalami imobilitas katatonik dapat menjadi kaku dan bengkak.
3. Skizofrenia Paranoid
Kunci diagnosis ini adalah adanya waham. Waham kejaran adalah 
yang paling umum, namun pasien dapat mengalami waham kebesaran, di 
mana mereka memiliki rasa yang berlebihan mengenai pentingnya 
kekuasaan,pengetahuan, atau identitas diri mereka. Beberapa pasien terjangkit 
waham cemburu, suatu keyakinan yang tidak berdasar bahwa pasangan 
seksual mereka tidak setia. Waham lain seperti dikejar atau dimata-matai juga 
dapat terlihat jelas. Halusinasi pendengaran yang jelas dan nyata dapat 
menyertai waham.Para individu yang mengalami skizofrenia paranoid selalu 
cemas, argumentatif, marah, dan kadang kasar. Secara emosional mereka 
responsif, meskipun mereka kaku, formal, dan intens kepada orang lain. 
Mereka juga lebih sadar dan verbal dibanding para pasien skizofrenia tipe lain. 
Bahasa yang mereka gunakan, meskipun penuh rujukan pada delusi, tidak 
mengalami disorganisasi.
Etiologi Skizofrenia
Aspek-aspek penyebab gangguan (Davidson, 2006), antara lain :
A. Data genetik
Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasikan bahwa suatu 
predisposisi bagi skiofrenia diturunkan secara genetik. Metode keluarga, kembar dan 
adopsi digunakan dalam penelitian ini seperti halnya dalam proyek-proyek penelitian 
perilaku genetiki lainnya, mengarahkan para peneliti untuk menyimpulkan bahwa 
suatu predisposisi terhadap skiofrenia diturunkan secara genetik.
- Studi Keluarga : Kerabat pasien skizofrenia memiliki kecenderungan lebih tinggi 
untuk mengalami skizofrenia. Risiko tersebut semakin tinggi bila hubungan 
kekerabatan semakin dekat
- Studi Orang Kembar : Kembar identik cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi 
untuk mengalami skizofrenia. Kembar identik memiliki gambaran struktur otak yang 
memiliki kemiripan.
- Studi Adopsi : Menemukan bahwa besarnya faktor keturunan/gen dalam timbulnya 
skizofrenia. Anak dari Ibu Skizofrenik walaupun diadopsi oleh orang tua lain, Ia tetap 
memiliki kemungkinan untuk didiagnosis lemah mental, psikopatik, dan neurotik, 
contohnya yaitu lebih sering terlibat dalam tindakan kriminal dan berurusan dengan 
institusi hukuman. 
B. Faktor Biokimia
Peran faktor-faktor genetik dalam skiofrenia menunjukkan bahwa faktor￾faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses 
biologislah faktor keturunan tersebut dapat berpengaruh. Aktivitas dopamin, teori 
bahwa skizofrenia berhubungan dengan aktivitas berlebihan neurotransmitter 
dopamin, terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-obatan yang efektif 
untuk menangani skiofrenia menurunkan aktivitas dopamin. Para peneliti mencatat 
bahwa obat-obatan antipsikotik, selain bermanfaat untuk menangani beberapa simtom 
skizofrenia, menimbulkan efek samping yang mirip dengan simtom-simtom penyakit 
parkinson. Penyakit parkinson diketahui sebagian disebabkan oleh kadar dopamin 
yang rendah dalam bagian saraf otak tersebut. Setelah itu dikonfirmasi bahwa karena 
strukturnnya sama dengan molekul dopamin, molekul-molekul obat-obatan 
antipsikotik memiliki kecocokan sehingga menghambat berbagai reseptor dopamin 
pascasinaptik. Resepotor-reseptor dopamin yang dihambat oleh obat-obat antipsikotik 
disebut reseptor D2. Selain itu trasmiter yang lainnya adalah serotonin dan glutamat 
yang tersebar luas di dalam otak. Apabila terjadi penurunan masukan glutamatdari 
korteks prefrontais atau hipokampus ke korpus striatum maka dapat mengakibatkan 
peningkatan aktivitas dopamin. 
C. Otak dan Skizofrenia
Analisis pasca kematian pada otak pasien skizofrenia merupakan salah satu 
sumber bukti adanya abnormalitas pada beberapa daerah otak pasien skizofrenia. 
Temuan yang paling konsisten dalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada 
hilangnya beberapa sel otak, temuan lainnya mengindikasikan abnormalitas struktur 
pada daerah subkortikal temporal-limbik, seperti hipokampus dan basal ganglia, dan 
pada korteks prefrontalis dan temporal. Berbagai citra yang diperoleh dalam 
pemindaian CT dan studi MRI pada otak pasien skizofrenia yang masih hidup secara 
konsisten mengungkap bahwa beberapa pasien terutama laki-laki memiliki rongga 
otak yang melebar, berkurangnya daerah abu-abu kortikal di daerah temporal dan 
frontalis. Berkurangnya volume basal ganglia dan struktur limbik.
Rongga otak yang lebar pada para pasien skizofrenia berkorelasi dengan 
kinerja yang lemah dalam berbagai tes neuropsikologis, penyesuaian yang buruk 
sebelum timbulnya gangguan dan respons yang buruk dalam terapi obat. Berbagai 
macam data menunjukkan bahwa korteks prefrontalis secara khusus penting dalam 
skizofrenia, karena diketahui berperan dalam perilaku seperti berbicara, pengambilan 
keputusan, dan tindakan yang bertujuam, yang semuanya mengalami gangguan dalam 
skizofrenia. Selain itu dalam suatu jenis pencitraan fungsional dimana metaboisme 
glukosa di berbagai daerah otak diteliti ketika pasien sedang mengerjakan tes-tes 
psikologis dan neuropsikologis yang membutuhkan pengaktifan korteks prefrontalis, 
para pasien skizofrenia menunjukkan tingkat metabolisme glukosa yang rendah, 
secara normal metabolisme glukosa meningkat sejalan dengan penggunaan energi.
Yang hilang dalam korteks temporalis dan frontalis adalah sesuatu yang 
disebut spinal dendritic yang merupakan cabang kecil pada batang dendrit dimana 
impuls-impuls saraf diterima dari berbagai neuron lain. Hilangnya spinal-spinal 
dendritic tersebut berarti komunikasi diantara neuron-neuron akan terganggu. 
Sehingga mengakibatkan kondis yang diistilahkan oleh beberapa orang sebagai 
“sindrom diskoneksi”, salah satu akibatnya dapat berupa disorganisasi pembicaraan 
dan behavioral yang terjadi pada skizofrenia. Salah satu kemungkinan beberapa 
abnormalitas otak tersebut adalah kerusakan semasa kehamilan atau saat kelahiran 
yang diakibatkan oleh pasokan oksigen yang berkuang ke otak dan mengakibatkan 
hilangnya daerah abu-abu kortikal. Kemungkinan lain adalah disebabkan karena 
adanya virus yang masuk ke otak dan merusaknya ketika janin masih dalam tahap 
perkembangan terutama pada trimester kedua.
Cedera otak berinteraksi dengan perkembangan otak normal dan bahwa 
korteks prefrontalis merupakan strukur otak yang mengalami kematangan paling 
akhir, umumnya pada masa remaja, karena aktivitas dopamine memuncak pada masa 
remaja yang dapat lebih jauh memicu tahap terjadinya simtom-simtom 
skizofrenik.terjadinya simtom-simtom pada masa remaja dapat mencerminkan 
hilangnya beberapa sinaps yang disebabkan oleh mekanisme pemotongan yang terlalu 
aktif atau penghilangan beberapa koneksi sinaptik yang dikurangi sekitar 60 persen 
dari jumlah maksimum. 
D. Stres Psikologis dan Skizofrenia
Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan 
biologis untuk menimbulkan penyakit ini, peningkatan stress kehidupan 
meningkatkan kemungkinan kekambuhan , karena para individu yang menderita 
skozofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stressor yang dihadapi di 
kehidupan sehari-hari. Stress memicu berkurangnya mood positif secara lebih besar, 
dan juga memicu peningkatan yang lebih besar dalam mood negative, dengan 
demikian para pasien skizofrenia sangat rentan terhadap stress sehari-hari. Dua 
stressor yang telah megambil bagian penting dalam penlitian bidang ini adalah:
a). Kelas Sosial Skizofrenia : hubungan antara kelas social dan skizofrenia 
tidak menunjukkan tingkat kejaidan skizofrenia yang semakin tinggi seiring semakin 
rendahnya kelas social. Korelasi antara kelas social dan skizofrenia memiliki 
konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasinya secara kausal. Perlakuan 
merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang 
rendah, dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat 
menjadikan keberadaan seseorang daalm kelas social terendah sebagai kondisi yang 
penuh stress yang dapat membuat seseorang setidaknya memiliki predisposisi 
menderita skizofrenia.Penjelasan lain mengenai korelasi antara skizofrenia dan kelas 
social rendah adalah teori seleksi-sosial, yang membalikkan arah kausalitas antara 
kelas sosial dan skizofrenia. Salah satu cara yang mungkin untuk menyelesaiakan 
konflik antara kedua teori yang saling bertantangan tersebut adalah meneliti mobilitas 
social orang-orang skizofrenik. Hipotesis sosiogenik akan memprediksi bahwa karena 
stress dalam tingkat yang tinggi dialami oleh mereka yang berasal dari semua kelas 
social, orang-orang yang berasal dari kelompok yang tidak beruntung semestinya 
memiliki tingkat kejadian skizofrenia yang secara konsisten lebih tinggi di semua 
kelas social. Meskipun demikian pola tersebut tidak terjadi, sehingga mendukung 
teori seleksi-sosial.
b). Keluarga dan Skizofrenia : Para teoris terdahulu menganggap hubungan 
keluarga terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal penting dalam terjadinya 
skizofrenia. Sehingga mincul istilah ibu- skizofrenogenik bagi inu yang tampak 
dingin dan dominan, serta selalu menciptakan konflik, memiliki karakter menolak, 
terlalu melindungi, mengorbankan diri sendiri, tidak tergerak oleh perasaan orang 
lain, kaku dan moralistic terhadap seks dan takut terhadap keintiman yang dianggap 
menyebabkan skizofrenia pada anaknya. Berbagai studi terkendali yang 
mengevaluasi teori ibu-skizofrenogenik tidak menghasilkan data yang mendukung. 
Beberapa temuan memang menunjukkan bahwa komunikasi buruk orang tua dapat 
berperan dalam etiologi skizofrenia. Meskipun demikian penyimpangan komunikasi 
bukan merupakan factor etiologis spesifik bagi skizofrenia. 
Psikopatologi yang lebih serius ditemukan pada anak-anak adopsi yang 
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terganggu. Selain itu lingkungan dimana 
pasien tinggal setelah keluar dari rumah sakit sangat berpengaruh terhadap seberapa 
cepat mereka akan kembali dirawat di rumah sakit. Para pasien skizofrenia yang 
belum lama berselang keluar dari rumah sakit dan keluarga mereka, dengan ekspresi 
emosi tinggi atau rendah diamati ketika mereka terlibat dalam diskusi mengenai suatu 
masalah keluarga yaitu ekspresi pikiran-pikiran yang tidak biasa oleh pasien 
memimbulkan komentar kritik yang lebih tinggi dari para anggota keluarga yang 
sebelumnya telah diidentifikasi sebagai keluarga dengan ekspresi emosi tinggi. 
Sedangkan dalam keluarga dengan ekspresi emosi tinggi komentar-komentar berupa 
kritik dari para anggota keluarga memicu peningkatan ekspresi pikiran-pikiran yang 
tidak biasa oleh pasien. Dengan demikian studi ini menemukan adanya hubungan dua 
arah, komentar-komentar kritik dari para anggota keluarga dengan ekspresi emosi 
tinggi menimbulkan lebih banyak pikiran tidak biasa pada pasien, dan pikiran-pikiran 
tidak biasa yang diekspresikan pasien memicu meningkatkan komentar-komentar 
kritik dalm keluarga dengan ekspresi emosi tinggi. 
Stress seperti tingkat ekspresi emosi yang tinggi dapat meningkatkan simtom￾simtom skizofrenia dan memicu kekambuhan berhubungan dengan efek stress 
terhadap aksis hipotalamik-pituitari-adrenal (HPA) dengan teori dopamine. Stress 
diketahui mengaktifkan aksis HPA, menyebabkan skresi kortisol. Sebaliknya, kortisol 
diketahui meningkatkan aktivitas dopamine dank arena itu dapat meningkatkan 


simtom-simtom skizofrenia. Meningkatnya aktivitas dopamine dapat meningkatkan 
aktivita HPA yang dapat membuat seseorang terlalu sensitive terhadap stress. Dengan 
demikian, teori ini menyatakan adanya hubungan dua arah terhadap aktivitas HPA 
dengan aktivitas dopamine.
E. Studi Perkembangan Skizofrenia
Suatu metode terdahulu untuk menjawab pertanyaan seperti apakah orang￾orang yang menderita skizofrenia sebelum mereka mengalami simtom-simtom 
tersebut dapat diketahui dengan menyusun riwayat perkembangan, meneliti berbagai 
catatan masa kanak-kanak orang yang dikemudian hari menderita skizofrenia. 
Berbagai penelitian mengenai perilaku sosisal para pasien praskizofrenik 
menghasilkan temuan seperti para guru menggambarkan anak-anak laki-laki 
skizofrenik sebagai anak nakal, sedangkan anak perempuan praskizofrenik sebagai 
anak yang pasif, keduanya digambarkan sebagai anak nakal dan mnarik diri pada 
masa kanak-kanak. Anak-anak praskizofrenik menunjukkan keterampilan motoric 
yang lebih rendah dan ekspresi afek negative yang lebih banyak. 
Etiologi skizofrenia dapat berbeda pada para pasien dengan simtom positif 
dan negative, mereka yang memiliki simtom-simtom positif yang dominan didahului 
oleh riwayat ketidakstabilan keluarga, seperti dipisahkan dari orang tua dan tinggal di 
panti atau lembaga asuhan selam beberapa kurun waktu, sedangkan mereka yang 
memiliki simtom-simtom negative didahului dengan riwayat komplikasi kehamilan, 
kelahiran dan kegagalan memberikan respons-respons elektrodermal terhadap stimuli 
yang sederhana. Dan dalam suatu studi di Israel, rendahnya keberfungsian 
neurobehavioral seperti konsentrasi rendah, kemampuan verbal rendah, kurangnya 
kendali dan koordinasi motorik dapat memprediksi gangguan yang mirip skizofrenia 
seperti juga masalah-masalah interpersonal pada anak-anak
TERAPI SKIZOFRENIA
Sederetan simtom yang membingungkan dan seringkali menakutkan yang ditunjukkan 
oleh orang-orang yang menderita skizofreniamembuat penanganan menjadi sulit. Suatu 
masalh besar dalm jenis penanganan apapun untuk skizofrenia adalah banyak pasien yang 
menderita skizofrenia kurang memiliki insight atas hendaya mereka dan menolak semua 
terapi yang diberikan. Karena mereka tidak percaya menderita suatu penyakit, mereka tidak 
merasa membutuhkan suatu intervensi provisional, terutama jika mencakup perawatan di 
rumah sakit atau pemberian obat-obatan. Hal ini terjadi terutama pada orang-orang yang 
menderita skizofrenia paranoid, yang dapat mengangga setiap terapi sebagai campur tangan 
yang mengandung ancaman dari kekuatan luar yang hostile. Penting untuk menyatakan 
bahwa ketepatan suatu terapi tergantung pada tahap penyakit pasien. Yaitu bila berada dalm 
fase psikotik akut, pelatihan keterampilan social atau intervensi psikologis lain, tidak 
mungkin akan berhasil karena pasien sangat terganggu, dan sangat tidak mampu untuk 
berkonsentrasi pada apa yang dikatakan terapis. Pada fase tersebut diperlukan suatu jenis 
pengobatan psikoaktif. Setelah orang yang bersangkutan berada dalam kondisi tidak terlalu 
pikotik, intervensi psikologi dapat mulai berdampak menguntungkan, dan dosis obat dapat 
dikurangi seiring pasien mempelajari berbagai cara untuk mengurangi stress yang memicu 
timbulnya episode.
A. Penanganan Biologis
1. Terapi Kejut dan Psychosurgery, pada tahun 1935, Moniz seorang psikiater 
berkebangsaan Portugis memperkenalkan lobotomy prefrontalis yang merupakan suatu 
prosedur pembedahan yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis 
dengan pusat otak bagian bawah. Prosedur tersebut dilakukan terutama bagi pasien yang 
perilakunya agresif, banyak pasien yang memang menjadi tenang dan bahkan dapat keluar 
dari rumah sakit. Namun intervensi ini mendapat reputasi buruk karena berbagai alasan 
seperti setelah pembedahan banyak apsien menjadi tumpul dan tidak bertenaga dan sangat 
kehilangan berbagai kemampuan kognitif mereka seperti tidak mampu melakukan 
percakapan yang runtut dengan orang lain, dan yang tidak megherankan menilik dibuangnya 
bagian otak mereka yang diyakinibertanggung jawab terhadap pikiran. Namun alasan utama 
ditinggalkannya terapi ini adalah karena penemuan obat-obatan yang tampaknya mengurangi 
berbagai ekses behavioral dan emosional pada banyak pasien.
2. Terapi Obat, penemuan obat-obatan pada tahun 1950-an yang secara kolektif disebut 
obat-obatan antipsikotik, yang juga disebut neuroleptic karena menimbuklan efek samping 
yang sama dengan simtom-simtom penyakit neurologis.
3. Obat-Obatan Antipsikotik Tradisional, salah satu obat antipsikotik yang paling sering 
diresepkan yaitu fenothiazin. Selain itu Prancis Laborit mempelopori penggunaan 
antihistamin untuk mengurangi syok karena pembedahan, ia mengamati bahwa obat ini 
membuat psien agak mengantuk dan ketakutannya menghadapu operasi berkurang. 
Charpentier menyiapkan suatu derivate baru fenothiazin, yang disbutnya khlopromazin, obat 
ini tebukti sangat efektif untuk menenangkan pasien skizofrenia seperti menghasilkan efek 
terapeutik dengan menghambat bebagai reseptor dopamine di dalam otak sehingga 
mengurangi pengaruh dopamin pada pikiran, emosi dan perilaku. 
Khlopromazin atau Thorazine pertama kali digunakan secara terapeutik pada tahun 
1954 dan segera menjadi terapi pilihan untuk skizofrenia. Berbagai anti-psikotik lain yang 
telah digunakan selama bertahun-tahun untuk menangani skizofrenia mencakup 
butirofenon dan thioksantin. Kedua tipe tersebut secara umum tampak sama efektifnya 
dengan fenothiazin dan memiliki cara kerja yang sama. Berbagai obat tersebut dapat 
mengurangi simtom-simtom positif skizofrenia, namun hanya sedikit efeknya atau bahkan 
tidak mamberikan efek bagi simtom-simtom negatif. Obat-obatan lain digunakan sebagai 
tambahan yaitu diberikan bersama dengan psikotik untuk menangani depresi atau 
kecemasan atau untuk menstabilkan mood. Obat-obatan tambahan ini mencakup lithium, 
antidepresan, antikonvulsan, dan obat penenang. Antidepresan juga diberikan kepada para 
pasien skizofrenia yang mengalami depresi setelah suatu episode psikotik. 
Suatu prosedur yang menjanjikan untuk mengurangi tingkat perawatan kembali di 
rumah sakit. Dalam sebuah studi yang dilaporkan oleh Herz, para pasien secara acak 
ditempatkan dalam terapi perawatan yang biasa dilakukan (pemberian obat dan terapi 
kelompok suportif) atau suatu terapi baru yang mencakup komponen berikut seperti 
memberikan edukasi kepada apsien mengenai kekambuhan dan mengenali tanda-tanda 
awal kekambuhan, pemantauan tanda-tanda awal kekambuhan, terapi kelompok suportif 
atau individual mingguan, sesi-sesi edukasi keluarga, intervensi segera, mencakup 
peningkatan dosis pemberian obat dan terapi penyelesaian masalah berorientasi krisis bila 
dideteksi tanda-tanda awal kekambuhan. 
Efek Samping Antipsikotik Tradisional, yang secara umum dilaporkan biasanya 
adalah pusing, penglihatan kabur, tidak bias tenang, dan disfungsi seksual, selain iti 
sekumpulan efek yang sanagt mengganggu disebut efek ekstrapiramidal, berakar dari 
berbagai disfungsi bentang saraf yang menjulur dari otak ke neuron motoric pada tulang 
belakang. , efek sampingnya mirip dengan simtom-simtom penyakit Parkinson. Orang￾orang yang mengkonsumsi antipsikotik biasanya mengalami tremor pada jari, langkah 
yang terseret dan berliur, efek samping lain mencakup dystonia atau suatu kondisi 
kekakuan otot, dan dyskinesia yang merupakan suatu gerakan abnormal otot-otot sadar 
dan tidak sadar, mengakibatkan gerakan mengunyah serta gerakan lain pada bibir, jari dan 
kaki, secara bersamaan mereka menyebabkan punggung melengkung dan posisi leher dan 
tubuh yang terpilin. Akasthesia adalah ketidakmampuan untuk tetap diam, orang terus￾menerus bergerak dan tidak dapat tenang. Simtom-simtom yang mengganggu ini dapat 
diatasi dengan memebrikan obat bagi penyakit Parkinson. 
Dalam gangguan otot yang dialami pasien skizofrenia yang berusia lanjut yang 
disebut dyskinesia tardif, otot-otot mulut tanpa dapat dikendalikan mebuat gerakan 
menghisap, bibir berkecap, dan dagu bergerak ke kanan dan ke kiri, dalam kasus yang 
lebih parah seluruh tubuh dapat menjadi subjek gerakan motoric yang tidak dapat 
dikendalikan. Dan suatu efek yang disebut sindrom neuroleptic berbahaya (neuroleptic 
malignant syndrome) yang kadang dapat menjadi fatal, terjadi kekakuan otot yang parah, 
disertai demam, denyut jantung meningkat, tekanan darah naik dan pasien dapat menjadi 
koma. Ahli klinis menghadapi suatu dilemma dlam situasi ini seperti jika pemberian obat 
dikurangi, kemungkinan untuk kambuh meningkat, namun jika pemberian obat 
diteruskan, dapat terjadi efek samping yang serius dan tidak dapat diatasi.
4. Terapi Obat Terbaru, dengan diperkenalkannya Klozapin (Clozaril), yang dapat 
memberikan manfaat terapeutik bagi para pasien skizofrenia yang tidak merespons dengan 
baik obat-obatan antipsikotik tradisional, klozapin juga menimbulkan efek samping motoric 
yang lebih sedikit, dan dapat mengurangi angka kekambuhan, namun berdampak pada 
reseptor serotonin, melemahkan keberfungsian system imun dengan menurunkan jumlah sel 
darah putih, menjadikan pasien rentan terhadap infeksi dan bahkan kematian, kejang-kejang, 
pusing, fatik, berliur dan penambahan berat badan. Obat-obat lain yang dapat lebih efektif 
disbanding antipsikotik tradisional yaitu Olanzapine (Zyprexa) dan Risperidon (Risperdal),