kecemasan 4
By tuna at November 27, 2023
kecemasan 4
Nigg & Goldsmith, 1994). Namun, meningkatnya angka kejadian
gangguan kepribadian skizotipal juga terdapat pada kerabat tingkat pertama para
pasien yang menderita depresi unipolar, menunjukkan bahwa gangguan kepribadian
skizotipal tidak hanya berhubungan dengan skizofrenia (Squires-Wheeler dkk,
1993).
Berbagai studi keluarga mengenai gangguan kepribadian paranoid sebagian besar
menemukan tingkat kejadian yang lebih tinggi dari rata-rata pada kerabat para pasien
yang menderita skizofrenia atau gangguan waham (Bernstein, Useda, & Siever,
1993).
Tidak ditemukan pola yang jelas dalam penelitian perilaku-genetik mengenai
gangguan kepribadian skizoid meskipun sebuah studi keluarga menemukan bahwa
prevalensi gangguan kepribadian skizoid meningkat di kalangan kerabat orang-orang
yang mengalami gangguan kepribadian skizotipal (Battaglia dkk., 1995).
B. KELOMPOK DRAMATIK/ERATIK :
1. Gangguan Kepribadian Ambang (Borderline Personality Disorder – BPD)
Pada awalnya, istilah ini mengacu pada kondisi pasien yang berada di ambang batas
antara neurosis dan skizofrenia. Namun konseptualisasi kepribadian ambang yang
digunakan saat ini berasal dari dua sumber utama
Kajian literatur penelitian yang ada dan berbagai studi wawancara terhadap pasien
yang dianggap mengalami gangguan kepribadian ambang yang disusun oleh
Gunderson, Klob, dan Austin (1981).
- Sebuah studi terhadap kerabat para pasien skizofrenia yang dilakukan oleh Spitzer
dkk (1979).
Ciri-ciri utama gangguan ini:
Impulsivitas
Ketidakstabilan hubungan dengan orang lain
Ketidakstabilan mood
Emosinya eratik dan dapat mendadak berubah total (terutama dari idealisasi yang
penuh gelora menjadi kemarahan yang merendahkan)
Karakteristik pasien dengan Gangguan Kepribadian Ambang:
Argumentatif
Mudah tersinggung
Sarkastik
Cepat menyerang
Secara keseluruhan sangat sulit untuk hidup bersama mereka
Perilaku tidak dapat diprediksi dan impulsif
Tidak memiliki rasa diri yang jelas dan konsisten
Tidak pernah memiliki kepastian dalam nilai-nilai, loyalitas, dan pilihan karier
mereka
Tidak tahan berada dalam kesendirian
Takut diabaikan
Menuntut perhatian
Mudah depresi dan perasaan kosong yang kronis
Sering mencoba bunuh diri dan melakukan tindakan memutilasi diri sendiri
Gangguan kepribadian ambang umumnya bermula pada masa remaja atau dewasa
awal, dengan prevalensi sekitar 1%, dan banyak terjadi pada perempuan. Prognosisnya
buruk, dan para pasian gangguan kepribadian ambang memiliki kemungkinan mengalami
aksis I yaitu gangguan mood, dan orang tua mereka memiliki kemungkinan lebih besar
dari rata-rata untuk mengalami gangguan mood. Juga ditemukan kormobitas dengan
penyalahgunaan zat, PTSD, gangguan makan, dan gangguan kepribadian dalam
kelompok aneh/eksentrik.
Etiologi Gangguan Kepribadian Ambang
Faktor-faktor biologis
Gangguan ini dapat memiliki komponen genetik, pasien juga dapat memiliki
neurotisisme yang tinggi suatu trait yang diketahui diturunkan secara genetik. Beberapa
data menunjukkan pada pasien gangguan kepribadian ambang adanya kelemahan lobus
frontalis (berperan dalam perilaku impulsif) dan kadar metabolisme glukosa yang rendah
pada lobus frontalis. Mereka juga mengalami peningkatan aktivasi amigdala (berperan
dalam emosi yang intens pada pasien gangguan kerpibadian ambang). Ditemukan juga
bahwa system serotonin pada pasien gangguan kepribadian ambang sulit diaktivasi.
Object Relations Theory
Fokusnya adalah pada cara anak-anak mengidentifikasi diri dengan orang-orang yang
memiliki kelekatan emosional kuat dengan mereka. Orang yang diintroyeksi tersebut
menjadi bagian dari ego seseorang, namun mereka dapat menimbulkan konflik dengan
harapan, tujuan dan idealisme ketika ia tumbuh dewasa. Para teoritis Object relations
mengemukakan hipotesis bahwa orang bereaksi terhadap dunia melalui perspektif orangorang penting di masa lalu mereka, terutama orang tua atau pengasuh utama.
Kriteria Gangguan Kepribadian Ambang dalam DSM-IV-TR
Terdapat 5 atau lebih dari kriteria dibawah ini:
Berupaya keras untuk mencegah agar tidak diabaikan, terlepas dari benarbenar diabaikan atau hanya dalam bayangannya.
Ketidakstabilan dan intensitas ekstrem dalam hubungan interpersonal,
ditandai dengan perpecahan, yaitu mengidealkan orang lain dalam satu
waktu dan beberapa waktu kemudian menistakannya.
Rasa diri (sense of self) yang tidak stabil.
Perilaku impulsive, termasuk sangat boros dan perilaku seksual yang tidak
pantas.
Perilaku bunuh diri (baik hanya berupa sinyal maupun sungguh-sungguh
mencoba) dan mutilasi diri yang berulang.
Kelabilan emosional yang ekstrem.
Perasaan kosong yang kronis.
Sangat sulit mengendalikan kemarahan.
Pikiran paranoid dan simtom-simtom disosiatif yang dipicu stres.
Kenberg (1985) berpendapat bahwa pengalaman masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan menyebabkan anak-anak mengembangkan ego yang tidak merasa aman,
sebuah ciri utama gangguan kepribadian ambang. Meskipun demikian, merekaa tetap
memiliki kemampuan untuk menguji realitas. Mereka seringkali melakukan mekanisme
pertahanan yang disebut pembelahan, yaitu mendikotomikan objek menjadi sepenuhnya
baik atau buruk, memandang dunia termasuk dirinya sendiri sebagai hitam atau putih.
Teori Diathesis Stress Linehan
Linehan berpendapat bahwa gangguan kepribadian ambang terjadi bila orang yang
memiliki diathesis biologis (kemungkinan genetik) berupa kesulitan mengendalikan
emosi dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menginvalidasi.
Lingkungan yang menginvalidasi adalah lingkungan dimana keinginan dan perasaan
seseorang tidak dipertimbangkan dan tidak dihargai; berbagai upaya untuk
mengkomunikasikan perasan tidak diterima atau bahkan dihukum. Bentuk invalidasi
ekstrem adalah penyiksaan anak, seksual maupun non seksual.
2. Gangguan Kepribadian Histrionik
Diagnosis kepribadian histrionik sebelumnya disebut dengan kepribadian histerikal,
ditegakkan bagi orang-orang yang terlalu dramatis dan mencari perhatian. Mereka
seringkali menggunakan cirri-ciri penampilan fisik, seperti pakaian yang tidak umum, rias
wajah, atau warna rambut untuk menarik perhatian orang kepada mereka. Pada individu
tersebut, meskipun menunjukkan emosi yang berlebihan, diperkirakan memiliki
kedangkalan emosi.
Mereka berpusat pada diri sendiri, terlalu memedulikan daya tarik fisik mereka, dan
merasa tidak nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian. Mereka dapat sangat provokatif
dan tidak senonoh secara seksual tanpa memedulikan kepantasan dan mudah dipengaruhi
orang lain. Bicaranya seringkali tidak tepat dan kurang memiliki detail.
Prevalensi untuk gangguan ini sebesar 2% dan lebih banyak terjadi pada perempuan.
Gangguan ini lebih banyak terjadi pada orang-orang yang mengalami perpisahan dengan
pasangannya, dan dihubungkan dengan depresi serta kesehatan fisik yang buruk.
Memiliki kormobitas dengan gangguan kepribadian ambang.
Kriteria Gangguan Kepribadian Histrionik dalam DSM-IV-TR
Terdapat 5 atau lebih ciri-ciri dibawah ini:
Kebutuhan besar untuk menjadi pusat perhatian.
Perilaku tidak senonoh secara seksual yang tidak pantas.
Perubahan ekspresi emosi yang secara cepat.
Memanfaatkan penampilan fisik untuk menarik perhatian orang lain.
Bicaranya sangat tidak tepat, penuh semangat mempertahankan pendapat
yang kurang detail.
Berlebihan, ekspresi emosional yan
Etiologi Gangguan Kepribadian Histrionik
Teori psikoanalisis mendominasi pada etiologi gangguan kepribadian histrionik,
mengemukakan bahwa emosionalitas dan ketidaksenonohan perilaku secara seksual
didorong oleh ketidaksenonohan orang tua, terutama ayah pada anak perempuannya.
Pasien dengan gangguan kepribadian histrionik dibesarkan dalam keluarga dimana orang
tua berbicara tentang seks sebagai sesuatu yang kotor, namun berperilaku seolah seks
adalah sesuatu yang menyenangkan atau diinginkan.
Ekspresi emosi yang berlebihan pada orang-orang kepribadian histrionik dipandang
sebagai simtom-simtom konflik tersembunyi tersebut, dan kebutuhan sebagai pusat
perhatian dipandang sebagai cara untuk mempertahankan diri dan perasaan yang
sebenarnya yaitu harga diri rendah.
3. Gangguan Kepribadian Narsistik
Orang-orang dengan gangguan kepribadian narsistik memandang keunikan dan
kemampuan mereka secara berlebihan; mereka berfokus pada berbagai fantasi
keberhasilan besar. Mereka menghendaki perhatian dan pemujaan berlebihan yang
hampir tanpa henti dan yakin bahwa mereka hanya dapat dimengerti oleh orang-orang
yang istimewa atau memiliki status tinggi. Hubungan interpersonal mereka terhambat
karena kurangnya empati, perasaan iri dan arogansi, dan memanfaatkan orang lain, serta
perasaan bahwa mereka dapat mendapatkan segala sesuatu.
Kepribadian narsistik sangat sensitif terhadap kritik dan sangat takut pada kegagalan.
Hubungan pribadi mereka sangat sedikit dan dangkal, jika orang lain tidak mampu
memenuhi harapan mereka, mereka akan marah dan menyingkirkan orang tersebut.
Prevalensi untuk gangguan ini kurang dari 1% dan paling sering dialami bersamaan
dengan gangguan kepribadian ambang.
Kriteria Gangguan Kepribadian Narsistik dalam DSM-IV-TR
Terdapat 5 atau lebih karakteristik di bawah ini:
Pandangan yang dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri,
arogansi.
Terfokus pada keberhasilan, kecerdasan, kecantikan diri.
Kebutuhan ekstrim untuk dipuja.
Perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapatkan segala sesuatu.
Kecenderungan memanfaatkan orang lain.
Iri pada orang lain.
Etiologi Gangguan Kepribadian Narsistik
Heinz Kohut, orang yang menjadi sentral dalam minat terhadap narsisme di era
kontemporer telah menciptakan suatu varian psikoanalisis yang dikenal sebagai selfpsychology. Menurut Kohut, kegagalan untuk mengembangkan harga diri yang sehat
terjadi bila orang tua tidak merespon dengan baik kompetensi yang ditunjukkan anakanak mereka, yaitu si anak tidak dihargai berdasarkan makna dirinya sendiri, namun
dihargai sebagai alat untuk membangun harga diri orang tua.
Bila orang tua merespon anaknya dengan penghargaan, kehangatan, dan empati,
mereka menumnuhkan rasa makna diri yang normal dan harga diri yang sehat pada si
anak. Namun, bila orang tua memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan bukannya secara
langsung menghargai anak mereka, akibatnya dapat berupa terbentuknya kepribadian
narsistik. Anak-anak yang diabaikan dengan cara initidak mengembangkan harga diri
yang terintenalisasi dan sehat serta sulit menerima berbagai kekurangan mereka sehingga
mereka berjuang untuk melambungkan rasa diri mereka dengan menhejar cinta dan
penghargaan dari orang lain tanpa henti.
4. Gangguan Kepribadian Antisosial dan Psikopati
Karakteristik Gangguan Kepribadian Antisosial
Konsep gangguan kepribadian antisosial dalam DSM IV – TR mencakup dua
komponen yaitu :
- Terdapat gangguan tingkah laku sebelum usia 15 tahun, membolos, sering
berbohong, melakukan pembakaran, dan dengan sengaja merusak kepemilikan
merupakan simtom – simtom utama gangguan tingkah laku.
- Terus berlanjutnya pola perilaku antisosial tersebut pada masa dewasa..
Penelitian menunjukan sedikit perbedaan antara mereka yang memenuhi kriteria
GKA pada orang dewasa yang di masa kanak – kanaknya mengalami gangguan tingkah
laku dan mereka yang memenuhi kriteria bagi orang dewasa, namun tanpa gangguan
tingkah laku. Orang dewasa yang mengalami GKA menunjukan perilaku tidak
bertanggung jawab dan antisosial dengan bekerja secara tidak konsisten, melanggar
hukum, mudah tersinggung dan agresif secara fisik, tidak mau membayar utang, dan
sembrono ceroboh.
Diperkirakan sekitar 3% laki – laki dewasa dan 1% perempuan di Amerika Serikat
memiliki kepribadian antisosial. Angka kejadiannya jauh lebih tinggi di kalangan anak
– anak muda daripada di kalangan orang dewasa yang lebih tua, dan gangguan ini lebih
umum terjadi di kalangan orang – orang dengan status sosioekonomi rendah. Gangguan
kepribadian antisosial komorbid dengan sejumlah diagnosis lain, terutama
penyalahgunaan zat.
Karakteristik Psikopati
Konsep psikopati berkaitan erat dengan berbagai artikel Hervey Cleckley dan buku
klasiknya The Mask of Sanity (1976). Salah satu karakteristi utama psikopatik adalah
kemiskinan emosi, baik positif maupun negatif. Orang – orang psikopati tidak memiliki
rasa malu, bahkan perasaan mereka yang tampak positif pada orang lain hanyalah
sebuah kepura – puraan. Kadar kecemasan yang rendah membuat psikopat tidak
mungkin belajar dari kesalahannya, dan kurangnya emosi positif mendorong mereka
berperilaku secara tidak bertanggung jawab dan sering kali secara kejam kepada orang
lain. Poin utama dalam deskripsi Cleckly adalah perilaku antisosial pada psikopat
dilakukan secara impulsif, yang memberikan kesenangan baginya seperti suatu
keuntungan finansial.
Sebagian besar peneliti mendiagnosis psikopati menggunakan daftar uji yang
dikembangkan oleh Hare dan para rekannya, yang menidentifikasikan dua kelompok
utama perilaku psikopati, yaitu:
- Ketidaklekatan emosional dan sama dengan gangguan kepribadian narsistik,
digambarkan sebagai individu yang egois dan tidak memiliki penyesalan, dengan
harga diri yang melambung yang mengeksploitasi orang lain.
- Gaya hidup antisosial yang ditandai dengan impulsivitas dan ketidakbertanggung
jawaban.
Psikopati lebih banyak terjadi pada laki – laki dibanding perempuan. Psikopati
sering kali komorbid dengan penyalahgunaan alkohol dan obat – obatan lain.
Penelitian dan Teori mengenai Etiologi Gangguan Kepribadian Antisosial dan
Psikopati
- Peran Keluarga
Kurangnya afeksi dan penolakan berat oleh orang tua merupakan penyebab
utama perilaku psikopatik. Beberapa studi lain menghubungkan perilaku
psikopatik dengan tidak konsistennya orang tua dalam mendisiplinkan anak –
anak mereka dan dalam mengajarkan tanggung jawab terhadap orang lain,
penyiksaan fisik, dan kehilangan orang tua. Diketahui beberapa aspek lain yang
berpengaruh, seperti juga perilaku antisosial sang ayah.
- Korelasi Genetik Gangguan Kepribadian Antisosial
Adopsi dan orang kembar, termasuk kembar yang dibesarkan secara terpisah,
mengindikasikan bahwa faktor – faktor genetik memainkan peran penting
berkaitan dengan kemungkinan seseorang akan melakukan tindakan kriminal.
Studi adopsi mengungkap prevalesi perilaku antisosial yang lebih tinggi dari
normal pada anak – anak adopsi yang memiliki orang tua kandung yang
mengalami gangguan kepribadian antsosial dan penyalahgunaan zat. Lingkungan
memainkan peran peting dalam gangguan kepribadian antisosial.
- Emosi dan Psikopati
Definisi sindrom psikopatik, yaitu ketidakmampuan orang seperti itu unuk
mengambil hikmah dari pengalaman atau bahkan dari hukuman; mereka
tampaknya tidak mempu menghindari konsekuensi negatif perilaku sosial yang
salah. Mereka tampaknya kebal terhadap kecemasan atau kepedihan hati nurani
yang membantu mencegah sebagian besar diantara manusia untuk melanggar
hukum atau berbohong atau mencederai orang lain, dan mereka sulit
mengendalikan impuls. Psikopat memiliki sedikit hambatan untuk melakukan
tindakan antisosial karena mereka sangat sedikit mengalami kecemasan atau
dengan kata lain memiliki kadar kecemasan yang rendah. Psikopat sangat ahli
mengabaikan stimuli tertentu, bahkan memfokuskan perhatian pada hal – hal yang
menarik bagi mereka. Hukuman tidak menimbulkan emosi kuat pada psikopat
sehingga tidak dapat menghalangi perilaku antisosial. Dengan demikian, psikopat
tampak memiliki empati yang rendah terhadap penderitaan orang lain.
- Modulasi Respon, Impulsivitas, dan Psikopati
Sebuah tambahan penting bagi pemikiran yang ada saat ini mengenai
penyebab psikopati adalah dimasukkannya suatu faktor yang akan menstimulasi
atau mendorong perilaku antisosial. Impulsivitas muncul bila psikopat dihadapkan
pada tugas yang dirancang untuk menguji kemampuan mereka untuk
memodifikasi respon – respon mereka berdasarkan keberhasilan atau kegagalan.
Selain berhubungan dengan impulsivitas, karena interaksi sosial sangat
bergantung pada konteks, kurangnya sensitivitas terhadap sinyal kontekstual dapat
berhubungan erat dengan insensitivitas psikopat terhadap orang lain. Berbagai
studi menunjukan bahwa psikopat memiliki reaksi yang berbeda dengan sebagian
besar diantara manusia. Secara khusus, mereka hanya memiliki sedikit kecemasan,
sehingga kecemasan hanya memberikan sedikit efek penghambat dalam perilaku
antisosial. Perlakuan mereka terhadap orang lain semata – mata karna kurangnya
empati. Psikopat kurang mampu menggunakan informasi kontekstual dan
membuat perencanaan, karena itu perilaku mereka menjadi impulsif. Hal itu
kemungkinan merupakan penyebab psikopat bertingkah laku salah tanpa menyesal
dan mencari kesenangan tanpa menghargai berbagai aturan masyarakat.
Kriteria Gangguan Kepribadian Antisosial dalam DSM – IV – TR
Pola pervasif dalam hal tidak menghargai hak orang lain sejak berusia 15
tahun dan seurang – kurangnya 3 karakteristik antara1 hingga 7 ditambah 8
hingga 10 :
Berulangkali melanggar hukum
Menipu, berbohong
Impulsivitas
Mudah tersinggung dan agresif
Tidak memedulikan keselamatan diri sendiri dan orang lain
Tidak bertanggung jawab seperti terlihat dalam riwayat pekerjaan yang
tidak reliabel atau tidak memenuhi tanggung jawab keuangan
Kurang memiliki rasa penyesalan
Berusia minimal 18 tahun
Terdapat bukti mengenai gangguan tingkah laku sebelum berusia 15 tahun
Perilaku antisosial yang tidak terjadi secara eksklusif dalam episode
skizofrenia atau man
C. KELOMPOK PENCEMAS/KETAKUTAN
1. Gangguan Kepribadian Menghindar(Avoidant Personality Disorder)
Diagnosis gangguan kepribadian menghindar ditegakkan bagi orang-orang yang
sangat takut terhadap kemungkinan munculnya kritikan, penolakan, atau ketidak setujuan
dari orang lain, sehingga enggan menjalin hubungan.Mereka bahkan menghindari
pekerjaan yang mengharuskan mereka melakukan kontak interpersonal, yakin bahwa diri
mereka tidak kompeten, dan lebih rendah daripada orang lain.Prevalensi gangguan
kepribadian menghindar adalah sekitar 5 persen (Torgersen, Kronglen, & Cramer, 2001)
dan komorbid dengan gangguan kepribadian dependen (Trull, Widiger, & Frances, 1987),
gangguan kepribadian ambang (Morey, 1988), serta komorbid dengan Aksis I yaitu
depresi dan fobia sosial menyeluruh (Alpert dkk., 1997).
Gangguan kepribadian menghindar dan fobia sosial berhubungan dengan sindrom
yang terjadi di Jepang, yang disebut taijin kyoufu (taijin berarti interpersonal dan kyoufu
berarti takut). Individu yang mengalamai taijin kyoufu terlalu sensitif dan menghindari
kontak interpersonal, cenderung merasa gugup atau malu mengenai dampak yang mereka
timbulkan pada orang lain, contohnya, wajah buruk atau baubadan (Ono dkk., 1996).
2. Gangguan Kepribadian Dependen(Dependent Personality Disorder)
Ciri utama gangguan kepribadian dependen adalah kurangnya kepercayaan diri dan
perasaan otonom. Pasien dengan gangguan kepribadian dependen memandang diri
mereka sebagai orang yang lemah dan orang lain penuh kekuatan, kebutuhan yang sangat
kuat untuk diurus orang lain, tidak nyaman bila sendiri, dan bila hubungan dekat berakhir,
mereka sesegera mungkin berupaya menjalin hubungan baru untuk menggantikan
hubungan yang telah berakhir. Kriteria dalam DSM menggambarkan orang-orang dengan
gangguan kepribadian dependen sebagai orang yang sangat pasif (sulit memulai suatu
proyek atau segala sesuatu sendiri, tidak mampu tidak setuju dengan orang lain, serta
membiarkan orang lain membuat keputusan bagi mereka). Gangguan kepribadian
dependen sering dialami bersamaan dengan gangguan kepribadian ambang, schizoid,
histrionic, skizopital, dan menghindar, serta diagnosis Aksis I yaitu gangguan bipolar,
depresi, gangguan anxietas, dan bulimia. Prevalensi gangguan kepribadian dependen
sekitar 1,5 persen (Torgersen, Kringlen, & Cramer, 2001).Gangguan ini lebih banyak
terjadi pasa perempuan
Kriteria Gangguan Kepribadian Menghindar dalam DSM-IV-TR
Terdapat minimal empat dari ciri berikut:
Menghindari kontak interpersonal karena takut terhadap kritikan atau
penolakan
Keengganan untuk menjalin hubungan dengan orang lain kecuali dirinya
pasti disukai
Membatasi diri dalam hubungan intin karena takut dipermalukan atau
diperolok
Penuh kekhawatiran akan dikritik atau ditolak
Merasa tidak adekuat
Merasa rendah diri
Keengganan ekstrem untuk mencoba hal-hal baru karena takut
dipermalukan
Kriteria Gangguan Kepribadian Dependen dalam DSM-IV-TR
Terdapat minimal lima dari ciri berikut:
Sulit mengambil keputusan tanpa saran dan dukungan berlebihan dari orang
lain
Membutuhkan orang lain untuk mengambil tanggung jawab atas sebagian
besar aspek kehidupannya yang utama
Sulit tidak menyetujui orang lain karena takut kehilangan dukungan mereka
Melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan sebagai suatu cara untuk
mendapatkan persetujuan dan dukungan orang lain
Merasa tidak berdaya bila sendirian karena kurangnya rasa percaya terhadap
kemampuannya untuk menangani segala sesuatu tanpa intervensi orang lain
Berupaya untuk sesegera mungkin menjalin hubungan baru bila hubungan
yang dimilikinya saat ini berakhir
Dipenuhi ketakutan bila harus mengurus sendiri
3. Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif(Obsesive-Compulsive Personality
Disorder)
Kepribadian obsesif-kompulsif adalah seorang perfeksionis, terfokus berlebihan pada
detail, aturan, jadwal, dan sejenisnya. Orang-orang tersebut tidak pernah menyelesaikan
proyek. Mereka berorientasi pada pekerjaan dan bukan pada kesenangan, serta sulit
mengambil keputusan (karena takut salah) dan mengalokasikan waktu (takut terfokus
pada hal yang salah). “Gila kendali” adalah istilah popular bagi orang-orang tersebut.
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif cukup berbeda dari gangguan obsesif-kompulsif
dalam hal gangguan ini tidak mencakup obsesif dan kompulsi yang menandai gangguan
obsesif-kompulsif. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif lebih banyak ditemukan di
kalangan pasien yang menderita GOK dibanding di kalangan pasien yang menderita
gangguan panik atau depresi (Diaferia dkk., 1997), namun hanya ditemukan pada
minoritas kasus GOK (Baer & Jenike, 1992). Prevalensi gangguan ini sekitar 2 persen
dan paling tinggi komborbiditasnya dengan gangguan kepribadian menghindar (Lassano,
del Buoeno, & Latapano, 1993; Torgersen, Kringlen, & Craner, 2001).
Kriteria Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif dalam DSM-IV-TR
Terdapat minimal empat dari ciri berikut:
Terfokus secara berlebihan pada aturan dan detail hingga poin utama suatu
aktivitas terabaikan
Perfeksionisme ekstrem hingga ke tingkat yang membuat berbagai proyek
jarang terselesaikan
Pengabdian yang berlebihan pada pekerjaan hingga mengabaikan
kesenangan dan persahabatan
Tidak fleksibel tentang moral
Sulit membuang benda-benda yang tidak berarti
Enggan mendelegasikan kecuali jika orang lain dapat memenuhi
standarnya
Kikir
Rigid dan keras kepala
Etiologi Kelompok Pencemas/Ketakutan
Hanya terdapat sedikit data mengenai gangguan kepribadian dalam kelompok ini.
Spekulasi terfokus pada hubungan orang tua-anak. Ada pendapat bahwa gangguan
kepribadian dependen dilakukan oleh pola asuh yang terlalu melindungi dan otoriter yang
menghambat perkembangan perasaan self-efficacy (Borstein, 1997). Gangguan
kepribadian dependen juga merupakan refleksi dari masalah kelekatan (Livesly,
Schroeder, & Jackson, 1990). Perilaku lekat abnormal yang terdapat dalam kelompok
kepribadian dependen mencerminkan suatu kegagalan dalam proses perkembangan umum
karena terganggunya hubungan orang tua-anak yang disebabkan oleh kematian,
pengabaian, penolakan, atau terlalu melindungi. Sehingga, orang dengan gangguan
kepribadian dependen melakukan sejumlah taktik untuk mempertahankan hubungan
dengan orang tua mereka maupun orang lain dengan cara apapun (Stone,1993).
Gangguan kepribadian menghindar dapat mencerminkan pengaruh lingkungan di
mana anak diajari untuk takut pada orang lain dan situasi yang sebagian besar di antara
kita menganggapnya tidak berbahaya.Karakteristik gangguan kepribadian obsesifkompulsif menurut Freud disebabkan oleh fiksasi pada tahap anal dalam perkembangan
psikoseksualnya. Teori psikodinamika yang lebih kontemporer menekankan pada
ketakutan kehilangan kendali, yang diatasi dengan kompensasi berlebihan.
D. Terapi Gangguan Kepribadian
Seorang terapis yang menangani pasien gangguan kepribadian umumnya juga
mempertimbangkan gangguan Aksis I. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar pasien dengan
gangguan kepribadian menjalani penanganan karena gangguan Aksis I, bukan karena
gangguan kepribadian. Contohnya; seseorang yang mengalami gangguan kepribadian
antisosial kemungkinan memiliki masalah penyalahgunaan zat.
Para pasien yang mengalami gangguan Aksis I dan gangguan kepribadian biasanya tidak
mengalami gangguan Aksis I setelah ditangani dengan berbagai macam psikoterapi (Reich &
Vasile, 1993; Crist-Christoph & Barber, 2002). Penyebabnya jelas; orang-orang yang
mengalami gangguan pada kedua aksis kondisinya lebih parah dibanding mereka yang hanya
mengalami gangguan Aksis I sehingga membutuhkan terapi yang lebih intensif (karena
gangguan kepribadian terjadi dalam waktu lama) dan lebih ekstensif (difokuskan pada
banyak masalah psikologis).
Obat-obatan psikoaktif sering kali digunakan untuk menangani berbagai jenis gangguan
kepribadian (Koenigsberg, Woo-Ming, & Siever, 2002). Obat yang digunakan ditentukan
berdasarkan masalah Aksis I yang mirip dengan gangguan kepribadian yang dialami. Para
terapis psikodinamika menetapkan tujuan untuk mengubah pandangan pasien terhadap
berbagai masalah pasien masa kanak-kanak yang diasumsikan mendasari gangguan perilaku.
Para terapis behavioral dan kognitif, sesuai dengan fokus mereka pada situasi dan bukan pada
karakteristik, tidak banyak mengemukakan pendapat hingga dewasa ini tentang penanganan
spesifik untuk gangguan kepribadian yang tercantum dalam DSM (Howes & Vallis, 1996).
Para terapis tersebut cenderung menganalisis berbagai masalah individual yang secara
bersama-sama membentuk gangguan kepribadian.
1. Terapi Kepribadian Ambang
Berbagai masalah yang dialami orang-orang yang berkepribadian ambang dengan
orang lain juga terjadi di dalam ruang konsultasi. Bagi pasien ambang, luar biasa sulit
untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan sehingga menghambat hubungan
terapeutik. Pasien berubah dari mengidealkan menjadi merendahkan terapis, pada satu
saat menuntut perhatian dan pertimbangan istimewa. Misalnya sesi-sesi terapi pada jamjam yang tidak bisaa dan sangat sering menelpon ketika mengalami krisis tertentu, dan
pada saat berikutnya menolak untuk memenuhi jadwal pertemuan, meminta pengertian
dan dukungan, namun memaksa bahwa beberapa topik tertentu dilarang untuk
dibicarakan. Dalam sebuah kasus, bunuh diri selalu menjadi resiko serius, rawat inap di
rumah sakit sering kali diperlukan bila perilaku pasien tidak dapat lagi dikendalikan
dengan rawat jalan atau bila kemungkinan bunuh diri tidak dapat ditangani tanpa
pengawasan lebih ketat yang hanya mungkin dilakukan dalam lingkungan rumah sakit
jiwa yang terkendali. Dalam pendekatan kognitif behavioral terhadap terapi untuk
ambang, Linehan memasukkan jenis konsultasi berkelanjutan ini sebagai bagian integral
penanganan. Sejumlah obat-obatan telah diujicobakan dalam farmakoterapi untuk
gangguan kepribadian ambang, terutama antidepresan dan antipsikotik.
Psikoterapi Objek-Hubungan
Teori objek-hubungan memfokuskan pada cara anak-anak
mengidentifikasikan diri dengan orang lain yang memiliki kelekatan emosi kuat
dengan mereka. Kernberg (1985) bekerja berdasarkan asumsi dasar bahwa orangorang yang berkepribadian ambang memiliki ego yang lemah sehingga sangat sulit
menoleransi pertanyaan mendalam yang diajukan dalam penanganan psikoanalisis.
Penanganan analitis yang dimodifikasikan Kernberg bertujuan untuk menguatkan ego
pasien yang lemah sehingga ia tidak menjadi korban pertahanan dirinya dalam bentuk
pembelahan (splitting), atau pendikotomian (Kernberg dkk., 1989). Pembelahan
dianggap sebagai akibat ketidakmampuan untuk membentuk berbagai pemikiran
kompleks (representasi objek) yang tidak cocok dengan dikotomibaik-buruk yang
sederhana.
Namun, pendekatan Kernberg lebih keras dibanding pendekatan sebagian besar
analis. Selain menginterpretasi perilaku defensive, ia memberikan saran konkret
kepada pasien untuk berperilaku secara lebih adaptif dan ia akan merumahsakitkan
pasien yang perilakunya berbahaya bagi dirinya maupun orang lain. Pendapat
Kernberg bahwa pasien semacam itu tidak sesuai untuk psikoanalisis klasik karena
ego mereka yang lemah konsisten dengan sebuah studi jangka panjang yang
dilakukan di institusi mental berorientasi analitis yang terkenal di seluruh dunia yaitu
Menninger Clinic (Stone, 1987).
Terapi Perilaku Dialektikal (Dialectical Behavior Therapy-DBT)
Sebuah pendekatan yang mengombinasikan empati dan penerimaan yang terpusat
pada klien dengan penyelesaian masala kognitif behavioral dan pelatihan
keterampilan sosial diperkenalkan oleh Marsha Linehan (1987). Pendekatan yang
disebutnya terapi perilaku dialektikal memiliki tiga tujuan menyeluruh bagi para
individu ambang:
1. mengajari mereka untuk mengubah dan mengendalikan emosionalitas dan
perilaku ekstrem mereka;
2. mengajari mereka untuk menoleransi perasaan tertekan;
3. membantu mereka memercayai pikiran dan emosi mereka sendiri.
Konsep dialektik berasal dari filsuf Jerman Hegel (1770-1831). Dialektik
merupakan suatu pandangan terhadap dunia yang menyatakan realitas adalah hasil
ketegangan konstan antara dua hal yang bertentangan. Setiap peristiwa disebut tesis
cenderung menciptakan suatu kekuatan yang bertentangan dengannya disebut
antitesis.
Tujuan DBT adalah mengajari pasien untuk mengadopsi pandangan dialektikal
terhadap dunia, suatu pemahaman bahwa hidup selalu berubah dan segala sesuatu
tidak sepenuhnya buruk atau sepenuhnya baik. DBT berpusat pada penerimaan
sepenuhnya terhadap orang-orang berkepribadan ambang oleh terapis dengan segala
kontradiksi dan kepura-puraan mereka, secara empatis memvalidasi keyakinan
mereka (yang menyimpang) dengan sikap “sebagai suatu fakta” terhadap perilaku
untuk bunuh diri dan perilaku disfungsional mereka yang lain. Aspek kognitif
behavioral dalam penanganan tersebut, yang dilakukan secara individual maupun
kelompok, meliputi membantu pasien belajar menyelesaikan masalah, menguasai cara
yang lebih efektif dan lebih diterima secara sosial untuk mengatasi berbagai maslah
kehidupna sehari-hari dan mengendalikan emosi. Juga diberikan terapi untuk
meeningkatkan keterampilan interpersonal dari mengendalikan kemarahan serta
kecemasan mereka. Linehan dan para rekannya memublikasikan hasil-hasil studi yang
pertama kali menggunakan metode random dan terkendali mengenai suatu intervensi
psikologis untuk gangguan kepribadian ambang (Linehan dkk,. 1991). Para pasien
secara random ditempatkan dalam kelompok terapi perilaku dialektikal atau
kelompok penanganan bisaa. Di akir terapi yang berlangsung selama satu tahun para
pasien pada kedua kelompok dibandingkan kemudian (Linehan, Heard, & Amstrong,
1993). Berbagai hasil temuan setelah penanganan mengungkapkan bahwa DBT jauh
lebih baik pada berbagai pengukuranterhadap perilaku mencederai diri sendiri secara
sengaja termasuk upaya bunuh diri, berhenti dari penanganan, dan lama rawat inap di
rumah sakit.
2. Terapi untuk Psikopati
Sebagian besar para ahli dari berbagai orientasi teoritis selama bertahun-tahun
menyatakan bahwa tidak ada gunanya mengubah karakteristik psikopat yang semenamena dan tanpa penyesalan (Cleckey, 1976; Gacono dkk., 2001; McCord & McCord,
1964; Palmer, 1984). Pada kenyataannya, memang tidak mungkin para psikopat itu
sendiri ingin menjalani terapi. Alasan utama ketidakcocokan untuk menjalani psikoterapi
adalah mereka tidak mampu dan tidak termotivasi untuk membangun segala bentuk
hubungan saling percaya dan jujur dengan terapis. Seorang ahli klinis yang
berpengalaman menangani psikopat mengusulkan tiga prinsip utama bagi para terapis
yang menangani pasien ini.
Pertama, terapis harus selalu waspada berkaitan dengan manipulasi yang mungkin
dilakukan pasien. Kedua, ia harus berasumsi, hingga terbukti tidak benar, bahwa
informasi yang di berikan padanya oleh pasien mengandung distorsi dan direkayasa.
Ketiga, ia harus memahami bahwa kerja sama terjalin, jika ada, dengan amat sangat
lambat dalam setiap hubungan terapeutik dengan seseorang psikopat (Lion, 1978).
SIMTOM KLINIS SKIZOFRENIA
A. Simtom Positif
Mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan delusi. Simtomsimtom ini sebagian besar menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia.
Delusi (atau dikenal dengan istilah waham). Yaitu keyakinan yang berlawanan
dengan kenyataan. Gambaran delusi berikut ini dikutip dari Mellor (1970) ,
Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan berasal dari dirinya dimasukkan ke dalam
pikirannya oleh suatu sumber eksternal.
Pasien yakin bahwa pikiran mereka disiarkan dan ditransmisikan sehingga orang
lain mengetahui apa yang mereka pikirkan.
Pasien berpikir bahwa pikiran mereka telah dicuri secara tiba-tiba dan tak terduga
oleh suatu kekuatan eksternal.
Beberapa pasien yakin bahwa perasaan atau perilaku mereka dikendalikan oleh
suatu kekuatan eksternal.
Halusinasi dan Gangguan Persepsi Lain. Halusinasi adalah suatu pengalaman
indrawi tanpa adanya stimulus dari lingkungan. Tipe-tipe halusinasi tersebut antara lain
seperti dibawah ini (dikutip dari Mellor, 1970).
Beberapa pasien skizofrenia menuturkan bahwa mereka mendengar pikiran
mereka diucapkan oleh suara lain.
Beberapa pasien mengklaim bahwa mereka mendengar suara-suara yang saling
berdebat.
Beberapa pasien mendengar suara-suara yang mengomentari perilaku mereka.
B. Simtom Negatif
Simtom-simtom negatif skizofrenia mencakup bebagai defisit behavioral, seperti
avolition, alogia, anhedonia, afek datar dan asosialitas. Banyaknya simtom negatif
merupakan prediktor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (a.l., ketidakmampuan
bekerja, hanya memiliki sedikit teman) dua tahun setelah dirawat di rumah sakit. (Ho
dkk., 1998).
Avolition. Apati atau avolition merupakan kondisi kurangnya energi dan ketiadaan
minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa yang biasanya merupakan
aktivitas rutin. Pasien dapat menjadi tidak tertarik untuk berdandan dan menjaga
kebersihan diri. Mereka mengalami kesulitan untuk tekun melakukan aktivitas sehari-hari
dalam pekerjaan, sekolah dan rumah tangga, serta dapat menghabiskan sebagian besar
waktunya dengan duduk-duduk tanpa melakukan apapun.
Alogia. Merupakan suatu gangguan pikiran negatif. Dalam miskin percakapan,
jumlah total percakapan sangat jauh berkurang. Dalam miskin isi percakapan, jumlah
percakapan memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung
membingungkan serta diulang-ulang.
Anhedonia. Merupakan ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan. Tercermin
dalam kurangnya minat dalam melakukan berbagai aktivitas rekreasional, gagal untuk
mengembangkan hubugan dekat dengan orang lain, dan kurangnya minat dalam hubungan
seks. Pasien sadar akan simtom-simtom ini dan menuturkan bahwa apa yang biasanya
dianggap aktivitas yang menyenangkan tidaklah demikian bagi mereka.
Afek Datar. Pada pasien yang memiliki afek datar, hampir tidak ada stimulus yang
dapat memunculkan respon emosional. Pasien menatap dengan pandangan kosong, otototot wajah kendur, dan mata mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab
dengan suara datar dan tanpa nada.
Asosialitas. Beberapa pasien skizofrenia mengalami ketidakmampuan yang parah
dalam hubungan sosial, yang disebut asosialitas. Mereka hanya memiliki sedikit teman,
keterampilan sosial yang rendah, dan sangat kurang berminat untuk berkumpul bersama
orang lain.
C. Simtom Disorganisasi
Simtom disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku aneh
(bizzare)
Disorganisasi Pembicaraan. Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal,
merujuk pada masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan permasalahan dalam
berbicara. Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi longgar,
atau keluar jalur (derailment), dalam hal ini pasien dapat lebih berhasil dalam
berkomunikasi dengan seorang pendengar, namun mengalami kesulitan untuk tetap pada
satu topik.
Perilaku Aneh. Perilaku aneh dapat terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat
meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dapat dimengerti, memakai
pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang
konyol, menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan perilaku seksual
yang tidak pantas seperti melakukan masturbasi didepan umum. Mereka tampak
kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka dan menyesuaikannya dengan
berbagai standar masyarakat. Mereka mengalami kesulitan melakukan tugas-tugas seharihari dalam hidup.
D. Simtom Lain
Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah katatonia dan afek yang tidak sesuai.
Katatonia. Beberapa abnormalitas motorik menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat
melakukan suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan yang aneh, dan kadang
kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan yang sering kali tampaknya memiliki
tujuan tertentu. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan yang tidak biasa pada
keseluruhan aktivitas, termasuk sangat riang, menggerakkan anggota badan secara liar,
dan mengeluarkan energi yang sangat besar seperti yang terjadi pada mania. Di ujung lain
spektrum ini adalah imobilitas katatonik. : pasien menunjukkan berbagai postur yang tidak
biasa dan tetap dalam posisi demikian untuk waktu yang sangat lama. Pasien dapat berdiri
pada satu kaki dengan kaki lain ditekuk kearah pantat, dan tetap pada posisi tersebut
hampir sepanjang hari.
Afek yang Tidak Sesuai. Respon-respon emosional pasien dapat berada diluar
konteks. Pasien dapat tertawa saat mendengar kabar bahwa ibunya baru saja meninggal.
Atau marah ketika ditanya dengan pertanyaan sederhana, misalnya apakah baju barunya
cocok untuknya. Para pasien tersebut dapat dengan cepat berubah dari satu kondisi
emosional ke kondisi emosional lain tanpa alasan yang jelas.
Sejarah Konsep Skizofrenia
A. Gambaran Awal
Kraeplin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox,
istilah awal untuk skizofrenia, pada tahun 1898. Dia membedakan dua kelompok
utama psikosis yang disebutnya endogenik, atau disebabkan secara internal : penyakit
manik-depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencakup beberapa konsep
diagnostik-demensia paranoid, katatonia, dan hebefrenia yang dianggap sebagai
enttitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade terdahulu. Meskipun
berbagai gangguan tersebut secara simptomatik berbeda, Kraeplin yakin mereka
mempunyai satu kesamaan inti dan istilah dementia praecox mencerminkan apa yang
diyakininya merupakan inti tersebut – yaitu terjadi pada usia awal (praecox) dan
perjalanan memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual progresif (dementia) .
Demensia dalam dementia praecox tidak sama dengan demensia pada usia tua yang
ditandai oleh kerusakan memori yang parah, sedangkan istilah Kraeplin merujuk pada
“kelemahan mental” pada umumnya.
Figur penting berikutnya adalah Bleuler yang memiliki pandangan berbeda
dengan Kraeplin menyangkut dua poin utama : Ia yakin bahwa gangguan tersebut
tidak selalu terjadi pada usia dini dan ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak akan
berkembang menjadi demensia tanpa dapat dihindari. Dengan demikian istilah
dementia praecox tidak sesuai lagi dan pada tahun 1908 Bleuler mengajukan
istilahnya sendiri yaitu skizofrenia yang berasal dari bahasa Yunani schizein yang
artinya “membelah” dan phren yang artinya “akal pikiran” untuk mencerminkan
karakteristik utama kondisi tersebut.
B. Konsep yang Diperluas di Amerika Serikat
Bleuler memberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia dalam
perkembangannya di Amerika Serikat. Selama paruh pertama abad ke-20 diagnosis
tersebut semakin meluas. Di New York State Psychiatric Insitute, contohnya, sekitar
20 persen pasien didiagnosis sebagai skizofrenik pada tahun 1930-an. Angka tersebut
meningkat disepanjang tahun 1940-an dan pada tahun 1952 memuncak hingga
mencapai angka 80 persen. Secara kontras, konsep skizofrenia yang umum di Eropa
tetap lebih sempit. Persentase pasien yang didiagnosis sebagai skizofrenik di Rumah
Sakit Maudsley di London, contohnya, relatif konstan, yaitu 20 persen, dalam kurun
waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming, & Garland, 1974).
Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat
dapat diketahui dengan mudah. Beberapa figur penting di dunia psikiatri AS lebih
memperluas konsep skizofrenia Bleuler yang pada dasarnya sudah luas. Contohnya,
pada tahun 1933, Kasanin menggambarkan sembilan pasien yang didiagnosis menderita dementia praecox. Pada mereka gangguan tersebut timbul secara mendadak dan
penyembuhannya relatif cepat. Mengamati bahwa gangguan yang mereka alami dapat
dikatakan sebagai kombinasi skizofrenik dan simtom-simtom afektif, Kasanin
mengajukan istilah psikosis skizoafektif untuk menggambarkan berbagai gangguan
yang dialami para pasien tersebut. Diagnosis tersebut kemudian menjadi bagian
konsep skizofrenia di AS dan dicantumkan dalam DSM-I (1952) dan DSM-II (1968).
Konsep skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik
diagnosis.
1. Para ahli klinis AS cenderung mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham
dan halusinasi. Karena simtom-simtom ini, terutama delusi, juga terjadi dalam
gangguan mood, banyak pasien yang menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan
DSM-II sebenarnya mengalami gangguan mood-(Cooper dkk., 1972).
2. Para pasien yang dewasa ini akan didiagnosis mengalami gangguan
kepribadian (terutama skizotipal, skizoid, ambang, dan gangguan kepribadian
paranoid, didiagnosis sebagai skizofrenik berdasarkan kriteria DSM-II.
3. Para pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara
akut dengan kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia.
C. Diagnosis DSM-IV-TR
Berawal dari DSM-III (American Psychiatric Association, 1980) dan berlanjut
dalam DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994) dan DSM-IV-TR
(American Psychiatric Association, 2000), konsep skizofrenia di AS mengalami
perubahan besar dari definisi terdahulu yang luas melalui lima hal berikut:
1. Kriteria diagnostik disajikan dalam detail yang eksplisit dan substansial.
2. Para pasien yang mengalami simtom-simtom gangguan mood secara
spesifik dipisahkan. Skizofrenia, tipe skizoafektif, sekarang dicantumkan sebagai
gangguan skizoafektif di bagian yang berbeda sebagai salah satu gangguan psikotik.
Gangguan skizoafektif mencakup gabungan simtom-simtom skizofrenia dan
gangguan mood.
3. DSM-1V-TR mensyaratkan bahwa gangguan terjadi sekurangkurangnya
enam bulan untuk diagnosis ini. Periode enam bulan tersebut harus mencakup suatu
episode akut atau fase aktif selama sekurang-kurangnya sate bulan, ditandai dengan
adanya minimal dua dari hal-hal berikut: waham, halusinasi, disorganisasi
pernbicaran, disorganisasi perilaku yang sangat nyata atau perilaku katatonik, dan
simtom-simtom negatif. (Hanya diperlukan satu dari simtom-simtom di atas jika
wahamnya aneh atau jika halusinasi mencakup suara-suara yang mengomentari atau
mendebat). Sisa waktu yang diperlukan bagi diagnosis dapat terjadi sebelum atau
sesudah fase aktif. Berbagai masalah yang terjadi pada fase ini mencakup penarikan
diri dari hubungan sosial, hendaya/dalam keberfungsian peran, afek yang tumpul atau
tidak sesuai, kurangnya inisiatif, cara bicara yang membingungkan dan tidak dapat
dimengerti, gangguan dalam kebersihan dan kerapihan diri, keyakinan yang aneh atau
pikiran magis, dan pengalaman perseptual yang tidak wajar. Kriteria-kriteria tersebut
mengeliminasi pasien yang mengalami episode psikotik singkat, yang sering kali
berhubungan dengan stres, dan sembuh dengan cepat. Episode skizofrenik akut dalam
sekarang didiagnosis sebagai gangguan skizofreniform atau gangguan psikotik
singkat, yang juga dicantumkan di suatu bagian barn dalam DSM-IV-TR. Simtomsimtom gangguan skizofreniform sama dengan skizofrenia, namun hanya berlangsung
selama satu hingga enam bulan. Gangguan psikotik singkat berlangsung selama satu
hari hingga satu bulan dan sering kali disebabkan oleh stes ekstrem, seperti duka yang
sangat dalam.
4. Beberapa gangguan yang pada DSM-II dianggap sebagai bentuk ringan
skizofrenia sekarang didiagnosis sebagai gangguan kepribadian, contohnya, gangguan
kepribadian skizotipal.
5. DSM-IV-TR membedakan antara skizofrenia paranoid, akan dibahas secara
singkat nanti, dan gangguan waham. Orang yang menderita gangguan waham
terganggu oleh waham kejaran yang terus-menerus atau oleh waham cemburu, yaitu
tuduhan yang tidak berdasar bahwa pasangan atau kekasih mereka tidak setia. Waham
lain mencakup waham merasa dibuntuti, waham erotomania (yakin bahwa ia dicintai
seseorang, biasanya orang yang sama sekali tidak dikenal dengan status sosial yang
lebih tinggi), dan waham somatik (yakin bahwa ada organ tubuh yang tidak
berfungsi). Tidak seperti orang yang menderita skizofrenia paranoid, orang yang
menderita gangguan waham tidak mengalami disorganisasi bicara atau halusinasi, dan
waham yang dialaminya tidak terlalu aneh. Gangguan waham jarang ditemukan dan
umumnya terjadi pada usia lebih tua dibanding skizofrenia. Dalam sebagian besar
studi keluarga gangguan ini tampaknya memiliki kaitan dengan skizofrenia, mungkin
secara genetik (Kendler & Diehl,1993).
Sesuai dengan data yang diperoleh dari studi World Health Organization di negara-negara
industri dan negara berkembang (Jlablonsky dkk., 1994), kriteria-kriteria simtomatik tersebut
dapat diterapkan untuk semua budaya. Meskipun demikian, para pasien di negara-negara
berkembang memiliki kejadian yang lebih akut dan perjalanan penyakit yang lebih baik
dibanding para pasien di masyakarat industri. Penyebab temuan yang menarik tersebut masih
belum diketahui (Sasser 6t Wanderling, 1994).
D. Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR
Tiga tipe gangguan skizofrenik yang tercantum dalam DSM-IV-TR yaitu
disorganisasi, katatonik, dan paranoid pertama kali dikemukakan oleh Kraepelin
bertahun-tahun lalu. Deskripsi saat ini mengenai tipe-tipe yang dikemukakan
Kraepelin menunjukkan keragaman besar pada perilaku yang berhubungan dengan
diagnosis skizofrenia.
1. Skizofrenia Disorganisasi
Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan Kraepelin disebut
skizofrenia disorganisasi dalam DSM-IV-TR. Cara bicara mereka mengalami
disorganisasi dan sulit dipahami oleh pendengar. Pasien dapat berbicara secara
tidak runut, menggabungkan kata-kata yang terdengar sama dan bahkan
menciptakan kata-kata baru, sering kali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat
memiliki afek datar atau terus-menerus mengalami perubahan emosi, yang
dapat meledak menjadi tawa atau tangis yang tidak dapat dipahami. Perilaku
pasien secara umum tidak terorganisasi atau tidak bertujuan
2. Skizofrenia Katatonik
Simtom-simtom skizofrenia katatonik yang paling jelas adalah
simtom-simtom katatonik yang disebutkan sebelumnya. Pasien umumnya
bergantian mengalami imobilitas katatonik dan keriangan yang liar, namun
salah satunya dapat lebih dominan. Para pasien tersebut menolak perintah dan
saran dan sering kali menirukan kata-kata orang lain. Onset reaksi katatonik
dapat lebih tiba-tiba dibanding onset bentuk-bentuk lain skizofrenia, meskipun
orang yang bersangkutan kemungkinan sebelumnya telah menunjukkan
semacam apati dan menarik diri dari kenyataan. Anggota badan orang yang
mengalami imobilitas katatonik dapat menjadi kaku dan bengkak.
3. Skizofrenia Paranoid
Kunci diagnosis ini adalah adanya waham. Waham kejaran adalah
yang paling umum, namun pasien dapat mengalami waham kebesaran, di
mana mereka memiliki rasa yang berlebihan mengenai pentingnya
kekuasaan,pengetahuan, atau identitas diri mereka. Beberapa pasien terjangkit
waham cemburu, suatu keyakinan yang tidak berdasar bahwa pasangan
seksual mereka tidak setia. Waham lain seperti dikejar atau dimata-matai juga
dapat terlihat jelas. Halusinasi pendengaran yang jelas dan nyata dapat
menyertai waham.Para individu yang mengalami skizofrenia paranoid selalu
cemas, argumentatif, marah, dan kadang kasar. Secara emosional mereka
responsif, meskipun mereka kaku, formal, dan intens kepada orang lain.
Mereka juga lebih sadar dan verbal dibanding para pasien skizofrenia tipe lain.
Bahasa yang mereka gunakan, meskipun penuh rujukan pada delusi, tidak
mengalami disorganisasi.
Etiologi Skizofrenia
Aspek-aspek penyebab gangguan (Davidson, 2006), antara lain :
A. Data genetik
Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasikan bahwa suatu
predisposisi bagi skiofrenia diturunkan secara genetik. Metode keluarga, kembar dan
adopsi digunakan dalam penelitian ini seperti halnya dalam proyek-proyek penelitian
perilaku genetiki lainnya, mengarahkan para peneliti untuk menyimpulkan bahwa
suatu predisposisi terhadap skiofrenia diturunkan secara genetik.
- Studi Keluarga : Kerabat pasien skizofrenia memiliki kecenderungan lebih tinggi
untuk mengalami skizofrenia. Risiko tersebut semakin tinggi bila hubungan
kekerabatan semakin dekat
- Studi Orang Kembar : Kembar identik cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami skizofrenia. Kembar identik memiliki gambaran struktur otak yang
memiliki kemiripan.
- Studi Adopsi : Menemukan bahwa besarnya faktor keturunan/gen dalam timbulnya
skizofrenia. Anak dari Ibu Skizofrenik walaupun diadopsi oleh orang tua lain, Ia tetap
memiliki kemungkinan untuk didiagnosis lemah mental, psikopatik, dan neurotik,
contohnya yaitu lebih sering terlibat dalam tindakan kriminal dan berurusan dengan
institusi hukuman.
B. Faktor Biokimia
Peran faktor-faktor genetik dalam skiofrenia menunjukkan bahwa faktorfaktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses
biologislah faktor keturunan tersebut dapat berpengaruh. Aktivitas dopamin, teori
bahwa skizofrenia berhubungan dengan aktivitas berlebihan neurotransmitter
dopamin, terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-obatan yang efektif
untuk menangani skiofrenia menurunkan aktivitas dopamin. Para peneliti mencatat
bahwa obat-obatan antipsikotik, selain bermanfaat untuk menangani beberapa simtom
skizofrenia, menimbulkan efek samping yang mirip dengan simtom-simtom penyakit
parkinson. Penyakit parkinson diketahui sebagian disebabkan oleh kadar dopamin
yang rendah dalam bagian saraf otak tersebut. Setelah itu dikonfirmasi bahwa karena
strukturnnya sama dengan molekul dopamin, molekul-molekul obat-obatan
antipsikotik memiliki kecocokan sehingga menghambat berbagai reseptor dopamin
pascasinaptik. Resepotor-reseptor dopamin yang dihambat oleh obat-obat antipsikotik
disebut reseptor D2. Selain itu trasmiter yang lainnya adalah serotonin dan glutamat
yang tersebar luas di dalam otak. Apabila terjadi penurunan masukan glutamatdari
korteks prefrontais atau hipokampus ke korpus striatum maka dapat mengakibatkan
peningkatan aktivitas dopamin.
C. Otak dan Skizofrenia
Analisis pasca kematian pada otak pasien skizofrenia merupakan salah satu
sumber bukti adanya abnormalitas pada beberapa daerah otak pasien skizofrenia.
Temuan yang paling konsisten dalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada
hilangnya beberapa sel otak, temuan lainnya mengindikasikan abnormalitas struktur
pada daerah subkortikal temporal-limbik, seperti hipokampus dan basal ganglia, dan
pada korteks prefrontalis dan temporal. Berbagai citra yang diperoleh dalam
pemindaian CT dan studi MRI pada otak pasien skizofrenia yang masih hidup secara
konsisten mengungkap bahwa beberapa pasien terutama laki-laki memiliki rongga
otak yang melebar, berkurangnya daerah abu-abu kortikal di daerah temporal dan
frontalis. Berkurangnya volume basal ganglia dan struktur limbik.
Rongga otak yang lebar pada para pasien skizofrenia berkorelasi dengan
kinerja yang lemah dalam berbagai tes neuropsikologis, penyesuaian yang buruk
sebelum timbulnya gangguan dan respons yang buruk dalam terapi obat. Berbagai
macam data menunjukkan bahwa korteks prefrontalis secara khusus penting dalam
skizofrenia, karena diketahui berperan dalam perilaku seperti berbicara, pengambilan
keputusan, dan tindakan yang bertujuam, yang semuanya mengalami gangguan dalam
skizofrenia. Selain itu dalam suatu jenis pencitraan fungsional dimana metaboisme
glukosa di berbagai daerah otak diteliti ketika pasien sedang mengerjakan tes-tes
psikologis dan neuropsikologis yang membutuhkan pengaktifan korteks prefrontalis,
para pasien skizofrenia menunjukkan tingkat metabolisme glukosa yang rendah,
secara normal metabolisme glukosa meningkat sejalan dengan penggunaan energi.
Yang hilang dalam korteks temporalis dan frontalis adalah sesuatu yang
disebut spinal dendritic yang merupakan cabang kecil pada batang dendrit dimana
impuls-impuls saraf diterima dari berbagai neuron lain. Hilangnya spinal-spinal
dendritic tersebut berarti komunikasi diantara neuron-neuron akan terganggu.
Sehingga mengakibatkan kondis yang diistilahkan oleh beberapa orang sebagai
“sindrom diskoneksi”, salah satu akibatnya dapat berupa disorganisasi pembicaraan
dan behavioral yang terjadi pada skizofrenia. Salah satu kemungkinan beberapa
abnormalitas otak tersebut adalah kerusakan semasa kehamilan atau saat kelahiran
yang diakibatkan oleh pasokan oksigen yang berkuang ke otak dan mengakibatkan
hilangnya daerah abu-abu kortikal. Kemungkinan lain adalah disebabkan karena
adanya virus yang masuk ke otak dan merusaknya ketika janin masih dalam tahap
perkembangan terutama pada trimester kedua.
Cedera otak berinteraksi dengan perkembangan otak normal dan bahwa
korteks prefrontalis merupakan strukur otak yang mengalami kematangan paling
akhir, umumnya pada masa remaja, karena aktivitas dopamine memuncak pada masa
remaja yang dapat lebih jauh memicu tahap terjadinya simtom-simtom
skizofrenik.terjadinya simtom-simtom pada masa remaja dapat mencerminkan
hilangnya beberapa sinaps yang disebabkan oleh mekanisme pemotongan yang terlalu
aktif atau penghilangan beberapa koneksi sinaptik yang dikurangi sekitar 60 persen
dari jumlah maksimum.
D. Stres Psikologis dan Skizofrenia
Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan
biologis untuk menimbulkan penyakit ini, peningkatan stress kehidupan
meningkatkan kemungkinan kekambuhan , karena para individu yang menderita
skozofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stressor yang dihadapi di
kehidupan sehari-hari. Stress memicu berkurangnya mood positif secara lebih besar,
dan juga memicu peningkatan yang lebih besar dalam mood negative, dengan
demikian para pasien skizofrenia sangat rentan terhadap stress sehari-hari. Dua
stressor yang telah megambil bagian penting dalam penlitian bidang ini adalah:
a). Kelas Sosial Skizofrenia : hubungan antara kelas social dan skizofrenia
tidak menunjukkan tingkat kejaidan skizofrenia yang semakin tinggi seiring semakin
rendahnya kelas social. Korelasi antara kelas social dan skizofrenia memiliki
konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasinya secara kausal. Perlakuan
merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang
rendah, dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat
menjadikan keberadaan seseorang daalm kelas social terendah sebagai kondisi yang
penuh stress yang dapat membuat seseorang setidaknya memiliki predisposisi
menderita skizofrenia.Penjelasan lain mengenai korelasi antara skizofrenia dan kelas
social rendah adalah teori seleksi-sosial, yang membalikkan arah kausalitas antara
kelas sosial dan skizofrenia. Salah satu cara yang mungkin untuk menyelesaiakan
konflik antara kedua teori yang saling bertantangan tersebut adalah meneliti mobilitas
social orang-orang skizofrenik. Hipotesis sosiogenik akan memprediksi bahwa karena
stress dalam tingkat yang tinggi dialami oleh mereka yang berasal dari semua kelas
social, orang-orang yang berasal dari kelompok yang tidak beruntung semestinya
memiliki tingkat kejadian skizofrenia yang secara konsisten lebih tinggi di semua
kelas social. Meskipun demikian pola tersebut tidak terjadi, sehingga mendukung
teori seleksi-sosial.
b). Keluarga dan Skizofrenia : Para teoris terdahulu menganggap hubungan
keluarga terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal penting dalam terjadinya
skizofrenia. Sehingga mincul istilah ibu- skizofrenogenik bagi inu yang tampak
dingin dan dominan, serta selalu menciptakan konflik, memiliki karakter menolak,
terlalu melindungi, mengorbankan diri sendiri, tidak tergerak oleh perasaan orang
lain, kaku dan moralistic terhadap seks dan takut terhadap keintiman yang dianggap
menyebabkan skizofrenia pada anaknya. Berbagai studi terkendali yang
mengevaluasi teori ibu-skizofrenogenik tidak menghasilkan data yang mendukung.
Beberapa temuan memang menunjukkan bahwa komunikasi buruk orang tua dapat
berperan dalam etiologi skizofrenia. Meskipun demikian penyimpangan komunikasi
bukan merupakan factor etiologis spesifik bagi skizofrenia.
Psikopatologi yang lebih serius ditemukan pada anak-anak adopsi yang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terganggu. Selain itu lingkungan dimana
pasien tinggal setelah keluar dari rumah sakit sangat berpengaruh terhadap seberapa
cepat mereka akan kembali dirawat di rumah sakit. Para pasien skizofrenia yang
belum lama berselang keluar dari rumah sakit dan keluarga mereka, dengan ekspresi
emosi tinggi atau rendah diamati ketika mereka terlibat dalam diskusi mengenai suatu
masalah keluarga yaitu ekspresi pikiran-pikiran yang tidak biasa oleh pasien
memimbulkan komentar kritik yang lebih tinggi dari para anggota keluarga yang
sebelumnya telah diidentifikasi sebagai keluarga dengan ekspresi emosi tinggi.
Sedangkan dalam keluarga dengan ekspresi emosi tinggi komentar-komentar berupa
kritik dari para anggota keluarga memicu peningkatan ekspresi pikiran-pikiran yang
tidak biasa oleh pasien. Dengan demikian studi ini menemukan adanya hubungan dua
arah, komentar-komentar kritik dari para anggota keluarga dengan ekspresi emosi
tinggi menimbulkan lebih banyak pikiran tidak biasa pada pasien, dan pikiran-pikiran
tidak biasa yang diekspresikan pasien memicu meningkatkan komentar-komentar
kritik dalm keluarga dengan ekspresi emosi tinggi.
Stress seperti tingkat ekspresi emosi yang tinggi dapat meningkatkan simtomsimtom skizofrenia dan memicu kekambuhan berhubungan dengan efek stress
terhadap aksis hipotalamik-pituitari-adrenal (HPA) dengan teori dopamine. Stress
diketahui mengaktifkan aksis HPA, menyebabkan skresi kortisol. Sebaliknya, kortisol
diketahui meningkatkan aktivitas dopamine dank arena itu dapat meningkatkan
simtom-simtom skizofrenia. Meningkatnya aktivitas dopamine dapat meningkatkan
aktivita HPA yang dapat membuat seseorang terlalu sensitive terhadap stress. Dengan
demikian, teori ini menyatakan adanya hubungan dua arah terhadap aktivitas HPA
dengan aktivitas dopamine.
E. Studi Perkembangan Skizofrenia
Suatu metode terdahulu untuk menjawab pertanyaan seperti apakah orangorang yang menderita skizofrenia sebelum mereka mengalami simtom-simtom
tersebut dapat diketahui dengan menyusun riwayat perkembangan, meneliti berbagai
catatan masa kanak-kanak orang yang dikemudian hari menderita skizofrenia.
Berbagai penelitian mengenai perilaku sosisal para pasien praskizofrenik
menghasilkan temuan seperti para guru menggambarkan anak-anak laki-laki
skizofrenik sebagai anak nakal, sedangkan anak perempuan praskizofrenik sebagai
anak yang pasif, keduanya digambarkan sebagai anak nakal dan mnarik diri pada
masa kanak-kanak. Anak-anak praskizofrenik menunjukkan keterampilan motoric
yang lebih rendah dan ekspresi afek negative yang lebih banyak.
Etiologi skizofrenia dapat berbeda pada para pasien dengan simtom positif
dan negative, mereka yang memiliki simtom-simtom positif yang dominan didahului
oleh riwayat ketidakstabilan keluarga, seperti dipisahkan dari orang tua dan tinggal di
panti atau lembaga asuhan selam beberapa kurun waktu, sedangkan mereka yang
memiliki simtom-simtom negative didahului dengan riwayat komplikasi kehamilan,
kelahiran dan kegagalan memberikan respons-respons elektrodermal terhadap stimuli
yang sederhana. Dan dalam suatu studi di Israel, rendahnya keberfungsian
neurobehavioral seperti konsentrasi rendah, kemampuan verbal rendah, kurangnya
kendali dan koordinasi motorik dapat memprediksi gangguan yang mirip skizofrenia
seperti juga masalah-masalah interpersonal pada anak-anak
TERAPI SKIZOFRENIA
Sederetan simtom yang membingungkan dan seringkali menakutkan yang ditunjukkan
oleh orang-orang yang menderita skizofreniamembuat penanganan menjadi sulit. Suatu
masalh besar dalm jenis penanganan apapun untuk skizofrenia adalah banyak pasien yang
menderita skizofrenia kurang memiliki insight atas hendaya mereka dan menolak semua
terapi yang diberikan. Karena mereka tidak percaya menderita suatu penyakit, mereka tidak
merasa membutuhkan suatu intervensi provisional, terutama jika mencakup perawatan di
rumah sakit atau pemberian obat-obatan. Hal ini terjadi terutama pada orang-orang yang
menderita skizofrenia paranoid, yang dapat mengangga setiap terapi sebagai campur tangan
yang mengandung ancaman dari kekuatan luar yang hostile. Penting untuk menyatakan
bahwa ketepatan suatu terapi tergantung pada tahap penyakit pasien. Yaitu bila berada dalm
fase psikotik akut, pelatihan keterampilan social atau intervensi psikologis lain, tidak
mungkin akan berhasil karena pasien sangat terganggu, dan sangat tidak mampu untuk
berkonsentrasi pada apa yang dikatakan terapis. Pada fase tersebut diperlukan suatu jenis
pengobatan psikoaktif. Setelah orang yang bersangkutan berada dalam kondisi tidak terlalu
pikotik, intervensi psikologi dapat mulai berdampak menguntungkan, dan dosis obat dapat
dikurangi seiring pasien mempelajari berbagai cara untuk mengurangi stress yang memicu
timbulnya episode.
A. Penanganan Biologis
1. Terapi Kejut dan Psychosurgery, pada tahun 1935, Moniz seorang psikiater
berkebangsaan Portugis memperkenalkan lobotomy prefrontalis yang merupakan suatu
prosedur pembedahan yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis
dengan pusat otak bagian bawah. Prosedur tersebut dilakukan terutama bagi pasien yang
perilakunya agresif, banyak pasien yang memang menjadi tenang dan bahkan dapat keluar
dari rumah sakit. Namun intervensi ini mendapat reputasi buruk karena berbagai alasan
seperti setelah pembedahan banyak apsien menjadi tumpul dan tidak bertenaga dan sangat
kehilangan berbagai kemampuan kognitif mereka seperti tidak mampu melakukan
percakapan yang runtut dengan orang lain, dan yang tidak megherankan menilik dibuangnya
bagian otak mereka yang diyakinibertanggung jawab terhadap pikiran. Namun alasan utama
ditinggalkannya terapi ini adalah karena penemuan obat-obatan yang tampaknya mengurangi
berbagai ekses behavioral dan emosional pada banyak pasien.
2. Terapi Obat, penemuan obat-obatan pada tahun 1950-an yang secara kolektif disebut
obat-obatan antipsikotik, yang juga disebut neuroleptic karena menimbuklan efek samping
yang sama dengan simtom-simtom penyakit neurologis.
3. Obat-Obatan Antipsikotik Tradisional, salah satu obat antipsikotik yang paling sering
diresepkan yaitu fenothiazin. Selain itu Prancis Laborit mempelopori penggunaan
antihistamin untuk mengurangi syok karena pembedahan, ia mengamati bahwa obat ini
membuat psien agak mengantuk dan ketakutannya menghadapu operasi berkurang.
Charpentier menyiapkan suatu derivate baru fenothiazin, yang disbutnya khlopromazin, obat
ini tebukti sangat efektif untuk menenangkan pasien skizofrenia seperti menghasilkan efek
terapeutik dengan menghambat bebagai reseptor dopamine di dalam otak sehingga
mengurangi pengaruh dopamin pada pikiran, emosi dan perilaku.
Khlopromazin atau Thorazine pertama kali digunakan secara terapeutik pada tahun
1954 dan segera menjadi terapi pilihan untuk skizofrenia. Berbagai anti-psikotik lain yang
telah digunakan selama bertahun-tahun untuk menangani skizofrenia mencakup
butirofenon dan thioksantin. Kedua tipe tersebut secara umum tampak sama efektifnya
dengan fenothiazin dan memiliki cara kerja yang sama. Berbagai obat tersebut dapat
mengurangi simtom-simtom positif skizofrenia, namun hanya sedikit efeknya atau bahkan
tidak mamberikan efek bagi simtom-simtom negatif. Obat-obatan lain digunakan sebagai
tambahan yaitu diberikan bersama dengan psikotik untuk menangani depresi atau
kecemasan atau untuk menstabilkan mood. Obat-obatan tambahan ini mencakup lithium,
antidepresan, antikonvulsan, dan obat penenang. Antidepresan juga diberikan kepada para
pasien skizofrenia yang mengalami depresi setelah suatu episode psikotik.
Suatu prosedur yang menjanjikan untuk mengurangi tingkat perawatan kembali di
rumah sakit. Dalam sebuah studi yang dilaporkan oleh Herz, para pasien secara acak
ditempatkan dalam terapi perawatan yang biasa dilakukan (pemberian obat dan terapi
kelompok suportif) atau suatu terapi baru yang mencakup komponen berikut seperti
memberikan edukasi kepada apsien mengenai kekambuhan dan mengenali tanda-tanda
awal kekambuhan, pemantauan tanda-tanda awal kekambuhan, terapi kelompok suportif
atau individual mingguan, sesi-sesi edukasi keluarga, intervensi segera, mencakup
peningkatan dosis pemberian obat dan terapi penyelesaian masalah berorientasi krisis bila
dideteksi tanda-tanda awal kekambuhan.
Efek Samping Antipsikotik Tradisional, yang secara umum dilaporkan biasanya
adalah pusing, penglihatan kabur, tidak bias tenang, dan disfungsi seksual, selain iti
sekumpulan efek yang sanagt mengganggu disebut efek ekstrapiramidal, berakar dari
berbagai disfungsi bentang saraf yang menjulur dari otak ke neuron motoric pada tulang
belakang. , efek sampingnya mirip dengan simtom-simtom penyakit Parkinson. Orangorang yang mengkonsumsi antipsikotik biasanya mengalami tremor pada jari, langkah
yang terseret dan berliur, efek samping lain mencakup dystonia atau suatu kondisi
kekakuan otot, dan dyskinesia yang merupakan suatu gerakan abnormal otot-otot sadar
dan tidak sadar, mengakibatkan gerakan mengunyah serta gerakan lain pada bibir, jari dan
kaki, secara bersamaan mereka menyebabkan punggung melengkung dan posisi leher dan
tubuh yang terpilin. Akasthesia adalah ketidakmampuan untuk tetap diam, orang terusmenerus bergerak dan tidak dapat tenang. Simtom-simtom yang mengganggu ini dapat
diatasi dengan memebrikan obat bagi penyakit Parkinson.
Dalam gangguan otot yang dialami pasien skizofrenia yang berusia lanjut yang
disebut dyskinesia tardif, otot-otot mulut tanpa dapat dikendalikan mebuat gerakan
menghisap, bibir berkecap, dan dagu bergerak ke kanan dan ke kiri, dalam kasus yang
lebih parah seluruh tubuh dapat menjadi subjek gerakan motoric yang tidak dapat
dikendalikan. Dan suatu efek yang disebut sindrom neuroleptic berbahaya (neuroleptic
malignant syndrome) yang kadang dapat menjadi fatal, terjadi kekakuan otot yang parah,
disertai demam, denyut jantung meningkat, tekanan darah naik dan pasien dapat menjadi
koma. Ahli klinis menghadapi suatu dilemma dlam situasi ini seperti jika pemberian obat
dikurangi, kemungkinan untuk kambuh meningkat, namun jika pemberian obat
diteruskan, dapat terjadi efek samping yang serius dan tidak dapat diatasi.
4. Terapi Obat Terbaru, dengan diperkenalkannya Klozapin (Clozaril), yang dapat
memberikan manfaat terapeutik bagi para pasien skizofrenia yang tidak merespons dengan
baik obat-obatan antipsikotik tradisional, klozapin juga menimbulkan efek samping motoric
yang lebih sedikit, dan dapat mengurangi angka kekambuhan, namun berdampak pada
reseptor serotonin, melemahkan keberfungsian system imun dengan menurunkan jumlah sel
darah putih, menjadikan pasien rentan terhadap infeksi dan bahkan kematian, kejang-kejang,
pusing, fatik, berliur dan penambahan berat badan. Obat-obat lain yang dapat lebih efektif
disbanding antipsikotik tradisional yaitu Olanzapine (Zyprexa) dan Risperidon (Risperdal),