• coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

  • kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

ilmu ushul fiqh 7

 



lehkan berbuka atau tidak berpuasa,  tanpa melihat 

                                                           

apakah swaktu safar ada  masyaqqah  (kesulitan) atau tidak. 

Sudah barang tentu dengan kewajiban mengqadha atau 

menggantikannya pada hari yang lain.   

Nabi Muhammad saw. terkadang membukakan puasanya 

dalam safar dan terkadang beliau berpuasa. selanjutnya beliau tidak 

memberi batasan tentang safar dan tidak menentukannya ada 

disebutkan dalam hadis yang sahih, bahwa penduduk Makkah 

pernah pergi beserta nabi ke Arafah, di sana mereka mengqashar 

shalat karena jarak Arafah dari Makkah hanya 21,367 km saja. Dan 

sahabat nabi berbuka ketika mereka mulai akan menempuh safar itu, 

dengan tidak mengingat apakah mereka telah keluar dari kota 

ataupun belum. 

Keterangan ini dilihat dalam sunan Abu Dawud dan Musnad 

Ahmad dan berita ini pula diakui baiknya oleh Tirmidzi. Suatu 

perjalanan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak 

dipermasalahkan  apakah mereka mereka telah keluar dari kota 

ataupun belum.  

Keterangan  ini dilihat dalam sunan Abi Dawud dan Musnad 

Ahmad dan berita ini pula diakuinya baiknya oleh Tirmidzi suatu 

perjalan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak 

pulang ke rumah sendiri pada hari itu juga diperbolehkan melakukan 

hukum rukhshah . 

Imam Al-Syafi’i, Malik dan Ahmad mensyaratkan safar yang 

berhak mendapatkan rukhshah  yaitu  safar yang mubah, yakni safar 

yang dibolehkan oleh syariat Islam, bukan safar dengan tujuan 

maksiat. Oleh karena itu bila  seseorang yang bepergian dengan 

niat untuk merampok atau memerangi umat Islam, maka tidak 

berhak atas atas rukhshah seperti mengqashar shalat atau tidak 

puasa pada bulan ramadhan. Hal ini  dikarenakan keringan an 

hokum itu tidak boleh dikaitkan dengan kemaksiatan atau 

membantu kemaksiatan. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah safar 

itu telah cukup menjadi alasan rukhshah, apakah safar itu hukumnya 

mubah atau maksiat. 

apakah swaktu safar ada  masyaqqah  (kesulitan) atau tidak. 

Sudah barang tentu dengan kewajiban mengqadha atau 

menggantikannya pada hari yang lain.   

Nabi Muhammad saw. terkadang membukakan puasanya 

dalam safar dan terkadang beliau berpuasa. selanjutnya beliau tidak 

memberi batasan tentang safar dan tidak menentukannya ada 

disebutkan dalam hadis yang sahih, bahwa penduduk Makkah 

pernah pergi beserta nabi ke Arafah, di sana mereka mengqashar 

shalat karena jarak Arafah dari Makkah hanya 21,367 km saja. Dan 

sahabat nabi berbuka ketika mereka mulai akan menempuh safar itu, 

dengan tidak mengingat apakah mereka telah keluar dari kota 

ataupun belum. 

Keterangan ini dilihat dalam sunan Abu Dawud dan Musnad 

Ahmad dan berita ini pula diakui baiknya oleh Tirmidzi. Suatu 

perjalanan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak 

dipermasalahkan  apakah mereka mereka telah keluar dari kota 

ataupun belum.  

Keterangan  ini dilihat dalam sunan Abi Dawud dan Musnad 

Ahmad dan berita ini pula diakuinya baiknya oleh Tirmidzi suatu 

perjalan dinamakan safar, jika pergi dengan membawa bekal, tidak 

pulang ke rumah sendiri pada hari itu juga diperbolehkan melakukan 

hukum rukhshah . 

Imam Al-Syafi’i, Malik dan Ahmad mensyaratkan safar yang 

berhak mendapatkan rukhshah  yaitu  safar yang mubah, yakni safar 

yang dibolehkan oleh syariat Islam, bukan safar dengan tujuan 

maksiat. Oleh karena itu bila  seseorang yang bepergian dengan 

niat untuk merampok atau memerangi umat Islam, maka tidak 

berhak atas atas rukhshah seperti mengqashar shalat atau tidak 

puasa pada bulan ramadhan. Hal ini  dikarenakan keringan an 

hokum itu tidak boleh dikaitkan dengan kemaksiatan atau 

membantu kemaksiatan. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah safar 

itu telah cukup menjadi alasan rukhshah, apakah safar itu hukumnya 

mubah atau maksiat. 

e. Kh atha’   (tersalah tidak sengaja)  

Khatha’  yaitu  perkataan atau perbuatan yang timbul dari 

seseorang karena ketidaksengajaan atau tidak cermat ketika 

melakukannya. Sebagai contoh, bila  seseorang berkumur-kumur 

dengan sengaja di dalam bulan ramadan dan tanpa disengaja air 

masuk ke dalam kerongkongannya. atau menembak burung, tetapi 

tertembak manusia, maka orang itu di hukum salah karena kurang 

hati-hati,  akan tetapi  hukumanya diringankan. 

Khatha’  ini menjadi alasan atau penghalang ahliyah atau 

kecakapan hukum seseorang, berdasar  hadis Nabi saw. : 

 

 )٠ٗحشـزطُح ٙحٝس( ِٚ ـ٤َْـَِػ ح ْٞ ُـِٛش ٌْ ُـظـْعح خـ َٓ  َٝ  ِٕ َخ٤ْغ ّـِ٘ـُح َٝ  ِؤَطـَخُْ ح ِٖ ـَػ َغِـكُس213 

 

Artinya : Dihilangkan (kecakapan hkumnya) dari orang yang 

tersalah, lupa atau terpaksa. (HR Al -Thabrani). 

  

berdasar  hadis di atas, para fukaha telah  sepakat bahwa 

khatha’ ini dapat menghilangkan dosa ukhrawi, karena dalam redaksi 

hadis di atas ada  kata yang tersembunyi setelah kata “ rufi’a ”, 

yaitu kata “ itsm ” yang berarti dosa.    

Dalam pada itu harus diketahui pula, apakah pekerjaan yang 

dirusakkan dengan tidak sengaja itu merupakan hak Allah ataukah 

hak hamba. bila  berupa hak Allah, maka  dimaafkan dan puasanya 

tidak rusak, karena kesilapan itu dipandang suatu uzur syarak, 

asalkan kesalahan itu benar-benar terjadi. Sebaliknya jika kerusakan 

itu terkait dengan hak manusia,  maka orang yang silap itu tidak 

dilepaskan sama sekali dari tanggung jawab. Hanya dialihkan 

hukumnya dari tanggung jawab orang yang bersengaja. Jika orang 

yang tertembak itu mati, ia dituntut membayar dengan seratus unta, 

tidak boleh dituntut qishas  (bela jiwa atau anggota) dan di suruh pula 

orang yang silap untuk membayar kafarat. 

f. Hu tang  

Dalam soal ini ini berlaku perselisihan seperti yang terjadi 

dalam soal safah menurut Abu H anifah, tidak boleh dibayarkan 

orang yang mempunyai hutang.  Abu Yusuf membolehkan kita 

membayarkan orang yang berutang dengan perintah hakim, jika 

utang itu menghabiskan hartanya dan diminta pula oleh orang yang 

berpiutang  kepadanya menurut pendapat Malik, boleh diampu 

dengan tidak memerlukan putusan hakim. boleh pemberi utang 

membatalkan tasarruf orang yang berhutang kalau  memelaratkan 

pemberi hutang ini , Syaikhulislam Taimiyah memilih pendapat 

Malik ini. Kata Ibnu Qayyim: “bila  utang -utang itu menghabiskan 

hartanya, tidaklah sah tabarrunya yang memberi melarat kepada 

para pengutang,baik telah di bayarkan oleh hakim maupun tidak. 

Inilah mazhab Maliki dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam.  

 

g. Paksaan  

Paksaan ialah mendesak seseoramg untuk mengerjakan atau 

mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak menginginkannya. Oleh 

karena dia tidak menginginkannya, sudah barang tentu dia tidak 

rela, karena keterpaksaan dan kerelaan tidak akan pernah 

menyatu.

Sebelum melanjutkan hal ini, baiklah kita bicarakan arti ikhtiar 

dan ridha. Ikhtiar ialah melakukan  sesuatu atas kehendak sendiri, 

sedang ridha ialah bersenang hati melakukannya. Segenap pekerjaan 

yang muncul  dari diri manusia yang sadar, tentu dengan 

kehendaknya. Hanya saja  ada kalanya kehendak itu benar, yaitu 

adakalanya pula kehendak itu tidak benar. H al yang sangat lazim 

yaitu  bahwa tidak semua perbuatan manusia itu dikerjakan dengan 

ridha serta suka hati, suatu saat seseorang akan melakukan suatu 

perbuatan karena keterpaksaan. 

Para ahli ushul H anafiyah membagi paksaan kepada dua 

bagian, yaitu: 

                                                          

f. Hu tang  

Dalam soal ini ini berlaku perselisihan seperti yang terjadi 

dalam soal safah menurut Abu H anifah, tidak boleh dibayarkan 

orang yang mempunyai hutang.  Abu Yusuf membolehkan kita 

membayarkan orang yang berutang dengan perintah hakim, jika 

utang itu menghabiskan hartanya dan diminta pula oleh orang yang 

berpiutang  kepadanya menurut pendapat Malik, boleh diampu 

dengan tidak memerlukan putusan hakim. boleh pemberi utang 

membatalkan tasarruf orang yang berhutang kalau  memelaratkan 

pemberi hutang ini , Syaikhulislam Taimiyah memilih pendapat 

Malik ini. Kata Ibnu Qayyim: “bila  utang -utang itu menghabiskan 

hartanya, tidaklah sah tabarrunya yang memberi melarat kepada 

para pengutang,baik telah di bayarkan oleh hakim maupun tidak. 

Inilah mazhab Maliki dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam.  

 

g. Paksaan  

Paksaan ialah mendesak seseoramg untuk mengerjakan atau 

mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak menginginkannya. Oleh 

karena dia tidak menginginkannya, sudah barang tentu dia tidak 

rela, karena keterpaksaan dan kerelaan tidak akan pernah 

menyatu.215  

Sebelum melanjutkan hal ini, baiklah kita bicarakan arti ikhtiar 

dan ridha. Ikhtiar ialah melakukan  sesuatu atas kehendak sendiri, 

sedang ridha ialah bersenang hati melakukannya. Segenap pekerjaan 

yang muncul  dari diri manusia yang sadar, tentu dengan 

kehendaknya. Hanya saja  ada kalanya kehendak itu benar, yaitu 

adakalanya pula kehendak itu tidak benar. H al yang sangat lazim 

yaitu  bahwa tidak semua perbuatan manusia itu dikerjakan dengan 

ridha serta suka hati, suatu saat seseorang akan melakukan suatu 

perbuatan karena keterpaksaan. 

Para ahli ushul H anafiyah membagi paksaan kepada dua 

bagian, yaitu: 

                                                           

1. Paksaa n yang mematikan, yaitu sesuatu paksaan, bila  

tidak dituntut binasalah jiwa atau anggota atau sesuatu 

paksaan yang tidak dapat diderita. 

2. Paksaan yang bila  tidak dituruti tidak mengakibatkan 

kematian, tidak membawa kepada hilangnya jiwa atau 

rusaknya anggota badan.  

 

Paksaan yang pertama, menghilangkan ikhtiar (kehendak) dari 

ridha (kerelaan) dan paksaan yang kedua, menghilangkan ridha tidak 

menghilangkan kebebasan berkehendak. Paksaan itu terjadi pada 

tiga perkara: 1) Perkataan yang tak dapat difasahk an; 2) Perkataan 

yang dapat difasahkan; 3) Perbuatan. Paksaan yang di bagian 

pertama (yang tak dapat difasahkan), menghasilkan maksud si 

pemaksa, umpamanya bila  seseorang memaksa kita menceraikan 

istri kita, jatuhlah talaknya. Paksaan yang di bagian  ke dua (yang 

dapat difasahkan) tidak  mewujudkan hukum, umpamanya: bila 

seseorang memaksa kita untuk menjual barang kita, maka penjualan 

yang kita lakukan itu tidak sah.  

 Adapun paksaan pada perbuatan, maka dibagi kepada 2 ( dua) 

macam, yaitu: 

1. Paksaan yang ti dak mungkin bahwa pelakunya menjadi alat 

atau berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pemaksaan. 

Hukum melakukan paksa makan atau berzina, merusakkan 

puasa. Hukum melakukan kesalahan di sini, tidak mengenai si 

pemaksa, karena itu rusaklah puasa yang tidak puasa  karena 

dipaksa. Tinggal lagi karena zina itu dilakukan dengan 

paksaan, ia dilepaskan dari hukum siksa. 

2.  P aksaan yang mungkin pelakunya menjadi alat atau ikut 

sereta dalam pemaksaan. Paksaan ini ada dua macam pula.  

a. Paksaan yang lazim karena mamandang s i terpaksa sebagai 

alat, berganti tempat kesalahan, atau berganti yang 

menerima kerusakan, maka pekerjaan yang dilakukan dengan 

paksaan semacam ini, tidak dialamatkan kepada si pemaksa, 

hanya kepada orang yang dipaksa sendiri. Sebagai contoh, 

                                                           

bila  seseorang yang sedang ihram, di mana tidak boleh 

membunuh binatang buruan, memaksa seseorang kawannya 

yang sedang berihram supaya   membunuh binatang buruan, 

padahal perbuatan itu satu kesalahan yang merusakkan 

ihram. Maksud si pemaksa supaya   ihram orang yang ter paksa 

itu rusak, maka jika kita memandangnya sebagai alat, yang 

rusak itu ihram si pemaksa, tetapi yang demikian itu bukan 

yang di paksakan untuknya. Karena itu batalah paksaan itu. 

Dalam hal ini ulama fiqh berpendapat bahwa lazim ayat 

orang yang membunuh binatang buruan dengan paksaan itu, 

membayar ganti terhadap apa yang ia bunuh. 

b. Paksaan y ang tidak mungkin pelakunya sebagai alat, berganti 

tempat, tidak berganti orang yang menerima kesalahan 

pekerjaan.  Maka jika paksaan disini paksaan keras, kesalahan 

ini disebangsakan dengan si pemaksa. Umpamanya, kita 

dipaksakan untuk membunuh orang lain, atau merusakkan 

kita itu dan dialah yang mesti menerima tuntutan qishash. 

Jika paksaan itu bukan paksaan keras, kesalahan 

mengerjakannya dipukul oleh orang yang berbuat sendiri.  

Sesuatu pekerjaan yang dipaksa supaya   kita melakukannya, 

ada kalanya pekerjaan yang  tetap haram selama-lamanya,tak 

ada jalan untuk membolehkannya,seperti: 

membunuh,melukai dan berzina maka pekerjaan -pekerjaan 

ini tidak dihalalkan oleh paksaan itudan jika pekerjaan yang 

haram  itu bukan haram yang tetap selama-lamanya, ada 

pengecualian, seperti makan bangkai dibolehkan karena 

terpaksa, maka paksaan di sini menghalalkannya. 

  

Adapun pekerjaan yang di bolehkan dalam agama kita 

melakukannya bila terpaksa, sedang haramnya tidak berubah, 

seperti mengucapkannya kalimat kufur, merusak harta orang. 

Demikian pula yang boleh jadi hilang haram meningalkanya, bila ada 

uzur,  seperti shalat, puasa, zakat dan haji,  maka menjadi boleh 

meninggalkannya  lantaran paksaan itu. 

                                                           

bila  seseorang yang sedang ihram, di mana tidak boleh 

membunuh binatang buruan, memaksa seseorang kawannya 

yang sedang berihram supaya   membunuh binatang buruan, 

padahal perbuatan itu satu kesalahan yang merusakkan 

ihram. Maksud si pemaksa supaya   ihram orang yang ter paksa 

itu rusak, maka jika kita memandangnya sebagai alat, yang 

rusak itu ihram si pemaksa, tetapi yang demikian itu bukan 

yang di paksakan untuknya. Karena itu batalah paksaan itu. 

Dalam hal ini ulama fiqh berpendapat bahwa lazim ayat 

orang yang membunuh binatang buruan dengan paksaan itu, 

membayar ganti terhadap apa yang ia bunuh. 

b. Paksaan y ang tidak mungkin pelakunya sebagai alat, berganti 

tempat, tidak berganti orang yang menerima kesalahan 

pekerjaan.  Maka jika paksaan disini paksaan keras, kesalahan 

ini disebangsakan dengan si pemaksa. Umpamanya, kita 

dipaksakan untuk membunuh orang lain, atau merusakkan 

kita itu dan dialah yang mesti menerima tuntutan qishash. 

Jika paksaan itu bukan paksaan keras, kesalahan 

mengerjakannya dipukul oleh orang yang berbuat sendiri.

Sesuatu pekerjaan yang dipaksa supaya   kita melakukannya, 

ada kalanya pekerjaan yang  tetap haram selama-lamanya,tak 

ada jalan untuk membolehkannya,seperti: 

membunuh,melukai dan berzina maka pekerjaan -pekerjaan 

ini tidak dihalalkan oleh paksaan itudan jika pekerjaan yang 

haram  itu bukan haram yang tetap selama-lamanya, ada 

pengecualian, seperti makan bangkai dibolehkan karena 

terpaksa, maka paksaan di sini menghalalkannya. 

  

Adapun pekerjaan yang di bolehkan dalam agama kita 

melakukannya bila terpaksa, sedang haramnya tidak berubah, 

seperti mengucapkannya kalimat kufur, merusak harta orang. 

Demikian pula yang boleh jadi hilang haram meningalkanya, bila ada 

uzur,  seperti shalat, puasa, zakat dan haji,  maka menjadi boleh 

meninggalkannya  lantaran paksaan itu. 

                                                           

Demikian penetapan ushul Hanafiyah (kaidah -kaidah hukum 

yang di pegang ulama Hanafiyah) tentang masalah paksaan, 

sedangkan menurut ulama ushul Syafi’iyah paksaan itu ada dengan 

jalan  yang benar dan ada pula  dengan jalan yang tidak benar. 

Paksaan yang dibolehkan  seperti memaksa  membayar utang tetap 

digabungkan kepada yang dipaksa. Paksaan yang tidak dibolehkan 

ada dua macam, yaitu: 

a. Pertama, paksaan melakukan pekerjaan yang dibolehkan 

syarak;  bagian ini tidak di golongkan kepada orang yang 

terpaksa, baik perkataan maupun perbuatannya, hanya 

mungkin di golongkan kepada orang yang memaksa, seperti 

paksaan memusnahkan harta orang, maka wajiblah atas si 

pemaksa, membayarnya. bila  paksaan itu tidak dapat di 

golongkan kepada si pemaksa, percumalah paksaan itu, yakni 

tidak memberi bekas apa-apa. Bila kita dipaksa mentalak istri 

kita, talak itu tidak jatuh: bila dipaksa kita menjual, penjualan 

itu tidak sah. 

b. Kedua, paksaan melakukan sesuatu perbuatan yang tidak di 

bolehkan syara seperti: membunuh orang dan berzina. Maka 

bagian ini tetap digolongkan kepada orang yang terpaksa, 

karena ia yang melakukan walaupun yang memaksa turut di 

bunuh juga. Paksaan dengan memenjarakan seumur hidup, 

pukulan yang menumpahkan darah dan pembunuhan, sama 

hukumnya dalam pandangan al-Syafi’i.

Dalam literatul   , pada umumnya pembahasan 

‘azimah dan rukhshah  dibicarakan sesudah membahas hukum-

hukum wadh’i . Pada dasarnya hukum syarak diturunkan oleh Allah 

swt. yaitu  sebagai rahmat bagi hamba-Nya dan rahmat Allah  

ini  merata diberikan tanpa kecuali. Oleh karena itu pada 

asalnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia muka llaf tanpa 

ada pengecualian. Di samping itu, hukum Allah juga mengandung 

pembatasan-pembatasan, perintah-perintah dan larangan-larangan 

yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan muka llaf 

untuk melaksanakannya, karena Allah tidak membebani seseorang 

kecuali dalam batas kemampuannya, sesuai dengan firman Allah swt 

dalam QS Al-Baqarah : 286 sbb :  

 

  : سشـوـزـُح( خَـٜـَؼـْع ُٝ  ََّلَا خًغـْلَـٗ ُﷲ ُقِِّ ٌَ ُـ٣ ََلَ286) 

 

Artinya :  Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai 

dengan kemampuannya.  

 

Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum tentu saja 

berbeda-beda tingkatannya. Perbuatan  yang dapat dilakukan oleh 

seseorang dalam keadaan biasa (normal) mungkin bagi orang lain 

dan dalam keadaan tertentu dirasakan sangat berat dan berada 

diluar kemampuannya. Oleh karena itu untuk mewujudkan 

kemaslahatan bagi manusia, Allah swt. mengecualikan pihak-pihak 

  

Dalam literatul   , pada umumnya pembahasan 

‘azimah dan rukhshah  dibicarakan sesudah membahas hukum-

hukum wadh’i . Pada dasarnya hukum syarak diturunkan oleh Allah 

swt. yaitu  sebagai rahmat bagi hamba-Nya dan rahmat Allah  

ini  merata diberikan tanpa kecuali. Oleh karena itu pada 

asalnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia muka llaf tanpa 

ada pengecualian. Di samping itu, hukum Allah juga mengandung 

pembatasan-pembatasan, perintah-perintah dan larangan-larangan 

yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan muka llaf 

untuk melaksanakannya, karena Allah tidak membebani seseorang 

kecuali dalam batas kemampuannya, sesuai dengan firman Allah swt 

dalam QS Al-Baqarah : 286 sbb :  

 

  : سشـوـزـُح( خَـٜـَؼـْع ُٝ  ََّلَا خًغـْلَـٗ ُﷲ ُقِِّ ٌَ ُـ٣ ََلَ286) 

 

Artinya :  Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai 

dengan kemampuannya.  

 

Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum tentu saja 

berbeda-beda tingkatannya. Perbuatan  yang dapat dilakukan oleh 

seseorang dalam keadaan biasa (normal) mungkin bagi orang lain 

dan dalam keadaan tertentu dirasakan sangat berat dan berada 

diluar kemampuannya. Oleh karena itu untuk mewujudkan 

kemaslahatan bagi manusia, Allah swt. mengecualikan pihak-pihak 

tertentu itu dari tuntutan yang berlaku umum. Pengecualian itu 

dijelaskan sendiri oleh Allah dalam suatu petunjuk yang berbeda 

dengan hukum yang ditetapkan sebelumnya. Dengankata lain, 

ada  hukum-hukum yang penerapanya sesuai dengan dalil 

semula, dan ada pula hukum-hukum yang penerapannya berbeda 

dengan dalil semula. 

Ditinjau dari segi sesuai atau tidaknya dengan dalil semula, 

hukum itu terbagi dua, yaitu: pertama ‘azimah  dan kedua rukhshah.  

B erikut akan diuraikan mengenai kedua istilah ini . 

 

1.  Pengertian ‘azimah dan rukhshah  

Hukum ‘azimah  ialah hukum yang ditetapkan oleh Allah swt. 

berlaku secara umum sejak awal mulanya, dalam pengertian tidak 

ada pengecualian bagi sebagian orang atau suatu keadaan.220  

Menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘azimah  yaitu  hukum untuk 

pertama kalinyaatau tahap awalnya dan dalam pelksanaanya tidak 

menemukan kendala.221  Sedangkan pengertian hukum rukhshah  

yaitu  hukum yang ditetapkan karena adanya sebab yang 

membolehkan untuk meninggalkan hukum asal.222   

Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa yang dimaksud 

dengan rukhshah  yaitu  hukum yang ditetapkan oleh Allah swt. 

untuk memberi keringanan kepada mukallaf dalam keadaan tertentu 

yang memang menghendaki adanya dispensasi, atau hukum itu 

ditetapkan karena adanya kesulitan pada kondisi tertentu. Rukhshah 

juga dapat berupa membolehkan mengerjakan hal-hal yang dilarang 

karena adanya alas an-alasan yang dibenarkan oleh syarak.223  

Dengan kata lain, rukhshah  ialah hukum yang berlaku menyalahi 

dalil yang ada karena adanya dalil atau “ uzur ” atau alasan yang 

dibenarkan oleh syarak. 

Sebagai contoh hukum ‘azimah yaitu  ibadah shalat lima kali 

sehari semalam pada waktu yang ditentukan yang diwajibkan secara 

                                                           

mutlak dan umum kepada setiap orang pada setiap keadaan. 

Demikian pula halnya tentang kewajiban puasa pada bulan Ramadan, 

zakat fitrah, haji dan kewajiaban -kewajiban syarak yang lain.  

Sedangkan contoh hokum rukhshah  yaitu  boleh menjamak dua 

shalat dikerjakan dalam satu waktu, atau mengqashar jumlah rakaat 

shalat wajib, boleh tidak puasa pada bulan Ramadan bagi orang 

musafir, dan lain sebagaianya. 

berdasar  penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa 

sejak awal mula memang Allah swt. bermaksud menetapkan hukum 

taklifi  yang demikian kepada hamba tanpa didahului oleh ketentuan 

hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahului maka 

namanya di-nasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan 

demikian, hukum ‘azimah ini berlaku sebagai hukum asal sejak awal, 

sedangkan hukum rukhshah  merupakan hukum pengecualian karena 

adanya sebab-sebab tertentu yang ditetapkan oleh Syari’ . 

ada  sejumlah faktor yang dapat menyebabkan adanya 

hukum rukhshah , di antaranya yaitu  : 

e. Keadaan darurat; seperti orang yang dalam keadaan kelaparan 

yang teramat sangat dan dikhawatirkan akan meninggal dunia 

serta tidak ditemukan makanan apapun selain bangkai. Maka 

bagi orang ini  hukumnya boleh memakan bangkai, bahkan 

hukumnya menjadi sebuah keharusan guna mempertahankan 

hidupnya. 

f. Untuk menghilangkan kesulitan serta kepayahan, seperti boleh 

tidak berpuasa pada bulan Ramadan atau boleh bagi dokter laki -

laki melihat aurat pasien perempuan ketika dalam proses 

pengobatan.

2.  Macam- macam Rukhshah  

a. Rukhshah  dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi 

menjadi dua yaitu rukhsha h “melaksanakan” dan rukhshah  

“meninggalka n”. 

mutlak dan umum kepada setiap orang pada setiap keadaan. 

Demikian pula halnya tentang kewajiban puasa pada bulan Ramadan, 

zakat fitrah, haji dan kewajiaban -kewajiban syarak yang lain.  

Sedangkan contoh hokum rukhshah  yaitu  boleh menjamak dua 

shalat dikerjakan dalam satu waktu, atau mengqashar jumlah rakaat 

shalat wajib, boleh tidak puasa pada bulan Ramadan bagi orang 

musafir, dan lain sebagaianya. 

berdasar  penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa 

sejak awal mula memang Allah swt. bermaksud menetapkan hukum 

taklifi  yang demikian kepada hamba tanpa didahului oleh ketentuan 

hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahului maka 

namanya di-nasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan 

demikian, hukum ‘azimah ini berlaku sebagai hukum asal sejak awal, 

sedangkan hukum rukhshah  merupakan hukum pengecualian karena 

adanya sebab-sebab tertentu yang ditetapkan oleh Syari’ . 

ada  sejumlah faktor yang dapat menyebabkan adanya 

hukum rukhshah , di antaranya yaitu  : 

e. Keadaan darurat; seperti orang yang dalam keadaan kelaparan 

yang teramat sangat dan dikhawatirkan akan meninggal dunia 

serta tidak ditemukan makanan apapun selain bangkai. Maka 

bagi orang ini  hukumnya boleh memakan bangkai, bahkan 

hukumnya menjadi sebuah keharusan guna mempertahankan 

hidupnya. 

f. Untuk menghilangkan kesulitan serta kepayahan, seperti boleh 

tidak berpuasa pada bulan Ramadan atau boleh bagi dokter laki -

laki melihat aurat pasien perempuan ketika dalam proses 

pengobatan.  

 

2.  Macam- macam Rukhshah  

a. Rukhshah  dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi 

menjadi dua yaitu rukhsha h “melaksanakan” dan rukhshah  

“meninggalka n”. 

1)  Rukhshah  “melaksanakan”  ialah keringanan untuk melakukan 

sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. 

Dalam bentuk ini asal perbuatan yaitu  terlarang dan haram 

hukumya. Inilah hukum azimah - nya. Dalam keadaan darurat 

atau hajat, perbuatan yang terlarang itu menjadi boleh 

hukumnya. 

Allah SWT. berfirman dalam surah QS Al-Baqarah (2) ayat 173  

 

 ِش٣ِْضـْ٘ ـِخُْ ح َْ َْلُ َٝ  َّ َّذُح َٝ  ََشظ٤ْ َٔ ُْ ح ُْ ٌُ ٤َِْـَػ َّ َّشـَك خ َٔ َِّٗا خ َٓ َٝ  ُأ ِﷲِش٤ْـ َـ ُِ ِٚ ِر ََّ ـِٛ 

  ٍدخَػ َلَ َّٝ  ٍؽَخرَش٤ْـَؿ َُّشطْػح ِٖ َٔ َـك  ََلًك   ِٚ ٤َِْـَػ َْ ِْػا 

 

Artinya : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasmu 

memakan bangkai, darah dan daging babi serta 

apa-apa yang disebutkan (waktu menyembelihnya) 

nama selain Allah. Barang siapa yang terpaksa, 

tidak ada aniaya dan tidak pula melampaui batas, 

tiada dosa atasnya.  

 

Berdasarakan ayat ini  diketahui bahwa Allah swt telah 

menetapkan sejumlah jenis makanan yang diharamkan, yaitu 

bangkai, darah dan daging babi serta sembelihan yang tidak 

sesuai dengan syariat Islam. Akan tetapi, dalam kondisi 

darurat, hanya ada  barang haram ini  dan bila  

tidak mengonsumsi barang haram ini  akan 

mengakibatkan kematian, maka hukumnya menjadi tidak 

haram. 

2) Rukhshah  meninggalkan ialah keringanan untuk 

meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘ azimah -nya 

yaitu  wajib atau nadb  (sunah). Dalam bentuk asalnya, 

hukumnya yaitu  wajib atau sunah, tetapi dalam keadaan 

tertentu si mukalaf tidak dapat melakukannya,  dengan arti 

bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya. 

Dalam kondisi yang demikian ini, maka dibolehkan dia 

meninggalkannya. 

   

Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah (2) ayat 184  

 

 ُشَُخأ ٍّ خَّ٣َأ ْٖ ِٓ  ٌسَّذـَِؼك ٍشَـلَع ٠ََِػ ْٝ َأ خًؼ٣ِْش َٓ  ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ  َٕ خ ًَ  ْٖ َٔ َـك ٍصحَد ْٝ ُذـْؼ َٓ  خ ًٓ خَّ٣َأ 

 

Artinya : Beberapa hari yang telah ditentukan, maka siapa 

diantaramu sakit atau dalam perjalanan, hendaklah 

ia memperhitungkannya dihari lain. 

 

berdasar  ayat ini , ada  keringanan atau 

rukhshah bagi orang yang akit atau dalam keadaan musafir 

untuk tidak puasa pada bulan Ramadan, dengan catatan 

bahwa orang ini  harus membayarnya pada hari lain di 

luar bulan Ramadan.  

Dan dalam QS al-Nisa’ (4) ayat 101  

 

ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٢ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرح  ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ 

 

Artinya “Bila kamu dalam perjalanan maka tiada halangan  

bagi kamu untuk meng-qashar shalatmu.”  

 

berdasar  ayat ini , bagi orang yang dalam keadaan 

musafir, diberi keringanan untuk meringkas jumlah rakaat 

shalat yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat.  

 

b. Rukhshah  ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan, 

maka dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk yaitu:  

1) Keringanan seperti bolehnya meninggalkan shalat  jum’at, 

haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur.  

2) Keringanan seperti meng -qashar  shalat empat rakaat 

menjadi dua rakaat bagi orang yang berada dalam perjalanan. 

3) Keringanan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan 

tayamum karena tidak ada air, mengganti kewajiban berdiri 

dalam shalat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat 

dalam keadaan tidak mampu, mengganti puasa wajib dengan 

Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah (2) ayat 184  

 

 ُشَُخأ ٍّ خَّ٣َأ ْٖ ِٓ  ٌسَّذـَِؼك ٍشَـلَع ٠ََِػ ْٝ َأ خًؼ٣ِْش َٓ  ْْ ٌُ ْ٘ ِٓ  َٕ خ ًَ  ْٖ َٔ َـك ٍصحَد ْٝ ُذـْؼ َٓ  خ ًٓ خَّ٣َأ 

 

Artinya : Beberapa hari yang telah ditentukan, maka siapa 

diantaramu sakit atau dalam perjalanan, hendaklah 

ia memperhitungkannya dihari lain. 

 

berdasar  ayat ini , ada  keringanan atau 

rukhshah bagi orang yang akit atau dalam keadaan musafir 

untuk tidak puasa pada bulan Ramadan, dengan catatan 

bahwa orang ini  harus membayarnya pada hari lain di 

luar bulan Ramadan.  

Dan dalam QS al-Nisa’ (4) ayat 101  

 

ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٢ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرح  ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ 

 

Artinya “Bila kamu dalam perjalanan maka tiada halangan  

bagi kamu untuk meng-qashar shalatmu.”  

 

berdasar  ayat ini , bagi orang yang dalam keadaan 

musafir, diberi keringanan untuk meringkas jumlah rakaat 

shalat yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat.  

 

b. Rukhshah  ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan, 

maka dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk yaitu:  

1) Keringanan seperti bolehnya meninggalkan shalat  jum’at, 

haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur.  

2) Keringanan seperti meng -qashar  shalat empat rakaat 

menjadi dua rakaat bagi orang yang berada dalam perjalanan. 

3) Keringanan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan 

tayamum karena tidak ada air, mengganti kewajiban berdiri 

dalam shalat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat 

dalam keadaan tidak mampu, mengganti puasa wajib dengan 

memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak 

mampu berpuasa. 

4) Keringanan seperti pelaksaan shalat dzuhur dalam waktu 

ashar pada jama’  ta’khir  karena dalam perjalanan. 

Menangguhkan pelaksaan puasa ramadhan kewaktu 

sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam 

perjalanan.  

5) Keringanan seperti mendahulukan mengerjakan shalat ashar 

pada waktu zuhur dalam jama’taqdim  di perjalanan.  

6) Keringanan seperti cara -cara pelaksaan shalat dalam perang 

yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat 

khauf . 

7) Keringanan seperti membolehkan mengerjakan perbuatan 

haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena ada udzur, 

seperti yang telah dijelaskan di atas. 

 

c. Rukhshah  ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku 

padanya rukhshah . Maksutnya apakah masih berlaku pada waktu 

itu atau tidak. Dalam hal ini ulama Hanafiyah membagi rukhshah 

menjadi dua macam yaitu rukhshah tarfih  dan rukhshah 

isqath. 226  

1) Rukhshah tarfih  ialah rukhshah yang meringankan dari 

pelaksanaan hukum ‘azimah tetapi hukum ‘azimah  berikut 

dalilnya tetap berlaku. Contohnya yaitu saat mengucapkan 

ucapan yang mengkafirkan yang terlarang dalam hukum 

‘azimah , itu dibolehkan bagi orang yang dalam keadaan 

terpaksa, selama hatinya tetap dalam keimanan. Hal ini 

ini  dalam firman Allah swt. dalam QS  Al-Nahl (16) ayat 

106 

 

 ْٖ َٓ  ْٖ ٌِ َُ َٝ  ِٕ خ َٔ ٣ْ ِْلِْخر ٌّٖ ِج َٔ ْط ُٓ  ُُٚزِْ َـه َٝ  َِٙش ًْ ُح ْٖ َٓ  َِّلَا ِٚ ِٗخ َٔ ٣ِْا ِذـَْؼر ْٖ ِٓ  ِللَِّخر َشَـلـ ًَ  ْٖ َٓ

 َفَشَش   ٌْ ٤ِْظـَػ ٌدحَزَػ ْْ َُُٜ َٝ  ِﷲ َٖ ِٓ  ٌذَؼـَؿ ْْ ِٜ ٤َِْـََؼك حًسْذَط ِشـْلـ ٌُ ُْ ِخر 

 

                                                           

Artinya “ Siapa yang kafir terhadap Allah sed angkan hatinya 

tetap tenang dalam keimanan, tetapi siapa secara 

terang kafir dalam dadanya, atasnya kemarahan 

Allah bagi mereka azab yang pedih”  

2) Rukhshah isqath  ialah menggugurkan hukum azimah 

terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung. 

Conto hnya yaitu meng-qashar shalat dalam 

perjalanan.berdasar  firman Allah dalam surat QS Al-Nisa’ 

(4) ayat 101  

 

 ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ  ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٠ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرا 

 

Artinya : Bila kamu berada dalam perjalanan tidak ada 

halangan bila kamu meng-qhasar shalatmu. 

 

Abu Ishak al-Syathibi dalam kitabnya  al- Muwafaqat  

memakai  bentuk lain dalam pembagian rukhshah  dari segi 

tingkat masyaqqah  (kesukaran dalam melakukan hukum ‘azimah ):

1. Dalam menghadapi kesukaran itu seorang muka llaf tidak 

mungkin melakukan kesabaran dalam menghadapinya. 

Umpamanya orang sakit yang tidak mungkin melaku kan rukun 

shalat secara sempurna, atau melakukan puasa karena khawatir 

akan mencelakakan dirinya, orang yang terpaksa memakan 

daging babi saat tidak menemukan makanan halal lain. Dan ia 

khawatir akan celaka kalau tidak memakan yang terlarang itu. 

Rukhshah  dalam bentuk ini kembali kepada hak Allah swt. dan 

oleh karenanya diharuskan memakan babi dalam keadaan ini 

menurut pendapat sebagian ulama yaitu  wajib. Orang yang 

tidak mau memakannya lantas ia mati, ia berdosa. 

2.  Dalam menghadapi kesukaran itu mukalaf dapat berlaku sabar 

karena secara langsung tidak akan membahayakan diri 

pelakunya. Rukhshah  dalam bentuk ini kembali kepada hak 

hamba untuk memperoleh kemudahan dari Allah swt. dan kasih 

                                                          

Artinya “ Siapa yang kafir terhadap Allah sed angkan hatinya 

tetap tenang dalam keimanan, tetapi siapa secara 

terang kafir dalam dadanya, atasnya kemarahan 

Allah bagi mereka azab yang pedih”  

2) Rukhshah isqath  ialah menggugurkan hukum azimah 

terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung. 

Conto hnya yaitu meng-qashar shalat dalam 

perjalanan.berdasar  firman Allah dalam surat QS Al-Nisa’ 

(4) ayat 101  

 

 ِسَلً َّظُح َٖ ِٓ  ح ْٝ ُشُظْوَـط ْٕ َأ ٌفَخُ٘ؿ ْْ ٌُ ٤ََِْػ َظ٤ََِْك ِعَْسْلَح ٠ِك ْْ ُظْرَشَػحَِرا 

 

Artinya : Bila kamu berada dalam perjalanan tidak ada 

halangan bila kamu meng-qhasar shalatmu. 

 

Abu Ishak al-Syathibi dalam kitabnya  al- Muwafaqat  

memakai  bentuk lain dalam pembagian rukhshah  dari segi 

tingkat masyaqqah  (kesukaran dalam melakukan hukum ‘azimah ):

1. Dalam menghadapi kesukaran itu seorang muka llaf tidak 

mungkin melakukan kesabaran dalam menghadapinya. 

Umpamanya orang sakit yang tidak mungkin melaku kan rukun 

shalat secara sempurna, atau melakukan puasa karena khawatir 

akan mencelakakan dirinya, orang yang terpaksa memakan 

daging babi saat tidak menemukan makanan halal lain. Dan ia 

khawatir akan celaka kalau tidak memakan yang terlarang itu. 

Rukhshah  dalam bentuk ini kembali kepada hak Allah swt. dan 

oleh karenanya diharuskan memakan babi dalam keadaan ini 

menurut pendapat sebagian ulama yaitu  wajib. Orang yang 

tidak mau memakannya lantas ia mati, ia berdosa. 

2.  Dalam menghadapi kesukaran itu mukalaf dapat berlaku sabar 

karena secara langsung tidak akan membahayakan diri 

pelakunya. Rukhshah  dalam bentuk ini kembali kepada hak 

hamba untuk memperoleh kemudahan dari Allah swt. dan kasih 

                                                          

sayang-Nya. Rukhshah  dalam bentuk ini dibagi menjadi dua 

bentuk yaitu: 

a. B erlaku padanya tuntutan secara umum sehingga 

persoalan dalam keadaan sukar atau tidak, tidak 

diperhitungkan. Seperti berkumpul di Arafah untuk 

sahnya perbuatan haji. Ini berlaku untuk semua 

pelaksanaan ibadah haji, bahkan bagi yang tidak mampu 

fasiknya pun harus ke Arafah agar sah. 

b. Tidak berlaku secara khusus tuntutan, tetapi tetap 

menurut asal keringanan dan menghilangkan kesulitan 

hukumnya boleh. Bagi seorang mukallaf boleh mengambi 

hukum asal ‘azimah meskipun ia dalam keadaan 

menanggung kesulitan dan boleh mengambil rukhshah. 

 

3.  Hukum Mengamalkan Rukhshah  

Hukum rukhshah  yaitu  “ jawaz ”, yakni boleh mengerjakannya.  

Dalam posisi hukum yang demikian, maka seseorang boleh memilih 

antara mengerjakan hukum asal yang ‘azimah  atau mengerjakan 

hukum rukhshah  yang diberi keringanan.  Oleh karena itu bagi 

seorang musafir pada bulan Ramadan, boleh baginya memilih antara 

mengerjakan hukum ‘ azimah  yang asal yaitu berpuasa, atau 

memanfaatkan dispensasi rukhshah  untuk tidak berpuasa. 

Ketentuan hukum yang demikian yaitu  kare na nash syarak yang 

ada  dalam Alquran atau Hadis Nabi telah menempatkana 

rukhshah  pada posisi kebebasan memilih opsi dan memberikan 

kemudahan merupakan bagian dari maqashid al - syari’ah , 

sebagaimana firman Allah swt. dalam  sebagai berikut :  

 

 َؼـَؿ خ َٓ : ؾلُح( ٍؽَشـَك ْٖ ـ ِٓ  ِٖ ٣ْ ِّذُح ٠ِك ْْ ٌُ ـ٤َْـَِػ ََ ـ7 8) 

 

Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam 

agama suatu kesempitan (QS Al-Hajj : 78)  

 

 

                                                          

 : سشوزُح ( َشْغـُؼـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُذـ٣ِْشُـ٣ َلَ َٝ  َشْغُـ٤ـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُﷲ ُذـ٣ِْشُـ٣185) 

 

Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak 

menghendaki kesukaran bagimu (QS Al-Baqarah : 185)  

 

Namun dalam hal memakai  hukum rukhshah bagi orang 

yang telah memenuhi syarat ada  perbedaan pendapat di 

kalangan ulama. 

Jumhur ula ma berpendapat bahwa hukum mengamalkan 

rukhshah  itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan 

adanya rukhshah  itu. Dengan demikian, memakai  hukum 

rukhshah  dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang 

tidak mendapatkan makanan halal, sedangkan ia khawatir 

seandainya tidak memakai  rukhshah akan mencelakakan 

dirinya. Hukum rukhshah  ada pula yang sunah seperti berbuka puasa 

ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula 

yang semata-mata ibahah seperti jual beli salam.  

Imam al-Syathibi berpendapat, bahwa hukum rukhshah  yaitu  

boleh atau ibahah  secara mutlak. Untuk pendapat ini Imam al -

Syathibi mengemukakan argumentasinya  yang menimbulkan 

polemik dengan jumhur ulama, yaitu: 

Pertama; rukhshah  itu asalnya hanyalah keringanan atau 

mengangkat kesulitan sehingga mukallaf  mempunyai kelapangan 

dan pilihan antara memakai  hukum ‘azimah  atau mengambil 

rukhshah  hal ini berarti mubah. Ketentuan ini sesuai dengan dalil 

juz’ i (rinci) seperti “tidak berdosa” memakan bangkai, firman Allah  

swt. dalam QS Al-Baqarah (2) : 173. Begitu pula ucapan “tidak ada 

halangan”  meng -qashar shalat bagi musafir dalam firman Allah swt 

dala QS An-Nisa (4) : 101 

Argumentasi ini disanggah oleh jumhur ulama yang 

mengatakan, bahwa tidaklah mesti dari ucapan Allah “tidak berdosa” 

atau “tidak ada halangan” berarti perbuatan itu hukumnya mubah. 

Dalam Alquran kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” 

dapat berarti wajib seperti dalam firman Allah QS al-Baqarah (2) 

 : سشوزُح ( َشْغـُؼـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُذـ٣ِْشُـ٣ َلَ َٝ  َشْغُـ٤ـُْ ح ُْ ٌُ ِـر ُﷲ ُذـ٣ِْشُـ٣185) 

 

Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak 

menghendaki kesukaran bagimu (QS Al-Baqarah : 185)  

 

Namun dalam hal memakai  hukum rukhshah bagi orang 

yang telah memenuhi syarat ada  perbedaan pendapat di 

kalangan ulama. 

Jumhur ula ma berpendapat bahwa hukum mengamalkan 

rukhshah  itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan 

adanya rukhshah  itu. Dengan demikian, memakai  hukum 

rukhshah  dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang 

tidak mendapatkan makanan halal, sedangkan ia khawatir 

seandainya tidak memakai  rukhshah akan mencelakakan 

dirinya. Hukum rukhshah  ada pula yang sunah seperti berbuka puasa 

ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula 

yang semata-mata ibahah seperti jual beli salam.  

Imam al-Syathibi berpendapat, bahwa hukum rukhshah  yaitu  

boleh atau ibahah  secara mutlak. Untuk pendapat ini Imam al -

Syathibi mengemukakan argumentasinya229  yang menimbulkan 

polemik dengan jumhur ulama, yaitu: 

Pertama; rukhshah  itu asalnya hanyalah keringanan atau 

mengangkat kesulitan sehingga mukallaf  mempunyai kelapangan 

dan pilihan antara memakai  hukum ‘azimah  atau mengambil 

rukhshah  hal ini berarti mubah. Ketentuan ini sesuai dengan dalil 

juz’ i (rinci) seperti “tidak berdosa” memakan bangkai, firman Allah  

swt. dalam QS Al-Baqarah (2) : 173. Begitu pula ucapan “tidak ada 

halangan”  meng -qashar shalat bagi musafir dalam firman Allah swt 

dala QS An-Nisa (4) : 101 

Argumentasi ini disanggah oleh jumhur ulama yang 

mengatakan, bahwa tidaklah mesti dari ucapan Allah “tidak berdosa” 

atau “tidak ada halangan” berarti perbuatan itu hukumnya mubah. 

Dalam Alquran kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” 

dapat berarti wajib seperti dalam firman Allah QS al-Baqarah (2) 

 َؼَش ْٖ ِٓ  َس َٝ ْش َٔ ُْح َٝ  ٠َل َّظُح َّٕ ِا ِٚ٤َِْـَػ َفَخ٘ـُؿ ََلًك َش َٔ َـظـْػحِٝ َأ َض٤َْـزُْ ح َّؾَك ْٖ َٔ َـك ِﷲ ِِشثخـ

خ َٔ ِٜ ِر َف َّٞ ّـَطَّ٣ ْٕ َأ 

 

Artinya  “ Bahwa sesungguhnya sa’i antara safa dan marwa itu yaitu  

syiar Allah maka siapa yang haji ke baitullah atau umrah 

tidak ada halangan bila i a thawaf ..  

 

Dalam ayat ini untuk thawaf pada haji dan umrah disebut 

dengan ucapan “tidak ada halangan” padahal thawaf itu hukumnya 

yaitu  wajib. 

Kadang -kadang kata “tidak berdosa” itu berarti sunah seperti 

firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 203  

 

 ِٚ ٤َِْـَػ َْ ِْػا ََلًك ِٖ ٤ْ َٓ ْٞ َ٣ ٠ِك ََ ّـَ ـَؼَـط ْٖ َٔ َـك 

 

Artinya  “Siapa yang cepat menyelesaikan dua hari tiada dosa 

atasnya.  

 

Bersegera dalam dua hari dalam ayat ini dengan memakai  

kata “tidak berdosa”, padahal bersegera itu hukumnya yaitu  sunah 

menurut ulama, bukan mubah. 

Atas sanggahan ini al-Syathibi memberikan jawaban bahwa 

kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” dalam 

memakai  dan kaidah bahasa arab bila tidak ditemukan qarinah  

(keterangan) yang memberi petunjuk bahwa artinya bukan untuk itu, 

hanya berarti “izin untuk berbuat sesuatu”. Bila tidak ada petunjuk 

yang memalingkannya dari pemakaian  hukum aslinya, tidak dapat 

di pahami lebih dari izin.  

Sebagai contoh, hukum thawaf  pada haji dan umrah yaitu  

wajib, tetapi hukum wajib itu tidaklah dipahami dari firman-Nya, 

tetapi dari firman-Nya yang ada  diujung pangkal ayat itu atau 

dari petunjuk lain.  

Kedua; kalau memakai  rukhshah  itu diperintahkan baik 

dalam bentuk wajib atau sunah maka hukumnya akan berubah 

menjadi ‘azimah , tidak lagi rukhshah , karena hukum wajib itu    

merupakan keharusan pasti yang tidak mengandung pilihan lain. 

Dengan demikian, berarti menghimpunkan aturan perintah dan 

rukhshah . Ini namanya menghimpun dua hal yang berlawanan. 

Alasan yang dikemukakan al-Syathibi ini disanggah oleh 

jumhur ulama yang mengatakan, bahwa ulama telah mewajibkan 

memakan bangkai atas orang yang terpaksa yang ia khawatir akan 

celaka bila tidak memakannya. Sebuah hadis Nabi menjelaskan 

bahwa Allah swt. lebih senang hamba-Nya memakai  rukhshah 

sebagaimana ia senang hamba-Nya memakai  ‘azimah . 

Sanggahan ini dijawab oleh al-Syathibi, ia mengatakan bahwa 

mengumpulkan rukhshah  dengan perintah berarti mengumpulkan 

dua hal yang berlawanan. Yang demikian yaitu  mustahil. Oleh 

karena itu perintah wajib itu haruslah dikembalikan kepada asal 

‘azimah  dan tidak kepada rukhshah  itu sendiri. Bahwa seseorang 

dalam keadaan terpaksa yang tidak menemukan makanan halal 

untuk menutupi keterpaksaannya itu diperbolehkan memakan 

bangkai untuk menolak keterpaksaannya. Kalau dalam keadaan 

terpaksa itu ia khawatir akan celaka bila  tidak memakannya, 

maka ia diperintahkan untuk memelihara diri atau jiwanya 

sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Nisa (4) : 38  

 

 ْْ ٌُ َُغلْٗ َأ ح ْٞ ُُِـظـْوَـط َلَ 

Artinya : “ Janganlah kamu bunuh dirimu”  

 

Larangan bunuh diri yang berarti perintah untuk melindungi 

kehidupan itu tidak lagi berarti rukhshah  karena ia kembali kepada 

prinsip umum yang semula, yaitu kewajiban menjaga diri. 

Di samping membagi hukum rukhshah  itu kepada wajib, sunah, 

dan mubah dengan menyanggah argumentasi al-Syathibi, jumhur 

ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu 

yaitu  sebagaimana argumen dan jawaban yang dipakai  serta 

disampaikan oleh al-Syathibi. 

Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan al -Syathibi 

dalam menetapkan hukum ruhshah itu kelihatan pengaruhnya dalam 

contoh kasus seseorang yang tidak menemukan makanan halal 

merupakan keharusan pasti yang tidak mengandung pilihan lain. 

Dengan demikian, berarti menghimpunkan aturan perintah dan 

rukhshah . Ini namanya menghimpun dua hal yang berlawanan. 

Alasan yang dikemukakan al-Syathibi ini disanggah oleh 

jumhur ulama yang mengatakan, bahwa ulama telah mewajibkan 

memakan bangkai atas orang yang terpaksa yang ia khawatir akan 

celaka bila tidak memakannya. Sebuah hadis Nabi menjelaskan 

bahwa Allah swt. lebih senang hamba-Nya memakai  rukhshah 

sebagaimana ia senang hamba-Nya memakai  ‘azimah . 

Sanggahan ini dijawab oleh al-Syathibi, ia mengatakan bahwa 

mengumpulkan rukhshah  dengan perintah berarti mengumpulkan 

dua hal yang berlawanan. Yang demikian yaitu  mustahil. Oleh 

karena itu perintah wajib itu haruslah dikembalikan kepada asal 

‘azimah  dan tidak kepada rukhshah  itu sendiri. Bahwa seseorang 

dalam keadaan terpaksa yang tidak menemukan makanan halal 

untuk menutupi keterpaksaannya itu diperbolehkan memakan 

bangkai untuk menolak keterpaksaannya. Kalau dalam keadaan 

terpaksa itu ia khawatir akan celaka bila  tidak memakannya, 

maka ia diperintahkan untuk memelihara diri atau jiwanya 

sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Nisa (4) : 38  

 

 ْْ ٌُ َُغلْٗ َأ ح ْٞ ُُِـظـْوَـط َلَ 

Artinya : “ Janganlah kamu bunuh dirimu”  

 

Larangan bunuh diri yang berarti perintah untuk melindungi 

kehidupan itu tidak lagi berarti rukhshah  karena ia kembali kepada 

prinsip umum yang semula, yaitu kewajiban menjaga diri. 

Di samping membagi hukum rukhshah  itu kepada wajib, sunah, 

dan mubah dengan menyanggah argumentasi al-Syathibi, jumhur 

ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu 

yaitu  sebagaimana argumen dan jawaban yang dipakai  serta 

disampaikan oleh al-Syathibi. 

Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan al -Syathibi 

dalam menetapkan hukum ruhshah itu kelihatan pengaruhnya dalam 

contoh kasus seseorang yang tidak menemukan makanan halal 

untuk memenuhi kebutuhannya, ia lebih mementingkan mati 

kelaparan dari pada memakan yang haram.  Menurut jumhur ulama 

yang membagi rukhshah  itu kepada wajib, sunah, dan mubah orang 

yang kelaparan itu seharusnya memakan bangkai untuk memelihara 

jiwanya. Bila ia tidak memakannya lantas ia mati karenanya, maka ia 

fasik atau berdosa karena meninggalkan wajib. 

Al-Syathibi yang mengatakan bahwa hukum rukhshah 

hanyalah ibahah, berpendapat bahwa masalah ini harus dilihat 

secara rinci karena perintah untuk memelihara jiwa itu bersifat 

umum. Tidak ada nash yang secara pasti mengharuskan memakan 

bangkai hingga ia akan fasik atau berdosa jika meninggalkannya. 

Oleh karena itu, bila ia ternyata mati karena menahan makan 

bangkai, maka ia tidak fasik dan tidak berdosa, karena ia telah 

berbuat sesuai dengan ketentuan hukum rukhshah . 

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Alquran 

dan Sunah yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dan 

terutama mengandung nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang 

berfungsi sebagai guidanc e bagi kehidupan manusia dalam 

menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah saw. bersabda 

 ٖ٤ج٤ش ٌْ٤ك ضًشط  : ٍخه ِْع ٝ ٚـ٤ِـػ اللَّ ٠ِط اللَّ ٍٞـعس ٕأ سش٣شـٛ ٠رأ ٖػ

٠ظ٘ع ٝ اللَّ دخظً خٔٛذؼر حِٞؼط ُٖ )ًْخـلُح ٙحٝس(  231 

 

Artinya : Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu 

sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya, 

yaitu Kitab Allah dan Sunahku.  

 

Akan tetapi Alquran dan Sunah tidak akan memiliki 

kebermaknaan tanpa pemahaman dan pengamalan yang benar oleh 

umatnya karena keduanya nyaris tidak pernah diamalkan menurut 

arti harfiahnya. Nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang 

terkandung dalam Alquran dan Sunah merupakan ide samawi  yang 

memerlukan interpretasi, internalisasi, dan implementasi oleh 

umatnya untuk bisa landing  dalam perikehidupan. Oleh karena itu, 

problem yang paling mendasar bagi umat Islam yaitu  bagaimana 

                                                          

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Alquran 

dan Sunah yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dan 

terutama mengandung nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang 

berfungsi sebagai guidanc e bagi kehidupan manusia dalam 

menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah saw. bersabda 

 ٖ٤ج٤ش ٌْ٤ك ضًشط  : ٍخه ِْع ٝ ٚـ٤ِـػ اللَّ ٠ِط اللَّ ٍٞـعس ٕأ سش٣شـٛ ٠رأ ٖػ

٠ظ٘ع ٝ اللَّ دخظً خٔٛذؼر حِٞؼط ُٖ )ًْخـلُح ٙحٝس(  231 

 

Artinya : Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu 

sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya, 

yaitu Kitab Allah dan Sunahku.  

 

Akan tetapi Alquran dan Sunah tidak akan memiliki 

kebermaknaan tanpa pemahaman dan pengamalan yang benar oleh 

umatnya karena keduanya nyaris tidak pernah diamalkan menurut 

arti harfiahnya. Nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang 

terkandung dalam Alquran dan Sunah merupakan ide samawi  yang 

memerlukan interpretasi, internalisasi, dan implementasi oleh 

umatnya untuk bisa landing  dalam perikehidupan. Oleh karena itu, 

problem yang paling mendasar bagi umat Islam yaitu  bagaimana 

                                                           

proses interpretasi, internalisasi, dan aplikasi pesan-pesan Alquran 

dan Sunah ke dalam realitas kehidupan.  

Ketika Rasulullah saw. masih hidup, kompetensi untu k 

menetapkan dan atau memutuskan hukum ada pada pribadi 

Rasulullah saw. sendiri. Dengan bimbingan wahyu.  Rasulullah saw. 

menjadi referensi tunggal ketika umat Islam menghadapi 

permasalahan hukum. Dalam sejarah yurisprudensi hukum Islam, 

periode ini dikenal sebagai periode tasyri‘  atau peletakan dan 

pembentukan dasar-dasar hukum Islam.232 Namun, setelah 

Rasulullah saw. wafat, otomatis wahyu terhenti dan Sunah tidak 

mungkin akan muncul lagi. Sebab, Muhammad yaitu  Nabi dan 

Rasul terakhir yang berarti bahwa per iode tasyri‘ dalam pengertian 

yang sebenarnya telah berakhir sesuai dengan firman Allah swt. 

yang ada  dalam Q.S. al-Ma’idah [5]: 3 sebagai berikut :  

 

 ِٖ َٔ َك ًخ٘٣ِد َّ َلًْع ِْلْح ُْ ٌُ َُ ُض٤ِػَس َٝ  ٢ِظ َٔ ِْؼٗ ْْ ٌُ ٤ََِْػ ُض ْٔ َٔ َْطأ َٝ  ْْ ٌُ َ٘٣ِد ْْ ٌُ َُ ُضِْ َٔ ًْ َأ َّ ْٞ َ٤ ُْ ح

 ٌْ ٤ِكَس ٌسُٞلَؿ َ َّﷲ َّٕ ِ َبك ٍْ ْػ ِِلْ ٍِقٗخ َـ َظ ُٓ  َش٤َْؿٍشَظ َٔ ْخ َٓ  ٢ِك َُّشطْػح. 

 

Artinya:  Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, 

dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat -Ku, dan telah 

Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka, barang siapa 

terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, 

sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha 

Penyayang.  

 

Menurut Sobhi Mahmassani,  set elah Alquran dan Sunah 

terhenti, pada saat yang sama perilaku, budaya, dan peradaban 

manusia tumbuh dan berkembang secara dinamis. Hal ini 

mengandung makna bahwa akan terjadi ketidakseimbang-an antara 

ayat-ayat Alquran dan Sunah yang terbatas dengan masalah-                                                        

masalah sosial keagamaan yang tidak terbatas.  Sebagai 

konsekuensinya, umat Islam akan menghadapi masalah penentuan 

dan atau penetapan hukum berkenaan dengan problematika yang 

tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam Alquran 

dan atau Sunah.  

Dalam kondisi yang demikian, para ulama sebagai ahli waris 

para Nabi (waratsat al- anbiya’ ) diberi perkenan oleh Syari ‘  untuk 

berijtihad guna menentu-kan dan atau menetapkan hukum Islam.  

Referensi yang relevan dengan justifikasi ijtihad ini ialah kisah 

Mua dz bin Jabal ketika akan diutus oleh Nabi saw. sebagai hakim di 

Yaman sebagai berikut:  

 

 اللَّ ٍٞعس ٕأ َزؿ ٖر رخؼٓ ٖػ-  ِْعٝ ٚ٤ِػ اللَّ ٠ِط-  ٖٔ٤ُح ٠ُا ٚؼؼر خُٔ

 ُْ ٕبك :ٍخه ،اللَّ دخظٌر ٢ؼهأ :ٍخه ؟ءخؼه يُ عشػ حرا ٢ؼوط ق٤ً :ٍخه

ٞعس ش٘غزك :ٍخه ؟اللَّ دخظً ٢ك ذـط ؟اللَّ ٍٞعس ش٘ع ٢ك ذـط ُْ ٕبك :ٍخه ، اللَّ ٍ

 ٢ػش٣ خُٔ اللَّ ٍٞعس ٍٞعس نكٝ ١زُح للَّ ذٔلُح :ٍخهٝ  ٢٣أس ذٜظؿأ :ٍخه

اللَّ ٍٞعس. 235 

 

Artinya: (Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah 

saw. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada 

Muadz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika 

dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab, “Dengan kitab 

Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana bila  tidak 

Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, 

“berdasar  Sunah Rasulullah.”  

                                                           

 Ibnu Khaldun menyatakan bahwa hal ihwal umat manusia, adat kebiasaan, dan 

per-adabannya tidaklah pada satu gerak dan khittah yang tetap, melainkan berubah dan 

berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan. yaitu  sebagaimana halnya 

dengan manusia itu sendiri waktu dan tempat, maka keadaan itu terjadi pula pada dunia 

dan negara. Sungguh bahwa sunnatullah berlaku pada hamba-Nya. Lihat Sobhi 

Mahmassani, Filsafat, 

masalah sosial keagamaan yang tidak terbatas.  Sebagai 

konsekuensinya, umat Islam akan menghadapi masalah penentuan 

dan atau penetapan hukum berkenaan dengan problematika yang 

tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam Alquran 

dan atau Sunah.  

Dalam kondisi yang demikian, para ulama sebagai ahli waris 

para Nabi (waratsat al- anbiya’ ) diberi perkenan oleh Syari ‘  untuk 

berijtihad guna menentu-kan dan atau menetapkan hukum Islam.  

Referensi yang relevan dengan justifikasi ijtihad ini ialah kisah 

Mua dz bin Jabal ketika akan diutus oleh Nabi saw. sebagai hakim di 

Yaman sebagai berikut:  

 

 اللَّ ٍٞعس ٕأ َزؿ ٖر رخؼٓ ٖػ-  ِْعٝ ٚ٤ِػ اللَّ ٠ِط-  ٖٔ٤ُح ٠ُا ٚؼؼر خُٔ

 ُْ ٕبك :ٍخه ،اللَّ دخظٌر ٢ؼهأ :ٍخه ؟ءخؼه يُ عشػ حرا ٢ؼوط ق٤ً :ٍخه

ٞعس ش٘غزك :ٍخه ؟اللَّ دخظً ٢ك ذـط ؟اللَّ ٍٞعس ش٘ع ٢ك ذـط ُْ ٕبك :ٍخه ، اللَّ ٍ

 ٢ػش٣ خُٔ اللَّ ٍٞعس ٍٞعس نكٝ ١زُح للَّ ذٔلُح :ٍخهٝ  ٢٣أس ذٜظؿأ :ٍخه

اللَّ ٍٞعس. 235 

 

Artinya: (Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah 

saw. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada 

Muadz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika 

dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab, “Dengan kitab 

Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana bila  tidak 

Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, 

“berdasar  Sunah Rasulullah.”  

                                                           

 

Rasulullah saw. bertanya lagi, “B agaimana bila  tidak 

engkau dapati dasarnya dalam Sunah?” Muadz menjawab, 

“Saya akan berijtihad berdasar  pemikiran saya.” 

Rasulullah saw. bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah 

menunjukkan utusan Rasulullah atas sesuatu yang diridai 

Rasulullah .”  

 

Ilustrasi kisah ini menunjukkan bahwa ijtihad menempati 

posisi strategis dan signifikan dalam mengawal eksistensi serta 

keberlangsungan hukum Islam dalam  mengatasi problem hukum 

yang muncul.  

 

1.  Pengertian Ijtihad  

Dalam  perspektif    , ijtihad diidentifikasi 

sebagai berikut : 

 

 ٠ِك خ َٓ ِا َٝ  ِشَّ٤ِػْشَّشُح ِّ خ ٌَ َْكْلْح ِىْسَد ٠ِك خ َّٓ ِا ِغْع ُٞ ُْ ح َِش٣خَؿ ٍُ َْزر َٝ  ِذْٜ ُـ ُْ ح ُؽحَشـْلِـظِْعا

َخِٜو٤ِْزَْطط. 236 

 

Artinya : Mengerah -kan segala kesungguhan dan mencurahkan 

segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum 

syarak atau untuk mengimplementasikannya.  

 

Dengan kata lain, ijtihad merupakan suatu aktivitas ulama 

untuk mengintroduksi dan meng-eksplorasi makna serta materi 

hukum ( maqashid al - syarui‘ah ) yang terkandung dalam Alquran dan 

atau Sunah. Ijtihad juga dapat dimaknai sebagai kerja secara 

optimal-profesiaonal dan progresif-ilmiah guna memberikan solusi 

hukum yang tepat dan benar, agar nilai-nilai normatif yang 

terkandung dalam Alquran dan Sunah mampu membimbing perilaku 

                                                           

manusia sesuai dengan situasi dan kondisi.  Dengan demikian, 

dapat dikatakan bahwa pemahaman dan pengamalan wahyu Ilahi 

dalam realitas kehidupan akan berjalan linier dengan aktivitas dan 

dinamika ijtihad itu sendiri. Di sinilah posisi strategis dan 

signifikansi ijtihad dalam proses pembinaan dan pembaruan hukum 

Islam guna menemukan kepastian hukum.  

 

2.  Pengertian Mujtahid  

Dalam kitab Jam‘u al - Jawami‘  disebutkan bahwa yang 

dimaksud dengan mujtahid itu yaitu  ahli fiqh.  Meskipun tidak 

dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahli fiqh, akan tetapi jika 

dikaitkan dengan penjelasan terminologis fiqh yang tak lain yaitu  

pemahaman tentang hukum syarak yang diambil dari diperoleh dari 

dalil-dalil yang terperinci berkenaan dengan perilaku seseorang, 

maka dapat dikatakan bahwa mujtahid itu yaitu  seseorang yang 

memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menggali hukum-hukum 

syarak dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan/atau Sunah.  

Al-Jurjani dalam kitab al- Ta‘rifat  juga menjelaskan bahwa yang 

dimaksud dengan mujtahid yaitu  orang yang menguasai ilmu 

Alquran dan ilmu tafsir yang sangat diperlukan dalam memahami 

makna ayat-ayat Alquran, menguasai ilmu riwayah dan dirayah 

hadis sehingga mempu menjelaskan maksud suatu hadis, mampu 

melakukan penalaran analogis, dan tanggap terhadap problem-

problem kekinian.  

 

3.  Syarat - syarat Mujtahid  

Ali Abd al-Kafi as -Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab 

al- Ibhaj fi Syarh al - Minhaj  menjelaskan kriteria mujtahid yaitu : (a) 

menguasai ilmu ‘aqliyah  (bahasa, ushul fiqh, dan sebagainya) yang 

dapat mempertajam akal dan nuraninya sehingga memiliki kapasitas 

                                                           

manusia sesuai dengan situasi dan kondisi.237  Dengan demikian, 

dapat dikatakan bahwa pemahaman dan pengamalan wahyu Ilahi 

dalam realitas kehidupan akan berjalan linier dengan aktivitas dan 

dinamika ijtihad itu sendiri. Di sinilah posisi strategis dan 

signifikansi ijtihad dalam proses pembinaan dan pembaruan hukum 

Islam guna menemukan kepastian hukum.  

 

2.  Pengertian Mujtahid  

Dalam kitab Jam‘u al - Jawami‘  disebutkan bahwa yang 

dimaksud dengan mujtahid itu yaitu  ahli fiqh.  Meskipun tidak 

dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahli fiqh, akan tetapi jika 

dikaitkan dengan penjelasan terminologis fiqh yang tak lain yaitu  

pemahaman tentang hukum syarak yang diambil dari diperoleh dari 

dalil-dalil yang terperinci berkenaan dengan perilaku seseorang, 

maka dapat dikatakan bahwa mujtahid itu yaitu  seseorang yang 

memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menggali hukum-hukum 

syarak dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan/atau Sunah.  

Al-Jurjani dalam kitab al- Ta‘rifat  juga menjelaskan bahwa yang 

dimaksud dengan mujtahid yaitu  orang yang menguasai ilmu 

Alquran dan ilmu tafsir yang sangat diperlukan dalam memahami 

makna ayat-ayat Alquran, menguasai ilmu riwayah dan dirayah 

hadis sehingga mempu menjelaskan maksud suatu hadis, mampu 

melakukan penalaran analogis, dan tanggap terhadap problem-

problem kekinian.  

 

3.  Syarat - syarat Mujtahid  

Ali Abd al-Kafi as -Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab 

al- Ibhaj fi Syarh al - Minhaj  menjelaskan kriteria mujtahid yait